BAB II ALASAN-ALASAN YANG MENJADI DASAR PERUBAHAN STATUS PLN DARI PERUSAHAAN UMUM MENJADI PERSERO
A. Perkembangan Bentuk-Bentuk Badan Usaha Milik Negara Dalam perkembangannya UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara digantikan melalui UU No.9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang. Ketentuan dalam UU No.9 Tahun 1969 tentang BentukBentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, membagi Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk yakni: Perjan, Perum, dan Persero. Dalam hal ini lebih dahulu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 dikeluarkan untuk memenuhi ketentuan dalam UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, kemudian baru diundangkannya UU No.9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 sekaligus menghapuskan Badan Pimpinan Umum (BPU), baik yang dibentuk berdasarkan UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, ataupun dengan Peraturan-peraturan lainnya, sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi dualisme dalam pimpinan Perusahaan Negara, dan memungkinkan terlaksananya dekontrol dan debirokratisasi secara tegas antara Pemerintah/Departemen dengan perusahaan Negara. Dikatakan sebagai Perusahaan Negara menurut Pasal 6 UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, adalah: 1. Modal perusahaan negara terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan;
Universitas Sumatera Utara
2. Modal perusahaan negara tidak terbagi atas saham-saham; dan 3. Semua alat likuid disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. Modal Perusahaan Negara merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan. Pemisahan modal Perusahaan Negara dari Kekayaan Negara sesuai dengan kedudukannya sebagai badan hukum yang harus mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari pada kekayaan umum Negara dan dengan sedemikian dapat dipelihara terlepas dari pengaruh anggaran pendapatan dan belanja Negara. Ratio dari pada modal Perusahaan Negara tidak terbagi atas saham-saham dimaksud untuk mencegah partisipasi. 58 UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, berlaku untuk semua Perusahaan Negara yang modal keseluruhannya adalah milik Negara Republik Indonesia. Tidak termasuk dalam hal ini perusahaan campuran di mana modalnya dimiliki dan terbagi atas saham Pemerintah dan Swasta. Modal Perusahaan Negara tidak dapat dibagi dalam bentuk saham-saham, hal ini dimaksudkan untuk menghalangi sektor-sektor swasta ikut memiliki saham Perusahaan Negara. Perusahaan Negara tidak dapat membentuk anak perusahaan. 59 Sebelum diundangkan UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, sebenarnya sudah ada dasar hukum berupa inpres mengenai pembagian Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk, yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara Kedalam 58
T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 216. 59 Ibid., hal. 216.
Universitas Sumatera Utara
Tiga Bentuk Usaha Negara. Dalam Inpres ini bentuk Perusahaan Negara sudah dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yakni, Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero). 60 Penyederhanaan perusahaan negara ke dalam 3 (tiga) bentuk: Perjan, Perum, dan Persero, agaknya dapat diperhatikan pada bagian konsideran Inpres Nomor 17 Tahun 1967. Oleh sebab pertimbangan karena: 1. Kenyataan sekarang terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan dalam bentuk, status hukum, struktur organisasi sistem kepegawaian, administrasi keuangan dan lain-lain perusahaan-perusahaan negara; 2. Untuk lebih memanfaatkan perusahaan-perusahaan Negara dalam rangka pembangunan ekonomi serta kemakmuran Bangsa; 3. Dalam masa transisi menjelang berlakunya undang-undang baru mengenai perusahaan-perusahaan
Negara,
maka
diadakan
penerbitan
atau
penyempurnaan dari perusahaan-perusahaan Negara yang ada diarahkan kejurusan penggolongan dalam tiga bentuk pokok yang telah menjadi konsensus umum baik di antara departemen-departemen maupun perusahaanperusahaan Negara; 4. Penyempurnaan perusahaan-perusahaan Negara pada pokoknya harus: a. Dihindarkan timbulnya stagnasi/hambatan-hambatan yang merugikan; b. Dipegang
teguh
pokok-pokok
kebijaksanaan
stabilisasi
ekonomi,
teristimewa soal-soal dikontrol dan dibirokratisasi; 60
Ibid., hal. 218-219.
Universitas Sumatera Utara
c. Dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi serta terjaminnya prinsipprinsip ekonomi dari pada Perusahaan-perusahaan Negara. Kehadiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara Kedalam Tiga Bentuk Usaha Negara, menginstruksikan kepada: 1. Semua Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah lainnya yang membawahi perusahaan-perusahaan Negara dalam segala bentuk; dan 2. Semua Pimpinan bentuk usaha Negara yang berdiri sendiri (yang tidak di bawahi Departemen atau Lembaga Pemerintah). Presiden menginstruksikan kepada semua Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah serta semua Pimpinan yang non departemen agar mengadakan persiapan penertiban atau penyempurnaan atau penyederhanaan dari setiap usaha-usaha Negara, di mana modalnya untuk sebagian atau seluruhnya baik terdiri dari kekayaan Negara yang dipisahkan maupun dari Anggaran Belanja Negara yang berupa perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, Lembaga, Yayasan dan lain-lain untuk diarahkan kepada 3 (tiga) bentuk pokok usaha negara yaitu: 1. Usaha-usaha Negara Perusahaan (Negara) Jawatan (Departemental Agency); 2. Usaha-usaha Negara Perusahaan (Negara) Umum (Public Coporation); dan 3. Usaha-usaha Negara Perusahaan (Negara) Perseroan (Public atau State Company). Ciri-ciri pokok dari ketiga bentuk usaha di atas tercantum dalam keterangan atau penjelasan terlampir dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1967. Penyederhanaan Perusahaan Negara diartikan dalam Inpres ini sebagai penggabungan ataupun pembubaran, haruslah dilakukan berdasarkan atas prinsip sederhana, ekonomis serta diperolehnya peningkatan efisiensi, efektifitas dan produktifitas usaha dalam rangka kebijaksanaan ekonomi Pemerintah sebagai dijelaskan dalam RAPBN 1968 khususnya dalam rangka penyempurnaan aparatur Pemerintah atau Negara. Ciri-ciri pokok dari ketiga bentuk usaha negara dijelaskan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara Kedalam Tiga Bentuk Usaha Negara. Penjelasan mengenai ciri-ciri pokok dari ketiga bentuk usaha negara tersebut sebagai berikut: 1. Ciri-Ciri Usaha-Usaha Negara Perusahaan Jawatan (disingkat Perjan): 61 a. Makna usaha adalah pelayanan publik (public service) artinya usaha yang dijalankannya merupakan pengabdian serta pelayanan kepada masyarakat. Usahanya dijalankan dan pelayanan diberikan dengan memegang teguh syarat-syarat
efisiensi,
efektifitas
dan
ekonomis
(kehematan)
serta
management efectiviness dan pelayanan kepada umum masyarakat yang baik dan memuaskan. b. Disusun mengenai suatu bagian dari Departemen atau Direktorat Jenderal atau Direktorat atau Pemerintah Daerah.
61
Lampiran A Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara Kedalam Tiga Bentuk Usaha Negara, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
c. Sebagai salah satu bagian dari susunan Departemen atau Pemerintah Daerah, maka Perusahaan Jawatan mempunyai hubungan hukum publik (publick rechtelijk verhending). Bila ada atau melakukan tuntutan/dituntut, maka kedudukannya adalah sebagai Pemerintah atau seijin Pemerintah. d. Hubungan usaha antara Pemerintah yang melayani dan masyarakat yang dilayani, sekalipun terdapat sistim bantuan/subsidi harus selalu didasarkan atas businees zakelijkheid, cost-accounting principle dan management effectiviness yang artinya setiap sudsidi yang diberikan kepada masyarakat selalu dapat diketahui dan dapat dicatat/dibukukan di mana yang diterima oleh masyarakat atau rakyat perseorangan berupa potongan-potongan harga atau mungkin pembebasan sama sekali dari pembayaran (uang sekolah) tetapi apa yang seharusnya dibayar/masuk kepada negara harus benar-benar dinyatakan dalam tanda pembayaran, karcis, jumlah uang yang harus dibayar atau bentuk tanda lainnya dengan dinyatakan secara jelas persentase potongannya atau pembebasan pembayarannya. e. Tidak dipimpin oleh suatu Direksi tetapi oleh seorang Kepala yang merupakan bawahan suatu bagian dari Departemen atau Direktorat Jenderal atau Direktorat atau Pemerintah Daerah yang memenuhi syarat-syarat 1) Pengabdian kepada tugas, kewajiban dan tujuan diadakannya Perusahaan Negara; 2) Bermental Pancasila; dan
Universitas Sumatera Utara
3) Memenuhi kualifikasi obyektif untuk menjamin pimpinan Perusahaan (meliputi kejujuran, technical skill, managerial skill dan enterpreneurial skill). f. Seperti halnya dengan Badan/Lembaga Pemerintah lainnya mempunyai dan memperoleh segala fasilitas negara. g. Pegawainya pada pokoknya adalah Pegawai Negeri. h. Pengawasan dilakukan baik secara hirarki maupun secara fungsional seperti bagian-bagian lain dari suatu Departemen/Pemerintah Daerah. 2. Usaha-Usaha Negara Perusahaan Umum (Publik Corporation) atau disingkat Perum: 62 a. Makna usahanya adalah melayani kepentingan umum (kepentingankepentingan produksi, distribusi dan konsumsi, secara keseluruhan) dan sekaligus untuk memupuk keuntungan. Usaha dijalankan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektifitas dan ekonomi, cost-accounting prinsiples and management masyarakat atau nasabahnya. b. Berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan Undang-undang (dengan wetstuding). c. Pada umumnya bergerak di bidang jasa-jasa vital (publik utilities). Pemerintah boleh menetapkan bahwa beberapa usaha yang bersifat public utility tidak perlu diatur, disusun atau diadakan sebagai suatu perusahaan negara (misalnya
62
Ibid., hal. 5. Lampiran B.
Universitas Sumatera Utara
perusahaan listrik untuk kota kecil yang dapat dibangun dengan modal swasta). d. Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau masuk kedalam suatu perjanjian, kontrak-kontrak dan hubungan-hubungan perusahaan lainnya. e. Dapat dituntut dan menuntut dan hubungan hukumannya diatur secara hubungan hukum perdata (private rechtelijk). f. Modal seluruhnya dimiliki oleh negara dari kekayaan negara yang dipisahkan serta dapat mempunyai dan memperoleh dana dari kredit-kredit dalam dan luar negeri atau dari obligasi (dari masyarakat). g. Pada prinsipnya secara finansial harus dapat berdiri sendiri kecuali apabila karena politik Pemerintah mengenai tarip dan harga tidak mengijinkan tercapainya tujuan ini. Namun bagaimana politik tarip dan harga dari Pemerintah, cara/sistem yang harus ditempuh adalah ciri Perjan pada huruf d di atas. h. Dipimpin oleh suatu Direksi. i. Pegawainya adalah pegawai perusahaan negara yang diatur tersendiri di luar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pegawai Negeri atau Perusahaan Swasta Usaha (Negara) Perseroan. j. Organisasi, tugas, wewenang, tanggung jawab, pertanggungan jawab dan cara mempertanggungjawabkannya serta pengawasan dan lain sebagainya, diatur
Universitas Sumatera Utara
secara khusus, yang pokok-pokoknya akan tercermin dalam Undang-Undang yang mengatur pembentukan perusahaan negara itu. k. Yang karena sifatnya apabila diantaranya ada yang berupa public utility, maka dipandang perlu untuk kepentingan umum politik tarip dapat ditentukan oleh Pemerintah, dengan cara/sistim yang terdapat pada ciri Perjan huruf d di atas. l. Laporan tahunan perusahaan yang memuat neraca rugi dan negara kekayaan disampaikan kepada Pemerintah. 3. Usaha-Usaha Negara Perusahaan Perseroan (Public atau State Company), disingkat Persero: 63 a. Makna usahanya adalah untuk memupuk keuntungan keuntungan dalam arti, karena baiknya pelayanan dan pembinaan organisasi yang baik, efektif, efisien dan ekonomis secara businees zakelijk, cost accounting principles, management effectivences dan pelayanan umum yang baik dan memuaskan memperoleh surplus atau laba. b. Status hukumnya sebagai badan hukum perdata yang membentuk perseroan terbatas. c. Hubungan-hubungan usahanya diatur menurut hukum perdata. d. Modalnya seluruhnya atau sebagian merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, dengan demikian dimungkinkan adanya joint atau mixedenterprise dengan swasta (nasional dan/atau asing) dan adanya penjualan saham-saham perusahaan milik negara.
63
Ibid., hal. 6. Lampiran C.
Universitas Sumatera Utara
e. Tidak memiliki fasilitas-fasilitas negara. f. Dipimpin oleh suatu Direksi. g. Pegawainya berstatus sebagai Pegawai Perusahaan swasta biasa. h. Peranan Pemerintah adalah sebagai pemegang saham dalam perusahaan Intensitas “medezeggenschap” terhadap perusahaan tergantung dari besarnya jumlah saham (modal) yang dimiliki atau berdasarkan perjanjian tersendiri antara pihak Pemerintah dan pihak pemilik (atau pendiri) lainnya. Jelas perbedaan dan persamaan dari ciri-ciri Perjan, Perum, dan Persero sebagaimana di atas menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara Kedalam Tiga Bentuk Usaha Negara di atas, bahwa ciri yang paling menonjol untuk Perjan adalah murni melaksanakan pelayanan semata-mata untuk kepentingan publik, sedangkan Perum dan Persero ciri utamanya mencari untung atau laba di samping Perum dan Persero juga berfungsi sebagai pelayanan publik. 64 Kendatipun telah ada UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara dan Inpres Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara Kedalam Tiga Bentuk Usaha Negara namun keduanya dirasakan tidak efisien sehingga dalam keadaan darurat (memaksa) Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara.
64
Sugiharto, dkk., hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
Perppu Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara ini kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang. 65 Ketentuan dalam UU No.9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi UndangUndang, kemudian membagi Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk yakni: Perjan, Perum, dan Persero. Dalam Pasal 2 UU No.9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, dibagi: a. Perusahaan Jawatan (Perjan) adalah Perusahaan Negara yang didirikan dan diatur menurut ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Indonesische Bedrijvennwet (Stbl. 1927: 419 sebagaimana yang telah beberapa kali diubah dan ditambah). b. Perusahaan Umum (Perum) adalah Perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. c. Perusahaan Perseroan (Persero) adalah perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas seperti diatur menurut ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Stbl. 1847:23 sebagaimana yang telah beberapa kali diubah dan ditambah), baik yang saham-sahamnya untuk sebagiannya maupun seluruhnya dimiliki oleh Negara.
65
Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16 Tambahan Lembaran Negara No. 2890.
Universitas Sumatera Utara
Baik Indonesische Bedrijvennwet (Stbl. 1927: 419) (dasar hukum Perjan), UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (dasar hukum Perum), maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Stbl. 1847:23) (dasar hukum Persero) menurut Penjelasan huruf B UU No.9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang sampai saat ini masih tetap berlaku. Kehadiran UU No.9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, yang lebih penting adalah meletakkan dasar hukum untuk ketiga bentuk usaha negara dimaksud. Setelah diundangkannya UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perusahaan-perusahaan BUMN terbagi dua kelompok: a. BUMN yang mempunyai posisi sebagai pelaksana Public Service Obligation (PSO) atau agent of development. b. BUMN yang non PSO yaitu BUMN yang semata-mata sebagai entitas bisnis. Pemerintah memberikan prioritas kepada BUMN PSO sedangkan untuk BUMN non PSO tidak ada tambahan dari negara. 66 Pada Perum Menteri Keuangan vq Pemerintah bertindak sebagai pemilik modal, sedangkan untuk Persero Menteri Keuangan cq Pemerintah bertindak sebagai pemegang saham negara. 67 Dalam hal PT. PLN (Persero) sekaligus sebagai salah satu BUMN murni mencari untung atau laba, juga wajib melaksanakan PSO dalam kapasitasnya sebagai salah satu BUMN yang mempunyai posisi sebagai pelaksana
66 67
Sugiharto, dkk., Op. cit., hal. 22. Pasal 1 angka 5 UU BUMN.
Universitas Sumatera Utara
Public Service Obligation (PSO) atau agent of development sebagai perintah dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 66 ayat (1) UU BUMN. Kendatipun
dikeluarkannya
UU
BUMN
perkembangan
perusahaan-
perusahaan BUMN di Indonesia juga tidak efektif dan efisien. 68 Tidak efektifnya perusahaan-perusahaan BUMN disebabkan karena pemilik perusahaan BUMN adalah Pemerintah dan agen perusahaan adalah BUMN itu sendiri. Sehingga loyalitas kepada Pemerintah sebagai pemilik perusahaan sangat dijunjung tinggi dan cenderung mengenyampingkan prinsip-prinsip pengelolaan BUMN. Nuansa politis dari berbagai pihak yang berkepentingan menjadi kental mencampuri
urusan
BUMN
yang
ujung-ujungnya
menyebabkan
BUMN
tereksploitasi dan dipolitisir. Pengelola BUMN pun terpaksa ikut arus kehendak politisi sehingga akan mengganggu ruang geraknya menuju efisiensi. 69 Upaya-upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG cenderung dikesampingkan. 70 Reorientasi pengelolaan BUMN dari yang sebelumnya cenderung dianggap sebagai alat birokrasi menjadi perlakuan BUMN sebagai layaknya sebagai lembaga usaha. Namun kondisi BUMN saat ini juga saja tidak terlepas dari stigma-stigma dengan kuatnya dominasi pejabat negara di BUMN. Kuatnya dominasi pejabat negara dipastikan menimbulkan persoalan-persoalan dalam pengelolaan BUMN itu sendiri.
68
Secara umum rata-rata perusahaan-perusahaan BUMN di Indonesia tidak efisien dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan swasta, walaupun masih ada BUMN yang mengungguli perusahaan swasta seperti BUMN Semen tidak kalah dari perusahaan swasta. 69 Sugiharto, dkk., Op. cit., hal. 3. 70 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kendatipun pemerintah melalui menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero 71, namun persoalan di BUMN cenderung tetap saja berunsur politis, korupsi, missmanagemen, birokrasi yang berbelit-belit, sentralistik, dan besarnya dominasi atau pengaruh pejabat negara atau pemerintah walaupun dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham. Prosedur birokratisasi yang rumit di BUMN dimungkinkan karena BUMN merupakan bentukan pemerintah, maka polanya cenderung menjadi urusan birokrat. Oleh karena persoalan-persoalan demikianlah maka banyak BUMN meninggalkan pola birokrasi menjadi korporasi yang sesungguhnya. 72 Tujuan menjadikan PLN dengan status sebagai Perum berdasarkan PP No.17 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. 73 Dengan menjadikan status PLN sebagai Perum untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi rakyat dengan cara penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan, dan pengelolaannya tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata dengan mutu pelayanan yang baik. 74
71
Pasal 1 angka 5 UU BUMN. Arwin Rasjid, dalam Sugiharto, dkk., Op. cit., hal. 194. 73 Konsideran huruf a UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. 74 Konsideran huruf b UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. 72
Universitas Sumatera Utara
Dalam kondisi PLN sebagai Perum sekalipun pengusahaan tenaga listrik tidak murni difungsikan untuk menyelenggarakan pelayanan kepentingan umum, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat, sebab Perum juga berfungsi mencari untung. Berlakunya PP No.17 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara, Pemerintah sebagai pemilik PLN bertujuan mencari untung di samping juga melaksanakan pelayanan umum untuk kesejahteraan rakyat. PLN bukan lagi memiliki tugas dan fungsinya sebagai perusahaan negara yang murni melaksanakan pelayanan bagi kepentingan umum. Demikian pula dengan diubahnya status PLN Perum menjadi PT. PLN (Persero) berdasarkan PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), PLN harus benar-benar mencari untung berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perseroan. Tetapi dalam posisi PT. PLN (Persero), Menteri Keuangan cq Pemerintah tidak bukan sebagai pemilik perusahaan melainkan sebagai pemegang saham perusahaan. Pemerintah di sini hanya sebagai pemegang saham baik seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berarti modal dan saham-saham PT. PLN (Persero) merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan usaha di bidang kelistrikan dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT serta peraturan pelaksanaannya.
Universitas Sumatera Utara
B. Sejarah Singkat Perusahaan Listrik Negara Perusahaan kelistrikan sudah muncul di tahun 1880-an sampai dengan tahun 1900 dengan munculnya perusahaan-perusahaan listrik di kota-kota besar di Amerika Serikat dan Eropa yang melaksanakan kompetisi secara bebas tanpa aturan yang jelas yang menyebabkan pengelolaan listrik dengan konsep monopoli alamiah dan persaingan tidak sehat. Munculnya perusahaan-perusahaan listrik di Amerika dan Eropa tersebut kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Selatan, Asia dan Afrika. Paradigma listrik sebagai infrastruktur ekonomi semakin menguat pada tahun 1930an ketika Presiden Rossevelt (AS) membangun pembangkit listrik Tennesse Valley Authority (TVA). 75 Kemudian di Indonesia pasca perang dunia II (tahun 1945-1947) terjadi nasionalisasi perusahaan listrik swasta menjadi perusahaan negara. 76 Hal itu berarti pengusahaan kelistrikan di Indonesia telah ada pada awal abad ke 19 ketika beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang industri gula dan teh mendirikan pembangkitan listrik untuk keperluan pabriknya sendiri. Pada tahun 1942 sampai tahun 1945 terjadi pengalihan pengelolaan perusahaan-perusahaan Belanda kepada pihak sekutu, setelah Belanda menyerah kepada pasukan tentara Jepang di awal Perang Dunia II. Kemudian Presiden Soekarno membentuk PLN sebagai Perusahaan Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga dengan 75
Imam Kukuh Pribadi (Tim Penyusun: Imam Kuku Pribadi, Bambang Heryawan, Budi Setianto, Dodo Dwi Sukmono, Kunto Herwin Bono, Rza Fauzi, dan Achmad Fauzi), Liberalisasi Kelistrikan: Menguntungka atau Merugikan, (Jakarta: Serikat Pekerja PT. PLN-Persero, tanpa tahun), hal. 4. 76 Ibid., hal. 4-5.
Universitas Sumatera Utara
kapasitas pembangkit tenaga listrik sebesar 157,5 MW yang dibentuk pada tanggal 27 Oktober 1945. 77 Secara singkat rentetan tahun peristiwa penting dalam sejarah perkembangan perubahan status PLN sebagai berikut: 1. Pada tahun 1942
sampai tahun 1945: Perusahaan Jawatan (Perjan).
Pembentukan Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga oleh Presiden Soekarno terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. 2. Pada tahun 1945 sampai tahun 1949: sebagian besar pengusahaan tenaga listrik dikuasai oleh swasta asing seperti NV.OGEM di Medan
dengan
pusatnya di Jakarta, ANIEM di Surabaya, NV.GEBEO di Bandung dan NV.EMBP di Balikpapan 3. Pada tahun 1953 sampai dengan tahun 1958: seluruh pengelolaan kelistrikan milik swasta dinasionalisasikan. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 163 Tahun 1953. 4. Pada tahun 1960 sampai dengan 1965: Perusahaan Negara Jawatan Listrik dan Gas di ubah menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN). Berdasarkan UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. 5. Pada tanggal 1 Januari 1965: Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) dibubarkan dan diganti menjadi 2 (dua) perusahaan
77
Laporan PT. PLN (Persero), Bekerja Secara Berkelanjutan, (Jakarta: Yayasan Pertambangan dan Energi, 2011), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai mengelola gas. 6. Pada tahun 1965 sampai dengan tahun 1967: Perusahaan Negara disederhanakan ke dalam tiga bentuk usaha Negara yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan (Persero). Berdasarkan Inpres Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara ke dalam Tiga Bentuk Usaha Negara yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan (Persero). 7. Pada tahun 1968: pemerintah mengalihkan struktur organisasi Direktorat Jenderal Tenaga dan Listrik (Ditjen Gatrik) dari Departemen Perindustrian Dasar Ringan dan Tenaga ke Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik
(Departemen PUTL). Berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1968. 8. Pada tahun 1969: Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kelompokan menjadi tiga bentuk yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan) untuk usaha murni public service dalam artian tidak mencari keuntungan/laba, Perusahaan Umum (Perum) untuk usaha pelayanan umum tidak memperoleh keuntungan/laba, dan Persero adalah perusahaan negara yang mencari keuntungan/laba. Berdasarkan UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang.
Universitas Sumatera Utara
9. Tahun 1972: status PLN diubah menjadi Perusahaan Umum Listrik Negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1972 dan ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. 10. Tahun 1978: struktur organisasi Departemen Pertambangan diubah menjadi Departemen Pertambangan dan Energi. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1978 sehingga kedudukan Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara dipindahkan dari jajaran Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik masuk kedalam jajaran Departemen Pertambangan dan Energi. 11. Tahun 1979: kemudian Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1979 tentang Pengusahaan Kelistrikan, menetapkan bahwa pengusahaan ketenagalistrikan tidak hanya dilakukan oleh PLN tetapi dapat juga dilakukan oleh swasta dan koperasi. 12. Tahun 1981: Menteri Pertambangan dan Energi
mengeluarkan Surat
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 11/PM/Pertamben/1981 tentang Ijin Usaha Ketenagalistrikan (IUK) yang semula dikeluarkan oleh PLN diambilalih menjadi kewenangan Departemen Pertambangan dan Energi. 13. Tahun 1994: Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Universitas Sumatera Utara
14. Tahun 2003: dengan keluarnya UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mengamanatkan PLN masuk dalam kategori sebagai satu satu bentuk BUMN. 15. Tahun 2009: Berdasarkan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan status PLN tidak lagi sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) melainkan ditetapkan sebagai BUMN dengan tugas menyediakan listrik bagi kepentingan umum. Sesudah penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, sebagian besar pengusahaan tenaga listrik dikuasai oleh swasta asing seperti NV.OGEM di Medan dengan pusatnya di Jakarta, ANIEM di Surabaya, NV.GEBEO di Bandung dan NV.EMBP di Balikpapan. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 163 Tahun 1953 seluruh pengelolaan kelistrikan milik swasta dinasionalisasikan. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda tersebut didasarkan pada UU No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Listrik dan atau Gas Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1961 dikeluarkan UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, maka Perusahaan Jawatan Listrik dan Gas di ubah statusnya menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang bergerak di bidang listrik dan
Universitas Sumatera Utara
gas. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1965 BPU-PLN dibubarkan, dan diganti menjadi 2 (dua) model perusahaan negara yaitu: 78 1. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga listrik; dan 2. Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai mengelola gas. Tujuh tahun kemudian (dari tahun 1960-1967) pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 17 Tahun 1967 tentang pengarahan dan penyederhanaan Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk usaha Negara yakni: Perusahaan Jawatan (Perjan); Perusahaan Umum (Perum); dan Perusahaan Perseroan (Persero). Dalam
rangka
peningkatan
pembangunan
khususnya
di
bidang
ketenagalistrikan, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1968, mengalihkan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Tenaga dan Listrik (Ditjen Gatrik) dari Departemen Perindustrian Dasar Ringan dan Tenaga kedalam Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Dep.PUTL). 79 Kemudian berdasarkan UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, maka Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia juga dikelompokan menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu: 1. Perusahaan Jawatan (Perjan) untuk usaha murni public service dalam artian tidak mencari keuntungan/laba;
78
Ibid., hal. 14. Syukri, Analisis Terhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik: Studi Pada PT. PLN Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara, Tesis, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 41-44. 79
Universitas Sumatera Utara
2. Perusahaan Umum (Perum) untuk usaha pelayanan umum tidak memperoleh keuntungan/laba; 3. Perusahaan Perseroan (Persero) yaitu perusahaan negara yang murni mencari keuntungan/laba. Status PLN dari Perusahaan Listrik Negara diubah menjadi Perusahaan Umum Listrik Negara pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1972 tentang Perusahaan Umum Listrik Negara, sehingga berdasarkan PP ini PLN ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. 80 Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1978, struktur organisasi Departemen Pertambangan diubah menjadi Departemen Pertambangan dan Energi, kedudukan Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara dipindahkan dari jajaran Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik masuk kedalam jajaran Departemen Pertambangan dan Energi. Tugas-tugas PLN yang
semula bersifat
pembinaan, pengawasan, dan
perencanaan kebijaksanaan umum di bidang ketenagalistrikan secara bertahap diambil alih
kembali oleh Pemerintah yakni berada di bawah Kementerian
Pertambangan dan Energi. Kemudian Pemerintah Pemerintah
mengeluarkan Peraturan
Nomor 36 Tahun 1979 tentang Pengusahaan Kelistrikan, sekaligus
menetapkan pengusahaan ketenagalistrikan tidak hanya dilakukan oleh PLN tetapi dapat juga dilakukan oleh pihak swasta dan koperasi. 80
Laporan PT. PLN (Persero), “Bekerja Secara Berkelanjutan”, Op. cit., hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Menteri Pertambangan dan Energi mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 11/PM/Pertamben/1981 tentang Ijin Usaha Ketenagalistrikan (IUK) yang semula dikeluarkan oleh PLN, diambil alih menjadi kewenangan Departemen Pertambangan dan Energi. Satus yang terakhir disandang oleh PLN adalah Perusahaan Perseroan (Persero) didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Pada tahun 1994 status PLN beralih dari Perum menjadi Persero dan juga masih tetap sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum. 81 Dengan status PT. PLN (Persero) berdasarkan UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mengkategorikan PT. PLN (Persero) sebagai salah satu BUMN. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 66 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN ditugaskan untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum. Adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 66 ayat (1) UU BUMN ini berarti PT. PLN (Persero) tetap ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan kewajiban melaksanakan fungsi sosial kendatipun statusnya sebagai Persero saat ini. Kewajiban pelaksanaan pelayanan umum tersebut sangat populer saat ini disebut dengan istilah Public Service Obligation (PSO). 82
81 82
Ibid., hal. 14. Sugiharto, dkk., Op. cit, hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga di tahun 2009 dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, maka berdasarkan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan status PLN tidak lagi sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) melainkan ditetapkan sebagai BUMN dengan tugas menyediakan listrik bagi kepentingan umum. 83
C. Alasan-Alasan yang Menjadi Dasar Perubahan Status PLN dari Perusahaan Umum Menjadi Persero 1. Alasan Yuridis Perum dan Persero merupakan badan hukum yang sifatnya dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan pembentukan PLN tersebut menjadi Persero. 84 Pengalihan status PLN dari Perum menjadi Persero didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Perusahaan Perseroan (Persero) adalah Perusahaan Negara sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang 83 84
Laporan PT. PLN (Persero), “Bekerja Secara Berkelanjutan”, Op. cit., hal. 14. T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Op. cit., hal. 216.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Dagang (KUHD). Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) merupakan peraturan pelaksana dari UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang. 85 Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam KUHD. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini ditetapkan bahwa unsur pemilikan Negara atas setiap usaha Negara yang berbentuk Persero disentralisir penatausahaannya kepada Menteri Keuangan. 86 Hal ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa pada hakekatnya fungsi utama dari Persero ialah pemupukan dana bagi Negara ataupun sebagai alat untuk mencari sumber keuangan Negara. Dalam hubungan ini masalah penanaman kekayaan Negara dalam modal Persero sangat erat hubungannya dengan kebijaksanaan Keuangan Negara, kebijaksanaan mana dalam keseluruhannya merupakan tugas dari Menteri Keuangan. 87 Berdasarkan pertimbangan tersebut bahwa penanaman kekayaan Negara dalam modal PT. PLN (Persero) bertujuan untuk memupuk dana bagi Negara, maka 85
Konsideran PP No.12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Perppu Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang yang peraturan pelaksananya diatur dalam PP No.12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). 86 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). 87 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu syarat utama yang harus diperhatikan dalam hal ini ialah penyertaan modal tersebut hanya akan dilakukan oleh Negara jika Persero tersebut dapat memberikan keuntungan bagi Kas Umum Negara. Berhasil tidaknya sesuatu Persero untuk memenuhi fungsi utamanya, antara lain sangat bergantung dari pengurusan yang dilakukan oleh Direksi Persero yang bersangkutan. Dalam hubungan ini tentulah merupakan suatu keharusan bagi anggota Direksi yang diangkat mempunyai keahlian atau pengetahuan teknis yang sesuai dengan bidang usaha dari Persero tersebut. Sesuai dengan hal ini, maka baik pengangkatan anggota Direksi (dalam hal modal Persero seluruhnya merupakan milik Negara) ataupun pencalonan anggota Direksi kepada Rapat Umum Pemegang Saham (dalam hal Negara hanya memiliki sebagian modal Persero) dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang saham didasarkan atas usul dari Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha Persero tersebut (Menteri bidang teknis). Ketentuan yang sedemikian akan dapat pula menjamin tercapainya keserasian antara pengurusan Persero yang harus dilakukan oleh Direksi Persero dan bimbingan yang harus diberikan oleh Menteri bidang teknis yang bersangkutan terhadap Persero tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero), ”Negara hanya dapat melakukan penyertaan modal dalam sesuatu perseroan terbatas, untuk seluruhnya atau sebagainya, apabila untuk itu telah disediakan modal dari negara berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pada dasarnya pemisahan kekayaan
Universitas Sumatera Utara
Negara untuk dijadikan penyertaan Negara dalam modal Persero hanya dapat dilakukan melalui (undang-undang) dan dipisahkan dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara. Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal nominal dari suatu Persero dapat dilakukan untuk alasan-alasan yaitu: 88 a. Pendirian suatu Persero baru; b. Perluasan kapasitas sesuatu Persero; c. Untuk memperbaiki atau mengadakan reorganisasi keuangan sesuatu Persero yang ternyata mengalami kerugian terus atau yang struktur keuangannya telah memburuk sedemikian rupa, hingga tidak memungkinkan pengurusan yang baik tanpa penambahan modal. d. Turut sertanya Negara dalam modal perseroan terbatas (swasta) yang telah berdiri. Dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ditentukan hal-hal yang menjadi alasan yang disyaratkan secara yuridis pengalihan bentuk perusahaan Negara menjadi Persero. Perusahaan Negara yang akan dialihkan bentuknya menjadi Persero harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini: 89 a. Telah melakukan penyehatan sedemikian rupa sehingga perbandingan antara faktor-faktor produksi menunjukkan perbandingan yang rasional; b. Telah menyusun neraca dan perkiraan laba/rugi sampai dengan saat dijadikannya sebagai Persero dengan ketentuan bahwa neraca penutupan atau likuidasinya diperiksa oleh Direktorat Akuntan Negara dan disahkan oleh Menteri yang bersangkutan; c. Telah melunasi semua hutang-hutangnya kepada Kas Umum Negara; d. Ada harapan baik untuk mengembangkan usahanya tanpa rugi.
88
Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). 89 Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).
Universitas Sumatera Utara
Perseroan terbatas yang modal sahamnya baik untuk seluruhnya maupun sebagiannya merupakan milik Negara yang pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini telah berdiri, dinyatakan termasuk dalam Persero setelah melalui penelitian yang dilakukan oleh Menteri Keuangan. 90 Termasuk Neraca pembukaan dari Persero juga ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dari tahun 1969 sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini, status PLN masih dialihkan dari Perjan menjadi Perum. Sebagaimana dasar hukum PLN sebagai Perum pada masa itu adalah PP No.17 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara. Empat tahun kemudian status PLN sebagai Perum tersebut dialihkan (diubah) menjadi Persero berdasarkan PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Alasan yuridis perubahan status PLN dari Perum menjadi Persero dapat diperhatikan pada bagian konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum
(Perum)
Listrik
Negara
Menjadi
Perusahaan
Perseroan
(Persero),
menyebutkan: Menimbang bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik, maka Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1990 dinilai memenuhi persyaratan untuk dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. 90
Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).
Universitas Sumatera Utara
Alasan utama yang dikemukakan dalam konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) adalah ”...dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik...”. Mulai dari sejak dikeluarkannya PP ini tampaknya usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik tidak kunjung selesai. Persoalan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik bahkan pada rejim privatisasi sekalipun kondisi pengusahaan tenaga listrik di Indonesia tetap pada kondisi kekurangan sumber daya dan kekurangan penyediaan tenaga listrik untuk disalurkan kepada ‘’ stakeholder’’ (rumah tangga,dunia usaha dan pemerintah). Selama ini ketika pengusahaan tenaga listrik di Indonesia yang dilaksanakan oleh PLN berstatus Perjan maupun Perum cenderung terkendala dalam prosedur birokrasi, sebab Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan bertindak sebagai pemilik perusahaan dan sekaligus sebagai pengelola serta penentu kebijakan pengusahaan tenaga listrik. Tentu dalam kondisi ini pengelolaan ketenagalistrikan dapat dipastikan tidak efektif dengan urusan prosedur birokrasi yang panjang, lama, mengakibatkan pengelolaan ketenagalistrikan dikelola secara tidak profesional. Birokrasi cenderung membuat segala sesuatu yang diperlukan menjadi lambat sebab dalam birokrasi pengelolaan ketenagalistrikan tersebut melibatkan peran dari instansi-instansi terkait. Dalam posisi status PLN sebagai perjan dan perum, pemilik perusahaan sekaligus sebagai pengelola dan penentu kebijakan pengusahaan tenaga
Universitas Sumatera Utara
listrik sama-sama berada pada kewenangan Pemerintah cq Kementerian Keuangan. Bedanya hanya terletak pada penempatan fungsinya saja, di mana fungsi Perjan adalah murni melaksanakan pelayanan umum sedangkan Perum berfungsi di samping sebagai pelayanan umum juga berfungsi untuk mendapatkan keuntungan. Dalam status PLN sebagai Perum, peran Pemerintah berusaha untuk menjadikan pengusahaan tenaga listrik sebagai entitas bisnis. Sekalipun kondisi pengusahaan tenaga listrik di Indonesia diubah statusnya dari Perjan menjadi Perum tetap saja pada kondisi ini PLN kekurangan sumber daya dan pasokan listrik kepada masyarakat. Sebab untuk melakukan pengembangan, khususnya disisi pembangkitan, PLN terkendala dalam hal pengambilan keputusan ,karena kebijakan pengembangan harus melibatkan unsur Pemerintah dengan birokrasinya yang rumit, misalnya membangun pembangkitan baru harus mendapat persetujuan Pemerintah. Kendatipun status PLN dirubah dari Perjan ke Perum hingga menjadi PT. PLN (Persero) dengan alasan untuk tujuan efektifitas tetap saja tujuan tersebut tidak bisa dicapai khususnya dalam hal subsidi. Sebab pada kenyataannya subsidi untuk PT. PLN (Persero) mesti ditempuh melalui birokrasi panjang mulai dari tahap pengajuan subsidi dari pihak PT. PLN (Persero) sendiri kepada Menteri ESDM sebagai Menteri teknis, kemudian Menteri ESDM menyampaikan usulan tersebut kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Keuangan, juga harus mendapat persetujuan dari legislatif.
Universitas Sumatera Utara
Kementerian Keuangan sebagai pemegang saham akan menentukan besaran subsidi yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah. Jika dengan pertimbangan Pemerintah cq Kementerian Keuangan tersebut disetujui maka permohonan pengajuan subsidi dari PT. PLN (Persero) tersebut baru kemudian bisa diberikan kepada PT. PLN (Persero) untuk dipergunakan menutupi beban biaya produksi. Panjangnya mekanisme birokrasi seperti dijelaskan diatas sudah pasti membutuhkan waktu yang lama untuk dapat direalisasi sementara kebutuhan akan pengembangan tenaga listrik sangat diperlukan. Ternyata dengan kondisi status PLN sebagai PT. PLN (Persero) tetap saja pengelolaan usaha tenaga listrik menghadapi kendala menjadi tidak efektif. Berubahnya status PLN dari Perjan ke Perum dan dirubah lagi menjadi PT. PLN (Persero) dengan alasan untuk tujuan efisiensi, tetap saja tujuan efisiensi tersebut tidak maksimal tercapai. Sebab setiap tahunnya permintaan akan tenaga listrik baik untuk rumah tangga, dunia usaha dan pemerintah sangat tinggi sedangkan sumber dana investasi dari APBN, dana internal, dan pinjaman/hutang tidak sebanding dengan kebutuhan dana untuk pengembangan (lihat tabel 9). Langkah-langkah
yang
telah
dilakukan
PT.
PLN
(Persero)
untuk
melaksanakan efisiensi dilakukan dengan cara menekan biaya operasional utamanya biaya produksi, misalnya secara bertahap mengganti penggunaan bahan bakar minyak dari HSD dan MFO untuk menjalankan mesin pembangkit yang selama ini harus diimpor dengan menggunakan mata uang dollar menjadi gas yang dapat diperoleh dan dibeli di dalam negeri dengan menggunakan mata uang rupiah. Pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
efisiensi yang terus dilakukan PT. PLN (Persero) sampai saat ini dengan banyak membangun pembangkitan yang tidak menggunakan bahan bakar minyak (HSD dan MFO) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pembangkitan yang menggunakan batubara, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pembangkitan yang menggunakan air yang dibangun didaerah yang dekat dengan sumber air yang terdapat didaerah-daerah pegunungan, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).pembangkitan yang menggunakan panas bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) pembangkitan yang dapat menggunakan gas dan batubara. Upaya penggantian penggunaan bahan bakar minyak HSD dan MFO yang selama ini harus import dengan pembayarannya menggunakan dollar ($ US) akan sangat berpengaruh dapat dilakukannya penghematan/efisiensi karena kemampuan membeli bahan bakar minyak tersebut tidak tergantung lagi kepada nilai kurs rupiah terhadap dollar. Selain untuk tujuan efisiensi dan efektifitas pengusahaan tenaga listrik sebagaimana yang disebutkan pada konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), dalam konsideran PP tersebut juga disebutkan ”...sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969” dengan alasan-alasan dalam pertimbangan undang-undang ini: 91
91
Konsideran dalam UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi UndangUndang.
Universitas Sumatera Utara
a. Perusahaan-perusahaan Negara sebagai unit ekonomi yang tidak terpisah dari sistem ekonomi Indonesia perlu segera disesuaikan pengaturan dan pembinaannya menurut isi dan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966; b. Dalam kenyataannya terdapat usaha Negara dalam bentuk Perusahaan Negara berdasarkan Undang-Undang No.19 Prp Tahun 1960 yang dirasakan tidak efisien, sehingga dipandang perlu untuk segera menerbitkannya kembali; dan c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1969 (Lembaran-Negara tahun 1969 No.16, Tambahan Lembaran-Negara No. 2890) tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara yang dikeluarkan atas Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditetapkan menjadi Undangundang. Munculnya UU No.9 Tahun 1969 di atas, alasan dalam pertimbangannya karena untuk disesuaikan pengaturan dan pembinaannya menurut isi dan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XXIII/MPRS/1966 tentang
Pembaharuan
Kebijaksanaan
Landasan
Ekonomi,
Keuangan
dan
Pembangunan. Jika diperhatikan isi dan jiwa yang terkandung di dalam pertimbangan TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966, pemerintah ingin menjadikan perusahaan-perusahaan Negara sebagai unit ekonomi tidak terpisah dari sistem ekonomi Indonesia dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik dimaksud dalam konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). 92 92
Konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) menghubungkan ketentuan ini dengan konsideran yang terdapat dalam konsideran UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, sementara di dalam konsideran UU No.9 Tahun 1969 ini alasan dalam pertimbangannya karena untuk disesuaikan pengaturan dan pembinaannya menurut isi dan jiwa TAP
Universitas Sumatera Utara
Alasan dalam pertimbangan TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966 secara yuridis untuk menanggulangi penderitaan rakyat yang makin meningkat akibat dari kemerosotan ekonomi Indonesia yang disebabkan oleh faktor-faktor missmanagemen, pemborosan, birokrasi, korupsi, dan sebagainya, ditambah dengan pemberontakan dari gerakan G.30.S./PKI dan penyelewengan-penyelewengan terhadap UndangUndang Dasar 1945, maka perlu diperbaharui kebijaksanaan di bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Maka langkah pertama kearah perbaikan ekonomi rakyat ialah penilaian kembali daripada semua landasan-landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan, dengan maksud untuk memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai yakni masyarakat Indonesia yang sejahtera berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Pemerintah dalam hal ini sadar akan hakikat sumber pokok daripada kemerosotan ekonomi, maka untuk melaksanakan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia tersebut kembali ke pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 yang pada intinya mengandung jaminan-jaminan ketentuan atau garansi-garansi obyektif yang memungkinkan dan bahkan mewajibkan pengawasan yang efektif oleh rakyat Indonesia terhadap kebijaksanaan Pemerintah melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
Pada bagian penutup TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966 khususnya pada Pasal 70 ditentukan dengan tegas, segala ketetapan, peraturan, dan ketentuanketentuan lain yang tidak sesuai dengan isi atau jiwa ketetapan ini dinyatakan tidak berlaku. Berarti konsideran yang disebutkan dalam PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) tunduk pada TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Alasan yuridis yang dikemukakan di atas tidak berdampak pada pengelolaan PT. PLN (Persero) menjadi efektif. Subsidi yang diberikan kepada PT. PLN (Persero) mesti ditempuh melalui birokrasi panjang mulai dari tahap pengajuan subsidi dari PT. PLN (Persero) sendiri kepada Menteri ESDM sebagai Menteri teknis, kemudian Menteri ESDM menyampaikan usulan tersebut kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Keuangan. Mekanisme panjang tersebut sudah pasti membutuhkan waktu yang lama dan birokrasi yang sulit terealisasi sementara kebutuhan akan pengembangan pusat-pusat pembangkitan tenaga listrik sangat diperlukan. Kementerian Keuangan sebagai pemegang saham baru akan menentukan berapa jumlah nominal subsidi yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah, jika dengan pertimbangan Pemerintah cq Kementerian Keuangan tersebut disetujui maka permohonan pengajuan subsidi dari PT. PLN (Persero) tersebut baru kemudian bisa diberikan kepada PT. PLN (Persero) untuk dipergunakan menutupi beban biaya produksi PT. PLN (Persero).
Universitas Sumatera Utara
Untuk efisiensi produksi tenaga listrik melalui diversifikasi pembangkitan yang menggunakan dari Bahan Bakar Minyak menjadi bahan bakar gas, uap, air, dan panas bumi. 93 Namun upaya pengalihan sumber bahan bakar tersebut untuk tujuan efisiensi tetap saja tujuan efisiensi tersebut tidak maksimal tercapai. Sebab kebutuhan akan tenaga listrik setiap tahunnya permintaan dari masyarakat baik di kota maupun di desa-desa terpencil cukup tinggi sedangkan sumber dana investasi dari APBN, dana internal, dan pinjaman/hutang tidak sebanding dengan kebutuhan dana pengembangan. 2. Alasan Non Yuridis Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) mengatakan, restrukturisasi PLN mutlak merupakan agenda dari Asian Develompment Bank (ADB) yang tidak bisa ditawartawar oleh Pemerintah Republik Indonesia. Terbukti bahwa ADB memberikan pinjaman (loan) sebesar US$ 380 juta dan US$ 20 juta untuk technical assistance, bahkan Bank Dunia sekalipun turut mendukung program tersebut dengan memberikan pinjaman sebesar US$ 300-400 juta. 94 Pinjaman (loan) sejumlah tersebut sehubungan pula dengan rencana usaha pengembangan distribusi yang diperkirakan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2025, PLN memerlukan pendanaan investasi sistem kelistrikan sekitar US$ 5.097,4 93
Riilnya dari upaya tersebut PT. PLN (Persero) mendirikan jenis-jenis pembangkitan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). 94
Imam Kukuh Pribadi (Tim Penyusun: Imam Kuku Pribadi, Bambang Heryawan, Budi Setianto, Dodo Dwi Sukmono, Kunto Herwin Bono, Rza Fauzi, dan Achmad Fauzi), Liberalisasi Kelistrikan...Op. cit., hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
juta yang diperlukan untuk perluasan jaringan tegangan menengah dan tegangan rendah, menambah kapasitas trafo distribusi dan sambungan pelanggan baru. 95 Dalam perubahan status PLN dari Perum menjadi Persero tersebut sebenarnya ada tiga poin besar yang dikehendaki oleh IMF, antara lain: 96 a. Pelaksanaan program restrukturisasi sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh Pemerintah sebelumnya; b. Penyelesaian kontrak-kontrak listrik swasta melalui cara renegoisasi terhadap semua kontrak yang telah ditanda tangani sebelumnya; dan c. Perubahan atau penggantian UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Ketiga poin besar di atas dianggap oleh IMF tidak sejalan dengan program yang sedang dijalankan IMF, oleh sebab itu, PLN harus direstrukturisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia termasuk segala yang menyangkut tentang perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan, bahkan salah satu muatannya perubahan status PLN dari Perum menjadi Persero merupakan produk hukum yang bernuansa politik kapitalis, liberal, dan economic principle. 97 Kebijakan dari Konsensus Washington dengan paket kebijakan ekonominya yang dirumuskan oleh IMF (Dana Moneter Internasional), Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat untuk merombak perekonomian campuran (misalnya yang dianut dalam sistem negara kesejahteraan atau welfare state) menjadi 95
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Dep. ESDM), “Profil Perusahaan Pertambangan dan Energi, Edisi Tahun 2007, hal. 537. 96 Imam Kukuh Pribadi (Tim Penyusun: Imam Kuku Pribadi, Bambang Heryawan, Budi Setianto, Dodo Dwi Sukmono, Kunto Herwin Bono, Rza Fauzi, dan Achmad Fauzi), Liberalisasi Kelistrikan...Op. cit., hal. 6. 97 Ibid., hal. 6. Dengan status PLN menjadi Persero tersebut, maka aspek pengelolaan PLN wajib tunduk dan patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang pada hakikatnya prinsip yang dianut dalam UUPT adalah prinsip-prinsip ekonomi untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya.
Universitas Sumatera Utara
sistem perkonomian pasar bebas (sistem ekonomi neoliberal). Sistem ini ditawarkan ke negara-negara dunia ketiga atau negara-negara jajahannya dengan cara: pemerintah harus mencabut atau menghapus subsidi, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan serta pelaksanaan privatisasi BUMN dalam suatu negara. 98 Kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan antara Pemerinntah Republik Indonesia dengan IMF antara lain menyepakati perubahan terhadap beberapa undangundang strategis diantaranya UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Anti Monopoli. 99 Dalam kesepakatan tentang PLN, kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk memecah organisasi PT. PLN (Persero). Pemecahan pada langkah pertama yaitu dengan memisahkan sistem di daerah luar Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan menjadikannya sebuah perusahaan terpisah yang disebut dengan Perusahaan Listrik Regional (Regional Elektricity Company) disingkat REC. 100 Terjadinya praktik monopoli alamiah (natural monopoly) 101 maka terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli itu dilakukan oleh pihak pemerintah atau monopoli dilakukan oleh pihak swasta. 102 Berlakunya UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan PP No.3 Tahun 2005 tentang
98
Ibid., hal. 6-7. Ibid., hal. 5. 100 Ibid., hal. 7. 101 Monopoli alamiah dalam konteks ini diartikan sebagai tindakan-tindakan penguasaan terhadap pasar ekonomi yang dilakukan oleh satu pihak baik penguasaan pangsa pasar dengan caracara sendiri dan membuat aturan sendiri-sendiri atau kelompok. 102 Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato (Makalah berbentuk teks) yang Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, Medan, Sabtu, Tanggal 17 April 2004, hal. 3. 99
Universitas Sumatera Utara
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, PT. PLN (Persero) diserahi tugas sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). 103 Berarti PLN di sini berada pada model kompetisi yang disebut vertical integrated monopoly di mana pemerintah melakukan monopoli tunggal. Awalnya dalam UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan Pemerintah masih beranggapan bahwa listrik masih sebagai infrastruktur dengan orientasi laba (benefit oriented) dan pemerintah beranggapan bahwa listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga listrik harus dikuasai oleh negara. 104 Setelah diundangkan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, listrik merupakan komoditi penuh dengan orientasi Pemerintah menjadi benar-benar berorientasi keuntungan semata (profit oriented) melalui upaya meliberalisasi sektor ketenagalistrikan dengan hadirnya pihak swasta. 105 Pengusahaan di bidang listrik melibatkan pihak badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. 106
103
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Dep. ESDM), Op. cit., hal. 526. Imam Kukuh Pribadi (Tim Penyusun: Imam Kuku Pribadi, Bambang Heryawan, Budi Setianto, Dodo Dwi Sukmono, Kunto Herwin Bono, Rza Fauzi, dan Achmad Fauzi), Liberalisasi Kelistrikan...Op. cit., hal. 8. 105 Ibid., hal. 9. Baik dalam UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (lama) maupun setelah diundangkan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (sekarang), status PLN sudah menjadi Persero dan pengusahaan di bidang listrik melibatkan pihak badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. 106 Pasal 4 ayat (2) UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 104
Universitas Sumatera Utara
Satu per satu perusahaan-perusahaan listrik swasta mulai bermunculan yang salah satu diantaranya adalah PT. Esitas Pacific yang merupakan perusahaan listrik swasta berupa Penanaman Modal Asing (PMA) asal Eropa dan anak perusahaan dari Esitas Group Companies yang berkantor di Istanbul, Turki. Beroperasi secara resmi di Indonesia pada tahun 2008 di kawasan industri Jababeka, Cikarang Bekasi-Jawa Barat. Kehadiran PT. Esitas Pacific ini sebagai pemasok transformer yang dibutuhkan oleh PT. PLN (Persero) dan sejumlah Independent Power Producer (IPP). 107 Restrukturisasi PT. PLN (Persero) di bawah pengawasan ketat IMF. Penting untuk disadari bahwa di jaman globalisasi saat ini kapitalisme membuat banyak orang menjadi kaya raya dan menjadikan orang lain yang lemah secara ekonomi akan semakin tertindas. Dalam hal ini inspirasi George Soros membuat dirinya menjadi kaya raya dari kapitalisme. 108 Kesepakatan PT. PLN (Persero) dan IMF seakan-akan menjadi pilihan akhir dan mutlak serta sangat menentukan pemulihan perekonomian Negara Indonesia. bahkan pada kenyataannya IMF sekan-akan lebih berkuasa daripada Presiden, DPR maupun MPR karena sering kali isu ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat dipaksa harus dikesampingkan petinggi Republik ini karena telah ditetapkan dalam IMF tersebut. 109
107
Rahmat Wijaya, “PT. Esitas Pasific Berikan Kepuasan Kepada Konsumen”, Dalam Majalah Listrik Indonesia, Edisi 18, Tanggal 10 Mei - 10 Juni 2011, hal. 50-51. 108 Sodiq, “Spekulasi George Soros”, Artikel dalam Majalah Badan Usaha Milik Negara, Edisi Januari 2008, Jakarta, hal. 40-41. 109 Fauzi Yusuf Hasibuan, dkk., Hutang di Balik Listrik Swasta, Op. cit., hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan status PLN dan pergantian regulasi di bidang ketenagalistrikan terus-menerus dilakukan oleh pihak Pemerintah Republik Indonesia, kiranya di tengah-tengah perubahan dan pergantian regulasi di bidang ketenagalistrikan tersebut, rakyat Indonesia nampaknya tidak seluruhnya mengetahui apa yang terjadi antara Pemerintah dengan IMF. Sesungguhnya IMF tidak dapat berbuat banyak dalam pemulihan perekonomian Indonesia demikian pula halnya dalam masalah kelistrikan, IMF ternyata tidak dapat diharapkan memberikan langkah penyelesaian yang berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia. 110 IMF sebenarnya terus melakukan tekanan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk meliberalisasi pengusahaan tenaga listrik dengan kehadiran perusahaan-perusahaan listrik swasta di Indonesia sehingga Pemerintah mau tidak mau harus mengubah status PLN dari Perum menjadi Persero sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi pesaing swasta dalam rangka mengurangi beban subsidi listrik kepada rakyat. Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini dituntut secara tidak langsung oleh pihak IMF untuk menjadikan status PLN sebagai Persero. Walaupun ketergantungan kepada IMF saat ini dapat dikurangi dengan semakin berkurangnya utang Indonesia, tetapi dengan masuknya Indonesia ke dalam anggota WTO, membuat Indonesia tidak dapat melepaskan dari keterikatan pengaruh dari luar untuk pengelolaan tentang ketenagalistrikan Indonesia.
110
Ibid., hal. 95.
Universitas Sumatera Utara