Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
Mencari Aswang: Cerita Hantu, Monster, dan Dukun di Masyarakat Filipina Azuma Kentaro Universitas Nagoya
Pendahuluan: Sebuah Lukisan
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya pergi ke Fukuoka, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Museum Seni Asia yang sudah sejak lama menarik perhatian saya. Di tengah-tengah sedemikian banyak lukisan dan karya seni dari berbagai negara Asia yang dipamerkan di sana, saya terpaku di depan karya Carlos Fransisco, seorang pelukis asal Filipina yang bertitel “Kemajuan Melalui Pendidikan.” Di dalam gambaran tentang pendidikan dan kemajuan di Filipina, di bagian atas karya seni tersebut, melayang-layang sosok aneh terpotong setengah badan tanpa kaki dengan organ-organ internal yang terlihat dengan jelas dari bekas potongan badan yang menganga tersebut. Tidak salah lagi, sosok itu adalah Aswang. Gambaran yang berkaitan dengan takhayul yang semestinya terhapus oleh pendidikan dan kemajuan, terpampang jelas di dalam hasil karya Carlos Fransisco tersebut. Saya tidak percaya bahwa saya bertemu lagi dengan sosok Aswang. Sepertinya perjalanan saya dalam mencari Aswang masih belum berakhir.
Aswang di masa lalu dan di masa sekarang Aswang adalah mahluk supernatural yang sering muncul di dalam kepercayaan tradisional masyarakat dan cerita oral tradisional masyarakat Filpina, khususnya komunitas Kristiani. Walaupun dideskripsikan dalam berbagai macam gambaran, secara 1
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
garis besar gambaran tentang Aswang tersebut dapat dibagi ke dalam 5 kelompok (a) setan penghisap darah, (b) penghisap organ-organ tubuh, (c) monster, (d) setan pemakan manusia, dan (e) dukun (Ramos 1990). Yang saya lihat melayang-layang di dalam lukisan Carlos Fransisco adalah gambaran Aswang sebagai penghisap organ internal. Beberapa tahun belakangan ini, di dalam media dan mitos kota, Aswang dideskripsikan dalam gambaran yang semakin beragam. Saya mengenal Aswang untuk pertama kali ketika saya masih mahasiswa di sebuah universitas di Manila. Di asrama mahasiswa pria, tiap kamar ditempati oleh 4 orang mahasiswa yang datang dari berbagai daerah di Filipina. Mahasiswa-mahasiswa tersebut tidak lupa meyempatkan diri untuk bermain-main dan bercerita di sela-sela kesibukan mereka belajar, tiap hari dilewatkan dengan suasana yang bersemangat. Di tengah-tengah hari-hari itu, satu hal yang saya nanti-nantikan adalah saat mereka berbagi cerita horor sebelum tidur. Aswang sering menjadi topik di dalam cerita-cerita horor tersebut. Walaupun ada perbedaan antar-daerah, sepertinya ada suatu format cerita standar tentang Aswang sehingga walaupun berasal dari daerah yang berbeda-beda, teman-teman sekamar saya selalu dapat merasakan menariknya dan seramnya cerita tentang Aswang. Saya lalu perlahan-lahan terpukau oleh cerita horor Filipina, dan saya kemudian menjadi ingin mengenal Aswang lebih dalam lagi. Kalau ditelusuri, Aswang sebenarnya sudah terdokumentasikan di dalam catatan sejarah orang Spanyol yang menjajah Filipina pada abad ke 15 dan abad ke 16. Di dalam catatan sejarah tersebut, Aswang digambarkan sebagai “takhayul penduduk lokal” atau sebagai setan yang bertentangan dengan ajaran Tuhan dari sudut pandang misionaris-misionaris Spanyol yang berupaya untuk mempropagandakan ajaran Kristiani (Plasencia 1903-9; Ortiz 1903-9). Lalu, setelah melalui masa penguasaan 2
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
Spanyol dan Amerika, pendudukan tentara Jepang pada masa perang dunia ke 2, masa kemerdekaan, dan arus Nasionalisme pada masa kediktatoran Marcos, Aswang perlahan-lahan memperoleh status sebagai kepercayaan masyarakat Filipina dan sebagai cerita rakyat oral dalam skala nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Ramos melalui pengumpulan cerita rakyat oral, dan proses pendokumentasian di hampir seluruh wilayah di Filipina menunjukkan adanya sirkulasi kepercayaan dan cerita rakyat dari berbagai desa pertanian, desa nelayan, sampai kota-kota besar, suatu bentuk kepercayaan dalam skala nasional. Penelitian yang sama juga menunjukkan adanya kesatuan dan keberagaman dari cerita rakyat tersebut. Dengan demikian, Aswang yang telah memperoleh status sebagai mahluk supernatural yang merakyat, lalu muncul dalam konteks yang semakin beragam.
Aswang di dalam media
Sosok Aswang sebagai “mahluk supernatural yang merakyat”
tidak hanya
tersembunyi di desa nelayan, desa pertanian atau di pedalaman gunung. Sosok Aswang juga muncul dalam mitos perkotaan, termanifestasi dalam wujud nenek-nenek yang berlari dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan di Manila, atau dalam wujud seorang ibu yang pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan, yang lalu terkena pengaruh kekuatan jahat, yang setelah pulang dari luar negeri lalu membunuh dan memakan anaknya sendiri. Daya imajinasi tentang Aswang yang tumbuh di dalam pengaruh lokal, berkembang melampaui batas lokal dan menjadi level nasional, bahkan kadang-kadang melewati batasan negara dan berkembang dalam skala global. Aswang juga sering muncul di berbagai media. Satu hal yang mengejutkan, 3
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
penampakan Aswang bahkan diberitakan di media tabloid (tentu saja penampakan Aswang itu sendiri biasanya tidak diselidiki atau dibuktikan kebenarannya). Bahkan Aswang juga sering diangkat sebagai topik dalam novel atau komik fiksi, bahkan yang sering terjadi belakangan ini, Aswang sering ditampilkan di berbagai serial televisi atau film. Ada beberapa film dalam bahasa Filipina yang merupakan bahasa nasional sekaligus bahasa persatuan, atau yang lebih dikenal sebagai film Tagalog, yang mengangkat Aswang sebagai subjek cerita. Sebagai contohnya, film seri horor popular Shake Rattle & Roll Ⅱ(1990) yang menfilmkan Aswang, atau film yang muncul di tahun 2011 yang mendaur ulang bahan dari film Aswang (1992). Beberapa tahun belakangan ini Aswang juga muncul dalam berbagai genre film, misalnya film Ang Darling Kong Aswang (2009), film bertema komedi yang mengangkat Aswang sebagai topik, atau film Corazon: Ang Unang Aswang (2009) yang menekankan unsur roman (percintaan).
Daerah asal Aswang?
Di dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di dalam konteks modern, di dalam cerita atau gambaran yang sering muncul tentang Aswang, ada kecenderungan untuk mengkaitkan ide cerita tentang Aswang dengan suatu daerah tertentu. Ide tersebut berkaitan tentang provinsi Capiz yang ada di pulau Panai yang terletak di daerah Visayas barat sebagai daerah asal Aswang. Alasan mengapa saya tinggal di kota Roxas, di daerah metropolitan Capiz semenjak tahun 2000 untuk melakukan penelitian jangka panjang adalah karena 4
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
banyaknya cerita tentang Capiz sebagai daerah asal Aswang yang saya dengar dari cerita teman-teman saya di Manila. Ketika saya memberitahu bahwa saya ingin meneliti - alasan mengapa mahasiswa pasca sarjana Jepang tertarik pada Aswang - orang-orang serempak memberitahu saya bahwa Capiz adalah kampung halaman Aswang. Karena diberitahu seperti itu, saya lalu menjadi penasaran dengan apa yang sebenarnya ada di daerah Capiz dan lalu memutuskan untuk tinggal di kota Roxas, di provinsi Capiz untuk memulai penelitian jangka panjang saya. Tetapi, ketika saya sudah tiba di Roxas, dan mulai bertanya kemana-mana tentang Aswang, orang-orang menunjukkan reaksi tidak senang, tidak kooperatif, bahkan kadang-kadang menunjukkan rasa antipati yang meledak-ledak. Mulai dari sikap yang mengindikasikan ketidakmauan untuk bercerita tentang Aswang sampai pada respons bahwa di Capiz tidak ada Aswang, ujung-ujungnya penelitian saya tidak berjalan dengan lancar. Saya akhirnya mengetahui penyebab mengapa penelitian saya tidak berjalan dengan lancar tidak lama kemudian, setelah saya mengunjungi perusahaan koran lokal provinsi Capiz yang ada di kota Roxas. Setelah meneliti terbitan-terbitan lama dari koran mingguan tersebut, ternyata di dalam koran mingguan tersebut, selalu muncul artikel tentang Aswang sekali dalam beberapa bulan semenjak pertengahan tahun 90-an. Topik utama dari artikel-artikel tersebut berkaitan tentang apakah akan menerima atau menolak persepsi dari luar tentang provinsi Capiz sebagai daerah asal Aswang. Khususnya bermula dari resolusi musyawarah kota untuk mengkritik penggunaan nama kota Panitan yang terletak di provinsi Capiz dalam film Sa piling ng Awang (Negeri Aswang) yang dipublikasikan di seluruh negeri pada tahun 1999, yang diikuti oleh reaksi penolakan keras terhadap pandangan dari luar tentang provinsi Capiz sebagai daerah asal Aswang yang bermunculan dari dalam daerah dan 5
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
dari luar provinsi Capiz oleh orang-orang yang berasal dari provinsi Capiz. Tetapi, di sisi yang lain, usaha untuk menggunakan secara positif image negatif sebagai
kampung
halaman
Aswang
untuk
daya
tarik
pariwisata
melalui
penyelenggaraan festival Aswang juga dimulai pada kurun waktu yang sama. Inisiatif untuk mengadakan festival ini pada awalnya dipelopori oleh biro perjalanan dari Manila. Setelah melalui jajak pendapat pada pertemuan daerah, insiatif tersebut mendapat tentangan keras dari pihak-pihak yang kontra, seperti gereja Katolik. Tentangan dari pihak-pihak yang kontra tersebut sepertinya mereda selama masa tinggal saya di sana. Lalu setelah itu, festival Aswang akhirnya diselenggarakan oleh artis-artis muda yang tergabung dalam Dugo Capiznon Inc. sebagai acara Halloween pada tahun 2004. Kemudian, setelah masa penyelenggaraan selama 3 tahun, karena ditentang keras oleh pihak gereja Katolik dan karena tidak mendapat dukungan dari lembaga musyawarah kota, acara itupun akhirnya dihentikan. Di sini dapat kita lihat bahwa karena Aswang, yang semestinya hanya merupakan takhayul dan cerita hantu, telah mengakibatkan pertentangan politik, ekonomi, dan agama antar-daerah dan beragam pihak lain.
Dukun desa
Lalu, ada juga kondisi di mana Aswang mempengaruhi suatu daerah atau orang-orang tertentu secara mendalam. Sebagai contohnya, kondisi di mana kepercayaan dan takhayul tentang Aswang sebagai dukun menyebabkan diskriminasi dan pengucilan terhadap orang-orang desa tertentu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai klasifikasi Aswang oleh Ramos ke dalam 5 kategori, yang dimaksud dengan “dukun” di sini adalah sosok yang berbaur dan tinggal dalam komunitas, menyebabkan orang jatuh 6
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
sakit atau bahkan mati dengan menggunakan kekuatan jahat. Pada saat saya berkeliling ke berbagai tempat di provinsi Capiz untuk meneliti soal tentangan terhadap Aswang, saya secara tidak sengaja berjumpa dengan situasi di mana ada beberapa orang yang tinggal di daerah perkotaan di kota Roxas yang digosipkan sebagai Aswang. Pada awalnya keluarga yang rumahnya saya tempati dan tetangga-tetangga mereka tidak begitu menyukai penelitian saya tentang Aswang, tetapi seraya mereka memahami bahwa yang saya minati adalah sisi ilmiah dari Aswang, mereka mulai membagi informasi kepada saya dengan senang hati. Termasuk di dalamnya adalah informasi tentang dua orang yang digosipkan sebagai Aswang di desa yang saya tinggali. Di antara kedua orang yang digosipkan sebagai Aswang dan warga yang tinggal di dekat mereka tidak terlihat adanya konflik atau masalah dari luar. Tetapi, seraya saya tinggal lebih lama di desa tersebut, saya akhirnya memahami bahwa kedua orang tersebut lemah secara sosial dan berada dalam keadaan terkucilkan. Salah satu di antara kedua orang tersebut adalah janda, hidup dari usaha perikanan kecil-kecilan, tidak memperoleh bantuan dari orang-orang yang semestinya menjadi teman atau relatif, bahkan mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan para pelanggan dalam menjual hasil ikan yang diperolehnya. Satu orang lagi adalah pria lanjut usia yang telah ditinggal mati oleh istrinya, mengalami kesulitan berjalan karena kecelakaan, tidak memperoleh bantuan yang cukup dari keluarga dan teman-temannya dan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Diskriminasi dan pengucilan yang dialami oleh kedua orang tersebut belum tentu punya hubungan langsung dengan adanya gosip bahwa mereka berdua adalah Aswang. Tetapi, gosip bahwa mereka berdua adalah Aswang, walaupun hal tersebut tidak pernah diungkapkan secara langsung kepada mereka, terus 7
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
berlanjut, dan pengucilan yang mereka alami juga terus berlanjut dalam waktu yang sama. Keadaan seperti ini, yaitu gosip dihubungkan dengan kepercayaan dan cerita tradisional, seolah-olah menjadi pembenaran atas diskriminasi dan pengucilan yang terjadi atas orang-orang tersebut.
Penutup: “Takhayul di dalam perkembangan”
Alasan mengapa saya tidak dapat melepaskan diri dari Aswang seraya saya meneliti semakin dalam berbagai fenomena budaya dan sosial dari masyarakat Filipina adalah karena walaupun dari sudut pandang gereja Katolik Aswang merupakan setan, walaupun Aswang hanya merupakan cerita horor atau gossip, walaupun Aswang hanya merupakan monster yang muncul di dalam film horor, semuanya itu sudah terbiasa muncul di sekitar saya, di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Pada dasarnya, di dalam konteks kolonialisasi, Aswang adalah mahluk non-religius yang keberadaannya semestinya sudah ditentang. Lalu, di dalam cerita-cerita bertema pencerahan tentang kemajuan dan perkembangan di dalam modernisasi, keberadaan Aswang tidak diperlukan dan semestinya punah. Tidak salah lagi, sosok yang melayang-layang di bagian pojok atas lukisan karya Carlos, bagian yang biasanya sering tidak diperhatikan, adalah sosok Aswang sebagai mitos yang bertentangan dengan gambar yang menjadi inti dari hasil karya tersebut yang mendeskripsikan tentang pendidikan yang membawa kemajuan. Tetapi, seperti yang sudah terlihat sampai pada saat ini, di dalam daya imajinasi yang sangat luas yang memungkinkan media dan mobilitas, Aswang lalu muncul dan berkembang lebih jauh lagi dalam berbagai gambaran dan dalam berbagai konteks. 8
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 12: The Living and the Dead (October 2012)
Kemudian, ide tentang Aswang yang muncul dalam media lalu mempengaruhi kondisi nyata suatu daerah secara sosial, ekonomi, dan religius. Lalu, di dalam kondisi mikro berupa diskriminasi dan pengucilan yang terjadi di dalam desa, juga di dalam kehidupan seseorang, kepercayaan dan mitos tentang Aswang juga memiliki pengaruh yang sangat dalam. Takhayul seperti yang dijabarkan di atas akan selalu memiliki keberadaan yang terasa nyata, selalu berada di belakang jejak dari perkembangan dan kemajuan seperti bayangan. Oleh karena itu, untuk memahami masyarakat dan budaya Filipina, sepertinya bagaimanapun tidak akan bisa terlepas dari pencarian akan Aswang.
Catatan : Sehubungan dengan adanya batasan halaman, data mendetail dan informasi tentang Aswang tidak dideskripsikan di sini. Data mendetail dan informasi tentang Aswang tersebut dapat dilihat di referensi nomor 1. Referensi 東賢太朗 2011 『リアリティと他者性の人類学―現代フィリピン地方都市に おける呪術のフィールドから』三元社 Ortiz, P. T. 1903-9 Superstitions and Beliefs of the Filipinos. In The Philippine Islands, 1493-1898. 55 volumes. E.H. Blair and J.A. Robertson (eds.), vol.43: pp.103-112. Cleveland: A.H.Clark. Plasencia, J. 1903-9 Custom of the Tagalogs. In The Philippine Islands, 1493-1898. 55 volumes. E.H. Blair and J.A. Robertson (eds.), vol.7: pp.173-197. Cleveland: A.H. Clark. Ramos, M. D. 1990 The Aswang Complex in the Philippine Folklore. Manila: Phoenix Publishing House. (Diterjemahkan dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary)
9