1 Singapore Bagi orang Indonesia, mungkin solo traveler merupakan hal paling tabu sedunia. Apalagi kalau si traveler yang bersangkutan itu perempuan, makin tabu lagi jadinya. Selain karena alasan bahaya, takut, dan dunia itu luas, plus kurangnya pengetahuan kita mengenai bagaimana, sih, keadaan di luar sana, perempuan juga lebih riskan mengalami kejadian berbahaya bila dibandingkan dengan traveler lakilaki. Contohnya aja, bahaya penculikan dan pemerkosaan. Kalau traveler laki-laki rasanya bahaya yang nomor satu dan dua itu lumayan jarang ditakuti. Logisnya, siapa, sih, perempuan yang mau bela-belain menculik dan memperkosa laki-laki kecuali perempuan yang bersangkutan super gila, enggak waras dan mungkin kelainan seks. Tapi, bagi saya yang kakinya selalu gatal setiap beberapa bulan atau bahkan mingguan kalau ada kesempatan, yang menyangkut biaya dan waktu, rasanya semua jenis bahaya dan pikiran negativenegatif di atas langsung buyar begitu tiket pesawat di depan mata (yang sudah dibooking, yah, tentunya), atau paling tidak lihat tiket promo beredar di manamana rasanya hati langsung kecut kalau tiket enggak dibeli. Kan, mubazir, perusahaan udah susah-susah ngasih tiket promo terus kita enggak gunakan,
kasihan perusahaan penerbangannya, kan (alasan pertama). Alasan berikutnya yang mendorong saya memutuskan untuk memanjakan kaki dan diri saya adalah rasa keingintahuan saya yang rasanya belum terpuaskan. Baca majalah traveling atau browsing di internet mengenai tempat wisata plus lihat-lihat fotonya rasanya belum puas. Terkadang saya bertanya-tanya dalam hati, apa iya tempat ini sebagus itu? Sepertinya di foto pemandangan atau tempat yang saya lihat adalah wah wah dan wah, tapi terkadang begitu sampai, ternyata malah biasa saja dan sehabis diteliti, pemandangan tersebut terlihat oke hanya karena kamera dan sudut pandang pengambilan foto saja. Jadi, daripada penasaran sampai mati enggak kesampaian, lebih baik saya lihat dan rekam dengan mata kepala sendiri apa yang sudah pernah saya lihat sebelumnya hanya dalam gambar. Walaupun dua alasan di atas jelas enggak masuk akal dan terkesan mengada-ada, kira-kira begitulah alasan dasar saya yang hobi jalan ini untuk memulai petualangan saya, sendirian mengeliling tempat-tempat yang rasanya masih malas didatangi orang Indonesia sendirian dengan alasan, ngapain jalan-jalan ke sana sendirian? Enggak sepi? Kan, enggak ada teman. Justru di situlah letak tantangannya bagi saya. Bagaimana mengatasi rasa kesepian tersebut, bagaimana cara bertahan sendirian di tempat yang sama sekali baru, tidak ada kenalan 2
seorangpun, tidak ada orang tua, dan bahkan tidak tahu tempat apa yang saya tuju berikutnya. Banyak hal yang bisa saya dapatkan ketika jalan sendirian, contohnya bagaimana saya nyasar dan menemukan tempat baru untuk didatangi, bagaimana saya dapat teman baru gara-gara salah tegur dan salah pakai loker dan sebagainya. Pokoknya, solo traveler itu hal paling asyik sedunia bagi saya, tidak peduli bagaimana pendapat dan pandangan orang lain mengenai hobi saya yang terkadang terkesan ekstrim ini. Awalnya jujur, saya seperti orang-orang pada umumnya, takut untuk jalan-jalan sendirian. Jangankan keluar kota, ke kota terdekat dari tempat tinggal saya aja, saya enggak berani jalan sendirian. Tapi, sejak salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi, saya berubah 360 derajat jadi super liar (dalam konteks jalan-jalan, lho). Perjalanan pertama saya waktu itu keluar negeri adalah ke Singapura. Negeri yang jauhnya hanya 1 jam 45 menit dari Indonesia bila dituju dengan pesawat itu merupakan negeri pertama yang saya singgahi. Awalnya orang tua tidak mengizinkan saya untuk pergi sendirian. Selain dengan alasan keselamatan dan bahaya, jalan-jalan merupakan jenis kegiatan pemusnah penghasilan tercepat di dunia. Mungkin banyak orang yang tidak paham dengan
3
Little India Dengan menggunakan Tiger Airways, tiba di Changi International Airport sekitar pukul 11.00 waktu Singapura. Saya menginap di daerah Little India yang kurang lebih berjarak 1 jam dengan menggunakan transportasi umum berupa bus hingga ke Orchard, disambung dengan Subway ke Farrer Park atau alternatif lain dengan langsung menggunakan Subway langsung ke Farrer Park (dekat Little India). Setelah melepas lelah dengan tidur siang, saya memutuskan untuk mencari makan malam sambil berjalan-jalan ke daerah pertokoan yang terletak di kawasan Little India yang rata-rata menjual pernak-pernik khas India dengan harga super miring.
Ada apa di Little India? Bagi yang hobi shopping, terutama shopping pakaian unik-unik dan murah meriah, di sinilah tempat yang paling pas untuk menyalurkan bakat belanja yang terpendam. Bangunan yang 4
terletak di Little India Street ini isinya pakaian tradisional India yang harganya dijamin murah. Harga dipatok mulai dari S $ 5 hingga S $ 10. Kualitas jelas bisa dijamin dan terutama penjualnya super ramah, bisa ditawar pula dan bisa dilihat-lihat dulu, kalau ada yang sesuai dengan selera silakan ditawar dan dibeli. Di Little India pula terdapat Mustafa Center yang isinya segala macam barang, mulai dari parfum, sabun hingga perhiasan dan makanan kecil. Harga yang dipasang pun jelas sesuai kantong dan saking cukup luasnya Mustafa Center ini, sepertinya agak tidak cukup bagi penggila belanja untuk seharian di gedung ini. Selain belanja mata untuk pakaian dan aksesoris, Little India juga menyajikan pemuasan batin bagi penggila kuliner. Untuk makanan India, saya sarankan coba di restaurant A B Mohammad yang rasanya oke dan harganya pas di kantong, berkisar S $ 12 untuk Nasi Briyani atau Prata seharga S $ 10. Jangan lupa pesan Mango Lasi sebagai penutup hidangan dan pemuas dahaga dengan harga sekitar S $ 5. Beberapa Hotel Budget yang ada di Little India, Lavender Street atau Race Road
Heritage Hostel : 293 South Bridge Road, Singapore 058837 B88 Hostel : 134 Jalan Besar, Bugis Street, Singapore 208852 5
6