PERSPEKTIF-PERSPEKTIF PUBLIC RELATIONS Dari Praktis Menuju Ilmu Terapan Rachmat Kriyantono Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
Abstrak Artikel ini membahas public relations dengan menekankan bahwa bidang ini adalah sebuah kajian ilmiah atau ilmu terapan yang berkembang dari aspek praktis. Aktivitas public relations mencakup segala aspek kehidupan sehingga kajian ini bersifat multidisiplin dan memiliki beragam definisi. Sebagai disiplin ilmu, public relations sudah diperkuat teori-teori yang mapan, termasuk teori-teori khas public relations, dan berbagai paradigm keilmuan. Artikel ini menempatkan public relations sebagai kajian sentral komunikasi organisasi dalam kaitannya dengan berbagai istilah lain, seperti manajemen komunikasi, komunikasi korporat, manajemen relasi, manajemen reputasi, dan marketing communication. Kata Kunci: Public relations, manajemen komunikasi, komunikasi korporat, teori public relations, marketing communication.
Public relations dan Berbagai Istilah Memahami pengertian public relations (PR) adalah penting. Seperti dikatakan Hagley (1999, h. 34), setelah 30 tahun berkarir sebagai praktisi PR: If you can't define what you do, you can't measure what you do. And if you can't measure what you do, you can't evaluate what you do. And if you can't evaluate what you do, no one will pay, or pay much, for what you do. …yes, most people in public relations cannot define what they do. Dari penelusuran literatur, saya menemukan bahwa istilah PR bukan satu-satunya istilah yang dipakai dalam praktik dan kajian PR. Beberapa istilah, seperti communication management (manajemen komunikasi) dan corporate communication (komunikasi korporat) sering dikaitkan dengan kajian PR dan komunikasi pemasaran terpadu (Elving, Ruler, Goodman & Genest, 2012). Meskipun menggunakan istilah PR, definisinya pun sangat beragam (Grunig & Hunt, 1984; Khodarahmi, 2009), namun, yang terbanyak adalah mendefinisikan PR sebagai manajemen (Khodarahmi, 2009), seperti management of communication/communication management (Grunig & Hunt, 1984; Ruler & Vercic, 2004; Radulescu, 2009), management functions (Cutlip, Center, & Broom, 2006), reputation management (Radulescu, 2009), dan relationship management (Leddingham, 2003; Phillip, 2006). Beragamnya definisi, dikatakan Ruler & Vercic (2004), disebabkan perbedaan cara pandang tentang apa itu publik dan tujuan. Di Amerika, istilah ‘public’ merujuk pada ‘publics’ sedangkan di Eropa, istilah ‘public’ merujuk pada ‘public sphere’. Perbedaan kedua terkait tujuan PR, yaitu bertujuan membangun relasi atau komunikasi. Saya berpendapat bahwa PR bertujuan komunikasi dan relasi karena mengacu pada Mulyana (2000) dan Ruler & Vercic (2004), sulit membedakan antara konsep relasi dan komunikasi, karena bersifat tumpang tindih.
Setelah melakukan riset di 30 negara Eropa, Ruler & Vercic (2004) menemukan bahwa Eropa lebih banyak menggunakan istilah manajemen komunikasi dan komunikasi korporat sedangkan istilah PR sering digunakan di Amerika dan secara internasional. Di dalam buku yang menurut Skerlep (2001) paling banyak dirujuk oleh para akademisi di seluruh dunia, Managing Public relations, Grunig & Hunt (1984) mendefinisikan PR sebagai “management of communication between organization and its publics.” (h. 6). Definisi ini juga paling sering digunakan dalam literatur-literatur PR (Radulescu, 2009). Dari riset selama 15 tahun, terhadap 327 organisasi di AS, Kanada, dan Inggris, Grunig bersama timnya menggunakan PR sama dengan istilah manajemen komunikasi dan memiliki fungsi yang sama: Public relations/communication management is broader than communication technique and broader than specialized public relations programs such as media relations or publicity. Public relations and communication management describe the overall planning, execution, and evaluation of a communication with both external and internal publics-groups that affect the ability of an organization to meet its goals. . . . We argue that their specialized role in the process of making those decisions is as communicators. (L. Grunig, 2002, h. 2). Definisi di atas selaras dengan definisi Elving, dkk (2012), manajemen komunikasi mencakup segala fungsi komunikasi dalam organisasi: Communication management is the systematic planning, implementing, monitoring, and revision of all the channels of communication within an organization; it also includes the organization and dissemination of new communication directives connected with an organization, network, or communications technology. Aspects of communication management include developing corporate communication strategies, designing internal and external communications directives, and managing the flow of information, including online communication. (h. 113-114). Penggunaan istilah manajemen komunikasi untuk PR adalah akibat pandangan bahwa PR adalah fungsi manajemen di bidang komunikasi yang tertulis dalam beberapa literatur lain, seperti Cutlip & Center (2006); Fawkes (2004); Gregory (2010); Heath (2005); Kriyantono (2015a); Lattimore, Baskin, Heiman, & Toth (2007); Seitel (2001); dan Smith (2002). PR pun saya sebut bidang yang memunculkan istilah corporate communication, yaitu fungsi PR untuk mengelola komunikasi yang bertujuan membangun reputasi. “Corporate communication theory is emerging from public relations as practiced by industry and commerce since 1979” (Oliver & Riley, 1996, h. 12), dan “In some countries communication management is labelled corporate communication” (Elving, dkk, 2012, h. 114). Beberapa literatur, seperti Murray (2002), memang tidak menganggap PR dan manajemen komunikasi sepenuhnya sama seperti definisi di atas, tetapi, tetap menganggap keduanya memiliki keterkaitan, setidaknya manajemen komunikasi menjadi bagian atau bahkan dapat digunakan menyebut PR. Lihat pernyataan Murray (2002) di bawah ini: Alternative terms such as communication management are often too narrow or imprecise. If, however, PR is conceived of as the management of communication between organisations and their publics, and communication management is used as a synonym for PR, then it is clear that management education does already cover most aspects of communication management, although again not explicitly. (h. 10). Tetapi, saya berpendapat bahwa pendekatan manajemen terhadap PR tidak seharusnya hanya diartikan dalam kontek keorganisasian. Artinya, PR atau manajemen komunikasi juga dapat diartikan dalam kontek individu. Saya menyampaikan beberapa pendapat dari berbagai literatur berikut ini.
Jefkins (1998) menyebut PR sebagai “a system of communication to create goodwill.” Sistem komunikasi dalam definisi ini memiliki cakupan keseluruhan elemen organisasi, termasuk individuindividu perorangan di dalamnya, seperti definisi PR dari Harrison (2009, h. 1) sebagai “deliberate, planned, and sustained effort to establish and maintain mutual understanding between an organization (or individual) and its (their) publics.” Karena itu, PR dapat dimaknai sebagai aktivitas manajemen komunikasi yang terjadi dalam dua pendekatan: sebagai metode komunikasi dan teknik komunikasi (Kriyantono, 2012 & 2014). Kedua pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan baik jika praktisi PR melaksanakan dua peran secara proporsional, yaitu peran manajerial dan teknisi komunikasi (baca Bivins, 2008; L. Grunig, dkk, 2002; Kriyantono, 2014; Lattimore, dkk, 2007). Sebagai metode komunikasi, aktivitas PR dilakukan secara metodis, yaitu terencana oleh struktur kelembagaan yang jelas seperti divisi PR. Sebagai teknik komunikasi, aktivitas PR dilakukan setiap individu, direncanakan atau tidak, sehingga melahirkan prinsip ‘everybody is a PR atau you are PR on yourself. Dalam kontek organisasi, metode dan teknik komunikasi ini tidak dapat dipisahkan karena saling memengaruhi. Komunikasi adalah bersifat kesatuan keseluruhan, yaitu perilaku individu dan organisasi saling terkait. Dari Argenti (1996), telah terjadi perdebatan di AS terkait posisi komunikasi korporat karena sejarah dan politik. Komunikasi korporat adalah kajian baru bagi bidang manajemen dan komunikasi bisnis, tapi, sudah muncul sejak abad 20 di jurusan komunikasi dan jurnalistik, di bawah kajian PR atau public affairs. Bisnis lebih tertarik pada komunikasi korporat baru pada 1970-an sedangkan komunikasi dan jurnalistik menganggap menjadi bagian mereka. Komunikasi korporat lahir dari jurnalistik, tetapi, dalam perkembangannya para praktisi komunikasi korporat menginginkan keluar dari kajian jurnalistik. Komunikasi korporat lahir dari jurnalistik adalah wajar karena sebagian besar pekerjaannya adalah terkait dengan media (Argenti, 1996), sebagian besar komunikasi PR adalah menulis untuk mendapatkan publisitas media (Kriyantono, 2012; Wu, 2005). Jurusan komunikasi menganggap bahwa komunikasi korporat tidak hanya terkait jurnalistik, tetapi juga PR. Meski mengakui PR lebih dulu mengadopsi komunikasi korporat (Argenti, 1996; 2006), Argenti sendiri lebih setuju menempatkan komunikasi korporat dalam kajian bisnis karena menganggap bagian manajemen komunikasi dan memiliki fungsi yang sama penting dengan marketing, manajemen sumber daya manusia, finance, dan produksi, dalam organisasi (Argenti, 1996). Di artikel ini, saya menempatkan komunikasi korporat sebagai hasil keseluruhan proses mengomunikasikan keseluruhan organisasi, di bawah koordinasi PR dalam suatu manajemen komunikasi, dengan beberapa alasan. Pertama, PR adalah fungsi manajemen di bidang komunikasi, yang tercermin pada fungsi PR, yaitu menjaga komunikasi yang baik antara organisasi dan publik; melayani kepentingan publik; dan menjaga perilaku dan moralitas organisasi; membangun pemahaman bersama; membangun citra korporat; membentuk goodwill dan kerja sama; membentuk opini publik yang favourable; manajemen isu dan monitoring lingkungan (Cutlip & Center, 2006; Fawkes, 2004; Gregory, 2010; Grunig & Hunt, 1984; Heath, 2005; Kriyantono, 2012 & 2015a; Lattimore, Baskin, Heiman, & Toth, 2007; Seitel, 2001; Smith, 2002). Ada inkonsistensi dalam tulisan Argenti (1996; 2006). Di satu sisi, dia memasukkan komunikasi korporat sebagai kajian bisnis, tapi, di sisi lain, dia mendeskripsikan bidang pekerjaan komunikasi korporat yang sebenarnya menunjukkan bahwa komunikasi korporat adalah ranah kajian PR, seperti corporate image and identity, corporate
advertising, media relations, financial communications, employee relations, community relations, CSR, government relations, dan crisis communications. Temuan Elving, dkk (2012) yang di Belanda dan AS, makin menunjukkan bahwa PR, manajemen komunikasi, dan komunikasi korporat adalah istilah dengan fungsi yang sama, yaitu membuat annual report, brand strategy, communication policy dan strategy, community relations, corporate identity, philanthropy (citizenship), crisis and emergency, employee relations, executive speeches, Internet site, Intranet site, issues management, media relations, PR, crisis communication, dan reputation management. Bishop (2006), setelah menyurvei 175 anggota asosiasi profesional dan perdagangan industri water supply AS, menemukan bahwa prinsip-prinsip komunikasi simetris (bagian dari empat model PR-nya Grunig & Hunt, 1984) menjadi dasar membuat prinsip komunikasi korporat yang efektif dan beberapa taktik yang digunakan praktisi adalah taktik-taktik PR, seperti news-release, newsletter, open-house, dan press conference. Temuan Bishop ini senada dengan pendapat Guru, Manjappa, Radhika, & Dileepkumar (2014) yang menyebut manajemen komunikasi sama dengan komunikasi korporat, yaitu menjaga relasi saling menguntungkan antara manajemen dan karyawan dan antara organisasi dan stakeholder melalui persuasif dua arah dialogis. Kedua, yang ini juga diakui Argenti (1996), tidak semua permasalahan marketing atau bisnis yang dapat diselesaikan dengan pendekatan marketing atau bisnis karena terkait kredibilitas perusahaan dan produknya (Riese & Riese, 2004; Kriyantono, 2012). Stacks juga mengatakan: “Public relations is management of credibility” (2002, h. 16). Situasi ini menstimuli lahirnya konsep marketing PR, yaitu menjual produk melalui komunikasi yang kredibel yang menyampaikan informasi dan menciptakan impresi positif (Harris, 1991); Pentingnya kredibilitas ini tampak dari riset Regester & Larkin (2008) bahwa sebagian besar populasi memerhatikan dengan saksama reputasi dan track record -sosial, etis, lingkungan- perusahaan sebelum membeli produk. Dalam memasarkan produk, dikenal adanya “blocking stakeholder”, yaitu kelompok yang menghalangi penetrasi produk ke pasar (Kriyantono, 2012, h. 58). Untuk mengatasinya, mengacu pada Radulescu (2009), perlu dialog dengan cara menyamakan persepsi (common language) melalui komunikasi dua arah simetris sehingga dapat memersuasi untuk mengubah opini dan perilaku tanpa niat memanipulasi. Inilah yang disebut Radulescu (2009) sebagai manajemen komunikasi. Dari beberapa definisi tentang manajemen komunikasi dan PR di atas, proses memanajemen komunikasi mestinya mengintegrasikan semua elemen organisasi. Pertanyaannya, siapa yang bertugas melakukannya? Ada beberapa literatur yang dapat dijadikan dasar menjawabnya. Riel (2001, dikutip di Raupp & Ruler, 2009) membuat payung besar dengan nama komunikasi korporat, yang didefinisikan sebagai fungsi manajemen yang mengoordinasikan semua elemen dalam organisasi. Payung besar ini dibagi menjadi tiga: marketing communication/advertising, external communication/public relations, dan internal communication. Saya setuju dengan Riel bahwa berbagai aktivitas komunikasi dalam tiga elemen tersebut tercakup dalam bentuk komunikasi korporat. Saya menolak ide Riel terkait (a) penempatan public relations sebagai nama lain komunikasi eksternal. Riel menganggap publik adalah entitas yang hanya berada di luar organisasi dan tidak terkait dengan publik internal organisasi. Padahal, publik mencakup eksternal dan internal; (b) Fungsi public relations mestinya hadir dalam setiap fungsi komunikasi di organisasi. PR seharusnya menjadi supervise strategi komunikasi pemasaran dari divisi marketing agar segala pesan-pesan marketing tidak berdampak negatif bagi
keseluruhan citra korporat; (c) marketing communication tidak hanya periklanan, tetapi, memiliki banyak bauran lainnya. Periklanan pun bukan hanya alat marketing, tapi juga alat PR untuk memperkuat publisitas dan strategi hubungan media. Dikenal dengan nama iklan PR (iklan korporat, iklan institusi, iklan layanan masyarakat) (Kasali, 1993; Kriyantono, 2012; Seitel, 2001). Konsep marketing PR (Harris, 1991), yang membuat pembagian antara marketing public relations (MPR) yang dikoordinasi oleh marketing, dan corporate public relations (CPR), dipimpin manajer PR, dapat digunakan memperkuat pendapat saya. Tapi, mengacu pada Oliver (1996), penggunaan komunikasi korporat ini besar risiko terjadinya “semantic confusion” karena orang cenderung menggunakan istilah itu hanya untuk perusahaan besar. PR dan marketing adalah dua fungsi manajerial yang berbeda (Cutlip, dkk, 2006; Khodarahmi, 2009; Kriyantono, 2012; Oliver & Riley, 1996; Seitel, 2001), marketing adalah hard-selling dengan menjual produk dan PR adalah soft-selling dengan menjual citra (Kasali, 1993; Kriyantono, 2012), tetapi, keduanya harus terintegrasi untuk mencapai tujuan organisasi. Pendapat ini selaras dengan tipologi skenario komunikasi dari Kitchen & Schultz (2003, h. 66), yaitu: “integrated communication is related primarily at the corporate brand level and integrated marketing communication that takes place primarily at the level of individual brand.” Menurut saya, individual brand ini antara lain merk produk sedangkan corporate brand mengacu pada image organisasi keseluruhan. Ketiga, PR berlaku sebagai metode dan teknik yang mencakup segala kontek komunikasi, individu dan organisasi, dan bermacam stakeholder. Artinya, tidak dibatasi oleh satu fungsi saja, seperti keuangan, HRD, atau menjual produk. Hal ini karena sifat komunikasi yang omnipresent atau ubiquity, yaitu ada di mana-mana dan kapan saja, dan the blood of organization, yang mengalirkan nutrisi (informasi) ke semua elemen tubuh (organisasi) agar dapat berkoordinasi dan bekerja sama. Karena itu, muncul istilah korporasi, dari Bahasa latin ‘corpus’ (tubuh) (Kriyantono, 2012). Beberapa literatur membuktikan hal ini. “Public relations is about reputation: the result of what you do, what you say, and what other say about you… about presenting yourself, your company, and your product in favourable light to your various publics…at little or no cost” (Oliver & Riley, 1996, h. 13); “…influence the behaviour of anyone that has or could have an effect positive or negative - on the organization's ultimate performance...employees, suppliers, customers, shareholders, labor unions, voters, government regulators, special interest groups and many more. …through strategic communication (Hagley, 1999, h. 34). Karena itu, “Public relations is at the core of organizational development.” (Phillip, 2006, 211-227) dan “communication is the vital centre of any organization’s management.” (Radulescu, 2009, h. 215). Temuan Raupp & Ruler (2006) bahwa terdapat peningkatan yang besar untuk mengintegrasikan semua bentuk komunikasi ke dalam satu kepala, yaitu manajemen komunikasi, makin memperteguh manajemen komunikasi adalah fungsi Public relations. Praktik Public relations sebagai Cikal Bakal Kajian Teoritis Public relations berkembang dari kegiatan praktik dan interaksi sosial menjadi kajian teoritis (Kriyantono, 2014; Lattimore, dkk, 2007; Seitel, 2001). Praktik PR adalah dasar kajian teoritis, bahkan kajian ilmiah (science) hanya bermanfaat jika dapat diterapkan dalam praktik (van Ruler & Vercic, 2004). Karena itu, PR disebut ilmu sosial dan perilaku terapan (Culbertson, 1993; Grunig & Hunt, 1984). Prinsip-prinsip PR muncul sejak adanya manusia di bumi ini sebagai upaya memenuhi
kebutuhan hidup melalui interaksi dengan sesamanya, seperti membangun relasi untuk reproduksi, persuasi untuk barter, dan kerja sama untuk bertahan hidup (Kriyantono, 2014). Dapat disimpulkan bahwa semua aktivitas tersebut terkait dengan komunikasi, dan komunikasi selalu dilakukan setiap individu atau “we cannot not communication” (Rogers, 1997, h. 99), dan mengacu pendapat Horsley (2009), aktivitas PR disebut “ubiquitous nature” (h. 100), yaitu sebenarnya selalu dilakukan manusia sehingga seakan-akan individu tidak dapat menghindarinya. “Prinsip-prinsip public relations telah diketahui, dipelajari, dan dipraktikkan sejak berabad-abad lamanya.” (Leahigh, 1993, h. 24). Public relations sama tuanya dengan peradaban, karena semua aktivitasnya adalah upaya untuk memersuasi. Banyak taktik persuasi yang digunakan sekarang telah digunakan oleh pemimpin masyarakat selama ribuan tahun (Newsom, Scott & Turk, 1993). Persuasi ini selaras dengan pendapat Hagley (1999, h. 34): “in Public relations we influence behaviour.” Kondisi ini senada dengan tulisan L’Etang (2004) yang menyebut perkembangan PR sebagai aktivitas sama tua seperti jurnalistik yaitu sejak era Yunani dan Romawi sehingga berisi kajian retorika, persuasi dan sophistry (ketidakjujuran menggunakan argumen yang seakan-akan ilmiah). Walaupun PR berkembang bersamaan dengan aktivitas manusia, tetapi, sebagai sebuah profesi, PR termasuk baru (Grunig & Hunt, 1984; Horsley, 2009; Ihlen & van Ruler, 2009; Leahigh, 1993; Skerlep, 2001). PR semakin berkembang ketika dunia industri mengalami perkembangan setelah revolusi industri di Eropa dan menjalar ke bagian dunia lain, seperti AS dan Asia (Kriyantono, 2014; Lattimore, Baskin, Heiman, & Toth, 2007; Seitel, 2001). Perkembangan dunia industri pun bersinggungan dengan berbagai aspek sosial kehidupan, seperti hubungan pengusaha dan karyawan dan hubungan antarnegara terkait bahan mentah. Hal ini membuat praktik PR makin meluas dan terkait dengan berbagai bidang, seperti bisnis, ilmu politik, psikologi, komunikasi massa, antropologi, sosiologi, pemasaran maupun pemerintahan (Kriyantono, 2014). Kondisi inilah yang pada akhirnya, ketika kajian teoritis terhadap PR mulai berkembang, bidang-bidang tersebut banyak memengaruhi Ilmu Public relations. Beberapa literatur, seperti Botan & Hazleton (1989), Greenwood (2010), Grunig & Hunt (1984), Hallahan (1999), Ihlen & van Ruler (2009), dan Sisco, Collin, & Zoch (2011) menyebut PR sebagai ilmu sosial yang bersifat multi-disiplin ilmu. Riset Raupp & Ruler (2006) membuktikan hal ini, yaitu tesis yang mengaji PR di Belanda dan Jerman bukan hanya berasal dari bidang komunikasi, tapi juga ekonomi/manajemen, politik, dan lingustik. Kemudian PR berkembang dalam kontek organisasi katika Ivy Leedbetter mengenalkan prinsip pemberian informasi “tell the truth” untuk mengatasi krisis yang menimpa perusahaan kereta api di Pensylvania, AS di awal abad 20. Prinsip ini dapat dilakukan karena, mengacu tulisan Cutlip (1994), Lee adalah praktisi pertama yang diposisikan di level manajemen. Saat itu Lee fokus pada kebijakan manajemen, yaitu “good policy makes good Public relations” yang mendefinisikan PR sebagai aktivitas yang terlibat dalam pengekspresian ide atau kebijakan institusi (Lamme & Russell, 2010). Pengekspresian ini mengandung arti bahwa publik harus diberitahu, yang menjadi dasar bagi Grunig & Hunt memunculkan Model Public Information. Gagasan Lee ini dianggap awal PR modern (Grunig & Hunt, 1984), dan Lee sendiri disebut “the father of Public relations” (Newsom, dkk, 1993, h.43). Amerika Serikat dianggap sebagai tempat berkembangnya PR sebagai profesi dan kajian akademis (Grunig & Hunt, 1984; Heath, 2005; Horsley, 2009; L’Etang, 2008; Wehmeier, 2011), bersamaan dengan penggunaan opini publik (Podnar & Golob, 2009). Tetapi, beberapa tulisan juga menyebut
bahwa Eropa juga memberikan sumbangsih besar (L’Etang, 2004; Wehmeier, 2011), akibat perkembangan industri yang memang dimulai di Eropa. Fase perkembangan lainnya, disampaikan Edward Bernays sebagai salah satu pioner kajian PR di awal abad 20. Bernays berangkat dari disiplin psikologi (Lattimore, dkk, 2007). Dari Culbertson, dkk, (1993); Grunig & Hunt (1984); dan Lamme & Russell (2010), dapat dideskripsikan pemikiran Bernays yang terkenal, yaitu konsep Public relations Counsel. Konsep ini mengembangkan praktik PR sebagai aktivitas membantu manajemen menginterpretasi publik dan membantu publik menginterpretasi manajemen untuk merespon banyaknya propaganda yang cenderung negatif dan manipulasi. Bernays meletakkan dasar bagi praktik komunikasi yang profesional. Sebelumnya, PR yang dikenal sekarang lebih bersifat press-agentry dan publisitas langsung. Pada akhirnya, Bernays mengenalkan konsep “new propaganda”, yaitu manipulasi yang seimbang dengan memperhatikan persetujuan publik dan berdasarkan riset serta mengedepankan aspek etis melalui interpretasi dua arah. Grunig & Hunt (1984) mengenalkan empat model PR yang menunjukkan empat fase praktik PR: press-agentry, public information, two-way asymmetric, dan two-way symmetric. Pada awalnya aktivitas PR hanya sebatas sebagai agen penyedia informasi bagi media (press-agentry). Kemudian, berkembang menjadi penyedia informasi bagi publik (public information). Terakhir, aktivitas PR mulai fokus membuka saluran komunikasi dua arah, baik yang bersifat seimbang maupun yang masih asimetris. Dari penelitian Sriramesh & Vercic (2003) tentang perkembangan PR di lima benua, ditemukan bahwa pertumbuhan praktik PR semakin meningkat seiring berkembangnya demokratisasi dan teknologi pada abab ke-20. Demokrasi menstimuli aktivitas komunikasi dengan publik yang akhirnya sangat memerlukan praktisi PR untuk menghandle-nya. Sementara itu, teknologi membuat negaranegara berkembang bukan hanya sebagai konsumen tapi juga menjadi kekuatan industri sehingga melakukan aktivitas perdagangan dan komunikasi secara global. Dari Horsley (2009), istilah PR muncul pada 1913 di Electric Railway Journal saat berdiskusi tentang publisitas dan opini publik dan profesi PR berkembang dewasa saat munculnya organisasi profesi Public relations Society of America pada 1940. Pendewasaan terjadi hingga 1979 ketika PR dimasukkan menjadi bagian fungsi manajemen prinsip dan PR sudah digunakan untuk level internasional (Newsom, dkk, 1993). Perkembangan Ilmu dan Perspektif Public relations Karena baru, masih sedikit teori-teori yang berasal dari penelitian-penelitian dan PR pun dianggap “lack of theory” (Greenwood, 2010) atau “theoretical lateness” (Johansson, 2007). Hal senada diungkapkan Botan & Hazleton (1989), bahwa sedikit sekali penelitian PR yang didasarkan pada teori dan mengaitkan antara aspek praktis dengan pengembangan teori. Pavlik (1987, dikutip di Pfau & Wan, 2006, h. 111) mengatakan “almost all research on public relations is limited to descripstion.” Artinya, peneliti banyak yang tidak menggunakan dasar teoritis untuk mendeskripsikan data yang temukan. Kondisi ini seharusnya menjadi refleksi akademisi. Jika kembali kepada defini PR, tampak nyata bahwa kajian teoritis tidak terpisah dengan aktivitas praktis karena PR adalah proses membangun dan mempertahankan relasi. Aktivitas ini terkait dengan berbagai kajian ilmu komunikasi, dan komunikasi sendiri bukan ruang hampa karena terjadi dalam konteks-konteks sosial, psikologi, budaya, ekonomi atau politik (lintas disiplin ilmu).
Karena itu, seperti yang disarankan Botan & Hazleton (1989) bahwa PR harus difokuskan pada komunikasi karena bagian dari proses komunikasi, dengan mengatakan “kajian Public relations adalah contoh komunikasi terapan. Kita seharusnya bisa mengaplikasikan teori komunikasi untuk menjelaskan dan memprediksikan praktik PR, dan menggunakan praktik PR sebagai alat membangun teori-teori komunikasi.” (h.xiii). Ada relasi saling pengaruh antara teori dan praktik, seperti pernyataan Grunig saat menyebut teori dapat digunakan para praktisi untuk merencanakan program dan menggunakan kesuksesan atau kegagalan program untuk merevisi teori (Culbertson, Jeffers, Stone, & Terrell, 1993). Teori berfungsi membantu praktisi untuk mendeskripsikan, memahami, memprediksi dan mengontrol fenomena (Botan & Hazleton, 1989). Meski baru dan kekurangan kajian teoritis, tampak kondisi yang menggembirakan dalam 25 tahun terakhir, bahwa aspek teoritis PR sudah mulai berkembang menjadi kajian yang kuat untuk mengejar ketertinggalan dari aspek praktis (Ihlen & van Ruler, 2009; Botan & Hazleton, 2009; Sriramesh & Vercic, 2003). Kebutuhan pengembangan teoritis ini, menurut Johansson (2007) dan Wehmeier (2009), bukan hanya dari kalangan akademisi tetapi juga berasal dari keinginan para praktisi. Pendapat ini diperkuat temuan Sisco, dkk, (2011) bahwa kebutuhan agar PR berkembang menjadi ilmu teoritis –bukan hanya sebuah profesi- sudah dimulai sejak pertengahan 1970-an. Saat itu, artikel-artikel yang muncul di edisi pertama jurnal terkenal, Public relations Review (1975), sudah berisi penelitian dan temuan-temuan, bukan sekedar artikel tentang profesi. Kriyantono (2015a, h. 53) mengatakan “sebagai bidang ilmu... Public relations telah berkembang pada sekitar dekade 1970-an. ... penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat memberikan kontribusi pengonsepsian teori-teori baru, baik yang merupakan perluasan teori-teori lama dari berbagai disiplin ilmu lainnya maupun teori-teori baru hasil penelitian grounded.” Mengacu pada tulisan Thomas Kuhn (1977) tentang paradigm perkembangan ilmu, PR dapat dikategorikan sebagai ilmu mapan karena sudah memiliki paradigma keilmuan atau seperangkat paradigma yang berkaitan erat atau unifikasi teori-teori. Paradigma menurut Kuhn adalah seperangkat asumsi, teori, metode, dan contoh ideal tentang solusi memcahkan masalah penelitian yang menghasilkan unifikasi cara pandang tertentu. Berdasarkan pemikiran Kuhn (1977), dapat disampaikan bahwa PR merupakan sebuah ilmu yang memiliki paradigma. Dua proposisi dasar PR: (1) Public relations sebagai fungsi manajemen; (2) Public relations bertanggung jawab mengelola relasi antara organisasi dan publik, dikategorikan Everett sebagai “paradigma ekologi” karena dua proposisi tersebut mensyaratkan adanya penyesuaian, seleksi, dan adaptasi (1993, h. 177). Penyesuaian, seleksi, dan adaptasi adalah konsep yang terkait dengan disiplin ekologi yang menurut saya terdapat dua cara pandang bagaimana proses tersebut terjadi: (a) organisasi sebagai pusat aktivitas yang mempengaruhi perilaku publik (objektif/fungsional) dan (b) organisasi dan publik dianggap memiliki kemampuan mengonstruksi makna demi keuntungan bersama (konstruktivis). Jika kembali ke belakang, ‘paradigma ekologi’ ini terkait dengan pemikiran Charles Darwin, Teori Evolusi. Darwin berkeyakinan bahwa telah terjadi seleksi alam, dan spesies dapat bertahan hidup karena kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya. Kompleksitas kehidupan adalah hasil evolusi dari individu atau organisasi melalui proses seleksi alam dan adaptasi untuk dapat bertahan dan bereproduksi (Rogers, 1997; Kriyantono, 2014). Cutlip (1952, dikutip di Everett, 1993 dan Greenwood,
2010) sudah menggunakan konsep ekologi saat mendefinisikan PR sebagai interdependence (adjust & adapt) antara organisasi dengan lingkungannya. Teori Evolusi ini juga menjadi akar Teori Social Evolutionary/Social Darwinisme dari Herbert Spencer (Sosiologi), Model Evolusi Kultural dari Henry Morgan dan Edward Tylor (Antropologi), Teori Relativitas Kultural dari Franz Boas (Antropologi), Teori Nonverbal-Komunikasi Antarbudaya dari Edward T. Hall (Komunikasi) (Baca Rogers, 1997; Gudykunst & Mody, 2002), Teori Ekologi Media/Teori Niche dari Levins (baca Kriyantono, 2002). Greenwood (2010) menyebut Teori Evolusi sebagai metateori bagi pengonseptualisasi PR dan menjadi akar teori PR, yaitu Teori Sistem, Teori Complexity, dan Teori Symmetrical/Excellence. Paradigma objektif telah mendominasi kajian PR (Gower, 2006; Kriyantono, 2015a; 2015b; Pasadeos, Berger & Renfro, 2010; Skerlep, 2001; Trujillo & Toth, 1987). Excellent theory in public relations adalah teori yang mendominasi kajian dan penelitian humas (Gower, 2006; Pasadeos, Berger, & Renfro, 2010; Sallot, Lyon, Acosta-Alzura, & Jones, 2003; Skerlep, 2001) sehingga dinilai sebagai teori normatif, yaitu sebagai ukuran standar humas yang efektif (Bowen, Rawlins, & Martin, 2010; Cameron, Cropp, & Reber, 2001; Fawkes, 2004; Harrison, 2009; Kent & Taylor, 2007). Kemudian diikuti munculnya teori-teori lain yang banyak mendasari penelitian PR pada 2000-2005, yaitu: Teori Relationship Management, Teori Image Restoration, Contingency Theory of Accommodation, Manajemen Isu & Krisis, Information Subsidies-Agenda Building, dan Postmodern (Pasadeos, Berger, & Renfro, 2010) Kecuali, Postmodern, semua teori di atas berangkat dari paradigma objektif. Artinya, paradigma kritis sudah mulai diadaptasi dalam penelitian PR, yaitu mengkritisi dominasi Teori Excellence pada penelitian PR antara 1970an-1990an, karena dianggap tidak memasukkan aspek kuasa-kontrol (powercontrol) dalam fenomena PR (Kriyantono, 2015a & Wehmeier, 2009). Botan & Hazleton, 2006; Gower, 2006; Greenwood, 2010; Holtzhausen & Voto, 2002; Kriyantono, 2014; Kriyantono 2015a; Pasadeos, dkk, 2010;Trujilo & Toth, 1987 menyebut telah terjadi pertempuran paradigma antara paradigma dominan yang diwakili oleh Symmetric/Excellence Theory dan paradigma kritis. Perlunya paradigma lain untuk memperkaya kajian PR juga disampaikan oleh Heath & Toth (1992); Kriyantono (2015a); Skerlep (2001). Skerlep menggagas penerapan Retorika agar praktik PR tidak hanya didominasi paradigma objektif yang telah membuat perhatian pada Retorika menipis. Fungsi PR adalah mengatur wacana organisasi yang memang rentan memunculkan polemik dan konflik dan wacana tersebut adalah bentuk retorika sehingga kajian-kajian discourse, teks, speech act, argumentatif, semiotik, linguistik, dan retorika sangat diperlukan (Kriyantono, 2015a & 2015b). Bermacam paradigma juga sebagai tanda kedewasaan Ilmu PR karena, menurut Ihlen & van Ruler (2009), syarat kedewasaan ilmu adalah jika ilmu itu berisi keberagaman dan perbandingan school of thought dan beragam landasan teoritisi. Selain paradigma di atas, telah digagas juga beberapa paradigma lain, yaitu co-creational (konstruktivis), dan kritis. Paradigma co-creational, menurut Botan & Hazleton (2006), adalah paradigma yang memandang publik sebagai co-creator dari proses pemaknaan, interpretasi, dan perumusan tujuan-tujuan. Teori-teori, seperti relationship management, co-orientation, accommodation, dan dialogic adalah bagian paradigma ini. Paradigma kritis menganggap organisasi sebagai arena pertarungan ideologi dan ekonomi, seperti kuasa (power), pengaruh, dan kontrol. Publik adalah koalisi-koalisi dan konstituen-konstituen
yang mempunyai kebutuhan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda-beda. Pendekatan ini, kemudian, fokus pada aspek-aspek politis dari organisasi dan mengaji bagaimana organisasi menggunakan komunikasi untuk tawar-menawar serta bernegosiasi dengan beragam koalisi dan konstituen tersebut (L’Etang, 2005; Mickey, 2003; Motion & Weaver, 2005; Toth, 2002). Dari deskripsi paradigma di atas dan dengan mengacu pada Trujio & Toth (1987), maka kajian PR dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: Public relations Fungsionalis (Objektif): Elemen atau instrumen organisasi –hirarki, teknologi, regulasi- dianggap sebagai realitas objektif yang dapat memengaruhi publik; Public relations Interpretif (Subjektif): Aktivitas public relations dan organisasi dianggap hasil pemaknaan yang diciptakan dan diinteraksikan oleh publik, internal maupun eksternal; Public relations Kritis: Organisasi dianggap sebagai arena pertarungan ideologi dan ekonomi, seperti kuasa (power), pengaruh, dan kontrol. Teori-Teori Khas dan Pinjaman Munculnya paradigma –ekologi, excellence, kritis, retorika- hingga unifikasi teori seperti disebutkan di atas, terkait dengan pendapat Botan & Hazleton (2006, h. 6): “ Selama 20 tahun terakhir, ‘a leading body of work’ telah muncul terkait Teori Simmetris atau Excellence, untuk membangun teori dan kajian PR dibanding bidang kajian lainnya”, dan Leeper (dikutip di Greenwood, 2010, h. 456): “For some time, the field of Public relations has been in search of a unifying theory.” Model simetris/excellence telah menjadi pioner perkembangan kajian PR sebagai upaya membuat unifikasi teori yang sampai kini masih terjadi. Grunig (1989, h. 17) mengatakan: “Ilmuwan Public relations banyak meminjam teori-teori dari Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya.” Greenwood (2010, h. 458) menyebut: “Like other emerging academic fields,... Public relations has borrowed or adapted many of its theories from other disciplines.” Sebagai ilmu baru, wajar jika PR meminjam atau mengadaptasi teori dari disiplin lain guna mengembangkan teorinya sendiri, meskipun, menurut Mulyana (2001), teori baru ini menampakkan beberapa bagian keorisinalitasannya. Pengembangan teori-teori baru –bukan hanya meminjam- harus dilakukan, karena PR “tidak akan berkembang jika tidak membangun teori orisinal dari konsep-konsep yang dipinjam.” (Grunig, 1989, h. 17). Setelah meneliti 325 artikel di tujuh jurnal internasional di bidang PR edisi tahun 2001-2005, Sisco, dkk (2011) menemukan 22% artikel mengupas teori-teori PR. Dari jumlah itu, 54% adalah teori-teori yang berasal dari Ilmu Komunikasi dan 46% berasal dari ilmu lain, terutama Ilmu Sosial dan Bisnis. Berbagai paradigma keilmuan sangat diperlukan untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif proses dan aktivitas PR (Kriyantono, 2014). Ihren & Ruler pun menyebut: “praktik PR perlu dipahami dalam keterkaitan antara konteks-konteks sosial (makro), organisasi (meso), dan individual (mikro)” (2009, h. 1). Bukti lain perkembangan PR menjadi kajian teoritis (keilmuan) tampak dari hasil penelitian yang dilakukan Sallot, Lyon, Acosta-Alzura & Jones (2003). Mereka menemukan bahwa artikel-artikel tentang PR di jurnal internasional bukan hanya bertemakan ‘praktis atau aplikasi’ tapi juga ‘introspectively’ (tema-tema fungsi PR dan pendidikan bagi praktisi di masa depan) dan ‘theory development’. Sallot, dkk (2003) juga menemukan peningkatan dua kali lipat jumlah artikel ‘theory development’ di edisi 2001-2003 dibanding 1984-2000. Namun, artikel-artikel tentang kajian teoritis PR masih kalah banyak dibanding artikel-artikel bertemakan aspek aplikatif atau praktis-profesi (Ardianto, 2004; Kriyantono, 2014). Tulisan L’Etang
(2004) tentang sejarah perkembangan PR di Inggris makin memperteguh situasi ini, yaitu artikel tentang PR kebanyakan dari praktisi, bukan akademisi Hal ini diperkuat hasil analisis isi yang dilakukan Sisco, dkk (2011) yang telah disebutkan sebelum ini, yaitu hanya 22% artikel mengupas teoriteori PR. Temuan ini sedikit meningkat dari penelitian Sallot, dkk (2003) di atas yang menemukan bahwa artikel bertema ‘theory development’ hanya sebesar 19.8%. Jadi, meskipun kajian teoritis PR mengalami peningkatan (Sallot, dkk, 2003 & Sisco, dkk, 2011), harus diakui jika masih sedikit teori baru yang khas PR (Greenwood, 2010; Wehmeier, 2009). Saya mendefinisikan teori khas atau orisinal sebagai hasil kajian teoritis PR, baik yang merupakan perluasan teori-teori lama yang “dipinjam” dari berbagai disiplin ilmu lainnya maupun teori-teori baru hasil penelitian grounded. Beberapa teori PR yang dapat dikategorikan sebagai teori yang khas PR, seperti Two-Way Symmetric, Situational Crisis Communication, Encroachment, Agenda Building Information Subsidies, Relationship Management, dan Situational Theory of the Public (Kriyantono, 2014). Teori-teori baru ini diharapkan dapat juga menjadi rujukan teori lainnya. Ilmuwan perlu didorong untuk tidak hanya mengadopsi dan menggunakan secara langsung beberapa teori “pinjaman’, tetapi, lebih menjadikannya pijakan awal untuk meneliti fenomena PR sehingga menghasilkan teori baru. Selain itu, kemajuan teknologi dan demokrasi membuat kebutuhan terhadap pengembangan kajian PR makin meningkat. Teknologi dan demokrasi menstimulasi kebutuhan interaksi dan relasi semakin pesat serta munculnya kesadaran terhadap hak-hak individu, emansipasi, dan kesederajatan, yang semuanya semakin membuka munculnya konflik antara organisasi dan publik (Kriyantono, 2014). Karenanya, menurut Larissa Grunig (2000), ada beberapa tema penelitian yang penting dilakukan di era abad 21 ini adalah tentang tiga hal: globalisasi, feminization, dan teknologi baru. Masih kurangnya pengembangan teori yang khas PR ini pernah disampaikan oleh Broom (2006, dikutip di Sisco, dkk, 2011): “Kami secara tradisional mengutip publikasi-publikasi dari komunikasi, jurnalistik, pemasaran, dan ilmu sosial lainnya, tetapi, tidak menemukan publikasi kami dikutip akademisi bidang lain.” Sedikitnya pengembangan teori-teori baru yang khas PR ini pernah membuat perdebatan di antara akademisi tentang status PR sebagai sebuah ilmu. Dari penelitian yang dilakukannya selama 1999-2000, van Ruler (2004, dikutip di Wehmeier, 2009, h. 266) menemukan “Di Eropa, Public relations tidak diterima sebagai disiplin akademik tersendiri.” Kebutuhan akan pengembangan teori-teori baru ini diharapkan selaras dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah Public relations akibat meningkatnya kebutuhan tenaga PR profesional. Simpulan Istilah public relations lebih tepat ditempatkan sebagai payung besar komunikasi keorganisasian, yang mengandung dua aspek (i) manajemen komunikasi, untuk (ii) membangun relasi (relationship management), melalui proses komunikasi persuasi simetris untuk memengaruhi opini dan perilaku stakeholder, dan hasil pengintegrasian dua aspek itu termuat dalam sebuah sistem komunikasi korporat/strategic communication, yang pada akhirnya membangun reputasi/kredibilitas. Public relations bukan hanya aktivitas praktis, tetapi juga kajian teoritis keilmuan. Public relations adalah “an applied social and behavioral scientist”, yaitu dengan mengenalkan konsep
“investigative continuum.” Konsep ini bermakna bahwa aktivitas Public relations mesti bergerak dari hasil intuisi ke aktivitas yang berdasarkan penelitian ilmiah. Daftar Pustaka: Ardianto, E. (2004). Teori dan metodologi riset public relation (Public relations theory and research methodology), Journal of Mediator, 5(2), 231-241. Argenti, P. A. (2006). How technology has influenced the field of corporate communication. Journal of Business and Technical Communication, 20(3), 357-371. Argenti, P. A. (1996). Corporate communication as a discipline: Toward a definition. Management Communication Quarterly, 10(1), 73-97. Bivins, T. H. (2008). Public relations writing: The essentials of style and format. New York: McGraw Hill. Bhisop, B. (2006). Theory and practice converge: a proposed set of corporate communication principles. Corporate Communication: An International Journal, 11(3), 214-231. Botan, C. H., & Hazleton, V. (1989). The role of theory in public relations. In C. H. Botan & V. Hazleton (Eds.), Public relations theory. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Botan, C. H., & Hazleton, V. (2009). Public relations in a new age. In C. H. Botan & V. Hazleton (Eds.), Public relations theory II. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Bowen, S. A., Rawlins, B., & Martin, T. (2010). Best practice for excellence in public relations from overview of the public relations function. Harvard: Harvard Business Publishing. Cameron, G.T., Cropp, F., & Reber, B.H. (2001). Getting past platitudes: Factors limiting accomodation in public relations. Journal of Communication Management, 5 (3), 242-261. Culbertson, H. M., Jeffers, D. W., Stone, D. B., & Terrell, M. (1993). Social, political, and economic contexts in public relations: Theory and cases. New York: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Cutlip, S. M., Center, A. H., & Broom, G. M. (2006). Effective public relations (T. Wibowo, Trans.). Jakarta: Prenada Media. Elving, W., Ruler, B. v., Goodman, M., Genest, C. (2012). Communication management in The Netherlands Trends, developments, and benchmark with US study. Journal of Communication Management, 16(2), 112-130. Everett, J. L. (2009). The ecological paradigm in public relations theory and practice. Public relations Review, 19(2), 177-185. Fawkes, J. (2004). What is public relations. In Allison Theaker (Eds.). The public relations handbook (2nd ed.). New York: Routledge. Gower, K. K. (2006). Public relations research at the crossroads. Journal of Public Relations Research, 18(2), 177-190. Greenwood, C. A. (2010). Evolutionary theory: The missing link for conseptualizing Public relations. Journal of Publis Relations Research, 22(4), 456-476. Gregory, A. (2010). Planning and Managing Public relations Campaigns. (3rd Eds.).London: Kogan Page. Grunig, J.E. (1989). Symmetrical presuppositions as a framework for public relations theory. In C.H. Botan & V. Hazleton (Eds.), Public relations theory. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Grunig, J. E., & Dozier, D. M. (Eds.). (1995). Manager’s guide in excellent public relations & communication. New Jersey: Lawrence Erlbaum Asociates. Grunig, J. E., Grunig, L. A., & Dozier, D. M. (Eds.). (1992). Excellence in public relations and communication management. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Grunig, J. E., & Hunt, T. (1984). Managing Public relations. New York: Rinehart & Winston, Inc. Grunig, L. A., Grunig, J. E., & Dozier, D. M. (Eds.). (2002). Excellent public relations and effective organization. New Jersey: Lawrence Erlbaum. Gudykunst, W. B., & Lee, C. M. (2002). Cross-cultural communication theories. In W. B. G. B. Mody (Ed.), Handbook of international and intercultural communication (2 ed.). California: Sage Publications. Guru, B.P.M.C., Manjappa, S.V., Radhika, C.A., & Dileepkumar, M. (2014). Corporate advertising and communication management in India: An empirical study. Pezzottaite Journals, 3(3), 1138-1146. Hagley, T. R. Defining public relations in two words. Public relations Tactics 6(9), 34-35. Hallahan, K. (1999). Seven model of framing: Implications for public relations. Journal of Public relations Research, 11 (3), 205-242. Harrison, K. (2009). Strategic public relations: A practical guide to success (5 ed.). Perth: Century Consulting Group.
Heath, R. L. (2005). Encyclopedia of public relations. California: Sage Publications, Inc. Horsley, J. S. (2009). Women’s contributions to American Public relations, 1940-1970. Journal of Communication Management, 13(2), 100-115. Holtzhausen, D. R., & Voto, R. (2002). Resistance from the margins: The postmodern public relations practitioner as activist. Journal of Public Relations Research, 14(1), 57-84. Ihlen, Ø., & Ruler, B. v. (2009). Introduction: Applying social theory to Public relations. In O. Ihlen, B. v. Ruler & M. Frederiksson (Eds.), Public relations and social theory: Key figures and concepts. New York: Routledge Taylor Francis Group. Johansson, C. (2007). Goffman’s sociology: An inspiring resource for developing Public relations theory. Public relations Review, 33, 275-280. Kasali. R. (1993). Manajemen public relations. Jakarta: Grafiti. Kent, M. L., & Taylor, M. (2002). Toward a dialogic theory of public relations. Public Relations Review, 28, 21-37. Khodarahmi, E. (2009). Strategic public relations. Disaster Prevetion and Management, 18(5), 529534. Kitchen, P. J., & Schultz, D. E. (2003). Integrated corporate and product brand communication (1). Advance in Competitiveness Research, 11(1), 66-87. Kriyantono, R. (2015a). Public relations, issue & crisis management: Pendekatan critical public relations, etnografi kritis, & kualitatif. Jakarta: Prenada Media. Kriyantono, R. (2015b). Contemporary rhetoric deconstruct rhetorical approach in public relations research development. International Journal of Development Research, 5(6), 4819-4825. Kriyantono, R. (2014). Teori public relations perspektif barat dan lokal: Aplikasi penelitian & praktik. Jakarta: Prenada Media. Kriyantono, R. (2012). Public relations writing: Teknik produksi media public relations dan publisitas media (2 ed.). Jakarta: Prenada Media. Lamme, M.O., & Russell, K.M. (2010). Removing the spin: Toward a new theory of public relations history, Journalism and Communication Monographs, 11(4). Lattimore, D., Baskin, O., Heiman, S., & Toth, E. L. (2007). Public relations: The profession and the practice. New York: McGraw-Hill. Leahigh, A. K. (1993). The history of-Quote, unquote-Public relations. Public relations Quarterly, 38(3), 24-25. Ledingham, J. A. (2003). Explicating Relationship Management as a General Theory of Public Relations, Journal of Public Relations Research, 15(2), 181–198. Littlejohn, S. W., & Foss, K. (2008). Theories of human communication. California: Thomson Wadsworth. L’Etang, J. (2004). Public relations in Britain: A History of professional practice in the 20 th century. London: Lawrence Erlbaum Publisher. Mackey, S. (2003). Changing vistas in public relations theory. PRism, 1(1), 1-9. Motion, J., & Weaver, K. (2005). A discourse perspective for critical public relations research: Life sciences network and the battle for truth. Journal of Public Relations Research, 17(1), 49-67. Mulyana, D. (2010). Pengantar ilmu komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Murray, L. (2002). Public relations and communication management: Suitable subjects for management education? Journal of Communication Management, suppl. Education for Communication Management, 7(1), 9-13. Newsom, D., Scott, A., & Turk, J. V. (1993). This is PR: The realities of public relations (5 ed.). California: Wadsworth. Oliver, S., & Riley, D. (1996). Perceptions and practice of corporate communication in small businesses. Corporate Communication, 1(2), 12-18. Pasadeos, Y., Berger, B., & Renfro, R. B. (2010). Public relations as a maturing discipline: An update on research networks. Journal of Public Relations Research, 22(2), 136-158. Phillip, D. (2006). Toward relationship management: Public relations at the core of organizational development. Journal of Communication Management, 10(2), 211-227. Podnar, K., & Golob, U. (2009). Reconstruction of public relations history through publications in Public Opinion Quarterly. Journal of Communication Management, 13 (1), 55-76. Radulescu, C. (2009). Communication Management or Public relations. Annals of University of Bucharest, Economic and Administrative Series, 3, 215-226. Raupp, J., & Ruler, v. B. (2009). Trends in public relations and communication management research. Journal of Communication Management, 10(1), 18-26. Rogers, E. M. (1997). A history of communication study: A biographical approach. New York: The Free Press.
Ruler, B. v., & Vercic, D. (2004). Overview of public relations and communication management in Europe. In B. v. Ruler & D. Vercic. (Eds.), Public relations and communication management in Europe: A nation-by-nation introduction to public relations theory and practice. Berlin: Mouton de Gruyter. Sallot, L. M., Lyon, L. J., Acosta-Alzura, C. A., & Jones, K. O. (2003). From Aardvark to Zebra: A new millennium analysis of theory development in public relations academic journals. Journal of Public relations Research, 15(1), 27-90. Seitel, Fraser. P. (2001). The practice of public relations (8 ed.). New Jersey: Prentice-Hall. Sisco, H. F., Collins, E. L., & Zoch, L. M. (2011). Breadth or depth? A content analysis of the use of Public relations theory. Public relations Review, 37, 145-150. Skerlep, A. (2001). Re-evaluating the role of rhetoric in Public relations theory and in strategies of corporate discourse. Journal of Communication Management, 6(2), 176-188. Smith, Ronald. D. (2002). Strategic planning for public relations. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Sriramesh, K., & Vercic, D. (2003). A Theoretical framework for global public relations research and practice. In K. Sriramesh & D. Vercic (Eds.), The global Public Relations handbook: Theory, research, and practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum. Trujillo, N., & Toth, E. L. (1987). Organizational perspectives for public relations research and practice. Mananement Commnunication Quarterly, 1(199). Wehmeier, S. (2009). Out of the fog and into the future: Directions of Public relations, theory building, research and practice. Canadian Journal of Communication, 34(2), 265-282. Wu, M.-Y. (2005). Can American public relations theories apply to Asian cultures? Public relations Quarterly, 50(3), 23-27.