KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DAN SISTEM PELAPORANNYA DI INDONESIA
Oleh SITI NUROSIYAH F24101015
2005 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DAN SISTEM PELAPORANNYA DI INDONESIA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SITI NUROSIYAH F24101015
2005 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DAN SISTEM PELAPORANNYA DI INDONESIA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SITI NUROSIYAH F24101015
Dilahirkan pada tanggal 12 Juli 1982 di Magelang, Jawa Tengah Tanggal Lulus : 16 Desember 2005
Menyetujui, Bogor,
Januari 2006
Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, M.S. Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen ITP
Siti Nurosiyah. F24101015. Kasus Penyakit Akibat Pangan dan Sistem Pelaporannya di Indonesia. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS dan Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. 2005. RINGKASAN Keamanan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Kebijakan-kebijakan telah dibuat untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak aman. Pangan bisa terkontaminasi oleh cemaran fisik, kimia, dan biologis yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sistematis penting untuk menyajikan data kasus yang dapat digunakan sebagai landasan ilmiah (evidence base) dalam penentuan kebijakan keamanan pangan. Data kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia belum digunakan sebagai landasan ilmiah untuk membuat kebijakan program keamanan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data kasus penyakit akibat pangan, dengan metode yang digunakan adalah pemberitahuan wajib (statutory notification) kasus penyakit akibat pangan dan laporan rumah sakit; (2) mengidentifikasi masalah sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia; serta (3) mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang lebih sistematis, dengan rujukan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di negara-negara maju dan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO (World Health Organization) sebagai acuan utama. Metodologi yang digunakan dalam penelitian adalah dengan pengumpulan data sekunder kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen PPPL dan Ditjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Metode wawancara pada informan ahli (expert informan) dilakukan untuk mengumpulkan informasi faktual tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Studi pustaka (melalui browsing internet) tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO dan negara lain dengan sistem surveilan dan notifikasi kasus penyakit akibat pangan yang lebih baik digunakan sebagai rujukan. Berdasarkan hasil investigasi, terdapat beberapa penyakit akibat pangan di Indonesia yang wajib terlaporkan pada Ditjen Pelayanan Medik dan/atau Ditjen PPPL yaitu kasus kolera, demam tifoid dan paratifoid, sigelosis, diare dan gastroenteritis, amubiasis, penyakit infeksi usus lain, serta hepatitis A. Interpretasi data kasus tersebut belum mencerminkan kecenderungan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah angka pelaporan kasus yang rendah (< 40%, dengan range 7.6% data kasus rumah sakit dan puskesmas pada Ditjen PPPL selama tahun 2002 sampai 37.6% data kasus rawat inap rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik selama tahun 2004) serta sistem pelaporan yang kurang jelas. Propinsi dengan persentase kelengkapan yang relatif besar meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Riau dan Lampung (data pada Ditjen PPPL). Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang efektif dan efisien harus terus dikembangkan, sebagai salah satu pendukung surveilan keamanan pangan di Indonesia. Sistem pelaporan yang mencakup mekanisme dan formulir pelaporan kasus dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membuat model pelaporan yang lebih baik di masa yang akan datang. Peran penting laboratorium kesehatan perlu dimaksimalkan dengan melibatkannya dalam
mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan, serta perlu dilakukan surveilan dan investigasi lebih lanjut tentang kasus penyakit akibat pangan berbasis laboratorium kesehatan di Indonesia. Pengembangan sistem tersebut juga harus diikuti dengan perangkat pendukung lainnya seperti software pengolah data kasus penyakit akibat pangan sehingga output dari pengembangan sistem tersebut dapat lebih aplikatif untuk diimplementasikan di Indonesia. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang melibatkan Badan POM RI sebagai leading sector dalam program keamanan pangan perlu didukung oleh stakeholder yang dapat menguatkan peran serta Badan POM RI.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan pada 12 Juli 1982 di Magelang, Jawa Tengah. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Ayahanda Turhadi dan Ibunda Nafsyah. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari TK Masyithoh (1988 - 1989), SD Negeri 1 Kebonrejo (1989 1995), SLTP Negeri 1 Salaman, Magelang (1995 - 1998) dan SMU Negeri 1 Purworejo (1998 - 2001). Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2001 dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam beberapa kegiatan akademis dan non akademis, diantaranya sebagai asisten praktikum Kimia Dasar I, staf pengajar privat di Lembaga Pendidikan Nurul Ilmi, serta anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan). Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan, diantaranya tergabung dalam seksi kesekretariatan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Nasional tahun 2003 dan BAUR 2003. Penulis menjadi salah satu finalis dalam lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian tingkat IPB pada tahun 2002. Penulis melakukan kerja magang pada Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Badan POM RI). Dalam kegiatan magang tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul “Kasus Penyakit Akibat Pangan dan Sistem Pelaporannya di Indonesia” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, M.S. dan Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah serta nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kasus Penyakit Akibat Pangan dan Sistem Pelaporannya di Indonesia”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini, terutama kepada : 1.
Ibunda dan Ayahanda yang selalu memberikan dukungan berupa doa, kasih sayang, semangat dan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini. Karya ini ku persembahkan untuk Kalian.
2.
Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS., sebagai Dosen Pembimbing I sekaligus Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan tugas akhir di Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI, serta atas bimbingan, arahan, dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Saya terinspirasi oleh langkah Ibu.
3.
Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc., selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Kepala Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan pangan, Badan POM RI, yang telah bekerja keras memberikan bimbingan dan arahan secara profesional kepada penulis selama pelaksanaan tugas akhir. Apresiasi saya yang sangat tinggi atas dedikasi Bapak.
4.
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc., Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, yang telah memberikan izin untuk melaksanakan magang di Badan POM RI.
5.
Ir. Darwin Kadarisman, MS., sebagai dosen penguji atas masukannya pada saat pelaksanaan ujian skripsi.
6.
Mbakku, Masku, Mas Iparku, dan keponakan kecilku (Nida) yang selalu memberikan keceriaan dan dukungannya. Bagaimana lah aku tanpa Kalian di sampingku.
7.
dr. Erfandi, FETP. dan Staf Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan (Dra. Setia Murni Sitanggang, Ruki Fanaike, STP.,
Ir.
Dedi Darusman, drh. A.A. Nyoman Marta Negara, Nugroho Indrotristanto, STP., Rina Puspitasari, STP., Novian Damayanti, STP., Yanti Ratnasari, SP.) atas bantuannya selama magang. 8.
Mbak Devi, mbak Nita, mas Didik dan mas Fahmi, terima kasih untuk semua dukungan serta sharing pengalaman yang tentunya berharga untukku.
9.
Bapak Nu’man, Ibu Oom dan keluarga, terima kasih banyak atas tempat, rumah dan kos yang selalu membuatku nyaman. Semoga Allah SWT membalas jasa Bapak, Ibu dan keluarga.
10. Wahyu_que, de’Nanny, Enu, Efi, Eri, Herman dan semua sahabatku yang tidak bosan-bosannya memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ber-SEMANGAATT!!! 11. Inne, Rini, Ari, dan Tami sebagai teman seperjuangan selama pelaksanaan magang di Badan POM RI. Sukses selalu teman!! 12. Anita, Rini, Rina, Yayah, Aar, Citra, dan teman satu bimbingan yang telah banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan tugas akhir ini. 13. Tithut, Ciput, dan Majaw sebagai teman di ‘Mrs.Oom’s boarding house’, serta teman-teman di ‘Nikita boarding house’ yang selalu memberi semangat dalam pelaksanaan magang dan penyelesaian skripsi ini. 14. Lina, Novi, Hendry, Vica, Umi, Nita, Wanda, Meli, Ana, Eni dan rekan-rekan TPG angkatan 38 atas kerjasamanya selama perkuliahan di IPB. 15. Semua pihak yang turut membantu selama kuliah sampai dengan penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor,
Januari 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...........................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
viii
DAFTAR ISTILAH ...............................................................................
ix
PENDAHULUAN .................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG .....................................................................
1
B. TUJUAN ..........................................................................................
3
C. MANFAAT ......................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
4
A. PENYAKIT AKIBAT PANGAN .....................................................
4
B. METODE SURVEILAN KEAMANAN PANGAN. .......................
8
C. SURVEILAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN ...............
14
D. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AKIBAT PANGAN .......................
24
E. KONSEP ANALISIS RISIKO UNTUK KEAMANAN PANGAN.
27
F. DAMPAK EKONOMI PENYAKIT AKIBAT PANGAN ...............
32
III. METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................
35
A. METODE PENELITIAN ..................................................................
35
B. TEMPAT DAN WAKTU .................................................................
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
43
I.
II.
A. IDENTIFIKASI KELEMAHAN DALAM INTERPRETASI DATA KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA ..........
43
B. PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA ....................................................................................
44
C. KECENDERUNGAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA ....................................................................................
48
D. KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN MENURUT INCIDENT RATE, CASE FATALITY RATE, DAN ADMISSION RATE PADA RUMAH SAKIT ............................................................................
62
E. MANAJEMEN PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN .........................................................................................
68
F. MASALAH POKOK DALAM SISTEM PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN ....................................................
69
G. PENGEMBANGAN SISTEM PELAPORAN KASUS V.
PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA ........................
71
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
80
LAMPIRAN ...........................................................................................
87
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Perbedaan infeksi dan intoksikasi penyakit akibat pangan ............ 6
Tabel 2.
Keadaan klinis beberapa jenis penyakit akibat pangan berdasarkan waktu inkubasi, gejala, dan agen penyebab .............. 8
Tabel 3.
Keadaan surveilan keamanan pangan di Indonesia ........................ 13
Tabel 4.
Penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di beberapa negara ............................................................................................. 20
Tabel 5.
Kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan ........................ 33
Tabel 6.
Definisi kasus penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di Indonesia ........................................................................................ 37
Tabel 7.
Ketersediaan komponen pelaporan data kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL ................ 44
Tabel 8.
Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL ................................................ 45
Tabel 9.
Pelaporan data kasus oleh rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik ............................................................................ 46
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Piramida beban penyakit akibat pangan ......................................... 17
Gambar 2.
Peta angka insiden kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di dunia............................................................................. 18
Gambar 3.
Proses analisis risiko ...................................................................... 28
Gambar 4.
Bagan alir kegiatan-kegiatan dalam kajian risiko .......................... 31
Gambar 5.
Tahap-tahap pelaksanaan penelitian pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan ........................................ 36
Gambar 6.
Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 49
Gambar 7.
Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .......................................................................... 49
Gambar 8.
Incident rate kasus kolera berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia ...................................................................... 51
Gambar 9.
Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 52
Gambar 10. Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .............................................................................................. 53 Gambar 11. Incident rate kasus tifoid berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia ...................................................................... 54 Gambar 12. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 56 Gambar 13. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .............................................................................................. 56 Gambar 14. Incident rate kasus diare berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia ...................................................................... 57 Gambar 15. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 60
Gambar 16. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .......................................................................... 60 Gambar 17. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 61 Gambar 18. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .......................................................................... 62 Gambar 19. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR < 12 ....................................................................... 63 Gambar 20. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR > 50 ....................................................................... 63 Gambar 21. Case fatality rate (CFR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai CFR < 12 ........................................................... 65 Gambar 22. Case fatality rate (CFR) diare dan gastroenteritis serta kolera di rumah sakit ..................................................................................... 65 Gambar 23. Admission rate (AR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai AR < 3.5 ............................................................ 67 Gambar 24. Admission rate (AR) kasus diare dan gastroenteritis serta infeksi usus di rumah sakit ............................................................. 67 Gambar 25. Distribusi data surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia ...... 69 Gambar 26. Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia ...................................................................... 73 Gambar 27. Formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia ...................................................................... 76
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Persentase kelengkapan laporan puskesmas dan rumah sakit tahun 2003 ................................................................................... 87
Lampiran 2.
Distribusi penyakit kolera pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 88
Lampiran 3.
Distribusi penyakit demam tifoid dan paratifoid pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ................................................................................... 88
Lampiran 4.
Distribusi penyakit sigelosis pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 89
Lampiran 5.
Distribusi penyakit diare dan gastroenteritis oleh penyakit infeksi tertentu pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ............................................. 89
Lampiran 6.
Distribusi penyakit amubiasis pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 90
Lampiran 7.
Distribusi penyakit infeksi usus lainnya pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003.... 90
Lampiran 8.
Distribusi penyakit hepatitis a pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 91
Lampiran 9.
Kasus dan angka insiden kolera per 10 000 per propinsi di Indonesia tahun 2000-2003 ......................................................... 92
Lampiran 10. Kasus dan angka insiden tifoid per 10 000 per propinsi di Indonesia tahun 2000-2003 ......................................................... 94 Lampiran 11. Kasus dan Angka Insidens Diare Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia tahun 2000-2003 ......................................................... 96 Lampiran 12. Daftar penyakit akibat pangan menurut ICD X (International Classification Disease) WHO.............................. 98 Lampiran 13. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (1) ....... 101 Lampiran 14. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (2) ....... 102
DAFTAR ISTILAH
1. Admission rate (angka kunjungan) adalah angka kunjungan kasus dengan rawat jalan pada rumah sakit, ditentukan berdasarkan jumlah kunjungan (kasus lama dan kasus baru) per jumlah kasus baru (pasien rawat jalan) pada rumah sakit. 2. Case fatality rate (angka kefatalan kasus) adalah nilai perbandingan antara jumlah korban meninggal (kasus meninggal) dengan total jumlah korban (jumlah kasus yang terjadi) selama kurun waktu tertentu. 3. Confirmed case adalah kasus penyakit akibat pangan yang didiagnosis secara klinis oleh petugas kesehatan (dokter) dan dilengkapi dengan hasil pengujian spesimen oleh laboratorium. 4. Data adalah fakta atau kejadian yang sesungguhnya yang diamati dalam studi, survei, maupun surveilan. 5. Endemik adalah peningkatan prevalensi suatu penyakit atau infeksi dengan agen penyebab penyakit tertentu pada suatu populasi penduduk dalam wilayah geografis tertentu. 6. Epidemik adalah kejadian penyakit tertentu yang lebih besar dari biasanya pada individu di suatu komunitas dalam waktu yang bersamaan. 7. Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan (faktor-faktor) yang berhubungan dengan status kesehatan dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kesehatan dalam suatu populasi penduduk, serta aplikasinya untuk mencegah, menanggulangi masalah-masalah kesehatan (penyakit). 8. Epidemiolog adalah orang yang menerapkan prinsip-prinsip dan metode epidemiologi dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit. 9. Etiologi adalah penyebab suatu penyakit (misal: tipe bakteri, virus, toksin dan sebagainya). 10. Evidence base adalah informasi yang diperoleh secara secara ilmiah, melalui kegiatan studi, survei, atau surveilan mengenai keamanan pangan, yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu kebijakan pangan.
11. Fecal oral transmission adalah organisme penyebab suatu penyakit yang menyebar
melalui
manusia
atau
hewan
dan
kemudian
terbawa
(mengkontaminasi) dalam pangan yang termakan oleh manusia. 12. Formulir kasus penyakit akibat pangan adalah alat atau pendukung (tools) pelaporan kasus penyakit akibat pangan berupa kuesioner yang diisi oleh dokter,
yang
menyatakan
pemeriksaan/pengujian
tentang
laboratorium
dan
keadaan
kasus,
penyakit,
identitas
dokter/klinik/rumah
sakit/puskesmas tempat pemeriksaan kasus. 13. GI adalah gastrointestinal (saluran pencernaan bagian dalam atau usus). 14. Hazard atau bahaya adalah cemaran biologi, kimia, dan fisika dalam pangan yang berpotensi untuk menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. 15. Hipotesis adalah suatu pernyataan yang belum disetujui kebenarannya, berdasarkan informasi yang tersedia, yang secara umum sesuai dengan identitas suatu agen penyebab (etiologic agent), sumber infeksi dan jenis transmisi (saluran penularan). Hipotesis digunakan sebagai dasar rasional dalam suatu investigasi. 16. Imunitas adalah sistem pertahanan terhadap penyakit, termasuk mekanisme pertahanan dari penyebab luar (host) yang bersifat non-spesifik serta pertahanan dari dalam, seperti antibodi dan sel darah putih. 17. Immunocompromised adalah suatu fungsi sistem imun yang menurun dari keadaan optimal atau secara keseluruhan mengalami penurunan tingkat imunitas. 18. Incident rate (angka insiden) adalah nilai perbandingan antara jumlah korban (kasus) per 100.000 penduduk. 19. Informasi adalah produk yang dihasilkan dari sintesis atau analisis data. 20. Investigasi adalah studi tentang pengidentifikasian sumber pada kasus individu dan cara penularan/penyebaran suatu penyakit. 21. Kajian risiko adalah sebuah proses yang sistematis dan ilmiah terdiri dari langkah-langkah berikut, yaitu: (i) identifikasi bahaya, (ii) karakterisasi bahaya, (iii) kajian paparan, dan (iv) karakterisasi risiko.
22. Kasus adalah orang yang terinfeksi atau mengalami sakit dengan pemeriksaan secara klinis, pengujian laboratorium, atau dengan karakterisasi secara epidemiologi. 23. Kejadian luar biasa/KLB (outbreak) keracunan pangan adalah terjadinya dua atau lebih kasus dengan kesamaan penyakit sebagai akibat dari mengkonsumsi pangan yang sama atau pangan yang berbeda tapi dalam satu tempat yang sama. Kejadian luar biasa/KLB juga dapat didefinisikan sebagai situasi dimana terjadi peningkatan jumlah kasus/kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. 24. Komunikasi risiko adalah proses pertukaran informasi secara interaktif dan pendapat mengenai risiko antara pengkaji risiko, manajer risiko, industri, konsumen, kalangan akademisi, dan pihak-pihak yang terkait (stakeholder) keamanan pangan lainnya, termasuk penjelasan mengenai temuan-temuan kajian risiko dan dasar keputusan manajemen risiko. 25. Manajemen risiko adalah proses kajian berbagai alternatif kebijakan pangan dengan mempertimbangkan masukan-masukan berbagai pihak, hasil kajian risiko, dan faktor-faktor lainnya untuk melindungi kesehatan konsumen dan meningkatkan praktek perdagangan yang baik, serta jika diperlukan, menyeleksi dan menerapkan pengendalian risiko yang sesuai. 26. Medical record (rekam medis) adalah formulir tentang identitas kasus, penyakit kasus, serta identitas dokter dan rumah sakit tempat pemeriksaan kasus, diisi oleh dokter yang memeriksa kasus. 27. Patogen adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan suatu penyakit. 28. Patogen penyebab penyakit akibat pangan (foodborne patogens) adalah mikroorganisme yang menyebabkan penyakit melalui pencernaan makanan. 29. Penyakit akibat pangan (foodborne disease) adalah penyakit sebagai akibat mencerna pangan yang terkontaminasi. 30. Periode inkubasi adalah waktu antara pencernaan pangan atau patogen mulai bekerja/menginfeksi sampai terlihatnya gejala penyakit pada tubuh manusia.
31. Risk atau risiko adalah fungsi probabilitas untuk terkena penyakit dan keparahan
yang
disebabkan
penyakit
tersebut
akibat
pangan
yang
terkontaminasi cemaran biologis, kimia, dan fisika. 32. Risk analysis atau analisis risiko adalah sebuah proses yang terdiri dari 3 komponen yaitu risk asessment (kajian risiko), risk management (manajemen risiko), dan risk communication (komunikasi risiko). 33. Sistem Keamanan Pangan Terpadu adalah pendekatan dalam pelaksanaan program keamanan pangan nasional, meliputi kegiatan surveilan, pengawasan, dan promosi keamanan pangan yang dilakukan bersama-sama oleh instansiinstansi terkait untuk meningkatkan kualitas keamanan pangan nasional. 34. Statutory notification (pelaporan wajib) penyakit akibat pangan adalah kegiatan dengan dasar hukum yang kuat yaitu undang-undang atau peraturan yang mewajibkan dokter atau petugas kesehatan lainnya untuk melaporkan penyakit-penyakit atau informasi yang berhubungan dengan keamanan pangan lainnya kepada pihak yang berwenang (health authority). 35. Surveilan keamanan pangan adalah pengumpulan, interpretasi, dan analisis data-data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematis dan berkelanjutan, menjadi informasi yang akan digunakan oleh pihak yang berwenang untuk perencanaan, implementasi, dan pengkajian kebijakan keamanan pangan. 36. Suspected case adalah kasus penyakit akibat pangan dimana penetapan agen penyebab penyakit tersebut hanya berdasarkan dugaan (suspected) dari gejala klinis yang ada, tanpa dilengkapi dengan hasil analisis spesimen dari laboratorium.
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu persyaratan penting untuk membentuk masyarakat yang kokoh (Fardiaz, 2001). Tetapi pangan juga dapat menyebabkan penyakit jika terkontaminasi oleh bahan biologis, kimia, dan fisik. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan telah diterbitkan untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak aman. Sayangnya, penetapan kebijakan di Indonesia masih kurang berdasar kepada landasan ilmiah (evidence base). Surveilan keamanan pangan merupakan salah satu kegiatan pengumpulan dan interpretasi data secara kontinyu dan sistematik, sehingga hasil surveilan dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah untuk penetapan kebijakan dalam bidang keamanan pangan. Surveilan keamanan pangan di Indonesia telah dilakukan oleh instansi-instansi yang terkait dengan masalah keamanan pangan antara lain Badan POM
RI,
Departemen
Kesehatan,
Departemen
Pertanian,
Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga penelitian, dan instansi terkait lainnya. Tetapi pelaksanaan surveilan tersebut belum memiliki prioritas, tidak kontinyu, dan umumnya masih dilakukan sendirisendiri. Untuk itu, program keamanan pangan di Indonesia perlu dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Menurut Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Kesehatan Rakyat Nomor 29/Kep/Menko/Kesra/X/2002, Badan POM RI bertindak sebagai leading sector dalam penyusunan kebijakan tentang mutu dan keamanan makanan dengan dibantu secara terpadu oleh instansi terkait lainnya. Keputusan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 (PP No.28 tahun 2004) tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Keterpaduan tersebut
sebaiknya mengikuti konsep analisis risiko, yaitu kebijakan keamanan pangan yang dilandasi oleh kajian risiko (risk assessment). Salah satu kajian risiko adalah melalui program surveilan yang dilakukan oleh beberapa lembaga terkait secara sinergis. Program ini memerlukan komunikasi yang baik antara stakeholder agar hasilnya lebih optimal untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait dalam pengawasan
1
pangan
(risk
management)
maupun
promosi
keamanan
pangan
(risk
communication). Salah satu sumber informasi surveilan yang aktif dilakukan adalah penerimaan laporan kasus penyakit akibat pangan, kejadian-kejadian luar biasa akibat pangan dan survei-survei rutin yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, seperti Badan POM RI, Departemen Kesehatan RI, dan Departemen Pertanian RI. Penyakit akibat pangan telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan program keamanan pangan untuk melindungi masyarakat (konsumen) dari pangan yang tidak aman. Data kasus penyakit akibat pangan sangat diperlukan sebagai landasan ilmiah untuk menentukan kebijakan tersebut. Akan tetapi sampai saat ini belum dilakukan. Sistem pelaporan yang sistematis perlu dikembangkan, sehingga pada waktu yang akan datang, data kasus penyakit akibat pangan dapat terkumpul secara sistematis dan diinterpretasikan untuk menentukan kebijakan program keamanan pangan yang efektif dan efisien. Badan POM RI sebagai instansi yang memiliki kewenangan untuk mengawasi pangan di Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis (Badan POM, 2001). Beberapa strategi yang sedang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI adalah: (1) Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait lainnya untuk melaksanakan pengawasan keamanan pangan baik di dalam maupun di luar negeri, (2) Peningkatan pengawasan keamanan pangan dengan tindakan preventif, (3) Peningkatan kesadaran akan pentingnya keamanan pangan terhadap masyarakat, (4) Peningkatan tindakan hukum bagi mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan terutama mengenai keamanan pangan. Langkahlangkah strategis tersebut memerlukan adanya kegiatan surveilan keamanan pangan yang memberikan informasi ilmiah sebagai dasar (sound scientific information) untuk menetapkan prioritas, menerbitkan kebijakan-kebijakan dalam bidang pangan, dan memonitor kondisi keamanan pangan di Indonesia (Borgdorff, 1997; Sparringa, 2002).
2
B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah : 1.
Mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data kasus penyakit akibat pangan di Indonesia.
2.
Mengidentifikasi masalah sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia.
3.
Mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia yang lebih sistematis, dengan rujukan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di negara-negara maju dan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO (World Health Organization) sebagai acuan utama.
C. MANFAAT Manfaat penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui kecenderungan (trend) terjadinya kasus penyakit akibat pangan di Indonesia.
2.
Sebagai kewaspadaan dini (early warning system) terhadap kasus maupun kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan.
3.
Sebagai tindak lanjut (action) dalam menentukan kebijakan keamanan pangan berdasarkan landasan ilmiah data kasus penyakit akibat pangan di Indonesia.
4.
Mengembangkan manajemen pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang lebih sistematis.
5.
Sebagai bahan masukan dalam menetapkan prosedur tetap (standard operating procedure) sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan kepada pihak-pihak terkait.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENYAKIT AKIBAT PANGAN 1.
Definisi Penyakit Akibat Pangan Penyakit akibat pangan (foodborne disease) didefinisikan oleh WHO (World Health Organization) sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna. Sedangkan Sharp dan Reilly (2000) mendefinisikan secara lebih luas bahwa penyakit akibat pangan atau keracunan makanan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi atau intoksikasi sebagai akibat mengkonsumsi makanan, minuman atau air yang telah terkontaminasi. Pangan dapat terkontaminasi oleh cemaran fisik, biologis, dan kimia yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Pangan seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan merupakan salah satu persyaratan penting untuk membentuk masyarakat yang kokoh. Keamanan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
2.
Klasifikasi Penyakit Akibat Pangan Sebagian besar penyakit akibat pangan disebabkan oleh mikroba patogen seperti virus, bakteri dan parasit. Meskipun penyakit akibat pangan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi benda fisik maupun bahan kimia, dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penyakit akibat pangan dengan agen mikroba (microbial agents) sebagai penyebabnya. Pangan yang terkontaminasi oleh bahan kimia pada umumnya memberikan efek yang
4
bersifat kronis (menahun), sehingga tidak serta merta menyebabkan konsumen sakit. Akan tetapi, hal itu tergantung pada dosis konsumsinya. Pada konsumsi yang melebihi dosis toleransinya dapat menyebabkan keracunan yang bersifat akut. Dalam waktu yang lama, kontaminan bahan kimia dapat menumpuk dan menimbulkan penyakit yang serius seperti kanker, kerusakan ginjal, kerusakan sistem saraf, sistem reproduksi dan sistem imunitas tubuh (WHO, 1996; WHO, 1999; WHO, 2001). Oleh karena itu, diperlukan kajian paparan tentang kontaminan kimia. Untuk selanjutnya, penyakit akibat pangan yang dibahas dalam penelitian ini adalah penyakit akibat pangan yang disebabkan kontaminasi bahan biologis (foodborne illness). Berdasarkan agen penyebabnya, penyakit ini diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu : a) Penyakit akibat pangan karena infeksi (foodborne infection) Penyakit akibat pangan karena infeksi adalah penyakit akibat pangan yang disebabkan oleh pangan yang terkontaminasi virus, bakteri atau parasit. Hal ini dapat terjadi dengan dua cara : •
Virus, bakteri, atau parasit masuk melalui pangan yang dicerna dan berkembang biak dalam jaringan usus maupun jaringan tubuh lainnya, sehingga menyebabkan infeksi.
•
Bakteri
yang
mengkontaminasi
pangan,
menginfeksi
dan
berkembang biak dalam saluran usus serta mengeluarkan toksin yang merusak jaringan dan mempengaruhi fungsi jaringan tubuh lainnya. Istilah singkatnya adalah infeksi dengan perantara toksin (toxin-mediated
infection).
Virus
dan
parasit
tidak
dapat
menyebabkan gejala penyakit seperti ini. b) Penyakit akibat pangan karena intoksikasi (foodborne intoxication) penyakit akibat pangan karena intoksikasi adalah penyakit yang disebabkan oleh pangan yang telah terkontaminasi suatu toksin (racun). Sumber racun (toksin) dapat berasal dari : •
Racun oleh kontaminan bahan kimia, seperti : logam berat (tembaga, timbal, raksa)
•
Toksin yang dihasilkan oleh bakteri tertentu
5
•
Racun yang ditemukan secara alami pada tanaman, hewan, atau jamur (termasuk beberapa jenis ikan dan kerang tertentu serta beberapa jenis jamur liar).
Virus dan parasit tidak dapat menyebabkan intoksikasi (Hackbarth et al, 1997). Perbedaan antara infeksi dan intoksikasi penyakit akibat pangan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan infeksi dan intoksikasi penyakit akibat pangan Infeksi Penyakit Akibat Intoksikasi Penyakit Akibat Pangan Pangan Secara umum, biasanya terukur Secara umum terjadi secara Waktu periode inkubasi dalam beberapa hari cepat, seringkali terukur dalam menit atau jam Jenis gejala
Diare, sakit kepala, muntah, kejang perut, seringkali disertai demam
Jenis mikroorganisme patogen
Infeksi : Salmonella sp., Hepatitis A, Shigella sp., Yersinia sp., Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio vulnificus, Rotavirus, Norwalk virus, Toxoplasma gondii, Cyclospora cayetanensis, Cryptosporidium parvum
Umumnya disertai muntah, gejala ringan dari sakit kepala sampai muntah yang disertai perubahan indera perasa, indera peraba (sentuhan) dan pergerakan otot (misal: pandangan kabur, lemas, lesu, kaku otot, gatal di bagian wajah, panas dan merah, disorientasi) Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus (dengan masa inkubasi pendek), keracunan oleh jenis logam tertentu (logam berat: Pb, Hg, Cu), jenis jamur tertentu, ikan dan kerang tertentu.
Infeksi dengan perantaraan toksin : Clostridium botulinum (infant), Bacillus cereus (dengan masa inkubasi panjang), E. coli sp., Vibrio cholerae, Clostridium perfringens Sumber : Hackbarth et al. (1997)
6
3.
Agen Penyebab Penyakit Akibat Pangan Sebagian besar penyakit akibat pangan terjadi melalui saluran pencernaan pada usus (fecal-oral transmission). Organisme penyebab penyakit
ada
dalam
feses
manusia
maupun
hewan
dan
dapat
mengkontaminasi pangan yang terkonsumsi. Infeksi oleh mikroorganisme patogen dalam pangan dapat terjadi melalui beberapa cara, diantaranya adalah : • Pangan mentah yang terkontaminasi patogen tidak dimasak dengan benar (suhu dan waktu yang cukup) untuk membunuh patogen atau pangan dikonsumsi mentah. • Peralatan makan atau masak yang digunakan untuk mengolah bahan mentah yang terkontaminasi patogen, kemudian digunakan pula untuk mengolah bahan pangan lain atau disebut dengan istilah kontaminasi silang. Penyakit akibat pangan dapat disebabkan oleh berbagai spesies mikroorganisme patogen. Deteksi awal agen penyebab secara spesifik suatu jenis penyakit akibat pangan dapat diketahui dengan melihat gejala yang terjadi dan waktu inkubasinya. Beberapa jenis gejala penyakit akibat pangan, waktu inkubasi serta mikroorganisme agen penyebabnya dapat dilihat pada Tabel 2.
7
Tabel 2. Keadaan klinis beberapa jenis penyakit akibat pangan berdasarkan waktu inkubasi, gejala, dan agen penyebabnya Waktu Jenis Gejala Agen Penyebab Inkubasi (Etiologic Agent) Pendek 1 – 5 jam Muntah, sakit kepala, diare, kram/ Bacillus cereus kejang perut 2 – 6 jam Muntah, sakit kepala, diare Staphylococcal aureus Sedang 8 – 18 jam 8 – 16 jam
Diare, sakit perut Diare, sakit perut
Clostridium perfringens Bacillus cereus
Panjang/Lama 12 – 24 jam Sakit kepala, muntah, diare antara 1-2 hari 12 – 24 jam Diare, sakit perut 12 – 36 jam Lemas, mulut kering, penglihatan kabur, sulit menelan 12 – 48 jam Diare, demam, sakit perut 1 – 2 hari Diare (seringkali berdarah) 1 – 3 hari 2 – 5 hari 7 – 10 hari
1 – 2 minggu 1 – 3 minggu 15 – 50 hari 1 – 10 minggu
Sakit perut, diare berdarah dan berlendir, demam Diare (kadang berdarah), sakit perut, demam Diare encer (berair), sakit kepala, muntah, perut kembung, malaise (perasaan tidak enak), penurunan berat badan Diare, pembengkakan Demam, konstipasi (sulit buang air besar) Malaise, demam, diare, penyakit kuning (jaundice) Flu ringan, malaise, meningitis
Virus (Norwalk like) Vibrio parahaemolyticus Clostridium botulinum Salmonella sp. E. coli (Toxigenic species) Shigella sp. Campylobacter sp. Cyclospora
Cryptosporidium parvum Salmonella typhi Hepatitis A Listeria monocytogenes
Sumber : Department of Health (1994)
B. METODE SURVEILAN KEAMANAN PANGAN 1.
Definisi Surveilan dan Prinsip Umum Surveilan Keamanan Pangan Surveilan keamanan pangan adalah pengumpulan, tabulasi, analisis dan interpretasi data-data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematis dan berkelanjutan, sehingga menjadi informasi yang akan disebarkan
kepada
pihak
yang
membutuhkan
untuk
perencanaan,
implementasi, dan pengkajian kebijakan pangan (Borgdorff, 1997; Arnold
8
dan Munce, 2000; Sharp dan Reilly, 2000; Sparringa, 2002). Informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai kecenderungan (trend) keamanan pangan yang dapat dijadikan bukti ilmiah (evidence base) untuk ditindaklanjuti (Sparringa, 2002). Jadi, surveilan penting dilakukan untuk menyajikan data sebagai dasar (sound scientific information) yang dapat digunakan untuk landasan ilmiah dalam menentukan kebijakan program keamanan pangan yang efektif, efisien dan tepat sasaran. Surveilan telah dilakukan di berbagai negara di dunia. Di Inggris dan Wales data mengenai keracunan pangan dapat ditemui pada Office of Population
Censuses and
Surveys (OPCS) bekerja sama dengan
Communicable Disease Surveillance Centers (CDSC). Center Disease of Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat melaksanakan surveilan bekerja sama dengan Department of Health and Welfare Kanada. Informasi hasil surveilan tersebut dipublikasikan secara periodik pada WHO Newsletter. Sedangkan di Australia, surveilan dilakukan oleh Communicable Disease Intelligence dan publikasinya dilakukan oleh Communicable Disease Branch dari Department of Health Australia (Hobbs dan Roberts, 1987). Di Indonesia, beberapa instansi yang melakukan surveilan keamanan pangan antara lain Badan POM RI dan Departemen Kesehatan RI. Di Badan POM RI, surveilan keamanan pangan dilakukan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI (Badan POM, 2001a). Sedangkan di Departemen Kesehatan RI, kegiatan surveilan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL), Departemen Kesehatan RI. Secara aktif, kegiatan surveilan tersebut dilakukan oleh balai-balai POM atau Dinas Kesehatan yang tersebar di daerah seluruh Indonesia, sedangkan Badan POM RI ataupun Departemen Kesehatan RI yang ada di pusat hanya memberikan panduan/pedoman (guideline) untuk kegiatan surveilan tersebut, kecuali untuk kasus-kasus tertentu.
9
2.
Metode dalam Surveilan Keamanan Pangan Banyak metode surveilan keamanan pangan digunakan untuk menghasilkan data yang representatif. Metode-metode surveilan tersebut diantaranya : a) Pelaporan/pemberitahuan wajib (statutory notification) Kegiatan ini mempunyai dasar hukum yang lebih kuat yaitu Undang-undang atau peraturan yang mewajibkan dokter atau petugas kesehatan lainnya (misal: pakar/petugas dalam bidang mikrobiologi, kimia dan farmasi yang bekerja pada laboratorium) untuk melaporkan penyakit-penyakit atau informasi yang berhubungan dengan keamanan pangan lainnya kepada pihak yang berwenang (health authority) seperti Dinas Kesehatan dan/atau Departemen Kesehatan RI. Pemberitahuan wajib ini bisa berupa laporan dokter mengenai gejala
penyakit
akibat
pangan,
misalnya
keracunan
pangan,
gastroenteritis, infeksi enterokolitis dan HUS (haemolytic uraemic syndrome) (Sharp dan Reilly, 2000) atau laporan dari laboratorium mengenai ditemukannya isolat patogen spesifik, misalnya Salmonella sp., Shigella sp., Vibrio sp., atau emerging pathogen seperti Escherichia coli O157:H7, Salmonella typhimurium DT104, Listeria monocytogenes, Campylobacter
jejuni,
Arcobacter,
Helicobacter
pylori,
Cryptosporidium dan Cyclospora (D’Aoust, 2000; Farber dan Peterkin, 2000; Stern dan Line, 2000; Stiles, 2000; Taylor, 2000; Willshaw, 2000; Sparringa, 2002). Pemberitahuan wajib ini sangat bermanfaat bagi pihak berwenang untuk mendeteksi kemungkinan adanya kasus/KLB penyakit ataupun keracunan pangan sehingga dapat ditindaklanjuti sesegera mungkin untuk mencegah perluasan suatu penyakit akibat pangan. Pelaporan tersebut dapat dilakukan melalui telepon, faksimil, atau email. Penyakit-penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan ke pihak yang berwenang tergantung pada kondisi yang sedang dihadapi oleh suatu negara. Misalnya di Australia dalam periode 75 tahun (1917-1991) ada 2.200.194 pemberitahuan penyakit-penyakit akibat pangan, yaitu
10
campylobacteriosis (sejak 1980), salmonellosis (sejak 1949 di Western Australia), kolera, disentri, tifoid, paratifoid, shigellosis dan diare pada bayi (1917-1978) (Arnold dan Munce, 1997; Sparringa, 2002). Metode ini belum digunakan pada kegiatan surveilan keamanan pangan di Indonesia. Informasi dan data kasus penyakit akibat pangan penting sebagai landasan ilmiah dalam menentukan prioritas program keamanan pangan baik pada skala nasional maupun daerah, sehingga pada penelitian ini, metode pelaporan/pemberitahuan wajib digunakan sebagai upaya untuk mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. b) Laporan rumah sakit Rumah sakit merupakan salah satu sumber informasi penting dalam surveilan keamanan pangan. Informasi penting bisa diperoleh dari laporan pendaftaran rumah sakit (hospital admission records) yang mencakup laporan keluar masuknya pasien dan kematian pasien. Umumnya hanya penyakit serius saja yang disertai diagnosis dan konfirmasi laboratorium, misalnya tifus. Laporan rumah sakit ini bisa digunakan sebagai indikasi awal terjadinya KLB (Sharp dan Reilly, 2000). Metode ini sedang dikembangkan dalam surveilan keamanan pangan di Indonesia. c) Investigasi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan Investigasi KLB merupakan kegiatan surveilan keamanan pangan yang penting. Investigasi bisa mudah dilaksanakan jika risiko paparannya diketahui, misalnya KLB keracunan pangan pada pesawat terbang, rumah sakit, tahanan, dan asrama. Surveilan laboratorium mempunyai peranan penting dalam deteksi penyebab keracunan pangan. Dalam investigasi KLB ini, laporan akhir yang dibuat antara lain jumlah penderita yang terkena, pangan dan penyebab keracunan (etiologic agent) yang dicurigai atau telah terkonfirmasi serta alasan-alasan terjadinya KLB.
11
d) Surveilan sentinel Pengertian surveilan sentinel adalah pengumpulan data dari sampel-sampel yang dilakukan pada lokasi yang dianggap mewakili keseluruhan populasi. Pada surveilan ini, biasanya pengumpulan datadata dilakukan pada puskesmas-puskesmas, klinik, laboratorium, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya. Surveilan ini membutuhkan biaya yang mahal, sehingga sulit untuk diterapkan di negara-negara berkembang. Departemen Kesehatan melakukan surveilan ini untuk memantau keberhasilan penggunaan oralit untuk menurunkan kasus diare. Surveilan ini berguna sekali untuk menentukan magnitude dari masalah kesehatan yang ada di daerah tersebut. e) Surveilan laboratorium Surveilan ini mengumpulkan data-data mengenai spesimen dari manusia, toksin, bahan kimia berbahaya, dan sebagainya yang penting untuk deteksi kasus/KLB keracunan pangan. Metode surveilan ini efektif untuk menentukan penyebab kejadian luar biasa atau kasus penyakit akibat pangan, tetapi belum cukup untuk mengukur magnitude dan kecenderungan dari masalah keamanan pangan. Karena itu, metode ini biasanya dikombinasikan dengan metode surveilan lainnya seperti studi masyarakat. f) Studi masyarakat (community study) Studi masyarakat ini merupakan survei dengan masyarakat sebagai respondennya. Biaya yang dibutuhkan untuk surveilan ini cukup besar. Studi masyarakat cukup efektif dalam memberikan arahan mengenai kecenderungan (trend) mengenai masalah keamanan pangan. Keadaan surveilan secara faktual di Indonesia saat ini, untuk setiap metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.
12
Tabel 3. Keadaan surveilan keamanan pangan di Indonesia Metode surveilan Keadaan di Indonesia 1. Pemberitahuan wajib (statutory notification)
Pelaporan wajib beberapa jenis penyakit, termasuk penyakit akibat pangan pada Dinas Kesehatan, Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL.
2. Laporan rumah sakit
Informasi berupa laporan pendaftaran di rumah sakit mencakup laporan keluar masuknya pasien termasuk kematian, saat ini terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik.
3. Surveilan laboratorium
Masih tersebar dan belum ada koordinasi.
4. Surveilan sentinel
Sentinel diare telah dilakukan untuk melihat kecenderungan keberhasilan sosialisasi oralit. Saat ini sedang dikembangkan sentinel puskesmas dan sentinel rumah sakit untuk beberapa jenis penyakit akibat pangan. Sentinel untuk pangan dan kontaminasi belum dilakukan.
5. Investigasi KLB keracunan pangan
Data KLB keracunan pangan masih rendah yang dilaporkan, tidak banyak terungkap penyebabnya, masih menghitung jumlah keracunan saja dan belum banyak dimanfaatkan.
6. Studi masyarakat (community study)
Survei kesehatan rumah tangga, survei kewaspadaan pangan dan gizi sedang dilakukan oleh Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan. Survei mendatang perlu mencakup informasi keamanan pangan penting di masyarakat.
Sumber : Sparringa dan Rahayu (2005)
3.
Informasi dalam Surveilan Keamanan Pangan Untuk mendukung terwujudnya surveilan yang tangguh diperlukan adanya informasi yang dapat menguatkan kegiatan surveilan itu sendiri. Selain pelaporan mengenai kasus dan kejadian luar biasa akibat pangan, terdapat beberapa sumber informasi untuk surveilan keamanan pangan yang disebutkan oleh Borgdorff (1997), Sharp dan Reilly (2000), dan Sparringa (2002) yaitu: a)
Studi epidemiologi Studi epidemiologi adalah studi mengenai penyebaran penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Studi epidemiologi terkadang lebih efektif dalam mencapai tujuan keamanan pangan dibandingkan
13
dengan surveilan karena mampu memberikan perkiraan yang lebih tepat mengenai angka terjadinya penyakit-penyakit akibat pangan. b)
Surveilan veteriner Beberapa penyakit hewan dapat menyebabkan penyakit akibat pangan (zoonosis), seperti Brucella melitensis, Bacillus anthracis, Salmonella sp, Leptospira sp, dan sebagainya. Sumber informasi mengenai zoonosis ini berguna untuk memberikan peringatan dini penyakit-penyakit akibat pangan yang ditularkan oleh hewan.
c)
Informasi dari turis Informasi dari wisatawan bisa sangat berguna. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepada mereka melalui pesawat terbang, kapal, atau sarana transportasi lainnya. Tujuan dari pelaporan ini diantaranya adalah mengantisipasi penyebaran penyakit akibat pangan yang diderita oleh turis lintas darat, propinsi, maupun negara.
d) Surveilan pada rantai pangan Pangan dan kondisi rantai pangan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan keamanan pangan pada saat pangan masih dibudidayakan sampai dikonsumsi (from farm to table). Informasi tersebut berupa cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia yang mungkin mengkontaminasi pangan selama masih berada pada mata rantai pangan tersebut. Sehingga informasi yang diperoleh dari pelaksanaan surveilan ini akan sangat berguna untuk pelaksanaan program keamanan pangan.
C. SURVEILAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN 1.
Definisi Surveilan Kasus Penyakit Akibat Pangan Konsep surveilan penyakit akibat pangan (foodborne disease surveillance) sering dipahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan. Pengertian tersebut menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi sebagai
14
bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilan penyakit akibat pangan tersebut. Menurut WHO (2000), surveilan adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan
terus-menerus
serta
penyebaran
informasi
kepada
unit
yang
membutuhkan untuk dapat mengambil suatu tindakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu definisi surveilan penyakit akibat pangan yang lebih mengedepankan analisis atau kajian penyakit akibat pangan serta pemanfaatan informasi penyakit akibat pangan, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan surveilan kasus penyakit akibat pangan adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap penyakit akibat pangan atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan faktor risiko penyakit akibat pangan agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi tentang penyakit akibat pangan kepada pihak terkait dengan masalah keamanan pangan. Kasus dalam kegiatan surveilan ini adalah pasien atau orang (perseorangan) yang mengalami atau menderita penyakit akibat pangan. 2.
Definisi Kasus Penyakit Akibat Pangan Kasus setiap penyakit akibat pangan harus didefinisi secara jelas. Hal tersebut penting dilakukan dalam surveilan kasus penyakit akibat pangan sehingga diharapkan data yang tersedia akurat dan berkualitas. Maksud data yang berkualitas adalah data yang ada untuk setiap jenis penyakit tidak melebihi kasus yang secara faktual terjadi di masyarakat (over estimate) maupun tidak terlalu jauh lebih kecil dari kenyataan yang ada di lapang (under estimate). Oleh karena itu, untuk menentukan data yang akurat dan faktual tersebut diperlukan adanya pemeriksaan laboratorium sebagai penguat diagnosis klinis yang dilakukan oleh dokter. Hal ini penting, karena jenis penyakit tertentu mungkin mempunyai gejala (symptoms) yang hampir sama dengan jenis penyakit lainnya. Sebagai
15
contoh, gejala diare berdarah dapat disebabkan oleh adanya penyakit shigellosis ataupun campylobacteriosis (Black et al., 1988; Wallis, 1994). Untuk tujuan surveilan, kasus penyakit akibat pangan didefinisikan menurut status diagnosis. Berdasarkan status diagnosisnya, kasus penyakit akibat pangan terbagi dalam dua kategori yaitu : a) Kasus penyakit yang bersifat dugaan (suspected case) Kasus penyakit yang bersifat dugaan adalah kasus penyakit akibat pangan dimana penetapan agen penyebab penyakit tersebut hanya berdasarkan dugaan (suspected) dari gejala klinis yang ada, tanpa dilengkapi dengan hasil analisis spesimen dari laboratorium, sehingga diagnosis yang ada tidak pasti (unconfirmed). b) Kasus penyakit yang bersifat tetap (confirmed case) Kasus penyakit yang bersifat tetap adalah kasus penyakit akibat pangan yang didiagnosis secara klinis oleh petugas kesehatan (dokter) dan dilengkapi dengan hasil pengujian spesimen oleh laboratorium untuk menentukan agen penyebab penyakit tersebut secara pasti (confirmed). Pendefinisian kasus penyakit akibat pangan ini berkontribusi dalam menyediakan data kasus penyakit akibat pangan yang ilmiah. Data yang ilmiah tersebut merupakan salah satu pendukung dasar (evidence base) penetapan kebijakan, disamping landasan non ilmiah (Sparringa, 2002). 3.
Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan Penyakit akibat pangan sebagai salah satu masalah keamanan pangan di Indonesia akan menjadi ‘bom waktu’ yang dapat ‘meledak’ sewaktu-waktu bila tidak tertangani dengan baik. Pola pelaporan penyakit akibat pangan mengikuti pola ‘gunung es’ yaitu suatu pola dimana kasus penyakit akibat pangan yang terlapor sangat sedikit dan berada pada puncak gunung atau permukaan saja, sedangkan data kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih besar dari keadaan yang ada di permukaan (Rocourt et al., 2003). Keadaan ini dapat dilihat pada kejadian maupun kasus busung lapar yang sedang di sorot banyak media akhir-akhir ini. Pola pelaporan kasus penyakit akibat pangan ini dapat dilihat pada Gambar 1.
16
Terlapor Pada Departemen Kesehatan Kasus terkonfirmasi Pengujian laboratorium Pengumpulan spesimen Penderita yang mendapatkan perawatan medis Orang yang menderita penyakit akibat pangan Populasi masyarakat Sumber : Rocourt et al. (2003)
Gambar 1. Piramida beban penyakit akibat pangan Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat banyak informasi yang hilang pada setiap langkah sebelum kasus terlaporkan pada institusi kesehatan yang berwenang (health authority) untuk dijadikan sebagai sumber informasi dalam surveilan kasus penyakit akibat pangan. Sebagian besar kasus penyakit akibat pangan yang terlaporkan saat ini, merupakan kasus yang masih bersifat syndromic, artinya hanya berdasarkan gejala klinis dan belum terkonfirmasi dengan uji laboratorium sehingga jenis penyakit yang terlapor belum jelas berdasarkan agen penyebabnya, misal: listeriosis, salmonellosis. Meskipun beberapa kasus penyakit wajib untuk dilaporkan, tetapi dalam kenyataannya belum terimplementasi dengan baik. Pada umumnya hanya kasus yang bersifat ‘sporadic’ dengan kondisi atau gejala kasus yang parah saja terlaporkan secara lengkap dibandingkan data kasus penyakit akibat pangan dengan gejala ringan, misalnya diare. Sebagai konsekuensinya, banyak kasus tidak terlaporkan dan menjadi masalah utama dalam analisis dan interpretasi data, sehingga informasi yang dihasilkan kurang representatif.
17
Sumber : Majowicz (2001) Keterangan : warna putih menunjukkan “tidak ada data” kasus penyakit akibat pangan
Gambar 2. Peta angka insiden kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di dunia Gambar 2 di atas dapat menunjukkan lemahnya sistem surveilan panyakit akibat pangan di Indonesia. Saat ini Badan POM RI melalui Direktorat
Surveilan
dan
Penyuluhan
Keamanan
Pangan
telah
mengembangkan sistem penanganan, penanggulangan maupun pelaporan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, khususnya yang bersifat point sources atau “point sources foodborne disease outbreak”. Data KLB keracunan pangan tersebut hanya menggambarkan sedikit potret keamanan pangan yang ada di Indonesia. Sedangkan kasus penyakit akibat pangan sporadis yang sering terjadi dengan jumlah korban yang jauh lebih besar dan mempunyai potensi KLB belum diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena lemahnya sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia. Untuk mendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan tersebut diperlukan adanya perangkat pendukung yang baik, salah satunya
18
dengan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan dari rumah sakit, puskesmas, klinik maupun pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat secara terpadu. Blok putih pada Gambar 2 diatas menunjukkan bahwa data kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia belum tersedia, sehingga belum dapat diakses oleh masyarakat luas, baik masyarakat internasional maupun regional (ASEAN). Bila dibandingkan dengan negaranegara asia lainnya, surveilan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease case surveillance) di Indonesia masih lemah, sama halnya dengan negara-negara dunia ketiga yang ada di benua Afrika (dengan blok putih). Untuk itu diperlukan usaha yang sangat besar dari pemerintah untuk terus meningkatkan surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia. 4.
Penyakit Akibat Pangan yang Wajib Dilaporkan Setiap wilayah/negara mewajibkan pelaporan kasus beberapa jenis penyakit akibat pangan yang berbeda-beda, tergantung jenis kasus penyakit akibat pangan yang paling sering dan paling potensial terjadi di suatu wilayah tertentu berdasarkan studi epidemiologi yang telah dilakukan. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa jenis penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan (notifiable foodborne disease) di beberapa negara. Berdasarkan Tabel 4 di bawah, pada negara-negara yang telah maju semakin banyak jenis penyakit akibat pangan (foodborne disease) yang wajib dilaporkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada negara maju, perhatian pemerintahnya terhadap masalah kesehatan sangat besar. Dapat dilihat pada Tabel 4 tersebut, terdapat beberapa jenis penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan pada hampir semua negara, diantaranya: kolera, shigellosis (kecuali Malaysia), typhoid, dan hepatitis A (kecuali Canada). Hal itu menunjukkan bahwa penyakit-penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global.
19
Tabel 4. Penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di beberapa negara Jenis/syndrome Negara penyakit akibat Amerika Canada Indonesia Australia Malaysia 2 3 4 5 pangan (penyebab Serikat 1 penyakit ) Botulisme x x (C. botulinum) Kolera x x x x x (Vibrio cholerae) Shigellosis x x x x Listeriosis x x x x x Infeksi E. coli (termasuk E. coli O157:H7) HUS x Salmonellosis x x x Typhoid x x x x x Paratyphoid x x x Yersiniasis (Yersinia enterocolitica) Campylobacteriosis x x Brucellosis x Anthrax x x x Cryptosporidiosis (Cryptosporidium parvum) Cyclosporiosis x x (Cyclospora sp.) Giardiasis x x (Giardia) x x Trichinosis (Trichinella spiralis) Chlamydia x x Amubiasis x x Hepatitis A x x x x Dysentery x x Keracunan pangan x (food poisoning) Diare x Sumber : 1. 2. 3. 4. 5.
CDC (2003) PHAC (2000) Departemen Kesehatan (2004) OzFoodnet (2003) FAO/WHO (2004)
20
5.
Angka Insiden (Incident Rate), Angka Kematian (Case Fatality Rate) dan Angka Kunjungan (Admission Rate) Kasus Penyakit Akibat Pangan Untuk mengetahui dan menentukan tingkat keseringan (prevalensi) maupun tingkat keparahan penyakit akibat pangan pada suatu tempat atau propinsi dapat dilakukan dengan penghitungan angka insiden (incident rate). Incident rate adalah nilai perbandingan antara jumlah korban (kasus) per 100.000 penduduk (Imari, 2004). Dengan angka insiden, dapat diketahui juga tingkat keparahan (severity) suatu penyakit akibat pangan dibandingkan dengan penyakit akibat pangan lainnya, ataupun tingkat keparahan penyakit akibat pangan pada suatu tempat/daerah/propinsi dibandingkan pada tempat/ propinsi lainnya. Hal ini berguna untuk menentukan prioritas program keamanan pangan pada wilayah di Indonesia sehingga hasil yang diharapkan akan lebih efektif dan efisien. Selain incident rate (IR), tingkat keparahan penyakit akibat pangan pada suatu daerah dalam suatu waktu tertentu dapat diketahui dengan menghitung nilai case fatality rate (CFR). Case fatality rate adalah nilai perbandingan antara jumlah korban meninggal (kasus meninggal) dengan total jumlah korban (jumlah kasus yang terjadi) selama kurun waktu tertentu. Propinsi dengan CFR tertinggi berarti kejadian kasus penyakit akibat pangan di wilayah tersebut mengakibatkan korban meninggal terbanyak dibanding daerah (propinsi) yang lain. Apabila CFR pada suatu waktu tertentu (tahun atau bulan) mempunyai nilai tertinggi berarti kejadian kasus penyakit akibat pangan pada waktu tersebut mengakibatkan korban meninggal terbanyak dibandingkan pada waktu-waktu yang lain. Admission rate dihitung berdasarkan jumlah kunjungan per jumlah kasus baru (pasien rawat jalan) pada rumah sakit. Admission rate hanya berlaku untuk kasus pada rawat jalan. Kasus baru pada pengobatan dengan rawat jalan adalah pasien (kasus) yang berkunjung untuk kali pertama pada suatu rumah sakit atau puskesmas dengan gejala atau penyakit tertentu. Apabila kasus tersebut berkunjung pada rumah sakit/klinik/puskesmas dengan jenis penyakit yang sama, maka pasien tersebut bukan disebut sebagai kasus baru. Admission rate ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kunjungan kasus dengan jenis penyakit akibat pangan tertentu dan
21
menentukan jenis penyakit akibat pangan yang paling umum (common) terjadi di suatu wilayah/negara tertentu (Erfandi; Djauzi, personal communication. 2005). 6.
Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Pelaporan kasus penyakit akibat pangan merupakan bagian dari kegiatan surveilan penyakit akibat pangan. Hal tersebut penting dilakukan untuk mengetahui kecenderungan (trend) penyakit akibat pangan pada suatu tempat/daerah/wilayah (negara ataupun propinsi) dalam kurun waktu tertentu. Kecenderungan kejadian kasus penyakit akibat pangan dapat digunakan sebagai kewaspadaan dini (early warning) akan adanya kejadian luar biasa keracunan pangan/penyakit akibat pangan. Kejadian luar biasa (KLB) menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.560/MENKES/PER/VIII/1989 adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu (Departemen Kesehatan, 2003). Sedangkan menurut WHO (World Health Organization), KLB keracunan pangan (foodborne disease outbreak) didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologis terbukti sebagai sumber penularan (Sparringa, 2002). Berdasarkan skala kejadiannya, kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu : a) Protracted foodborne disease outbreak Protracted foodborne disease outbreak adalah kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan (foodborne disease outbreak) yang terjadi pada masyarakat atau suatu tempat secara terus menerus tanpa diketahui waktu paparannya, misal: KLB diare pada suatu area A yang terjadi pada waktu tertentu dan secara epidemiologis disebabkan oleh air atau pangan yang tercemar oleh bakteri patogen. b) Point source foodborne disease outbreak Point source foodborne disease outbreak adalah KLB yang terjadi pada
suatu
tempat
yang
diketahui
waktu
paparannya
secara
22
epidemiologis disebabkan mengkonsumsi pangan yang sama, misal: KLB keracunan pangan pada suatu pesta akibat mengkonsumsi pangan tercemar yang dihidangkan dalam pesta tersebut (Sparringa, 2005). 7.
Keparahan (Severity) Penyakit Akibat Pangan Penyakit akibat pangan merupakan masalah kesehatan yang paling umum terjadi dibandingkan jenis penyakit yang lain. Data pada Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi (kolitis infeksi) merupakan penyakit utama yang diderita oleh pasien (kasus) rawat inap pada rumah sakit di Indonesia (Departemen Kesehatan, 2004). Bahkan menurut Rocourt et al. (2003), salah satu penyakit akibat pangan yang secara klinis paling banyak terjadi di dunia adalah gastroenteritis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, virus atau parasit. Biasanya penyakit ini mempunyai masa inkubasi yang pendek yaitu antara 1-2 hari sampai 7 hari. Masa atau waktu inkubasi adalah masa atau periode antara konsumsi pangan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme dengan terjadinya gejala sakit. Penyakit akibat pangan dapat menyebabkan tingkat keparahan yang bervariasi, dari gejala penyakit yang ringan, dimana tidak memerlukan perawatan kesehatan sampai dengan terjadinya kematian. Mead et al. (1999) menyatakan bahwa di Amerika Serikat, angka pasien yang masuk rumah sakit (hospitalization rate) untuk kasus penyakit akibat pangan mempunyai kisaran antara 0.6% sampai 29%. Artinya, dari seluruh kasus penyakit akibat pangan terdapat jenis penyakit akibat pangan tertentu dimana dari 1000 kasus yang terjadi, 6 hingga 290 orang/pasien perlu menjalani rawat inap. Hasil paparan penyakit diare akibat mikroorganisme patogen dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : (1) keadaan imunitas atau kemampuan menghasilkan respon imun, (2) faktor nutrisi, (3) umur dan (4) faktor non spesifik (sebagai contoh, luka atau pasca cangkok organ). Sebagai hasilnya, kejadian, keparahan dan tingkat kematian (lethality) penyakit diare lebih tinggi pada beberapa segmen populasi tertentu, termasuk balita, wanita hamil, manusia dengan tingkat imunitas rendah (immunocompromised), misalnya pasien yang melakukan transplantasi
23
organ, pasien yang melakukan kemotherapi kanker, pengidap HIV/AIDS serta orang yang telah lanjut usia (Gerba et al., 1996). Pelaporan kasus penyakit akibat pangan juga penting dilakukan sebagai dasar untuk melakukan kajian berbagai jenis penyakit sebagai implikasi (impact) adanya penyakit akibat pangan. Beberapa penyakit akibat pangan diketahui sebagai penyebab penyakit yang bersifat kronis (menahun). Sebagai contohnya adalah infeksi Vibrio parahaemolyticus septicaemia yang menyebabkan penyakit thalasemia (Hlady et al., 1996; Adam Kiewiciz et al., 1998). Infeksi E. coli O157:H7 dengan gejala diare berdarah dapat menyebabkan komplikasi serius sebagai manifestasi secara sistemik seperti haemolytic uremic syndrome (HUS). Penyakit HUS merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal dan kerusakan sistem syaraf (neurologi). Infeksi Campylobacter jejuni dapat menyebabkan sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre syndrome) yaitu gejala degenerasi sistem saraf dan ketidakmampuan menawar racun, salmonellosis dapat menyebabkan arthritis dan encephalitis toksoplasma yang bersifat kronis (Griffin et al., 1988; Rees et al., 1995; Thompson et al., 1995). Bahkan 2% sampai 3% dari seluruh kasus penyakit akibat pangan berpotensi menyebabkan penyakit yang bersifat kronis (komplikasi jangka panjang) (Lindsay, 1997). D. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AKIBAT PANGAN 1.
Definisi Epidemiologi Epidemiologi didefinisikan sebagai studi yang mempelajari tentang distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan manusia
dalam
suatu
populasi
tertentu
serta
aplikasinya
dalam
mengendalikan masalah kesehatan manusia. Sparringa (2005), menjabarkan pengertian epidemiologi tersebut dengan keenam kata kuncinya, yaitu : a) Studi Epidemiologi merupakan ilmu dasar dalam kesehatan masyarakat. Epidemiologi didukung oleh banyak disiplin ilmu berdasarkan prinsip statistik dan metode riset, termasuk di dalamnya surveilan, observasi, pengujian hipotesis, dan riset analitis.
24
b) Distribusi Dalam epidemiologi dipelajari frekuensi dan pola suatu penyakit dalam
populasi
masyarakat.
Untuk
tujuan
tersebut,
digunakan
epidemiologi deskriptif untuk mengetahui karakteristik penyebaran suatu penyakit berdasarkan waktu, tempat dan karakteristik orang. c) Determinan Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari faktor-faktor penyebab yang memungkinkan meningkatnya risiko maupun kasus suatu penyakit. Dengan dasar inilah dapat dikembangkan pertanyaan ‘siapa’, ‘apa’, ‘dimana’, ‘kapan’, dan mulai juga dikembangkan untuk bisa menjawab ‘bagaimana’ serta ‘mengapa’ suatu penyakit dapat terjadi atau mempunyai kecenderungan meningkat. Pengertian ini disebut dengan istilah ‘epidemiologi analitik’. d) Status (hal-hal) yang berhubungan dengan kesehatan manusia Epidemiologi berkembang mencakup spektrum yang lebih luas, termasuk diantaranya mempelajari pola penyakit yang bersifat kronis, masalah lingkungan, masalah kesehatan, perilaku manusia, hewan ataupun alam dan tingkat keparahan suatu infeksi penyakit. e) Populasi Epidemiologi lebih ditekankan untuk mempelajari karakteristik penyakit dan masalah kesehatan lainnya dalam suatu kelompok manusia dari pada kesehatan yang menyangkut individu manusia. f) Kontrol (pengendalian dan pencegahan) Data epidemiologi digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat serta berdasarkan tujuannya dalam mengembangkan dan mengevaluasi intervensi dalam penanggulangan dan pencegahan masalah-masalah kesehatan. 2.
Investigasi Penyakit Akibat Pangan Berdasarkan Epidemiologi Investigasi secara epidemiologi merupakan bagian terpenting dalam investigasi penyakit akibat pangan termasuk di dalamnya investigasi lingkungan maupun laboratorium. Tujuan investigasi secara epidemiologi
25
adalah untuk mengidentifikasi suatu masalah, mengumpulkan data, memformulasikan dan menguji suatu hipotesis, termasuk di dalamnya pengumpulan dan analisis berbagai macam fakta dan data untuk menentukan penyebab penyakit dan mengimplementasikan perangkat kontrol untuk mencegah penyebaran yang lebih luas penyakit akibat pangan. Kuesioner merupakan perangkat yang digunakan dalam membantu penginvestigasian untuk mengembangkan hipotesis yang lebih baik tentang identitas agen penyebab, sumber dan penyebaran penyakit akibat pangan. Dalam pelaporan kasus penyakit akibat pangan, dokter atau petugas kesehatan merupakan investigator seorang pasien atau kasus. Diharapkan dengan investigasi tersebut dapat diketahui waktu, tempat dan individu yang menderita penyakit akibat pangan sehingga dari informasi kasus-kasus yang terkumpul dapat diketahui pola penyebaran dan kecenderungan terjadinya peningkatan kasus penyakit akibat pangan. Investigasi secara epidemiologi tersebut dihubungkan dengan faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh dan pengujian spesimen dalam laboratorium. 3.
Langkah-langkah Epidemiologi
Investigasi
Penyakit
Akibat
Pangan
Secara
Investigasi secara epidemiologi penyakit akibat pangan biasa digunakan dalam menangani kejadian luar biasa (KLB) atau ’outbreak’ keracunan pangan. Dalam penelitian ini, investigasi secara epidemiologi dikembangkan untuk tujuan pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan. Menurut Hackbarth et al. (1997), terdapat beberapa langkah investigasi epidemiologi untuk kasus penyakit akibat pangan, yaitu : a) Konfirmasi kasus oleh petugas kesehatan (dokter, petugas kesehatan yang berwenang) b) Konfirmasi diagnosis penyakit akibat pangan yang diderita kasus oleh laboratorium c) Pengisian laporan kasus pada formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan d) Pengiriman pelaporan pada instansi kesehatan yang berwenang (health authority)
26
e) Pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul f) Pengembangan hipotesis g) Perbandingan hipotesis dan fakta h) Pembuatan kebijakan
E. KONSEP ANALISIS RISIKO UNTUK KEAMANAN PANGAN Tujuan utama pengumpulan data kasus penyakit akibat pangan adalah untuk menghasilkan informasi yang dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah dalam
menentukan
kebijakan
pengendalian
masalah-masalah
kesehatan
masyarakat (public health action). Informasi yang tersedia diantaranya mencakup agen
penyebab,
karakteristik
penyakit,
media
penyebaran
(vehicles
of
transmission), dan kesalahan dalam penanganan pangan (food misshandling errors). Informasi-informasi tersebut dikumpulkan oleh pihak kesehatan yang berwenang (public health authorities). Pada negara-negara maju, kegiatan surveilan berdasarkan data-data tersebut telah sukses digunakan untuk menurunkan angka insiden (incident rate) penyakit akibat pangan. Akan tetapi, beban penyakit akibat pangan masih tinggi dan diperlukan usaha untuk menurunkan insiden kasus penyakit akibat pangan secara lebih signifikan. Penyakit akibat pangan di negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), merupakan penyakit yang dapat dicegah atau diatasi, terkecuali penyakit akibat pangan tertentu seperti tifoid, hepatitis A serta infeksi rotavirus (Rocourt et al., 2003). Tantangan ke depan adalah penggunaan berbagai pendekatan multidisiplin dalam pengidentifikasian strategi terbaik sepanjang rantai pangan (termasuk informasi dan edukasi konsumen) dalam usaha pencegahan penyakit, terutama pada tingkat produksi primer. Metode pendekatan yang digunakan harus melalui proses analisis risiko yang menghubungkan patogen dalam pangan dengan masalah kesehatan masyarakat, termasuk masalah penyakit akibat pangan. Untuk mengatasi kompleksitas interaksi antara populasi manusia yang bervariasi, patogen, dan pangan serta untuk meminimalkan pengaruh terhadap masalah kesehatan masyarakat dan faktor ekonomi pada lain sisi, Codex
27
Alimentarius, WHO (World Health Organization) dan FAO (Food and Agriculture Organization of United Nations) mempromosikan konsep analisis risiko. Secara umum, analisis risiko terbagi dalam tiga langkah yang saling terintegrasi yaitu kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko. Kaitan antara ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Kajian risiko Landasan Ilmiah
Manajemen risiko Landasan Kebijakan
Komunikasi risiko Pertukaran informasi dan opini yang interaktif dan terus menerus
Gambar 3. Proses analisis risiko 1.
Manajemen Risiko (Risk Management) Manajemen risiko merupakan tahap awal dalam proses analisis risiko. Manajemen risiko adalah proses seleksi, implementasi dan evaluasi (review) kebijakan keamanan pangan, terutama menetapkan opsi dalam pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi risiko. Manajemen risiko merupakan kegiatan pengendalian risiko yang telah diidentifikasi pada kegiatan karakteristik risiko. Pengendalian risiko tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh. Untuk risiko tinggi, pengendalian risiko mutlak diperlukan. Untuk risiko sedang, pengendalian risiko tidak perlu dilakukan apabila tenaga dan biaya yang diperlukan sangat besar dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh. Sedangkan untuk risiko kecil, pengendalian risiko tidak perlu dilakukan
28
(Badan POM, 2001b). Tujuan dari kegiatan pengendalian risiko ini adalah mengurangi risiko, atau bahkan mencegah terjadinya risiko tersebut. Wilson
dan
Droby
(2001)
menyebutkan
langkah-langkah
manajemen risiko terdiri dari: (1) mengidentifikasi masalah-masalah keamanan pangan beserta faktor risikonya, (2) menyusun profil risiko, (3) menetapkan tujuan manajemen risiko dan tim manajer risiko untuk mengendalikan risiko tersebut, (4) membuat prioritas risiko yang ingin dikendalikan, (5) menerbitkan kebijakan-kebijakan pengendalian risiko dengan mempertimbangkan informasi yang diperoleh dari kegiatan kajian risiko, (6) monitoring pelaksanaan kebijakan yang telah disusun, dalam hal ini dilimpahkan kepada kegiatan kajian risiko, dan (7) melakukan evaluasi berdasarkan informasi dari kegiatan kajian risiko yang dilakukan pada tahap 6.
Seluruh
tahap
kegiatan
manajemen
risiko
tersebut
perlu
didokumentasikan dan dilakukan secara transparan (Badan POM, 2001b). Parker dan Tompkin (2000) meringkas tahap-tahap tersebut dalam empat tahap yaitu: (1) evaluasi risiko (risk evaluation), (2) kajian alternatifalternatif manajemen risiko (option risk management assessment), (3) pelaksanaan keputusan manajemen risiko (implementation of management decisions), serta (4) monitoring dan evaluasi (monitoring and review). Pada tahap evaluasi risiko, manajer risiko akan membahas risikorisiko yang telah ditentukan melalui kegiatan kajian risiko. Pembahasan tersebut diharapkan menghasilkan profil masing-maing risiko. Profil tersebut berisi lokasi dan distribusi risiko, keuntungan dan kerugian pengendalian risiko, serta informasi lain yang diperlukan. Profil risiko diperlukan untuk menentukan instansi-instansi terkait yang akan dilibatkan dalam tim manajer risiko, seperti: Pemerintah Daerah, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan, Balai POM atau instansi lain yang memiliki kewenangan dan kepentingan yang berhubungan dengan risiko tersebut. Instansi-instansi yang dipilih sebaiknya terdiri dari berbagai multidisiplin ilmu, sehingga dapat memberi pertimbangan kepada manajer risiko dalam berbagai sudut pandang. Selanjutnya, pembahasan tersebut diharapkan mampu memformulasikan tujuan manajemen risiko, mengembangkan
29
kerangka acuan (term of reference), dan memberikan alternatif-alternatif untuk mengendalikan risiko yang terjadi. Langkah kedua adalah kajian alternatif pengendalian risiko. Kajian tersebut berupa diskusi dengan instansi-instansi terkait untuk menentukan alternatif pemecahan masalah yang tepat. Beberapa informasi-informasi yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan alternatif yang tepat adalah ketidakpastian yang ada pada masing-masing alternatif, besarnya risiko yang ada setelah dilakukan alternatif, biaya yang diperlukan untuk melaksanakan alternatif tersebut, dan adanya sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan alternatif tersebut. Intinya, keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif perlu dikaji sebelum memilih. Biasanya, kriteria yang mudah diukur dan diamati juga disusun untuk mempermudah kajian alternatif ini. Alternatif yang memenuhi kriteria akan dipilih dan diimplementasikan untuk mengendalikan risiko. Langkah
ketiga
adalah
pelaksanaan
keputusan,
dimana
memerlukan kekompakan tim manajer risiko serta perencanaan yang matang. Rencana tersebut meliputi pihak yang akan bertanggung jawab langsung di lapangan, karena tidak semua pihak dalam tim manajer risiko akan turun langsung ke lapangan. Perencanaan tersebut juga berisi petunjuk pelaksanaan teknis, jadwal pelaksanaan, dan sasaran pengendalian risiko. Langkah terakhir adalah monitoring, evaluasi, dan dokumentasi. Langkah ini sangat penting untuk memberikan umpan balik yang diperlukan untuk memperbaiki pelaksanaan manajemen risiko. Kegiatan monitoring bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan keputusan manajemen risiko dan berapa besar pengaruhnya dalam mengurangi risiko yang ada. Kegiatan monitoring tersebut dilakukan pada tahap kajian risiko, dan dapat berupa kegiatan studi, survei, atau surveilan. Setelah dilakukan monitoring, tidak menutup
kemungkinan
adanya
penyempurnaan
terhadap
keputusan
manajemen risiko yang telah ada. 2.
Kajian Risiko (Risk Assessment) Menurut Parker dan Tompkin (2000), kajian risiko keamanan pangan adalah mengorganisasi informasi yang berhubungan dengan risiko-
30
risiko keamanan pangan secara sistematis dan ilmiah sehingga pengambil keputusan (manajer risiko) dapat mengerti faktor-faktor yang mendorong risiko. Kajian risiko bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan : (1) bahaya (hazards) apa saja yang mungkin terjadi, (2) bagaimana peluang terjadinya bahaya tersebut, dan (3) jika bahaya terjadi, apa konsekuensi yang harus dihadapi. Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melakukan empat langkah yaitu identifikasi bahaya (hazard identification), karakterisasi bahaya (hazard characterization), kajian pemaparan (exposure assessment), dan karakterisasi risiko (risk characterization) (Badan POM, 2001b). Bagan alir langkah-langkah tersebut terdapat pada Gambar 4.
Penetapan tujuan
Identifikasi bahaya (Hazard identification)
Karakterisasi bahaya (Hazard characterization)
Perkiraan risiko: • Peluang dan keparahan • Ketidakpastian • Keragaman
Kajian paparan (Exposure assessment)
Karakterisasi risiko (Risk characterization)
Gambar 4. Bagan alir kegiatan-kegiatan dalam kajian risiko (Badan POM, 2001c) Identifikasi bahaya (hazard identification) adalah identifikasi bahaya yang terdapat di dalam makanan dan dapat menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan. Sedangkan bahaya (hazard) dapat diartikan sebagai agen-agen biologis, kimia, maupun fisika yang terdapat di dalam pangan dan berpotensi untuk menyebabkan efek buruk bagi kesehatan. Identifikasi bahaya merupakan hasil dari kegiatan studi/survei/surveilan keamanan pangan, diantaranya survei terhadap faktor-faktor risiko pada
31
rantai pangan, mikroba penyebab penyakit akibat pangan atau kejadian luar biasa keracunan pangan, survei epidemiologi, dan survei/studi/surveilan lainnya (Parker dan Tompkin, 2000). 3.
Komunikasi Risiko (Risk Communication) Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko, manajer risiko serta pihak terkait lainnya, seperti pihak pemerintah, konsumen, industri dan akademisi. Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko. Tujuan dari kegiatan komunikasi risiko yaitu : (1) menetapkan dan mempertahankan informasi tentang pengetahuan, sikap dan persepsi semua pihak tentang topik risiko untuk melaksanakan analisis risiko, (2) melakukan review terhadap kebijakan analisis risiko yang diambil, termasuk metode kajian risiko dan standar risiko yang digunakan serta tentang kebijakan atau program manajemen risiko. Dalam melakukan komunikasi risiko diperlukan beberapa strategi, diantaranya : (1) mengkoleksi dan menganalisis informasi tentang risiko keamanan pangan dan persepsi pihak-pihak terkait, (2) mengembangkan dan diseminasi pesan-pesan utama yang ditargetkan pada kelompok-kelompok tertentu, (3) mendorong dan mengajak pihak terkait untuk berdialog tentang risiko, (4) memonitor dan mengevaluasi hasil dari komunikasi risiko.
F. DAMPAK EKONOMI PENYAKIT AKIBAT PANGAN Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tetapi juga menyangkut kepedulian individu. Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan dan merupakan hak asasi setiap individu dalam masyarakat sebagai konsumen. Oleh karena pentingnya keamanan pangan sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional, maka perhatian serius dalam hal tersebut perlu terus ditingkatkan, baik oleh pemerintah, produsen maupun konsumen.
32
Salah satu upaya untuk memonitor keamanan pangan adalah dengan mengetahui kecenderungan penyakit akibat pangan yang ada di masyarakat. Penyakit akibat pangan telah menimbulkan dampak kesehatan bagi masyarakat yang berimplikasi pada masalah sosial maupun kerugian ekonomi. Secara individu, setiap kasus (penderita) penyakit akibat pangan akan mengalami penurunan produktivitas. Selain itu, dampak dari penyakit akibat pangan dapat dihitung pada kerugian yang dialami oleh konsumen (masyarakat), industri pangan maupun pemerintah. Kerugian secara finansial ini dapat dilihat pada kerugian ekonomi dengan adanya kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan yang ada di Indonesia (Tabel 5). Tabel 5. Kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan Industri pangan Rumah tangga Pemerintah Penarikan produk Penutupan pabrik (dan pembersihan) Tuntutan dan liability cost lainnya Penurunan permintaan produk Asuransi Administrasi
Biaya medis Penurunan/kehilangan gaji Kesakitan dan penderitaan Kehilangan ”leisure time” Kehilangan biaya ”child care” Biaya perjalanan
Biaya surveilan Biaya pendidikan Biaya pembersihan Biaya pendidikan konsumen Biaya manajemen risiko (penerapan HACCP dll)
Sumber : Rahayu et al. (2005)
1.
Dampak Ekonomi Penyakit Akibat Pangan di Amerika Serikat Untuk mengatasi penyakit akibat pangan dengan bakteri sebagai etiologic agent-nya, Amerika Serikat mengeluarkan biaya sampai US$23 milyar. Sedangkan khusus untuk kasus salmonellosis diperkirakan menimbulkan dampak ekonomi sebesar US$3.991 juta setiap tahunnya (Sockett dan Roberts, 1991). Total kerugian ekonomi oleh penyakit akibat pangan di Amerika Serikat diperkirakan mencapai US$5.6 milyar sampai US$9.4 milyar (Mei 1995, Chief of Food Safety Branch of the United States Department of Agriculture) – khusus untuk biaya perawatan kesehatan dan kehilangan produktivitas akibat salmonellosis dengan 3.8 juta kasus, kerugian ekonomi mencapai US$0.6-3.5 milyar (Buzby dan Roberts, 1995).
33
2.
Dampak Ekonomi Penyakit Akibat Pangan di Australia dan New Zealand Australia mengalami kerugian ekonomi sebesar
Aus$487 juta
sampai Aus$1900 juta (ANZFA, 1996) atas kejadian luar biasa (KLB) oleh HUS di Australia Selatan disebabkan oleh E. coli O111 yang mengkontaminasi mettwurs (Cameron et al., 1995), dan kerugian ekonomi sebagai dampak penurunan produktivitas kerja mencapai Aus$20 juta per tahun. Sedangkan kerugian ekonomi sebagai dampak penyakit akibat pangan di New Zealand mencapai NZ$100 juta per tahun. 3.
Dampak Ekonomi Penyakit Akibat Pangan di Indonesia Kerugian ekonomi sebagai dampak dari penyakit akibat pangan di Indonesia, belum diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan diantaranya belum adanya data yang menunjukkan jumlah angka kasus penyakit akibat pangan secara jelas di Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan yang terlapor pada Badan POM RI selama tahun 2004, dapat diperkirakan bahwa kerugian negara Indonesia atas kasus penyakit/KLB keracunan pangan yang terjadi adalah sebesar 6.7 trilyun rupiah per tahun (Rahayu et al., 2005).
34
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari enam tahap yaitu : (1) identifikasi masalah sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di indonesia, (2) pengumpulan data kasus penyakit akibat pangan di indonesia, (3) analisis data kasus penyakit akibat pangan, (4) identifikasi kebutuhan dalam pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan, (5) penyusunan mekanisme dan formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan, (6) evaluasi mekanisme dan formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. 1. Identifikasi Masalah Tahap
pengidentifikasian
masalah
meliputi
studi
banding
(benchmarking) dengan cara studi pustaka (melalui browsing internet) tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO (World Health Organization) dan negara lain dengan sistem surveilan dan notifikasi kasus penyakit akibat pangan yang lebih baik, seperti : Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris (Sparringa, personal communication. 2005). Penelusuran mengenai sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan melalui internet dilakukan dengan membuka situs-situs resmi. Selanjutnya dilakukan pengumpulan informasi faktual tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia pada informan ahli (expert informan) dengan metode wawancara (personal communication). Berdasarkan kedua kegiatan diatas (studi pustaka dan pengumpulan informasi faktual) dilakukan pengidentifikasian kelemahan atau kekurangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia.
35
Mulai
Studi pustaka : surveilan dan sistem notifikasi penyakit akibat pangan menurut WHO dan negara-negara maju
Pengumpulan informasi sistem pelaporan dan data kasus penyakit akibat pangan (data sekunder) pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL, Depkes RI
Analisis sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia Analisis kesenjangan (gap analysis) sistem pelaporan
Pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus penyakit akibat pangan
Perbaikan dan pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan
Tools (formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan)
Evaluasi
Selesai Gambar 5. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
36
2. Pengumpulan Data Kasus Penyakit Akibat Pangan di Indonesia Berdasarkan
Keputusan
1116/Menkes/SK/VIII/2003
tentang
Menteri Pedoman
Kesehatan
RI
Nomor:
Penyelenggaraan
Sistem
Surveilan Epidemiologi Kesehatan dan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
RI
Nomor:
1479/Menkes/SK/X/2003
tentang
Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilan Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu, di Indonesia terdapat beberapa jenis penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan (notifiable foodborne disease). Definisi kasus penyakit-penyakit yang wajib dilaporkan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Definisi kasus penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di Indonesia Jenis/gejala Definisi kasus penyakit akibat pangan Kolera Penderita diare klinis dengan pemeriksaan laboratorium pada tinja dan/atau muntahan menunjukkan adanya kuman kolera (Vibrio cholerae) Diare klinis
Buang air besar lembek atau cair dengan frekuensi lebih dari biasanya
Diare berdarah
Diare klinis yang disertai darah sebagai bercak coklat atau merah. Apabila dilakukan pemeriksaan tinja ditemukan sel darah merah
Tifus perut klinis
Demam tinggi terus menerus selama 7 (tujuh) hari atau lebih, permukaan lidah kotor dan pinggirnya merah (typhoid tounge) dapat disertai sembelit (obstipasi), diare, dan kesadaran menurun
Tifus perut widal/kultur
Demam tinggi terus menerus yang pada pemeriksaan laboratorium darah, air seni, tinja atau sumsum tulang menunjukkan kuman Salmonella typhi atau pada serum darah terdapat kenaikan kadar zat antinya
(+)
Sumber : Departemen Kesehatan RI (2004)
a. Data kasus penyakit akibat pangan bersumber pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Data kasus penyakit akibat pangan yang dikumpulkan merupakan data sekunder dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Data sekunder
37
adalah data yang sudah tersedia, dimana seorang peneliti atau organisasi hanya perlu mencari tempat (pihak lain) untuk mendapatkannya dalam bentuk jadi atau publikasi (Simamora, 2002; Sparringa, 2005). Data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul meliputi : (1) kolera, (2) demam tifoid dan paratifoid, (3) sigelosis, (4) diare dan gastroenteritis, (5) amubiasis, (6) penyakit infeksi usus lainnya, serta (7) hepatitis A. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase rumah sakit yang melaporkan data kasus penyakit akibat pangan ke Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dengan perhitungan sebagai berikut : RS yang melaporkan data kasus penyakit akibat pangan % RS yang melapor =
x 100% Jumlah RS di Indonesia
Keterangan : RS = rumah sakit b. Data kasus penyakit akibat pangan bersumber pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL) Data kasus penyakit akibat pangan yang dikumpulkan juga merupakan data kasus yang bersumber pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPPL). Data kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen PPPL merupakan data kasus penyakit akibat pangan yang berasal dari puskesmas maupun data kasus pada rumah sakit. Data kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada direktorat tersebut meliputi : (1) kolera, (2) tifoid, dan (3) diare. 3. Analisis Data Kasus Penyakit Akibat Pangan Data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul, dianalisis berdasarkan empat parameter yaitu (1) subjek, (2) waktu, (3) tempat, serta (4) analisis berdasarkan angka insiden (incident rate), angka kefatalan suatu kasus (case fatality rate), dan angka kunjungan (admission rate). a. Analisis berdasarkan subjek Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan subjek merupakan data kasus dari Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL. Maksud analisis berdasarkan subjek disini adalah data kasus
38
penyakit akibat pangan dianalisis menurut jenis kelamin dan golongan umur kasus untuk setiap jenis penyakit akibat pangan. Kasus penyakit akibat pangan bersumber dari Ditjen Pelayanan Medik yang dianalisis berdasarkan jenis kelamin, meliputi : (1) kolera, (2) demam tifoid dan paratifoid, (3) sigelosis, (4) diare dan gastroenteritis, (5) amubiasis, (6) penyakit infeksi usus lainnya, (7) hepatitis A, selama periode 1998 sampai 2003. Distribusi data kasus berdasarkan jenis kelamin untuk ketujuh jenis penyakit akibat pangan tersebut dapat dilihat pada lembar lampiran yaitu kasus kolera (Lampiran 2), demam tifoid dan paratifoid (Lampiran 3), sigelosis (Lampiran 4), diare dan gastroenteritis (Lampiran 5), amubiasis (Lampiran 6), penyakit infeksi usus lainnya (Lampiran 7), serta hepatitis A (Lampiran 8). Kasus penyakit akibat pangan bersumber dari Ditjen PPPL yang dianalisis berdasarkan golongan umur, meliputi : (1) kolera, (2) tifoid, dan (3) diare, selama periode 2001 sampai 2004, serta (4) hepatitis A dan (5) disentri selama periode 2001 sampai 2003. b. Analisis berdasarkan waktu Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan parameter waktu merupakan data kasus dari Ditjen PPPL. Maksud analisis berdasarkan waktu adalah analisis data kasus menurut bulan terjadinya kasus. Kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis meliputi : (1) disentri dan (2) hepatitis A selama periode 2001-2003; (3) diare, (4) kolera, serta (5) tifoid selama periode 2001-2004. c. Analisis berdasarkan tempat Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan tempat meliputi : (1) kolera, (2) tifoid dan (3) diare selama periode 20002003, yang bersumber dari Ditjen PPPL. Data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul, dianalisis menurut propinsi terjadinya kasus. Data kasus ketiga jenis penyakit akibat pangan tersebut berdasarkan penyebarannya per propinsi dapat dilihat pada lembar lampiran, yaitu masing-masing untuk kasus kolera (Lampiran 9), tifoid (Lampiran 10) dan diare (Lampiran 11).
39
Analisis data kasus penyakit akibat pangan berdasarkan ketiga parameter tersebut diatas dilakukan untuk melihat kecenderungan (trend) maupun tingkat risiko populasi penduduk dalam suatu wilayah geografis yang rentan terhadap jenis penyakit akibat pangan tertentu. d. Analisis berdasarkan nilai IR (Incident Rate), CFR (Case Fatality Rate) dan AR (Admission Rate) Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan nilai IR, CFR, dan AR adalah data kasus yang bersumber dari Ditjen Pelayanan Medik. Sedangkan data kasus penyakit akibat pangan dari Ditjen PPPL tidak dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan ketiga parameter ini karena data yang tersedia dari sumber tersebut hanya menunjukkan jumlah kasus yang terjadi. Sedangkan informasi lain, seperti jumlah kematian kasus dan jumlah kunjungan kasus tidak tersedia. Nilai Incident Rate (IR), dan Case Fatality Rate (CFR) ditentukan dengan metode yang digunakan oleh Imari (2004), sedangkan Admission Rate (AR) ditentukan berdasarkan definisi dari Departemen Kesehatan (2003). Nilai IR, CFR dan AR data kasus penyakit akibat pangan dihitung dengan rumus sebagai berikut : IR
= Jumlah kasus per 100 000 penduduk
Jumlah korban meninggal CFR =
x 100% Jumlah korban
Jumlah kunjungan kasus baru dan kasus lama (rawat jalan) AR = Jumlah kasus baru (rawat jalan)
4. Identifikasi Kebutuhan dalam Pengembangan Sistem Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan didasarkan pada mekanisme pelaporan kasus penyakit yang ada di Indonesia. Mekanisme tersebut merupakan hasil penyesuaian terhadap mekanisme sebelumnya yang terdapat pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik
40
Indonesia
Nomor:
1116/MENKES/SK/VIII/2003
tentang
Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu maupun Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1410/MENKES/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) Revisi Kelima. Selanjutnya dilakukan identifikasi kebutuhan dan pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan, beserta formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan 5. Penyusunan Mekanisme dan Formulir Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan Pengembangan dan perbaikan sistem dalam penelitian ini mencakup dua hal yaitu penyusunan mekanisme dan formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan. Penyusunan ini diawali dengan merumuskan isi formulir. Isi dari setiap formulir diidentifikasi berdasarkan lima pertanyaan yang sangat mendasar sesuai dengan metode surveilan epidemiologi penyakit akibat pangan, yaitu : (1) apa (what), (2) siapa (who), (3) mengapa (why), (4) kapan (when), (5) dimana (where), dan (6) bagaimana (how). Keenam kata tanya tersebut
diinterpretasikan
menjadi
garis-garis
besar
(outline)
dalam
mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia yang mencakup mekanisme maupun format pelaporannya. Hal tersebut di atas dilakukan dengan cara melakukan diskusi dan studi pustaka mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sistem pelaporan (notification) kasus penyakit akibat pangan. Diskusi dilakukan dengan sebuah tim (team work) dari Badan POM RI maupun Departemen Kesehatan. Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada pada Departemen Kesehatan RI, sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di negara-negara maju sebagai studi banding dan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO sebagai acuan utama.
41
6. Evaluasi Mekanisme dan formulir yang telah disusun, selanjutnya dievaluasi. Evaluasi dilakukan oleh sebuah tim dari Badan POM RI.
B. TEMPAT DAN WAKTU Kegiatan magang penelitian ini dilakukan pada Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Kegiatan ini dilakukan selama empat bulan yaitu 1 Februari 2005 sampai 31 Mei 2005.
42
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI KELEMAHAN DALAM INTERPRETASI DATA KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA Tahap awal identifikasi masalah dilaksanakan dengan melihat performa data
kasus
penyakit
akibat
pangan
yang
terkumpul,
dianalisis
dan
diinterpretasikan. Performa data tersebut dapat menggambarkan keadaan sistem pelaporan yang ada di Indonesia. Data kasus penyakit akibat pangan dalam penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, sehingga interpretasi data yang ada tidak dapat menggambarkan profil penyakit akibat pangan dalam masyarakat Indonesia secara utuh. Beberapa kelemahan dalam interpretasi data yang terkumpul tersebut diantaranya: (1) Beberapa kasus penyakit akibat pangan tidak terdefinisi secara jelas; (2) Cakupan jenis penyakit yang termasuk dalam penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia kurang jelas; (3) Representasi data belum mencerminkan kecenderungan penyebaran penyakit akibat pangan pada keseluruhan populasi penduduk di Indonesia; (4) Kontradiksi data antara kasus berbasis rumah sakit dan puskesmas pada Ditjen PPPL dan data kasus berbasis rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik; (5) Pelaporan kasus dari rumah sakit/puskesmas kepada unit surveilan kabupaten/kota dan seterusnya kepada unit surveilan diatasnya kurang konsisten, baik dalam ketepatan waktu maupun kelengkapan laporan; (6) Pembagian range golongan umur kasus dalam sistem pelaporan yaitu pada golongan umur 15-44 tahun, kurang menjelaskan status kasus apakah termasuk golongan remaja atau dewasa; (7) Pelaporan kasus dugaan dan kasus terkonfirmasi yang tidak jelas. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengatasi kekurangan sistem pelaporan yang sudah ada, sehingga data kasus penyakit akibat pangan yang representatif dapat digunakan sebagai landasan ilmiah bagi penentu kebijakan. Interpretasi data kasus penyakit akibat pangan berdasarkan dua sumber data yaitu Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan komponen pelaporan data kasus penyakit akibat pangan yang ada pada masing-masing instansi tersebut Komponen data tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
43
Tabel 7. Ketersediaan komponen pelaporan data kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL Komponen Data Ditjen Ditjen Pelayanan Medik PPPL 1. Golongan umur x √ 2. Jenis kelamin √ x 3. Penyakit √a) √b) 4. Definisi kasus x √ 5. Waktu kejadian/pelaporan x √ 6. Karakteristik tempat/propinsi x √ 7. Data kasus meninggal (CFR) √ x 8. Diagnosis penyakit kasus S/C S/C 9. Sumber data kasus rumah sakit rumah sakit, puskesmas Sumber : Data diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2005) Keterangan : S/C = Data kasus yang terkumpul tidak dapat dibedakan antara kasus dugaan (suspected case) atau kasus terkonfirmasi (confirmed case) x = Tidak tersedia data √ = Data tersedia a) kolera, demam tifoid dan paratifoid, sigelosis, amubiasis, hepatitis A, diare dan gastroenteritis, penyakit infeksi usus lainnya b) kolera, tifoid, hepatitis A, disentri, diare
Dalam interpretasi data kasus penyakit akibat pangan ini digunakan beberapa asumsi, yaitu : (1) Data penduduk selama setahun (dalam periode bulanan) bersifat tetap; (2) Interpretasi data kasus berdasarkan karakteristik jenis kelamin, angka CFR, IR dan AR dalam penelitian ini tidak menggambarkan keadaan sebenarnya di Indonesia karena analisis hanya berdasarkan data kasus pada rumah sakit yang terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik.
B. PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA 1. Pelaporan Data Kasus Penyakit Akibat Pangan pada Rumah Sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1410/MENKES/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) Revisi Kelima, setiap rumah sakit di Indonesia wajib melaporkan data kasus penyakit yang ada, pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Termasuk di dalamnya kasus penyakit akibat pangan. Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
44
Surveilans Epidemiologi Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor:
1479/MENKES/SK/X/2003
tentang
Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu, setiap puskesmas maupun rumah sakit yang ada di Indonesia wajib melaporkan data kasus penyakit (termasuk kasus penyakit akibat pangan) pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
(PPPL)
melalui
Dinas
Kesehatan
tingkat
kabupaten/kota dan propinsi. Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik merupakan kasus penyakit berdasarkan panduan dari ICD X (International Classification of Disease) WHO. Jenis-jenis penyakit akibat pangan menurut ICD X WHO dapat dilihat pada Lampiran 12. Sedangkan kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen PPPL adalah kasus penyakit yang secara epidemiologi cenderung terjadi di Indonesia. Pelaporan tersebut wajib dilakukan sebagai upaya pengawasan (monitoring) dan sistem kewaspadaan dini (early warning system) akan adanya kejadian luar biasa (KLB). Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL Kasus penyakit akibat pangan Kasus penyakit akibat pangan Ditjen Pelayanan Medik Ditjen PPPL Jenis kasus : Jenis kasus : 1. diare 1. kolera 2. kolera 2. demam tifoid dan paratifoid 3. tifoid 3. sigelosis 4. disentri 4. diare dan gastroenteritis 5. hepatitis A 5. amubiasis 6. penyakit infeksi usus lainnya 7. hepatitis A Sumber : Rumah sakit di Indonesia, mencakup : rumah sakit swasta, rumah sakit dibawah Departemen Kesehatan dan Pemerintah daerah (Depkes-Pemda), rumah sakit TNI POLRI maupun rumah sakit dibawah Departemen lain.
Sumber : Data kasus pada rumah sakit dan puskesmas yang terlapor di Dinas Kesehatan tingkat propinsi di Indonesia.
Sumber : Data diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2005)
45
2. Persentase Rumah Sakit yang Melaporkan Kasus Penyakit Akibat Pangan ke Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Data kasus penyakit akibat pangan pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data nasional dari tahun 1998-2003, dimana data tersebut bersumber dari laporan kasus penyakit akibat pangan pada rumah sakit di seluruh Indonesia. Rumah sakit tersebut mencakup rumah sakit swasta, rumah sakit Departemen Kesehatan dan Pemerintah Daerah (Depkes Pemda), rumah sakit TNI POLRI, serta rumah sakit departemen lainnya. Meskipun pelaporan wajib dilakukan, namun secara faktual tidak semua rumah sakit melakukan pelaporan tersebut. Hal ini disebabkan banyak kendala, diantaranya letak geografis rumah sakit di daerah yang jauh dan sosialisasi sistem pelaporan data kasus penyakit yang masih rendah (Nur Khoirimah, personal communication, Juni 2005). Tabel 9 menunjukkan persentase rumah sakit yang melakukan pelaporan data kasus penyakit, termasuk kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen Pelayanan Medik selama tahun 2003 dan 2004. Tabel 9. Pelaporan data kasus oleh rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik Tahun Jenis Jumlah Rumah sakit Persentase rumah sakit rumah yang melapor pelaporan (%) a b a b sakit 2003
swasta
622
311
209
50,0
33,6
Depkes-Pemda
424
173
169
40,8
39,9
1046
484
378
46,3
36,1
swasta
618
229
217
37,1
35,1
Depkes-Pemda
431
194
187
45,0
43,4
TNI POLRI
112
19
17
17,0
15,2
Departemen lain
78
24
21
30,8
26,9
1239
466
442
37,6
35,7
Jumlah
2004
Jumlah
Sumber : Data diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2005) Keterangan : a = rawat inap; b = rawat jalan
46
Berdasarkan Tabel 9, kelengkapan pelaporan kasus penyakit di rumah sakit, termasuk kasus penyakit akibat pangan pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik selama tahun 2004, baik untuk pelaporan kasus dengan rawat inap maupun rawat jalan kurang dari 40%. 3. Persentase Rumah Sakit dan Puskesmas yang Melaporkan Kasus Penyakit Akibat Pangan ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kasus penyakit akibat pangan yang terdapat pada rumah sakit maupun puskesmas wajib dilaporkan pada Dinas Kesehatan kabupaten dan Dinas Kesehatan Propinsi sebagai tembusan. Selanjutnya setiap Dinas Kesehatan propinsi wajib melaporkan data kasus penyakit yang terkumpul dari rumah sakit dan puskesmas tersebut pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL). Berbeda dengan pelaporan data kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen Pelayanan Medik yang berasal dari laporan langsung rumah sakit, data kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen PPPL bersumber dari Dinas Kesehatan tingkat propinsi di seluruh Indonesia, bukan merupakan data laporan langsung dari puskesmas ataupun rumah sakit yang ada di Indonesia. Pada pelaporan data kasus penyakit akibat pangan dari Ditjen PPPL tidak dilakukan perhitungan persentase Dinas Kesehatan yang melapor, akan tetapi data persentase pelaporan merupakan data sekunder yang telah terolah (direkapitulasi) dan dibukukan (dipublikasikan) dari Ditjen PPPL. Data persentase pelaporan tersebut menunjukkan kelengkapan pelaporan rumah sakit dan puskesmas pada setiap Dinas Kesehatan tingkat propinsi dan terlaporkan pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Lampiran 1). Berdasarkan Lampiran 1, persentase pelaporan data kasus bersumber dari puskesmas sebesar 12.3% (870 dari 7071 puskesmas) pada tahun 2001, 13% (919 puskesmas) pada tahun 2002 dan 38.9% (2751 puskesmas) untuk tahun 2003. Sedangkan persentase pelaporan data kasus bersumber dari rumah sakit lebih rendah dari pada pelaporan oleh puskesmas yaitu sebesar 10.5% (118 dari 1128 rumah sakit) pada tahun 2001, 7.6% (86 rumah sakit) pada tahun 2002 dan 24.7% (279 rumah sakit) selama tahun 2003. Perhitungan
47
persentase tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa selama tahun 2001-2003 tersebut tidak terjadi perubahan jumlah rumah sakit dan puskesmas di Indonesia. Artinya, secara umum terjadi peningkatan persentase kelengkapan pelaporan oleh Dinas Kesehatan pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL). Berdasarkan Lampiran 1 tersebut, empat Dinas Kesehatan tingkat propinsi di Indonesia yang secara rutin melakukan pelaporan dengan persentase kelengkapan pelaporan yang relatif tinggi yaitu Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Riau dan Lampung. Pelaporan data kasus penyakit akibat pangan oleh Dinas Kesehatan Propinsi ke tingkat pusat pada Ditjen PPPL tidak konsisten. Maksudnya pada periode tahun tertentu persentase pelaporan untuk setiap daerah tinggi, akan tetapi pada periode tertentu nol (tidak ada pelaporan). C. KECENDERUNGAN
KASUS
PENYAKIT
AKIBAT
PANGAN
DI
INDONESIA 1. Kasus Kolera Kasus kolera di Indonesia cenderung terjadi pada golongan umur 1-4 tahun (Gambar 6), dengan perbandingan kasus wanita dan pria yang tidak signifikan yaitu 1.1:1 dan kisaran antara 0.9:1 sampai 1.5:1 (berdasarkan data pada Lampiran 2). Studi epidemiologi oleh Faruque et al. (1998) menunjukkan bahwa di daerah endemik, infeksi kolera dominan terjadi pada populasi dengan golongan umur 1-5 tahun. Berdasarkan definisi klinis kasus kolera dari WHO, pada daerah bukan endemik, kolera potensial terjadi pada golongan umur 5 tahun atau lebih. Selain itu, ditemukan juga kasus kolera pada umur 2-4 tahun. Kasus kolera pada golongan umur ini dapat mengurangi spesifitas pelaporan kasus kolera karena sebagian besar kasus diare berair banyak terjadi pada golongan umur 2-4 tahun. Oleh karena itu, WHO (1999) merekomendasikan
panduan
standar
surveilan
(WHO
recommended
surveillance standards second edition) bahwa definisi kasus kolera secara klinis yaitu: (1) Pada daerah dimana penyakit kolera jarang ditemukan, dehidrasi akut atau kematian akibat diare berair secara akut pada pasien berumur 5 tahun atau lebih; (2) Pada daerah epidemik kolera, diare berair akut
48
dengan atau tanpa disertai muntah pada pasien berumur 5 tahun atau lebih, sedangkan pada kasus diare berair dengan umur kurang dari 5 tahun, kasus kolera bersifat dugaan pada semua pasien. 0,18
0,15
0,16
0,14
Incident Rate (IR)
0,12
0,11
0,10
0,09 0,08
0,08
0,08
0,06
0,05 0,04
0,03
0,03
0,02 0
-
0
0
< 1 thn
0
0
1 - 4 thn
0
0
5 - 14 thn
0,00
0
0
15- 44 thn
0,00
0
>45 thn
Golongan Umur 2001
2002
2003
2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 6. Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur Kasus kolera yang ada di rumah sakit selama tahun 1998-2003, ratarata 26.8% diantaranya harus menjalani rawat inap, dengan kisaran antara 11.6% pada tahun 1999 sampai 52.6% pada tahun 2001. Data kasus kolera rawat inap dan rawat jalan pada rumah sakit dapat dilihat pada Lampiran 2. 0,40
0,35
Incident Rate (IR)
0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00 ri ua Jan
ari bru Fe
ret Ma
ril Ap
i Me
i Jun
i Jul
us ust Ag
Bulan 2001
2002
2003
er mb pte Se
er tob Ok
er mb ve No
r be sem De
2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 7. Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu 49
Berdasarkan Gambar 7, selama bulan Juli 2001 terjadi kecenderungan peningkatan kasus kolera. Sedangkan pada 2003 kasus kolera meningkat pada bulan Februari. Pada bulan tersebut kecenderungan yang ada di Indonesia adalah musim kemarau. V. cholerae ditransmisikan melalui rute fekal-oral dan dapat menyebar terutama melalui air dan pangan yang terkontaminasi. Investigasi dengan case-control oleh Estrada-Garcia dan Mintz (1996) tentang penyebaran kolera secara epidemik menunjukkan bahwa pada daerah/area tertentu, pangan merupakan media transmisi yang lebih penting dari pada air. Kontaminasi pangan tersebut dimungkinkan terjadi pada kondisi lingkungan yang buruk, dimana sumber air yang digunakan dalam proses pencucian bahan pangan terkontaminasi oleh feses manusia (Cary et al., 2000). Pada musim kemarau, ketersediaan air bersih sangat terbatas. Kondisi inilah yang mungkin menyebabkan masyarakat Indonesia, terutama pada golongan ekonomi rendah (miskin) mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Studi epidemiologis di Bangladesh selama 35 tahun, menunjukkan bahwa angka insiden kasus kolera meningkat selama bulan September sampai Desember (Faruque et al., 1998). Selama periode waktu tersebut di Bangladesh cenderung bermusim dingin disertai hujan (Anonimb, 2005). Sedangkan pada bulan-bulan tersebut, di Indonesia tidak ada laporan data kasus kolera pada Ditjen PPPL. Gambar 8 menunjukkan bahwa selama kurun waktu empat tahun (2000-2003), angka insiden kasus kolera sangat tinggi terjadi pada tahun 2000 di propinsi Nusa Tenggara Timur dibanding propinsi lainnya yaitu 350 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan pada propinsi lain kurang dari 50 kasus per 100.000 penduduk. Sistem pelaporan dan surveilan yang ada saat ini belum mencantumkan status diagnosis maupun informasi lain yang mendukung penginvestigasian, sehingga tidak dapat ditelusuri faktor-faktor penyebab terjadinya peningkatan kasus kolera pada propinsi tersebut. Menurut Faruque et al. (1998), Pulau Sulawesi merupakan daerah pandemik penyakit ini. Akan tetapi Gambar 8 menunjukkan angka insiden kasus kolera pada propinsipropinsi di Pulau Sulawesi sangat rendah. Oleh karena itu, perlu adanya investigasi lebih lanjut untuk menjawab kontradiksi kedua informasi tersebut.
50
0
2000 2001 2002
Papua
Maluku Utara
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Propinsi
Nusa Tenggara Barat
Bali
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Lampung
Bangka Belitung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Incident Rate (IR) 400
350
300
250
200
150
100
50
2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2000-2003)
Gambar 8. Incident rate kasus kolera berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia 51
2. Kasus Tifoid dan Paratifoid Tifoid dan paratifoid masih menjadi masalah utama di beberapa negara berkembang, termasuk di Indonesia. Pada umumnya menyebar melalui air dan pangan yang terkontaminasi pada area endemik (Pang et al., 1995; WHO, 1998). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Salmonella serovar Typhi dan Paratyphi a atau b (Cary et al., 2000). 16
14,52 14
12,65
12,45
12
Incident Rate (IR)
10,68 10
8,40 8
6,80
6,53 6
5,37
4
7,32
5,82
3,71
3,28 3,12
2,99
2,34 2
0,58
0,28
0,85 0,78
1,31
< 1 thn
1 - 4 thn
5 - 14 thn
15- 44 thn
>45 thn
Golongan Umur 2001
2002
2003
2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 9. Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur Kasus tifoid di Indonesia dominan terjadi pada golongan umur 15-44 tahun (Gambar 9), perbandingan kasus pria dan wanita yaitu 1:1, dengan kisaran antara 0.9:1 sampai 1.3:1 (Lampiran 3). Menurut Cary et al. (2000), infeksi Salmonella berisiko tinggi terhadap bayi yang baru lahir, balita, lanjut usia, dan individu immunocompromised. Penyakit tifoid dapat terjadi pada semua golongan umur, tetapi pada daerah endemik dengan attack rate yang tinggi, paling potensial terjadi pada populasi golongan umur antara 3-19 tahun (WHO, 2005; Singh, 2001). Dari seluruh kasus tifoid dan paratifoid selama tahun 1998-2003 yang terlapor pada rumah sakit, 52.4% diantaranya menjalani rawat inap, dengan kisaran antara 45.5% pada tahun 2003 sampai 65.9% pada tahun 2002. Data kasus tifoid dan paratifoid berdasarkan jenis kelamin dan perawatan dapat dilihat pada Lampiran 3.
52
Gambar 10 menunjukkan bahwa pada triwulan pertama yaitu Januari sampai Maret terjadi kecenderungan peningkatan kasus tifoid. Selama bulan tersebut di Indonesia cenderung bermusim penghujan. Menurut WHO (2005), secara alami manusia merupakan host bagi penyebaran penyakit tifoid. Infeksi ini ditransmisikan melalui makanan atau air yang terkontaminasi bakteri fekal, Salmonella typhi. 9 8 7
Incident Rate (IR)
6 5 4 3 2 1 i uar J an
br Fe
i uar
ret Ma
ril Ap
i Jun
i Me
i Jul
Bulan 2001
2002
2003
us ust Ag
pt Se
ber em
er tob Ok
ber vem No
ber sem De
2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 10. Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu Kasus tifoid berdasarkan Gambar 11 di bawah, selama tahun 2000 sampai 2002 paling besar terjadi di propinsi Kalimantan Tengah dan angka insiden terbesar kedua selama tahun 2000 adalah propinsi Kalimantan Barat. Angka insiden pada kedua propinsi tersebut pada tahun 2000 mencapai 800 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan angka insiden pada propinsi lain selama tahun 2000 sampai 2003 kurang dari 400 kasus per 100.000 penduduk. Hal tersebut sangat kontradiksi dengan persentase kelengkapan pelaporan kasus oleh kedua propinsi tersebut yang sangat kecil yaitu 0% (data laporan pada Ditjen PPPL). Oleh karena itu, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk menjawab kontradiksi tersebut. Seperti juga pada kasus-kasus penyakit akibat pangan sebelumnya, interpretasi data kasus yang tersaji pada Gambar 11 tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya di Indonesia.
53
0
2000 2001 2002
Papua
Maluku Utara
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Propinsi
Nusa Tenggara Barat
Bali
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Lampung
Bangka Belitung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Incident Rate (IR) 1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2000-2003)
Gambar 11. Incident rate kasus tifoid berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia 54
3. Kasus Sigelosis Sigelosis merupakan penyakit kemiskinan yang biasa menginfeksi anak-anak di negara-negara berkembang (Cary et al., 2000). Penyakit sigelosis merupakan penyakit akibat pangan yang disebabkan oleh infeksi bakteri Shigella sp. Pada umumnya S. flexneri dan S. dysenteriae tipe 1 merupakan agen penyebab kasus di negara-negara berkembang. Infeksi Shigella terlokalisasi pada usus, dengan karakteristiknya ditandai demam, kram perut yang parah serta diare dengan darah dan lendir (Cary et al., 2000). Kasus sigelosis di Indonesia dengan jenis kelamin pria dan wanita mempunyai perbandingan 1.1:1 (berdasarkan data pada Lampiran 4). Sedangkan kasus sigelosis di Amerika Serikat didominasi kasus dengan jenis kelamin wanita, tanpa menjelaskan perbandingannya secara spesifik (MMWR, 1990). Selama dua tahun tersebut, rata-rata 57.3% kasus sigelosis di rumah sakit harus menjalani rawat inap. Menurut Stoll et al. (1982), di Bangladesh 66% dan 16% kasus sigelosis dengan S. flexneri dan S. dysenteriae 1 sebagai agen penyebabnya harus menjalani rawat inap. Data kasus sigelosis berdasarkan jenis kelamin kasus dan jenis perawatannya (rawat inap dan rawat jalan) dapat dilihat pada Lampiran 4. 4. Kasus Diare dan Gastroenteritis Diare merupakan salah satu sindrom (syndrome) penyakit akibat pangan yang dapat disebabkan oleh berbagai agen penyebab, seperti: B. cereus, S. aureus, C. perfringens, Salmonella sp., Campylobacter sp., hepatitis A dan beberapa agen penyebab penyakit akibat pangan lainnya. Sebesar 1.3 milyar
kasus
non-typhoid
di
dunia
disertai
gejala
atau
sindrom
diare/gastroenteristis akut yang menyebabkan 3 juta kematian (Pang et al., 1995). Di Inggris dan Wales, sebagian besar kasus salmonellosis non-typhoid disebabkan oleh S. enterica serovar Typhimurium DT104, yaitu dua kali lipat dibanding serovar yang lain. Pada negara-negara di Asia, seperti Jepang, salmonellosis non-typhoid diduga sebagai akibat dari peningkatan konsumsi telur dan produk-produk telur (WHO, 1997).
55
160
142,36 140
132,80
120
111,74
Incident Rate (IR)
106,30
106,19
103,25
100
92,45
90,19
85,42
83,59
80,75
74,99
80
69,08
64,33
59,65
60
40
33,97
31,90
27,18 19,35
20
17,17
< 1 thn
1 - 4 thn
5 - 14 thn
15- 44 thn
>45 thn
Golongan Umur 2001
2002
2003
2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 12. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur Kasus diare di Indonesia sebagian besar terjadi pada golongan umur 14 tahun (Gambar 12). Perbandingan kasus diare dan gastroenteritis berjenis kelamin pria dan wanita adalah 1.1:1, dengan kisaran antara 0.8:1 sampai 1.1:1. Kasus diare dan gastroenteritis di rumah sakit, 31.3% diantaranya harus menjalani rawat inap, dengan kisaran antara 0.9% pada tahun 2002 sampai 42.3% pada tahun 2000 (berdasarkan data pada Lampiran 5). 90 80 70
Incident Rate (IR)
60 50 40 30 20 10 i uar J an
ri rua Feb
re Ma
t
ril Ap
Me
i
i Jun
i Jul
us ust Ag
Bulan 2001
2002
2003
pt Se
ber em
er tob Ok
vem No
ber
se De
er mb
2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 13. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu 56
0
2000 2001 2002
Papua
Maluku Utara
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Lampung
Bangka Belitung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Incident Rate (IR) 10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
Propinsi
2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 14. Incident rate kasus diare berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia 57
Kasus diare di Indonesia cenderung meningkat selama bulan Januari sampai Maret (Gambar 13), tetapi angka insiden juga tinggi pada bulan Mei, Juni dan Juli. Berdasarkan informasi BMG, selama ini hitungan musim kemarau dimulai bulan April dan berakhir September. Sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan Oktober – Maret. Tetapi dalam 30 tahun terakhir terjadi perubahan musim. Sebagian wilayah di Indonesia diperkirakan mulai memasuki musim kemarau pada bulan April, sedangkan wilayah lain akan memasuki kemarau bulan Mei, Juni, dan Juli. Jadi dapat disimpulkan bahwa angka insiden kasus diare meningkat selama musim penghujan dan masa pergantian ke musim kemarau. Berdasarkan Gambar 14 di atas, angka insiden kasus diare paling besar selama tahun 2000 di Indonesia terjadi di tiga propinsi yaitu Sulawesi Tenggara, Jawa Barat dan Kalimantan Tengah. Wilayah/propinsi tersebut mempunyai angka insiden yang relatif lebih tinggi dibandingkan propinsi lain. 5. Kasus Amubiasis Kasus penyakit amubiasis dari tahun 1998-2003 berjenis kelamin pria dan wanita rata-rata 1:1, dengan kisaran antara 0.8:1 sampai 1.2:1. 33% kasus amubiasis pada rumah sakit selama kurun waktu tersebut harus menjalani rawat inap, dengan kisaran antara 25.1% sampai 42.4%. Data kasus amubiasis berdasarkan jenis kelamin dan perawatan dapat dilihat pada Lampiran 6. Amubiasis, salah satunya merupakan penyakit akibat pangan yang disebabkan oleh infeksi Entamoeba histolytica. Manifestasi secara klinis dari penyakit ini adalah timbulnya gejala disentri (Cary et al., 2000). Penyakit ini sudah tidak umum terjadi di negara maju, tetapi masih menjadi ancaman bagi negaranegara berkembang dengan rendah sanitasi dan miskin air bersih. WHO melaporkan bahwa E. histolytica telah menginfeksi 50 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan 70.000 kematian setiap tahun (WHO, 1995). 6. Kasus Penyakit Infeksi Usus Lain Jenis penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di Indonesia dalam penelitian ini merupakan penyakit akibat pangan yang disebabkan oleh agen mikrobiologis, seperti bakteri patogen, virus, dan protozoa. Penyakit akibat pangan oleh mikrobiologis patogen tersebut dapat menyebabkan infeksi
58
ataupun intoksikasi. Selain kelima jenis penyakit akibat pangan yang terlapor dan telah disebutkan di atas, menurut ICD (International Classification of Disease) X dari WHO (World Health Organization) terdapat jenis penyakit infeksi usus lainnya. Sesuai dengan kode ICD, yang termasuk dalam jenis penyakit ini adalah infeksi Salmonella sp. (ICD A02), infeksi oleh bakteri usus lain (ICD A04), intoksikasi oleh bakteri (ICD A05), penyakit usus oleh protozoa (ICD A07), dan infeksi usus oleh virus (ICD A08). Berbagai jenis penyakit berdasarkan kode ICD secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 12. Perbandingan kasus penyakit infeksi usus pria dan wanita adalah 1.2:1, dengan kisaran antara 1.1:1 sampai 1.4:1. Selama tahun 1998-2003, 34.6% kasus infeksi usus di rumah sakit menjalani rawat inap, dengan kisaran 22.5% pada tahun 2000 sampai 54.3% pada tahun 2003. Data kasus infeksi usus berdasarkan jenis kelamin dan perawatan dapat dilihat pada Lampiran 7. 7. Kasus Hepatitis A Hepatitis A merupakan salah satu penyakit akibat pangan yang disebabkan oleh virus Picornaviridae dan disebarkan melalui rute fekal-oral (WHO, 2005). Kasus hepatitis A di Indonesia didominasi oleh pria dengan perbandingan sebesar 1.4:1, dan kisaran antara 1.3:1 sampai 1.5:1 (Lampiran 8). Kecenderungan ini juga terjadi di beberapa negara yang lain, seperti Hennepin County, USA dengan 81.4% kasus terjadi pada pria selama tahun 1995 (Anonima, 1998). Kasus hepatitis A yang ada di rumah sakit sebagian besar menjalani rawat inap yaitu rata-rata 57.9%, dengan kisaran antara 51.8% sampai 61.9%. Data kasus hepatitis A menurut jenis kelamin dan perawatannya dapat dilihat pada Lampiran 8. Populasi dengan tingkat risiko yang paling tinggi terhadap penyakit hepatitis A di Indonesia adalah pada golongan umur 15 - 44 tahun (Gambar 15). Studi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa, penyakit hepatitis A dominan terjadi pada kasus anak-anak dan remaja (Gay et al., 1994; Hackbarth et al., 1997; WHO, 2005). Interpretasi kasus penyakit hepatitis A di Indonesia berbasis data kasus pada rumah sakit dalam penelitian ini kurang spesifik menjelaskan kasus pada golongan umur 15-44 tahun, apakah termasuk remaja atau dewasa. Hal ini disebabkan kurang jelasnya
59
pembagian range golongan umur dalam sistem pelaporan kasus penyakit yang sudah ada, termasuk kasus penyakit akibat pangan. 1,6
1,38
1,4
Incident Rate (IR)
1,2
1,0
0,84 0,8
0,70
0,65
0,58
0,6
0,36
0,35 0,36
0,4
0,34
0,19
0,2
0,07 0,08
0,02 0,03 0,04 0,0 < 1 thn
1 - 4 thn
5 - 14 thn
15- 44 thn
>45 thn
Golongan Umur 2001
2002
2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
Gambar 15. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur 0,50 0,45 0,40
Incident Rate (IR)
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 i uar J an
br Fe
i uar
Ma
ret
ril Ap
Me
i
i Ju n
i Jul
Bulan 2001
2002
u ust Ag
s pt Se
ber em
er tob Ok
vem No
ber
se De
er mb
2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
Gambar 16. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu
60
Kasus hepatitis A di Indonesia cenderung meningkat selama bulan Januari sampai Maret (Gambar 16), dimana selama bulan tersebut Indonesia mengalami musim penghujan. 8. Kasus Disentri Penyakit disentri dapat disebabkan adanya infeksi oleh Shigella dysenteriae, C. jejuni, entero-invasive E. coli atau Entamoeba histolytica (Cary et al., 2000; WHO, 2005 ). Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa kasus disentri dominan terjadi pada golongan umur 15-44 tahun. Akan tetapi, studi epidemiologi di Bangladesh dan Chile menunjukkan bahwa kasus sigelosis dan disentri mayoritas terjadi pada golongan umur dibawah lima tahun dan lanjut usia (Bennish dan Wojtyniak, 1991; Ferreccio et al., 1991; WHO, 2005). Berdasarkan Gambar 18 terjadi kecenderungan peningkatan kasus disentri pada bulan Desember dan Januari. 50 44,10
45 40
Incident Rate (IR)
35
32,45 29,68
30
28,08
26,71
25 20
18,03 16,29
15
13,88
12,47
10
8,31 5,15
5
6,08
4,90
3,60
1,39 0 < 1 thn
1 - 4 thn
5 - 14 thn
15- 44 thn
>45 thn
Golongan Umur 2001
2002
2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
Gambar 17. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur
61
30
25
Incident Rate (IR)
20
15
10
5
uar Jan
i
ari bru Fe
ret Ma
Ap
ril
i Me
i Jul
i Jun
us ust Ag
Bulan 2001
2002
pte Se
er mb
Ok
er tob
ber vem No
ber sem De
2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
Gambar 18. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu Dari Gambar 10, 13, 16, dan 18 kasus penyakit akibat pangan di Indonesia cenderung meningkat pada musim penghujan. Kecuali kasus kolera, cenderung meningkat pada musim kemarau (Gambar 7). Secara umum, pria dan wanita mempunyai risiko yang sama terhadap penyakit akibat pangan.
D. KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN MENURUT INCIDENT RATE, CASE FATALITY RATE DAN ADMISSION RATE PADA RUMAH SAKIT 1. Incident Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan Nilai incident rate (IR) tertinggi berdasarkan Gambar 26 adalah infeksi usus yang terjadi pada tahun 2000. IR dari tahun 1998-2000, tiga jenis penyakit akibat pangan yaitu kolera, amubiasis dan infeksi usus lain secara umum mengalami peningkatan. Pada Gambar 19 di bawah juga terlihat bahwa kasus hepatitis A selama tahun 1998-2001 cenderung meningkat. Selanjutnya sampai tahun 2003, angka insiden penyakit amubiasis, hepatitis A dan infeksi usus lainnya mengalami penurunan, kecuali pada kasus penyakit kolera mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari rata-rata 2 kasus/100.000 penduduk pada tahun 2001 menjadi lebih dari 8 kasus/100.000 penduduk pada tahun 2003.
62
12 11,22 10,43
10
9,64 8,64
8,32
Incident Rate (IR)
8 7,02 6,53
6 5,36
6,08
5,78
5,39
5,63 4,65
4
3,73
3,73 2,98
3,09
2,68
2,29
2,16
2 1,27 0,85
0,64
0 1997
0
0
0
1998
1999
2000
0,73
0,53 0
2001
2002
0,51
2003
2004
Tahun kolera
sigelosis
amubiasis
infeksi usus
hepatitis A
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Gambar 19. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR < 12 Dibandingkan tifoid dan paratifoid serta diare dan gastroenteritis pada Gambar 20, lima jenis kasus penyakit akibat pangan di atas (amubiasis, sigelosis, kolera, hepatitis A dan infeksi usus lainnya) mempunyai nilai incident rate yang relatif rendah. 300 271,11
250
244,07
208,86
Incident Rate (IR)
200
150
153,54
164,14
159,58
131,19
100
96,81
98,85
63,87
50
0 1997
59,56
48,89
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun tifoid dan paratifoid
diare dan gastroenteritis
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Gambar 20. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR > 45
63
Penyakit tifoid merupakan penyakit akibat pangan utama di negaranegara berkembang dan kini telah menjadi masalah global. Angka insiden kasus tifoid berbasis data rumah sakit di Indonesia dari tahun 1998-2003, ratarata sebesar 83.2 kasus/100.000 penduduk/tahun, dengan kisaran antara 48.89 sampai 131.19 kasus/100.000 penduduk/tahun. Angka insiden kasus tersebut sangat mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan negara maju, misal angka kasus tifoid di Inggris adalah sebesar 1 kasus/100.000 penduduk/tahun. Bahkan nilai tersebut melebihi angka insiden rata-rata di negara berkembang yaitu antara 15 kasus/100.000 penduduk/tahun di Amerika Latin dan 100 kasus/100.000 penduduk/tahun di negara-negara benua Asia (Singh, 2001). Bila dibandingkan dengan kelima jenis penyakit akibat pangan diatas (amubiasis, sigelosis, kolera, hepatitis A dan infeksi usus lain), tifoid serta diare dan gastroenteritis mempunyai IR yang jauh lebih tinggi yaitu lebih dari 50 kasus per 100.000 penduduk. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang serius dari pemerintah, produsen maupun konsumen pangan terhadap risiko penyakit tersebut, tanpa mengesampingkan risiko kelima jenis penyakit akibat pangan yang lainnya seperti tersebut di atas. Namun perlu diperhatikan bahwa kasus diare dan gastroenteritis merupakan sindrom penyakit akibat pangan, belum diketahui jenis penyakit dan agen penyebabnya secara spesifik. 2. Case Fatality Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan Penyakit akibat pangan (foodborne disease) dapat memberikan efek sakit ataupun gejala (symptom) yang beragam, dari gejala yang ringan sampai berat. Beberapa contoh penyakit akibat pangan yang memberikan gejala yang berat adalah kasus penyakit tifoid-paratifoid dan sigelosis. Sebagai contoh gejala kedua penyakit tersebut adalah diare berdarah. Berdasarkan Gambar 21, CFR kasus tifoid dan paratifoid di rumah sakit selama kurun waktu 1998-2003 rata-rata sebesar 1.31%, dengan kisaran antara 0.03% sampai 2.21%. Nilai tersebut dibawah angka rata-rata CFR kasus tifoid di Asia yaitu sebesar 3.31% (Singh, 2001). Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa data tersebut belum mencakup keseluruhan kasus tifoid di Indonesia, hanya mencakup data kasus penyakit akibat pangan pada rumah sakit dan terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik.
64
12
10,20
Case Fatality Rate (CFR)
10
8
7,63
6
4,11
4
3,04 2,72 2,21 1,76
2 1,18 1,08 0,83
0 1997
00,03
1998
0,36 0
1999
1,73 1,63 1,61 1,09 0,92
1,46 0,99 0,90 0,60
1,31 0
0
2000
2001
2002
1,22 0,78 0,68 0,54
2003
2004
Tahun tifoid dan paratifoid
sigelosis
amubiasis
infeksi usus
hepatitis A
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Gambar 21. Case fatality rate (CFR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai CFR < 12
25 23,02
Case Fatality Rate (CFR)
20
15
10,61
10
5
4,98 2,42
2,00
1,55 1,12
1,13
0 1997
1998
1999
2000
2001
1,44 0,59
2002
1,69 0,83
2003
2004
Tahun kolera
diare dan gastroenteritis
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Gambar 22. Case fatality rate (CFR) diare dan gastroenteritis serta kolera di rumah sakit Case fatality rate (CFR) penyakit sigelosis pada tahun 2003 mempunyai nilai yang terbesar. Dari Gambar 21 dapat dilihat bahwa kasus sigelosis selama kurun waktu dua tahun mengalami peningkatan CFR yang
65
signifikan. Gambar 21 juga menunjukkan bahwa pada tahun 1999, penyakit hepatitis A menimbulkan tingkat fatalitas yang paling tinggi yaitu lebih dari 10% dari kasus hepatitis A yang ada meninggal dunia. Gambar 22 menunjukkan bahwa diare dan gastroenteritis serta kolera dari tahun 1998 sampai 2003 rata-rata mempunyai nilai CFR kurang dari 5%, kecuali pada tahun 1999 mencapai lebih dari 10%. Dibandingkan lima kasus penyakit akibat pangan sebelumnya (tifoid dan paratifoid, amubiasis, sigelosis, hepatitis A serta infeksi usus lainnya), penyakit diare dan gastroenteritis serta kolera mempunyai nilai CFR yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang serius dari semua pihak terkait untuk mengurangi angka kematian akibat kedua jenis kasus tersebut. Interpretasi tersebut harus dilakukan secara hati-hati karena data CFR ini hanya didasarkan pada data kematian kasus rawat inap yang ada di rumah sakit. Sedangkan pada data kasus dengan rawat jalan, tidak terlaporkan data kematian kasus akibat foodborne disease. Hal itu, merupakan salah satu kekurangan sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia. 3. Admission Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan Gejala dan efek penyakit akibat pangan dapat ringan sampai berat, dari sakit yang mengharuskan kasus menjalani perawatan secara intensif dengan rawat inap maupun gejala ringan yang dapat diatasi cukup dengan rawat jalan. Pada kasus dengan rawat jalan terdapat istilah ‘kasus baru’, ‘jumlah kunjungan’ serta ‘angka kunjungan’ (admission rate). Kasus baru adalah kasus/pasien yang untuk pertama kali berkunjung ke rumah sakit dengan penyakit akibat pangan tertentu dan tercatat dalam rekam medis (medical record) untuk selama periode waktu tertentu yang ditentukan oleh dokter sesuai diagnosis yang dilakukan dokter (Nur Khoirimah, personal communication, 2005). Untuk selanjutnya, apabila kasus berkunjung dengan penyakit atau gejala yang sama dan pada periode waktu yang sama sesuai ketentuan dokter, maka pasien tersebut disebut sebagai kasus lama. Sedangkan angka kunjungan adalah perbandingan antara jumlah kunjungan (kasus baru dan kasus lama) dengan jumlah kasus baru.
66
3,5
3,01
3,0
Admission Rate (AR)
2,5 2,11
2,0
2,01
1,91 1,73 1,70 1,60
1,71 1,70 1,59
1,5
1,42 1,35 1,24
1,22
1,71
1,34
1,26
1,31 1,21
1,04 1,00
1,0
1,00
1,06 1,05
0,5 0,22
0,0 1997
0 1998
0 1999
0 2000
0 2001
0,04
2002
2003
2004
Tahun kolera
tifoid dan paratifoid
sigelosis
amubiasis
hepatitis A
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Gambar 23. Admission rate (AR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai AR < 3,5 14
12,07
12
Admission Rate (AR)
10
8
6
4
2,23
2
1,20
0 1997
1998
1,94 1,33
1999
1,48
1,55 1,22
1,34 1,26
2000
2001
2002
1,32 1,30
2003
2004
Tahun diare dan gastroenteritis
infeksi usus
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Gambar 24. Admission rate (AR) kasus diare dan gastroenteritis serta infeksi usus di rumah sakit Semakin tinggi nilai admission rate (AR), berarti jumlah kasus yang berkunjung (kasus baru dan kasus lama) ke rumah sakit dengan jenis penyakit tertentu semakin besar. Peningkatan nilai admission rate tersebut lebih
67
ditentukan oleh peningkatan jumlah kasus lama yang berkunjung ke rumah sakit/dokter dengan penyakit tertentu. Gambar 23 menunjukkan bahwa selama tahun 1998-2003 rata-rata setiap kasus penyakit akibat pangan (kolera, tifoid dan paratifoid, sigelosis, amubiasis, serta hepatitis A) berkunjung ke rumah sakit/dokter sebanyak satu sampai dua kali, kecuali pada tahun 2003 kasus hepatitis A mempunyai angka kunjungan sebesar 3 kali. Gambar 24 menunjukkan admission rate dua jenis penyakit akibat pangan tersebut yaitu diare dan gastroenteritis serta infeksi usus lainnya rata-rata mempunyai angka kunjungan relatif (admission rate) sebesar 2 kali selama periode tahun 19982003, kecuali pada tahun 2000 angka kunjungan relatif untuk kasus diare sebesar 12 kali.
E. MANAJEMEN PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN Kasus penyakit, termasuk kasus penyakit akibat pangan yang ada di rumah sakit maupun puskesmas wajib dilaporkan kepada pihak yang berwenang terhadap masalah kesehatan (health authority), dalam hal ini yaitu Dinas Kesehatan tingkat Kabupaten. Selanjutnya Dinas Kesehatan tingkat kabupaten melaporkan kasus ini kepada Dinas Kesehatan tingkat Propinsi. Pelaporan tersebut diteruskan oleh Dinas Kesehatan tingkat propinsi kepada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL) pada tingkat pusat (Nasional). Selain itu, setiap rumah sakit juga wajib melaporkan kasus penyakit akibat pangan baik kasus dengan rawat inap maupun rawat jalan kepada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (tingkat pusat). Masing-masing data pada kedua sumber tersebut diolah oleh kompilator data untuk tujuan masing-masing institusi. Gambar 25 menunjukkan bagan pelaporan kasus pada rumah sakit dan puskesmas. Pelaporan dilakukan selama periode trisemester (tiga bulan) yaitu dengan ketentuan kasus pada bulan Januari-Maret dilaporkan pada bulan Maret dan seterusnya. Berdasarkan
panduan
Ditjen
PPPL,
Departemen
Kesehatan
RI
memberikan feedback atas pelaporan yang ada melalui penyebaran informasi surveilan kasus penyakit. Karena keterbatasan waktu, keadaan (feedback) ini belum diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia.
68
Unit Surveilans Puskesmas
Unit Surveilans Dinas Kesehatan Kab/Kota
Unit Surveilans Rumah Sakit
Pusat Informasi Ditjen Pelayanan Medik, Depkes
Unit Surveilans Dinas Kesehatan Propinsi
Unit Surveilans Ditjen PPPL Depkes
Distribusi data surveilan dari unit surveilan kepada kompilator data Distribusi informasi surveilan dari kompilator data kepada unit surveilan pengirim data
Gambar 25. Distribusi data surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia F. MASALAH POKOK DALAM SISTEM PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN 1. Kendala dalam Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan di Indonesia Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia saat ini belum terintegrasi dengan baik dan sistematis. Kendala yang selama ini dihadapi diantaranya : (1) Belum semua kasus penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan, terlaporkan kepada Departemen Kesehatan RI (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik maupun Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan/PPPL); (2) Format pelaporan yang disampaikan belum lengkap dan seragam; (3) Prosedur/mekanisme pelaporan yang kurang jelas dan sistematis; (4) Petugas kesehatan terkait, terutama yang berhubungan langsung dengan kasus (pasien) belum memahami dengan baik prosedur pelaporan kasus penyakit dan tugas yang harus dilakukannya seperti yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1116/MENKES/SK/VIII/2003, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1479/MENKES/SK/X/2003 maupun Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1410/MENKES/SK/X/2003 atau kurangnya sosialisasi peraturan tentang kewajiban pelaporan data kasus
69
penyakit, termasuk penyakit akibat pangan oleh rumah sakit, puskesmas maupun pusat pelayanan kesehatan lainnya; (5) Sarana prasarana yang belum memadai juga menyebabkan sulitnya mengimplementasikan sistem pelaporan kasus penyakit yang seharusnya dilaporkan, misal: layanan pos yang kurang memadai untuk rumah sakit dan puskesmas yang berada di daerah pedalaman atau jauh dari kota; (6) Letak geografis rumah sakit dan puskesmas yang jauh dapat menjadi kendala dalam pelaporan kasus penyakit, termasuk kasus penyakit akibat pangan tersebut (Nur Khoirimah; Erfandi, personal communication, Juni 2005). 2. Format Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan Berdasarkan format dan isi laporannya, formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan belum seragam dan kurang lengkap. Pelaporan data kasus, termasuk kasus penyakit akibat pangan mengikuti pelaporan seperti pada rekam medis (medical record) yang ada di rumah sakit ataupun puskesmas. Rekam medis tersebut berupa formulir tentang identitas kasus, penyakit kasus, serta identitas dokter dan rumah sakit tempat pemeriksaan kasus. Formulir tersebut diisi oleh dokter yang memeriksa kasus. Formulir rekam medis untuk setiap rumah sakit berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing rumah sakit. Kelengkapan formulir rekam medis pada rumah sakit dipengaruhi oleh kapasitas dan kemampuan diagnosis atau analisis laboratorium yang dimiliki rumah sakit yang bersangkutan (Nur Khoirimah; Erfandi, personal communication, Juni 2005). Kapasitas, kemampuan analisis serta finansial rumah sakit yang berbeda menyebabkan formulir dan isi pelaporan data kasus secara nasional tidak lengkap dan seragam. Hal tersebut menyebabkan terdapat beberapa informasi penting tidak dicantumkan dalam formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan, sehingga datanya kurang memadai dan kurang ilmiah. Salah satu formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 13. Penetapan agen penyebab penyakit akibat pangan umumnya hanya berdasarkan dugaan (suspected) yaitu hanya melalui diagnosis klinis dokter, tanpa dilengkapi dengan analisis spesimen dari laboratorium, sehingga diagnosis yang ada tidak pasti (unconfirmed). Oleh karena itu, hampir semua
70
data kasus yang tersedia hanya bersifat dugaan atau tidak dapat dibedakan antara kasus pasti (confirmed) dan dugaan (suspected). Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan akan lebih efektif untuk tujuan surveilan apabila disertai
dengan
berdasarkan
konfirmasi
laboratorium
hasil
pengujian
(laboratory-based
laboratorium. surveillance)
Surveilan mampu
meningkatkan kualitas data dari pada surveilan yang hanya berdasarkan sindrom (syndromic surveillance). WHO menekankan agar setiap negara mengembangkan sistem surveilan berdasarkan laboratorium (WHO, 2002). Berdasarkan format pelaporan kasus penyakit, termasuk penyakit akibat pangan yang ada saat ini pada rumah sakit atau puskesmas, setiap kasus penyakit akibat pangan yang terjadi tidak dilaporkan secara rinci. Dalam format pelaporan tersebut, hanya disebutkan jumlah total kasus, jumlah orang yang meninggal, jumlah kasus berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin untuk masing-masing jenis penyakit, serta berdasarkan cara perawatannya yaitu rawat jalan dan rawat inap. Format pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada di rumah sakit maupun puskesmas tidak dicantumkan keterangan diagnosis penyakit secara jelas. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang mencakup mekanisme serta formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan secara seragam. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sedang dikembangkan tersebut merupakan langkah awal dalam pembuatan model sistem pelaporan kasus penyakit terutama penyakit akibat pangan secara terpadu dan sistematik yang dapat diimplementasikan di Indonesia.
G. PENGEMBANGAN SISTEM PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan mencakup dua hal, yaitu memperbaiki mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan dan membuat formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sistematis, aplikatif dan sesuai dengan studi epidemiologi. Artinya, dengan formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang dikembangkan tersebut, diharapkan data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul pada masa mendatang dapat
71
diolah, dianalisis dan diinterpretasikan menurut studi epidemiologi, baik secara deskriptif maupun analitis. Pengembangan sistem yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan salah satu alternatif masukan bagi pemerintah pusat (Departemen Kesehatan, Badan POM RI dan stakeholder terkait lainnya) untuk memperbaiki profil data pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. 1. Mekanisme Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan ini merupakan pengembangan dari pelaporan kasus penyakit yang sudah ada sebelumnya. Dalam mekanisme pelaporan sebelumnya, tidak dilibatkan peran Badan POM RI. Dalam pengembangan mekanisme tersebut ditambahkan Badan POM RI. Dengan mekanisme ini, diharapkan data kasus penyakit akibat pangan dapat digunakan oleh Badan POM RI untuk melihat kecenderungan dan dapat digunakan sebagai landasan ilmiah dalam menentukan kebijakan keamanan pangan di Indonesia. Berdasarkan pengembangan mekanisme tersebut, diharapkan rumah sakit, puskesmas dan pusat pelayanan kesehatan lainnya dapat melaporkan data kasus penyakit akibat pangan yang ada, kepada Badan POM RI melalui Balai Besar POM yang ada di daerah (Badan POM RI c.q. Balai Besar POM). Bagan pengembangan mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan dapat dilihat pada Gambar 26. Kegiatan pengembangan sistem pelaporan harus mempertimbangkan aspek organisasi dan tanggung jawabnya terhadap masalah terkait, dalam hal ini kasus penyakit akibat pangan. Badan POM RI sebagai leading sector dalam keamanan pangan harus menjalin kerjasama dengan instansi terkait yaitu Departemen Kesehatan RI. Pelaporan kasus penyakit yang saat ini ditangani oleh Departemen Kesehatan RI seharusnya dapat diintegrasikan secara terpadu. Keterpaduan tersebut hanya bisa tercapai dengan melibatkan kerjasama inter maupun antar instansi. Kerja sama inter-instansi dalam hal ini adalah antara Ditjen Pelayanan Medik, Ditjen PPPL maupun Laboratorium Kesehatan yang ada di bawah kewenangan Departemen Kesehatan RI. Selain itu, perlu ditingkatkan kerjasama antar-instansi, dalam hal ini antara Departemen Kesehatan RI dan Badan POM RI.
72
**
RS Badan POM RI c.q. Balai Besar POM
Rumah sakit PEMDA/TNI-POLRI/BUMN/ swasta, puskesmas, klinik dan pusat pelayanan kesehatan masyarakat lainnya
*
*
*
* Departemen Kesehatan RI c.q Ditjen Pelayanan Medik, Ditjen PPPL Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Dinas Kesehatan Propinsi
Sumber : Diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2003) Keterangan : * Pelaporan kasus berdasarkan formulir pelaporan kasus penyakit dari Departemen Kesehatan ** Pelaporan khusus kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) berdasarkan pengembangan pelaporan kasus penyakit akibat pangan dari Badan POM RI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI. Pelaporan Data kasus penyakit, termasuk penyakit akibat pangan yang ada saat ini Pengembangan mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan, data kasus penyakit akibat pangan yang ada diharapkan sampai ke Badan POM RI c.q. Balai Besar POM
Gambar 26. Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia
73
Keterpaduan dan kerjasama tersebut sangat penting dengan satu tujuan utama yaitu menciptakan kesehatan masyarakat Indonesia, terlebih dalam kaitannya dengan keamanan pangan dan penyakit akibat pangan (foodborne disease) di masyarakat. Salah satu alternatif pendukung keterpaduan sistem tersebut adalah formulir dengan nomor identitas pelaporan kasus (I.D.) yang terpadu dan berlaku secara nasional. Hal ini untuk mencegah duplikasi pelaporan kasus oleh rumah sakit/puskesmas/klinik/dokter dan laboratorium kesehatan. Pengembangan sistem ini juga harus mempertimbangkan aspek sumber daya manusia serta fasilitas yang ada. Proses penginvestigasian kasus (pasien) dalam sistem pelaporan ini sebagai alternatif dilakukan oleh dokter dalam proses diagnosis secara klinis, sedangkan staf laboratorium kesehatan berwenang dalam konfirmasi agen penyebab kasus. Staf-staf tersebut bertugas dibawah kewenangan dan atas panduan/pedoman kerja dari Departemen Kesehatan RI. Bagian selanjutnya dari sistem pelaporan yaitu tahap pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus penyakit akibat pangan yang terlaporkan oleh staf dan epidemiolog pada Badan POM RI c.q. Balai/Balai Besar POM. Mekanisme pelaporan di atas merupakan salah satu alternatif dalam sistem pelaporan yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat. Alternatif lainnya adalah pelaporan kasus penyakit akibat pangan dengan pengumpulan data yang ada pada Dinas Kesehatan tingkat Kabupaten/Kota atau tingkat Propinsi pada Badan POM RI (c.q. Balai/Balai Besar POM) yang ada pada masing-masing daerah/propinsi di Indonesia. 2. Formulir Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan merupakan kuesioner untuk melaporkan kasus penyakit akibat pangan, berisi tentang identitas kasus, penyakit kasus, diagnosis penyakit akibat pangan oleh dokter maupun hasil analisis laboratorium, identitas dokter dan rumah sakit/puskesmas serta informasi lain yang berhubungan dengan kasus/pasien, dokter maupun penyakit akibat pangan yang diderita oleh kasus. Formulir tersebut disusun melalui diskusi dengan sebuah tim (team work) dari Badan POM dan studi banding pelaporan kasus (notification) dari negara lain, seperti Australia dan
74
Amerika Serikat. Formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang telah disusun, dapat dilihat pada Gambar 27. Data kasus penyakit akibat pangan yang ada di rumah sakit/puskesmas/ klinik/dokter seharusnya divalidasi dengan data spesimen kasus oleh laboratorium kesehatan untuk membedakan kasus dugaan dan kasus tetap. Investigasi pada Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa tidak ada laporan data kasus dan spesimen kasus penyakit akibat pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang melibatkan peran laboratorium kesehatan di Indonesia. Pengembangan sistem selanjutnya perlu keterlibatan peran laboratorium dan sumber daya laboratoran pada Departemen Kesehatan RI sebagai mitra yang mampu mendukung penginvestigasian kasus penyakit akibat pangan. Keterlibatan tersebut dituangkan dalam proses konfirmasi dengan pengisian formulir kasus penyakit akibat pangan berikut hasil pengujian spesimennya secara terpadu dengan data kasus oleh dokter pada rumah sakit/puskesmas/klinik/dokter praktek. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan bahan masukan dalam membuat prosedur tetap (Standard Operating Procedure/SOP) pelaporan kasus penyakit akibat pangan berdasarkan studi epidemiologi yang lebih sistematis dan terpadu serta dapat diimplementasikan di masa yang akan datang. Dengan sistem pelaporan yang lebih baik sebagai pendukung surveilan keamanan pangan, data kasus penyakit akibat pangan dapat diolah, dianalisis dan diinterpretasikan dengan lebih baik pula serta dapat diakses oleh masyarakat luas, regional maupun internasional yang terkait dengan masalah keamanan pangan di Indonesia dan dunia.
75
Gambar 27. Usulan formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia
76
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kasus penyakit akibat pangan yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kasus kolera, demam tifoid dan paratifoid, sigelosis, diare dan gastroenteritis, amubiasis, penyakit infeksi usus lain, serta hepatitis A. Data-data tersebut bersumber dari laporan kasus pada rumah sakit dan/atau puskesmas yang terlapor pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dan/atau Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL). Berdasarkan studi epidemiologi deskriptif yang dilakukan dalam penelitian ini, penyakit kolera dan diare potensial terjadi pada kasus dengan golongan umur 1-4 tahun, sedangkan penyakit tifoid, hepatitis A dan disentri cenderung terjadi pada golongan umur 1544 tahun. Hasil analisis dan interpretasi data kasus tersebut kurang sesuai dengan definisi populasi rentan oleh WHO untuk masing-masing jenis kasus penyakit akibat pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut dan memperbaiki sistem surveilan kasus penyakit akibat pangan secara terus-menerus. Berdasarkan variabel waktu (bulan kejadian), kasus penyakit tifoid, diare, disentri dan hepatitis A cenderung meningkat pada musim penghujan yaitu antara bulan Januari-Maret. Sedangkan kasus kolera cenderung meningkat pada musim kemarau. Sebagian besar kasus penyakit akibat pangan potensial berisiko pada subjek baik berjenis kelamin pria maupun wanita, kecuali penyakit hepatitis A yang dominan terjadi pada subjek dengan jenis kelamin pria. Berdasarkan variabel tempat (propinsi) kasus penyakit akibat pangan terjadi, propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan propinsi yang potensial terhadap risiko penyakit kolera, sedangkan propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat merupakan daerah potensial penyebaran tifoid. Propinsi Sulawesi Tenggara, Jawa Barat dan Kalimantan Tengah mempunyai angka insiden tertinggi untuk kasus diare. Kelemahan dalam sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia tercermin pada kekurangan interpretasi data yang ada, yaitu diantaranya: (1) kasus yang terlaporkan tidak dapat dibedakan antara kasus yang bersifat dugaan (suspected case) atau tetap (confirmed case), (2) data kasus
77
dengan parameter IR, CFR dan AR hanya berdasarkan data rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik, serta (3) komponen data antara kedua sumber (Ditjen PPPL dan Ditjen Pelayanan Medik) belum seragam. Hasil analisis dan interpretasi data-data kasus penyakit akibat pangan tersebut belum mencerminkan kecenderungan penyebaran penyakit akibat pangan pada keseluruhan populasi penduduk di Indonesia. Hal ini disebabkan data kasus yang dilaporkan hanya 12%-13% untuk data kasus bersumber pada puskesmas dan 30%-40% untuk kasus bersumber pada rumah sakit. Propinsi dengan persentase kelengkapan yang relatif besar meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Riau dan Lampung (data pada Ditjen PPPL). Pengembangan sistem, yang mencakup pengembangan dan perbaikan mekanisme serta formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan dalam penelitian ini merupakan langkah awal dalam memperbaiki profil pelaporan data kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Diharapkan dengan penelitian ini, data kasus penyakit akibat pangan pada masa mendatang dapat diinterpretasikan dan informasi yang dihasilkan dapat lebih representatif.
B. SARAN
1. Pelaporan kasus penyakit akibat pangan harus terus dikembangkan, sebagai salah satu pendukung surveilan keamanan pangan di Indonesia. 2. Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang mencakup dua hal, yaitu mekanisme dan formulir pelaporan sebagai bahan masukan untuk membuat SOP pelaporan harus dievaluasi, sedang formulir pelaporan harus diuji validitas dan reliabilitas sebelum dikembangkan menjadi sebuah model pelaporan di Indonesia. 3. Peran
penting
laboratorium
kesehatan
perlu
dimaksimalkan
dengan
melibatkannya dalam mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan, serta perlu dilakukan surveilan dan investigasi lebih lanjut tentang kasus penyakit akibat pangan berbasis laboratorium kesehatan di Indonesia. 4. Perangkat pendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan, seperti software pengolah data kasus, perlu terus dikembangkan secara sinergis dengan pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan sehingga
78
output dari pengembangan sistem tersebut dapat lebih aplikatif untuk
diimplementasikan di Indonesia. 5. Untuk mendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan yang terpadu dan sistematis, diperlukan adanya sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang baik dan terpadu pula. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang melibatkan Badan POM RI sebagai leading sector dalam program keamanan pangan perlu didukung dengan stakeholder yang dapat menguatkan peran serta Badan POM RI.
79
DAFTAR PUSTAKA
Adamkiewitz TV., Berkovitch M., Krishnan C., Polsinelli C., Kermack D., Oliveri F. Infection due to Yersinia enterocolitica in a series of patients with Bthalasemia: incidence and predisposing factors. Clinical Infectious Diseases 1998; 27:1362-6 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. Anonima. 1998. Epidemiology update: Hepatitis A. http://www.co.hennepin.mn. us/vgn/images/portal/cit_100003616/30/14/106580956Hepatitis%20A%20 Update.pdf (6 September 2005) Anonimb. 2005. The World Factbook. http://www.cia.gov/cia/publications/ factbook/geos/bg.html (20 Oktober 2005) Arnold, G.J. dan B.A. Munce. 2000. Investigation of Foodborne Disease Outbreaks di dalam Hocking, A. D. et al (eds). Foodborne Microorganisms of Public Health Significance : 5th Edition. AIFST (NSW Branch) Food Microbiology Group. Badan POM. 2001a. Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI. Jakarta. Badan POM. 2001b. Prinsip-prinsip Pelaksanaan Analisis Risiko. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI. Jakarta Badan POM. 2001c. Analisis Risiko Keamanan Pangan Mikrobiologis : Kajian Risiko Mikrobiologis. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2002. Proyeksi Penduduk Indonesia per Propinsi Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2000-2010. Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik. BPS, Jakarta-Indonesia. Bennish, M.L. dan Wojtyniak, B.J. 1991. “Mortality due to shigellosis: community and hospital data,” Rev. Infect. Dis. 13:S245-251 di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. Black, R.E., Levine, M.M., Clements, M.L., Hughes, T.P., and Blaser, M.J. 1988. “ Experimental Campylobacter jejuni infection in humans” di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. Borgdorff, M.W., Motarjemi Y. 1997. Surveillance of Foodborne Diseases: What Are The Options?. Food Safety Issues. Food Safety Unit, WHO. WHO.
80
Buzby JC dan Roberts T. 1995. ERS estimates US foodborne disease costs, Food Review, vol 18, pp37-42 di dalam Communicable Diseases Network Australia and New Zealand, Commonwealth Department of Health and Family Services, Australia. Cameron S., Walker W., Beers M., et al. 1995. Enterohaemorrhagic Escherichia coli outbreak in South Australia associated with the consumption of mettwurst, Communicable Diseases Intelligence, vol 19, pp70-1 di dalam Communicable Diseases Network Australia and New Zealand, Commonwealth Department of Health and Family Services, Australia. Cary, J.W., Linz, J.E. dan Bhatnagar, D. 2000. Microbial Foodborne Disease Mechanisms of Pathogenesis and Toxin Synthesis. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. CDC.
Nationally Notifiable Infectious Diseases United States http://www.cdc.gov/epo/dphsi/phs/infdis2003.htm (8 Juli 2005)
2003.
D’Aoust, J. 2000. Salmonella di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Departemen Kesehatan. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Department of Health. 1994. Management of Outbreaks of Foodborne Illness. Department of Health, London di dalam Hackbarth et al., Massachusetts Department of Public Health. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2000. Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2001. Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2002. Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2003. Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit Revisi V). Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2003. Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2004. Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
81
Djauzy. 2005. Personal Communication. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Erfandi. 2005. Personal Communication. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Estrada-Garcia, T dan Mintz, E.D. 1996. ”Cholera: Foodborne transmission and its prevention,” 461-469 di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. FAO/WHO. 2004. Foodborne Disease Monitoring and Surveillance Systems. Seremban, Malaysia. http://www.fao.org/docrep/meeting/006/J2381E.htm (20 Juli 2005) Farber, J.M. dan Peterkin, P.I. 2000. Listeria monocytogenes di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Fardiaz, D. 2001. Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Secara Total. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM. Jakarta. Faruque, S.M., Albert, M.J., dan Mekalanos, J.J. 1998. Epidemiology, Genetics and Ecology of Toxigenic Vibrio cholerae, Microbiology and Molecular Biology Reviews. Dec. 1998 Vol.62 No.4, p.1301-1314. American Society for Microbiology. Ferreccio, C., Prado, V., Ojeda, A., Cayyazo, M., Abergo, P., Guers, L., and Levine, M.M. 1991. “Epidemiologic patterns of acute diarrhea and endemic Shigella infections in children in poor periurban setting in Santiago, Chile, ” Am. J. Epidemiol. 134:614-627 di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. Gay NJ, Morgan-Capner P, Wright J, et al. Age-specific antibody prevalence to hepatitis A in England: implications for disease control. Epidemiol Infect 1994;113:113–20 di dalam Ross et al. 2002. Seroprevalence of hepatitis A immunity in male genitourinary medicine clinic attenders: a case control study of heterosexual and homosexual men. Birmingham, UK. Gerba CP., Rose JB., Haas CN. Sensitive Populations: Who is at the greatest risk? International Journal of Food Microbiology. 1996; 30:113-23 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. Griffin PM., Ostroff M., Tauxe RV., Greene K.D., Wells JG., Lewis JH., Blake PA. Illnesses associated with Escherichia coli O157:H7 infectious. A broad clinical spectrum. Annals of Internal Medicine 1988; 109:705-12 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. Hackbarth, A., Robert G., Dan H., Emily H., Jocelyn I., Pat K., dan Priscilla L. 1997. Foodborne Illness Investigation and Control Reference Manual. Massachusetts Department of Public Health.
82
HIady WG., Klontz KC. The epidemiology of Vibrio infections in Florida, 19811993. The Journal of Infectious Diseases 1996; 173:1176-83 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. Hobbs, B.C. dan D. Roberts. 1987. Food Poisoning and Food Hygiene : 5th Edition. Edward. London. Imari, S. 2004. Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Makalah pada Pelatihan Surveilan Keamanan Pangan, 12-16 Juli 2004. Bogor. Khoirimah, N. 2005. Personal Communication. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Lindsay JA. Chronic sequelae of foodborne disease. Emerging Infectious Diseases 1997; 3:443-52 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. Majowicz, S. 2001. Foodborne Disease: How Big A Problem?. University of Guelph. Canada. Mead PS, Slutsker L., Dietz V., McCaig LF., Bresee JS., Shapiro C., Griffin PM., Tauxe RV. Food-Related Illness and Death in the United States. Emerging Infectious Diseases. 1999; 5:607-25 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. MMWR. 1990. Current Trends Community Outbreaks of Shigellosis United States. August 03, 1990 / 39 (30); 509-513,519. OzFoodnet. 2003. Pathogens under Surveillance. http://www.ozfoodnet.org.au/ surveillance.htm (Juni 2005) Pang, T., Bhutta, Z.A., Finlay, B.B, dan Altwegg, M. 1995. “Typhoid fever and other salmonellosis: a continuing challenge.” Trends Microbial.,3(7):253255. di dalam Cary et al. Microbial Foodborne Disease Mechanisms of Pathogenesis and Toxin Synthesis. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. Parker, T.C.B. dan R.B. Tompkin. 2000. Risk and Microbiological Criteria di dalam Lund, Barbara M. et al (eds) The Microbiological Safety and Quality of Food : Volume II. Aspen Publisher, Inc. Maryland Public Health Agency of Canada (PHAC). National Notifiable Diseases for 2000. http://www.dsol-smed.hc-sc.gc.ca/dsol-smed/ndis/list_e.html (8 Juli 2005) Rahayu, W.P., R.A. Sparringa., dan P. Hariyadi. 2005. Surveilan KLB Keracunan Pangan. Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan: Surveilan keamanan pangan pada rantai pangan, 20 Juni 2005. Badan POM RI. Jakarta.
83
Rees J., Soudain SE., Gregson Norman A., Hugues Richard AC. Campylobacter jejuni infection and Guillain-Barre Syndrome. The New England Journal of Medicine 1995; 333:1371-5 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. Rocourt J., G. Moy, K. Vierk dan J. Schlundt. 2003. The Present of Foodborne Disease in OECD Countries. Food Safety Department, WHO, Geneva. www.who.int/entity/foodsafety/publications/foodborne_disease/oecd_fbd. pdf (20 Mei 2005) Sharp, J. Clark dan W. (Bill) J. Reilly. 2000. Surveillance of Foodborne Disease. di dalam Lund, Barbara M. Et al (eds) The Microbial Safety and Quality of Food : Volume II. Aspen Publisher, Inc. Maryland. Singh, B. 2001. Symposium: Typhoid fever-epidemiology, Journal Indian Academy of Clinical Medicine. Vol 2, No.1&2, January-June. Sockett PN dan Roberts JA. 1991. The social and economic impact of salmonellosis, Epidemiology and Infection, vol 107, pp 335-47 di dalam Communicable Diseases Network Australia and New Zealand, Commonwealth Department of Health and Family Services, Australia. Sparringa, R.A. 2002. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan di dalam Rahayu, et al. Surveilan Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM. Jakarta. Sparringa, R.A. 2005. Pengantar Investigasi KLB Keracunan Pangan. Pelatihan Surveilan Keamanan Pangan, Bogor, 27 Juni-2 Juli 2005. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI. Jakarta. Sparringa, R.A. 2005. Personal Communication. Badan POM RI. Jakarta. Sparringa, R.A. dan Rahayu, W.P. 2005. Kebijakan dan Strategi Surveilan Keamanan Pangan. Pelatihan Kajian Risiko Keamanan Pangan, Bogor, 27 Juni-2 Juli 2005. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI. Jakarta. Stern, N.J. dan Line, E.J. 2000. Campylobacter di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Stiles, M.E. 2000. Less recognized and suspected foodborne bacterial pathogens di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Stoll, B.J., Glass, R.I., Huq, M.I., Khan, M.U., Banu, H., and Holt, J. 1982. ”Epidemiologic and clinical features of patients infected with Shigella who attended a diarrheal disease hospital in Bangladesh” di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
84
Taylor, M.A. 2000. Protozoa di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Thomson G., DeRubeis D., Hodge M., Rajanayagam C., Inman RD., PostSalmonella reactive arthritis: late clinical sequelae in a point source cohort. The American Journal of Medicine 1995; 98:13-9 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. Wallis, M.R. 1994. “The pathogenesis of Campybacter jejuni” di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. Willshaw, G.A., Cheasty, T. dan Smith, H.R. 2000. Escherichia coli di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Wilson, C.L. dan S. Droby. 2001. Microbial Food Contamination. CRC Press. New York WHO. 1995. The World Health Report 1995: Bridging the Gaps. di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. WHO. 1996. Principles and methods for assessing direct immunotoxicity associated with Exposure to Chemicals. Environmental Health criteria – EHC 180, Geneva-Switzerland di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. WHO. 1997. “Foodborne disease-possibly 350 times more frequent than reported.” http://www.who.int/dsa/justpub/food.htm (2 September 2005) WHO. 1998. “Typhoid fever.” http://www.who.int/gpv-dvacc/diseases/typhoid_ fever.htm (Agustus 2005) WHO. 1999. Principles and methods for assessing allergic hypersensitization associated with Exposure to Chemicals. Environmental Health criteria – EHC 212, Geneva-Switzerland di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. WHO. 1999. WHO Recommended Surveillance Standards. Second Edition. WHO Department of Communicable Disease Surveillance and Response. http://www.who.int/csr/resources/publications/surveillance/whocdscsrisr99 2.pdf (Agustus 2005) WHO. 2000. Foodborne Disease : A Focus For Health Education. Word Health Organization. Geneva.
85
WHO. 2001. Neurotoxicity risk assessment for human health: Principles and approaches; Environmental Health criteria – EHC 223, GenevaSwitzerland di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva. WHO. 2002. Methods for Foodborne Disease Surveillance in Selected Sites: report of a WHO consultation, 18-21 March 2002, Leipzig, Germany. Word Health Organization. Geneva.http://www.who.int/entity/salmsurv/ links/en/Leipzigmeetingreport.pdf (22 November 2005) WHO. 2005. Communicable Disease Control in Emergencies, a Field Manual edited by M.A. Connolly. Word Health Organization. Geneva. http://www.who.int/infectious-disease-news/IDdocs/whocds200527/ whocds200527chapters/ (Agustus 2005)
86
Lampiran 1. Persentase Kelengkapan Laporan Puskesmas dan Rumah Sakit Tahun 2003 No Propinsi 2001 2002 2003 Pusk RS Pusk RS Pusk RS 1 Nanggroe Aceh 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 14.7 Darussalam 2 Sumatera Utara 100.0 100.0 0.0 0.0 47.0 69.9 3 Sumatera Barat 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 4 Riau 41.0 31.6 50.3 10.6 46.0 14.6 5 Jambi 18.5 7.9 0.0 0.0 52.6 31.9 6 Sumatera Selatan 33.3 0.0 32.5 25.0 0.0 0.0 7 Bengkulu 0.0 0.0 0.0 0.0 74.5 21.0 8 Bangka Belitung 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 19.4 9 Lampung 58.5 49.0 80.0 0.0 69.7 11.5 10 DKI Jakarta 0.0 0.0 0.0 0.0 98.5 73.9 11 Banten 0.0 0.0 0.0 0.0 83.1 35.8 12 Jawa Barat 0.0 0.0 0.0 0.0 25.4 11.5 13 Jawa Tengah 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 14 DI Yogyakarta 8.1 37.9 0.0 0.0 0.0 0.0 15 Jawa Timur 0.0 0.0 0.0 0.0 68.2 12.0 16 Kalimantan Barat 0.0 15.8 0.0 21.1 88.2 25.4 17 Kalimantan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Tengah 18 Kalimantan 0.0 0.0 0.0 0.0 79.4 42.4 Selatan 19 Kalimantan Timur 36.5 35.8 49.8 37.4 44.6 25.3 20 Sulawesi Utara 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 21 Gorontalo 0.0 0.0 0.0 0.0 47.6 100.0 22 Sulawesi Tengah 28.1 23.2 21.6 34.4 34.5 65.0 23 Sulawesi Selatan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 19.6 24 Sulawesi 0.0 0.0 0.0 0.0 85.3 16.7 Tenggara 25 Bali 0.0 0.0 97.2 89.7 100.0 96.0 26 Nusa Tenggara 0.0 0.0 0.0 0.0 35.2 0.0 Barat 27 Nusa Tenggara 43.8 12.5 0.0 0.0 0.0 0.0 Timur 28 Maluku 0.0 0.0 0.0 0.0 44.3 25.5 29 Maluku Utara 0.0 0.0 49.0 0.0 34.7 0.0 30 Papua 0.0 0.0 9.3 8.9 7.7 7.8 Indonesia 12.3 10.5 13.0 7.6 38.9 24.7 Keterangan : Pusk = puskesmas, ∑ seluruh Indonesia = 7071; RS = rumah sakit, ∑ seluruh Indonesia= 1128 Sumber : Departemen Kesehatan RI (2004)
87
Lampiran 2. Distribusi Penyakit Kolera Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rawat Inap Jumlah Pasien Keluar Laki-laki Perempuan Jumlah 309 270 579 349 372 691 800 753 1553 332 248 580 452 519 971 1829 1244 3073
Pasien Mati 14 166 31 9 14 52
CFR 2,4 24,0 2,0 1,6 1,4 1,7
Rawat Jalan Jumlah Kasus Baru Laki-laki Perempuan Jumlah 317 415 732 2636 2846 5482 4893 4658 9551 303 220 523 2299 1281 3580 7477 7239 14716
Jumlah Kunjungan 985 5482 16238 891 3580 15491
Admission Rate 1,3 1,0 1,7 1,7 1,0 1,1
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Lampiran 3. Distribusi Penyakit Demam Tifoid dan Paratifoid Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rawat Inap Jumlah Pasien Keluar Laki-laki Perempuan Jumlah 23714 22867 46581 31463 32437 63900 58622 57234 115856 51952 51035 102987 92044 90475 182519 27044 30889 57933
Pasien Mati 14 837 2562 1505 2984 704
CFR 2,4 1,3 2,2 1,5 1,6 1,2
Rawat Jalan Jumlah Kasus Baru Laki-laki Perempuan Jumlah 25962 27397 53359 43773 24824 68592 34343 49081 83424 51391 51667 103058 45450 48949 94399 34326 35034 69360
Jumlah Kunjungan 75884 71109 142462 165182 3580 15491
Admission Rate 1,4 1,0 1,7 1,6 1,0 1,1
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
88
Lampiran 4. Distribusi Penyakit Sigelosis Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rawat Inap Jumlah Pasien Keluar Laki-laki Perempuan Jumlah 561 526 1087 247 238 485
Pasien Mati 10 37
CFR 0,9 7,6
Rawat Jalan Jumlah Kasus Baru Laki-laki Perempuan Jumlah 254 209 463 310 295 605
Jumlah Kunjungan 608 1032
Admission Rate 1,3 1,7
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Lampiran 5. Distribusi Penyakit Diare dan Gastroenteritis oleh Penyakit Infeksi Tertentu Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rawat Inap Jumlah Pasien Keluar Laki-laki Perempuan Jumlah 55297 48446 103743 64362 54729 118641 113260 99218 212478 109488 98118 207606 2604 638 3242 93589 79462 173051
Pasien Mati 1169 12631 10579 2335 19 1433
CFR 1,1 10,6 5,0 1,1 0,6 0,8
Rawat Jalan Jumlah Kasus Baru Laki-laki Perempuan Jumlah 107923 102211 210134 106650 105750 212400 102560 187362 289922 188417 169073 357490 182400 160818 343218 144876 128462 273338
Jumlah Kunjungan 251242 283357 3498148 478394 417923 355040
Admission Rate 1,2 1,3 12,1 1,3 1,2 1,3
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
89
Lampiran 6. Distribusi Penyakit Amubiasis Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rawat Inap Jumlah Pasien Keluar Laki-laki Perempuan Jumlah 2137 1563 3700 2382 1050 4322 4179 4014 8193 3289 3265 6554 2961 2868 5829 2741 2775 5516
Pasien Mati 40 141 223 39 94 43
CFR 1,1 3,3 2,7 0,6 1,6 0,8
Rawat Jalan Jumlah Kasus Baru Laki-laki Perempuan Jumlah 5195 4461 9656 5058 5187 10245 6532 6737 13269 6876 6655 13531 6512 5897 12409 2978 4506 7484
Jumlah Kunjungan 11986 12505 16665 18079 15067 7952
Admission Rate 1,2 1,2 1,3 1,3 1,2 1,1
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Lampiran 7. Distribusi Penyakit Infeksi Usus lainnya Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rawat Inap Jumlah Pasien Keluar Laki-laki Perempuan Jumlah 1057 882 1939 1680 1349 3029 2890 2313 5203 2181 2046 4227 2697 2424 5121 2992 2398 5390
Pasien Mati 16 11 158 42 56 29
CFR 0,8 0,4 3,0 1,0 1,1 0,5
Rawat Jalan Jumlah Kasus Baru Laki-laki Perempuan Jumlah 3046 2632 5678 4731 3369 8100 10538 7361 17899 4201 3611 7812 3468 3302 6770 2282 2263 4545
Jumlah Kunjungan 12644 15690 26446 9857 10462 5998
Admission Rate 2,2 1,9 1,5 1,3 1,5 1,3
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
90
Lampiran 8. Distribusi Penyakit Hepatitis A Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rawat Inap Jumlah Pasien Keluar Laki-laki Perempuan Jumlah 932 597 1529 597 315 912 1793 1164 2957 2875 1894 4769 2387 1657 4044 1789 1169 2958
Pasien Mati 18 93 52 43 70 20
CFR 1.2 10.2 1.8 0.9 1.7 0.7
Rawat Jalan Jumlah Kasus Baru Laki-laki Perempuan Jumlah 636 441 1077 459 391 850 1323 1227 2550 1626 1385 3011 1445 1043 2488 1061 883 1944
Jumlah Kunjungan 2268 1625 4067 5211 4999 5850
Admission Rate 2.1 1.9 1.6 1.7 2 3
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
91
Lampiran 9. Kasus dan Angka Insidens Kolera Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Bangka Belitung Lampung DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali
2000
2001
2002
2003
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 39
AI 0,09
2922 0 0 0 0 0 0 31 288 0 55 0 0 0 90 377 0 0 0 0 0 0 3 0
2,37 0 0 0 0 0 0,04 0,29 0,01 0 0 0 0,22 2,05 0 0 0 0 0 0,02 0
0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 335 3 0 0 0 1 0 1 0 0 7 9 55 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0,08 0 0 0 0 0,01 0 0 0 0,03 0,01 0,3 0
0 0 0 0 118 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 76 20 0
0 0 0 0 0,15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,09 0,11 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 6 0 0 0 0 0 50 23 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,58 0,10 0 0 0
92
Lampiran 9. Kasus dan Angka Insidens Kolera Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 (Lanjutan) No 26
Propinsi
2000 ∑ Kasus 62
Nusa Tenggara Barat 27 Nusa Tenggara 13711 Timur 28 Maluku 0 29 Maluku Utara 0 30 Papua 0 INDONESIA (JUMLAH) 17539 Keterangan : AI = Angka Insidental 0 = Tidak ada kasus - = Tidak ada laporan
2001
2002
2003
AI 0,15
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 0
AI 0
34,4
0
0
7
0,02
0
0
0 0 0,83
0 0 173 587
0 0,76 0,03
0 3 0 230
0 0 0,01
0 0 0 121
0 0 0 0,01
Sumber : Data Sub Direktorat Surveilans, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI (2004)
93
Lampiran 10. Kasus dan Angka Insidens Tifoid Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Bangka Belitung Lampung DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali
2000
2001
2002
2003
∑ Kasus 4212
AI 9,84
∑ Kasus 8835
AI 20,6
∑ Kasus 4826
AI 11,3
∑ Kasus 4319
AI 10,4
14181 28 1378 11474 5104 4726 0 18066 24045 0 0 9960 3472 61724 37400 25310 142 6887 498 0 1728 18037 2187 5625
11,5 0,06 3,08 42,6 6,39 29 24,8 24,5 0 3,14 11,1 17,2 91,5 138 0,44 25,4 1,73 7,77 21,6 12 18
5324 472 1173 6698 5868 4205 0 20729 0 3709 42372 7407 197 45774 0 10110 5175 4749 94 357 2295 13694 2153 5843
4,3 1 2,6 24,9 7,4 25,8 28,5 0 9,7 2,3 0,6 12,8 0 54,9 16,2 17,5 0,3 10,3 16,4 11,9 18,7
5007 0 1810 4370 4596 5778 0 12866 8673 0 0 0 0 39144 1852 10573 3781 1555 606 226 1154 20599 1151 1627
4,1 0 4 16,2 5,8 35,4 17,7 8,8 0 0 0 10,9 4,5 57,5 11,8 5,7 2,1 5,2 24,7 6,3 5,2
11600 0 2338 8565 18120 1583 115 8502 12283 23680 0 1030 4553 99372 6890 2796 4078 7425 231 1104 2206 13819 1218 5045
9,48 0 4,44 33,9 25 9,65 1,15 12,1 14,1 28 0 0,32 14,4 28,1 16,3 14,3 13,2 28,8 1,12 12,7 9,71 16,5 6,33 15,5
94
Lampiran 10. Kasus dan Angka Insidens Tifoid Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 (Lanjutan) No 26
Propinsi
2000 ∑ Kasus 12473
Nusa Tenggara Barat 27 Nusa Tenggara 2415 Timur 28 Maluku 0 29 Maluku Utara 0 30 Papua 4567 INDONESIA (JUMLAH) 275639 Keterangan : AI = Angka Insidental 0 = Tidak ada kasus - = Tidak ada laporan
2001
2002
2003
AI 30,7
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 11517
AI 27,5
6,07
1624
4,1
6085
15,3
3396
8,49
0 20,1 13
0 0 226 201252
0 1 9,5
0 0 35 136088
0 0,2 6,4
26 0 6 255817
0,21 0 0,03 12
Sumber : Data Sub Direktorat Surveilans, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI (2004)
95
Lampiran 11. Kasus dan Angka Insidens Diare Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Bangka Belitung Lampung DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali
2000
2001
2002
2003
∑ Kasus 54443
AI 12,7
∑ Kasus 50193
AI 11,7
∑ Kasus 37030
AI 8,6
∑ Kasus 52856
AI 12,7
141866 333 83377 20977 39141 32895 0 96641 158111 0 2039325 450802 91714 611803 38697 94779 0 56269 16129 0 46289 198151 162626 87524
11,5 0,1 18,6 7,8 4,9 20,2 13,3 16,1 46,5 14,2 29,4 17,1 9,5 51,5 0 20,8 5,6 20,8 23,7 89,5 28
70070 2227 27334 26508 25483 36014 0 120660 65485 49224 710410 71857 12210 443570 18990 35413 40480 43659 19628 26216 37758 110279 45636 92060
5,7 0,5 6,1 9,8 3,2 22,1 16,6 6,7 16,2 2,3 3,9 12,4 4,6 19,2 12,6 16,1 6,8 17 13,2 25,1 29,4
46030 0 39159 22551 16160 33823 0 83287 120883 0 342350 0 0 278367 26925 38953 29020 14672 14783 22052 20299 154661 30230 20617
3,7 0 8,7 8,4 2 20,7 11,4 12,3 7,8 0 0 7,8 6,6 21,2 9,1 5,4 5,1 9,1 18,5 16,6 6,6
154938 0 51382 32472 90501 6968 11975 83965 88261 165081 320928 2439 47774 635151 61949 13969 36678 36240 13812 24931 37337 95992 21155 74778
12,7 0 9,77 12,8 12,5 4,25 12 11,9 10,2 19,5 8,66 0,08 15,1 18 14,7 7,14 11,8 14,1 6,68 28,7 16,4 11,4 11 23
96
Lampiran 11. Kasus dan Angka Insidens Diare Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 (Lanjutan) No 26
Propinsi
2000 ∑ Kasus 48992
Nusa Tenggara Barat 27 Nusa Tenggara 64464 Timur 28 Maluku 0 29 Maluku Utara 0 30 Papua 20066 INDONESIA (JUMLAH) 4655414 Keterangan : AI = Angka Insidental 0 = Tidak ada kasus - = Tidak ada laporan
2001
2002
2003
AI 12,1
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 0
AI 0
∑ Kasus 38091
AI 9,1
16,2
71095
17,9
52028
13,1
54443
13,6
0 8,8 21,9
0 10848 11918 2277071
0 5,2 10,7
0 3892 11918 1433746
0 5,2 6,7
13510 4645 3305 2275526
11,1 6,03 1,4 10,6
Sumber : Data Sub Direktorat Surveilans, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI (2004)
97
Lampiran 12. Daftar penyakit akibat pangan menurut ICD X (International Classification of Disease) Intestinal Infectious Disease : A00
A01
A02
A03
A04
Cholera A00.0 Cholera due to Vibrio cholerae 01 Biovar Cholerae Classical Cholerae A00.1 Cholera due to Vibrio cholerae 01 Biovar eltor Cholera eltor A00.9 Cholera, unspecified Typhoid dan Paratyphoid A01.0 Typhoid fever Infection due to Salmonella typhi A01.1 Paratyphoid fever A A01.2 Paratyphoid fever B A01.3 Paratyphoid fever C A01.4 Paratyphoid fever, unspecified Infection due to Salmonella paratyphi NOS Other Salmonella infection A02.0 Salmonella enteritis Salmonellosis A02.1 Salmonella septicaemia A02.2 Localized Salmonella infections Salmonella : Arthritis (MOI.3) Meningitis (G01) Osteomyelitis (M90.2) Pneumonia Renal tubulo A02.8 Other specified Salmonella infections A02.9 Salmonella infections, unspecified Shigellosis A03.0 Shigellosis due to Shigella dysenteriae Group A Shigellosis (Shiga-Kryse dysentery) A03.1 Shigellosis due to Shigella flexineri Group B Shigellosis A03.2 Shigellosis due to Shigella boydii Group C Shigellosis A03.8 Other Shigellosis A03.9 Shigellosis, unspecified Bacillary dysentery NOS Other bacterial intestinal infectious Excludes : Foodborne intoxication, bacterial (A05.-) Tuber culous enteritis (A18.3) A04.0 Enteropathogenic Escherichia coli infection A04.1 Enterotoxigenic Escherichia coli infection
98
A05
A06
A07
A04.2 Enteroinvasive Escherichia coli infection A04.3 Enterohaemorrhagic Escherichia coli infection A04.4 Other intestinal E. Coli infections E. coli enteritis NOS A04.5 Campylobacter enteritis A04.6 enteritis due to Yersinia enterocolitica Excludes : extra intestinal yersiniosis (A28.2) A04.7 Enterocolitis due to Clostridium difficile A04.8 Other specified bacterial intestinal infectious A04.9 Bacterial intestinal infection, unspecified Bacterial enteritis NOS Other bacterial foodborne intoxication Excludes : E. coli infections (A04.0-A04.4) Listeriosis (A32.-) Salmonella foodborne intoxication & infection (A02.-) Toxic effect of noxious food stuffs (T61-T62) A05.0 Foodborne Staphylococcal intoxication A05.1 Botulism Classical foodborne intoxication due to Clostridium botulinum A05.2 Foodborne Clostridium perfringens [Clostridium welchii] intoxication Enteritis necroticans Pig - bel A05.3 Foodborne Vibrio parahaemolyticus intoxication A04.4 Foodborne Bacillus cereus intoxication A05.8 Other specified bacterial Foodborne intoxication A05.9 Bacterial Foodborne intoxication, unspecified Amoebiasis Includes : Infections due to Entamoeba histolytica Excludes : Other protozoal intestinal diseaseS (A07.-) A06.1 Chronic intestinal amoebiasis A06.2 Amoebic non dysenteryc colitis A06.3 Amoeboma of intestine Amoeboma NOS A06.4 Amoebic liver abscess Hepatic amoebiasis A06.5 Amoebic lung abscess (J99.8) Amoebic abscess of lung (and liver) A06.6 Amoebic brain abscess (G07) Amoebic abscess of brain (and liver) (and lung) A06.7 Cutaneous amoebiasis A06.8 Amoebic infection of other sites Amoebic : Appendicitis Balanitis (N51.2) A06.9 Amoebiasis unspecified Other protozoal intestinal disease A07.0 Balantidiasis
99
A08
A09
Balantidial dysentery A07.1 Giardiasis (Lambliasis) A07.2 Cryptosporidiosis A07.3 Isosporiasis Infection due to Isospora belli and Isospora hominis Intestinal coccidiosis Isosporosis A07.8 Other specified protozoal intestinal diseases Intestinal trichomoniasis Sarcocystosis Sarcosporidiosis A07.9 Protozoal intestinal disease, unspecified Flagellata diarrhoea Protozoal : Colitis Diarrhoea Dysentery Viral dan Other specified intestinal infections Excludes : Influenza with involvement of GI tract (J10.8, J11.8) A08.0 Rotaviral enteritis A08.1 Acute gastroenteropathy due to Norwalk agent Small round structured virus enteritis A08.2 Adenoviral enteritis A08.3 Other viral enteritis A08.4 Viral intestinal infection, unspecified Viral : Enteritis NOS Gastroenteritis NOS Gastroenteropathy NOS A08.5 Other specified intestinal infections Diarrhoea dan Gastroenteritis of presumed infectious origin
Sumber : International Classification of Disease (ICD) X WHO (World Health Organization)
100
Lampiran 13. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (1)
101
Lampiran 13. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (2)
102