LKTI Nasional Excess 2016
LOMBA KARYA TULIS NASIONAL EXCESS 2016
POTENSI SUBSTRAT ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) SEBAGAI BAHAN BAKU TAMBAHAN UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI BIOGAS
Diusulkan Oleh : Nama
NIM
Angkatan
Rizqi Auliaur Rahman
1509065002
2015
Fitri Febriyanti
1509065014
2015
Azahra Rizka Amalia
1509065013
2015
UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2016
i
LKTI Nasional Excess 2016
Potensi Substrat Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) sebagai Bahan Baku Tambahan untuk Peningkatan Produksi Biogas Rizqi Auliaur Rahman, Fitri Febriyanti, Azahra Rizka Amalia, Novy Pralisa Putri Universitas Mulawarman
ABSTRAK
Listrik merupakan elemen penting dalam penunjang kehidupan generasi bangsa sekaligus masalah utama yang dihadapi penduduk yang daerahnya belum juga terjangkau saluran listrik di kabupaten Kutai Kartanegara. Masalah ini dapat diatasi dengan pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan untuk meningkatkan produksi biogas, terutama eceng gondok yang tumbuh menyebar di danau Kutai Kartanegara. Eceng gondok tumbuh dengan pesat dan mengakibatkan berbagai masalah karena penyebarannya yang menutupi permukaan sungai/perairan seperti terganggunya transportasi air, penyempitan sungai, dan lain sebagainya. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui potensi substrat eceng gondok sebagai bahan baku tambahan dalam produksi biogas untuk mengatasi masalah ketersediaan listrik sekaligus limbah biomassa eceng gondok. Berdasarkan hasil penelitian Akhiruddin (2009) peningkatan produksi biogas karena penambahan substrat eceng gondok (sludge system) selama 40 hari menunjukan total produksi biogas dengan nilai tertinggi diperoleh pada substrat 5% sebesar 2.337,96 ml, kemudian diikuti oleh substrat 2,5% sebesar 1.447,50 ml, selanjutnya substrat 1,25% sebesar 1.392,50 ml, dan yang terendah adalah kontrol (sludge) sebesar 561,25 ml. Dengan data tersebut, penulis dapat menyimpulkan jika pembuatan biogas dengan sludge system di Kabupaten Kutai Kartanegara akan menghasilkan 13,44 MW dan dapat menyediakan listrik ke 1.344 rumah Oleh karena itu, jika aplikasi ini diterapkan dengan baik maka akan memecahkan permasalahan ketersediaan listrik penduduk desa serta mampu meningkatkan kualitas generasi muda di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kata Kunci: Biogas, Eceng Gondok, Sludge, Sludge System
ii
LKTI Nasional Excess 2016
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Energi dan listrik merupakan elemen penting dalam penunjang kehidupan generasi bangsa sekaligus masalah utama yang dihadapi penduduk yang daerahnya belum juga terjangkau saluran listrik seperti di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kutai
Kartanegara
merupakan
sumber
energi,
tetapi
bermasalah dengan ketersediaan listrik. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan masyarakat terutama pelajar sangat terbatas untuk melakukan kegiatan pelajar pada umumnya. Dengan keadaan seperti itu, tentu pelajar di daerah tersebut memiliki keterbatasan untuk untuk mengakses sumber pengetahuan dengan menggunakan teknologi modern yang ada saat ini. Hal itu merupakan masalah yang sangat penting, karena masalah tersebut menghambat peningkatkan sumber daya manusia terutama generasi muda di daerah itu. Dengan keadaan yang tidak memungkinkan tersebut, maka mereka tidak dapat memaksimalkan sarana teknologi modern yang sedang berkembang saat ini.
Selain itu, perairan Kutai Kartanegara terutama danau dan sungai banyak tumbuh liar tanaman gulma eceng gondok dan menggangu aktifitas masyarakat seperti transportasi air. Untuk mengatasi masalah itu maka perlu dilakukan pembersihan sungai atau saluran-saluran air. Upaya pembersihan tersebut akan menghasilkan limbah biomassa eceng gondok apabila limbah tersebut dikumpulkan begitu saja. Salah satu upaya agar eceng gondok ini tidak menjadi limbah biomassa adalah dengan pemanfaatan alternatif sebagai bahan untuk meningkatkan produksi biogas.
Biogas dipilih karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan energi fosil dan jenis energi alternatif lainnya. Selain mudah dan murah dalam segi ekonomi, biogas memberikan perlawanan pada pemanasan global (global warming). Ada 3 cara untuk memberikan perlawanan terhadap pemanasan 1
LKTI Nasional Excess 2016
global (global warming) dengan penggunaan biogas. Pertama, biogas memberikan subtitusi atau pengganti dari bahan bakar fosil untuk penerangan, kelistrikan dan memasak. Kedua, metana (CH4) yang di hasilkan secara alami oleh kotoran yang menumpuk merupakan gas penyumbang terbesar pada efek rumah kaca, lebih besar dari CO2. Pembakaran metana pada biogas mengubahnya menjadi CO2 sehingga mengurangi jumlah metana yang ada di udara. Ketiga, gas CO2 yang di hasilkan dari proses biogas akan di serap kembali oleh tumbuhan hujau dan menjadi bahan dalam proses fotosintesis yang akan menghasilkan oksigen (O2) yang dapat melawan efek rumah kaca.
Oleh karena itu, jika aplikasi ini diterapkan dengan baik maka akan memecahkan permasalahan ketersediaan listrik masyarakat serta mampu meningkatkan kualitas generasi muda terutama pelajar di Kabupaten Kutai Kartanegara. Mengingat listrik adalah elemen penting dalam penggunaan teknologi modern saat ini.
1.2. Identifikasi Masalah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara adalah salah satu daerah sumber energi bagi Kalimantan, namun memiliki permasalahan ketersediaan listrik untuk daerahnya. Hal ini menyebabkan kegiatan masyarakat terutama pelajar terbatas dalam memanfaatkan sarana teknologi modern saat ini sebagai sumber pengetahuan.
Di sisi lain, banyak terdapat tanaman pengganggu (gulma) eceng gondok yang tumbuh liar di wilayah perairan Kabupaten Kutai Kartanegara. Eceng gondok hanya menjadi limbah biomassa pada perairan daerah tersebut. Padahal menurut Akhiruddin (2009), eceng gondok berpotensi untuk meningkatkan
produksi
biogas
kotoran
sapi
(sludge).
Dengan
memanfaatkan eceng gondok yang terdapat di perairan Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai substrat tambahan dalam produksi biogas kotoran sapi (sludge) maka akan menghasilkan potensi sumber energi yang besar.
2
LKTI Nasional Excess 2016
Dari uraian tersebut, penulis ingin memanfaatkan ketersediaan eceng gondok yang menjadi limbah biomassa dengan cara menambahkannya pada biogas kotoran sapi (sludge) sebagai bahan baku tambahan. Sehingga, permasalahan ketersediaan listrik sekaligus limbah eceng gondok dapat teratasi. Dengan penyelesaian tersebut, kualitas generasi muda Kabupaten Kutai Kartanegara dapat meningkat dengan ketersediaan energi dan listrik dalam penggunaan teknologi saat ini.
1.3. Rumusan Masalah Penulisan ini difokuskan pada kajian tentang “Potensi substrat eceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai bahan baku tambahan untuk peningkatan produksi biogas”, tepatnya pada saat ini limbah biomassa eceng gondok dan kotoran ternak dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan.
Atas dasar latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut: a.
Berapa hasil produksi biogas kotoran sapi (sludge) dengan penambahan substrat eceng gondok (Eichhornia crassipes)?
b.
Berapa besar potensi listrik apabila aplikasi produksi biogas dengan penambahan
substrat
eceng
gondok
(Eichhornia
crassipes)
diterapkan? c.
Apakah
dengan
meningkatkan
teratasi
kualitas
masalah
generasi
pemadaman
muda
di
listrik
akan
Kabupaten
Kutai
Kartanegara?
1.4. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : a.
Untuk mengetahui hasil produksi biogas kotoran sapi (sludge) dengan penambahan substrat eceng gondok (Eichhornia crassipes).
3
LKTI Nasional Excess 2016
b.
Untuk mengetahui besar potensi listrik apabila aplikasi produksi biogas dengan penambahan substrat eceng gondok (Eichhornia crassipes) diterapkan.
c.
Untuk mengetahui dengan teratasi masalah ketersediaan listrik akan membuat kualitas generasi muda di Kabupaten Kutai Kartanegara semakin meningkat.
1.5. Manfaat Penulisan Kajian tentang potensi substat eceng gondok (Echhornia crassipes) untuk peningkatan produksi biogas ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan pembaca. Adapun manfaat-manfaat tersebut adalah: 1.
Bagi
penulis
manfaatnya
adalah
dapat
menganalisis
dan
memperdalam sekaligus mengembangkan ide kreatif dalam inovasi energi alternatif terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup. 2.
Bagi akademisi manfaatnya adalah dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan referensi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. Juga dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan untuk yang membacanya.
3.
Bagi masyarakat manfaatnya adalah penulisan ini diharapkan akan berkontribusi dalam memberikan informasi dan pemahaman tentang potensi limbah kotoran sapi (sludge) dan biomassa eceng gondok untuk menjadi salah satu solusi energi dengan metode biogas.
4.
Bagi pemerintah manfaatnya adalah penulisan ini dapat dijadikan informasi yang diharapkan menjadi salah satu cara mengatasi masalah kerusakan ekosistem air oleh eceng gondok, solusi energi alternatif di masa mendatang, dan membantu meningkatkan kualitas generasi muda daerah.
4
LKTI Nasional Excess 2016
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Kutai Kartanegara Menurut data yang ada pada situs resmi pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 km2 dan luas perairan 4.097 km2 yang secara geografis terletak antara 115°26'28'' BT 117°36'43'' BT dan 1°28'21'' LU - 1°08'06'' LS dengan batas administratif sebagai berikut : a.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Malinau
b.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur dan Selat Makassar
c.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasir dan Kota Balikpapan
d.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat
Secara administratif, Kabupaten Kutai Kartanegara terbagi dalam 18 wilayah kecamatan dan 237 desa/kelurahan. Dengan pertumbuhan penduduk 3,92% per tahun, penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara mencapai 870.306 jiwa (April 2014) dengan kepadatan penduduk rata-rata 32 jiwa/km2. 2.1.1. Topografi Topografi wilayah sebagian besar bergelombang sampai berbukit dengan kelerengan landai sampai curam. Daerah dengan kemiringan datar sampai landai terdapat di beberapa bagian yaitu wilayah pantai dan DAS Mahakam. Pada wilayah pedalaman dan perbatasan pada umumnya merupakan kawasan pegunungan dengan ketinggian 5002000 m dpl.
2.1.2. Jenis Tanah Jenis-jenis tanah yang terdapat di daerah ini menurut Soil Taxonomi USDA termasuk kedalam golongan Ultisol, Entisol, Histosol, 5
LKTI Nasional Excess 2016
Inceptisol dan Mollisol, sedangkan menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor terdiri dari jenis tanah Podsolik, Alluvbial, Andosol dan Renzina.
2.1.3. Iklim dan Curah Hujan Karakteristik iklim dalam wilayah Kabupaten Kutai adalam iklim hutan tropika humida dengan perbedaan yang tidak begitu tegas antara musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan berkisar antara 20004000 mm per tahun dengan temperatur rata-rata 26°C. Perbedaaan temperatur siang dan malam antara 5-7°C.
2.1.4. Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 adalah sebanyak 626.286 jiwa, dengan pertumbuhan penduduk dalam 10 tahun terakhir sebesar 3,92% per tahun. Dibandingkan dengan luas wilayah maka kepadatan penduduk mencapai rata-rata 22,97 jiwa/km2.
Penduduk yang bermukim di wilayah ini terdiri dari penduduk asli dan penduduk pendatang. Pola penyebaran penduduk sebagian besar mengikuti pola transportasi yang ada. Sungai Mahakam merupakan jalur arteri bagi transportasi lokal. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar pemukiman penduduk terkonsentrasi di tepi Sungai Mahakam dan cabang-cabangnya.
Daerah-daerah yang agak jauh dari tepi sungai di mana belum terdapat prasarana jalan darat relatif kurang terisi dengan pemukiman penduduk. Mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor pertanian 38,25%, industri/kerajinan 18,37%, perdagangan 10,59 % dan lain-lain 32,79%.
6
LKTI Nasional Excess 2016
2.1.5. Perekonomian Struktur perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara didominasi oleh sektor minyak dan gas bumi, pertanian dan pertambangan. Pada tahun 2010, Sektor Pertambangan dan Penggalian menyumbang 83,84% bagi PDRB Kutai Kartanegara. Sedangkan Sektor Pertanian memberikan konstribusi sebesar 6,34%, disusul Perdagangan dan Hotel (2,86%), Industri Pengolahan (1,28%), Bangunan (3,21%), Sektor Keuangan dan Sewa (0,38%) dan Sektor lainnya (2,09%).
Tetapi apabila dihitung tanpa migas, Sektor Pertambangan dan Penggalian masih tetap dominan dengan kontribusi sebesar 54,55%. Sementara sektor lainnya juga memberikan konstribusi yang cukup memadai seperti sektor Pertanian (17,83%), Industri Pengolahan (3,59%), Bangunan (9,04%), Perdagangan, Hotel dan Restoran (8,04%), Keuangan dan Jasa (1,07%).
2.2. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Nuramijaya (2016), menyatakan nama umum Indonesia adalah Eceng gondok, kelipuk, kembang bopong, weweyan. Sedangkan nama umum Jepang adalah hotei aoi. Untuk Klasifikasi eceng gondok adalah sebagai berikut. Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Alismatidae
Ordo
: Alismatales
Famili
: Butomaceae
Genus
: Eichornia
Spesies
: Eichornia crassipes (Mart.) Solms
7
LKTI Nasional Excess 2016
Gambar 2.1. Eceng Gondok Sumber: Nuramijaya, 2016
2.2.1 Deskripsi Rahayu (2010), menjelaskan eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.
Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter, tidak mempunyai batang, daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut (Rahayu, 2010).
Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok mempunyai sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung selulosa yang lebih tinggi besar
8
LKTI Nasional Excess 2016
dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain (Rahayu, 2010).
Gerbono (2005), menyebutkan, eceng gondok hidup di daerah tropis maupun subtropis. Eceng gondok digolongkan sebagai gulma perairan yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dan berkembang biak secara cepat. Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium (Laporan FAO).
Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok adalah perairan yang dangkal dan berair keruh, dengan suhu berkisar antara 28-30˚C dan kondisi pH berkisar 4-12. Di perairan yang dalam dan berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh. Kandungan garam juga dapat menghambat pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi pada danau-danau di daerah pantai Afrika Barat, di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim hujan dan berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau (Gerbono, 2005).
Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan oksigen dan penyerapan sinar matahari. Bagian dinding permukaan akar, batang dan daunnya memiliki lapisan yang sangat peka sehingga pada kedalaman yang ekstrem sampai 8 meter di bawah permukaan air masih mampu menyerap sinar matahari serta zat-zat yang larut di bawah permukaan air. Akar, batang, dan daunnya juga memiliki kantung-kantung udara sehingga mampu mengapung di air. Bunga eceng gondok berwarna ungu muda (lila) dan banyak dimanfaatkan sebagai bunga potong. Keunggulan lain dari eceng gondok adalah dapat menyerap senyawa nitrogen dan fosfor dari air yang tercemar, berpotensi untuk digunakan sebagai komponen utama pembersih air limbah dari berbagai industri dan rumah tangga. Eceng
9
LKTI Nasional Excess 2016
gondok juga dapat digunakan untuk menurunkan konsentrasi COD dari air limbah (Gerbono, 2005).
2.3. Komposisi Kotoran Sapi Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian tahun 2007, disebutkan bahwa kotoran sapi mengandung selulosa, hemisellulosa, lignin, karbonat organik, nitrogen, fosfor dan kalium. Sapi memiliki sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaan yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput berserat tinggi. Oleh karena itu, kalor yang dihasilkan oleh biogas cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk metana murni (100%) memiliki nilai kalori 8900 kkL/m3. Komposisi biogas (%) kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Biogas Biogas Jenis gas
Campuran kotoran +
Kotoran sapi
sisa pertanian
Metan (CH4)
65,7
54 – 70
Karbon dioksida (CO2)
27,0
45 – 57
Nitrogen (N2)
2,3
0,5 - 3,0
Karbon monoksida (CO)
0
0,1
Oksigen (O2)
0,1
6,0
Propena (C3H8)
0,7
-
Sumber: Harahap, dkk, 1978 2.4. Keberadaan dan Bentuk Mikroba di dalam Rumen Menurut Suwandi (1997), ada tiga macam mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen, yaitu bakteri, protozoa dan sejumlah kecil jamur. Volume dari keseluruhan mikroba diperkirakan meliputi 3,60% dari cairan rumen. Bakteri merupakan jumlah besar yang terbesar sedangkan protozoa lebih
10
LKTI Nasional Excess 2016
sedikit yaitu sekitar satu juta/ml cairan rumen. Jamur ditemukan pada ternak yang digembalakan dan fungsinya dalam rumen sebagai kelompok selulolitik. bakteri merupakan biomassa mikroba yang terbesar didalam rumen, berdasarkan letaknya dalam rumen, bakteri dapat dikelompokkan menjadi: a.
Bakteri yang bebas dalam cairan rumen (30% dari total bakteri).
b.
Bakteri yang menempel pada partikel makanan (70% dari total bakteri).
c.
Bakteri yang menempel pada epitel dinding rumen dan bakteri yang menempel pada protozoa.
Jumlah bakteri di dalam rumen mencapai 1-10 milyar/ml cairan rumen. Selanjutnya menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk bakteri yaitu bulat, batang dan spiral dengan ukuran yang bervariasi antara 0,3 - 50 mikron . Kebanyakan bakteri rumen adalah anaerob, hidup dan tumbuh tanpa kehadiran oksigen . Walaupun demikian masih terdapat kelompok bakteri yang dapat hidup dengan kehadiran sejumlah kecil oksigen, kelompok ini dinamakan bakteri fakultatif yang biasanya hidup menempel pada dinding rumen tempat terjadi difusi oksigen ke dalam rumen (Suwandi, 1997). 2.5. Jenis – Jenis Mikroba dan Peranannya Suwandi
(1997), mengklasifikasikan
bakteri
menjadi
8 kelompok
didasarkan pada jenis bahan yang digunakan dan hasil akhir fermentasi. Berikut contoh-contoh species bakterinya: 2.5.1. Bakteri Selulolitik Bakteri yang mempunyai kemampuan untuk memecah selulosa dan mampu bertahan pada kondisi yang buruk pada saat makanan yang mengandung serat kasar yang tinggi. Contoh : Bacteroides sussinogenes (bentuk batang), Ruminococcus albus (bentuk bulat).
11
LKTI Nasional Excess 2016
2.5.2. Bakteri Proteolitik Mempunyai kemampuan untuk memecah protein, asam amino dan peptida lain menjadi amonia. Contoh : Bacteroides ruminocola, Selenomonas ruminantium.
2.5.3. Bakteri Methanogenik Merupakan bakteri yang dapat mengkatabolisasi alkohol dan asam organik
menjadi
metan
dan
karbondioksida.
Contoh:
Methanobacterium formicium, Methanobrevibacter ruminantium.
2.5.4. Bakteri Amilolitik Merupakan bakteri yang dapat memfermentasikan amilum. Bakteri jenis ini relatif lebih tahan terhadap perubahan pH dibandingkan dengan bakteri selulolitik, dapat bekerja pada pH 5,7 - 7,0. Contoh : Clostridium
lochheaddii,
Streptococcus
bovis,
Bacteroides
amylophilus.
2.5.5. Bakteri yang memfermentasikan gula Bakteri yang memfermentasikan amilum, sebagian besar mampu memfermentasikan gula sederhana . Contohnya : Eurobacterium ruminantium, Lactobacillus ruminus.
2.5.6. Bakteri Lipolitik Merupakan bakteri rumen yang dapat menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak . Hal ini dapat berlangsung karena adanya enzim lipase yang dapat memecah lemak. Contohnya : Anaerovibrio livolytica, Veillonella alcalescens.
2.5.7. Bakteri Pemanfaat Asam Contohnya : Selonomonas dan Veillonella alcalescens.
12
LKTI Nasional Excess 2016
2.5.8. Bakteri Hemiselulotitik Hemiselulosa adalah karbohidrat yang terdapat dalam tanaman yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam dan alkali . Hemiselulosa ini terdapat dalam tanaman yang menjadi pakan temak dalam jumlah besar. Contohnya : Ruminococcus sp, Butyrivibrio fibriosolvens. Serta ditambah beberapa contoh spesies protozoa dan jamur diantaranya Sotricha intestinalis (memfermentasi gula, pati dan pektin), Dasytricha ruminantium (pencerna pati, maltosa, dan glukosa), Entodinium caudatum dan Diplodinium sp.
2.6. Biogas Menurut Suyitno, dkk, (2010), biogas adalah gas yang dihasilkan oleh bakteri apabila bahan organik mengalami proses fermentasi dalam reaktor dalam kondisi anaerob (tanpa udara). Reaktor yang dipergunakan untuk menghasilkan biogas umumnya disebut digester atau biodigester, karena ditempat inilah bakteri tumbuh dengan mencerna bahan-bahan organik. Biogas sendiri merupakan gabungan dari gas metana (CH4), gas CO2 dan gas lainnya.
Pada prinsipnya, teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri methan sehingga dihasilkan gas methan yang bersifat mudah terbakar (Prasetyo, 2012).
Suyitno, dkk, (2010), memaparkan biogas sangat potensial sebagai sumber energi terbarukan karena kandungan methane (CH4) yang tinggi dan nilai kalornya yang cukup tinggi. CH4 sendiri mempunyai nilai kalor 50 MJ/kg. Methane (CH4) yang memiliki satu karbon dalam setiap rantainya, dapat menghasilkan pembakaran yang lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar berantai karbon panjang. Hal ini disebabkan karena jumlah CO2 yang dihasilkan selama pembakaran bahan bakar berantai karbon pendek adalah lebih sedikit. 13
LKTI Nasional Excess 2016
Komposisi dan produktivitas sistem biogas dipengaruhi oleh parameterparameter seperti temperature, digester, pH, tekanan, dan kelembapan udara. Komponen biogas yang paling penting adalah metana (CH4). Pendapat mengenai komposisi bioags dibawah ini
banyak dijadikan acuan oleh
beberapa peneliti. Biogas umumnya terdiri dari : a.
Metana, CH4 = 55-75%.
b.
Karbon dioksida, CO2 = 25-40%
c.
Karbon monoksida, CO = 0-6,3%
d.
Nitrogen, N2 = 1-5%
e.
Hidrogen, H2 = 0-3%
f.
Hidrogen sulfida, H2S = 0,1-0,5%
g.
Oksigen, O2 = sisanya
(Suyitno, dkk, 2010).
Untuk mendapatkan produksi biogas yang tinggi, maka penambahan bahan yang mengandung karbon (C) seperti jerami, atau N (misalnya:urea) perlu dilakukan untuk mencapai rasio C/N = 20 – 30. Harga rasio C/N pada beberapa jenis kotoran hewan dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Rasio C/N beberapa jenis kotoran dan sisa tumbuhan Jenis Kotoran
Rasio C/N
Urine
0,8
Kotoran Sapi
10-20
Kotoran babi
9-13
Kotoran ayam
5-8
Kotoran kambing
30
Kotoran manusia
8
Jerami padi-padian
80-140
Jerami jagung
30-65
Rumput hijau
12
Sisa sayuran
35
Sumber: Suyitno, dkk, 2010.
14
LKTI Nasional Excess 2016
Beberapa tahapan untuk terbentuknya biogas dari proses fermentasi anaerob: 2.6.1. Tahap hidrolisis Pada tahap hidrolisis ini, kompleks bahan organik (polimer) didekomposisi menjadi unit yang lebih kecil (mono dan oligo). Selama proses tersebut, polimer seperti karboidrat, lipid, asam nukleat, dan protein akan diurai menjadi glukosa, gliserol, purin, dan pirimidin (Megawati, dkk, 2014).
Mikroorganisme yang berperan sebagai enzim ekstraselular yaitu selulosa, amilase, protease, dan lipase (Suyitno, dkk, 2010).
2.6.2. Tahap kedua adalah tahap pengasaman Pada tahap pengasaman, bakteri akan menghasilkan asam yang akan berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis menjadi asam asetat (CH3COOH), H2, dan CO2. Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alcohol, asam organic, asam amino, CO2, H2S, dan sedikit gas CH4.
2.6.3. Tahap ketiga adalah tahap pembentukan gas CH4 Pada tahap pembentukan gas CH4 bakteri yang berpran adalah bakteri methanogenesis (bakteri metana). Pada akhir metabolisme dihasilkan CH4 dan CH2 dari gas H2, CO2 dan asam asetat yang dihasilkan pada tahap pengasaman.
Biogas dapat diaplikasikan di desa maupun di perkotaan. Di pedesaan dengan jumlah hewan ternak yang banyak atau di perkotaan yang banyak membuang sampah organik, maka konsep kemandirian energi berupa energi biogas dapat dikaji dengan lebih serius. Sejak beberapa tahun ini sebenarnya konsep energi pedesaan/perkotaan atau konsep 15
LKTI Nasional Excess 2016
desa mandiri energi/kota mandiri energi di beberapa daerah sudah mulai terwujud. Untuk menjalankan kosep ini ditempat lain, maka perlu diawali dengan pemetaan sumber energi lokal yang dapat diperbaharui dan jenis pemakaian energi dilokasi tersebut.
2.7. Prinsip Biogas Prinsip pembangkit biogas, yaitu menciptakan alat yang kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna (digester), lubang pemasukan bahan baku dan pengeluaran lumpur sisa hasil pencernaan (slurry), serta pipa penyaluran biogas yang terbentuk. Di dalam digester ini terdapat bakteri methan yang mengolah limbah biomassa dan menghasilkan biogas. Untuk menghasilkan biogas dalam jumlah dan kualitas tertentu, maka digester perlu diatur suhu, kelembapan, dan tingkat keasaman supaya bakteri dapat berkembang dengan baik (Suyitno, dkk, 1997). Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain. Keuntungan pembangkit biogas selain sebagai sumber energi adalah untuk mengatasai masalah sampah organik terutama di pedesaan seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan sebagainya (Prasetyo, 2012).
2.8. Macam-macam digester biogas Digester biogas memiliki tiga (3) macam tipe dengan keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Ketiga tipe biogas tersebut adalah : 2.8.1. Tipe Fixed Domed Plant Tipe kubah berupa digester yang dibangun dengan menggali tanah, kemudian dibuat bangunan dengan bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang ketat udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola) (Prasetyo, 2012).
Terdiri dari digester yang memliki penampung gas dibagian atas digester. Ketika gas mulai timbul, gas tersebut menekan lumpur sisa 16
LKTI Nasional Excess 2016
fermentasi (slurry) ke bak slurry. Jika pasokan kotoran ternak terus menerus, gas yang timbul akan terus menekan slurry hingga meluap keluar dari bak slurry. Gas yang timbul digunakan/dikeluarkan lewat pipa gas yang diberi katup/kran (Marpuah, dkk, 2014).
2.8.2. Tipe Floating Drum Plant Tipe terapung terdiri atas sumur pencerna dan di atasnya diletakkan drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh digester. Bagian sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah seperti pasir, batu bata, dan semen (Prasetyo, 2012).
2.8.3. Tipe Baloon Plant Konstruksi sederhana, terbuat dari plastik yang pada ujung-ujungnya dipasang pipa masuk untuk kotoran ternak dan pipa keluar peluapan slurry. Sedangkan pada bagian atas dipasang pipa keluar gas (Marpuah, dkk., 2014).
17
LKTI Nasional Excess 2016
BAB III METODE PENULISAN
3.1. Kerangka Berpikir Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan sumber energi, berupa minyak, batubara, dan gas. Tetapi daerah tersebut bermasalah dengan ketersediaan listrik. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan masyarakat terutama pelajar sangat terbatas untuk melakukan kegiatan pelajar pada umumnya. Masalah ini merupakan masalah yang sangat penting, karena masalah tersebut menghambat peningkatkan sumber daya manusia terutama generasi muda di daerah tersebut.
Selain itu, perairan Kutai Kartanegara terutama danau dan sungai banyak tumbuh liar tanaman gulma eceng gondok dan sering menggangu aktifitas masyarakat seperti transportasi air. Eceng gondok atau Eichhornia crassipes adalah tumbuhan yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma dan limbah biomassa yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Salah satu cara mengatasi limbah biomassa eceng gondok adalah dengan aplikasi biogas.
Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh bakteri apabila bahan organik mengalami proses fermentasi dalam reaktor (biodigester) dalam kondisi anaerob (tanpa udara). Reaktor yang dipergunakan untuk menghasilkan biogas umumnya disebut digester atau biodigester, karena ditempat inilah bakteri
tumbuh
dengna
mencerna
bahan-bahan
organik.
Untuk
menghasilkan biogas dalam jumlah dan kualitas tertentu, maka digester perlu diatur suhu, kelembapan, dan tingkat keasaman supaya bakteri dapat berkembang dengan baik. Biogas sendiri merupakan gabungan dari gas metana (CH4), gas karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya.
18
LKTI Nasional Excess 2016
Dengan masalah ketersedian listrik dan limbah biomassa eceng gondok, penulis menyusun kerangka bepikir untuk menyelesaikan masalah ketersedian listrik Kabupaten Kutai Kartanegara dengan menjadikan limbah biomassa yang melimpah di daerah tersebut sebagai bahan baku tambahan dalam produksi biogas masyarakat. Hal ini dilakukan karena eceng gondok mempunyai potensi meningkatkan produksi biogas dengan bukti penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sebagai acuan. Selain itu, limbah biomassa juga teratasi dengan menerapkan aplikasi biogas pada masyarakat.
3.2. Objek dan Subjek Penulisan Objek dalam penulisan ini adalah substrat eceng gondok dalam meningkatkan produksi biogas, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat daerah Kabupaten Kutai Kartanegara yang sedang bermasalah pada keterseidaan listrik.
3.3. Jenis dan Sumber Data Dalam penulisan ini, data diperoleh melalui dua sumber yaitu data primer dan data sekunder. Berikut adalah penjabaran sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini: 3.3.1. Data primer Data primer yaitu data yang diperoleh dari penelitian Akhiruddin (2009), sebagai acuan dan penelitian Winarni dkk, (2010), Yonathan dkk (2013), dan Sari dkk (2014) sebagai pendukung. Dalam penulisan ini, data primer diperoleh melalui hasil studi pustaka di Perpustakaan Fakultas Kehutanan dan Fakultas Teknik Universitas Mulawarman.
3.3.2. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh penulis untuk mendukung data primer. Data sekunder ini mencakup buku-buku mengenai teoriteori biogas, risalah eceng gondok, komposisi kotoran sapi, dan kehidpupan sosial masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara.
19
LKTI Nasional Excess 2016
3.4. Tahapan Penulisan Setelah mengkaji tinjauan pustaka pada BAB II dan mendapatkan kerangka bepikir, langkah selanjutnya yang dilakukan penulis adalah menyusun tahapan penulisan. Tahapan penulisan yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut 3.4.1. Tahap persiapan Pada tahap ini penulis mengumpulkan dan mempelajari buku, jurnal, dan literatur yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti, melakukan pencarian data melalui media internet, mengumpulkan teori-teori yang menunjang penulisan.
3.4.2. Tahap pelaksanaan Pada tahap ini, data yang telah dikumpulkan dijadikan sebagai data mentah. Kemudian penulis melakukan wawancara dan observasi untuk menguji keakuratan data mentah. Setelah tahapan pengujian selesai, hasilnya dijadikan data utama. Tahap pelaksanaan penulisan yang penulis lakukan tergambar dalam Gambar 3.1.
Studi Wawancara Data Penulisan
Data Mentah Observasi
Gambar 3.1. Bagan Tahap Pelaksanaan Penulisan
3.4.3. Tahap pengolahan data Pada tahap ini, penulis menyusun dan mengolah data utama yang terdiri dari potensi biogas dari eceng gondok dan masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara. Kemudian kedua data tersebut dihubungkan dengan penerapan potensi biogas dengan penambahan eceng gondok kepada masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara. Lalu
20
LKTI Nasional Excess 2016
dipelajari dan dikaji secara berulang. Kemudian data dianalisis sehingga dapat ditarik kesimpulan. Tahap pengolahan data tergambar dalam Gambar 3.2. Potensi Biogas Dan Eceng Gondok Data Penulisan
Analisis
Kesimpulan
Masyarakat Kabupaten Kutai kartanegara
Gambar 3.2. Bagan Tahap Pengolahan Data
3.5. Teknik Pengumpulan Data Langkah yang selanjutnya dilakukan oleh penulis setelah menentukan tahapan penulisan adalah menenntukan teknik pengumpulan data yang akan dipakai. “Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data”
(Sugiyono,2005).
Terdapat
bermacam
teknik
pengumpulan data yang biasa dipakai dalam melakukan penelitian. Berikut adalah teknik pengumpuan data yang digunakan penulis dalam penulisan ini: 3.5.1. Studi Pustaka Dalam penulisan, penulis melakukan studi pustaka dengan teknik simak di perpustakaan Fakultas Teknik dan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman untuk mendapatkan data yang dibutuhkan.
3.5.2. Observasi Penulis menggunakan metode observasi partisipatif untuk mengamati seluruh aktifitas masyarakat daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Observasi ini dilakukan penulis untuk mengetahui melihat kondisi
21
LKTI Nasional Excess 2016
secara langsung masalah yang terkait dengan masalah yang akan ditulis oleh penulis.
3.5.3. Wawancara Penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara terstruktur yaitu wawancara di mana penulis menggunakan daftar pertanyaannya yang telah disusun sebelumnya. Penulis menggunakan wawancara terstruktur agar pertanyaan lebih terfokus, sehingga data yang diperoleh tidak akan melenceng dari pokok permasalahan. Wawancara dilakukan kepada informan yang terdiri dari tiga orang mahasiswi. Pemilihan informan tersebut memang sudah direncanakan oleh penulis sejak awal karena informan adalah masyarakat asli yang tinggal di daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Wawancara ini
ditujukan untuk memperoleh data yaitu pendapat ketika masalah pemadaman listrik di daerah Kabupaten Kutai Kartanegara sedang berlangsung.
3.6. Teknik Analisis Data Penulis menggunakan teknik analisis data diskriptif, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat generalisasi hasil penelitian.
3.7. Metode Penulisan Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode studi pustaka, yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya. Penulis menggunakan metode penulisan studi pustaka karena penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengkaji hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya secara kuantitatif.
22
LKTI Nasional Excess 2016
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi Biogas dengan Eceng Gondok Akhiruddin (2009), menjelaskan kondisi geografis Kalimantan Timur adalah didominasi datararan rendah. Hal ini menyebabkan banyaknya rawa dan danau yang ada di Kalimantan Timur. Pertumbuhan Eceng gondok adalah di rawa, sungai, danau ataupun perairan yang memiliki arus tenang. Secara tidak kita sadari, Eceng gondok gondok sudah menyebar luas di daratan Kalimantan Timur.
Menurut Akhiruddin (2009), limbah biomassa Eceng gondok dapat di konversi menjadi sumber energi seperti bioethanol dan biogas. Tetapi produksi bioetanol dengan Eceng gondok tidak efisien, karena perbandingan antara hasil konversi Eceng gondok dengan bahan adalah sangat kecil. Oleh karena itu biogas lebih cocok menjadi solusi penanganan limbah biomassa Eceng gondok dan memungkinkan untuk menjadi skala besar nantinya yang digunakan sebagai solusi energi alternatif.
Astuti (2013), menjelaskan eceng gondok (E. crassipes) merupakan salah satu biomassa atau bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku biogas dikarenakan memiliki kandungan karbohidrat dan selulosa.
Selulosa akan dihidrolisis menjadi glukosa oleh bakteri yang akan menghasilkan gas metan sebagai biogas. Biogas merupakan salah satu sumber energi alternatif terbarukan yang paling efisien dan efektif. Biogas memproses limbah bio atau biomassa didalam alat kedap udara yang disebut digester. Salah satu alternatif pengolahan limbah adalah memanfaatkannya sebagai sumber energi yang ekonomis, yaitu dalam bentuk biogas. Teknologi biogas dilakukan dengan memanfaatkan kandungan bahan
23
LKTI Nasional Excess 2016
organik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang potensial menghasilkan biogas (Anunputtikul, 2004).
Biogas dapat dibuat dengan menggunakan eceng gondok, tetapi kendala yang dihadapi dalam pengolahan eceng gondok menjadi biogas adalah keberadaan lignin dan hemiselulosa serta struktur dari selulosa yang sulit untuk diuraikan dalam kondisi anaerobik sehingga akan menurunkan yield biogas. Selain itu keberadaan lignin/cellula material dapat menyebabkan scum problem (Stensom, 1981). Oleh karena itu perlu dilakukan pretreatment untuk mereduksi kristal selulosa, meningkatkan porositas bahan dan menguraikan lignin dan hemiselulosa (Sun, 2002).
4.2. Produksi Biogas dengan Penambahan Lumpur Aktif (Sludge System) Produksi biogas dengan metode sludge system yang berupa proses fermentasi dengan penambahan lumpur aktif sebagai sumber mikroba, dilakukan untuk mendapatkan peningkatan nilai produksi biogas. Total produksi biogas tertninggi pada substrat 5% dan di ikuti secara berturut oleh substrat 2,5%, substrat 1,25% dan yang terakhir adalah kontrol. Penelitian ini dilakukan oleh Akhiruddin pada tahun 2009 di laboratorium fakultas kehutanan universitas Mulawarman. Perubahan hasil produksi dapat dilihat pada Gambar 4.1.
24
LKTI Nasional Excess 2016
1600
Volume Biogas (ml)
1400 1200 1000
Substrat 5 gr (1,25%)
800
Substrat 10 gr (2,5%)
600
Substrat 20 gr (5%)
400
Kontrol (sludge)
200
Kontrol (aquades)
0
1 4 7 1013161922252831343740 Waktu Inkubasi (hari)
Gambar 4.1. Produksi Biogas dengan Campuran antara Eceng Gondok dan Lumpur Aktif (Sludge System) selama Waktu Inkubasi 40 Hari. Sumber: Akhiruddin, 2009.
Dijelaskan oleh Akhiruddin (2009), pada grafik pada substrat 2,5% terlihat menyimpang, hal ini terjadi karena pada perlakuan substrat ini terjadi kebocoran yang terdeteksi pada berkurangnya gas yang ada dalam botol serta pemadaman listrik kota selama beberapa hari sehingga inkubator tidak bekerja sesuai harapan dan terjadi penurunan suhu botol dan menggangu proses pembentukan biogas.
Total produksi biogas tertinggi yang diperoleh pada hari keempat puluh dengan metode sludge system adalah pada substrat 5% sebesar 2337 ml, kemudian diikuti oleh substrat 2,5% sebesar 1447.50 ml, selanjutnya substrat 1,25% sebesar 1392.50 ml, dan yang terendah adalah kontrol sebesar 561.25 ml. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada Gambar 4.2.
25
LKTI Nasional Excess 2016
2337,00
Volume Biogas (ml)
2500,00 2000,00 1500,00
1392,50
1447,50
1000,00
561,25
500,00 0,00
Substrat 5 gr (1,25%)
Substrat 10 gr Substrat 20 gr (2,5%) (5%)
Kontrol (Sludge)
Perlakuan
Gambar 4.2. Nilai Total Produksi Biogas (ml) dari Perlakuan Substrat 1,25%, substrat 2,5%, substrat 5% dan kontrol dengan Pencampuran Lumpur Aktif (Sludge System) Sumber: Akhiruddin, 2009.
Pada perlakuan substrat 5% terdapatnya jumlah kandungan substrat (bahan organik) yang banyak menyebabkan mikroorganisme yang terdapat dalam substrat ini mampu menghasilkan biogas lebih banyak jika dibandingkan dengan substrat 2,5%, substrat 1,25% dan kontrol (sludge). Mikroorganisme memerlukan unsur hara seperti karbohidrat, lemak, protein dan fosfor agar proses perombakan anaerob berlangsung efisien dan mampu menghasilkan metana (Adam, 1981).
Pada penelitian Akhiruddin (2009), didapatkan total volume produksi biogas berbanding lurus dengan produksi harian, dengan nilai tertinggi pada substrat 5%, pada substrat ini tersedia kandungan bahan organik dalam jumlah yang banyak dan memungkinkan mikroorganisme pembentuk gas metana mendapatkan suplai materialyang memadai sehingga akhirnya mikroorganisme tersebut mampu menghasilkan biogas dalam jumlah yang banyak.
26
LKTI Nasional Excess 2016
Akhiruddin (2009), menjelaskan produksi biogas dengan metode sludge system yang berupa proses fermentasi tanpa penambahan lumpur aktif dalam penelitian ini memberikan hasil positif. Mengingat di alam proses pembentukan gas metana berlangsung secara alami dengan pembusukan. Substrat eceng gondok yang di campur dengan sludge mampu memproduksi biogas dengan jumlah yang lebih besar dari perlakuan kontrol berupa sludge saja. Kemampuan Eceng gondok untuk melakuakn produksi biogas tanpa adanya campuran dengan lumpur aktif memungkinkan karena eceng gondok merupakan
herba
non
kayu
yang dapat
melakukan
dekomposisi
komponennya sendiri (self decomposition). Jika dapat memproduksi biogas sendiri, maka lebih baik apabila dicampur oleh kotoran sapi. Di jelaskan oleh Neis (2003) dalam Akhiruddin (2009), bahwa eceng gondok memiliki akar yang bercabang cabang halus, permukaan akarnya yang di gunakan oleh
mikroorganisme
sebagai
tempat
pertumbuhan,
selanjutnya
mikroorganisme tersebut yang berfungsi sebagai penghasil metana dalam fermentasi yang dilakukan.
Menurut Paimin (2001), perkembangan bakteri sangat di pengaruhi oleh kondisi suhu lingkungan, yang dimana bakteri metana hanya dapat hidup subur atau baik apabila suhu disekitarnya sama dengan suhu kamar. Terjadinya proses fermnetasi di alam sebagaimana yang digambarkan pada terbentuknya gas metana adalah karena aktifitas mikroorganisme yang menguraikan bahan organik pada kondisi anaerob. Pada proses ini karbon dirombak menjadi metana dan karbon dioksida dengan rasio yang hampir. Selanjutnya, memberikan suhu rentang optimal pada proses produksi biogas pada suhu 25-35°C, dan semakin tinggi suhu pada rentang tersebut maka semakin tinggi pula produksi biogas yang di hasilkan. Namun yang harus di ingat, bakteri metana sangat sensitif dengan perubahan suhu sehingga perlu menjaga suhu pada kondisi 35°C untuk mendapatkan suhu maksimal.
27
LKTI Nasional Excess 2016
Volume Biogas (ml/hari)
70,00
59,92
60,00 50,00 40,00
37,10
35,71
30,00 20,00
14,39
10,00 0,00
Substrat 5 gr (1,25%)
Substrat 10 gr (2,5%)
Substrat 20 gr Kontrol (Sludge) (5%)
Perlakuan
Gambar 4.3. Nilai Rataan Produksi Biogas (ml) dari Perlakuan Substrat 1,25%, 2,5% dan 5% Dengan Pencampuran Lumpur Aktif (SludgeSystem) Sumber: Akhiruddin, 2009.
Dilihat dari Gambar 4.3. produksi biogas harian tertinggi pada substrat 5% sebesar 59.92 ml/hari, dan diikuti secata berturut-turut oleh substrat 2,5% sebesar 37.10 ml/hari, kemudian substrat 1,25% sebesar 35.71 ml/hari dan yang terakhir kontrol sebesar 14.39 ml/hari. Nilai ini diperoleh dengan cara pembagian dari total produksi biogas pada masing-masing perlakuan dengan lamanya waktu inkubasi yaitu selama 40 hari (Akhiruddin, 2009).
Dengan adanya proses penggilingan pada bahan sebelum pencampuran dengan lumpur aktif, dimaksudkan untuk memecahkan ikata-ikatan lignin pada susbstrat sehingga mempermudah bakteri metana dalam hal merombak bahan organic yang tersedia di dalam substrat menjadi gas metana. Peningkatan jumlah metana yang dihasilkan sangat bergantung pada penurunan lignin (Klason Lignin) dari chip kayu yang diberikan awal. Pada perlakuan awal biomassa kayu untuk proses sakarifikasi enzimatis dan fermentasi oleh mikroorganisme, ikatan lignin harus didegradasi dengan menekan kerusakan hingga sekecil-kecilnya pada polisakarida (Amirta, 2005).
28
LKTI Nasional Excess 2016
4.3. Data Perbandingan Variasi Biogas dan Kotoran Sapi dari Beberapa Sumber Berbeda Menurut Sari dkk (2014), pada percobaan dilakukan proses anaerobic digestion
yaitu
tahap
hidrolisis,
asidogenesis,
asetogenesis,
dan
methanogenesis. Laju produksi biogas pada penggabungan yang terjadi pada wadah penampungan gas (plastik). Produksi gas (P1) (eceng gondok 8 kg (dirajang) penambahan air 2 Liter), (P2) (Kotoran sapi 8 kg dengan penambahan air 2 Liter), (P3) (Eceng gondok 8 kg (dirajang dan dihaluskan) penambahan air dan kotoran sapi 2 kg), (P4) (eceng gondok 8 kg (dirajang dan dihaluskan) penambahan air 2 Liter dan kotoran sapi 3 kg) berat produksi biogas yang dihasilkan pada pengamatan dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Berat Produksi gas Berat Kosong
Berat Isi
Berat gas
(awal)
(kg/hari)
(kg/hari)
P1
1,2
2,01
0,81
2.
P2
1,2
3,10
1,90
3.
P3
1,2
3,04
1,84
4.
P4
1,2
3,06
1,86
No.
Perlakuan
1.
Sumber : Sari, dkk, 2014. Keterangan P1 = Eceng gondok 8 kg (dirajang) penambahan air 2 Liter) P2 = Kotoran sapi 8 kg dengan penambahan air 2 Liter) P3 = (Eceng gondok 8 kg (dirajang dan dihaluskan) penambahan air dan kotoran sapi 2 kg) P4 = (eceng gondok 8 kg (dirajang dan dihaluskan) penambahan air 2 Liter dan kotoran sapi 3 kg)
Menurut Winarni dkk (2010), pengamatan pembentukan biogas dilakukan setiap hari mulai dari reaktor pertama beroperasi sampai 60 hari. Dilakukan 29
LKTI Nasional Excess 2016
pencatatan volume pembentukan biogas dalam mL. Penurunan muka air pada tabung reaksi menunjukkan volume biogas yang terbentuk. Kurva hasil pengamatan pembentukan biogas dapat dilihat pada Gambar 4.4. 3500
Volume Gas (mL)
3000 2500 2000
100%EG : 0% KS
1500
75% EG : 25% KS
1000
50% EG : 50 % KS
500 0
0
6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 Waktu (hari)
Gambar 4.4. Kurva Pembentukan Biogas Sumber: Winarni, dkk, 2010.
Winarni dkk (2010), menjelaskan dari Gambar 4.4. dapat dilihat bahwa biogas pada tiap reaktor mulai terbentuk mulai hari ke-6. Setelah itu kurva terus menunjukkan peningkatan volume biogas yang dihasilkan. Reaktor dengan 100% EG menunjukkan proses pembentukan biogas telah berhenti pada hari ke-24. Hal tersebut dapat dilihat pada kurva yang menunjukkan garis konstan setelah hari ke-24. Pada reaktor dengan 75% EG:25% KS dan 50% EG:50% KS menunjukkan proses pembentukan biogas belum terhenti hingga hari ke-60. Jumlah biogas tertinggi dihasilkan oleh reaktor 75% EG:25% KS sebesar 3.19 L.
Dalam penelitian ini diterapkan sebagai variabel berubah adalah komposisi perbandingan pengenceran eceng gondok ( 2: 1,2 ; 2 : 1,5 ; 2 : 2 ; 2 : 2,5 ) dan pH larutan campuran ( 8 : 7 : 6 : 5 : 4 ). Tiap kali percoban fermentasi dilakukan dengan basis 2L, suhu kamar dan tekanan 1 atm. Pada penelitian ini jumlah rancangan percobaan yang meliputi tempuhan atau run yang dilakuka sebanyak 9 kali.(Yonathan, dkk, 2013).
30
LKTI Nasional Excess 2016
1400
Volume Biogas ( mL )
1200 1000 800 600 400 200 0
2:01
2 : 1,5
2:02
2 : 2,5
Komposisi
Gambar 4.5. Pengaruh Variasi Komposisi Terhadap Biogas Dihasilkan Sumber : Yonathan, dkk, 2013.
Yonathan, dkk, (2013), menjelaskan dari Gambar 4.5. terlihat bahwa jumlah volume dihasilkan mengalami kenaikan dari variabel 2 : 1 sampai variabel 2 : 2,5. Kenaikan volume biogas dari komposisi 2 : 1 ke 2 : 1,5 tidak cukup signifikan hingga pada komposisi 2 : 2,5 yang mana pada komposisi 2 : 2,5 ini menghasilkan biogas dengan volume terbesar. Hal ini disebabkan karena komposisi substrat dari variabel tersebut paling banyak diantara ke tiga variabel lainnya. Campuran terdiri dari eceng gondok sebagai substrat, rumen sapi sebagai biostarter dan air sebagai nutriennya. Adapun jumlah substrat untuk masing-masing variabel secara berturut-turut adalah 326,5 gr, 420 gr, 490 gr , dan 543,2 gr . Menurut Subramanian (1978) menyatakan bahwa jumlah biogas yang dihasilkan bergantung pada jumlah substrat. Oleh karena itu volume biogas dihasilkan juga mengalami kenaikan seiring dengan naiknya jumlah substrat digunakan per variabel. Jumlah substrat digunakan pasa variabel komposisi 2 : 2,5 memang paling besar diantara variabel komposisi lainnya tersebut yaitu sebesar 543,2 gr. Maka dari itu variabel 4 menghasilkan volume biogas paling besar. Karena komposisi 2 : 2,5 menghasilkan biogas paling banyak diantara yang lainnya maka
31
LKTI Nasional Excess 2016
komposisi tersebut digunakan untuk menjadi variabel tetap pada penelitian selanjutnya.
4.4. Konversi Biogas Menjadi Listrik Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan karena produksi biogas peternakan ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangan dunia peternakan sapi di Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi alternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Nurhasanah et al., 2006).
Konversi energi biogas untuk pembangkit tenaga listrik dapat dilakukan dengan menggunakan gas turbine, microturbines dan Otto Cycle Engine. Pemilihan teknologi ini sangat dipengaruhi potensi biogas yang ada seperti konsentrasi gas metan maupun tekanan biogas, kebutuhan beban dan ketersediaan dana yang ada (Saragih, 2010).
Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60-100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas dibandingkan dengan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan Aplikasi
Jenis Sumber Energi Elpiji 0,46 kg
1 m3 Biogas
Minyak tanah 0,62 liter Minyak solar 0,52 liter Kayu bakar 3,50 kg
Sumber: Wahyuni, 2008.
Sorensen (2007), menjelaskan bahwa 1 Kg gas metana setara dengan 6,13 x 107 J, sedangkan 1 kWh setara dengan 3,6 x 107 J. Massa jenis gas metan
32
LKTI Nasional Excess 2016
0,656 kg/m3. Sehingga 1 m3 gas metana manghasilkan energi listrik sebesar 11,17 kWh. Konversi energi gas metan menjadi energi listrik dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Konversi energi gas metan menjadi energi listrik Jenis Energi
Setara Energi
Referensi
1 kg gas metana
6,13 x 107 J
Renewable
1 kWh
3,6 x 106 J
Conversion,
1 m3 gas metan
4,0213 x 107 J
Transmsision
massa
11,17 kWh
Storage,
jenis
metan
gas
adalah
Energi
and Bent
Sorensen
0,656 kg/m3 1 m3 gas metan Sumber: Sorensan, 2007.
4.5. Energi Listrik yang Dihasilkan dari Pemanfaatan Eceng Gondok dalam Pembentukan Biogas Menurut penelitian Nazrin (2000) dalam Akhiruddin (2009), plot dengan luas 1 m2 pada minggu pertama sebesar 0,81 kg dan menigkat di minggu kelima sebesar 4,83 kg. Bila dihitung, eceng gondok tersebut mengalami peningkatan sebesar 496% dalam waktu 5 minggu. Secaara otomatis, areal 72.138,56 Ha yang merupakan tempat untuk tumbuh Eceng gondok dapat menghasilkan 34.842.924,48 kg Eceng gondok basah. Jika nilai faktor kelembapan (MF) Eceng gondok sebesar 0,0709, maka dapat diperkirakan berat kering tanur Eceng gondok sebesar 2.470.363,35 kg.
Dan di dalam biogas terdapat 65% metana. Maka dengan jumlah berat kering tanur 2.470.363,53 kg didapatkan perkiraan produksi biogas sludge system menurut perhitungan kuantitatif didapatkan 17.638,39 atau setara 17,63 ribu m3 biogas dengan 11,2 ribu m3 metana murni. Jumlah 1 m3 metana mampu menyalakan generator 2 tenaga kuda untuk 2 jam atau daya sebanyak 1,2kW listrik, sehingga gas metana pada sludge
33
LKTI Nasional Excess 2016
system dengan besar metana sebesar 11,2 ribu m3 dapat menyediakan 13,44 MW. Jika tiap rumah tangga masyarakat rata-rata membutuhkan 10 kW listrik atau setara dengan memelihara 4 ekor sapi yang menghasilkan ±2 m 3 biogas, maka dengan biogas Eceng gondok metode sludge system dapat menyalurkan listrik ke 1344 rumah. Dengan nilai pertambahan produksi per hari yang begitu besar, penulis menyimpulan sangat memungkinkan aplikasi ini untuk masyarakat rumah tangga masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara untuk penunjang sumber energi dengan teknologi berbahan baku melimpah serta mudah dan murah untuk didapatkan.
34
LKTI Nasional Excess 2016
Luas Perairan 199.407,32 Ha 48% Danau Luas Danau 96.184,74 Ha 75% ditumbuhi Eceng Gondok Lahan Eceng gondok 72.138,56 Ha Areal 1 m2 ditumbuhi Eceng gondok 4,83 kg Eceng Gondok basah 38,84 ribu ton MF= 0,0709 Eceng gondok kering 2,47 ribu ton Areal 1 m2 ditumbuhi Eceng gondok 4,83 kg Pertambahan produksi biogas 17,63ribu m3 (Sludge System) 65% Metana Kandungan Metana 11,2 ribu m3 1 m3 = 1,2 kW listrik 1 rumah = 10 kW Potensi Energi 13,44 MW Listrik mampu mencukupi 1344 rumah
Gambar 4.6. Potensi Pengembangan Biogas dengan Bahan Baku Eceng Gondok dengan Metode Sludge System di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Sumber: Akhiruddin (2009) 35
LKTI Nasional Excess 2016
4.6. Hasil Wawancara 4.6.1. Karakteristik Responden 4.6.1.1. Reponden I Nama Y, umur 19 tahun. Status mahasiswa Universitas Mulawarman. Berasal dari Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara. Wawancara berlangsung pada 24 Februari 2016. Sebelum
mengadakan
wawancara,
responden
diberi
penjelasan terlebih dahulu tentang: topik yang akan diwawancarai, tujuan wawancara, kontrak waktu, serta memperlihatkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses wawancara. Proses penjelasan dilakukan selama 20 menit, akhirnya
responden
menyatakan
persetujuannya
untuk
diwawancara. Wawancara pokok tentang Pelayanan Listrik di Kutai Kartanegara berlangsung selama 10 menit.
4.6.1.2. Responden II Nama W, umur 19 tahun. Status mahasiswa Universitas Mulawarman. Berasal dari Handil 2, Kutai Kartanegara. Wawancara berlangsung pada 27 Februari 2016. Sebelum mengadakan wawancara, responden diberi penjelasan terlebih dahulu tentang: topik yang akan diwawancarai, tujuan wawancara, kontrak waktu, serta memperlihatkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses wawancara. Proses penjelasan dilakukan selama 20 menit, akhirnya responden menyatakan persetujuannya untuk diwawancara. Wawancara pokok tentang Pelayanan Listrik di Kutai Kartanegara berlangsung selama 15 menit.
4.6.1.3. Responden III Nama Z, umur 20 tahun. Status mahasiswa Universitas Mulawarman. Berasal dari Handil Baru, Kutai Kartanegara. Wawancara berlangsung pada 27 Februari 2016. Sebelum
36
LKTI Nasional Excess 2016
mengadakan wawancara, responden diberi penjelasan terlebih dahulu tentang: topik yang akan diwawancarai, tujuan wawancara, kontrak waktu, serta memperlihatkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses wawancara. Proses penjelasan dilakukan selama 20 menit, akhirnya responden menyatakan persetujuannya untuk diwawancara. Wawancara pokok tentang Pelayanan Listrik di Kutai Kartanegara berlangsung selama 10 menit,
4.6.2. Deskripsi Hasil Wawancara 4.6.2.1. Pelayanan Listrik di Kabupaten Kutai Kartanegara Hasil penelitian dituliskan dalam bentuk narasi. Pada pertanyaan pertama ini, Responden I, II, dan III menjawab bahwa daerah mereka sudah mendapat pelayanan listrik.
Namun, di daerah yang ditempati Responden I, mati lampu kerap terjadi, bahkan terhitung sangat sering. Mati lampu biasanya terjadi saat siang hari, dan terkadang pada malam hari.
Di daerah yang ditempati Responden II, pelayanan listrik sudah hampir tersebar merata, mati lampu hanya terjadi jika ada alat atau kabel yang rusak.
Sedangkan di daerah yang ditempati Responden III, pelayanan listrik tidak tersebar merata. Bahkan terdapat daerah yang disediakan listrik hanya untuk menyalakan lampu, alat-alat elektronik lain tidak dapat difungsikan. Sedangkan di daerah yang terjangkau saluran, kerap dilanda pemadaman listrik pada siang harinya.
37
LKTI Nasional Excess 2016
4.6.2.2. Gangguan yang Ditimbulkan Akibat Pemadaman Listrik Hasil wawancara dituliskan dalam bentuk narasi. Pada pertanyaan ini, Responden I, II, dan III menjawab dengan jawaban yang beragam.
Responden I menjelaskan bahwa kegiatan pada waktu listrik padam menjadi terganggu. Hal senada juga dipaparkan oleh Responden II dan III. Sedangkan pemadaman listrik saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung menimbulkan respon yang berbeda-beda.
Responden I menjelaskan kegiatan belajar mengajar tidak sepenuhnya terganggu. Walaupun membuat suasana kelas tidak nyaman karena udara yang cukup panas, karena kipas angin tidak menyala.
Responden
II
menjelaskan
kegiatan
belajar-mengajar
terganggu terutama saat pelajaran Teknologi informasi yang membutuhkan komputer, LCD, dan alat-alat elektronik lainnya.
Responden III menjelaskan bahwa kegiatan belajar-mengajar menjadi terganggu. Apalagi jika mati lampu saat malam hari. Siswa menjadi kesulitan dalam belajar maupun mengerjakan tugas. Meskipun sudah dipaksakan menggunakan lilin, kegiatan tetap terganggu.
Berdasarkan hasil wawancara, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa ide penerapan aplikasi biogas dengan penambahan substrat eceng gondok (Ecchornia crassipes) dapat mengatasi masalah ketersediaan listrik di Kabupaten Kutai Kartanegara karena mempunyai potensi yang besar
38
LKTI Nasional Excess 2016
berdasarkan
hasil
penelitian
kuantitatif
yang
dikaji
sebelumnya. Sehingga menunjang kualitas SDM masyarakat terutama
generasi
muda
dan
pelajar
karena
dapat
menggunakan teknologi modern saat ini dengan ketersediaan listrik yang memadai.
39
LKTI Nasional Excess 2016
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1.
Hasil analisis selama 40 hari oleh Akhiruddin (2009) menunjukan bahwa total biogas dengan nilai tertinggi terjadi pada perlakuan sustrat 5% (20 gram) sebesar 2.337 ml, substrat 2,5% (10 gram) sebesar 1.447,5 ml, sustrat 1,25% (5 gram) sebesar 1392,5 ml, pada proses perlakuan Eceng gondok dengan campuran lumpur aktif (Sludge System).
2.
Dalam biogas terdapat 65% metana maka dengan jumlah berat kering tanur 2.470.363,53 kg didapatkan perkiraan produksi biogas sebesar 11,2 ribu m3 metana murni untuk sludge system dari 17.638,39 atau setara 17,63 ribu m3 biogas. Jumlah 1 m3 metana mampu menyalakan generator 2 tenaga kuda untuk 2 jam atau daya sebanyak 1,2kW listrik, sehingga perhitungan kuantitatif sludge system dengan besar metana sebesar 11,2 ribu m3 dapat menyediakan 13,44 MW. Jika tiap rumah tangga masyarakat rata-rata membutuhkan 10 kW listrik atau setara dengan memelihara 4 ekor sapi yang menghasilkan ±2 m3 biogas, maka dengan biogas Eceng gondok dengan metode sludge system dapat menyalurkan listrik ke 1344 rumah masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara.
3.
Pengembangan biogas sludge system dengan tambahan substrat eceng gondok mampu menjadi solusi energi rumah tangga karena mempunyai potensi yang besar sehingga menunjang peningkatan kualitas SDM terutama generasi muda masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara karena dapat menggunakan teknologi modern saat ini.
5.2
Saran 1.
Kepada
Pemerintah
Kabupaten
Kutai
Kartanegara
sebaiknya
diterapkan aplikasi biogas dengan penambahan substrat eceng gondok sebagai solusi energi listrik bagi daerah.
40
LKTI Nasional Excess 2016
2.
Untuk peneliti sebaiknya lebih ditingkatkan lagi penlitian dengan variasi bagian eceng gondok untuk meningkatkan produksi biogas.
41
LKTI Nasional Excess 2016
DAFTAR PUSTAKA
Adams, K. H. 1981. Process Operation and Monitoring. Manila, Philipina. Akhiruddin. 2009. Potensi Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichhornia crssipes SOLMS) Sebagai Bahan Baku Biogas Tanpa dan Dengan Penambahan Lumpur Aktif Sebagai Inisiator. Universitas Mulawarman: Samarinda. Amirta R., 2005. Studies on a Selective White Rot Fungus, Ceriporiopis subvemispora: Production and Lignin Biodegradation of Wood for Methane. Ph.D Desertation. Kyoto University. Unpublished. Anonim.
2013.
Gambaran
Umum
Kabupaten
Kutai
Kartanegara.
http://kabupaten.kutaikartanegara.com/index.php?menu=Gambaran_Umum. (Diakses tanggal Anonim.
28 Februari 2016). 2012.
Informasi
http://www.plantamor.com/index.php?plant=515.
Spesies. (Diakses
tanggal
1
Februari 2016). Anunputtikul, dkk. 2004. Laboratory Scale Experiments for Biogas Production from Cassava Tubers. Hua Hin: Thailand. Gerbono, A., Siregar, A. 2005. Kerajinan Eceng Gondok. Kanisius: Yogyakarta. Harahap, Fillino, dkk. 1978. Teknologi Gasbio. Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung: Bandung. Marpuah , Ema Siti, dkk. 2014. Makalah Digester Biogas. Universitas Diponegoro: Semarang. Megawati, dkk. 2014. Pengaruh Penambahan EM4 (Effective Microorganism-4) pada Pembuatan Pembuatan Biogas dari Eceng Gondok dan Rumen Sapi. Universitas Negeri Semarang: Semarang.
42
LKTI Nasional Excess 2016
Nuramijaya. 2016. Kegunaan Eceng Gondok, Gulma yang memiliki Manfaat. http://nuramijaya.com/kegunaan-eceng-gondok-gulma-yang-memilikiberbagai-manfaat/. (Diakses tanggal 29 Februari 2016). Nurhasanah, A., T.W. Widodo., A. Asari dan E. Rahmarestia. 2006. Perkembangan
Digester
Biogas
di
Indonesia.
http://webbook.nist.gov/cgi/cbook.cgi. (Diakses tanggal 27 Februari 2016). Paimin. 2001. Alat Pembuat Biogas Dari Drum. Penebar Swadaya: Jakarta. Prasetyo, Septian Danni. 2012. Biogas sebagai Energi Alternatif Terbarukan. https://www.academia.edu/5043213/Biogas_sebagai_Energi_Alternatif_Ter barukan_Septian_Danni_Prasetyo_LT_1D_20. (Diakses tanggal 2 Maret 2016). Rahayu,
Aisha
Nastiti.
2013.
Data
Eceng
Gondok.
https://www.academia.edu/6683028/Data_Eceng_gondok. (Diakses tanggal 1 Februari 2016). Saragih, Budiman R. 2010. Analisis potensi biogas untuk menghasilkan energi listrik dan termal pada gedung komersil di daerah perkotaan. Universitas Indonesia: Jakarta. Sari, dkk. 2014. Biogas yang dihasilkan dari dekomposisi Eceng Gondok (Eicchornia crassipes) dengan penambahan kotoran sapi sebagai Starter. Jurnal Pendidikan. Volume 2, No.1, hlm. 4. Sorensan, Bent. 2007. Renewable Energi Conversion, Transmsision and Storage. http://lab.fs.unilj.si/kes/erasmus/Renewable%20Energy%20Conversion,%2 0Transmission,%20and%20Storage.pdf. (Diakses tanggal 29 februari 2016). Stensom, Michael K. 1981. Anaerobic Digestion Of Classified Muicipal Solid Wastes. Cal Recovery Systems Inc: Southern California. Sun, Shouheng, dkk. 2002. Size-Controlled Synthesis of Magnetite Nanoparticles. IBM T. J. Watson Research Center: New York.
43
LKTI Nasional Excess 2016
Suwandi. 2007. Peranan Mikroba Rumen Pada Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Ciawi: Bogor. Suyitno, dkk. 2010. Teknologi Biogas. Graha Ilmu: Jakarta. Wahyuni, Sri. 2008. Analisa Kelayakan Pengembangan Biogas Sebagai Energi Alternatif Berbasis Individu dan Kelompok. Tesis Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Winarni, dkk. 2010. Produksi Biogas Dari Eceng Gondok. Jurnal Pendidikan. hlm 6-7. Yonathan, dkk. 2013. Produksi Biogas Dari Eceng Gondok (Eicchornia crassipes) Kajian Konsistensi dan pH Terhadap Biogas dihasilkan. Jurnal Online. Volume 2, No. 2 hlm. 213. http://ejournals1.undip.ac.id/index/php/jtkt. (Diakses tanggal 1 Maret 2016).
44
LKTI Nasional Excess 2016
LAMPIRAN
Kuisioner dan Hasil Wawancara Responden I, asal : Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, status : Mahasiswa. Wawancara dilaksanakan tanggal 24 Februari 2016 di Universitas Mulawarman X : Apakah di daerah Anda, Tenggarong Seberang, telah mendapat pelayanan listrik? Y : Ya, warga di sini telah mendapat pelayanan listrik. X : Bagaimana pendapat Anda tentang pelayanan listrik di daerah Anda? Y : Pelayanan di sini sudah cukup baik, hanya beberapa rumah yang belum mendapat sambungan listrik. Namun, pemadaman listrik kerap terjadi, bahkan terbilang sangat sering. X : Kapan pemadaman listrik kerap terjadi? Y : Pada waktu siang hari, sedangkan pada waktu malam hanya kadang-kadang. X : Bagaimana gangguan yang ditimbulkan akibat pemadaman listrik tersebut? Y : Akibatnya segala kegiatan jadi terganggu, terutama yang memerlukan listrik. X : Bagaimana pengaruh pemadaman listrik tersebut dengan kegiatan belajar mengajar? Y : Kegiatan belajar-mengajar tidak sepenuhnya terganggu. Walaupun membuat suasana kelas tidak nyaman karena udara yang cukup panas, karena kipas angin tidak menyala.
Responden II, asal : Handil 2, Kutai Kartanegara, status : Mahasiswa Wawancara dilaksanakan tanggal 27 Februari 2016 di Universitas Mulawarman X : Apakah di daerah Anda, Handil 2, telah mendapat pelayanan listrik? W : Benar, warga Handil mayoritas telah mendapat pelayanan listrik. X : Bagaimana pendapat Anda tentang pelayanan listrik di daerah Anda? W : Pelayanan listrik sudah cukup merata, apalagi di daerah Handil 2. X : Apakah pemadaman listrik kerap terjadi? W : Tidak, pemadaman hanya terjadi saat ada alat atau kabel yang rusak. X : Kapan pemadaman listrik biasanya terjadi?
45
LKTI Nasional Excess 2016
W : Paling sering pada siang hari. X : Bagaimana gangguan yang ditimbulkan akibat pemadaman listrik tersebut? W : Akibatnya kami jadi kesulitan dalam beraktivitas. X : Bagaimana pengaruh pemadaman listrik terhadap kegiatan belajar-mengajar? W : Kegiatan menjadi terganggu. Terutama saat pelajaran Teknologi Informasi yang membutuhkan penggunaan komputer, LCD, dan alat-alat elektronik lainnya. Hal tersebut cukup menyulitkan karena kegiatan pembelajaran harus ditunda dan mengurangi jam belajar siswa.
Responden III, asal : Handil Baru, Kutai Kartanegara, status : Mahasiswa Wawancara dilaksanakan tanggal 27 Februari 2016 di Universitas Mulawarman. X : Apakah di daerah Anda, Handil Baru, telah mendapat pelayanan listrik? Z : Ya, kami sudah mendapat pelayanan listrik. X : Bagaimana pendapat Anda tentang pelayanan listrik di daerah Anda? Z : Tidak semua wilayah sekitar sini mendapat pelayanan listrik. Bahkan ada daerah yang hanya dapat menggunakan satu mata lampu karena ketidaktersediaan energi listrik yang layak, sehingga alat-alat elektronik lain tidak dapat difungsikan. X : Apakah pemadaman listrik kerap terjadi? Z : Ya, apalagi pada siang hari X : Bagaimana gangguan yang ditimbulkan akibat pemadaman listrik tersebut? Z : Warga jadi kesulitan dalam beraktivitas. X : Bagaimana pengaruh pemadaman listrik terhadap kegiatan belajar-mengajar? Z : Kegiatan belajar-mengajar menjadi terganggu. Apalagi jika mati lampu saat malam hari. Siswa menjadi kesulitan dalam belajar maupun mengerjakan tugas. Meskipun sudah dipaksakan menggunakan lilin, kegiatan tetap terganggu.
46