ISLAM DAN FILSAFAT PERENNIAL (Telaah atas Pemikiran Fritjof Schuon)
Oleh Nor Hasan (Dosen tetap pada Jurusan Syari’ah STAIN Pamekasan dan Alumni Program Magister Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstrak Di tengah kehidupan modernitas yang bercorak sekularistik-hedonistik telah mengantarkan manusia pada krisis identitas dan kehampaan spiritual.Keberagamaan manusia modern, telah terjebak pada formalisme-literalistik yang sampai batas tertentu telah mengantarkan pada pemahaman keagamaan yang menolak pluralitas. Pada hal pluralisme merupakan suatu keniscayaan sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Tulisan ini berusaha menguak tradisi filsafat perenial yang dipandang dapat mengantarkan manusia pada dimensi kedalaman spiritual dengan berlokus pada pemikiran Fritjof Schuon, yang selama ini dikenal sebagai pionernya
Kata kunci Filsafat perennial ,transenden, universal.
Pendahuluan Istilah Filsafat Perennial diduga untuk pertama kali digunakan di dunia Barat oleh seorang bernama Augustinus Steuchus [14971548] sebagai judul karyanya, De perenni philosophia, yang diterbitkan pada tahun 1540,1 untuk kemudian dipopulerkan oleh Leibnitz dalam sepucuk suratnya yang ditulis pada tahun 1715.2 Dalam perspektif penggagasnya, filsafat Perennial dipandang sebagai filsafat yang bisa menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki (esensi), menyangkut keariHal ini bisa dilihat pada Pengantar Seyyed Hossein Nasr dalam buku Fitjof Schoun, Islam and the Perennial Philosophy, translated by J.Peter Hobson, [New York: World of Islam Festival Publishing Company, 1976], hlm. vii 2 Isinya membicarakan pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perennial. Periksa Ibid. 1
fan yang diperlukan dalam menjalankan hidup yang benar, yang menjadi hakikat dari seluruh agama-agama dan tradisitradisi besar spiritualitas manusia. Oleh karenanya, filsafat ini--sekali lagi oleh penggasnya, dipandang--sangat penting karena melalui filsafat inilah kita bisa memahami kompleksitas perbedaan antar tradisi dan agama, yang selama ini dianggap banyak orang--bahkan oleh para ahli agama sekalipun--bahwa yang ada dalam realitas agama-agama hanya perbedaan saja. Inti pandangan filsafat perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan
Islam dan Filsafat Perennial Nor Hasan
simbol.3 Dengan kata lain, dalam bentuk eksoteris agama-agama terdapat kesatuan transenden esoterikal, yang dapat mengantarkan para pemeluk agama pada perspektif yang genuine dan original dalam memandang kebhinekaan agama. Makalah ini akan mengkaji tentang hal tersebut, dengan bertitik lokus pada seorang tokoh penggagasnya, Fritjof Schuon-yang setelah masuk Islam mengganti namanya dengan Muhammad Isa Nur alDin.
Islam dan Filsafat Perennial Dalam perspektif Fritjof Schuon4, doktrin tentang tauhid dalam islam ternyata Periksa Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial , [Jakarta, Paramadina 1995], 2. Melalui aplikasi filsafat perenial dalam kajian agamaagama, diharapkan terjadi penerimaan akan adanya the common vision yang berarti menghidupkan kembali the many, yang dalam hal ini adalah realitas eksoteris agamaagama, kepada asalnya, The One, yang diberi berbagai macam nama oleh para pemeluknya sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial serta spiritual manusia. Sehingga pesan empiris tentang adanya agama-agama yang majemuk tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual, tetapi dilanjutkan bahwa: “ada satu realitas yang menjadi pengikat yang sama” dari agamaagama tersebut yang dalam bahasa simbolis disebut dengan “Agama itu” [The Religion]. Agama [The Religion] dalam konteks inilah yang bisa menjadi –istilah Huston Smith- the common vision of the world’s religion, atau istilah yang begitu disukai oleh penganut filsafat perennial adalah the transcendent unity of religions [“kesatuan transenden agama-agama”], yang merupakan mainstream penting dalam filsafat perennial. Periksa Budhy Munawwar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan kaum Beriman, [Jakarta : Paramadina 2001 ], hlm. 90. 4 lahir pada tahun 1907 di Basle, Switzerland. Sejak kecil dia telah banyak tertarik dalam dunia keilmuan khususnya agama dan budaya. Ketika ayahnya meninggal dunia dia pergi ke Paris untuk bekerja dan belajar selama beberapa tahun. Sebelum melakukan beberapa perjalanan di Afrika utara dan selatan serta India dalam upaya memcari sumber buat karya-karyanya. Pada tahun 1932 dia bertemu dengan Shaykh Ahmed Al-Alawi di Al-jazair. Ketika tahun 1938 dia pergi ke Mesir dan bertemu dengan Rene’ Guenong. Di akhir petualangannya, akhirnya ia menikah dengan dengan putri Diplomat Swis dan menetap di sana. Fritjof Schuon dikenal sebagai tokoh yang mewakili 3
tidak secara eksklusif esensi pesannya hanya milik islam, melainkan terlebih merupakan inti setiap Agama. Konsep kewahyuan dalam Islam dimaknai sebagai penegasan doktrin tentang tauhid.5 Secara historis tradisi intelektual Islam telah menampakkan dalam dua aspek yaitu gnostik ( ma’rifah atau ‘irfân ) dan filsafat atau teosof (al-hikmah)6 Filsafat Perenial memandang bahwa sumber-sumber dari kebenaran unik yang merupakan Agama yang benar ( dîn al-haq) sudah terdapat dalam ajaran-ajaran para Nabi dan ‘ârifîn terdahulu. Menurut Schuon, ajaran tersebut sudah terdapat sejak Nabi Adam yang kemudian dikembangkan oleh Nabi Idris-yang dalam tradisi filsafat Yunani pemikiran Filsafat Perennial. Ia berperan banyak memformulasikan kearifan spiritual yang dapat menengahi berbagai bentuk aliran agama ortodox di berbagai tempat; sejak lebih 50 tahun yang lalu dia telah menulis lebih dari 20 buku dan sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ia juga sangat paham Metafisika yang aktif dari waktu ke waktu. Pemikirannya --yang diakui oleh para pengkajinya sebagai tiada bandingnya-adalah tentang kearifan Perennial sebagaimana yang selalu dipaparkan dalam hampir keseluruhan karyanya, sementara karya-karya seninya lebih cenderung bersifat estetik, psikologis, atau dimensi moral dari Filsafat Perineal. Dia bukan hanya tertarik terhadap dasar-dasar metafisik, namun juga tertarik dengan kosmik radiasi manusia, yang berarti juga dia tidak bermaksud meletakkan simbol-simbol tersebut dalam karya seninya. Namun secara sederhana dapat kita katakan bahwa gagasan spritualnya dengan sendirinya termanifestasi dalam karya-karyanya. 5 Lihat Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (New York: State University of New York Press, 1989), hlm. 71 6 Tradisi gnostik dalam Islam banyak dipengaruhi oleh agama-agama Persia dan India kuno. Dipelopiri oleh Suhrawardi Al-Maqtul, Shadr al-din Shirazi [Mulla Sadra] dan ibn Arabi. Dalam operasionalisasinya lebih menekankan kebersihan hati dan dhawq, sehingga akhirnya diperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang realitas yang tidak didasarkan pada metode-metode ilmu pengetahuan discursive, melainkan pada pada yang diistilahkan Mehdi Hairi Yazdi, sebagai ilmu Hudhuri (alIlm al-Laduniyah). Sedangkan tradisi filosofis yang dipelopori oleh para filosof paripatetik Islam seperti alKindi, al-Farabi dan Ibn Sina serta Ibn Rusyd, lebih dipengaruhi oleh tradisi berpikir Yunani yang discursive dan menonjolkan peran akal.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
945
Islam dan Filsafat Perennial Nor Hasan
diidentikkan dengan Hermes--sebagai “ father of philosophers” ( abû al- hukamâ’)7. Lebih lanjut, dalam Islam tradisi Perennial begitu kental terdapat dalam hampir seluruh bidang kajian tasawuf. Menurut Nasr, tasawuf dalam Islam banyak dipengaruhi oleh orang-orang suci terdahulu semisal Pythagoras, Plato dll. Dalam pandangan Islam banyak orang suci yang hidup sebelum Nabi Muhammad, termasuk orang yang bertauhid meskipun secara literer kebahasaan tidak mengucapkannya dalam Bahasa Al-Qur’an . Bahkan al-qur’an sendiri secara tegas menyatakan bahwa setiap umat itu pasti ada Nabinya meskipun al-Qur’an tidak menyebutnya secara eksplisit, sehingga kajian historis tidak mampu menjangkaunya untuk membuktikan data tersebut. Mereka itu semua juga banyak memberikan pengaruh terhadap aliran sufisme Islam yang di dalamnya sarat dengan hikmah primordial kenabian.8 Hermes – yang tak lain adalah Nabi Idris-- telah meletakkan dan merintis cikal bakal filsafat perennial setelah ia menerima wahyu dari Tuhan. Dari nama Hermes inilah lalu lahir apa yang disebut filsafat Hermeneutik, yang pada intinya merupakan suatu kajian filosofis untuk mengenal inti pesan Tuhan yang berada dibalik ungkapan bahasa. Lihat Shihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul, A History of Muslim Philosophy, terjemahan MM. Sharif, Volume I, hlm. 372-396. Dalam ladang peradaban Islam inilah berbagai pohon kearifan perennial itu dihimpun dan dipupuk sehingga semakin berkembang. Suhrawardi, yang dalam banyak hal dipengaruhi dipengaruhi oleh ajaran Zoroasterianisme, menyamakan kebijakan para empu Zoroasterian zaman dahulu dengan ajaran Hermes dan dengan ajaran filosof sebelum Aristoteles terutama pythagoras dan Plato. Namun pengaruh yang paling dominan dalam tradisi intelektual Suhrawardi adalah ajaran Hermeneutisisme, yang cikal bakalnya dirintis oleh nabi Idris as. Yang merupakan peleburan ajaran kuno di Mesir, Khaldea dan Sabea7. Karenanya tidak salah bila Suhrawardi menyebut dirinya sebagai pembangkit kembali apa yang disebutnya al-Hikmah al-Laduniyah atau al-Hikmat al-Atiqah, yang dimasa kontemporer ini tampaknya perlu untuk diupayakan kembali kebangkitannya. 8 Nasr, Knowledge, hlm. 72. Dalam konteks ini, Sadr al-Din Shirazi (Mulla Shadra) mengidentifikasi hikmah primordial kenabian sebagai pengetahuan yang benar 7
946
Dalam perspektif filsafat perenial, Islam yang dibawa Muhammad –dilihat dari sisi ajaran dasarnya-- sesungguhnya bukanlah ajaran baru, melainkan kelanjutan dan penegasan kembali dari ajaran para utusan Tuhan sebelumnya. Kata alDin, misalnya yang mungkin sangat cocok diterjemahkan dengan istilah tradition, tidak dapat dipisahkan dari ide mengenai kearifan abadi, sophia perennis, yang juga di sebut philosophia perennis, sebagaimana dipahami oleh banyak orang semisal A.K. Coomaraswamy.9 al-Din yang diterjemahkan sebagai “ikatan“ atau “dominasi” oleh sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia itu sendiri, merupakan tradisi dan karakter manusia primodial, yaitu manusia yang sikap tauhidnya belum tercemari oleh nafsu pemujaan terhadap berhala materi. Jika manusia tidak melakukan ketundukan atau kepasrahan kepada Yang Mutlak, maka yang terjadi adalah manusia pasti akan tunduk kepada yang relatif. Maka jika ini terjadi, jatuhlah derajat kemanusiaannya, sebab makhluk Tuhan selain manusia adalah bearda pada posisi di bawah derajat manusia. Jadi implikasi dari sikap tunduk dan pasrah kepada Yang Mutlak adalah sebuah pembebasan manusia untuk tidak membiarkan dirinya terjajah oleh sesuatu ynag lebih rendah dari dirinya. Dengan demikian , hanya Dialah ( Yang Mutlak ) yang pantas kita lihat ke atas dan hanya kepada-Nya lah kita bersujud. Dalam ungkapan Aldous Huxley: “ The perennial philosophy will do something to preserve men and women from the temptation to idolatrous worship of things is time – hurch –worship, state worship, revolutionary future worship, humanistic- self-
yang diistilahkannya al-Hikmah al-Muta’alliyah --sering diterjemahkan dengan perennial Wisdom-dimana keberadaannya setua sejarah manusia itu sendiri. 9 Ibid
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Islam dan Filsafat Perennial Nor Hasan
worship all of them essentially and necessarily opposed to charity.”10 Semangat inilah yang sesungguhnya juga dikandung oleh kalimat syahadat, yang bagaikan suatu garis demarkasi atau pintu gerbang yang secara formal wajib dikrarkan bagi seseorang yang menyatakan memeluk Islam. Pernyataan ini sebetulnya bukanlah hal yang baru dalam diri manusia, melainkan hanya menegaskan, mengingatkan dan mengungkapkan kembali benih monoteisme yang telah tertanam dalam lembaran hati yang paling dalam yang merupakan fitrah manusia. Dalam tradisi tasawuf kualitas manusia primordial ini biasanya dirujukkan kepada al-Qur’an suart ke –7 ayat 172.11 Dalam tradisi tasawuf, sebagaimana juga dalam filsafat perennial, antara Tuhan dan manusia dihubungkan dengan gelora cinta12. Iman adalah respon manusia terhadap kasih yang memancarkan dari Yang Maha Kasih. Dengan cinta kasih tersebut, maka hidup ini lebih dinamis dan produktif. Hanya mereka yang hatinya penuh kasih yang bisa berbagi kasih dengan sesamanya. Dan mereka yang hatinya miskin dan kering dari pancaran kasih, maka hidupnya diwarnai oleh ketamakan dan kegelisihan. Dalam tradisi perennial, pancaran kasih sayang manusia akan segera meredup yang akhirnya Aldous Huxley, The Perennial Philosophy [New York: harper & Row, 1945], hlm. 95 11 اﻟﺴﺖ ﺑﺮﺑﻜﻢ ؟ ﻗﺎﻟﻮ ﺑﻠﻰ ﺷﮭﺪﻧﺎ 12Inilah Mazhab Schoun dalam memahami Islam, sehingga Islam --dalam pandangannya-- dimaknai sebagai sesuatu yang perenial. Karena merupakan sesuatu yang perenial, maka untuk dapat menyelaminya secara total mesti memasukinya dari perspektif filsafat perenial. Metode yang paling mewakili dalam perspektif filsafat perenial adalah melalui pendekatan tasawuf, yang mengandalkan metode dhawq, intuisi, gnostik, irfan. Dengan demikian, yang penting adalah bukan pertanyaan apakah Islam atau tasawuf yang identik dengan filsafat perenial, tetapi semestinya Islam adalah sesuatu yang perenial, dan untuk menyelaminya secara total mesti melalui filsafat perenial, yang salah satu pintu masuknya adalah melalui tasawuf.
bermuara kedalam suasana alienasi- jika hatinya tidak diikatkan dengan Tuhan, sumber kasih yang Maha Kasih dan Tak terbatas.
Konsep Filsafat Perennial: Menelusuri Konteks Kebhinekaan Agama Filsafat Perennial ( philosophia perennis) dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada.13 Filsafat ini berusaha memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini, dengan realitas yang Absolut. Realisasi pengetahuan ini dalam diri manusia, hanya dapat dicapai melalui apa yang sudah sejak zaman Plotinus lewat bukunya The six Eneads- disebut “intelek” (soul/spirit), yang “jalannya” pun hanya bisa dicapai melalui tradisi-tradsi ritusritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan. Dasar-dasar teoretis pengetahuan tersebut, ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik , yang dikenal dengan berbagai konsep. Kalau disebut perennial religion, maksudnya adalah terdapat hakikat yang sama dalam setiap agama, yang dalam istilah filsafat agama sering disebut dengan relegion of the heart, meskipun terbungkus
10
Dalam kata Fritjof Schuon sendiri adalah ,” the timeless metaphysical truthh underlying the diverse religions, whose written sources are the revealed Scriptures as well as the writings of the great spiritual masters. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Aldous Huxley bahwa filsafat Perennial adalah: Pertama, Metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu: kehidupan dan pikiran ; Kedua, suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia ( soul) identik dengan kenyataan ilahi itu; dan Ketiga, Etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan, yang bersifat imanen maupun transenden, mengenai seluruh keberadaan. Periksa Huxley, The Perennial Philosophy. 13
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
947
Islam dan Filsafat Perennial Nor Hasan
dalam wadah/jalan yang berbeda.14 Kehadiran sebuah agama adalah untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sudah tertanam dalam fitrah manusia. Kedatangan setiap agama yang otentik adalah untuk mengingatkan kembali manusia pada panggilan abadinya dalam kehidupan. Agama adalah “fitrah yang diturunkan” [alfitrah al-munazzalah]. Fitrah ini sering dilupakan karena penyalahgunaan kebebasan yang ada pada manusia. Maka, pada saat-saat paling krisi dalam kehidupan rohani manusia, akan selalu datang agama yang akan mengingatkan lagi hakikat kejadiannya itu. Realisasi perennial religion karenanya, akan menghasilkan kebijaksanaan yang menjadi dasar kehidupan manusia. Jadi hakikat daripada agama yang perennial adalah “mengikatkan manusia pada Tuhan.” Kata ini sebenarnya biasa dan sering didengar, tetapi karena tidak adanya kesadaran perennial, maka menjadi sangat verbal. Padahal, dari sudut pengertian perennial, ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan menjadi alamiah, demi kebajikannya sendiri.15
Filsafat Perennial dalam pandangan kita ini tidak dipahami sebagai paham atau filsafat yang berpandangan semua agama adalah sama –suatu pandangan yang sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular. Akan tetap berpandangan bahwa Kebenaran mutlak [The Truth] The Truth] hanyalah satu, tidak terbagi tetapi dari yang Maha satu memancar sinar yang berbeda-beda. Dalam konteks ini tepat sekali apa yang dikatakan Sri Ramakhrishna, seorang suci dan filsuf India abad 19 bahwa, “Tuhan telah menciptakan berbagai agama untuk kepentingan berbagai pemeluk, berbagai waktu dan negeri. Semua ajaran merupakan jalan. Sesungguhnya seseorang akan mencapai Tuhan, jika ia mengikuti jalan sesungguhnya seseorangakan mencapai Tuhan jika ia mengikuti jalan manapun. Asal dengan pengabdian yang sepenuh-penuhnya.” 15 Religion, asal kata-nya religio, yang berarti to bind with God. Istilah ini sebenarnya mengatasi aspek institusional dari agama termasuk komunitas, sistem simbol, ritus, pengalaman religius, dan sebagainya-yang sekarang telah menjadi arti sempit dari agama itu sendiri. 14
948
Dengan wawasan ini, sangat mungkinlah dicapai suatu “kesatuan transenden agama-agama” atau istilah asli yang dicapai Fritjof Schuon adalah The Transcendent Unity of Religion.16 Tetapi kesatuan agama-agama ini hanya berada dan bisa dipahami pada level “esoterik” [istilah Huston Smith] “essensial” [istilah baghavan Das], atau transenden” [istilah Fritjof Schuon, Sayyed Hossein Nasr dan tentu saja pengikut setia filsafat perennial sendiri]. Sebaliknya kesatuan agama-agama tidak berada pada level eksoterisme [lahiriah]. Ada metafor bagus sekali, yang biasa digunakan perennialis untuk mengilustrasikan kesatuan agamaagama lain. Jika esoterisme adalah cahaya, maka setiap agama menangkap cahaya itu dalam berbagai warna [sebagai agamaagama] dan berbagai “daya terang” –ada yang terang sekali, ada yang menengah dan ada juga yang samar-samar. Maksudnya tentu saja pada perumusan doktrin metafisiknya. Tetapi dari sudut pandang filsafat perennial, adanya aneka warna cahaya berikut “daya terang”nya tidaklah penting karena : (1) Walaupun ada berbagai macam cahaya, tetapi semua itu tetap dinamakan cahaya. Jadi, kalau agama itu otentik tetap ada core yang sama; (2) Walaupun cahaya memiliki daya terang yang beragam, tetapi semua cahaya [sumber agama itu, yakni Tuhan], sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab, jika ia terus menelusuri cahaya itu, ia akan tetap sampai kepada sumbernya. Karena itu hakikat agama adalah adanya sense of the absolute pada diri manusia, sehingga ia merasakan terus menerus adanya “Yang absolut” pada dirinya.17 Fritjof Schuon, The Transendent Unity of Religion, [Wheaton, Ilinois: The Philosophical Publishing House, 1984] 17 Rahman, Islam Pluralis, hlm. 89 Dengan demikian, meski pun ada tingkatan cahaya, dalam pandangan filsafat perenialnya Schoun, ataupun filsafat Illuminasionismenya Suhrawardi, wahdat al-Wujudnya Ibn Arabi yang 16
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Islam dan Filsafat Perennial Nor Hasan
Disinilah manusia merasakan makna simbolik kehadiran Tuhan. Wujud hakikat agama itu, sebenarnya bukan hanya merupakan pengetahuan, tetapi juga 18 kebijaksanaan sekaligus. Itulah sebabnya, hakikat agama sering disebut sebagai scientia sacra yang berarti pengetahuan suci atau devine knowledge. Pengetahuan ini dialami –bukan sekadar diyakini- berasal dari “Alam Surgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan berbagai cara/metode. Oleh karena itu, harmoni [kesatuan agama-agama] berada dalam “langit ilahi” [esoteris, transenden], bukan dalam “atmosfir bumi” [eksoteris]. Dengan perspektif bahasa filsafat perennial itulah, maka semua ritus, doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai untuk mencapai pengertian menyeluruh mengenai dasar keagamaan tersebut, mendapatkan penjelasan yang menyeluruh melalui bentuknya yang formal atau yang terpaku kokoh dalam suatu tradisi keagamaan atau dalam Islam dikonsepsikan “terpaku dalam satu shari’ah tertentu”. Dengan cara seperti inilah Filsafat Perennial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama, bisa diterima dengan lapang dada dan penuh toleransi.Pada hakikatnya, ajaran perennial Tuhan –seperti Tuhan itu sendiri- hanya satu, tapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran. “Yang Satu” ini dalam pandangan perennial adalah “Yang tidak berubah”, merupakan fitrah. Mengembalikan keanekaragaman yang ada dalam kemudian dielaborasi secara brilian oleh Sadr al-Din Shirazi (Mulla Shadra), tingkatan cahaya tersebut tidaklah penting, dengan alasan sebagaimana telah dideskripsikan di atas. 18 Istilah kebijaksanaan seringkali disebut dengan Istilah sophia, kata Orang bijak dari Yunani kuno; atau sapientia menurut istilah orang suci Kristiani abad Pertengahan; jnana menurut tradisi Hindu; dan al-ma’rifat atau al-hikmah menurut konsep kaum sufi Islam.
kehidupan sehari-hari ini kepada “Yang tidak berubah” merupakan pesan dasar filsafat perennial, yang pada dasarnya adalah pesan keagamaan seperti yang disebut dalam terminologi Islam al-dîn-alnashîhah [agama itu adalah pesan/nasehat]. Inilah pesan yang termuat dalam QS.alRûm/30:30, yang artinya; Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama itu secara hanif, sesuai dengan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Itulah agama yang tegak lurus, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Dengan cara transendental ini, dapat ditemukan adanya norma-norma abadi yang hidup dalam hati setiap agama-agama besar maupun tradisi-tradisi spiritual kuno, yang oleh Fritjof Schoun [sebagai Genius terbesar Metafisika Tradisional diistilahkan dengan The Heart of Religion [jantungnya agama]. The Heart of Religion inilah yang bersifat ilahi, yang selalu disampaikan dan diajarkan oleh kalangan perennialis. Mereka beranggapan bahwa mengerti tentang hal tersebut adalah cara untuk mengerti ‘pesan ketuhanan’ kepada manusia sekaligus cara manusia kembali kepada Tuhannya. Menurut Fritjof Schoun, metafisika keagamaan ini tidak terpisah sama sekali dari tradisi dan transmisi tradisional, termasuk realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio perennis, agama yang bersifat abadi. Metafisika ini juga yang hidup dalam hati manusia, dimana di dalamnya ada Divine Intellect, atau seperti dikatakn Kristiani ada “Kerajaan Allah dalam hati manusia.” Dalam bahasa Meister Eickrhat, “Dalam diri manusia ada sesuatu yang tidak diciptakan, dan tidak dapat diciptakan. Itulah Intelek.” Memang Filsafat Perennial sepenuhnya mencurahkan perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transenden atau metafisik yang bersifat tran-historis.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
949
Islam dan Filsafat Perennial Nor Hasan
Bukan hanya agama dalam kenyataan faktual, seperti dalam ajaran religion wissenschaft, bahkan fenomenologi. Usaha transendental-metafisis ini dilakukan untuk mendapatkan kunci agar manusia dapat memahami ajaran agamaagama yang sangat kompleks dan penuh teka-teki, yang tak pernah bisa diduga maknanya lewat analisis empiris saja, apalagi historis seperti yang dilakukan oleh para ahli agama-agama selama ini. Penutup Walau demikian, perspektif filsafat perennial bagi mereka yang tidak percaya adanya “kesatuan transenden” agamaagama [The Transcendent Unity of Religion, meminjam istilah Schuon ] semuanya dianggap hanya sebagai illusi dan imajinasi abstraktif mistikus saja yang tidak dapat dilanding-kan secara riil empirik dalam hidup keseharian. Apalagi jika mereka secara empiris hanya mampu melihat perbedaan-perbedaan yang ada dalam agama-agama. Mereka menutup mata dari – istilah Huston Smith- The Common Vision of The World’s Religions dari agama-agama.19 Padahal dengan filsafat perennial – tentu saja bagi yang mempercayai- disadari betul adanya “Yang Infinite” dibalik
Misalnya Ziaduddin Sardar, seorang futuris Islam yang pernah meresensi atas tiga buah buku, dua diantaranya dari Fritjof Schuon yang berjudul; Religion of the Heart, dan Essential Writing of Fritjof Schuon Cult, dalam Impact International, Desember 1993, mengatakan bahwa, such a disiplinarian and occultish metaphysic, with secrery and sacred rites, could only produce an authotarian cult. Jelasnya, perspektif filsafat perennial oleh Z. sardar dianggapnya sebagai “ ……..could only produce an autthotarian cult” [“… hanya akan menyebabkan pemujaan yang bersifat otoritarian’]. Sardar berasumsi demikian karena mungkin ia tidak mempercayai sama sekali bahwa seluruh realitas ini pada dasarnya bersifat “Ketuhanan” [teofani]. Karena itu ia tidak dan tidak mau melihat realitas yang merupakan sacred form. Padahal ia merupakan manifestasi –tajalli, dalam istilah sufi –dari wujud yang asal. Periksa Kautsar Azhari Noer, Ibunu al-Arabi, Wahdat al-Wujud Dalam Perdebatan, [Jakarta: Paramadina, 1995], hlm. 59
kenyataan ini [levels of Reality [alam terrestrial, intermediate, celestial]. Juga dalam diri Manusia yang dalam filsafat perennial disebut levels of selfhood-nya terdiri dari tubuh [body], akal [mind] dan jiwa [soul], atau istilah Islam: jism, nafs dan ‘aql – dipercayai adanya yang disebut “spirit” [ruh]. Dengan kata lain, alam semesta pada dasarnya adalah tajalli atau bentuk perwujudan dari yang infinite/Spirit, yang dalam istilah Islam disebut al-Haqq.20 Meski demikian, penggarisbawahan atau penekanan terhadap the transenden unity of religion dalam filsafat perenial tampaknya sedemikian abstrak dan sangat intelektualistik, sehingga sulit dicerna oleh kalangan tertentu bahkan menganggap sebagai pemikiran aneh nyleneh dan sampai batas tertentu amat membahayakan jika ditelan secara tidak kritis karena orang akan terjebak pada sikap menyamakan semua agama sehingga beragama tertentu menjadi tidak penting baginya yang akhirnya mengantarkan mereka pada sikap sinkretisme atau pun agnostisisme, sehingga sekarang bisa saja ia menjadi Islam, besok kristen, besok lusa Yahudi, minggu depan Budha ataupun bulan depan menjadi seorang penganut Bahaisme, suatu pola memeluk agama yang jauh dari kesadaran religiousitas--bahkan—terkesan main-main. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb
19
950
Kharisuddin Aqib, Al-Hikmah, Memahami teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, [Surabaya:, Bina Ilmu, 1998], hlm. 127 20
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006