KARYA ILMIAH
HUBUNGAN ANTARA PENYAKIT INFEKSI DENGAN STATUS GIZI PADA BALITA DI PUSKESMAS JAMBON KECAMATAN JAMBON KABUPATEN PONOROGO
PENELITIAN ANALITIK KORELATIF
Oleh: DIANA SAYIDAH, S.ST
JANUARI 2015
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang Kesehatan No 36 tahun 2009 bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010- 2014 telah menetapkan empat sasaran pembangunan kesehatan, yaitu diantaranya Meningkatkan Umur Harapan Hidup menjadi 72 tahun, Menurunkan Angka Kematian Bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup, Menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup dan Menurunkan prevalensi balita gizi kurang menjadi 15% serta menurunkan prevalensi balita pendek menjadi 32% (Kemenkes, 2012). Pencapaian pembangunan MDGs (Millennium Development Goals) terkait upaya peningkatan kelangsungan hidup anak di masa mendatang, pada tahun 2015 setiap Negara harus berupaya terus untuk menurunkan separuh jumlah penduduk miskin dan kelaparan. Selain itu tujuan MDGs menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua komponen kegiatan, termasuk kesehatan, yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat dan
2
mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah lima tahun (Kemenkes, 2012). MDGs (Millenium Development Goals) ditingkat ASEAN AKABA (Angka Kematian Balita) di Indonesia masih tergolong tertinggi yaitu jumlahnya 44 kematian perseribu kelahiran hidup. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk Negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7juta balita (Kemenkes, 2012). Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakat, bahkan akar masalahnya dapat berbeda antar kelompok usia balita (Sihadi, 2005). Keadaan gizi kurang dan buruk dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, terutama penyakit infeksi yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan jaringan otak yang akan mengurangi kualitas sumber daya manusia Indonesia (Sihadi, 2000). Sesuai dengan pencapaian pembangunan kesehatan Indonesia tahun 2012 tentang status gizi pada balita menurut BB/U yaitu Gizi buruk 490
(4,9%), gizi
kurang 1300 (13%), gizi baik 7620 (76,2%), gizi lebih 580 (5,8%). Menurut TB/U yaitu sangat pendek 1850 (18,5%), pendek 1710 (17,1%), dan Normal 6440 (64,4%). Menurut BB/TB yaitu sangat kurus 600 (6%), kurus 730 (7,3%), normal 7280 (72,8%), dan gemuk 1400 (14%). Menurut TB/U dan BB/TB yaitu pendek
3
kurus 210 (2,1%), pendek normal 2530 (25,3%), pendek gemuk 760 (7,6%), normal-kurus 1110 (11,1%), normal 4910 (49,1%) dan normal-gemuk 480 (4,8%) (Profil kesehatan Indonesia, 2012). Berdasarkan data Provinsi Jawa Timur tahun 2012 tentang status gizi pada balita menurut BB/U yaitu Gizi buruk 480 (4,8%), gizi kurang 1230 (12,3%), gizi baik 7530 (75,3%), gizi lebih 760 (7,6%). Menurut TB/U yaitu sangat pendek 2090 (20,9%), pendek 1490 (14,9%), dan Normal 6410 (64,1%). Menurut BB/TB yaitu sangat kurus 730 (7,3%), kurus 680 (6,8%), normal 6880 (68,8%), dan gemuk 1710 (17,1%). Menurut TB/U dan BB/TB yaitu pendek kurus 160 (1,6%), pendek normal 2420 (24,2%), pendek gemuk 970 (9,7%), normal-kurus 1240 (12,4%), normal 4640 (46,4%) dan normal-gemuk 570 (5,7%) (Profil Kesehatan Indonesia, 2012). Berdasarkan data Kabupaten Ponorogo tahun 2012 jumlah balita keseluruhan 44.449, tentang status gizi pada balita menurut BB/U yaitu Gizi sangat kurang 191 (1,91%), kurang 2288 (22,88%), normal 3932 (39,32%), dan lebih 551 (5,51%). Menurut BB/TB yaitu sangat kurus 82 (0,82%), kurus 243 (2,43%), normal 2751 (27,51%), dan 110 (1,1%) (Dinkes Ponorogo, 2012). Berdasarkan data Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo tahun 2012 tentang status gizi pada balita menurut BB/U yaitu Gizi sangat kurang 25 (0,25%), kurang 40 (0,40%), normal 1876 (19,17%), dan lebih 0 (0%). Menurut BB/TB yaitu sangat kurus 10 (0,01%), kurus 4 (0,04%), normal 9 (0,09%), dan gemuk 0 (0%) (Dinkes Ponorogo, 2012). Dari data diatas menunjukkan masih tingginya angka balita yang status gizi kurang.
4
Faktor penyebab teoritis yang mempengaruhi Status gizi pada balita yaitu konsumsi gizi, penyakit infeksi, pola asuh, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, jumlah anak, sanitasi air bersih, umur, dan jenis kelamin. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo tentang status gizi kurang didapat 10 responden yang kategori status gizi kurang di sebabkan oleh konsumsi makanan 2 balita (0,02%), penyakit infeksi 5 balita (0,05%), dan pola asuh 3 balita (0,03%). Terjadinya penyakit infeksi pada balita menyebabkan menurunnya status gizi pada balita, status gizi balita dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu jumlah pangan yang dikonsumsi dan keadaan kesehatan yang bersangkutan. Kekurangan konsumsi pangan khususnya energi dan protein dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan berat badan anak yang bersangkutan menurun sehingga daya tahan tubuh menurun dan mudah terkena penyakit infeksi (Latinulu, 2000). Di sisi lain karena kesediaan bahan pangan tidak ada dan kurangnya kesadaran masyarakat dengan status gizi anaknya. Akibatnya adanya hubungan yang sangat kuat antara malnutrisi dan kematian anak balita dikarekan anak menderita gizi kurang disertai penyakit infeksi. Penyakit infeksi antara lain penyakit diare, campak, ISPA, malaria, dan lain-lain (Schroeder, 2001). Status gizi memberikan dampak mikro yaitu malnutrisi, pembentukan tubuh seluler terganggu, terjadi peningkatan derajat penyakit infeksi yang diderita dan tidak tercapainya MDG’S 2015 sedangkan dampak makro dari status gizi pada balita yaitu angka kematian balita (AKABA) meningkat.
5
Langkah yang di dapat diambil untuk mengatasi masalah penyakit infeksi dengan status gizi di Puskesmas jambon Kecamatan Jambon dibagi menjadi dua yaitu
Solusi teoritis meliputi peningkatan produksi beraneka ragam pangan,
peningkatan usaha perbaikan gizi keluargsa (UPGK) yang diarahkan pada pemberdayaan keluarga, peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan system rujukan di mulai dari posyandu, meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi tentang penyakit infeksi pada balita,
gizi masyarakat, serta peningkatan
kesehatan lingkungan (Almatsier, 2005) sedangkan solusi praktis meliputi meningkatkan kegiatan penyuluhan tentang pengetahuan gizi yang berkaitan dengan zat-zat gizi, penyuluhan tentang penyakit infeksi, pola pemberian makanan, memberdayakan masyarakat dengan berbagai macam pembekalan kewirausahaan untuk meningkatkan pendapatan keluarga, memberikan pelatihan terhadap kader posyandu agar dapat membantu memberikan promosi kesehatan kepada masyarakat, dan meningkatkan kerja sama lintas sektoral seperti pihak kelurahan, tokoh masyarakat setempat, organisasi majelis ta’lim, karang taruna, ibu PKK dalam upaya promosi kesehatan kepada masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setempat. Berdasarkan fenomena di atas bahwa balita yang mengalami penyakit infeksi masih banyak dijumpai. Penelitian tentang penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo belum pernah dilakukan penelitian, maka peneliti tertarik mengungkap tentang hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo.
6
1.2 Rumusan Masalah Adakah hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon tahun 2014?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon tahun 2014. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi penyakit infeksi balita di wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon tahun 2014 . 2. Mengidentifikasi status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon tahun 2014 . 3. Menganalisis hubungan penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon tahun 2014 .
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan informasi serta dapat dijadikan sebagai bahan sumber ilmiah bagi peneliti yang lain untuk meneliti lebih lanjut yang berhubungan dengan hubungan antara
7
frekuensi kejadian penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon tahun 2014 . 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai alat bantu peneliti maupun tenaga kesehatan maupun tenaga kesehatan sebagai sumber informasi yang secara tidak langsung akan membantu dalam mengatasi masalah penyakit infeksi pada balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon tahun 2014 . 1. Bagi Institusi Berguna sebagai tambahan pengetahuan serta informasi dan hasil penelitian ini dapat di kembangkan pada penelitian selanjutnya. 2. Bagi Peneliti Mendapat pengalaman nyata dalam menerapkan metodologi penelitian serta
dapat digunakan sebagai pustaka untuk proses
penelitian selanjutnya dan sebagai tambahan kajian pustaka di pendidikan. 3. Bagi Tenaga Kesehatan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan tingkat pengetahuan bagi tenaga kesehatan.
8
4. Bagi Orang Tua Balita Hasil penelian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi orang tua balita untuk lebih menjaga status gizi balita.
9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Status Gizi 2.1.1 Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi (Almatsier, 2004). Sedangkan menurut idrus dan kunanto dalam supariasa (2002) status gizi adalah suatu keadaan keseimbangan konsumsi pangan sehingga dapat diekspresikan. 2.1.2 Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai metode penilaian status gizi, memberikan penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan dari masing-masing metode yang ada dan memberikan gambaran singkat mengenai pengumpulan data, perencanaan dan implementasi untuk penilaian status gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). 1. Penilaian status gizi secara langsung Penilaian status gizi dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik (Supariasa, 2002). a. Antropometri Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001). Metode antropometri
10
sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005). 1) Klinis Pemeriksaan klinis
merupakan cara penilaian status gizi
berdasarkan perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). 2) Biokimia Pemeriksaan
biokimia
disebut
juga
cara
laboratorium.
Pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis. Cara lain adalah dengan menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur besarnya konsekuensi fungsional dari suatu zat gizi yang spesifik Untuk pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia statis dan uji gangguan fungsional (Baliwati, 2004).
11
3) Biofisik Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja (Supariasa, 2001). 2. Penilaian Tidak Langsung a. Survei Konsumsi Makanan Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data yang didapat
dapat berupa data kuantitatif
maupun kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati, 2004). b. Statistik Vital Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
12
c. Faktor Ekologi Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001). 2.1.3 Klasifikasi Status Gizi Standar baku antrometri yang paling banyak digunakan adalah baku Halvard dan baku WHO-NCHS. Berdasarkan hasil diskusi pakar dibidang gizi yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) bekerjasama dengan UNICEF Indonesia dan LIPI pada tanggal 17-19 Januari 2000 ditetapkan bahwa penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB di sepakati penggunaan istilah status gizi dan baku antropometri yang dipakai dengan menggunakan Z-score dan baku rujukan –WHO-NCHS (WNPG VII,2000). Keuntungan penggunaan baku WHO-NCHS adalah dapat terhindar Dari kekeliruan interpretasi karena baku WHO-NCHS sudah dapat membedakan jenis kelamin dan lebih memperhatikan keadaan masa lampau. Kelemahannya adalah apabila umur tidak diketahui dengan pasti maka akan sulit digunakan, kecuali untuk indeks BB/TB. Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score (simpang baku) sebagai batas ambang. Kategori dengan klasifikais status gizi
13
berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau BB/TB diobagi menjadi 3 golongan dengan batas ambang sebagi berikut : 1. Indeks BB/U a. Gizi lebih, bila Z-score terletak >+ 2SD b. Gizi baik, bila Z-score terletak ≥-2SD s/d +2SD c. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥-3 SD s/d <-2SD d. Gizi buruk, bila Z-score terletak <-3SD 2. Indeks TB/U a. Normal, bila Z-score terletak ≥-2SD b. Pendek, bila Z-score terletak <-2SD 3. Indeks BB/TB a. Gemuk, bila Z-score terletak >+2SD b. Normal, bila Z-score terletak ≥-2SD s/d +2SD c. Kurus, bila Z-score terletak ≥-3SD s/d <-2SD d. Kurus sekali, bila Z-score terletak <-3SD (Sumber :WNPG VII, 2000) Pertimbangan dalam menetapkan cut off point status gizi didasarkan pada asumsi resiko kesehatan : 1. Antara -2SD sampai +2SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk menderita masalah kesehatan 2. Antara -2SD sampai -3SDatau antara +2SD sampai +3SD memiliki resiko cukup tinggi untuk menderita masalah kesehatan 3. Di bawah -3SD atau diatas +2SD memiliki resiko tinggi untuk menderita masalah kesehatan
14
2.1.4 Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh adalah berat badan. Massa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, 2002). Dalam keadaaan normal dimana kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal terdapat dua kemungkinan yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Gibson, 2005). Kelebihan indeks BB/U yaitu lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi dan sangat sensitive terhadap perubahan kecil. Sedangkan kelemahan indeks BB/U yaitu interpretasi bisa keliru apabila ada edema atau asites, memerlukan data umur yang akurat dan sering terjadi kesalahan dalam pengukuran seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan (Supariasa, 2002). Klasifikasi WHO-NCHS (2002) berdasarkan indeks BB/U dikategorikan menjadi gizi buruk (<-3SD), Gizi kurang (<-2SD s/d ≥-3SD), Gizi baik (-2SD s/d +2SD), dan gizi lebih (>+2SD) (WHO-NCHS,2002). 2.1.5 Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
15
Indeks tinggi badan menurut umur memberikan gambaran status gizi masa lampau. Stunting adalah dampak dari ketidak cukupan intake makanan dalam waktu yang lama, rendahnya kualitas zat gizi atau kombinasi dari faktor tersebut (Gibson, 2005). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur bila dalam keadaan normal dan dalam jangka waktu yang pendek kurang sensitive terhadap kekurangan zat gizi sehingga apabila terjadi defisiensi zat gizi akan Nampak dalam waktu yang relative lama. Kelebihan indeks TB/U adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau dan ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahan indeks TB/U adalah pengukuran relative sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya dan ketepatan umur sulit didapat (Supariasa, 2002). 2.1.6 Indikator Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan mempunyai hubungan linear dengan timggi badan. Perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan indeks ini tidak tergantung kepada umur (Jelliffe dan Jelliffe, 1989). Kelebihan indeks BB/TB yaitu tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus) sedangkan kelemahan indeks BB/TB adalah membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relative lebih lama,membutuhkan dua orang untuk melakukannya sering terjadi
16
kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran terutama bila dilakukan oleh kelompok non professional dan tidak dapat memberikan gambaran anak pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umur karena faktor umur tidak diperhitungan
serta sering mengalami kesulitan dalam
melakukan pengukuran panjang / tinggi badan pada kelompok balita (Supariasa, 2002). 2.1.7 Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi 1. Konsumsi Gizi Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesehatan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang lazim disajikan dalam energi dan protein (BPS, 2002). Energi dan protein mempunyai fungsi yang sangat luas dan penting dalam tubuh. Asupan energi yang seimbang sangat diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia, khususnya balita (Pudjiadji, 2000). Jika terjadi kekurangan konsumsi energi dalam waktu yang cukup lama maka akan berakibat pada terjadinya KEP (Sudiarti & Utari, 2007). Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh. Selain itu protein juga digunakan sebagi sumber energy bagi tubuh bila energi yang berasal dari karbohidrat atau lemak tidak mencukupi (Muchtadi,2004). Pada anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, pembentukan jaringan terjadi secara besar sehingga kebutuhan tubuh akan protein akan lebih besar daripada dengan orang dewasa (Pudjiadji, 2000). Seorang balita dikatakan kekurangan apabila tingkat konsumsi energi dan protein ≤ 80% AKG (Depkes, 2005). Kecukupan energi dan protein untuk
17
anak balita perorang perhari menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini
Tabel 2.1 Kecukupan Energi dan Protein yang dianjurkan No 1 2 3 4
Umur 0-6 bulan 7-12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun
Energy (Kkal) 550 650 1000 1550
Protein (gr) 10 16 25 39
Sumber : Depkes, 2005
Kebutuhan nutrient tertinggi per kg berat badan dalam siklus daur kehidupan adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam pertumbuhan dan metabolisme terjadi pada masa ini (Kusharisupeni, 2007). Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Akan tetapi asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam
bentuk
makanan
akan
mempengaruhi
pertrumbuhan
anak.
Kekurangan zat gizi akan dimanifestasikan dalam bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari standar (Khomsan, 2004). Asupan makan terkait dengan ketersediaan pangan namun tidak berarti jika tersedia pangan kemudian akan secara pasti setiap orang akan tercukupi konsumsi makanan karena kecukupan gizi seseorang tergantung dari makanan yang dikonsumsinya. Apabila anak balita intake makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami kurang gizi dan mudah terserang penyakit infeksi. Demikian pula bila anak balita menderita penyakit infeksi maka anak akan kehilangan nafsu makan
18
sehingga intake makanan menjadi kurang. Dua hal inilah sebagai penyebab langsung gizi kurang. Selama masa pertumbuhan balita memerlukan asupan energy dan protein. Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru (Robberts, et.al, 2000). 2. Penyakit Infeksi Pada anak usia lebih dari 1 tahun perlindungan antibody diperoleh dari ibunya melalui plasenta dan ASI sudah berakhir sehingga anak sangat rentan sekali terkena sakit terutama penyakit infeksi. Di samping itu anak yang sakit cenderung nafsu makannnya menurun sehingga berdampak pada status gizinya (Jalal, 2004). Beberapa penyakit infeksi yang erat kaitannya dengan kekurangan gizi pada anak salah satunya diare. Diare yang berat dan terjadi berulang-ulang akan meenyebabkan seorang anak akan menderita KEP dan hal inimbisa berakibat terhadap tingginya hambatan pertumbuhan, tingginya mordibitas dan mortalitas (Depkes, 2000). Selain diare, peran ISPA dan demam dalam penurunan status gizi cukup berperan besar. Kekurangan gizi sangat erat kaitannya dengan kurangnya asupan makanan tambahan dan akan semakin memburuk dengan adanya serangan penyakit. Selain itu juga disertai oleh turunya nafsu makan sehingga konsumsi makanan akan menurun, padahal kebutuhan anak akan zat gizi sewaktu sakit justru meningkat (Utomo, 2004). 3. Pola Asuh
19
Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya baik fisik, mental dan sosial berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat kebersaihan, dan member kasih sayang. Pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh anak yaitu praktik di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak (Zeitlin dalam WNPG VII, 2000). Faktor pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang ikut memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dibutuhkan pengasuhan yang baik yang dapat memenuhi kebutuhan dasar yaitu : a. Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan b. Memberikan makanan yang sesuai dengan umur c. Memberi kasih sayang untuk kebutuhan emosi d. Memberikan rangsangan mental untuk memenuhi kebutuhan stimulasi dan perkembangan IQ, watak dan kepribadian anak Dalam buku WKNPG VII tahun 2000 disebutkan bahwa pola asuh gizi adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Adapun aspek kunci dalam pola asuh gizi adalah :
20
a. Perawatan dan perlindungan bagi ibu b. Praktek menyusui dan pemberian MP-ASI c. Pengasuhan psikososial d. Penyiapan makanan e. Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan f. Praktek kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan Dijelaskan juga bahwa kemampuan dasar yang dibutuhkan sebagai pengasuh yang baik dalam pemberian makanan adalah : a. Menyiapkan makanan dengan jumlah dan mutu yang lengkap b. Berikan makan anak dengan sabar dalam suasana yang ceria terutama bila anaka kehilangan nafsu makan c. Menyusui secara ekslusif d. Membuat upaya khusus dalam pemberian makan anak setiap hari 4. Pendidikan Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan
pelatihan
(Depdiknas,
2001).
Sedangkan
menurut
Notoatmodjo (2007) pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan materi pendidikan kepada sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan anak balita. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui
21
cara pemilihan bahan pangan (Hidayat, 2005). Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Soekirman, 2001). Orang yang mempunyai pendidikan yang tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka yang tidak berpendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang dalam menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarganya (Hapsari, 2001). Pendidikan orang tua yang relatif lebih tinggi akan memiliki pandangan yang lebih baik terhadap pemenuhan gizi keluarga dibandingkan dengan orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah atau tidak berpendidikan. Selain itu pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Hal ini dikarenakan pendidikan orang tua yan g baik dapat memberikan segala informasi yang diperlukan tentang kesehatan anaknya (Soetjiningsih, 2001). Faktor tingkat pendidikan turut pula menenentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Apriadji, 1986). Setiap kenaikan satu tahun pendidikan ibu mempunyai efek proteksi memperkecil risiko terjadinya KEP pada balita sebesar 0,89 kali. Pendidikan ibu merupakan faktor tidak langsung mempengaruhi status gizi (Amos, 2000).
22
5. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi sesudah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang berdasarkan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng (Notoatmodjo, 2007). Tingkat pengetahuan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan (Hermina, 1997). Ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang adanya makanan khusus untuk bayinya, serta mengusahakan agar makanan khusus tersebut tersedia untuk dikonsumsi anaknya cenderung mempunyai bayi atau anak dengan keadaan gizi baik (Jus’at, 1999). 6. Pekerjaan Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktoryang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan. Ada hubungan yang erat antara pendapatan yang meningkat dan gizi yang didorong oleh pengaruh menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Mosley dan Chen dalam Singarimbun (2000) menyatakan bahwa pada masyarakat tradisional suatu pembagian kerja yang jelas menurut jenis kelamin cenderung memaksimalkan waktu untuk merawat anaknya. Sebaliknya dalam masyarakat yang ibunya bekerja, maka waktu ibu
23
mengasuh anaknya sangat kurang. Bagi keluarga miskin pekerjaan ibu di luar rumah menyebabkan anak dilalaikan. Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi tidak mendapat ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak dilakukan semestinya. Hal ini menyebabkan asupan gizi pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya (Pudjiadi, 2000). Rendahnya pendapatan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak mereka (Suhardjo, 2000). 7. Jumlah Anak Urutan kelahiran merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pola pertumbuhan anak balita dalam satu keluarga. Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang di dalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu rebut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlau peka terhadap suasana yang kurang mengenakkan (Apriadji, 2000). Menurut Berg (1986) rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dari rumah tangga yang anggotanya kecil dan beresiko menderita gizi kurang pada anak-anak
24
5kali lebih besar.sedangkan Amos (2000) melaporkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan status gizi. Semakin banyak jumlah anak semakin besar resiko menderita kurang energi protein (OR=1,12).
8. Sanitasi Air Bersih Kurang energi protein merupakan masalah kesehatan terutama di Negara berkembang. Ketersediaan air bersih,sanitasi dan hygiene member dampak pada penyakit infeksi khususnya penyakit diare. Ketersediaan air bersih merupakan upaya pencegahan yang berkaitan dengan status gizi. Ketersediaan air bersih sangat berhubungan dengan kejadian kurang energi protein khususnya pada anak balita (WHO, 2000). Sarana air minum yang memenuhi syarat kesehatan akan member jaminan kepada individu untuk terhindar dari resiko terkena penyakit diare (Jelliffe dan Jelliffe, 1989). 9. Umur Umur merupakan salah satu faktor internak yang menentukan kebutuhan gizi seseorang, sehingga umur berkaitan erat dengan status gizi balita (Apriadji, 2000). Dari data studi pertumbuhan anak dibeberapa negars berkembang menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan mulai tampak pada umur 3 sampai 6 bulan pertama masa bayi (Jus’at, 2001). Hasil penelitian Jamil (1997) yang dikutib Lismartina (2000) menunjukkan bahwa pada umur dibawah 6 bulan kebanyakan bayi masih dalam keadaan status
25
gizi yang baik sedangkan pada golongan stelah 6 bulan jumlah balita berstatus gizi baik nampak dengan jelas menurun sampai 50%. Pada masa anak umur > 24 bulan merupakan masa rawan bagi status gizi balita. Menurut Kunanto (2000) ada kecenderungan bahwa anak pada kelompok umur > 24 bulan menderita gizi buruk disebabkan karena keterpaparan anak dengan faktor lingkungan, sehingga anak lebih mudah menderita sakit terutama penyakit infeksi yang biasanya disertai demam dan nafsu makan menurun. Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningkat tajam sedangkan ASI sudah tidak mencukupi selain itu makanan sapihan tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit
diare
karena
konsumsi
pada
makanan
yang
diberikan
(Abunain,1979 dalam Lismartina, 2007). 10. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan slah satu faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein dari pada perempuan, karena laki-laki diciptakan untuk tampil lebih kuat dari perempuan (Apriadji, 1986 dalam Sutanto, 2004).
2.2 Penyakit Infeksi 2.2.1 Pengertian Penyakit Infeksi
26
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh patogen, bakteri dan virus (Jalal, 2004). Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman, bakteri, virus dan organisme lain yang menyerang tubuh (Utomo, 2004). Penyakit infeksi adalah sekumpulan jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus dan parasit yang nudah menyerang khususnya pada anak (Mansjoer, 2000). 2.2.2 Macam Penyakit Infeksi Macam penyakit infeksi yaitu: 1. Diare a. Pengertian diare Pada dasarnya adalah frekuensi buang air besar yang lebih sering dari biasanya dengan konsistensi yang lebih encer. Berikut ini adalah beberapa pengertian diare menurut para ahli yaitu suatu keadaan dimana : 1) Buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasa, pada neonates lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi lebih dari satu bulan dan anak bila frekuensi lebih dari 3 kali (FKUI, 1985). 2) Frekuensi lebih dari 3 kali per hariir dan dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7 hari (Wijaya, 2010). 3) Buang air besar dan tinja yang encer dengan frekuensi 4x atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai muntah, badan lesu, panas, dan tidak ada nafsu makan (Riyadi, A, 2009). b. Macam Diare
27
Menurut pedoman MTBS (2000) diklasifikasikan menjadi : 1) Diare akut, terbagi atas : a) Diare dengan dehidrasi berat b) Diare dengan dehidrasi ringan/sedang c) Diare tanpa dehidrasi 2) Diare persisten bila diare berlangsung 14 hari atau lebih, terdiri dari: a) Diare persisten dengan dehidrasi b) Diare persisten tanpa dehidrasi c) Disentri apabila diare berlangsung disertai dengan darah c. Pembagian diare menurut derajat dehidrasi Menurut FKUI, 1985 diare dapat dibagi menurut derajat dehidrasinya yaitu : 1) Diare ringan : dengan tanda haus, kencing sedikit, mulut kering 2) Diare sedang : ubun-ubun besar cekung, mata cowong, tegangan kulit menurun 3) Diare berat : nafas cepat, kesadaran menurun, tidak sadar. d. Penyebab Diare Menurut FKUI, 1985 penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor antara lain : 1) Faktor infeksi, yang terdiri dari 2 faktor antara lain : 2) Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, misalnya bakteri, virus dan parasit
28
3) Infeksi parenteral yaitu infeksi bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti OMA, tonsilofaringitis, bromkopneumonia dll a) Faktor
malabsorbsi
yaitu
pada
karbohidrat
(disakarida,
monosakarida, laktosa), lemak dan protein. b) Faktor makanan misal : makanan basi, beracun dan alergi terhadap makanan. c) Faktor psikologis, rasa takut dan stress (jarang tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar). e. Mekanisme Diare Diare dapat terjadi dengan mekanisme dasar sebagai berikut : 1) Gangguan osmotic Terdapat makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi penggeseran ion dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus. 2) Gangguan sekresi Akibat rangsangan tertentu misal toksin pada dinding usus, akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus, selanjutnya timbul diare, karena terdapat peningkatan isi rongga usus. 3) Gangguan motilitas usus Hyperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare, sebaliknya bila
29
peristaltik usus menurun, maka akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan sehingga selanjutnya timbul diare pula (FKUI, 1985).
f. Komplikasi Diare Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti : 1) Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik) 2) Renjatan hipovolemik 3) Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan pada electrocardiogram) 4) Hipoglikemia 5) Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim lactase karena kerusakan vili mukosa usus halus 6) Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik 7) Malnutrisi energy protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan (FKUI,1985). 2. ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan infeksi jasad remik atau bakteri, virus maupun rikitsia tanpa atau disertai radang parenkim paru (Vietha, 2009). ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung sampai 14 hari, yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru.
30
a. Etiologi Terdiri dari 300 jenis bakkteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus streptokokus, pneumokokus,
hemofilus,
stafilokokus,
bordetella dan korinebakterium.
Virus
penyebabnya antara lain golongan miksovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus. b. Faktor Penyebab 1) Faktor Host (Dini) a) Usia Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA dari pada usia yang lebih lanjut. b) Jenis Kelamin Secara keseluruhan di Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masalah ini tidak terlalu diperhatikan , namun banyak penelitian yang menunjukan adanya perbedaan prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu. Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di Negara Denmark. c) Status Gizi
31
Interaksi antara infeksi dan kekurangan kalori protein (KKP) telah lama dikenal, kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakam predisposisi yang lainnya. Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak. d) Status Imunisasi Bahwa ketidak patuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA. e) Pemberian Suplemen Vitamin A Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mucus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi. f) Pemberian ASI ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat
32
antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk system biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibody dan sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas. 2) Faktor Lingkungan a) Rumah Rumah
merupakan
struktur
fisik,
dimana
orang
menggunakannya untuk tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu. Anak yang tinggal di apartemen memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA daripada anak yang tinggal di rumah cluster di Denmark. b) Kepadatan Hunian (crowded) Kepadatan hunia seperti luar ruang perorang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor resiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat. c) Status Social Ekonomi
33
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan ti ngkat sosial ekonomi yang rendah berhubungan erat dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosial ekonomi. d) Kebiasaan Rokok Pada keluarga yang merokok secara statistic anakanya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. e) Polusi Udara Diketahui bahawa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Tingkat pencemaran menjadi tidak berbeda dengan wilayah yang tergolong tingkat pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat yang aman untuk semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran pernafasan. Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA pada anak (Mishra, 2005). c. Patologi Anatomi
34
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak keatas mendorong virus kea rah faring atau dengan suatu tangkapan reflex spasmus oleh laring. Jika reflex tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mucus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjdai pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat Infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti
streptococcus
pneumonia,
haemophylus
influenza
dan
staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mucus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan
35
adanya faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinta infeksi virus, dapat menginfeksi paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri. d. Klasifikasi Banyaknya mikroorganisme yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut ini cukup menyulitkan dalam klasifikasi dari segi kausa, hal ini semakin nyata setelah diketahui bahwa satu organism dapat menyebabkan beberapa gejala klinis penyakit serta adanya satu macam penyakit yang bisa disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme tersebut. Oleh karena itu klasifikasi ISPA hanya didasarkan pada: 1) Lokasi Anatomis Infeksi Saluran pernafasan bagian atas merupakan infeksi akut yang menyerang hidung hingga faring infeksi saluran pernafasan bagian bawah merupakan infeksi akut yang menyerang daerah di bawah faring sampai dengan alveolus paru. 2) Klasifikasi kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Balita menderita ISPA dalam 1 bulan terakhir 1 kali dalam 1 bulan dikatakan ISPA
36
2 kali dalam 1 bulan dikatakan ISPA sedang 2 kali lebih dalam 1 bulan dikatakan ISPA berat 3) Derajat keparahan penyakit Merekomendasikan
pembagian
ISPA
menurut
derajat
keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah diterapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988 (Abdul S, 2007). Adapun pembagiannya sebagai berikut : a) ISPA ringan Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut : batuk, pilek dengan atau tanpa demam b) ISPA sedang Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut: (1) Pernafasan cepat umur 1-5 tahun ≥ 40 kali/menit (2) Wheezing (nafas menciut-ciut) (3) Sakit/keluar cairan dari telinga (4) Bercak kemerahan (campak) (5) Khusus untuk bayi 2-12 bulan ≥ 50 kali / menit c) ISPA berat Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut : (1) Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi (2) Kesadaran menurun (3) Bibir/kulit pucat kebiruan
37
(4) Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat (5) Adanya selaput membrane difteri 3. Malaria Gejala malaria memiliki gejala yang cukup khas yaitu deman(panas dan dingin), sakit kepala, menggigil, nyeri pada persendian, kerusakan retina dan muntah-muntah. Gejala yang paling khas dari penyakit malaria adalah badan terasa dingin yang kemudian diikuti dengan demam panas ayng berlangsung sekitar empat sampai enam jam. Yang terjadi pada banyak kasus, gejala malaria dapat sangat menyerupai beberapa gejala yang ditimbulkan oleh penyakit lain seperti tifus dan demam berdarah, jadi perlu dilakukkannya tes laboratorium untuk mengetahui kepastian adanya parasit plasmodiu, dalam darah. Terdapat juga gejala malaria yang sangat khas yang merupakan ciri-ciri klinis yang dapt membedakan demam malaria dengan demam yang ditimbulkan oleh penyakit lain yaitu gejala pemutihan pada retina. Untuk gejala malaria ini, dapat berbeda tergantung pada jenis parasit plasmodium apa ayng berada di dalam sel darah merah seseorang. Pada jenis plasmodium vivax dan ovale, demamnya akan berlangsung sekitar dua hari sekali dan untuk plasmodium malariae demamnya akan berlangsung sekitar tiga hari sekali, dan untuk plasmodium yang paling berbahaya yaitu falciparum demannya panas dingin yang dapat terjadi berulang-ulang dalam beberapa jam.
38
Gejala malaria yang khas pada anak ditunjukkan oleh sikap yang tidak normal atau abnormal, yang dapat menjadi pertanda telah terjadinya kerusakan yang cukup parah pada jaringan otak yang dapt berlanjut menjadi anemia akut selama perkembangan usia anak tersebut. Gejala Malaria yang terjadi pada hampir semua kasus penyakit malaria akut yang mengarah ke koma dan kematian disebabkan oleh falciparum, yang dimana gejalanya timbul sekitar enam sampai empat belas hari setelah digigit naymuk (infeksi). Pada penyakit malaria parah jika tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan komplikasi berbahaya seperti pembengkakan pada hati atau liver, bahkan gagal ginjal. Jika penyakit malaria akut ini tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kematian dengan cepat dalam hitungan hari bahkan jam. Gejala malaria tidak akut, plasmodium vavax, malariae dan ovale pada orang dewasa seperti demam panas dingin yang menggigil, nyeri pada otot, lesu dan lemas serta muntah-muntah. Untuk gejala awal pada anak terjadi seperti pernapasan dangkal dan cepat, batuk, dan demam yang disertai kejang-kejang. 4. Campak Disebabkan oleh virus yaitu virus campak (Paramiksovirus). Sasaran virus campak adalah anak-anak yang sedang mengalami kondisi tubuh yang lemah dan kurangnya asupan gizi yang bagus. Virus penyakit campak menyebar melalui air liur dan udara yang berasal dari batuk dan bersin penderita.
39
Ciri (tanda) Gejala Penyakit Campak : Campak memiliki masa inkubasi sekitar 10 sampai dengan 14 hari. Masa inkubasi adalah masa sejak pertama kali virus masuk ke dalam tubuh penderita (berjangkit), kemudian virus berkembang biak dan menimbulkan Ciri-ciri dan Gejala sebagai berikut : a. Letih lesu, mata berair dan meradang, filek serta batuk. Gejala awal ini mirip sekali dengan batuk filek biasa. b. Muncul demam yang tinggi , demam bisa mencapai 40 derajat Celcius atau lebih dan kaadaan ini biasanya berlangsung selama 3 sampai dengan 5 hari. c. Timbul bercak-bercak (bintikl-bintik) berwarna merah di badan, bercak dalam campak berbeda dengan bercak pada sakit cacar. Bercak timbul pertama kali di bagian belakang telinga, lalu ke bagian wajah, leher dan tangan dan akhirnya bercak menyebar ke seluruh bagian tubuh dan kaki. Saat bercak berwarna kemerahan muncul demam biasanya masih dirasakan penderita sampai dengan 2 hari sesudahnya. Dalam waktu 3 sampai dengan 4 hari bercak ini akan menghilang dengan sendirinya dan berubah warna menjadi kecoklatan. Kompilkasi penyakit campak pada umumnya biasa terjadi pada anak kecil terutama golongan anak dengan kondisi kurang asupan nutrisi (kurang gizi). Komplikasi juga biasa terjadi pada golongan anak dengan defisiensi vitamin A. Adapun komplikasi yang terjadi bisa berupa : a. Radang paru-paru atau yang istilah medisnya adalah Pneumonia.
40
b. Radang saluaran pernapasan. c. Infeksi telinga bagian tengah atau istilah medisnya adalah Otitis media. 5. Gastritis : merupakan erosi yang terjadi di lapisan lambung, dimana proses ini bisa terjadi secara tiba-tiba yang disebut dengan gastritis akut atau secara lambat dan memerlukan waktu lama (gastritis kronis). Selain erosi lapisan lambung, inflamasi atau iritasi juga bisa menimbulkan gastritis. Gastritis bisa menyerang dari anak hingga dewasa, dimana jika hal ini tidak di terapi secara intensif maka bisa menimbulkan berbagai macam penyakit lambung. Banyak hal yang bisa menyebabkan gastritis salah satu faktor utama adalah infeksi dari mikroorganisme Helicobacter pylori (H.pylori). Naiknya kembali cairan empedu ke sistem pencernaan juga bisa menimbulkan gastritis. Atau penderita Pernicious anemia dimana seseorang tidak bisa mencerna vitamin B12 juga bisa memicu gastritis. Penyebab lain yang bisa menjadi faktor pencetus gastritis adalah orang yang menjalani pengobatan dalam waktu lama seperti penderita kanker yang menjalani kemoterapi atau penderita HIV-AIDS. Berikut gejala umum gastritis pada anak : a. Sebah b. Rasa sakit pada bagian perut baik sebelum atau sesudah makan c. Rasa penuh atau kenyang d. Mual dan muntah e. Gangguan pencernaan setelah mengkonsumsi makanan f. Kehilangan nafsu makan
41
g. Susah tidur h. Tidur malam yang terganggu secara tiba-tiba disebabkan pert yang sakit i. Diare j. Sering cegukan k. Feses pada saat BAB berwarna hitam Penyakit tersebut di atas dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang menderita sakit akan cenderung menderita gizi buruk.
2.3 Balita 2.3.1 Pengertian Balita Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah kenaikan BB kurang lebih 2 kg/tahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir (Soetjiningsih, 2001). Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan, balita merupakan
42
kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensi berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini, 2004). Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan 12-60 bulan. 2.3.2 Tujuan pemantauan pertumbuhan fisik anak adalah : 1. Agar pertumbuhannya mudah diamati. 2. Menciptakan kebutuhan akan rasa ingin tahu terhadap pertumbuhan anak. 3. Meningkatkan lingkungan yang layak untuk pertumbuhan anak. 4. Melukiskan setiap kejadian yang kurang menguntungkan anak, misalnya infeksi, ibu meninggal, dll. 5. Mengetahui sedini mungkin gejala gangguan pertumbuhan. 6. Merupakan sarana untuk memberikan penyuluhan kepada ibu : a. Gizi/makanan bayi dan anak b. Tumbuh kembang anak c. Imunisasi
43
d. Keluarga berencana e. Pencegahan : defisiensi vitamin A, dehidrasi akibat diare sanitrasi personal dan lingkungan, dll (Soetjiningsih, 2002). 2.3.3 Klasifikasi Perkembangan Balita 1. Usia Bayi (0-1 tahun) Bayi memiliki sistem kekebalan tubuh yang primitive dengan kekebalan pasif yang didapat dari ibunya selama dalam kandungan. Pada saat bayi kontak dengan antigen yang berbeda ia akan memperoleh antibodinya sendiri.
Imunisasi diberikan untuk terhadap penyakit
yang dapat
membahayakan bayi. Bila dikaitkan dengan status gizi bayi memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Kebutuhan kalori bayi antara 100-200 kkal/kg BB. Pada empat bulan pertama, bayi yang lebih baik hanya mendapatkan ASI saja tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (Supartini, 2004). 2. Usia toddler (1-3 tahun) Secara fungsional biologis masa umur 6 bulan hingga 2-3 tahun adalah rawan. Masa itu tantangan karena konsumsi zat makanan yang kurang, disertai
minuman
buatan
yang
encer
dan
terkontaminasi
kuman
menyebabkan diare dan marasmus. Selain itu dapat juga terjadi sindrom kwashiorkor karena penghentian ASI mendadak dan pemberian makanan padat yang kurang memadai (Jelife, 1989 dalam Supartini, 2004).
44
Imunisasi pasif yang diperoleh melalui ASI akan menurun dan kontak dengan lingkungan akan makin bertambah secara cepat dan menetap tinggi selama tahun kedua dan ketiga kehidupan. Infeksi dan diet adekuat kan tidak banyak berpengaruh pada status gizi yang cukup baik (Akre, 1994 dalam Supartini, 2004). Bagi anak dengan gizi kurang, setiap tahapan infeksi akan berlangsung lama dan akan berpengaruh yang cukup besar pada kesehatan, petumbuhan dan perkembangan. Anak 1-3 tahun membutuhkan kalori kurang lebih 100 kkal/kg BB dan bahan makanan lain yang mengandung berbagai zat gizi (Supartini, 2004). 3. Usia Pra Sekolah (3-5 tahun) Pertumbuhan anak usia ini semakin lambat. Kebutuhan kalorinya adalah 85 kkal/kg BB. Karakteristik pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia pra sekolah yaitu nafsu makan berkurang, anak lebih tertarik pada aktivitas bermain dengan teman, atau lingkungannya dari pada makan dan anak mulai sering mencoba jenis makanan yang baru (Supartini, 2004). 2.3.4 Tahapan Perkembangan Balita 1. Faktor yang memengaruhi tumbuh kembang balita Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu (Supriasa, 2002): Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah (Wikipedia, 2009). Sebagai berikut ini: a. Perkembangan fisik
45
Di awal balita, pertambahan berat badan Balita merupakan singkatan bawah lima tahun, satu periode usia manusia dengan rentang usia dua hingga lima tahun, ada juga yang menyebut dengan periode usia prasekolah. Pada fase ini anak berkembang dengan sangat pesat (Choirunisa, 2009 : 10). Pada periode ini, balita memiliki ciri khas perkembangan menurun disebabkan banyaknya energi untuk bergerak. b. Perkembangan Psikologis Dari sisi psikomotor, balita mulai terampil dalam pergerakanya (lokomotion), seperti berlari, memanjat, melompat, berguling, berjinjit, menggenggam, melempar yang berguna untuk mengelola keseimbangan tubuh dan mempertahankan rentang atensi. Pada akhir periode balita kemampuan motorik halus anak juga mulai terlatih seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer yaitu memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari seperti memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu. Dari sisi kognitif, pemahaman tehadap obyek telah lebih paham. Kemampuan bahasa balita tumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita yaitu usia dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun telah menjadi diatas 1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai berbicara dengan kalimat sederhana berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari bahasa ibunya (Choirunisa, 2009 : 10).
46
Balita adalah bayi yang berada pada rentang usia 0-5 tahun. Pada usia ini otak anak mengalami pertumbuhan yang sangat pesat yang dikenal dengan istilah masa keemasan (The Golden Ege), dan pada masa ini harus mendapatkan stimulasi secara menyeluruh baik kesehatan, gizi, pengasuhan dan pendidikan. Istilah ini sudah sering di dengar dan di pahami oleh semua orang tua, karena mereka menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas, tapi sedikit yang memanfaatkan peluang ini, karena mereka merasa pertumbuhan anak adalah proses alami yang akan terjadi dengan sendirinya tanpa dengan interpretesi orang tua atau siapapun.
2.4 Hubungan antara Penyakit Infeksi dengan Status Gizi pada Balita Status gizi anak balita dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu jumlah pangan yang dikonsumsi dan keadaan kesehatan yang bersangkutan. Kekurangan konsumsi pangan khusunya energy dan protein dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan berat badan anak yang bersangkutan menurun sehingga daya tahan tubuh menurun dan mudah terkena penyakit infeksi (Latinulu, 2000). Penyakit infeksi dapat menyebabkan kehilangan nafsu makan sehingga terjadi kekurangan gizi secara langsung. Pada anak usia balita mempunyai resiko penyakit infeksi seperti diare, ISPA, malaria, campak dan gastritis (WHO, 2000). Hubungan yang sangat kuat antara malnutrisi dan kematian anak balita dikarenakan anak menderita gizi kurang disertai dengan penyakit infeksi.
47
Beberapa penyakit yang menyebabkan terjadinya malnutrisi antara lain adalah penyakit diare, campak, ISPA, malaria dan lainnya (Schroeder, 2001). Penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan status gizi yang rendah. Hal ini dapat dijelaskan melaui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang kekurangan masukan energy dan protein di dalam tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga tubuh menderita rawan serangan infeksi (Jeliffe, 1989). Hubungan antara gizi kurang dan penyakit infeksi sangat komplek. Disatu sisi kekebalan tubuh anak terhadap infeksi akan berkurang apabila anak menderita gizi kurang. Contohnya adalah anak yang gizi kurang selanjutnya dapat menderita penyakit pneumonia atau penyakit infeksi lainnya sedangkan disisi lain penyakit infeksi sangat mempengaruhi status gizi anak (Waterlow, 1992). Suyitno dan Dwiari (2000) menyatakan bahwa apabila seorang anak menderita kurang gizi maka daya tahan tubuhnya akan melemah, sehingga bibit penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh. Selain itu komplikasi berantai infeksi saluran nafas sering dijumpai dan diderita anak kurang gizi .ISPA yang terjadi pada mereka tiga kali lebih sering daripada anak yang normal.
48
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Kerangka Konseptual pada penelitian ini : Input
Procces
1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik 2. Gangguan mental 3. Menghambat perkembangan otak 4. Menurunkan system kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit)
Balita
Faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu : 1. Konsumsi gizi 2. Penyakit infeksi 3. Pola asuh 4. Pendidikan 5. Pengetahuan 6. Pekerjaan 7. Jumlah anak 8. Sanitasi air bersih 9. Umur 10. Jenis kelamin Gambar 3.1 Kerangka konseptual penelitian Keterangan : = diteliti = tidak diteliti
Output
Status gizi
Outcome 1. Kematian pada balita 2. Tidak tercapainya MDG’S 2015 3. AKABA meningkat
49
Penjelasan gambar 3.1 Input pada kerangka konseptual tersebut yaitu balita dipengaruhi oleh procces sedangkan procces yaitu Gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik, Gangguan mental, Menghambat perkembangan otak dan menurunkan system kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit) Output yaitu status gizi antara lain faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu : Konsumsi gizi, Penyakit infeksi, Pola asuh, Pendidikan, Pengetahuan, Pekerjaan, Jumlah anak, Sanitasi air bersih, Umur, Jenis kelamin dipengaruhi oleh outcome yaitu kematian pada balita, Tidak tercapainya MDG’S 2015 dan AKABA meningkat. Status gizi anak balita dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu jumlah pangan yang dikonsumsi dan keadaan kesehatan yang bersangkutan. Kekurangan konsumsi pangan khususnya energi dan protein dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan berat badan anak yang bersangkutan menurun sehingga daya tahan tubuh menurun dan mudah terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan status gizi yang rendah. Hal ini dapat dijelaskan melaui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang kekurangan masukan energi dan protein di dalam tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga tubuh menderita rawan serangan penyakit infeksi. 3.2 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Ada hubungan antara status gizi dengan penyakit infeksi pada balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
50
selanjutnya hipotesis diubah menjadi hipotesis statistik yaitu Tidak ada hubungan antara status gizi dengan penyakit infeksi pada balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.
51
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lingkup penelitian termasuk penelitian inferensial. Berdasarkan tempat penelitian termasuk penelitian lapangan. Berdasarkan waktu pengambilan data peneliti
ini
merupakan penelitian
cross
sectional.
Berdasarkan cara
pengumpulan data termasuk penelitian survey. Berdasarkan ada tidaknya perlakuan, penelitian ini merupakan penelitian expose facto. Berdasarkan tujuan penelitian termasuk penelitian inferensial kuantitatif. Berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini menggunakan data sekunder.
4.2
Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
4.2.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang berobat di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo pada bulan Januari sampai Maret 2014 yaitu sebanyak 220 balita 4.2.2 Sampel Sampel pada penelitian ini sebagian balita yang berobat di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. 4.2.3 Besar Sampel
52
Pada penelitian ini jumlah sampel yang ditentukan dengan menggunakan rumus Arikunto sebagai berikut : = Keterangan : n N d
(
)
= besar sampel = besar populasi = besar penyimpangan= 0,1
Sehingga diperoleh : =
(
= =
)
( ,
)
( ,
)
= 68,75 = 69 Jadi, besar sampel secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah
69 balita.
4.2.4 Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik probability sampling yaitu dengan teknik simple random sampling yaitu menghitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi yang akan dipilih sampelnya kemudian setiap subjek diberi nomer dan dipilih sebagian dari mereka dengan bantuan tabel random.
4.3
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.3.1 Variabel Penelitian 1. Variabel Independen Variabel independen penelitian ini adalah penyakit infeksi .
53
2. Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Status gizi. 4.3.2 Definisi Operasional Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel
Status gizi
Penyakit infeksi
4.4
Definisi Operasinal
Parameter
Instrumen
Skala Data
Kategori
Segala sesuatu yang berkaitan dengan status gizi pada balita yang dapat di kategorikan salah satunyadengan cara berat badan dibagi tinggi badan balita dalam 1 bulan ini Besarnya jumlah penderita penyakit infeksi pada balita dalam kurun waktu 3 bulan terakhir di lihat dari diagnose tenaga kesehatan
Hasil dari BB/U balita
Lembar pengumpul data
Ordinal
1. Gizi lebih, bila Z-score terletak >+ 2SD 2. Gizi baik, bila Z-score terletak ≥2SD s/d +2SD 3. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥3 SD s/d <-2SD 4. Gizi buruk, bila Z-score terletak <3SD
Penyakit infeksi terdiri dari ISPA, diare, malaria, campak, dan gastritis
Lembar pengumpul data
Ordinal
1. Menderita penyakit infeksi 2. Tidak menderita penyakit infeksi
Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah balita, data berat badan, umur, data balita yang mengalami penyakit infeksi dan yang tidak menderita penyakit infeksi kurun waktu 1 bulan.
4.5
Instrumen Penelitian Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode dokumen yaitu dengan mengolah data sekunder. Data tersebut diambil dari
54
Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Alat yang digunakan untuk mengungkap variabel dependent dan independent adalah data laporan status gizi balita di Puskesmas dan diagnose tenaga kesehatan.
4.6
Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014.
4.7
Prosedur Pengambilan dan Pengolahan Data
4.7.1 Prosedur Pengumpulan data 1. Menyerahkan surat ijin dari institusi pendidikan ke KESBANG Ponorogo 2. Setelah itu, ada surat balasan ijin melaksanakan study pendahuluan dari KESBANG Ponorogo 3. Menyerahkan surat balasan dari KESBANG Ponorogo ke Dinkes Ponorogo 4. Setelah itu, ada surat balasan ijin melaksanakan study pendahuluan dari Dinkes Ponorogo 5. Melakukan pengumpulan data dengan menggunakan lembar pengumpulan data untuk mencatat data yakni penyakit infeksi pada balita di Ponorogo dan Status Gizi balita di Ponorogo 6. Menyerahkan surat balasan dari KESBANG dan Dinkes Ponorogo ke Puskesmas Jambon. 7. Melakukan pengumpulan data dengan menggunakan lembar pengumpulan data untuk mencatat data yakni yang menderita penyakit infeksi dan yang
55
tidak menderita penyakit infeksi pada balita di Ponorogo dan Status Gizi balita di Kecamatan Jambon. 4.7.2 Pengolahan Data 1. Editing Setelah data terkumpul, sebelum diolah data tersebut diedit terlebih dahulu oleh peneliti untuk menghindari kesalahan atau hal yang masih meragukan agar mendapat data yang berkualitas. 2. Coding Mengkode data, pemberian kode pada penelitian ini dengan memberikan kode pada responden dengan kode 1, dan diurutkan berdasarkan nomor urut, misal : responden pertama 1, dan seterusnya. Sedangkan untuk data umum pengkodeannya sebagai berikut: 1) Data Umum a. Coding untuk Umur balita Kode 1
: 1-3 tahun
Kode 2
: 3-5 tahun
b. Coding untuk Pendidikan ibu balita Kode 1
: Tidak Sekolah
Kode 2
: Dasar
Kode 3
: Menengah
Kode 4
: Tinggi
c. Coding untuk pekerjaan ibu balita Kode 1
: Petani
56
Kode 2
: Wiraswasta
Kode 3
: PNS
Kode 4
: Ibu rumah tangga
d.Coding untuk riwayat perkawinan sedarah Kode 1
: Perkawinan sedarah
Kode 2
: Tidak perkawinan sedarah
2) Data Khusus a. Coding untuk status gizi Kode 1
: Gizi lebih
Kode 2
: Gizi baik
Kode 3
: Gizi kurang
Kode 4
: Gizi buruk
b. Coding untuk penyakit infeksi Kode 1
: Menderita penyakit infeksi
Kode 2
: Tidak menderita penyakit infeksi
1. Scoring Untuk scoring tidak digunakan karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder. Scoring hanya digunakan untuk data primer. 2. Tabulating Proses tabulating dalam penyusunan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang.
4.8
Cara Analisis Data
57
Data yang terkumpul dianalisa dengan 2 metode, yaitu menggunakan analisa deskriptif atau univariat dan bivariat. 4.8.1 Analisis Univariate Adalah analisa untuk suatu variabel penelitian. Pada penelitian ini analisis univariat digunakan dengan mengumpulkan data status gizi balita, dan penyakit infeksi pada balita Setelah data terkumpul ditabulasi dan dipresentasikan. Dengan rumus prosentasi : P =
N X 100
Keterangan : P = Prosentasi f = frekuensi N = jumlah seluruh observasi/populasi
(Sumber : Budiarto, 2002) 4.8.2 Analisis Bivariate Adalah analisa yang digunakan untuk lebih dari satu variabel dan menggunakan tabulasi silang dengan tujuan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikatnya. Pada penelitian ini analisa bivariat digunakan untuk mencari atau melihat hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita Analisa ini menggunakan uji statistik Spearmen Rho. Dengan rumus : ρ = 1 –
∑ (
)
Keterangan : d i = beda antara 2 pengamatan berpasangan N = total pengamatan = koefisien korelasi spearman (Nazir, 2009)
Kriteria uji hubungan antara variabel penelitian berdasarkan nilai penelitian yang dihasilkan dan dibandingkan dengan nilai kemaknaan yang
58
dipilih atau α – 0,05, bila nilai p< α = 0,05 maka Ho ditolak, H1 diterima berarti ada hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita. P> α = 0,05 maka H1 diterima, Ho ditolak berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita. Kuat hubungan antar variable berdasarkan koefisiensi korelasi adalah sebagai berikut : Tabel 3.2 pedoman keeratan dua variable berdasarkan koefisiensi korelasi No 1 2 3 4 5
Interval Koefisien 0,000 – 0,199 0,200 – 0,399 0,400 – 0,599 0,600 – 0,799 0,800 – 1,00
Sumber : Sugiyono, 2007
Tingkat Hubungan Sangat Rendah Rendah Sedang Kuat Sangat Kuat
59
BAB 5 HASIL PENELITIAN, ANALISA DAN PEMBAHASAN
5.1 Data Umum 5.1.1 Karakteristik responden berdasarkan umur responden Hasil pengumpulan data terhadap 69 responden berdasarkan umur saat penelitian memperlihatkan distribusi frekuensi responden di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 No 1 2
Umur 1-3 3-5 Jumlah
Frekuensi 39 30 69
Persentase 56,5% 43,5% 100,0%
Sumber: Data sekunder penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.1 di interpretasikan bahwa karakteristik responden berdasarkan umur responden hampir sebagian besar mempunyai umur 1-3 tahun yaitu sebanyak 39 responden dengan persentase 56,5%. 5.1.2 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Hasil pengumpulan data terhadap
69
responden
berdasarkan
pendidikan saat penelitian memperlihatkan distribusi frekuensi responden di Puskesmas
Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
adalah sebagai berikut:
60
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 No 1 2 3 4
Pendidikan Tidak sekolah Dasar Menengah Tinggi Jumlah
Frekuensi 6 30 22 11 69
Persentase 8,7% 43,5% 31,9% 15,9% 100,0%
Sumber: Data sekunder penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.2 di interpretasikan bahwa karakteristik responden berdasarkan pendidikan hampir setengahnya pendidikan dasar yaitu sebanyak 30 responden dengan persentase 43,5%. 5.1.3 Karakteristik responden berdasarkan Pekerjaan Hasil pengumpulan data terhadap 69 responden berdasarkan pekerjaan saat penelitian memperlihatkan distribusi frekuensi responden di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 No 1 2 3 4
Pekerjaan IRT Wiraswasta Petani PNS Jumlah
Frekuensi 31 11 22 5 69
Persentase 45% 15,9% 31,9% 7,2% 100,0%
Sumber: Data sekunder penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.3 di interpretasikan bahwa karakteristik responden berdasarkan pekerjaan hampir setengahnya IRT yaitu sebanyak 31 responden dengan persentase 45%. 5.1.4 Karakteristik responden berdasarkan riwayat perkawinan sedarah
61
Hasil pengumpulan data terhadap 69 responden berdasarkan riwayat perkawinan sedarah saat penelitian memperlihatkan distribusi frekuensi responden di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat Perkawinan Sedarah di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 No 1 2
Riwayat Perkawinan Perkawinan sedarah Tidak perkawinan sedarah Jumlah
Frekuensi 12 57 69
Persentase 17,4% 82,6% 100,0%
Sumber: Data sekunder penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.4 di interpretasikan bahwa karakteristik responden berdasarkan riwayat perkawinan hampir seluruhnya tidak perkawinan sedarah yaitu sebanyak 57 responden dengan persentase 82,6%.
5.2 Data Khusus 5.2.1 Penyakit Infeksi Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 69 responden diketahui bahwa penyakit infeksi di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.5 Ditribusi Frekuensi Penyakit infeksi di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 No Kategori keluarga 1 Menderita penyakit infeksi 2 Tidak menderita penyakit infeksi Jumlah Sumber: Data sekunder penelitian 2014
Frekuensi 45 24 69
Persentase 65,2% 34,8% 100,0%
62
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa distribusi penyakit infeksi responden sebagian besar adalah menderita penyakit infeksi yaitu sebanyak 45 responden dengan persentase 65,2%.
5.2.2 Status gizi Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 69 responden diketahui status gizi di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.6 Ditribusi Frekuensi status gizi di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 No 1 2 3 4
Status Gizi Buruk Kurang Baik Lebih Jumlah
Frekuensi 23 34 12 0 69
Persentase 33,3% 49,3% 17,4% 0% 100,0%
Sumber: Data skunder penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa status gizi pada balita respondennya hampir setengahnya adalah kurang yaitu sebanyak 34 responden dengan persentase 49,3%.
5.3 Analisi Hasil Penelitian Tabel 5.7 Ditribusi Frekuensi Penyakit Infeksi dengan Status Gizi di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 N o 1 2
Tidak menderita penyakit infeki Menderita penyakit infeksi Total
Kesadaran Gizi keluarga Kurang Baik n % n % 12 17,4 12 17,4 % % 33,3 22 31,9 0 0% % % 33,3 34 49,3 12 17,4
Total
Buruk n % 0 0%
Lebih N % 0 0%
23
0
0%
0
0%
23
n 2 4 4 5 6
% 34,8 % 65,2 % 100
63
% p Value = 0,01
% α=0,05
% 9 % koefisien korelasi = 0,681
Sumber: Data sekunder penelitian 2014
Berdasarkan tabel 5.7 diatas didapatkan hasil, bahwa sebagian besar dari responden yaitu sebanyak 45 responden (65,2%) menderita penyakit infeksi dengan status gizi balita adalah kurang (49,3%). Berdasarkan hasil uji statistik non parametric yaitu menggunakan Spearman Rank, Didapatkan bahwa p value = 0,01 atau p value < α (0,05), maka H1diterima dan H0 ditolak berarti terdapat hubungan antara penyakit infeksi dengan Status Gizi balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. Dengan nilai r = 0,681 yang berarti memiliki kekuatan hubungan “kuat” dan arah hubungan positif, artinya semakin tinggi seorang balita tidak menderita penyakit infeksi, maka status gizi akan semakin tinggi pada balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.
5.4
Pembahasan
5.4.1 Penyakit infeksi di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar adalah menderita penyakit infeksi yaitu sebanyak 45 responden dengan persentase 65,2%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden menderita penyakit infeksi yang berakibat status gizi yang bermasalah. Pencapaian pembangunan MDGs (Millennium Development Goals) terkait
upaya
64
peningkatan kelangsungan hidup anak di masa mendatang, pada tahun 2015 setiap Negara harus berupaya terus untuk menurunkan separuh jumlah penduduk miskin dan kelaparan. Selain itu tujuan MDGs menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua komponen kegiatan, termasuk kesehatan, yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat dan mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah lima tahun (Kemenkes, 2012). Hubungan yang sangat kuat antara malnutrisi dan kematian anak balita dikarenakan anak menderita gizi kurang disertai dengan penyakit infeksi. Beberapa penyakit yang menyebabkan terjadinya malnutrisi antara lain adalah penyakit diare, campak, ISPA, malaria dan lainnya (Schroeder, 2001). Penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan status gizi yang kurang. Hal ini dapat dijelaskan melaui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang kekurangan konsumsi makanan di dalam tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk energi baru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh terganggu, sehingga tubuh rawan serangan infeksi. Pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan tentang penyakit infeksi pada anak. Namun demikian banyak masyarakat yang beranggapan penyakit bisa sembuh dengan sendirinya dan selain itu akibat keterbatasan ekonomi dan geografi membuat masyarakat mengurungkan niat untuk memeriksakan anaknya ke tenaga kesehatan. Padahal hal tersebut sangat penting untuk pemantauan kesehatan balita. Hal ini menyebabkan penyakit infeksi di Puskesmas Jambon masih belum mencapai target Indonesia sehat.
65
5.4.2 Status Gizi di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian bahwa status gizi pada balita respondennya hampir setengahnya adalah kurang yaitu sebanyak 34 responden dengan persentase 49,3%. Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi (Almatseir, 2009). Status gizi yang kurang atau terbatas akan memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, fungsi organ tubuh, dan proses hormonal dalam tubuh. Hal ini akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Selain itu keadaan gizi kurang dan buruk dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, terutama penyakit infeksi yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan jaringan otak yang akan mengurangi kualitas sumber daya manusia Indonesia (Sihadi, 2006). Status gizi pada balita sangat penting untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan balita. Gizi kurang pada balita masih banyak dijumpai dan penyebabnya karena tingkat pendidikan ibu balita yang
hampir
setengahnya
pendidikan
dasar
sehingga
mempengaruhi
pengetahuan ibu tentang nutrisi bagi balitanya, pekerjaan ibu balita yang hampir setengahnya IRT mengakibatkan ibu balita sering menghabiskan waktu di rumah dengan mengurusi suami dan anaknya yang berakibat kurangnya informasi tentang pola makan yang baik untuk balita, selain itu sebagian warga masyarakat memiliki riwayat perkawinan sedarah yang mengakibatkan banyak anggota keluarga yang keterbelakangan mental sehingga pengetahuan dan
66
informasi tidak bisa di terima dengan baik perlu pelatihan khusus sehingga berakibat pada kebutuhan nutrisi pada balita yang kurang salah satu faktor yang membuat status gizi balita di wilayah Puskesmas Jambon masih tinggi dengan angka kejadian status gizi kurang. Di tambah dengan balita yang menderita penyakit infeksi sulit untuk diberikan asupan makanan, hal tersebut menyebabkan kekurangan konsumsi pangan khususnya energy dan protein dalam jangka waktu tertentu sehingga mengakibatkan berat badan balita yang bersangkutan menurun sehingga mempengaruhi status gizinya. 5.4.3 Hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rank (Rho) diperoleh nilai ρ = 0,01 dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) dapat dikatakan ρ < α Ho ditolak dan H1 diterima, maka ada Hubungan Antara Penyakit infeksi Dengan Status Gizi Pada Balita Di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. Hal ini sesuai dengan terjadinya penyakit infeksi pada balita menyebabkan menurunnya status gizi pada balita, status gizi balita dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu jumlah pangan yang dikonsumsi dan keadaan kesehatan yang bersangkutan. Kekurangan konsumsi pangan khususnya energi dan protein dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan berat badan anak yang bersangkutan menurun sehingga daya tahan tubuh menurun dan mudah terkena penyakit infeksi (Latinulu, 2000). Di sisi lain karena kesediaan bahan pangan tidak ada dan kurangnya kesadaran masyarakat dengan status gizi anaknya.
67
Akibatnya adanya hubungan yang sangat kuat antara malnutrisi dan kematian anak balita dikarekan anak menderita gizi kurang disertai penyakit infeksi (Schroeder, 2001). Dari hasil tabulasi diatas bahwa sebagian besar dari responden yaitu sebanyak 45 responden (65,2%) menderita penyakit infeksi dengan status gizi balita adalah kurang 34 responden (49,3%). Penyelesaian masalah status gizi tidak dapat dilakukan dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi yang berlebihan tentunya pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut haruslah seimbang . Gizi kurang merupakan masalah yang perlu penanganan serius. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah antara lain melalui revitalisasi Posyandu dalam
meningkatkan
cakupan
penimbangan
balita,
penyuluhan
dan
pendampingan, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) atau Pemberian Makanan Tambahan (PMT), peningkatan akses, mutu pelayanan gizi melalui tata laksana gizi buruk di Puskesmas Perawatan dan Rumah Sakit, penanggulangan penyakit menular, pemberdayaan masyarakat, pelatihan untuk warga masyarakat yang keterbelakangan mental dengan keterampilan yang bisa menghasilkan uang untuk biaya kehidupan sehari – hari.
68
BAB 6 PENUTUP
6.1 Kesimpulan 1. Penyakit infeksi di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 sebagian besar adalah menderita penyakit infeksi 2. Status gizi pada balita responden di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 hampir setengahnya adalah kurang 3. Ada hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.
6.2 Saran 1. Bagi responden Diharapkan bagi para ibu balita untuk selalu memperhatikan gizi keluarga terutama pada balita dengan memberikan makanan bergizi seimbang. 2. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada peneliti selanjutnya tentang hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi balita sehingga dapat menggunakannya sebagai bahan referensi dan inisiatif untuk melakukan penelitian berikutnya yang lebih mendalam dan relevan dengan memperhatikan banyak variabel lain yang berkaitan atau berpengaruh serta mengurangi keterbatasan yang ada dalam penelitian ini. 3. Bagi institusi pendidikan
69
Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk bahan kajian dan bahan penelitian lebih lanjut mengenai kegiatan lain untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga mahasiswa dapat memberikan pelayanan yang baik ketika mereka dihadapkan pada praktek nyata. 4. Bagi tempat penelitian Diharapkan dapat meningkatkan pemberian informasi tambahan tentang penyakit infeksi dan tentang status gizi serta pencegahan tentang masalah gizi terutama pada balita, penanganan gizi pada balita dan pencengahan terhadap masalah penyakit infeksi pada balita.
70
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Arikunto. Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Baliwati, Yayuk Farida, dkk. (2006). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar Swadaya Gizi, Departemen, dkk. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika Hidayat, Aziz Alimul. (2008). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik analisis data. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, Aziz Alimul. (2012). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika Kartasapoetra, G, dkk. (2008). Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja). Jakarta : PT Rineka Cipta Mubarak, Wahid Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika Nawawi, Hadari .(2008). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Nazir, Moh Ph.D. (2003). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia Notoatmodjo. Soekidjo.(2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : PT Rineka Cipta Notoatmodjo. Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
71
Pratiknya, Ahmad Watik. (2008). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Santoso, Soegeng, dkk. (2009). Kesehatan dan Gizi. Jakarta : PT Ineka Cipta Sediaoetama, Achmad Djaeni. (2006). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid II. Jakarta : Dian Rakyat Soegianto, Benny, dkk. (2007). Penilaian Status Gizi dan Buku Antropometri WhoNCHS . Surabaya : CV. Duta Prima Airlangga Supariasa, I Dewa Nyoma, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC