PEMBANGUNAN PERTANIAN RAKYAT MENUJU KETAHANAN DAN SWASEMBADA PANGAN1 Sebuah analisis hubungan ketahanan pangan dan ketahanan nasional Oleh: Zefirinus K Lewoema2 dan Roby Fauzan3 Intisari Ketahanan pangan nasional adalah faktor pendukung ketahanan nasional Indonesia. Jika warganegara Indonesia kurang mendapat asupan gizi yang cukup, akibatnya adalah hilangnya generasi yang berkualitas, lemahnya posisi tawar negara dalam pergaulan di duinia internasional serta semakin menurunnya kekuatan negara dalam menjaga keutuhan NKRI. Pertanian merupakan komponen utama dalam proses penyediaan pangan nasional. Dalam konteks agribisnis, komponen ini harus diperhatikan secara serius. Kegagalan dalam pertanian sangat mempengaruhi proses-proses agribisnis selanjutnya. Sulit dibayangkan apabila gagalnya sektor pertanian mempengaruhi image dan reputasi Negara Indonesia sebagai sebuah negara agraris. Gagalnya sektor pertanian di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal; lemahnya network antara komponen-komponen pembangunan yang ada (software, hardware dan orgware). Network yang lemah ini tentu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor alam, sosial, kemampuan SDM serta, serta faktor kemampuan berinteraksi. Keadaan ini diperparah dengan kebijakan-kebijakan publik yang tidak memihak kepada kepentingan negara Indonesia yang berciri khas Negara Agraris. Kondisi kegagalan di bidang pembangunan pertanian ini masih dapat diselamatkan. Beberapa solusi yang ditawarkan setelah melihat kondisi ril di lapangan adalah sebagai berikut: mencari penyebab kegagalan di bidang pertanian; meningkatkan diversifikasi pangan; revitalisasi peranan penyuluh pertanian, serta; menerapkan risk management system dalam mengatasi gangguan terhadap sistem perberasan nasional. Kata kunci : pangan, gizi, agribisnis, ketahanan nasional, software, hardware, orgware dan risk management.
1. Pendahuluan •
Latar belakang Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki sumberdaya manusia yang handal. Kemampuan sumberdaya manusia diukur dari derajat kompetensi yang dimiliki tiap individu. Dalam paradigma pendidikan yang humanistik, kompetensi merupakan resultan dari pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) serta perilaku (attitude), (Maslow,H.,1979). Salah satu faktor penentu dalam peningkatan kompetensi sumberdaya manusia adalah nutrisi. Serapan nutrien yang memadai mampu menjamin terbentuknya tubuh yang sehat. Pada gilirannya, tubuh yang sehat mampu mengendalikan jiwa yang sehat (men sana in corpore sano). Karena itu, ketersediaan pangan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Akan hal ini, sebuah adagium klasik berbunyi : Primum Vivere, Deinde Philosophare (kenyang dulu baru berfilsafat). Adagium ini tidak salah karena segala aktivitas tubuh harus didukung energi serta serta komponen-komponen biokimia pangan lainnya (protein, lemak, vitamin, mineral, air dan oksigen). Secara normatif, kecukupan perolehan pangan merupakan hal yang tidak bisa ditawar, namun kenyataan berkata lain. Walaupun sudah ada aturan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, dalam kenyataan, kecukupan pangan belum mendapat tempat yang
1
sepantasnya. Adalah berita lama jika setiap tahun surat kabar-surat kabar mengejutkan publik Indonesia dengan berita tentang gizi buruk yang mendera anak-anak di beberapa wilayah. Kompas (7/6/2005) memberitakan bahwa ada 66.685 anak di provinsi NTT, 49.000 anak di NTB dan 425 anak di Boyolali menderita gizi buruk. Keadaan ini memprihatinkan karena banyak di antara mereka meninggal dunia. Selain faktor kesehatan pribadi anak, rendahnya kemampuan finansial orangtua juga menjadi penyebab ketidakcukupan asupan gizi pada anak-anak tersebut. Sebetulnya, banyak wilayah Indonesia yang sedang mengalami rawan pangan. Secara logis, kondisi rawan pangan adalah negasi dari ketahanan pangan. Padahal, menurut UU Nomor 7 Tahun 1996, pasal 1 ayat 17, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. UU ini masih menjangkau sebatas rumah tangga dan bukan individu, sementara Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action menegaskan bahwa: “Food security exists when all people, at all times have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for an active and healthy life”. Penegasan ini sangat sarat muatan hak asasi manusia secara individu. Tampak jelas di sini bahwa setiap warga Indonesia, siapapun dia, berhak menikmati pangan yang cukup. Definisi yang diberikan oleh Rome Declaration lebih tepat sasar terhadap kepentingan hak asasi manusia untuk mendapatkan pangan yang layak. •
Pangan dan hak asasi manusia Ada beragam definisi tentang pangan, mulai dari definisi yang paling sederhana hingga definisi yang cukup kompleks. Dalam konteks multidimensi pangan, maka pangan didefinisikan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi rakyat yang harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu bergizi dan beragam dengan harga terjangkau oleh daya beli masyarakat. Tampak jelas di sini kalau pangan adalah hak asasi manusia. Sehubungan dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bangsa dan budaya, kiranya definisi ini membawa angin segar bagi kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jaminan ini tentu pelu dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan dalam kesinambungan produksi pangan serta terbukanya ruang bagi diversifikasi pangan.
2. Permasalahan : Berangkat dari latar belakang di atas, sangat jelas bahwa komponen-komponen pertanian besbasis rakyat sebetulnya sudah ada. Indonesia sudah memiliki semua perangkat baik software (SDM, UU), hardware (infrastruktur) serta orgware (institusi), (Leeuwis, 2006). Fakultas-fakultas pertanian menjamur di setiap univertitas di tiap provinsi. Sementara itu, lembaga-lembaga penelitian pertanian pun mengambil peran menyuplai ilmu-ilmu pertanian terapan. Di lain pihak, infrastruktur di bidang pertanian pun meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Lebih lanjut lagi, dengan terbukanya peluang otonomi daerah, seharusnya perangkat-perangkat tersebut dapat difungsikan secara optimal. Persoalannya adalah bagaimana membuka jaringan kerja baru antara komponen-komponen tersebut. Jaringan kerja (network)yang dibangun kiranya dapat meningkatkan kesepahaman (Sivamohan et al., 2001) terhadap pertanian berbasis rakyat untuk ketahanan dan swasembada pangan. 3. Pembahasan •
Rawan Pangan, siapa yang bertanggungjawab? Sebagai sebuah Negara agraris, seharusnya rawan pangan tidak boleh terjadi. Kalaupun ini “terlanjur” terjadi, maka hal ini sangat ironis dan perlu mendapat perhatian serius, mengingat ketahanan pangan adalah penentu ketahanan nasional. Bagaimana orang bisa beraktivitas kalau tidak ada jaminan ketersediaan pangan yang cukup dan bermutu? Di dalam paradigma pembangunan bernuansa “good governance”, sudah seharusnya setiap aktor pembangunan diperankan. Urusan pangan bukan lagi semata urusan pemerintah. Tiap-
2
tiap stakeholder dalam pertanian harus dilibatkan agar mereka dapat memberi kontribusi terhadap arah dan kebijakan pertanian. Satu hal penting yang harus dilakukan secara serius adalah menempatkan petani sebagai subyek yang berperan setara dengan pelaku-pelaku pertanian yang lainnya. Ketika petani sudah diperankan setara dengan pelaku-pelaku lainnya, maka adopsi dan difusi inovasi dalam pertanian dapat dilaksanakan. •
Pertanian gagal, apa penyebabnya ? Gagalnya usaha pertanian di Indonesia merupakan pukulan berat bagi siapa saja yang memiliki hubungan langsung dengan urusan pertanian. Tingginya ongkos-ongkos produksi (pupuk, bibit, tenaga kerja, dll), rendahnya produktivitas, serta lemahnya posisi tawar harga produksi pertanian merupakan ciri utama gagalnya pertanian di Indonesia. Dengan merujuk pada definisi agribisnis sebagai serangkaian usaha pertanian yang dimulai dari persiapan lahan, bibit, dan sumberdaya-sumberdaya lainnya hingga tahapan panen serta pasca panen dan pemasaran (Tjakrawardaya,1990); maka sudah jelas di sini bahwa Indonesia tidak sukses melaksanakan pembangunan pertanian itu sendiri. Dari berbagai informasi, sekurankurangnya ada 4 penyebab umum kegagalan dalam pembangunan pertanian di Indonesia yakni: kegagalan dalam penyediaan infrastruktur, kegagalan dalam institusi, kegagalan dalam system interaksi dan kegagalan dalam perihal kapabilitas para pihak (Woolthuis et al., 2004). Jika demikian, sangat nyata bahwa pembangunan pertanian perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
•
Apakah selamanya harus bergantung pada konsumsi beras? Pertanyaan ini sangat menarik untuk didiskusikan. Kami mengambil contoh di NTT di mana beberapa tahun terakhir ini banyak mencuat isu rawan pangan. Adalah pemandangan yang biasa jika gagal panen terjadi, maka sejumlah orang dari Kantor Ketahanan Pangan segera diterjunkan ke desa-desa sasaran. Mereka mendata berapa jumlah lahan yang gagal berproduksi. Data-data tersebut akan diserahkan ke DOLOG untuk meningkatkan stok beras untuk daerah ini. Untuk situasi emergensi, tindakan ini sah-sah saja. Namun jika kejadian ini berulang kali terjadi, maka perlu dipertanyakan keberlanjutan budidaya padi di daerah ini. Kondisi ini sangat ironis karena NTT sangat potensial hasil laut, dan hasil-hasil pertanian rakyat seperti kelapa, singkong, ubi-ubian, pisang serta masih banyak sumber sumber pangan yang tidak kalah kandungan nutrisinya dibandingkan dengan beras. Banyak kepalakepala daerah di sana memiliki visi pembangunan berbasis budaya, tapi lupa bahwa keanekaragaman konsumsi pangan pun termasuk tindakan “menyelamatkan” budaya lokal.
•
Revitalisasi peran penyuluh pertanian; from extention workers to communication workers? Dunia komunikasi pertanian sudah berkembang sangat pesat. Jika pada beberapa dekade yang lalu, pertanian identik dengan usaha yang dilakukan di luar kawasan urban ( rural area), dan masih sebatas usaha produksi hasil hasil pertanian, maka saat ini situasi sudah sangat berubah. Dalam kajian rural development sociology, pertanian telah melibatkan banyak pihak selain petani, dan telah menjadi issu yang sangat kompleks yang perlu ditangani secara menyeluruh pula. Kompleksitas ini perlu dipahami pula oleh para penyuluh pertanian sebagai pelaku di lini terdepan bersama petani. Dengan merujuk pada situasi global di mana sumberdaya petani sudah meningkat, semakin terbukanya ruang partisipasi bagi petani, maka peran penyuluh pertanian saat ini bukan hanya sebagai extension workers saja. Sudah saatnya penyuluh pertanian berperan sebagai communication workers. Jika sebagai extension workers, penyuluh pertanian cenderung berperan sebagai ‘juru transfer teknologi’, maka sebagai communication workers mereka perlu mengemban peran intervensionist di dalam innovasi dan komunikasi pertanian. Artinya, mereka tidak hanya sebagai penyampai metode dan teknik pertanian saja, tetapi juga sebagai innovator-innovator yang memiliki etika dalam komunikasi pertanian. Etika dalam komunikasi pertanian memberi ruang bagi partisipasi petani, membuka peluang bagi petani untuk memberikan masukan-masukan berdasarkan pengalaman di lapangan serta. Partisipasi petani dalam adopsi innovasi
3
pertanian perlu dilakukan secara bertahap, tanpa paksaan dan memiliki orientasi jangka panjang. •
Pangan dan Ketahanan Nasional Sistem ketahanan pangan adalah bagian intergral dan tak terpisahkan dari sistem ketahanan nasional. Sistem ini langsung menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup rakyat yang merupakan komponen utama pembentuk dan penyokong negara. Fokus program pada intensifikasi dan ekstensifikasi produksi serta sistem distrubusi dan prasarana perberasan nasional sebagai staple food utama rakyat Indonesia juga harus dibarengi analisis mengenai kemungkinan kegagalan sistem ketahanan pangan akibat faktor eksternal dan internal. Diversifikasi produksi pangan bukan hanya tindakan menyelamatkan budaya lokal tetapi sebagai “risk management” terhadap kemungkinan gangguan sistem perberasan nasional (produksi, distribusi, infrastruktur). Dapatkah anda bayangkan apabila terjadi suatu infiltrasi ‘wabah dan penyakit’ terhadap tanaman padi secara hampir merata di Indonesia dalam satu musim yang mengakibatkan gangguan besar sistem produksi pangan, bagaimana efeknya terhadap sistem ketahanan politik, ekonomi dan militer Indonesia? Skenario hipotetif lanjutannya, bagaimana jika hal itu kemudian disusul agresi militer negara asing? Bagaimana jika ada pihak – pihak yang ‘kurang bersahabat’ sengaja menyebarkan hama padi tersebut di Indonesia? Selain itu, perlu diperhitungkan analisis proposisi faktor ketergantungan konsumsi terhadap kebijakan pangan nasional. Jika suatu barang konsumsi mempunyai efek ketergantungan, maka gangguan terhadap sistem penyediaan barang tersebut ke pasar akan mengakibatkan efek gangguan cukup kuat bagi perilaku konsumen. Ambil contoh pemakaian telepon genggam, jika anda merasa telepon genggam sudah menjadi kebutuhan internal harian anda, bagaimana perasaan anda jika tiba-tiba telepon genggam anda tertinggal di rumah. Besar tidaknya efek tergantungan konsumsi tergantung resistensi, persepsi, dan adaptasi konsumen terhadap barang tersebut, yang bervariasi setiap individu. Mahasiswa Indonesia di Belanda dan Eropa tentunya mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda – beda terhadap produk pangan lokal. Pertanyaan besarnya adalah, jika kita mengambil hipotesis bahwa tingkat ketergantungan pangan domestik di Indonesia terhadap beras demikian tingginya, bagaimana efeknya jika terjadi gangguan terhadap sistem perberasan nasional? Bagaimana jika solusi impor tiba-tiba tidak dapat dijalankan sementara produksi nasional terganggu dan hanya bisa mensuplai 50% kebutuhan konsumsi domestik minimum? Bagaimana pula antisipasi dampak climate change and natural disaster terhadap sistem produksi pangan Indonesia? Adakah blueprint ketahanan nasional terkait dengan ketahanan pangan dan disaster management?
4. Kesimpulan •
•
•
•
Kebutuhan akan makanan adalah hak asasi manusia. Pemenuhan kebutuhan pangan tidak hanya dalam hal bagaimana memperoleh pangan, tetapi juga bagaimana mengurangi ketergantungan pangan kepada pihak manapun. Memenuhi kebutuhan pangan dalam bentuk impor beras bukanlah sebuah pilihan yang ideal. Karena ketahanan pangan berperan vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tanggungjawab akan hal ini pun dibebankan kepada semua pihak. Dengan demikian, perlu ada jaringan kerja yang jelas di antara para pihak sehingga dapat dihasilkan arah dan kebijakan pertanian yang merakyat. Untuk mendukung suksesnya pertanian rakyat menuju ketahanan dan swasembada pangan, peran penyuluh pun perlu direvitalisasi. Mengingat dinamika dan kompleksitas dalam masyarakat (tani), maka revitalisasi peran penyuluh pertanian perlu dimulai dari perubahan peran extension workers menjadi communication workers. Mengingat keragaman daerah dan budaya Indonesia, maka diversifikasi pangan kiranya dapat memperkokoh ketanahan pangan nasional, yang pada akhirnya dapat memperkokoh
4
•
ketahanan nasional. Dengan demikian, ketahanan pangan juga harus dilihat pada konteks lebih luas sebagai bagian integral dan tidak terpisahkan dari sistem ketahanan nasional. Karena ketahanan pangan menyangkut kehidupan masyarakat, maka perlu adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat serta petani sebagai produsen pertama pangan nasional.
5. Rekomendasi • Lakukan diversifikasi pangan. • Memperkuat jaringan petani dalam rangka meningkatkan posisi tawar terhadap harga jual produksi pertanian. • Integrasi kebijakan sistem ketahanan pangan sebagai bagian integral sistem ketahanan nasional • Revitalisasi peranan penyuluh pertanian 1. Makalah disampaikan pada Konferensi Pelajar Indonesia, Den Haag 26 September 2008. 2. Mahasiswa pada program Management of Agro-ecological Knowledge and Social Changes, Wageningen University and Research Centre (WUR) 3. Mahasiswa pada program Agricultural and Bioresource Engineering, Wageningen University and Research Centre (WUR)
5