Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
ANALISIS FILOSOFI PRAGMATISME INSTRUMENTAL DAN IMPLIKASI DENGAN KURIKULUM PENDIDIKAN FORMAL DI INDONESIA Oleh: Nurdiati Akma (Mahasiswi S3 Pendidikan Agama Islam di Universitas Ibnu Khaldun Bogor) Abstraksi Tulisan ini membahas tentang analisis filsafat pragmatisme instrumental dan implikasinya dengan kurikulum pendidikan formal di Indonesia. Menurut pragmatisme instrumental tujuan pendidikan, adalah: a) menyiapkan seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi iman; b) menyiapkan seseorang dari segi akhlak; c) menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial; d) menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan; e) menyiapkan seseorang dari segi pemikiran dan f) menyiapkan seseorang dari segi kesenian. Sedangkan Kurikulumnya berupa ilmu pengetahuan yang dibagi tiga kelompok : (1) Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra; (2) Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidahkaidah fiqh; dan (3) Ilmu aqli, ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir dan kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan, termasuk ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu hitung, dan ilmu tingkah laku. Ini beimplikasi kepada Kurikulum 2013. Kata Kunci: Filsafat Pragmatisme Instrumental, Kurikulum Pendidikan Abstraction This paper discusses the philosophy of pragmatism instrumental analysis and its implications with the formal education curriculum in Indonesia. According to the instrumental pragmatism educational purposes, are: a) preparing a person of religious terms to strengthen the potential of faith; b) prepares a person in terms of morals; c) prepares a person in terms of civic or social; d) prepares a person in terms of vocational or job; e) prepares a person in terms of thought and f) prepares a person in terms of art. While the curriculum is in the form of science is divided into three groups: (1) Studies of oral (language), grammar and literature; (2) Science naqli, science is taken from the Koran and the Hadith, the form of hermeneutics, sanad, and istinbat about the rules of fiqh; and (3) Science aqli, science can show the power of human thought and intelligence to the philosophy and all knowledge, including science mantiq (logic), natural science, arithmetic, and behavioral science. This has implications for the curriculum in 2013. Keywords: Philosophy of Pragmatism Instrumental, Education Curriculum
PENDAHULUAN
1122
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
Fisafat dalam konteks pendidikan memiliki kedudukan fundamental untuk memecahkan masalah pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan acuan dalam menentukan arah pendidikan. Filsafat pendidikan dapat mengkaji dan memikirkan tentang hakikat segala sesuatu secara menyeluruh, sistematis, terpadu, universal dan radikal yang hasilnya menjadi pedoman dan arah dari perkembangan ilmu dan praktik pendidikan. Pemahaman tentang filsafat pendidikan dapat berguna dalam membimbing dan mengkritisi perkembangan teori pendidikan. Pengetahuan filosofis dapat memberikan pembenaran untuk metodologi pengajaran; mengungkapkan dan menantang asumsi tentang sifat pengajaran; dan menyediakan bahasa untuk bahan diskusi pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Jalaludin dan Idi (1997) yang menyatakan bahwa untuk memecahkan masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan keseluruhannya hanya dengan mempergunakan metode ilmiah semata, akan tetapi untuk memecahkan masalah pendidikan seseorang harus menggunakan analisis filsafat.1 Hal yang sama dikemukakan oleh Profesor Hirst (1966) bahwa unsurunsur non-ilmiah sangat berperan dalam studi tentang fenomena pendidikan, dan bahwa teori pendidikan dapat muncul dari berbagai sumber pengetahuan seperti filsafat (metafisika, epistemologi), berbagai pengetahuan, keyakinan, agama, kebudayaan, dll.2 Terkait dengan hal tersebut, penulis mencoba menganalisis salah satu pemikiran (filsafat) pendidikan islam, yaitu Filsafat Pragmatis Instrumental yang merupakan pemikiran intelektual Muslim Ibnu Kaldun dan implikasi terhadap kurikulum pendidikan nasional (Indonesia). Ibnu Khaldun adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang kreatif menghidupkan khazanah intelektualisme pendidikan Islam. Filsafat Pragmatis Instrumental merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan islam yang berpangaruh dunia pendidikan, khusunya dunia pendidikan islam.
FILOSOFI PRAGMATISME INSTRUMENAL Jalaluddin, H dan Idi, Abdullah, (1997), “Filsafat Pendidikan”. Jakarta: Gaya Media Pratama hlm 24 2 Hirst, Paul H. (1966). Educational Theory (Dalam The Study of Education, J.W. Tibble (Ed). Routledge and Kegan Paul. London. 1
1123
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
A. Hakekat Pendidikan menurut Pragmatisme Instrumenal Ibnu Khaldun memandang pendidikan mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang
zaman.
Hal
ini
sesuai
dengan
pernyataanya
dalam
buku
“Muqaddimah”, menyatakan bahwa: “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya” (Ibnu Khaldun, 1986:527).3 Selanjutnya Ibnu Khaldun dalam Warul Walidin, AK dalam bukunya Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif
Pendidikan menyatakan,
bahwa: Kalau yang satu telah lebih dahulu (datang) mempengaruhinya, sifat yang lain akan menjauh dalam bentuk yang seimbang, sehingga menjadi sukar baginya untuk memperoleh sifat yang telah menjauh itu. Orang-orang yang memiliki sifat kebaikan itu telah terlebih dahulu mempengaruhi dirinya, sehingga telah menjadi sifat yang tertanam dalam jiwanya, ia akan terjauh dari kejahatan, dan sukar baginya untuk melakukan kebaikan. Apabila kebiasaan-kebiasaan yang jahat itu terlebih dahulu sampai kepadanya, maka akan menjauh dari sifat kebaikan.4 Meskipun tidak memberikan pengertian pendidikan secara jelas, namun ia menegaskan bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban manusia (Ibnu Khaldun, 1986:534)5. Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai muta’allim yang dituntut untuk mengembangkan segala potensi yang telah dianugerahkan oleh
3
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, 1986, (terj.) Ahmadi Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus) Warul Walidin, AK, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, m s : 97-98 5 Ibid 4
1124
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
Allah Swt. Dia memberi petunjuk kepada muta’allim agar berhasil dalam studinya dan menyatakan: Hai pelajar, ketahuilah bahwa saya di sini akan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi studimu. Apabila kamu menerimanya dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh, kamu akan mendapatkan suatu manfaat yang besar dan mulia. Bahwa kemampuan manusia adalah anugerah khusus yang alami ciptaan Allah, sama seperti Dia menciptakan semua makhlukNya.6 Ibnu Khaldun menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan,
(Fathiyah,
1987:31) 7.
Selanjutnya
beliau
mengakui
bahwa
lingkungan dan pendidikan merupakan faktor determinan bagi kencenderungankecendurangan individu (Jawad Ridla, 2002:175) 8. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia dan akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan,
maklumat-maklumat,
data
kegiatan-kegiatan,
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.9 Al-Syaibani (1979:66) mencoba menganalisis tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Menurutnya ada enam tujuan pendidikan, yaitu : a) menyiapkan seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi iman, sebagaimana dengan potensi-potensi lain; b) menyiapkan seseorang dari segi akhlak; c) menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial; d) menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan; e) menyiapkan seseorang dari segi 6
Thoha Ahmadi, 2001 Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khadun, Jakarta: Tim Pustaka Firdaus, hlm 754 7 Sulaiman, Fathiyah Hasan, 1987, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Diponegoro) 8 Jawwad Ridla, Muhammad, al-Fikr al-Tarbawiyy al-Islamiyyu Muqaddimat fi-Ushulih alIjtima‟iyyati wa al-„Aqlaniyyat, terj. Mahmud Arif (2002), Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm 175 9 Ibid
1125
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu dan f) menyiapkan seseorang dari segi kesenian10. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan agama dan ahklak atau tujuantujuan kemanfaatan yang tidak bertentangan dengan agama dan ahklak. Dengan kata lain Ibnu Khaldun telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi. Di samping pemikiran Ibnu Khaldun sangat rasionalis, karena pernah belajar filsafat, sekaligus merupakan seorang empiris. Perpaduan dua aliran ini yang pada masa sekarang disebut ilmiah. Bahkan Fuad Baali dan Ali Wardi berpendapat bahwa Ibnu Khaldun sangat religius dan memiliki kecenderungan sufistik. Hal ini dibuktikan bahwa Ibnu Khaldun pernah menjabat sebagai Hakim Agung Madzhab Maliki di Mesir berkali-kali. Muhammad Iqbal juga menambahkan bahwa Ibnu Khaldun adalah satu-satunya muslim yang telah memasuki tasawuf yang berjiwa ilmiah.11 Dengan demikian, Pendidikan Pragmatisme Instrumental Ibnu Khaldun merupakan sebuah paradigma yang mengimplikasikan proses pendidikan dengan berorientasi kepada aspek-aspek pemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun rohani-psikologis. Aspek fisik-biologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan, pertumbuhan dan penuaan. Sedangkan aspek rohanipsikologis manusia melalui pendidikan, yaitu didewasakan, disadarkan dan diinsan kamil-kan. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling mendalam dari kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan kerohanian, sebagai elemen
yang
berpretensi
positif
bagi
pembangunan
kehidupan
yang
berkebudayaan dan berkeadaban. Paradigma Ibnu Khaldun terhadap pendidikan pada hakikatnya lebih menonjokan dan mementingkan konsep pendidikannya kepada pembentukan 10
Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, 1979, Jakarta: Bulan Bintang hlm 66 11 Suharto, Toto. 2003. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, hlm 30
1126
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
perilaku, ahklak dan budi pekerti. Hal ini dilakukan sebagai wujud apresiasi Ibnu Khaldun terhadap ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Terkait dengan konsep pendidikan, Ibnu Khaldun pada hakikatnya lebih dulu dibandingkan dengan konsep pendidikan yang dibangun oleh para filosof Barat, akan tetapi karena faktor publikasi yang minim dari umat Islam, menyebabkan seakan-akan konsep terebut diambil dari konsep pendidikan Barat. Oleh karena itu, paradigma pendidikan Ibnu Khaldun merepresentasikan pemikiran pendidikan yang relevan dengan konsep pendidikan modern. Dalam arti pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun dapat diemplementasikan dalam konteks kekinian yakni dalam aspek tujuan pendidikan, hakekat pendidik, hakekat peserta didik, dan hakekat kurikulum. B. Pragmatisme Instrumenal tentang Kurikulum Untuk membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena kurikulum pada zamannya berbeda dengan kurikulum masa kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. 12 Dalam hal materi pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang dikenal umat manusia terdiri atas. Pertama adalah ilmu yang bersifat naqliyah (tekstual), yaitu ilmu yang dikutip manusia dari merumuskan atau menetapkan landasannya dan diwariskannya secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Seluruh ilmu model pertama ini bersumber dari kabar peletak syari’at, yaitu Allah Swt, dan akal tidak berperan sama sekali, selain menghubungkan cabang permasalahannya pada sumber utama. Ilmu model ini berusaha menjelaskan akidah, mengatur kewajiban agama dan memberlakukan undang-undang syari’at. Dengan kata lain, ilmu naqliyah adalah ilmu agama dengan segala macamnya serta ilmu penunjang yang berhubungan dan
12
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta , hal. 480
1127
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
dipersiapkan untuk dipelajari, seperti ilmu lughat (linguistik), ilmu nahwu (tata bahasa) dan lain-lain.13 Kedua adalah ilmu-ilmu ‘aqliyah (rasional), yaitu buah dari aktivitas pikiran manusia dan perenungan. Ilmu-ilmu ini bersifat alamiah bagi manusia, dengan pandangan bahwa manusia adalah homospices. Ilmu-ilmu ini tidak khusus bagi masalah keagamaan, tetapi berlaku bagi para pemeluk agama lain dan mereka sama di dalam menerima pengetahuan dan bahasanya. Ilmu-ilmu ini telah ada sejak manusia diciptakan dan disebut dengan filsafat hikmah. Manusia mengambil petunjuk dari ilmu-ilmu ini dengan potensi dan pikirannya, sehingga memahami
obyek
permasalahannya
serta
aspek-aspek
keterangan
dan
pengajarannya.14 Ibnu Khaldun memiliki pandangan demikian, karena telah mengamati kurikulum yang diajarkan baik di Maghribi, Andalusia, Afrika dan Timur. Fakta yang dijumpai Ibnu Khaldun mendorong untuk mengkritisinya, seperti para peserta didik yang belakangan diamati Ibnu Khaldun banyak menghabiskan waktu hanya untuk belajar ilmu alat saja. Sedangkan di Maghribi yang membatasi pendidikan dan pengajaran al-Qur’an bagi anak-anak serta pengajaran al-Qur’an terpisah dari pelajaran lainnya. Kondisi ini mengakibatkan peserta didik bisa menjadi ahli al-Qur’an atau justeru drop out sebelum berhasil.15 Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum pada pendidikan tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib sebatas mempelajari al-Qur‟an dari berbagai segi kandungannya. Lain halnya di Andalusia, tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur‟an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan. Demikian pula di Ifrikiya yang mengkombinasikan pengajaran al-Qur‟an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu (Al-Syaibani, 1979:760)16.
13
Ibnu Khaldun, (1926) Muqadimah Kairo: Dar al-Ulum, 305 Ibid 15 Ibid, 761. 16 Idid 14
1128
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
Menurut Beavers (2001:117) memunculkan pemikiran pendidikan yang istimewa menuju horizon baru pemikiran pendidikan Islam. Hal ini tercermin pada apresiasi Ibnu Khaldun terhadap ragam ilmu yang menurutnya dibagi menjadi dua yaitu ilmu-ilmu tradisional seperti al-Qur‟an, hadits, kalam, sufisme dan penafsiran mimpi dan ilmu-ilmu aqli yaitu logika, matematika, fisika dan metafisika. Cabang-cabangnya begitu rinci, sehingga lebih bercorak ensiklopedis yang ditulis untuk tujuan pendidikan. Kaitannya dengan pemikiran filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual hingga sekarang 17. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu. Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok : (1) Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra; (2) Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh; dan (3) Ilmu aqli, ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir dan kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan, termasuk ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu hitung, dan ilmu tingkah laku. Dalam Konferensi Internasional tentang Pendidikan Islam tahun 1980 di King Abdul Aziz University pemikitan Pragmatis Instrumental dapat dipandang sebagai salah satu pendorong pengembangan secara sintesis. Dalam studi keislaman memang dikenal wilayah normatif dan historis ajaran Islam. 18 Sementara menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dinyatakan Tafsir menyebutnya dengan istilah pengetahuan naqliyah (yang diwahyukan) dan pengetahuan aqliyah (yang dipikirkan). Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan itu harus dimasukkan ke dalam kurikulum kependidikan Islam. Pengintegrasian kedua pengetahuan itu harus dimulai dengan membangun kembali filsafat pengetahuan dalam Islam dan juga mengintegrasikannya dalam sistem pendidikan Islam. Pengetahuan dalam pandangan Islam hanya satu. Untuk kepentingan pendidikan, pengetahuan yang satu itu harus diklasifikasi, yang dalam Konferensi 17
Beavers, Tedd D., 2001, Arabic Contributions to Educational Thought, (terj.) Deny Hamdani, (2001), Paradigma Filsafat Pendidikan Islam: Kontribusi Filosof Muslim, Jakarta: Riora Cipta Publication hlm 117 18 Amin Abdullah, Epistimologi Filsafat Islam: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar : 1996).
1129
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
Internasional (1980) itu menyebutnya sebagai kelompok perennial knowledge dan acquiered knowledge. Perennial knowledge terdiri dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan pengetahuan pembantu. Sedangkan acquiered knowledge terdiri dari ilmu-ilmu seni, bahasa (arts), pengetahuan intelektual (sosial dan alam), applied science (rekayasa, kedokteran) dan pengetahuan praktis (administrasi, perdagangan, dan sebagainya). Rekomendasi konfrensi ini sangat representatif dan dapat dipandang sebagai spirit pengembangan pendidikan Islam. Dari sini dapat ditemukan strategi pengembangan, yang selama ini terjebak dalam kerumitan memahami istilah pengatahuan agama dan umum yang menyebabkan kepasifan dalam sistem pengembangan. Dalam konsteks metode pembelajaran, Ibnu Khaldun menyatakan harus berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan akal manusia. Akal berkembang dimulai dengan mengerti tentang masalah-masalah yang paling sederhana dan mudah, kemudian meningkat mengerti tentang masalah yang agak kompleks, kemudian lebih kompleks. Ibnu Khaldun mengungkapkan tiga langkah metode mengajar. Pertama adalah hendaknya kepada peserta didik diajarkan pengetahuan yang bersifat umum dan sederhana, khusus berkenaan dengan pokok bahasan yang tengah dipelajari. Pengetahuan ini hendaknya disesuaikan dengan tarap kemampuan
intelektual
peserta
didik,
sehingga
tidak
berada
di
luar
kemampuannya untuk memahami. Hendaknya peserta didik belajar pada tingkat pertama atau paling sederhana. Kedua adalah seorang pendidik kembali menyajikan pengetahuan tersebut kepada peserta didik dalam tarap yang lebih tinggi dengan memetik intisari pelajaran, keterangan dan penjelasan yang lebih spesifik. Dengan demikian pendidik dapat mengantarkan peserta didik kepada tarap pemahaman yang lebih tinggi. Ketiga adalah seorang pendidik mengajarkan pokok bahasan tersebut secara lebih terinci dalam konteks yang menyeluruh, sambil memperdalam aspek-aspek dan menajamkan pembahasannya. Tidak ada lagi yang sulit dan yang tidak diterangkan ataupun dibahasnya 19 Pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pembelajaran ini adalah kritik berdasar dari gaya para pendidik pada masanya. Agar alternatif solusi, Ibnu
19
Ibnu Khaldun, Muqadimah Ibnu Khaldun (Kairo: Dar al-Ulum, 1926), hlm 394
1130
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
Khaldun menganjurkan dalam pembelajaran yaitu (1) jangan menggunakan metode indoktrinasi terhadap peserta didik, karena hal ini berarti mendidik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya hendaknya mengajarkan beragam keilmuan secara sedikit demi sedikit mula-mula disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik hingga selesai materi, (2) jangan banyak mengumpulkan ringkasan-ringkasan tentang bermacammacam masalah keilmuan karena hal ini akan mengganggu proses pembelajaran, peserta didik dihadapkan pada kerepotan dalam memahami istilah-istilah ringkas tersebut, (3) jangan menggunakan metode menghafal hal-hal atau materi yang tidak berguna dalam rentang waktu cukup lama dan menyibukkan diri dengan banyak peristilahan tentang materi, (4) jangan memberikan alokasi waktu yang banyak untuk mempelajari ilmu-ilmu alat (ekstrinsik) melebihi ilmu-ilmu utama (intrinsik), sehingga menyebabkan hilang fungsi ilmu alat sebagai ilmu penunjang, (5) jangan menggunakan metode militerisasi karena pendidik bersikap keras terhadap anak didik, yang akan berdampak buruk bagi anak didik berupa kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.20 Ibnu Khaldun dalam menjelaskan materi dan kurikulum yang diajarnya dalam metode pendidikan selalu memperhatikan bahasa sebagai jembatan memperoleh ilmu. Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak sebaiknya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan. Menurut Ibnu Khaldun, mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap alQur’an itu sendiri, karena anak akan membaca hal-hal yang tidak dimengertinya.
KONSEPSI PENDIDIKAN DALAM KONTEKS NASIONAL Dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia, Pendidikan di Indonesia telah perubahan paradigma, baik dari aspek hakekat, fungsi, tujuan, prinsip-
20
Ibid hlm 748-764
1131
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
prinsip, dan hakekat kurikulum. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (SPN). A. Hakekat, Fungsi, Tujuan dan Prinsip-Prinsip Pendidikan Nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.21 Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 22 Sedangkan prinsip-prinsip Pendidikan Nasional adalah (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses
pembelajaran.
(5)
Pendidikan
diselenggarakan
dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.23 Dari deskripsi tentang hakekat, fungsi, tujuan, dan prinsip-prinsip pendidikan Nasional di atas maka pendidikan dalam konteks Nasional merupakan
21
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 23 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 (1) Ibid Pasal 3 23 Ibid Pasal 4 22
1132
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
pengertian pendidikan dalam arti luas. Hal in karena pendidikan dapat diselenggarakan melalui berbagai jalur, antara lain: pertama jalur pendidikan formal merupapakn jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.24; kedua pendidikan nonformal yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang:25 dan jalur pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 26 Dalam konteks Nasional merupakan “Istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa (masyarakat) terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat yang kompleks dan modern. Fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan formal di luar sekolah.27 Hakikat pendidikan adalah upaya sadar untuk mengembangkan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan diarahkan pada tujuan yang diharapkan agar memanusiakan manusia atau menjadikannya sebagai insan kamil, manusia utuh atau kaffah. Hakikat pendidikan ini dapat terwujud melalui proses pengajaran, pembelajaran (ta‟lim dan tadris), pembersihan dan pembiasaan (tahdzib dan ta`dib), dan tadrib (latihan) dengan memperhatikan kompetensi kompetensi pedagogi berupa profesi, kepribadian dan sosial.28 B. Hakekat Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional Kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum sebagai salah satu komponen dalam pendidikan memiliki kedudukan yang penting. Tidak sedikit terminologi tentang kurikulum, namun kurikulum dalam 24
Ibid Pasal 1 (11) ibid Pasal 1 (12) 26 Ibid Pasal 1 (13) 27 Prof. Richy dalam buku “Planing for Teaching and Introduction to Education http:/ http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195204141980021DUDUNG_RAHMAT_HIDAYAT/HAKIKAT_PENDIDIKAN.pdf 28 http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195204141980021DUDUNG_RAHMAT_HIDAYAT/HAKIKAT_PENDIDIKAN.pdf 25
1133
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
konteks Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.29 Berdasarkan pengertian tersebut, maka istilah kurikulum dapat diartikan dalam arti luas, bukan hanya jumlah mata pelajaran tetapi bagaimana guru atau pihak sekolah mendorong siswa untuk belajar di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Dalam artian, bahwa siswa bukan hanya mendapatkan materi yang sekedar menggambarkan, Tetapi siswa mampu melihat atau merasakan langsung di kehidupan nyata. Sehingga siswa mampu untuk lebih memahami apa yang dipelajarinya. Selain itu, sumber belajar bukan hanya pada buku dan guru. Tetapi dapat diperoleh di lingkungan luar, seperti masyarakat, media, dan pengalaman. Dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa: kurikulum memuat isi dan materi pelajaran; kurikulum sebagai rencana pembelajaran; dan kurikulum sebagai pengalaman belajar. Terkait dengan hal tersebut, sejak ditetapkannya UU Nomor Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum pendidikan Nasional telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) dan terakhir adalah Kurikulum 2013. Menurut Mendiknas dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013, bahwa: “....... kurikulum 2013 itu adalah usaha yang terpadu antara (1) rekonstruksi kompetensi lulusan, dengan (2) kesesuaian & kecukupan, keluasan & kedalaman materi, (3) revolusi pembelajaran dan (4) reformasi penilaian.......”30 Dengan demikian, Kurikulum 2013 adalah: Pertama, adalah kurikulum sebagai seperangkan tujuan (Curricula as a Set of Objectives). Dalam pengertian atau istilah ini, kurikulum dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam hal ini, kurikulum dapat dianggap sebagai daftar dari hasil yang diinginkan. Penekanan pada tujuan adalah karakterisasi model 29 30
UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 (19) sertifikasi.fkip.uns.ac.id/...
1134
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
kurikulum tujuan. Fokusnya adalah pada produk berakhir yang dilakukan guru atau pengelola pendidikan. Kedua, adalah sebagai program studi atau konten (Curricula as Courses of Study or Content). Dalam pengertian ini, kurikulum dapat dipahami “a process of selecting courses of study or content” (Beauchamp, 1977;31 Wood & Davis, 197832). Wood dan Davis (1978: 16) menyarankan bahwa kurikulum dianggap sebagai totalitas program yang merupakan program studi yang ditawarkan oleh institusi atau diikuti oleh siswa "33 Ketiga, kurikulum sebagai pengalaman (Curricula as Experiences). Mencermati kurikulum sebagai pengalaman (Curricula as Experiences), Marsh (1997:5) berpendapat kurikulum sebagai “an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school”.34 Ini berarti adanya hubungan yang saling melengkapi antara rencana dan pengalaman, di mana "rencana" yang dikaitkan dengan kurikulum yang direncanakan di awal dan "pengalaman" mengacu pada kejadian yang tidak direncanakan di ruang kelas. Untuk alasan ini, Marsh menyatakan, “the actual curricula which are implemented in classrooms consist of an amalgam of plans and experiences…”.35
IMPLIKASI PRAGMATISME INSTRUMENTAL DENGAN KURIKULUM PENDIDIKAN FORMAL NASIONAL Sebagaimana dikemukakan di atas filosofi Pragmatism Intrumental, berpendapat bahwa kurikulum sebagai seperangkat materi pelajaran atau bidang studi (Curricula as Courses of Study or Content) yang mentegrasikan (1) Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra; (2) Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari alQur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh; dan (3) Ilmu aqli, ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir
31
Ibid Wood, L., & Davis, B. G. (1978). Designing and evaluating higher education curricula. AAHEERIC/Higher Education Research Report No. 8. Washington, D. C.: The American Association for Higher Education. 33 Ibid 34 Marsh, C. J. (ed.) (1997). Perspectives: Key concepts for understanding curriculum 1. London & Washington, D.C.: The Falmer Press. 35 Ibid 32
1135
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
dan kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan, termasuk ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu hitung, dan ilmu tingkah laku.36 Pandangan kurikulum pragmatisme instrumental sangat berpengaruh pada kurikulum pendidikan 2013. Pada di tingkat Sekolah Dasar pada Kurikulum 2013 disajikan menggunakan pendekatan tematik-integratif. Mata pelajaran, yang kemudian disebut muatan pelajaran, di dalamnya terdiri dari:
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (ilmu naqli)
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (ilmu aqli)
Matematika (ilmu aqli)
Bahasa Indonesia (ilmu lisan)
Ilmu Pengetahuan Alam (ilmu aqli)
Ilmu Pengetahuan Sosial (ilmu aqli)
Seni Budaya dan Prakarya (ilmu aqli)
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (ilmu aqli)
Bahasa Daerah (ilmu lisan) Untuk sekolah Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
(SMP/MTs)
36
Kelompok A (Wajib)
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (ilmu naqli)
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (ilmu aqli)
Matematika (ilmu aqli)
Bahasa Indonesia (ilmu lisan)
Ilmu Pengetahuan Alam (ilmu aqli)
Ilmu Pengetahuan Sosial (ilmu aqli)
Bahasa Inggris (ilmu lisan)
Kelompok B (Wajib)
Seni Budaya (ilmu aqli)
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (ilmu aqli)
Prakarya (ilmu aqli)
Beavers, Tedd D., 2001, Arabic Contributions to Educational Thought, (terj.) Deny Hamdani, (2001), Paradigma Filsafat Pendidikan Islam: Kontribusi Filosof Muslim, Jakarta: Riora Cipta Publication hlm 117
1136
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
Bahasa Daerah (ilmu lisan)
Bahasa Asing (ilmu lisan) Sedangkan untuk Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah
Kejuruan (SMA/SMK) / Madrasah Aliyah atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MA/MAK)
Kelompok A (Wajib)
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (ilmu naqli)
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (ilmu aqli)
Matematika (ilmu aqli)
Bahasa Indonesia (ilmu lisan)
Bahasa Inggris (ilmu lisan)
Sejarah Indonesia (ilmu aqli)
Kelompok B
Seni Budaya (Rupa/Musik/Tari/Teater)
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Prakarya (Rekayasa/Kerajinan/Budidaya/Pengolahan)
Kelompok C (Peminatan)37
Peminatan di SMA
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Matematika
Bahasa dan Budaya
Peminatan Keagamaan
Sejarah
Bahasa dan Sastra Indonesia Bahasa dan Sastra Inggris Bahasa dan Sastra Asing Lain Antropologi
Mata pelajaran yang diatur oleh Kementerian Agama. Hanya diwajibkan untuk MA/MAK
Fisika
Geografi
Biologi
Ekonomi
Kimia
Sosiologi
Kelompok D (Lintas Minat/Pendalaman Minat)
37
Ilmu-Ilmu Sosial
Peminatan di SMK
Peminatan Bidang Teknologi dan Rekayasa;
Peminatan Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi;
Permendikbud Nomor 64 Tahun 2014 tentang Peminatan pada Pendidikan Menengah
1137
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
Peminatan Bidang Kesehatan;
Peminatan Bidang Agrobisnis dan Agroteknologi;
Peminatan Bidang Perikanan dan Kelautan;
Peminatan Bidang Bisnis dan Manajemen;
Peminatan Bidang Pariwisata; dan
Peminatan Bidang Seni Rupa dan Kriya;
Dari deskripsi sikap dan perilaku (moral) adalah aspek penilaian yang teramat penting (nilai aspek 60%). Apabila salah seorang siswa melakukan sikap buruk, maka dianggap seluruh nilainya kurang. Ada empat aspek penilaian dalam K 1-438:
pengetahuan (KI-3);
keterampilan (KI-4);
sosial (KI-2); dan
spiritual (KI-1). Dari gambaran tersebut di atas, filsosofi pragmatisme intrumental
memiliki implikasi kepada Kurikulum 2013. Karena kurikulum 2013 merupakan interprestasi dari filosofi Pragmatisme instrumental yang mengintegrasikan antara bidang studi yang diajarkan di pendidikan formal (sekolah) yang meliputi unsur ilmu naqli, aqli, dan lisan.
C. Kesimpulan Filisafat pragmatisme instrumental tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Menurutnya ada enam tujuan pendidikan, yaitu : a) menyiapkan seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi iman, sebagaimana dengan potensi-potensi lain; b) menyiapkan seseorang dari segi akhlak; c) menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial; d) menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan; e) menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai
38
https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_2013 Diakses 10 Oktober 2016
1138
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
pekerjaan atau ketrampilan tertentu dan f) menyiapkan seseorang dari segi kesenian. Ibnu Khaldun dengan pragmatisme instrumentalnya membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok : (1) Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra; (2) Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh; dan (3) Ilmu aqli, ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir dan kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan, termasuk ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu hitung, dan ilmu tingkah laku. Pandangan kurikulum pragmatisme intrumental berimplilkasi dan relevan dengan Kurikulum Pendidikan Formal 2013. Karena Kurikulum 2013, khususnya pada pendidikan formal tingkat dasar, dan menengah yang mentegrasikan ilmuilmu yang sifatnya Ilmu lisan (bahasa dan sastra), naqli (agama) dan aqli (ilmuilmu logika, hitung dll. Namun, dari segi porsi waktu, kurikulum 2013 yang diajarkan di pendidikan formal dimaksud kurang seimbang. Di mana porsi ilmu lisan dan ilmu aqli lebih banyak porsi waktunnya daaripada ilmu naqli. Ini berdampak empat aspek pencapaian dari K 1 sampai-4 belum mengindikasikan keseimbangan pula.
Daftar Pustaka
Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, 1979, Jakarta: Bulan Bintang Amin Abdullah (1996) Epistimologi Filsafat Islam: Normatifitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar Beavers, Tedd D., 2001, Arabic Contributions to Educational Thought, (terj.) Deny Hamdani, (2001), Paradigma Filsafat Pendidikan Islam: Kontribusi Filosof Muslim, Jakarta: Riora Cipta Hirst, Paul H. (1966). Educational Theory (Dalam The Study of Education, J.W. Tibble (Ed). Routledge and Kegan Paul. London.
1139
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/19520414198 0021DUDUNG_RAHMAT_HIDAYAT/HAKIKAT_PENDIDIKAN.pdf https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_2013 Diakses 10 Oktober 2016 Ibnu Khaldun, Muqadimah Ibnu Khaldun (Kairo: Dar al-Ulum, 1926) Jalaluddin, H dan Idi, Abdullah, (1997), “Filsafat Pendidikan”. Jakarta: Gaya Media Pratama Jawwad Ridla, Muhammad, al-Fikr al-Tarbawiyy al-Islamiyyu Muqaddimat fiUshulih al-Ijtima‟iyyati wa al-„Aqlaniyyat, terj. Mahmud Arif (2002), Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta: Tiara Wacana, Marsh, C. J. (ed.) (1997). Perspectives: Key concepts for understanding curriculum 1. London & Washington, D.C.: The Falmer Press. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta Permendikbud Nomor 64 Tahun 2014 tentang Peminatan pada Pendidikan Menengah sertifikasi.fkip.uns.ac.id/... Suharto, Toto. 2003. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Sulaiman, Fathiyah Hasan, 1987, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Diponegoro) Thoha Ahmadi, 2001 Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khadun, Jakarta: Tim Pustaka Firdaus Undang-Undang Nomor 20 Tahun 23 tentang Sistem Pendidikan Nasional Warul Walidin, AK, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, Wood, L., & Davis, B. G. (1978). Designing and evaluating higher education curricula. AAHE-ERIC/Higher Education Research Report No. 8. Washington, D. C.: The American Association for Higher Education.
1140
Analisis Filosofi Pragmatisme Instrumental Dan Implikasi Dengan Kurikulum Pendidikan Formal Di Indonesia
1141