INTERAKSI PASIEN, KELUARGA DAN PETUGAS KESEHATAN DALAM PERAWATAN AKHIR-HIDUP PASIEN SAKIT TERMINAL Etika Emaliyawati
ABSTRAK
Meningkatnya jumlah klien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan paliatif. Ketika seorang klien divonis menderita suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan, seketika itu pula kematian sudah berada di pelupuk mata. Literature review ini membahas hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai perawatan akhir-hidup (end of life care) dan proses kematian (dying) dari pasien yang menderita sakit terminal dalam berbagai kondisi baik dari segi kesehatan fisik, psikologis, sosial ekonomi dan spiritual. Dibahas pula mengenai peran dari berbagai stakeholder yang terlibat dalam layanan perawatan akhir-hidup, termasuk pasien yang bersangkutan, keluarga dekat pasien dan pengambil keputusan, serta petugas kesehatan (dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya). Tujuan penulisan literatur review ini untuk memberikan tambahan wawasan mengenai perawatan pasien terminal yang akan menghadapi akhir hidup, harapan keluarga terhadap pelayanan kesehatan dan bagaimana perspektif petugas kesehatan terhadap masalah ini. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam, dan pengamatan. Informan terdiri dari pasien, keluarga, dan petugas kesehatan. Setting dari perawatan akhir hidup yaitu di lingkungan panti perawatan dan rumah sakit terhadap komunitas pasien lansia dalam lingkup perawatan paliatif. Terdapat 3 tema yang didapatkan yaitu pasien yang akan menghadapi akhir hidup, keluarga pasien dengan penyakit terminal dan petugas kesehatan dalam memberikan perawatan pada pasien dengan penyakit terminal. Perlu kiranya untuk meningkatkan kualitas perawatan paliatif khususnya pada proses kematian dan akhir kehidupan di berbagai setting/tempat perawatan.
Kata Kunci: Akhir-hidup, Pasien Lansia, Perawatan paliatif, Proses kematian, Sakit terminal.
1
ABSTRACT
The increasing of clients with diseases that can not be cured in both adults and children such as cancer, degenerative diseases, chronic obstructive pulmonary disease, cystic fibrosis, stroke, Parkinson's, heart failure / heart failure, genetic diseases and infectious diseases such as HIV / AIDS need care and the palliative health services. This review paper discussed published findings from studies on the role and interaction among patients, their families and health workers in End-of-Life (EOL) care and dying of terminally ill patients with various physical health conditions, mental, environment and background. This paper discussed the roles of various stakeholders involved in end-of-life care, including the patients, close relatives and decision makers, and health workers including physicians, nurses, and other health related workers. The purpose of this literature review to provide additional insight into the treatment of terminal patients who face end of life, the family hopes to health care and how health perspective on the issue. The method used is descriptive qualitative. Data collection by conducting in-depth interviews, and observations. Informants consisted of patients, families, and health workers. Setting of the end of life care in a nursing home environment and community hospitals for elderly patients in the palliative care setting. There are three themes that will be found that patients facing end of life, families of patients with terminal illness and health workers in providing care to patients with terminal illness. It is important to improve the quality of the palliative care, especially in the process of death and the end of life in various settings of care.
Keywords: End of life, Elderly, Dying, Terminally ill, Nursing home. PENDAHULUAN Semua orang akan mengalami apa yang dikenal sebagai pengalaman akhir-hidup (end of life) dan proses-kematian (dying). Hal ini dapat terjadi pada berbagai level usia, walaupun di sini mengambil fokus pada lansia dan atau pasien dengan penyakit terminal atau yang tidak dapat disembuhkan, baik dalam perawatan aktif maupun paliatif di rumah sakit, panti perawatan (nursing home) maupun di dalam komunitas. Namun demikian, walaupun akan dialami oleh semua orang, topik-topik mengenai perawatan pada akhirhidup dan proses-kematian ini belum
banyak dipelajari sampai dengan saat ini, kemungkinan besar karena kecenderungan sifat dasar manusia yang menganggap tabu dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan kematian dan tidak adanya harapan akan kehidupan, yang bertentangan dengan tujuan dari usaha medis untuk menyembuhkan orang yang sakit. Namun demikian, akhir-hidup dan proses-kematian adalah suatu fakta yang terjadi secara alamiah, dan dengan meningkatnya usia harapan hidup dan bertambahnya komposisi penduduk lansia di masa mendatang, maka topik-topik ini membutuhkan perhatian yang lebih
2
besar pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas dari layanan perawatan akhir-hidup, antara lain peran dan kerjasama antara pasien, keluarga (serta pengambil keputusan), dan petugas kesehatan termasuk dokter, perawat dan lainnya, yang bekerja di rumah sakit maupun panti perawatan. Secara umum, kebutuhan dari pasien perawatan paliatif sangat berbeda dan unik dibandingkan dengan pasien dalam perawatan aktif dan bergantung dari kondisi serta latar belakang dari pasien tersebut, termasuk kondisi kesehatan fisik, mental, budaya, kepercayaan, keluarga dan sebagainya. Dibutuhkan banyak penelitian untuk meningkatkan kualitas praktek keperawatan paliatif yang di dalamnya termasuk proseskematian, walaupun bidang ini kurang mendapatkan perhatian. Literatur review ini membahas hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai peran dan interaksi antara pasien, keluarganya dan petugas kesehatan yang merawatnya dalam perawatan akhir-hidup (end of life care) dan proses kematian (dying). Pasien yang diambil yang menderita sakit terminal dalam berbagai kondisi kesehatan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual dengan berbagai latar belakang etnis, maupun penyakit. Tujuan penulisan literatur review ini untuk memberikan tambahan wawasan mengenai perawatan pasien terminal yang akan menghadapi akhir hidup, harapan keluarga terhadap pelayanan kesehatan dan bagaimana perspektif petugas kesehatan terhadap masalah ini. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif eksploratif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, pengamatan terhadap peserta, dan analisa kejadian yang dilakukan pada pasien dengan penyakit terminal. Di sini pasien terminal adalah pasien dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi yaitu klien dengan Cancer stadium IIIb sampai dengan IV, klien dengan stroke dan klien dengan hearth disease, klien dengan demensia dan alzheimer. Latar pengambilan data yaitu di rumah sakit dan panti perawatan di Amerika Serikat, Bangladesh, dan Eropa Selatan. HASIL DAN PEMBAHASAN PERAWATAN AKHIR-HIDUP DAN PROSES-KEMATIAN Terdapat 3 tema yang didapatkan yaitu pasien yang akan menghadapi akhir hidup, keluarga pasien dengan penyakit terminal dan petugas kesehatan dalam memberikan perawatan pada pasien dengan penyakit terminal. Pasien yang akan menghadapi akhir hidup Keberadaan gejala-gejala baik fisik, psikologis, sosial, dan kultural berkontribusi pada menentukan kebutuhan klien dalam bentuk pengendalian gejala yang muncul, dan dengan demikian berpengaruh pada penyediaan layanan kesehatan. Pengukuran perubahan gejala digunakan untuk mengkaji apakah perawatan dan pengobatan yang dilakukan itu efektif atau tidak (Ahmad., et all. 2006). Rendahnya kemampuan perawatan diri dan banyaknya klien yang menghadapi kesulitan akibat penyakitnya, menyebabkan tingkat
3
rehospitalisasi tetap tinggi (Carlson., Riegel., Moser., 2001). WHO (2002) menyatakan bahwa pengendalian nyeri dan masalah fisik lain serta gejala lain seperti masalah psikologis, sosial dan spiritual adalah sangat penting. Untuk itu perlu pemberian layanan kesehatan yang tentu saja harus aman, memuaskan dan berkualitas. Pemeriksaan asumsi psikologis pada klien yang akan menjalani akhir hidup yang berusia di atas 65 tahun dilakukan oleh Hawkins, et.al (2005) dimana didapatkan bahwa sangat sedikit individu yang ingin menuliskan pilihan dan mandat perawatan medis spesifik yang akan diikuti, tidak terkecuali ketika sudah mendekati kematian. Menurut (Ahmad., et all. 2006) bahwa gejala-gejala fisik dari klien dalam fase terminal karena penyakit berkaitan dengan peningkatan stres, depresi dan kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial dan kultural yang beragam. Pengkajian fisik dan gejala distres dengan demikian merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis, terutama pada penyakit yang sudah lanjut dan tidak dapat disembuhkan dimana tujuan utama perawatan adalah berkaitan dengan kenyamanan dan kualitas hidup. Kebanyakan orang dewasa yang lebih tua di Amerika Serikat menunjukkan bahwa mereka lebih suka meninggal di rumah, akan tetapi fenomena sekarang ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang dewasa yang akhirnya meninggal di sarana-sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, fasilitas hidup yang di bantu (ALFs), dan di panti perawatan yang memberikan pelayanan kesehatan
dan peduli dalam memberikan layanan di akhir kehidupan. (Munn, et al. 2008). Penelitian-penelitian tentang akhir hidup semakin banyak dilakukan, hal ini terkait dengan bagaimana sebaiknya memberikan perawatan pada klien yang akan mengakhiri hidupnya. Kebanyakan studi telah dilakukan di rumah sakit rumah sakit terhadap orang-orang yang mengalami kematian karena kanker (Jones. 2002). Kanker merupakan penyakit yang mematikan bila terlambat diketahui dan telah terjadi metastase dimana pasien berada pada stadium IIIb dan stadium akhir yaitu stadium IV. Variabilitas dari pasien ke pasien sangat besar dimana ditemukan kesalahpahaman keluarga terhadap pilihan pasien. Implikasinya adalah sangat sedikit individu yang menginginkan pendekatan standar terhadap perawatan di mana pilihan perawatan pendukung-kehidupan yang spesifik dicatat dan permintaan ini diikuti hingga mendekati kematian. Dilihat dari prinsip etika khususnya otonomi, pasien yang menderita penyakit terminal dan menjalani akhir hidup ketika mendapatkan prognosa dari dokter pada akhir hidup menimbulkan problematik dan ditolak oleh pasien dan atau keluarganya, seringkali pasien menolak perencanaan perawatan lanjut dan memegang nilai-nilai yang mereka yakini yang akhirnya mengindahkan otonomi pasien itu sendiri. Karakteristik sistem tempat perawatan lebih menentukan perawatan akhir-hidup daripada pilihan pasien sendiri (Drought,T.S.et.al 2005). Sejalan dengan itu menurut (Travis.S., et. al. 2005) kebanyakan pasien dengan penyakit terminal meninggal di tempat perawatan
4
paliatif, namun perpindahannya ke dalam paliatif dengan nyaman dan pengelolaan serta perawatan dari gejala yang timbul seringkali diperlambat oleh lambatnya keputusan yang diambil oleh pasien. Implikasinya adalah transisi dari perawatan aktif dan kuratif menjadi perawatan paliatif sangat penting, dimana peningkatan perawatan akhir-hidup membutuhkan perhatian lebih terhadap transisi ini dan diperlukan keputusan dari pasien, keluarga dan tim perawatan (Mezey. M, 2009). Tingginya angka kematian di unit intensif memberikan pandangan bahwa perawatan akhir kehidupan di unit intensif masih sangat diperlukan. Persepsi dokter terhadap keinginan pasien dan prediksi survival yang kecil di ICU dan kemungkinan fungsi kognitif yang rendah dari pasien adalah determinan yang paling kuat dari pencabutan ventilasi mekanik dari pasien kritis. Keputusan untuk melanjutkan pengobatan penopang kehidupan bervariasi diantara negara-negara Eropa, penelitian Ethicus dalam Vincent JL (2010) memperlihatkan bahwa keputusan untuk mencabut pengobatan tidak biasa di negara-negara Eropa Selatan, dimana Cardio Pulmonal Resuscitation (CPR) lebih sering dilakukan. Perbedaan ini disebabkan karena kasus-kasus yang berbeda, perbedaan budaya dan agama, perbedaan nilai-nilai yang dianut dokter dan praktek juga reliabilitas dalam praktek akhir kehidupan yang sedang berjalan. Manajemen perawatan akhir kehidupan di ICU merupakan sebuah phenomena yang relatif baru. Penelitian di Amerika juga memperlihatkan bahwa diskusi mengenai akhir kehidupan tidak biasa diantara pasien yang
berpenyakit serius. Sementara pengobatan penopang kehidupan yang tidak diinginkan dan perawatan paliatif yang tidak cukup banyak terjadi (Vincent JL., 2010). Dalam sepuluh tahun terakhir masyarakat profesional Amerika dan Eropa, menyetujui bahwa, pada kondisi – kondisi tertentu ketika pengobatan tidak mencapai hasil yang diinginkan, keputusan untuk meninggalkan therapi penopang kehidupan dan memulai perawatan paliatif adalah etis dilakukan. Sekarang sebagian besar kematian yang terjadi di ICU diawali dengan keputusan untuk meninggalkan therapy penopang kehidupan (Vincent JL, 2010). Secara umum harapan ditentukan oleh budaya, otonomi, dan penentuan sendiri (self determination). Data mengenai harapan dari pasien ICU yang sadar mengenai akhir kehidupan sangat kurang, tetapi kemungkinan besar berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Data yang ditemukan dari pasien yang mengidap penyakit serius memiliki keinginan yang konsisten sebagai bentuk dari otonomi terhadap dirinya sendiri. Sebagian besar dari pasien yang berpenyakit serius dan belum mendiskusikan keinginan akan perawatan akhir kehidupannya dengan dokter berkeinginan untuk melakukannya. Juga sangat mungkin bahwa peran yang diinginkan dalam pengambilan keputusan adalah tidak sesuai (Vincent JL, 2010). Dalam penelitian diantara pasien dengan penyakit kronis pada tahap akhir (Heyland dkk dalam Vincent JL, 2010), menemukan bahwa 40% dari responden ingin membuat keputusan akhir, 32% ingin membagi tanggung jawab mengenai keputusan akhir dengan dokternya, 19% ingin dokter
5
mengambil keputusan akhir dan 10% tidak punya opini/pendapat. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa meskipun hanya 15 % dari dokter tidak merasa mampu untuk mendefiniskan peran pasien yang diinginkan dalam pengambilan keputusan, mereka memutuskan dengan tepat keinginan pasien lebih sedikit dari 1 dalam 5 kasus. Ketika pasien telah masuk ke fase akhir kehidupan, dimana semua penopang kehidupan telah dihentikan, hendaknya pasien lebih baik dilayani dengan menekankan diskusi mengenai pilihan proses dan jenis keputusan yang akan diambil. Kesabaran sangat diperlukan dalam mengambil keputusan, ada banyak jenis keputusan yang harus diambil pada akhir kehidupan. Dalam pengambilan keputusan perawatan terkadang keputusan yang diambil tidak proporsional, baik itu mengenai jenis keputusan perawatan medis spesifik, keputusan dalam memilih proses perencanaan perawatan, dan hal tersebut menjadi tidak diperhatikan. (Hawkins, et.al. 2005)\ Pengalaman keagamanan dan spiritual selama hidup dan nilainya dapat menjelaskan kesehatan akhir-hidup. Bila dilihat dari riwayat keagamaan atau faktor spiritual didapatkan dari hasil psikometrik bahwa analisa komponen utama menunjukkan empat faktor yang diinginkan. Klien yang mengalami kecacatan, gangguan kesehatan seperti penyakit terminal dilaporkan mencari dan menerima pertolongan tuhan. Dukungan sosial keagamaan selama hidup dan kehadiran keagamaan saat ini berkorelasi secara positif (Hays et.al. (7). 2005; Koenig, H.G. 2002). Didapatkan subyek yang melaporkan dukungan sosial agama
selama hidup yang lebih tinggi menerima dukungan sosial yang lebih baik. Sejarah keagamaan keluarga seperti perbedaan agama di antara anggota keluarga tidak berhubungan dengan kesehatan akhir kehidupan (Hays et. all. (7).2005; Sulmasy, D.P. 2002). Melihat dari faktor hubungan sosial ternyata didapatkan bahwa memiliki pasangan dan keluarga meningkatkan survival menjadi lebih panjang. Begitu pula dengan frekuensi interaksi dengan anakanak, teman-teman, keluarga, dan saudara kembar baik yang kembar identik ataupun fraternal, hasilnya juga sama dimana survival menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan teman-teman dan saudara kembar. Tetapi ditemukan pula bahwa frekuensi kontak dengan teman-teman dan saudara kembar sangat penting terutama pada wanita dan kembar identik (Rasulo, D et. al. (9).2005; Schroepfer, T.A. 2008). Perlu ditekankan pula pentingnya hubungan sosial di luar kehadiran pasangan untuk kemungkinan survival pada usia yang sangat lanjut (Berger S, 2002; Rasulo, D et. al. (9).2005). Hal ini sejalan dengan dukungan sosial merupakan prediktor penting dalam mempercepat datangnya kematian, sehingga kualitas dukungan sosial bagi lansia sangat diperlukan dalam menghadapi akhir kehidupan (Schroepfer, T.A. 2008) . Menurut Kramer, B.J et. al. (2005) dari faktor ekonomi ternyata ada beberapa tantangan dalam menjalani perawatan akhir-hidup yaitu: 1. Sifat dari penyakit kronis lanjut, hal ini menimbulkan perlunya biaya yang besar dalam pengobatan sebelumnya
6
2. Ketidakmampuan dari sistem pendukung, dimana asuransi kesehatan tidak mengcover semua kebutuhan pasien 3. Hambatan dalam menghormati pilihan perawatan, 4. Tantangan dalam karakteristik dan kebutuhan peserta, 5. Kebutuhan dari sistem keluarga yang kompleks, 6. Hambatan dalam transisi, 7. Hambatan dalam budaya dan bahasa. Menurut Kwak, J., and Haley, W.E. (2005) dimana ras dan etnis berpengaruh dalam pengambilan keputusan akhir hidup yaitu kelompok etnis atau ras non-putih kekurangan pengetahuan mengenai metode lanjutan dan cenderung tidak mendukung metode lanjutan. Negara – negara di Afrika dan Amerika secara konsisten memilih penggunaan dukungan-kehidupan. Di sini dituntut staf klinis untuk memperhatikan budaya dari masing pasien-pasien dalam menjalani akhir kehidupan. Keluarga Pasien Dengan Penyakit Terminal Meskipun banyak pilihan layanan kesehatan sekarang ini banyak pasien yang menginginkan meninggal di rumah daripada di tempat layanan kesehatan. Tetapi kenyataannya banyak pasien yang akhirnya meninggal di rumah sakit atau di panti perawatan. Ketika pasien telah memasuki fase akhir kehidupan mereka dipindahkan ke panti perawatan dan keluarga ikut berperan dalam merawat anggota keluarganya sampai dengan saatnya tiba. (Shield, 2003) Banyak keluarga pasien dengan penyakit terminal bingung menghadapi situasi ketika keluarga terdekatnya berada dalam kondisi kritis, di mana pasien berada dalam
proses akhir hidup (end of life). Wetle, T. et. al (2005) menulis bahwa keluarga menyatakan bahwa: 1. Gejala, kebutuhan dan kesakitan anggota keluarganya pada waktu dying (proses end of life) kurang diperhatikan oleh staf perawatan termasuk dokter dan perawat. 2. Perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan tidak memadai. Keluarga mengharapkan adanya perencanaan perawatan bagi anggota keluarganya terlebih dahulu. 3. Staf profesional perawatan seperti dokter dan perawat tidak mengungkapkan tanda-tanda dari akhir kehidupan kepada keluarga, hal ini cukup disayangkan karena keluarga menginginkan mereka berada di sisi pasien/keluarganya ketika saat itu tiba. 4. Keluarga juga mengungkapkan bahwa mereka menyayangkan staf perawatan melakukan intervensi dan atau perlakuan yang sebenarnya terlambat dilakukan kepada keluarga mereka yang telah berada pada proses akhir kehidupan. 5. Terdapat beberapa perlakuan yang tidak pantas, terlambat dalam mengambil keputusan sehingga menimbukan penderitaan yang tidak perlu kepada anggota keluarganya. 6. Keluarga menyatakan bahwa harapan mereka pada panti perawatan / rumah sakit dalam memberikan perawatan yang baik kepada anggota keluarganya masih rendah. pengalaman staf dalam memberikan perawatan menjadikan keluarga waspada pada apa yang dilakukan oleh staf perawatan, waspada terhadap pembicaraan dan keprihatinan yang diperlihatkan oleh staf perawatan. 7. Profesi dokter dilihat sebagai “missing in action”, tidak dan kurang memberikan informasi tentang
7
keadaan klien yang sebenarnya, dan juga bermasalah dalam hal komunikasi sehingga menimbulkan banyak konflik, perbedaan persepsi yang akhirnya semakin menyulitkan keluarga dalam pengambilan keputusan apa yang harus dilakukan terhadap anggota keluarganya. 8. Jumlah tenaga perawatan yang kurang, hal ini menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi bagi staf perawatan. Keluarga juga mengharapkan ada penambahan staf yang lebih baik dan terlatih. 9. Keluarga menganggap staf perawatan kurang pengalaman dalam memberikan perawatan kepada pasien-pasien terminal yang sedang menghadapi akhir hidup. Keluarga juga memberikan alternatif yaitu staf yang ada diberikan pelatihan untuk tugas-tugas tertentu. 10. Sistem regulasi atau kebijakan dari tempat perawatan. Keluarga menyatakan bahwa peraturan yang berlaku di tempat perawatan membebani keluarga, keluarga salah menafsirkan, salah mengerti peraturan yang telah ditentukan. Keluarga mengharapkan adanya rekomendasi kebijakan aturan yang lebih baik (Wetle, T. et. al.2005). Pelayanan perawatan yang diberikan di panti perawatan/rumah sakit terhadap pasien terminal menunjukkan adanya peningkatan perawatan. Tetapi walaupun demikian tempat perawatan atau rumah sakit tersebut sering terlambat membuat rujukan bahkan sama sekali tidak membuat rujukan untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan. Hal ini menimbulkan adanya konflik diantara keluarga pasien dengan penyakit terminal dan staf perawatan yang sedang bertugas. Staf perawatan sering salah mengerti apa yang diinginkan oleh keluarga (Travis., et. al. 2005).
Konflik cenderung terjadi karena komunikasi yang tidak baik yang menimbulkan salah pengertian dari keluarga pasien dengan penyakit terminal. Keluarga tidak mengetahui bila pasien dengan penyakit terminal hendaknya tidak dilakukan tindakan-tindakan yang membuat umur penderita menjadi lebih lama hal ini dimungkinkan karena akan semakin memperlama penderitaan dari pasien itu sendiri. Selain itu yang harus diupayakan adalah ketika pasien dengan penyakit terminal ini meninggal hendaknya mereka meninggal dalam keadaan yang damai dan bermartabat (Jones, J.K. 2002; Wetle, T. et. al.2005). Pada sebagian besar keluarga yang anggota keluarganya dirawat di ICU, mereka menginginkan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan (Vincent JL, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan di Kanada terhadap 256 responden dimana mereka merupakan pengambil keputusan pengganti untuk pasien ICU didapatkan 33% dari responden ingin berperan aktif dalam membuat keputusan akhir kehidupan, 43% ingin membagi tanggungjawabnya mengenai keputusan akhir kehidupan anggota keluarganya dengan dokter, dan 24% responden menginginkan dokter membuat keputusan akhir kehidupan terkait anggota keluarganya yang sakit (peran pasif). Sekitar 70% dari responden melaporkan bahwa peran yang mereka jalani saat ini tidak sesuai dengan keinginan. Penelitian di Amerika di mana 48 keluarga dari pasien ICU diwawancara, 58% menginginkan membagi tanggung jawab dengan dokter, 25% menginginkan dapat berperan aktif
8
dalam membuat keputusan akhir (Vincent, JL. 2010). Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan referensi pengambilan keputusan: pendidikan tinggi berasosiasi dengan peran aktif atau berbagi. Di lain pihak ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, suku, agama atau hubungan dengan pasien dalam pengambilan keputusan akhir kehidupan (Vincent, JL 2010). White dkk, dalam Vincent JL (2010), meneliti sikap keluarga dalam mengambil keputusan terhadap penerimaan rekomendasi dokter selama diskusi perawatan akhir kehidupan. Dilakukan wawancara terhadap 169 keluarga dan ditemukan bahwa 56% ingin menerima rekomendasi, 42% tidak ingin menerima rekomendasi, dan 2% menerima keduanya. Alasan utama penolakan rekomendasi adalah bahwa responden percaya bahwa pemberian rekomendasi keputusan akhir kehidupan bukan merupakan peran dari dokter. Rekomendasi keputusan akhir kehidupan saat ini ICU mengacu pada ACCM (American College Critical Care Medicine). Hendaknya sebelum memberikan rekomendasi keputusan akhir kehidupan, sebelumnya dokter harus bertanya kepada pasien dan keluarga mengenai peran mereka dalam proses pengambilan keputusan, mendiskusikannya agar tidak ada kesalahpahaman (Vincent JL, 2010). White dkk dalam Vincent, 2010, menemukan bahwa setengah dari dokter yang diminta oleh keluarga untuk memberikan rekomendasi menolak untuk melakukannya, membuktikan bahwa hal tersebut bukan menjadi bagian
dari peran profesinya sebagai therapis (Vincent, J.L., 2010). Data pengamatan ini memperlihatkan kesulitan dalam menghadapi proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Peran yang diinginkan dari pasien atau keluarga di dalam proses pengambilan keputusan itu berbedabeda, yang membuat setiap percakapan antara dokter/therapis dengan keluarga menjadi unik. Untuk mencapai kebutuhan keluarga, petugas kesehatan boleh jadi perlu untuk beradaptasi dengan peran tertentu, suatu tindakan dimana petugas kesehatan boleh jadi kurang memiliki keterampilan atau merasa tidak nyaman, terutama ketika nilai-nilai therapis berbeda dengan harapan pasien atau keluarga (Vincent, JL. 2010). Penelitian pada klien dengan kondisi terminal di Perancis pada awal abad 21 memperlihatkan bahwa 90% dari responden menginginkan keluarga untuk mewakili mereka dalam proses pengambilan keputusan jika mereka menjadi lumpuh/cacat/tidak berdaya (Vincent, JL. 2010). Hasil evaluasi dari profesional perawat kritis dan keluarga pasien terminal di ICU dalam proses pengambilan keputusan didapatkan hasil bahwa sebagian besar dari dokter dan petugas kesehatan yang lain percaya partisipasi keluarga harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Pada sisi lain kurang dari setengah keluarga menginginkan berbagi dalam proses pengambilan keputusan (Vincent, JL, 2010). Selama dekade terakhir peran keluarga, dan proses pengambilan keputusan apakah pasien tidak berdaya , telah dibuat menjadi hukum di beberapa negara Eropa Barat. Ada aturan mengenai
9
kapasitas pengambilan keputusan oleh pasien ketika mereka mampu menunjukkan otonominya, tetapi tidak ada aturan mengenai ketika pasien menjadi tidak berdaya/cacat/lumpuh/tidak mampu siapa yang mengambil alih peran tersebut. Sekarang ada kecenderungan di Eropa untuk memberikan banyak otonomi kepada pasien dan atau keluarganya, tetapi tetap ada variasi di antara negaranegara terutama mengenai peran keluarga. Variasi-variasi ini dapat dijelaskan oleh tradisi paternalistik atau melindungi keluarga dari konsekwensi yang tidak diharapkan terkait pengambilan keputusan akhir kehidupan (Vincent JL, 2010). Tetapi di lain pihak didapatkan bahwa kepuasan keluarga terhadap perawatan di akhir kehidupan ternyata tinggi. Penelitian di Kanada memperlihatkan bahwa sebagian keluarga dari pasien ICU merasa puas dengan perawatan akhir kehidupan yang disediakan (Vincent, JL. 2010). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 15% dari responden keluarga merasa mereka tidak dapat mengendalikan perawatan termasuk prosedur perawatan, peralatan yang digunakan terhadap anggota keluarga mereka, 11% responden keluarga percaya bahwa hidup anggota keluarganya yang sakit diperpanjang secara tidak dibutuhkan, dan 9% melaporkan bahwa anggota keluarga mereka merasa tidak nyaman pada beberapa jam terakhir kehidupan. Komunikasi yang cukup meliputi jumlah, kualitas, dan waktu kapan informasi disediakan dan peran dalam proses pengambilan keputusan dengan peran yang diinginkan merupakan prediktor dari kepuasan keluarga pasien. Evaluasi
kepuasan pada 26 ICU di Swis dan Jerman menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai dukungan selama pengambilan keputusan memiliki tingkat kepuasan yang rendah. Konflik antara anggota keluarga dengan staf medis sangat umum terjadi dalam diskusi akhir kehidupan. Abbott dkk dalam Vincent JL (2010) melaporkan bahwa sebagian besar dari konflik disebabkan oleh kurangnya komunikasi atau perilaku tidak profesional dan tidak hormat yang ditunjukkan oleh tenaga kesehatan baik oleh dokter dan perawat. Azolay dkk dalam Vincent JL (2010) melaporkan sumber utama dari konflik antara tim dan keluarga terjadi ketika keluarga/keinginan pasien diabaikan, ketika keputusan akhir kehidupan dibuat terlalu lambat atau terlalu awal, dan ketika komunikasi sangat buruk selama proses pengambilan keputusan. Didapatkan banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa anggota keluarga dari pasien ICU menderita kegelisahan dan gejala depresi. Penelitian di Perancis memperlihatkan bahwa 3 bulan setelah pengalaman menunggu anggota keluarganya di ICU sepertiga dari anggota keluarga menderita stres post trauma yang berkaitan dengan tingkat kegelisahan dan depresi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup. Kejadian stres post trauma diantara keluarga pasien ICU lebih tinggi ketika kematian pasien terjadi setelah keputusan untuk menghentikan therapy penopang kehidupan atau ketika mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan akhir kehidupan (Vincent, JL. 2010). Pada sisi lain penelitian di Amerika menunjukkan bahwa peran yang pasif dari keluarga dalam
10
proses pengambilan keputusan berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap gejala kegelisahan dan depresi. Dalam penelitian mengenai stress dalam proses pengambilan keputusan akhir kehidupan yang banyak merupakan faktor resiko dari sindrom kejenuhan (Vincent, JL. 2010). Untuk saat ini praktek dalam pengambilan keputusan akhir kehidupan membawa stres dan ketegangan untuk semua yang terlibat. Proses ini memberikan stres tetapi ada kemungkinan untuk meningkatkan kualitas dari pengambilan keputusan, termasuk pelatihan yang lebih baik terhadap petugas kesehatan di klinik untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Lauttre dkk dalam Vincent JL (2010), memperlihatkan bahwa komunikasi pro aktif dan brosur untuk keluarga dan pasien yang meninggal di ICU menurunkan beban duka/kehilangan. Perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika mengenai rekomendasi perawatan akhir kehidupan merefleksikan keinginan masyarakat untuk mendistribusikan hak dan tugas antara pasien, keluarga, dan petugas kesehatan pada issue etika yang utama ini. Meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan akhir kehidupan sangat penting untuk meningkatkan kualitas perawatan akhir kehidupan dan untuk menurunkan konsekuensi yang tidak diharapkan (ketidakpuasan, konflik, gejala, kegelisahan dan depresi, sindrom kejenuhan). Dengan demikian proses pengambilan keputusan akhir kehidupan bervariasi diantara negara-negara dalam bentuk harapan tetapi juga dalam bentuk peran (keputusan atau konsultasi) dari dokter atau keluarga (Allen, R.S, 2005; Vincent JL, 2010)
Drought,T.S.et.al (2005) dalam perspektif bioetika juga menyebutkan bahwa otonomi keluarga dengan pasien penyakit terminal lebih besar daripada otonomi pasien itu sendiri dalam menentukan keputusan dan perencanaan perawatan, hal ini sejalan dengan Kwak, J., and Haley, W.E. (2005) dimana ras dan etnis berpengaruh dalam pengambilan keputusan akhir hidup yaitu; Orang Asia dan Hispanik cenderung memilih pengambilan keputusan yang berfokus pada keluarga daripada kelompok etnis yang lain. Hal ini terkait dengan nilai kultur, karakteristik demografis, tingkat akulturasi, dan pengetahuan mengenai pilihan perawatan akhirhidup. perbedaan pilihan pengambilan keputusan akhir-hidup memperlihatkan bahwa perawatan klinis dan kebijakan harus mengenal keragaman nilai dan pilihan yang ditemukan dalam kelompok ras dan etnis yang beragam. Prioritas penelitian di masa mendatang untuk lebih menginformasikan staf klinik dan pembuat kebijakan mengenai cara-cara yang memungkinkan pendekatan sensitif budaya dalam perawatan akhir-hidup. Petugas Kesehatan dalam memberikan perawatan pada pasien dengan penyakit terminal Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jones (2002) dengan pendekatan studi etnografi menemukan bahwa kurangnya perhatian terhadap kebutuhan kultur, status kognitif, jumlah staf yang kurang, dan komunikasi yang tidak pantas dan tidak cukup antara penghuni rumah perawatan dan keluarganya merupakan faktorfaktor dominan yang mempengaruhi pengalaman kematian.
11
Staf perawatan kurang memperhatikan gejala, kebutuhan dan kesakitan pada waktu dying (proses akhir kehidupan) dari pasien, perawatan yang diberikan tidak memadai, di sini termasuk oleh dokter dan perawat. Staf profesional seperti dokter dan perawat tidak mengungkapkan tanda-tanda dari akhir kehidupan kepada keluarga. Perlakuan-perlakuan yang tidak pantas oleh tenaga kesehatan dan terlambat dalam mengambil keputusan sehingga menimbukan penderitaan yang tidak perlu kepada pasien dan keluarganya (Wetle, T. et. al 2005). Menurut Travis., et. al. (2005) sistem perawatan, aturanaturan yang berlaku di tempat perawatan sendiri memang tidak mendukung terlaksananya perawatan bagi pasien yang menghadapi akhir kehidupan, seperti terlambatnya sistem rujukan, dan tindakan perawatan yang tidak diperlukan pada jam-jam terakhir kehidupan. Implikasinya adalah bahwa penelitian di masa mendatang diperlukan mengenai: pengalaman kematian untuk pasien penderita demensia, kondisi koma, dan untuk pasien yang tidak berbahasa Inggris; manajemen gejala; interaksi penyedia jasa kesehatan/pasien-keluarga; dan konsekuensi dari keterbatasan dalam sistem kesehatan untuk orang-orang yang meninggal dalam berbagai kondisi. Diskusi akhir kehidupan seringkali dilakukan oleh dokter, dan ada keterkaitan antara diskusi akhir kehidupan dengan kualitas perawatan yang diberikan. Proses pengambilan keputusan akhir kehidupan dapat didiskusikan diantara pemberi layanan perawatan, pasien dan keluarga pasien (ketika pasien telah berada
pada kondisi tidak berdaya/tidak mampu/cacat mengenai apakah pengobatan penopang kehidupan harus diteruskan atau dihentikan dan perawatan paliatif dimulai (Vincent, JL. 2010). Diskusi mengenai akhir kehidupan dapat dilakukan di ruangan khusus, ward/ruangan umum, departemen Emergency, atau ICU dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Data yang didapatkan di Amerika Serikat bahwa kurang dari 5 % dari pasien di ICU dapat berpartisipasi di akhir kehidupan dan dengan demikian untuk mampu menggunakan hak otonominya. Sedangkan untuk pasien yang tidak mampu/berdaya/cacat pedoman saat ini untuk profesional kesehatan merekomendasikan pengambilan keputusan akhir kehidupan dilakukan bersama-sama dengan keluarga pasien atau teman dekat (Vincent, JL. 2010). Petugas kesehatan (staf perawatan) hendaknya dapat bekerja lebih baik dengan pasien yang sedang meninggal, mereka perlu menghadapi ketakutan mereka tentang kematian mereka sendiri dan menjelajahi perasaan mereka tentang kehilangan pribadi dan profesional mereka. Pentingnya penelitian mengenai ketakutan akan kematian bersandar pada asumsi bahwa kematian itu akhir yang dihadapi setiap orang dan bagaimana profesional kesehatan berurusan dengan ketakutan akan kematian berkaitan dengan kualitas perawatan yang diberikan kepada pasien yang sakit terminal. (Govender, M. 2008) Terdapat penelitian yang dilakukan kepada tenaga kesehatan, dimana seorang perawat dalam pemberian asuhannya kepada pasien yang menghadapi akhir hidup
12
dipengaruhi oleh ketakutan pribadi terhadap kematian dan ada hubungan antara ketakutan perawat akan kematian dengan sikap mereka terhadap pasien yang sedang menghadapi akhir kehidupan di rumah sakit. Ternyata adanya kadar tinggi ketakutan akan kematian berkorelasi terhadap sikap negatif terhadap kematian (Mogavani. G 2008). Sikap negatif terhadap kematian ini dipengaruhi oleh banyaknya pengalaman kerja, dimana staf perawatan yang lebih lama bekerja menunjukkan ketakutan yang lebih rendah terhadap kematian dan menunjukkan sikap positif terhadap kematian. Di samping itu hal ini juga dipengaruhi pula oleh latar belakang budaya, ras dan kebiasaan dimana mereka dibesarkan. Asosiasi yang kuat ditemukan antara ketakutan akan kematian dan sikap terhadap kematian. Di sini diperlukan adanya pendidikan perawatan terhadap pasien terminal yang menghadapi kematian kepada staf perawatan (Mogavani, G. 2008). Pemberian layanan kesehatan terhadap pasien yang menghadapi akhir kehidupan akan sangat dipengaruhi oleh hubungan kolaborasi antara empat kelompok yaitu stakeholder, keterlibatan pekerja sosial, dan menghilangkan hambatan-hambatan di panti perawatan dalam pemberian asuhan pasien yang akan menghadapi akhir kehidupan. Hal ini akan memberikan pengalaman akhir-hidup kepada petugas kesehatan dan keluarga dalam perawatan jangka panjang. (Munn, J.C.et.al. 2008) SIMPULAN Dari literatur review ini dapat diambil beberapa kesimpulan yang menarik sebagai berikut:
Pasien terminal yang menghadapi akhir kehidupan didapatkan dari studi etnografi bahwa kurangnya perhatian terhadap kebutuhan kultur, status kognitif, jumlah staf yang kurang, dan komunikasi yang tidak pantas dan tidak cukup antara penghuni rumah perawatan dan keluarganya merupakan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pengalaman proses-kematian Hasil studi memperlihatkan bahwa variasi dalam kelompok ditemukan dan terkait dengan nilai kultur, karakteristik demografis, tingkat akulturasi, dan pengetahuan mengenai pilihan perawatan akhirhidup. Hasil studi menunjukkan bahwa subyek yang melaporkan dukungan sosial agama selama hidup yang lebih tinggi menerima dukungan sosial yang lebih baik. Selain itu didapatkan pula dari hasil studi menunjukkan bahwa survival menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan teman-teman dan saudara kembar. Dari aspek dukungan sosial merupakan prediktor yang penting dari pertimbangan untuk mempercepat kematian. Hasil studi menunjukkan bahwa sedikit atau tidak ada bukti yang mendukung paradigma otonomi dari pilihan pasien dalam keputusan akhir-hidup Kebanyakan pasien meninggal dalam moda perawatan paliatif, namun perpindahannya ke dalam paliatif seringkali diperlambat oleh tidak memutuskan atau tidak bertindak oleh pembuat keputusan apakah itu keluarga ataupun petugas kesehatan yang terkait, diinterupsi oleh perawatan akut yang agresif, atau ditunda hingga beberapa hari terakhir kehidupan Sikap perawat yang takut akan kematian akan mempengaruhi
13
kualitas pelayanan perawatan terhadap pasien sakit terminal. Hasil studi menunjukkan bahwa kebutuhan pasien yang sedang meninggal seringkali tidak diperhatikan oleh profesional kesehatan. Hasil studi menunjukkan bahwa pilihan proses yang kurang diperhatikan merupakan komponen penting dalam perencanaan perawatan lanjutan. Hasil studi menunjukkan bahwa ada tujuan tema utama yang mengkarakterisasi tantangan akhirhidup: (a) sifat dari penyakit kronis lanjut, (b) ketidakmampuan dari sistem pendukung, (c) hambatan dalam menghormati pilihan perawatan, (d) tantangan dalam karakteristik dan kebutuhan peserta, (e) kebutuhan dari sistem keluarga yang kompleks, (f) hambatan dalam transisi, (g) Hambatan dalam budaya dan bahasa. SARAN Untuk tenaga kesehatan hendaknya meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi dengan mengikuti pelatihanpelatihan komunisasi untuk menghindari terjadinya konflik dengan pasien kondisi terminal yang menghadapi akhir hidup dan keluarganya. Pemberian asuhan keperawatan pada klien kondisi terminal yang menghadapi akhir hidup hendaknya memperhatikan karakteristik klien, otonomi, budaya, agama dan sosial ekonomi, tidak fokus pada penanganan fisik semata. DAFTAR PUSTAKA Ahmad., Kamal., Anwar., and Rahman. 2006. Needs Of
Terminally Ill Patients And Their Families: An Experience With Fifty Three Patients
Attending A Newly Organized Palliative Care Service In Bangladesh. Journal of BSA,
Volume 19, No. 1 – 2 . Allen, R.S., Burgio, L.D., Fisher, S., Hardin, J.M., and Shuster Jr, J.L. (2005). Behavioral
Characteristics of Agitated Nursing Home Residents, with Dementia at the End of Life. The Gerontological
Society of America Vol 45, No.5, 661 – 666. Berger, A,. Pereira, D,. Baker, K,. O’Mara, A., and Bolle, J,. (2002). A Commentary:
Social and Cultural Determinants of End of Life Care for Elderly Persons. The
Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 49 – 53. Drought, T.S. (2005) .Choice in Endof-Life Decision Making: Researching Fact or Fiction. The Gerontological Society of America Vol 42 Hawkins, N.A., Ditto, P.H., Dnks, J.H., and Smucker, W.D. (2005). Micromanaging
Death: Process Preferences, Valus, and Goals in End of Life Medical Decision Making.
The Gerontological Society of America Vol 45, No 1, 107– 117 . Hays, M. et. al. (7). (2005) The
Spiritual History Scale in Four Dimensions (SHS-4): Validity and Reliability. The
Gerontological Society of America Vol 45, Jones, J.K. (2002). The Experience
of Dying: An Ethnographic Nursing Home Study. The
Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 651 – 660. Koenig, H.G. (2002). A Commentary:
The Role of Religion and
14
Spirituality at the End of Life.
The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 20 – 23. Kramer, B.J., and Auer, C. (2005).
Challenges to Providing End of Life Care to Low Income Elders With Advanced Chronic Disease: Lessons Learned From a Model Program The Gerontological
Society of America Vol 42, Special Issue III, 71 80. Kwak, J., and Haley, W.E. (2005).
Current Research Finding on End of Life Decision Making Among Racially or Ethnically Diverse Groups. The
Gerontological Society of America Vol 45, No 5, 634 – 641. Mezey, M., Dubler, NN., Mitty E., and Brody, AA. (2009). What
Impact Do Setting and Transitions Have on the Quality of Life at the End of Life and the Quality of the Dying Process. The
Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 54 - 67. Mogavani Govender .(2008) .Death
Anxiety and Attitude of Nurses towards Dying. The
Gerontological Society of America Vol 45, Munn, J.C., Dobbs, D., Meier, A., Williams, C., Biola, H., and Zimmerman, S. (2008). The
End of Life Experience in Long Term Care: Five Themes Identified From Focus Groups With Residents, Family Members, and Staff. The Gerontological
Society of America Vol 48, No. 4, 485 – 494. Rasulo, D., Christensen, K., and Tomassini, C. (2005). The
Influence of Social Relations
on Mortality in Later Life: A Study on Elderly Danish Twins. The Gerontological
Society of America Vol 45, No.5, 601 – 608. Schroepfer, T.A. (2008). Social
Relationships and Their Role in the Consideration to Hasten Death. The
Gerontological Society of America Vol 48, No.5, 612 – 621. Sloane, P.D., Zimmerma, S., Williams, C., and Hanson, L.C. (2008). Dying With
Dementia in Long Term Care.
The Gerontological Society of America Vol 48, No.6, 741 – 751. Sole, M.L., Klein, D.G., and Moseley M.J. 2009. Critical Care Nursing. By Saunders 5 th ed. Sulmasy, D.P. (2002). A
Biopsychosocial-Spiritual Model for the Care of Patien at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 24 – 33.
Tilden, Virginia P., Tolle, S., Drach, L., and Hickman, S. (2002).
Measurment of Quality of Life at the End of Life. The
Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 71- 80. Travis.S., et. al. (6) (2005).
Hospitalization Patterns and Palliation in the Last Year of Life Among Residents in Long-Term Care . The
Gerontological Society of America Vol 42 Vincent, J.L. (2010). Yearbook Of Intensive Care And Emergency Medicine. Pub. Springer – Verlag Berlin, Heilelberg New York
15
Wetle, T., Shield, R., Teno, J., Miller, S.C., and Welch, L. (2005).
Family Perspectives on Endof-Life Care Experiences in Nursing Homes. The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 642 – 650.
*
Penulis adalah Staf Edukatif Bagian Keperawatan Klinik Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
16