PERUBAHAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK MINUMAN ISOTONIK AIR KELAPA DENGAN PROSES ULTRAFILTRASI DAN ULTRAVIOLET SELAMA PENYIMPANAN
KARIZMA RINDU INAYATULLAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Minuman Isotonik Air Kelapa dengan Proses Ultrafiltrasi dan Ultraviolet selama Penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Karizma Rindu Inayatullah NIM I14110018
ABSTRAK KARIZMA RINDU INAYATULLAH. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Minuman Isotonik Air Kelapa dengan Proses Ultrafiltrasi dan Ultraviolet selama Penyimpanan. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji perubahan sifat produk minuman isotonik air kelapa yang disimpan dalam beberapa perlakuan serta menduga umur simpannya. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Terdapat tiga jenis faktor yang dianalisis secara terpisah yakni suhu (8°C, 13°C, 25°C); pengolahan (dengan atau tanpa proses ultrafiltrasi dan ultraviolet); dan kemasan (botol plastik PET, kemasan paper metal). Sifat fisikokimia yang diuji adalah pH, kejernihan dan warna (L, a, b), sedangkan sifat organoleptik yang digunakan adalah warna dan aroma. Kategori isotonisitas air kelapa mengacu pada hasil penelitian Kailaku (2016). Sampel air kelapa sebagai bahan baku maupun sampel produk yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki laju perubahan sifat fisikokimia yang lebih lambat dan sifat organoleptik yang lebih baik dibanding sampel yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Sampel produk memiliki laju perubahan sifat fisikokimia yang lebih lambat, tingkat kesukaan panelis terhadap aroma yang lebih tinggi dan kekuatan kejernihan yang lebih rendah, dibanding sampel bahan baku pada penyimpanan suhu 8˚C. Sampel produk yang dikemas dalam botol PET memiliki laju perubahan pH dan kejernihan yang lebih lambat dibandingkan sampel produk yang dikemas dalam paper metal. Pendugaan umur simpan paling lama adalah sampel produk yang dikemas dengan botol PET dan disimpan pada suhu 8˚C (suhu refrigerator) yakni 36 hari, berdasarkan perhitungan metode akselerasi dengan parameter kritis pH. Kata kunci: air kelapa, minuman isotonik, penyimpanan, ultrafiltrasi, ultraviolet
ABSTRACT KARIZMA RINDU INAYATULLAH. Alteration of Physicochemical and Organoleptic Properties during Storage of Coconut Water Isotonic Drink with Ultrafiltration and Ultraviolet Processing. Supervised by BUDI SETIAWAN. The aim of this research was to study the alteration of coconut water isotonic drink properties during storage and determine its shelflife prediction. The complete randomized design was applied in this research. The design was utilized to analyze separately the alteration of properties in different storage temperature (8°C, 13°C, 25°C); processing (with or without ultrafiiltration and ultraviolet processing); and packaging (PET bottle and paper metal). Physicochemical properties that were analyzed was pH, clarity and color (L, a, b). Organoleptic properties that were analyzed were flavor and color. Isotonicity of the processed coconut water was referring to Kailaku (2016) research result. Both of raw coconut water and processed coconut water which were stored in 8˚C had lower alteration rate of physiochemical properties and better in organoleptics properties than samples which were stored in 13˚C and 25˚C. Processed coconut water had lower alteration rate of physiochemical properties, higher hedonic
score of flavor and lower level in clarity during storage than raw coconut water. Processed coconut water which was packaged by PET bottle had lower alteration rate of pH and clarity than isotonic drink which was packaged by paper metal. Processed coconut water with 8˚C storage temperature and PET bottle packaging had the longest shelflife prediction which was 36 days, based on accelerated shelflife testing with pH as critical parameter. Keywords: coconut water, isotonic drink, storage, ultrafiltration, ultraviolet
PERUBAHAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK MINUMAN ISOTONIK AIR KELAPA DENGAN PROSES ULTRAFILTRASI DAN ULTRAVIOLET SELAMA PENYIMPANAN
KARIZMA RINDU INAYATULLAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
x
xi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahuwata’ala atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah penyimpanan air kelapa, dengan judul Perubahan Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Minuman Isotonik Air Kelapa dengan Proses Ultrafiltrasi dan Ultraviolet selama Penyimpanan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Budi Setiawan, MS selaku dosen pembimbing, serta Sari Intan Kailaku, STP yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Rimbawan sebagai Ketua Departemen Gizi Masyarakat, Sari Intan Kailaku, STP dan Nurdi Setyawan, STP, M.Agr selaku pembimbing lapang di Balai Besar Pascapanen Bogor serta tim laboran yang telah membantu selama melaksanakan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Karizma Rindu Inayatullah
xii
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
METODE
4
Waktu dan Tempat
4
Bahan dan Alat
4
Tahapan Penelitian
4
Rancangan Percobaan
8
Pengolahan dan Analisis Data
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Air Kelapa Genjah sebagai Bahan Baku Minuman Isotonik
11 11
Perubahan Sifat Fisikokimia Air Kelapa selama Penyimpanan pada Suhu yang Berbeda
14
Perubahan Sifat Fisikokimia Air Kelapa dengan Pengolahan Ultrafiltrasi dan Ultraviolet selama Penyimpanan
22
Perubahan Sifat Fisikokimia Air Kelapa selama Penyimpanan dengan Perbedaan Kemasan
27
Perubahan Sifat Organoleptik Air Kelapa selama Penyimpanan
31
Pendugaan Umur Simpan
36
SIMPULAN DAN SARAN
40
Simpulan
40
Saran
41
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
47
xiv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Kandungan gizi air kelapa Skor rata-rata hedonik atribut aroma Skor rata-rata mutu hedonik atribut aroma Skor rata-rata hedonik atribut warna Skor rata-rata mutu hedonik atribut kekeruhan Nilai slope, intercept, dan koefisien korelasi reaksi ordo 0 dan ordo 1 pH Persamaan Arrhenius pH sampel pada berbagai suhu penyimpanan
12 32 33 34 35 37 38
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tahapan penelitian Penurunan pH seluruh sampel selama penyimpanan Penurunan kejernihan seluruh sampel selama penyimpanan Penurunan nilai L seluruh sampel selama penyimpanan Peningkatan nilai a seluruh sampel selama penyimpanan Peningkatan nilai b seluruh sampel selama penyimpanan Penurunan pH KPB dan IPB selama penyimpanan pada suhu 8˚C Penurunan kejernihan KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Penurunan nilai L KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Peningkatan nilai a KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Peningkatan nilai b KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Penurunan pH IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Penurunan kejernihan IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Penurunan nilai L IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Peningkatan nilai a IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Peningkatan nilai a IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Dugaan umur simpan air kelapa dan minuman isotonik air kelapa
5 14 16 18 20 21 23 24 25 26 26 27 28 29 30 30 39
DAFTAR LAMPIRAN 1 Metode analisis sifat fisikokimia 2 Kuesioner uji organoleptik 3 Hasil Paired Sample t-test sampel bahan baku dan sampel produk hari ke-0 4 Hasil uji Paired Sample t-test sampel pada hari ke-0 dan hari ke-10 5 Hasil uji sidik ragam skor mutu hedonik aroma seluruh sampel hari ke-10 6 Hasil uji sidik ragam skor mutu hedonik kekeruhan sampel hari ke-10 7 Hasil uji sidik ragam skor hedonik aroma seluruh sampel hari ke-10 8 Hasil uji sidik ragam skor hedonik warna seluruh sampel hari ke-10 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk skor organoleptik seluruh sampel hari ke-10 10 Hasil uji sidik ragam skor hedonik aroma sampel IPB selama penyimpanan
47 48 51 51 51 51 51 51 51 52
xv
11 Hasil uji sidik ragam skor hedonik warna sampel IPB selama penyimpanan 12 Hasil uji sidik ragam skor mutu hedonik aroma IPB selama penyimpanan 13 Hasil uji sidik ragam mutu hedonik kekeruhan IPB selama penyimpanan 14 Hasil uji lanjut Duncan untuk skor organoleptik IPB selama penyimpanan 15 Dokumentasi pembelian kelapa di petani 16 Dokumentasi kelapa varietas genjak salak usia 8-9 bulan 17 Alat ultrafiltrasi dan ultraviolet Balai Besar Litbang Pasca Panen Bogor 18 Dokumentasi sterilisasi kemasan botol plastik PET 19 Dokumentasi kemasan paper metal
52 52 52 52 53 53 53 54 54
PENDAHULUAN Latar Belakang Atlet merupakan salah satu kelompok yang perlu diperhatikan asupan cairannya. Intensitas olahraga yang tinggi menyebabkan atlet kehilangan cairan dan mineral tubuh yang cukup banyak melalui keringat. Hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan cairan dan mineral tubuh, yang membahayakan kondisi kesehatan atlet apabila tidak ditindak lebih lanjut. Ketidakseimbangan cairan dan mineral menyebabkan performa atlet menurun dan berdampak serius pada fisiologis tubuh seperti hiponatremi, hiperthermia, kram otot, tekanan darah menurun, pusing, pingsan bahkan hingga kematian (Palacín-Arcea et al. 2013; Hornsby 2011). Kehilangan 1-2% cairan tubuh dapat menyebabkan kematian sel dan gangguan pada kerja sistem kardiovaskular (Apostu 2003). Salah satu minuman yang direkomendasikan untuk mengganti cairan tubuh atlet adalah minuman isotonik. Minuman isotonik merupakan minuman ringan karbonasi atau nonkarbonasi yang mengandung elektrolit, gula, asam sitrat dan mineral-mineral garam dengan osmolalitas 250-340 mOsm/l, mengandung gula minimal 5%, kalium 125-175 mg/kg, dan natrium 800-1000 mg/kg (BPOM 2006). Komponen utama dari minuman isotonik adalah air yang berperan sebagai pengganti cairan, karbohidrat sebagai penyuplai energi dan mineral sebagai pengganti elektrolit yang hilang (Bahri et al. 2012; Tai et al. 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Palacín-Arcea et al. (2013), kelompok atlet yang diberikan minuman isotonik setelah berolahraga, memiliki performa yang lebih baik dibandingkan kelompok atlet yang diberikan air mineral. Air kelapa, secara alami, juga kaya akan mineral seperti natrium, kalium, magnesium, fosfat dan bersifat isotonis atau serupa cairan tubuh. Osmolalitas air kelapa yang berasal dari buah kelapa berusia 8-9 bulan, berdasarkan penelitian Vigliar et al. (2006), adalah 282 mOsm/l. Selain itu, air kelapa juga mengandung gula (bervariasi antara 1.7 sampai 2.6%) yang secara cepat dapat memberikan energi (Hariyadi 2010 dalam Kailaku 2015). Sejumlah penelitian telah melaporkan bahwa indeks rehidrasi (kemampuan dalam menggantikan cairan tubuh) air kelapa setara dengan minuman isotonik dan efektif dalam mengganti cairan tubuh serta memulihkan performa atlet pria (Adegoke et al. 2012). Minuman isotonik dari air kelapa, menurut Hariyadi (2010) dalam Kailaku et al. (2015) cukup diminati oleh masyarakat seiring dengan berkembangnya paradigma minuman fungsional, yang tidak hanya sebagai penghilang rasa haus tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan. Air kelapa mudah sekali untuk mengalami perubahan cita rasa dan nilai gizi dalam dua hingga tujuh hari setelah dikeluarkan (Kailaku et al. 2006). Perubahanperubahan ini dapat terjadi karena adanya enzim polifenol oksidase dan peroksidase yang bersifat oksidatif (Duarte et al. 2002; Magalhaes et al. 2005) dan mikroorganisme dalam air kelapa (Magalhaes et al. 2005). Pengolahan air kelapa menjadi minuman isotonik komersial dibutuhkan untuk mempertahankan mutunya baik dari segi cita rasa, sifat fisikokimia dan kandungan gizi. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari pengolahan tersebut adalah kemasan air kelapa
2
yang lebih praktis dan daya simpan yang lebih panjang. Umumnya, industri pangan menggunakan teknik pasteurisasi dalam proses pembuatan minuman isotonik air kelapa. Namun, teknik ini memiliki kekurangan yakni nilai gizi air kelapa berkurang, cita rasa dan aroma khasnya juga berkurang akibat penggunaan termal (Haynes et al. 2004). Seiring perkembangan teknologi, terdapat dua teknik yang berpotensi untuk menghasilkan produk minuman isotonik dengan mutu yang lebih baik dibandingkan teknik pasteurisasi, yaitu teknik ultrafiltrasi dan ultraviolet. Teknik ultrafiltrasi merupakan cold sterilization yang menggunakan perbedaan tekanan untuk menyaring mikroorganisme (Hariyadi 2010 dalam Kailaku 2015). Sementara, teknik ultraviolet adalah teknik penghambatan metabolisme mikroorganisme menggunakan radiasi ultraviolet (Falguera et al 2011). Berdasarkan penelitian Nakanoa et al. (2012) teknik ultrafiltrasi sama efektifnya dengan teknik pasteurisasi dalam menurunkan aktivitas enzim pada air kelapa. Tidak adanya pemberian termal dalam proses produksi membuat nilai gizi, cita rasa, dan aroma khas kelapa tetap terjaga. Pengkajian terkait dengan perubahan mutu minuman isotonik air kelapa hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet selama penyimpanan, perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai dalam mempertahankan sifat fisikokimia maupun organoleptik produk. Beberapa hal yang menjadi indikator penurunan mutu air kelapa adalah kejernihan, nilai pH (lebih asam), aroma (tidak segar), dan terdapat endapan (padatan terlarut lebih banyak) (Duarte et al. 2002). Terdapat beberapa cara untuk mempertahankan mutu produk selama penyimpanan yakni penyimpanan pada suhu rendah, penggunaan kemasan yang tahan terhadap udara, dan penggunaan pengawet. Suhu rendah, menurut Fardiaz (1990) dalam Riyana (2008), dapat memperlambat atau menghentikan aktivitas mikroorganisme dalam produk pangan dan menonaktifkan enzim. Pengawet bersifat antimikroba sehingga dapat menghambat metabolisme sel (Cahyadi 2006). Sementara, pengemasan dapat mengendalikan kerusakan yang berasal dari lingkungan, diantaranya cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, perpindahan panas, kontaminasi dan serangan makhluk hayati (Azriani 2006; Nurminah 2002). Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji perubahan sifat fisikokimia dan organoleptik produk minuman isotonik air kelapa dengan proses ultrafiltrasi dan ultraviolet selama penyimpanan, dengan variasi suhu, kemasan penyimpanan, dan pemberian pengawet. Selain itu, umur simpan dari produk minuman isotonik dengan perbedaan kondisi penyimpanan tersebut, juga perlu diketahui untuk meningkatkan perlindungan konsumen dari produk tak layak konsumsi dalam rangka menjaga keamanan pangan.
Perumusan Masalah Minuman isotonik air kelapa merupakan inovasi produk minuman isotonik alami yang dapat menjadi minuman bagi atlet untuk mencegah dehidrasi selama berolahraga. Terdapat teknik yang berpotensi menghasilkan minuman isotonik air kelapa yang mampu mempertahankan sifat seperti bahan baku, yakni teknik ultrafiltrasi dan ultraviolet. Kombinasi kedua teknik tersebut dapat menonaktifkan mikroorganisme dan menurunkan aktivitas enzim pada air kelapa. Sifat produk
3
perlu dipertahankan untuk memperpanjang umur simpan. Beberapa cara untuk mempertahankan sifat produk selama penyimpanan adalah pengemasan dan penyimpanan pada suhu rendah. Belum diketahui perubahan sifat produk dengan perlakuan suhu, pengolahan dan pengemasan. Oleh karena itu, perubahan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Selain itu, adanya perbedaan perlakuan penyimpanan dapat menghasilkan umur simpan yang berbeda pula. Umur simpan dari setiap perlakuan belum diketahui sehingga perlu juga untuk dikaji lebih lanjut. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan sifat fisikokimia dan organoleptik produk minuman isotonik bagi atlet berbahan dasar air kelapa, yang diolah menggunakan proses ultrafiltrasi dan ultraviolet pada beberapa variasi kondisi penyimpanan, serta menduga umur simpan produk tersebut. Tujuan Khusus 1. Mengkaji perubahan sifat fisikokimia (pH, kejernihan, warna) dan sifat organoleptik (aroma dan warna) air kelapa segar selama penyimpanan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C. 2. Mengkaji perubahan sifat fisikokimia dan sifat organoleptik minuman isotonik air kelapa selama penyimpanan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C. 3. Mengkaji perubahan sifat fisikokimia dan sifat organoleptik air kelapa dengan dan tanpa pengolahan ultrafiltrasi dan ultraviolet selama penyimpanan. 4. Mengkaji perubahan sifat fisikokimia dan sifat organoleptik minuman isotonik air kelapa yang dikemas dalam botol plastik PET dan kemasan paper metal selama penyimpanan. 5. Menduga umur simpan produk minuman isotonik air kelapa.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada atlet mengenai air kelapa sebagai minuman isotonik alami, sehingga dapat memberikan alternatif minuman yang membantu proses rehidrasi secara sempurna. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masyarakat maupun industri mengenai pemanfaatan air kelapa sebagai minuman isotonik melalui pengembangan teknologi baru yakni proses ultrafiltrasi dan ultraviolet dan kondisi penyimpanan yang paling baik serta efektif untuk mempertahankan mutu produk minuman isotonik air kelapa, yang memenuhi persyaratan keamanan pangan.
4
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama bulan April – Juni 2015 di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor. Pembuatan dan penyimpanan produk minuman isotonik dilakukan di bangsal pengolahan bahan pangan, analisis sifat fisikokimia dilakukan di Laboratorium Nano Teknologi dan uji organoleptik dilakukan di Laboratorium Organoleptik.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah air kelapa yang berasal dari buah kelapa berusia 8-9 bulan (Tan et al. 2014) yang diperoleh dari petani kelapa Parung, Bogor, pengawet natrium benzoat dari toko bahan kimia Pasar Anyar, Bogor, dan air suling. Varietas kelapa yang digunakan adalah varietas genjah berdasarkan penelitian Kailaku et al. (2015), yang mengeksplorasi jenis kelapa untuk dijadikan minuman isotonik. Berdasarkan Kailaku et al. (2015) diketahui bahwa air kelapa genjah memiliki karakteristik karbohidrat dan elektrolit yang berpotensi menjadi minuman isotonik. Selain itu, berdasarkan penelitian Kailaku et al. (2016), air kelapa genjah memiliki indeks rehidrasi yang lebih baik dibanding produk minuman isotonik komersial dan air mineral biasa dan dapat mengembalikan kadar gula darah setelah periode rehidrasi selama 2 jam, sama seperti minuman isotonik komersial. Alat yang digunakan untuk pembuatan produk minuman isotonik adalah pisau, ember, saringan, panci, panci kukus, peralatan ultrafiltrasi, peralatan radiasi ultraviolet, baskom, gelas takar, centong, dan alat sealer. Selain itu digunakan pula container dan cold room suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C untuk penyimpanan produk. Alat yang digunakan untuk analisis sifat fisikokimia adalah plastik, tissue, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas piala 250 ml, universal pH meter digital dengan ketelitian 0.1 (untuk analisis pH), Spektrofotometer UV-Vis (untuk analisis kejernihan), dan chromameter (untuk analisis warna). Alat yang digunakan dalam analisis sifat organoleptik adalah gelas, tissue dan kuisioner. Selain itu digunakan pula botol plastik PET 250 ml yang diperoleh di toko kimia Pasar Anyar, Bogor dan kemasan paper metal (15 x 25 cm) dari perusahaan kemasan di Bandung.
Tahapan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan judul “Pengaruh Minuman Isotonik Air Kelapa Hasil Proses Ultrafiltrasi dan Ultraviolet terhadap Rehidrasi dan Pemulihan Atlet Futsal Remaja Putri”. Tahapan penelitian meliputi persiapan bahan baku (pengupasan kelapa genjah dan penyaringan air kelapa genjah); pengolahan dengan ultrafiltrasi dan ultraviolet; penambahan pengawet; pengemasan; pengamatan sifat fisikokimia dan organoleptik pada hari
5
ke-0; penyimpanan; pengamatan sifat fisikokimia dan organoleptik selama penyimpanan (Gambar 1). Pengupasan kelapa genjah usia 8-9 bulan Penyaringan air kelapa dengan alat saring
Pengolahan dengan ultrafiltrasi dan ultraviolet
Penambahan pengawet Natrium Benzoat 1000 ppm
Pengemasan dengan botol plastik PET
Penambahan pengawet Natrium Benzoat 1000 ppm
Pengemasan dengan botol plastik PET
Pengemasan dengan kemasan paper metal
Pengamatan sifat fisikokimia dan organoleptik hari ke-0
Penyimpanan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C
Pengamatan sifat fisikokimia dan organoleptik selama penyimpanan
Gambar 1 Tahapan penelitian Persiapan Bahan Baku Tahap persiapan bahan baku diawali dengan pengupasan kelapa genjah berusia 8-9 bulan, kemudian dilanjutkan dengan penyaringan air kelapa genjah dengan saringan plastik. Air kelapa yang telah disaring, ditaruh pada dua bak penampung yang sudah disterilisasi menggunakan air panas. Air kelapa pada bak penampung pertama dilanjutkan ke tahap pengolahan dengan ultrafiltrasi dan ultraviolet untuk menjadi minuman isotonik air kelapa. Sementara air kelapa pada bak penampung kedua langsung dilanjutkan ke dalam tahap penambahan pengawet sebagai sampel bahan baku. Pengolahan dengan Ultrafiltrasi dan Ultraviolet Pembuatan minuman isotonik air kelapa dilakukan dengan teknik ultrafiltrasi dan radiasi ultraviolet. Air kelapa yang telah disaring, dialirkan menggunakan selang kecil ke alat ultrafiltrasi dan alat ultraviolet. Aliran air kelapa yang keluar dari peralatan ultrafiltrasi dan ultraviolet kemudian ditampung ke bak penampung yang baru. Proses filtrasi adalah proses pemisahan
6
menggunakan membran berukuran tertentu yang bekerja berdasarkan perbedaan tekanan. Perlarut dipaksa bergerak ke arah larutan dengan konsentrasi yang lebih encer akibat adanya tekanan eksternal pada larutan yang lebih pekat (Winarno 2007). Tujuan dari proses filtrasi ini adalah untuk menyaring mikroorganisme dan menonaktifkan enzim (Prades et al. 2012). Sementara, proses radiasi sinar ultraviolet adalah proses penyinaran produk menggunakan sinar ultraviolet. Proses ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri, kapang, dan khamir (Falguera et al. 2011). Seluruh peralatan yang digunakan dalam pembuatan minuman isotonik terlebih dahulu dicuci dan disterilisasi dengan air panas dengan tujuan meminimalisir kontaminasi mikroorganisme. Peralatan ultrafiltrasi dan ultraviolet juga disterilkan menggunakan asam sitrat sebelum digunakan. Selain itu, proses pembuatan produk dimulai dari pengupasan hingga pengemasan berlangsung cepat. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kontak produk dengan udara, yang dapat mengontaminasi baik secara fisik maupun mikrobiologis. Penambahan Pengawet Air kelapa segar (bahan baku) dan minuman isotonik air kelapa yang telah melewati proses ultrafiltasi dan ultraviolet, ditambahkan pengawet Natrium Benzoat dengan konsentrasi 1000 ppm. Penambahan pengawet bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk. Natrium benzoat sendiri memiliki sifat antimikrobial yang membunuh bakteri melalui pemecahan senyawa benzoat menjadi asam tidak terdisosiasi dan mengubah pH dalam sel mikroorganisme (Riyana 2008). Selain itu, Na-benzoat dipilih karena banyak digunakan di pasaran sebagai pengawet minuman dan telah diteliti sebelumnya oleh Riyana (2008) mengenai pengaruh Na-benzoat terhadap daya simpan minuman isotonik air kelapa. Konsentrasi yang dipilih adalah 1000 ppm sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Riyana (2008). Selain itu, jumlah 1000 ppm tersebut masih diperbolehkan oleh PERKA BPOM Nomor 36 Tahun 2013 untuk ditambahkan ke dalam pangan dengan bahan baku berbasis buah. Pengemasan Terdapat dua jenis kemasan yang digunakan dalam penelitian ini yakni botol plastik PET dan kemasan paper metal. Air kelapa segar (bahan baku) hanya dikemas dengan botol plastic PET untuk menjadi kontrol bahan baku. Sementara minuman isotonik air kelapa dikemas ke dalam dua kemasan (botol plastik PET dan kemasan paper metal). Pemilihan botol plastik PET dan paper metal sebagai kemasan, berdasar pada kemasan umum minuman isotonik komersial pada umumnya. Paper metal sendiri merupakan lapisan tipis gabungan laminasi kertas, plastik, dan alumunium foil. Bagian dalam kemasan paper metal serupa halnya bagian dalam tetrapack yang umum digunakan untuk mengemas produk minuman. Botol plastik PET disterilisasi terlebih dahulu dengan cara diuap selama 15 menit sehari sebelum pembuatan produk minuman isotonik. Sementara, kemasan paper metal tidak disterilisasi saat pelaksanaan penelitian, dengan asumsi sudah disterilisasi oleh produsen. Saat proses pengemasan, air kelapa segar maupun produk minuman isotonik ditakar sebanyak 200 ml, lalu dimasukkan ke dalam kemasan. Botol plastik PET yang telah berisi air kelapa dan produk minuman
7
isotonik kemudian ditutup dengan rapat. Sementara, kemasan paper metal hanya diisikan produk minuman isotonik saja dan dipanaskan bagian permukaannya menggunakan alat sealer sehingga tertutup rapat. Berdasarkan pembedaan kemasan, telah terdapat tiga jenis sampel yang akan dikaji perubahan sifat fisikokimia dan organoleptiknya selama penyimpanan, yakni: 1) Air kelapa yang diberi pengawet dan dikemas pada botol platik PET (KPB) sebagai kontrol. 2) Produk minuman isotonik air kelapa hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet yang diberi pengawet dan dikemas pada botol plastik PET (IPB); 3) Produk minuman isotonik air kelapa hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet yang diberi pengawet dan dikemas pada kemasan paper metal (IPM). Setiap kemasan masing-masing diberikan kode suhu (8˚C, 13˚C, 25˚C), jenis pengamatan (untuk fisikokimia atau organoleptik), dan titik pengamatan. Kode ditempel menggunakan sticker pada bagian depan kemasan. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan pengambilan sampel pada hari-hari pengamatan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan sampel minuman isotonik air kelapa yang diujicobakan kepada atlet futsal remaja putri dalam penelitian “Pengaruh Minuman Isotonik Air Kelapa Hasil Proses Ultrafiltrasi dan Ultraviolet terhadap Rehidrasi dan Pemulihan Atlet Futsal Remaja Putri” oleh Kailaku (2016). Berdasarkan penelitian Kailaku et al. (2016), minuman isotonik air kelapa genjah hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet memiliki indeks rehidrasi yang lebih baik dibanding produk minuman isotonik komersial dan air mineral biasa. Selain itu diketahui pula, bahwa minuman isotonik air kelapa dapat mengembalikan kadar gula darah setelah periode rehidrasi selama 2 jam, sama seperti minuman isotonik komersial. Pengamatan pada Hari ke-0 Air kelapa segar dan produk minuman isotonik diambil 200 ml untuk diamati sifat fisikokimianya. Sifat fisikokimia yang diamati pada hari ke-0 adalah pH, kejernihan dan warna. Pengamatan karakteristik mutu ini dilakukan untuk menetapkan kondisi awal mutu produk minuman air kelapa sebelum dipengaruhi oleh variabel suhu dan kemasan pada penelitian utama. Nilai pH diukur dengan universal pH meter digital mengacu pada metode SNI 06-6989.11-2004, kejernihan diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis mengacu pada metode Jackson et al. (2004), dan warna diukur menggunakan chromameter dengan metode Hunter (1958). Prosedur pengukuran terlampir pada Lampiran 1. Setiap kali pengukuran, seluruh alat dikalibrasi. Alat pH meter digital dikalibrasi menggunakan larutah buffer pH 7, sementara spektrofotometer dan chromameter dikalibrasi menggunakan air suling. Nilai hasil pengukuran chromameter berupa sistem warna Hunter (L*, a*, b*) dan kejernihan menggunakan persentase (%) (semakin jernih sampel maka persentasenya semakin besar dan mendekati persentase air suling yakni 100%). Warna menurut sistem Hunter memiliki tiga komponen yakni L, a, dan b. Nilai L menggambarkan derajat kecerahan. Nilai L+ (positif) mengarah pada warna putih (lebih cerah), sementara nilai L- (negatif) mengarah pada warna hitam (lebih gelap). Terdapat pula nilai a yang menggambarkan warna merah-hijau. Nilai a+ (positif) mengarah pada warna merah sementara a- (negatif) mengarah pada warna
8
hijau. Selain itu, terdapat nilai b yang menunjukkan nilai kuning-biru. Nilai b+ (positif) mengarah pada warna kuning sementara b-(negatif) mengarah pada warna biru (Hunter 1958). Selain pengamatan pada sifat fisikokimia, dilakukan pula pengamatan daya terima dengan uji organoleptik. Terdapat dua uji organoleptik yang dilakukan yakni uji hedonik dan uji mutu hedonik. Uji hedonik dilakukan pada atribut aroma dan warna. Skala yang digunakan untuk uji hedonik adalah skala garis 0 s/d 10, dengan skor tingkat kesukaan 0 = sangat tidak suka, 2.5 = tidak suka, 5 = biasa, 7.5 = suka, 10 = sangat suka. Sementara itu, uji mutu hedonik dilakukan pada atribut aroma dan kekeruhan. Skala yang digunakan untuk uji mutu hedonik adalah skala garis 0 s/d 10 dengan skor tingkat kekuatan 0 = lemah, 5 = sedang, 10 = kuat. Panelis terdiri dari 25 orang panelis semi terlatih. Penyimpanan Selama penyimpanan, sampel ditaruh pada container dan dimasukkan ke dalam cold room dengan suhu 8˚C, 13˚C, dan 25˚C. Pemilihan suhu mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Sukasih et al. (2007) mengenai pendugaan umur simpan metode akselerasi. Sampel ditaruh pada variasi suhu yang ekstrim, yang dapat mempercepat kerusakan sampel sehingga dapat terlihat laju perubahan mutunya melalui nilai k. Berdasarkan Purkayastha et al. (2011), air kelapa akan berubah menjadi keruh sesaat setelah dikeluarkan dan bakteri mulai berkembang setelah dua jam ditaruh pada suhu ruang (25˚C). Suhu setiap ruangan dikalibrasi menggunakan thermohigrometer digital, yang ditaruh pada tempat penyimpanan, selama 15 menit. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan suhu yang nyata mempengaruhi penyimpanan. Pengamatan selama Penyimpanan Sifat fisikokimia yang diamati selama penyimpanan adalah pH, kejernihan, dan warna. Pengamatan dilakukan pada selang waktu 2-4 hari sekali karena air kelapa merupakan bahan pangan yang cepat berubah, sehingga selang waktu pengamatan yang dekat mampu menunjukkan perubahan yang nyata selama penyimpanan. Total titik pengamatan sifat fisikokimia adalah sembilan titik dalam kurun waktu 26 hari. Setiap kali pengamatan terdapat tiga jenis sampel dari tiga variasi suhu, sehingga total sampel untuk satu kali pengamatan adalah 9 unit. Atribut organoleptik diamati pada hari ke-0, hari ke-10, dan hari ke-20. Atribut yang diamati sama dengan hari ke-0 yakni uji hedonik yang meliputi atribut aroma dan warna; serta uji mutu hedonik yang meliputi atribut aroma dan kekeruhan. Panelis terdiri dari 25 orang dan merupakan panelis semi terlatih. Pada uji organoleptik, terdapat reduksi sampel karena sifat fisiknya sudah rusak atau tidak layak. Indikator ketidaklayakan yang digunakan adalah aroma yang tidak sedap. Formulir uji organoleptik yang digunakan pada panelitian ini dilampirkan pada Lampiran 2.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan dua kali ulangan
9
pengukuran. Terdapat tiga RAL pada penelitian ini yakni 1) RAL untuk suhu penyimpanan, 2) RAL untuk proses pengolahan dan 3) RAL untuk kemasan penyimpanan. Unit percobaan yang diamati adalah produk minuman isotonik air kelapa. Taraf untuk suhu penyimpanan adalah suhu ruang (25°C), suhu chiller (13°C) dan suhu refrigator (8°C); taraf untuk proses pengolahan adalah dengan proses ultrafiltrasi-ultraviolet dan tanpa proses ultrafiltrasi-ultraviolet; taraf untuk kemasan penyimpanan adalah botol plastik PET dan kemasan paper metal. Kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah air kelapa dengan penambahan pengawet yang dikemas menggunakan botol plastik PET. Peubah respon yang diamati adalah sifat fisikokimia (pH, kejernihan, dan warna), atribut organoleptik hedonik (aroma, warna), dan mutu hedonik (aroma, kekeruhan). Model matematis untuk RAL suhu terdapat pada model i, RAL untuk pengolahan pada model ii, dan RAL untuk kemasan penyimpanan pada model iii, sebagai berikut: Yi = μ + Ai + εi……………..(i) Yj = μ + Bj + εj…………….(ii) Yk = μ + Ck + εk…………..(iii) Keterangan : Yi = Nilai pengamatan respon karena perlakuan suhu penyimpanan taraf ke-i Yj = Nilai pengamatan respon karena perlakuan proses pengolahan taraf ke-j Yk = Nilai pengamatan respon karena perlakuan kemasan penyimpanan taraf ke-k μ = Nilai rata-rata pengamatan Ai = Pengaruh perlakuan suhu penyimpanan pada taraf ke-i i : 1)suhu ruang (25°C), 2)suhu chiller (13°C), 3)suhu refrigerator (8°C) Bj = Pengaruh perlakuan pengolahan ultrafiltrasi-ultraviolet pada taraf ke-j j : 1)dengan pengolahan ultrafiltrasi-ultraviolet; 2)tanpa pengolahan ultrafiltrasi-ultraviolet Ck = Pengaruh perlakuan kemasan penyimpanan pada taraf ke-k k : 1)kemasan botol plastik PET; 2)kemasan paper metal εi = Galat dalam perlakuan suhu penyimpanan taraf ke-i εj = Galat dalam perlakuan proses pengolahan taraf ke-j εk = Galat dalam perlakuan kemasan penyimpanan taraf ke-k
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan SPSS (Statistical Product and Service Solution) for Windows versi 16.0. Data pH diolah menggunakan nilai k dari persamaan Arrhenius sebagai parameter kritis untuk menduga umur simpan. Data sifat fisikokimia diolah menggunakan nilai k persamaan Arrhenius untuk diketahui nilai k (laju perubahan mutu). Sementara, data skor organoleptik diolah dengan uji beda yakni Paired Sample T-test dan uji One Way ANOVA (uji sidik ragam), untuk mengetahui perbedaan atribut hedonik dan mutu hedonik minuman isotonik air kelapa yang disimpan dalam variasi suhu penyimpanan, pengolahan dan kemasan penyimpanan. Apabila hasil uji One Way ANOVA signifikan (p<0.05) akan diuji lanjut menggunakan Duncan Test pada taraf uji 5%. Uji lanjut menggunakan Duncan Test untuk melihat signifikansi perbedaan perlakuan yang menunjukkan hubungan pengaruh nyata dengan variabel pengamatan.
10
Pendugaan Umur Simpan Pendugaan umur simpan dalam penelitian ini menggunakan metode akselerasi. Metode akselerasi adalah metode pendugaan umur simpan dengan pendekatan nilai penurunan mutu (nilai k) dari parameter kritis diberbagai suhu penyimpanan. Nilai k tersebut kemudian diolah menjadi persamaan Arrhenius dan diproyeksi menjadi umur simpan dengan menggunakan batas kritis (Sukasih et al. 2007). Parameter kritis merupakan parameter yang sensitif dan paling cepat bereaksi terhadap perubahan atau kerusakan mutu, sehingga perubahan parameter kritis sama dengan penurunan mutu (Sukasih et al. 2007). Parameter kritis yang digunakan dalam menduga umur simpan produk adalah pH atau tingkat keasaman. Perubahan pH sudah dapat menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme maupun enzim yang mengubah mutu fisik maupun kimiawi produk minuman isotonik air kelapa (Manhot et al. 2014; Prades et al. 2012). Menurut Sukasih et al. (2007), perlu diketahui ordo reaksi dari parameter kritis untuk menduga umur simpan. Kecenderungan suatu reaksi mengikuti ordo berapa terlihat dari koefisien korelasi (R2) yang lebih besar pada persamaan linearnya. Persamaan linear diperoleh melalui regresi linear antara nilai parameter kritis (pH) dan lama penyimpanan (hari). Berdasarkan hasil regresi linear diperoleh plot grafik kinetika reaksi, slope (gradien) dan intercept. Berikut adalah persamaan linear dari ordo nol dan ordo satu. Persamaan linear ordo nol ditunjukkan oleh persamaan 1 dan persamaan linear ordo satu ditunjukkan oleh persamaan 2. At – Ao = kt……………………………………(1) Ln At – Ln Ao = -kt…………………………...(2) At Ao Ln At Ln Ao k t
= Jumlah A pada waktu t = Jumlah awal A = Nilai logaritma natural jumlah A pada waktu t = Nilai logaritma natural jumlah awal A = Laju perubahan mutu = Waktu simpan
Setelah penetapan ordo reaksi, langkah berikutnya adalah menentukan nilai konstanta (k) yang menyatakan hubungan antara nilai mutu parameter kritis dengan lama penyimpanan pada masing-masing suhu, menggunakan persamaan 1 atau 2 (Sukasih et al. 2007). Nilai k tersebut kemudian dikonversi menjadi Ln k dan dipetakan dengan 1/T. Prinsip pendugaan umur simpan metode akselerasi adalah memetakan nilai k yang berasal dari beragam suhu untuk dijadikan sebuah persamaan linear. Persamaan linear tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan Arrhenius dengan nilai x sebagai 1/T dan y sebagai Ln K, sehingga diperoleh persamaan Arrhenius seperti pada persamaan 3 (Sukasih et al. 2007). Ln K = Ln Ko – Ea/R . 1/T…………………….(3) K Ko Ea R T
= Konstanta kecepatan reaksi = Konstanta pre-eksponensial = Energi aktvasi (KJ/mol) = Konstanta gas 1.987 (kal/mol) = Suhu mutlak T
11
Nilai Ln K dari persamaan 3 kemudian dihitung sesuai distribusi suhu yang dikehendaki dan dikonversi menjadi nilai KT. Nilai KT merupakan laju perubahan mutu per hari sesuai distribusi suhu yang dikehendaki. Nilai KT pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui laju perubahan mutu sifat fisikokimia kejernihan, dan warna (L*, a*, b*) dari berbagai sampel, sehingga dapat diketahui pula perlakuan yang lebih baik dalam mempertahankan sifat fisikokimia produk minuman isotonik air kelapa. Hal selanjutnya yang perlu diketahui adalah selisih nilai mutu awal produk dengan batas nilai mutu produk menurut SNI. Nilai mutu awal diperoleh dari pengamatan hari ke-0, sementara batas mutu diperoleh melalui SNI atau standar lain yang merepresentasikan titik mutu minimum atau maksium dari kelayakan produk. Batas mutu merupakan nilai mutu saat produk mulai ditolak konsumen atau mulai tidak layak (Hough et al. 2005 dalam Sukasih et al. (2007)). Batas mutu dari parameter pH yang digunakan dalam pendugaan umur simpan minuman isotonik air kelapa adalah SNI Minuman Isotonik (SNI 01-4452-1998), yakni pH bernilai maksimal empat. Selisih nilai mutu awal dan batas nilai mutu digunakan sebagai acuan untuk menduga umur simpan dengan membaginya terhadap nilai k parameter kritis berdasarkan distribusi suhu yang dikehendaki (Sukasih et al. 2007). Perhitungan tersebut dinyatakan dalam persamaan 4 dan 5. ts = [Ln(No-Nt)] / KT, untuk laju reaksi ordo satu…………………….(4) ts = (No-Nt) / KT, untuk laju reaksi ordo nol…….…………………….(5) ts No Nt KT
= Dugaan umur simpan = Nilai parameter mutu to (awal penyimpanan) = Nilai parameter mutu setelah waktu penyimpanan t (batas kritis) = Nilai K pada suhu penyimpanan T
HASIL DAN PEMBAHASAN Air Kelapa Genjah sebagai Bahan Baku Minuman Isotonik Minuman isotonik dikategorikan sebagai minuman elektrolit oleh BPOM (2006). Minuman tersebut didefinisikan sebagai minuman ringan berkarbonasi atau non karbonasi yang mengandung elektrolit, gula, asam sitrat dan mineralmineral garam. Suplementasi pada atlet dalam bentuk minuman isotonik pada beberapa tahun terakhir telah menjadi bagian yang cukup penting dari latihan olahraga (Apostu 2013). Hal ini disebabkan oleh penelitian-penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa suplementasi cairan, yang mengandung karbohidrat dan elektrolit pada atlet, dapat mencegah dehidrasi, memberikan suplai energi secara cepat dan meningkatkan performa saat berolahraga (Latzka dan Montain 1999 dalam Aoi 2006). Secara alami, air kelapa muda juga memiliki zat penyusun yang serupa dengan minuman isotonik, yakni mineral dan gula. Salah satunya adalah kelapa jenis genjah salak atau biasa disebut kelapa genjah. Berdasarkan penelitian,
12
Vigliar et al. (2006) diketahui bahwa osmolalitas air kelapa yang berasal dari buah kelapa varietas genjah berusia 8-9 bulan adalah 205-346 mOsm/l. Kelapa genjah berukuran kecil dengan berat 1.5-2 kg per buah. Daging buah kelapa genjah kurang lebih sebanyak 0.4 kg dengan kandungan air kelapa sekitar 200 cc (Warisna 2003). Rasa air kelapa genjah lebih manis dibandingkan kelapa lainnya karena memiliki kadar gula total yang lebih tinggi (Kailaku et al. 2015; Alreza 2012). Menurut Maskromo et al. (2006) air kelapa genjah memiliki kandungan kalium, vitamin C dan kadar gula reduksi yang berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi minuman isotonik. Hal tersebut dapat terlihat dari kandungan gizi air kelapa genjah berdasarkan penelitian Kailaku et al. (2015) (Tabel 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa air kelapa genjah mengandung kadar natrium serta kadar gula yang memenuhi persyaratan SNI minuman isotonik dan BPOM (2006). Namun kadar kalium air kelapa genjah sendiri melebihi batas SNI. Jumlah natrium dalam 100 ml air kelapa genjah dapat memenuhi 2% kebutuhan natrium sehari bagi laki-laki dan perempuan usia 10 hingga 30 tahun berdasarkan AKG 2013. Sementara, kalium dalam 100 ml air kelapa genjah dapat memenuhi 30% kebutuhan kalium sehari pada rentang usia yang sama. Persyaratan lain untuk minuman isotonik adalah osmolalitas. Osmolalitas air kelapa yang berasal dari buah kelapa varietas genjah berusia 8-9 bulan sebesar 205-346 mOsm/l, berdasarkan Vigliar et al. (2006), berada pada rentang yang dipersyaratkan oleh BPOM (2006) untuk minuman isotonik. Hal ini memperkuat pernyataan Maskromo et al. (2006) mengenai potensi air kelapa genjah sebagai bahan baku minuman isotonik. Tabel 1 Kandungan gizi air kelapa Komponen FAO (2000) a Kailaku et al. (2015)b SNI (1998)c Gula 6 mg/100 ml 6.01 ± 0.06 (%) Min. 5% Lemak 0.2 % Kalium 11.7 mg/100 ml 1497.4 ± 43.73 (mg/kg) Maks. 125-175 mg/kg Natrium 41 mg/100 ml 30.30 ± 6.18 (mg/kg) Maks. 800-1000 mg/kg Klorida 39 mg/100 ml Magnesium 7 mg/100 ml 95.40 ± 3.88 (mg/kg) Vitamin B1 11.97 ± 0.13 (mg/kg) Vitamin B6 0.03 ± 0.00 (mg/kg) Vitamin B9 Vitamin C 15.70 ± 0.01 (mg/kg) a Kandungan gizi air kelapa berdasarkan FAO (2000) b Kandungan gizi air kelapa varientas genjah berdasarkan Kailaku et al. (2015) c Persyaratan mutu minuman isotonik berdasarkan SNI 01-4452-1998 dan BPOM (2006).
Konsumsi minuman isotonik air kelapa genjah sebelum, saat dan setelah berolahraga diduga mampu mempertahankan performa atlet tetap prima. Hal ini berdasarkan pada penelitian Palacín-Arcea et al. (2013) yang menyebutkan bahwa minuman isotonik lebih baik dalam mempertahankan performa atlet saat berolahraga dibanding air biasa. Menurut Tai et al. (2014) kandungan natrium dan kalium pada air kelapa, sebagai minuman isotonik, dapat menggantikan mineral tubuh yang hilang lewat keringat. Penggantian mineral membantu memulihkan tekanan osmotik plasma dan menjaga keseimbangan homeostatis tubuh dengan mempercepat penggantian cairan tubuh (rehidrasi), menurunkan produksi urin dan menurunkan suhu tubuh (cooling down) (Shirref dan Maughan 1998; Immawati
13
2011). Selain itu, penggantian mineral (elektrolit) juga membantu menjaga kontraksi miokardium pada otot rangka, memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh dan memelihara kepekaan saraf terhadap rangsangan (Shirref dan Maughan 1998; Immawati 2011). Kandungan gula pada air kelapa genjah diduga dapat membantu menjaga kadar glukosa darah dan memberikan supply energi yang cepat pada atlet selama berolahraga. Hal ini mengacu pada pernyataan Latzka dan Montain (1999) dalam Aoi (2006) dan Tai et al. (2014) mengenai konsumsi cairan yang mengandung gula seperti minuman isotonik. Konsumsi cairan tersebut secara periodik selama berolahraga, dapat meningkatkan performa atlet dengan menyediakan glikogen (gula untuk kerja otot). Glikogen tersebut berasal dari konversi glukosa sehingga kebutuhan energi untuk berolahraga tercukupi dan cadangan glikogen otot terjaga. Kandungan gula pada kelapa genjah sebesar 6% juga dinilai ideal oleh Immawati (2011) dan Hornsby (2011) karena kandungan gula yang lebih dari 8% pada bahan pangan dapat memperlambat pengosongan lambung dan membuat rasa tidak nyaman pada perut atlet (Wagenmakers et al. 1993 dalam Hornsby 2011). Menurut Tai et al. (2014), kandungan glukosa yang memberikan rasa manis dapat membantu proses rehidrasi melalui peningkatan palatibilitas (penerimaan konsumen terhadap rasa pangan). Kailaku et al. (2015) menambahkan, adanya peningkatan palatibilitas mendorong atlet untuk meminum air kelapa tanpa paksaan atau secara sukarela dan sadar, sehingga penggantian cairan tubuh dapat optimal. Rasa haus sendiri tidak bisa menjadi indikator yang menunjukkan bahwa status hidrasi atlet sudah pulih saat rasa haus hilang. Perlu ada stimulan untuk mendorong atlet meminum lebih banyak sehingga dimungkinan status hidrasi atlet kembali normal (Palacín-Arcea et al. 2013). Air kelapa memiliki kelebihan keunggulan tersendiri sebagai minuman isotonik, yakni rasa dan aromanya yang khas (Kailaku et al. 2015). Kekhasan rasa serta aroma air kelapa diduga dapat mendorong atlet untuk mengonsumsi lebih banyak cairan sehingga proses rehidrasi berjalan sempurna. Berdasarkan penelitian Kailaku et al. (2016), minuman isotonik air kelapa genjah hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet memiliki indeks rehidrasi yang lebih baik dibanding produk minuman isotonik komersial. Indeks rehidrasi minuman isotonik air kelapa adalah 1,51+0,55, sementara indeks rehidrasi minuman isotonik komersial dan air secara beruturut-turut adalah 1,75+0,89 dan 4,33+4,43 (Kailaku et al. 2016). Indeks rehidrasi merupakan parameter yang digunakan untuk melihat kemampuan suatu minuman atau cairan rehidrasi dalam menggantikan cairan tubuh. Nilai indeks rehidrasi optimal adalah 1. Indeks rehidrasi yang lebih mendekati angka 1 menunjukkan produk intervensi lebih efektif sebagai pengganti cairan tubuh (Bahri et al. 2012). Berdasarkan penelitian Kailaku et al. (2016) pula, diketahui bahwa minuman isotonik air kelapa dapat mengembalikan kadar gula darah setelah periode rehidrasi selama 2 jam, sama seperti minuman isotonik komersial. Godek et al. (2005) dalam Santoso et al. (2012) menyebutkan bahwa cara terbaik untuk menghindari hiponatremi dan asupan air yang berlebih pada atlet adalah dengan mengonsumsi cairan secara ad libitum atau meminum bila merasa perlu saja. Kekurangan cairan pada atlet dapat menurunkan kemampuan fisik dan kognitif, sementara kelebihan cairan juga beresiko menimbulkan hiponatremi. Sehingga konsumsi cairan (baik air mineral biasa atau minuman isotonik) secara
14
ad libitum (sesuai kebutuhan) dinilai lebih direkomendasikan untuk memulihkan status hidrasi atlet baik pada olahraga berat maupun ringan (Santoso e. al. 2012). Minuman isotonik sendiri direkomendasikan untuk dikonsumsi saat dan setelah berolahraga dengan durasi 60-90 menit (tanpa berhenti) atau saat tubuh berkeringat cukup banyak dalam suhu dan kelembaban yang tinggi. Intensitas olahraga yang tinggi menyebabkan pengeluaran keringat sejumlah ±2.5 liter/jam, hilangnya elektrolit dalam jumlah besar dan deplesi glukosa darah (Apostu 2006). Minuman isotonik dapat secara cepat mengganti cairan maupun elektrolit tubuh atlet serta memberikan supply energi pengganti dari glukosa yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, minuman isotonik air kelapa juga direkomendasikan untuk diminum saat dan setelah berolahragadengan intensitas tinggi (durasi 60-90 menit tanpa henti, seperti bermain sepak bola), dengan konsumsi secara ad libitum atau sesuai kebutuhan masing-masing atlet.
Perubahan Sifat Fisikokimia Air Kelapa selama Penyimpanan pada Suhu yang Berbeda Suhu penyimpanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sifat fisikokimia produk pangan (Riyana 2008). Suhu penyimpanan yang lebih rendah telah terbukti dapat mempertahankan mutu produk pangan dan memperpanjang umur simpannya. Pembahasan pada bagian ini adalah mengenai perubahan sifat fisikokimia dari air kelapa segar (KPB), minuman isotonik air kelapa yang dikemas menggunakan botol PET (IPB) dan minuman isotonik air kelapa yang dikemas menggunakan paper metal (IPM) yang disimpan pada suhu yang berbeda yakni 8˚C, 13˚C dan 25˚C. Derajat keasaman (pH) Berdasarkan hasil pengamatan pada hari pertama, nilai pH awal sampel bahan baku (KPB) adalah 5.6, sementara nilai pH awal sampel produk (IPB dan IPM) adalah 5.4. Gambar 2 merupakan grafik penurunan nilai pH selama penyimpanan.
Gambar 2 Penurunan pH seluruh sampel selama penyimpanan
15
Terdapat tiga suhu penyimpanan yakni 8˚C, 13˚C, dan 25˚C, untuk tiga jenis kurva sampel (KPB, IPB, IPM). Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa penyimpanan pada setiap suhu menghasilkan perubahan nilai pH yang berbeda. Perubahan tersebut dapat terlihat dari nilai K atau laju perubahan pH selama hari penyimpanan. Selama penyimpanan nilai pH sampel mengalami penurunan. Penurunan pH disebabkan oleh aktivitas mikrooganisme yang menghasilkan asam-asam organik (Purkayastha et al. 2012). Berdasarkan Gambar 2, dapat terlihat bahwa nilai pH sampel KPB atau air kelapa segar yang disimpan pada suhu 8˚C, menurun lebih lambat dibandingkan sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai pH sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C pada hari ke-20 adalah 4.6. Sementara nilai pH sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C pada hari yang sama adalah 3.5 dan 3.3. Perubahan nilai pH sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C lebih rendah dibanding dua suhu penyimpanan lainnya. Perubahan nilai pH untuk air kelapa segar mengikuti ordo reaksi satu. Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa nilai K sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 0.021, 0.022, 0.025. Nilai K sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C lebih rendah dibandingkan nilai K sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Hal tersebut menunjukkan bahwa laju perubahan nilai pH sampel KPB pada suhu 8˚C lebih lambat dibandingkan dua suhu penyimpanan lainnya. Serupa dengan sampel KPB, sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C juga memiliki nilai pH yang menurun lebih lambat dibanding sampel IPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C (Gambar 2). Nilai pH sampel IPB yang disimpan di suhu 8˚C, pada hari ke-20, adalah 4.7, sementara nilai pH sampel IPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C, yakni 3.3 dan 3.2. Perubahan nilai pH yang disimpan pada suhu 8˚C lebih rendah dibanding dua suhu penyimpanan lainnya. Berdasarkan perhitungan, mengikuti ordo reaksi satu, diketahui nilai K sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 0.009, 0.012 dan 0.024. Nilai K sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C lebih rendah dibanding nilai K sampel IPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Hal ini menandakan bahwa laju perubahan pH sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C lebih lambat dibanding pada dua suhu penyimpanan lainnya. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki nilai pH yang menurun lebih lambat dibanding nilai pH sampel IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai pH sampel IPM yang disimpan di suhu 8˚C, 13˚C, 25˚C, pada hari ke-20 secara berturut-turut adalah 4.3, 3.4 dan 3.2. Perubahan nilai pH yang disimpan pada suhu 8˚C lebih rendah dibanding dua suhu penyimpanan lainnya. Berdasarkan perhitungan nilai K sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C adalah 0.015. Sementara, nilai K sampel IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C adalah 0.018 dan 0.028. Nilai K sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C lebih rendah dibanding nilai K sampel di dua suhu penyimpanan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa laju perubahan pH sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C lebih lambat dibanding laju perubahan pH sampel pada suhu 13˚C dan 25˚C. Berdasarkan pengamatan tersebut, dapat terlihat bahwa suhu 8˚C lebih baik dalam mempertahankan nilai pH air kelapa segar maupun minuman isotonik selama penyimpanan dibanding suhu 13˚C dan 25˚C. Adanya kurva yang lebih landai dan kisaran nilai K yang lebih rendah pada sampel KPB, IPB dam IPM
16
yang disimpan pada suhu 8˚C, menunjukkan bahwa perubahan nilai pH sampel KPB, IPB maupun IPM yang disimpan pada suhu 8˚C lebih kecil dibandingkan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Hal ini diduga karena sampel disimpan pada suhu rendah atau suhu freezer (8˚C). Penyimpanan pada suhu rendah, menurut Fardiaz (1990) dalam Riyana (2008), dapat menghambat aktivitas mikroorganisme. Reaksi metabolisme sel mikroorganisme dikatalisis oleh enzim, yang kecepatan reaksinya dipengaruhi oleh suhu. Kecepatan reaksi enzim berkurang pada suhu rendah sehingga aktivitas dan pertumbuhan sel mikroorganisme terhambat (Dardanella 2007). Salah satu aktivitas mikroorganisme adalah mengubah gula non pereduksi menjadi gula pereduksi. Proses tersebut menghasilkan asam-asam organik yang dapat menurunkan nilai pH air kelapa (Manhot et al. 2014). Kejernihan Selama penyimpanan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C, kejernihan sampel mengalami penurunan. Penurunan kejernihan terjadi akibat terbentuknya partikelpartikel hasil pemecahan karbohidrat serta peningkatan microbial load dan sel debris (Purkayastha et al. 2012). Berdasarkan hasil pengamatan pada hari pertama, kejernihan awal sampel bahan baku (KPB) adalah 97.37%, sementara kejernihan awal sampel produk (IPB, IPM) adalah 89.53% (Gambar 3). Gambar 3 merupakan grafik penurunan kejernihan selama 26 hari penyimpanan. Terdapat tiga suhu penyimpanan yakni 8˚C, 13˚C, dan 25˚C, untuk 3 jenis kurva sampel (KPB, IPB dan IPM). Berdasarkan Gambar 3, diketahui bahwa kejernihan seluruh sampel yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C, menurun cepat (drastis) dari hari ke-0 hingga hari ke-4. Sementara dari hari ke-5 hingga hari ke-26, kejernihan sampel yang disimpan pada suhu tersebut menurun sangat lambat. Berbeda halnya dengan sampel yang disimpan pada suhu 8˚C, yang memiliki penurunan kejernihan lebih gradual (bertahap).
Gambar 3 Penurunan kejernihan seluruh sampel selama penyimpanan Kejernihan sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C, pada hari ke-4 adalah 75.85%. Sementara kejernihan sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C, pada hari yang sama sudah mencapai 6.5% dan 4.2%. Perubahan
17
kejernihan sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C lebih lambat dibanding sampel yang disimpan pada dua suhu penyimpanan lainnya. Serupa dengan hal tersebut, sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C juga menunjukkan perubahan kejernihan yang lebih lambat. Nilai Kejernihan sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C, pada hari ke-4, secara berturut-turut adalah 94.8%, 6.3% dan 1.9%. Sampel IPM yang ditaruh pada suhu 8˚C juga berubah lebih lambat dibanding dua suhu penyimpanan lainnya. Nilai Kejernihan sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C, pada hari ke-4, secara berturutturut adalah 91.5%, 8.2% dan 3.8%. Perubahan kejernihan sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C lebih lambat dibanding sampel yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C menunjukkan adanya penurunan kejernihan yang sangat cepat pada hari ke-0 hingga hari ke-4, yang diikuti dengan penurunan kejernihan yang sangat lambat pada hari berikutnya. Hal tersebut mengindikasikan adanya titik jenuh dalam kejernihan air kelapa. Semakin lama disimpan maka air kelapa semakin jenuh. Titik jenuh menandakan bahwa metabolisme pada air kelapa telah mencapai puncak dan tidak memberikan perubahan yang signifikan seperti sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh bahan metabolisme, seperti karbohidrat, telah habis terpakai dan jumlah mikroorganisme terus berkurang akibat tidak adanya karbohidrat tersebut (Awua et al. 2011; Barret 2004 dalam Purkayastha et al. 2012). Perhitungan nilai K untuk kejernihan sampel KPB, IPB dan IPM mengikuti ordo reaksi satu. Perhitungan nilai K kejernihan dilakukan untuk enam hari awal penyimpanan, dengan mempertimbangkan adanya titik jenuh atau penurunan yang sangat drastis pada hari ke-4. Perubahan selama 6 hari tersebut dinilai cukup representatif untuk melihat perubahan kejernihan sampel pada setiap suhu penyimpanan. Nilai K sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C adalah 0.083. Nilai tersebut lebih rendah dibanding sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C yakni 0.173 dan 0.917. Serupa dengan hal tersebut, nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C juga lebih rendah dibanding nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai K sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 0.028, 0.090, dan 1.282. Sementara nilai K sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 0.055, 0.138, dan 1.101. Berdasarkan pengamatan (Gambar 3) dan perhitungan tersebut dapat terlihat bahwa sampel yang disimpan pada suhu 8˚C, baik sampel air kelapa segar maupun minuman isotonik yang dikemas dalam botol PET dan paper metal, memiliki laju perubahan kejernihan yang lebih lambat dibanding pada penyimpanan suhu 13˚C dan 25˚C. Air kelapa sendiri akan berubah menjadi keruh dalam beberapa jam setelah dipindahtempatkan dari tempurung kelapa. Hal tersebut dipengaruhi oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme (Malghaes et al. 2005 dalam Kailaku et al. 2015). Enzim pada air kelapa sangat sensitif terhadap paparan udara, sementara mikroorganisme akan berkembang sesaat setelah air kelapa dikeluarkan dari tempurungnya (Duarte et al. 2002). Partikel-partikel kecil berwarna putih, yang menggumpal dan membentuk endapan halus seperti lendir, akan timbul pada air kelapa selama penyimpanan karena adanya reduksi karbohidrat oleh mikroorganisme. Penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat proses
18
terbentuknya partikel tak larut air tersebut. Suhu rendah dapat menghambat aktivitas mikroorganisme untuk memecah karbohidrat dan mengurangi kecepatan metabolisme sel mikroorganisme yang dikatalis oleh enzim (Awua et al. 2011; Fardiaz 1990 dalam Riyana 2008) Sistem Warna Hunter (L*, a*, b*) Berdasarkan pengamatan, nilai L; a; b sampel bahan baku (KPB) pada hari ke-0 adalah 101.77; -0.24; 0.06. Sementara nilai L, a, b sampel produk (IPB dan IPM) adalah 97.05; -0.18; 0.58. Nilai tersebut menunjukkan bahwa warna awal sampel adalah cerah, mengarah pada warna kuning dan merah. Nilai L, a dan b tersebut akan berubah selama penyimpanan. Perubahan warna pada air kelapa terjadi sesaat setelah air kelapa dikeluarkan dari tempurung dan terus berlangsung selama penyimpanan (Magalhaes et al. 2005 dalam Kailaku et al. 2015). Air kelapa mengalami perubahan warna akibat aktivitas enzim polifenol oksidase (PPO) dan peroksidase (POD), yang sensitif terhadap perubahan pH, suhu maupun paparan udara (Purkayastha et al. 2012). Warna air kelapa selama penyimpanan kecerahannya berkurang, lebih kuning dan lebih merah muda. Nilai L Selama penyimpanan pada tiga suhu (8˚C, 13˚C, dan 25˚C), nilai L mengalami penurunan. Penurunan nilai L pada air kelapa berkaitan dengan aktivitas enzim PPO dan POD. Enzim PPO dan POD mengkatalisis reaksi oksidatif yang mengubah warna air kelapa menjadi keruh. Kedua enzim tersebut sangat cepat bereaksi sesaat setelah terpapar oksigen (Duarte et al. 2002). Gambar 4 menunjukkan perubahan nilai L sampel KPB, IPB dan IPM dari hari ke-0 hingga hari ke-26.
Gambar 4 Penurunan nilai L seluruh sampel selama penyimpanan Berdasarkan Gambar 4, dapat terlihat sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25 ˚C mengalami penurunan nilai L yang cepat hingga hari ke-6. Setelah menurun dengan cepat, nilai L sampel tersebut menurun lambat dari hari ke-7 hingga hari ke-26. Sementara, sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki penurunan nilai L yang lambat dan kurva
19
yang lebih landai dibanding pada suhu penyimpanan lainnya. Nilai L sampel KPB, IPB, dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C pada hari ke-26, secara berturut-turut adalah 86.64, 84.92 dan 81.68. Nilai tersebut lebih tinggi daripada sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13 ˚C dan 25 ˚C, dengan kisaran nilai 64.61 – 75.56. Perhitungan nilai K pada warna L mengikuti ordo reaksi satu. Perhitungan tersebut dilakukan untuk 6 hari awal penyimpanan, dengan mempertimbangkan adanya titik jenuh atau penurunan yang cepat dari sampel yang disimpan di suhu 13˚C dan 25˚C pada hari ke-6. Perubahan selama 6 hari tersebut dinilai cukup representatif untuk melihat laju perubahan nilai L sampel pada setiap suhu penyimpanan. Nilai K sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C adalah 0.015. Nilai tersebut lebih rendah dibanding sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C yakni 0.019 dan 0.040. Serupa dengan hal tersebut, nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C juga lebih rendah dibanding nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai K sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 0.002, 0.006, dan 0.087. Sementara nilai K sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 0.002, 0.007, dan 0.073. Berdasarkan pengamatan (Gambar 4) dan perhitungan tersebut dapat terlihat bahwa sampel yang disimpan pada suhu 8˚C, baik sampel air kelapa segar maupun minuman isotonik yang dikemas dalam botol PET dan paper metal, memiliki laju perubahan nilai L yang lebih lambat dibanding pada penyimpanan suhu 13˚C dan 25˚C. Hal ini diduga karena enzim PPO dan POD yang mempengaruhi nilai L, pada suhu di bawah optimum, mengalami penurunan keaktifan sehingga tidak mampu mengkatalisis reaksi (Fardiaz 1992 dalam Riyana 2008). Suhu optimum adalah suhu paling optimal yang mendukung aktivasi enzim dalam mengkatalisis suatu reaksi (Riyana 2008). Enzim PPO memiliki aktivitas optimum pada suhu 25°C sementara enzim POD optimum pada suhu 35°C (Prades et al. 2012). Diop et al. (2005) dalam Prades et al. (2012) juga menyebutkan bahwa pada suhu rendah, perubahan warna air kelapa tidak terjadi. Nilai a Selama penyimpanan pada suhu 8˚C, 13˚C, dan 25˚C, nilai a mengalami perubahan seperti pada Gambar 9. Semakin lama hari penyimpanan, nilai a semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama penyimpanan, sampel semakin mengarah kepada warna merah muda. Perubahan tersebut disebabkan oleh enzim PPO dan POD. Enzim PPO dan POD akan langsung bereaksi setelah terpapar oksigen dari udara atau mengalami pemanasan. Reaksi tersebut menyebabkan diskolorasi atau perubahan warna menjadi merah muda pada air kelapa. Perubahan warna menjadi lebih merah muda sendiri, menurut Prades et al. (2012), tidak dapat dihindari setelah air kelapa dikeluarkan dari tempurung. Gambar 5 merupakan grafik peningkatan nilai a dari tiga suhu penyimpanan selama 26 hari. Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C memiliki peningkatan nilai a yang cepat hingga hari ke-6 dibanding kelompok sampel yang disimpan pada suhu 8˚C. Sementara, sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki
20
penurunan nilai a yang lebih lambat dan kurva yang lebih landai dibanding pada suhu penyimpanan lainnya.
Gambar 5 Peningkatan nilai a seluruh sampel selama penyimpanan Berdasarkan Gambar 5, dapat terlihat bahwa sampel KPB atau air kelapa segar yang disimpan pada suhu 8˚C, memiliki nilai a yang meningkat lebih lambat dibandingkan sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai a sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C pada hari ke-26 adalah 0.597. Sementara nilai a sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C pada hari ke-26 adalah 2.277 dan 2.344. Serupa dengan sampel KPB, sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C juga memiliki nilai a yang meningkat lebih lambat dibanding nilai a sampel IPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C (Gambar 5). Nilai a sampel IPB yang disimpan di suhu 8˚C, pada hari ke-26, adalah -0.100. Nilai tersebut lebih rendah dibanding sampel IPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C, yakni 1.765 dan 2.577. Gambar 5 juga menunjukkan bahwa sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki nilai a yang meningkat lebih lambat dibanding nilai a sampel IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai a sampel IPM yang disimpan di suhu 8˚C, 13˚C, 25˚C, pada hari ke-26 secara berturut-turut adalah -0.001, 1.820 dan 2.007. Perhitungan nilai K pada warna nilai a dilakukan untuk 6 hari awal penyimpanan, dengan mempertimbangkan adanya titik jenuh atau penurunan yang cepat dari sampel yang disimpan di suhu 13˚C dan 25˚C pada hari ke-6. Perubahan selama 6 hari tersebut dinilai cukup representatif untuk melihat laju perubahan nilai L sampel pada setiap suhu penyimpanan. Perubahan nilai a tersebut mengikuti ordo reaksi satu. Berdasarkan perhitungan, nilai K sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C adalah 1.136. Nilai tersebut lebih rendah dibanding sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C yakni 1.166 dan 1.237. Serupa dengan hal tersebut, nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C juga lebih rendah dibanding nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai K sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 1.050, 1.100, dan 1.223. Sementara nilai K sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 1.0431, 1.102, dan 1.248.
21
Berdasarkan pengamatan (Gambar 5) dan perhitungan tersebut dapat terlihat bahwa sampel yang disimpan pada suhu 8˚C, baik sampel air kelapa segar maupun minuman isotonik yang dikemas dalam botol PET dan paper metal, memiliki laju perubahan nilai a yang lebih lambat dibanding pada penyimpanan suhu 13˚C dan 25˚C. Hal ini diduga karena menggunakan suhu freezer (8˚C), yang lebih rendah dibanding suhu penyimpanan lainnya. Suhu yang rendah dapat memperlambat reaksi enzimatis karena enzim memiliki suhu optimum untuk aktivasi. Suhu rendah tidak dapat mengaktivasi enzim, sehingga cenderung memperlambat perubahan warna menjadi merah muda (Prades et al. 2012). Nilai b Selama penyimpanan pada suhu 8˚C, 13˚C, dan 25˚C, nilai b juga mengalami perubahan seperti pada Gambar 6. Semakin lama hari penyimpanan, nilai b semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama penyimpanan, sampel semakin mengarah pada warna kuning. Berdasarkan Gambar 6, dapat terlihat sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25 ˚C mengalami peningkatan nilai b yang cepat hingga hari ke-6. Setelah menurun dengan cepat, nilai L sampel tersebut menurun lambat dari hari ke-7 hingga hari ke-26. Sementara, sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki peningkatan nilai b yang lambat dan kurva yang lebih landai dibanding pada suhu penyimpanan lainnya. Nilai b sampel KPB, IPB, dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C pada hari ke-26, secara berturut-turut adalah 6.84, 8.67 dan 9.71. Nilai tersebut lebih rendah daripada sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13 ˚C dan 25 ˚C pada hari yang sama, dengan kisaran nilai 10.73- 11.69.
Gambar 6 Peningkatan nilai b seluruh sampel selama penyimpanan Perhitungan nilai K pada warna b mengikuti ordo reaksi satu. Perhitungan tersebut dilakukan untuk 6 hari awal penyimpanan, dengan mempertimbangkan adanya titik jenuh atau penurunan yang cepat dari sampel yang disimpan di suhu 13˚C dan 25˚C pada hari ke-6. Perubahan selama 6 hari tersebut dinilai cukup representatif untuk melihat laju perubahan nilai b sampel pada setiap suhu penyimpanan. Nilai K sampel KPB yang disimpan pada suhu 8˚C adalah 1.088.
22
Nilai tersebut lebih rendah dibanding sampel KPB yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C yakni 1.958 dan 2.345. Serupa dengan hal tersebut, nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C juga lebih rendah dibanding nilai K sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Nilai K sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 1.215, 1.360, dan 1.753. Sementara nilai K sampel IPM yang disimpan pada suhu 8˚C, 13˚C dan 25˚C secara berturut-turut adalah 1.193, 1.340, dan 1.744. Air kelapa dapat berubah menjadi kekuningan selama masa penyimpanan. Perubahan tersebut disebabkan oleh reaksi browning enzimatis dan non enzimatis. Reaksi browning enzimatis disebabkan oleh enzim PPO dan POD yang mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa fenolik yang tidak berwarna menjadi senyawa quinon yang berwarna kekuningan (Awua et al. 2011). Sementara reaksi browning non enzimatis disebabkan oleh pemanasan yang menimbulkan reaksi Maillard. Pada penelitian ini, perubahan warna menjadi kekuningan disebabkan oleh reaksi browning enzimatis. Reaksi browning enzimatis langsung terjadi setelah air kelapa dikeluarkan dari tempurungnya, akibat paparan oksigen dari udara. Selama penyimpanan, reaksi tersebut juga terus berlangsung selama enzim belum tereduksi (Prades et al. 2011). Adanya peningkatan nilai b yang tinggi pada enam hari awal, yang diikuti oleh peningkatan yang cenderung lambat pada hari berikutnya, mengindikasikan adanya titik jenuh dalam reaksi perubahan warna sampel menjadi kekuningan. Titik jenuh tersebut diduga terjadi akibat berkurangnya aktivitas enzim penyimpanan. Level aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi oksigen dan pH (Prades et al. 2011). Selama penyimpanan, pH air kelapa semakin menurun dan diduga tidak dapat mendukung kondisi optimum aktivitas enzim. Enzim PPO sendiri optimum pada pH 6.0, sementara enzim POD optimum pada pH 5.5 (Prades et al. 2012). Aktivitas enzim yang tidak optimum akibat perubahan pH, memperlambat peningkatan nilai b pada sampel. Suhu menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi level aktivitas enzim. Suhu yang rendah dapat menginaktivasi enzim dalam mengkatalisis reaksi, sehingga perubahan akibat reaksi tersebut tidak terjadi (Prades et al. 2011). Hal tersebut sejalan dengan pengamatan (Gambar 6) dan perhitungan nilai K yang menunjukkan bahwa sampel yang disimpan pada suhu 8˚C, baik sampel air kelapa segar maupun minuman isotonik yang dikemas dalam botol PET dan paper metal, memiliki laju perubahan nilai b yang lebih lambat dibanding pada penyimpanan suhu 13˚C dan 25˚C.
Perubahan Sifat Fisikokimia Air Kelapa dengan Pengolahan Ultrafiltrasi dan Ultraviolet selama Penyimpanan Pengolahan dengan ultrafiltrasi dan ultraviolet selain untuk memproduksi minuman isotonik air kelapa, juga merupakan salah satu upaya untuk mempreservasi air kelapa sehingga memiliki umur simpan yang lebih panjang. Pembahasan pada bagian ini adalah mengenai perubahan sifat fisikokimia air kelapa yang diolah menggunakan ultrafiltrasi-ultraviolet (IPB) dan air kelapa segar tanpa pengolahan (KPB), yang disimpan pada suhu yang sama yakni 8˚C. Penyeragaman suhu dilakukan untuk melihat proses pengolahan yang lebih baik
23
dalam mempertahankan sifat fisikokimia sampel atau memperlambat laju perubahannya. Suhu 8˚C dipilih karena pada pengamatan sebelumnya, suhu tersebut lebih baik dalam mempertahankan sifat fisikokimia air kelapa selama penyimpanan dibanding penyimpanan pada suhu 13˚C dan 25˚C. Derajat keasaman (pH) Berikut adalah grafik perubahan nilai pH dari sampel KPB dan IPB yang disimpan pada suhu 8˚C (Gambar 7). Nilai pH awal sampel KPB dan IPB, secara berturut-turut, adalah 5.6 dan 5.4. Berdasarkan Gambar 7, dapat terlihat bahwa nilai pH sampel KPB dan IPB mengalami penurunan dengan kurva yang agak berhimpit. Penurunan sampel KPB dan IPB pada hari ke-7 mencapai titik yang berdekatan, yakni 5.1 untuk sampel KPB dan 5.2 untuk sampel IPB. Sementara pada hari ke-17, nilai pH sampel KPB dan IPB menurun hingga mencapai nilai 4.7 dan 4.9. Nilai pH tersebut menurun kembali dan mencapai nilai 4.6 untuk sampel KPB dan 4.7 untuk sampel IPB, pada akhir pengamatan (hari ke-26). Selisih nilai pH awal dan akhir pengamatan pada sampel IPB lebih rendah dibanding sampel KPB.
Gambar 7 Penurunan pH KPB dan IPB selama penyimpanan pada suhu 8˚C Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai K sampel KPB adalah 0.021 dan nilai K sampel IPB adalah 0.009. Nilai K pada sampel IPB yang lebih rendah dibanding sampel KPB, menandakan bahwa laju perubahan pH sampel IPB lebih lambat dibanding sampel KPB. Berdasarkan pengamatan (Gambar 7) dan hasil perhitungan tersebut, dapat terlihat bahwa sampel yang diproses dengan ultrafiltrasi dan ultraviolet memiliki perubahan nilai pH yang lebih lambat. Hal ini diduga karena proses ultrafiltrasi dan ultraviolet dapat meretensi enzim serta membunuh mikroorganisme. Berkurangnya jumlah enzim dan mikroorganisme memperlambat pembentukan asam-asam organik, yang menurunkan nilai pH selama penyimpanan (Diop et al. dalam Prades et al. 2012; Kailaku et al. 2006; Falguera et al. 2011).
Kejernihan Gambar 8 merupakan grafik perubahan kejernihan sampel KPB dan IPB yang disimpan pada suhu 8˚C. Nilai Kejernihan awal untuk sampel KPB adalah 97.37% dan untuk sampel IPB adalah 89.53%. Berdasarkan pengamatan, dapat
24
terlihat bahwa sampel KPB mengalami penurunan yang cukup cepat hingga hari ke-14, mencapai nilai 21.85%. Sementara sampel IPB, pada hari yang sama, mengalami penurunan kejernihan yang lebih lambat, mencapai nilai 75.4%. Kejernihan sampel KPB dari hari ke-14 hingga hari ke-26 cenderung konstan dan tidak mengalami perubahan setelah menurun cepat dari hari ke-0. Hal tersebut menandakan bahwa sampel tersebut telah mencapai titik jenuh. Titik jenuh menunjukkan metabolisme air kelapa yang telah mencapai puncak dan tidak memberikan perubahan kejernihan yang signifikan seperti sebelumnya. Berbeda halnya dengan sampel IPB, yang baru mencapai nilai 19.17% pada hari ke-24. Hasil perhitungan nilai K sebelumnya, untuk 6 hari penyimpanan, menunjukkan bahwa nilai K sampel KPB adalah 0.083 dan nilai K sampel IPB adalah 0.027. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa nilai K sampel IPB lebih rendah dibanding sampel KPB. Hal ini berarti laju perubahan kejernihan sampel IPB lebih lambat dibanding sampel KPB. Pernyataan ini didukung oleh hasil pengamatan (Gambar 8) yang menunjukkan sampel KPB telah mencapai titik jenuh terlebih dahulu pada hari ke-14. Sementara sampel IPB baru mencapai titik yang sama pada hari ke-24.
Gambar 8 Penurunan kejernihan KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Adanya penurunan kejernihan yang lebih lambat pada sampel IPB, diduga karena proses ultrafiltrasi dan ultraviolet. Penurunan kejernihan terjadi akibat terbentuknya partikel-partikel hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme, serta peningkatan microbial load dan sel debris. Enzim juga menyebabkan penurunan kejernihan dengan mengubah kecerahan air kelapa. Proses ultrafiltrasi sendiri dapat meretensi enzim PPO dan POD pada air kelapa, sehingga jumlah enzim berkurang dan kejernihan dapat dipertahankan. Sementara, radiasi ultraviolet dapat membunuh atau mengubah struktur gen mikroorganisme sehingga tidak dapat melakukan metabolisme seperti memecah karbohidrat atau gula pada minuman isotonik air kelapa. Nilai L Gambar 9 merupakan grafik perubahan nilai L sampel KPB dan IPB yang disimpan pada suhu 8˚C. Nilai L awal untuk sampel KPB adalah 101.77 dan untuk sampel IPB adalah 97.05. Berdasarkan pengamatan, dapat terlihat bahwa pada hari ke-17 sampel KPB mengalami penurunan nilai L, hingga mencapai nilai 90.04. Sementara sampel IPB, pada hari yang sama, mengalami penurunan nilai L
25
yang lebih lambat dan cenderung konstan, dengan nilai L 96.92. Nilai L sampel KPB dan IPB terus menurun dari hari ke-17 hingga hari ke-26, mencapai nilai 86.64 dan 84.92 (Gambar 9).
Gambar 9 Penurunan nilai L KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Hasil perhitungan nilai K sebelumnya, untuk 6 hari penyimpanan, menunjukkan bahwa nilai K sampel KPB adalah 0.015 dan nilai K sampel IPB adalah 0.002. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa nilai K sampel IPB lebih rendah dibanding sampel KPB. Hal ini berarti laju perubahan kejernihan sampel IPB lebih lambat dibanding sampel KPB. Pernyataan ini didukung oleh hasil pengamatan (Gambar 9) yang menunjukkan sampel KPB memiliki penurunan nilai L yang lebih cepat selama 17 hari penyimpanan hingga mencapai nilai L 90.04. Sementara nilai L sampel IPB menurun sedikit dan cenderung konstan dengan nilai 96.92 pada kurun waktu yang sama. Penurunan nilai L yang lebih lambat pada sampel IPB diduga akibat adanya pengolahan ultrafiltrasi dan ultraviolet (IPB) lebih lambat dari sampel bahan baku (KPB). Proses ultrafiltrasi dapat meretensi enzim yang ada dalam air kelapa. Diop et al. (2005) dalam Prades et al. (2012), menyebutkan bahwa ultrafiltrasi dengan dapat meretensi 91% enzim POD dan 92% enzim PPO. Adanya reduksi jumlah enzim dalam produk minuman isotonik hasil ultrafiltrasi, memungkinkan penurunan nilai L yang lebih lambat. Nilai a Gambar 10 merupakan grafik perubahan nilai a sampel KPB dan IPB selama 26 hari penyimpanan. Nilai a awal untuk sampel KPB dan IPB secara berturut-turut adalah -0.27 dan -0.184. Berdasarkan gambar 10, dapat terlihat bahwa selama 11 hari penyimpanan sampel KPB dan IPB mengalami perubahan nilai a yang lambat. Nilai a sampel KPB dan IPB pada hari ke-11, secara berturutturut adalah -0.217 dan -0.260. Namun, pada hari ke-11 hingga hari ke-26, nilai a sampel KPB meningkat cukup cepat menjadi -0.173, sementara nilai a sampel KPB meningkat lambat menjadi --0.235. Nilai a sampel KPB meningkat lebih cepat dibanding sampel IPB, pada hari penyimpanan ke-11 hingga ke-26.
26
Gambar 10 Peningkatan nilai a KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa nilai K untuk 11 hari penyimpanan dari sampel KPB yang ditaruh pada suhu 8˚C adalah 1.136, sementara untuk sampel IPB adalah 1.049. Nilai K sampel IPB lebih rendah dibanding sampel KPB. Hal ini berarti laju perubahan nilai a sampel IPB lebih lambat dibanding sampel KPB. Pernyataan tersebut didukung dengan pengamatan pada Gambar 10. Nilai a sampel IPB meningkat lambat selama 26 hari penyimpanan. Sementara nilai a sampel KPB meningkat cukup cepat pada penyimpanan hari ke-11 hingga hari ke-26. Adanya peningkatan nilai a yang lebih lambat pada sampel IPB, diduga karena proses ultrafiltrasi. Peningkatan nilai a atau warna yang semakin merah muda dari air kelapa, disebabkan oleh aktivitas enzim PPO dan POD. Proses ultrafiltrasi dalam meretensi enzim, sehingga jumlah enzim dalam air kelapa berkurang. Jumlah enzim yang berkurang dapat memperlambat peningkatan nilai a selama penyimpanan sehingga warna asli dari air kelapa lebih dapat dipertahankan. Nilai b Berikut adalah perubahan nilai b sampel KPB dan IPB yang disimpan pada suhu 8˚C.
Gambar 11 Peningkatan nilai b KPB dan IPB selama penyimpanan suhu 8˚C Nilai b awal sampel KPB dan IPB, secara berturut-turut, adalah 0.05 dan 0.58. Berdasarkan Gambar 11, dapat terlihat bahwa nilai b sampel KPB
27
meningkat cukup cepat hingga hari ke-14, mencapai nilai 5.51. Sementara, sampel IPB meningkat lebih lambat mencapai nilai 1.38 pada hari ke-14. Nilai b sampel KPB dan IPB dari hari ke-14 hingga hari ke-24 mengalami peningkatan. Secara berturut-turut nilai b sampel KPB dan IPB pada hari ke-24 adalah 9.21 dan 6.96. Berdasarkan Gambar 11, dapat terlihat bahwa nilai b sampel IPB pada hari ke-24 lebih rendah dibanding sampel KPB. Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa nilai K untuk 6 hari penyimpanan dari sampel KPB yang ditaruh pada suhu 8˚C adalah 1.807, sementara untuk sampel IPB adalah 1.216. Nilai K sampel IPB lebih rendah dibanding sampel KPB. Hal ini berarti laju perubahan nilai a sampel IPB lebih lambat dibanding sampel KPB. Pernyataan tersebut didukung dengan pengamatan pada Gambar 11. Nilai b sampel IPB meningkat lebih lambat selama 14 hari penyimpanan dibanding sampel KPB. Adanya peningkatan nilai b yang lebih lambat pada sampel IPB, diduga karena proses ultrafiltrasi. Peningkatan nilai b atau warna yang semakin kekuningan dari air kelapa, disebabkan oleh aktivitas enzim PPO dan POD. Proses ultrafiltrasi dalam meretensi enzim, sehingga jumlah enzim dalam air kelapa berkurang. Jumlah enzim yang berkurang dapat memperlambat peningkatan nilai b selama penyimpanan sehingga warna asli dari air kelapa lebih dapat dipertahankan.
Perubahan Sifat Fisikokimia Air Kelapa selama Penyimpanan dengan Perbedaan Kemasan Pemilihan kemasan yang dapat mempertahankan sifat fisik selama penyimpanan merupakan salah satu upaya untuk mempreservasi air kelapa sehingga memiliki umur simpan yang lebih panjang. Pembahasan pada bagian ini adalah mengenai perubahan sifat fisikokimia minuman isotonik air kelapa yang dikemas menggunakan botol PET (IPB) dan kemasan paper metal (IPM), yang disimpan pada suhu yang sama yakni 8˚C. Derajat keasaman (pH) Berikut adalah grafik perubahan nilai pH dari sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C (Gambar 12).
Gambar 12 Penurunan pH IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C
28
Nilai pH awal sampel IPB dan IPM adalah 5.4. Berdasarkan Gambar 12, dapat terlihat bahwa nilai pH sampel IPB pada hari ke-7 mengalami penurunan menjadi 5.2, sementara nilai pH sampel IPM menurun hingga 4.9 dalam kurun waktu yang sama. Nilai pH kedua sampel terus menurun hingga hari ke-20. Nilai pH sampel IPB hari ke-20 adalah 4.75, sementara nilai pH sampel IPM pada hari yang sama adalah 4.3. Berdasarkan perhitungan, diketahui nilai K sampel IPB dan IPM secara berturut-turut adalah 0.009 dan 0.015. Nilai K pada sampel IPB yang lebih rendah dibanding sampel IPM, menandakan bahwa laju perubahan pH sampel IPB lebih lambat dibanding sampel IPM. Hasil perhitungan tersebut sejalan pengamatan pada Gambar 11, yang menunjukkan perubahan nilai pH sampel IPB menurun lebih lambat dibanding sampel IPM selama penyimpanan. Penurunan nilai pH yang lebih lambat pada sampel yang dikemas dalam botol PET (IPB) dibanding sampel yang dikemas dalam paper metal diduga akibat adanya kontaminasi mikroorganisme dari kemasan paper metal. Paper metal yang digunakan untuk mengemas tidak melewati proses sterilisasi terlebih dahulu seperti botol PET. Tidak adanya proses sterilisasi meningkatkan peluang kontaminasi mikroorganisme. Kontaminasi mikroorganisme dari kemasan tersebut berpotensi menurunkan pH dengan lebih cepat dan menurunkan mutu produk minuman isotonik air kelapa selama penyimpanan. Mikroorganisme sendiri dapat menurunkan nilai pH karena memecah karbohidrat dan menghasilkan asam-asam organik. Kejernihan Gambar 12 merupakan grafik perubahan kejernihan sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C. Nilai Kejernihan awal untuk sampel IPB dan IPM adalah 89.53. Berdasarkan pengamatan, dapat terlihat bahwa kejernihan sampel IPB menurun menjadi 75.4 pada hari ke-14, sementara kejernihan sampel IPM menurun menjadi 56.1 pada hari yang sama. Kejernihan kedua sampel terus menurun hingga hari ke-26. Kejernihan sampel IPB dan IPM pada hari ke-26, secara berturut-turut adalah, 16.25 dan 12.7.
Gambar 13 Penurunan kejernihan IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Hasil perhitungan nilai K sebelumnya, untuk 6 hari penyimpanan, menunjukkan bahwa nilai K sampel IPB adalah 0.027 dan nilai K sampel IPM adalah 0.055. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahuI bahwa nilai K sampel
29
IPB lebih rendah dibanding sampel IPM. Hal ini berarti laju perubahan kejernihan sampel IPB lebih lambat dibanding sampel KPB. Hasil tersebut sejalan dengan pengamatan pada Gambar 12 yang menunjukkan bahwa sampel IPB memiliki perubahan nilai Kejernihan yang lebih rendah dibanding sampel IPM dalam kurun waktu 14 hari. Adanya penurunan kejernihan yang lebih cepat pada sampel IPM, diduga karena kontaminasi mikroorganisme dari kemasan paper metal yang tidak disterilisasi. Kontaminasi mikroorganisme menghasilkan partikel-partikel hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme, serta peningkatan microbial load dan sel debris yang dapat menurunkan kejernihan dengan lebih cepat. Nilai L Nilai L awal sampel IPB dan IPM adalah 97.05. Berdasarkan Gambar 12, dapat terlihat bahwa nilai L sampel IPM menurun mencapai nilai 92.57 pada hari ke-17, sementara, sampel IPB menurun lebih lambat dan cenderung tidak berubah banyak dengan nilai L 96.92 pada hari yang sama. Nilai L sampel IPB dan IPM dari hari ke-17 hingga hari ke-26 mengalami penurunan. Secara berturut-turut nilai L sampel IPB dan IPM pada hari ke-26 adalah 84.92 dan 81.68. Berikut adalah grafik perubahan nilai L dari sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C (Gambar 14).
Gambar 14 Penurunan nilai L IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa nilai K untuk 6 hari penyimpanan dari sampel IPB yang ditaruh pada suhu 8˚C adalah 0.002, sementara untuk sampel IPM adalah 0.002. Nilai K sampel IPB sama dengan sampel IPM. Hal ini berarti laju perubahan nilai L sampel IPB sama dengan sampel KPB untuk 6 hari penyimpanan. Adanya laju penurunan yang sama pada kedua sampel menunjukkan bahwa perbedaan kemasan tidak menghasilkan perbedaan laju penurunan nilai L. Perubahan kecerahan pada air kelapa diduga lebih dipengaruhi oleh aktivitas enzim dibanding aktivitas mikroorganisme, sehingga kondisi kemasan paper metal yang tidak steril dan memperbesar peluang kontaminasi mikroorganisme, tidak memberikan perbedaan terhadap laju penurunan nilai L. Kedua kemasan juga diduga memiliki kemampuan yang sama dalam menahan paparan udara (oksigen) dan menjaga produk dari proses oksidasi oleh enzim PPO dan POD, yang dapat menyebabkan penurunan kecerahan.
30
Nilai a Gambar 13 merupakan grafik perubahan nilai a sampel IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C.
Gambar 15 Peningkatan nilai a IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C Nilai a awal untuk sampel IPB dan IPM adalah -0.184. Berdasarkan pengamatan, dapat terlihat bahwa nilai a sampel IPM meningkat menjadi -0.177 pada hari ke-11, sementara kejernihan sampel IPM menurun menjadi -0.235 pada hari yang sama. Hari penyimpanan selanjutnya (hari ke-11 hingga hari ke-26), nilai a kedua sampel meningkat hingga mencapai titik yang sama yakni -0.100. Hasil perhitungan nilai K sebelumnya, untuk 6 hari penyimpanan, menunjukkan bahwa nilai K sampel IPB adalah 1.04 dan nilai K sampel IPM adalah 1.04. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa nilai K sampel IPB sama dengan sampel IPM. Hal ini berarti laju perubahan nilai L sampel IPB sama dengan sampel KPB untuk 6 hari penyimpanan. Adanya laju penurunan yang sama pada kedua sampel menunjukkan bahwa perbedaan kemasan tidak menghasilkan perbedaan laju penurunan nilai a. Kedua kemasan memiliki kemampuan yang sama dalam melindungi produk dari paparan udara (oksigen) yang dapat mengubah nilai a atau (warna produk menjadi lebih merah muda). Nilai b Berikut adalah grafik dari sampel IPB dan IPM yang disimpan di suhu 8˚C
Gambar 16 Peningkatan nilai a IPB dan IPM selama penyimpanan suhu 8˚C
31
Nilai b awal sampel IPB dan IPM adalah 0.576. Berdasarkan Gambar 14, dapat terlihat bahwa nilai b sampel IPB dan IPMmeningkat lambat hingga hari ke14. Nilai b sampel IPB dan IPM secara berturut-turut adalah 1.38 dan 2.10. Sementara, pada hari ke-14 hingga 26, nilai b kedua sampel meningkat cukup cepat. Nilai b sampel IPB pada hari ke-26 adalah 8.68, sementara nilai b sampel IPM adalah 9.71. Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa nilai K untuk 6 hari penyimpanan dari sampel IPB yang ditaruh pada suhu 8˚C adalah 1.2, sementara untuk sampel IPM adalah 1.2. Nilai K sampel IPB sama dengan sampel IPM. Hal ini berarti laju perubahan nilai L sampel IPB sama dengan sampel KPB untuk 6 hari penyimpanan. Adanya laju penurunan yang sama pada kedua sampel menunjukkan bahwa perbedaan kemasan tidak menghasilkan perbedaan laju penurunan nilai b. Kedua kemasan memiliki kemampuan yang sama dalam melindungi produk dari paparan udara (oksigen), yang dapat menyebabkan proses pencoklatan atau browning dari reaksi oksidasi oleh PPO dan POD.
Perubahan Sifat Organoleptik Air Kelapa selama Penyimpanan Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan uji mutu hedonik dengan 25 orang panelis semi-terlatih. Atribut organoleptik yang diuji adalah aroma dan warna. Atribut rasa selama penyimpanan tidak diuji organoleptik karena mempertimbangkan kandungan mikroorganisme sampel yang tidak dianalisis selama penyimpanan sehingga belum diketahui keamanannya. Hal tersebut merupakan keterbatasan penelitian ini sehingga tidak dapat menggambarkan penerimaan panelis dari segi rasa. Tidak seluruh kelompok sampel diuji organoleptik. Sampel yang sudah berbau busuk atau berbau tidak sedap dieliminasi dari pengamatan. Aroma merupakan indikator mutu yang sensitif terhadap daya terima panelis. Sampel yang beraroma tidak sedap akan otomatis ditolak oleh panelis (Campos et al. 1996 dalam Purkayastha et al. 2012), sehingga pada penelitian ini aroma menjadi indikator untuk mengeliminasi sampel. Sampel yang sudah tidak layak konsumsi, tidak dapat diuji organoleptik. Kelompok sampel yang lolos untuk diuji organoleptik adalah sampel KPB, IPB dan IPM yang disimpan pada suhu 8˚C. Aroma Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa pada hari ke-0 aroma sampel KPB dinilai biasa-suka oleh panelis dengan skor hedonik 5.36, sementara sampel produk (IPB dan IPM) dinilai biasa-tidak suka oleh panelis dengan skor 4.69. Skor tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) setelah diuji Paired Sample T-test. Skor rata-rata hedonik aroma sampel produk dan sampel bahan baku yang tidak berbeda nyata, menunjukkan bahwa adanya proses ultrafiltrasi dan ultraviolet tidak menghasilkan perbedaan pada tingkat kesukaan panelis terhadap aroma. Hari ke-0 merupakan hari awal penyimpanan setelah produksi minuman isotonik air kelapa. Perbedaan kemasan belum dapat terlihat pengaruhnya pada aroma produk di hari tersebut. Aroma dapat muncul akibat adanya senyawa volatil yang berasal dari air kelapa. Proses ultrafiltrasi dan ultraviolet tidak menghilangkan senyawa tersebut,
32
sehingga produk hasil proses ultrafiltrasi dan ultraviolet memiliki aroma yang serupa dengan bahan baku (Purkayastha et al. 2012). Produk hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet menurut Prades et al (2012) memiliki kelebihan yakni tidak merubah aroma produk, sehingga daya terima dari konsumen tidak berbeda dari daya terima konsumen terhadap bahan baku (air kelapa). Tabel 2 Skor rata-rata hedonik atribut aroma Kode Sampel KPB (8˚C) IPB (8˚C) IPM (8˚C)
Skor Rata-rata Hedonik Aroma Hari ke-0 Hari ke-10 Hari ke-20 a,1 a,23 5.36 ± 1.620 5.66 ± 1.731 4.69 ± 1.966 a,1 4.43 ± 1.472 a,1 2.57 ± 1.468 b 4.69 ± 1.966 a,1 4.93 ± 1.879 a,12 -
- Tingkat kesukaan: 0.0 = sangat tidak suka; 2.5 = tidak suka; 5.0 = biasa; 7.50= suka; 10.0 = sangat suka - Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05. Angka yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05
Setelah penyimpanan selama 10 hari, setiap sampel memiliki skor rata-rata hedonik aroma yang berbeda. Sampel KPB dinilai biasa-suka dengan skor 5.66, sementara sampel IPB dan IPM dinilai biasa-tidak suka dengan skor 4.43 dan 4.93. Skor rata-rata hedonik aroma KPB, IPB, dan IPM pada hari ke-10 tidak berbeda nyata dengan hari ke-0 (p>0.05). Hal ini berarti penyimpanan selama 10 hari tidak mengubah tingkat kesukaan panelis terhadap aroma. Perlakuan yang diberikan pada sampel mampu mempertahankan aroma sehingga tidak mengubah daya terima panelis. Uji organoleptik untuk hari ke-20 hanya dilakukan pada sampel IPB. Eliminiasi sampel dilakukan karena aroma sampel KPB dan IPM sudah tidak layak untuk dilakukan uji organoleptik. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma sampel IPB pada hari ke-20 adalah tidak suka (2.57). Skor tersebut berbeda nyata dengan tingkat kesukaan panelis pada hari ke-10 (p>0.05. Hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke-20 sampel IPB dari segi aroma sudah tidak dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Selama penyimpanan, air kelapa akan mengalami fermentasi akibat aktivitas mikroorganisme. Reaksi tersebut menghasilkan gas yang mengubah aroma air kelapa menjadi tidak sedap. Aroma yang tidak sedap tersebut dapat mempengaruhi daya terima konsumen terhadap air kelapa (Prades et al. 2012). Menurut Reddy et al. (2007) dalam Purkayastha et al. (2012), proses ultrafiltrasi dan ultraviolet saja tidak cukup dalam mempertahankan aroma air kelapa. Proses tersebut belum mampu mencegah adanya gas dari fermentasi oleh mikroorganisme. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji lanjut Duncan skor rata-rata hedonik aroma sampel bahan baku (KPB) dan sampel produk (IPB) pada hari ke10 (Tabel 2). Skor rata-rata hedonik aroma sampel produk yang diproses ultrafiltrasi dan ultraviolet lebih kecil dibanding sampel bahan baku dan berbeda nyata (p<0.05). Sementara itu, berdasarkan Tabel 2, perbedaan kemasan tidak menghasilkan skor rata-rata hedonik aroma yang berbeda nyata antara sampel IPB dan sampel IPM pada hari ke-10 (p>0.05). Keduanya menghasilkan tingkat kesukaan panelis dalam rentang biasa-suka.
33
Aroma, selain dinilai secara hedonik atau tingkat kesukaan, juga dinilai secara mutu hedonik atau derajat kekuatan. Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa panelis menilai kekuatan aroma sampel pada hari ke-0 dengan skor 3.83 untuk sampel bahan baku KPB dan 3.58 untuk sampel produk (IPB dan IPM). Skor tersebut berada pada rentang skor lemah-sedang. Berdasarkan hasil uji beda, skor kekuatan aroma sampel bahan baku dan produk tidak berbeda nyata (p>0.05). Proses ultrafiltrasi dan ultraviolet pada sampel produk tidak memberikan perbedaan kekuatan aroma dengan sampel bahan baku. Kekuatan aroma sampel tidak berkurang setelah diproses ultrafiltrasi maupun ultraviolet. Aroma air kelapa akan semakin kuat selama penyimpanan karena reaksi gas karbondioksida hasil pemecahan gula oleh bakteri (Prades et al. 2012. Selain itu, aroma juga berasal dari oksidasi lemak yang terus berlangsung (Duarte et al. 2002). Semakin kuat aroma menandakan semakin banyak senyawa volatil dan gas karbondioksida yang terbentuk. Mutu air kelapa semakin menurun akibat terbentuknya senyawasenyawa tersebut (Rosita 2000). Tabel 3 menunjukkan perubahan kekuatan aroma sampel pada hari ke-10. Skor sampel KPB dan IPB secara berturut-turut meningkat menjadi 4.02 dan 4.26, sementara skor sampel IPB menurun menjadi 3.29 dari hari ke-0. Proses ultrafiltrasi dan ultraviolet tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kekuatan aroma. Hal tersebut dapat terlihat dari skor sampel KPB dan sampel IPB pada hari ke-10 yang tidak berbeda nyata setelah diuji sidik ragam (p>0.05). Hal ini sejalan dengan pernyataan Purkayastha et al. (2012), mengenai ultrafiltrasi yang tidak dapat mempertahankan aroma selama penyimpanan karena proses fermentasi dan oksidasi lemak yang berlangsung selama penyimpanan. Selain itu, perbedaan kemasan juga tidak memberikan skor yang berbeda nyata pada kekuatan aroma. Skor sampel IPB dan IPM pada hari ke-10, yang tidak berbeda setelah diuji sidik ragam (p>0.05). Tabel 3 Skor rata-rata mutu hedonik atribut aroma Kode Sampel KPB (8˚C) IPB (8˚C) IPM (8˚C)
Skor Rata-rata Mutu Hedonik Aroma Hari ke-0 Hari ke-10 Hari ke-20 3.83 ± 3.091 a,1 4.02 ± 2.508 a,1 a,1 a,1 3.58 ± 2.714 4.26 ± 2.632 5.33 ± 3.743 a a,1 a,1 3.58 ± 2.714 3.29 ± 2.256 -
- Tingkat kekuatan: 0 = lemah; 5 = sedang; 10 = kuat - Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05. Angka yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05
Tabel 3 menunjukkan pula bahwa skor sampel IPB pada hari ke-20 meningkat menjadi 5.33. Adanya peningkatan skor tersebut tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan hari ke-0 dan ke-10 setelah diuji sidik ragam (p>0.05). Sampel IPB merupakan sampel produk hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet yang diberi pengawet dan dikemas dalam botol. Perlakuan tersebut, berdasarkan hasil uji sidik ragam, dinilai dapat mempertahankan kekuatan aroma produk selama penyimpanan. Berdasarkan hasil uji hedonik dan mutu hedonik sampel selama 10 hari penyimpanan, dapat pula disimpulkan bahwa peningkatan intensitas aroma tidak menimbulkan perbedaan pada kesukaan panelis. Panelis tetap memberikan
34
penilaian kesukaan (hedonik) dalam rentang biasa untuk atribut aroma selama 10 hari penyimpanan. Hal ini diduga karena aroma sampel dalam kurun waktu tersebut masih dapat diterima panelis dan belum menimbulkan aroma tidak sedap yang menyengat meskipun intensitas atau kekuatannya meningkat. Berbeda halnya dengan sampel IPB pada hari ke-20. Aroma sampel pada hari tersebut juga meningkat namun diduga telah memberikan aroma yang tidak sedap yang menyengat dan tidak dapat diterima oleh panelis, sehingga diberikan penilaian hedonik tidak suka. Aroma sendiri muncul akibat fermentasi gula dan merupakan atribut organoleptik yang cukup sensitif untuk penerimaan panelis. Sampel yang beraroma tidak sedap akan ditolak oleh panelis (Purkayastha et al. 2012). Warna Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna sampel KPB, IPB, IPM dan IM pada hari ke-0 adalah biasa-suka, dengan skor 6.27 untuk sampel bahan baku dan skor 6.32 untuk sampel produk. Skor tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) setelah diuji Paired Sample T-test. Proses ultrafiltrasi dan ultraviolet pada sampel produk (IPB, IPM) tidak membuat perbedaan warna yang nyata dari sampel bahan baku (KPB). Proses ultrafiltrasi dan ultraviolet memiliki kelebihan dalam memproses air kelapa yakni mempertahankan sifat fisik air kelapa, termasuk warna. Warna pada air kelapa yang diproses ultrafiltrasi dan ultraviolet tidak berubah karena tidak melalui proses pemanasan yang dapat menyebabkan reaksi pencoklatan atau browning (Prades et al. 2012). Tabel 4 Skor rata-rata hedonik atribut warna Kode Sampel KPB (8˚C) IPB (8˚C) IPM (8˚C)
Skor Rata-rata Hedonik Warna Hari ke-0 Hari ke-10 Hari ke-20 a,1 a,1 6.27 ± 1.695 6.44 ± 1.741 6.32 ± 1.763 a,1 6.25 ± 1.864 a,1 5.48 ± 1.920 a 6.32 ± 1.763 a,1 6.70 ± 1.762 a,1 -
- Tingkat kesukaan: 0.0 = sangat tidak suka; 2.5 = tidak suka; 5.0 = biasa; 7.50= suka; 10.0 = sangat suka - Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05. Angka yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05
Setelah penyimpanan selama 10 hari, tingkat kesukaan air kelapa panelis tidak berubah yakni biasa-suka, dengan kisaran skor 6.25-6.70. Beberapa sampel seperti KPB dan IPM mengalami kenaikan skor, namun hal tersebut tidak berbeda dengan hari ke-0 (p>0.05). Skor sampel IPB mengalami penurunan menjadi 6.25, namun skor tersebut masih dalam rentang tingkat kesukaan biasa-suka dan tidak berbeda dari hari ke-0 (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan selama 10 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap warna sampel. Berdasarkan hasil uji beda antar sampel pada hari ke-10, tidak terdapat perbedaan skor rata-rata hedonik warna antar sampel (p>0.05). Hal tersebut menunjukkan perbedaan kondisi penyimpanan, baik perlakuan pemberian pengawet maupun kemasan, tidak mempengaruhi tingkat kesukaan pada hari penyimpanan ke-10.
35
Uji hedonik pada hari ke-20 dilakukan pada sampel IPB saja, karena sampel lainnya sudah tereleminasi akibat aroma yang tidak sedap. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna sampel IPB berada dalam rentang biasa-suka dengan skor rata-rata 5.4. Berdasarkan hasil uji sidik ragam, skor tersebut tidak berbeda nyata dengan tingkat kesukaan panelis pada hari ke-10 dan hari ke-0. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan selama 20 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap warna sampel IPB. Warna sampel masih dapat diterima oleh panelis pada hari ke-20. Warna, selain dinilai secara hedonik, juga dinilai secara mutu hedonik. Penilaian warna secara mutu hedonik menggunkan atribut kekeruhan supaya dapat diukur derajat atau intensitasnya selama penyimpanan. Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa sampel bahan baku (KPB) memiliki skor rata-rata mutu hedonik kekeruhan sebesar 4.41. Skor tersebut termasuk dalam rentang skor lemah-sedang. Sementara sampel produk (IPB dan IPM) memiliki skor mutu hedonik kekeruhan sebesar 1.16 yang lebih mendekati batas skor lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel IPB dan IPM lebih jernih dibandingkan sampel KPB. Berdasarkan hasil uji Paired Sample T-test, skor sampel bahan baku (KPB) dan sampel produk (IPB dan IPM) pada hari ke-0 berbeda nyata (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ultrafiltrasi dan ultraviolet memberikan perbedaan terhadap kekeruhan air kelapa. Sampel IPB, dan IPM merupakan sampel produk yang diproses ultrafiltrasi dan ultraviolet. Menurut Prades et al. (2012), proses ultrafiltrasi dapat menjernihkan air kelapa karena partikel-partikel pengotor tersaring. Skor rata-rata mutu hedonik kekeruhan seluruh sampel meningkat pada hari ke-10 dengan peningkatan yang berbeda setiap sampelnya (Tabel 5). Skor sampel KPB meningkat menjadi 7.22, yang termasuk dalam rentang skor sedang-kuat. Skor sampel IPB dan IPM meningkat menjadi 3.60 dan 3.63, yang termasuk dalam rentang skor lemah-sedang. Setelah diuji sidik ragam, skor seluruh sampel pada hari ke-10 berbeda nyata dengan hari ke-0. Begitu pula pada sampel IPB yang diamati pada hari ke-20. Skor rata-rata mutu hedonik kekeruhan pada hari ke-20 berbeda nyata dengan hari ke-0 dan ke-10 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan, kekeruhan semakin terlihat jelas. Kekeruhan air kelapa semakin meningkat selama penyimpanan karena terbentuknya partikel-partikel tak larut hasil pemecahan gula oleh mikroorganisme dan adanya reaksi perubahan warna enzimatis yang menurunkan kejernihan. Tabel 5 Skor rata-rata mutu hedonik atribut kekeruhan Kode Sampel KPB (8˚C) IPB (8˚C) IPM (8˚C)
Skor Rata-rata Mutu Hedonik Kekeruhan Hari ke-0 Hari ke-10 Hari ke-20 4.41 ± 2.421 a,1 7.22 ± 2.062 b,3 a,2 b,1 1.61 ± 1.496 3.60 ± 2.527 7.00 ± 2.306 c 1.61 ± 1.496 a,2 3.63 ± 2.241 b,1 -
- Tingkat kekuatan: 0 = lemah; 5 = sedang; 10 = kuat - Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05. Angka yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05
36
Seluruh perlakuan, berdasarkan penilaian panelis, tidak dapat menghindarkan air kelapa dari peningkatan kekeruhan yang nyata pada hari ke-10 dan hari ke-20. Hal ini disebabkan karena air kelapa mengalami perubahan kekeruhan sangat cepat setelah dikeluarkan dari tempurung (Manhot et al. 2014). Berdasarkan pengamatan fisik dengan menggunakan spektrofotometer, kejernihan air kelapa yang disimpan pada suhu 8˚C sudah menurun pada pengamatan hari ke4 dan terus menurun selama penyimpanan hingga hari ke-26. Hasil uji sidik ragam skor rata-rata mutu hedonik kekeruhan pada hari ke-0, ke-10, dan ke-20 yang berbeda nyata, sejalan dengan hal tersebut. Perlakuan yang paling mampu memperlambat peningkatan kekeruhan selama penyimpanan, dapat terlihat dari hasil uji lanjut Duncan antar sampel pada hari ke-10. Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara skor sampel yang diproses ultrafiltrasi dan ultraviolet (IPB) dengan sampel bahan baku (KPB) (p<0.05). Sampel IPB memiliki skor rata-rata mutu hedonik yang lebih rendah dibanding sampel KPB. Hal ini diduga karena proses ultrafiltrasi dan ultraviolet mempertahankan kejernihan dengan mereduksi jumlah enzim (ultrafiltrasi) dan membunuh mikroorganisme (ultraviolet). Berdasarkan hasil uji hedonik dan mutu hedonik sampel selama penyimpanan, dapat pula disimpulkan bahwa peningkatan kekeruhan tidak menimbulkan perbedaan pada kesukaan panelis. Panelis tetap memberikan penilaian kesukaan (hedonik) dalam rentang suka untuk atribut warna selama penyimpanan meskipun sampel semakin keruh (tidak bening). Hal ini diduga karena kekeruhan sampel masih dapat diterima oleh panelis sebagai warna dari minuman isotonik air kelapa. Warna minuman isotonik yang banyak beredar di pasaran sendiri juga sedikit keruh dan tidak bening sempurna, sehingga adanya peningkatan kekeruhan pada sampel air kelapa tidak menurunkan tingkat kesukaan panelis. Kekeruhan air kelapa selama penyimpanan masih dianggap wajar sebagai warna dari minuman isotonik. Berdasarkan penelitian dari Reddy et al. 2007, dapat diketahui pula bahwa warna sendiri bukan merupakan indikator yang sensitive terhadap penerimaan panelis. Warna bening maupun keruh mendekati putih dianggap normal dan masih disukai oleh konsumen.
Pendugaan Umur Simpan Pendugaan umur simpan dengan menggunakan metode akselerasi diawali dengan menentukan parameter kritis dari produk minuman isotonik air kelapa. Parameter kritis adalah parameter yang lebih cepat berubah akibat kerusakan mutu sehingga representatif untuk menilai penurunan mutu produk. Parameter kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH atau derajat keasaman. Parameter pH termasuk parameter kimia yang sangat rentan berubah akibat adanya aktivitas mikroorganisme dan enzim. Aktivitas mikroorganisme dan enzim menyebabkan reaksi seperti fermentasi, oksidasi lemak dan pemecahan protein yang menghasilkan gas CO2, gula pereduksi, asam lemak dan asam amino. Selain itu, reaksi tersebut dapat berpengaruh pada sifat fisik seperti turbiditas dan warna (Manhot et al. 2014; Prades et al. 2012; Purkayastha et al. 2012). Perubahan mutu baik kimia, fisik maupun daya terima dari air kelapa mengikuti suatu ordo reaksi. Penentuan ordo reaksi pada penelitian ini,
37
menggunakan nilai R2 (koefisien korelasi) dari penurunan pH setiap perlakuan dalam kurun waktu 28 hari. Nilai R2 yang lebih besar antara perubahan nilai pH pada ordo nol dan ordo satu, menunjukkan ordo kinetika reaksi yang lebih sesuai. Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa perubahan nilai pH pada ordo satu memiliki nilai R2 yang lebih besar. Nilai R2 perubahan pH ordo nol berkisar antara 0.703 – 0.913, sementara nilai R2 perubahan pH ordo satu berkisar antara 0.741 – 0.947. Perubahan nilai pH pada ordo satu tersebut digunakan untuk menduga umur simpan produk minuman isotonik air kelapa. Avila dan Silva (1999) dalam Sukasih et al. (2007) menyebutkan bahwa perubahan mutu pada bahan pangan banyak yang dijelaskan oleh ordo nol atau ordo satu. Beberapa reaksi yang mengikuti ordo satu adalah penurunan warna oksidatif, ketengikan, pertumbuhan et al. dan kerusakan vitamin. Sementara yang mengikuti ordo nol adalah kerusakan enzimatis dan oksidasi (Sukasih et al.2007). Nilai k diambil dari nilai slope (gradien) perubahan pH kemudian dikonversi menjadi Ln k dan dipetakan terhadap 1/T menjadi persamaan Arrhenius. Tabel 7 menunjukkan persamaan Arrhenius dari setiap sampel. Tabel 6 Nilai slope, intercept, dan koefisien korelasi reaksi ordo 0 dan ordo 1 pH Produk
KPB
IPB
IPM
Ordo nol
Ordo satu
Suhu (˚C)
Slope (k)
Intercept
R
Slope (k)
Intercept
R2
8
-0.050
5.612
0.860
-0.010
1.727
0.864
13
-0.124
5.484
0.896
-0.028
1.712
0.915
25
-0.081
4.906
0.755
-0.019
1.589
0.806
8
-0.030
5.454
0.801
-0.006
1.697
0.808
13
-0.103
5.261
0.913
-0.025
1.674
0.947
25
-0.079
4.726
0.709
-0.019
1.548
0.741
8
-0.052
5.334
0.869
-0.011
1.677
0.869
13
-0.128
5.546
0.900
-0.030
1.729
0.917
25
-0.097
4.880
0.839
-0.025
1.592
0.892
2
Pendugaan umur simpan metode akselerasi memerlukan suatu batas nilai mutu (minimal atau maksimal) yang menunjukkan standar kelayakan produk. Titik saat produk mulai mengalami kerusakan merupakan akhir dari umur simpan produk (Sukasih et al. 2007). Berdasarkan SNI 01-4452-1998 batas maksimal nilai pH untuk produk minuman isotonik adalah empat. Batas maksimal nilai pH ini menjadi acuan untuk menentukan total unit mutu produk dari awal hingga batas kritis. Nilai pH awal (hari ke-0) untuk KPB adalah 5.6 dan untuk IPB dan IPM adalah 5.4. Total unit mutu adalah jumlah keseluruhan penurunan unit mutu dari mutu awal hingga batas kritis. Total unit mutu untuk pH dihitung dengan menghitung selisih nilai pH awal dengan batas kritis pH. Hasil tersebut kemudian dikonversi menggunakan logaritma natural. Konversi dilakukan karena laju perubahan pH mengikuti ordo satu. Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa sampel KPB memiliki total unit mutu 0.47, sementara sampel IPB dan IPM memiliki total unit mutu 0.34 (Tabel 5). Artinya untuk mencapai batas kritis, sampel bahan baku (KPB) memiliki 0.47 unit sementara sampel produk (IPB dan IPM) memiliki 0.34
38
unit. Perbedaan total unit mutu pada sampel disebabkan oleh perbedaan nilai pH awal (Sukasih et al. 2007). Tabel 7 Persamaan Arrhenius pH sampel pada berbagai suhu penyimpanan Produk
KPB
IPB
IPM
Suhu (˚C)
Ln k
T (˚K)
1/T (˚K)
8
-4.612
281
0.00356
13
-3.562
286
0.00350
25
-3.950
298
0.00336
8
-5.137
281
0.00356
13
-3.688
286
0.00350
25
-3.942
298
0.00336
8
-4.525
281
0.00356
13
-3.512
286
0.00350
25
-3.693
298
0.00336
Persamaan linear Ln K vs 1/T (˚K)
Persamaan Arhenius Ln K = Ln Ko-Ea/R (1/T)
Y = -2231.69X + 3.7035 R2 = 0.191
Ln K= -2231.69(1/T)+3.7035
Y = -4575.78X + 11.6239 R2 = 0.378
Ln K= -4575.78(1/T)+11.6239
Y =-3181.15X + 7.1296 R2 = 0.375
Ln K = -3181.15(1/T) +7.1296
Umur simpan diduga dengan membagi total unit mutu dengan laju perubahan unit mutu per hari. Laju perubahan unit mutu didapat melalui konversi nilai Ln K persamaan Arrhenius menjadi nilai K sesuai suhu pendugaan. Suhu pendugaan yang dicantumkan pada gambar adalah 8˚C sebagai representasi suhu refrigerator, 13 ˚C sebagai representasi suhu chiller dan 25˚C sebagai representasi suhu ruang. Berikut adalah hasil perhitungan umur simpan seluruh sampel pada tiga suhu pendugaan. Dugaan umur simpan paling panjang dimiliki oleh sampel IPB dengan suhu pendugaan 8˚C. yaitu 36 hari (Gambar 14). Sementara itu, dugaan umur simpan paling pendek dimiliki oleh sampel IPM pada suhu 25˚C yakni 12 hari. Adanya variasi dugaan umur simpan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik bahan baku, kondisi pengolahan, kondisi pengemasan, kondisi penyimpanan, distribusi dan penjajakan (Haryadi 2006 dalam Sukasih et al. 2007). Perbedaan pengolahan seperti proses ultrafiltrasi dan ultraviolet, perbedaan kondisi penyimpanan seperti variasi suhu dan kemasan memiliki pengaruh terhadap dugaan umur simpan sampel. Selain itu, dugaan umur simpan juga dipengaruhi oleh total unit mutu sampel yang bergantung pada pH awal. Semakin rendah total unit mutu produk, semakin pendek dugaan umur simpannya (Sukasih et al. 2007). Sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C merupakan sampel yang diproses ultrafiiltrasi dan ultraviolet; diberi penambahan pengawet Na-benzoat; dan dikemas dalam botol plastik PET yang sudah disterilkan. Sampel tersebut memiliki dugaan umur simpan yang lebih panjang diduga karena produksi ultrafiltrasi dan ultraviolet yang dapat mereduksi jumlah enzim dan mikroorganisme, pengawet Na-benzoat yang bersifat antimikrobial dan menghambat metabolisme sel mikroorganisme, serta kemasan botol plastik PET yang steril, tidak terkontaminasi mikroorganisme dan memiliki permeabilitas kecil terhadap udara (oksigen). Selain itu, penyimpanan pada suhu 8˚C juga menghambat aktivitas enzim dan metabolisme mikroorganisme karena suhu
39
lingkungan tidak mendukung. Keseluruhan perlakuan tersebut memperlambat laju perubahan mutu (pH) sehingga dugaan umur simpan menjadi lebih panjang.
Gambar 17 Dugaan umur simpan air kelapa (KPB) dan minuman isotonik air kelapa (IPB, IPM) Dugaan umur simpan yang lebih pendek dari sampel yang dikemas dalam paper metal (IPM) diduga akibat kontaminasi organisme dari kemasan paper metal. Kontaminasi mikroorganisme dari kemasan meningkatkan laju perubahan nilai pH karena proses fermentasi (Manhot et al. 2014). Kemasan paper metal pada penelitian ini tidak melalui proses sterilisasi seperti botol PET, sehingga memperbesar peluang kontaminasi mikroorganisme. Kemasan paper metal yang telah diterima dari agen langsung diproses, dengan asumsi telah disterilkan oleh pihak agen penjual kemasan. Sterilisasi untuk produk yang menggunakan kemasan paper metal biasa dilakukan dengan hot processing seperti pasteuriasi atau heat pressure, namun proses tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. Selain itu, perubahan pH yang lebih cepat pada sampel IPB diduga pula akibat ukuran kemasan paper metal yang terlalu besar dan memberikan ruang kosong pada kemasan produk. Ruang kosong berpotensi mengontaminasi produk karena udara ikut masuk dalam kemasan lalu mempengaruhi mutu produk selama penyimpanan. Adanya paparan udara terhadap air kelapa dapat menimbulkan kontaminasi mikroorganisme serta reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim PPO dan POD. Reaksi ini menimbulkan asam-asam organik meningkatkan keasaman produk minuman isotonik air kelapa (Duarte et al. 2002). Menurut Nurminah (2002), luas permukaan kemasan mempengaruhi jumlah gas. Luas permukaan kemasan yang kecil dapat memperpanjang masa simpan produk. Berkaitan dengan daya simpan, penerimaan konsumen juga dapat menjadi parameter dalam menentukan umur simpan. Akhir masa simpan untuk parameter penerimaan konsumen adalah saat produk ditolak atau diberi penilaian „tidak suka‟ dalam uji hedonik (Sukasih et al. 2007). Sampel IPB yang disimpan pada suhu 8˚C sendiri ditolak oleh konsumen pada hari penyimpanan ke-20 (Tabel 2). Konsumen menilai bahwa aroma sampel pada hari tersebut sudah tidak sedap dan tidak segar. Kualitas organoleptik sampel telah menurun pada hari ke-20, meskipun dari segi parameter derajat keasaman (pH), produk masih layak untuk dikonsumsi hingga hari penyimpanan ke-36. Perbedaan umur simpan yang ditinjau berdasarkan parameter penerimaan konsumen dan paramater pH, menghasilkan dua jenis penamaan umur simpan.
40
Umur simpan selama 20 hari berdasarkan parameter penerimaan konsumen dapat dikatakan sebagai Best Before. Best Before adalah waktu atau tanggal yang menunjukkan puncak kesegaran produk (Tsiros dan Heilman 2005). Setelah tanggal yang tertera pada Best Before, produk masih aman dikonsumsi namun telah kehilangan kualitas optimumnya, seperti sampel IPB yang sudah beraroma tidak sedap pada hari ke-20. Sementara, umur simpan selama 36 hari berdasarkan parameter pH, dapat dikatakan sebagai Expiry Date. Expiry date adalah waktu atau tanggal akhir produk aman untuk dikonsumsi (Tsiros dan Heilman 2005). Produk yang telah melewati expiry date tidak aman untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan resiko. Sampel IPB yang telah mencapai pH 4 pada hari ke-36 tidak aman untuk dikonsumsi karena pH yang semakin rendah menunjukkan jumlah mikroorganisme yang semakin tinggi (Prades et al. 2012). Produk yang terkena kontaminasi mikroorganisme beresiko bagi konsumen. Minuman isotonik komersial yang beredar di pasaran sendiri memiliki umur simpan kurang lebih 8-9 bulan. Sementara, untuk air kelapa yang diproses dengan cold sterilization (seperti mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi) dapat bertahan kurang lebih selama 6 bulan. Hal ini berdasarkan paten dari FAO (1998) dalam Prades et al. (2012). FAO mengklaim bahwa air kelapa yang diproses dengan sentrifugasi dan mikrofiltrasi, dikemas secara aseptik serta disimpan pada suhu 4˚C dapat bertahan selama 6 bulan (Prades et al. 2012). Dugaan umur simpan sampel IPB yang disimpan dalam suhu 8˚C hanya mencapai angka 36 hari atau kurang lebih satu bulan. Umur simpan sampel IPB tersebut lebih pendek dibanding umur simpan produk air kelapa pada paten FAO. Hal ini diduga akibat proses produksi sampel yang kurang aseptik, karena keterbatasan peralatan untuk sterilisasi dan pengemasan. Selain itu, suhu yang digunakan pada penyimpanan FAO juga lebih rendah dibanding suhu penyimpanan yang dipakai pada penelitian ini, sehingga dimungkinkan menghasilkan umur simpan yang lebih panjang. Namun apabila didukung dengan proses produksi yang aseptik, kombinasi proses ultrafiltrasi dan ultraviolet ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai alternatif cold sterilization untuk memperpanjang umur simpan air kelapa.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sampel air kelapa sebagai bahan baku yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki laju perubahan sifat fisikokimia (pH, kejernihan, warna) yang lebih lambat dibanding sampel sampel yang disimpan pada suhu 13˚C an 25˚C. Sampel air kelapa sebagai bahan baku yang disimpan pada suhu 8˚C juga memiliki atribut organoleptik (aroma dan warna) yang lebih baik dibanding sampel yang disimpan pada suhu 13˚C (suhu chiller) dan 25˚C (suhu ruang). Sampel air kelapa sebagai bahan baku yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C dieliminasi dari uji organoleptik pada hari ke-10 karena aroma yang sudah tidak sedap. 2. Sampel produk air kelapa hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet yang disimpan pada suhu 8˚C memiliki laju perubahan sifat fisikokimia (pH, kejernihan,
41
warna) yang lebih lambat dibanding sampel sampel yang disimpan pada suhu 13˚C an 25˚C. Sampel produk air kelapa hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet yang disimpan pada suhu 8˚C juga memiliki atribut organoleptik (aroma dan warna) yang lebih baik dibanding sampel yang disimpan pada suhu 13˚C (suhu chiller) dan 25˚C (suhu ruang). Sampel produk air kelapa hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet yang disimpan pada suhu 13˚C dan 25˚C dieliminasi dari uji organoleptik pada hari ke-10 karena aroma yang sudah tidak sedap. 3. Sampel yang diolah dengan ultrafiltrasi dan ultraviolet (minuman isotonik) memiliki laju perubahan sifat fisikokimia (pH, kejernihan, warna) yang lebih lambat dibanding sampel air kelapa segar tanpa pengolahan. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna dan kekuatan aroma dari sampel minuman isotonik air kelapa tidak berbeda dengan sampel air kelapa selama 10 hari penyimpanan, pada tingkat kepercayaan 95%. Namun pada kurun waktu yang sama, sampel tersebut memiliki tingkat kesukaan panelis terhadap aroma yang lebih tinggi dan kekuatan kejernihan yang lebih rendah dibanding sampel air kelapa. 4. Sampel produk air kelapa hasil ultrafiltrasi dan ultraviolet yang dikemas dalam botol PET memiliki laju perubahan pH dan kejernihan yang lebih lambat dibanding sampel yang dikemas dalam paper metal. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma dan warna serta kekuatan aroma dan warna dari sampel tersebut tidak berbeda dengan sampel air kelapa selama 10 hari penyimpanan, pada tingkat kepercayaan 95%. 5. Berdasarkan perhitungan metode akselerasi dengan parameter kritis fisikokimia yakni pH, sampel minuman isotonik air kelapa dengan penambahan pengawet Na-benzoat dan dikemas dalam botol plastik PET, memiliki dugaan umur simpan paling lama pada suhu 8˚C (suhu refrigerator) dengan lama penyimpanan 36 hari. Reaksi kinetika penurunan mutu pH mengikuti reaksi ordo satu. Saran Minuman isotonik air kelapa dapat menjadi alternatif minuman bagi atlet untuk mencegah dehidrasi dengan indeks rehidrasi yang lebih baik dibandingkan air mineral biasa. Rasa dan aroma air kelapa yang khas dapat meningkatkan palatabilitas atlet sehingga proses rehidrasi berjalan lebih sempurna. Minuman isotonik air kelapa disarankan untuk diminum saat dan setelah olahraga karena kandungan gula maupun mineralnya yang dapat menggantikan cairan tubuh yang hilang serta memberikan suplai energi secara cepat. Minuman isotonik air kelapa dengan proses ultrafiltrasi dan ultraviolet disarankan untuk dikemas dalam botol PET yang sudah disterilisasi, diberi penambahan pengawet natrium benzoat dan disimpan pada suhu 8˚C (suhu freezer) untuk umur simpan yang lebih panjang. Selain itu, penambahan natrium sebagai bahan tambahan pangan juga disarankan untuk meningkatkan kandungan natrium dalam produk sehingga dapat memenuhi standar SNI untuk minuman isotonik. Berkaitan dengan proses produksi dan pengemasan, perlu dilakukan sterilisasi pada kemasan paper metal yang digunakan dalam penyimpanan produk minuman isotonik air kelapa, dalam rangka mengurangi potensi kontaminasi mikroorganisme. Ukuran kemasan paper metal juga harus sesuai dengan jumlah sampel uji. Ukuran yang terlalu besar tidak direkomendasikan karena memberikan
42
ruang kosong yang berisi udara. Kebersihan dan kesterilan alat-alat produksi seperti alat ultrafiltrasi, ember, saringan, corong dan pengaduk, perlu diperhatikan supaya produk terhindar dari kontaminasi fisik dan biologis. Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak dilakukannya uji mikrobiologis dan uji organoleptik untuk atribut rasa. Pendugaan umur simpan menggunakan parameter kritis mikrobiologis disarankan untuk dilakukan karena air kelapa memiliki laju perubahan mikrobiologis yang cukup cepat. Pendugaan umur simpan menggunakan parameter kritis mikrobiologis lebih baik dalam menduga umur simpan sehingga keamanan pangan produk minuman isotonik air kelapa lebih terjamin. Uji organoleptik atribut rasa selama penyimpanan juga disarankan untuk dilakukan karena uji tersebut dapat memperkuat analisis perubahan penerimaan konsumen untuk produk minuman isotonik selama penyimpanan. Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah tidak dilakukannya uji statistik untuk melihat signifikansi perbedaan serta pengaruh perlakuan terhadap sifat fisikokimia. Uji statistik untuk melihat signifikansi perubahan parameter fisikokimia tersebut, juga disarankan untuk dilakukan.
43
DAFTAR PUSTAKA [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4452-1998. Minuman Isotonik. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Kategori Pangan. Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan. Adegoke AO, Bamigbowu EO, George-Opuda MI, Edomwande P. 2012. Electrolyte and glucose contents of ripe and unripe coconut liquid as source of oral rehydration solution. Int J. of Appl Research in Nat Prod. 5 (1):18-21. Alreza R. 2012. Pengaruh bahan pelapis terhadap karakteristik kelapa muda siap saji selama penyimpanan.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Apostu M. 2013. A strategy for maintaining fluid and electrolyte balance in aerobic effort. Procedia - Soc and BehavSci.117:323–328. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.02.221. Aoi W, Naito Y, Yoshikawa T. Exercise and functional foods. 2006. Nut J. 5:15 doi:10.1186/1475-2891-5-15. Awua AK, Doe ED, Agyare R. 2011 Exploring the influence of sterilisation and storage on some physicochemical properties of coconut (Cocos nucifera L.) water. BMC Research Notes. 4:451. Azriani Y. 2006. Pengaruh jenis kemasan plastik dan kondisi pengemasan terhadap kualitas mi sagu selama penyimpanan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bahri S, Sigit JI, Apriantono T, Syafriani R, Dwita LP,˚Ctiaviar YH. 2012. Penanganan rehidrasi setelah olahraga dengan air kelapa (Cocos nucifera L.), air kelapa ditambah gula putih, minuman suplemen, dan air putih. Jurnal Matematika & Sains. 17(1):22-27 Cahyadi, W. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Dardanella D. 2007.Pengaruh jenis kemasan dan kondisipenyimpanan terhadap mutu produk keju cheddar selama penyimpanan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Duarte ACP, Coelho AAZ, Leite SGF. 2002. Identification of peroxidase and tyrosinase in green coconut water. Ciencia y Tecnologı´a Alimentarı´a. 3(5): 266–270. doi: 10.1080/11358120209487737. Dwita LP. 2009. Pengaruh rehidrasi dengan air kelapa (cocos nutifera l) dan minuman suplemen terhadap stamina atlet. [skripsi]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Fardiaz. 1990. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Falguera V, Pagan J, Garza S, Garvin A, Ibarz A. 2011. Ultraviolet processing of liquid food: A review. Part 2: Effects on microorganisms and on food
44
components and properties. Food Res Intl. 44(2011): 1580-1588. doi:10.1016/j.foodres.2011.03.025. Hornsby J. 2011. The effects of carbohydrate-electrolyte sports drinks on performance and physiological function during an 8km cycle time trial. The Plymouth Stud Sci. 4(2):30-49 Haynes K, Bundang R, O Chu, Eichinger C, DS Lineback, Bolles AD. 2004. Method for production of coconut water beverage and blended juice beverages with coconut water. US Patent. US 2004/0018285 A1. Hunter RS. 1958. Photoelectric Color Difference Meter. Journal Of The Optical Society Of America. 48(12): 985-995. Immawati A. 2011. Pengaruh pemberian sport drink terhadap performa dan tes keterampilan pada atlet sepak bola usia 15–18 tahun. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Jackson JC, Gordon A, Wizzard G, McCook K, Rolle R. 2004. Changes in chemical composition of coconut (Cocos nucifera) water during maturation of the fruit. J Sci Food Agric 84:1049–1052. doi 10.1002/jsfa.1783. Kailaku SI, Syah ANA, Mulyawanti I. 2006. Perbaikan mutu minuman isotonik alami air kelapa dengan teknologi ultrafiltrasi. Prosiding Lokakarya Nasional: Strategi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Pertanian melalui Penerapan Teknologi Pascapanen dan Sistem Keamanan Pangan. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, 12 September 2006. Kailaku SI, Syah ANA, Setiawan B, Sulaeman A. 2015. Carbohydrate-electrolyte characteristics of coconut water from different varieties and its potential as natural isotonik drink. Int. J. of Adv Sci Eng Info Tech. 5(3):23-26. ISSN: 2088-5334. Kailaku SI. 2016. Pengaruh Minuman Isotonik Air Kelapa Hasil Proses Ultrafiltrasi dan Ultraviolet terhadap Rehidrasi dan Pemulihan Atlet Futsal Remaja Putri. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Magalhaes MP, Gomes FS, Modesta RCD, Matta VM, Cabral LMC. 2005. Conservation of green coconut water by membrane filtration. Ciencia yTecnologı´a Alimentarı´a. 25(1):72-77. Manhot NK, Dipankar KA, Mahanta CL, Chauduri MK. 2014. Effect of additives on the quality of tender coconut water processed by Nonthermal two stage microfiltration technique. J. Food Sci and Tech. 59: 1191-1195. doi: 10.1016/j.lwt.2014.06.040. Maskromo I, Kumaunang J, Karouw S. 2006 Potensi air buah beberapa aksesi kelapa genjah sebagai minuman kesehatan.Prosiding Konferensi Kelapa Nasional V. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.175-181. Murray R, Stofan J. 2001. Formulating carbohydrate-electrolyte drinks for optimal efficacy. di dalam. Maughan J.R dan Robert Murray Ed. Sport Drink. London (UK). CRC Press. Nakanoa LA, Leal WF Jr, Freitasb DGC, Cabralb LMC, Penhab EM, Penteadob AL, Mattab VM. Coconut water processing using ultrafiltration and pasteurization. Proceeding of Int Congress on Eng and Food. 11:1.
45
Nurminah M. 2002. Penelitian sifat berbagai bahan kemasan plastik dan kertas serta pengaruhnya terhadap bahan yang dikemas. [skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Palacín-Arcea Mariscal-Arcasa M, Monteagudoa C, Fernández de Alba-Sánchezb MC, Gómez-Puertob JR, Ruiz-Verdejab C, Beas-Jiménezb JD, OleaSerranoa F. 2013. Analysis of the drinks that contribute to the hydration of andalusian sportspeople. Rev Andal Med Deporte. 6(1):12-16. Prades A, M Dornier, N Diop, JP Pain. 2012. Coconut water preservation and processing: a review. Fruits. 67: 157–171. Prades A, Dornier M, Diop N, Pain JP. 2012. Coconut water uses, composition and properties: a review. Fruits. 67:87–107.doi:10.1051/fruits/2012002. Purkayastha MD, Dipankar KA, Manhot NK, Mahanta CL, Manabendra M, Chauduri MK. 2012. Effect of L-ascorbic acid addition on the quality attributes of micro-filtered coconut water stored at 4°C. Innovative Food Sci and Emerging Tech. 16:69–79. doi:10.1016/j.ifset.2012.04.007. Rosita MI. 2000. Mempelajari pengaruh pemberian zat penstabil terhadarp daya simpan formula minuman campuran air tajin dan susu kedelai. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Reddy KV, Das M, Das SK. 2007. Filtration resistances in non-thermal sterilization of green coconut water. J. Food Eng. 69:381–385. doi:10.1016/j.jfoodeng.2004.08.029. Riyana R. 2008. Mutu dan daya simpan air kelapa (Cocos Nucifera L.) yang berpotensi sebagai minuman isotonik. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Santoso BI, Hardinsyah, Siregar P, Pardede SO. 2012. Air Bagi Kesehatan. Jakarta (ID): Centra Communications. Shirrefs SM, Maughan RJ. 1998. Volume repletion after exercise-induced volume depletion in humans: replacement of water and sodium losses. J of. American Physiological Society. 868-875. Sukasih E, Sunarmani, Budiyanto A. 2007. Pendugaan umur simpan pasta tomat kental dalam kemasan botol plastik dengan metode akselerasi. J. Pascapanen 4(2):72-82. Tai CY, Joy JM, Falcone PH, Carson LR, Mosman MM, Straight JL, Oury SL, Mendes C.Jr, Loveridge NJ, Kim MP et al. 2014. An amino acidelectrolyte beverage may increase cellular rehydration relative to carbohydrate-electrolyte and flavored water beverages. Nutr J. 13:47. doi:10.1186/1475-2891-13-47. Tan TC, Cheng LH, Bhat R, Rusul G and Easa AM. 2014. Composition, physicochemical properties and thermal inactivation kinetics of polyphenol oxidase and peroxidase from coconut (Cocos nucifera) water obtained from immature, mature and overly-mature coconut. Food Chem. 142:121-128. doi: 10.1016/j.foodchem.2013.07.040.
46
Tsiros M, Heilman CM. 2005. The effect of expiration dates and perceived risk on purchasing behavior in grocery store perishable categories. J. of Marketing. 69:2 (114-129). Vigliar R, Sdepanian VL, Fagundes-Neto U. 2006. Biochemical profile of coconut water from coconut palms planted in an inland region. Jornal de Pediatria. 82:4 (308-311). Warisna. 2003. Budi Daya Kelapa Genjah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Winarno FG. 2007. Teknobiologi Pangan. Bogor (ID): M-Brio Press.
47
LAMPIRAN Lampiran 1 Metode analisis sifat fisikokimia 1. pH – pHmeter (SNI 06-6989.11-2004) Bahan: Larutan penyangga (buffer) 4, 7 dan 10 yang siap pakai dan tersedia di pasaran, air suling Alat : pH meter digital, gelas piala 250 ml, kertas tissue Prosedur: Lakukan kalibrasi alat pH meter dengan larutan penyangga sesuai intruksi kerja alat sebelum akan melakukan pengukuran. Keringkan elektroda dengan kertas tisu selanjutnya bilas dengan air suling. Bilas elektroda dengan contoh uji. Celupkan elektroda ke dalam contoh uji sampai pH meter menunjukkan pembacaan yang tetap. Catat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter dengan ketelitian 0.1. 2. Kejernihan – Spektrofotometer (Jackson et al. 2004) Bahan : Air suling Alat : Spektrofotometer UV-Vis Prosedur : Air suling dimasukkan ke dalam kuvet, digunakan sebagai kontrol kejernihan 100%. Contoh uji dimasukkan ke dalam kuvet lain kemudian dilakukan pengukuran pada panjang gelombang 610 nm. 3. Warna – Chromameter (Hunter 1958) Prosedur: Kalibrasi chromameter dengan standar warna putih. Contoh uji dimasukkan dalam gelas takar sampai seluruh dasar gelas tertutup oleh bahan. Analisis dengan chromameter. Nilai yang dihasilkan berupa sistem warna Hunter dengan nilai L*, a*, b* dengan warna putih sebagai standar (L1, a1, b1). Nilai L menggambarkan derajat kecerahan. Nilai L+ (positif) mengarah pada warna putih (lebih cerah), sementara nilai L- (negatif) mengarah pada warna hitam (lebih gelap). Nilai a menggambarkan warna merah-hijau. Nilai a+ (positif) mengarah pada warna merah sementara a- (negatif) mengarah pada warna hijau. Nilai b menunjukkan warna kuning-biru. Nilai b+ (positif) mengarah pada warna kuning sementara b-(negatif) mengarah pada warna biru.
48
Lampiran 2 Kuesioner uji organoleptik 1.
Mutu hedonik terhadap produk minuman isotonik air kelapa, dibandingkan dengan minuman isotonik komersial dan minuman isotonik air kelapa komersial. UJI ORGANOLEPTIK Hari/Tanggal
: ...........................................................................................................
Nama
: ...........................................................................................................
Produk
: Minuman isotonik
Tersedia tiga produk minuman isotonik di depan Anda. Silahkan dicicipi dan kemudian beri penilaian terhadap mutunya berdasarkan skala garis di bawah ini. Beri tanda silang pada garis sesuai tingkat mutu berdasarkan penilaian Anda. Tanda silang dapat ditempatkan di bagian manapun sepanjang garis.
1. Aroma
TERIMA KASIH 2. Kekeruhan
49
2. Kesukaan terhadap produk minuman isotonik air kelapa, dibandingkan dengan minuman isotonik komersial dan minuman isotonik air kelapa komersial. UJI ORGANOLEPTIK Hari/Tanggal
: ...........................................................................................................
Nama
: ...........................................................................................................
Produk
: Minuman isotonik
Tersedia tiga produk minuman isotonik di depan Anda. Silahkan dicicipi dan kemudian berikan nilai kesukaan Anda berdasarkan skala garis di bawah ini. Beri tanda silang pada garis sesuai tingkat mutu berdasarkan penilaian Anda. Tanda silang dapat ditempatkan di bagian manapun sepanjang garis. 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka
2. 1. Aroma: Aroma 210 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
399
406
2. Warna 3. Warna: 210
399
406
50
Berikan komentar Anda: ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. .............................................................................................................................
TERIMA KASIH
51
Lampiran 3 Hasil Paired Sample t-test sampel bahan baku dan sampel produk hari ke-0 Uji Organoleptik – Atribut Mutu Hedonik – Aroma Mutu Hedonik – Warna Hedonik – Aroma Hedonik – Warna
Sig (2-tailed) 0.763 0.000 0.201 0.502
Lampiran 4 Hasil uji Paired Sample t-test sampel pada hari ke-0 dan hari ke-10 Kode Sampel KPB IPM
Sig (2-tailed) Skor Hedonik Skor Mutu Hedonik Aroma Warna Aroma Kekeruhan 0.540 0.722 0.814 0.000 0.665 0.451 0.690 0.001
Lampiran 5 Hasil uji sidik ragam skor mutu hedonik aroma seluruh sampel hari ke-10 Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 87.963 541.541 629.504
df 3 92 95
Mean Square 29.321 5.886
F 4.981
Sig. .003
Lampiran 6 Hasil uji sidik ragam skor mutu hedonik kekeruhan seluruh sampel hari ke-10 Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df Mean Square F Sig. 202.454 3 67.485 13.674 .000 444.177 90 4.935 646.631 93
Lampiran 7 Hasil uji sidik ragam skor hedonik aroma seluruh sampel hari ke-10 Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df Mean Square F Sig. 37.629 3 12.543 3.846 .012 303.272 93 3.261 340.901 96
Lampiran 8 Hasil uji sidik ragam skor hedonik warna seluruh sampel hari ke-10 Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df Mean Square F Sig. 3.472 3 1.157 .388 .762 283.633 95 2.986 287.105 98
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk skor organoleptik seluruh sampel hari ke-10 Kode Sampel KPB IPB IPM
Pengelompokan Duncan Skor Hedonik Skor Mutu Hedonik Aroma Warna Aroma Kekeruhan BC A A B A A A A AB A A A
52
Lampiran 10
Hasil uji sidik ragam skor hedonik aroma sampel IPB selama penyimpanan Sum of Squares df Mean Square F Sig. 66.181 2 33.090 12.054 .000 192.157 70 2.745 258.338 72
Between Groups Within Groups Total
Lampiran 11
Hasil uji sidik ragam skor hedonik warna sampel IPB selama penyimpanan
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df Mean Square F Sig. 10.703 2 5.351 1.561 .217 243.433 71 3.429 254.136 73
Lampiran 12 Hasil uji sidik ragam skor mutu hedonik aroma sampel IPB selama penyimpanan Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df Mean Square F Sig. 38.880 2 19.440 2.053 .136 672.317 71 9.469 711.197 73
Lampiran 13 Hasil uji sidik ragam skor mutu hedonik kekeruhan sampel IPB selama penyimpanan Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df Mean Square F Sig. 370.490 2 185.245 40.288 .000 321.858 70 4.598 692.348 72
Lampiran 14 Hasil uji lanjut Duncan untuk skor organoleptik sampel IPB selama penyimpanan Hari Penyimpanan Hari ke-0 Hari ke-10 Hari ke-20
Pengelompokan Duncan Skor Hedonik Skor Mutu Hedonik Aroma Warna Aroma Kekeruhan B A A A B A A B A A A C
53
Lampiran 15 Dokumentasi pembelian kelapa di petani
Lampiran 16 Dokumentasi kelapa varietas genjak salak usia 8-9 bulan
Lampiran 17 Alat ultrafiltrasi dan ultraviolet Balai Besar Litbang Pasca Panen Bogor
54
Lampiran 18 Dokumentasi sterilisasi kemasan botol plastik PET
Lampiran 19 Dokumentasi kemasan paper metal
Lampiran Dokumentasi penyimpanan produk
55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Meulaboh pada tanggal 17 Oktober 1993 dari ayah Heri Ikhwan Diana dan ibu Yayu Sri Rahayu. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkualiahan, penulis menjadi asisten praktikum Ekologi Pangan dan gizi pada tahun ajaran 2014/2015 dan 2015/2016 dan asisten praktikum Perencanaan Pangan dan Gizi pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis juga aktif mengajar mata pelajaran Biologi SMP-SMA di bimbingan belajar privat dan Biologi TPB IPB di Task Force (program khusus bimbingan tambahan dari Direktorat TPB IPB). Bulan Juli-Agustus 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Sementara bulan Oktober-November 2015 penulis melaksanakan Internship Dietetics di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Penulis juga pernah mengikuti program kemahasiswaan pada tingkat fakultas, universitas, nasional maupun internasional. Beberapa program kemahasiswaan yang diikuti penulis antara lain Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (hibah dana oleh DIKTI) tahun 2013 dan 2014, pertukaran pelajar ke Jepang SUIJI (Six University Initiative Japan Indonesia) pada tahun 2013, pemilihan mahasiswa berpretasi Fakultas Ekologi Manusia tahun 2014 dan 2015, pemilihan mahasiswa berprestasi IPB tahun 2015, International IPB Goes to Field tahun 2014, konferensi kepemudaan Future Leader Summit oleh Nusantara Muda Semarang tahun 2014, dan kepanitian International Young Food and Nutrition Leadership Training and Workshop oleh Pergizi Pangan tahun 2015. Penulis saat ini tercatat sebagai pengurus aktif dari Forum Komunikasi Alumni Muslim SMA Negeri 1 Bogor dan tim trainer Lembaga Training Satu Inspirasi Indonesia.