Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
KARAKTERISTIK PETERNAK SAPI POTONG DI LOKASI FEATI DESA KRINJING, KECAMATAN DUKUN, KABUPATEN MAGELANG Dian Maharso Yuwono, Subiharta, dan Ulin Nuschati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRACT Characteristics Of Livestock Cattle In Feati Location (Krinjing Village, Dukun Sub-District, Magelang District). The beef cattle is a dominant commodity for learning activity in Magelang Farmer Managed Extension Activities (FMA). AIAT Central Java has a mandate to assist the technology aspect. Basic study was necessary to do to determine the technology and socio-economic arrangement that will be implemented. This study was done in Krinjing village, Dukun Sub-district, Magelang District. The study was done to investigate the characteristics of farmer candidate of field laboratory executor. Method that use was survey. These surveys was to find out general performance of the village that related with beef cattle business, respondent conditions, population, land and beef cattle tenure, beef cattle farming, marketing, capital, and institutional. 16 respondents were interviewed using a questionnaire as a candidate and as others key informant. The survey results showed that the highest level of beef cattle tenure is 6 cows and mostly two cows. The dominant type of cow is Simmental crossing. In the feed aspect, support by a lot supply of forage feed and adequate feed is cassava. Cassava is a potential local resources, its productivity still can be improved through the introduction of improved varieties and cultivation technologies. The feed technology required the cassava-based formulation that fulfill the requirements for cattle growth with cheap price. During 2010 farmer faced with decreased of beef cattle price. To solve the problem in Magelang district has formed the Beef Cattle Association. This association willing to buy cattle based on body weight or carcasses. The capital of beef cattle farming mostly from own farmer capital or from sharing capital. In 2008 some farmers has received KPPE credit. Institutional of beef cattle farming has run well, indicated by ability of farmer group member to consolidate the activity and the rules that obeyed by the members. Key words: characteristics, beef cattle, FEATI
PENDAHULUAN Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau Farmer Empowerment Through Agricultural Technology and Information (FEATI) dalam implementasinya mengfasilitasi kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani atau Farmer Managed Extention Activities (FMA). Topik kegiatan pembelajaran oleh FMA ditekankan pada adanya permintaan pasar. Pada pelaksanaan FEATI di Kabupaten Magelang, kegiatan pembelajaran agribisnis sapi potong oleh FMA termasuk yang dominan, dimana BPTP Jawa Tengah mendapat mandat untuk melaksanakan pendampingan dari aspek teknologinya baik melalui pelatihan maupun percontohan. Peluang untuk berkembangnya agribisnis sapi potong masih besar, diindikasikan dengan adanya kesenjangan yang lebar antara produksi dengan permintaan pasar.
Darmawan (2009) menyatakan bahwa kemampuan sapi lokal untuk mensuplai kebutuhan daging hanya 70 % sisanya dipenuhi dari impor. Secara umum, apabila dilihat lebih jauh tentang kinerja sapi potong di Jawa Tengah berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah (2008), selama kurun 5 tahun belakangan ini tidak ada keseimbangan antara jumlah pemotongan dengan kenaikan populasi. Kenaikan populasi sapi potong rata – rata 1,30 %, akan tetapi jumlah pemotongan jauh lebih tinggi mencapai 4,56 % atau ada selisih 3,26 %. Untuk itu, pemerintah telah mencanangkan kebijakan dan program yang terkait dengan Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2014. Lingkup kegiatan PSDS-2014 menyangkut semua kegiatan bidang peternakan bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi potong dan penyediaan daging (perbaikan mutu genetik, pakan, efisiensi reproduksi, dan kelembagaan).
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
653
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
Sebagaimana pada Program FEATI, pada PSDS-2014 BPTP Jawa Tengah mendapat mandat untuk melakukan pendampingan teknologi. Salah satu yang dilaksanakan oleh BPTP Jawa Tengah diantaranya adalah mengfasilitasi percontohan dalam bentuk Laboratorium Lapang (LL) penggemukan sapi potong di Kabupaten Magelang, dengan pertimbangan kabupaten tersebut merupakan salah satu sentra penggemukan sapi potong di Jawa Tengah. Di samping itu, Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten FEATI. Dengan ditetapkannya Kabupaten Magelang sebagai salah satu lokasi pendampingan, diharapkan kedua program strategis Kementerian Pertanian (PSDS dan FEATI) dapat saling sinergis dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Agar pendampingan teknologi sesuai dengan potensi, kendala, dan permasalahan yang dihadapi petani maka perlu dilakukan studi karakteristik peternak sapi potong di lokasi FEATI dan PSDS di calon lokasi LL.
HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Krinjing yang berada di wilayah Kecamatan Dukun berada pada ketinggian 925 meter di atas permukaan laut (dpl), berpenduduk 2.059 orang, dengan luas wilayah 612,333 ha. Sebagai wilayah yang beragroekosistem lahan kering dataran tinggi, maka sebagian besar wilayah didominasi lahan kering tegalan (295,76 ha) dan hutan lindung (227,5 ha), dalam jumlah kecil terdapat sawah irigasi setengah teknis (35,133 ha). Sebagian besar (86,86 %) masyarakat Desa Krinjing memiliki mata pencaharian pokok sebagai petani. Desa ini merupakan salah satu sentra pengembangan sapi potong di Kabupaten Magelang dengan populasi 837 ekor. Jenis sapi potong yang diusahakan adalah sapi lokal (PO) maupun peranakan (Simmental, Limousine, Brahman). Identitas Petani
METODOLOGI Kajian dilaksanakan pada Juni 2010, di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Penetapan lokasi ini sebagai pengkajian berdasar koordinasi dengan Dinas Peternakan dan Perikanan (Disperikan) dan Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Magelang dan kunjungan lapang di desa tersebut. Desa Krinjing merupakan salah satu sentra pengembangan sapi potong di Kabupaten Magelang, dan sebagai salah satu desa yang melaksanakan kegiatan pembelajaran agribisnis sapi potong yang difasilitasi FEATI. Ruang lingkup kajian meliputi gambaran umum desa yang terkait dengan usaha sapi potong, kondisi responden, baik pada aspek kependudukan, tingkat penguasaan lahan dan sapi potong, aspek budidaya, pemasaran, permodalan, dan kelembagaan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terhadap 16 orang petani contoh (responden) calon pelaksana Laboratorium Lapang (LL), dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Sumber data lainnya adalah informan kunci yang relevan, seperti Unit Pengurus (UP) FMA Desa, pengurus kelompok tani/gapoktan, penyuluh pendamping tingkat kecamatan, data dianalisis secara diskriptif.
654
Tabel 1 menunjukkan identitas petani sapi potong di Desa Krinjing. Sebagian besar responden berada pada usia produktif, yakni 30-60 tahun, hanya sebagian kecil yang tergolong usia lanjut. Apabila mengacu pada Wiriatmadja (1978), responden didominasi oleh pengetrap dini hingga pengetrap akhir, yakni berumur 30-50 tahun. Meskipun dalam kenyataannya tidak selalu berlaku demikian, namun setidaknya faktor umur perlu diperhatian sebagai bahan pertimbangan dalam mengintroduksikan suatu inovasi kepada petani. Pendidikan formal sebagian besar responden adalah SD, selebihnya pendidikannya SMP. Kualitas sumberdaya manusia petani contoh dapat dikatakan masih rendah, karena sebagian besar (75%) memiliki tingkat pendidikan SD atau kurang. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (BPS, 2004) yang mendapatkan bahwa untuk petani di Pulau Jawa yang berpendidikan SD ke bawah sejumlah 54,31%. Salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan petani responden adalah karena tenaga kerja daerah perdesaan yang berpendidikan relatif tinggi lebih terdorong untuk melakukan migrasi, dengan harapan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi di perkotaan lebih besar.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
Tabel 1. Identitas responden LL penggemukan sapi potong di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang No 1 .
2 .
3 .
4 .
5 .
Uraian
Persentase (%)
Komposisi responden menurut kelompok umur 30 – 40 tahun 41 – 50 tahun 51 – 60 tahun >60 tahun Komposisi responden menurut tingkat pendidikan formal SD SMP Komposisi responden menurut pekerjaan utama Petani Petani dan peternak Komposisi responden menurut pekerjaan sampingan Peternak Peternak dan lainnya Lainnya Komposisi responden menurut tanggungan keluarga <= 2 orang 3 orang 4 orang >=5 orang
50,00 25,00 18,75 6,25
75,00 25,00
87,50 12,50
padi, ubi kayu, dan jagung. Penguasaan sapi potong masing-masing peternak paling banyak 6 ekor, adapun yang dominan 2 ekor. Jenis sapi potong yang diusahakan paling banyak adalah Simental (50%), selebihnya sapi lokal (26,67 %) dan Limosin (23,33 %). Bangsa ternak sapi berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi (Aziz, 1993). Status kepemilikan sapi potong di Desa Krinjing antara milik sendiri dan gaduhan dengan persentase yang tidak jauh berbeda. Tabel 2. Tingkat penguasaan lahan pertanian dan sapi poto.ng di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang No . 1.
75,00 12,50 12,50 2. 31,25 37,50 12,50 18,75
Sumber : analisis data primer (2010). Sebagian besar (87,5 %) responden memiliki mata pencaharian utama sebagai petani, sisanya memiliki 2 mata pencaharian utama yakni petani dan peternak. Peternakan sapi potong diandalkan sebagai mata pencaharian sampingan oleh sebagian besar responden. Sebagian besar (75 %) responden menyatakan bahwa usaha sapi potong masih merupakan usaha sampingan. Adapun jumlah tanggungan keluarga responden berkisar 1 - 6 orang, dimana yang dominan memiliki tanggungan keluarga 1-3 orang. Penguasaan Lahan dan Ternak Sapi Potong Tabel 2 menggambarkan tingkat penguasaan lahan dan ternak sapi potong di Desa Krinjing. Umumnya tingkat penguasaan 2 lahan pertanian di bawah 4.000 m , sedangkan yang menguasai lahan di atas itu sebesar 31,25 %. Sebagaimana usahatani di lahan kering dataran tinggi, pola tanam yang diterapkan umumnya tumpangsari dari berbagai jenis sayuran, seperti cabai, tomat, buncis, dan kembang kol. Adapun tanaman pangan dan palawija yang diusahakan adalah
3.
4.
Uraian
Persentase (%)
Tingkat penguasaan lahan pertanian < 2.000 m2 > 2.000 – 3.000 m2 >3.000 – 4.000 m2 > 4.000 m2 Tingkat penguasaan ternak sapi potong 1 ekor 2 ekor 3 ekor 4 ekor 5 ekor 6 ekor Jenis sapi potong Lokal Limousin Simental Status kepemilikan sapi potong Sendiri Gaduhan Lainnya
25,00 18,75 25,00 31,25
12,50 50,00 18,75 6,25 6,25 6,25 26,67 23,33 50,00 43,48 52,17 4,35
Sumber: analisis data primer (2010). Pakan Ternak Pengembangan ternak tidak dapat dilepaskan oleh ketersediaan pakan. Ketersediaan hijauan makanan ternak (HMT) dan cariying capacity yang ada di Desa Krinjing sudah cukup mendukung pengembangan ternak sapi. Hijauan pakan yang diberikan berupa rumput dan limbah tanaman pangan (70 - 90 %) dan rambanan , seperti daun pisang, daun nangka, dan daun sengon, (10 – 30 %). Pemberian hijauan berkisar antara 15-40 kg/ekor dengan ratarata pemberian 29,69 kg/ekor (+ 6,45). Umumnya peternak menanam rumput unggul di sekitar lahan pertanian dengan luas 2 berkisar 100 - 1.000 m /orang. Pada saat
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
655
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
musim kemarau panjang, peternak mencari rumput di lereng Merapi maupun membeli limbah pertanian dari luar desa.
2007).
Seluruh peternak memberikan ubi kayu sebagai pakan penguat dengan jumlah pemberian berkisar 0,5 - 3 kg/ekor/hari, sebagian peternak (56,25 %) menambahkan bekatul dengan jumlah pemberian berkisar 0,5 - 2,5 kg/ekor/hari, terdapat satu orang peternak yang terkadang memberikan konsentrat bikinan pabrik. Pemberian konsentrat dilakukan terutama 3 bulan sebelum ternak dijual. Permasalahan pada aspek pakan adalah kurangnya pengetahuan mengenai susunan pakan yang memenuhi standar kebutuhan ternak. Pemberian pakan penguat ini sangat penting pada penggemukan sapi potong, guna mendapatkan pertambahan bobot badan yang memadai. Menurut Sunarso (2001), dengan hanya mengandalkan rumput lapangan atau limbah pertanian saja terbukti menghasilkan pertambahan bobot badan yang rendah yaitu hanya berkisar 0,2 - 0,3 kg/ekor/hari, angka konversi pakan yang tinggi menjadi tinggi, yang berarti tidak efisien secara ekonomis. Sedang menurut Nuschati (2003), sapi lokal mempunyai kemampuan memberikan pertambahan bobot harian (PBBH) 0,8 kg dengan penambahan pakan konsentrat.
Sebagian besar peternak (87,5 %) dalam budidaya sapi potong hanya mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga, sebagian kecil saja (12,5 %) menggunakan tambahan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja digunakan untuk mencari hijauan pakan maupun perawatan ternak, adapun jumlah tenaga yang terlibat berkisar 1 - 6 orang dengan jumlah waktu yang dicurahkan berkisar 2,5 - 12,5 jam/hari dengan rata-rata 6,94 jam/peternak/hari (+5,54).
Ubi kayu merupakan sumberdaya lokal yang potensial yang ada di Desa Krinjing, karena setiap rumah tangga petani mengusahakannya. Hampir semua bagian tanaman ubi kayu maupun hasil biomas agroindustri ubi kayu antara lain adalah onggok, kulit ubi kayu, ataupun ubi kayu afkir merupakan bahan pakan yang cukup potensial digunakan sebagai sumber energi. Pengujian pakan penguat yang mengandung biomas ubi kayu (berupa tepung ubi kayu afkir) sebesar 50 dan 60% pada sapi jantan lepas sapih mampu menghasilkan PBBH sebesar 0,76 dan 0,81 kg/ekor/hari (Puslitbangnak, 2011). Produktivitas ubi kayu di Desa Krinjing berpeluang besar untuk ditingkatkan, baik melalui introduksi varietas unggul maupun teknologi budidaya, mengingat produktivitas masih rendah, yakni sekitar 20-25 ton/ha. Beberapa varietas unggul ubi kayu, seperti Adira-4, UJ-5, Malang-6 dapat menghasilkan produksi hingga 40 ton (Balitkabi, 2007). Apabila disertai dengan teknologi sistem tanam double row, varietas UJ-5 mampu menghasilkan produksi 50-60 ton/ha (Asnawi,
656
Tenaga Kerja
Kandang dan Pemanfaatan Kotoran Ternak Kandang merupakan sarana penting pada budidaya sapi potong, agar tidak berkeliaran di sembarang tempat, mudah dalam pemberian pakan dan kotorannyapun bisa dimanfaatkan seefisien mungkin (Anonimus, 2010). Sistem perkandangan pada usaha ternak sapi potong meliputi dua tipe yaitu kandang individu dan kandang kelompok/komunal. Kandang individu yang dimaksud adalah kandang yang didirikan di rumah masing masing peternak, sedang kandang kelompok adalah satu kandang dapat menampung beberapa ekor sapi (Rasid dan Hartati, 2007). Kelompok ternak telah mampu mengkonsolidasikan perkandangan ternak, diindikasikan keberadaan kandang kelompok di beberapa lokasi. Meskipun demikian, karena jarak kandang kelompok dengan sebagian rumah penduduk cukup jauh, sehingga peternak responden yang menempatkan ternaknya di kandang kelompok hanya 37,5%, selebihnya ternak dikandangkan di dekat rumah. Kualitas kandang sangat dipengaruhi kondisi perekonomian masing-masing peternak, beberapa peternak telah membangun kandang secara permanen, namun sebagian besar kandang kualitasnya semi permanen. Luas kandang masing-masing peternak berkisar 10 - 140 m2, dengan nilai berkisar 5 30 juta/kandang (Tabel 3). Kotoran merupakan hasil samping budidaya sapi yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Setiap ekor sapi setiap tahunnya dapat menghasilkan sekitar 3,6 ton pupuk kandang (Yuwono, 2003). Kotoran ternak telah dimanfaatkan secara optimal untuk pemupukan, bahkan 56,25 % responden menyatakan kekurangan sehingga harus membeli dari luar desa, dengan harga sekitar
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
Rp. 170.000,-/rit (kurang lebih 2 ton). Umumnya kotoran ternak digunakan untuk pupuk tanpa melalui proses pengomposan. Pemanfaatan yang paling dominan adalah untuk pupuk tanaman palawija, selebihnya untuk pupuk tanaman padi, sayuran, dan tanaman tahunan. Tabel 3. Perkandangan dan pemanfaatan kotoran ternak di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang No I. 1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
II. 2.1.
2.2.
Uraian Perkandangan : Tipe kandang (%) Kandang kelompok Kandang individu Kualitas kandang (%) Permanen Semi permanen Luas kandang (m2) Kisaran Rata-rata Nilai kandang (Rp.) Kisaran Rata-rata Pemanfaatan kotoran ternak Penggunaan (%) Padi Palawija Tahunan Sayuran Kecukupan untuk pupuk (%) Cukup Kurang
Keterangan
37,50 67,50 25,00 75,00 10-140 42,90 + 42,46 5-30 16,27+11,98
11,11 66,67 5,56 16,67 43,75 56,25
Sumber: analisis data primer (2010). Pemasaran Ternak Aspek pemasaran ternak sapi potong di Desa Krinjing seperti terlihat pada Tabel 4. Peternak dalam budidaya sapi potong belum sepenuhnya berorientasi ekonomi, hal ini terlihat bahwa sebagian besar peternak (60 %) menjual ternaknya pada saat membutuhkan uang, sedangkan peternak yang menjual ternaknya perdasarkan perhitungan finansial usahanya persentasenya hanya 25 %. Pembeli ternak hasil penggemukan sebagian besar (75 %) pedagang sapi (blantik) yang beroperasi di desa, dalam jumlah kecil peternak menjual kepada blantik di pasar hewan, pembeli lainnya adalah peternak lainnya. Lokasi penjualan hampir seluruhnyar (93,75 %) dilakukan di rumah peternak yang bersangkutan. Adapun penetapan harga jual sebagian besar (61,90 %) ditetapkan berdasarkan tawar menawar penjual dengan pembeli, selebihnya responden menyatakan
harga jual ditetapkan peternak ataupun blantik, maupun mengikuti harga pasar yang berlaku. Sebagian besar (56,25 %) petani menyatakan mengalami permasalahan dalam pemasaran sapi potong hasil penggemukan, terutama dikarenakan pada tahun 2010 adanya penurunan harga sapi potong hidup, selain itu harga jual sapi oleh pedagang (blantik) ditetapkan berdasarkan kondisi/ukuran sapi pada saat dijual tanpa ditimbang terlebih dahulu (jogrog). Penurunan harga sapi hidup ini menjadi permasalahan nasional, karena harga daging sapi di pasaran justru menunjukkan kecendurungan meningkat. Dalam kondisi seperti ini jagal mempunyai posisi yang strategis dalam perdagangan sapi dan memetik keuntungan dari harga sapi potong yang tidak menentu ini, karena jagal prinsipnya membeli murah menjual dengan harga setinggi-tingginya. Terkait dengan permasalahan tersebut, di Kabupaten Magelang telah dibentuk Asosiasi Sapi Potong Kabupaten Magelang yang tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan petani sapi. Beberapa hal yang ditangani asosiasi adalah apabila peternak tidak puas dengan harga apabila menjual di pedagang yang beroperasi di desa, maka asosiasi bersedia membeli ternak sapi dengan harga berdasarkan hasil penimbangan bobot badan. Selain itu asosiasi juga menerima penjualan dalam bentuk karkas, untuk itu transaksi jualbeli dilaksanakan di Rumah Potong Hewan (RPH) (komunikasi langsung dengan Asosiasi Sapi Potong Kabupaten Magelang, 2010). Pada aspek pemasaran ini dapat diinisiasi pola kemitraan seperti yang diterapkan di Provinsi Gorontalo, dimana kelompok tani bermitra dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dipantau secara intensif oleh seluruh jajaran pemerintahan dari provinsi hingga desa dalam bentuk penyediaan kebijakan yang mengatur proses kemitraan (Iwan dan Wahyuning, 2010). Peternak selama ini masih belum terlepas dari penjualan ternak dengan cara jogrog. Penjualan dengan cara ini cenderung merugikan karena dasar penilaian harganya ditentukan secara sepihak oleh blantik. Sebetulnya di 2 pasar hewan yang terdapat di Kabupaten Magelang, yakni di Pasar Hewan Grabag dan Muntilan telah difasilitasi timbangan, namun blantik tidak mau menggunakan. Untuk itu ke depan perlu ada semacam revitalisasi pasar hewan, diantaranya dengan adanya suatu keharusan
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
657
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
dengan menggunakan timbangan pada proses jual beli. Apabila peternak menjual ke RPH akan dihadapkan pada penimbangan karkas yang merugikan. Pada proses penimbangan, karkas dibagi menjadi 4 bagian, masingmasing ditimbang tersendiri, dalam kenyataannya tiap penimbangan kurang sekitar 4 - 5 kg apabila dibanding berat sesungguhnya, sehingga tiap 1 ekor selisihnya dapat mencapai 16 - 20 kg. Akibatnya, karkas yang seharusnya karkas mencapai 50 %, kenyataannya hanya mencapai 40 %(komunikasi langsung dengan Asosiasi Sapi Potong Kabupaten Magelang, 2010). Untuk itu RPH agar difasilitasi timbangan elektronik yang akurat. Tabel 4. Pemasaran sapi potong di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang No 1.
2.
3.
4.
5.
Uraian Saat menjual Menunggu harga mahal Saat membutuhkan uang Alasan lainnya Pembeli Blantik Lainnya Lokasi penjualan ternak sapi Di pasar hewan Di rumah peternak Penentuan harga jual Ditetapkan pembeli Ditetapkan peternak Tawar menawar Mengikuti harga pasar yang berlaku Permasalahan dalam pemasaran Ada Tidak berpendapat Tidak ada
Persentase (%) 25,00 60,00 15,00
Tabel 5. Permodalan dan kelembagaan usaha sapi potong di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang No I.
75,00 25,00 6,25 93,75 4,76 19,05 61,90 14,29
II. 2.1
2.2
2.3 56,25 6,25 37,50
Sumber : analisis data primer, 2010 Permodalan dan Kelembagaan Aspek yang menyangkut permodalan dan kelembagaan sapi potong di Desa Krinjing sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Permodalan untuk usaha sapi potong umumnya dari modal sendiri dan gaduhan dari perorangan, perguliran ternak pemerintah, maupun kredit terkait dengan pengembangan sapi potong. Gaduhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sistem bagi hasil dalam usaha pertanian atau pertanian. Pada gaduhan terdapat penggaduh, yakni fihak yang mengerjakan kegiatan pertanian dengan sistem bagi hasil, serta yang menggaduhkan, yakni fihak yang menyerahkan usaha pertanian kepada fihak
658
lain dengan sistem bagi hasil. Prasetyo (2004) melaporkan, setidaknya terdapat tujuh model yang diterapkan untuk mendukung kebijaksanaan tersebut. Contoh pola gaduhan sapi betina seperti yang diterapkan Kabupaten Blora dengan sistem pembagian keuntungan maro bati, dimana penggaduh mempunyai hak memperoleh setengah dari nilai anak, kotoran ternak, dan uang jasa apabila ternak dipekerjakan untuk pengolahan tanah, sedangkan kewajibannya adalah menanggung biaya pemeliharaan (Yuwono et al., 2004). Pola gaduhan yang diterapkan di Desa Krinjing bervariasi, tergantung antar pelaku gaduhan. Pola pembagian keuntungan antara yang menggaduhkan dengan penggaduh berkisar 50:50; 40:60; 65:35.
2.4
Uraian Asal modal untuk penggemukan sapi potong Sendiri Gaduhan Lainnya Kelembagaan Aturan yang mengikat anggota Ada Tidak ada Penetapan aturan Pengurus Anggota Pengurus dan anggota Kemanfaatan aturan Bermanfaat Kurang bermanfaat Tidak bermanfaat Kepatuhan terhadap aturan kelompok Selalu dipatuhi Kadang dipatuhi Tidak dipatuhi
Persentase (%)
43,48 52,17 4,35
100,00 0,00 0,00 0,00 100,00 100,00 0,00 0,00
100,00 0,00 0,00
Sumber : analisis data primer (2010). Sedangkan pola gaduhan khususnya ternak pemerintah, adalah pola penyebaran ternak, baik bibit atau kereman, kepada peternak penggaduh yang pengembaliannya berupa ternak dengan sistem bergulir sesuai dengan ketentuan (Keputusan Gubernur Jawa Tengah, 2002). Adapun perguliran ternak kelompok berasal dari dana IDT tahun 1996 yang masih bertahan hingga sekarang. Pada saat itu kelompok memperoleh bantuan sapi betina 4 ekor, untuk digulirkan diantara anggota dengan pola pembagian keuntungan
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
(nilai anak) dua pertiga untuk penggaduh dan sepertiga untuk kas kelompok. Sampai saat ini dana yang terkumpul pada kas kelompok mampu untuk membiayai dana sosial, pembangunan jalan, dan kebutuhan dusun. Beberapa anggota kelompok ternak yang ada di Desa Krinjing tahun 2008, 2009, dan 2010 mendapat Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang disalurkan melalui Bank Pelaksana BRI dengan bunga 6 %/tahun. Besarnya KKPE untuk tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah 5 juta, 7 juta, dan 8,5 juta/peternak. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) adalah kredit investasi dan atau modal kerja yang diberikan oleh Bank Pelaksana kepada petani/peternak melalui kelompok tani atau koperasi, tujuannya meningkatkan ketahanan pangan nasional dan mendukung program pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati,dan membantu petani/peternak di bidang permodalan untuk dapat menerapkan teknologi rekomendasi sehingga produktivitas dan pendapatan petani menjadi lebih baik (Pusat Pembiayaan Pertanian, 2009). Tingkat bunga KKP-E ditinjau dan ditetapkan kembali setiap 6 (enam) bulan pada tanggal 1 April dan 1 Oktober berdasarkan kesepakatan bersama antara Pemerintah dan Bank Pelaksana (Anonimous, 2007).
diterapkan umumnya tumpangsari dari berbagai jenis sayuran, seperti cabe, tomat, buncis, dan kembang kol. Tingkat penguasaan sapi potong masing-masing peternak paling banyak 6 ekor, adapun yang dominan 2 ekor, sedangkan jenis sapi yang dominan adalah peranakan Simental. Kelompok ternak telah mampu mengkonsolidasikan perkandangan ternak, diindikasikan keberadaan kandang kelompok di beberapa lokasi. Beberapa peternak menempatkan sapinya di kandang kelompok.
Pada aspek pakan, budidaya sapi potong di Desa Krinjing ditunjang ketersediaaan hijauan makanan ternak yang cukup, meskipun pada saat kemarau panjang petani harus mencari di areal hutan yang ada di wilayah desa. Permasalahan pada aspek pakan adalah kurangnya pengetahuan mengenai susunan pakan yang memenuhi standar kebutuhan ternak. Sebagai pakan penguat, umumnya peternak hanya memberikan ubi kayu dengan jumlah pemberian berkisar 0,5-3 kg/ekor/hari. Ubi kayu merupakan sumberdaya lokal yang potensial yang ada di Desa Krinjing, karena setiap rumah tangga petani mengusahakannya. Produktivitas ubi kayu di Desa Krinjing berpeluang besar untuk ditingkatkan guna mendukung ketersediaan, baik melalui introduksi varietas unggul maupun teknologi budidaya, mengingat varietas yang digunakan adalah varietas lokal dengan produktivitas yang rendah, yakni sekitar 20 - 25 t/ha. Berdasarkan potensi dan permasalahan tersebut, maka pada aspek pakan, teknologi yang dibutuhkan adalah formulasi pakan yang berbasis ubi kayu untuk mendapatkan formulasi pakan yang memenuhi syarat bagi pertumbuhan ternak sapi dengan harganya murah.
Sebagian besar petani menyatakan mengalami permasalahan dalam pemasaran sapi potong hasil penggemukan, terutama dikarenakan adanya penurunan harga sapi potong hidup sepanjang tahun 2010, selain itu harga jual sapi oleh blantik ditetapkan secara jogrog. Untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut di Kabupaten Magelang telah dibentuk Asosiasi Sapi Potong Kabupaten Magelang, yang bersedia membeli ternak sapi dengan harga berdasarkan hasil
Kelembagaan yang terkait dengan budidaya sapi potong di Desa Krinjing dapat dikatakan telah berjalan dengan baik. Hal ini didasarkan beberapa hal, yakni : a) pertemuan kelompok (selapanan) rutin dilaksanakan dengan kehadiran rata-rata di atas 90 %; b) terdapat beberapa aturan yang mengikat pengurus dan anggota; c) aturanaturan kelompok ditetapkan atas kesepakatan antara pengurus dengan anggota kelompok, dan ; d) aturan tersebut bermanfaat sehingga selalu dipatuhi anggota. KESIMPULAN DAN SARAN
Desa Krinjing, Kecamatan Dukun berada pada ketinggian 925 meter di atas permukaan laut (dpl), merupakan salah satu sentra penggemukan sapi potong di Kabupaten Magelang dan merupakan salah satu desa yang difasilitasi FEATI untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran agribisnis sapi potong. Umumnya tingkat penguasaan lahan pertanian di bawah 4.000 m2. Sebagaimana usahatani di lahan kering dataran tinggi, pola tanam yang
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
659
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
penimbangan bobot badan. Selain itu asosiasi juga menerima penjualan dalam bentuk karkas, dengan transaksi jual-beli dilaksanakan di Rumah Potong Hewan (RPH). Guna mendapatkan harga jual yang adil, perlu revitalisasi pasar hewan dan RPH, khususnya untuk menggunakan timbangan yang akurat dengan pengawalan yang ketat dari fihak yang terkait.
Permodalan untuk usaha sapi potong umumnya dari modal sendiri dan gaduhan dari perorangan. Mulai tahun 2008 beberapa peternak telah menerima bantuan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Kelembagaan yang terkait dengan budidaya sapi potong di Desa Krinjing dapat dikatakan telah berjalan dengan baik, diindikasikan dari mampunya kelompok ternak mengkonsolidasikan beberapa aktivitas dan adanya aturan yang ditaati oleh anggota.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2007. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.05/2007 Tentang Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi Menteri Keuangan pada tanggal 17 Juli 2007. Anonimus. 2010. Perkandangan dan Peluang Usaha Sapi Potong. http://binaukm.com/2010/05. Diakses tanggal 17 Januari 2011. Asnawi, R. 2007. Analisis usahatani sistem tanaman double row pada tanaman kayu (Manihot esculeta) di Lampung. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 10, No. 1, Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Azis, A. 1993. Strategi operasional pengembangan agroindustri sapi potong. – Dalam M. Amin Azis (Editor).Agri industri sapi potong: Prospek Pemgembangan pada Pembangunan Jangka Panjang II PA. CIDES, UC. Jakarta. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2007. Diskripsi Varietas Unggul Utama Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian.
660
BPS. Pusdatin-BPS. 2004. Survei Pendapatan Petani (SPP). Sensus Pertanian. Pendapatan Rumah Tangga Pertanian. Kerjasama Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian dengan Direktorat Statisktik Pertanian, Badan Pusat Statistik. BPS. Darmawan, T. 2009. Peran Sektor Peternakan Dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional Berbasis Ternak Lokal. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Jawa Tengah. 2008. Buku Statistik Peternakan. Ungaran. Iwan Setiajie Anugrah dan Wahyuning K. Sedjati. 2010. Kemitraan pemasaran komoditas sapi potong dalam mendukung usaha peternakan rakyat di Gorontalo. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianBadan Litbang Pertanian-Departemen Pertanian. Keputusan Gubernur Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pedoman Penyebaran dan Pengembangan Ternak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Muklasin. Ketua Asosiasi Sapi Potong Kabupaten Magelang. 2010. Komunikasi langsung. Nuschati, U. 2003. Penggunaan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) sebagai Substitusi Pakan Konsentrat pada Penggemukan Sapi Peranakan Friesien Holstein Jantan. Tesis Program Studi Magister Ilmu Ternak, Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Undip, Semarang (tidak dipublikasikan). Prasetyo, T. 2004. Kelembagaan Gaduhan Sapi dalam Sistem Usahatani TanamanTernak di Jawa Tengah. Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian – Departemen Pertanian, Jakarta. Pusat Pembiayaan Pertanian. 2009. Kredit Ketahanan Pangandan Energi (KKP-E). Skim Kredit Bersubsidi untuk petani/peternak. Sekretariat Jenderal Departemen Pertan-Departemen Pertanian.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Yuwono et al.- Karakteristik Petani Sapi Potong di Lokasi FEATI Magelang
Puslitbangnak. 2011. Formulasi Ransum Berbasis Ubi kayu (pakan LEISA). Puslitbangnak@ litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 1 Juni 2011 Rasid. A. dan Hartati. 2007. Perkandangan Sapi Potong. Loka Penelitian Sapi Potong. Grati Pasuruhan. Wiriatmadja, S. 1978. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. CV Yasagua. Jakarta. Yuwono, D.M. 2003. Pengaruh Penerapan Usahatani Model Corporate Farming terhadap Efisiensi Penggunaan Input dan Keuntungan Petani (Survei di Desa Pilang Payung dan Sugihan, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah). Tesis Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung. Yuwono, D.M., J. Pramono, Yulianto, dan C. Setiani. 2004. Potensi dan peluang pengembangan sistem integrasi padi – sapi potong dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal di Kabupaten Blora. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ruminansia 2004, 07 Oktober 2004. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
661