Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
METODOLOGI PEMIKIRAN ISLAM ( Suatu Pendekatan Filsafat ) Nuryani M. STAIN Palopo Abstrak: Manusia dalam menghadapi seluruh kenyataan hidupnya, kagum terhadap apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh pancainderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu, banyak manusia berpaling pada agama. Persoalan yang dihadapi sekarang “banyak” pemikiran yang yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains, sebab menurut mereka, agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, sedangkan sains melakukan hal itu. Agama mencoba bersikap diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk konkret tentang kebenaran Tuhan sementara pada pihak lain, sains menguji semua hipotesis teorinya berdasarkan pengalaman. Menurut kelompok saintis, agama tidak dapat melakukan hal tersebut dengan cara yang dapat memuaskan pihak yang netral. Memang sains dan agama merupakan wacana yang selalu menarik perhatian dikalangan intelektual. Hingga kini, masih saja ada anggapan kuat dalam masyarakat luar yang menyatakan bahwa “ agama” dan “ ilmu “ adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-materiil, kriteria kebenaran, serta peran yang dimainkan ilmuan. Berkaitan dengan hal tersebut, dengan pendekatan filsafat mencoba mengeksplorasi pemikiran-pemikiran filosof modern, baik dari Barat maupun Islam dari sudut yang berbeda. Artinya tidak sekadar mengungkap teks-teks sejarah filsafat masa lalu. Lebih dari itu memberikan nuansa baru bahwa filsafat dijadikan sebagai metode berfikir dan bertindak bagi manusia untuk mencapai “ kebahagian” dalam hidup sehingga ilmu pengetahuan semakin berkembang. Demikian pula dengan agama dan moralitas. Hal ini sangat menarik karena filsafat diposisikan sebagai metode dalam menyelesaikan problem kebenaran, pengetahuan, dan moral kemanusiaan. Kata Kunci: manusia, pemikiran Islam, dan pendekatan filsafat.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw diyakini menggaransi terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir-batin, dunia dan akhirat. Karena ajaran Islam mengandung konsep tatanan kehidupan yang ideal dan komprehensif. Idealitas dan komprehensifitas ajaran Islam telah mendorong manusia untuk memahaminya secara luas dan
mendalam, baik dari aspek teologis (aqidah), syari’ah dan mu’amalah, agar agama Islam tidak dianut secara doktrinal-tekstual, tetapi diyakini pula secara rasional-kontekstual, sehingga pesan-pesan Islam yang substantif dan universal dapat merealitas dalam kehidupan nyata. Salah satu pendekatan yang digunakan oleh para ahli dalam memahami agama Islam adalah 77
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
pendekatan filsafat ( filosofis ) yang ranahnya tentu saja memaksimalkan potensi akal dalam berfikir. Abduddin Nata ( 2010 : 43 ) mengemukakan bahwa berfikir secara filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena dalam al-Qur’an yang menjadi sumber utama ajaran Islam banyak ayat-ayat yang secara repetitif menegaskan penggunaan akal pikiran dalam memahami ayat-ayat kauniyah ( ciptaan Allah ), seperti ungkapan: afalâ ta’qilûn, afalâ tubshirûn, afalâ tatafakkarûn, ( tidaklah kamu berfikir ). Ada sebahagian kalangan yang mempertentangkan antara filsafat dan ajaran Islam. Walaupun begitu M. Quraish Shihab ( 2005:96 ) mengemukakan bahwa akal yang digunakan berfilsafat, memiliki wilayah tersendiri, begitu juga agama, keduanya harus saling mengakui tidak boleh dipertentangkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa, akal dan wahyu yang menjadi sumber hukum Islam harus diposisikan secara dialogis-fungsional. Melalui pendekatan filosofis ini, Abuddin Nata ( 2010:45 ) menyatakan bahwa pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apaapa, kosong tanpa arti. Dalam konteks sekarang, realitas inilah yang mendominasi corak keberagaman umat Islam, khususnya di Indonesia yang mengakibatkan terjadinya
78
ketertinggalan budaya peradaban ( lag culture and civilization ). Selanjutnya Abuddin Nata ( 2010:45 ) mengungkapkan bahwa pendekatan filosof ini tidak berarti menafikan bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksetorik. Oleh karena itu, untuk memahami pemikiran Islam dengan pendekatan filosofis dibutuhkan kerangka berfikir yang rasional dan mampu memproporsionalkan kedudukan wahyu sebagai sumber ajaran Islam dan akal sebagai instrumen filsafat. Penulisan paper ini bertujuan untuk mengetahui: (1). Kedudukan rasio sebagai instrumen filsafat dalam Islam. (2). Konstruksi pemikiran Islam dengan pendekatan filsafat. 1. Kedudukan Rasio ( Akal ) sebagai instrumen filsafat dalam Islam. M. Quraish Shihab ( 2007: 249 ) mengungapkan bahwa kata ‘aql ( akal ) tidak ditemukan dalam alQur’an, yang ada adalah bentuk kata kerja masa kini dan lampau, yang dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur’an menggunakannya bagi “ sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menggunakan kata dasar ‘aql dengan konteks yang berbeda, seperti: a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti dalam Qs. ‘Al-Ankabut (29):43 Terjemahnya: “ Dan perumpamaanperumpamaan ini kami buat
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
untuk manusia, dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu”. b. Dorongan moral, seperti dalam Qs. Al-An’am (6): 151: Terjemahnya: “ katakanlah ( Muhammad ): “ Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baik terhadap ibu-bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah. Seperti dalam Qs. AlMulk (67) : 10 Terjemahnya: “ Dan mereka berkata: “ sekiranya ( dahulu ) kami mendengarkan atau memikirkan ( peringatan itu ) tentulah kami tidak termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. Dari ayat-ayat diatas dapat dipahami bahwa kedudukan akal (rasio) didalam Islam sangat urgen, dan merupakan salah satu potensi yang diberikan Allah kepada manusia untuk memahami, menganalisa dan
membandingkan berbagai macam fenomena, dan pada akhirnya mengambil suatu kesimpulan. Disamping itu, M. Quraish Shihab ( 2005 : 89 ) mengungkapkan bahwa terdapat satu hadits yang mengisyaratkan pentingnya akal dalam agama, meskipun hadist tersebut dinilai dhaif (lemah), yaitu: Artinya: ” Agama adalah akal, dan tidak ada ( tidak dianggap) beragama siapa yang tidak memiliki akal” (Al-Hadits). H. Jalaluddin ( 2003 : 35 ) mengemukakan bahwa kemampuan akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan dan peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menemukan berbagai teori ilmu pengetahuan dan mengembangkan sains dan teknologi, yang merupakan bagian integral dari sebuah peradaban manusia. Oleh karena itu, didalam Islam sebagaimana isyarat al-Qur’an dan Hadits posisi akal sangat dihargai, hanya saja akal ( rasio ) tidak boleh dipandang superior dari wahyu dan tidak boleh diremehkan. Pandangan Al-Atsary: terjemahan Kathur Suhardi ( 1995:24) menyatakan “ rasio dalam konsep Islam mempunyai kedudukan yang memang pas dengan keberadaannya, tidak bisa diangkat menjadi sembahan dan tidak bisa direndahkan. Rasio mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, mampu mengatahui apa yang baik dan apa yang buruk sesuai fitrah”. Fitrah adalah potensi yang dimiliki setiap manusia yang dapat dikembangkan. Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh pendidik sejati, telah 79
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
mensinyalir kemungkinan pengembangan fitrah manusia melalui pendidikan dalam arti yang luas. Hal tersebut beliau nyatakan dalam sabdanya sebagai berikut: Artinya: “ Telah mengatakan kepada kami Ibnu Abī Si’bin dari alZūhri telah mengabarkan kepada saya Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwasanya Abū Huraira Radhiyallahu ‘anhu telah berkata Raslullah saw. Telah bersabda “ Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah ( bertauhid ). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat dirinya buntung ( pada telinga )?’’ Hadis tersebut memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah potensi yang baik yang ada pada diri manusia, sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi membawa pengertian bahwa unsur-unsur luar dapat merubah dan mempengruhi potensi yang baik dan membawanya kepada kesesatan. Disisi lain, kata al-Fitrah yang terdapat pada hadis diatas, mengandung dua pengertian, yaitu bahwa manusia adalah makhluk beragama dan mengakui keesaan Tuhan. Kata al-Fitrah dapat pula berarti kesucian ( purity ) dalam arti bahwa semua anak yang dilahirkan, merupakan bagian dari hakikat ciptaan Allah swt. 2. Konstruksi pemikiran Islam dengan pendekatan filsafat.
80
Filsafat merupakan refleksi rasional ( fikir ) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat ( kebenaran ). dengan begitu filsafat pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan ( realitas ). Ungkapan senada Ayi Sofyan ( 2010 : 18 ) menyebutkan unsur ” rasional “ ( penggunaan akal budi ) dalam kegiatan berfilsafat merupakan syarat mutlak, dalam upaya mempelajari dan mengungkapkan “ secara mendasar” pengembaraan manusia di dunia menuju akhirat. Pemikiran Islam dengan pendekatan filsafat akan mengarahkan manusia kepada sebuah konstruksi pemahaman agama yang lebih mendalam (substansi) dan bermakna, baik pada ranah aqidah, syari’ah dan mu’amalah. Dengan tujuan, agar nilainilai agama Islam yang terkandung dalam ritual peribadatan, mampu terhayati dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa ini, khususnya dalam konteks ke-Indonesia-an, performa dan corak keagamaan umat Islam cenderung simbolik dan formalistik. Artinya, ritual-ritual peribadatan yang ditunaikan tidak berbanding lurus dengan perilaku-perilaku sebagaian besar umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik pada aspek politik, pendidikan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Pendekatan filsafat akan mengorientasikan umat Islam kepada apa yang disebut dengan Maqashidus Syari’ah ( maksud atau tujuan syariah ). Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Al-Jurjawi dalam bukunya Hikmah Al-Tasyri’ wa falsafatuha, yang dikutip oleh Abuddin Nata ( 2010:43 ) bahwa
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
hikmah yang terdapat dibalik ajaranajaran Islam. Misalnya ajaran melaksanakan ibadah shalat berjama’ah, tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Termasuk pula didalamnya bagaimana membangun ukhuwah dan kebersamaan antara sesama muslim. Demikian pula halnya dengan ritual ibadah puasa yang setiap tahun ditunaikan, apabila dipahami dengan pendekatan Maqashidus Syari’ah, maka ibadah puasa menjadi terapi dalam pengendalian hawa nafsu. Betapa tidak, dalam ibadah puasa ada dua hal pokok yang ditekankan yakni menahan diri (imsak) dari aktivitas makan dan minum serta hubungan suami-istri mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Secara filosofis akan muncul pertanyaan, kenapa makanan dan minuman, serta hubungan suami-istri yang sudah sah secara hukum diharamkan bagi orang yang berpuasa di bulan ramadhan? Disinilah Maqashidus syari’ah-nya akan terungkap, artinya kalau makanan atau minuman yang sudah jelas kehalalannya bagi seorang muslim, dia mampu menahan diri untuk tidak mengkonsumsinya ketika berpuasa, lantas kenapa di luar puasa ( saat mencari nafkah ) dia tidak mampu untuk menahan dirinya dari perilaku mengambil yang syubhat, yang riba dan yang bukan hanya (haram)? Begitu pula dengan berimsak pada aktivitas berjima’ (hubungan suami-istri) saat puasa, kalau perempuan-perempuan atau laki-laki yang sudah sah secara akad nikah, mereka mampu menahan diri untuk tidak berhubungan, lantas kenapa diluar puasa mereka tidak mampu
menahan diri tidak berselingkuh (berzina) dengan para perempuan atau para lelaki yang belum sah secara hukum?. Disinilah fungsi nilai ibadah puasa sebagai terapi perilaku pengendalian hawa nafsu dalam kehidupan seorang muslim. Demikian pula halnya dengan ibadah haji yang dilaksanakan dikota Mekah dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan oleh yang lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, mereka bersaudara dengan sesama muslim dari seluruh dunia. Abuddin Nata ( 2010 : 44 ) mengemukakan bahwa Thawaf yang dikerjakan mengandung makna bahwa hidup harus penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah, namun semua itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan Sa’i dari bukit Shafa ke bukit Marwa, berarti bersih dan berkembang, filosofisnya adalah hidup ini harus diisi dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat memperoleh keberkahan. Demikian pula dengan ritual Wukuf dan melontar Jamarat, semua mengandung Maqashidus Syari’ah. Oleh karena itu pendekatan filosofis akan sangat membantu setiap Muslim untuk memahami dan menghayati setiap kewajiban ibadah yang telah diwajibkan dalam ajaran Islam. Sehingga, ritual peribadatan dapat memberi implikasi positif bagi kehidupan setiap muslim. Simpulan Dari uraian yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 81
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
1. Islam sangat menghargai akal manusia sebagai salah satu instrumen filsafat, yang dapat membantu manusia untuk memahami hakikat yang terkandung dalam ajaran Islam, baik perintah-perintah (kewajiban) maupun larangan-larangannya. Sehingga, nuansa beragama semakin terhayati dalam kehidupan dan bukti nyata dari apresiasi Islam terhadap akal manusia ialah banyaknya ayatayat dalam al-Qur’an yang secara repetitif menggugah manusia untuk menggunakan akal pikirannya dalam memahami ayat-ayat kauniyah. 2. Metodologi pemikiran Islam dengan pendekatan filsafat dapat mengantarkan umat Islam kepada keluasan tsaqafah diniyah (wawasan keagamaan) dan sekaligus menemukan hakikat dan tujuan dari syari’at Islam (Maqashidu al-syari’ah). Sehingga, pelaksanaan kewajiban beribadah bukan sekadar rutinitas ritual semata dan pengangguran kewajiban, tetapi mampu mengimplementasikan nilainilai ibadah tersebut dalam realitas kehidupan. Seperti, nilai ibadah shalat, puasa, haji dan zakat yang seharusnya memiliki nilai-nilai akhlak yang terintegrasi dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. 3. Filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahun. Disebut “ sebelum” karena semua ilmu pengetahuan adalah bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” kaarena ilmu pengetahuan khusus akan mengahadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya. Daftar Bacaan Al-Atsary, Ali bin Hasan Al-Halaby, Al-aqlaniyun. Afrakhu AlMuktazilah Al-Ashriyyah, 82
Maktabul-Ghuraba’. Madinah, 1413. Terjemahan oleh Kathur Suhardi dengan judul Muslim Rasionalis. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1995. Al-Bukhārī, Abū ‘Abdullāh Muhammad bin Isma³ bin Ibrāhim bin Mughirah al-Ja’fi bin Bardizbah. Ṣahih alBukhāri. Juz I; Beirut: Dār alFikr, 1981. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Hilal, 2010. Hartoko Dick. Kamus Populer Filsafat. Cet, III., t.t.p. Raja Grafindo Persada, 2002. Jalaluddin H. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Qadir Djaelani Abdul. Filsafat Islam. Cet. I., Surabaya: Bina Ilmu, 1993. Sofyan Ayi. Kapita Selekta Filsafat. Cet. I., Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010. Shihab, M. Quraish, Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati, 2005. ………., Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,. Bandung: Mizan. 2007. Tafsir Ahmad. Filsafat Umum. Cet.VI., Bandung: Remaja Rosdakarya.1998.