Kajian Utama
Evaluasi Ekonomi Tengah Tahun 2011:
Beberapa Catatan Penting Didik J. Rachbini
Monentum pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam kondisi yang menguntungkan. Sayangnya perekonomian tidak dikelola secara baik sehingga tidak mampu meraih pertumbuhan secara optimal. Salah satu kendala utamanya adalah tiadanya dirigen yang mampu mengarahkan dan meramu berbagai potensi yang ada tersebut sebagia akibat lemahnya kepemimpinan nasional kita sekarang ini.
Kebijakan Anggaran
K
arena ekonomi tumbuh dan dunia usaha cukup dinamis serta momentum ekonomi cukup baik, maka penerimaan pajak masyarakat semakin tinggi dan meningkat terus dari tahun ke tahun. Volume APBN juga semakin besar, yang seharusnya semakin memperkuat peranan negara dalam membangun infrastruktur publik. Gabungan investasi pemerintah dan swasta seharusnya dapat mendorong perekonomian bertumbuh lebih maksimal lagi.
Didik J. Rachbini: Dosen Program Magister Manajemen UI dan MPKP UI, anggota DPR RI untuk masa bakti 2004-2009.
Jumlah anggaran pada saat ini sudah mencapai tidak kurang dari 1200 trilyun rupiah. Pada pengesahan APBN-P beberapa waktu yang lalu jumlahnya meningkat lagi untuk menambah subsidi BBM dan listrik, yang kebanyakan tidak tepat sasaran. Dengan politik anggaran yang tidak terkendali ini, maka beban APBN semakin berat
31
Didik J. Rachbini: Evaluasi Ekonomi
dan tidak bisa membangun infrastruktur secara memadai. Karena bebanbeban tersebut, maka APBN menjadi tidak sehat dan kualitas implementasinya rendah sehingga kurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan bawah. Dalam politik anggaran sekarang tidak ada pikiran rasional dan sekaligus tidak ada kepemimpinan yang obyektif untuk membuat anggaran sehat. Politik anggaran dan pasar politik di parlemen seperti pasar loak (market for lemons), bukan kontrak strategis, tetapi transaksi parsial jangka pendek untuk barang tidak bermutu, ditingkahi moral hazard, dan tidak produktif. Di lapangan juga tampak lemah dalam implementasi kebijakan dimana tidak kurang dari 60 trilyun rupiah anggaran tidak daat diimplementasikan olehemerintah daerah. Anggaran yang tersisa juga terjadi dalam jumkah yang besarvdi pusat karena separuh anggaran dihabiskan mendadak dalam 2-3 bulan sebelum tutup buku. Jadi, kualitas politik anggaran dari perencanaan, strategi, dan implementasi tidak berkualitas. Ruang fiskal di anggaran sangat rendah karena beban subsidi yang tidak terarah, beban pembayaran bunga utang, anggaran rutin terikat di pusat dan daerah sangat besar. Hanya tersisa 4-5 persen saja ruang fiskal yang ada sehingga kemampuan 32
pemerintah untuk membangun infrastrutur, membuat program untuk UKM, dan mengentaskan kemiskinan menjadi lemah. Untuk APBN 2011 beban belanja pusat cukup besar sampai Rp. 830 triliun. Tetapi belanja pemerintah pusat ini sudah terikat kepada banyak kementrian dan lembaga, yang berupa anggaran rutin, subsidi dan pembayaran bunga utang. Beban belanja pegawai cukuo berat, yakni sekitar Rp 181 triliun dan belanja barang Rp. l38 trilun. Beban pembayaran bunga utang luar negeri dan dalam negeri mencapai Rp. ll5 triliun, ditambah pembayaran utang pokok luar negeri sekitar Rp40 trilyun. Beban subsidi energi dan non-energi setelah APBNP bertambah besar, sekitar 240 trilyun rupiah. Jadi, semua masalah ini disebabkan karena ketiadaan kepemimpinan dalam politik APBN. APBN dilempar ke pasar bebas politik, dan tercipta cuma pasar loak di parlemen, yang mencabik-cabik pajak rakyat menjadi tidak efisien tersebut.
Masalah Kemiskinan dan Pengangguran Apa yang terjadi pada perekonomian nasional ketika pertumbuhan ekonomi dan pasar berkembang dengan baik, tetapi menyisakan kesenjangan dan masih banyak fenomena kemiskinan di tengah masyarakat?
Jurnal Politika Vol. 7 No. 2 Tahun 2011 Transparansi Pengelolaan Sumberdaya Publik
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Tetapi salah satu jawabannya adalah kondisi dualisme ekonomi masih terus berjalan dan masih belum berhasil dipecahkan selama hampir satu dekade terakhir ini. Pada satu sisi pasar terus berkembang yang menghasilkan ekonomi Indonesia tetap tumbuh di atas moderat, tetapi pada sisi lainnya masih marak terlihat keadaan ekonomi di lapisan bawah, yang berbalut kemiskinan, ekonomi bawah tanah, dan setengah pengangguran. Golongan ini nyaris tanpa kebijakan yang berarti untuk mengubah nasib mereka karena hilang di tengah hiruk pikuk politik elit, yang memikirkan nasibnya sendiri dan golongannya. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijadikan indikator tunggal untuk menyatakan adanya perbaikan kesejahteraan rakyat. Faktanya fenomena kemiskinan tersebut sangat meluas. Dalam catatan pemerintah tidak kurang dari 31 juta orang masih di bawah garis kemiskinan. Tetapi sebenarnya kelompok nyaris miskin juga tidak kalah besar jumlahnya sehingga katagori miskin dalam arti luas termasuk golongan nyaris miskin tersebut sebenarnya mencakup tidak kurang dari 17 juta rumah tangga, yang beberapa tahun sebelumnya terdata sebagai penerima program raskin dan jamkesmas. Itu berarti bahwa kemiskinan berhubungan dengan tidak kurang dari 70 juga warga atau penduduk Indonesia.
Di daerah dan luar Jawa kemiskinan jauh lebih meluas jika tidak hendak dikatakan kolosal - meskipun di Jawa sendiri kemiskinan itu masih meluas. Di Papua, NTT, Maluku dan daerah timur lainnya kemiskinan mencakup tidak kurang dari 30-40 persen penduduknya. Jika katagori nyaris miskin dimasukkan maka persentase golongan miskin tersebut meningkat lebih besar lagi. Namun demikian, kemiskinan tidak hanya monopoli daerah luar Jawa. Misalnya di Jawa bagian selatan yang miskin infrastruktur, kemiskinan masuk dalam katagori tinggi. Di kawasan ini sangat miskin infrastruktur sehingga akses ekonomi dan perdagangan masih sulit. Kemiskinan berasosiasi sangat erat dengan tingkat pengangguran. Kemiskinan dan pengangguran bagaikan dua sisi pada satu mata uang, dimana ada kemiskinan di situ ada pengangguran. Indikasi kemiskinan yang meluas tidak dapat disembunyikan di balik angka pertumbuhan ekonomi, karena indikator penguatnya seperti pengangguran mengindikasikan betapa luasnya kemiskinan tersebut. Sebagai catatan, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang sebenarnya sudah kalah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN lainnya. Tingkat pengangguran terbuka dinyatakan oleh pemerintah semakin menurun sampai mendekati 7 persen. Tetapi secara relatif dibandingkan 33
Didik J. Rachbini: Evaluasi Ekonomi
dengan negara-negara ASEAN lainnya, tingkat pengangguran ini termasuk paling tinggi diantara negaranegara ASEAN. Jadi tidak aneh kalau banyak kritik bahwa pertumbuhan tersebut tidak berkualitas karena tidak secara signifikan dapat mengurangi tingkat pengangguran.
ra ini menjadi sumber ketidakpastian. Masalah ini mutlak harus diselesaikan oleh pemerintah dengan cara menyelesaikan RUU pengadaan lahan dan dukungan aturan yang dapat mengurangi sumber ketidakpastian dari kebijakan pembangunan infastruktur ini. Pemerintah juga perlu.
Tingkat pengangguran terbuka memang turun, tetapi jumlah penurunan tersebut juga tidak nyata karena hanya bergeser menjadi setengah pengangguran di sektor informal. Jadi, pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas hanya menggeser tenaga kerja dari katagori menganggur penuh menjadi tenaga kerja yang menganggur separuh. Itulah yang terjadi pada perekonomian Indonesia pada saat ini.
Infrastruktur
Pekerjaan rumah yang besar adalah bagaimana Mingkatkan kesejahteraan rakyat. Masih banyak yang tertinggal masuk ke dalam kelompok penduduk miskin, yang jumlahnya mencapai 31 juta jiwa atau berkisar 13,3 persen dari total penduduk (2010). Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka mencapai 7,41 persen dari total penduduk. Pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan yang lebih berkualitas untuk menciptakan lapangan kerja seluasluasnya bagi masyarakat, bukan bantuan langsung yang konsumtif. Pemerintah memiliki keterbatasan untuk menciptakan lapangan kerja secara langsung karena keterbatasan untuk melakukan investasi publik. Oleh karena itu sektor swasta harus tumbuh untuk dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak lagi.
Pembangunan infrastuktur pada saat ini berhadapan dengan kealpaan peranan negara dan pemerintah sehingga potensi yang ada tidak berkembang. Yang paling mendasar adalah kepastian dalam pengadaan lahan, yang sering menjadi kendala dan menyandera pembangunan infrastruktur sehingga faktor peranan nega-
Dalam kaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, maka golongan mayoritas rakyat harus mendapakan akses yang mudah terhadap infrastruktur dan pembiayaannya. Dalam rangka mengoptimalkan pembiayaan infrastruktur dan energi, maka optimalisasi peran langsung pemerintah dalam pembiayaan penyediaan dan
Buktinya sangat jelas seperti terlihat pada tingkat pengangguran terselubung juga semakin meningkat jumlahnya. Di sektor formal seperti industri pekerjanya terlempar ke sektor informal atau menganggur sama sekali.
34
Jurnal Politika Vol. 7 No. 2 Tahun 2011 Transparansi Pengelolaan Sumberdaya Publik
peningkatan kualitas infrastruktur dan energi merupakan isu penting sekaligus agenda mendesak untuk diselesaikan. Dalam konteks ini beberapa hal yang mutlak untuk dilaksanakan adalah: i) peningkatan penyerapan anggaran pemerintah khususnya untuk belanja modal, memotong pemborosan belanja K/L dan daerah yang tidak efisien; ii) peningkatan efisiensi dan efektifitas pembangunan infrastruktur dan energi tidak saja tepat sasaran tetapi juga tepat waktu dan tepat guna; iii) peningkatan intensitas dan kualitas koordinasi serta sinkronisasi kebijakan dan peraturan pemerintah - baik lintas instansi, lintas sektor maupun lintas daerah secara vertikal maupun horizontal; iv) Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pembiayaan infrastruktur dan energi.
Kebijakan Energi Masalah energi ini perlu mendapat perhatian serius, terutama energi alternatif setelah ekonimi global mengalami krisis hebat. Kebijakan energi nasional sudah didengungkan pemerintah sejak tahun 2005 terutama arah kebijakan penghemetan, energi alternatif, dan mengurangi subsidi. Tetapi sampai saat ini atau sampai 6 tahun kebijakan tersebut diumumkan ternyata tidak ada wujud kongkrit kecuali hanya wacana saja. Kebijakan energi ini juga mendapat perhatian ISEI dalam sidang ple-
nondinPekanbaru beberapa waktu yang lalu. Rekomendasi diberikan agar ada strategi kongkrit untuk kebijakan energi ini. Strategi kebijakan energi ke depan adalah transformasi dari energi fosil minyak bumi ke energi batu bara dan gas alam, untuk kemudian mengarah pada energi terbarukan, seperti biomass, biofuel, tenaga angin dan matahari. Di kawasan pedesaan dapat dikembangkan listrik berbasis hydro-power. Pemerintah juga perlu pengembangan dan pembiayaan infrastruktur dan energi yang ramah lingkungan (green finance) termasuk di dalam green loan dan green guarantee fund. Untuk itu diperlukan pendekatan holistik dalam pembangunan infrastruktur yang berbasiskan kepada green infrastructure dan green energy. Dalam masalah kelembagaan Indonesia memiliki Pertamina yang berpengalaman, tetapi peranannya dikerdilkan. Peranan Pertamina ke depan perlu ditingkatkan secara kelembagaan, secara korporasi, dan memimpin holding BUMN energi.
Kebijakan Industri Kondisi makro perekonomian cukup baik sehingga memberi peluang pertumbuhan ekonomi, meskipun peranan pemerintah sangat tidak memadai. Pada sisi mikro dari perekonomian tersebut memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dan terus merosot terutama pada sektor industri, yang kontribusinya 35
Didik J. Rachbini: Evaluasi Ekonomi
terbesar di dalam perekonomian. Sektor industri dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Pada era 1980-an dan 1990-an, sektor industri menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan sampai dua digit. Sektor ini bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga karena bersaing di pasar global. Pertumbuhan ekspor juga ditopang sektor industri ini sehingga bertumbuh dua digit pula. Tetapi pada era 2000-an, pertumbuhan sektor ini mengalami penurunan secara drastis. Sektor industri pangsanya mengalami penurunan dini sehingga peranannya sebagai lokomotif ekonomi menurun. Investasi di sektor ini tidak pernah bisa mencapai rekor seperti pernah terjadi pada awal 1990-an. Jadi, kondisi makro pertumbuhan ekonomi sekarang banyak didorong konsumsi dan bonus penduduk, yang besar jumlahnya dan rata-rata dalam usia sangat produktif. Pencapaian kondisi makro nilai tukar, harga saham, inflasi, dan lainnya lebih merupakan refleksi kondisi lingkungan eksternal di sekitarnya. Perkembangan dan kebijakan atas nilai tukar bukan wilayah kebijakan pemerintah, melainkan otoritas BI. Kondisinya relatif stabil karena disumpal dana asing. Hal ini bersifat sementara jika tidak ada pilar produktif dalam ekspor dan investasi yang ma36
suk secara signifikan. Tidak hanya itu, dana asing yang masuk juga sangat membahayakan karena akan membuat shocked perekonomian jika ditarik keluar karena faktor-faktor sentimen ekonomi maupun bukan ekonomi. Lagi-lagi, perkembangan ISHG yang mencapai 3.200 di kalangan pelaku pasar dianggap sebagai kinerja sangat positif. Tetapi bagi sektor riil mikro, perkembangan tersebut tidak punya banyak makna karena cuma menampung aliran dana asing yang kebingungan di luar lalu masuk ke Indonesia untuk menenggak keuntungan. Jadi, perkembangan makro ekonomi dan kondisi mikro merupakan satu hal yang berbeda, meskipun keduanya saling terkait. Kondisi mikro sebenarnya bisa berkembang lebih baik lagi pada kondisi sekarang ini. Namun, kenyataannya malah mengalami stagnasi, seperti terlihat pada robohnya banyak kegiatan industri. Robohnya industri dan pertumbuhan sektor ini yang melorot terus sekaligus merupakan indikasi hadirnya gejala deindustrialisasi di Indonesia. Puncak pertumbuhan sektor industri terjadi pada era 1980-an dan 1990-an. Tetapi pada era 2000-an sampai saat ini, pertumbuhannya terus merosot sampai jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, bagi negara dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia, perkembangan sektor industri yang
Jurnal Politika Vol. 7 No. 2 Tahun 2011 Transparansi Pengelolaan Sumberdaya Publik
produktif sangat diperlukan, terutama untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Jika industri gagal dikembangkan, dampak pertama yang dirasakan akan terlihat pada masalah pengangguran. Sampah produk Cina yang masuk ke Indonesia memukul banyak industri kita, nyaris tanpa peran pemerintah yang signifikan dalam melindungi industri dalam negeri. Pemerintah melakukan pembiaran terhadap robohnya industri di dalam negeri di saat semakin banyak industriawan yang beralih profesi menjadi tukang jahit. Lebih fatal lagi, berubah profesi menjadi sekedar berdagang mendistribusikan produk impor. Pada 2004, sektor industri masih tumbuh 7,2%, sudah lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sektor ini pada dekade sebelumnya. Pada 2005-2007, sektor industri turun menjadi 5,9%, 5,3%, dan 5,1%. Bahkan diperkirakan, pada 2008 dan 2009 lebih menurun drastis di bawah 4%. Rata-rata pertumbuhan sektor industri sejak 2005 sampai 2009 sangat rendah, yakni hanya sekitar 3,76%. Pada kuartal pertama tahun 2010, juga tumbuh rendah sekitar 3,6%, yang menandakan robohnya industri nasional bersamaan dengan runtuhnya industri rakyat. Sayangnya, pemerintah tidak awas terhadap perkembangan ini dan tidak melakukan tindakan yang signifikan
untuk mencegahnya. Pemerintah sibuk membantah kritik para ekonom bahwa gejala deindustrialisasi sebenarnya tidak ada dan tidak terjadi.
Kebijakan Pangan Pangan adalah pertaruhan setiap regim dan kebijakan dasarnya sudah dimulai sejah emoat dekade yang lalu, sekitar tahun 1970-an. Indonesia setelah menjalankan kebijakan pangan lebih 10 tahun, maka telah dicapai swasembada pangan, yang berati satu tahap kebutuhan dasar masyarakat berhasil diselesaikan. Tetapi masalah pangan pada saat ini menjadi sensitif kembali dan sekaligus rentan karena stok Bulog selalu rendah sehingga sulit memenuhi kebutuhan permintaan pada saat panen rendah atau tidak panen sama sekali. Sebanarnya, Indonesia telah mempunyai fondasi yang cukup kuat dalam sistem dan kebijakan pangan, utamanya beras. Pada sisi suplai pangan, sebenarnya sistem pertanian padi di Indonesia sudah ada fondasinya dan cukup memadai sejak tiga dekade lalu. Pemerintah Orde Baru sudah memulainya dengan kebijakan sistematis melalui Bimas, yang diberlakukan terintegrasi secara nasional. Fondasi pertama adalah pembangunan pabrik pupuk untuk mendukung sistem pertanian beras. Pabrik pupuk dibangun akhir tahun 1960-an di Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Aceh. Program
37
Didik J. Rachbini: Evaluasi Ekonomi
Bimas tidak hanya mengandalkan produksi dan distribusi pupuk, tetapi juga distribusi benih unggul yang deras muncul bersamaan dengan Revolusi Hijau tahun 1970-an dan 1980an. Tugas pemerintah waktu itu mengenalkan benih unggul dan cara bertani yang lebih modern agar produksi meningkat. Kementerian Pertanian dalam kebijakan dan program Bimas dikerahkan juga untuk membangun kultur petani pedesaan menjadi modern dan melek teknologi benih. Para penyuluh lapangan hadir di berbagai pelosok Tanah Air untuk mendidik petani pedesaan yang awam teknologi. Lambat laun, petani pedesaan bisa mempraktikkan teknologi modern sehingga produktivitasnya meningkat meskipun pemilikan tanah tidak bertambah.
berjasa dalam mengenalkan program Bimas. Jadi, pemerintah sekarang tidak perlu keluar, tetapi belajar pada sejarah kebijakan ini. Kebijakan pangan merupakan pilihan yang tepat sejak awal tahun 1970-an ketika pemerintah menghadapi kondisi kemiskinan, keterbelakangan, dan kesejahteraan rakyat yang rendah. Pemerintah pada waktu itu mengambil strategi fokus yang jelas, yakni mengatasi masalah pangan lebih dahulu dengan jargon pembangunan sehingga pada dekade berikutnya Presiden Soeharto disebut Bapak Pembangunan.
Pembangunan infrastruktur juga sangat agresif sehingga perluasan lahan sawah beririgasi bertumbuh pesat, baik yang dapat ditanami sekali maupun dua kali. Kementerian Pekerjaan Umum diserahi tugas untuk membangun infrastruktur yang mendukung usaha mencapai swasembada pangan nasional.
Jadi, kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan adalah taruhan pemerintah ketika itu. Saya pernah mendengar ceramah Prof Dr Emil Salim (sekarang Ketua Dewan Pertimbangan Presiden) bahwa di Gunung Kidul pada tahun 1970-an banyak tengkorak berjalan. Gambaran itu menunjukkan bahwa rakyat kurang pangan dan gizi sehingga kurus kerontang. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali pemerintah memulai pembangunan dengan menyelesaikan masalah pangan rakyat terlebih dahulu.
Hasilnya tidak mengecewakan. Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang sukses mencapai swasembada dengan sistem produksi kecil tradisional atau sering disebut liliput agriculture. Pemilikan ratarata setiap petani hanya 0,3 hektar. Selain pemerintah, IPB juga sangat
Kebijakan ketahanan pangan ini kemudian sukses setelah berjuang dua dekade ketika FAO menyerahkan penghargaan kepada Pemerintah Indonesia, yang awalnya banyak mengimpor beras kemudian menjadi swasembada. Jadi, bangsa Indonesia telah memiliki pengalaman sangat
38
Jurnal Politika Vol. 7 No. 2 Tahun 2011 Transparansi Pengelolaan Sumberdaya Publik
berarti dalam kebijakan pembangunan pangan terutama beras. Akan tetapi, kebijakan yang sistematis seperti itu tidak ada lagi sekarang sehingga semuanya seperti dibiarkan begitu saja. Tidak ada paket program seperti Bimas yang komprehensif dan bisa diukur tingkat
keberhasilannya. Ada sedikit program, tapi sekadar subsidi pupuk untuk meringankan petani. Itu pun hanya merupakan rembukan instan antara pemerintah dan Komisi V DPR yang kepastian keberlanjutannya tidak jelas.*
39