Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
PENGARUH PERSENTASE PENAMBAHAN MADU DENGAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA TERHADAP pH DAN UJI ALKOHOL SUSU KAMBING (THE EFFECT OF PERCENTAGE OF HONEY ADDITION AND STORAGE TIME ON pH AND ALCOHOL TEST OF GOAT MILK) Viky Isniawan, Yusuf Subagyo, Sri Utami Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan madu dan lama penyimpanan pada suhu ruang terhadap pH dan kerusakan susu melalui uji alkohol susu kambing segar. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 5 Agustus 2012 - 4 Oktober 2012 di Laboratorium Produksi Ternak Perah dan Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Sampel susu yang digunakan diambil dari Peternakan Kambing Perah “Puspa Tiara”, Baturraden, Kabupaten Banyumas dan madu murni diperoleh dari “Istana Lebah Madu”, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Pola Tersarang yang terdiri atas grup dan sub grup. Sebagai grup yaitu R0: susu segar tanpa penambahan madu, R1: susu segar dengan penambahan madu 5%, dan R2: susu segar dengan penambahan madu 10%, dan sub grup yaitu lama penyimpanan susu awal (0), 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 jam diulang sebanyak tiga kali. Peubah yang dikur adalah pH dan uji alkohol. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji jarak ganda Duncant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pH dengan tanpa penambahan madu, penambahan madu 5%, dan 10% dari lama penyimpanan awal hingga 16 jam adalah 6,922 ± 0,169; 6,832 ± 0,264; dan 6,801 ± 0,221. Analisis variansi menunjukkan, penambahan madu pada susu kambing segar berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH, tetapi lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Sedangkan analisa uji alkohol dengan uji square menunjukkan bahwa tidak berpengaruh nyata (P>0,05) antara penambahan madu dengan lama penyimpanan terhadap tingkat kerusakan susu. Dapat disimpulkan bahwa pemberian madu kurang efektif untuk pengawetan susu ditinjau dari pH dan uji alkohol. Kata Kunci : pH, uji alkohol, susu kambing segar, madu murni, penyimpanan susu ABSTRACT This research was aimed to know the effect of the honey addition and storage time at room temperature on pH and alcohol test of goat milk. It was done from 5th of August until 4th of October 2012 at The Dairy Laboratory, Animal Husbandry Faculty, Jenderal Soedirman University, Purwokerto. The materials were goat milk from “Puspa Tiara” Dairy Goat Ranch, Baturraden, Banyumas Regency and the pure honey from “The Palace of Honey Bees” Batang Regency. The method was an experimental method by using nested classification consisting of groups and subgroups. As the groups were R0: fresh milk without the addition of honey, R1: fresh milk with the addition of honey 5%, and R2: fresh milk with the addition of honey 10%, and the sub-groups were the storage time, namely 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, and 16 hours were repeated three times. The variables measured were pH and alcohol test. The data obtained were analyzed using analysis of variance, followed by Duncant Multiple Range Test. The results showed that the average pH without the addition of honey, the addition of honey of 5%, and 10% from the beginning storage time to 16 hours were 6,922 ± 0,169; 6,832 ± 0,264; and 6,801 ± 0,221. The analysis of variance showed, there was significant effect (P<0.05) of the addition honey on pH, but there was not 79
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
significant effect (P>0.05) of storage times. Meanwhile, alcohol test analysis with square test showed that there was not effect (P>0.05) between the addition honey with the long storage on the level of damage milk. It can be concluded that the honey less effective for preservation of milk in terms of pH and alcohol test. Keywords : pH, alcohol test, fresh goat milk, pure honey, milk storage PENDAHULUAN Peternakan sebagai salah satu subsektor pertanian dalam arti luas mempunyai potensi yang bernilai untuk dikembangkan. Salah satu produk peternakan yang telah dikenal luas oleh masyarakat adalah susu. Permintaan akan susu, telah mengalami perkembangan yang fluktuatif (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Namun, produksi susu nasional belum dapat mengimbangi laju konsumsi susu dalam negeri. Keadaan ini merupakan peluang untuk ternak perah selain sapi perah sehingga dapat terus dikembangkan. Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penangannya tidak memperhatikan kebersihan. Populasi bakteri akan meningkat dengan cepat seiring tidak adanya suatu penanganan yang baik dan benar. Adanya aktivitas bakteri dalam susu, maka susu menjadi asam serta mempunyai rasa dan bau yang kurang baik. Setiap kenaikan keasaman susu yang dibiarkan di suhu ruang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme. Suwito (2010) melaporkan bahwa susu segar memiliki pH kira-kira 6,8 yang berada dalam kisaran optimal bagi tumbuh berkembangnya mikroorganisme. Apabila keasaman susu meningkat karena aktivitas bakteri yang merombak laktosa menjadi asam laktat, maka ikatan kasein dengan garam kalsium menjadi melemah. Lemahnya ikatan kasein ini, apabila ditambah alkohol 70 persen yang dapat mengadakan dehidrasi akan berakibat terlepasnya ikatan tersebut sehingga kasein menggumpal (Anonim, 2008). Salah satu bahan yang sangat efektif untuk mencegah kerusakan susu dan menghambat pertumbuhan bakteri adalah madu. Madu merupakan bahan pengawet alami yang sudah dikenal dan dapat mengawetkan berbagai produk pangan karena mengandung antibakteri yang bersifat bakteriostatik. Antibakterial dalam madu dihasilkan dari kadar gula yang tinggi akan menghambat bakteri sehingga bakteri tersebut tidak dapat hidup dan berkembang, adanya senyawa radikal hidrogen peroksida (H2O2) yang bersifat dapat membunuh mikroorganisme patogen, serta adanya senyawa organik yang bersifat antibakteri (Kusuma, 2009). METODE Penelitian menggunakan metode eksperimental. Pengujian pH menggunakan Rancangan Pola Tersarang yang terdiri atasa grup dan sub grup (Steel and Torrie, 1991). Sebagai grup adalah susu segar dengan tanpa penambahan madu, penambahan madu 5%, dan 10% masing-masing untuk R0, R1, dan R2 dan sub grup adalah lama penyimpanan susu awal (0), 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 jam masing-masing untuk L0, L1, L2, L3, L4, L5, L6, L7, dan L8. Sedangkan pengujian alkohol menggunakan Uji Square sehingga hasilnya langsung dapat disimpulkan tanpa melalui perhitungan anava (Djarwanto, 1987). Peubah yang diukur adalah pH dan uji alkohol serta peubah pendukung adalah uji reduktase.
80
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
Materi yang digunakan adalah susu kambing segar dan madu murni. Susu kambing segar diperoleh dari Peternakan Kambing Perah “Puspa Tiara” Baturraden dengan 54 sampel masingmasing 500 ml setiap sampel susu. Madu murni diperoleh dari Madu Pramuka diproduksi di “Istana Lebah Madu”, Kabupaten Batang. Jumlah madu murni yang digunakan adalah 5 dan 10 persen dari tiap sampel susu yang diujikan. Larutan buffer pH 7 dan larutan alkohol 70 persen. Semua peralatan disterilkan dalam autoclave pada suhu 1210C tekanan 1 atm selama 15 menit. Sebelum dimasukkan ke dalam botol susu, sampel susu ditaruh dalam dua panci yang berbeda, yaitu susu dengan penambahan madu 5 dan 10 persen (v/v) kemudian dihomogenkan dengan cara diaduk setelah ditambahkan madu. Sampel susu kemudian dimasukkan ke dalam botol yang sudah disediakan dengan volume yang berbeda (pengukuran pH dan alkohol). Sampel susu disimpan pada suhu ruang (22-320C). Masing-masing dari kedua parameter membutuhkan 27 botol untuk 3 grup dan 9 sub grup. Untuk kedua parameter tersebut dilakukan 3 kali ulangan dengan hari yang berbeda. Pengukuran pH susu segar dilakukan dengan menggunakan pH-meter sistem digital. Sedangkan uji alkohol dengan cara Sampel susu dimasukkan ke dalam pipet ukur sebanyak 5 ml, kemudian ditambahkan 5 ml alkohol 70 persen menggunakan pipet ukur. Kemudian tabung reaksi digoyangkan perlahan-lahan. Apabila terdapat partikel susu pada dinding tabung reaksi diberi kode (1), sedangkan untuk susu yang tidak menggumpal diberi kode (0). Data yang diperoleh setelah penelitian dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji DMRT. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran pH Data hasil pH (Tabel 1) menunjukkan bahwa rataan pH pada susu kambing segar tanpa penambahan madu disimpan dalam suhu ruang dari lama penyimpanan awal hingga 16 jam adalah 6,922 ± 0,169 nilai pH nya lebih tinggi dibandingkan pada rataan pH susu kambing segar dengan penambahan madu 5 persen (6,832 ± 0,264) dan rataan pH susu kambing segar dengan penambahan madu 10 persen (6,801 ± 0,221). Artinya semakin tinggi persentase penambahan madu maka semakin rendah pH yang dihasilkan seiring dengan lama penyimpanan susu sehingga masa simpan (self-life) susu semakin pendek. Hal ini disebabkan karena kandungan antioksidan dalam madu kelengkeng diduga rendah. Gheldof (2002) menyatakan bahwa kandungan nutrisi dalam madu yang berfungsi sebagai antioksidan adalah vitamin C, asam organik, enzim, asam fenolik, flavonoid dan beta karoten yang bermanfaat sebagai antioksidan tinggi. Namun, Menurut Parwata dkk (2010) bahwa kandungan beta karoten dalam madu kelengkeng sebagai antioksidan lebih rendah dibandingkan jenis madu lain sehingga kurang mampu mengurai radikal bebas terutama radikal singlet oksigen sehingga kurang optimal membunuh bakteri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa semakin tinggi persentase penambahan madu ke dalam susu kambing segar diduga disebabkan rendahnya kandungan beta karoten sebagai antioksidan sehingga jumlah bakteri yang hidup semakin banyak. Dibawah ini rataan hasil uji pH susu kambing segar dengan penambahan madu pada lama penyimpanan yang berbeda dalam suhu ruang disajikan pada Tabel 1.
81
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
Tabel 1. Rataan pH Susu Kambing Segar dengan Penambahan Madu pada Lama Penyimpanan yang Berbeda Lama Penyimpanan Penambahan Madu Rataan pH Simpang Baku R0 L0 7,020 0,108 L1 6,967 0,105 L2 6,940 0,111 L3 6,950 0,095 L4 6,913 0,172 L5 6,967 0,122 L6 6,857 0,268 L7 6,847 0,241 L8 6,837 0,327 Rataan 6,922 0,169 R1 L0 6,953 0,038 L1 6,903 0,122 L2 6,933 0,140 L3 6,910 0,128 L4 6,857 0,183 L5 6,800 0,288 L6 6,730 0,426 L7 6,707 0,430 L8 6,693 0,497 Rataan 6,832 0,264 R2 L0 6,920 0,050 L1 6,870 0,098 L2 6,857 0,120 L3 6,883 0,075 L4 6,810 0,157 L5 6,777 0,206 L6 6,717 0,361 L7 6,677 0,373 L8 6,703 0,419 Rataan 6,801 0,221 Berdasarkan hasil analisis pH susu kambing segar dengan tanpa penambahan madu (R0) pada lama penyimpanan awal, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 jam adalah R 0L0 7,020 ± 0,108; R0L1 6,967 ± 0,105; R0L2 6,940 ± 0,111; R0L3 6,950 ± 0,095; R0L4 6,913 ± 0,172; R0L5 6,967 ± 0,122; R0L6 6,857 ± 0,268; R0L7 6,847 ± 0,241; dan R0L8 6,837 ± 0,327. Berdasarkan nilai rataan pH diatas maka lama penyimpanan awal (0 jam) R0L0 memiliki pH tertinggi (7,020). Hal ini disebabkan karena susu kambing segar bersifat alkali sehingga tidak menimbulkan diare. Diperkuat oleh Sodiq dan Abidin (2008) menyatakan bahwa susu kambing memiliki lemak relatif tinggi (4,2 g) dengan butiran lemak berdiameter kecil dan homogen lebih banyak sehingga mudah dicerna dalam pencernaan manusia. Lama penyimpanan 2 jam dan 4 jam mengalami penurunan pH, artinya semakin lama susu susu kambing segar disimpan dalam suhu ruang maka pH susu akan turun karena adanya tumbuh kembangnya bakteri yang merusak susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhendar (1993) dalam Erlina dan Zuraida (2008) bahwa semakin lama waktu penyimpanan maka semakin tinggi keasaman susu segar. Keasaman air susu diakibatkan oleh adanya fermentasi laktosa menjadi asam organik, terutama asam laktat oleh mikrorganisme sesaat setelah pemerahan (Sukarini,
82
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
2006). Namun, pada penyimpanan 6 jam pH naik. Astuti dkk (2004) menyatakan bahwa penurunan pH terjadi karena adanya bahan-bahan dalam susu yang bersifat bakteriosit. Pada tahap penyimpanan 6 jam sampai 16 jam berangsur mengalami penurunan pH. Hal ini disebabkan adanya bakteri yang berkembang di dalam susu. Menurut Desroisier (1988), penyimpanan pada suhu ruang mempercepat pertumbuhan bakteri, sedangkan penyimpanan pada suhu lebih rendah sangat menghambat pertumbuhan bakteri. Hasil analisis pH susu kambing segar dengan penambahan madu 5 persen (R1) pada lama penyimpanan awal, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 jam adalah R1L0 6,953 ± 0,038; R1L1 6,903 ± 0,122; R1L2 6,933 ± 0,140; R1L3 6,910 ± 0,128; R1L4 6,857 ± 0,183; R1L5 6,800 ± 0,288; R1L6 6,730 ± 0,426; R1L7 6,707 ± 0,430; dan R1L8 6,693 ± 0,497. Sedangkan hasil analisis pH susu kambing segar dengan penambahan madu 10 persen (R2) pada lama penyimpanan awal, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 jam adalah R2L0 6,920 ± 0,050; R2L1 6,870 ± 0,098; R2L2 6,857 ± 0,120; R2L3 6,883 ± 0,075; R2L4 6,810 ± 0,157; R2L5 6,777 ± 0,206; R2L6 6,717 ± 0,361; R2L7 6,677 ± 0,373; dan R2L8 6,703 ± 0,419. Apabila dicermati nilai rataan pH susu kambing segar dengan penambahan madu 5 persen (R 1) dari penyimpanan awal hingga akhir ternyata lebih besar dibandingkan pH susu kambing segar dengan penambahan madu 10 persen (R2). Hal ini disebabkan semakin tinggi persentase penambahan madu maka semakin rendah pH yang dihasilkan seiring dengan lama penyimpanan sehingga masa simpan (self-life) susu semakin pendek jika disimpan dalam suhu ruang karena dalam suhu ruang madu cepat mengalami fermentasi. Sarwono (2008) menambahkan bahwa proses fermentasi glukosa dipecah menjadi etanol dan karbondioksida, kemudian alkohol mengalami reaksi dan berubah menjadi asam asetat. Peningkatan asam dalam madu juga terjadi akibat aktivitas enzim glukosa oksidase yang akan meningkatkan kandungan asam glukonat diubah dari glukosa. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan madu pada susu kambing segar berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH susu. Akan tetapi, lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap penambahan madu. Selisih nilai pH antar lama penyimpanan ternyata relatif kecil. Hal ini tidak lain terjadi karena adanya bahan-bahan yang ada dalam susu yang dapat berfungsi sebagai buffer (penyangga). Lampert and Lincoln (1974) menyatakan bahwa susu mempunyai berbagai substansi yang berfungsi sebagai penyangga, diantaranya adalah asetat, phosphat, dan sitrat. Substansi penyangga ini menyebabkan pH susu tidak mudah mengalami perubahan, karena sifat buffer dalam susu adalah mempertahankan pH. Selanjutnya dinyatakan bahwa bila meningkatnya jumlah bakteri, maka pH tidak berubah secara cepat, karena adanya penyangga di dalam susu. Uji Jarak Ganda Duncant (Duncant New Multiple Range Test / DMRT) menunjukkan bahwa pH susu kambing segar tanpa penambahan madu berbeda nyata (P<0,05) dengan susu kambing segar penambahan madu 5 persen dan berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan susu kambing segar penambahan madu 10 persen. Sedangkan susu kambing segar penambahan madu 5 persen tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan susu kambing segar penambahan madu 10 persen. Artinya semakin tinggi persentase penambahan madu maka pH nya semakin turun, disebabkan karena pH madu lebih asam (3,2-4,5) dibandingkan pH susu kambing yang relatif basa. Berdasarkan hal tersebut, jika merujuk kepada pendapat Astuti, dkk (2004) dapat dikatakan bahwa susu kambing segar tanpa penambahan madu dengan penyimpanan 16 jam (960 menit) disimpan dalam suhu ruang masih baik untuk dikonsumsi, sedangkan susu kambing segar dengan penambahan madu masih baik untuk dikonsumsi sampai dengan penyimpanan 12 jam (720 menit).
83
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
Uji Alkohol Uji alkohol merupakan salah satu pengujian yang sering dilakukan untuk mengukur kualitas susu di lapangan karena cara pengujiannya yang mudah dan praktis. Hasil analisa uji alkohol susu kambing segar dengan penambahan madu pada lama penyimpanan yang berbeda dalam suhu ruang dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 2. Hasil Analisa Uji Alkohol Susu Kambing Segar dengan Penambahan Madu pada Lama Penyimpanan yang Berbeda Sub Grup Grup L0 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 Jumlah R0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 4 R1 0 0 0 0 1 1 1 2 2 7 R2 0 0 1 0 2 2 2 2 2 11 Jumlah 0 0 1 0 3 5 5 5 5 22 Rataan 0 0 0,3 0 1 1,3 1,3 1,7 1,7 7,3 0 = tidak mengalami penggumpalan susu 1 = mengalami penggumpalan susu
Berdasarkan hasil uji alkohol (Tabel 4) menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase penambahan madu maka akan mempercepat penggumpalan susu. Dapat disimpulkan penambahan madu 10 persen akan lebih cepat menggumpal dibandingkan dengan penambahan madu 5 persen dan dengan tanpa penambahan madu, sedangkan penambahan madu 5 persen akan lebih cepat menggumpal dibandingkan dengan tanpa penambahan madu. Hal ini disebabkan oleh tingkat keasaman susu kambing dengan penambahan madu lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penambahan madu sehingga mempercepat penggumpalan susu. Hal ini sependapat dengan Sakinah (2010), jika keasaman susu meningkat karena aktivitas bakteri yang merombak laktosa menjadi asam laktat, maka ikatan kasein dengan garam kalsium menjadi melemah. Lemahnya ikatan kasein kaseinat ini apabila ditambahkan alkohol 70 persen yang dapat mengadakan agensia dehidrasi akan berakibat terlepasnya ikatan tersebut sehingga kasein menggumpal. Namun, secara umum dari ketiga perlakuan tersebut kualitas susu kambing masih bagus. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah kerusakan susu (mengalami penggumpalan) dari ketiga perlakuan sebanyak 22 dari 81 sampel susu, artinya tingkat kerusakan susu kambing segar dengan penambahan madu sebesar 27,16 persen selama penyimpanan 16 jam. Hasil analisa pengujian alkohol (Tabel 4) ditransformasikan ke dalam bentuk angka dan dihitung dengan uji square (Lampiran 7) menghasilkan bahwa nilai (2,0) lebih kecil dari 2 derajat bebas (26,30), artinya ≤ 26,30 maka keputusannya adalah menerima H0 dan menolak H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak berpengaruh nyata penambahan madu dan lama penyimpanan pada susu kambing segar dalam suhu ruang ditinjau dari kerusakan susu (penggumpalan susu). Soejoedono et al., (1987) menyatakan bahwa kestabilan sifat koloidal protein yang terdapat dalam susu bergantung pada selubung air yang meliputi butir-butir protein, terutama kaseinnya. Jika susu dicampur alkohol 70 persen yang mempunyai sifat agensia dehidrasi maka protein tersebut dikoagulasikan sehingga akan tampak susu menggumpal. Semakin tinggi pH, semakin berkurang kepekatan alkohol yang dibutuhkan untuk memecah susu dalam jumlah yang sama. Namun, menurut Ressang dan Nasution (1986); Foster et al., (1961), jika pH rendah maka mikroba penghasil asam dapat melemahkan selubung air yang menyelimuti protein susu.
84
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
alkohol mempunyai sifat menarik air sehingga apabila susu dicampur dengan alkohol maka selubung air yang menyelimuti protein susu tidak stabil akibatnya akan terkoagulasi membentuk gumpalan-gumpalan dan dinyatakan positif. Pengujian Reduktase Parameter penunjang yang dipakai untuk mengetahui kualitas susu berdasarkan perkiraan jumlah bakteri adalah menggunakan uji reduktase. Hasil uji reduktase susu kambing segar dengan penambahan madu pada penyimpanan awal (0 jam) dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3. Hasil Uji Reduktase Susu Kambing Segar dengan Penambahan Madu pada Penyimpanan Awal Ulangan (jam) Perlakuan Rataan (jam) 1 2 3 R0 6.47 6.58 7.04 6.56 R1 5.12 5.35 5.38 5.41 R2 5.05 5.27 5.32 5.27 Rataan 5.40 6.00 6.05 6.03 Hasil rataan (Tabel 3) uji reduktase susu kambing segar dengan penambahan madu pada penyimpanan awal (0 jam) adalah 6.03 jam. Artinya susu kambing segar setelah dihomogenkan degan larutan rezazurin 1 persen yang menghasilkan warna biru akan berubah warna putih kembali memerlukan waktu hingga 6.03 jam. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas susu segar dengan penambahan madu tergolong masih cukup baik menurut Dwidjoseputro (2003) dan Hadiwoyoto (1994) dengan perkiraan jumlah bakteri 1-4 juta per ml susu. Trihendrokesowo dkk, (1989), Fardiaz (1993), Hadiwiyoto (1994) menyatakan bahwa semakin cepat warna biru berubah menjadi putih maka semakin banyak bakteri yang ada di dalam susu sehingga oksigen akan cepat habis dikonsumsi oleh bakteri. Buckle (1987) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk mengubah warna biru secara cepat berbanding terbalik dengan jumlah mikroorganisme yang ada. Menurut SNI (2000) telah menetapkan batas maksimum cemaran mikroba dalam susu segar 1×106 per ml susu. Dwidjoseputro (2003) menyatakan bahwa bakteri yang selalu ada dalam susu ialah bakteri pengahsil asam susu, terutama Streptococcus lactis. Bakteri ini terdapat dalam jumlah yang besar, berkembang biak cepat sekali dan mudah menguraikan laktosa sehingga susu cepat mengalami koagulasi. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi persentase penambahan madu maka semakin cepat kerusakan susu seiring dengan lama penyimpanan susu sehingga masa simpan (self-life) susu semakin pendek. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada kepala Laboratorium Produksi Ternak Perah dan Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto yang telah memberikan tempat untuk pelaksanakan penelitian.
85
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
DAFTAR PUSTAKA Astuti, T. Y., Siswadi, dan Abungamar. 2004. Kajian Daya Tahan dalam Hubungan dengan Jumlah Bakteri, Keadaan Keasaman dan pH Susu Segar Kambing Perah. Majalah Ilmiah Unsoed. ISSN: 0126-2475 No: 1 Th. XXX Edisi Maret. Purwokerto. Buckle, K. A, Edwards R.A, Fleet G. H, Woolton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H, Aqdiono, penerjemah. Universitas Indonesia Press. Jakarta Deptan. 2004. Pedoman Teknik Operasional Alat Pasteurisasi Susu, Pengolahan dan Hasil Pertanian Jakarta. Desrosier, N. W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo. UI-Press, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Berbagai Edisi. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Djarwanto, Ps. 1987. Statistik Non Parametrik. Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta. Hal: 151-154. Dwijoseputro, D. 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta. Erlina, S dan A. Zuraida. 2008. Derajat Keasaman dan Angka Reduktase Susu Sapi Pasteurisasi dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda. Volume 23 Nomor 3. Hal: 185-194. Gheldof, N and N. J. Engeseth. 2002. Antioxidant capacity of honeys from various fl oral sources based on the determination of oxygen radical absorbance capacity and inhibition of in vitro lipoprotein oxidation in human serum samples. J Agric Food Chem. 2002;50:3050-3055. Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty. Jakarta. Kusuma, S. A. 2009. Pemeriksaan Kualitas Madu Komersial. Universitas Padjajaran Fakultas Farmasi. Bandung. Lampert and M. Lincoln. 1974. Modern Dairy Product. Eurasia Publishing House (P) Ltd., Ram Nagar, New Delhi. Parwata,O. A, K. Ratnayani, dan A. Listya. 2010. Aktivitas Antiradikal Bebas Serta Kadar Beta Karoten pada Madu Randu (Ceiba pentandra) dan Madu Kelengkeng (Nephelium longata L.) Jurnal Kimia 4 (1),Universitas Udayana, Bali. Januari 2010 : 54-62. Sakinah, N. E, G. Dwiyanti, S. Darasati. 2010. Penagruh Penambahan Asam Dokosaheksaenoat (DHA) Terhadap Ketahanan Susu Pasteurisasi. Jurnal Sains dan Teknologi. ISSN 2087-7472. Vol I, No. 2. Oktober 2010. Hal 170-176. Sarwono, B. 2008. Lebah Madu. Edisi ketujuh. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. SNI No. : 01-6366-2000. Sodiq, A dan Z. Abidin. 2008. Kambing Peranakan Etawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta. Hal: 12-14. Soejoedono 1987. R.R, Sanjaya, Sudarwanto, Purnawarman, Lukman, H. Latif. 2005. Penuntun Praktikum Higieni Susu. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1991. Principle and Procedures of Statistic. Terjemahan oleh Bambang, S. 1996. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal: 488-497.
86
Viky Isniawan dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):79-87, April 2013
Sukarini, I. A. M. 2006. Produksi dan Komposisi Air Susu Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Tambahan Konsentrat Pada Awal Laktasi. Laporan Penelitian. Fakultas peternakan Universitas Udayana. Denpasar. Suwito, W. 2010. Bakteri yang Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis, Epidemiologi, dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010. Trihendrokesowo, J, Wibowo, R. Koesnijo, M. Ramos, S. Haksohusodo, S. Ristanto, M. Mustofa, N. Ritiswati, T. Apandi, dan Praseno. 1989. Bakteri dalam Susu, Kursus Singkat Fisiologi Bakteri. PAU Bioteknologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
87