Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Pedestrian Project di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor Rika Purnama Sari dan Afiati Indri Wardani Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK Pedestrian Project merupakan proyek dari Kementerian Perhubungan yang bertujuan untuk menyosialisasikan program Non-Motorized Transportation di daerah, salah satunya adalah Kota Bogor. Proyek tersebut diselenggarakan di Jalan Nyi Raja Permas, area Stasiun Kota Bogor, karena selalu penuh sesak pada jam puncak. Adanya fasilitas jalur pedestrian memberikan ruang gerak bagi pejalan kaki untuk dapat bermobilisasi secara nyaman dan aman. Namun demikian, implementasi dari proyek pedestrian belum sesuai dengan konsep pedestrian yang ideal karena masih banyaknya PKL, parkir ilegal, dan pangkalan ojek yang beroperasi di fasilitas jalur pedestrian. Terkait dengan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi implementasi pedestrian project di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam, studi kepustakaan, dan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosialisasi, koordinasi, reaksi PKL, komitmen pemerintah, sumber dana, sumber daya manusia, dan pengawasan berpengaruh terhadap implementasi pedestrian project. Kata kunci: pedestrian project, non-motorized transportation, Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor, implementasi ABSTRACT Pedestrian Project is a project of the Ministry of Transportation that aims to socialize the Non-Motorized Transportation program in region, including Bogor City. The project was held at Nyi Raja Permas Street, Bogor Station Area, which is always crowded at peak hours. Pedestrian pathways provide space for pedestrians to mobiliaze comfortably and safely. However, the implementation of the project has not been in accordance with the ideal pedestrian concept because there are many street vendors, illegal parking, and motorcycle using pedestrian pathways. Associated with these problems, researcher is interested in knowing the factors affecting the implementation of pedestrian project at Nyi Raja Permas street, Bogor city. This study used a qualitative approach with data collection techniques by in-depth interviews, literature study, and observation. The result of this research shows that socialization, coordination, street vendor’s reaction, government’s commitment, budget, human resources, and controlling are factors that affecting implementation of pedestrian project. Keywords: pedestrian project, non-motorized transportation, Nyi Raja Permas street, implementation
1 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
PENDAHULUAN Fasilitas jalur pedestrian merupakan wadah atau ruang untuk kegiatan pejalan kaki melakukan aktivitas dan untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Berdasarkan data dari Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) tahun 2008, ketersediaan jalur pedestrian (di Indonesia dikenal dengan trotoar) antara lain: kota metropolitan sebesar 3,2%, kota besar sebesar 1,5%, kota sedang sebesar 5,3%, dan kota kecil sebesar 7,8%. Selain karena minimnya trotoar, permasalahan dalam penyelenggaraan pejalan kaki yaitu sebagian besar prasarana pejalan kaki terhadap kawasan pengembangan dan titik-titik transfer moda belum terkoneksi dengan baik dan upaya kota-kota di Indonesia untuk menyediakan jalur pejalan kaki masih terbatas. Keberadaan fasilitas pejalan kaki (pedestrian) disadari atau tidak membawa manfaat bagi kehidupan sosial dan ekonomi di lingkungan masyarakat. Dampak positif optimalisasi fasilitas jalur pedestrian dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1 Dampak Positif Optimalisasi Fasilitas Jalur Pedestrian Penurunan
Peningkatan
kemacetan lalu lintas
kesehatan masyarakat
emisi gas rumah kaca
komunikasi antarwarga masyarakat
polusi udara
atraksi berupa rekreasi dan fasilitas wisata
kebisingan
bisnis di outlet (tempat) yang berdekatan
konsumsi energy
Keselamatan
pengeluaran biaya dari sektor transportasi Sumber: sutip.mine.nu, 2012
Upaya melakukan optimalisasi fasilitas jalur pedestrian diyakini dapat mendorong masyarakat untuk lebih condong melakukan aktivitas berjalan kaki dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Berdasarkan data dari Sustainable Urban Transport Improvements Project (SUTIP) di atas dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah manfaat yang akan dirasakan sebagai akibat dari meningkatnya keinginan masyarakat untuk berjalan kaki, seperti penurunan kemacetan lalu lintas, emisi gas rumah kaca, polusi, dan penghematan konsumsi energi. Seiring dengan penurunan tersebut, peningkatan pun akan terjadi dalam 2 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
beberapa aspek, seperti meningkatnya kesehatan masyarakat, komunikasi antarwarga masyarakat menjadi lebih baik, dan lain-lain. Hal ini dapat terwujud apabila masyarakat telah merasa aman dan nyaman dalam menggunakan fasilitas jalur pedestrian yang disediakan oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 131 ayat 1 menyebutkan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Pasal 25 ayat 1 undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan yang salah satunya adalah fasilitas untuk pejalan kaki. Dalam hal ini, urgensi pembangunan jalur pedestrian ditekankan pada aspek keamanan dan keselamatan pejalan kaki. Dalam rangka pemenuhan hak-hak bagi pejalan kaki, kota-kota di Jawa Barat mulai giat menggalakkan pembangunan jalur pedestrian, salah satunya adalah Kota Bogor. Pada Mei tahun 2012, Kota Bogor ditunjuk oleh Kementerian Perhubungan sebagai salah satu kota yang menyelenggarakan proyek percontohan nasional (pilot project) berupa fasilitas bagi pejalan kaki di sepanjang Jalan Nyi Raja Permas (Stasiun Bogor), Kecamatan Bogor Tengah. Dipilihnya Jalan Nyi Raja Permas sebagai lokasi proyek pedestrian karena pemerintah pusat melihat bahwa bangunan stasiun memiliki nilai sejarah yang tinggi sehingga perlu dijaga kelestariannya. Selain itu, banyaknya masyarakat yang menggunakan fasilitas kereta api menyebabkan lokasi ini selalu padat dan mengalami kemacetan. Stasiun Bogor melayani lebih dari 80 ribu penumpang per harinya (http://www.pikiran-rakyat, 2012). Jumlah penumpang yang tinggi dalam penggunaan moda kereta api setiap harinya (para komuter) menjadikan stasiun ini penuh sesak pada jam puncak yaitu pagi dan sore hari. Proyek pedestrian (pedestrian project) ini menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,7 miliar dan direncanakan akan selesai pada bulan Agustus 2012 dengan panjang sekitar 600 meter. Namun, berdasarkan berita yang dilansir dari http://www.kabarpublik.com, 2012, menyatakan bahwa pedestrian project di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor terancam gagal karena diduga tidak sesuai dengan konsep yang telah direncanakan. Sumber lain juga menyatakan bahwa pengerjaan pedestrian project terancam terbengkalai karena Pedagang Kaki Lima (PKL) masih menumpuk (http://www.poskotanews.com, 2012). Pelaksanaan proyek pedestrian di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor tidak dapat dipungkiri masih mengalami kendala dalam implementasinya. Dalam hal ini, menurut Anggriani (2009:11), kenyamanan dan keamanan dapat berkurang akibat sirkulasi yang 3 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
kurang baik, misalnya kurangnya kejelasan sirkulasi, penggunaan fungsi ruang sirkulasi yang berbeda (misal trotoar dijadikan tempat berjualan), tidak jelasnya pembagian ruang antara sirkulasi pejalan kaki dan sirkulasi (misal trotoar dijadikan tempat parkir). Selain itu pedestrian juga harus tanggap terhadap iklim dengan cara menyediakan peneduh yang dapat melindungi pejalan kaki dari radiasi matahari atau hujan dan juga memperhatikan kebersihan dan keindahan. Lingkungan yang bersih dan indah dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan batin bagi pejalan kaki. Ketidaksesuaian antara teori dan fakta lapangan menjadi titik tolak peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor Apa Saja yang Memengaruhi Implementasi Pedestrian Project di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor?”. Dengan penelitian ini, peneliti ingin menggali lebih dalam terkait “Faktor-faktor Apa Saja yang Memengaruhi Implementasi Pedestrian Project di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor?” sehingga peneliti dapat mengetahui penyebab dari munculnya ketidaksesuaian yang terjadi dalam proyek pedestrian dan diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah Kota Bogor dalam melaksanakan proyek pedestrian lainnya di masa yang akan datang. TINJAUAN TEORITIS Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dari proses kebijakan publik yang sangat krusial. Bersifat krusial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijakan, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan tidak akan dapat diwujudkan. Demikian pula sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan juga tidak akan dapat diwujudkan. Dengan demikian, jika menghendaki tujuan kebijakan dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan juga telah diantisipasi untuk dapat diimplementasikan (Widodo:2007:85). Secara lebih luas, implementasi dapat didefinisikan sebagai proses administrasi dari hukum (statute) yang di dalamnya tercakup keterlibatan berbagai macam aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan (Kusumanegara, 2010:97). Untuk mengimplementasikan kebijakan
publik,
maka
ada
dua
pilihan
langkah
yang
ada,
yaitu
langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan 4 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut (Dwijowijoto, 2003:158). Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik Penjelas
Program intervensi
Proyek intervensi
Kegiatan intervensi
Publik/Masyarakat
Gambar 1 Bagan Turunan Kebijakan Publik Sumber: Dwijowijoto, 2003:159 Sumber: Dwijowijoto, 2003:159
Rangkaian implementasi kebijakan, dari gambar di atas, dapat dilihat dengan jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan. Dari gambar di atas terdapat kata ‘intervensi’. Maksud intervensi adalah bahwa tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri (Dwijowijoto, 2003:161). Menurut Edward (1980:9), terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan (dalam hal ini, kebijakan menuju kepada sebuah program), yaitu komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan, dan struktur birokrasi. Pendapat lain terkait implementasi program juga disampaikan oleh Cheema dan Rondinelli dalam Subarsono (2005:101), yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program-program pemerintah yang bersifat desentralistis, antara lain: kondisi lingkungan, hubungan antarorganisasi, sumberdaya organisasi untuk implementasi program, dan karakteristik dan kemampuan agen pelaksana. Menurut Giacchino dalam Giacchino dan Kakabadse (2003:144), terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam suatu implementasi kebijakan antara lain: pendekatan yang efektif, perilaku yang positif dari aktor pelaksana, komitmen, kerja sama yang baik di antara aktor, 5 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
perencanaan yang efektif, sumber daya yang efektif, antusiasme, kepemimpinan, tanggung jawab politik, tipe manajemen, kepemilikan, dinamika tim pelaksana, rancangan peran, keahlian dan kemampuan, keterlibatan stakeholder, kepercayaan, jaringan, dan nilai dari masyarakat. Grindle dalam Nawawi (2009:141) juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variable yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Manajemen Perkotaan Manajemen
perkotaan
(urban
management)
merupakan
pendekatan
yang
kontemporer untuk menganalisis permasalahan perkotaan sekarang ini. Lea dan Courtney dalam Nurmandi (2006:125) membedakan dua pendekatan manajemen perkotaan, yaitu pendekatan problem-oriented teknokratis dan pendekatan ekonomi politik struktural. Manajemen
perkotaan
memiliki
tanggung
jawab
stratejik
dengan
konsekuensi
penyelenggaraannya. Menurut Sharma dalam Mc Gill (1998:464), manajemen perkotaan dapat diartikan sebagai seperangkat aktivitas yang secara bersama-sama membentuk dan menuntun penyelenggaraan pengembangan sosial, fisik, dan ekonomi dalam suatu area perkotaan. Pendapat lain tentang manajemen perkotaan juga dijelaskan oleh Pontoh dan Kustiwan (2009:293), yang menyatakan bahwa manajemen perkotaan merupakan aktivitas yang lebih menyangkut aspek operasi layanan publik dengan berbagai jenis intervensi pemerintah yang akan mempengaruhi kondisi perkotaan secara luas. Kota Humanis Menurut Colin Stewart dalam tulisannya yang berjudul “Walking Talking”, kota humanis dapat menyediakan kota yang sehat pada masyarakat melalui kebebasan memilih, nilai komunitas dan jaringan sosial yang kuat, dan memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk melakukan perpindahan (movement) dan keberlanjutan (sustainability). Hal ini berarti, kota humanis sebisa mungkin memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk bermobilisasi karena diusahakan agar tempat tinggal berdekatan dengan tempat kerja, toko-toko, pelayanan pendidikan dan kesehatan, termpat rekreasi dan menyediakan akses untuk ruang terbuka dan perkebunan. Sejalan dengan definisi Stewart mengenai kota humanis, Shirly Wunas juga mendefinisikan kota humanis sebagai konsep kota yang mempertimbangkan faktor kemanusiaan, dengan konsep kota kompak (compact city), merencanakan kota yang terprediksi pertumbuhannya (smart growth), ramah terhadap pejalan kaki dan pesepeda 6 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
(walkable city), dengan jaringan jalan yang layak, dilengkapi dengan tempat transit (transit oriented development/TOD) (WUNAS, 2011:8). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai alat untuk menganalisis permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian yaitu di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor. Pengumpulan data diperoleh melalui data primer berupa hasil wawancara dengan sejumlah informan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan berupa pengumpulan literatur, dokumen, buku atau data yang berhubungan dengan implementasi pedestrian project di Kota Bogor. Narasumber wawancara terdiri dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bogor, Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman Kota Bogor, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bogor, Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor, Dinas Kebersihan dan
Pertamanan
(DKP)
Kota
Bogor,
Deutsche
Geelleschalt
Fur
Internationale
Zusammenarbeit (GIZ), Koalisi Pejalan Kaki Bogor, Paguyuban PKL Pasar Anyar. Teknik analisis data yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan dan menyeleksi data yang relevan dengan penelitian, kemudian membuat gagasan umum. Setelah itu dilakukan coding dan labeling yang hasil akhirnya berupa narasi atau laporan kualitatif (lihat gambar 2).
Gambar 2 Teknik Analisis Data Sumber: Olahan Peneliti, 2013
7 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
Fasilitas Pedestrian Menurut Anggriani (2009:9), fasilitas jalur pedestrian harus memenuhi prinsip safety (keamanan) dan comfort (nyaman). Keamanan berarti keamanan pedestrian dari kecelakaan dan gangguan-gangguan khusus oleh kendaraan umum yang merupakan penyebab utama banyak kecelakaan pedestrian. Dalam hal ini, salah satu penyebab banyaknya tingkat kecelakaan yang terjadi pada pejalan kaki di jalur pedestrian adalah akibat pencampuran fungsi jalur pedestrian dengan aktivitas yang lain. Pada prinsip keamanan, terdapat elemenelemen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan keamanan pedestrian, antara lain: 1. Desain jalan dan jalur pedestrian: desain jalan untuk pejalan kaki harus nyaman dan aman serta memiliki daya tarik agar orang merasa betah melaluinya. 2. Kecepatan dan kepadatan: kemanan pejalan kaki salah satunya agar terhindar dari kecelakaan lalu lintas. Pada jalan yang memiliki kecepatan dan kepadatan lalu lintas yang tinggi harus memiliki barrier pada jalur pedestrian. Barrier ini dapat berupa pepohonan, pot bunga, dan adanya jarak antara jalur pedestrian dengan jalan raya. 3. Pemilihan perencanaan jalur pedestrian yang berkesinambungan: hal ini berhubungan dengan perencanaan kawasan yang mampu menyatukan elemen-elemen yang ada di sekitarnya menjadi satu kesatuan. 4. Kondisi musim: akibat sering berubahnya musim maka jalur pedestrian harusnya mampu mengantisipasinya dengan memperhitungkan faktor alam yang mampu mempengaruhi aktivitas-aktivitas orang yang melewatinya. 5. Waktu: jalur pedestrian digunakan untuk berjalan kaki baik siang maupun malam hari. Untuk itu perlu adanya pemikiran untuk mengolah jalur pedestrian agar aktivitas yang berhubungan dengan waktu dapat berjalan lancar dengan tersedianya fasilitas yang membuat nyaman orang yang melaluinya. HASIL DAN PEMBAHASAN Fasilitas jalur pedestrian yang mengutamakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pejalan kaki merupakan tujuan akhir dari proyek pedestrian di Kota Bogor. Namun, pada kenyataannya setelah proyek tersebut selesai dan fisik jalan sudah tersedia bagi pejalan kaki, masih terdapat kesenjangan antara kondisi ideal jalur pedestrian dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Faktor-faktor yang memengaruhi implementasi proyek pedestrian dapat dijelaskan sebagai berikut.
8 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
1.
Sosialisasi tentang Pelaksanaan Proyek Pedestrian Sosialisasi
dilakukan
dalam
tiga
bentuk,
yaitu
memberikan
surat
edaran
pemberitahuan kepada stakeholder, public hearing, dan public campaign. Namun, sosialisasi dinilai kurang efektif karena intensitas pelaksanaan sosialisasi yang tidak rutin dan cenderung mendadak serta terjadi perbedaan persepsi mengenai sosialisasi antara pemerintah dan PKL sehingga fasilitas jalur pedestrian belum bias steril dari aktivitas PKL. Hal yang menjadi hambatan bagi SKPD juga diakui oleh Kepala Seksi Teknik Sarana dan Prasarana Lalu Lintas DLLAJ Kota Bogor, Herman Rusli, adalah Pada saat rapat sosialisasi oke oke (menandakan semua stakeholder setuju untuk menaati peraturan dan bersedia direlokasi), pada saat di lapangan ada aja orang yang memanfaatkan situasi ya macem-macemlah (wawancara dengan Herman Rusli, ST, Kepala Seksi Teknik Sarana dan Prasarana Lalu Lintas DLLAJ Kota Bogor, 27 Maret 2013). Jika dilihat dari konsep pedestrian yang ideal, fasilitas jalur pedestrian yang aman dan nyaman dapat terwujud apabila tidak ada aktivitas lain yang dapat mengganggu aktivitas berjalan kaki. Namun, ketika ada PKL yang menempati badan jalan tentunya ruang gerak pejalan kaki akan berkurang. Akibatnya, pemanfaatan fasilitas jalur pedestrian menjadi tidak maksimal karena fungsi fasilitas tesebut tidak terwujud sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, fungsi pedestrian yang diperuntukkan hanya bagi pejalan kaki dapat beralih kembali menjadi tempat berdagang. Jika hal tersebut terjadi, proyek pedestrian akan menjadi sebuah proyek yang mubazir karena tujuan yang diharapkan tidak tercapai. Melihat masih adanya PKL yang berdagang di sepanjang pedestrian memunculkan kekhawatiran dari kalangan masyarakat yang diwakili oleh Koalisi Pejalan Kaki Bogor, nah eengg di situlah perlu sosialisasi perlu edukasi lagi (wawancara dengan Muhammad Nashar, SE., MBA, Ketua Koalisi Pejalan Kaki, 28 Maret 2013). 2.
Koordinasi antarLembaga Koordinasi antarLembaga diwujudkan melalui rapat koordinasi. Dalam pelaksanaan
koordinasi, terdapat tiga hal yang menjadi penghambat terciptanya koordinasi yang baik, yaitu rapat bersifat situasional, belum ada SOP pelaksanaan proyek, dan adanya tour of duty. Akibatnya, seringkali terjadi misskoordinasi berupa sikap saling tuding antarlembaga pelaksana proyek pedestrian. Pihak GIZ berpendapat, Sebetulnya kita menginginkan rapat terjadwal ya (wawancara dengan Ir. Budi Arief, MT, Local Coordinator GIZ-Sutip Bogor, 27 Maret 2013). 9 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
Selama ini, koordinasi dilakukan melalui rapat koordinasi yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Artinya rapat akan dilakukan ketika terdapat hambatan baru yang mengganggu penyelenggaraan proyek. Dalam hal ini, kecenderungan pemkot (melalui SKPD) untuk melakukan koordinasi bersifat represif daripada preventif. Padahal sikap preventif akan lebih baik karena dapat meminimalisasi risiko kerugian yang lebih besar (high cost).
Masalah yang kerapkali terjadi berkaitan dengan kurangnya koordinasi adalah sikap
saling tuding yang ditunjukkan antar aktor. Sebagai contoh, ketika Stasiun Bogor mengalami banjir seperti yang dilansir oleh Kompas, 1 Desember 2012, sikap saling tuding pun terlihat pada Dinas Binamarga dan Sumber Daya Air dengan GIZ. Jika dilihat dari tugas pokok dan fungsinya, permasalahan banjir seharusnya ditangani oleh Dinas Binamarga dan Sumber Daya Air. Namun, ketika dikonfirmasi, pihak Dinas Binamarga dan Sumber Daya Air tidak mengetahui penyebab terjadinya banjir di area Stasiun Bogor, Iya banjir. Itu karena saluran itu karena ngga tau juga karna GIZ yang merancang. Gorong-gorongnya kali (wawancara dengan Agus Suharjanto, ST., MT, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengawasan Kebinamargaan). Selain minimnya koordinasi terkait masalah banjir, minimnya koordinasi juga terlihat pada saat penentuan relokasi PKL. Hal ini dinyatakan oleh Kepala bidang Pengendalian dan Operasi Satpol PP sebagai berikut. Kendala ya.. yaahh paling kurang kompak aja sih. Kaya gini deh kita kan disuruh DLLAJ untuk menggusur PKL sementara kita juga dikejar terus sama PKL. Ya diteror gitu ditanyain terus solusi pemindahannya ke mana. Kan kita belum tau akan direlokasi kemana PKL itu. Seharusnya pemerintah menyediakan lahan untuk relokasi Kan kita juga pusing ya jadinya (wawancara dengan Lili Sutarwili, SE, Kepala Bidang Pengendalian dan Operasi, 3 Januari 2013). Misskoordinasi yang seringkali terjadi diindikasikan juga karena adanya tour of duty. Tour of duty merupakan penggantian personil di suatu jabatan tertentu karena adanya mutasi, rotasi, atau promosi jabatan. Ketika melakukan rapat koordinasi seringkali personil yang ditugaskan untuk mengikuti rapat berbeda-beda. Hal ini tentu saja dapat menghambat kinerja aktor pelaksana karena informasi yang diterima antar satu orang dengan orang lain akan berbeda sehingga informasi tidak dapat terjalin dengan utuh. Akibatnya, muncul kekurangan atau miss saat implementasi proyek sehingga masih ada personil yang tidak mengetahui permasalahan di lapangan dan apa yang harus dilakukan. 3.
Reaksi dari PKL 10
Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
Reaksi PKL terhadap proyek pedestrian cenderung negatif. Hal ini ditunjukkan dengan sikap resisten PKL terhadap penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Bogor melalui Satpol PP. Terdapat empat hal yang menyebabkan PKL bersikap resisten, yaitu alasan ekonomi, ketidakjelasan relokasi, karakteristik PKL, dan hal politis. Pada dasarnya, pihak yang bertanggung jawab terhadap implementasi dari proyek pedestrian bukan hanya pemerintah melainkan juga masyarakat sebagai pihak yang merasakan dampak dari adanya kebijakan tersebut. Dalam hal ini, masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat pengguna fasilitas jalur pedestrian termasuk di dalamnya PKL. Tanpa adanya dukungan dari PKL, segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah akan sia-sia. Dalam hal ini, jika PKL bersikap kooperatif untuk menggunakan fasilitas jalur pedestrian sebagaimana fungsinya, maka konflik antara pihak pemerintah dengan PKL dapat diminimalisasi. Di samping itu, citacita Pemkot Bogor untuk menyediakan fasilitas khusus pejalan kaki yang aman dan nyaman dapat terwujud. Namun, jika PKL tidak kooperatif atau cenderung resisten terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, maka akan menghambat kelancaran dari penyelenggaraan proyek. Sikap resisten merupakan sikap tidak ingin berubah atau tidak siap terhadap perubahan sehingga cenderung menolak kebijakan. Sikap resisten mengakibatkan keengganan PKL untuk berpindah lokasi berjualan di luar Jalan Nyi Raja Permas. Sikap ini ditunjukkan dengan aksi nekat PKL untuk terus berdagang di Jalan Nyi Raja Permas (area pedestrian) meskipun jalan tersebut telah ditertibkan oleh Satpol PP. Ketidakpatuhan PKL untuk menaati aturan tersebut dinyatakan Herman Rusli sebagai berikut. “Kita ingin seterusnya..pokonya pedestrian dikembalikan ke fungsi semula. Tidak ada kegiatan apa pun selain berjalan kaki. Kalau misalnya masih ada ya..ngasih tau segala macam sih udah. Bangsa kita masih taat hukum belum sadar hukum. Kalau taat hukum masih perlu diawasi ada petugas. Kalau ngga ada petugas ya rame lagi. Kalau sadar hukum ngga perlu diawasi udah tau sendiri” (wawancara dengan Herman Rusli, ST, Kepala Seksi Teknik Sarana dan Prasarana Lalu Lintas DLLAJ Kota Bogor, 27 Maret 2013). Sampai saat ini fasilitas jalur pedestrian masih menjadi objek bagi PKL, pangkalan ojek, pangkalan becak, dan parkiran untuk melakukan aktivitasnya. Artinya, masyarakat tersebut tidak menaati kebijakan pemkot untuk menjadikan fasilitas jalur pedestrian steril dari aktivitas selain berjalan kaki. Sebagai contoh, Kota Bogor memiliki Perda No. 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima yang salah satu pasalnya yaitu Pasal 15 menyatakan 11 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
bahwa PKL dilarang menggunakan badan jalan untuk tempat usaha, kecuali yang dikhususkan untuk lokasi PKL. Budaya PKL yang masih kurang disiplin tidak dapat dipungkiri dapat menghambat keberhasilan implementasi proyek pedestrian. Pihak Satpol PP diakui oleh Kepala Bidang Pengendalian dan Operasi telah berusaha memberikan pengertian kepada masyarakat untuk menjaga ketertiban di fasilitas jalur pedestrian. Tidak hanya itu, pihak pemkot juga sudah menawarkan solusi bagi PKL untuk direlokasi ke bangunan yang terdapat di Pasar Anyar. Akan tetapi, PKL menolak tawaran relokasi yang diberikan oleh pemkot. Jadi gini karakteristik dari PKL ditempatkan ditempatkan ditempatkan seperti pertokoan seperti itu dia tidak mau. Walaupun diberikan eengg dispensasi enam bulan tidak bayar tidak mau karna apa? Dia kan PKL inginnya hanya orang-orang yang berseliweran dia berjualan di situ akhirnya coba bayangkan dia ngga mau dipindahkan ingin tetap di situ. Akhirnya kita kan mau ngga mau ya kan mau menertibkannya agak lumayan tidak cukup satu kali sampai dua tiga kali kita menertibkan (wawancara dengan Lili Sutarwili, SE, Kepala Bidang Pengendalian dan Operasi, 24 April 2013). Keberadaan PKL selain mengurangi kenyamanan pejalan kaki juga mengurangi keindahan dan kebersihan dari fasilitas jalur pedestrian. Fasilitas jalur pedestrian kerapkali terlihat kotor seperti tidak terawat. Jika kesadaran pengguna jalan baik pejalan kaki maupun PKL tinggi, tentunya tidak akan membuang sampah di sembarang tempat. Sikap resisten PKL yang tinggi juga dipengaruhi oleh kekuatan yang bersifat politis. Menurut Lili Sutarwili, “PKL juga ada yang anggota partai jadi ngadu ke partainya ke dewan yah gitulah jadi politis juga” (wawancara dengan Kepala Bidang Pengendalian dan Operasi, 24 April 2013). 4.
Komitmen Pemerintah Kota Bogor Komitmen Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dalam pelaksanaan proyek pedestrian
dinilai lemah karena Pemkot Bogor belum membuat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bogor. Selain itu, Pemkot Bogor belum memiliki master plan terbaru dan peraturan daerah mengenai kewajiban Pemkot Bogor untuk menyediakan dan memelihara fasilitas jalur pedestrian belum selesai direvisi. Hal ini dinyatakan oleh Kepala Seksi Tata Ruang Dinas Wasbangkim Bogor, Kamal, “Yaaa sebenernya untuk RDTR belum bisa dijadikan dasar hukum ya karena memang belum dilegalformalkan. Jadi Ya belum ada perdanya begitu” 12 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
(wawancara dengan Kamal, ST., M.SE, Kepala Seksi Tata Ruang Dinas Wasbangkim Bogor, 4 Februari 2013). Selain itu, Herman Rusli juga menyatakan, “Kalau kita punya master plan lah, semua, baik itu master plan transportasi, RTRW, semuanya sinergis aja ngga akan terjadi kaya gini. Harusnya duduk sama-sama bikin masterplan kota. Sepuluh dua puluh tiga puluh ke depan mau seperti apa. Mulai dari RTRW nya dari utilitasnya juga. Karna kalau tabrak-tabrakan terus ngga akan berjalan dengan baik. Jadi harus ada komitmen kepala daerah di mana pun lah” (Wawancara dengan Herman Rusli, ST, Kepala Seksi Teknik Sarana dan Prasarana Lalu Lintas, 25 April 2013). 5.
Sumber Dana Pelaksanaan proyek pedestrian dilakukan dengan menggunakan dana APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dana tersebut hanya mencukupi untuk pembangunan fisik fasilitas jalur pedestrian. Sementara kebutuhan fasilitas pelengkap lain yang dapat menunjang kenyamanan pejalan kaki seperti shelter belum tersedia karena keterbatasan anggaran proyek, “Jadi gini dana itu kan terbatas jadi dicukupkan. Jadi contoh kalau uang yang diturunkan dua milyar bagaimana ngepasin dua m tadi”(Wawancara dengan Ir. Budi Arief, MT, Local Coordinator GIZ-Sutip Bogor, 26 April 2013). Selain kebutuhan dana bagi pembangunan fasilitas pelengkap jalan, menurut GIZ diperlukan dana penunjang lainnya misalnya untuk melakukan capacity building untuk para aktor (SKPD). Capacity building dilakukan dengan menyelenggarakan workshop-workshop yang didanai oleh GIZ. 6.
Sumber Daya Manusia Kemampuan personil dalam menangkap instruksi yang diberikan terbatas,
“Begini..mm ada kendala yang seringkali dihadapi ya selama proyek tersebut berlangsung. Kendalanya keterbatas SDM (sumber daya manusia), di sini kemampuan SDM antar dinas kan berbeda” (wawancara dengan Latif Priyadi, S.Si, Staff Pelaksana Subbidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kota Bogor, 26 Maret 2013). Pemerintah Kota Bogor menyadari bahwa salah satu yang menjadi kendala pada awal proyek pedestrian akan dilaksanakan adalah kesiapan pemkot untuk menjalani proyek tersebut. Dalam hal ini, kesiapan pemkot yang dimaksud adalah kesiapan kemampuan para aktor pelaksana. Untuk mengatasi kendala tersebut, pemkot bekerja sama dengan GIZ untuk melakukan capacity building sebagai salah satu upaya untuk melakukan pengembangan sumber daya manusia. Penyelenggaraan Capacity building diharapkan dapat membawa aktor pelaksana kepada tindakan yang on the track dalam menyelenggarakan proyek pedestrian. 13 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
Artinya, meminimalisasi terjadinya penyimpangan saat implementasi proyek pedestrian berlangsung. 7.
Pengawasan di Sepanjang Fasilitas Jalur Pedestrian Pengawasan terhadap PKL, parkir liar, dan kebersihan oleh bagian berwenang belum
dilakukan secara intensif sehingga kondisi fasilitas jalur pedestrian tidak tertib dan tidak rapi. Pengawasan yang tidak intens menyebabkan PKL terus menerus mencari kesempatan agar dapat berjualan di fasilitas jalur pedestrian. Hal ini diindikasikan karena terjadi kejenuhan petugas lapangan dalam melakukan pengawasan. Selain itu, insentif yang diberikan bagi petugas lapangan tersebut belum sesuai dengan beban kerja petugas. Bagi aktor pelaksana proyek atau SKPD, faktor insentif merupakan hal yang penting untuk mendorong dan meningkatkan motivasi sehingga diharapkan kinerja menjadi meningkat (baik). Bentuk insentif yang diberikan biasanya berupa uang untuk keperluan pelaksanaan tugas. Sebagai contoh, bagi SKPD lapangan seperti DLLAJ dan Satpol PP, insentif berupa uang tambahan bagi keperluan di lapangan menjadi penting karena SKPD ini mempunyai tugas ekstra yang menguras tenaga. Jika tidak diberikan insentif secara layak, yang akan terjadi adalah para SKPD akan bekerja setengah hati dalam melaksanakan tugasnya. Hal yang menjadi kekhawatiran adalah ketika SKPD memerlukan uang bekal untuk merokok, makan, atau minum namun tidak mencukupi, SKPD ini dimungkinkan untuk meminta uang kepada masyarakat misalnya saja PKL. Dapat dibayangkan apabila hal itu terjadi, maka SKPD akan membiarkan PKL berjualan di fasilitas jalur pedestrian sebagai imbalan atas uang yang diperoleh dari PKL. Hal ini didukung oleh pernyataan Lili Sutarwili, SE: “oh ada ada honornya. Kan lumayan di lapangan suka mau merokok. Ya kita juga menjaga supaya dia ngga minta orang di lapangan, ntar jadi boleh dong” (wawancara dengan, Lili Sutarwili, SE, Kepala Bidang Pengendalian dan Operasi Satpol PP Kota Bogor,24 April 2013). Di samping PKL dan kendaraan bermotor, banyaknya aktivitas di fasilitas jalur pedestrian tidak dapat dipungkiri menyebabkan adanya sampah yang berserakan. Namun, sampah yang berserakan di fasilitas jalur pedestrian tidak sepenuhnya salah pengguna jalan. Kebersihan tersebut menjadi tanggung jawab DKP sehingga ketika mengetahui fasilitas jalur pedestrian mulai kotor perlu segera dibersihkan. Kenyamanan pejalan kaki tidak hanya didapat dari ruang sirkulasi yang besar tetapi juga dari kondisi lingkungan yang bersih dan rapi. Pejalan kaki akan merasa tidak nyaman jika fasilitas jalur pedestrian tidak dijaga kebersihannya. 14 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
SIMPULAN Berdasarkan pada seluruh data, hasil pengamatan lapangan, dan hasil wawancara yang telah diperoleh dan diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka peneliti memperoleh simpulan bahwa terdapat tujuh faktor yang memengaruhi implementasi pedestrian project di Jalan Nyi Raja Permas Kota Bogor. Faktor-faktor tersebut yaitu terdapat beberapa faktor yang memengaruhi implementasi pedestrian project, yaitu sosialisasi tentang penyelenggaraan proyek pedestrian, koordinasi antarlembaga, reaksi dari PKL, komitmen Pemerintah Kota Bogor, sumber dana, sumber daya manusia, dan pengawasan di sepanjang fasilitas jalur pedestrian. REKOMENDASI Rekomendasi yang dapat peneliti berikan berdasarkan simpulan penelitian antara lain sebagai berikut. 1. Meningkatkan intensitas pelaksanaan sosialisasi dan memberikan edukasi secara intens kepada masyarakat tentang fungsi fasilitas jalur pedestrian. Pemberian edukasi dapat dilakukan dengan menyelenggarakan public campaign atau menyelenggarakan diskusi terbuka untuk semua kalangan masyarakat tentang visi dan misi Pemkot Bogor untuk menyukseskan program Non-Motorized Transportation sehingga masyarakat mengetahui bahwa fasilitas jalur pedestrian sangat penting dalam mewujudkan Kota Bogor yang sehat dan humanis. 2. Meningkatkan koordinasi antarlembaga. Dalam hal ini, hal yang perlu diperhatikan adalah frekuensi pelaksanaan rapat yang bersifat rutin dengan membuat jadwal pelaksanaan rapat sehingga meminimalisasi terjadinya misskoordinasi. 3. Pemerintah Kota Bogor harus membuat kebijakan relokasi yang tepat untuk para PKL. Misalnya dengan menyediakan space bagi PKL untuk berjualan di sekitar area Stasiun Bogor. Selain itu, Pemkot Bogor, terutama Walikota Bogor, perlu melakukan pendekatan yang baik kepada PKL dengan cara membuka forum diskusi dengan suasana yang informal. 4. Pemerintah Kota Bogor perlu membuat masterplan Kota Bogor sehingga pembangunan kota menjadi terarah dan terencana. Selain itu, Pemkot Bogor juga harus segera menyelesaikan pembuatan RDTR untuk memudahkan zoning terkait area yang diperbolehkan untuk dibangun fasilitas perkotaan. 5. Menyusun anggaran secara tepat dengan mempertimbangkan segala aspek yang diperlukan dalam pembangunan fasilitas jalur pedestrian. Dalam hal ini, fasilitas pelengkap jalur 15 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
pedestrian perlu dipertimbangkan dalam melakukan alokasi anggaran sehingga penyelenggaraan proyek berjalan dengan maksimal. 6. Meningkatkan intensitas pelaksanaan pelatihan yang berkaitan dengan bidang masingmasing untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan personil. 7. Meningkatkan intensitas pengawasan dan menegakkan law enforcement terhadap PKL, ojek, dan becak yang masih beroperasi di sepanjang fasilitas jalur pedestrian. Law enforcement dilakukan berdasarkan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, Pemkot Bogor dapat memberikan sanksi yang tegas berupa penetapan denda kepada pelanggar sesuai dengan perda agar implementasi pedestrian project tahap selanjutnya dapat berlangsung dengan baik dan tertib. Upaya lain yang dapat dilakukan oleh Pemkot Bogor adalah memeriksa kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) para PKL. Jika PKL adalah warga Bogor, Pemkot Bogor dapat memberikan kesempatan bagi PKL tersebut untuk direlokasi ke tempat yang telah ditentukan. Namun, jika PKL tersebut bukan warga Bogor, Pemkot Bogor perlu bertindak tegas dengan mempersilahkan kepada PKL tersebut untuk kembali ke daerah asalnya. Selain itu, dalam rangka menunjang kinerja personil yang bertugas di lapangan seperti Satpol PP dan DLLAJ, perlu mendapatkan insentif berupa dana operasional tambahan untuk meminimalisasi risiko terjadinya penyimpangan di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Anggriani, Niniek. 2009. Pedestrian Ways dalam Perancangan Kota. Surabaya: Yayasan Humaniora. Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Edward, Geoerge C. 1980. Implementing Public Policy. United States of America: Congressional Quarterly Press. Giacchino S, Kakabadse A. 2003. “Successful policy implementation: the route to building self-confident government.” International Review of Administrative Sciences 69: 139–160. McGill, Ronald. 1998. “Viewpoint Urban Managemenet in Developing Countries.” Cities, Vol. 15, No. 6, pp. 463–471, 1998. 30 September 2012. Great Britain: Elsevier Science Ltd. hanlin2.hbu.edu.cn/duan/doc/2.pdf Nawawi, Ismail. 2009. Public Policy:Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek. Surabaya: PMN. Nurmandi, Achmad. 2006. Manajemen Perkotaan: Aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah Perkotaan, dan Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing. Pontoh, Nia Kurniasih dan Iwan Kustiwan. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 16 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013
Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia. WUNAS, Shirly. 2011. Kota Humanis. Surabaya: Brilian Internasional. GIZ. Komponen Transportasi Perkotaan Pejalan Kaki. 16 September 2012. sutip.mine.nu/GD/Indonesian_Version/3.Pejalan_Kaki.pdf Redaksi. Proyek Pedestrian Nyi Raja Permas Terancam Gagal. (31 mei 2012). Kabarpublik. http://www.kabarpublik.com/2012/05/proyek-pedestrian-nyi-raja-permas-terancamgagal/ Redaksi. Proyek Pedestrian Dipastikan Molor. (29 Agustus 2012). Poskotanews. http://www.poskotanews.com/2012/08/29/proyek-pedestrian-dipastikan-molor/
17 Faktor-Faktor..., Rika Purnama Sari, FISIP UI, 2013