HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN KELUARGA DENGAN FREKUENSI DIARE DAN STATUS GIZI PADA BALITA DI DESA SEGIRI KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG
KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Diploma III (tiga) kesehatan Bidang Gizi
Disusun Oleh: PRASISTIYANI LARTIANA Nomor Induk Mahasiswa G02. 204.00065
PROGRAM DIPLOMA III GIZI FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2006
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan menjadi kurang, baik, dan lebih. (Almatsier, 2003). Status
gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan yang
dikonsumsi secara langsung dipengaruhi juga oleh penyakit infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik tubuh dapat mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. dan sebaliknya gangguan gizi dapat memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi. Kesehatan dan sanitasi lingkungan juga merupakan faktor yang akan mempengaruhi status gizi. Keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai penyakit antara lain diare dan infeksi saluran pernapasan. Seseorang yang kurang zat gizi akan mudah terserang penyakit dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa, 2001). Kebersihan lingkungan bukan merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang, tetapi faktor ini justru paling besar peranannya. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa lingkungan hidup manusia dengan segala faktornya merupakan bagian dari lingkungan kehidupan manusia. (Wied, 1986). Penyakit diare merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan anak-anak di negara sedang berkembang. Diperkirakan sekitar 1000 juta kejadian diare tiap tahun menyerang anak balita dengan perkiraan 5 juta kematian setiap tahun. Sekitar 80 % kematian ini terjadi pada dua tahun pertama kehidupan anak (Depkes, RI, 1990). Diare sering terjadi secara tiba-tiba dan perkembangannya cepat sekali diberbagai daerah. Diare merupakan penyakit endemis yang terutama menyerang anak balita dan menyebabkan kematian. Di Indonesia diperkirakan 25 % dari kematian anak balita disebabkan oleh diare (Moehji, 1992).
1
Data dari Puskesmas Pabelan , bahwa di Desa Segiri prevalensi gizi kurang tahun 2005 2,8% dan angka kejadian diare tahun 2005 sebesar 20,8%. Angka ini menunjukkan persentase yang cukup tinggi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, muncul permasalahan apakah ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare dan status gizi pada balita di Desa Segiri Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare dan status gizi pada balita di desa Segiri Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan sanitasi lingkungan keluarga balita b. Mendeskripsikan frekuensi diare pada balita 1 bulan terakhir c. Mendeskripsikan status gizi balita d. Menganalisis hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare pada balita. e. Menganalisis hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan status gizi balita.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi perencana program di Puskesmas Dapat memberikan infomasi dan sebagai bahan intervensi petugas puskesmas tentang sanitasi lingkungan keluarga kaitannya dengan penyakit yang ditimbulkan 2. Bagi Masyarakat Supaya masyarakat memperhatikan sanitasi lingkungan keluarga serta bahaya penyakit yang ditimbulkan.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Status gizi adalah tingkat kesehatan sebagai akibat dari pemasukan semua zat gizi dalam makanan sehari-hari. Dapat pula dikatakan bahwa status gizi adalah derajat kesehatan seseorang yang dipengaruhi antara lain oleh tingkat kecukupan makanan yang dikonsumsi (Reksohadikusumo, 1989). 2. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu klinis, biokimia, biofisik dan antropometri. a. Penilaian secara klinis Penilaian secara klinis gizi adalah penilaian yang mempelajari dan mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit kurang gizi. b. Penilaian Secara Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Penilaian keadaan gizi dengan cara ini, terutama di lapangan mengalami masalah khususnya tekhnis fasilitas laboratorium serta biaya yang relati mahal. c. Penilaian secara Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
3
d. Penilaian secara Antropometri Penilaian status gizi secara antropometri didasarkan atas pengeluaran keadaan fisik dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Untuk entropometri yang digunakan dalam penentuan status gizi diantaranya: berat badan, tinggi badan, tinggi badan, lingkar badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada dan tebal lemak pada kulit. Dari semua ukuran itu yang paling sering digunakan adalah berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) yaitu berat badan dibandingkan umur (BB/ U), tinggi badan dibandingkan umur (TB/ U), berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/ TB). (Supariasa, 2001). 3. Klasifikasi Status Gizi Klasifikasi status gizi menurut standar WHO-NCHS berdasarkan widya karya Nasional pangan dan gizi VII adalah sebagai berikut: TABEL 1. KLASIFIKASI STATUS GIZI No Klasifikasi Skor (Baku WHO-NCHS) 1. Gizi lebih > 2.0 SD 2. Gizi baik - 2.0 SD s/d 2.0 SD 3. Gizi kurang < - 2.0 SD 4. Gizi buruk < - 3.0 SD Sumber : Widya Karya Nsional Pangan dan Gizi Tahun 2000
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi a. Konsumsi Makanan Status gizi masyarakat ditentukan oleh konsumsi zat dan kemampuan tubuh menyerap makanan yang mengandung zat gizi untuk kesehatan. Jika konsumsi makan kurang akan mempermudah timbulnya penyakit yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan mengakibatkan status gizi menurun. Konsumsi makanan yang kurang memenuhi syarat-syarat gizi merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak, terutama pada anak usia prasekolah (Roedjito, 1989).
4
b. Penyakit Infeksi Anak yang menderita gizi kurang akan mudah terkena penyakit infeksi khususnya diare dan penyakit saluran pernafasan. Masingmasing keadaan tersebut mendorong dan dapat memperburuk keadaan. Proses tersebut akan menimbulkan kesakitan yang semakin memburuk dan dapat menyebabkan kematian. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Infeksi memperburuk status gizi, dan sebaliknya gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi (Aritonang, 1996). c. Sanitasi Lingkungan Keadaan
lingkungan
yang
kurang
baik
memungkinkan
terjadinya berbagai jenis penyakit, antara lain diare dan infeksi saluran pencernaan. Seseorang yang kekurangan zat gizi akan mudah terserang penyakit dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa, 2001) d. Pendidikan Orang Tua Latar belakang pendidikan orang tua, merupakan salah satu unsur penting yang berperan dalam menentukan keadaan gizi anak. Pada masyarakat yang rata-rata tingkat pendidikannya rendah, menunjukkan prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup tinggi, prevalensi gizi kurang lebih rendah. e. Tingkat Pendapatan Tingkat pendidikan juga menentukan pola makan apa yang dibeli dengan uang tersebut. Jika pendapatan meningkat, pembelanjaan untuk
membeli
makanan
juga
bertambah.
Dengan
demikian
pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
5
makanan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap zat gizi (Reksohadi Kusumo, 1989). B. Tinjauan Tentang Diare 1. Pengertian Diare Diare adalah suatu keadaan abnormal dari pengeluaran berak dengan frekuensi 3 kali atau lebih dengan melihat konsistensinya lembik cair sampai cair dengan/ tanpa darah dan lendir dalam tinja (Dep Kes RI, 1990). 2. Faktor-faktor penyebab Diare a. Faktor Makanan Makanan sebagai penyebab diare merupakan penyebab non infeksi yang paling sering, diantaranya: − Makanan yang busuk, mengandung racun − Perubahan susunan makanan yang mendadak, hal ini sering terjadi pada bayi. − Susunan makanan yang tidak sesuai dengan umur bayi, yang berupa amolaritas yang tinggi ataupun terlalu banyak serat. b. Faktor Infeksi Faktor infeksi merupakan penyebab yang paling sering dari diare, dan pada garis besarnya dapat dibagi menjadi 2 golongan: − Infeksi Parenteral Merupakan infeki di luar usus, diperkirakan melalui jalur susunan syaraf vegetatif mempengaruhi sistem saluran cerna sehingga terjadi diare. − Infeksi Enternal Merupakan infeksi dalam usus. Dapat terjadi karena infeksi oleh organisme disentri basiler, bakteri, salmonella dan berbagai virus. c. Faktor Psikik Keadaan depresif pada umumnya melalui jalur susunan syaraf vegetatif dapat menganggu saluran cerna sehingga terjadi diare. Pada
6
anak-anak kondisi lingkungan sosiobiologik sering berperan dalam penanganan diare. d. Faktor lingkungan Kurangnya penyediaan air bersih, kurangnya fasilitas sanitasi dan hygiene perorangan juga dapat menyebabkan diare. 3. Akibat Diare Akibat yang ditimbulkan diare adalah kekurangan cairan tubuh dan garam-garam yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Akibat kekurangan cairan, kemungkinan akan menimbulkan kematian. Kehilangan cairan terus menerus akan berakibat dehidrasi. Selain itu, diare juga dapat mengakibatkan malnutrisi karena nafsu makan yang berkurang. Malnutrisi akan menyebabkan resiko terjadinya diare lebih berat dan lama. Yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan dan kematian (Dep Kes RI, 1996). 4. Pencegahan Diare Pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara: − Mengkonsumsi air minum yang aman dan sehat − Mengkonsumsi makanan yang dimasak − Menjaga kebersihan perorangan − Menjaga lingkungan tetap sehat − Makan makanan yang bergizi
C. Sanitasi Lingkungan 1. Pengertian Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya (Notoatmodjo, 1997).
7
Sehat menurut WHO sanitasi lingkungan merupakan usaha-usaha pengawasan terhadap semua faktor yang ada dalam lingkungan fisik yang memberi pengaruh atau memberi pengaruh buruk terhadap kesehatan, fisik, mental dan kesejahteraan sosial. Pengaruh lingkungan dalam rumah terhadap kegiatan sehari-hari tidaklah secara langsung. Lingkungan yang kelihatannya tidak memiliki potensi bahaya ternyata dapat menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya. Lingkungan rumah bising, berdebu dan panas dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada akhirnya dapat menganggu kegiatan sehari-hari (Dep Kes RI, 1996). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan lingkungan Tingkat
kesehatan
lingkungan
ditentukan
oleh
berbagai
kemungkinan bahwa lingkungan berperan sebagai tempat pembiakan agen hidup, tingkat kesehatan lingkungan yang tidak sehat dapat diukur dengan: − Penyediaan air bersih yang kurang − Pembuangan air limbah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. − Penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan kotoran serta cara buang kotoran manusia yang tidak sehat. − Tidak
adanya
pembuangan
penyediaan
sampah
dan
rumah
pemanfaatan
tangga
yang
tempat
memenuhi
persyaratan kesehatan. − Tidak adanya penyediaan sarana pengawasan penyehatan makanan. − Penyediaan
sarana
perumahan
persyaratan kesehatan.
8
yang
tidak
memenuhi
3. Hal-hal yang menyangkut Sanitasi a.
Ventilasi Situasi perumahan penduduk dapat diamati melalui perumahan yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan. Perumahan yang berpenghuni banyak dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dapat mempermudah dan memungkinkan adanya transisi penyakit dan mempengaruhi keehatan penghuninya. Ventilasi dalam rumah diperlukan untuk mengganti udara ruangan yang terpakai, menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Ventilasi ruangan harus memenuhi syarat: − Luas lubang ventilasi tetap − Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh debu. − Aliran udara jangan menyebabkan orang sakit.
b.
Pencahayaan Pencahayaan yang tidak mencukupi akan menyebabkan kelelahan mata, disamping itu kurangnya pencahayaan akan menyulitkan pemeliharaan kebersihan rumah. Pencahayaannya yang cukup untuk penerangan ruangan di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Pencahayaan dapat diperoleh dari pencahayaan dari sinar matahari. Pencahayaan dari sinar matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela, celahcelah dan bagian rumah yang terkena sinar matahari hendaknya tidak terhalang benda lain. Cahaya matahari ini berguna untuk penerangan, juga dapat mengurangi kelembaban udara, memberantas nyamuk, membunuh kuman penyebab penyakit. pencahayaan dari lampu atau yang lain berguna unuk penerangan suatu ruangan (Suyono, 1985).
c.
Lantai Pada rumah yang berlantai tanah kelembaban lantainya akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang diplester. Lantai tanah tidak bisa dibersihkan seperti halnya pada lantai berplester (pengepelan
9
lantai) dengan menggunakan bahan anti kuman. Sehingga pada lantai tanah kumah akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan lantai plester/ ubin. d.
Dinding Resiko menempati rumah dengan jenis dinding yang tidak memenuhi syarat bukanlah faktor resiko langsung terhadap penyakit, namun berkaitan dengan kelembaban udara. Dinding rumah harus bersih, kering dan kuat. Dinding selain untuk penyangga, juga untuk melindungi dari panas, hujan dan sebaiknya untuk dinding rumah dibuatkan dari batu bata. (Dirjen PPM dan PLP, 1992).
e.
Kepadatan Penghuni Resiko yang ditimbulkan oleh kepadatan penghuni rumah terhadap terjadinya penyakit dimungkinkan karena: − Kualitas udara dalam ruangan buruk − Pemeliharaan ruangan tidak dilaksanakan dengan baik − Jarak antar penghuni rumah lebih dekat. Adapun persyaratan rumah sehat adalah: − Harus memenuhi kebutuhan psichologis − Terhindar dari penyakit menular − Terhindar dari kecelakaan
f.
Penyediaan air bersih Air yang bersih adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan dan dapat diminum apabila sudah masak. Air untuk konsumsi rumah tangga yang didapatkan dari sumbernya harus diolah terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat kesehatan. Menurut Indang Entjan, syarat air minum ditentukan oleh 3 syarat, yaitu:
10
1. Syarat fisik: air itu tidak berwarna, tidak mempunyai rasa, tidak berbau dan jernih. 2. Syarat bakteriologis : air itu harus bebas dari segala bakteri terutama bakteri pathogen. 3. Syarat
kimia:
tidak
mengandung
bahan
kimia
yang
membahayakan kesehatan, misalnya CO2, NH4, H2S dan lainlain. g. Pembuangan kotoran manusia (jamban) Tempat pembuangan kotoran manusia (jamban) merupakan hal yang sangat penting, dan harus selalu bersih, mudah dibersihkan, cukup cahaya dan cukup ventilasi, harus rapat sehingga terjamin rasa aman bagi pemakainya, dan jaraknya cukup jauh dari sumber air. Syarat pembuangan kotoran manusia menurut Ehlers dan Steel dalam Indah Entjan adalah: − Tidak mengotori tanah permukaan − Tidak mengotori air tanah − Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dipergunakan oleh lalat untuk bertelur dan berkembang biak − Kakus harus terlindung dan tertutup h. Pembuangan air limbah atau sampah Air limbah merupakan exereta manusia, air kotor dari dapur, kamar mandi, WC, perusahaan-perusahaan, termasuk pula air kotor permukaan tanah. Pembuangan air limbah yang kurang baik akan menjadi sarang penyakit dan situasi rumah akan menjadi lembab. Pengaturan air limbah perlu dilakukan dengan baik, supaya: − Mencegah pengotoran sumber air rumah tangga − Kebersihan makanan terjaga − Mencegah berkembangnya bibit penyakit − Menghilangkan bau dan pemandangan tidak sedap
11
D. Kerangka Teori ekonomi budaya pendidikan kepadatan penghuni
Higiene Makanan
Konsumsi makanan Sanitasi Lingkungan: - Ventilasi - Pencahayaan - Jenis dinding - Jenis lantai - Kepadatan penduduk - Penyediaan air bersih - Jamban - Pembuangan air limbah/ sampah
Penyakit Infeksi - ISPA - Diare
Sumber : Supariasa, 2001
12
Status Gizi
E. Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan: - Ventilasi - Pencahayaan - Jenis dinding - Jenis lantai - Kepadatan penghuni - Penyediaan air bersih - Jamban - Pembuangan air limbah/ sampah
Status Gizi
Diare
F. Hipotesis -
Ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare pada balita
-
Ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan status gizi balita
13
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional di bidang gizi masyarakat, yang meneliti tentang hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan Diare dan Status Gizi pada balita di Desa Segiri Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.
B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian ini dilakukan di Desa Segiri Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. 2. Waktu Waktu penelitian dimulai dari pembuatan proposal sampai penyusunan karya tulis ilmiah yaitu mulai bulan Januari 2006 sampai bulan Juni 2006 Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2006.
C. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua balita, sebanyak 141 balita. Dan jumlah Sampel sebanyak 76 balita dengan menggunakan rumus (Lemeshow, 1997):
n=
Z12−α / 2 . P(1 − P ).N d 2 ( N − 1) + Z12−α / 2 . P (1 − P )
Keterangan: n
: besar sampel
N
: besar populasi
Z
: Standar deviasi normal (1,64 dengan C1 95%)
P
: Target populasi (0,2)
14
D
: Derajat ketepatan yang digunakan 95%
α
: Tingkat kepercayaan (5%)
Dari proses perhitungan diperoleh sampel sebanyak 76 balita. Sampel dalam penelitian ini adalah semua balita yang terpilih untuk diteliti berdasarkan hasil pengambilan sampel secara systematic random sampling. Pengambilan sampel sistematik adalah suatu metode pengambilan sampel pada unsur pertama saja dari contoh secara acak, sedangkan unsur lainnya dipilih secara sistematik menurut pola tertentu untuk mendapatkan interval, yaitu dengan rumus: K=
N n
Keterangan : K : Kelipatan N : Total Populasi n : Jumlah sampel K : 141 / 76 = 2 Dengan demikian setiap kelipatan dua ditarik sebagai sampel dengan ketentuan pertama diambil secara acak.
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah: 1. Data primer Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden tentang sanitasi lingkungan keluarga, frekuensi diare pada satu bulan terakhir dengan menggunaan kuesioner. Data status gizi dengan pengukuran atropometri berdasarkan indeks berat badan menurut umur. Pengukuran Berat Badan menggunakan timbangan dacin kapasitas 25 kg dengan ketelitian 0,1 kg. Data umur disesuaikan dengan tanggal lahir yang tertera dalam kartu kelahiran dengan bulan penuh.
15
2. Data sekunder Data sekunder berupa data monografi desa yang meliputi keadaan umum desa yang diperoleh dari sekretaris desa setempat. E. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah kedalam bentuk tabulasi, dianalisis, dan diuji dengan Korelasi Spearman. Data status gizi diolah dengan menggunakan Z skor baku WHO-NCHS menggunakan software Nutrisoft, dengan kategori sebagai berikut: -
Gizi lebih
: > 2.0 SD
-
Gizi baik
: - 2.0 SD s/d 2.0 SD
-
Gizi kurang
: < - 2.0 SD
-
Gizi buruk
: < - 3.0 SD
Dan rumus yang digunakan adalah: Z skor =
X−m SB
Keterangan : X : Berat badan hasil penimbangan M : Nilai baku median SD : Nilai simpangan baku Data mengenai sanitasi lingkungan keluarga diperoleh dari kuesioner yang kemudian setiap jawaban diberikan skor satu (1) jika jawaban betul dan nol (0) jika jawaban salah, kemudian di dalam analisis deskriptif dikategorikan sebagai berikut: Baik : > 80% . Cukup : 60% - 80%. Kurang : < 60%. Frekuensi diare diperoleh dari kuesioner yang diisi berdasarkan pertanyaan yang diajukan kepada ibu balita tentang data klinis balita 1 bulan terakhir. Uji kenormalan dengan Uji Kolmogorof Smirnov. Untuk data yang berdistribusi normal diuji dengan Korelasi Person, untuk data yang berdistribusi tidak normal diuji dengan Korelasi Spearman. Dalam pengolahan data menggunakan program SPSS versi 11.0.
16
Hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare menggunakan uji korelasi Spearman, sedangkan hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan status gizi menggunakan uji korelasi Person.
F. Definisi Operasional
1. Status gizi adalah tingkat kesehatan sebagai akibat dari pemasukan semua zat gizi dalam makanan sehari-hari, diukur dengan cara antropometri berdasarkan indeks Berat badan/umur dengan baku WHO-NCHS (skala data interval). 2. Frekuensi diare adalah diare yang dialami balita pada 1 bulan terakhir dengan frekuensi 3 kali atau lebih dengan melihat konsistensinya lembik cair sampai cair dengan atau tanpa darah dan lendir dalam tinja. Dengan cara menanyakan kepada responden berapa kali balita terkena diare selama satu bulan terakhir (skala data rasio). 3. Sanitasi lingkungan keluarga adalah kondisi lingkungan yang ada disekitar makhluk hidup yang meliputi lingkungan fisik, mental dan kesejahteraan sosial, yang diamati dalam penelitian ini dengan indikator lingkungan secara fisik yang terdiri dari ventilasi, pencahayaan, lantai, penyediaan air bersih, jamban, pembuangan air limbah atau sampah, yang masing-masing terdiri dari satu pertanyaan dan siberi skor satu (1) baik, skor nol (0) tidak baik (skala data interval).
17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Desa Segiri
Desa Segiri merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, yang luas wilayahnya adalah 225 Ha. Desa Segiri terdiri dari empat (4) dusun yaitu : Karang Salam, Segiri, Gamolan dan Gombang. Adapun jumlah penduduk Desa Segiri adalah 2.128 jiwa. Adapun batas-batas wilayah Desa Segiri adalah sebagai berikut : sebelah Utara berbatasan dengan Desa Semowo dan Desa Terban, wilayah Selatan berbatasan dengan Desa Sumberejo, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Krandon dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karanggondang.
B. Sanitasi Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam riwayat penyakit, oleh karena itu pengetahuan mengenai segi-segi penyehatan (sanitasi) lingkungan sangat berperan dalam tiap upaya kesehatan baik secara individual maupun secara kelompok dalam masyarakat. Rata-rata skor sanitasi lingkungan keluarga dari 76 ibu balita dalam penelitian ini adalah 5,59 dan diperoleh nilai tertinggi 10 nilai terendah 1,00 dengan Standar Deviasi 2,26. Bila dikelompokkan menurut sanitasi lingkungan baik, cukup, dan kurang maka didapatkan hasil seperti pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa sanitasi lingkungan yang tergolong baik sebanyak 9 keluarga (12%), dan tergolong kurang sebanyak 48 keluarga (63%). TABEL 2 SANITASI LINGKUNGAN Sanitasi Lingkungan Baik Cukup Kurang Jumlah
Jumlah 9 19 48 76
18
Persentase (%) 12 25 63 100
Dari 11 indikator yang digunakan dalam kuesioner sanitasi lingkungan keluarga diketahui bahwa kondisi terburuk terjadi pada indikator pembuangan air limbah rumah tangga. Dari 76 keluarga yang diteliti, terdapat 59 keluarga (77%) yang membuang limbah ketempat yang tidak memenuhi syarat yaitu dipekarangan rumah atau sungai yang menyebabkan kualitas sanitasi lingkungan menjadi rendah. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang dapat menyebabkan berbagai penyakit, terutama penyakit menular antara lain diare dan penyakit infeksi saluran pernafasan. Timbulnya penyakit tersebut dimungkinkan karena sanitasi lingkungan yang kotor, biasanya sebagai tempat sarang hewan perantara penyebab penyakit seperti lalat.
C. Frekuensi Diare
Data mengenai jumlah balita berdasar frekuensi diarenya dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui bahwa terdapat 67 balita (88.2%) yang tidak menderita diare selama satu bulan terakhir, sedangkan balita yang menderita diare 3 kali dalam satu bulan terakhir sebanyak 1 balita (1.3%). Balita menderita diare diduga karena beberapa faktor antara lain karena lingkungan kotor sebagai tempat sarang hewan perantara penyebab penyakit seperti lalat, dimana lalat ini setelah hinggap dilingkungan kotor akan terbang dan hinggap dimakanan sehingga makanan tidak higienis. Selain itu diare juga disebabkan karena adanya infeksi dalam tubuh balita.
TABEL 3 DISTRIBUSI BALITA MENURUT FREKUENSI TERKENA DIARE DALAM SATU BULAN TERAKHIR Diare (Kali) 0 1 2 3 Jumlah
Jumlah 67 6 1 2 76
19
Persentase (%) 88,2 7,9 1,3 2,6 100
D. Status Gizi
Dari data yang diperoleh diketahui bahwa rata-rata status gizi yang diukur dengan perhitungan Z skor dari 76 balita sebesar 0.3291 ± 1.537 dengan nilai Z skor tertinggi 5.1 dan nilai Z skor terendah -3.06. Bila dikelompokkan menurut WHO-NCHS maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 4. TABEL 4 DISTRIBUSI BALITA MENURUT STATUS GIZI Status Gizi Lebih Baik Kurang Buruk Jumlah
Jumlah 8 63 4 1 76
Prosentase 10,5% 82,9% 5,3% 1,3% 100%
Dari Tabel 4 diperoleh data bahwa sebanyak 63 balita (82.9%) status gizi baik. Ditemukan status gizi buruk 1 balita (1.3%), status gizi kurang 4 balita (5.3%) dan status gizi lebih sebanyak 8 balita (10.5%). Terdapatnya status gizi lebih, gizi kurang dan gizi buruk
dimungkinkan karena pola
konsumsi makan yang salah. E. Hubungan Sanitasi Lingkungan Keluarga dengan Frekuensi Diare
Pada diagram tebar diketahui bahwa ada kecenderungan semakin baik sanitasi lingkungan keluarga tidak diikuti dengan semakin rendah balita yang menderita diare. Sedangkan dari hasil uji Korelasi Spearman diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar 0,052 dengan p > 0,05. Hasil dari penelitian ini bertantangan dengan pernyataan yang ditulis oleh Supariasa 2001, bahwa keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit infeksi antara lain diare dan infeksi saluran pernafasan. Hal ini karena faktor penyebab diare tidak hanya sanitasi lingkungan saja, melainkan juga disebabkan oleh faktor makanan, infeksi dan psikis.
20
GAMBAR 1 HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN KELUARGA DENGAN FREKUENSI DIARE 3,5 3,0
2,5 2,0
1,5
Frekuensi Diare
1,0 ,5
0,0 -,5 0
2
4
6
8
10
12
Sanitasi Lingkungan
F. Hubungan Sanitasi Lingkungan Keluarga dengan Status Gizi
GAMBAR 2 HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI BALITA 6
4
2
Status Gizi
0
-2
-4 0
2
4
Sanitasi Lingkungan
21
6
8
10
12
Dari diagram tebar diketahui bahwa semakin baik sanitasi lingkungan keluarga tidak diikuti dengan semakin baiknya status gizi. Dari hasil uji korelasi Pearson diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara sanitasi lingkungan keluarga dengan status gizi yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar 0,004 dengan p > 0,05. Hal ini dikarenakan status gizi selain dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan, juga dipengaruhi oleh beberapa fakor antara lain penyakit infeksi dan konsumsi makanan. Dalam keadaan gizi yang baik tubuh dapat mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi dan sebaliknya gangguan gizi dapat memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi. Jika konsumsi makan kurang akan mempermudah timbulnya
penyakit
yang
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
mengakibatkan status gizi menurun. Anak yang menderita kurang gizi akan mudah terkena infeksi khususnya diare dan penyakit saluran pernafasan. Masing-masing faktor tersebut akan memperburuk keadaan.
22
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Sanitasi lingkungan pada keluarga balita sebanyak 63% tergolong kurang. 2. Balita yang terkena frekuensi diare 1 kali 7,9%. 3. Balita dengan status gizi kurang 5,3% dan balita dengan status gizi buruk 1,3%. 4. Tidak ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare pada balita. 5. Tidak ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan status gizi balita. B. Saran 1. Perlu adanya peningkatan sanitasi lingkungan dengan cara penyuluhan kepada ibu balita. 2. Terhadap balita gizi buruk, perlu ada tindak lanjut dari puskesmas dengan cara pendataan dan penyuluhan kepada ibu balita, serta perawatan dan pemberian makanan tambahan kepada penderita gizi buruk
23