J. Sains MIPA, Edisi Khusus Tahun 2007, Vol. 13, No. 1, Hal.: 1-5 ISSN 1978-1873
KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS PAKAN BERBAHAN DASAR ONGGOK FERMENTASI SELAMA PENYIMPANAN Hardi Julendra, Ema Damayanti, Ahmad Sofyan dan Andi Febrisiantosa UPT. BPPTK-LIPI Yogyakarta Jl. Yogyakarta-Wonosari Km.31, Gading, Playen, Gunungkidul, D.I. Yogyakarta, 55861 E-mail:
[email protected] Diterima 28 Agustus 2007, perbaikan 10 Desember 2007, disetujui untuk diterbitkan 27 Desember 2007
ABSTRACT The research was conducted to evaluate the storage effect of formulated feed containing fermented onggok (FO). The analysis were performed on physico-chemical and microbiological properties. The fermented onggok (FO) was added level with the composition variation of 15, 20, 25 and 30%. Variables measured were texture, colour, odour, dry matter, crude protein, total microbes and Aspergillus flavus colonies. All of FO feed were stored for 5 months. The results showed that feed with 20% OF had un-agglutinated texture, brown colour and good odour which indicated the particular feed had good stability during storage. The highest Crude protein (CP) was found in the sample containing 20% FO, while the sample with showed 30% the highest total of microbes and A. flavus with the value of 2.5 x 10 3 and 6.5 x 10 2 cfu/g respectively. It was concluded that feed contained 20% FO could maintain its stability from physico-chemical and microbiological destruction during 5 months storage. Keywords: fermented onggok, storage stability, feed
1. PENDAHULUAN Penyimpanan merupakan suatu bentuk tindakan pengamanan yang selalu terkait dengan waktu1). Penyimpanan bertujuan untuk mempertahankan dan menjaga komoditi yang disimpan dengan cara menghindari, menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Penyimpanan pakan yang baik adalah penyimpanan yang sesuai dengan standard GMP (good manufacturing product) yang bertujuan untuk memperkecil tingkat kerusakan pakan. Kerusakan pakan merupakan masalah yang sering dihadapi pada kegiatan produksi maupun distribusi pakan. Kerusakan pakan dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti kontaminasi, serangan serangga dan faktor lingkungan. Tingkat kerusakan bahan pakan lebih berisiko pada bahan pakan yang memiliki kadar lemak dan protein yang tinggi seperti pakan unggas. Pada pakan unggas perlu penanganan dan perlakuan supaya pakan terhindar dari kerusakan fisik, kimia dan mikrobiologis yang berakibat pada kerusakan pakan oleh karena kadar protein dan energinya tinggi sehingga rentan terhadap kerusakan. Kerusakan pakan akan mengakibatkan penurunan kandungan gizi pakan dan menurunkan performan ternak yang mengkonsumsinya. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi kerusakan pada bahan pakan selain mengatur suhu dan kelembaban adalah dengan menambahkan zat aditif seperti bahan anti jamur dan antioksidan2). Cara ini dapat mencegah tingkat kerusakan pakan dari ketengikan dan kontaminasi mikrobiologis. Pakan unggas pada umumnya diformulasikan dari berbagai bahan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang baik dan mudah dicerna. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan ternak unggas dalam mencerna serat kasar. Disisi lain, usaha untuk mencari bahan pakan alternatif seperti limbah pengolahan bahan pangan perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan pakan impor. Potensi limbah seperti onggok yang merupakan hasil samping dari pembuatan tapioka ternyata dapat dijadikan sebagai pakan unggas alternatif dengan teknik fermentasi. Fermentasi bertujuan untuk meningkatkan kadar protein dan menurunkan kadar serat kasar. Kadar protein kasar onggok setelah fermentasi dapat mencapai 10-12% dengan peningkatan kadar protein metionin dan penurunan serat kasar yang signifikan3). Studi pendahuluan telah dilakukan untuk menguji penambahan onggok dalam ransum puyuh. Namun, keterkaitan pemakaian onggok fermentasi (OF) terhadap kualitas pakan selama peyimpanan belum pernah dilakukan pengkajian. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui tingkat kerusakan bahan pakan dilihat dari karaketistik fisik, kadar bahan kering, protein kasar dan jumlah koloni mikroba akibat penyimpanan selama 20 minggu pada kondisi ruang gudang penyimpanan pakan.
2007 FMIPA Universitas Lampung
1
Hardi Julendra, dkk...Karakteristik Fisiko-Kimia dan Mikrobiologis Pakan
2. METODE PENELITIAN 2.1 Formulasi Ransum Pakan yang dibuat adalah pakan puyuh yang diformulasi sesuai dengan kebutuhan nutrien puyuh petelur4). Komposisi bahan pakan dan nutrien pakan puyuh petelur ditunjukkan Tabel 1. Komposisi pakan dibuat dengan mensubtitusi dedak halus dan jagung dengan onggok terfermentasi (OF) dengan taraf 15% (T1), 20% (T2), 25% (T3) dan 30% (T4). Campuran bahan pakan sesuai dengan formulasi tersebut dijadikan pakan berbentuk crumble. 2.2. Penyimpanan Pakan Pakan yang telah dibuat dikemas dalam karung plastik sesuai dengan petunjuk pengemasan produk-produk pakan dan disimpan dalam gudang pakan. Gudang pakan didesain dengan alas pallet. Penyimpanan dilakukan selama 5 bulan atau 20 minggu dari Bulan Juli sampai Bulan November 2006. Pengamatan sifat fisik, kimia dan mikrobiologis dilakukan pada akhir penelitian. Kondisi gudang peyimpanan tanpa perlakuan dengan kisaran suhu 22-35°C dan kelembaban relatif 50-80%. Tabel 1. Komposisi bahan pakan dan nutrien pakan No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Bahan pakan Konsentrat petelur Jagung Dedak padi halus Onggok fermentasi (OF) Kedelai sangrai Minyak Mineral Mix Premix Jumlah
Kandungan Nutrien*: Energi Metabolis (kkal/kg) Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Lemak Kasar (%) Ca (%) P (%) Lisin (%) Metionin (%)
T1 30 26 13 15 11 0.6 3.4 1 100
T2 30 22.8 11 20 11 0.8 3.4 1 100
T3 30 19.6 9 25 11 1 3.4 1 100
T4 30 16.4 7 30 11 1.2 3.4 1 100
2904.70 20.07 6.00 4.01 2.13 0.93 0.66 0.80
2904.90 20.06 5.67 3.99 2.15 0.92 0.66 0.98
2905.10 20.06 5.33 3.97 2.18 0.91 0.66 1.17
2905.30 20.05 5.00 3.95 2.20 0.91 0.66 1.36
*Kandungan nutrisi mengacu kepada SNI pakan puyuh petelur (quail layer) No SNI 01-3906-1995 4
2.3. Analisis Fisik, Kimia dan Mikrobiologi Pengamatan fisik dilakukan secara visual dengan membandingkan keempat formula pakan yang terdiri dari tekstur, warna dan aroma pakan. Tekstur dilihat dari perubahan bentuk pakan (ada tidaknya penggumpalan, pakan berlobang dan pecah). Warna pakan diamati dengan membandingkan dengan warna pakan awal produksi. Aroma juga diamati dengan membandingkan dengan aroma pakan awal produksi. Pengamatan secara kimiawi adalah untuk melihat perubahan kandungan nutrisi pada pakan yang meliputi bahan kering yang dilakukan dengan pengeringan bahan pada oven 105 0C dan kadar protein kasar diukur dengan metode Kjeldahl5). Pengamatan mikrobiologis dilakukan diakhir penyimpanan dengan menghitung total mikroba dan koloni A. flavus dengan menggunakan metode spread plate menggunakan media Potato Dextro Agar (PDA) dan Plate Count Agar (PCA) dan pengamatan terhadap serangga yang ada dalam pakan uji. Koloni yang muncul dihitung dengan standard plate count (SPC)6). Pengamatan dilakukan setiap hari sampai hari ke-7 dan setelah tumbuh koloni maka dilakukan pembiakan untuk melihat keberadaan A. flavus.
2
2007 FMIPA Universitas Lampung
J. Sains MIPA, Edisi Khusus Tahun 2007, Vol. 13, No. 1
2.4. Analisis Data Data hasil pengujian sifat fisik dan mikrobiologis dianalisis secara deskriptif sedangkan untuk kadar bahan kering dan protein kasar diuji dengan ANOVA dengan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT)7) dengan menggunakan program CoStat versi windows.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh penyimpanan pakan dalam kondisi lingkungan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan secara fisik, kimia maupun mikrobiologis. Secara umum pakan sebelum penyimpanan memiliki karakteristik fisik yang sama baik tekstur (tidak mengumpal), warna (coklat), bau khas pakan (harum) dan tidak ditemukannya serangga. Hasil pengamatan sifat fisik dari pakan setelah penyimpanan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat fisik pakan onggok fermentasi setelah penyimpanan 5 bulan Peubah Tekstur
T1 (15%) Tidak menggumpal
Warna Aroma Serangga
Coklat Agak harum Ada
Perlakuan T2 (20%) T3 (25%) Tidak Sebagian menggumpal menggumpal Coklat Harum Ada
Coklat Agak harum Ada
T4 (30%) Menggumpal Coklat sedikit hijau Tidak berbau Tidak ada
Bedasarkan hasil pengamatan sifat fisik, pakan yang mengandung 20% OF mengalami tingkat kerusakan yang paling rendah ditinjau dari tekstur yang tidak mengumpal, warna masih tetap coklat dan bau harum. Aroma pakan pada T4 (30%) tidak berbau hal ini berbeda dengan perlakuan lain, perubahan aroma ini terjadi akibat reaksi enzimatis dalam bahan pakan tersebut, pada tingkat yang ekstrim pakan yang terkontaminasi akan berubah menjadi tengik (rancid). Berdasarkan perubahan tersebut disimpulkan sementara bahwa pakan T4 (30% OF) sudah tidak memenuhi standar pakan yang layak konsumsi. Tekstur pakan pada T3 (25%) yang sedikit menggumpal dan T4(30%) yang mengumpal kemungkinan disebabkan oleh kandungan kadar air yang lebih tinggi dari T1 (15%) dan T2 (20%) seperti pada Tabel 2. Kenaikan kadar air selama penyimpanan dikarenakan partikel bahan pakan menyerap uap air dari udara, sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur semakin meningkat karena bertambah banyak spora jamur dari udara terbawa masuk8). Warna pakan pada T4 (30% OF) yang tampak coklat kehijauan disebabkan oleh kontaminasi jamur. Berdasarkan hasil isolasi dan peremajaan pada media PDA serta berdasarkan pengamatan mikroskopis dan warna koloni, jamur kontaminan tersebut adalah Aspergillus flavus. Konidia A. flavus ketika masih muda tampak hijau kekuningan, semakin tua spora dan koloninya berubah menjadi hijau tua9,10). Kehadiran A. flavus pada sumber pakan seringkali memicu kontaminasi mikotoksin aflatoksin9). Selain itu, kontaminasi aflatoksin juga dipengaruhi oleh kadar air bahan, suhu, suplai oksigen dan keberadaan serangga11). Kadar aflatoksin dalam dedak padi dapat meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air dedak padi selama penyimpanan1). Tabel 3. Sifat kimia pakan onggok fermentasi Peubah
T1 (15%)
Perlakuan T2 (20%) T3 (25%)
T4 (30%)
Bahan Kering (%) 5 bulan
89.01
90.92
87.59
86.72
Kadar Air (%) 5 bulan
10.99
9.08
12.41
13.28
Kadar Protein (%) awal
20.07
20.06
20.06
20.05
Kadar Protein (%)5 bulan
19.94
21.08
21.69
21.30
Selama penyimpanan pakan, kadar protein kasar cenderung meningkat pada perlakuan T2, T3 dan T4, sedangkan pada T1 mengalami penurunan. Peningkatan tertinggi terjadi pada T3 (pakan dengan penambahan 25% OF) yaitu sebesar 8,13%. Peningkatan protein pakan dengan penambahan 20, 25 dan 30% OF terjadi diduga karena selama penyimpanan masih terjadi proses fermentasi oleh A. niger walaupun pakan tersebut telah diolah menjadi crumble
2007 FMIPA Universitas Lampung
3
Hardi Julendra, dkk...Karakteristik Fisiko-Kimia dan Mikrobiologis Pakan
melalui teknologi pelleting dan crumbling. Kenaikan protein pakan fermentasi dari onggok tersebut disajikan dalam Gambar 1 dibawah ini. 10.00
Kenaikan Protein (%)
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00 10
15
-2.00
20
25
30
35
Taraf (OF)
Gambar 1. Peningkatan Protein Onggok Fermentasi (OF) tiap perlakuan (%) Pakan dalam bentuk crumble mengandung biomassa A. niger yang sebagian besar dalam bentuk miselia dan spora. Keberadaan miselia jamur ini telah dilaporkan mampu memberikan kontrisbusi kenaikan protein sebesar 20%12). Spora ini akan tumbuh menjadi kapang A. niger jika berada dalam kondisi dan suhu yang optimal untuk pertumbuhannya. Suhu ruang (24-26°C) merupakan suhu optimal untuk pertumbuhan A. niger 13). Pakan yang disimpan pada gudang dengan suhu ruang 22-35°C memungkinkan kapang A. niger untuk tumbuh dan melakukan fermentasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan protein selama penyimpanan. Hasil uji mikrobiologis pada Tabel 4 dibawah ini terlihat bahwa tingkat kontaminasi terbesar didapatkan pada pakan yang mengandung 30% OF dengan koloni total mikroba (2,5 x 103 cfu/g) dan kandungan A. flavus (6,5 x 102 cfu/g). Tabel 4. Sifat mikrobiologi pakan onggok fermentasi
T1 (15%)
T2 (20%)
Perlakuan T3 (25%)
T4 (30%)
Total mikroba (cfu/g)
3,7 x 103
8,8 x 102
1,8 x 103
2,5 x 103
A. flavus (cfu/g)
0,5 x 101
0,5 x 101
1,0 x 101
6,5 x 102
Peubah
Kontaminasi A. flavus pada T4 juga bisa dilihat dari warna pakan yang tampak coklat kehijauan (Tabel 1). Besarnya kandungan mikroba pada pakan T4 menunjukkan bahwa pakan tersebut tidak dapat disimpan sampai 5 bulan. Pada Tabel 3 terlihat kandungan A. flavus meningkat sebanding dengan jumlah onggok fermentasi (OF) yang ditambahkan pada pakan perlakuan. Hal ini terjadi karena A. niger sebagai biomassa pada pakan onggok fermentasi mempunyai kondisi pertumbuhan optimum yang sama dengan A. flavus. Suhu optimum untuk pertumbuhan A. flavus adalah 370 C, dengan kisaran suhu pertumbuhan sama seperti jamur pada umumnya yaitu 25-42°C. Banyaknya kandungan A. flavus pada T3 (25%) dan T4 (30%) akan berpeluang terjadi kontaminasi aflatoksin yang lebih tinggi karena berdasarkan hasil pengamatan fisik pada T3 dan T4 juga mulai terjadi penggumpalan. Walaupun pada keduanya terjadi peningkatan kadar protein selama penyimpanan, penambahan 25 dan 30% OF tidak direkomendasikan. Dengan demikian penambahan onggok fermentasi yang direkomendasikan adalah sampai taraf 20%.
4
2007 FMIPA Universitas Lampung
J. Sains MIPA, Edisi Khusus Tahun 2007, Vol. 13, No. 1
4. KESIMPULAN Penambahan onggok fermentasi sampai taraf 20% menunjukkan ketahanan dari kerusakan fisik, kimia dan mikrobiologis selama penyimpanan sampai 5 bulan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Syamsu, J. A. 2003. Penyimpanan pakan ternak: tinjauan proses kimiawi dan mikrobiologi. J. Prot. 19 : 1331-1337.
2.
Poultry Indonesia. 2003. Cara Memilih Pakan Berkualitas. modules.php?name=News&file=article&sid=143. [14 April 2003].
3.
Julendra, H., Damayanti, E., Sofyan, A. dan Febrisiantosa, A. 2006. Fortifikasi Kandungan Asam Amino pada Bahan Pakan Campuran Onggok dan Limbah Pembuatan Kitin dengan Fermentasi Aspergillus niger. Makalah Seminar Nasional Kimia, Jurusan Kimia PSa MIPA UNSOED Purwokerto, 16 September 2006.
4.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 1995. Untuk Bahan Pakan dan Pakan Ternak., Ransum Puyuh Petelur (quail Layer) No 01-3906-1995.
5.
AOAC. 1990. Official Method of Analysis. In: K. Helrich (ed.). 15th Edition. Association of Official Analytical Chemists (AOAC), Arlington, VA.
6.
Seeley, H.W. Jr., P.J. VanDemark and J.J. Lee. 2001. Microbes in Action: A Laboratory Manual of Microbiology. 4th Edition. W.H. Freeman and Company, New York.
7.
Steel, R.G.D and Torrie, J.H.. 1980. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company Inc., New York.
8.
Goldblatt, L.A. 1969. Introduction of Aflatoxin. In: L.A. Goldblatt (ed.). Aflatoxin Scientitic Background, Control and Implication. Academic Press, New York.
9.
http://www.aspergillusflavus.org/ aflavus/index.html. 2005. Aspergillus flavus and Aflatoxin. [13 Agustus 2007]
10.
Samson, R., Hocking, A.D., Pit, J.I. and King, A.D. 1992. Modern Methods in Food Mycology. Elsevier Science Publisher, Amsterdam.
11.
Santin, E. 2005. Mould growth and mycotoxin production. In: Diaz, D.E. (Ed). The Mycotoxin Blue Book. Nottingham University Press, Nottingham, UK.
12.
Boda, K. 1990. Non-conventional feedstuffs in the nutrition of farm animals. Elsevier Science Publishing Company, Inc., New York.
13.
Raper, K.B and Fennel, D.I. 1977. The Genus Aspergillus. Robert E. Krieger Publishing Company Huntington, New York.
2007 FMIPA Universitas Lampung
http://www.poultryindonesia.com/
5