KARYA ILMIAH
HUBUNGAN KESADARAN GIZI KELUARGA DENGAN STATUS GIZI PADA BALITA DI DESA SIDOARJO KECAMATAN JAMBON KABUPATEN PONOROGO
PENELITIAN ANALITIK KORELASIONAL
Oleh: ERFIN ANDRIANI, S. ST
JANUARI 2015
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk itu program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat. Status gizi itu sendiri adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang di indikasikan oleh berat badan dan tinggi badan (Depkes RI, 2011). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (RISKESDAS) 2010 sebanyak 13,0% berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan 13,3% anak kurus, diantaranya 6,0% anak sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori sangat pendek. Prevalensi gizi kurang pada tahun 2010 menurun menjadi 17,9%, yaitu ada 900 ribu diantara 2,2 juta balita di Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia. Indonesia saat ini menduduki peringkat kelima dalam status gizi buruk. Prevalensi gizi kurang menurun secara signifikan dari 31% (1989) menjadi 17,9% (2010). Demikian pula prevalensi gizi buruk menurun dari 12,8 % (1995) menjadi 4,9% (2010). Kecenderungan ini menunjukan target penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk menjadi 15% dan 3,5% pada 2015, diharapkan dapat tercapai.
Berdasar data Dinkes Jawa Timur Tahun 2011 gizi buruk yang terjadi berdasarkan BB sebesar 2,5% dan gizi kurang sebesar 9,3%. Sedangkan jumlah Balita yang sangat pendek dan pendek sebesar 36% sehingga masih di atas Target MDGS Tahun 2015 sebesar 32%. Menurut ketua umum penggerak PKK Jawa timur, balita yang menderita gizi buruk di Jawa Timur pada Tahun 2012 sebesar 20%, dan gizi kurang sebesar 38%, sedangkan balita yang mengalami asupan gizi yang salah sekitar 40,7%. Berdasarkan studi pendahuluan di Kabupaten Ponorogo masih banyak dijumpai balita yang mempunyai BB kurang. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo dari 44.449 balita di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 untuk Status Gizi berdasarkan BB/TB yaitu balita sangat kurus sebanyak 82 balita (0,82%), Kurus sebanyak 243 (2,43%), normal sebanyak 2751 (27,51%), dan gemuk sebanyak 110 balita (1,1%). Sedangkan berdasarkan BB/U yaitu sangat kurang sebanyak 191 (1,91%), kurang sebanyak 2288 (22,88), normal 393 (39,32%), Lebih sebanyak 531 (5,51%). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan Data survey awal di Puskesmas Jambon Tahun 2012, di antara beberapa desa dikecamatan Jambon jumlah balita yang mengalami gizi kurang dan sangat kurang paling banyak adalah di desa Sidoarjo yaitu dari 226 balita. Status Gizi berdasarkan BB/U yaitu gizi sangat kurang sebesar 25 balita (0,25%), kurang sebesar 40 balita (0,40%), normal sebanyak 1876 balita (19,17%). Sedangkan status gizi berdasarkan BB/TB yaitu sangat kurus 0,01%, kurus 0,04%, normal 0,09%. Sedangkan untuk kesadaran gizi keluarga berdasarkan survey didesa Sidoarjo dengan cara wawancara pada 10 keluarga
dengan pertanyaan berpedoman terhadap 5 indikator KADARZI, dari 10 keluarga yang menjawab tidak memenuhi 5 indikator KADARZI ada 6 keluarga. Jadi 6 keluarga tersebut belum termasuk keluarga sadar gizi. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang belum sadar gizi. MDGs (Millenium Development Goals) ditingkat ASEAN AKBA (Angka Kematian Balita) di Indonesia masih tergolong tertinggi yaitu jumlahnya 44 kematian perseribu kelahiran hidup. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita. Masalah gizi secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah asupan makanan (energi dan protein) dan penyakit penyerta. Sedangkan faktor tidak langsung adalah tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pola asuh, sosial budaya, ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan faktor lingkungan (Depkes RI, 2007). Berdasarkan hasil survey awal masalah gizi di daerah tersebut disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang gizi pada ibu balita, kurangnya kesadaran akan pentingnya gizi untuk balita, dan asupan makanan bergizi untuk balita kurang begitu diperhatikan serta kurangnya ketersediaan pangan didaerah tersebut. Kurang gizi pada balita juga dapat disebabkan perilaku ibu dalam pemilihan bahan makanan yang tidak benar. Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya.
Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan kesalahan pemilihan makanan terutama untuk balita. Masalah kurang gizi selain disebabkan oleh berkurangnya jumlah konsumsi karena melemahnya daya beli masyarakat dan mutu gizi yang rendah juga disebabkan oleh masih banyaknya warga masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya pemenuhan gizi sejak masa balita (Tim Koordinasi Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi, 2009). Masalah kurang gizi mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, kreativitas, dan produktifitas penduduk. Menurut World Organization Health (WHO) dalam Azwar (2004), lebih dari 50% kematian balita disebabkan gizi kurang dan gizi buruk. Selain itu anak yang kurang gizi setelah mencapai usia dewasa tubuhnya tidak akan mencapai tinggi yang seharusnya dapat dicapai, serta jaringan-jaringan otot yang kurang berkembanng (Sutarta, 2008). Oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah antara lain melalui revitalisasi Posyandu dalam meningkatkan cakupan penimbangan balita, penyuluhan dan pendampingan, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) atau Pemberian Makanan Tambahan (PMT), peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi melalui tata laksana gizi buruk di Puskesmas Perawatan dan Rumah Sakit, penanggulangan penyakit menular dan pemberdayaan masyarakat melalui Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Selain itu dengan meningkatkan pengetahuan keluarga tentang gizi dan kesehatan dapat tercipta keluarga yang mandiri dalam memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan bagi seluruh anggota keluarga. Disamping itu untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah
dengan menjadikan tatalaksana gizi buruk sebagai upaya menangani setiap kasus yang ditemukan serta perlunya partisipasi masyarakat serta keluarga dalam mencegah dan menangani masalah gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan fenomena di atas bahwa masih banyak djumpai keluarga yang belum sadar gizi dan balita yang berat badannya masih kurang. Penelitian tentang kesadaran gizi keluarga dan status gizi pada balita di Desa sidoarjo kecamatan Jambon kabupaten Ponorogo belum pernah dilakukan penelitian, maka peneliti tertarik mengungkap tentang hubungan kesadaran gizi keluarga dengan status gizi pada balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. 1.2 Rumusan Masalah Adakah hubungan kesadaran gizi keluarga dan asupan makanan dengan kejadian gizi kurang pada balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan kesadaran gizi keluarga dengan status gizi pada balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.
2. Mengidentifikasi status gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. 3. Menganalisis kesadaran gizi keluarga dengan status gizi pada balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten ponorogo Tahun 2014. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis 1. Bagi institusi Sebagai tambahan referensi yang dapat di gunakan untuk pengetahuan di bidang Kesehatan dan Gizi pada Balita. 2. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan tema yang sama. 1.4.2 Praktis 1.
Bagi Peneliti Diharapkan dapat memberikan informasi serta pertimbangan dalam upaya atau menangani kesadaran Gizi keluarga dan Status gizi pada balita.
2.
Bagi petugas kesehatan Sebagai sumber informasi bagi petugas kesehatan khususnya Bidan sebagai sumber informasi yang dapat membantu Bidan meningkatkan pelayanan kebidanan yang berhubungan dengan kesadaran gizi keluarga pada balita sehingga kejadian gizi kurang dan buruk dapat berkurang.
3.
Bagi tempat penelitian Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan ilmu, wawasan dan meningkatkan kesadaran pada ibu, keluarga dan masyarakat tentang pentingnya kesadaran gizi keluarga pada balita dalam mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk pada balita.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi 2.1.1 Pengertian Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005). Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix, 2005). Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Apriadji, 2007). Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energy yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007). Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005). Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang,
akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk. Status gizi adalah keadaan keseimbangan Antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement) zat gizi. Untuk menilai status gizi seseorang atau masyarakat dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. 2.1.2 Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi (Nutritional Assessment), menurut Rosalind S, Gibson, didefinisikan sebagai interprestasi dari informasi yang diperoleh dari diet, biokimia, antropometri dan klinis (The Interpretation of Information Obtained from Dietary, Biochemical, Anthropometric and Clinical Studies). Informasi tersebut digunakan untuk menetapkan status gizi individu atau kelompok populasi yang dipengaruhi asupan dan penggunaan zat gizi. Sistem penilaian status gizi dapat berupa tiga bentuk : survey, surveylance, atau screening. 1. Survey Gizi (Nutrition survey) Status gizi dari kelompok populasi tertentu dapat dinilai dengan cara “cross-sectional survey”. Survey ini dapat menyediakan data dasar gizi dan juga menetapkan status gizi masyarakat. Dengan cross sectional survey dapat juga untuk mengidentifikasi atau menjelaskan kelompok populasi yang berada dalam resiko (at risk) terutama terhadap malnutrisi kronis dan akut serta menyediakan informasi tentang kemungkinan adanya malnutrisi. Dengan demikian berdasar survey ini dapat dipersiapkan dukungan sumber daya yang dibutuhkan dan pembuatan kebijakan yang diperlukan.
2. Surveilans gizi (Nutrition Surveylance) Ciri gambaran surveilans adalah monitoring terus menerus dari status gizi suatu kelompok populasi. Berbeda dari survey gizi, pada surveilans gizi data dikumpulkan, dianalisi dan digunakan untuk suatu periode waktu yang luas. Surveilans gizi menjelaskan kemungkinan penyebab malnutrisi dan dapat digunakan untuk membuat formulasi dan intervensi awal pada kelompok populasi sehubung dengan prediksi dan kecenderungan yang terjadi serta evaluasi efektifitas program gizi. 3. Penapisan (Skrining) gizi (Nutrition Screening) Identifikasi kekurangan gizi secara individual bagi yang memerlukan atau tidak memerlukan intervensi gizi dapat dilakukan dengan cara skrining gizi. hal ini termasuk perbandingan pengukuran seseorang dengan menetapkan tingkatan resiko atau penetapan ambang batas (cutoff point). Skrining dapat dilakukan pada tingkatan individu atau pada sekelompok populasi spesifik yang menanggung resiko, seperti pada program pemberian makanan tambahan pada balita. Pada umum nya program skrining tidak dilakukan secara menyeluruh. Ketiga macam penilaian gizi tersebut da adopsi kedokteran klinis untuk menilai status gizi bagi mereka yang perlu perawatan. Penilaian status gizi bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai metode penilaian status gizi, memberikan penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan dari beberapa metode yang ada dan memberikan gambaran singkat mengenai pengumpulan data, perencanaan dan implementasi untuk penilaian status gizi (Hartriyanti dan Triyanti,2007).
Ada tiga macam kondisi dalam penilaian status gizi : a. Ditujukan untuk perorangan atau kelompok masyarakat b. Pelaksanaan pengukuran satu kali atau berulang secara berkala c. Situasi dan kondisi pengukuran baik perorangan atau kelompok masyarakat pada saat krisis, darurat, kronis dsb. Beberapa penilaian status gizi dapat diaplikasikan seperti : 1. Screening atau penapisan yaitu penilaian status gizi perorangan untuk keperluan rujukan, dari kelompok masyarakat atau dari puskesmas, dalam kaitannya dengan tindakan atau intervensi. 2. Pemantauan pertumbuhan anak, dalam kaitannya dengan kegiatan penyuluhan. 3. Penilaian status gizi pada kelompok masyarakat, yang dapat digunakan untuk mengetahui hasil dari suatu program, sebagai bahan perencanaan program atau penetapan kebijakan. Dalam penelitian status gizi masyarakat atau kelompok masyarakat terdapat dua hal yang mendasar. Yang pertama adalah penyelidikan dimaksudkan untuk mengetahui status gizi masyarakat keseluruhan, yang kedua adalah untuk menetapkan status gizi individu pada masyarakat atau kelompok masyarakat. Penilaian status gizi individu meliputi tiga metode utama yaitu : 1. Studi dietary yang membandingkan masukan zat gizi dengan standar, dan membantu menerangkan kemungkinan sebab pada pemeriksaan klinis dan laboratorium.
2. Studi klinis yang menilai tanda dan gejala fisik dari kesehatan gizi atau penyakit. 3. Pemeriksaan laboratorium yang memeriksa secara biokimia zat gizi dalam tubuh, dalam berbagai derajat dan ketepatan. Teknik tersebut dapat digunakan secara terpisah atau bersama, tergantung pada individu, biaya dan sarana prasarana yang tersedia. Sedangkan untuk penilaian status gizi masyarakat mungkin merupakan metode praktis yang paling banyak dikenal, untuk memperoleh gambaran status
gizi
masyarakat
yang
bersangkutan.
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi status gizi masyarakat. dengan indikator seperti faktor tersedianya pangan dan gizi, ekologi dan lingkungan dalam arti luas, yang mempengaruhi kualitas hidup pada umumnya. Untuk itu perlu diketahui masalah demografi, geografi, budaya dan epidemologi penyakit. 2.2.3 Pengukuran status gizi Pengukuran status gizi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung maupun tidak langsung : 1. Penilaian status gizi secara langsung Penilaian status gizi dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik (supariasa, 2007) a. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa,
2005). Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005). b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). c. Biokimia
Pemeriksaan Pemeriksaan
biokimia
biokimia
disebut
pemeriksaan
juga yang
cara
laboratorium.
digunakan
untuk
mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis. Cara lain adalah dengan menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur besarnya konsekuensi fungsional dari suatu zat gizi yang spesifik Untuk pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia statis dan uji gangguan fungsional (Baliwati, 2004).
d. Biofisik
Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja (Supariasa, 2005). 2. Penilaian Tidak Langsung a. Survei Konsumsi Makanan Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati, 2004). b. Statistik Vital Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c. Faktor Ekologi Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2005). 2.2.4 Klasifikasi Status Gizi Standar baku antrometri yang paling banyak digunakan adalah baku Halvard dan baku WHO-NCHS. Berdasarkan hasil diskusi pakar dibidang gizi yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) bekerjasama dengan UNICEF Indonesia
dan LIPI pada tanggal 17-19
Januari 2000 ditetapkan bahwa penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB di sepakati penggunaan istilah status gizi dan baku antropometri yang dipakai dengan menggunakan Z-score dan baku rujukan –WHO-NCHS (WNPG VII, 2004). Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score (simpang baku) sebagai batas ambang. Kategori dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U,PB/U atau BB/TB diobagi menjadi 3 golongan dengan batas ambang sebagi berikut : 1. Indeks BB/U a. Gizi lebih, bila Z-score terletak > + 2SD b. Gizi baik, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD c. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥ -3 SD s/d <-2SD
d. Gizi buruk, bila Z-score terletak < -3SD 2. Indeks TB/U a. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD b. Pendek, bila Z-score terletak < -2SD 3. Indeks BB/TB a. Gemuk, bila Z-score terletak > +2SD b. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD c. Kurus, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d < -2SD d.Kurus sekali, bila Z-score terletak < -3SD (Sumber :WNPG VII, 2004) Pertimbangan dalam menetapkan cut off point status gizi didasarkan pada asumsi resiko kesehatan : 1. Antara -2SD sampai +2SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk menderita masalah kesehatan 2. Antara -2SD sampai -3SD atau antara +2SD sampai +3SD memiliki resiko cukup tinggi untuk menderita masalah kesehatan 3. Di bawah -3SD atau diatas +2SD memiliki resiko tinggi untuk menderita masalah kesehatan Klasifikasi dan penentuan status gizi berdasarkan antropometri yaitu : 1. gizi lebih
: overweight dan obesity
2. gizi baik
: wellnourished
3. gizi kurang : underweight (mild dan moderate malnutrition) 4. gizi buruk
: severe malnutrition (marasmus, kwashiorkor dan marasmic kwasiokor)
Menurut buku pedoman pemantauan status gizi (PSG) melalui posyandu, Depkes RI (2010) indeks dan baki rujukan yang digunakan dalam pengolahan data adalah indeks BB menurut umur dengan menggunakan baku rujukan antropometri WHO – NCHS, dengan menentukan 4 kategori sebagai berikut: 1. gizi baik
: ≥ 80%
terhadap bakuan median.
2. gizi sedang : 70-79,9%
terhadap bakuan median.
3. gizi kurang : 60-69,9%
terhadap bakuan median.
4. gizi buruk
terhadap bakuan median (Soegianto, 2007).
: < 60%
2.2.5 Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi 1.
Umur Kebutuhan energi individu disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas.
2.
Frekuensi Makan Frekuensi konsumsi makanan dapat menggambarkan berapa banyak makanan yang dikonsumsi seseorang.
3.
Asupan Makanan Kebutuhan nutrient tertinggi per kg berat badan dalam siklus daur kehidupan adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam pertumbuhan
dan
metabolisme
(Kusharisupeni,2007). Seorang
terjadi
pada
masa
ini
anak yang sehat dan normal akan
tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Akan tetapi asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan akan mempengaruhi
pertumbuhan
anak.
Kekurangan
zat
gizi
akan
dimanifestasikan dalam bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari standar (Khomsan, 2004). Apabila anak balita intake makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami kurang gizi dan mudah terserang penyakit infeksi. Selama masa pertumbuhan balita memerlukan asupan energi dan protein. Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru (Robberts,et.al, 2005). 4.
Penyakit Infeksi Hubungan antara gizi kurang dan penyakit infeksi sangat komplek. Disatu
sisi kekebalan tubuh anak terhadap infeksi akan berkurang
apabila anak menderita gizi kurang. Contohnya adalah anak yang gizi kurang selanjutnya dapat menderita penyakit pneumonia atau penyakit infeksi
lainnya
sedangkan disisi
lain penyakit
infeksi sangat
mempengaruhi status gizi anak (Kartasapoetra, 2008). Penyakit infeksi dapat menyebabkan kehilangan nafsu makan sehingga terjadi kekurangan gizi secara langsung. Pada anak umur 12 sampai 36 bulan khususnya mempunyai resiko penyakit infeksi seperti gastroenteritis dan campak (WHO, 2004). 5.
Pola Asuh Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya baik fisik, mental dan sosial berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat kebersaihan, dan member kasih sayang. Pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh anak yaitu praktik di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak (Zeitlin dalam WNPG VII, 2004). 6.
Tingkat Pendidikan Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka sangat diharapkan semakin tinggi pula pengetahuan orang tersebut mengenai gizi dan kesehatan
7.
Pengetahuan Tingkat pendidikan seseorang sangat
mempengaruhi tingkat
pengetahuannya akan gizi. rendah-tingginya pendidikan seseorang juga turut menentukan mudah tidaknya orang tersebut dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Berdasarkan hal ini, kita dapat menentukan metode penyuluhan gizi yang tepat. Di samping itu, dilihat dari segi kepentingan gizi keluarga, pendidikan itu sendiri amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan dapat mengambil tindakan 8.
Pekerjaan Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan. Ada hubungan yang erat antara pendapatan yang meningkat dan gizi yang didorong oleh pengaruh menguntungkan dari pendapatan yang
meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. 9.
Jumlah Anak Urutan kelahiran merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pola pertumbuhan anak balita dalam satu keluarga. Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang di dalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu rebut akan
mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara
langsung akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlau peka terhadap suasana yang kurang mengenakkan (Apriadji, 2011). Menurut Berg rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dari rumah tangga yang anggotanya kecil dan beresiko menderita gizi kurang pada anakanak 5 kali lebih besar. sedangkan Amos (2000) melaporkan bahwa ada hubungan
yang
bermakna
antara
jumlah
anak
dengan
status
gizi.Semakin banyak jumlah anak semakin besar resiko menderita kurang energi protein (OR=1,12) (Arisman, 2007). 10. Sanitasi Air Bersih Kurang energi protein merupakan masalah kesehatan terutama di Negara berkembang. Ketersediaan air bersih, sanitasi dan hygiene member dampak pada penyakit infeksi khususnya penyakit diare. Ketersediaan air bersih merupakan upaya pencegahan yang berkaitan dengan status gizi. Ketersediaan air bersih sangat berhubungan dengan
kejadian kurang energy protein khususnya pada anak balita (WHO, 2011). 2.2.6 Masalah Gizi Kurang Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2004). Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi (Achmad djaeni, 2008) Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Apriadji, 2010). Faktor yang mentebabkan gizi kurang telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab
timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Menurut Soekirman dalam materi Aksi pangan dan Gizi Nasional (Depkes, 2005), penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersamasama merupakan penyebab kurang gizi. 2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh anggota keluarga.
2.2 Kesadaran Gizi Keluarga 2.2.1 Pengertian Kesadaran gizi keluarga adalah keluarga yang mencerminkan sikap dan perilaku mandiri dalam mewujudkan keadaan gizi yang sebaik-baiknya yang tercermin dari pola konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang. Kadarzi adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkahlangkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai anggota keluarganya (Depkes RI, 2012). Kadarzi Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah 2.2.2 Sasaran Kadarzi 1. Seluruh anggota keluarga 2. Masyarakat yang terdiri: penentu kebijaksanaan, pemerintah daerah, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, swasta/dunia usaha. 3. Petugas teknis dan lintas sektor terkait di berbagai tingkat administrasi. 2.2.3 Indikator keluarga sadar gizi Ada 5 indikator yang dipakai untuk menilai terwujudnya keluarga sadar gizi : 1. Memantau berat badan secara teratur sebagai cara pendeteksian gangguan dini kelainan gizi. 2. Makan aneka ragam makanan sesuai dengan kebutuhan 3. Hanya mengkonsumsi garam beryodium 4. Pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan.
5. Pemberian suplementasi gizi kepada anggota keluarga yang memerlukan (Sumber : Depkes RI 2005). Keluarga dikatakan keluarga sadar gizi bila dapat melaksanakan perilaku tersebut. Bila salah satu perilaku belum dapat dilaksanakan maka keluarga tersebut belum sadar gizi (Depkes RI, 2011). 2.2.4 Tujuan dari Keluarga Sadar Gizi yaitu : a. Keluarga dapat mengenali masalah gizi yang ada pada anggota keluarganya. b. Keluarga dapat mengidentifikasi potensi yang dimiliki keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan status gizi keluarga. c. Keluarga mampu merencanakan dan mengambil langkah-langkah tindak lanjut mengatasi masalah gizi yang dihadapi keluarga (Depkes RI, 2011). Suatu keluarga disebut keluarga sadar gizi bila : a. Keluarga mampu melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar. b. Sedikitnya ada seorang anggota keluarga mampu melaksanakan perubahan ke arah keluarga yang berperilaku gizi yang baik dan benar (Depkes RI, 2012). 2.2.5 Cara mewujudkan keluarga sadar gizi Keluarga sadar gizi dapat diwujudkan melalui upaya pemberdayaan keluarga yaitu dengan cara : a. Meningkatkan pengetahuan gizi keluarga b. Merubah perilaku gizi yang salah
c. Menumbuhkan kemandirian keluarga dalam mengatasi masalah gizi yang ada dalam keluarga, berdasarkan potensi yang dimiliki keluarga, maupun yang ada dimasyarakat. d.Memotivasi keluarga untuk menghasilkan bahan makanan melalui pemanfatan perkarangan (Depkes RI, 2011). 2.2.6 Strategi Promosi KADARZI Strategi
dasar
KADARZI
adalah
pemberdayaan
keluarga
dan
masyarakat, Bina Suasana dan Advokasi yang didukung oleh Kemitraan. Berikut adalah penjelasan masing-masing strategi, yaitu: 1. Gerakan Pemberdayaan Masyarakat Adalah proses pemberian informasi KADARZI secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran di berbagai tatanan, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar gizi, dari tahu menjadi mau dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku sadar gizi. Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah individu, keluarga dan kelompok masyarakat. 2. Bina Suasana Adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu, keluarga dan kelompok masyarakat untuk mau melakukan perilaku KADARZI. Seseorang akan terdorong untuk melakukan perilaku sadar gizi apabila lingkungan sosial dimana dia berada (keluarga di rumah, masyarakat menjadi panutan, idolanya, majelis agama, dan lain sebagainya) memiliki opini yang positif terhadap
perilaku sadar gizi. Bina suasana perlu dilakukan karena akan mendukung proses pemberdayaaan masyarakat khususnya dalam upaya mengajak para individu dan keluarga dalam penerapan perilaku sadar gizi. 3. Advokasi Adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Advokasi diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung peningkatan penerapan KADARZI. Kebijakan publik di sini dapat mencakup peraturan perundangan di tingkat nasional maupun kebijakan di daerah seperti Peraturan Daerah (PERDA), Surat Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota, Peraturan Desa dan lain sebagainya. 4. Kemitraan Gerakan pemberdayaan, bina suasana dan advokasi akan lebih efektif bila dilaksanakan dengan dukungan kemitraan. Kemitraan KADARZI adalah suatu kerja sama yang formal Antara individuindividu, kelompokkelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai peningkatan KADARZI. Kemitraan KADARZI berlandaskan pada 3 prinsip dasar yaitu: Kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan antar mitra. 2.3
Balita
2.3.1 Pengertian Balita Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak dibawah lima tahun. Balita
adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (balita) dan anak prasekolah (3-5 tahun) (Sutomo dan anggraeni, 2010). 2.3.2 Tujuan pemantauan pertumbuhan fisik anak adalah : a. Agar pertumbuhannya mudah diamati. b. Menciptakan kebutuhan akan rasa ingin tahu terhadap pertumbuhan anak. c. Meningkatkan lingkungan yang layak untuk pertumbuhan anak. d. Melukiskan setiap kejadian yang kurang menguntungkan anak, misalnya infeksi, ibu meninggal, dll. e. Menemukan seawal mungkin gejala-gejala gangguan pertumbuhan. f. Merupakan sarana untuk memberikan penyuluhan kepada ibu : 1. Gizi/makanan bayi dan anak 2. Tumbuh kembang anak 3. Imunisasi 4. Keluarga berencana 5. Pencegahan : defisiensi vitamin A, dehidrasi akibat diare sanitrasi personal dan lingkungan, dll (Soetjiningsih, 2005). 2.3.3
Klasifikasi Perkembangan Balita a. Usia Bayi (0-1 tahun) Bayi memiliki sistem kekebalan tubuh yang primitive dengan kekebalan pasif yang didapat dari ibunya selama dalam kandungan. Pada saat bayi kontak dengan antigen yang berbeda ia akan memperoleh antibodinya sendiri. Imunisasi diberikan untuk terhadap penyakit yang dapat membahayakan bayi. Bila dikaitkan dengan status gizi bayi
memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Kebutuhan kalori bayi antara 100-200 kkal/kg BB. Pada empat bulan pertama, bayi yang lebih baik hanya mendapatkan ASI saja tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (Supartini, 2004). b. Usia toddler (1-3 tahun) Secara fungsional biologis masa umur 6 bulan hingga 2-3 tahun adalah rawan. Masa itu tantangan karena konsumsi zat makanan yang kurang, disertai minuman buatan yang encer dan terkontaminasi kuman menyebabkan diare dan marasmus. Selain itu dapat juga terjadi sindrom kwashiorkor karena penghentian ASI mendadak dan pemberian makanan padat yang kurang memadai (Jelife, 1989 dalam Supartini, 2004). Imunisasi pasif yang diperoleh melalui ASI akan menurun dan kontak dengan lingkungan akan makin bertambah secara cepat dan menetap tinggi selama tahun kedua dan ketiga kehidupan. Infeksi dan diet adekuat kan tidak banyak berpengaruh pada status gizi yang cukup baik (Akre, 1994 dalam Supartini, 2004). Bagi anak dengan gizi kurang, setiap tahapan infeksi akan berlangsung lama dan akan berpengaruh yang cukup besar pada kesehatan, petumbuhan dan perkembangan. Anak 1-3 tahun membutuhkan kalori kurang lebih 100 kkal/kg BB dan bahan makanan lain yang mengandung berbagai zat gizi (Supartini, 2004).
c. Usia Pra Sekolah (3-5 tahun) Pertumbuhan anak usia ini semakin lambat. Kebutuhan kalorinya adalah 85 kkal/kg BB. Karakteristik pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia pra sekolah yaitu nafsu makan berkurang, anak lebih tertarik pada aktivitas bermain dengan teman, atau lingkungannya dari pada makan dan anak mulai sering mencoba jenis makanan yang baru (Supartini, 2004). 2.3.4 Tahapan Perkembangan Balita Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Balita Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu (Supriasa, 2005) a. Faktor Internal (Genetik) Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetic yang berada didalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Faktor internal (Genetik) antara lain termasuk berbagai faktor bawaan yang normal dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan ras atau suku bangsa (Jellife, 1989 dalam Supriasa, 2005). b. Faktor Eksternal (Lingkungan) Faktor lingkungan sangat menentukan tercapainya potensi genetic yang optimal. Apabila kondisi lingkungan kurang mendukung, maka potensi genetik yang optimal tidak akan tercapai. Lingkungan ini meliputi lingkungan “bio-fisiko-psikososial” yang akan mempengaruhi setiap individu mulai dari masa konsepsi sampai akhir hayatnya. Faktor
lingkungan pascalnatal adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan anak setelah lahir, meliputi; 1. Lingkungan biologis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah ras, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme yang saling terkait satu dengan yang lain. 2. Lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan adalah cuaca, keadaan geografis, sanitasi lingkungan, keadaan rumah dan radiasi. 3. Faktor psikososial yan berpengaruh pada tumbuh kembang anak adalah stimulasi (rangsangan), motivasi, ganjaran atau hukuman, kelompok sebaya, stres, cinta dan kasih sayang serta kualitas interaksi antara anak dan orang tua. 4. Faktor keluarga dan adat istiadat yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak antara lain: pekerjaan atau pendapatan keluarga, stabilitas rumah tangga, adat istiadat, norma dan urbanisasi. 2.5 Hubungan kesadaran gizi keluarga dengan status gizi pada Balita Status gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu faktor adalah rendahnya kesadaran keluarga akan pentingnya makanan bergizi pada balita, selain itu kurangnya pengetahuan tentang gizi dan kesehatan para ibu atau keluarga yang mengasuh dan memelihara anak/balita tersebut, sehingga Keluarga tidak dapat mengenali masalah gizi yang ada pada anggota keluarganya dan Keluarga tidak dapat mengidentifikasi potensi yang dimiliki
keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan status gizi keluarga dan tidak mampu merencanakan dan mengambil langkah-langkah tindak lanjut mengatasi masalah gizi yang dihadapi keluarga (Depkes RI, 2011). Status Kesadaran gizi keluarga (KGK) penting dalam mewujudkan status gizi yang normal bagi balita. Status gizi yaitu hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke dalam tubuh ( nutrition intake) dengan kebutuhan tubuh (nutrition output) akan zat gizi tersebut. Balita yang makanannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit dan balita yang sakit maka berat badannya akan menjadi turun sehingga status gizi nya menurun dan menjadi gizi kurang. Apabila anak balita intake makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami kurang gizi dan mudah terserang penyakit infeksi. Perilaku sadar gizi tentu sangat bermanfaat bagi keluarga terutama pada ibu balita. Pada umumnya keluarga yang sadar gizi lebih memperhatikan gizi untuk balita nya, jarang menderita sakit dan tidak ada gangguan gizi pada balitanya secara tidak langsung akan menurunkan angka kematian balita (AKABA) dengan menurunkan angka kejadian gizi kurang dan gizi buruk. Salah satu cara mengatasi status gizi kurang atau buruk yaitu dengan pemenuhan gizi yang baik. Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Kesadaran gizi keluarga sangat berpengaruh terhadap status gizi pada
balita, Sehingga perilaku sadar gizi keluarga terutama pada ibu balita sangat penting. Kesadaran gizi keluarga itu meliputi tentang pengetahuan dan perilaku ibu balita tentang gizi. Pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namun demikian, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya. Gambaran perilaku gizi yang belum baik juga ditunjukkan dengan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan oleh masyarakat dapat dilihat dari masih adanya ibu balita yang tidak membawa anak nya ke posyandu sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan pemberian vitamin A. Sementara itu perilaku gizi lain yang belum baik adalah masih rendahnya ibu yang menyusui bayi 0-6 bulan secara eksklusif yang baru mencapai 39%, sekitar 28 % rumah tangga belum menggunakan garam beryodium yang memenuhi syarat dan pola makan yang belum beraneka ragam. Selain itu Pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola asuh atau prilaku ibu dan membawa dampak pada anaknya. Pengetahuan ibu yang terkait yaitu seperti kebiasaan dalam pemberian makan. Kebiasaan dalam memberikan makanan bayi atau balita mempengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak. Pemberian makanan bayi 0-6 bulan dengan ASI ekslusif diperlukan. Jadi kesadaran gizi keluarga (KGK) sangat berhubungan erat dengan status gizi pada balita.
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual Input
process
1. Balita 2. Ibu balita
Faktor
Pertumbuhan dan perkembangan fisik
yang
mempengaruhi Gizi: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Kesadaran gizi keluarga Pemberian ASI dan MPASI Poa asuh psikososial Penyediaan MP-ASI Kebersihan dan sanitasi lingkungan Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan
Keterangan : = Tidak Diteliti = Diteliti
output Status Gizi
outcome 1. Tidak tercapainya target MDGS 2015 2. Meningkatkan Angka kematian Balita
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Penjelasan 3.1 Input dari kerangka konseptual diatas adalah Balita dan ibu balita atau pengasuh balita. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi Gizi kurang yaitu diantaranya adalah asupan makanan, kesadaran gizi keluarga, pemberian ASI dan MPASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP-ASI, kebersihan dan sanitasi lingkungan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Beberapa faktor tersebut jika tidak tercapai akan mempengaruhi status gizi pada balita. Hal itu menyebabkan gizi buruk, gizi kurang dan penyakit infeksi pada balita. Status gizi pada balita yang buruk akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik, gangguan mental, menghambat perkembangan otak, Menurunkan system kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit). Untuk dampak dalam jangka panjangnya (outcome) adalah tidak tercapainya target MDGS 2015 dan meningkatkan angka kematian Balita. 3.2 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Ada Hubungan kesadaran Gizi keluarga dengan kejadian Gizi Kurang pada Balita di Desa Sidoarjo kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. 2. Selanjutnya hipotesis tersebut di ubah dalam bentuk hipotesis statistic yang berbunyi : Tidak ada hubungan antara Kesadaran Gizi Keluarga dengan
Status Gizi pada Balita di Desa Sidoarjo kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lingkup penelitian termasuk penelitian inferensial. Berdasarkan tempat penelitian termasuk penelitian lapangan. Berdasarkan waktu pengambilan data peneliti ini merupakan penelitian cross sectional. Berdasarkan cara pengumpulan data termasuk penelitian survey. Berdasarkan ada tidaknya perlakuan, penelitian ini merupakan penelitian expose facto. Berdasarkan tujuan penelitian termasuk penelitian inferensial kuantitatif. Berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini menggunakan data primer.
4.2
Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
4.2.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo yaitu sebanyak 226 Tahun 2014. 4.2.2 Sampel Sampel pada penelitian ini sebagian balita yang ada di Dusun Sidowayah Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. 4.2.3 Besar Sampel Pada penelitian ini jumlah sampel yang ditentukan dengan menggunakan rumus Arikunto sebagai berikut :
n
NZ Nd
2
2
1 a
/ 2
P 1 P
Z 1 a / 2 P 1 P 2
Keterangan : n N Z (1- α/2) P d
= besar sampel = besar populasi = nilai sebaran baku= 95%=1,96 = populasi kejadian= 0,5 = besar penyimpangan= 0,1
Sehingga diperoleh : n
n
226 (1,96) 2 0,5 1 0,5 226 0,1 1,96 0,5 1 0,5 2
2
0,5 0,01
n 50
Jadi, besar sampel secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah 50 orang. 4.2.4 Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik probability sampling yaitu dengan teknik simple random sampling yaitu dengan menghitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi yang akan dipilih sampelnya kemudian setiap subjek diberi nomer dan dipilih sebagian dari mereka dengan bantuan tabel random. 4.3
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.3.1 Variabel Penelitian 1. Variabel Independen Variabel independen penelitian ini adalah kesadaran gizi keluarga
2. Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status gizi. 4.3.2 Definisi Operasional Tabel 4.1 Definisi Operasional No
Variabel
1.
Keluarga sadar gizi
2.
Status Gizi
Definisi operasinal Keluarga yang mampu mengenali masalah gizi pada keluarganya dan mengerti pentingnya gizi tersebut
Suatu keadaan atau ukuran kondisi tubuh dimana terdapat keseimbangan jumlah yang masuk kedalam tubuh dan energy yang keluar sehingga zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tercukupi
Parameter 5 indikator kadarzi: 1. Memantau berat badan secara teratur 2. Makan aneka ragam makanan sesuai dengan kebutuhan 3. Hanya mengkonsumsi garam beryodium 4. Pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. 5. Pemberian suplementasi gizi kepada anggota keluarga yang memerlukan. IMT : BB/U
Kuesioner
Skala Data Ordinal
Check list
Ordinal
Instrumen
Kategori 1. Keluarga sadar gizi 2. Tidak Keluarga sadar gizi
1. Gizi lebih 2. Gizi baik 3. Gizi kurang 4. Gizi buruk
4.4
Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data calon responden yaitu data Balita dan Ibu Balita/pengasuh di Dusun Sidowayah Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.
4.5
Instrumen Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner berdasarkan KEPMENKES RI nomor: 747/Menkes/SK/VI/2007 tentang pedoman operasional keluarga sadar gizi di desa siaga untuk menentukan perilaku kadarzi yang akan diisi langsung oleh responden dengan dipandu oleh peneliti. Sedangkan Alat yang digunakan untuk mengungkap variabel independent adalah check list. Kisi-kisi No
Variabel
Sub
Parameter/ indikator
variabel 1.
Kadarzi
No
Jumlah
item 1. Menimbang berat badan
7, 8
2
11, 12
2
1, 2, 3,
6
secara teratur 2.
Memberikan Asi ekslusif
3. Makan beraneka ragam makanan 4. Menggunakan garam
4, 5, 6 10
1
9
1
beryodium 5. Minum suplemen gizi (TTD, vitamin A)
4.6
Tempat dan Waktu Penelitian
4.6.1 Tempat Penelitian Tempat Penelitian dilaksanakan di Dusun Sidowayah Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. 4.6.2 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 4.7
Prosedur Pengambilan dan Pengolahan Data
4.7.1 Prosedur Pengumpulan data 1.
Menyerahkan surat ijin dari institusi pendidikan ke KESBANG kabupaten Ponorogo
2.
Setelah itu, ada surat balasan ijin melaksanakan penelitian dari KESBANG kabupaten Ponorogo.
3.
Menyerahkan surat dari KESBANG ke Dinkes kabupaten Ponorogo.
4.
Setelah itu, menyerahkan surat ijin dari KESBANG dan Dinkes ke Puskesmas Jambon, Kecamatan Jambon dan Kepala Desa Sidoarjo.
4.7.2 Pengolahan Data 1. Editing Setelah data terkumpul, sebelum diolah data tersebut di edit terlebih dahulu oleh peneliti untuk menghindari kesalahan atau hal yang masih meragukan agar mendapat data yang berkualitas. 2. Coding Mengkode data, pemberian kode pada penelitian ini dengan memberikan kode pada responden dengan kode 1, dan diurutkan
berdasarkan nomor urut, misal : responden pertama 1, dan seterusnya. Sedangkan untuk data umum pengkodeannya sebagai berikut : Coding Data Umum : 1. Umur
Kode
Umur ≤ 20 tahun
1
Umur 21-25
2
Umur 26-30
3
Umur 31-35
4
Umur > 35 tahun
5
2. Pendidikan Terakhir
Kode
Dasar
1
Menengah
2
Tinggi
3
3. Pekerjaan
Kode
Ibu Rumah Tangga
1
Wiraswasta
2
Petani
3
PNS
4
Coding Data Khusus : Penilaian kadarzi dilakukan dengan skala interval dengan melihat indikator kadarzi. Coding ini berdasarkan tabel indikator Kadarzi. Apabila salah satu indikator yang berlaku tidak terpenuhi maka keluarga tersebut dinyatakan tidak kadarzi.
Coding untuk Kadarzi Kode 0
: Tidak Kadarzi
Kode 1
: Kadarzi
Sedangkan status gizi dilakukan dengan cara : Kode 1
: Gizi Lebih
Kode 2
: Gizi Baik
Kode 3
: Gizi Kurang
Kode 4
: Gizi Buruk
6. Scoring Untuk scoring digunakan karena pada penelitian ini menggunakan data primer. Data primer untuk item instrument membutuhkan scoring, data primer meliputi : Kategori Tidak Kadarzi 0, Kadarzi 1. Untuk jawaban “Ya” bernilai 1 dan “Tidak” bernilai 0. 7. Tabulating Proses tabulating dalam penyusunan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang. 4.8
Cara Analisis Data Data yang terkumpul dianalisa dengan 2 metode, yaitu menggunakan analisa deskriptif atau univariat dan bivariat.
4.8.1 Analisis Univariate Adalah analisa untuk suatu variabel penelitian. Pada penelitian ini analisis univariat digunakan dengan mengumpulkan data balita yang
mengalami gizi lebih, gizi kurang dan gizi buruk. Setelah data terkumpul ditabulasi dan dipresentasikan. Rumus prosentasi : P =
X 100
Keterangan : P = Prosentasi f = frekuensi N = jumlah seluruh observasi/populasi
(Sumber : Budiarto, 2002) Hasil pengolahan data dalam bentuk presentase, disajikan dengan menggunakan tabel
frekuensi,
kemudian di
interpretasikan dengan
menggunakan skala ukur kualitatif sebagai berikut : a. 100%
: Seluruhnya
b. 76 - 99%
: Hampir seluruhnya
c. 51 – 75 %
: Sebagian besar
d. 50 %
: Setengahnya
e. 26 – 49 %
: Hampir setengahnya
f. 1 -25 %
: sebagian kecil
g. 0
: Tdak ada sama sekali
4.8.2 Analisis Bivariate Adalah analisa yang digunakan untuk lebih dari satu variabel dan menggunakan tabulasi silang dengan tujuan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikatnya. Pada penelitian ini analisa bivariat digunakan untuk mencari atau melihat hubungan Kadarzi dengan status Gizi. Analisa ini menggunakan uji statistik sperman rank dengan bantuan SPSS pada tingkat keyakinan 95 % (α = 0,05). Dengan kriteria penilaian jika
value < α maka H0 (Hipotesa nol) ditolak artinya ada hubungan Antara kadarzi dengan status gizi pada balita dan jika
value ≥ α maka H0 (Hipotesa
nol) diterima artinya tidak ada hubungan antara kadarzi dengan status gizi pada balita. Uji korelasi digunakan untuk mencari hubungan dan seberapa erat hubungan Antara variabel. Nilai koefisien korelasi berikut berkisar Antara -1 sampai dengan +1: 1.
Jika r > 0, terdapat hubungan linier positif yaitu semakin besar variabel X maka semakin besar variabel Y
2.
Jika r < 0, terdapat hubungan linier negative yaitu semakin besar variabel X maka semakin kecil Y atau sebaliknya.
3.
Jika r = 0, tidak ada hubungan Antara variabel X dan variabel Y Tabel tingkat hubungan koefisien korelasi dua variabel Interval koefisien
Tingkat hubungan
0,00 – 0,199
Sangat lemah
0,20 – 0,399
lemah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,000
Sangat kuat
Sumber : sugiyono, 2007
BAB 5 HASIL PENELITIAN, ANALISA DAN PEMBAHASAN
5.1 Data Umum 5.1.1 Karakteristik responden berdasarkan umur responden Hasil pengumpulan data terhadap 50 responden berdasarkan umur saat penelitian memperlihatkan distribusi frekuensi responden di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Umur ≤ 20 21-25 26-30 31-35 ≥ 35 Jumlah
Frekuensi 0 8 24 18 0 50
Persentase 0,0% 16% 48% 36% 0,0% 100,0%
Sumber: Data primer penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan umur responden hampir setengahnya mempunyai umur 26-30 tahun yaitu sebanyak 24 responden dengan persentase 48%. 5.1.2 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Hasil pengumpulan data terhadap 50 responden berdasarkan pekerjaan saat penelitian memperlihatkan distribusi frekuensi responden di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Pekerjaan IRT Wiraswasta Petani PNS Jumlah
Frekuensi 29 7 13 1 50
Persentase 58% 14% 26% 2% 100,0%
Sumber: Data primer penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan pekerjaan sebagian besar IRT yaitu sebanyak 29 responden dengan persentase 58%. 5.1.3 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Hasil pengumpulan data terhadap 50 responden berdasarkan pendidikan saat penelitian memperlihatkan distribusi frekuensi responden di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Pendidikan Dasar Menengah Tinggi Jumlah
Frekuensi 5 44 1 50
Persentase 10% 88% 2% 100,0%
Sumber: Data primer penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan pendidikan hampir seluruhnya Menengah yaitu sebanyak 44 responden dengan persentase 88%.
5.2 Data Khusus 5.2.1 Kesadaran gizi keluarga Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden diketahui bahwa kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.3 Ditribusi Frekuensi kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Ketegori keluarga Tidak sadar gizi Sadar gizi Jumlah
Frekuensi 22 28 50
Persentase 44% 56% 100,0%
Sumber: Data primer penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa kesadaran gizi keluarga responden sebagian besar adalah sadar gizi yaitu sebanyak 28 responden dengan persentase 56%. 5.2.2 Status gizi Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden diketahui status gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.4
Ditribusi Frekuensi status gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Status Gizi Lebih Baik Kurang Buruk Jumlah
Frekuensi 3 17 19 11 50
Persentase 6% 34% 38% 22% 100,0%
Sumber: Data primer penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa status gizi pada balita respondennya hampir setengahnya adalah kurang yaitu sebanyak 19 responden dengan persentase 38%.
5.3 Analisi Hasil Penelitian 5.3.1 Tabulasi Silang Hubungan Antara Kesadaran Gizi Keluarga dengan Status Gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Tabel 5.6 Ditribusi Frekuensi Kesadaran Gizi Keluarga dengan Status Gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
Tidak sadar gizi Sadar gizi Total
Lebih n %
Kesadaran Gizi keluarga Baik Kurang n % n %
Buruk n %
n
%
1
2%
3
10
22
44%
2 3
4% 6%
6%
8
15 30% 10 18 36% 18 p Value = 0,01
16%
Total
20%
20% 1 2% 28 56% 36% 11 22% 50 100% α=0,05 koefisien korelasi = 0,525
Sumber: Data primer penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.6 diatas didapatkan hasil, bahwa hampir setengahnya dari responden yaitu sebanyak 22 responden (44%) tidak sadar gizi dan 28 responden (56%) sadar gizi dengan status gizi balita adalah kurang (38%). Hampir setengah responden adalah sadar gizi tetapi masih banyak balita yang mengalami gizi kurang. Hal ini bisa disebabkan karena masih banyak ibu balita yang tidak mengetahui pentingnya gizi terutama untuk balita seperti masih ada ibu yang tidak memberikan asi ekslusif serta masih banyak yang tidak melakukan kunjungan keposyandu dan juga disebabkan oleh faktor ekonomi serta kecukupan bahan pangan didaerah tersebut. Berdasarkan hasil uji statistik non parametric yaitu menggunakan Spearman Rank, Didapatkan bahwa p value = 0,01 atau p value < α (0,05), maka H1diterima dan H0 ditolak berarti terdapat hubungan antara Kesadaran Gizi Keluarga dengan Status Gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. Dengan nilai r = 0,525 yang berarti memiliki kekuatan
hubungan “sedang” dan arah hubungan positif, artinya semakin tinggi kesadaran gizi keluarga, maka status gizi akan semakin naik pada balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 5.4 Pembahasan 5.4.1 Kesadaran Gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar adalah sadar gizi yaitu sebanyak 28 responden dengan persentase 56%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden telah melakukan pemenuhan gizi yang seimbang atau dapat disimpulkan responden dengan perilaku pemenuhan gizi yang baik namun masih jauh dari yang target yang di harapkan pada Indonesia sehat 2010 yaitu 80% dari keluarga Indonesia telah kadarzi (Depkes, 2007). Kadarzi adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkahlangkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai anggota keluarganya. Untuk mengetahui kadarzi atau tidak dilakukan pengamatan dengan menggunakan
indikator:
menimbang
berat
badan
secara
teratur,
memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam makanan, menggunakan garam beryodium., serta minum suplemen gizi (Tablet Tambah Darah, kapsul Vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran.
Perilaku kadarzi itu sangat bermanfaat bagi keluarga balita. Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan
dasar
mengenai gizi.
Namun
demikian,
sikap
dan
keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya. Gambaran perilaku gizi yang belum baik juga ditunjukkan dengan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan oleh masyarakat seperti masih banyak ibu balita yang tidak membawa anak nya keposyandu balita, padahal hal tersebut sangat penting untuk pemantauan tumbuh kembang balita dan jika apabila ada masalah gizi mendapat penanganan dari petugas kesehatan. Ibu juga masih banyak yang tidak mengetahui akan pentingnya Asi ekslusif untuk pertumbuhan anak sehingga masih banyak ibu yang tidak memberikan asi eksklusi. Hal ini menyebabkan kesadaran gizi keluarga di desa sidoarjo masih belum mencapai target Indonesia sehat. 5.4.2 Status Gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian bahwa status gizi pada balita respondennya hampir setengahnya adalah kurang yaitu sebanyak 19 responden dengan persentase 38%. Status gizi merupakan suatu keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi (Almatseir, 2009). Status gizi yang kurang atau terbatas akan memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, fungsi organ tubuh, dan proses hormonal dalam tubuh. Hal ini akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Selain itu keadaan gizi kurang dan buruk dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, terutama penyakit infeksi yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan jaringan otak yang akan mengurangi kualitas sumber daya manusia Indonesia (Sihadi, 2006). Penyebab gizi kurang pada balita sangat kompleks. Penyebab langsung anak tidak mendapat gizi seimbang, yaitu Air Susu Ibu (ASI) saat umur 0-6 bulan, dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang memenuhi syarat saat umur 6-24 bulan. Penyebab langsung lain adalah infeksi, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan campak. Kedua sebab langsung ini saling memperkuat, didorong oleh faktor kemiskinan, kurangnya pendidikan, lingkungan tidak bersih dan kesadaran keluarga yang kurang. Faktor ini dapat menyebabkan anak tidak diasuh dengan semestinya, seperti tidak diberi ASI, tidak dapat menyediakan MP-ASI yang baik, dan tidak dibawa ke posyandu atau pelayanan kesehatan (Martianto, 2006). Status gizi pada balita sangat penting untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan balita. gizi kurang pada balita masih banyak dijumpai dan penyebab nya bisa disebabkan karena kurang nya pengetahuan ibu balita tentang gizi. sehingga ibu balita tidak
memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan gizi untuk balita, seringkali disamakan dengan makanan orang dewasa. Selain kurangnya pengetahuan masalah gizi disebabkan karena status ekonomi keluarga dan kecukupan pangan didaerah tersebut. 5.4.3 Hubungan antara kesadaran gizi keluarga dengan status gizi pada balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rank (Rho) diperoleh nilai ρ = 0,01 dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) dapat dikatakan ρ < α Ho ditolak dan H1 diterima, maka ada Hubungan Antara Kesadaran Gizi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Balita Di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. Hal ini sesuai dengan kadarzi itu sendiri yaitu keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai anggota keluarganya, selain itu tujuan kadarzi sendiri adalah keluarga harus dapat mengidentifikasi potensi yang dimiliki keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan status gizi keluarga (Depkes RI, 2012). Sehingga kadarzi sangat mempengaruhi status gizi terutama pada balita. apabila kesadaran gizi keluarga semakin membaik maka status gizi pada balita akan juga meningkat. Dari hasil tabulasi diatas bahwa hampir setengahnya dari responden yaitu sebanyak 28 responden (56%) sadar gizi dengan status gizi balita adalah kurang (38%). Tetapi hal tersebut masih belum mencapai target
indonesia sehat yaitu target kadarzi adalah 80%. Penyelesaian masalah status gizi tidak dapat dilakukan dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi yang belebihan tentunya pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut haruslah seimbang sehingga tidak menimbulkan terjadinya obesitas, karena balita yang obesitas cenderung mengalami gangguan pertumbuhan juga. Gizi kurang dan buruk merupakan masalah yang perlu penanganan serius. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah antara lain melalui revitalisasi Posyandu dalam meningkatkan cakupan penimbangan balita, penyuluhan dan pendampingan, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) atau Pemberian Makanan Tambahan (PMT), peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi melalui tata laksana gizi buruk di Puskesmas Perawatan dan Rumah Sakit, penanggulangan penyakit menular dan pemberdayaan masyarakat melalui Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).
BAB 6 PENUTUP
6.1 Kesimpulan 1. Kesadaran gizi keluarga didesa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 sebagian besar adalah sadar gizi. 2. Status gizi pada balita responden di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 hampir setengahnya adalah kurang. 3. Ada hubungan antara hubungan kesadaran gizi keluarga dengan status gizi pada balita de Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. 6.2 Saran 1. Bagi responden Diharapkan bagi para ibu balita untuk selalu memperhatikan gizi keluarga terutama pada balita dengan memberikan makanan bergizi seimbang. 2. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada peneliti selanjutnya tentang hubungan antara kesadaran gizi keluarga dengan status gizi sehingga dapat menggunakannya sebagai bahan referensi dan inisiatif untuk melakukan penelitian berikutnya yang lebih mendalam dan relevan dengan memerhatikan banyak variabel lain yang berkaitan atau berpengaruh serta mengurangi keterbatasan yang ada dalam penelitian ini.
3. Bagi institusi pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk bahan kajian dan bahan penelitian lebih lanjut mengenai kegiatan lain untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga mahasiswa dapat memberikan pelayanan yang baik ketika mereka dihadapkan pada praktek nyata. 4. Bagi tempat penelitian Diharapkan dapat meningkatkan pemberian informasi tambahan tentang kesadaran gizi keluarga dan tentang status gizi serta pencegahan tentang masalah gizi terutama pada balita, penanganan gizi pada balita dan pencengahan terhadap masalah gizi pada balita di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.