Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak Problematikanya, Menawarkan Solusiya Ulya* Abstrak Filsafat atau sering juga disebut Falsafah merupakan salah satu mata kuliah di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), bahkan menjadi salah satu jurusan atau program studi tersendiri. Meskipun demikian Filsafat sebagai kajian yang dipelajari secara intens kurang diminati bahkan seringkali dianggap tidak ada gunanya. Di antara penyebabnya adalah bahwa filsafat sebagai kajian lebih dekat dengan kegiatan perenungan yang bersifat melangit, tidak menyentuh dengan permasalahanpermasalahan yang sedang dihadapi umat manusia di bumi. Kajian filsafat hanya dianggap sebatas mempelajari pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, al-Ghazali, Ibn. Rusyd, Emmanuel Kant, dan sederet filosof lainnya yang hidup pada masa lalu yang justru kadang-kadang membingungkan dan dianggap akan menggoyahkan keimanan, tidak membicarakan tentang permasalahan-permasalahan kemanusiaan. Menurut penulis, stigma negatif terhadap filsafat sebagaimana di atas lebih dikarenakan dalam pengkajian filsafat hanya dibaca secara tekstual, kata demi kata, alenia demi alenia, dan seterusnya, tidak menelusur jauh di balik yang tekstual, yakni dengan menjadikan filsafat sebagai metode pendekatan keilmuan atau metode berpikir. Dengan menjadikan filsafat sebagai metode pendekatan keilmuan atau metode berpikir, maka penulis dalam konteks ini menawarkan 2 (dua) model pengkajian filsafat, yaitu: model top-down dan model buttom-up. Kata kunci: stigma, filsafat, metodologi, pendekatan, keilmuan. A. Pendahuluan Permasalahan dalam kehidupan manusia tidaklah pernah ada habisnya. Permasalahan muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka untuk tetap bertahan di tengah masyarakat yang ada di sekelilingnya. Sekarang ini, umat manusia dan khususnya umat Islam sedang berhadapan dengan masalah-masalah akibat pergumulannya dengan peradaban Barat, seperti isu hak asasi manusia (HAM), gender, masalah ekologi, fundamentalisme dan kekerasan atas nama agama, keberagamaan muslim diaspora, hukum dan keadilan, dan lain-lain, yang semua itu membutuhkan jawaban-jawaban yang cerdas, cepat, dan tepat. Menghadapi permasalahan di atas, umat Islam dalam kenyataannya tidak dapat menengok pada sumber normatif Islam, yakni al-Qur’an dan *
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, Jawa Tengah.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1028
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
Hadis, karena sifat teks yang terbatas dan statis, sedangkan permasalahan itu terus mengalir dan dinamis. Juga tak didapati pemecahannya dalam khasanah Islam klasik karena permasalahan di masa klasik tidaklah sama dengan permasalahan dewasa ini. Inilah yang kemudian seringkali membuat umat Islam yang sudah terbiasa berbudaya tekstualis menjadi shock atau terkejut. Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sebagai lembaga pendidikan ilmiah yang bermisi sebagai rahmat li al-alamin, yang mempunyai fungsi dan tugas di bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat hendaknya bisa memerankan dalam membantu umat memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan misi ilmu bahwa ilmu tidak semata untuk memuaskan intelektual atau ilmu untuk ilmu (science for science), tetapi ilmu harus diamalkan (science for application). Inilah yang senyatanya menjadi tantangan seluruh rumpun keilmuan di PTAI sekarang ini tatkala dihadapkan dengan permasalahan sebagaimana di atas, termasuk salah satunya adalah tantangan yang dihadapi oleh filsafat. B. Tiga Sudut Pandang dan Tiga Pendekatan Pengkajian Filsafat Tiga sudut pandang filsafat dan tiga pendekatan yang sering digunakan dalam mengkaji filsafat. Filsafat yang berasal dari kosa kata Yunani, philosophia, yang artinya cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran dalam kenyataannya dipahami orang secara beragam. Ada yang memahami filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy is a way of life), ada yang memahami filsafat sebagai ilmu (philosophy as a science), dan ada pula yang memahami filsafat sebagai metode berpikir (philosophy as a method of thought). Filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy is a way of life), artinya melihat filsafat sebagai suatu keyakinan yang menjadi dasar pijakan dalam menjalani kehidupan, baik kehidupan intelektual, emosional, maupun praktikal. Contohnya yaitu adanya istilah filsafat Jawa yang isinya membahas tentang sisi-sisi keyakinan fundamental yang dianut oleh orang Jawa dalam berkehidupan. Filsafat sebagai ilmu (philosophy as a science), artinya melihat filsafat sebagai disiplin ilmu yang mempunyai karakteristik khas sesuai dengan karakteristik suatu ilmu, yakni mempunyai obyek material dan obyek forma. Adapun obyek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, sedangkan obyek formanya adalah pembahasan mendalam tentang segala sesuatu yang ada tersebut. Filsafat sebagai metode berpikir (philosophy as a method of thought), artinya memandang filsafat sebagai suatu cara pandang manusia dalam memikirkan sesuatu dengan cara-cara tertentu. Cara-cara tertentu SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
1029
dimaksud adalah berpikir secara kritis, reflektif, integral, radikal, dan spekulatif.1 Filsafat sebagai metode berpikir akan menumbuhkan pola-pola berpikir yang penuh dengan daya kreativitas, penuh ragam alternatif, dan inovatif. Pola pikir dimaksud adalah pola pikir yang holistis dan mencapai ide-ide dasar atau ide fundamental. Pengkajian filsafat bisa dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu: pendekatan tokoh, pendekatan historis, dan pendekatan tematik.2 Pendekatan tokoh yaitu mempelajari filsafat melalui penelaahan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para tokoh atau filosof, seperti filsafat Plato, filsafat Suhrawardi. Pendekatan historis yaitu mempelajari filsafat dengan melihat aspek kesejarahan dan perkembangan pemikiran filsafat dari masa ke masa sehingga secara kronologis memunculkan informasi tentang filsafat Yunani, filsafat abad tengah, filsafat modern, dan filsafat posmodern. Pendekatan tematik berarti mempelajari filsafat sesuai tema-tema tertentu yang biasanya disusun berdasarkan obyek materia atau tema-tema filsafat, misalnya filsafat manusia, filsafat alam, metafisika, epistemologi, dan lain-lain. C. Masalah Pembelajaran Filsafat di PTAI Seperti yang telah kita ketahui bahwa sesungguhnya filsafat merupakan salah satu rumpun keilmuan yang diajarkan di PTAI semua jurusan sebagai mata kuliah dasar umum, bahkan menjadi salah satu bidang kajian tersendiri yang terakumulasi dalam bentuk jurusan atau program studi. Namun, filsafat tidaklah populer dan mengkaji filsafat seringkali dianggap membuang waktu saja. Filsafat sekarang ini dikesankan sebagai ilmu perenungan yang tidak membumi. Kajian filsafat hanya dianggap sebatas mempelajari produk pemikiran-pemikiran filosof masa lalu yang justru tak jarang menimbulkan kebingungan dan menggoyahkan keyakinan. Disadari atau tidak, di lingkungan PTAI sendiri telah terjadi kemacetan mengkaji filsafat, terlebih lagi berfilsafat. Hal ini karena dalam pikiran umat Islam masih dibayang-bayangi oleh kejadian sejarah yang menggelar terjadinya debat intelektual antara al-Ghazali (1058-1111M) dengan Ibn Rusyd (1126-1198M). Dilukiskan bahwa al-Ghazali telah memaparkan sebagian ajaran filsafat yang dianggap tidak benar bahkan telah mengakibatkan kekafiran filosof.3 Filosof yang diwakili Ibn Rusyd 1 Donny Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, (Bandung: Teraju, 2002), p. 21. 2 Ibid., pp. 2-7. 3 Hal-hal yang dinyatakan al-Ghazali telah merusak iman filosof, istilah lain menyebabkan kekafiran filosof adalah: tentang alam kekal dalam arti tak bermula, Tuhan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1030
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
menyangkalnya. Sejak saat itu, filsafat di dunia Islam terus diserang dan dipojokkan. Terlebih lagi tren yang kemudian ditebarkan oleh al-Ghazali bersifat mistis, yang berarti penanggalan terhadap segala yang rasional dan kritis karena upaya itu dipandang sia-sia, disertai penarikan secara konsekuen ke dalam benteng batin dengan harapan dapat menemukan kebijaksanaan dan kebenaran sejati, juga dapat meningkatkan kualitas keberagamaan, yakni via proses eksperiensial atau mukasyafah.4 Semakin hilangnya tradisi kefilsafatan adalah murni kesalahan umat sendiri yang telah menempatkan produk pemikiran sebagai sesuatu yang final, produk yang serta merta jadi, tidak melihatnya sebagai produk dari sebuah proses yang panjang, yang merupakan jawaban atas kegelisahan melihat situasi dan kondisi yang terjadi pada masanya. Ketidakpopuleran pengkajian filsafat terutama di dunia Islam, terlebih lagi pada masyarakat bermadzhab Sunni sekarang ini sekurangkurangnya disebabkan karena syndrome masa lalu tersebut, yakni trauma terhadap kejadian sejarah sebagaimana dijelaskan di atas yang menyebabkan filsafat dieksekusi sebagai pengganggu ketenangan dan kedamaian keberimanan umat Islam sehingga pernah muncul pendapat yang mengharamkan belajar filsafat. Selain itu, masyarakat pada umumnya dewasa ini sedang diselubungi oleh trend dan pola pikir yang cenderung berorientasi praktis-pragmatis, jika tidak mau dikatakan bermental kuli. Indikator konkretnya adalah banyaknya orang yang belajar suatu ilmu untuk tujuan mencapai pekerjaan atau jabatan tertentu, seperti guru, hakim, dokter, bidan, jurnalis, teknisi, dan seterusnya. Sindiran sinis seringkali ditujukan untuk orang yang concern mengkaji filsafat, seperti: bisa apa belajar filsafat, keterampilan apa yang dijanjikan filsafat di tengah kompleksitas masalah sosial-kemanusiaan, dan seterusnya, bahkan setengah ejekan seringkali terdengar bahwa palingpaling orang belajar filsafat hanya akan berpikir dan merenung tanpa mampu berbuat banyak. Dalam konteks yang demikian, maka yang terjadi adalah marjinalisasi filsafat di Perguruan Tinggi, termasuk di PTAI. Marjinalisasi terhadap filsafat, terlebih dalam kenyataannya karena corak pengkajian filsafat di PTAI sekarang ini yang sulit memberikan kontribusi solutif yang dibutuhkan dan relevan di tengah permasalahanpermasalahan sosial-kemanusiaan dalam kehidupan, seperti isu tentang HAM, gender, masalah ekologi, fundamentalisme dan kekerasan atas tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam, dan pembangkitan jasmani tidak ada. Lihat dalam Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1992), p. 45. 4 Madjid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya , 1986,), p. 229. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
1031
nama agama, keberagamaan muslim diaspora, dan lain-lain. Hal tersebut karena pengkajian filsafat di PTAI telah direduksi dan disimplifikasikan menjadi filsafat sebagai ilmu (philosophy as a science) saja, dengan seringkalinya menafikan sudut pandang filsafat yang lain, terutama filsafat sebagai metode berpikir (philosophy as a method of thought) atau dalam bahasa Amin Abdullah adalah filsafat sebagai metodologi pendekatan keilmuan. Tatkala mengkaji filsafat di PTAI menekankan pada filsafat sebagai ilmu (philosophy as a science), maka materi bahasan yang diajarkannyapun hanya dengan menggelar tentang produk pemikiran para filosof, merentang perjalanan filsafat dari masa ke masa, memetakan isme-isme dalam filsafat, dan sebagainya. Metode dan strategi pembelajarannya tanpa pernah mengajak mahasiswa menggunakan cara berpikir tertentu yang menjadi kekhasan filsafat, tetapi hanya menyampaikan informasi sehingga belajar filsafat menjadi kegiatan belajar sejarah falsafah, ditambah lagi evaluasi pembelajarannya yang juga bercorak evaluasi kognitif.5 Amin Abdullah menyatakan bahwa ”Masih ada kesimpangsiuran dalam pola berpikir civitas akademika di IAIN/STAIN ketika harus membedakan antara belajar sejarah filsafat dengan belajar filsafat”.6 Berangkat dari kegelisahan inilah, maka sekarang ini tampaknya pembelajaran falsafah di PTAI menjadi stagnan, bahkan kalau boleh dikatakan gagal melaksanakan tujuan filsafat itu sendiri sebagai kajian yang sejak kemunculannya paling gigih memperjuangkan nilai-nilai fundamental kemanusiaan untuk mencapai kebijaksanaan dan kebenaran. Dalam perspektif ini, harus selalu diingat yaitu upaya dan perjuangan para filosof yang selalu mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan. Sebut saja Sokrates adalah salah satu filosof Yunani yang rela mendapatkan hukuman mati dengan meminum racun sendiri demi nilai-nilai kebenaran dan kebaikan Nietzche seorang filosof Barat kontroversial karena gagasannya tentang God is dead, yang sebenarnya justru telah mengedepankan dan memperjuangkan nilai-nilai kebebasan manusia yang saat itu ditindas oleh gereja. 5 Kognitif atau kognisi adalah salah satu ranah dalam taksonomi pembelajaran Bloom yang menekankan pada aspek pengetahuan (mengingat kembali), aplikasi (menggunakan informasi dalam situasi yang tepat), pemahaman (memahami informasi yang berhubungan), analisis (mengenal kembali unsur-unsur, hubungan-hubungan, dan susunan informasi atau masalah), sintesis (mengkombinasikan kembali bagian-bagian dari pengalaman yang lalu dengan bahan baru menjadi suatu keseluruhan yang baru dan terpadu), evaluasi (menggunakan kriteria untuk mengukur nilai suatu gagasan, karya dan sebagainya). Lihat dalam M. Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Terapan, (Yogyakarta : BPFE, 1990), p. 260. 6 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), p. 229.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
1032
Falsafah atau lebih tepatnya pengkajian filsafat di PTAI, meminjam istilah Thomas Kuhn, telah mencapai titik anomali yakni kemacetan atau kemandegan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengubahan paradigma (paradigm shifting) untuk menuju seperti yang direkomendasikan, yakni revolusi ilmiah (revolutionary science).7 Temuan pemikiran baru dari rangkaian peristiwa ini, yakni di sekitar konsep, teori, pendekatan, dan metode pembelajaran di bidang filsafat layak menjadi bahan pertimbangan pengembangan bidang ini. D. Tradisi Baru Pengkajian Filsafat di PTAI Pembelajaran filsafat yang semata menekankan pada sejarah tokoh dan isme-isme tampaknya memang sudah tidak relevan lagi karena yang demikian telah membuat filsafat kehilangan elan vital-nya, tidak akan dapat memberikan apa-apa, karena pengkajian filsafat yang demikian tidak bisa menyampaikan pada penyelesaian permasalahan sosial-kemanusiaan yang tengah dihadapi umat. Model pengkajian filsafat yang dibutuhkan sekarang ini adalah pengkajian filsafat yang lebih mengedepankan pada sudut pandang filsafat sebagai metode berpikir atau filsafat sebagai metodologi pendekatan keilmuan. Pengkajian filsafat ini tidak sebatas alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari pengajar ke pembelajar tentang berbagai informasi kefilsafatan, tetapi pengajar hendaknya bisa membantu pembelajar cakap menemukan kebenaran, kebijaksanaan, dan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang lain melalui teknik tanya jawab dan diskusi yang terampil atau istilah Sokrates adalah dialoge.8 Pengajar harus benar-benar bisa menjadi ”orang usil” yang menggoda pembelajar untuk kritis, selalu bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu. Menurut Amin Abdullah, pengkajian filsafat sebagai metode berpikir atau sebagai metodologi pendekatan keilmuan setidaknya ditandai dengan tiga ciri,9 yaitu: Pertama, kajian, telaah, dan penelitian filsafat yang selalu terarah pada pencarian atau perumusan ide-ide dasar atau gagasan yang bersifat mendasar-fundamental (fundamental ideas) terhadap obyek persoalan yang sedang dikaji. Biasanya, ide dasar ini bersifat lebih umum dan dilihat atas dasar tingkatan, abstrak, dan mendasar. Contohnya yaitu C. Verhaak dan R. Hayono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), p. 165. 8 Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), p. 30. 9 M. Amin Abdullah, ”Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam M. Amin Abdullah, dkk (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), pp. 8-10. 7
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
1033
tentang Islam-Kristen-Katolik-Hindu-Budha, lalu agama (religion), dan keagamaan (religiousity). Kajian tentang agama (religion) lebih umum, lebih abstrak, lebih mendasar dari pada kajian tentang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Kajian keagamaan (religiousity) jika dihadapkan dengan kajian agama (religion), maka dia lebih umum, abstrak, dan mendasar. Oleh karena itu, kajian keagamaan (religiousity) secara umum menjadi kajian yang lebih menarik, lebih filosofis dibanding kajian tentang agama (religion), dan kajian tentang agama (religion) itu sendiri menjadi kajian yang lebih filosofis dibanding dengan kajian Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Dari contoh tersebut, maka dalam bahasa fenomenologi bahwa filsafat lebih menekankan kajian yang menemukan sisi noumena, esensi, yang tetap (altsawabit), dan non-falsifiable dari pada melihat phenomena-nya atau manifestasinya. Kedua, pengenalan, pendalaman persoalan-persoalan dan isu-isu fundamental akan dapat membentuk cara berpikir yang kritis (critical thought). Pencarian ide-ide dasar atau gagasan yang bersifat mendasarfundamental (fundamental ideas) akan melatih mahasiswa untuk tidak mudah terjebak pada klaim-klaim yang bersifat eksklusif dan fanatis. Filsafat sebagai metode berpikir mengutamakan sikap mental yang netral secara intelektual, yakni tidak cepat-cepat memihak dan menjastifikasi pada kepentingan tertentu tetapi mampu mengambil jarak, dalam bahasa fenomenologi adalah epoche. Ketiga, kajian filsafat yang demikian diharapkan akan dapat membentuk mentalitas, cara berpikir, dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus sikap toleran, tidak resisten, dan tidak menegasikan terhadap pihak atau pendapat lain, sehingga semaksimal mungkin dapat menjauhkan diri dari perilaku kekerasan (violence). Falsafah sebagai metode berpikir atau metodologi pendekatan keilmuan terbukti telah mampu mendekatkan bahkan mempertemukan antara filsafat itu sendiri dengan permasalahan sosial-kemanusiaan di era kontemporer , sebagai contoh: 1. Permasalahan HAM telah dipecahkan oleh Fathi Osman dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an sehingga menghasilkan nilai-nilai kebebasan, perubahan, persamaan, dan kerjasama dengan pihak lain.10 Osman mengedepankan ijtihad yang dilandasi nilai-nilai konsultasi mutualistik, rekonsiliasi, dialogis, dan kooperasi. Dari sini, maka Islam
Fathi Osman, Rethinking Islam and Modernity : Essays in Honour of Fathi Osman, (London: The Islamic Foundation, 2001), p. 27. 10
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1034
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
tidak gagap lagi terhadap perbincangan HAM internasional, adanya Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), dan sebagainya; 2. Masalah gender telah menghasilkan gagasan-gagasan kreatif para feminis, di antaranya Amina Wadud Muhsin yang meminjam analisis filosofis-hermeneutis double movement Fazlur Rahman telah menghasilkan Islam yang ramah dan berkeadilan terhadap perempuan.11 Oleh karena itu, khususnya umat Islam Indonesia menjadi tidak kaget lagi berdiskusi tentang Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT); 3. Khaled Abou el-Fadl, seorang guru besar hukum yang melalui cara berpikir filsafat dengan perangkat hermeneutika interdisipliner bahkan multidisipliner menyuarakan fiqh yang anggun dan ramah lingkungan. Implikasinya bahwa hukum Islam di tangan Khaled menjunjung tinggi visi moral, tidak menelantarkan sensitivitas nilai-nilai kemanusiaan, dan menghapus kesewenang-wenangan.12 Fiqh dan hukum Islam menjadi jauh dari kesan formalistik dan rigid yang selama ini lekat dalam persepsi masyarakat. Melalui beberapa bukti di atas, maka sudah tiba saatnya pengkajian filsafat di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) diarahkan pada pengkajian filsafat sebagai metode berpikir atau metodologi pendekatan keilmuan, tidak sekedar atau semata-mata mengkaji sejarah filsafat yang selama ini memenuhi kurikulum PTAI. Sajian dan materi pembelajaran bisa mempertimbangkan dua model, yang pertama adalah model top-down, sedangkan yang kedua adalah model bottom-up. Model top-down adalah pembelajaran filsafat yang bertolak dari produk gagasan para filosof terdahulu. Hanya saja yang ditekankan kepada pembelajar di sini adalah tidak sekedar mampu mengenal dan memahami ide-ide yang ada di dalamnya. Apa yang harus ditekankan kepada pembelajar adalah kunci untuk memahami makna gagasan tersebut. Kunci dimaksud adalah dengan memperhatikan cara di mana gagasan-gagasan itu melebur diri terjalin dengan dengan pertentangan antara agama atau ketiadapercayaan dalam konteks budaya dan sejarah. Hal tersebut meniscayakan upaya untuk selalu menempatkan sebuah gagasan dalam
11 Amina Wadud menyatakan bahwa “I attempt to use the method of Qur’anic interpretation proposed by Fazlur Rahman” Lihat dalam Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Women”, dalam Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A Sourcebook, (Oxford: Oxford University Press, 1998), p. 129. 12 Khaled Abu el Fadl, Speaking in God’a Name : Islamic Law, Authority, and Women, (Oxford: Oneworld, 2003)
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
1035
satu perspektif kapan dan di mana dia muncul. Oliver Leamen menyebut kunci tersebut dengan penafsiran esoteris.13 Penafsiran esoteris diajukan oleh Leamen karena seringkali filosof bekerja dalam kondisi lingkungan yang tidak simpatik dan mereka terpaksa, di luar pertimbangan yang bijaksana menyajikan pendapatpendapatnya sesempurna mungkin sesuai dengan kepercayaan yang telah terbentuk secara kokoh. Juga para filosof ini menyajikan pandanganpandangannya sedemikian rupa karena sengaja menyembunyikan maksud dan pandangan mereka yang sebenarnya.14 Oleh karena itu, menjadi tidak tepat jika pembelajaran filsafat hanya mengkaji produk pemikiran filosof tanpa kajian mendalam, menembus kulit luar, dan mencapai ide dasar yang dimaksud. Berkaitan dengan model ini, sebagai contoh yaitu tatkala pengajar menjelaskan pemikiran Sadra tentang Hikmah Muta’aliyah, maka pengajar hendaknya tidak hanya memaparkan gagasan ini, tetapi dia harus mengajak pembelajar untuk merasuk ke dalam gagasan ini sehingga ide dasar atau makna terdalam dari gagasannya ini terungkap. Diketahui bahwa setting sosio-kultural tempat Sadra hidup sangatlah pluralistik. Paling tidak ada empat tradisi yang hidup di sana, yaitu tradisi Masya'iyah Ibn Sina, tradisi Isyraqiyah Suhrawardi, tradisi Irfaniyah Ibn Arabi, dan tradisi Kalamiyah bercorak Syi’i. Dalam tataran historis, setiap yang pluralistik sangat sulit untuk disatukan dan diberdayakan, bahkan seringkali justru menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan meletuskan api konflik. Mengupayakan cara pikir baru yang diharapkan, yakni bebas konflik maka Sadra menawarkan konsep Hikmah Muta’aliyah, yang intinya adalah transendensi. Transendensi yang dimaksud bukan asimilasi atau peleburan menjadi satu tetapi harmonisasi empat tradisi, yang sifatnya unity in multiplicity dan multiplicity in unity sehingga masing-masing pola pikir tetap diberi hak hidup dan berdiri sendiri. Pola pikir ini compatible untuk memecahkan masalah pluralistik. Kemudian model bottom-up adalah model pengkajian filsafat yang berangkat dari mainstream permasalahan yang sedang dihadapi manusia, seperti isu-isu tentang pluralistik, kebebasan, hukum dan keadilan, dan lain-lain. Pengkajian dilakukan oleh pengajar dengan mendiskusikannya untuk mendapatkan makna, hakikat kebenaran, dan hubungan hubungan logis, juga untuk mendapatkan ide-ide dasar.15 13 Oliver Leamen, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), p. 186. 14 Ibid., pp. 186-187. 15 Mark B. Woodhouse, Berfilsafat Sebagai Langkah Awal, terj. Ahmad Norma Permata dan P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 15.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1036
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
Permasalahan konkret bisa dibahas, misalnya tatkala ramai diperbincangkan kasus eksekusi pelaku bom Bali, Amrozi dan kawankawan. Masalah filosofis menarik bisa didiskusikan tentang kebebasan dan hak hidup manusia, yakni manusia itu pada dasarnya bebas atau terikat. Kalau manusia itu bebas dalam arti berhak menentukan jalan hidupnya sendiri maka praktik hukuman mati harus dipertimbangkan; tatkala ada berita santer tentang Syekh Puji yang melakukan tentang poligami dan menikahi anak di bawah umur, salah satu permasalahan filosofis yang bisa dijadikan kajian adalah tentang keadilan. Berangkat dari model kajian ini, maka pengkajian filsafat di PTAI sekarang ini juga patut jika mempertimbangkan model kurikulum terbuka (opened curriculum).16 Tanpa meninggalkan kajian yang telah terbakukan di bidang filsafat, pengkajian filsafat di PTAI bisa mengalokasikan beberapa kajian dengan tema-tema aktual yang sedang marak dan menjadi bahan perbincangan khalayak. Dengan menggeser tradisi belajar Filsafat di PTAI sebagaimana di atas maka akan tampak filsafat sebagai salah satu rumpun keilmuan di PTAI tidak lagi melangit tetapi justru menyatu, bisa memberikan kontribusi solutif, dan mempunyai relevansi positif dengan permasalahan yang saat ini menjadi tantangan umat manusia dan umat Islam dewasa ini. Menempatkan filsafat sebagai metode berpikir atau metodologi pendekatan keilmuan maka PTAI akan sangat berpeluang mengantarkan pembelajar pada pelatihan keterampilan berpikir, berolah pikir yang khas. Terampil berolah pikir yang khas hanya dimiliki oleh mereka yang mengakrabi filsafat sebagai metode berpikir atau metodologi pendekatan keilmuan, tidak sebatas akrab dengan filsafat sebagai produk pikir. E. Implikasi dan Kontribusi Praktis Belajar Falsafah dengan Model Baru Barangkali banyak pembaca akan memandang sinis, mencemooh judul sub tema di atas, apabila yang ada di kepala kita adalah praktis dalam arti praktik, yang terkait dengan hal-hal yang fisikal dan mekanikal. Maksud kepraktisan filsafat memang tidaklah sama dengan kepraktisan yang dimiliki oleh disiplin lain yang menjadi pelaksana operasional di lapangan, yang mempersiapkan pembelajar terampil berbuat atau mengantarkan mahasiswa mencapai pekerjaan tertentu. Filsafat tidak 16 Istilah Opened Curriculum diambil dari Sahiron Syamsuddin, “Arah Pengembangan Studi Qur’an dan Hadits di PTAI dalam Menjawab Problem dan Tantangan Kontemporer”, Makalah di sampaikan dalam Workshop Desain Kurikulum Tafsir Hadits di STAIN Kudus, 2007.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
1037
bertujuan seperti itu karena kajian filsafat tidak berhadapan dengan fakta yang sifatnya empiris langsung.17 Contohnya yaitu pengujian sebuah produk berlabel halal, maka filsafat berada jauh di luar pengujian laboratoris dalam hal verifikasi, apakah produk tersebut mengandung zatzat yang menjadikan produk itu haram atau tidak. Yang dihadapi filsafat adalah fakta tidak empiris, yang otomatis tidak akan bisa diuji secara laboratoris, seperti pada sebuah pernyataan bahwa semua agama pada dasarnya adalah baik, film yang baik adalah film yang menghibur, cinta adalah energi, dan lain-lain. Dalam konteks implikasi praktis filsafat, kepraktisan itu berada dalam posisi pembentukan model-model berpikir (mode of thought) dan pembiasaan pikir (habit of mind) setelah pembelajar banyak terlibat dalam pengkajian filsafat yang sedemikian rupa, sebagaimana tawaran di atas. Dengan melatih dan mengkondisikan pembelajar memposisikan dan mengaplikasikan filsafat sebagai metode berpikir atau metodologi pendekatan keilmuan yang memiliki tiga karakteristik, yakni berkaitan dengan ide fundamental (fundamental ideas), bersifat kritis (critical thought), dan mengutamakan kebebasan berpikir (intellectual freedom) maka akan menelurkan sikap pembelajar atau pengkaji filsafat yang open ended, terbuka, inklusif, dinamis, dan tidak mengedepankan truth claim. 18 Model berpikir ini akan sangat relevan sekali dengan kondisi masyarakat yang plural agamanya, suku bangsanya, ide-idenya, dan seterusnya. Kontribusi praktis filsafat tentu juga tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tidak bisa didengar oleh telinga, dan tak bisa dinikmati secara langsung dalam jangka waktu yang relatif pendek. Haidar Baqir mengatakan bahwa manfaat praktis filsafat akan kelihatan tatkala pada akhirnya filsafat mampu memberi solusi alternatif atas permasalahanpermasalahan hidup, juga dengan berpikir filsafati akan mengantarkan seseorang pada upaya pendewasaan diri,19 yakni bagaimana seseorang menempatkan dirinya di tengah manusia yang mempunyai beragam pendapat, agama, dan seterusnya, serta bagaimana seseorang sebaiknya dan seharusnya bersikap pada mereka. Filsafat secara implisit akan Mark B. Woodhouse, Berfilsafat, p. 24. Penjelasan tersebut juga sebagaimana disampaikan oleh Amin Abdullah bahwa filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi pendekatan keilmuan. Dia open ended, terbuka, inklusif, tidak terkotak-kotak dan tak tersekat-sekat, dan dinamis, sedangkan filsafat jika dipahami sebagai paham atau aliran-aliran filsafat tertentu terkesan bersifat ideologis, tertutup, eksklusif, dan statis. Lihat dalam M. Amin Abdullah, ”Rekonstruksi ...", p. 8. 19 Haidar Baqir, "Kembali Berfilsafat Kembali Menjadi Manusia", dalam Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, terj. Musa Kadzim dan Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan, 2001), pp. xi-xvi. 17 18
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1038
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
mampu mengembangkan profesionalitas seseorang, apapun profesinya. Setiap profesi—sadar atau tidak sadar—pasti akan bergulat dengan permasalahan-permasalahan filsafat, baik itu dokter, hakim, guru, dan sebagainya. F. Penutup Membangun tradisi baru pengkajian filsafat memang harus segera direalisasikan jika kita tak mau filsafat sebagai salah satu rumpun keilmuan di PTAI yang tidak populer dan termarjinalkan karena filsafat kehilangan elan vital-nya tatkala menghadapi tantangan dan permasalahan sosialkemanusiaan saat ini. Filsafat di PTAI harus mampu berperan mengajak pembelajar bisa berpikir arif, bijaksana, logis; mengajari pembelajar berpikir kreatif dan penuh alternatif; mendorong pembelajar bersikap inklusif. Jika PTAI tetap membiarkan penekanan pengkajian filsafat tak berubah, yakni hanya menghafal produk pemikiran filosof dan ismeismenya dengan mengabaikan pengkajian filsafat sebagai metode berpikir atau metodologi pendekatan keilmuan maka PTAI tidak akan mampu menyampaikan misinya sebagai rahmah li al-alamin, tetapi justru pada saatnya nanti akan memproduksi manusia-manusia yang eksklusif, kekanak-kanakan menghadapi keberagaman, dan selalu terkejut dengan perubahan dunia, dan akhirnya tidak bisa survive menghadapi tantangan yang akan selalu muncul di setiap masa. Pembelajaran filsafat di PTAI yang mulanya menjadi habit of mind telah terbekukan menjadi belief, dan sekarang ini sedang mengalami doubt sehingga butuh upaya pencarian sebagai ijtihad baru untuk mendapatkan pencerahan. Oleh karena itu, sisi kurikulum, strategi pembelajaran, sumber daya manusia, yakni dosen dan mahasiswa adalah menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi PTAI dalam perspektif pengembangan ini. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, ”Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam M. Amin Abdullah, dkk (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000. _______, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Ulya: Mencermati Pengkajian Filsafat di PTAI: Menguak...
1039
Adian, Donny Gahral, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, Bandung: Teraju, 2002. Baqir, Haidar, "Kembali Berfilsafat Kembali Menjadi Manusia", dalam Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, terj. Musa Kadzim dan Arif Mulyadi, Bandung: Mizan, 2001. el Fadl, Khaled Abu, Speaking in God’a Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld, 2003. Fakhri, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya , 1986. Leamen, Oliver, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press, 1985. Mahmud, M. Dimyati, Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Terapan, Yogyakarta: BPFE, 1990. Muhsin, Amina Wadud, “Qur’an and Women”, dalam Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A Sourcebook, Oxford: Oxford University Press, 1998. Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bandung: Bulan Bintang, 1992. Osman, Fathi, Rethinking Islam and Modernity: Essays in Honour of Fathi Osman, London: The Islamic Foundation, 2001. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Bina Aksara, 1986. Syamsuddin, Sahiron, “Arah Pengembangan Studi Qur’an dan Hadits di PTAI dalam Menjawab Masalah dan Tantangan Kontemporer”, Makalah di sampaikan dalam Workshop Desain Kurikulum Tafsir Hadits di STAIN Kudus, 2007. Verhaak, C. dan R. Hayono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Woodhouse, Mark B., Berfilsafat Sebagai Langkah Awal, terj. Ahmad Norma Permata dan P. Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010