KARYA TULIS SIMPOSIUM GURU 2016
MENGURANGI FREKUENSI BULLYING ANTAR SISWA TUNAGRAHITA DENGAN MEMANFAATKAN JAM ISTIRAHAT SEKOLAH UNTUK KEGIATAN BERMAIN MUSIK
MAUNGGUH KASMAWAN, S.Pd NIP. 19810115 2011 01 1 008 SLBN 1 GUNUNGKIDUL
DINAS PENDIDIKAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016
KATA PENGANTAR Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan YME, karena dengan karunia-Nya kami dapat menyelesaiakan karya ilmiah yang berjudul “Mengurangi frekuensi bullying antar siswa Tunagrahita dengan memanfaatkan jam istirahat sekolah untuk kegiatan bermain musik”. Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada Kepala Sekolah, rekan-rekan Guru dan Karyawan serta seluruh siswa yang ikut membentu dalam pembuatan karya ilmiah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan karya ini. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Gunungkidul, November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................
i
BAB I PENGANTAR ...............................................................
1
BAB II PERMASALAHAN ………………………………….
3
BAB III PEMBAHASAN DAN SOLUSI……………………..
5
BAB IV KESIMPULAN DAN HARAPAN…………………..
13
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................
16
Naskah berikut merupakan karya tulis untuk simposium Guru 2016 :
Judul
:
Mengurangi frekuensi bullying antar siswa Tunagrahita dengan memanfaatkan jam istirahat sekolah untuk kegiatan bermain musik
Penulis
:
Maungguh Kasmawan, S.Pd
Jabatan
:
Guru Mata Pelajaran Seni Musik
Kabupaten
:
Gunungkidul
Provinsi
:
Daerah Istimewa Yogyakarta
Benar-benar merupakan karya asli saya dan tidak merupakan plagiasi. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Meyetujui dan mengesahkan:
Gunungkidul, 9 November 2016
Kepala Sekolah,
Penulis,
SUNARTA, S.Pd
MAUNGGUH KASMAWAN, S.Pd
NIP.19581201 198602 1 001
NIP.19810115 201101 1 008
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Slogan “school is fun” banyak terpampang di halaman muka sekolahsekolah beberapa tahun terakhir ini. Slogan yang menjelaskan bahwa sekolah merupakan “rumah ke2” dimana siswa dapat bermain, belajar, bersosialisasi, berinteraksi dengan lingkungan yang aman dan nyaman untuk tumbuh kembang mereka. Berangkat sekolah menjadi hal yang menyenangkan. Kehadiran Guru juga menjadi hal yang ditunggu setiap harinya. Guru berperan lebih dari hanya sebagai profil pengajar. Guru hadir sebagai orang tua atau bahkan sebagai “teman” bagi siswa, dimana siswa bisa bercerita hal apapun tanpa merasa sungkan karena komunikasi yang dihasilkan adalah komunikasi yang terbuka antara siswa dan guru. Problematika siswa baik dari rumah, pergaulan diluar ataupun masalah yang ditimbulkan saat di sekolah, semua hal itu bisa dibicarakan dengan guru secara terbuka. Tidak harus guru Bimbingan dan Konseling untuk menangani hal ini, tetapi Guru Kelas (Wali Kelas) ataupun Guru bidang studi juga mempunyai kewajiban yang sama dalam menampung permasalahan yang dialami siswa. Selain Guru yang berintegritas, sarana prasarana sekolah yang tiap tahun semakin meningkat juga mempunyai andil penting dalam mewujudkan konsep “school is fun”. Semakin tertata, semakin lengkap sarana dan prasarana sekolah membawa dampak yang besar bagi siswa. Sebagai contoh : Kegiatan ekstra kulikuler yang bervariasi, Kegiatan Belajar Mengajar yang memaksimalkan
media
IT
sehingga
proses
belajar
menjadi
lebih
menyenangkan, lingkungan sekolah yang tertata rapi, sejuk, nyaman dan kondusif untuk siswa menerima pelajaran dan lain sebagainya. Setelah guru, sarana dan prasarana, hal berikutnya adalah bentuk komunikasi antara pihak sekolah dengan komite yang sehat juga dirasa mempunyai peran yang signifikan. Sosialisasi setiap program sekolah, visi
misi, agenda kegiatan sekolah, dan hal pembiayaan yang transparan merupakan kunci utama untuk membangun komunikasi yang sehat. Keterlibatan peran komite dalam perkembangan dunia pendidikan masih sangat diperlukan, karena sekolah bukan merupakan hanya sekedar tempat penitipan bagi orang tua pada saat orang tua bekerja. Bentuk komunikasi bisa diwujudkan dengan buku komunikasi siswa atau jika memungkinkan bisa menggunakan teknologi whats app pada aplikasi smart phone yang diprioritaskan untuk lalulintas komunikasi antara pihak sekolah dan wali siswa. Konsep “school is fun” tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi sekolah regular saja, tetapi berlaku untuk setiap instansi pendidikan formal. Tidak terkecuali untuk Sekolah Luar Biasa dimana merupakan instansi pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Penyelenggaraan pendidikan luar biasa pada dasarnya bertujuan untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental dan atau perilaku agar mampu mengembangkan sikap pengetahuan sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau terjun ke masyarakat. Secara sederhana dan umum, makna pendidikan adalah usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani manusia sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan suatu kebudayaan. Bagi umat manusia pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Pengembangan berbagai potensi/bakat inilah yang menjadi kata kunci dalam dunia pendidikan. Karena bimbingan yang sesuai dengan bakat dan minat anak akan membawa dampak kemajuan yang signifikan bagi dunia pendidikan luar biasa. Tunagrahita merupakan salah satu jenis ketunaan yang terdapat di Sekolah Luar Biasa, selain Tunanetra, Tunarungu, Tunadaksa, Autis dll. Tuna Grahita dengan karakteristik anak dengan tingkat kecerdasan dibawah
standar, lambat belajar dan
beberapa juga termasuk dalam kategori
“DownSyndrome” di dalamnya. Siswa tuna grahita dengan keterbatasan yang dimiliki menjadikan mereka “terbatas” juga dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Selain kendala pada tingkat kecerdasan, beberapa juga terkendala dalam hal lain seperti : motorik kasar, motorik halus, kemampuan berbahasa dan komunikasi, serta bentuk-bentuk kenakalan/penyimpangan perilaku akibat kurangnya pemahaman siswa Tunagrahita. Klasifikasi anak Tunagrahita sesuai dengan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Tahun 1994, klasifikasi anak Tunagrahita dikelompokan menjadi tiga golongan yaitu: a. Anak Tunagrahita ringan atau mampu didik b. Anak Tunagrahita sedang atau mampu latih c. Anak Tunagrahita berat atau mampu rawat. Dalam penanganan pendidikan, dari ketiga golongan tersebut hanya dua golongan yang mendapat penanganan pendidikan, yaitu golongan anak Tunagrahita ringan dan anak Tunagrahita sedang Sedangkan untuk anak tunagrahita berat dimasukan dalam bidang perawatan seumur hidup dan menjadi tanggungjawab bidang sosial. Kompleksitas kendala yang dialami Tunagrahita, salah satunya disebabkan oleh kegandaan jenis ketunaan. Sebagai contoh : Tunagrahita plus Tunalaras, Tunagrahita plus Down Syndrome, Tunagrahita plus Tuna Rungu, dll. Jika proses assesmen yang dilakukan pihak sekolah menyebutkan bahwa anak tersebut masuk dalam kategori Tunagrahita, maka meskipun terdapat jenis ketunaan lain, tapi siswa tersebut termasuk dalam kategori Tunagrahita. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor Ujian Sekolah atau Ujian Nasional yang akan dijalani siswa. Karena siswa Tunagrahita tidak mengikuti Ujian Nasional, melainkan Ujian Sekolah. Selain itu juga untuk memberikan keterampilan dan pengembangan bakat dan potensi siswa secara akurat dengan mendeteksi dini jenis ketunaannya.
BAB II PERMASALAHAN
Siswa Tunagrahita adalah siswa yang mengalami keterlambatan dalam berfikir, memiliki intelegensi di bawah rata-rata serta mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tunagrahita berkaitan erat dengan masalah perkembangan, kemampuan, kecerdasan yang rendah, dan merupakan kondisi yang sifatnya menetap. Berikut ini pengertian Tunagrahita sebagaimana dikemukakan astati (201:2) sebagai berikut: “Ketunagrahitaan mengacu kepada fungsi intelektual yang secara jelas berada di bawah rata-rata/normal disertai dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian dan terjadi dalam masa perkembangan”. Kendala tingkat kecerdasan yang dibawah standar pada Tunagrahita membuat mereka sulit diberikan pemahaman mengenai bagaimana bergaul, berinteraksi sosial dengan sehat sebagaimana siswa umumnya. Tata bahasa yang terbatas, sikap berbicara hingga sopan santun masih merupakan hal yang abstrak bagi penyandang Tunagrahita. Selain itu, DoubleHandycap atau ketunaan ganda yang dialami beberapa siswa Tunagrahita memerlukan bentuk penanganan yang kompleks. Penanganan yang intens, frekuentif dan pendekatan persuasif kepada siswa masih dirasa sebagai solusi yang efektif hingga sekarang. Tunagrahita dengan keterbatasan tingkat kecerdasan berpengaruh terhadap bentuk komunikasi yang terjadi. Pemahaman tentang tata bahasa dan perilaku yang kurang, sering membuat mereka berprilaku menyimpang (nakal). Mulai dari bentuk suara / tata bahasa yang tidak baik (makian atau umpatan) hingga dalam bentuk bullying fisik atar siswa. Bentuk bullying antar siswa pada umumnya terjadi saat diluar jam pelajaran. Hal ini dikarenakan padaa saat proses pembelajaran, siswa diawasi oleh guru saat belajar. Ketika terjadi bullying pada saat itu, guru bisa secara langsung mengambil sikap untuk melerai dan mengatasinya. Hanya saja pada saat jam istirahat kadang beberapa siswa terlepas dari pengamatan guru
sehingga timbulah bullying antar siswa tersebut. Jam istirahat antara pukul 09:00 – 09:30, sebagian guru berada di kantor untuk istirahat dan menyiapkan materi pelajaran jam berikutnya, dan beberapa guru piket berada di tempat penjagaan. Sementara siswa pada saat istirahat berada tersebar dipenjuru sekolah. Hal ini menyulitkan untuk guru mengawasi. Pemicu permasalahan sebenarnya hal yang sepele, seperti : diawali dengan berebut benda mainan/makanan, atau kadang juga
bercanda dan
saling mengejek. Tetapi karena tingkat pemahaman yang kurang, membuat mereka tidak memahami batasan-batasan bercanda saat bersama teman. Ketika melewati batas dan membuat tersinggung, maka salah satu akan memulai pertengkaran. Dan seperti bentuk pertengkaran anak kecil pada umumnya, teman-teman yang berada disekitarpun juga mulai ikut memicu pertengkaran. Maka terjadilah bullying atar siswa saat jam istirahat sekolah. Dampak dari terjadinya bullying tidak hanya mempengaruhi pada siswa, tetapi juga berpengaruh pada lingkungan sekitar. Properti sekolah seperti : penghapus, papan tulis, kursi, meja dan berbagai fasilitas lain kerap menjadi pelampiasan kejadian tersebut. Rusaknya beberapa tanaman, papan penyekat yang berlobang, hingga berserakannya tanah dan batu merupakan hal yang sering terjadi. Selama ini tindakan yang diambil biasanya bersifat kuratif (pembinaan oleh guru BK ataupun Guru kelas kepada siswa saat kejadian sudah selesai dan biasanya disertai sanksi/hukuman). Pada awalnya (pasca hukuman) siswa akan merasa jera. Tetapi tidak untuk waktu yang lama. Sekali lagi, hal ini disebabkan oleh keterbatasan pemahaman siswa dalam konsep jera karena hukuman. Hingga akhirnya setelah selang beberapa hari, bullying ini akan terulang lagi. Hal ini yang membuat khawatir akan tumbuh kembang anak selama di sekolah. Selain itu juga menjadi perhatian sekolah atas timbulnya kerusakan-kerusakan fasilitas yang ditimbulkan olehnya.
BAB III PEMBAHASAN DAN SOLUSI
A. Pembahasan Sekolah sebagai problemsolver dirasa perlu untuk mengambil tindakan dalam permasalahan bullying ini. Tindakan kuratif yang diambil dirasa belum menjadi solusi yang ideal karena masih sering terulang bentukbentuk bullying antar siswa Tunagrahita. Hal ini membuat kami pihak sekolah harus dapat menemukan strategi baru untuk mensiasati permasalahan yang terjadi. Diperlukan komitmen dan dedikasi dari guru untuk menemukan solusi permasalahan tersebut. Solusi yang dimaksud adalah mengusahakan penanganan yang bersifat preventif (pra kejadian). Karena apapun alasannya, pencegahan lebih baik daripada “pengobatan”. Sebelum mengambil sikap sebagai bentuk solusi, kami harus memahami faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya bentuk bullying antar siswa Tunagrahita tersebut. Berikut antara lain : 1. Keterbatasan tingkat kecerdasan Telah dijelaskan pada paragraph sebelumnya bahwa, karakteristik siswa Tunagrahita memang terletak pada tingkat kecerdasan di bawah normal. Hal ini membuat mereka sulit untuk memahami hal-hal abstrak. Bagaimana berbahasa yang baik, bagaimana komunikasi yang sehat, bercanda tanpa harus menyinggung perasaan dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa keterbatasan tingkat kecerdasan ini merupakan sebuah kondisi yang bersifat menetap, bukan seperti penyakit yang bisa disembuhkan. Karena masih ada beberapa orang tua yang memahami jika siswa yang bersekolah di SLB maka setelah lulus akan sembuh dari ketunaannya. 2. Siswa memasuki usia puberitas Siswa Tunagrahita pada umumnya berusia lebih tua daripada tingkatan kelas yang seharusnya. Biasanya hal ini disebabkan
mereka berasal dari SD regular, tidak naik kelas sehingga membuat mereka pindah ke Sekolah Luar Biasa. Selain itu juga bisa dikarenakan kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya di SLB terlambat. Sehingga mereka masuk saat usianya lebih tua dari anak pada umumnya. Pengaruh usia ini yang menjadi salah satu faktor penting permasalahan. Siswa Tunahgrahita yang memasuki masa puberitas mengalami pertumbuhan fisik yang tidak seimbang dengan pertumbuhan tingkat kecerdasan. Fisik mereka yang besar tidak berbanding lurus dengan pemahaman pikir, sehingga mewujudkan perilaku-perilaku yang menyimpang berupa bentuk kenakalan. Energi anak usia belasan yang sangat besar dan emosi yang masih labil menjadikan mereka rentan dengan hal-hal negatif. Emosi yang tidak tersalurkan pada kegiatan-kegiatan positif ini membuat mereka melampiaskan pada kegiatan yang tidak semestinya. 3. Ketunaan Ganda Terdapat 2 orang siswa yang menunjukan perkembangan menyandang Tuna Ganda, yaitu Tunagrahita dan Tunalaras. Tunalaras dikenal sebagai anak dengan penyimpangan perilaku (nakal) yang pada umumnya dibentuk dari lingkungan asal yang tidak mendukung perkembangan anak. Anak sering mendengar atau melihat perilaku negatif di lingkungan sekitar yang mudah sekali untuk ditirukan. Tidak dipungkiri juga bahwa bentuk bullying siswa di sekolah salah satu faktor eksternalnya karena pada saat dirumah juga menerima perlakuan yang sama. Sehingga siswa melakukan pembalasan saat disekolah. 4. Pengawasan yang kurang Baik orang tua maupun guru, masing-masing mempunyai tanggungjawab terhadap pengawasan siswa. Pada saat di sekolah, jam istirahat merupakan waktu yang rentan terjadinya bullying antar siswa. Saat guru masuk ke kantor, hanya beberapa guru piket
yang
mengawasi
di
pos-pos
tertentu
membuat
sulitnya
pengawasan dilakukan. Sementara saat dirumah, orang tua jarang berkomunikasi dengan anak mengenai perihal yang dilakukan di sekolah. Apa yang dialami, apa yang dirasakan, bagaimana pergaulan dilingkungan rumah, dan hal-hal yang membutuhkan pantauan dari orang tua lainnya. Setelah menganalisa faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya bentuk kekerasan di atas, maka kami dari pihak sekolah segera menyikapi secara
bersama-sama
untuk
mencarikan
solusi
bagi
permasalahan
tersebut.Data yang didapatkan dari Guru Bimbingan dan Konseling menjadi acuan data tentang seberapa sering kejadian yang dialami siswa. Selain itu juga tercatat sejauh mana proses penanganan konseling yang diberikan dan perkembangan selama proses konseling. Hanya saja sejauh ini belum terlihat adanya perkembangan yang signifikan atas permasalahan tersebut. Koordinasi Guru-guru dan Kepala Sekolah dalam rangka mengatasi permasalahan ini menghasilkan telaah data antara lain : 1. Faktor
keterbatasan
siswa
memang
sudah
menjadi
karakteristik. Suatu kondisi yang bersifat menetap. Sehingga kami tidak berencana untuk mengubah situasi tersebut. 2. Faktor Puberitas Siswa yang mengalami permasalahan tersebut pada umumnya siswa yang sudah memasuki masa puber. Dengan fisik yang semakin besar tetapi tidak diimbangi pertumbuhan nalar dan kecerdasan. Enegi yang dimiliki sangat besar, tetapi siswa tidak tahu bagaimana untuk memanfaatkannya. Maka disini sekolah mengambil inisiatif untuk mencoba membrikan kegiatan pada siswa yang akan dilaksanakan pada saat jam istirahat berlangsung. Jenis kegiatan yang dilakukan masih menjadi bahan pertimbangan bagi pihak sekolah, agar bentuk kegiatan tersebut efektif untuk mengatasi pokok permasalahan. Hal ini akan dijelaskan pada paragraph di bawah.
3. Faktor Tuna Ganda Setelah dianalisa, siswa yang memiliki ketunaan ganda ternyata tidak banyak. Dan jika dianalisa lebih jauh, maka dapat ditemukan bahwa sebenarnya pemicu tindakan bullying ini hanya pada siswa tertentu saja. Siswa yang lain pada umumnya hanya meniru atau sekedar duplikasi saja. Jika letak pemicu telah diketahui, maka penanganan bisa lebih “meruncing” kepada objek yang dituju. Fokus pada pemicu permasalahan diharapkan mampu membuat penanganan menjadi lebih efektif. 4. Faktor pengawasan Pengawasan oleh pihak sekolah secara otomatis akan dilakukan oleh guru yang berkepentingan dengan jenis kegiatan yang akan diberikan pada siswa saat jam istirahat tersebut. Bagi guru akan sangat memudahkan dalam hal pengawasan saat siswa berkumpul pada satu lokasi yang ditentukan untuk diberikan kegiatan. Jumlah guru yang terlibat saat kegiatan masih opsional, karena harus mempertimbangkan situasi dan kondisi saat pelaksanaan bentuk kegiatan tersebut. Sedangkan pengawasan dari pihak orang tua, dilakukan dengan cara komunikasi lebih intensif antara pihak sekolah dan orang tua siswa. Bisa melalui telepon ataupun secara periodical dijadwalkan untuk bertemu langsung untuk saling menyampaikan hasil perkembangan baik di sekolah ataupun di rumah. B. Solusi Setelah beberapa saat berkoordinasi, pihak sekolah akhirnya mengambil sikap untuk mengatasi pokok permasalahan tersebut. Berdasarkan pertimbangan dari faktor-faktor di atas dan beberapa data yang dimiliki, pihak sekolah menentukan kegiatan yang akan diambil adalah kegiatan musik, yaitu memainkan alat musik pukul. Pertimbangan sebagai berikut :
1. Penyaluran energi. Siswa yang sebagian besar sudah memasuki masa puberitas memiliki energi yang besar. Maka bentuk kegiatan yang diperlukan sebagaimana mungkin melibatkan kegiatan fisik sebagai penyaluran energi siswa. Kegiatan musik dengan bermain alat musik pukul dinilai sesuai dengan pertimbangan tersebut. Intinya adalah, energi yang biasanya digunakan untuk bullying, diarahkan untuk kegiatan yang lebih positif dengan bermain alat musik bersama-sama. 2. Kerja sama Bermain musik bersama-sama akan melibatkan masing-masing siswa yang biasanya saling bertengkar. Jika pada kegiatan ini tiap siswa diberikan alat musik pukul, maka siswa akan berusaha bermain musik secara bersama-sama. Sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja sama untuk membuat musik yang harmonis dan enak didengar. 3. Nasihat yang disampaikan Upaya yang selama ini dilakukan belum terlihat signifikan dampaknya terhadap siswa. Kemungkinan siswa tidak menanggapi secara serius karena merasa “dimarahi”. Hal ini membuat nasihat yang diberikan tidak ditanggapi dengan serius. Ketika pesan nasihat diberikan sambil bermain, diharapkan siswa bisa menerima dengan sikap yang terbuka dan segera diterapkan. Saat penyampaian nasihat kepada salah satu siswa di depan teman-teman yang lain, diharapkan juga pesan yang disampaikan ini didengar oleh siswa yang lain dan secara tidak langsung bisa ikut memberikan motivasi kepada siswa yang bermasalah. 4. Pengawasan lebih fokus Siswa yang terkumpul dalam satu tempat dan bersama-sama melakukan kegiatan akan sangat memudahkan guru dalam
mengawasi siswa. Apapun bentuk pemicu kejadian akan segera terpantau dan guru bisa secara langsung mengambil tindakan baik berupa penyampaian nasihat/pesan, ataupun persuasif pencegahan atas pemicu kejadian. Sasarannya selain siswa bisa dicegah untuk melakukan bullying, juga lebih jauh untuk mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas karena dampak dari bullying tersebut. C. Teknis pelaksanaan kegiatan Berikut penjelasan detil pelaksanaan kegiatan musik saat jam istirahat sekolah dimulai : 1. Istirahat mulai jam 09:30. Siswa mulai keluar dari kelas masing-masing untuk istirahat. Beberapa siswa langsung menuju tempat yang ditentukan, dan beberapa lainnya jajan makanan di kantin sekolah sebelum menyusul ke tempat yang sama. 2. Pembagian alat Berikut alat musik yang digunakan : 2 buah kendang jawa, 1 buah jimbe, 2 buah jimbe mika, 2 buah alat marawis, 2 buah kongga, 1 buah cajon, 1 buah tamborin, 1 buah maracas, 1 buah guiro. Semua alat tersebut adalah alat musik pukul (dengan tangan), hal ini dikarenakan alat musik yang sesuai dengan kondisi siswa tunagrahita. Siswa terkendala dalam hal baca tulis. Sehingga mereka kesulitan untuk belajar alat ,musik selain perkusi. Sedangkan alat musik perkusi/pukul, bisa disiasati dengan menggunakan insting siswa atau bisa diberikan contoh untuk ditirukan sebelum memainkan alatnya. 3. Memberi contoh pola pukulan sederhana Dengan memahami keterbatasan siswa, maka contoh pola pukulan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan siswa. Semakin sederhana, maka siswa akan semakin mudah
untuk menirukan. Selain itu, bermain bersama-sama akan membuat siswa jadi mampu membandingkan mana permainan alat musik pukul yang sesuai dengan contoh yang diberikan oleh guru. Siswa dapat bekerjasama, saling memotivasi dan mendapatkan momen keceriaan bersama-sama. Pemilihan model pembelajaran yang tepat harus mempertimbangkan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Dengan kondisi siswa tunagrahita dan jenis pembelajaran berupa ketrampilan sesuai dengan menggunkan metode model Pembelajaran langsung (Direct Instruction). Direct
Instruction
merupakan
suatu
pendekatan
mengajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Pendekatan mengajar ini sering disebut Model Pengajaran Langsung (Kardi dan Nur, 2000 : 2) 4. Semakin sibuk siswa semakin baik. Saat siswa mulai memainkan alat musik bersama, maka otomatis pertengkaran yang biasa terjadi akan berkurang karena sibuk memainkan alat. Pada umumnya siswa akan memperhatikan arahan permainan alat yang diberikan oleh guru yang juga mengawasi jalannya kegiatan. 5. Saat bullying terjadi Perlu adanya penyikapan saat bentuk kekerasan/bullying antar siswa terjadi pada saat kegiatan berlangsung. Hal ini disiasati dengan memberhentikan secara spontan kegiatan bermusik. Dan saat siswa berhenti bermain, pesan/nasihat guru bisa disampaikan. “jika masih saja bertengkar, rusuh atau merusak, maka kegiatan bermusik Pak Guru hentikan dan alat silahkan disimpan kembali kedalam ruangan”. Hal ini diharapkan
mampu menjadi shock therapy pada siswa agar siswa mengerti letak kesalahan dan jera untuk mengulanginya lagi. Karena siswa sadar, atas perbuatan salah satu temannya, maka kesenangan yang didapat saat bermain alat menjadi terganggu. Maka secara spontan, siswa yang lain ikut memperingatkan agar tidak melakukan bullying saat kegiatan berlangsung. 6. Selesai jam kegiatan Kegiatan bermain alat musik selesai pukul 09:30 saat bunyi bel selesai istirahat maka siswa akan beranjak untuk menyimpan alat yang digunakan, untuk kemudian masuk ke kelas masingmasing mengikuti pelajaran selanjutnya. Saat memasukan dan merapikan alat inilah menjadi salah satu pesan kepada siswa untuk menanamkan pembiasaan disiplin. Alat yang selesai digunakan harus ditata rapi didekat pintu agar besok bisa digunakan lagi. 7. Terus menerus Metode kegiatan yang diterapkan ini hampir menyerupai terapi perilaku, dimana harus ditanamkan secara terus menerus. Hal ini mengingat akan keterbatasan siswa dalam hal tingkat kecerdasan dimana berhubungan langsung dengan lemahnya daya ingat (short therm memory), maka bentuk kegiatan yang dilakukan harus dilaksanakan secara berulang-ulang untuk mendapatkan hasil yang optimal. Setelah mempraktikan kegiatan tersebut, maka proses penting berikutnya adalah dengan management control, dimana guru harus mengevaluasi perkembangan yang terjadi pada jam-jam biasanya terjadi bullying antar siswa. Jika data menunjukan penurunan, maka bentuk kegiatan ini dapat dinilai sebagai solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan. Tetapi jika data menunjukan angka naik, maka perlu dikaji ulang.
BAB IV KESIMPULAN DAN HARAPAN
A. Kesimpulan Sekolah telah memutuskan untuk berupaya menurunkan angka bullying antar sesama siswa Tunagrahita pada saat jam istirahat berlangsung telah disikapi dengan memberikan siswa kegiatan berupa bermain alat musik bersama-sama. Dengan memberikan kegiatan yang melibatkan motorik kasar diharapkan bisa menyalurkan energi yang dimiliki siswa yang memasuki usia puberitas dengan cara yang positif. Dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa bentuk bullying yang terjadi antar siswa Tuna Grahita sebenarnya karena tidak adanya kegiatan positif dan pengawasan yang kurang pada saat jam istirahat berlangsung. Hal ini ditengarai dengan faktor penyebab pertengkaran yang pada umunya hanya karena hal yang sepele, seperti : bercanda yang kelewatan, berebut makanan jajan ataupun saling mengejek antar siswa yang berakhir dengan bullying. Maka dengan diterapkannya kegiatan memainkan alat musik bersama-sama siswa menjadi fokus dengan alat musik masing-masing. tidak terfokus dengan pertengkaran seperti yang terjadi sebelumnya. Pengawasan guru juga berperan penting, karena dengan adanya guru yang hadir ditengah-tengah mereka, siswa merasa diperhatikan dan diarahkan. Sehingga seperti sekarang ini, jam istirahat memiliki nilai lebih dari sekedar istirahat untuk jajan makanan saja. Tetapi bisa sebagai jembatan untuk menumbuhkan kecintaan siswa dalam memainkan alat musik. Memang perubahan yang didapat tidak bersifat otomatis (serta merta), tetapi tetap harus mengalami proses yang berkesinambungan. Pengulangan
tiap
hari
dan
penekanan-penekanan
pada
pembiasaan
kedisiplinan, bentuk komunikasi antar siswa yang sehat, penyampaian pesan saat siswa merasa dekat dengan guru, menjadi bentuk penanganan komples yang harus dijalani secara frekuentif.
B. Harapan Solusi yang dikembangkan dengan cara pendekatan secara persuasif, memberikan bimbingan, pesan dan nasihat pada saat melakukan kegiatan bermain alat musik diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada siswa mengenai dampak bullying dengan lebih efektif. Meskipun bentuk bullying belum bisa dihilangkan secara keseluruhan, tetapi penurunan angka kejadian sudah signifikan. Jenis kegiatan berupa memainkan alat music secara bersama-sama juga diharapkan mampu menanamkan kecintaan siswa terhadap alat musik, dimana pada tahap selanjutnya bisa dikembangkan pada taraf kegiatan ekstra kulikuler musik untuk pengembangan bakat siswa. Komunikasi antara pihak sekolah dengan orang tua siswa lebih intens untuk mengevaluasi perkembangan siswa dalam pergaulan sehari-hari. Apa yang diterapkan disekolah diharapkan pihak orang tua siswa juga ikut memantau perkembangannya di rumah. Dengan berkurangnya angka kejadian bullying di sekolah, maka program sekolah untuk mewujudkan slogan “school is fun” diharapkan bisa terwujud secara optimal. Lingkungan yang nyaman dan aman untuk siswa bermain, belajar, tumbuh dan berkembang. Kondisi sekolah yang kondusif untuk belajar siswa dengan lengkapnya sarana dan prasarana sekolah yang terjaga dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat. (2011). Pengertian Makna Pendidikan Karakter Sekolah. Posted on 29 Juni 2011
Banoe, Pono : Kamus Musik. Kanisius, Yogyakarta, 2003.
Hallahan, Daniel P & Kaufffman, James M, (1986). Exseptional children introduction to special education, New Jersey : Prentice Hall International Inc, Englewood Cliffs
Mumpuniarti. 2007. Pendekatan Pembelajaran Bagi Anak Hambatan Mental, Yogyakarta
:
Kanwa
Publiser.
Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Astati. (1996). Pendidikan dan Pembinaan Karier Penyandang Tunagrahita Dewasa. Bandung : Depdikbud.
Mack, Dieter : Sejarah Musik Jilid 4. Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta, 2007
Nana Sudjana & Ibrahim. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Nasution. (2003). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Prier, Karl-Edmund : Kamus Musik. Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta, 2011
Soemarjadi. dkk. (1996) Pendidikan Keterampilan. Jakarta: Depdikbud.
Suharsimi Arikunto. (2005). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjatmiko. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas
Supratiknya. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius
Suprayekti. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Sutjiharti Soemantri. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
W.J S Poerwadarminta. (1976). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Zuchdi. (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia.
LAMPIRAN