KARAKTERISASI SIFAT FISIK BUAH MERAH (Pandanus conoideus), METODE EKSTRAKSI, DAN SIFAT KIMIA MINYAK YANG DIHASILKANNYA
ZITA LETVIANY SARUNGALLO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakterisasi Sifat Fisik Buah Merah (Pandanus conoideus), Metode Ekstraksi, dan Sifat Kimia Minyak yang dihasilkannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir pada setiap bab disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 22 Agustus 2014
Zita Letviany Sarungallo NIM F261090061
RINGKASAN ZITA LETVIANY SARUNGALLO. Karakterisasi Sifat Fisik Buah Merah (Pandanus conoideus), Metode Ekstraksi, dan Sifat Kimia Minyak yang dihasilkannya. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, NURI ANDARWULAN dan EKO HARI PURNOMO. Minyak buah merah (Pandanus conoideus) dilaporkan mengandung berbagai komponen aktif yang penting untuk kesehatan, sehingga berpeluang untuk dikembangkan menjadi bahan pangan fungsional. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkarakterisasi sifat fisik buah merah dan sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah asal Papua; (2) mempelajari pengaruh perlakuan panas sebelum ekstraksi terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah; dan (3) mempelajari metode ekstraksi minyak buah merah. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen, melalui 3 tahap yaitu: (1) Karakterisasi sifat fisik buah dan karakterisasi sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah; (2) Kajian pengaruh pemanasan terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah; dan (3) Kajian ekstraksi minyak buah merah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buah utuh (cepallum) buah merah terdiri atas empulur (51-61%), bulir (39-49%), biji (27-36%) dan daging buah (1017%). Keragaman sifat fisik buah utuh (cepallum) antar klon terutama ditunjukkan oleh warna kuning-oranye atau merah-merah tua, berbentuk silinder meruncing yang dari bagian pangkal sampai ke tengah membesar atau mengecil sampai ke bagian ujung mengecil, dengan ukuran panjang buah yang terdiri dari ukuran pendek (<50 cm), sedang (40-60 cm) dan panjang (>60 cm). Karakter fisik empulur setiap klon juga bervariasi pada warna yang umumnya berwarna putih atau kuning, berbentuk silinder meruncing, dengan ukuran lingkar pangkal lebih kecil dari bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung. Keragaman karakter fisik drupa (bulir) diperlihatkan pada warna yaitu kuning-oranye atau merahmerah tua, berbentuk persegi banyak atau poligonal (segi 5, segi 6 atau segi 7) yang mengerucut tajam pada bagian ujung permukaannya dan membentuk segi empat pada bagian bawah dengan ukuran yang bervariasi. Daging buah yang melekat pada biji di setiap bulir buah merah merupakan bagian yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan sumber minyak. Perhitungan rendemen minyak buah merah berdasarkan berat total bulir (5.7-8.7% basis basah, bb atau 5.5-12.4% basis kering, bk) lebih rendah dari pada yang berdasarkan berat total daging buahnya (19.7-27.4% bb atau 19.8-44.2% bk). Sedangkan keragaman sifat fisik tanaman antar klon, terutama pada tinggi tanaman dan batang utama, panjang cabang dan jarak antar cabang serta panjang dan lebar daun. Hasil principle component analysis (PCA) yang didasarkan pada 11 variabel sifat fisik tanaman dan buah dari 9 klon buah merah terdistribusi dalam 4 kuadran berdasarkan lokasi budidayanya, yaitu kuadran I (Hibcau, Hityom dan Himbiak) asal Distrik Minyambouw, kuadran II (Mbarugum) asal Distrik Koya, Jayapura, kuadran III (Monsrus, Monsor dan Menjib Rumbai) dan kuadran IV (Memeri dan Edewewits) berasal dari Kebun Percobaan UNIPA, Manokwari. Karakter penting dari minyak buah merah adalah mengenai kandungan karotenoidnya. Pada penelitian ini, metode penentuan 4 jenis karotenoid yang
diduga sebagai karotenoid utama dari sampel minyak buah merah dengan highperformance liquid chromatography (HPLC)-UV/Vis berhasil dikembangkan. Metode yang dihasilkan ini dianggap presisi yang diindikasikan dengan nilai RSDs kurang dari 11% dan akurasi lebih dari 90%. Metode ini berhasil diaplikasikan untuk menentukan kandungan karotenoid dari 9 klon minyak buah merah, dengan kisaran 5.4-138.5 ng/mg untuk α-kriptosantin, 3.9-29.4 ng/mg untuk β- kriptosantin, 3.5-80.0 ng/mg for α-karoten, dan 10.8-118.0 ng/mg for βkaroten. Sementara, total karotenoid minyak buah merah berkisar 3027-19959 ng/mg. Hasil kromatogram HPLC karotenoid minyak buah merah menunjukkan bahwa presentasi total area puncak dari α-karoten, β-karoten, α-kriptosantin, dan β-kriptosan hanya sebesar 8.6%, sehingga bukan merupakan komponen utama dari karotenoid minyak buah merah. Hasil PCA berdasarkan kandungan karotenoid dari 9 klon buah merah menghasilkan 3 grup yaitu group A dengan total karotenoid yang lebih tinggi (Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus, Memeri), group B dengan α-kriptosantin dan α-karoten yang lebih tinggi (Menjib Rumbai), dan group C dengan total karotenoid yang lebih rendah (Edewewits, Hibcau dan Hityom). Selain profil 4 jenis karotenoid, penelitian ini juga berhasil melakukan karakterisasi minyak buah merah berdasarkan pada kandungan fenol (90-742 ppm), tokoferol (234-1728 ppm), α-tokoferol (52-272 ppm) dan γ-tokoferol (16287 ppm). Hasil kromatogram HPLC tokoferol minyak buah merah menunjukkan bahwa persentasi total area puncak dari α-tokoferol dan γ-tokoferol masingmasing sebesar 18.5% dan 8.7%, dan terdapat pula beberapa peak lain yang muncul di awal kromatogram, sehingga dapat diprediksi bahwa minyak buah merah juga mengandung isomer dari tokotrienol dan tokoferol lain. Penelitian ini juga berhasil mengkarakterisasi minyak buah merah berdasarkan pada sifat kimia dan profil lemaknya, yang hasilnya ternyata sangat bervariasi antar klon. Kisaran persentase asam lemak bebas minyak buah merah adalah 4.3-9.2%, dengan bilangan peroksida 0.36-0.84 mg O2/100 g, bilangan iod 79.3-85.5 g/100 g dan kadar fosfor 37-374 mg/kg. Komponen utama asam lemak minyak buah merah adalah asam lemak tidak jenuh yaitu oleat (63.50-73.42%) dan linoleat (5.23-16.55%), sedangkan asam lemak tidak jenuhnya adalah palmitat (15.67-21.27%). Komposisi utama triasilgliserol minyak buah merah terdiri atas OOO (26.84-39.81%), POO (24.23-31.08%), OLO (7.23-17.43%) dan PLO (3.7214.3%). Hasil PCA profil lemak minyak buah merah menghasilkan 3 grup klon buah merah sesuai dengan komposisi asam lemak dan triasilgliserol. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan sebelum ekstraksi dengan metode kering dapat meningkatkan rendemen minyak, tetapi menurunkan kandungan karotenoid dan tokoferol total pada minyak buah merah. Aplikasi pemanasan juga meningkatkan kandungan asam lemak bebas (ALB) minyak, namun peningkatannya menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu pemanasan. Kadar minimum ALB pada minyak buah merah diperoleh dari sampel dengan pemanasan pada 120 oC selama 20 menit. Aplikasi pemanasan sebelum ekstraksi cara kering (menggunakan kempa hidrolik) menghasilkan minyak dengan rendemen tertinggi (11.5±0.3% dari total bulir), karotenoid total sebesar 15371±162 ppm, dan tokoferol total sebesar 1515±24 ppm, serta kadar ALB sebesar 7.6 ± 0.1% tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan kadar ALB sampel kontrol (7.1±0.2%). Buah merah mengandung lipase dengan aktivitas 27.05
U/mg. Pemanasan dengan tekanan uap (otoklaf) pada suhu 100 oC, 5 menit dapat menurunkan aktivitasnya menjadi 6.43 U/mg, dan inaktif pada 120 oC, 20 menit. Terakhir, penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa kualitas kimia minyak buah merah yang dihasilkan dengan metode ekstraksi kering secara nyata (P<0,05) lebih baik dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dengan metode ekstraksi basah, terutama karena kadar asam lemak bebas (ALB) yang lebih rendah, serta kadar total karotenoid dan tokoferol yang lebih tinggi, tapi memiliki kualitas yang sama berkaitan dengan kadar air dan nilai peroksida. Tahapan dalam metode ekstraksi minyak buah merah baik dengan cara kering maupun basah dalam kajian ini tidak mempengaruhi sifat kimia minyak yang dinyatakan oleh komposisi asam lemak dan bilangan iod yang tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan metode Folch. Faktor kritis untuk proses ekstraksi minyak buah merah terletak pada tahap pemanasan, dimana parameter yang perlu dikendalikan adalah keberadaan air, suhu dan lama proses. Kata kunci: sifat fisik buah merah (Pandanus conoideus), ekstraksi minyak, sifat kimia minyak, karotenoid, dan tokoferol.
SUMMARY ZITA LETVIANY SARUNGALLO. Characterization of Physical Properties of Red Fruit (Pandanus conoideus), Method of Extraction, and Chemical Properties of the Resulting Oil. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI, NURI ANDARWULAN, and EKO HARI PURNOMO. Oil red fruit (Pandanus conoideus) reported to contain active components that are important to health, so the opportunity to be developed into a functional food ingredient. This study aims to (1) characterization of the physical properties of red fruit, and characterization of the chemical properties oil of 9 clones red fruit from Papua; (2) study on the effect of heat treatment prior to extraction of the oil yield and oil quality of red fruit; and (3) study of the red fruit oil extraction method. The method used in this study is experimental, through the 3 steps included of (1) Physical Characterization of red fruit, characterization and evaluation of the chemical properties of oil from 9 clones of red fruit, (2) study on heat treatment to control the levels of free fatty acids of red fruit oil, and (3) study of the red fruit oil extraction method. The results of this study indicate that the physical properties of the fruit varies between clones, especially in colors, shapes and sizes of cepallum/whole fruit (yellow-orange-red or dark red, the fruit has a tapered cylindrical shape which is at the base of enlarging or smaller in the middle and be smaller at the end of the fruit; color, shape and size of pedicel/pith (usually white or yellow, the pith has a tapered cylindrical shape, which have a base circumference pith smaller than in the middle and be smaller at the end of pith); as well as color, shape and size of drupa/grain are generally colored yellow-orange-red or dark red and the grains have a many-square shape or a polygonal with a sharp conical shape at the surface and form a rectangle on the bottom. Whole fruit (cepallum) consists of pith (5161%), grains (39-49%), seeds (27-36%) and pulp (10-17%). The results of this study indicate that the whole fruit (cepallum) consists of pith (51-61%), grains (39-49%), seeds (27-36%) and pulp (10-17%). The diversity of the physical properties of the whole fruit (cepallum) between clones is mainly indicated by the yellow-orange-red or dark red, the fruit has a tapered cylindrical shape which is at the base of enlarging or smaller in the middle and be smaller at the end of the fruit, with a length of fruit consisting of sizes short (<50 cm), medium (40-60 cm) and long (> 60 cm). Pith physical character of each clone also vary in color usually white or yellow, the pith has a tapered cylindrical shape, which have a base circumference of pith smaller than in the middle and be smaller at the end of pith. The diversity of the physical character of drupa (grains) is shown generally on colored yellow-orange-red or dark red and the grains have a polygonal shape with a sharp conical shape at the surface and form a rectangle on the bottom. Fruit pulp is used as part of the food and oil source. The determination of the yield oil of red fruit (wet extraction) based on the weight of total grain (5.78.7% wb, wet base or 5.5-12.4% db, dry base) lower than the weight of total pulp (19.7-27.4% wb or 19.8-44.2% db). Fruit characteristics important to ascertained as a base in calculating the oil yield as well as using the dry matter content in evaluating the effectiveness of red fruit processing. While the physical properties
of plant variation among clones of red fruit plants, especially in plant height and main stem, and also length of branch plants and the distance between the branches. Important character of red fruit oil is carotenoid content. In this study, the method of determining the 4 types of carotenoids are thought to be major carotenoids of RFO samples by high-performance liquid chromatography (HPLC) -UV/Vis successfully developed. This method was considered precise as indicated by the RSDs values which is less than 11% and the accuracy is more than 90%. The method was successfully applied to determine the carotenoids content of nine different red fruits oil. The carotenoids content of 9 clones of red fruit oil were ranged from 5.4-138.5 ng/mg for α-cryptoxanthin, 3.9-29.4 ng/mg for βcryptoxanthin, 3.5-80.0 ng/mg for α-carotene, and 10.8-118.0 ng/mg for βcarotene. Total carotenoids content of red fruit oil ranged from 3027-19959 ng/mg. The results of HPLC chromatogram of carotenoids of red fruit oil showed that the presentation of total peak area of α-carotene, β-carotene, α- cryptoxanthin, and β- cryptoxanthin only 8.6%, so it is not a major component of the carotenoids of RFO. Clones of red fruit can be grouped based on the proximity of its carotenoid content using the PCA, which are consist of group A with a higher total carotenoids (Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus, and Memeri); group B with a higher α-crytoxanthin and α-carotene (Menjib Rumbai); and group C with a lower total carotenoids (Edewewits, Hibcau and Hityom). In addition to the four types of carotenoid profiles, this study was also carried out characterization of RFO based on phenol content (90-742 ppm), total tocopherol (234-1728 ppm), α-tocopherol (52-272 ppm) and γ-tocopherol (16-287 ppm). Results of HPLC chromatogram of tocopherol red fruit oil showed that the percentage of the total area of the peak α-tocopherol and γ-tocopherol, respectively 18.5% and 8.7%, and there were also several other peaks that appear at the beginning of the chromatogram, so it can be predicted that red fruit oil also contains other isomer of tocotrienol and tocopherol. This study also successfully conduct the RFO characterization is based on the chemical properties and fat profiles, the results were highly variable among clones. The main FAs of RFO were identified as oleic (49.36-64.47 g/100g), linoleic (4.13-16.06 g/100g) and palmitic (14.11-19.21 g/100g) acids, while the major TAG species were OOO (26.84-39.81%) POO (24.23-31.08%), OLO (7.2317.43%) and PLO (3.72-14.3%). The results of PCA showed that nine clones of red fruit can be clustered into 3 groups in accordance with their composition of FA and TAG species. RFO has good chemical properties, as well as containing the active component is high enough so that it can potentially be developed as an edible oil, as well as a functional ingredients for industrial applications. This study also shows that heat treatment before extraction with dry method can increase the oil yield, but lower total content of total carotenoids and total tocopherols of RFO. Heating treatment also increase the FFA content of the resulted oil, but the level in decreasing with increasing temperature and time of heating. Minimum level of FFA (the same as the initial level) of was obtained only after heating at 120 °C for 20 minutes. Application of heating prior to extraction by using dry method (using hydraulic pres) produced the highest yield of the oil extraction (11.5±0.3% of total grain extracted), total carotenoids of 15371±162 ppm, and total tocopherol of 1515±24 ppm with with FFA content of
7.6±0.1% (similar to that of control sample, of 7.1±0.2%). Red fruit has an endogenous lipase activity 27.05 U/mg. Heating pressure (autoclave) at 100 °C, 5 min can decrease the activity of the lipase becomes 6.43 U/mg, and can be inactivated by heating pressure (autoclave) at 120 °C during 20 min. Finally, this study shows that dry extraction method produced significantly (P <0.05) better chemical quality of the resulted red fruit oil as compared to that of wet extraction method, especially with respect to the lower level of FFA, higher level of total carotenoids and total tocopherols, but the same quality with regards to its moisture content and peroxide value. The method of extraction of red fruit with a dry or wet method does not affect the chemical properties of the oil indicated by the fatty acid composition and iodine values were not significantly different (P <0.05) with the Folch method. The critical step for red fruit oil extraction is associated with heat treatment during extraction, at which the presence of water, temperature, and time of processing are identified as critical factors. Keywords: physical properties of red fruit (Pandanus conoideus), oil extraction, chemical properties of oil, carotenoid and tocopherol.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISASI SIFAT FISIK BUAH MERAH (Pandanus conoideus), METODE EKSTRAKSI, DAN SIFAT KIMIA MINYAK YANG DIHASILKANNYA
ZITA LETVIANY SARUNGALLO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS. (Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Dase Hunaefi, STP, M.FoodST. (Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Tri Haryati, MS. (Departemen Head Service PT. MAKIN) 2. Dr. Nur Wulandari, STP, MSi. (Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor)
Judul disertasi
:
Karakterisasi Sifat Fisik Buah Merah (Pandanus conoideus), Metode Ekstraksi, dan Sifat Kimia Minyak yang dihasilkannya.
Nama
:
Zita Letviany Sarungallo
NIM
:
F261090061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Anggota
Dr. Eko Hari Purnomo, STP. M.Sc. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 14 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul ”Karakterisasi Sifat Fisik Buah Merah (Pandanus conoideus), Metode Ekstraksi, dan Sifat Kimia Minyak yang dihasilkannya” dapat diselesaikan. Bagian dari disertasi ini telah diajukan sebagai artikel ilmiah, yaitu: 1) “Characterization of chemical properties, lipid profile, total phenol and tocopherol content of oils extracted from nine clones of red fruit (Pandanus conoideus)” telah dipresentasikan (poster) pada Food Innovation Asia Conference 2014 di Bangkok dan diterima untuk diterbitkan pada Kasetsart Journal (Natural Science); 2) “Analysis of α-cryptoxanthin, βcryptoxanthin, α-carotene, and β-carotene of red fruit (Pandanus conoideus) oil by high-performance liquid chromatography (HPLC)” merupakan hasil Program Sandwich 2012-Universitas Nagasaki, dan 3) “Pengaruh metode ekstraksi terhadap mutu kimia dan komposisi asam lemak minyak buah merah (Pandanus conoideus)” telah diterima untuk terbit pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian vol. 24 tahun 2014. Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi, MSc selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Nuri Andarwulan, MS., dan Dr. Eko Hari Purnomo, STP. MSc. sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan pemikiran, bimbingan, arahan, nasehat, dukungan dan motivasi hingga terselesaikannya disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Mitsuhiro Wada sebagai pembimbing luar untuk bagian penelitian disertasi melalui Program Sandwich 2012 di Universitas Nagasaki, Jepang. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi; Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr; Prof. Dr. Sandra Arifin A, MS; Dr. Dase Hunaefi, STP, M.FoodST; Dr. Tri Haryati, MS; dan Dr. Nur Wulandari, STP, MSi, sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim, ujian tertutup dan ujian terbuka; serta Prof. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc. (Ketua PS IPN) dan Dr. Sugiyono, MappSc. (Wakil Dekan Fateta) yang telah memberikan masukan mendasar pada keseluruhan isi disertasi ini. Terima kasih kepada Rektor Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan Dekan Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian UNIPA, serta Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di SPs IPB. Terima kasih kepada Ketua PS Ilmu Pangan (IPN) dan semua dosen atas semua ilmu dan keteladanan yang telah diberikan. Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas bantuan beasiswa BPPS tahun 2009-2013 dan Program Sandwich 2012, serta Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat atas Bantuan Penyelesaian Studi Program Doktor tahun 2013 dan Yayasan Supersemar atas Bantuan Biaya Penelitian Pascasarjana tahun 2014. Terima kasih kepada Laboratorium Teknologi Pertanian-UNIPA, Seafast center-IPB, Laboratory of Pharmacoinformatics (PI) - Graduate School of Biomedical Sciences, Nagasaki University, dan seluruh staf dan laborannya yang telah mengakomodir jalannya penelitian ini. Terima kasih kepada Dr. T. Nishigaki atas dukungan dan sumbangan buah merah Mbarugum, Bpk. Afrizal Manik (BPPT Sentani) atas foto buah merah Mbarugum, Dr. Mursalin, MSi atas
bantuannya dalam analisis profil TAG, dan Tim riset “buah merah” THP UNIPA (Murtiningrum, Budi Santoso, Matheda Roreng, Sritina Paiki, Rossa Latumahina) atas bantuan analisis, tenaga dan pemikirannya. Juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian hingga penyelesaian disertasi ini disampaikan terima kasih. Ungkapan terima kasih yang mendalam untuk orang tua dan adik-adikku terkasih atas dukungan dan doa yang tak putus-putusnya. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di PS. Ilmu Pangan 2008-2011 khususnya IPN’09 (Mardiah, Tita Rialita, Siti Nurjanah, Aswita, Meilan Lisangan, dan Ai’), rekanrekan UNIPA, semua sahabat dan keluarga besar atas bantuan, kebersamaan, dukungan doa dan semangat yang selalu diberikan. Semoga disertasi ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan di bidang Ilmu dan Teknologi Pangan dan bidang terkait lainnya. Bogor, 22 Agustus 2014 Zita Letviany Sarungallo
DAFTAR ISI Halaman i
DAFTAR ISI 1
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Daftar Pustaka
2
1 2 3 3 3 4
DESAIN PENELITIAN Penelitian 1: Karakterisasi sifat fisik buah dan tanaman, serta sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah Penelitian 2: Kajian pemanasan untuk pengendalian kadar asam lemak bebas minyak buah merah Penelitian 3. Mempelajari metode ekstraksi minyak buah merah Prosedur Analisis Daftar Pustaka
3
8 9 11 16
KARAKTERISASI SIFAT FISIK 9 KLON BUAH MERAH (Pandanus conoideus) Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka
4
7
17 19 20 38 39
ANALYSIS OF α-CRYPTOXANTHIN, βCRYPTOXANTHIN, α-CAROTENE, AND β-CAROTENE OF Pandanus conoideus, OIL BY HIGH-PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) Introduction Materials and Methods Results and Discussion Conclusions References
42 44 46 52 53
.
i
5
CHARACTERIZATION OF CHEMICAL PROPERTIES, LIPID PROFILE, TOTAL PHENOL AND TOCOPHEROL CONTENT OF OILS EXTRACTED FROM NINE CLONES OF RED FRUIT (Pandanus conoideus) Introduction Materials and Methods Results Discussion Conclusions Literature Cited
6
56 57 59 64 67 67
EFFECT OF HEAT TREATMENT PRIOR TO EXTRACTION BY USING DRY METHOD ON THE YIELD AND FREE FATTY ACID OF RED FRUIT (Pandanus conoideus) OIL Introduction Materials and Methods Results and Discussion Conclusions and Recomendations References
7
71 73 75 79 79
PENGARUH METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU KIMIA DAN KOMPOSISI ASAM LEMAK MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus) Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka
8
82 85 87 92 92
PEMBAHASAN UMUM Sifat fisik buah dan tanaman buah merah Komponen aktif minyak buah merah Profil asam lemak dan triasilgliserida (TAG) minyak buah merah Principle component analysis (PCA) karakteristik fisik buah komposisi karotenoid dan profil lemak minyak buah merah Pengaruh pemanasan terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah Metode Ekstraksi Minyak Buah Merah Daftar Pustaka
9
95 96 99 101 103 104 105
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
109 111 112
RIWAYAT HIDUP ii
1 PENDAHULUAN Latar belakang Minyak buah merah merupakan hasil ekstraksi buah merah (Pandanus conoideus). Berbagai kajian mengenai kandungan dan khasiat buah merah telah dilaporkan. Komponen aktif minyak buah merah meliputi α-karoten, β-karoten, βkriptosantin, dan α-tokoferol, serta asam lemak tidak jenuh, terutama asam oleat, linoleat, linolenat dan palmitoleat (Murtiningrum et al. 2005; Southwell dan Harris 1992; Surono et al. 2008). Ekstrak buah merah terbukti aman dikonsumsi (Surono et al. 2008), dengan aktivitas antioksidan yang tinggi (Djamil et al. 2006; Rohman et al. 2010), serta dilaporkan menguntungkan kesehatan secara in vivo seperti menghambat tumor dan membunuh sel kanker (Mun‘im et al. 2006; Moeljopawiro et al. 2007; Surono et al. 2008), antiinflamasi dan meningkatkan sel imun (Susanti 2006; Khiong et al. 2009), menurunkan gula darah tikus (Rattus norvegicus) diabetik (Winarto et al. 2009), dan meningkatkan fertilitas (Rifki 2009). Kemajuan hasil riset tersebut menjawab peluang buah merah sebagai salah satu sumber antioksidan alami untuk dikembangkan menjadi produk pangan fungsional. Walaupun demikian, kualitas dan khasiat minyak buah merah sangat ditentukan oleh kestabilan komposisi kimianya, baik selama proses pengolahan maupun penyimpanannya. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh klon, sumber/asal/tempat tumbuh (Murtiningrum et al. 2012), kondisi budidaya tanaman, waktu panen dan penanganan pascapanen (Sarungallo et al. 2013), tetapi juga oleh metode ekstraksi (Andarwulan et al. 2006; Lubis et al. 2012), dan pemurnian (Sarungallo et al. 2009) serta penanganan pasca produksinya. Produk pangan fungsional yang berkualitas selain ditentukan oleh proses pembuatannya juga ditentukan pula oleh kualitas buah merah yang digunakan. Kualitas buah merah menjadi sangat penting karena berkaitan dengan kuantitas dan kualitas senyawa aktif yang terkandung di dalam buah. Oleh karena itu diperlukan kajian yang komprehensif mengenai sifat fisik buah merah, yang penting dalam menentukan aplikasi teknologi yang tepat dalam pengembangan produk berbasis buah merah sebagai pangan fungsional yang berkualitas. Mengingat keragaman klon buah merah di Papua sangat tinggi dan tersebar baik di dataran tinggi maupun dataran rendah (Murtiningrum et al. 2012), sehingga karakterisasi sifat fisik buah merah perlu dilakukan. Kualitas minyak juga dipengaruhi oleh karakteristik fisik, kimia dan fungsional lemaknya yang sangat ditentukan oleh profil triasilgliserida, komposisi asam lemak, dan adanya komponen lain bukan lemak (Nawar 1994; deMan 1999). Informasi mengenai karakteristik kimia minyak buah merah dari setiap klon buah merah sangat penting sebagai data dasar dalam upaya pengendalian stabilitas kualitasnya selama proses ekstraksi maupun selama penyimpanan, serta untuk pengembangan teknologi pengolahan minyak buah merah selanjutnya. Namun data tersebut tidak tersedia, sehingga kajian karakterisasi sifat kimia minyak dari beberapa klon buah merah asal Papua perlu dilakukan. Perubahan indikator kualitas minyak buah merah selama pengolahan menjadi salah satu kriteria penting dalam pengembangan teknologi ekstraksi minyaknya. Kualitas minyak nabati utamanya ditentukan oleh asam lemak bebasnya (ALB) yang sangat mudah dioksidasi menyebabkan ketengikan minyak.
2
Minyak buah merah mengandung asam lemak tidak jenuh tinggi (Southwell dan Harris 1992; Murtiningrum et al. 2005; Rohman et al. 2012) sehingga mudah mengalami reaksi hidrolisis dan oksidasi. Lipase merupakan enzim yang berperan dalam hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas (ALB) dan gliserol (Bockisch 1998). Sambanthamurthi et al. (1991) melaporkan pula bahwa peningkatan ALB minyak sawit merupakan aksi dari lipase endogenous, yang aktif setelah buah memar atau terluka setelah dipanen. Menurut Pahoja dan Sethar (2002), lipase lebih menyukai untuk menghidrolisis triasilgliserol, diasilgliserol dan monoasilgliserol menjadi gliserol dan ALB, dengan kisaran suhu aktif antara 20-38oC. Kualitas minyak buah merah juga ditentukan oleh kandungan komponen aktifnya yaitu karotenoid dan tokoferol sangat sensitif terhadap oksigen, cahaya, suhu dan keasaman (Bockisch 1998; Wilska-Jeszka 2002). Andarwulan et al. (2006) dan Pohan dan Wardayani (2006) juga membuktikan bahwa pengurangan waktu pemanasan dan pemasakan buah merah menggunakan tekanan uap (otoklaf) dapat menurunkan ALB dan bilangan peroksida minyak yang dihasilkan. Walaupun demikian belum ada kajian yang melaporkan pengaruh suhu dan waktu pemanasan terhadap kadar ALB dan kandungan komponen aktif minyak buah merah, serta pengaruh pemanasan terhadap aktivitas lipase buah merah. Metode ekstraksi minyak buah merah oleh masyarakat lokal maupun produsen di Papua umumnya menggunakan ekstraksi basah, yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama sekitar 5-30 jam (Limbongan dan Malik 2009), sehingga memungkinkan terjadinya kerusakan minyak oleh panas, udara dan cahaya sehingga menurunkan kualitasnya. Kajian ekstraksi buah merah telah dilakukan untuk mengurangi kerusakan dengan meminimalisasi waktu pemanasan dan aplikasi pengepresan (Pohan dan Wardayani 2006; Andarwulan et al. 2006; Lubis et al. 2012). Namun data rendemen dan kualitas minyak berdasarkan sifat fisikomia, serta kadar komponen aktif yang dilaporkan tersebut sangat bervariasi. Variasi data tersebut dapat dipengaruhi oleh klon dan asal buah merah, metode analisis, dan basis perhitungannya, sehingga sulit untuk dibandingkan dalam penentuan tahapan proses ekstraksi minyak yang optimal. Terbatasnya kajian ekstraksi minyak buah merah dengan karakteristik fisik buah dan sifat kimia minyak yang terdata menyebabkan penentuan tahapan pengolahan yang tepat sulit dilakukan. Rangkaian studi untuk menghasilkan teknologi pengolahan minyak buah merah yang tepat melalui pengendalian titik kritis kualitas minyak selama proses ekstraksi sangat diperlukan. Serangkaian penelitian ini meliputi karakterisasi sifat fisik buah dan sifat kimia minyak dari beberapa klon buah merah asal Papua, kajian aplikasi pemanasan buah merah sebelum ekstraksi terhadap rendemen dan mutu minyak buah merah, dan kajian ekstraksi minyak buah merah, sehingga dapat dihasilkan produk yang berkualitas sebagai sumber antioksidan alami sesuai dengan kebutuhan masyarakat industri maupun konsumen. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) karakterisasi sifat fisik buah merah dan sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah asal Papua; (2) mempelajari pengaruh perlakuan panas sebelum ekstraksi terhadap rendemen dan kualitas minyak minyak buah merah; dan (3) mempelajari metode ekstraksi minyak buah merah.
3
Hipotesis Penelitian Buah dan tanaman buah merah memiliki karakteristik fisik yang bervariasi antar klon. Minyak buah merah memiliki karakteristik kimia yang bervariasi antar klon, dipengaruhi oleh profil asam lemak dan triasilgliserida. Minyak buah merah mengandung komponen aktif yaitu total fenol, karotenoid dan tokoferol yang bervariasi antar klon. Minyak buah merah mengandung karotenoid yang terdiri dari α-karoten, βkaroten, α- kriptosantin, dan β-kriptosantin. Minyak buah merah mengandung tokoferol yang terdiri dari α-tokoferol dan γtokoferol. Klon buah merah yang berasal dari tempat budidaya yang sama memiliki kedekatan atau penciri utama yang sama berdasarkan sifat fisik buah dan tanaman, profil asam lemak dan triasilgliserida, dan komposisi karotenoidnya. Buah merah mengandung lipase endogenous yang dapat menghidrolisis minyak selama pascapanen dan pengolahannya, yang menyebabkan tingginya kadar asam lemak bebas minyak yang dihasilkan. Proses pemanasan buah merah sebelum proses ekstraksi dapat menginaktifkan enzim lipase buah merah dan menurunkan kadar asam lemak bebas minyak buah merah pada suhu dan waktu pemanasan yang tepat. Metode ekstraksi buah merah mempengaruhi mutu minyak yang dihasilkan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi data dasar mengenai sifat fisik buah merah, serta sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah; pengaruh perlakuan panas sebelum ekstraksi (secara kering) terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah; serta pengaruh metode ekstraksi terhadap mutu minyak buah merah. Informasi yang dihasilkan dalam disertasi ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengembangan produk pangan olahan berbasis minyak buah merah, sebagai salah satu komoditi andalan lokal daerah berdasarkan kajian yang tepat, meningkatkan nilai tambah buah merah sehingga dapat mendorong pertumbuhan sektor industri pangan di Papua. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi karakterisasi sifat fisik buah dan tanaman dari 9 klon buah merah asal Papua, serta karakterisasi sifat kimia dan kandungan komponen aktif minyaknya, kajian aplikasi pemanasan sebelum ekstraksi (secara kering) terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah, dan kajian metode ekstraksi minyak buah merah. Karakterisasi sifat fisik dari bagian-bagian buah merah meliputi (1) chepalllum (buah utuh): bentuk, warna, panjang, berat, dan lingkar buah (bagian pangkal, tengah dan ujung); (2) pedicel (empulur): bentuk, warna, panjang, berat, dan lingkar empulur (bagian pangkal, tengah dan ujung); (3) drupa (bulir): panjang, lebar, berat bulir utuh, berat biji (tanpa daging buah), dan berat daging buah (pulp). Sedangkan karakterisasi sifat fisik tanaman meliputi tinggi tanaman;
4
warna, diameter batang utama, dan jumlah percabangan; serta panjang dan lebar daun. Sembilan klon buah merah berasal dari 3 daerah budidaya di Papua yaitu Distrik Minyambow (Kabupaten Manokwari), Kebun Percobaan UNIPA (Kabupaten Manokwari), dan Distrik Koya (Kabupaten Jayapura). Selanjutnya ke9 klon minyak buah merah diekstrak menggunakan pelarut (metode Folch) dan dikarakterisasi sifat kimianya yang meliputi analisis profil asam lemak, profil triasilgliserol, komponen aktif (karotenoid, tokoferol dan total fenol). Kajian aplikasi pemanasan buah merah menggunakan tekanan uap (otoklaf) suhu 100, 110 dan 120 °C selama 3-45 menit sebelum diekstrak dengan cara kering untuk mempelajari pengaruhnya terhadap rendemen dan kualitas minyaknya; serta mempelajari pengaruh pemanasan terhadap aktivitas lipase buah merah. Selanjutnya dilakukan kajian ekstraksi minyak buah merah menggunakan ekstraksi basah dan ekstraksi kering dibandingkan dengan ekstrak pelarut. Daftar Pustaka Andarwulan N, Palupi NS, Susanti. 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L.). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), 2006 Agustus 2-3; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): PATPI. hlm 504511. Bockisch M. 1998. Fats and Oils Handbook. Champaign, Illinois: AOCS Press. deMan JM. 1999. Principles of Food Chemistry. Third Edition. Gaithersburg. Maryland: Aspen Pub. Djamil R, Karina D, Winarti D. 2006. Studi Farmakologis, Penapisan Fitokimia Dan Uji Hayati secara BSLT dari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam). J Ilmu Kefarmasian Indonesia. 4(3):55-99. Khiong K, Adhika OA, Chakravitha M. 2009. Inhibition of NF-κB Pathway as the Therapeutic Potential of Red Fruit (Pandanus conoideus Lam.) in the Treatment of Inflammatory Bowel Disease. JKM (Jurnal Kedokteran Maranatha) 9 (1): 69-75. Limbongan J, Malik A. 2009. Peluang Pengembangan Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk) di Provinsi Papua. J Litbang Pert. 28(4):134-141. Lubis EH, Wijaya H, Lestari N. 2012. Mempelajari ekstraksi dan stabilitas total karotenoid, dan α- dan β-cryptoxanthin dalam esktrak buah merah (Pandanus conoideus Lamk). J Riset Tek Ind. 6(12):126-140. Moeljopawiro S, Anggelia MR, Ayuningtya D, Widaryanti B, Sari Y, dan Budi IM. 2007. Pengaruh Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) terhadap Pertumbuhan sel Kanker Payudara dan Sel Kanker Usus Besar, Berkala Ilmiah Biologi 6(2):121-130. Mun‘im A, Andrajati R, Susilowati H. 2006. Uji Hambatan Tumorigenesis Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Terhadap Tikus Putih Betina Yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz(A)Antrasen (Dmba). Majalah Ilmu Kefarmasian 3(3): 153-161. Murtiningrum, Ketaren S, Suprihatin, Kaseno. 2005. Ekstraksi Minyak dengan Metode Wet Rendering dari Buah Merah (Pandanus conoideus L.). J Tek Ind Pert. 15: 28-33.
5
Murtiningrum, Sarungallo ZL, Mawikere NL. 2012. The exploration and diversity of red fruit (Pandanus conoideus L.) from Papua based on its physical characteristics and chemical composition. J Biol Diversity 13(3): 124-129. Nawar WW. 1996. Lipids. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry, 3rd ed. New York: Marcel Dekker. Pahoja VM, Sethar MA. 2002. A review of enzimatic properties of lipase in plants, animals and microorganisms. Pakistan J Appl Sci 2 (4): 474-484. Pohan HG, Wardayani NIA. 2006. Mempelajari Proses Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L). IHP (Warta Industri Hasil Pertanian) 23(2):26-41. Rifki. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Merah (Pandanus Conoideus) terhadap Jumlah dan Motilitas Spermatozoa Mencit (Mus Musculus). [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Islam Sultan Agung. Rohman A, Riyanto S, Yuniarti N, Saputra WR, Utami R, Mulatsih W. 2010. Antioxidant activity, total phenolic, total flavanoid of extracts and fractions of red fruit (Pandanus conoideus Lam). IFRJ. 17: 97-106. Rohman A, Sugeng R, Che Man YB. 2012. Characterizaton of red fruit (Pandanus conoideus Lam) oil. IFRJ. 19(2): 563-567. Sambanthamurthi R, Chong CL, Khaik C, Yeu KH, Premavathy R. 1991. Chilling-induced lipid hydrolysis in the oil palm (Elaeis guineensis) mesocarp. J. Exp. Botany, 42: 1199-1205. Sarungallo ZL, Murtiningrum, Paiki SNP. 2009. Sifat Fisikokimia Minyak Kasar dan Hasil Degumming dari Buah Merah (Pandanus conoideus L.) yang Diekstrak secara Tradisional Merdey. J Agrotek 1 (6) : 9-15. Sarungallo ZL, Murtiningrum, Santoso B, Roreng MK. 2013. Pengaruh penanganan pascapanen terhadap kualitas minyak buah merah (Pandanus conoideus). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), bidang rekayasa dan bioteknologi pangan bagian 2, 26-29 Agustus 2013, Jember; Jember (ID): PATPI. hlm 150-160. Southwell K, Harris R. 1992. Chemical Characteristics of Pandanus Conoideus Fruit Lipid. J. Sci. Food Agric. 58(4): 593-594. Surono I, Endaryanto TA, Nishigaki T. 2008. Indonesian Biodiversities, from Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. J Fac. Agric Shinshu Univ. 44(1.2):23-27. Susanti. 2006. Karakterisasi ekstrak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) dan uji biologis terhadap proliferasi sel limfosit mencit. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wilska-Jeszka J. 2002. Food Colorants. Di dalam: Sikorski ZE, editor. Chemical and Functional Properties of Food Components, Second Edition. New York: CRC Press, pp 212-215. Winarto, Maduyan M, Anisah N. 2009. The effect of Pandanus conoideus Lam. oil on pancreatic β-cells dan glibenclamide hypoglycemic effect of diabetic Wistar rats. Berkala Ilmu Kedokteran. 41(1):11-19.
2 DESAIN PENELITIAN Penelitian dalam disertasi ini dirancang dalam 3 tahap eksperimen, secara umum disajikan pada Gambar1 yang terdiri dari atas: 1. Karakterisasi fisik buah dan tanaman buah merah (Pandanus conoideus), serta karakterisasi dan evaluasi sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah asal Papua. 2. Kajian pengaruh pemanasan terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah 3. Kajian ekstraksi minyak buah merah.
Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian Serangkaian penelitian tersebut di atas dilaksanakan mulai dari bulan April 2012 sampai Mei 2014 di beberapa Laboratorium, yaitu: 1. Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teknologi PertanianUniversitas Negeri Papua (UNIPA), Manokwari. 2. Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. 3. Laboratorium Pharmacoinphormatics (PI), Graduate School of Biomedical Sciences, Nagasaki University, Nagasaki, Jepang. Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah 9 klon buah merah dengan nama lokal yaitu Menjib Rumbai, Edewewits, Memeri, Monsrus, Monsor (Kebun Percobaan UNIPA-Manokwari), Mbarugum (Distrik Koya, Jayapura), dan Hityom, Himbiak, Hibcau (Distrik Minyambow, Manokwari).
7
Penelitian 1. Karakterisasi sifat fisik buah dan tanaman, serta sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh data sifat fisik buah dan tanaman, serta sifat kimia minyak dari 9 klon buah merah asal Papua sehingga diketahui keragaman antar klon buah merah, baik untuk pengembangan teknologi pengolahan buah maupun teknik budidayanya. Tahapan penelitian ini meliputi 1) karakterisasi sifat fisik buah dan tanaman dari 9 klon buah merah; 2) karakterisasi sifat kimia minyak 9 klon buah merah, terdiri dari 2 tahap yaitu pengembangan metode analisis karotenoid; dan karakterisasi profil lemak, total fenol dan tokoferol minyak buah merah. Persiapan buah merah. Buah merah dipanen pada tingkat kematangan optimal, dengan kriteria panen yaitu bulir buah telah berisi penuh (bernas), berwarna merah tua, posisi kemiringan buah pada pohon 180 o, daun seludang terbuka dan telah mengering 50%. Jumlah buah yang diamati berkisar 2-6 buah dan dibiarkan pada suhu kamar selama ±2 hari sebelum dianalisis yang bertujuan untuk melunakkan daging buah dan memudahkan proses pemipilan. Variabel yang diamati meliputi karakter fisik buah merah yaitu: (1) buah utuh (chepalllum): bentuk, warna, panjang, berat, dan lingkar buah (bagian pangkal, tengah dan ujung); (2) empulur (pedicel): bentuk, warna, panjang, berat, dan lingkar empulur (bagian pangkal, tengah dan ujung); (3) bulir (drupa): panjang, lebar, berat bulir utuh, berat biji (tanpa daging buah), dan berat daging buah (pulp); serta karakter fisik tanaman buah merah (tinggi tanaman; warna, diameter batang utama, dan jumlah percabangan; panjang dan lebar daun). Persiapan minyak buah merah. Sekitar 12 g daging buah merah dimaserasi yaitu direndam dalam 80 ml pelarut campuran kloroform dan methanol (2:1) selama 1 jam dan diaduk dengan pengaduk magnet. Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum. Kemudian, sebanyak 16 ml NaCl 0.88% ditambahkan kedalam larutan hasil penyaringan, dan selanjutnya dilakukan pemisahan dengan labu pisah untuk mendapatkan fase minyak (Folch et al. 1957). Sisa-sisa pelarut pada fase minyak diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 oC, dikemas dalam botol gelap, dikeringkan dengan gas Nitrogen dan disimpan pada suhu beku sampai dianalisa. Pengembangan metode analisis 4 jenis karotenoid Persiapan sampel untuk analisis profil karotenoid Karotenoid minyak buah merah diekstrak menggunakan metode yang dilaporkan oleh Wada et al. (2013). Sebanyak 20 mg minyak ditimbang pada botol gelap, ditambahkan 10 mg asam askorbat kemudian dihomogenisasi dengan 750 ml etanol. Selanjutnya 200 μl 76% KOH ditambahkan, divorteks dan dihembus dengan gas nitrogen. Sampel kemudian didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit, untuk memungkinkan proses saponifikasi. Saponifikasi dihentikan dengan menambahkan 250 μl NaCl (25 mg/ml). Karotenoid diekstrak dengan 750 ml heksana:etil asetat (9:1, v/v) selama 4 kali, kemudian lapisan
8
organik yang terkumpul dan diuapkan sampai kering pada suhu 40 oC. Untuk analisis dengan HPLC, sampel dilarutkan dalam 400 ml metanol, disonikasi dan disaring menggunakan filter membran 0.45 μm. Persiapan larutan stok dan kalibrasi standar Larutan stok standar α-kriptosantin, β- kriptosantin, α-karoten, dan βkaroten, (10 μl) dilarutkan dalam etanol. Kurva standar dibuat dengan memipet setiap standar 1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40, 80 dan 160 ppm dan di-spiking dalam minyak buah merah. Kurva kalibrasi dihitung berdasarkan hasil analisis regresi linier daerah puncak dengan konsentrasi standar nominal untuk masing-masing senyawa menggunakan Excel® 2007 (Microsoft Corp, Redmon, Cuci, USA). Kurva kalibrasi yang digunakan memiliki koefisien korelasi minimal 0.992. Prosedur validasi Validasi kromatografi meliputi satu set sampel kalibrasi yang dilakukan triplicate. Validasi dilakukan sesuai metode yang dilakukan oleh Wada et al. (2013). Pengujian intra-day precision dan accuracy dilakukan dengan menggunakan minyak yang di-spike dengan 5 dan 40 ppm dari setiap ke-4 standard karotenoid yang diuji. Analisis pengukuran dilakukan dalam lima ulangan untuk masing-masing konsentrasi. Akurasi metode yang telah diverifikasi dibandingkan dengan konsentrasi terukur dari α-kriptosantin, β- kriptosantin, αkaroten, dan β-karoten dalam minyak dengan konsentrasi ditambahkan. Karakterisasi profil lemak, total fenol dan tokoferol minyak buah merah. Analisa sifat kimia minyak buah merah meliputi komposisi asam lemak (AL), profil triasilgliserida (TAG), kadar asam lemak bebas (ALB), bilangan iod, bilangan peroksida, profil karotenoid, profil tokoferol, kadar fosfor, dan total fenol. Rancangan percobaan yang digunakan dalam kajian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 ulangan. Data hasil pengamatan karakteristik kimia, profil lemak, total fenol dan tokoferol minyak buah merah ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Principle Component Analysis (PCA) dengan XLSTAT Versi 2013.6.01 digunakan untuk menganalisis data sifat fisik buah dan tanaman buah merah, profil karotenoid dan profil lemak (komposisi AL dan TAG) minyak dari 9 klon buah merah. Penelitian 2. Kajian pengaruh pemanasan terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah Tahap penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari pengaruh perlakuan panas menggunakan tekanan uap (otoklaf) sebelum ekstraksi (menggunakan ekstraksi kering) terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah; dan pengaruh pemanasan menggunakan tekanan uap (otoklaf) terhadap aktivitas lipase buah merah. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu 1) mempelajari pengaruh suhu dan lama waktu pemanasan buah merah terhadap rendemen, kadar ALB, total karotenoid dan total tokoferol minyak buah merah selama proses ekstraksi kering; dan 2) mempelajari pengaruh pemanasan terhadap aktivitas lipase buah merah. Klon buah merah yang digunakan pada tahap ini adalah klon Monsor yang diperoleh dari kebun percobaan UNIPA.
9
Pengaruh pemanasan terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah. Perlakuan panas terhadap bulir buah merah. Setelah buah merah dipanen, disimpan pada suhu kamar selama 2 hari dan dilakukan pemisahan bulir dari empulur secara manual. Bulir buah merah dipanaskan menggunakan otoklaf dengan perlakuan 3 suhu yang berbeda (100, 110 dan 120 oC) selama 3-45 menit, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Waktu pemanasan dihitung setelah suhu otoklaf mencapai suhu yang ditetapkan yaitu 100, 110 atau 120 oC sampai awal proses pendinginan, yaitu dengan membuka katup otoklaf dan mematikan sumber panasnya. Setelah pendinginan, bulir buah merah dikeluarkan dari otoklaf dan siap untuk ekstraksi. Sampel bulir buah merah tanpa pemanasan digunakan sebagai kontrol. Ekstraksi minyak buah merah menggunakan ekstraksi kering. Bulir dari buah merah yang telah dipanaskan (dalam otoklaf) maupun yang tidak dipanaskan (kontrol) selanjutnya dikempa menggunakan kempa hidrolik. Proses pengempaan berlangsung sekitar 5 menit untuk menghasilkan minyak buah merah mentah. Minyak buah merah mentah kemudian disentrifugasi (3000 rpm, 15 menit) untuk mendapatkan minyak buah merah (red fruit oil, RFO), dikemas dalam botol gelap, dan siap untuk dianalisis. Analisa minyak buah merah yang dihasilkan dilakukan terhadap rendemen dan kualitas kimianya yaitu kadar ALB, total karoten dan total tokoferol. Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Tabel 1 Perlakuan suhu dan lama waktu proses pemanasan pada otoklaf Suhu otoklaf (oC) 100 110 120
0 0 0
5 5 3
Waktu pemanasan (menit) 15 25 35 10 15 20 6 9 12
45 25 15
30 20
Pengaruh pemanasan terhadap aktivitas lipase buah merah. Aktivitas lipase buah merah diuji dengan perlakuan: 1) bulir buah segar; 2) bulir buah dipanaskan (otoklaf) pada suhu 100oC selama 5 menit, dan 3) bulir buah dipanaskan (otoklaf) pada suhu 120oC selama 20 menit. Penelitian 3. Mempelajari Metode Ekstraksi Minyak Buah Merah Penelitian pada tahap ini dimaksudkan untuk mempelajari pengaruh metode ekstraksi terhadap mutu minyak buah merah. Pada tahap ini dilakukan pengujian pengaruh 2 metode ekstraksi yaitu ekstraksi basah dan ekstraksi kering, yang dibandingkan dengan ekstraksi dengan pelarut kloroform-metanol (Folch et al. 1957). Klon buah merah yang digunakan pada tahap ini adalah klon Monsor yang diperoleh dari kebun percobaan UNIPA, yang tahapan pelaksanaannya diperlihatkan pada Gambar 2. Ekstraksi basah. Pipilan buah merah (±500 g) ditambahkan air dengan perbandingan buah:air 1:2, dan dimasak menggunakan kompor gas, sampai mendidih dan kemudian dipertahankan selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan pemisahan biji dan daging buah dengan cara pengadukan dan penyaringan. Campuran daging buah dan air (pasta) dimasak sampai mendidih selama ±60
10
menit sampai minyak terekstrak sempurna. Ekstrak dikumpulkan dan dilakukan pemisahan dengan sentrifus pada 3000 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan minyak yang murni, selanjutnya minyak yang dihasilkan dikemas dalam botol gelap.
Gambar 2. Diagram alir ekstraksi minyak buah merah secara basah dan kering. Ekstraksi kering. Pipilan buah merah (±300 g) dipanaskan menggunakan tekanan uap (otoklaf) sampai mencapai suhu 120 oC (tekanan 14.9 Psi), dan kemudian dipertahankan selama 20 menit. Pemanasan dihentikan dengan membuka katup otoklaf dan mematikan sumber panasnya, dan kemudian pipilan buah merah dikeluarkan dari otoklaf. Pipilan buah merah yang telah dimasak kemudian dikempa dengan alat kempa hidrolik (hydrolic press). Minyak kasar yang terekstrak kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit. Minyak yang diperoleh selanjutnya dikemas dalam botol gelap. Ekstraksi pelarut (Folch et al. 1957). Sekitar 12 g daging buah merah dimaserasi yaitu direndam dalam 80 ml pelarut campuran kloroform dan methanol (2:1) selama 1 jam dan diaduk dengan pengaduk magnet. Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum. Kemudian, sebanyak 16 ml NaCl 0.88% ditambahkan kedalam larutan hasil penyaringan, dan selanjutnya dilakukan pemisahan dengan labu pisah untuk mendapatkan fase minyak. Sisa-sisa pelarut pada fase minyak diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 oC. Analisa sifat kimia minyak buah merah dianalisis terhadap kadar air menggunakan metode oven (AOAC 2005), ALB ditentukan berdasarkan metode titrasi (AOCS 2003), bilangan iod diukur berdasarkan metode Wijs (AOAC 2005) dan bilangan peroksida menggunakan metode asam asetat-chloroform (AOCS 2003). Analisa komposisi asam lemak ekstrak minyak didasarkan pada hasil esterifikasi triasilgliserida (Fatty Acid Methyl Esters) menggunakan gas
11
kromatografi (AOCS 2003). Rancangan percobaan yang digunakan dalam kajian ini adalah RAL dengan 3 ulangan. Data hasil analisa minyak buah merah ditabulasi dan dianalisis secara statistik dengan Analisis Ragam, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan's Multiple Range Test (DMRT) menggunakan Program Statistical Analysis Software (SAS) 9.1.3. Prosedur Analisis Kadar Air Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5±0.2 gram contoh dimasukkan dalam cawan dan ditempatkan di dalam oven selama 6 jam, kontak antara cawan dengan dinding oven dihindari. Selanjutnya cawan dipindahkan ke desikator selama 30 menit, setelah dingin ditimbang kembali. Pengeringan dilanjutkan sampai diperoleh berat contoh konstan (AOAC 2005). Perhitungan kadar air menggunakan rumus berikut.
Keterangan : m1 = berat contoh; m2 = berat contoh setelah pengeringan
Kadar asam lemak bebas (ALB) Sebanyak 7.05 gram contoh dilarutkan dalam 50 ml alkohol 95% netral, dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk, lalu ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalin (PP) 1%. Setelah itu dititrasi dengan larutan standar NaOH 0.1 N hingga warna merah muda tetap (AOCS 2003). ALB dinyatakan sebagai persen asam oleat, dihitung sampai dua desimal dengan rumus berikut.
Keterangan: M = Bobot molekul asam lemak (282 sebagai asam oleat) V = Volume NaOH (ml) T = Normalitas NaOH m = Bobot contoh dalam gram
Bilangan Iod Penentuan bilangan iod dilakukan berdasarkan metode titrasi (AOAC 2005). Contoh minyak sebanyak 0.5 gram dalam erlenmeyer 500 ml, ditambahkan 20 ml larutan kloroform, 25 ml larutan Wijs, kemudian dicampur merata dan disimpan dalam ruang gelap selama 30 menit pada suhu 25 ± 5oC. Selanjutnya ditambahkan 20 ml larutan KI 15 % dan 100 ml aquades yang sudah dididihkan dan didinginkan, lalu dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1 N sampai larutan berwarna kekuningan. Setelah itu ditambahkan indikator pati 1% dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa minyak. Bilangan iod dinyatakan sebagai gram iod yang diserap per 100 g dihitung sampai dua desimal dengan menggunakan rumus berikut.
12
Keterangan: T = Normalitas larutan standar natrium tiosulfat 0.1 N V0 = Volume larutan tio 0.1 N blanko V1 = Volume larutan tio 0.1 N contoh 12.69 = Berat atom iod M = Berat sampel (gram)
Bilangan Peroksida Penentuan bilangan peroksida dilakukan berdasarkan metode titrasi AOAC (2005). Sebanyak 5±0.05 gram minyak dilarutkan dalam 30 ml campuran larutan dari asam asetat glasial dan kloroform (3:2). Setelah minyak larut, ditambahkan larutan kalium iodida jenuh sebanyak 0.5 ml dan 30 ml aquades. Selanjutnya dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N dan 0.5 ml larutan pati 1% sebagai indikator. Titrasi dilakukan sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama. Perhitungan bilangan peroksida menggunakan rumus berikut.
Keterangan : V1 = Volume larutan natrium tiosulfat untuk minyak (ml) V0 = Volume larutan natrium tiosulfat untuk blanko (ml) N = Normalitas larutan standar natrium tiosulfat m = Berat minyak (gram)
Fosfor Pereaksi. 20 g amonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml aquades hangat (50 oC) dan didinginkan. 1 gram amonium vanadat (amonium meta vanadat) dilarutkan dalam 300 ml aquades mendidih dan didinginkan. Ke dalam larutan amonium vanadat ditambahkan 140 ml asam nitrat pekat sambil diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan vanadat, diaduk, dan diencerkan sampai volume 1 liter dengan aquades. Larutan fosfat standar. 3.834 g KH2PO3 dilarutkan dalam aquades dan diencerkan sampai volume 1 liter. 25 ml larutan tersebut dimasukkan dalam labu takar 250 ml dan diencerkan sampai tanda tera (1 ml = 0.2 mg P2O5). Masingmasing 0, 2.5, 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 ml larutan fosfat standar dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 25 ml pereaksi vanadat-molibdat. Setiap labu takar diencerkan sampai volume 100 ml dengan aquades, didiamkan 10 menit, dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer (400 nm). Setiap labu takar mengandung 0, 0.5, 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 mg P2O5/100 ml. Dibuat kurva standar antara absorbansi vs mg P2O5/100 ml. Persiapan sampel. 5 g sampel dimasukkan di dalam gelas piala 150 ml, kemudian ditambahkan 20 ml asam nitrat pekat, dan dididihkan 5 menit. Selanjutnya didinginkan dan ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat. Larutan dipanaskan dan digestion disempurnakan dengan penambahan HNO3 setetes demi setetes sampai larutan tidak berwarna, dipanaskan hingga timbul asap putih dan didinginkan. Ke dalam gelas piala ditambahkan 15 ml aquades dan didihkan 10 menit kembali. Setelah dingin, dipindahkan ke dalam labu takar 250 ml. Gelas piala dibilas sampai bersih dan air bilasan dimasukkan ke labu takar, dan diencerkan sampai tanda tera dengan aquades. Penetapan sampel. 10 ml larutan sampel dimasukkan dalam labu takar 100 ml. Kemudian ke dalam labu takar ditambahkan 40 ml aquades dan 25 ml
13
pereaksi vanadat molibdat, dan diencerkan sampai tanda tera. Larutan didiamkan selama 10 menit dan absorbansi pada 400 nm (spektrofotometer). Nilai absorbansi dibandingkan dengan standar fosfor yang telah diketahui konsentrasinya (AOAC 2005). Total fenol Total fenol minyak buah merah ditentukan secara spektrofotometri dengan reagen Folin-Ciocalteu. Komponen fenol diekstrak dari sampel sebanyak 0.05 g dengan 1 ml methanol 80%, divorteks 1 menit dan disentrifus 1100 rpm selama 10 menit, kemudian filtratnya ditampung dalam tabung reaksi. Proses ekstraksi ini diulang 4 kali (Seneviratne et al. 2009) dan kumpulan filtratnya ditambahkan metanol 80% sampai 5 ml. Pengukuran kadar total fenol mengikuti prosedur yang dilaporkan Andarwulan dan Shetty (1999), yaitu 1 ml sampel dalam metanol 80% ditambahkan 0.5 ml reagen Folin-Ciocalteu 50%, divorteks dan didiamkan 5 menit. Kemudian ditambahkan 1 ml Na2CO3 5%, divorteks dan ditepatkan dengan 5 ml air deionisasi, diinkubasi 60 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 745 nm. Blanko dibuat dengan prosedur yang sama tanpa sampel. Sebagai standar digunakan asam galat. Total karotenoid Pengukuran total karotenoid menggunakan metode Porim (2005) dan Knockaert et al. (2012) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 0.01 g minyak buah merah, ditambahkan 0.1% butylated hydroxytoluene (BHT) dan heksan dalam labu ukur 10 ml sampai tanda tera dan divortek. Selanjutnya absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm and 470 nm dengan menggunakan heksan yang ditambahkan 0.1% BHT sebagai blanko. Total karotenoid dihitung menggunakan rumus berikut.
A adalah absorbansi pada λ maksimal, volume adalah total volume larutan sampel, adalah extinction coefficient yaitu 2560 untuk β-karoten dalam heksan (Hart dan Scott 1995). Profil karotenoid Analisis kromatografi menggunakan sistem HPLC yang terdiri dari 2 pompa kromatografi Shimadzu LC-10ATvp (Kyoto), kolom Develosil Combi RP5 (50 x 4.6 mm, i.d., 5 μm, Nomura Chemical, Tokyo), dan detektor Shimadzu SPD-10 AV UV-VIS (Shimadzu), serta 7125 injektor dengan syringe 20 μl (Rheodyne, CA, USA). Sistem gradien fase gerak terdiri dari (A) campuran asetonitril dan air dengan rasio 80:20 (v/v) mengandung 0.05% TEA dan (B) campuran asetonitril, metanol dan etil asetat dengan rasio 68:5:27 (v/v) mengandung 0,05% triethylamine (TEA), pada 1 ml/menit. Program gradien sebagai berikut: 0-4 menit, 1-10% B; 4-25 menit, 50-80% B; 25-35 menit, 100% B; and 35-45 menit, 1% B. Pemisahan karotenoid dideteksi dan diukur pada 450 nm, dengan total waktu proses 45 menit. Larutan stok standar dari α-karoten, βkaroten, α-kriptosantin dan β- kriptosantin (10 μg/ml) dilarutkan dalam etanol. Kurva kalibarasi standar dibuat dengan memipet setiap standar 1.25, 2.5, 5, 10,
14
20, 40, 80, 160 ng/mg dan di-spiking dalam minyak buah merah. Kurva kalibrasi dihitung dengan analisis regresi linear dari puncak area dengan konsentrasi nominal dari setiap standar, menggunakan program Excel 2007. Total tokoferol Pengukuran total tokoferol menggunakan metode Wong et al. (1988). Sebanyak 0.01 g contoh dimasukan dalam labu takar 10 ml dan ditambahkan 5 ml toluen, 3.5 ml 2,2 bipiridin (0.07% w/v dalam etanol 95%), 0.5 ml FeCl3.6.H2O (0.2% w/v dalam etanol 95%). Larutan ditepatkan sampai 10 ml etanol 95%, lalu divorteks dan didiamkan selama 10 menit. Absorbansi larutan diukur pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 520 nm. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa sampel. Konsentrasi total tokoferol dihitung berdasarkan kurva standar α-tokoferol dibuat dengan cara yang sama pada kisaran 100-1500 ppm dalam toluen, dengan menggunakan rumus berikut.
Keterangan :
A = absorbansi sample M = gradient pada kurva standar W = berat sampel (g)
Profil tokoferol Sebanyak 0.2 g minyak dilarutkan dalam 5 ml metanol, disonikasi selama 5 menit dan disaring dengan membran filter (0.45 μm). Selanjutnya 20 μl sampel diinjek pada HPLC LC-2040 (Shimadzu, Kyoto, Japan), dengan pompa Shimadzu LC-20 AD, UV-Vis, detektor Shimadzu SPD-20A, dan Combi Develosil column RP-5 (50 x 4.6 mm, i.d, 5 μm, Nomura Chemical, Tokyo). Fase gerak yang digunakan metanol:air (95:5) dengan laju gerak 1.0 ml/min. Absorbansi diukur pada 292 nm (AOCS 2003). Fraksi tokoferol diidentifikasi berdasarkan waktu retensi standar α- dan γ-tokoferol. Perhitungan didasarkan pada kurva kalibrasi standar α-tokoferol (58, 25, 15, 8, 1.6 and 0.1 ppm) dan γ-tokoferol (45, 22.5, 11.3, 5.6, 2.8 dan 0.1 ppm), dengan analisis regresi linear dari puncak area dengan konsentrasi nominal dari setiap standar, menggunakan program Excel 2007. Profil triasigliserida Contoh seberat 0.05 g dilarutkan dalam aseton atau campuran aseton dan kloroform dengan perbandingan 2:1 (v/v) dengan konsentrasi 5%, disaring menggunakan membran filter (0.45 μm), kemudian disuntikkan ke dalam HPLC sebanyak 20 µL. HPLC yang digunakan dengan tipe pompa isokratik, laju aliran fase gerak 0,8 mL/menit yang terdiri dari campuran aseton dan asetonitril dengan perbandingan 85:15 (v/v). Kolom yang digunakan adalah Zorbax Eclipse XDB C18 (250 x 4.6 mm, Agilent Technologies Inc., USA) yang dipasang seri dengan kolom Microsorb MV (250 x 4.6 mm, Rainin Instrument Co. Inc., USA). Waktu proses analisis dilakukan selama 50 menit (AOCS 2003). Komposisi Asam Lemak Analisis asam lemak komposisi minyak dilakukan dengan transesterifikasi dari triasilgliserida menjadi fatty acid methyl esters (FAME). Sekitar 25 mg minyak ditambahkan 1 mg larutan standar internal (C17, Sigma Co, St
15
Louis, MI, USA) dalam 10 ml heksan, ditambah 1.5 ml NaOH 0.5 N dalam metanol, dihembus gas N2 dan dipanaskan selama 5 menit pada suhu 85 oC. Setelah pendinginan pada suhu kamar, ditambahkan 2 ml 14% BF3-metanol dan dipanaskan pada 85 °C selama 30 menit. Setelah didinginkan, ditambah 1.5 ml heksana dan 3 ml NaCl jenuh, divorteks dan lapisan atas (FAME) dikumpulkan (AOCS 2003). FAME 10 μl diijek pada Kromatografi Gas (GC-2100 Series, Shimadzu, Jepang) yang dilengkapi dengan detektor flame ionization dan kolom DB-23 (30 m x 0.25 mm dan ketebalan 0.25 μm). Kondisi untuk analisis yaitu: (a) injektor 250 oC, (b) oven 120 oC menjadi 230 oC selama 6 sampai 25 menit, dengan laju 3 oC/menit, dan (c) detektor 260 oC. Puncak setiap FAME diidentifikasi dengan membandingkan waktu retensi dengan standar (FAME Mix C8-C22, Supelco Park, USA). Komposisi masing-masing asam lemak dihitung dengan menggunakan luas puncak dari spesies asam lemak yang muncul dalam kromatogram dinyatakan dalam per 100 g minyak dari total luas puncak dari semua asam lemak dalam sampel minyak. Rendemen Rendemen minyak buah merah yang terekstrak merupakan persentasi massa dari sampel yang dihitung menggunakan rumus berikut.
*Keterangan: bb = basis basah
Aktivitas lipase Aktivitas lipase ditentukan menggunakan metode Lopes et al. (2011) yang dimodifikasi. Sebanyak ±0.5 g pipilan buah merah digerus dalam 5 ml buffer fosfat 0.05 M pH 7 kemudian filtratnya disentrifugasi (5000 ppm, 5 menit). Selanjutnya filtrat sampel yang diperoleh diencerkan (100 kali) dengan buffer fosfat 0.05 M pH 7. Sebanyak 0,45 ml larutan sampel ditambahkan 0.54 ml buffer fosfat 0.05 M pH 7, divorteks dan ditambahkan 0.01 ml p-nitrofenilbutirat 0.2 M (pelarut dimetilsulfoksida) dan divorteks. Larutan sampel tersebut diinkubasi pada suhu 35oC 10 menit dan diukur absorbansinya pada gelombang 410 nm. Blanko dibuat dengan cara yang sama menggunakan sampel yang telah diinaktifkan lipasenya dengan didihkan dalam penangas air selama 20 menit, tanpa diinkubasi. Unit aktivitas lipase diekspresikan sebagai kuantitas dari hasil hidrolisis enzim lipase yang dihasilkan sebesar 1 μmol dari p-nitrofenol per menit dalam kondisi reaksi. Aktivitas lipase dihitung berdasarkan kurva standar p-nitrofenol (PNF), dengan menggunakan rumus berikut.
*Keterangan.: BM PNF = berat molekul p-nitrofenol (139.1) a = intersep pada kurva standar b = slope/gradient pada kurva standar
16
Daftar Pustaka Andarwulan N, Shetty K. 1999. Phenolic content in differentiated tissue culture of transformed and agrobacterium-transformed roots of anise (Pimpenella anisum L). J Agric Food Chem. 47:1776-1780. [AOAC] Association of Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Wahington DC (U): AOAC. [AOCS] American Oil Chemists' Society. 2003. Official Methods and Recommended Practices of the AOCS. 5th ed. Champaign. Illinois (US): AOCS. Folch J, Lees M, Sloane-Stanley GH. 1957. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissues. J Biol Chem. 226: 497-509. Hart DJ, Scott KJ. 1995. Development and evaluation of an HPLC method for the analysis of carotenoids in foods, and the measurement of the carotenoid content of vegetables and fruits commonly consumed in the UK. Food Chem. 54: 101-111. Knockaert G, Lemmens L, Van-Buggenhout S, Hendrickx M, Van-Loey A. 2012. Changes in β-carotene bioaccessibility and concentration during processing of carrot puree. Food Chem. 133: 60-67. Lopes DB, Fraga LP, Fleuri LF, Macedo GA. 2011. Lipase and esterase - to what extent can this classification be applied accurately? Ciênc Tecnol Aliment. 31(3): 608-613. PORIM, PORIM Test Methods. 2005. Malaysia: Palm Oil Research Institute of Malaysia, Ministry of Primary Industries. pp 43-44. Seneviratne KN, Hapuarachchi CD, Ekanayake S. 2009. Comparison of the phenolic-dependent antioxidant properties of coconut oil extracted under cold and hot conditions. Food Chem. 114: 1444- 1449. Wada M, Fujimoto K, Nishigaki T, Febriyanti E, Ikeda R; Nakashima K. 2013. Determinatin of α- and β-cryptoxanthins, and α- and β-carotenes in Buah Merah oil by HPLC-UV detection. J Agro-Based Industry. 30(1):1-8. Wong ML, Timms RE, Goh EM. 1988. Colorimetric determination of total tocopherols in palm olein and stearin. JAOCS. 65: 258-261.
3 KARAKTERISASI SIFAT FISIK 9 KLON BUAH MERAH (Pandanus conoideus) Characterization of physical properties of nine clones of red fruit (Pandanus conoideus) Abstract This study aims to determine the physical properties of the fruit and the plant of 9 clones of red fruit (Pandanus conoideus), as well as the yield of red fruit oil. Observations were focus on the physical properties of fruit (shape, color, length and size, weight and circumference of the part of red fruit (chepallum/wole fruit, pedicel/pith, and drupe/grain); the physical properties of the fruit varies between clones, especially in colors, shapes and sizes of cepallum/whole fruit (yellow-orange-red or dark red, the fruit has a tapered cylindrical shape which is at the base of enlarging or smaller in the middle and be smaller at the end of the fruit; color, shape and size of pedicel/pith (usually white or yellow, the pith has a tapered cylindrical shape, which have a base circumference pith smaller than in the middle and be smaller at the end of pith); as well as color, shape and size of drupa/grain are generally colored yellow-orange-red or dark red and the grains have a many-square shape or a polygonal with a sharp conical shape at the surface and form a rectangle on the bottom. Whole fruit consists of pith (51-61%), grains (39-49%), seeds (27-36%) and pulp (10-17%). Pulp is a part of fruit that use as food and oil source. The results of the calculation of the yield oil of red fruit (wet extraction) based on the weight of total grain (5.7-8.7% wb, wet base or 7.7-18.3% db, dry base) lower than the weight of total pulp (19.7-27.4% wb or 31.9-54.5% db). Fruit characteristics important to ascertained as a base in calculating the oil yield as well as using the dry base content to evaluating the effectiveness of red fruit processing. While the physical properties of plant variation among clones of red fruit plants, especially in plant height and main stem, and also length of branch plants and the distance between branches. Principle component analysis results based on physical of fruit and plant, 9th clone of red fruit distributed into 4 quadrants based on the location of cultivation. Key words: red fruit (Pandanus conoideus), clones, physical properties, and yield oil. Pendahuluan Buah merah (Pandanus conoideus) secara taksonomi tergolong dalam genus Pandanus, yang pertumbuhannya menyebar hampir di seluruh tanah Papua, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (5-2300 m dpl), meliputi daerah Jayapura, pegunungan Jayawijaya, Mimika, Merauke, daerah kepala burung meliputi Sorong, Manokwari dan Nabire, serta kepulauan Biak dan Serui (Walujo et al. 2007), serta memiliki keragaman klon yang tinggi. Hasil eksplorasi buah merah pada 5 daerah sentra budidaya di Provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu Kabupaten Manokwari, Teluk Bintuni (Distrik Merdey), Sorong Selatan (Distrik Aifat) dan Jayawijaya (Distrik Kelila) ditemukan 85 klon, dengan karakteristik fisik dan kimia yang bervariasi (Murtiningrum et al. 2012). Limbongan dan Malik
18
(2009) melaporkan pula bahwa 6 klon yang umum dibudidayakan di Provinsi Papua yaitu Maler, Mbarugum, Ibagaya, Kuanggo, Kenen, dan Muni. Umumnya masyarakat Papua menggunakan buah merah sebagai sumber minyak, yang dapat dikonsumsi secara langsung, diolah menjadi saos atau dimasak dengan ubi-ubian dan sayur. Selain mengandung lemak 11-30% (Murtiningrum et al. 2012), buah merah juga mengandung komponen antioksidan alami yaitu α-karoten, β-karoten, β-kriptosantin, α-tokoferol, dan asam lemak tidak jenuh terutama asam oleat, linoleat, dan palmitoleat (Southwell dan Harris 1992; Surono et al. 2008), Fe, Ca, dan P (Murtiningrum et al. 2012), serta komponen fenol (Rohman et al. 2010). Ekstrak buah merah telah terbukti menguntungkan kesehatan secara in vivo, antara lain menghambat tumor dan membunuh sel kanker (Mun‘im et al. 2006; Moeljopawiro et al. 2007; Surono et al. 2008), antiinflamasi dan meningkatkan sel imun (Khiong et al. 2009), dan menurunkan gula darah tikus (Rattus norvegicus) diabetik (Winarto et al. 2009), sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional. Produk pangan fungsional yang berkualitas selain ditentukan oleh proses pembuatannya juga ditentukan pula oleh kualitas buah merah yang digunakan. Faktor kualitas buah merah menjadi sangat penting karena berkaitan dengan kuantitas dan kualitas kandungan senyawa aktifnya. Seperti komoditi pertanian lainnya, buah merah memiliki karakteristik yang khas yaitu mudah rusak karena mengandung kadar air yang tinggi dan masih melakukan aktivitas fisiologis setelah panen, yang dapat memicu berbagai kerusakan dan mempengaruhi kadar komponen aktifnya. Ditambahkan pula bahwa buah merah matang memiliki tekstur daging buah yang lunak sehingga mudah terjadi memar jika buah merah langsung dijatuhkan ke tanah atau terbentur pada benda tajam/keras lainnya, baik selama pemanenan maupun transportasinya. Terjadinya memar atau luka pada buah merah dapat memicu terjadi hidrolisis lemak oleh lipase sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebasnya (Santoso et al. 2011; Ngando et al. 2013). Murtingrum et al. (2013) melaporkan bahwa bulir (pipilan) buah merah yang disimpan pada suhu kamar ditumbuhi kapang pada hari ke-4. Berdasarkan karakteristik buah merah tersebut maka penanganan pasca panen seperti mencegah kerusakan mekanik, kehilangan air dan berkembangnya penyakit, menghambat perubahan fisiologis yang tidak diinginkan dan mencegah kontaminasi kimia dan mikroba (Cook 1999) merupakan tahap penting untuk menghasilkan produk buah merah yang berkualitas. Oleh karena itu diperlukan kajian yang komprehensif mengenai sifat fisik buah merah, yang penting dalam menentukan aplikasi teknologi yang tepat dalam pengembangan produk berbasis buah merah sebagai pangan fungsional yang berkualitas. Parameter fisik buah menjadi indikator awal yang penting, karena dapat mempengaruhi dalam penanganan panen dan pasca panen serta perancangan peralatannya yang meliputi pembersihan, sortasi dan pengemasan (Jahromi et al. 2007), serta teknik transportasi, penyimpanan, pemisahan daging buah (pulp), dan proses ekstraksi minyaknya seperti pemanasan (otoklaf) (Keshvadi et al. 2011). Informasi sifat fisik juga diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat maupun produsen dalam penanganan dan pengolahan buah merah yang saat ini masih kurang tepat karena umumnya dilakukan secara tradisional. Disamping itu berbagai kajian mengenai ekstraksi minyak buah merah telah banyak dilaporkan, namun nilai rendemen minyak yang dihasilkan beragam. Rendemen minyak buah
19
merah hasil ekstraksi basah dilaporkan Murtiningrum et al. (2005) sebesar 15.9%, sedangkan laporan Andarwulan et al. (2006) berkisar 18-21%; Pohan dan Wardayani (2006) melaporkan rendemen minyak buah merah hasil berbagai metoda ekstraksi berkisar 1.98-10.19%; dan Lubis et al. (2012) melaporkan rendemen minyak hasil ekstraksi kering berkisar 32.5-35.0%. Perbedaan data rendemen minyak buah merah tersebut diduga selain dapat disebabkan karena perbedaan asal atau klon buah merah dan metode ekstraksi yang digunakan, juga karena pemahaman mengenai karakter fisik buah merah setiap peneliti tidak sama dalam penentuan basis perhitungan rendemen. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik buah dan tanaman dari 9 klon buah merah, serta rendemen minyak buah merah yang dihasilkan. Bahan dan Metode Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah 9 klon buah merah, dengan nama lokal Menjib Rumbai, Edewewits, Memeri, Monsrus, Monsor (Kebun Percobaan Universitas Negeri Papua (UNIPA)-Manokwari), Mbarugum (Distrik Koya, Jayapura), dan Hityom, Himbiak, Hibcau (Distrik Minyambow, Manokwari). Buah merah yang digunakan adalah buah segar yang dipanen pada tingkat kematangan optimal, dengan kriteria panen yaitu bulir buah telah berisi penuh (bernas), berwarna merah tua, posisi kemiringan buah pada pohon 180 o, daun seludang terbuka dan telah mengering 50%. Buah merah diperoleh dari petani setempat, sebanyak 2-6 buah, dan dibiarkan atau diperam pada suhu kamar selama ±2 hari sebelum diamati, untuk melunakkan daging buah dan memudahkan proses pemipilan. Sifat Fisik Buah dan Tanaman Buah Merah Observasi dan fotografi digunakan untuk membandingkan, membedakan dan mendokumentasikan karakter fisik buah dan tanaman buah merah. Variabel yang diamati meliputi karakter fisik buah merah yaitu: (1) buah utuh (chepalllum): bentuk, warna, panjang, berat, dan lingkar buah (bagian pangkal, tengah dan ujung); (2) empulur (pedicel): bentuk, warna, panjang, berat, dan lingkar empulur (bagian pangkal, tengah dan ujung); (3) bulir (drupa): panjang, lebar, berat bulir utuh, berat biji (tanpa daging buah), dan berat daging buah (pulp); serta karakter fisik tanaman buah merah (tinggi tanaman; warna, diameter batang utama, dan jumlah percabangan; panjang dan lebar daun).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Chepallum buah merah (a), empulur (pedicel) (b) dan bulir (drupa) (c)
20
(a)
(b)
Gambar 2. Penampang melintang buah merah (a) dan bulir buah merah (b) Ekstraksi minyak buah merah Minyak buah merah diekstrak dengan cara basah, dengan memodifikasi cara tradisional yaitu bulir buah merah ditambahkan air dengan perbandingan buah dan air 1:2, dan direbus selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan pemisahan biji dan daging buah dengan diaduk dan disaring, sehingga dihasilkan pasta daging buah. Pasta daging buah tersebut dimasak selama ±1 jam sampai minyak terekstrak sempurna. Minyak yang dihasilkan, disentrifus (1000 rpm, 10 menit), disaring, dan dikemas dalam botol gelap. Rendemen minyak buah merah yang terekstrak merupakan persentasi massa (berat) dari sampel yang dihitung menggunakan persamaan berikut.
Keterangan: bb = basis basah
Untuk membandingkan rendemen minyak antar klon berdasarkan berat keringnya maka dilakukan pengukuran kadar air bulir dari 9 klon buah merah, dengan menggunakan metode oven (AOAC 2005). Analisis Data Data hasil pengamatan karakter fisik tanaman dan buah dari buah merah ditabulasi dan dianalisis menggunakan Principle Component Analysis (PCA) dengan Xlstat Versi 2013.6.01. Data rendemen minyak ditabulasi dan dianalisis secara statistik dengan Analisis Ragam, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan's Multiple Range Test (DMRT) menggunakan Program Statistical Analysis Software (SAS) 9.1.3. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Fisik Buah dari Buah Merah Buah utuh (cepallum) dari buah merah secara fisik dapat digambarkan sebagai kumpulan bulir (drupa) yang tersusun rapat dan menempel kuat pada empulur (pedicel), dan setiap bulir terdiri dari biji yang diselimuti oleh daging buah (pulp) yang berlemak (Gambar 3). Daging buah dari buah merah merupakan bagian yang dikonsumsi, diolah atau diekstrak minyaknya. Persentasi dari bagianbagian buah tersebut disajikan pada Tabel 1.
21
Gambar 3. Bagian-bagian buah dari buah merah (Pandanus conoideus) Persentasi kandungan empulur dan bulir, serta biji dan daging buah dari buah utuh (cepallum) ke-9 klon buah merah berbeda-beda (Tabel 1). Empulur buah merah berkisar 51-60% yang merupakan bagian terbesar pada buah merah. Klon dengan kadar empulur di atas 55% adalah Himbiak yang tertinggi dikuti Mbarugum, Hibcau, Edewewits, dan Memiri, sedangkan yang di bawah 55% adalah Menjib Rumbai yang terendah diikuti Monsor, Monsrus, dan Hityom. Tabel 1 Kadar empulur, bulir, biji dan daging buah dari ke-9 klon buah merah Klon Buah Merah Menjib Rumbai Edewewits Memeri Monsrus Monsor Hityom Himbiak Hibcau Mbarugum
Empulur (%, berat buah) 51 56 56 53 52 53 61 56 58
Bulir (%, berat buah) Biji Daging buah (%, berat buah) (%, berat buah) 36 13 32 12 33 10 35 12 33 17 34 13 27 11 33 12 29 12
Total 49 44 44 47 48 47 39 44 42
Kandungan bulir buah merah berkisar 39-49% (Tabel 1), berbanding terbalik dengan kadar empulurnya. Makin berat empulur maka kadar bulir semakin kecil (Himbiak dan Mbarugum), sebaliknya makin ringan empulur makin besar total bulir (Menjib Rumbai dan Monsor). Setiap bulir buah merah mengandung biji dan daging buah. Kandungan biji setiap klon buah merah juga bervariasi, berkisar 27-36%, yaitu klon dengan kadar biji rendah (di bawah 30%) adalah Himbiak dan Mbarugum, sedangkan klon lain (di atas 30%) tergolong tinggi. Sementara itu, kadar daging buah merah berkisar 10-17%, yaitu klon dengan kadar daging buah tinggi (13-17%) adalah Monsor, diikuti Hityom dan Menjib Rumbai, sedangkan yang tergolong rendah (di bawah 13%) adalah Memeri, diikuti Himbiak, Hibcau, Monsrus, Edewewits dan Mbarugum. Dari data pada Tabel 1 terlihat bahwa umumnya klon buah merah jika memiliki kadar empulur tinggi maka kadar biji, kadar bulir dan kadar daging buah rendah (Himbiak, Mbarugum dan Memeri); sedangkan jika memiliki kadar empulur rendah maka kadar biji, kadar bulir dan kadar daging buah tinggi
22
(Monsor, Menjib Rumbai dan Hityom). Namun ada pula klon yang memiliki kadar empulur tinggi dengan kadar biji dan kadar bulir tinggi tetapi kadar daging buahnya rendah (Edewewits dan Hibcau); serta klon yang jika memiliki kadar empulur rendah memiliki kadar biji dan kadar bulir tinggi tetapi kadar daging buahnya rendah (Monsrus). Dengan demikian setiap klon memiliki komposisi bagian buah yang bervariasi, sehingga dalam perhitungan persentasi bagian buahnya harus ditetapkan basis yang digunakan (bulir atau daging buah). Buah utuh (cepallum) buah merah Karakter fisik buah utuh yang diamati meliputi warna, bentuk dan ukuran panjang dan lingkar buah dari buah merah bervariasi antar ke-9 klon (Tabel 2). Warna buah merah bervariasi yaitu kuning sampai oranye, dan merah sampai merah tua, dipengaruhi oleh klon dan tingkat kematangan buah. Umumnya klon yang diamati berwarna merah sampai merah tua, kecuali Menjib Rumbai yang berwarna kuning. Makin tua umur panen, warna buah merah semakin tua atau gelap yang mengindikasikan terbentuknya karotenoid secara maksimal yang mengkontribusi warna merah. Karotenoid yang merupakan pigmen alami kuning, yang terbentuk di daun, bersama dengan klorofil serta di bagian lain tanaman seperti buah, bunga, biji dan akar (Wilska-Jeszka 2002). Santoso et al. (2011) menyatakan bahwa perkembangan tingkat kematangan buah merah dapat ditandai dengan berubahnya warna buah yaitu dari hijau, merah muda dan merah pucat pada buah muda menjadi merah kehitaman saat buah matang.
Gambar 4. Bentuk umum cepallum dari 9 klon buah merah (Keterangan: a) silinder meruncing yang dari bagian pangkal memanjang sampai bagian tengah kemudian mengecil sampai bagian ujung; b) silinder meruncing yang dari bagian pangkal membulat besar dan agak membesar pada bagian tengah kemudian mengecil sampai bagian ujung; c) silinder meruncing yang pada bagian pangkal membulat besar kemudian mengecil sampai ke bagian tengah dan ujung; d) silinder yang bagian pangkal membulat kemudian membesar pada bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung; e) silinder meruncing yang pada bagian pangkal membulat kecil kemudian membesar pada bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung).
Karakter fisik buah utuh dari buah merah dapat digambarkan berbentuk silinder meruncing, dari pangkal membulat memanjang sampai ke bagian tengah membesar atau mengecil sampai ke bagian ujung mengecil (Gambar 4 dan Tabel
23
2). Data pada Tabel 2 juga memperlihatkan bahwa buah merah memiliki bentuk yang spesifik dan berbeda antar klon. Umumnya bentuk buah dari ke-9 klon buah merah dapat dibedakan dalam 5 bentuk seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4, yaitu: 1) silinder meruncing yang memanjang dari bagian pangkal dan tengah kemudian mengecil sampai bagian ujung (Edewewits); 2) silinder meruncing yang membulat besar pada bagian pangkal dan membesar pada bagian tengah kemudian mengecil sampai bagian ujung (Himbiak, Hityom dan Hibcau); 3) silinder meruncing yang membulat besar dari bagian pangkal kemudian mengecil sampai ke bagian tengah dan ujung (Mbarugum); 4) silinder yang membulat kecil pada bagian pangkal kemudian membesar pada bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung (Monsrus); 5) silinder meruncing yang membulat kecil pada bagian pangkal kemudian membesar pada bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung (Menjib Rumbai, Memeri, dan Monsor). Lebang et al. (2004) dan Hadad et al. (2006) dalam eksplorasi buah merah di Provinsi Papua mendeskripsikan buah merah berbentuk segitiga dan silindris, ujung tumpul atau lancip, dan pangkal menjantung. Rata-rata panjang dan berat buah merah bervariasi antar klon yang diamati, yaitu masing-masing 45-75 cm dan 2-7.9 kg. Dari data Tabel 2 terlihat bahwa klon buah merah yang tergolong panjang (>60 cm) adalah Edewewits, Memeri, Mbarugum, Hityom, Himbiak dan Hibcau, sedangkan Menjib Rumbai pendek (<50 cm), dan Monsrus dan Monsor tergolong sedang (40-60 cm). Berdasarkan ukuran panjangnya, buah merah dapat dikelompokkan menjadi buah panjang (ukuran>50 cm), sedang (ukuran 49-35 cm), pendek (ukuran <35 cm) (Murtiningrum et al. 2012). Buah merah jenis panjang asal Wamena-Papua dilaporkan Lebang et al. (2004) memiliki panjang 68-110 cm dan asal Manokwari-Papua Barat dilaporkan Nainggolan (2001) 65.2-98.8 cm. Sedangkan Hadad et al. (2006) mengelompokkan ukuran tipe merah panjang berukuran 60105 cm dan merah pendek ±55 cm. Variasi ukuran antar tempat tumbuh buah merah dilaporkan Murtiningrum et al. (2012) dimana umumnya daerah dataran tinggi memiliki ukuran sedang (42 cm) sampai panjang (80.2 cm), sedangkan daratan rendah berkisar 59-66 cm, namun di dataran rendah lebih bervariasi dari pendek (25-29 cm) sampai panjang (70 cm). Ukuran lingkar buah dari buah merah antar klon juga bervariasi yaitu rataan pada bagian ujung berkisar 18-26 cm, tengah 28-46 cm, dan pangkal 24-38 cm, sehingga dapat menggambarkan karakteristik bentuk dari setiap klon buah merah (Tabel 2). Kisaran ukuran lingkar buah merah dalam kajian ini relatif sama dengan laporan Nainggolan (2001) yaitu lingkar pangkal 30-39.2 cm, tengah 31.842.8 cm, dan ujung 18.6-24 cm, sedangkan Hadad et al. (2006) membedakan buah besar (lingkar pangkal 31.5-74 cm dan lingkar ujung 14-28 cm) dan buah kecil (lingkar pangkal 35-54 cm dan lingkar ujung 10-15 cm). Berat buah merah dari ke-9 klon yang diamati rata-rata berkisar 2.0-7.9 kg, yang relatif sama dengan laporan Nainggolan (2001) yang berkisar 3.0-7.6 kg, sedangkan Hadad et al. (2006) mengelompokkan buah besar dengan kisaran berat 5-10 kg dan buah kecil dengan kisaran 4-7 kg. Berdasarkan ukuran panjang, bentuk dan berat buah utuh (cepallum), buah merah yang memiliki ukuran paling kecil dan ringan adalah klon Menjib Rumbai dan Monsor, sedangkan Monsrus berukuran sedang. Adapun klon buah merah yang tergolong besar dan berat
24
adalah Mbarugum, Memeri, Himbiak, Hityom, Hibcau dan Edewewit, namun Edewewits memiliki ukuran yang lebih ramping dan panjang (>70 cm). Tabel 2.a Gambar, warna, bentuk dan ukuran buah (cepallum) 9 klon buah merah Klon buah merah
Warna buah
Bentuk buah
Panjang buah (cm)
Berat buah (kg)
Menjib Rumbai
Kuning
Silinder segitiga
42-47 (sedang)
Edewewits
Merah
Silinder segitiga memanjang
Memeri
Merah
Monsrus
Monsor
Gambar buah (cepallum)
Lingkar buah (cm) Pangkal
Tengah
Ujung
1.7-2.2
22-25
26-30
16-23
71-80 (panjang)
4.6-6.4
22-32
33-35
25-27
Silinder segitiga
54-65 (panjang)
4.6-5
26-34
39-40
20-23
Merah
Silinder bulat
50-62 (panjang)
3.5-5.5
26-34
39-40
20-23
Merah
Silinder segitiga
42-52 (sedang)
1.3-2.8
22-28
25-32
16-20
25
Tabel 2.b Gambar, warna, bentuk dan ukuran buah (cepallum) 9 klon buah merah (Lanjutan) Klon buah merah
Gambar buah (cepallum)
Lingkar buah (cm)
Warna buah
Bentuk buah
Panjang buah (cm)
Berat buah (kg)
Pangkal
Tengah
Ujung
Hityom
Merah
Silinder segitiga
61-79 (panjang)
5.9-6.1
32-38
40-44
20-28
Himbiak
Merah
Silinder segitiga
72-80 (panjang)
4.5-8.4
33-44
43-48
20-26
Hibcau
Merah
Silinder segitiga
43-74 (panjang)
3.8-8.5
25-38
40-55
25-27
Mbarugum
Merah
Silinder segitiga
58-62 (panjang)
6.5-9.3
48-53
4250
Empulur (Pedicel) Empulur buah merah merupakan bagian tengah buah dari buah merah (cepallum) dan tempat menempelnya bulir (Gambar 3). Tabel 3 memperlihatkan karakteristik fisik empulur yang meliputi warna dan bentuk penampang melintang, rataan panjang, lingkar, berat dan kadar empulur. Umumnya warna empulur dari klon yang berwarna merah adalah putih, kecuali klon yang berwarna kuning (Menjib Rumbai) berwarna kuning, dipengaruhi oleh klon dan tingkat kematangan buah. Warna empulur buah merah yang belum matang umumnya lebih putih dibandingkan buah yang telah matang atau lewat matang, dipengaruhi oleh warna pipilannya. Secara umum, bentuk
24-26
26
empulur mempengaruhi bentuk buah utuh dari buah merah, yaitu silinder meruncing, dengan ukuran lingkar pangkal lebih kecil dari bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung, kecuali Mbarugum memiliki ukuran lingkar pangkal lebih besar dan mengecil pada bagian tengah sampai ke ujung. Umumnya bentuk dari penampang melintang empulur buah merah adalah segitiga, kecuali Monsrus berbentuk bulat (Tabel 3). Tabel 3 Sifat fisik empulur dari 9 klon buah merah Klon buah merah Menjib Rumbai: Rataan Total sampel
Warna /bentuk penampang melintang
Panjang empulur (cm)
Pangkal
Tengah
Kuning/ segitiga
42 6
18 6
37-47 71
Kisaran Edewewits: Rataan Total sampel
Putih/ segitiga
Kisaran Memeri:
Rataan Total sampel
Putih/ Segitiga
Kisaran Monsrus: Rataan Total sampel
Putih/ bulat
Kisaran Monsor:
Rataan
Putih/ Segitiga
14 6
1 6
51 6
15-20
21-23
10-18
0.8-1.2
45-57
23
29
21
3
56
6
6
6
6
6
6
67-76
18-26
27-31
20-24
2.6-3.8
53-60
57
25
34
22
2.7
56
3
3
3
3
3
3
51-61
20-30
33-35
18-26
2.6-2.8
52-59
53
21
30
17
2.3
53
4
4
4
4
4
4
47-59
16-29
27-34
15-18
1.6-3.3
46-59
41
22
24
15
1.1
52
4
4
4
4
4
18-24
24-27
10-14
0.65-1.4
49-57
54
43.5
39
18
4.6
58
2
2
2
2
2
2
52-56
41-46
35-43
17-19
3.7-5.5
56.9-59.5
65
26,0 4
32,0 4
16 4
3,5
51
4
4
54-76
24-30
30-34
14-20
2,8-4,1
70
35 3
16 3
4
3
32 3
4 47.554.1 61
3
3
Kisaran
67-76
30-35
34-36
16-17
3.2-5.2
56-78
Rataan
49
19
33
18
3
56
3
3
3
3
3
3
38-69
15-25
30-38
16-19
2-4.7
55-56
Mbarugum: Rataan Total sampel
Putih/ Segitiga
Kisaran Rataan Total sampel
Putih/ Segitiga
Kisaran Rataan Total sampel Hibcau:
22 6
4
Kisaran
Himbiak:
Kadar empulur (%)
34-48
Total sampel
Hityom:
Ujung
Berat empulur (kg)
Lingkar empulur (cm)
Total sampel Kisaran
Putih/ Segitiga
Putih/ Segitiga
Panjang empulur buah merah antar klon sangat bervariasi rata-rata berkisar 41-71 cm. Klon dengan empulur terpanjang (>50 cm) yaitu Edewewits dan Himbiak, diikuti Mbarugum, Memeri dan Hityom; ukuran sedang (45-50 cm) Monsrus dan Hibcau; dan terpendek (<45) Menjib Rumbai. Lingkar empulur antar klon buah merah juga bervariasi yaitu pada bagian ujung rata-rata berkisar 14-22
27
cm, bagian tengah dan pangkal masing-masing 22-39 cm dan 18-43 cm. Data panjang empulur yang diperoleh dalam kajian ini relatif sama dengan laporan Murtingrum et al. (2010) namun ukuran lingkar empulurnya lebih kecil yaitu panjang empulur buah matang dari 3 klon yang diamati berkisar 47-72 cm, dengan lingkar bagian ujung 11-20 cm, tengah 23-33 cm dan pangkal 17-26. Perbedaan ukuran empulur ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis klon dan tingkat kematangan buah (Santoso et al. 2011). Berat empulur dari 9 klon buah merah tersebut rata-rata berkisar 1-4.6 kg dengan kadar empelur 51-61%. Klon dengan empelur terberat (>4 kg) Mbarugum, Himbiak dan Hityom, sedangkan yang paling ringan adalah Menjib Rumbai dan Monsor (±1 kg). Bulir (drupa) buah merah Karakteristik fisik bulir buah dari ke-9 klon buah merah diperlihatkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Bulir buah merah merupakan biji yang berbentuk persegi empat dan dilapisi oleh daging buah (pulp), yang tertancap berjejer rapat pada empulur (Gambar 3). Bentuk permukaan bulir umumnya persegi banyak atau poligonal (segi 5, segi 6 atau segi 7) yang mengerucut tajam pada bagian ujungnya dan pada bagian bawahnya membentuk segi empat dengan ukuran panjang dan lebar yang bervariasi antar klon (Tabel 4). Sedangkan bentuk biji buah merah, pada permukaannya berbentuk persegi banyak (poligonal) yang mengerucut tajam pada bagian ujungnya, dan bagian bawahnya berbentuk persegi panjang yang berbentuk kotak (Menjib Rumbai, Monsrus dan Monsor) atau meruncing (Edewewits, Memeri, Mbarugum, Hityom, Himbiak dan Hibcau). Warna bulir buah merah dari ke-9 klon umumnya merah-merah tua, kecuali Menjib Rumbai berwarna kuning-oranye. Makin tinggi tingkat kematangan buah maka warna bulirnya makin tua/gelap. Meningkatnya instensitas warna bulir ini berkaitan dengan meningkatnya kadar karoten seiring dengan meningkatnya kematangan buah. Murtiningrum et al. (2010) melaporkan bahwa total karoten tertinggi dicapai pada fase buah lewat matang. Berat total bulir dari setiap buah merah rata-rata berkisar 1-3.3 kg (Tabel 4). Berat total bulir tertinggi dimiliki klon Mbarugum; sedangkan Menjib Rumbai dan Monsor yang paling ringan. Kisaran berat buah ini lebih besar dibandingkan laporan Murtiningrum et al. (2010) bahwa berat total bulir 3 klon buah merah (Monsor, Edewewits dan Memeri) asal kebun percobaan UNIPA antara 0.92-2.5 kg. Sifat fisik bulir pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa rataan panjang bulir buah merah berkisar 0.98-1.82 cm. Ukuran panjang bulir pada bagian pangkal buah (cepallum) paling pendek dan pada bagian tengah buah terletak ukuran bulir terpanjang, sedangkan pada bagian ujung buah memiliki ukuran bulir yang lebih pendek dari bagian tengahnya. Klon buah merah dengan panjang bulir >1.5 cm adalah Mbarugum, Hityom, Himbiak dan Hibcau, sedangkan Menjib Rumbai, Edewewits, Memeri, Monsrus dan Monsor relatif lebih pendek (<1.5 cm). Hasil ini sama dengan laporan Murtiningrum et al. (2012) yaitu panjang bulir buah merah hasil eksplorasi dari beberapa daerah di Papua berkisar 1.2-1.8 cm.
28
Tabel 4 Karakter fisik bulir (warna bulir, gambar dan bentuk dari bulir dan biji, serta berat total bulir) dari 9 klon buah merah Klon buah merah
Warna bulir
Menjib Rumbai: Rataan KuningTotal sampel (n) oranye Kisaran Edewewits: Rataan MerahTotal sampel (n) merah tua Kisaran Memeri: Rataan Total sampel (n) Kisaran Monsrus: Rataan Total sampel (n) Kisaran Monsor: Rataan Total sampel (n) Kisaran Mbarugum: Rataan Total sampel (n) Kisaran Hityom: Rataan Total sampel (n) Kisaran Himbiak: Rataan Total sampel (n) Kisaran Hibcau: Rataan Total sampel (n) Kisaran
Gambar bulir dan biji
Bentuk Bentuk permukaan, bentuk permukaan, bagian bawah bulir bagian bawah biji Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang berbentuk kotak
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang meruncing
Merahmerah tua
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang meruncing
Merahmerah tua
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang berbentuk kotak
Merahmerah tua
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang berbentuk kotak
Merahmerah tua
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang meruncing
Merahmerah tua
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang meruncing
Merahmerah tua
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang meruncing
Merahmerah tua
Poligonal mengerucut, empat persegi panjang
Poligonal mengerucut, persegi panjang meruncing
Berat total bulir per buah utuh (kg) 1 6 0.9-1.2 2.4 6 1.9-2.7 2.1 3 1.9-2.4 2 4 1.8-2.3 1.1 4 0.65-1.4 3.3 2 2.8-3.8 3.1 4 2.8-3.4 2.5 3 1.9-3.2 2.5 3 1.7-3.8
Ukuran lebar bulir bervariasi antar klon dengan kisaran rataan 0.39-0.5 cm, dimana umumnya bulir pada bagian pangkal buah merah lebih lebar dibandingkan pada bagian tengah dan ujung. Rataan berat bulir dan berat biji buah
29
merah, masing-masing berkisar 0.12-0.35 g dan 0.09-0.25 g. Bulir buah merah dengan berat lebih dari 0.2 g dimiliki oleh klon Monsrus, Mbarugum, Hityom, Himbiak dan Hibcau, sedangkan berat bulir Menjib Rumbai, Edewewits, Memeri dan Monsor dibawah 0.2 g. Murtiningrum et al. (2010) melaporkan lebar bulir 3 klon buah merah asal kebun percobaan UNIPA berkisar 0.3-0.42 cm, sedangkan berat bulir dan biji masing-masing 0.08-0.12 g dan 0.06-0.08 g. Perbedaan ukuran ini dapat dipengaruhi oleh jenis klon, umur tanaman, serta asal tempat tumbuhnya. Tabel 5 Ukuran panjang dan lebar, berat bulir, berat biji, berat daging buah dan kadar daging buah dari bulir 9 klon buah merah Klon buah merah Menjib Rumbai: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Edewewits: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Memeri: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Monsrus: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Monsor: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Mbarugum: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Hityom: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Himbiak: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran Hibcau: Rataan Jumlah sampel (n) Kisaran
Panjang bulir (cm)
Lebar bulir(cm)
Berat bulir (g)
Berat biji (g)
Berat daging buah/bulir (g)
Kadar daging buah/bulir (%)
0.98 34 0.6-1.3
0.47 34 0.2-0.6
0.12 34 0.06-0.16
0.09 34 0.04-0.14
0.03 34 0.01-0.06
27.62 34 16-34
1.10 34 0.7-1.3
0.50 34 0.2-0.7
0.17 34 0.1-0.23
0.12 34 0.08-0.16
0.04 34 0.02-0.07
26.4 34 16-37
1.26 34 0.8-1.5
0.37 34 0.2-0.6
0.14 34 0.10-0.21
0.11 34 0.07-0.17
0.032 34 0.01-0.04
23.63 34 15-33
1.20 34 0.4-1.4
0.45 34 0.2-0.7
0.26 34 0.15-0.34
0.20 34 0.1-0.27
0.07 34 0.03-0.10
25.02 34 15-32
1.28 34 0.7-1.5
0.43 34 0.2-0.7
0.14 34 0.08-0.24
0.09 34 0.05-0.15
0.05 34 0.03-0.08
33.66 34 27-43
1.47 10 1.4-1.5
0.48 10 0.4-0.6
0.20 10 0.14-0.26
0.14 10 0.12-0.23
0.06 10 0.02-0.16
29.7 10 26-34
1.62 34 1.2-1.9
0.41 34 0.2-0.6
0.22 34 0.13-0.35
0.16 34 0.1-0.25
0.06 34 0.03-0.09
27.59 34 20-35
1.55 34 1.2-2.0
0.47 34 0.3-0.8
0.25 34 0.16-0.44
0.18 34 0.12-0.29
0.07 34 0.04-0.4
29.27 34 21-35
1.82 34 1.0-2.3
0.49 34 0.3-0.7
0.35 34 0.2-0.44
0.25 34 0.19-0.36
0.09 34 0.03-0.14
26.54 34 14-36
Bulir buah merah memiliki lapisan daging buah berlemak yang melapisi biji buah, yang teksturnya semakin lunak seiring meningkatnya kematangan buah. Bagian daging buah ini yang akan diekstrak minyaknya (Gambar 3). Berat daging buah setiap bulir buah merah rata-rata berkisar 0.03-0.09 g (Tabel 5). Klon buah
30
merah dengan rataan daging buah per bulir lebih dari 0.05 g adalah Monsrus, Monsor, Mbarugum, Hityom, Himbiak, dan Hibcau, sedangkan yang kurang dari 0.05 g adalah Menjib Rumbai, Edewewits dan Memeri. Kadar daging buah setiap bulir buah merah rata-rata berkisar 23.6-33.7%, dimana kadar daging buah tertinggi dimiliki klon Monsor dan yang terendah adalah Memeri. Perancangan alat pelepas/pemisah daging buah merah dari biji yang dilaporkan Darma et al. (2010) dapat menghasilkan rendemen daging buah merah 12.7%, sehingga diduga masih banyak daging buah yang tertempel pada biji. Dari data pada Tabel 5 terlihat pula bahwa kadar daging buah sangat bervariasi antar klon, namun tidak dipengaruhi oleh ukuran panjang, lebar dan berat bulirnya. Seperti klon Memeri yang memiliki ukuran bulir yang relatif lebih besar tetapi kadar daging buahnya lebih rendah dibandingkan dengan klon Menjib Rumbai yang ukuran bulirnya lebih kecil dan memiliki kadar daging buah yang lebih tinggi. Sedangkan klon Monsor dengan ukuran bulir sedang memiliki kadar daging buah yang paling tinggi. Murtiningrum et al. (2010) melaporkan pula bahwa berat bulir buah merah meningkat seiring dengan membesarnya ukuran panjang dan lebar bulir selama proses pematangan sampai fase lewat matang. Secara umum perbedaan bentuk dan ukuran bulir serta kadar daging buah bervariasi antar ke-9 klon, yang selain dapat dipengaruhi oleh tingkat kematangan buahnya, juga dipengaruhi karakter genetik/klon dan lokasi budidayanya. Kualitas fisik buah merah Parameter fisik dan kimia buah merupakan indikator penting dari tingkat kematangan serta kualitas internal dan eksternalnya, faktor penentu untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kualitas didefinisikan sebagai tidak adanya cacat atau derajat kesempurnaan dan ini meliputi tampilan, warna, bentuk, kerusakan, flavor, rasa, aroma, nilai gizi dan aman untuk konsumer (Abbott 1999). Kebutuhan pasar terhadap buah merah sangat dipengaruhi oleh tujuan proses produksinya. Secara tradisional buah merah dimanfaatkan sebagai pangan oleh masyarakat Papua dengan diolah menjadi saos dan dikonsumsi dengan ubi-ubian atau sagu, sayuran dan daging, atau diolah menjadi minyak makan. Sedangkan produsen minyak buah merah (industri kecil), terutama bertujuan untuk mengestrak minyak buah merah sebagai suplemen yang diklaim kaya antioksidan dengan kandungan karotenoid yang tinggi, untuk meningkatkan stamina dan penglihatan, ataupun sebagai obat dalam menyembuhkan beberapa penyakit seperti tumor/kanker, tekanan darah, disfungsi hati, sampai HIV/AIDS (Budi dan Paimin 2002). Dengan demikian karakteristik buah merah yang diperlukan adalah buah dengan kadar daging buah, kadar lemak dan komponen aktif (karoten dan tokoferol) yang tinggi. Sehingga parameter buah merah yang berkualitas secara eksternal dan internal, meliputi kesegaran dan tingkat kematangan buah, ukuran panjang dan lebar buah; berat buah (daging buah, biji dan empulur); kadar lemak dan kadar asam lemak bebas; dan kandungan karotenoid dan tokoferol. Buah utuh (cepallum) dari buah merah tersusun atas empulur dan bulir. Sedangkan bagian buah merah yang dimanfaatkan sebagai pangan maupun bahan baku produsen minyak (industri kecil) saat ini adalah daging buah yang melekat pada biji, dalam bulir buah merah yang tertancap pada empulur, yang merupakan bagian yang akan dibuang baik pada saat penanganan pasca panen maupun untuk tujuan pengolahan.
31
Penentuan waktu panen umumnya didasarkan pada tingkat kematangan buah. Apabila buah dipetik terlalu muda, maka pengembangan cita rasa, zat gizi, bentuk dan ukurannya akan terganggu. Sebaliknya apabila buah dipetik dalam keadaan lewat matang maka sebagian nilai gizi bahan pangan juga akan rusak/hilang. Santoso et al. (2011) melaporkan bahwa perkembangan buah merah dibagi dalam empat tahap yaitu buah muda, agak matang, matang dan lewat matang; dan pemanenan harus dilakukan pada fase matang. Ditambahkan pula bahwa umur panen setiap klon buah merah bervariasi, misalnya klon Monsor, Memeri dan Edewewits masing-masing sekitar 4, 6, dan 8 bulan sejak pembentukan buah (Santoso et al. 2011). Selanjutnya cara panen buah merah yang salah merupakan pemicu terjadinya berbagai kerusakan. Kerusakan mekanis akibat tusukan, jatuh dan gesekan mengakibatkan luka, memar, goresan, retak atau pecah, dapat terjadi saat pemanenan buah, sehingga harus dicegah sejak awal. Untuk menghindari terjadi luka/memar pada buah merah, maka pemanenan dilakukan dengan menggunakan galah bambu yang bagian ujungnya dibuatkan pengait, agar buah tidak langsung jatuh ke tanah (Santoso et al. 2011). Pemanenan buah merah sebaiknya dilakukan pada sore hari atau dini hari agar tidak terpapar panas matahari dan terhidar dari kerusakan fisik (Sarungallo et al. 2013). Kerusakan fisik akibat suhu tinggi (panas), cahaya, penguapan akan menyebabkan layu, kering, berat menurun, perubahan warna, tekstur, rasa dan flavor.
Gambar 5 Pengeluaran empelur buah merah secara manual oleh masyarakat di Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni. Penanganan pasca panen secara tradisional oleh petani buah merah yang umumnya memiliki lokasi kebun yang jauh dari pemukiman dan pasar atau produsen minyak buah merah, sehingga untuk mempermudah pengangkutan dilakukan pengeluaran bagian empulurnya. Pengeluaran empulur dilakukan dengan cara membelah buah merah menjadi dua bagian secara membujur, kemudian bagian empulurnya dikeluarkan menggunakan parang (Gambar 5). Belahan buah merah tersebut diikat menjadi satu bagian dan dimasukkan dalam karung untuk diangkut ke pasar atau tempat pengolahan. Penanganan buah merah dengan cara membelah buah menyebabkan luka, retak dan rontoknya bulir buah yang akan memicu terjadinya hidrolisis minyak oleh enzim lipase menghasilkan asam lemak bebas (ALB) (Ngando et al. 2013), sehingga akan meningkatkan kadar ALB minyak buah merah dan mempengaruhi mutu produk yang dihakan dihasilkan. Disamping itu buah masa simpan buah yang sudah dibelah lebih singkat. Umumnya buah merah matang dalam bentuk utuh dapat disimpan pada
32
suhu kamar selama 4-5 hari, sedangkan dalam bentuk pipilan hanya bertahan 2 hari dan pada hari ke-4 sudah ditumbuhi kapang (Murtiningrum et al. 2013). Oleh karena itu dalam penanganan pasca panen sebaiknya buah merah ditransportasikan dalam bentuk utuh dan masih disertai daun selubung buahnya agar terhidar dari benturan. Sedangkan dalam perancangan peralatan pengolahan buah merah sangat dipengaruhi oleh tahapan proses dan produk akhir yang diinginkan. Karakteristik Fisik Tanaman Buah Merah Karakter fisik tanaman yang digunakan untuk membedakan ke-9 klon tersebut antara lain tinggi tanaman dan cabang utama, warna batang, percabangan dan ukuran daun. Secara visual karakteristik fisik tanaman dari ke-9 klon buah merah tersebut menunjukkan adanya variasi (Tabel 6 dan Gambar 5) yaitu pada tinggi cabang utama, bentuk percabangan dan ukuran cabang. Tinggi tanaman buah merah dari ke-9 klon yang diamati berkisar 2-7 m. Tinggi pohon buah merah ini dapat dipengaruhi oleh umur tanaman, dimana buah yang dibudidaya di Kebun Percobaan UNIPA dan Distrik Koya, Jayapura masing-masing berumur ±12 tahun dan ±10 tahun, sedangkan asal Minyambouw lebih dari 15 tahun. Hadad et al. (2006) dan Lebang et al. (2004) melaporkan pula bahwa tinggi pohon buah merah yang dibudidaya di Provinsi Papua berkisar 2-3.5 m, yang berumur lebih dari 5 tahun. Sedangkan Nainggolan (2001) melaporkan tinggi pohon buah merah yang tumbuh alami di Distrik Prafi (SP 6) dan Nuni, Kabupaten Manokwari yaitu tanaman dewasa (lebih dari 5 tahun) berkisar 6.5-16 m.
Gambar 5. Perawakan tanaman dari 9 klon buah merah Batang utama tanaman buah merah umumnya berwarna coklat dengan banyak bercak putih, dan berduri namun tidak setajam duri pada akar tunjangnya. Lebang et al. (2004) melaporkan pula bahwa batang buah merah berwarna coklat dengan bercak putih, berbentuk bulat, arah tumbuh vertikal/tegak, dan permukaan berduri. Tinggi batang utama dari ke-9 klon buah merah berkisar 1-5 m (Tabel 6), yang mana klon Menjib Rumbai, Hityom dan Himbiak memiliki tinggi batang
33
utama paling tinggi. Lingkar batang utama tanaman buah merah berkisar 26-78 cm, yang mana klon Edewewits, Mbarugum dan Himbiak memiliki lingkar batang utama yang relatif besar (>40 cm). Kisaran ini tidak berbeda dengan ukuran lingkar batang utama tanaman buah merah yang dibudidaya di Provinsi Papua yaitu 20-80 cm (Hadad et al. 2006) dan 20-40 cm (Lebang et al. 2004). Pada awal pertumbuhan tanaman buah merah tidak memiliki cabang, setelah berbuah dan dipanen, akan tumbuh tunas baru pada pucuk batang tersebut sebanyak 2-3 tunas, yang akan membentuk cabang baru, selanjutnya dari cabang tersebut akan menghasilkan satu buah merah muda lagi dan seterusnya (Santoso et al. 2011). Jumlah cabang tanaman buah merah antara klon bervariasi dari 2 sampai 24 cabang (Tabel 5), yang mengidikasikan bahwa umur tanaman yang diamati berbeda-beda. Dengan demikian produktivitas setiap tanaman buah merah dapat dilihat dari jumlah percabangan, yang sangat dipengaruhi umur tanaman, serta faktor-faktor pertumbuhan tanaman lain seperti kondisi tanah dan pemeliharaan tanaman atau faktor genetiknya. Tabel 6. Karakteristik fisik tanaman dari 9 klon Buah Merah Klon buah merah Menjib Rumbai Edewewits Memeri
Monsrus
Monsor Mbarugum Hityom Himbiak Hibcau
Lokasi (kebun) Kebun percobaan UNIPA, Mkw Kebun percobaan UNIPA, Mkw Kebun percobaan UNIPA, Mkw Kebun percobaan UNIPA, Mkw Kebun percobaan UNIPA, Mkw Distrik Koya, Jayapura Minyambouw, Mkw Minyambouw, Mkw Minyambouw, Mkw
Tinggi pohon (m)
Tinggi batang utama (m)
Lingkar batang utama (cm)
Jumlah cabang
Panjang cabang (m)
Panjang daun (cm)
lebar daun (cm)
Umur berbuah (tahun)
3.5-6
3.5-5
28-32
6-13
1-1.5
100-160 (sedang)
5-10
3
2.5-6
2-3
40-50
3-16
0.5-1
125-205 (besar)
5-9
3
2.5-6
1.52.5
26-35
3-18
1-4
135-210 (besar)
6-12
3
3-5
3-4
30-36
3-12
1-3
150-215 (besar)
6-13
3
2.5-5
1-2
35-40
5-16
1-2.5
120-170 (sedang)
5-10
3
2-3.5
2-3
40-78
2-4
1-3
6-15
3-5
5-6
3.5-5
35-40
2-8
1-2
12-13
3-5
5-7
3.5-5
42-46
2-10
1-2
12-13
3-5
4-6
2-3
33-43
4-24
1-2
10-11
3-5
100-325 (besar) 170-235 (besar) 270-320 (besar) 180-200 (besar)
Bentuk percabang dan ukuran cabang dari 9 klon buah merah juga bervariasi (Gambar 5 dan Tabel 6). Percabangan klon Menjib Rumbai lebih rapat dan mengumpul pada ujung pohon dengan panjang 1-1.5 m; percabang Edewewit lebih terbuka dengan diameter cabang yang lebih besar dan panjang 0.5-1 m; percabangan Memeri juga lebih terbuka namun diameter cabangnya lebih kecil dan lebih panjang 1-4 m; klon Monsor memiliki cabang utama yang lebih pendek dan percabangan juga lebih terbuka dengan diameter batang kecil dan panjang 12.5 m; sedangkan percabangan klon Mbarugum dan Monsrus agak rapat dengan panjang 1-3 m. Buah merah asal Minyambou yaitu klon Himbiak dan Hibcau memiliki bentuk percabangan yang terbuka, namun Himbiak memiliki diameter
34
cabang yang lebih besar dari Hibcau dan Hityom, sedangkan Hityom memiliki jarak antara cabangnya lebih melebar dibandingkan Hibcau dan Himbiak. Umumnya ukuran panjang cabang ke-3 klon tersebut berkisar 1-2 m. Daun tanaman buah merah tersusun dalam karangan rapat (rosette), tersusun melingkar dalam tiga putaran (tristichous), tiap daun berbentuk sabuk (lanceolate-elongate), berduri pada bagian tepi daun dan pada lipatan daun bagian atas (adaxial ventral pleats) atau tulang daun (Walujo et al. 2007). Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang daun tanaman buah merah yang diamati umumnya tergolong berukuran besar yaitu 100-325 cm, kecuali daun Menjib Rumbai dan Monsor berukuran sedang yaitu 100-160 cm, dengan lebar daun secara umum berkisar 5-15 cm. Kisaran panjang daun tersebut sama dengan laporan Lebang et al. (2004) yaitu 96-323 cm dengan lebar 9-15 cm, dan Hadad et al. (2006) berukuran 110-323 cm dengan lebar 4-15 cm. Data pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa klon buah merah dengan ukuran daun lebih kecil (Menjib Rumbai dan Monsor) menghasilkan ukuran buah yang relatif lebih kecil (Tabel 1) dibandingkan dengan klon yang memiliki dengan ukuran daun yang besar. Fenomena yang sama dilaporkan Imani (2010) bahwa umumnya tanaman almond dengan daun yang lebih lebar menghasilkan buah yang lebih besar, berkaitan dengan peningkatan proses fotosintesis. Lebih lanjut Blanke dan Lenz (1989) menjelaskan bahwa lapisan permukaan daun yang lebih luas mengandung klorofil lebih tinggi sehingga mengikat karbon lebih banyak saat terpapar cahaya matahari. Warna permukaan atas daun buah merah umumnya hijau tua dan pada permukaan bawah daun hijau cerah (terang), berduri pada tepi daun dan bagian bawah tulang daun. Lebang et al. (2004) mendeskripsikan bentuk daun buah merah memiliki ujung daun bertusuk (micronate), pangkal merompong (cut off), tepi daun dan bagian bawah tulang daun berduri. Dijelaskan pula bahwa daunnya lentur, berwarna hijau tua, pola pertulangan daun sejajar, tanpa tangkai daun (sessile), dan tidak beraroma. Periode generatif setiap klon tanaman buah merah umumnya 3-5 tahun (Tabel 6) dan berbuah sekali setahun dengan masa panen 3-4 bulan, yaitu mulai berbuah pada bulan April-Mei dan dipanen pada bulan Agustus-November. Adanya variasi umur panen antar klon tanaman ini diduga dapat dipengaruhi oleh umur, faktor genetik serta lingkungan tempat tumbuhnya. Limbongan dan Malik (2009) melaporkan pula bahwa umur panen buah merah di daerah Provinsi Papua, dari tanaman yang disetek tunasnya berkisar 3-5 tahun dan dapat dipanen dua kali setahun yaitu pada bulan Juni-Agustus (panen pertama) dan November-Januari (panen kedua). Lebih lanjut Santoso et al. (2011) menjelaskan bahwa walaupun pembentukan buah merah hanya sekali setahun, namun karena pembentukan buah tidak terjadi secara bersamaan pada seluruh populasi maka umumnya buah merah memiliki dua kali panen dalam setahun. Analisis Principal Component Analysis (PCA) klon buah merah Hasil PCA pada Gambar 6 memperlihatkan bahwa ke-11 variabel yang terdiri atas berdasarkan karakter fisik tanaman (panjang daun dan lebar daun) dan buah (panjang buah, berat buah lingkar buah, lingkar buah, lingkar empulur dan persentasi empulur) dari ke-9 klon buah merah menyebar pada kuadran I dan II
35
dengan total varians 81.29%. Posisi ke-9 klon buah merah yang berasal dari 3 daerah budidaya menyebar di 4 kuadran biplot. Pada kuadran I terletak 3 klon asal Distrik Minyambouw yaitu Hibcau, Hityom dan Himbiak dengan penciri utama pada ukuran buah, yaitu rataan panjang buah dari ke-3 klon tersebut diatas 50 cm dan berat buah diatas 6 kg (Tabel 1). Namun posisi Hibcau dan Hityom berada dipusat plot dimensi, sedangkan letak Himbiak cenderung menjauhi pusat dimensi karena memiliki lingkar pangkal buah yang paling besar (Tabel 2) dan kadar empulur paling tinggi (Tabel 3). Pada kuadran II terdapat klon Mbarugum asal Distrik Koya, Jayapura dengan penciri utama pada lingkar utama batang, lebar pangkal daun, panjang daun dan lingkar pangkal buah.
Gambar 6 Distribusi 9 klon buah merah berdasarkan Principle Component (PC) 1 (F1) and PC 2 (F2), dengan 11 variabel dari sifat fisik tanaman dan buah. Posisi ke-5 klon asal kebun Percobaan UNIPA Manokwari menyebar pada kuadran III dan IV. Pada kuadran III terletak klon Monrus, Monsor dan Menjib Rumbai, dimana ke-11 variabel yang diamati tidak mempengaruhi kelompok ini. Walaupun demikian klon Monsrus berada pada posisi mendekati pusat biplot karena memililiki panjang dan berat buah yang lebih besar, sedangkan Monsor dan Menjib Rumbai menjauhi pusat plot dimensi yang memiliki ukuran buahnya paling rendah dibandingkan klon lain (Tabel 2). Sementara klon Memeri dan Edewewits terletak pada kuadran IV, dimana variabel panjang buah dan lingkar ujung buah memberikan pengaruh yang kecil terhadap ke-2 klon ini. Kedua klon ini tergolong buah panjang namun klon Edewewits memiliki ukuran lingkar buah yang lebih kecil dan lebih panjang dari Memeri (Tabel 2) sehingga posisinya menjauhi pusat dipusat plot dimensi. Hasil PCA berdasarkan karakter fisik tanaman dan buah dari buah merah ini menghasilkan 4 grup yang mengelompok berdasarkan 3 daerah budidayanya. Lokasi dari ke-3 daerah tersebut memiliki perbedaan ketinggian, yaitu Distrik Minyambou merupakan dataran tinggi (>1000 m.dpl), sedangkan Distrik Koya, Jayapura dan Kebun Percobaan UNIPA, Manokwari merupakan dataran rendah (<200 m.dpl). Murtiningrum et al. (2012) melaporkan pula bahwa tingginya variasi sifat fisik buah dari 16 klon buah merah asal Papua sangat dipengaruhi kondisi ekogeografi tanaman. Dijelaskan pula bahwa faktor penyebab tingginya keragaman buah dapat disebabkan oleh hibridisasi yaitu terjadinya persilangan
36
antar kultivar, mutasi gen, migrasi, introduksi, dan perbedaan ekogeografi. Migrasi atau perpindahan populasi tanaman dari suatu tempat ke tempat lain, diikuti dengan terjadinya isolasi geografi dan hibridisasi dapat menyebabkan terjadinya aliran gen, yang akhirnya menyebabkan peningkatan keanekaragaman karakter tanaman (Nagy, 1997). Imani (2010) juga melaporkan bahwa sifat fisik almond berbeda nyata antar 60 kultivar dipengaruhi oleh kondisi ekologi tempat tumbuhnya. Lebih lanjut Volk dan Stern (2009) menjelaskan bahwa kondisi tanah lokasi tumbuh mempengaruhi karakteristik fisik 10 kultivar bawang putih; yaitu kadar kalium tanah berkorelasi positif dengan lingkar dan berat segar umbi, sedangkan intensitas warna lapisan pembungkus umbi sangat tergantung pada lokasi dan kultivar. Ditambahkan pula bahwa kultivar bawang putih yang ditanam pada kondisi yang berbeda memberikan respon terhadap nutrisi tanah yang berbeda khususnya berkaitan dengan warna kulit dan hasil panen. Dalam penelitian ini, ke-9 klon buah merah yang diamati ditentukan berdasarkan ketersediaan buah pada saat penelitian dilakukan, tanpa memperhatikan keseragaman umur tanaman, lingkungan/kondisi tempat tumbuh dan cara budidayanya. Oleh karena itu pada kajian selanjutnya akan dipelajari pengaruh pudidaya terhadap sifat fisik (ukuran buah utuh, ukuran bulir dan empulur) dan produktivitas buah merah dari beberapa klon dengan karakter ukuran daun yang berbeda, yang dibudidaya pada beberapa lokasi dengan ketinggian dan lokasi geografi yang berbeda. Rendemen minyak buah merah (ekstraksi basah) Minyak buah merah diekstrak secara basah, dengan memanaskan bulir atau pipilan buah merah dalam air, kemudian dilakukan pemisahan biji dan daging buah yang terlarut dalam air. Selanjutnya larutan daging buah dipanaskan selama ±1 jam, untuk menggumpalkan protein pada dinding sel daging buah dan memecahkan dinding sel tersebut sehingga dapat ditembus oleh minyak/lemak yang terkandung di dalamnya (Anderson 2005); selanjutnya minyak yang terekstrak akan naik ke permukaan kemudian dilakukan pemisahan minyak. Dengan demikian perhitungan rendemen minyak dapat dilakukan dengan basis berat total bulir dan berat daging buah. Berdasarkan hasil pengukuran rendemen minyak buah merah yang diekstrak secara basah (Tabel 7) terlihat bahwa baik berdasarakan berat total bulir (berat kering atau berat basah) maupun berat total daging buah (basis kering atau basis basah) menghasilkan nilai rendemen minyak yang berbeda. Perhitungan rendemen minyak buah merah hasil ekstraksi basah berbeda nyata (P<0.05) antar klon. Secara umum perhitungan rendemen minyak berdasarkan berat daging buah menghasilkan kisaran nilai yang lebih tinggi yaitu pada kisaran 19.7-27.4% (bb) atau 31.9-54.5% (bk) dari pada berdasarkan berat total bulir dengan kisaran 5.7-8.7% (bb) atau 7.7-18.3% (bk). Oleh karena itu perhitungan rendemen berdasarkan bagian buah merah dengan basis kering maupun basis basah akan menghasilkan nilai rendemen minyak yang berbeda, dan untuk membandingkan rendemen minyak buah merah antar klon digunakan perhitungan dengan basis kering.
37
Tabel 7 Kadar air dan rendemen minyak dari 9 klon buah merah hasil ekstraksi basah berdasarkan berat total bulir dan berat daging buah. Klon buah merah
Kadar air (%, bb bulir)
Menjib Rumbai Edewewits Memeri Monsrus Monsor Mbarugum Hityom Himbiak Hibcau
34.75±2.42cd 36.38±0.82c 38.31±2.41bc 30.16±1.23d 52.52±1.38a 42.88±1.35b 51.11±0.31a 48.12±4.48a 50.54±0.4 a
Rendemen minyak (ekstraksi basah)*** Basis berat total Basis berat total bulir daging buah (%, bb*) (%, bk**) (%, bb*) (%, bk**) bc de c 6.0±0.04 9.1±0.06 20.8±1.2 31.9±1.9d 6.2±0.80bc 9.7±1.26cd 23.3±2.8abc 36.6±4.4cd 6.5±0.18b 10.5±0.29bcd 27.4±0.7a 44.5±1.2b c e c 5.4±0.70 7.7±0.94 17.2±2.1 24.6±3.0e a a ab 8.7±0.13 18.3±0.28 25.9±0.4 54.5±0.8a 6.2±0.30bc 10.8±0.52bcd 20.6±1.1c 36.1±2.0cd bc b c 5.7±0.21 11.7±0.43 20.7±0.8 42.3±1.5cb bc bc c 5.8±0.70 11.1±1.35 19.7±2.4 38.0±4.6cd bc b bc 6.1±0.10 12.3±0.30 22.9±0.6 46.3±1.1b
*bb = basis basah **bk = basis kering **Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
Data pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa rendemen minyak buah merah yang didasarkan pada total bulir (%, bk) tertinggi dihasilkan klon Monsor berbeda nyata (P<0.05) dengan semua klon, diikuti klon Hityom yang tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan klon lain, kecuali dengan klon Monsrus, Menjib Rumbai dan Edewewits. Rendemen yang terendah dihasilkan klon Monsrus yang tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan Menjib Rumbai dan Edewewits. Terdapat kecenderungan bahwa klon dengan kadar air bulir yang tinggi yaitu di atas 45% memiliki rendemen minyak yang lebih tinggi; sedangkan klon dengan kadar air di bawah 40% memiliki rendemen minyak lebih rendah. Perbedaan rendemen minyak ini dapat dipengaruhi oleh kadar air, kadar lemak dan tingkat kematangan buah dari setiap klon buah merah. Murtiningrum et al. (2012) melaporkan bahwa kandungan lemak 16 klon buah merah berkisar 11.2-30.7% (bk, total bulir). Dijelaskan pula bahwa itu kadar lemak buah merah meningkat dengan tingkat kematangan buah (Murtiningrum et al. 2010). Rendemen yang dihasilkan dalam kajian ini relatif sama dengan laporan Darma et al. (2010) bahwa rendemen minyak buah merah hasil ekstraksi basah yang dihitung berdasarkan berat pipilan buah merah sebesar 6.5% (bb), namun lebih tinggi dibandingkan laporan Pohan dan Wardayani (2006) yang berkisar 1.5-2.9% (bb). Perbedaan ini selain karena perbedaan kadar lemak dari klon buah merah, juga dapat disebabkan karena perbedaan tahapan dalam ekstraksi minyak secara basah yang diaplikasikan. Perhitungan rendemen minyak buah merah, berdasarkan kadar daging buah juga menghasilkan kecenderungan yang sama dengan perhitungan berdasarkan total berat bulir (Tabel 7). Berdasarkan basis kering, rendemen minyak tertinggi dihasilkan klon Monsor berbeda nyata (P<0.05) dengan semua klon, diikuti klon Memeri yang tidak berbeda nyata dengan Hityom dan Hibcau. Sementara rendemen minyak yang terendah dihasilkan klon Monsrus. Klon Memeri memiliki kadar air di bawah 40% namun berdasarkan berat keringnya memiliki rendemen yang tidak berbeda nyata dengan klon yang memiliki kadar air di atas 40%. Dengan demikian perhitungan rendemen minyak berdasarkan
38
daging buah tidak hanya dipengaruhi oleh kadar air buah namun juga oleh kandungan lemak/minyaknya. Beberapa kajian ekstraksi minyak buah merah melaporkan rendemen minyak hasil ektraksi dengan kisaran yang bervariasi, Murtiningrum et al. (2005) melaporkan bahwa rendemen minyak buah merah hasil ekstraksi basah 15.9%; Andarwulan et al. (2006) menyatakan bahwa rendemen minyak hasil ekstraksi basah dengan kisaran 18-21%; sementara Pohan dan Wardayani (2006) melaporkan kajian berbagai metoda ekstraksi minyak buah merah menghasilkan rendemen 1.98-10.19%; sedangkan Lubis et al. (2012) melaporkan rendemen minyak hasil ekstraksi kering berkisar 32.5-35.0%. Kisaran rendemen minyak yang dilaporkan tersebut berkisar antara 1.98% sampai 35%, namun dalam laporannya tidak dinyatakan dengan pasti dasar perhitungannya. Oleh karena itu sangat penting untuk menentukan dasar perhitungan rendemen produk yang dihasilkan guna menghindari kesalahan dalam mengevaluasi proses pengolahannya. Dalam ekstraksi minyak buah merah secara basah menghasilkan limbah cair dan limbah padat (ampas). Murtiningrum dan Silamba (2010) melaporkan bahwa ampas buah merah mengandung protein 7.3%, lemak 62%, total karoten 3897 ppm dan total tokoferol 21841 ppm. Oleh karena itu limbah daging buah merah ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk berbagai produk pangan seperti selai, saos, dodol, dan berbagai jenis kue. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Buah utuh (cepallum) buah merah terdiri atas empulur (51-61%), bulir (39-49%), biji (27-36%) dan daging buah (10-17%). Keragaman sifat fisik buah utuh (cepallum) antar klon terutama ditunjukkan oleh warna kuning-oranye atau merah-merah tua, berbentuk silinder meruncing yang dari bagian pangkal sampai ke tengah membesar atau mengecil sampai ke bagian ujung mengecil, dengan ukuran panjang buah yang terdiri dari ukuran pendek (<50 cm), sedang (40-60 cm) dan panjang (>60 cm). Karakter fisik empulur setiap klon juga bervariasi pada warna yang umumnya berwarna putih atau kuning, berbentuk silinder meruncing, dengan ukuran lingkar pangkal lebih kecil dari bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung. Keragaman karakter fisik drupa (bulir) diperlihatkan pada warna yaitu kuning-oranye atau merah-merah tua, berbentuk persegi banyak atau poligonal (segi 5, segi 6 atau segi 7) yang mengerucut tajam pada bagian ujung permukaannya dan membentuk segi empat pada bagian bawah dengan ukuran yang bervariasi. Daging buah yang melekat pada biji di setiap bulir buah merah merupakan bagian yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan sumber minyak. Perhitungan rendemen minyak buah merah berdasarkan berat total bulir (5.7-8.7% basis basah, bb atau 5.5-12.4% basis kering, bk) lebih rendah dari pada yang berdasarkan berat total daging buahnya (19.7-27.4% bb atau 19.8-44.2% bk). Bagian buah merah ini penting ditetapkan sebagai dasar perhitungan rendemen, serta dihitung berdasarkan basis kering untuk mengevaluasi efektivitas proses pengolahannya. Keragaman sifat fisik tanaman antar klon, terutama pada tinggi tanaman dan batang utama, panjang cabang dan jarak antar cabang serta panjang dan lebar daun. Luas daun dapat merupakan faktor yang paling menentukan, karena
39
umumnya klon dengan ukuran daun yang besar menghasilkan ukuran buah yang lebih besar dibandingkan dengan klon dengan ukuran daun kecil. Hasil principle component analysis yang didasarkan pada 11 variabel sifat fisik tanaman dan buah dari 9 klon buah merah terdistribusi dalam 4 kuadran berdasarkan lokasi budidayanya, yaitu kuadran I (Hibcau, Hityom dan Himbiak) asal Distrik Minyambouw, kuadran II (Mbarugum) asal Distrik Koya, Jayapura, kuadran III (Monsrus, Monsor dan Menjib Rumbai) dan kuadran IV (Memeri dan Edewewits) berasal dari Kebun Percobaan UNIPA, Manokwari. Saran Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pengaruh budidaya terhadap sifat fisik (ukuran buah utuh, ukuran bulir dan empulur) dan produktivitas buah merah dari beberapa klon dengan karakter ukuran daun yang berbeda, yang dibudidaya pada beberapa lokasi dengan ketinggian dan lokasi geografi yang berbeda. Karakteristik fisik buah dan tanaman dari 9 klon buah merah ini dapat dijadikan dasar pemuliaan klon-klon yang unggul. Daftar Pustaka Abbott JA. 1999. Quality Measurement of Fruits and Vegetables. Postharvest Biol Tech. 15: 201–206. Andarwulan N, Palupi NS, Susanti. 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L.). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), 2006 Agustus 2-3; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): PATPI. hlm 504511. Anderson D. 2005. A Primer on Oils Processing Technology. Di dalam: Shahidi F, editor. Edible Oil and Fat Products: Processing Technologies. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Volume 5. Sixth Edition. New Jersey: J Wiley. [AOAC] Association of Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Wahington DC (U): AOAC. Blanke MM, Lenz F. 1989. Fruit photosynthesis. Plant Cell Environ. 12:31-46. Budi IM, Paimin FR. 2005. Buah Merah. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Cook R. 1999. Anoverview of Key Food Industry Drivers: Implications for Fresh Produce Industry. Journal of Food Distribution Research, 30, 1-4. Darma, Sardi, Martinus. 2010. Prototipe Alat Pelepas Daging Buah Merah (Pandanus conoideus L.). J Agrotek 2(2):1-9. Hadad M, Atekan, Malik A, Wamaer D. 2006. Karakteristik dan potensi tanaman buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) di Papua. Prosiding Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua, 2006 Juli 24-5. Jayapura, Indonesia. Bogor (ID): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. hlm 243-255. Imani A. 2010. Phenotypic Correlation between Some Nurserphelogical Traits among 60 Cultivars and the Genotypes of Almond. Int J Nuts Related Sci. 1(1): 30-37. Jahromi MK, Jafari A, Rafiee S, Keyhani AR, Mirasheh R, Mohtasebi SS. 2007. Some Physical properties of Date Fruit (cv. Lasht). Agric Eng Int. 9: 1-7.
40
Keshvadi A, Bin Endan J, Harun H, Ahmad D, Saleena F. 2011. The Relationship between Palm Oil Quality Index Development and Physical Properties of Fresh Fruit Bunches in the Ripening Process. Adv J Food Sci Technol 3(1): 50-68. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): UI-Press. Khiong K, Adhika OA, Chakravitha M. 2009. Inhibition of NF-κB Pathway as the Therapeutic Potential of Red Fruit (Pandanus conoideus Lam.) in the Treatment of Inflammatory Bowel Disease. JKM (Jurnal Kedokteran Maranatha) 9(1):69-75. Lebang A, Amiruddin, Limbongan J, Kore GI, Pambunan S, Budi IM. 2004. Pelepasan Varietas Buah Merah Mbarugum. [Laporan Usulan]. Jayapura (ID): Kerja Sama Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Papua. Limbongan J, Malik A. 2009. Peluang Pengembangan Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk) di Provinsi Papua. J Litbang Pert. 28(4):134-141. Lubis EH, Wijaya H, Lestari N. 2012. Mempelajari ekstraksi dan stabilitas total karotenoid, dan α- dan β-cryptoxanthin dalam esktrak buah merah (Pandanus conoideus Lamk). J Riset Tek Ind. 6(12):126-140. Moeljopawiro S, Anggelia MR, Ayuningtya D, Widaryanti B, Sari Y, Budi IM. 2007. Pengaruh Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) terhadap Pertumbuhan sel Kanker Payudara dan Sel Kanker Usus Besar, Berkala Ilmiah Biologi 6(2):121-130. Mun‘im A, Andrajati R, Susilowati H. 2006. Uji Hambatan Tumorigenesis Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Terhadap Tikus Putih Betina Yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz(A)Antrasen (Dmba). Majalah Ilmu Kefarmasian 3(3):153-161. Murtiningrum, Ketaren S, Suprihatin, Kaseno. 2005. Ekstraksi Minyak dengan Metode Wet Rendering dari Buah Merah (Pandanus conoideus L.). J Tek Ind Pert. 15: 28-33. Murtiningrum, Roreng MK. Sarungallo ZL, Jading A, Watofa M. 2013. Pengaruh Perbedaan Jenis Kemasan Plastik pada Beberapa Suhu Penyimpanan Terhadap Umur Simpan Drupa Buah Merah (Pandanus conoideus L) dan Kualitas Minyaknya. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), bidang rekayasa dan bioteknologi pangan bagian 1, 26-29 Agustus 2013, Jember; Jember (ID): PATPI. hlm 504-511. Murtiningrum, Sarungallo ZL, Mawikere NL. 2012. The exploration and diversity of red fruit (Pandanus conoideus L.) from Papua based on its physical characteristics and chemical composition. J Biol Diversity. 13(3):124-129. Murtiningrum, Sarungallo ZL, Santoso B. 2010. Kajian Teknologi Pasca Panen Buah Merah untuk Meningkatan Kualitas Produk Minyak Buah Merah sebagai Sumber Antioksidan Alami. [Laporan Strategis Nasional]. Manokwari (ID): Universitas Negeri Papua. Murtiningrum, Silamba I. 2010. Pemanfaatan Pasta Buah Merah (Pandanus conoideus L) sebagai bahan substitusi Tepung Ketan dalam Pembuatan Dodol. Agroteknologi 4(1): 1-7.
41
Nagy ES. 1997. Frequency-Dependent Seed Production and Hybridization Rates: Implication for Gene Flow between Locally Adapted Plant Populations. Evolution 51(3): 703-714. Nainggolan D. 2001. Aspek Ekologis Kultivar Buah Merah Panjang (Pandanus conoideus Lamk.) di Daerah Dataran Rendah Manokwari. [Skripsi]. Manokwari (ID): Universitas Negeri Papua. Ngando EGF, Mpondo-Mpondo EA, Ewane MA. 2013. Some quality parameters of crude palm oil from major markets of Douala, Cameroon. African J Food Sci. 7(12):473-478. Pohan HG, dan Wardayani NIA. 2006. Mempelajari Proses Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L). Warta IHP 23(2):26-41. Rohman A, Riyanto S, Yuniarti N, Saputra WR, Utami R, Mulatsih W. 2010. Antioxidant activity, total phenolic, total flavanoid of extracts and fractions of red fruit (Pandanus conoideus Lam). IFRJ. 17: 97-106. Santoso B, Murtiningrum, Sarungallo ZL. 2011. Morfologi Buah Selama Tahap Perkembangan Buah Merah (Pandanus conoideus). J Agrotek 2(6): 23-29. Sarungallo ZL, Murtiningrum, Santoso B, Roreng MK. 2013. Pengaruh penanganan pascapanen terhadap kualitas minyak buah merah (Pandanus conoideus). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), bidang rekayasa dan bioteknologi pangan bagian 2, 26-29 Agustus 2013, Jember; Jember (ID): PATPI. hlm 150-160. Southwell K, Harris R. 1992. Chemical Characteristics of Pandanus Conoideus Fruit Lipid. J. Sci. Food Agric. 58(4): 593-594. Surono I, Endaryanto TA, Nishigaki T. 2008. Indonesian Biodiversities, from Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. J Fac Agric Shinshu Univ. 44(1.2):23-27. Volk GM, Stern D. 2009. Phenotypic Characteristics of Ten Garlic Cultivars Grown at Different North American Locations. Hortscience. 44(5):12381247. Walujo EB, Keim AP, Sadsoeitoeboen MJ. 2007. Kajian Etnotaksonomi Pandanus conoideus Lamarck untuk Menjembatani Pengetahuan Lokal dan Ilmiah. Berita Biologi 8(5):391-404. Wilska-Jeszka J. 2002. Food Colorants. Di dalam: Sikorski ZE, editor. Chemical and Functional Properties of Food Components. Second Edition. New York: CRC Press. Winarto, Maduyan M, Anisah N. 2009. The effect of Pandanus conoideus Lam. Oil on Pancreatic β-cells dan Glibenclamide Hypoglycemic effect of Diabetic Wistar Rats. Berkala Ilmu Kedokteran. 41(1):11-19.
4 ANALYSIS OF α-CRYPTOXANTHIN, β-CRYPTOXANTHIN, α-CAROTENE, and β-CAROTENE OF Pandanus conoideus OIL BY HIGH-PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) Abstract Pandanus conoideus is an endemic plant of Papua, Indonesia. The pericarp of the fruit of P. conoideus is dark red in color and is reported to be very rich in carotenoids. The purpose of this study was to develop method for the determination of four carotenoids (α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α-carotene and β-carotene) in P. conoideus oil by high-performance liquid chromatography (HPLC). HPLC separation was done by a C30 column with a gradient elution system of acetonitrile-water (solvent A) and acetonitrile-methanol-ethyl acetate (solvent B) at total flow rate of 1 mL/min, and the elution was monitored by UVVis detector at wavelength of 450 nm. The proposed method was considerably precise and accurate. Using the proposed method, carotenoids content of nine clones of P. conoideus oil were analyzed. The four carotenoids analyzed in P. conoideus oil were ranged from 5.4-138.5 ng/mg for α-cryptoxanthin, 3.9-29.4 ng/mg for β-cryptoxanthin, 3.5-80.0 ng/mg for α-carotene, and 10.8-118.0 ng/mg for β-carotene. Our results showed that total content of four carotenoids analyzed is very small as compared to that of its total carotenoids content (ranged from 3027-19959 ng/mg) as measured by spectroscopy method. This suggests that many carotenoids are present whereas α-, and β-cryptoxanthin, α- and β-carotene are not major component of the carotenoids in P. conoideus oil. Using the principal component analysis, nine clones of P. conoideus can be grouped according to the proximity of its carotenoids content into three groups, namely group A (clones of Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus and Memeri), group B (clone of Menjib Rumbai) and group C (clones of Edewewits, Hibcau and Hityom). Keywords: Pandanus conoideus; α-cryptoxanthin; β-cryptoxanthin; α-carotene; β-carotene. Introduction Pandanus conoideus is one species of the genus Pandanus that grows naturally in almost all of the land of Papua-Indonesia and Papua-New Guinea. The plant produces a fruit that have pericarp with dark red in color, which is used as a food source by inhabitants of the island. They have been utilizing the P. conoideus fruit as food and source of oil and also for ritual and medicine (Hyndman 1984). In addition, the oil of fruit is released upon cooking and mashing to form an oleaginous pulp which is used as ‘butter sauce’ on starchy foods or cooked with vegetable and meat (Stone 1982). In Indonesia, the P. conoideus fruit is known by the name of pandan seran while the Papuan in general recognize as buah merah (red fruit) or buah tawi (tawi fruit). The people of Papua New Guinea also use the fruit as a food and it is better known as Marita (Stone 1982).
43
Studies on the composition and potential health benefits of P. conoideus oil have been reported (Andarwulan and others 2006; Mun'im and others 2006; Surono and others 2008; Khiong and others 2009). Extract oil of P. conoideus has been reported as safe for human consumption and inhibit tumor growth and kill cancer cells (Mun'im and others 2006; Surono and others 2008), provide antiinflammatory activity and increase immune system (Khiong and others 2009), and reduce blood sugar of diabetic rats (Rattus norvegicus) (Winarto and others 2009). The potential health benefits of P. conoideus oil were believed to be associated with its high antioxidant activity (Rohman and others 2010), owing to high content of carotenoids (pro vitamin A) and tocopherol (vitamin E), as well as its unsaturated fatty acid (Southwell and Harris 1992; Murtiningrum and others 2005; Andarwulan and others 2006; Surono and others 2008). Dark red colors of P. conoideus fruit is closely associated with carotenoids compound having at least seven conjugated double bonds. The higher the number of double bonds results in a shift in the maximum absorbance to the longer wavelengths, making the hue of carotenoids becomes more red. Carotenoids can be divided into two major groups: carotenes and xanthophyls. Carotenes consist of only carbon and hydrogen atoms (e.g., α-, β- and γ-carotenes and lycopene), while xanthophyls are oxygenated derivatives of carotenes containing hydroxyl-, keto-, epoxy- and methoxy-groups. P. conoideus fruit has been identified as a good source of carotenoids including α- and β-carotene and β-cryptoxanthin (Surono and others 2008). Some study have reported that β-carotene and β-cryptoxanthin content of P. conoideus oil ranging from, respectively, 123 to 2250 ng/mg and 5 to 90 ng/mg (Murtiningrum and others 2005; Andarwulan and others 2006; Surono and others 2008; Wada and others 2013). Variation of reported value may be due to the difference of clone and origin of P. conoideus fruit, and/or methods of analysis used. High-performance liquid chromatography (HPLC) combined with various detectors system have become the most common analytical method for determination of carotenoids, both qualitatively and quantitatively (Rivera and Canela-Garayoa 2012; Liu 2009). The determination of carotenoids in P. conoideus oil by HPLC-UV/Vis using two columns (Handy OD5 column of 150 x 4.6 mm i.d. and Develosil Combi RP-5 column of 50 x 4.6 mm, i.d., 5 μm, Nomura Chemical), isocratically eluted with acetonitrile:methanol:ethyl acetate (68:23:9) for 60 minutes of running time was reported by Wada and others (2013). Recently, Wardayani (2012) successfully developed an HPLC-UV/Vis method for separation and determination of α-carotene, β-carotene, α-cryptoxanthin and βcryptoxanthin in astaxanthin supplement product by using a Develosil Combi RP5 column (50 x 4.6 mm, i.d., 5 μm, Nomura Chemical) utilizing two pump and two mobile phase (gradient elution) for 35 minutes. In this study, based on a method of Wardayani (2012), an HPLC-UV/Vis method was developed and proposed for the determination four carotenoids contents of α-carotene, β-carotene, α-cryptoxanthin and β-cryptoxanthin in P. conoideus oil. The optimization was needed due to the differences in the matrix of the sample analyzed. Using the proposed method, determination of the carotenoids in nine (9) clones of P. conoideus oils from Papua (Indonesia) were performed.
44
Materials and methods Chemicals and reagents Standards used in this study were α-carotene and α-cryptoxanthin (Wako Pure Chemical Industries, Ltd. Osaka, Japan), β-cryptoxanthin (ChromaDex, Inc. CA, U.S.A.), and β-carotene (Kanto Chemical Co., Ltd. Tokyo, Japan). Other reagents such as potassium hydroxide (KOH), sodium chloride (NaCl), acetonitrile (HPLC grade), ethyl acetate (HPLC grade) and triethylamine (TEA) were obtained from Wako Pure Industries, Ltd. Tokyo, Japan. Ethanol (99.5%), hexane and methanol were purchased from Nacalai Tesque, Inc. Kyoto, Japan, and ascorbic acid from Sigma-Aldrich Corp., St. Louis, Mo., U.S.A. Water for solution and mobile phase was passed through a pure line WL21P (Yamato Scientific Co., Ltd., Tokyo, Japan) and other chemicals used were of extra pure grade. Sample of Pandanus conoideus Nine (9) clones of the P. conoideus fruit originated from Papua (Indonesia) were used as samples for the study; namely Menjib Rumbai, Edewewits, Memeri, Monsrus, Monsor (cultivated in the orchard of The Papua State University, Manokwari, West Papua Province, Indonesia), Mbarugum (cultivated in District Koya, Jayapura, Papua Province, Indonesia), and Hityom, Himbiak, Hibcau (cultivated in District Minyambow, Manokwari, West Papua Province, Indonesia). The fresh fruit of P. conoideus was collected from the local farmer, which is harvested on period July-September 2012. Descriptions of ripe fruit are dark red fruit, grains already contains a full and hold tightly on the pith, fruit position in the tree with a slope of 180 °, and the open leaf sheaths and dried approximately ± 50% (Santoso and others 2011). Oil extraction method The P. conoideus oil was extracted by the method of Folch and others (1957). Approximately 12 g of pericarp (pulp) of the fruit was macerated with 80 mL of solvent mixture of chloroform and methanol (2:1, v/v), stirred using a magnetic stirrer, at room temperature for 1 hour. The resulted solution was filtered using a vacuum pump, added 16 mL 0.88% NaCl, and then separated by the separating flask. The oil extract obtained was then evaporated with a rotary evaporator at 40 °C, packaged in dark bottles, dried with nitrogen gas, and stored at -20 oC until analyzed. Determination of carotenoids composition Sample preparation for carotenoids analysis Extraction carotenoids from P. conoideus oil were done using procedure of Wada and others (2013). Twenty-mg of oil were weighted on dark vial, 10 mg of ascorbic acid was added and then homogenized with 750 μL of ethanol. To the homogenized solution 200 μL of 76% KOH was added, vortexed and was saturated with nitrogen gas. Samples were then let to stands at room temperature for 30 min, to allow for the saponification. Saponification was stopped by adding 250 μL of NaCl (25 mg/mL). The carotenoid was extracted with 750 μL of hexane:ethyl acetate (9:1, v/v) for 4 times, then combine the organic layer and
45
evaporated to dryness at 40 oC. For analysis with HPLC, sample was dissolved in 400 μL of methanol, sonicated and passed through a membrane filter of 0.45 μm. Chromatography Chromatographic analysis were carried out using an HPLC system consisted of two Shimadzu LC-10ATvp chromatographic pumps (Kyoto), a Develosil Combi RP-5 C30-column (50 x 4.6 mm, i.d., 5 μm, Nomura Chemical, Tokyo), and a Shimadzu SPD-10 AV UV-VIS detector (Shimadzu), and a 7125 injector with a 20 μL sample loop (Rheodyne, CA, U.S.A.). Mobile system consisting of (A) a mixture of acetonitrile and water (80:20,v/v) containing 0.05% TEA and (B) a mixture of acetonitrile, methanol and ethyl acetate (68:5:27, v/v/v) containing 0.05% TEA. The gradient was programmed as follows: 0-4 min, 1-10% B; 4-25 min, 50-80% B; 25-35 min, 100% B; and 35-45 min, 1% B. The separated carotenoids were detected and measured at 450 nm. The total chromatographic run time was 45 min at flow rate of 1 mL/min. Preparation of stock solution and calibration standards Stock standard solutions of α-carotene, β-carotene, α-cryptoxanthin and βcryptoxanthin (10 μg/mL) were diluted in ethanol. Standard curves were prepared by pipetting each standard 1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40, 80 and 160 ng/mg and spiking them into oil. Calibration curves were calculated by linear regression analysis of the peak area versus the concentration of the nominal standard for each compound using Excel® 2007 (Microsoft Corp., Redmon, Wash, U.S.A). All calibration curves were required to have a correlation coefficient of at least 0.992. Validation procedures A chromatographic validation run included a set of calibration samples assayed in triplicate. Method of validation was performed in accordance with the procedures of Wada and others (2013). The intra-day assay precision and accuracy were assessed using oil spiked with 5 and 40 ng/mg oil for the each carotenoid. Analysis of five replicate measurements for the each concentration was performed. The accuracies of the method were verified by comparing the concentration measured for α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α-carotene and βcarotene in oil with the actual added concentration. Determination of total carotenoids content Total carotenoids content (TCC) of P. conoideus oil was determined according to the method of Porim (2005) and Knockaert and others (2012) with slight modifications. Two milligrams of each sample was dissolved in hexane with 0.1% butylated hydroxytoluene (BHT) added. The absorbance of the sample solution was measured spectrophotometrically at wavelength of 446 nm and 470 nm, using hexane + 0.1% BHT as a blank. The analysis was conducted in duplicate. Total carotenoids were calculated as follows:
where: A is the absorbance value at λ max (446 nm and 470 nm), volume is the total volume of sample solutions, is the extinction coefficient (= 2560 for βcarotene in hexane (Hart and Scott 1995)).
46
Data analysis The XLSTAT® Version 2013.6.01 was used for principle component analysis (PCA). Results and discussion Chromatography The described method is suitable for the simultaneous determination of four carotenoids, namely α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin α-carotene, and βcarotene in P. conoideus oil. Separation between peaks of the individual carotenoids was satisfactory and no interferences from the P. conoideus oil matrix were observed (Figure 1), and were confirmed by co-chromatography of sample spiked with carotenoids standards (Figure 2).
Figure 1 Chromatogram of four carotenoids of the red fruit oil
Figure 2 Chromatogram of four carotenoids of the red fruit oil that sipked with standards (10 ng/mg oil of α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin, and αcarotene, and 40 ng/mg oil of β-carotene)
47
These results showed that the analysis time of α-cryptoxanthin, βcryptoxanthin, α-carotene and β-carotene analyzed by our methods (with average retention time of 21, 22, 32, and 33 minutes, respectively) were shorter as compared to that of reported by previous report of Wada and others (2013). Using the HPLC-UV/Vis composing of two columns, Wada and others (2013) found that retention time of α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α-carotene and β-carotene in P. conoideus oil were 18, 20, 53 and 60 min, respectively. Consequently, our current method is more effective, with respect to the number of columns used and HPLC running time. Method validation Parameters of calibration curve for proposed method were summarized in Table 1. The calibration curves of P. conoideus oil that spiked with αcryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α-carotene, and β-carotene were obtained by plotting the peak area of each carotenoid versus the concentration in ng/mg oil. Calibration curve is obtained from five replications. The calibration curve was linear in range of 0.25-160 ng/mg for α-cryptoxanthin, 1.25-80 ng/mg for βcryptoxanthin and α-carotene and 1.25-160 ng/mg for β-carotene with correlation coefficient of (r ≥ 0,992) for all of the carotenoids. Table 1-Calibration range of proposed method. Concentration Compound ra (ng/mg oil) α-cryptoxanthin 0.25-160 0.992 β-cryptoxanthin 1.25-80 0.999 α-carotene 1.25-80 0.995 β-carotene 1.25-160 0.999 a b
Equationb y = 1.82×105x + 2.45×106 y = 1.69×105x + 1.88×106 y = 1.85×105x + 2.21×106 y = 1.14×05x + 6.93×06
Correlation coefficient y= peak area of carotenoid, x = sample concentration, ng/mg oil
Table 2-Intra-day assay precision and accuracy for carotenoids spikes in red fruit oil. Compound α-cryptoxanthin β-cryptoxanthin α-carotene β-carotene
Added Concentration (ng/mg oil) 0 5 40 0 5 40 0 5 40 0 5 40
Measured conc., Mean ± S.D., ng/mg oil (10.6±1.1) 15.5±0.4 50.8±2.5 (10.4±0.8) 15.4±0.4 50.1±1.6 (11.6±0.6) 16.9±0.5 52.9±2.5 (54.6±2.5) 59.5±0.4 95.6±2.8
Accuracy, Mean ± S.D., (%)b
Precision (RSDs, %)a Intra-day
101±11.0 101±6.3
10.9 6.3
103±9.6 99±4.8
9.4 4.9
107±10.8 103±6.3
10.1 6.1
101±10.2 103±6.9
10.0 6.7
a) Relative standard deviation (n=5) b) Accuracy % = {(measured conc.- Original conc.)/Added conc.} x 100 (n=5)
48
Intra-day precision of proposed method were evaluated by analyzing five replicate of P. conoideus oil spiked with known concentrations of αcryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α-carotene, and β-carotene (5 and 40 ng/mg oil). Intra-day precision indicated as relative standard deviation (RSDs), ranged from 6.3-10.9% for α-cryptoxanthin, 4.9-9.4% for β-cryptoxanthin, 6.1-10.1% for αcarotene, and 6.7-10.0% for β-carotene (Table 2). The accuracies of proposed method were 101%, 99-103%, 103-107%, and 101-103% for α-cryptoxanthin, βcryptoxanthin, α-carotene, and β-carotene, respectively (Table 2). The precision and the accuracy of the proposed method indicated were satisfactory. Content of carotenoid in red fruit (Pandanus conoideus) Oil The proposed method was applied on P. conoideus oil for the evaluation of carotenoids content of 9 clones of Pandanus conoideus oils extracted using solvent (Folch method). The range of carotenoid content for α-cryptoxanthin, βcryptoxanthin, α-carotene and β-carotene were 5.4-138.5 ng/mg, 3.9-29.4 ng/mg, 3.5-80.0 ng/mg and 10.8-118.0 ng/mg, respectively (Table 3). Data on carotenoid contents in the P. conoideus oil in literature is limited, but this result corresponded well with data of Wada and others (2013), as well as Surono and others (2008). The carotenoid content in some commercial P. conoideus oil from different brands and/or different production lots are about of 6-27 ng/mg α-cryptoxanthin, 14-90 ng/mg β-cryptoxanthin, 2-9 ng/mg α-carotene and 15-63 ng/mg β-carotene (Wada and others 2013).While Surono and others (2008) reported P. conoideus oil extracted by dry rendering contains β-cryptoxanthin of 14.6 ng/mg, α-carotene of 0.13 ng/mg, and β-carotene of 19.8 ng/mg. Table 3-The results of the analysis carotenoid content of 9 clones Pandanus conoideus oil. Clone of Pandanus conoideus oil Edewewits Memeri Monsrus Monsor Hibcau Himbiak Hityom Mbarugum Menjib Rumbai a
Concentration of carotenoid, Meana ± S.D. (ng/mg oil) α-cryptoxanthin
β-cryptoxanthin
α-carotene
β-carotene
11.4 ± 0.8 10.38 ± 1.2 16.3 ± 0.4 36.0 ± 0.6 1.6 ± 0.04 7.3 ± 0.6 5.4 ± 0.2 6.1 ± 0.4 138.5 ± 2.5
4.3 ± 0.8 9.8 ± 0.9 16.4 ± 0.9 29.4 ± 0.1 3.9 ± 0.4 19.8 ± 1.2 10.7 ± 0.3 15.1 ± 0.5 15.7 ± 1.4
13.1 ± 1.7 10.5 ± 1.6 10.2 ± 1.0 19.8 ± 2.9 1.9 ± 0.2 5.1 ± 0.6 3.5 ± 0.1 9.2 ± 1.0 80.0 ± 1.3
24.6 ± 2.6 55.8 ± 2.7 50.3 ± 1.3 112.9 ± 0.6 10.8 ± 0.9 50.7 ± 3.1 24.2 ± 0.4 118.0 ± 4.0 66.9 ± 0.9
n=3
These differences of reported value could be influenced by cultivar/clone of fruit, the analytical method as well as the preparation method for oil extraction. Extraction of P. conoideus oil by dry extraction method used heat and high pressure treatment that can cause degradation of carotene. According to Knockaert and others (2012) with conjugated system of double bonds makes carotene also very susceptible to isomerization and oxidation by heat as well as high pressure and mechanical processing like mixing or homogenizing during
49
processing. The cis-isomers of β-carotene have a decreased provitamin A activity and an altered antioxidant activity. Several studies on separation of carotenoid using HPLC have been reported. Inbaraj and others (2006) was developed a gradient solvent system of methanol-acetonitrile-water (84:14:2, v/v/v) and methylene chloride (100%) to resolve a range of carotenoids in chlorella tablet. They reported that the retention time of lutein and zeaxanthin were 33.49 and 33.02 min, while β-cryptoxanthin, α-carotene and β-carotene were 40.20, 45.19, and 47.29 min, respectively. Furthermore, Liu and others (2011) reported that the carotenoids in human plasma could be separated by chromatographic method using isocratic elution of a mixture of acetonitrile and methanol (65:35, v/v) containing 0.065% of triethylamine at a flow rate of 1.5 mL/min, used C18 column and quantified at 450 nm. In this condition the retention time of carotenoids lutein, zeaxanthin, and canthaxanthin were 4.2, 4.4, and 5.4 min, respectively; while β-cryptoxanthin, echinenone (IS3), lycopene, α-carotene, and β-carotene were 9.9, 11.2, 15.2, 22.4, and 24.4 min, respectively. Results of Inbaraj and others (2006) and Liu and others (2011) research on separation of carotenoids indicates that carotenoid components in P. conoideus oils (Figure 1) were xanthophyls such as lutein and zeaxanthin that more polar and have structure similar to α- and β-carotenes, but differing in possessing hydroxyl groups on the rings. Furthermore, there were more than 20 peaks appear on chromatogram of carotenoids of P. conoideus oil (Figure 1). Total area of the 4 peaks identified as α-, β-cryptoxanthin and α-, β-carotene constitute only less than 10% of the total peak area (data not shown). Specifically, area of peak identified as β-carotene only contributes to about 5% of the total area of the peak recorded in the chromatogram. Consequently, our result suggests that β-carotene was not a major component of the carotenoids of P. conoideus oil. In comparison with the others better known source of carotenoid, α- and βcarotene content of P. conoideus oil is lower than that of crude palm oil (CPO). CPO contains α-carotene of 181-253.4 ng/mg and β-carotene of 272-381 ng/mg (Sundram and others 2003). However, P. conoideus oil has higher content of αand β-carotene than that of carrot, sweet potato and corn. Carrot contains αcarotene of 25-49 ng/mg and β-carotene of 55-103 ng/mg (Heinonen 1990); while sweet potato-orange flesh (fresh weight) contain α-carotene of 3.8-9.0 ng/mg and β-carotene of 14.4-33.1 ng/mg (Liu 2009); and in white, yellow, red, blue and high carotenoid corn contain β-cryptoxanthin of 0.127-0.23 ng/mg and β-carotene 0.049-0.46 ng/mg (Parra and others 2007). Total carotenoids content (TCC) The TCC of different clones of the P. conoideus oil were in the range of 3027-19959 ng/mg as showed in Table 4. These data indicated that the carotenoid was a pigment responsible for the yellow and red color of P. conoideus fruit. Generally, clone with red fruit color have higher TCC than that with yellow color. Between red fruit color of the P. conoideus clones, clones having TCC more than 14000 ng/mg were Monsor, Memeri, Himbiak, Monsrus, and Mbarugum, while Hityom, Hibcau and Edewewits have TCC of 9000 to12000 ng/mg. The results are in agreement with those described by Andarwulan and others (2006) who reported
50
that the TCC of P. conoideus oil from Jayapura (Papua) was in the range of 10022-21431 ng/mg. Table 4-Total carotenoids content (TCC) of 9 clones Pandanus conoideus oil. Clones of Pandanus Color of fruit conoideus oil
Total carotenoids content, Meanc ± S.D. (ng/mg oil)
Edewewitsa Memeria Monsrusa Monsora Hibcaua Himbiaka Hityoma Mbaruguma Menjib Rumbaib
9409 ± 83 17179 ± 937 15485 ± 607 19959 ± 1206 10338 ± 85 15518 ± 649 11494 ± 292 14666 ± 16 3027 ± 136
Red Red Red Red Red Red Red Red Yellow
a
λ max 446 nm λ max 470 nm c n=3 b
The TCC of the P. conoideus oil in this study was much higher than that in the P. conoideus fruit from 16 accessions were ranged from 333 to 3309 ng/mg (Murtiningrum and others 2012). This is due to the fact that carotenoids are extremely lipophilic (Wilska-Jeszka 2002). In addition, carotenoinds are located in cellular membranes or in lipophilic compartments, and in some plants hydroxylated carotenoids are esterified with various fatty acids, which make them even more lipophilic (Wilska-Jeszka 2002). In comparison with better known source of carotenoids, such as palm oil, carrot, sweet potato and some vegetables, the TCC of P. conoideus oil was the highest. Yap and others (1997) reported that CPO from different palm species have carotene content of about 700-800 ng/mg, and 1430 ng/mg in hybrids of Elaeis Oleifera and E. guineensis, and 2324 ng/mg in hybrids of E. Oleifera and E. guineensis. Meanwhile, TCC of sweetpotato (Ipomoea batatas L.) of yellowfleshed cultivars were ranged from 0.13 to 0.39 ng/mg (dry base) and of orangefleshed cultivars were from 1.35 to 3.99 ng/mg (dry base) (Ishiguro and others 2010). Furthermore, TCC of carrot was 1283-1474 ng/mg (Knockaert and others 2012), yellow pumpkin (Cucurbita maxima) was 21.2 ng/mg, green chillies (Capsicum annuum) was 24.10 ng/mg, green beans (Phaseolus coccineus) was 16.5 ng/mg, tomato (Lycopersicum esculentus) was 31 ng/mg and red chilli (Capsicum annum) was 1130 ng/mg (Kandlakunta and others 2008). These results show that P. conoideus might be used as a food ingredient to develop value-added foods rich in carotenoids. Principle Component Analysis (PCA) of red fruit samples In this study, every clones of the P. conoideus oil have some differents composition of the four carotenoids and also their TCC as showed in Table 3 and Table 4. The PCA was applied to investigate the relationship between 9 clones of
51
P. conoideus by their components of carotenoid (α-cryptoxanthin, βcryptoxanthin, α-carotene, β-carotene and total carotenoid). Figure 3 shows the results of PCA of nine clones of P. conoideus can be classified into 3 groups based on the proximity of its carotenoid content. Group A (Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus and checked it), which is characterized by a high amount of carotenoids, β-carotene and β-cryptoxanthin, located in quadrant III and IV, dominated by clones from the lowlands (from orchard of The Papua State University, Manokwari and Koya District, Jayapura), except Himbiak (from Highlands, District Minyambouw); and group B (Menjib Rumbai) that culitvated in orchard of The Papua State University, Manokwari, the yellow clone with low levels of total carotenoids and higher levels of α-carotene and αcryptoxanthin is in quadrant I. Group C (Edewewits, Hibcau and Hityom) which characterized by low levels of total carotenoids, that dominated by clones of the highlands (District Minyambou), except Edewewits (derived from lowlands, orchard of The Papua State University, Manokwari). Clones of P. conoideus which has located in quadrants I and IV containing β-carotene and βcryptoxanthin higer than other quadrants, including Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus and Menjib Rumbai, as a result of their content of β-carotene content of more than 50 ng/mg and β-cryptoxanthin content of more than 15 ng/mg (Table 3). While group C consist of Edewewits, Hibcau and Hityom tend to be far from the centre of the biplot, because they have β-carotene content lower than 50 ng/mg (Table 3). While Menjib Rumbai is located in quadrant I has the highest concentration of α-carotene (more than 50 ng/mg) and α-cryptoxanthin (more than 100 ng/mg) (Table 3). On the other hand, clones in quadrants III and IV have a lower content of α-carotene and α-cryptoxanthin (Figure 3). Clones in quadrant III have the lowest level of α-carotene and α-cryptoxanthin (Memeri, Edewewits, Hibcau and Hityom). As shows on Table 3, the content of α-carotene of less than 10 ng/mg is found in Hibcau, Hityom, Himbiak dan Mbarugum, and of more than 10 ng/mg was Menjib Rumbai, Monsrus, Memeri, Edewewits and Monsor.
Figure 3 Distribution of 9 clones the red fruit oil along principle component 1 (F1) and 2 (F2), using components of carotenoid Based on the results of PCA, generally clones were grown in the lowlands tend to produce carotenoids higher than the highland. According Cazzonelli (2011), the levels of carotenoids is influenced by several factors including the maturity stage of development, environment, stress, or a combination thereof. It
52
was also explained that the carotenoids found in the leaves and stems of plants that play an important role in the process of photosynthesis and protect against photo-oxidative damage (van de Berg and others 2000), which levels in the chloroplasts of leaves is influenced by light intensity (Khamvong and Suvachittanont 2005). Thus the lowlands areas with temperatures relatively warmer environment with higher light intensity will trigger the plants produce carotenoids. PCA results in Figure 3 also shows that some clones of red fruit in Group A, that characterized with the high levels of total carotenoids (predominantly from lowland clones), as well as there are clones of lowland joined in Group C, with the identifier levels of total carotenoids lower (dominated by clones of the highland). Therefore red fruit carotenoid levels are not only influenced by the location where the growth, but can also be influenced clones or genetics. Me'ndez and others (2000) also reported that five cultivars of red pepper has a characteristic pattern biosynthesis different carotenoids. Matejkova and Petříková (2010) also reported the levels of carotenoids of six carrot cultivars grown under conditions of environmental temperature, rainfall and soil composition showed the same significant differences between cultivars. Nicolle and others (2004) also reported that the carotenoid content of carrots varies among cultivars, where the influence of genotype, as well as the variety, location and year, not only effect by the levels of total carotenoids but also the proportion of β-carotene α- and in carrots. It was also explained that the levels of carotenoids from plants can be improved by genetic engineering. Further Me'ndez and others (2000) stated that the carotenoid biosynthesis of the plant can affected by many factors such as the expression of genes that regulate carotenogenesis, physiological and morphological characteristics of the clones, as well as growth. Conclusions The HPLC-UV/Vis method for determination of carotenoids in P. conoideus oil sample has been developed. This method was considered precise as indicated by the RSDs values which is less than 11% and the accuracy is more than 90%. The method was successfully applied to determine the carotenoids content of nine different P. conoideus oil. The carotenoids content of 9 clones of P. conoideus oil were ranged from 5.4-138.5 ng/mg for α-cryptoxanthin, 3.9-29.4 ng/mg for β-cryptoxanthin, 3.5-80.0 ng/mg for α-carotene, and 10.8-118.0 ng/mg for β-carotene. Total carotenoids content of P. conoideus oil ranged from 302719959 ng/mg and β-carotene was not a major component of the carotenoids of P. conoideus oil. Clones of P. conoideus can be grouped based on the proximity of its carotenoid content using the PCA, wich are consist of group A (Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus and Memeri), group B (Menjib Rumbai) and group C (Edewewits, Hibcau and Hityom). Acknowledgements The authors would like to thank to the Directorate of Higher Education Ministry of Indonesia for funding through Sandwich Program Like 2012. Thanks to Mr. Yutaro Yamasaki for assistance in the study.
53
References Andarwulan N, Palupi NS, Susanti. 2006. Development of extraction method and characterization of red fruit (Pandanus conoideus L.) oil (in Indonesian). Proceedings of the National Seminar of Indonesian Food Technologist Association (PATPI); Yogyakarta, Indonesia, 2-3 August 2006. Yogyakarta, Indonesia: Indonesian Food Technologist Association (PATPI). p 504-511. Cazzonelli CI. 2011. Carotenoids in nature: insights from plants and beyond. Funct Plant Biol 38:833-847. Folch J, Lees M, Sloane-Stanley GH. 1957. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissues. J Biol Chem 226:497-509. Hart DJ, Scott KJ. 1995. Development and evaluation of an HPLC method for the analysis of carotenoids in foods, and the measurement of the carotenoid content of vegetables and fruits commonly consumed in the UK. Food Chem 54:101-111. Heinonen MI. 1990. Carotenoids and provitamin A activity of carrot (Daucus carota L.) cultivars. J Agric Food Chem 38:609-612. Hyndman DC. 1984. Ethnobotany of Wopkaimin Pandanus: Significant Papua New Guinea Plant Resource. Econ Bot 38: 287-303. Inbaraj BS, Chien JT, Chen BH. 2006. Improved high performance liquid chromatographic method for determination of carotenoids in the microalga Chlorella pyrenoidosa. J Chrom A 1102:193-199. Ishiguro K, Yoshinaga M, Kai Y, Maoka T, Yoshimoto M. 2010. Composition, content and anti-oxidative activity of the carotenoids in yellow-fleshed sweetpotato (Ipomoea batatas L.). Breeding Sci 60:324-329. Kandlakunta B, Rajendran A, Thingnganing L. 2008. Carotene content of some common (cereals, pulses, vegetables, spices and condiments) and unconventional sources of plant origin. Food Chem 106:85-89. Khemvong S, Suvachittanont W. 2005. Molecular cloning and expression of a cDNA encoding 1-deoxy-D-xylulose-5-phosphate synthase from oil palm Elaeis guineensis Jacq. Plant Sci 169:571-578. Khiong K, Adhika OA, Chakravitha M. 2009. Inhibition of NF-κB Pathway as the Therapeutic Potential of Red Fruit (Pandanus conoideus Lam.) in the Treatment of Inflammatory Bowel Disease. JKM (Jurnal Kedokteran Maranatha) 9(1):69-75. Knockaert G, Lemmens L, Van-Buggenhout S, Hendrickx M, Van-Loey A. 2012. Changes in β-carotene bioaccessibility and concentration during processing of carrot puree. Food Chem 133: 60-67. Liu SC, Lin JT, Yang DJ. 2009. Determination of cis- and trans- α- and βcarotenoids in Taiwanese sweet potatoes (Ipomoea batatas Lam.) harvested at various times. Food Chem 116:605-610. Liu Z, Lee HJ, Garofalo F, Jenkins DJA, El-Sohemy A. 2011. Simultaneous measurement of three tocopherols, all-trans-retinol, and eight carotenoids in human plasma by isocratic liquid chromatography. J Chrom Sci 49:221227.
54
Matějková J, Petříková K. 2010. Variation in Content of Carotenoids and Vitamin C in Carrots. Not Sci Biol 2(4):88-91. Me´ndez DH, de Guevara RG, Mı´nguez-Mosquera MI. 2000. Carotenoid biosynthesis changes in five red pepper (Capsicumannuum L.) cultivars during ripening cultivar selection for breeding. J Agric Food Chem 48:3857-3864. Mun‘im A, Andrajati R, Susilowati H. 2006. Inhibitions of test tumorigénesis of red fruits (Pandanus conoideus L.) extract against female Sprague-Dawley rats induced dimetilbenz 7.12 (a) anthracene (DMBA) (in Indonesian). Indonesia J Pharm Sci 3(3):153-161. Murtiningrum, Ketaren S, Suprihatin, Kaseno. 2005. Oil extraction by wet rendering method of Pandan fruit (Pandanus conoideus L.) (in Indonesian). J Tek Ind Pert 15:28-33. Murtiningrum, Sarungallo ZL, Mawikere NL. 2012. The exploration and diversity of red fruit (Pandanus conoideus L.) from Papua based on its physical characteristics and chemical composition. J Biol Diversity 13(3):124-129. Nicolle C, Simon G, Rock E, Amouroux, Remesy C. 2004. Genetic Variability Influences Carotenoid, Vitamin, Phenolic, and Mineral Content in White, Yellow, Purple, Orange, and Dark-orange Carrots Cultivars. J Amer Soc Hort Sci 129(4): 523-529. Parra CDL, Saldivar SOS, Liu RH. 2007. Effect of processing on the phytochemical profiles and antioxidant activity of corn for production of masa, tortillas, and tortilla chips. J Agric Food Chem 55:4177-4183. PORIM. 2005. PORIM Test Methods. Palm Oil Research Institute of Malaysia. Malaysia: Ministry of Primary Industries. p 43-44. Rivera SM, Canela-Garayoa R. 2012. Analytical tools for the analysis of carotenoids in diverse materials. Review. J Chrom A 1224:1-10. Rohman A, Riyanto S, Yuniarti N, Saputra WR, Utami R, Mulatsih W. 2010. Antioxidant activity, total phenolic, total flavanoid of extracts and fractions of red fruit (Pandanus conoideus Lam). IFRJ. 17:97-106. Santoso B, Murtiningrum, Sarungallo ZL. 2011. Morphological fruit during development stages of red fruit (Pandanus conoideus) (in Indonesian). J Agrotek 2(6): 23-29. Southwell K, Harris R. 1992. Chemical Characteristics of Pandanus Conoideus Fruit Lipid. J Sci Food Agric 58(4):593-594. Stone BC. 1982. Biogeography and Ecology of New Guinea. Volume 42. The Hague: Dr. W. Junk Publishers. p 402-436. Sundram K, Sambanthamurthi R, Tan YA. 2003. Palm fruit chemistry and nutrition. Asia Pacific J Clin Nutr 12:355-362. Surono I, Endaryanto TA, Nishigaki T. 2008. Indonesian Biodiversities, from Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. J Fac Agric Shinshu Univ 44(1.2):23-27. van de Berg H, Faulks R, Granado FH. Hirschberg J, Olmedilla B, Sandmann G, Southon S, Stahl W. 2000. The potential for the improvement of carotenoids levels in foods and the likely systemic effects. J Sci Food Agric 80:880-912.
55
Wada M, Fujimoto K, Nishigaki T, Febriyanti E, Ikeda R, Nakashima K. 2013. Determinatin of α- and β-cryptoxanthins, and α- and β-carotenes in Buah Merah oil by HPLC-UV detection. J Agro-Based Industry 30(1):1-8. Wardayani NIA. 2012. Development of HPLC-UV/Vis method for determination of carotenoids in astaxanthin supplement. Unpublished master’s thesis of Biomedical Sciences. Nagasaki: Nagasaki University. p 6-26. Wilska-Jeszka J. 2002. Food Colorants. In: Sikorski ZE, editor. Chemical and Functional Properties of Food Components. Second Edition. New York: CRC Press. p 212-215. Winarto, Maduyan M, Anisah N. 2009. The effect of Pandanus conoideus Lam. Oil on Pancreatic β-cells and Glibenclamide Hypoglycemic effect of Diabetic Wistar Rats. Berkala Ilmu Kedokteran 41:11-19 Yap SC, Choo YM, Ooi CK, Ong ASH, Goh SH. 1997. Quantitative analysis of carotenes in the oil from different palm species. Elaeis 3:309-378.
56
5 CHARACTERIZATION OF CHEMICAL PROPERTIES, LIPID PROFILE, TOTAL PHENOL AND TOCOPHEROL CONTENT OF OILS EXTRACTED FROM NINE CLONES OF RED FRUIT (Pandanus conoideus)* Abstract Red fruit (Pandanus conoideus) is an endemic plant of Papua, Indonesia, traditionally known as source of edible oil. The objectives of this study were to determine chemical properties of oil (free fatty acid; FFA, iodine value, peroxide value, phosphorus), lipid profile (fatty acid; FA and triacylglycerol; TAG compositions), total phenol and tocopherol content of oil extracted from nine clones of red fruits cultivated in three area of Papua. Red fruit oil (RFO) was extracted using a chloroform-methanol solution (2:1). RFOs from nine clones have FFA of 4.3 to 9.2%, peroxide value of 0.36 to 0.84 meq per kg, iodine value of 79.3 to 85.5 g per 100 g and phosphorus content of 38 to 374 ppm. The main FA of RFOs were oleic (53.59-72.98%), linoleic (3.24-16.55%) and palmitic (15.62-21.27%) acids, while the major TAGs species were OOO/triolein (26.84-39.81%), POO/palmito-diolein (24.23-31.08%), OLO/linoleo-diolein (7.23-17.43%) and PLO/palmito-linoleo-olein (3.7214.3%). RFOs contain total phenol (90-742 ppm), total tocopherol (234-1728 ppm), α-tocopherol (52-272 ppm) and γ-tocopherol (16-287 ppm). The results of principal component analysis confirmed that nine clones of red fruit can be divided into 3 groups based on their FAs and TAGs. Keywords: Red fruit (Pandanus conoideus) oil, chemical properties, tocopherol, composition of fatty acid and triacylglycerol. Introduction The diversity of red fruit (Pandanus conoideus) clones in Papua (Indonesia) is very high and scattered in the highlands and lowlands (Walujo et al., 2007). Murtiningrum et al. (2012) explored the red fruits in five areas of Papua (Manokwari, Bintuni, South Sorong, Jayawijaya and Nabire) and registered 85 cultivars with various physical characteristics and chemical composition of fruit. Traditionally, the red fruit is used as a source of edible oil by the Papuan, with the fat content ranging from 11.2 to 30.7% (db) (Murtiningrum et al., 2012). Some studies have reported potential health benefits of red fruit oil (RFO) such as inhibiting tumor growth and kill cancer cells (Mun'im et al., 2006; Surono et al., 2008), increasing anti-inflammatory and immune cells (Khiong et al., 2009) and lowering blood sugar of diabetic rats (Rattus norvegicus) (Winarto et al., 2009). The functionality of RFO was possible due to the content of active compounds such as phenols, carotenoids, tocopherols and unsaturated fatty acids (Surono et al., 2008; Rohman et al., 2010; Rohman et al., 2012). On that account, RFO has a potential to be developed as functional food ingredients. * Makalah telah dipresentasikan (poster) pada Food Innovation Asia Conference 2014 Bangkok, 11-12 Juni 2014, dan telah diterima untuk diterbitkan pada Kasetsart Journal (Natural Science)
57
Reported characteristics of RFO are different from that of other vegetable oils abundant in Indonesia such as coconut oil and palm oil. Coconut oil contains more than 90% saturated fatty acid and dominated by lauric acid (47.5%) with iodine value of 7 to 12 g/100 g (Canapi et al., 2005). Whereas, palm oil mainly consists of oleic (35.99%), linoleic (14:53%) and palmitic (39.93%), with iodine value of 54.85 g per 100 g (Li et al., 2012). Moreover, palm oil contains βcarotene (542.09 ppm) and α-tocopherol (171 ppm), which are not present in coconut oil (Dauqan et al., 2011). RFO has been reported to contain β-carotene and α-tocopherol (Surono et al., 2008). Thus the RFO has a potential to serve as an alternative source of carotenoids and tocopherols. Physical, chemical and functional characteristics of oils from different sources could be determined by lipid profile (fatty acid and triglycerides composition) and the presence of other non-triglycerides components (deMan, 1999), which could greatly affect their applications in food and non-food industry. The composition of fatty acids also affected the stability of the oil against oxidation (Besbesa et al., 2004). Therefore, characterization of oils is very important for identification and determination of oil stability, and furthermore, for its potential industrial applications. This study aims to characterize and to evaluate the levels of free fatty acids, iodine value, peroxide value, phosphorus content, lipid profile (fatty acid and triacylglycerol composition), total phenol and tocopherol content of oil extracted from 9 clones of red fruit from three areas in Papua. Materials and Methods Materials Nine (9) clones of the red fruit originated from Papua (Indonesia) were used as samples—namely Menjib Rumbai, Edewewits, Memeri, Monsrus, Monsor (cultivated in the Experimental Garden of the State Papua University (UNIPA), Manokwari), Mbarugum (District Koya, Jayapura), and Hityom, Himbiak, Hibcau (District Minyambow, Manokwari). The chemicals reagent for analysis of chemical properties of RFO was used of analytical grade. Red fruit oil extraction method The RFOs were extracted by the method of Folch et al. (1957). Approximately 12 g of pulp of the red fruit was macerated with 80 ml of solvent mixture of chloroform and methanol (2:1, v/v), stirred using a magnetic stirrer, at room temperature for 1 hour. The resulted solution was filtered vacuum, 16 ml 0.88% NaCl added, and then separated by the separating flask. The oil extract obtained was then evaporated with a rotary evaporator at 40 °C, packaged in dark bottles, dried with nitrogen gas and stored at -20 oC until analyzed. Analysis of chemical properties Chemical properties of RFO analyzed were water content by oven methods (AOAC, 2005), free fatty acid by titration metods (AOCS, 2003), iodine value by Wijs methods (AOAC, 2005), peroxide value by acetic acid-chloroform methods (AOCS, 2003) and phosphorous content was analized by methods of AOAC (2005), using the vanadate-molybdate reagent and nitric acid as a reducing agent, then the absorbance was measured by UV-Vis spectrophotometer at a
58
wavelength of 400 nm. Standard curve, established by plotting absorbance against concentration of P2O5, was used to determine the phosphorus content of oil analyzed. Analysis of fatty acid and triglyceride composition Analysis of fatty acid (FA) composition of the oils was done by transesterification of triglycerides into fatty acid methyl esters/FAME (AOCS, 2003). Aproximetly 0.025 g of RFO was added 1 mg internal standard solution (C17:0, Sigma Co., St Louis, MI, USA) in 10 ml hexane, added 1.5 ml 0.5N NaOH in methanol, exhaled with N2 gas and heated for 5 minutes at 85 oC. After cooling at room temperature, added 2 ml of 14% BF3-methanol and heated at 85 °C for 30 minutes. After cooled, added 1.5 ml hexane and 3 ml of saturated NaCl, mixed gently and the upper layer (FAME) was collected. The FAME (10 μl) was injected into a Gas Chromatograph (GC-2100 Series, Shimadzu, Japan) equipped with flame ionization detector and column DB-23 (30 m x 0.25 mm and 0.25 μm thickness). The conditions for the analysis were: (a) injector 250 oC, (b) oven 120 o C to 230 oC for 6 to 25 min, rate 3.0 oC.min-1 and (c) detector 260 oC. Individual peaks of FAME were identified by comparing their retention times with those of standards (FAME Mix C8-C22, Supelco Park, USA. The percentage of fatty acid is calculated based on the peak areas of FA species per total peak area identified. Composition of triglycerides (TAG) oil was determined by AOAC (2005) using high-performance liquid chromatography (HPLC), where 0.05 g of sample was dissolved in acetone (2:1, v/v) at a concentration of 5%, filtered and injected into a 20 milipore mL sample loop of HPLC, eluted using an isocratic pump type, with a mobile phase of acetone/acetonitrile (85:15, v/v) and a flow rate of 0.8 ml.min-1. The two columns used were Zorbax Eclipse XDB C-18 (250 x 4.6 mm, Agilent Technologies Inc., USA) installed in series with Microsorb MV column (250 x 4.6 mm, Rainin Instrument Co. Inc., USA). The processing time of analysis was 50 minutes. The retention time of each standard TAG is a reference to the identification of the sample. The percentage of TAG species is calculated based on the area TAG per total peak area identified. Analysis of total tocopherols and total phenols Total tocopherols were determined using the method of Wong et al. (1988). Approximately 0.01 g of oil filled in the volumetric flask (10 ml), then added 5 ml of toluene, 3.5 ml of 2,2 bipyridine (0.07% w/v in 95 % ethanol), and 0.5 ml FeCl3. 6H2O (0.2% w/v in 95% ethanol). The solution was added with 95% ethanol to 10 ml, and measured the absorbance at wavelength 520 nm. Blank was made the same way without the sample. Total tocopherol concentration was calculated based on a standard curve of α-tocopherol (100-1500 ppm in toluene). Total phenols was determined using the Folin-Ciocalteu reagent. Phenol component extracted by dissolving 0.1 g of sample in 1 ml of 80% methanol, centrifuged at 1,100 rpm for 10 minutes then the filtrate was collected. The extraction process was repeated 4 times (Seneviratne et al., 2009) and the filtrate collected was added with 80% metanol to 5 ml. Measurement of total phenols was done by adding 0.5 ml of 50% Folin-Ciocalteu to the 1 ml sample, allowed to stand 5 minutes, added 1 ml of 5% Na2CO3, added deionized water to 5 ml then incubated for 60 min. Absorbance was measured by spectrophotometer at
59
wavelength of 745 nm. Blank was made with the same procedure without a sample. Gallic acid was used as standard for the calibration curve. Analysis of the composition of tocopherol Tocopherol composition was analyzed by the method of AOCS (2003). A total of 0.20 g of oil was dissolved in 5 ml of methanol, sonicated and filtered through Millipore (0.45 μm) and 20 μl was injected on HPLC LC-2040 (Shimadzu, Kyoto, Japan), equipped with a pump of Shimadzu LC-20 AD, UVVis detector Shimadzu SPD -20A, and Combi Develosil column RP-5 (50 x 4.6 mm, id, 5 μm, Nomura Chemical, Tokyo). Mobile phase was methanol:water (95:5) with a flow rate of 1.0 ml.min-1. The absorbance was measured at wavelength of 292 nm. Tocopherol fractions were identified by retention time standard. The calculation is expressed with a standard calibration curve as αtocopherol (58.0; 25.0; 15.0; 8.0; 1.6 and 0.1 ppm) and γ-tocopherol (45.0; 22.5; 11.3; 5.6; 2.8 and 0.1 ppm). Data analysis The XLSTAT Version 2014.2.07 was used for principle component analysis (PCA) of lipid profile data. Results The chemical properties of red fruit oils Chemical characterizations of RFOs from nine clones are shown in Table 1. The water content of the oils was ranging from 0.07 to 0.18%, while free fatty acids (FFA, as oleic acid) were ranging from 4.3 to 9.2%. The peroxide value, commonly used to measure fat oxidation, of RFO from nine clones were ranging from 0.36 to 0.84 meq per kg. Iodine value (IV) of the oils varied between 79 to 85.5 g per 100 g, indicating high degree of unsaturation of RFOs, which are supported by the data of fatty acid composition (Table 2). Phosphorus levels of RFOs were varied between clones, ranging from 37 to 374 ppm. Table 1 Chemical properties of red fruit oil from 9 clones. Clones of red fruit Menjib Rumbai Edewewits Memeri Monsrus Monsor Mbarugum Himbiak Hibcau Hityom *(n=3) ** wb = wet base
Water content Free fatty (%, wb**), acid (%), Mean*±SD Mean*±SD 0.07±0.01 0.10±0.01 0.18±0.02 0.13±0.02 0.02±0.01 0.08±0.01 0.08±0.01 0.09±0.01 0.18±0.02
5.3±0.6 4.3±0.6 8.6±0.9 7.8±0.8 7.9±0.2 7.4±0.8 5.6±0.6 9.2±1.0 5.5±0.2
Peroxide value (meq per kg), Mean*±SD 0.61±0.02 0.36±0.02 0.84±0.10 0.62±0.10 0.37±0.01 0.79±0.06 0.56±0.03 0.68±0.01 0.37±0.03
Iodine Value (g per 100 g), Mean*±SD 83.3±0.1 79.0±2.7 85.5±6.4 84.8±6.4 80.1±0.2 81.2±0.8 80.0±2.1 84.5±7.9 83.2±2.5
Phosphour (ppm), Mean*±SD 141±10 119±18 153±18 374±25 37±4 57±2 38±2 134±4 62±4
60
The fatty acid composition of red fruit oil Fatty acid composition of oils extracted from 9 clones of red fruits is presented in Table 2. Fatty acids of RFOs is dominated by unsaturated fatty acids (USFA) ranged from 67.89-77.56%, whereas saturated fatty acids (SFA) ranged from 17.38 to 24.64%. The main USFAs of red fruit oils are oleic acid/C18:1(53.59-72.98%), linoleic acid/C18:2 (3.24-16.55%), linolenic acid/C18:3 (0.62-1.35%), palmitoleic acid/16:1 (0.65-2.27%) and arachidonic acid/C20:1 (0.12-0.34%). The SFA were dominated with palmitic acid/C16:0 (15.62-21.27%) and stearic acid/C18:0 (0.16-2.69%), whereas caprylic acid/C8:0, capric acid/C10:0, lauric acid/C12:0, myristic acid/C14:0 and arachic acid/C20:0 were detected in small amounts, ranging from 0.003 to 0.27%. Triacylglycerol composition of red fruit oil Triacylglycerols (TAG) of RFOs from 9 clones (Table 3) were identified to consist of 10 to 14 species. TAGs of RFOs were dominated by OOO/triolein and POO/palmito-diolein (24.23-31.08%), followed by OLO/linoleo-diolein (7.23-17.43%), PLO/palmito-linoleo-olein (3.72-14.30%), POP/oleo-dipalmitin (7.0-10.21%), PLL/palmito-dilinolein (1.40-4.66%), PLP/linoleo-dipalmitin (1.22.2%), SOO/stearo-diolein (1.77-4.21%), PPP/tripalmitin (1.32-1.57%) and POS/palmito-oleo-stearin (1.21-1.54%). TAG structures can be grouped into UUU (triunsaturates), SUU (diunsaturates), SUS (monounsaturates) and SSS (trisaturates) fatty acids. The difference of position and type of fatty acids on the glycerol molecule produces different types of TAG. The unsaturated fatty acid in TAG of vegetable oil is generally esterificated at the sn-2 position (Scrimgeour, 2005). Based on the fatty acid saturation, TAG of RFOs consisted of UUU/triunsaturates (37.77-47.65%), which included OOO and OLO; SUU (38.45-46.839%) i.e. POO, PLO, PLL and SOO; SUS/monounsaturates (9.21-12.42%) including POP, POS and PLP; while SSS/ trisaturates (1.32-1.57%) is PPP (Table 3). These results are consistent with fatty acid composition of RFOs (Table 2), predominantly consist of unsaturated fatty acids (oleic, linoleic and palmitoleic acids), saturated fatty acids (palmitic acid).
61
Table 2 Fatty acid composition of red fruit oil from 9 clones. Fatty acid composition (%) of red fruit oil, Mean* ± SD C8 C10 C12 Saturated Fatty Acid C14 (SFA) C16 C18 C20 Total C16:1 C18:1 MUFA** UnC20:1 Saturated Total Fatty C18:2 Acid PUFA*** C18:3 (USFA) Total Total Unknown Total of fatty acid
Clones of red fruit Menjib Rumbai
Edewewits
Memeri
0.004±0.001
0.03±0.001
0.02±0.002
0.01±0.001
0.013±0.0001
0.01±0.003
0.01±0.002
0.01±0.0004
0.01±0.001
0.01±0.01
0.04±0.05
0.04±0.05
0.04±0.04
0.005±0.0001
0.05±0.003
0.01±0.01
0.003±0.0002
0.01±0.02
0.06±0.01
0.27±0.001
0.21±0.07
0.26±0.01
0.19±0.004
0.19±0.003
0.14±0.03
0.13±0.002
0.12±0.002
0.09±0.004
0.15±0.001
0.11±0.02
0.13±0.01
0.13±0.002
0.10±0.0001
0.11±0.01
0.11±0.001
0.09±0.003
18.60±0.7
21.21±0.03
15.62±1.8
16.36±0.7
17.74±0.20
20.41±0.7
20.00±1.8
18.06±0.06
19.77±0.2
1.21±0.04
2.69±0.02
1.38±0.3
1.66±0.05
1.48±0.01
1.54±00.01
1.18±0.03
1.15±0.002
0.16±0.2
0.21±0.01
0.25±0.003
-
0.11±0.01
0.19±0.004
0.18±0.001
1.18±0.01
0.11±0.003
0.11±0.01
20.17±0.8
24.64±0.04
17.38±1.3
18.57±0.7
19.75±0.19
22.48±0.7
22.63±1.8
19.57±0.07
20.27±0.3
1.25±0.05
1.08±0.01
1.34±1.0
0.65±0.03
1.04±0.01
2.27±0.02
1.35±0.68
0.77±0.004
68.87±2.9
61.26±2.1
70.56±5.8
72.98±0.4
67.44±0.23
62.79±0.5
62.11±3.7
53.59±0.1
0.34±0.01
0.14±0.00
0.12±0.03
0.18±0.01
0.27±0.006
0.18±0.001
0.21±0.03
0.17±0.003
0.17±0.003
70.46±2.9
62.47±2.1
72.03±4.9
73.81±0.4
68.75±0.23
65.24±0.6
63.67±4.4
54.53±0.1
61.79±1.7
5.8±0.3
4.80±6.8
3.24±3.6
5.31±1.3
5.62±0.01
10.45±0.09
9.74±5.5
16.55±0.02
14.37±1.1
1.3±0.05
0.62±0.9
1.33±0.2
1.65±0.1
1.12±0.003
1.35±0.01
1.03±0.2
1.08±0.0001
1.09±0.03
7.1±0.35
5.41±7.7
4.57±3.8
6.96±1.2
6.74±0.02
11.80±0.1
10.77±5.8
17.63±0.02
15.46±1.1
77.56±2.8
67.89±9.7
76.60±8.7
80.77±0.7
75.49±0.24
77.04±0.7
74.45±1.3
72.17±0.12
77.25±0.6
2.27±0.02
7.48±2.08
6.02±0.3
0.66±0.02
4.76±0.05
0.48±0.11
2.92±3.2
8.27±0.04
2.48±1.7
97.73±2.9
92.52±9.8
93.98±7.4
99.34±0.02
95.24±0.05
99.52±0.01
97.08±3.2
91.73±0.05
97.52±0.9
Monsrus
Monsor
Mbarugum
Himbiak
Hibcau
Hityom
0.61±0.07 61.01±1.67
- = not detection *(n=3) **MUFA : monounsaturated fatty acid ***PUFA : polyunsaturated fatty acid ****C8:0 = caprilic; C10:0 = capric; C12:0 = lauric; C14:0 = miristic; C16:0 = palmitic; C16:1 = palmitoleic; C18:0 = stearic; C18:1 = oleic; C18:2 = linoleic; C18:3 = linolenic;C20:0 = arachidic; C20:1 = arachidonic acids.
62
Table 3 Triacylglycerol (TAG) composition of of red fruit oil from 9 clones. TAG (%) of red fruit oil, Mean* ± SD PLL OLO PLO PLP OOO POO POP PPP SOS POS Unknown
ECN **
44 46 44 46 48 48 48 48 50 50
Amount of double bond 4 4
Group of structure TAG SUU UUU
3 2 3 2 1 0 1 1
SUU SUS UUU SUU SUS SSS SUS SOO TOTAL UUU SUU SUS SSS
Clones of red fruit Menjib Rumbai
Edewewits
Memeri
Monsrus
Monsor
2.63±0.04
1.40±0,10
1.77±0.03
2.26±0.14
1.97±0.04
9.70±0,01 7.23±0.04 8.32±0.13 10.15±0,06 3.72±0.05 6.05±0.12 2.21±0,11 1.81±0.01 1.10±0.17 28.07±0,12 39.81±0.13 39.34±0.49 31.08±0.07 30.56±0.10 27.94±0.45 10.21±0.12 7.41±0.03 7.84±0.08 - 1.36±0.05 4.21±0.02 2.40±0.07 2.84±0.12 - 1.21±0.18 2.97±0.04 5.26±5.35 2.06±0.26
7.59±0.01 6.96±0.08 1.21±0.20 35.43±0.36 30.77±0.30 8.49±0.33 2.34±0.09 1.33±0.20 3.91±0.09
7.38±0.39 7.01±0.28 1.36±0.16 34.77±0.6 31.01±0.2 8.62±0.06 1.57±0.10 1.77±0.23 1.24±0.09 2.76±0.17
42.15±0.9 37.77±0.13 47.04±0.17 47.65±0.62 42.43±0.8 46.83±0.25 38.45±0.26 39.09±0.83 11.21±0.3 12.42±0.23 9.21±0.04 10.16±0.43 1.57±0.1 - 1.36±0.05
Mbarugum
Himbiak
Hibcau
1.62±0.05
2,76±0,28
4.66±0.02
3.58±0.08
11.3±0.004 8,85±0,92 17.43±0.09 11.63±0.26 8,00±0,14 14.30±0.13 2.03±0.02 1,84±0,23 3.69±0.20 29.58±0.34 33,34±1,16 26.0±0.20 28.28±0.46 29,06±0,41 24.23±0.09 8.25±0.30 8,56±0,62 7.0±0.07 1,32±0,17 3.38±0.21 2,64±0,19 - 1,54±0,13 3.98±0.10 2,09±0,13 2.7±0.003
13.43±1.53 12.11±0.65 3.51±0.41 26.84±0.26 26.79±1.19 7.98±0.76 2.22±0.01 3.53±0.15
43.02±0.37 40.83±0.34 42,19±2,08 43.43±0.29 42.04±0.50 44.91±0.98 42,46±1,01 43.19±0.24 11.03±0.74 10.28±0.32 11,94±0,98 10.69±0.27 - 1,32±0,17 -
40.28±1.79 44.70±1.94 11.49±1.17 -
- = not detection * (n = 3) **ECN=CN-2DB (ECN = Equivalen Carbon Number. CN = Carbon Number. DB = Double Bonding) *** P = palmitic acid; S = stearic acid; O = oleic acid; L = linoleic acid. ****U = unsaturated; S : saturated; UUU (triunsaturates); SUU (diunsaturates); SUS (monounsaturate); SSS (UUU (trisaturates)
Hityom
63
Principle component analysis (PCA) results in Figure 1 shows that 9 variables comprising the composition of fatty acids (C16, C18:1, C18:2, total SFA, total MUFA and total PUFA) and TAG (OOO, OLO and PLO) of RFOs from 9 clones has a total of 91.37% variance. The position of 9 clones red fruit derived from four areas of cultivation spread in four quadrants biplot.
Figure 1 Distribution of 9 clones red fruit based Principle Component (PC) 1 (F1) and PC 2 (F2) with 9 variables of the fatty acids (C16, C18:1, C18:2, total SFA, total MUFA and total PUFA) and triacylglycerols (OOO, OLO and PLO) composition of the red fruit oils. Figure 1 shows that component of PLO, OLO, C18:2, total PUFA, and can be used as a primary identifier for red fruit clones in quadrants I (Hibcau and Hityom from Minyambou District). Clones of Mbarugum (Koya District, Jayapura) and Edewewits (UNIPA Experimental Farm, Manokwari) were located in quadrant II, with C16 and total USFA identified as primary identifier components. While 5 clones of red fruit from Minyambou District (Himbiak) and from UNIPA Experimental Farm (Memeri, Monsor, Menjib Rumbai and Monsrus) were located in quadrant III and IV with primary identifier components of OOO, C18:1 and total MUFA. Total phenol and tocopherol content of red fruit oil The total phenol and tocopherol content of RFOs from 9 clones were shown in Table 4. Total phenols of RFOs of 9 clones were in the range of 90 to 742 ppm. RFOs oil with red color had a total phenol more that 100 ppm, while oil with yellow color had a total phenol less than 100 ppm. Total tocopherols in RFOs were in the range of 234 to 2576 ppm. Clones of red fruit with yellow color (Menjib Rumbai) had a total tocopherols less than 250 ppm, whereas those having red color had tocopherol content of more than 1000 ppm. Overall, RFOs of 9 clones analyzed contained α-tocopherol (52-229 ppm) and γ-tocopherol (16-287 ppm) (Table 4). Clones of red fruits with αtocopherol levels more than 200 ppm were Memeri and Edewewits, whereas red fruits clone of Mbarugum, Himbiak and Hityom had α-tocopherol levels of 100 to 200 ppm. The level of α-tocopherol content obtained in this study is in agreement
64
with that of Surono et al. (2008), which reported that α-tocopherol content of RFO from Jayapura, Papua was 212 ppm. Concerning the γ-tocopherol content, Mbarugum clone was reported to have the higest level (more than 200 ppm), followed Memeri, Hityom, Himbiak and Edewewits. Table 4 The content of total phenols, total tocopherol, α-tocopherol and γtocopherol of red fruit oil from 9 clones. Clones of red fruit Menjib Rumbai Edewewits Memeri Monsrus Monsor Mbarugum Himbiak Hibcau Hityom
Total Phenol (ppm), mean*±SD 90 ± 4 222 ± 15 310 ± 4 292 ± 7 429± 26 742 ± 84 232 ± 31 705 ± 19 127 ± 10
Total Tocopherol (ppm), mean* ±SD 234± 26 1207± 124 1728 ± 97 1538 ± 56 1614 ±29 1538 ±135 1615 ±124 1060± 55 1381 ± 75
α-Tocopherol (ppm), mean*±SD 54±2 229±13 272±27 52±4 104±1 184±4 153±4 88±2 140±9
γ-Tocopherol (ppm), mean*±SD 19±1.0 35±1.5 67±3.2 26±2.1 25±0.5 287±8.2 38±1.7 16±1.8 39±0.2
*(n = 3)
Discussion The water content is important in determining the quality of the oil, because the presence of water can cause hydrolysis reactions that lead to damage of oil, characterized by increasing levels of free fatty acids (Ngando et al., 2006). Water content of RFOs from 9 clones obtained in this study (Table 1) was still relatively low. Using the Indonesian National Standard for crude palm oil (CPO) as a reference, the maximum water content allow is 0.5% (SNI, 2006). This result indicated that the preparation and extraction method used in this study was done properly. However, free fatty acids (FFA) level of RFOs from 9 clones were relatively high (Table 1), compared with that of standard for CPO (FFA maximum of 0.5%; SNI, 2006) and of cooking palm oil (FFA maximum of 0.3%; SNI, 2012). High levels of RFOs FFA indicated the occurrence of oil hydrolysis, i.e. breaking down the ester bond between fatty acids and glycerol to results FFA. Hydrolysis can be triggered by the presence of water and fruit internal lipase activity (Ngando et al., 2006), which may occur during post-harvest and during the oil extraction process. In this aspect, improvement of post harvest handling of red fruit is needed. Furthermore, the difference in the percentage FFA of RFOs may also be influenced by clones (genetic) and fruit maturity. Salvador et al., (2001) also reported that the olive oil at the end of the maturity level during maturation results in higher acidity due to internal lipase activity and sensitivity to pathogen infection and mechanical damage becomes higher. Iodine value (IV) of RFOs of 9 clones was varied. Oil of Memeri clones have the highest IV, indicating least saturated oil, whereas RFO of Edewewits clones has the lowest IV, indicating the most saturated one. RFOs with low IV (high saturation) were observed as solid at room temperature (such as oils of
65
Edewewit and Himbiak clones of red fruits), whereas those having high IV (oils of Memeri, Menjib Rumbai and Monsor clones of red fruits) remain liquid at room temperature. Phosphorus (phospholipids) is undesirable because it can cause problems in purification, especially during the degumming process. In addition, phosphorus can react with the metal and free fatty acids that can increase oxidative damage (Sambanthamurthi et al., 2000; Szydlowska-Czerniak and Szlyk, 2003). Therefore, clone of red fruit with low phosphorus content is more beneficial as raw material because it can reduce the cost of purification. The fatty acid (FA) composition of RFOs was dominated by unsaturated fatty acids (USFA) (Table 2). Clone with the highest number of USFA is Monsrus, while clone with the highest level of the USFA is Edewewits, which is also supported by its iodine number (Table 1). The results of this study are similar with that of Rohman et al. (2012), which reported that the FA composition of RFO from Jayapura (Papua) consisted of oleic (68.8%), linoleic (8.5%), palmitoleic (0.15%) and palmitic (20.1%) acids. The composition of FAs contributes both to the physical properties and chemical properties of the oil. Oleic and linoleic acids content of RFOs are higher than that of palm oil. Li et al. (2012) reported that oleic and linoleic acids content of palm oil were 31.5% and 12.7%, respectively; but palm oil containt palmitic acids 39.9% higher than red fruit. Chowdhury et al. (2007) reported that linoleic acid content of soybean oil (52.18%) higher than RFO, but their content of oleic (23.27%) and palmitic (14.04%) acids were lower than RFO. In comparison, FA composition of RFO is more similar to that of olive oil. Firestone (2005) reported that olive oil contained oleic (57.3 to 71.6%), linoleic (7.62 to 15.13%) and palmitic (7.8 to 14.03%) acids. Composition of TAGs of RFOs (Table 3) is different from that of palm oil (dominated by POO of 20% and POP of 20.5% [Sundram et al., 2003]), soybean oil (dominated by LLL 20.5%, OLL 14.95% and PLL 14.94% [Jahaniaval et al., 2000]), or sesame oil (dominated by OLL 17.9%, OOL 17.9%, POL 14.6% and OOP 13.1% [Jahaniaval et al., 2000]), but resembles with olive oil (containing OOO from 23.2 to 39.9% and POO 22.0 to 26.0% [Firestone, 2005]). Christopoulou et al., (2004) has reported that these quantitative differences in the TAG composition of vegetable oils can be used as markers for their detection of oil adulteration. The melting behavior of oil generally can be estimated by the composition of FAs, in which oils having the longer chain and and the more saturated fatty acids will have higher melting point (Sundram et al., 2003). Data on the basis of UUU (triunsaturates), SUU (diunsaturates) and SUS (monounsaturates) fatty acids, general similarities and differences among RFOs of 9 clones (Table 3). Such as total UUU of RFOs was ranging from 37.77 to 47.65%, as a results melting point oil of Edewewits clone has the highest and solid form in room temperature, while melting point oil of Monsrus clone has the lowest and liquid form in room temperature. Total UUU of RFOs was lower than olive oil (51.456.1%) although their level of main species of TAG (OOO and PLO) were similar (Firestone 2005). Jahaniaval et al., (2000) also showed that total UUU of corn oil (58.8%) and soybean oil (54.2%) were higher than RFO; but similar with sesame oil (46.6%) although differs in TAG species. While palm oil has lower content of
66
total UUU (9.53%) than RFO, as well as content of SUU (37,53%) (Sundram et al., 2003). Based on the TAG composition could be expected that RFO have functional properties different with others vegetable oil. Principle component analysis (PCA), based on the lipid profile of RFOs from 9 clones, results in 3 groups in agreement with their content of FAs and TAG species (Figure 1). The distribution of red fruit clones of Hibcau and Hityom are located in quadrants I, which have content of C18:2, total PUFA (polyunsaturated fatty acid), PLO and OLO higher than the other clones (Table 3). The red fruit clones of Mbarugum and Edewewits are located in quadrant II because containing C16:0 and total SFA higher than others clone. While, clones with higher content of OOO, C18:1 and total MUFA (monounsaturated fatty acid) are located in quadrant III (Memeri, Monsor, Menjib Rumbai and Himbiak) and quadrant IV (Monsrus). The location of 3rd red fruit cultivation area has a height difference, namely Minyambou District is located in the highlands (>1,000 m above sea level), while Koya District, Jayapura and Experimental Garden of the State University of Papua, Manokwari is lowland (<200 m above sea level). According to the PCA results (Figure 1), commonly red fruit clones from highland (District of Minyambou) that located in quadrant I (Hibcau and Hityom) has characteristics component of Total PUFA and C18:2. While mostly red fruit clones from lowland (Experimental Garden of the State University of Papua, Manokwari) were located in quadrant III (Memeri, Monsor, Menjib Rumbai) and quadrant IV (Monsrus) that have high content in Total MUFA and C18:1. Turhan et al. (2010) also reported that the highest linoleic acid content of olive oil was found in the location which had the highest average altitude and lowest temperature. Esmaeili et al. (2012) also reported that the differences observed between locations for FA composition may be explained by the different altitudes of the locations. Their found that the lower temperatures reduced the amount of palmitic (SFA) and increase oleic acid (USFA) content. In addition, the amount of USFA increased when rainfall and humidity increased during fruit growth periods (Sadeghi and Talaii, 2002). The different location of lowland in Koya Distric (Jayapura) namely Mbarugum was located in quadrant II with higher content on SFAs. The environmental temperature in Koya Distric (Jayapura) lower than in Experimental Garden of the State University of Papua (Manokwari). This result was support by Turhan et al. (2010) reports that palmitic acids of olive oil were tend to increase in the warmer locations. Flagella et al. (2002) also showed the effect of sowing time on some FAs in sunflower and found that palmitic acid reduced in early sowing compared to late sowing as a result of lower temperature in early sowing growth period. Eventhough, red fruits from highland were grouped on quadrant I, Himbiak clone is separated in quadrant III because has content of oleic acid more than Hityom and Hibcau. Thereby as with Edewewits clone from lowland (Experimental Garden of the State University of Papua) has a strong character on palmitic acids content and grouping with Mbarugum clone (from Distrik Koya) in quadrant II. This results indicated that FA composition of red fruit also depend on the genetic properties. Poiana and Mincione (2004) also reported that the FA trends of olive oil from 9 cultivars showed characteristics typical of the cultivar considered. According to this result the FA and TAG composition of red fruit oil
67
varies widely depending on the clones (genetic) and location of their cultivated. However some researchers reported that a great influence of environmental factors such as year of harvest, location, season or climatic conditions (in particular the temperature and rainfall during fruit growth and ripening) on the variation of some FAs of vegetable oil (Sadeghi and Talaii, 2000; Flagella et al. 2002; Turhan et al. 2010; Esmaeili et al. 2012). Phenolic content of oil is one of the important parameters associated with its functionality and quality. Phenolic compounds may contribute to oil flavor and protect the fatty acids from oxidation (Servili and Montedoro, 2002). Total phenol content of RFO (Table 4) is higher than that of grape seed oil extract (59.0 to 115.5 ppm) (Bail et al., 2008), but similar with that of virgin olive oil and olive pasta (343 to 350 ppm and 207 to 210 ppm, respectively) (Cioffi et al., 2010). Thus the content of phenols in RFO can also play a role in increasing the activity of natural antioxidants. Total tocopherol of RFO in this study relatively higher than of crude palm oil. Sudram et al. (2003) reported that the total tocopherol of crude palm oil ranging from 600 to 1000 ppm, which decrased during refining of oil from 350 to 630 ppm. In term of α-tocopherol and γ-tocopherol content, the RFOs from 9 clones were similar to that of palm oil, which reported to contain 35 to 66.5 ppm and 22 to 35 ppm, respectively (Sambanthamurthi et al., 2000; Li et al., 2011). Similarly, olive oil containing α-tocopherol with a range of 2 to 190 ppm (Firestone, 2005), as well as grape pomace containing α-tocopherol from 18.4 to 50.2 ppm and γ-tocopherol from 1.3 to 47.5 ppm (Tangolar et al., 2011). It was also reported that CPO-low free fatty acid containing γ-tocotrienol at 570 ppm (± 44%) as a major part of the total tocopherol (1293 ppm) followed by α-tocotrienol (309.7 ppm), α -tocopherol (235.3 ppm) and δ-tocotrienol (194.7 ppm) (Tan et al., 2009). Therefore, it can be presumed that the RFOs have quite high level of total tocopherol (> 1000 ppm), other tocopherol derivatives (tocotrienol), α-tocopherol and γ-tocopherol. The results of this study also showed that each red fruit clone has unique chemical characteristics, including unique lipid profile, with different phenols and tocopherols content, generally higher than that of other vegetable oils (palm oil and olive oil). Based on this identified characteristics, some red fruit clones (clones of Mbarugum, Memeri, Monsor, Edewewits, Hityom and Himbiak) can be selected to be developed to cultivated, due to high content of α-tocopherol and γtocopherol. Conclusions Chemical characteristics, lipid profile and the active component of RFO varied among clones. The main FAs of RFO were identified as oleic (53.5972.98%), linoleic (3.24-16.55%) and palmitic (21.27-21.27%) acids, while the major TAG species were OOO (26.84-39.81%) POO (24.23-31.08%), OLO (7.2317.43%) and PLO (3.72-14.3%). Oil of red fruit also contains active compounds such as phenol and tocopherol as natural antioxidants. The existence of phenols and tocopherols contribute to the stability of the oil. The results of PCA showed that nine clones of red fruit can be clustered into 3 groups in accordance with their composition of FA and TAG species. RFO has good chemical properties, as well as containing the active component is high enough so that it can potentially be
68
developed as an edible oil, as well as a functional ingredients for industrial applications. Literature Cited American Oil Chemists' Society (AOCS). 2003. Official Methods and Recommended Practices of the AOCS. 5th ed. AOCS. Champaign. Illinois. USA. Aranda, F., S. Gόmez-Alonso, R. M. Rivera del Άlamo, M.D. Salvador and G. Fregapane. 2004. Triglyceride, total and 2-position fatty acid composition of Cornicabra virgin olive oil: Comparison with other Spanish cultivars. Food Chem. 86: 485-492. Association of Analytical Chemist (AOAC). 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist, 16th ed. AOAC, Wahington DC. USA. Bail, S., G. Stuebiger, S. Krist, H. Unterweger and G. Buchbauer. 2008. Characterisation of various grape seed oils by volatile compounds, triacylglycerol composition, total phenols and antioxidant capacity. Food Chem. 108(3): 1122-1132. Besbesa, S., C. Bleckerb, C. Deroanneb, N. Drirac and H. Attia. 2004. Date seeds: chemical composition and characteristic profiles of the lipid fraction. Food Chem. 84: 577-584. Canapi, E.C., Y.T.V. Agustin, E.A. Moro, E. Jr. Pedrosa and M.L.J. Bendan˜o. 2005. Coconut Oil, pp. 135-141. In F Shahidi, (ed.). Edible Oil and Fat Products: Edible Oils. Volume 2. 6th ed. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley & Sons. New Jersey. USA. Chowdhury, K., L. A. Banu, S. Khan and A. Latif. 2007. Studies on the Fatty Acid Composition of Edible Oil. Bangladesh J. Sci. Ind. Res. 42(3):311316. Cioffi, G., M.S. Pesca, P. De Caprariis, A. Braca, L. Severino and N. De Tommasi. 2010. Phenolic compounds in olive oil and olive pomace from Cilento (Campania. Italy) and their antioxidant activity. Food Chem. 121:105-111. Christopoulou, E., M. Lazaraki, M. Komaitis and K. Kaselimis. 2004. Effectiveness of determinations of fatty acids and triglycerides for the detection of adulteration of olive oils with vegetable oils. Food Chem. 84: 463-474. Dauqan, E., H.A. Sani, A. Abdullah, H. Muhamad and A.G.M. Top. 2011. Vitamin E and β-carotene composition in four different vegetable oils. Am. J. Appl. Sci. 8(5): 407-412. deMan, J.M. 1999. Principles of Food Chemistry. Third Edition. Gaithersburg. Aspen Pub. Maryland. USA. Esmaeili, A., F. Shaykhmoradi and R. Naseri. 2012. Comparison of oil content and fatty acid composition of native olive genotypes in different region of Liam, Iran. Intl. J. Agri Crop. Sci. 4(8): 434-438. Firestone, D. 2005. Olive oil. In F Shahidi, (ed.). Edible Oil and Fat Products: Edible Oils. Volume 2. 6th ed. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley & Sons. New Jersey. USA.
69
Flagella, Z., T. Rotunno, E. Tarantino, R. D. Caterina and A. D. Caro, 2002. Changes in seed yield and oil fatty acid composition of high oleic sunflower (Helianthus annuus L.) hybrids in relation to the sowing date and the water regime. Europ. J. Agronomy 17:221-230. Folch, J., M. Lees and G.H. Sloane-Stanley. 1957. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissues. J.Biol. Chem. 226: 497-509. García-González, D.L., R. Aparicio-Ruiz and R. Aparicio. 2008. Virgin olive oilchemical implications on quality and health. Eur. J. Lipid Sci. Technol. 110: 602-607. Jahaniaval, F., Y. Kakuda and M. F. Marcone. 2000. Fatty Acid and Triacylglycerol Compositions of Seed Oils of Five Amaranthus Accessions and Their Comparison to Other Oils. JAOCS 77(8): 847-852. Karabulut, I. 2010. Effects of α-tocopherol, β-carotene and ascorbyl palmitate on oxidative stability of butter oil triacylglycerols. Food Chem. 123: 622627. Khiong K, Adhika OA and Chakravitha M, Inhibition of NF-κB pathway as the therapeutic potential of red fruit (Pandanus conoideus Lam.) in the treatment of inflammatory bowel disease. Maranatha Medical J. 9: 69-75 (2009). Li, R., Q. Xia, M. Tang, S. Zhao, W. Chen, X. Lei and X. Bai. 2012. Chemical composition of Chinese palm fruit and chemical properties of the oil extracts. African J. Biotechnol. 11(39): 9377-9382. DOI: 10.5897/AJB11.3604. Mun‘im, A., R. Andrajati and H. Susilowati. 2006. Inhibitions of test tumorigénesis of red fruits (Pandanus conoideus L.) extract against female Sprague-Dawley rats induced dimetilbenz 7.12 (a) anthracene (DMBA) (in Indonesian). Indonesia J. Pharm. Sci. 3: 153-161. Murtiningrum, Z.L. Sarungallo and L.N. Mawikere. 2012. The Exploration and Diversity of Red Fruit (Pandanus conoideus L) from Papua Based on its Physical Characteristics and Chemical Composition. J. Biol. Diversity. 13(3): 124-129. Ngando, E.G.F., R. Dhouib, F. Carriere, P.H.A. Zollo and V. Arondel. 2006. Assaying lipase activity from oil palm fruit (Elaeis guineensis Jacq.) mesocarp. Plant Physiol. Biochem. 44: 611-617. Poiana, M. and A. Mincione. 2004. Fatty acids evolution and composition of olive oils extracted from different olive cultivars grown in Calabrian area. Grasas y Aceites 55(3): 282-290. Rohman, A., S. Riyanto, N. Yuniarti, W.R. Saputra, R. Utami and W. Mulatsih. 2010. Antioxidant activity. total phenolic. total flavanoid of extracts and fractions of red fruit (Pandanus conoideus Lam). IFRJ. 17: 97-106. Rohman, A., R. Sugeng and Y.B. Che Man. 2012. Characterizaton of red fruit (Pandanus conoideus Lam) oil. IFRJ. 19(2): 563-567. Sadeghi, H. and A.R. Talaii. 2002. Impact of environmental conditions on fatty acids combination of olive oil in an Iranian olive, cv. Zard. Acta Horticulturae 586:579- 582.
70
Salvador, M.D., F. Aranda and G. Fregapane. 2001. Influence of fruit ripening on Cornicabra virgin olive oil quality. A study of 4 successive crop seasons. Food Chem. 73:45-53. Sambanthamurthi, R., K. Sundram and Y. Tan. 2000. Chemistry and biochemistry of palm oil. Prog. Lipid Res. 39:507-558. Scrimgeour, C. 2005. Chemistry of Fatty Acids. In F. Shahidi, (ed.). Edible Oil and Fat Products: Chemistry. Properties. and Health Effects. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Volume 1. 6th ed. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley & Sons. New Jersey. USA. Servili, M., and G. F. Montedoro. 2002. Contribution of phenolic compounds to virgin olive oil quality. Eur. J. Lipid Sci.Tech.104: 602-–613. Shahidi, F. dan Y. Zhong. 2005. Lipid Oxidation: Measurement Methods, pp. 357-380. In F. Shahidi, (ed.). Edible Oil and Fat Products: Chemistry, Properties, and Health Effects. Volume 1. 6th ed. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley & Sons. New Jersey. USA. Seneviratne, K.N., C.D. Hapuarachchi and S. Ekanayake. 2009. Comparison of the phenolic-dependent antioxidant properties of coconut oil extracted under cold and hot conditions. Food Chem. 114: 1444- 1449. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2901-2006. 2006. Palm oil (in Indonesian). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7709-2012. 2012. Cooking palm oil (in Indonesian). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Sundram, K., R. Sambanthamurthi and Y.A. Tan. 2003. Palm fruit chemistry and nutrition. Asia Pacific J. Clin. Nutr. 12: 355-362. Surono, I., T.A. Endaryanto and T. Nishigaki. 2008. Indonesian Biodiversities from Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. J. Fac. Agric. Shinshu Univ. 44(1.2): 23-27. Szydlowska-Czerniak, A. and A. Szlyk. 2003. Spectrophotometric determination of total phosphorus in rape seeds and oils at various stages of technological process: calculation of phospholipids and non-hydratable phospholipids contents in rapeseed oil. Food Chem. 81: 613-619. Tan, C.H., H.M. Ghazali, A. Kuntom, C.P. Tan CP and A.A. Ariffin. 2009. Extraction and physicochemical properties of low free fatty acid crude palm oil. Food Chem.113: 645-650. Tangolar, S.G., F. O¨zogul, S. Tangolar and C. Yag˘mur. 2011. Tocopherol content in fifteen grape varieties obtained using a rapid HPLC method. J. Food Comp. Anal. doi:10.1016/j.jfca.2010.08.003. Turhan, H., N. Citak, H. Pehlivanoglu and Z. Mengul. 2010. Effects of ecological and topographic conditions on oil content and fatty acid composition in sunflower. Bulgarian J. Agric. Sci. 16(5): 553-558. Walujo, E.B., A.P. Keim and M.J. Sadsoeitoeboen. 2007. Study Etnotaksonomi of Pandanus conoideus Lamarck for Bridging Local and Scientific Knowledge (in Indonesian). Berita Biologi. 8(5):391-404. Winarto, M. Maduyan and N. Anisah. 2009. The effect of Pandanus conoideus Lam. Oil on Pancreatic β-cells dan Glibenclamide Hypoglycemic effect of Diabetic Wistar Rats. Berkala Ilmu Kedokteran. 41(1): 11-19. Wong, M.L., R.E. Timms and E.M. Goh. 1988. Colorimetric determination of total tocopherols in palm olein and stearin. JAOCS. 65: 258-261.
6 EFFECT OF HEAT TREATMENT PRIOR TO EXTRACTION ON THE YIELD AND QUALITY OF RED FRUIT (Pandanus conoideus) OIL Abstract The yield and quality of red fruit oil (RFO) is strongly influenced by the processing and extraction method. The effect of heat treatment of grains of red fruits using steam pressure (autoclave) at temperature of 100, 110 and 120 °C for 3 to 45 minutes prior to extraction using dry method (hydraulic press) on the yield, free fatty acid (FFA) levels, total carotenoids and tocopherols of red fruit oil was investigated. Our results showed that heating treatment prior to extraction increased the oil yield with slight decrease in total carotenoids and total tocopherol content of the resulted oil. Heating treatment also tend to increase the FFA content of the red fruit oil, but the level of increase is decreasing with increasing temperature and heating time. Minimum level of FFA content was obtained from sample heated at 120 °C for 20 minutes. Application of heating at 120 °C for 20 minutes prior to extraction using hydraulic pressing resulted in the highest yield of the oil extraction (11.5±0.3% of total grain extracted), with total carotenoids and tocopherol content of 15371±162 ppm and 1515±24 ppm, respectively, and FFA content of 7.6±0.1%, no significant different (P<0.05) with that of control sample (i.e. sample without heating treatment) of 7.1±0.2%. Keywords: Carotenoid, dry extraction, free fatty acid (FFA), lipase, red fruit (Pandanus conoideus) oil, tocopherol, and yield. Introduction Red fruit (Pandanus conoideus) oil has been recognized as a functional food ingredients due to its high content of active components such as α-carotene, β-carotene, β-cryptoxanthin, and α-tocopherol, as well as unsaturated fatty acidsof oleic, linoleic, linolenic and palmitoleic acids (Murtiningrum et al. 2005; Surono et al. 2008; Wada et al. 2013). Many of those active components of red fruit oil (RFO) are very susceptible to change during handling and extraction that will affect the final quality of the RFO (Andarwulan et al. 2006). One of the important quality criteria of vegetable oils is free fatty acids (FFA) content; which associated with undesirable rancid flavor (hydrolytic rancidity) and it is very easily oxidized (Bhosle and Subramanian, 2005). Level of FFA of RFO traditionally extracted (using wet extraction) is reported to be very high, 6.16-21.96% (Murtiningrum et al. 2005; Pohan and Wardayani, 2006; Andarwulan et al. 2006). Sarungallo et al. (2014, in preparation for publication) also reported that the FFA content of 9 clones red fruit oil extracted obtained by solvents (chloroform-methanol) extraction were varied, from 4.3 to 9.2%. The high level of FFA in RFO is thought to be caused by the hydrolysis reaction catalyzed by naturally occurring lipase in red fruit. According to Nawar (1996) FFA in the oil or fat may be formed by the enzyme (lipase) catalyzed hydrolisis after harvesting in the presence water. Sambanthamurthi et al. (1991) also reported that the FFA of palm oil is resulted from the action of endogenous
72
lipases activity initiated by tissue injury during harvesting process. Therefore, red fruit with a fat content of 11-30% (Murtiningrum et al. 2012) were susceptible to lipase activity liberating FFA. Inactivation of endogenous lipase then may be devised to decrease the FFA content of the extracted oil. Optimum temperature for lipase activity in the plants is in the range of 20 to 38 °C (Pahoja and Sethar, 2002), up to 50 oC (Ngando et al. 2006). It is therefore hypothesized that inactivation of lipase by heating may used a method to control the level of FFA in the extracted oil. According to Anderson (2005) before the oil extraction, palm fruit was heated using high pressure to eliminate microorganisms, inactivate lipase which will produces FFA and soften the fruit flesh. Baryeh (2001) reported that palm oil yield increased with increasing pressure and temperature of extraction. Lubis et al. (2012) also reported that oil yield of red fruit was increased by heating using autoclave at a temperature of 120 o C for 30-60 minutes. Nevertheless, so far there is no specific report on the effect of heat treatment (temperature and heating time) on the yield and quality of red fruit (pandanus conoideus) oil. The objectives of this research were to study the effect of heat treatment of red fruits using steam pressure (autoclaves) in the temperature of 100, 110 and 120 °C for 3 to 45 minutes prior to extraction on the yield, free fatty acid (FFA) levels, total carotenoids and tocopherols total of red fruit oil obtained by dry method of oil extraction. Red fruit (Pandanus conoideus) oil has been recognized as a functional food ingredients due to its high content of active components such as α-carotene, β-carotene, β-cryptoxanthin, and α-tocopherol, as well as unsaturated fatty acids of oleic, linoleic, linolenic and palmitoleic acids (Murtiningrum et al. 2005; Surono et al. 2008; Wada et al. 2013). Many of those active components of red fruit oil (RFO) are very susceptible to change during handling and extraction that will affect the final quality of the RFO (Andarwulan et al. 2006). One of the important quality criteria of vegetable oils is free fatty acids (FFA) content; which associated with undesirable rancid flavor (hydrolytic rancidity) and it is very easily oxidized (Bhosle and Subramanian, 2005). Level of FFA of RFO traditionally extracted (using wet extraction) is reported to be very high, 6.16-21.96% (Murtiningrum et al. 2005; Pohan and Wardayani, 2006; Andarwulan et al. 2006). Sarungallo et al. (2014, in preparation for publication) also reported that the FFA content of 9 clones red fruit oil extracted obtained by solvents (chloroform-methanol) extraction were varied, from 4.3 to 9.2%. The high level of FFA in RFO is thought to be caused by the hydrolysis reaction catalyzed by naturally occurring lipase in red fruit. According to Nawar (1996) FFA in the oil or fat may be formed by the enzyme (lipase) catalyzed hydrolysis after harvesting in the presence water. Sambanthamurthi et al. (1991) also reported that the FFA of palm oil is resulted from the action of endogenous lipases activity initiated by tissue injury during harvesting process. Therefore, red fruit with a fat content of 11-30% (Murtiningrum et al. 2012) were susceptible to lipase activity liberating FFA. Inactivation of endogenous lipase then may be devised to decrease the FFA content of the extracted oil. Optimum temperature for lipase activity in the plants is in the range of 20 to 38 °C (Pahoja and Sethar, 2002), up to 50 oC (Ngando et al. 2006). It is therefore hypothesized that inactivation of lipase by heating may used a method to control the level of FFA in the extracted oil. According to Anderson (2005) before
73
the oil extraction, palm fruit was heated using high pressure to eliminate microorganisms, inactivate lipase which will produces FFA and soften the fruit flesh. Baryeh (2001) reported that palm oil yield increased with increasing pressure and temperature of extraction. Lubis et al. (2012) also reported that oil yield of red fruit was increased by heating using autoclave at a temperature of 120 o C for 30-60 minutes. Nevertheless, so far there is no specific report on the effect of heat treatment (temperature and heating time) on the yield and quality of red fruit (Pandanus conoideus) oil. The objectives of this research were to study the effect of heat treatment of red fruits using steam pressure (autoclaves) in the temperature of 100, 110 and 120 °C for 3 to 45 minutes prior to extraction on the yield, free fatty acid (FFA) levels, total carotenoids and tocopherols total of red fruit oil obtained by dry method of oil extraction. Materials and Methods Materials The main raw material in this study was red fruits with local name of Monsor, obtained from the Experimental Farm, The State University of Papua (UNIPA), Manokwari. Red fruits were harvested at optimum maturity, characterized by the leaf sheath of the fruit has opened and 50% of leaf has dried out, and the fruit already developed full grain (pithy) with dark red color. The harvested red fruit was left at room temperature for 2 days to soften the flesh and facilitate the separation of grain from the pith. Chemicals used for analysis with analytical grade levels consists of phosphate buffer, p-nitrophenilbutyrate, and p-nitrophenol from Sigma-Aldrich, Inc. (MO, USA), sodium hydroxyde, phenolphthalein, butylated hydroxytoluene (BHT), hexane, toluene, ethanol, 2,2 bipyridine, and FeCl3.6H2O were obtained from Merck, Darmstadt, Germany. While standard of α-tocopherol was purchased from Wako Pure Industries, Ltd. Tokyo, Japan. Heat treatment of grains of red fruit After 2 days of storage at room temperature, separations of the grains from the pith of the red fruits were done manually. Grains of red fruit were heated using an autoclave set at 3 different temperature (100, 110 and 120 oC) for 3 to 45 minutes, as shown at Table 1. Heating time was calculated after temperature of autoclave reached the set temperature (of 100, 110 or 120 oC) until the start of cooling process by opening the autoclave valve and shutting off the heat source. After cooling, grains of red fruit were removed from the autoclave and ready for extraction. Sample of grains of red fruit without heating was used as a control. Table 1 The treatment of temperature and heating time in autoclaves Set temperature of the autoclave (oC) 100 110 120
0 0 0
5 5 3
Heating time (min) 15 25 35 45 10 15 20 25 6 9 12 15
30 20
Red fruit oil extraction using dry method RFO extraction is done by using a dry extraction method. Grains of red fruit that has been heated (autoclaved) were then compressed using a hydraulic press.
74
Pressing process takes about 5 minutes to produce a crude red fruit oil. The crude oil was then centrifuged (3000 rpm, 15 min) to obtain red fruit oil (RFO), packaged in dark bottles, and ready to be analyzed. RFO analysis conducted on the oil yield and content of FFA, total carotenoids and total tocopherols, as compared with the red fruit oil extracted without heating (red fruit peel oil is extracted by directly compressed with a hydraulic press, and then centrifuged at 5000 ppm for 20 minutes). The experimental design used in this step was completely randomized design with 3 replications. Lipase Analysis Lipase activity was observed in the fresh fruit (without heating) and the fruit with heating using autoclave at 100 °C for 5 min and 120 °C for 20 minutes, which was determined by using the method of Lopes et al. (2011) with slight modifications. A total of ± 0.5 g grain of red fruit were crushed in 5 ml pH 7 0.05 M and the filtrate was centrifuged (5000 ppm, 5 min). Filtrate obtained was diluted (100 times) with phosphate buffer pH 7 M 0.05. A total of 0.45 ml of sample solution was added with 0.54 ml of 0.05 M phosphate buffer pH 7, and 0.01 ml of 0.2 M p-nitrophenilbutyric (solvent dimethylsulfoxide). The solution was then incubated at temperature of 35 °C for 10 minutes and the absorbance was measured at a wavelength of 410 nm using spectrophotometer. Lipase activity was calculated based on a standard curve of p-nitrophenol (PNP), using the following formula.
Analysis of red fruit oil The oil yield of red fruit oil extraction was calculated as a percentage of the oil to total mass of grains sample. Free fatty acids content of red fruit was analyzed by titration methods (AOCS, 2003). Total carotenoids content of red fruit oil was determined using method of Porim (2005) and Knockaert et al. (2012) with slight modifications. Two milligrams of each sample was dissolved in 0.1% of butylated hydroxytoluene (BHT) solution in hexane. The absorbance of the sample solution was measured spectrophotometrically (Shimadzu UV-2450, Kyoto, Japan) at wavelength of 446 nm and 470 nm, using solution of 0.1% BHT in hexane as a blank. Total carotenoids were calculated using the following formula.
, where: A
is the absorbance value at λ max (446 nm and 470 nm), volume is the total volume of sample solutions, is the extinction coefficient = 2560 for β-carotene in hexane (Hart and Scott 1995). Total tocopherols were determined using the method of Wong et al. (1988). Approximately 0.01 g of oil was filled in the volumetric flask (10 ml), then added with 5 ml of toluene, 3.5 ml of 2,2 bipyridine (0.07% w/v in 95 % ethanol), and 0.5 ml FeCl3. 6H2O (0.2% w/v in 95% ethanol). The solution was then added with 95% ethanol to a total of 10 ml. Absorbance was measured at wavelength of 520 nm. Blank solution was prepared the same way as of the sample, except without the addition of oil sample. Total tocopherol concentration
75
was calculated based on a standard curve of α-tocopherol (100-1500 ppm in toluene). Data analysis All data were obtained in triplicate and analysis of variance followed by Duncan's Multiple Range Test (DMRT) was performed using the Statistical Analysis Software (SAS) 9.1.3. Results and Discussion Effect of heat treatment Data in Table 2 summarized the effect of heat treatment on the yield and several quality aspect of RFO. Specifically, Figure 1 (data from Table 2) illustrates that heating treatment of grains of red fruit prior to extraction could increase the yield of red fruit oil significantly. Figure 2 shows that the yield of oil extraction increases as heating temperature and heating time increases. Increased oil yield of red fruit due to heating process using an autoclave may be associated with heating effect of fruit tissue, tenderizing fleshy fruit, coagulating protein and damaging the cell wall, thereby able to release oil droplets more easily. In addition, heat may also lower the viscosity of the oil so that more oil would be more easily extracted by the application hydraulic compression, resulting in improved oil yield (Kemper 2005).
Yield of oil (% weigth of total grains)
12 11 10 9 100 oC 8
110 oC
7
120 oC
6 5 0
10
20
30
40
50
Heating time (min)
Figure 1 The yield of oil extraction of red fruit as affected by heating temperature (100 °C, 110 °C, and 120 °C) for 3-45 minutes. In addition, Figure 1 also shows that yield of RFO increases as increasing heating time. The maximum oil extraction yield (11.5±0.3%), 57.5% increase as compared to that of the control (7.3±0.8%) achieved in this experiment was obtained from sample heated at 120 °C for 20 minutes. Similar phenomenon was also reported for red fruit oil (Lubis et al. (2012) and palm oil (Baryeh, 2001; Fauzi and Sarmidi, 2010a), at which heat treatment may potentially be used as a mean to increase the oil extraction yield.
76
Our data also show that the oil obtained from red fruit of Monsor clone is relatively high (7.06±0.2%) can be caused by the activity of lipase in the flesh (pulp) of red fruit before heating, especially during the storage at room temperature for 2 days. Ngando et al. (2013) reported that lipases are activated in palm fruit when ripe or bruised and injured and causing hydrolysis of triglycerides and produce FFA. In addition, Santoso et al. (2011) explained that during the process of maturation, red fruit seeds embedded in the pith will be more stretchable, more easily separated, with the soft texture of the meat, making it easy bruising as a result of physical injury. Santoso et al. (2011) also reported that during the maturation process in the tree, the leaves will dry sheath, so that they no longer provide protection against red fruit and susceptible to chemical damage (hydrolysis and oxidation). Table 2. The effect of temeperature and time of heating on the yield, free fatty acids, total carotenoids and total tocopherol content of red fruit oil Heating process (autoclave) Temperature Time** o ( C) (min) *** Control 0 100 5 15 25 35 45 110 5 10 15 20 25 30 3 120 6 9 12 15 20
Yield oil (%, total grains), Mean*±SD 7.3±0.8i
Free fatty acids (%),Mean* ±SD 7.06±0.2j
Total carotenoid (ppm), Mean*±SD 19382±185a
Total tocopherol (ppm), Mean*±SD 1667±105a
8.0±0.2ih 8.5±0.5gh 9.3±0.3efg 9.8±0.3cdef 10.2±0.4bcde 8.7±0.2fgh 9.0±0.1efgh 9.5±0.0defgh 9.8±0.1cdef 10.2±0.1bcde 10.6±0.4abcd 10.6±0.1abcd 10.7±0.6abcd 10.8±0.6abc 11.2±1.1ab 11.3±0.8ab 11.5±0.3a
23.8±1.4a 20.4±0.5b 16.6±0.3c 13.6±0.2d 11.4±0.5gf 14.0±1.0d 12.2±0.4ef 11.2±0.2g 10.7±0.4 gh 9.7±0.0 ih 9.1±0.1 i 13.1±0.8 ed 11.7±0.2 gf 10.9±1.1 g 9.7±0.1 ih 8.8±0.5 i 7.6±0.1 j
18826±216b 18039±546cd 17475±702e 16630±548gh 15938±297h 18536±440b 17918±153cde 17437±21e 16464±372gf 15854±173h 15332±182i 18431±272bc 17963±303de 17477±105e 16929±299f 16168±127gh 15371±162i
1593±12b 1568±21bcd 1557±33bcde 1534±30def 1505±26f 1596±3b 1584±13bc 1558±5bcde 1535±10def 1522±16ef 1504±10f 1589±16b 1579±10bcd 1570±12bcd 1558±17bcde 1540±31cdef 1515±24ef
*n = 3 ** Heating time (maintained) in an autoclave *** Control is a sample of grains of red fruit with no heat treatment prior to extaction. The grains of red fruits was directly pressed hydraulically to obtained oil, and then centrifuged at 5000 ppm for 20 min. **** Different letters on the same column indicate significant differences (P <0.05)
Furthermore, our data also shows that free fatty acid (FFA) content of RFO is affected by the temperature and time of heating significantly (P<0.05; Table 2, Figure 2). The content of FFA of RFO from control sample (without heat treatment) is the lowest (7.06%) and heating appear to increase the FFA content of the resulted oil. Heating at temperature of 100 °C for 5 minutes, for example, will
77
increase the FFA content to 23.8±1.4%, more than three folds increase as compared to that of control. Whereas heating of grains of red fruit to 110oC for 5 minutes increase the FFA content to 14.0±1.0% and heating at 120 oC for 3 minutes will increase the level of FFA to 13.1±0.8%. For all the heating temperature treatment, the level of FFA tend to decrease as the time heating increase as can be seen at Figure 2. Table 3 Effect of temperature and duration of heating on lipase activity of red fruit Treatment of red fruit Time of heating on Lipase activity grains* autoclave (min) (U/mg grain), mean**±SD Without heating 0 27.05±2.3 Autoclave 100 oC 5 6.43±0.96 o Autoclave 120 C 20 nd*** * red fruit stored at room temperature for 2 days before analysis ** n = 3 *** nd= not detection
Free fatty acids (%)
30 25 20 100 oC
15
110 oC
10
120 oC 5 0 0
10
20 30 40 Heating time (min)
50
Figure 2 Level of free fatty acids (FFA) of red fruit oil extracted using hydrolic pressing (dry method) from red fruit grains as affected by heating (autoclaving) temperature (100 °C, 110 °C, and 120 °C) for 3 to 45 minutes. These data indicates that application of heating on the grain of red fruits is a complex phenomenon, which may be explained as the following. Heating of grains of red fruit at 100 °C for 5 min (Figure 2) increased levels of FFA as a result of oil hydrolysis by lipase, but with increasing heating time for another 15 to 45 minutes, will eventually reduce the level of FFA. This indicates that the heating (autoclaving) at 100 °C for 5 min is not enough to completely inactivate the red fruit lipase, as supported by the results of the analysis of red fruit lipase activity (Table 3). Control sample (harvested red fruit stored at room temperature for 2 days) has the highest lipase activity of 27.05 U/mg but the resulted oil has the lowest level of FFA (7.06±0.2%). This relatively low level of FFA is due to lower reaction rate and less decompartmentation preventing the active enzyme to react with substrate (oil). Once the fruit is heated (for example up to temperature
78
of 100 °C for 5 min), an increase in temperature resulting in softening and damaging of cells facilitating further reaction. The residual lipase (with activity of 6.43±0.96 U/mg), will be still active to catalyze oil hydrolysis reaction, with (i) the possibility to form enzyme-substrate complexes will increase due to the decompartmentation and (ii) the reaction rate will be accelerated due to increasing temperature, resulting in more FFA level of 23.8±1.4%. Increasing heating temperature to 110 °C and 120 °C reduce levels of FFA of RFO due to more severe inactivation of indigenous red fruit lipase (Table 2). In explanation is also supported by the observation on the factsthat increasing heating time (15-45 minutes) will also decrease levels of FFA. Furthermore, Table 3 shows that heating at 120 °C for 20 minutes was able to completely inactivate the lipase in the red fruit, resulting oil with level of FFA similar to that of control sample. In general, our observation suggested that heating or increasing temperature may potentially have three main effects, as it may (i) deactivate the lipase activity, (ii) increase the reaction rate, and (iii) damage the tissue causing decompartmentation to facilitate more contact between enzyme (lipase) and substrate (oil). At initial stage of heating (3 and/or 5 minutes of heating) the first effect (inactivation of lipase) was still incomplete, so that the second and third effects (increase reaction rate and increase decompartmentation) are more dominant, so that the overall effect is increase in FFA content. Minimum level of FFA of oil may be obtained by treatment of heat to assure complete inactivation of lipase prior to extraction. In our case, complete inactivation of lipase was obtained from heating at temperature of 120 oC for minimum of 20 minutes. Effect of Heat Treatment on Total Carotenoids and Tocopherol Content Besides increasing the yield of oil extraction, heat treatment may affect the total carotenoid and tocopherol content of the oil. As we can see from Table 2, total carotenoids and tocopherol content of the oil decrease after heating treatment of red fruit grains prior to extraction due to thermal degradation., The degree of degradation observed was directly proportional with temperature and heating time. Total highest carotenoid content of RFO observed was 19382±185 ppm, from the oil extracted from red fruit without heating. The heat treatment (100, 110, and 120oC) may cause about 20% destruction of total carotenoids, and for about 10% destruction of total tocopherol. These results indicate that both carotenoids and tocopherol of of red fruits are relatively stable during heating using autoclave, and tocopherol is relatively more resistant to heating than carotenoids. This is in agreement with Karabulut (2010) who reported that αtocopherol the most active antioxidant than β-carotene and ascorbyl palmitate in triacylglycerol oxidation studies. Further Zeb and Murkovic (2011) reported that β-carotene in corn oil degraded prior to oxidation of triglycerides. The same phenomenon was also reported in the extraction of the sterilization process palm oil for 0-40 minutes to increase the yield of palm oil, but also increases the loss of β-carotene (Fauzi and Sarmidi, 2010a) and αtocopherol (Fauzi and Sarmidi, 2010b). Furthermore, Fauzi and Sarmidi (2010b) explained that the degradation of α-tocopherol may be associated with decrease of protective effect of β-carotene as an antioxidant components were also found in palm oil (Chandrasekaram et al. 2009).
79
It was also explained that the active component of red fruit oil that carotenoids and tocopherols are very sensitive to oxygen, light, temperature and acidity as it has the structure of the conjugated double bond system that contains many electrons reactive and easily oxidized (Wilska-Jeszka, 2002). Bonnie and Choo (1999) also explain that generally carotenoid degradation pathway is isomerization, oxidation and fragmentation of the carotenoid molecule. The presence of heat, light and cause the isomerization of carotenoids -trans form into shapes -cis; while light, enzyme, prooxidant metals and co-oxidation with unsaturated fats induce oxidation; while pyrolysis occurs at high heating by releasing molecules with low molecular weight. Our data, however, shows that both carotenoids and tocopherol are relatively stable to autoclaving treatment. Consequently, to produce RFO with low FFA content application of autoclaving of red fruit prior to extraction is possible, and should be explored and optimized for future research. Conclusions and Recommendations Heating treatment prior to extraction increased the oil yield but decreased total carotenoids and total tocopherol content of the resulted oil. Heating treatment also tends to increase the FFA content of the red fruit oil, but the level of increase is decreasing with increasing temperature and heating time. Minimum level of FFA content was obtained from sample heated at 120 °C for 20 minutes. Application of heating at 120oC for 20 minutes prior to extraction using hydraulic pressing resulted in the highest yield of the oil extraction (11.5±0.3% of total grain extracted), with total carotenoids and tocopherol content of 15371±162 ppm and 1515±24 ppm, respectively, and FFA content of 7.6±0.1%, no significant different (P<0.05) with that of control sample (i.e. sample without heating treatment) of 7.1±0.2%. To further reduce the FFA content, it is recommended to study the effect of heat treatment of red fruit immediate after harvest. References [AOCS] American Oil Chemists' Society. 2003. Official Methods and Recommended Practices of the AOCS. 5th ed. AOCS, Champaign, Illinois. Andarwulan N, Palupi NS, Susanti. 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L.). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), 2-3 Agustus 2006. Yogyakarta, Indonesia. Anderson D. 2005. A Primer on Oils Processing Technology. In: Shahidi F (ed). Edible Oil and Fat Products: Processing Technologies. Volume 5. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Sixth Edition. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey. Baryeh EA. 2001. Effect of palm oil processing parameter on yield. J Food Eng 48: 1-6. Bhosle BM, Subramanian R. 2005. New approaches in deacidification of edible oil (a review). J Food Eng. 69: 481-494. Biles Cl, Wall MM, Blackstone K. 1993. Morphological and Physiological Changes during Maturation of New Mexican Type Peppers. J Amer Soc Hort Sci 118(4): 476-480.
80
Bonnie TY, Choo YM. 1999. Oxidation and thermal degradation of carotenoids. J Oil Palm Res 2(1):62-78 Chandrasekaram K, Ng MH, Choo YM, Chuah CH. 2009. Effect of Storage Temperature on the Stability of Phytonutrients in Palm Concentrates. Am J Appl Sci 6 (3): 529-533. deMan, J.M. 1999. Principles of Food Chemistry. Third Edition. Gaithersburg Aspen Pub., Maryland, USA. Fauzi NAM, Sarmidi MR. 2010a. Extraction of Heat Treated Palm Oil and Their Stability on β-carotene During Storage. J Sci Technol 2(1): 45-54. Fauzi NAM, Sarmidi MR. 2010b. Extraction of Heat Treated Palm Oil and Their Stability on β-carotene During Storage. J Sci Technol 2(1): 111-120. Gibon V, De Greyt W, Kellens, M. 2007. Palm oil refining. Eur J Lipid Sci Tech 109: 315-335. Henderson J, Osborne DJ. 1991. Lipase activity in ripening and mature fruit of the oil palm. Stability in vivo and in vitro. Phytochem. 30: 1073-1078. Karabulut I. 2010. Effects of α-tocopherol, β-carotene and ascorbyl palmitate on oxidative stability of butter oil triacylglycerols. Food Chem 123: 622-627. Kemper TG. 2005. Oil Extraction. Di dalam Shahidi F, editor. Edible Oil and Fat Products: Processing Technologies. Volume 5. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Sixth Edition. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey. Knockaert G, Lemmens L, Van-Buggenhout S, Hendrickx M, Van-Loey A. 2012. Changes in β-carotene bioaccessibility and concentration during processing of carrot puree. Food Chem 133: 60-67. Li R, Xia Q, Tang M, Zhao S, Chen W, Lei X, Bai X. 2012. Chemical composition of Chinese palm fruit and chemical properties of the oil extracts. African J Biotechnol 11(39): 9377-9382. DOI: 10.5897/AJB11.3604. Lopes DB, Fraga LP, Fleuri LF, Macedo GA. 2011. Lipase and esterase - to what extent can this classification be applied accurately? Ciênc Tecnol Aliment 31(3): 608-613. Lubis EH, Wijaya H, Lestari N. 2012. Mempelajari ekstraksi dan stabilitas total karotenoid, dan α- dan β-cryptoxanthin dalam esktrak buah merah (Pandanus conoideus Lamk). J Riset Tek Ind 6 (12): 126-140. Murtiningrum, Ketaren S, Suprihatin, Kaseno. 2005. Ekstraksi Minyak dengan Metode Wet Rendering dari Buah Pandan (Pandanus conoideus L.). J Tek Ind Pert 15: 28-33. Murtiningrum, Sarungallo ZL, Mawikere LN. 2012. The Exploration and Diversity of Red Fruit (Pandanus conoideus L) from Papua Based on its Physical Characteristics and Chemical Composition. J Biol Diversity 13(3): 124-129. Nawar WW. 1996. Lipids. Di dalam Fennema OR, editor. Food Chemistry. 3rd edition. Marcel Dekker, New York. Ngando EGF, Mpondo-Mpondo EA, Ewane MA. 2013. Some quality parameters of crude palm oil from major markets of Douala, Cameroon. African J Food Sci 7(12): 473-478. Pahoja VM, Sethar MA. 2002. A review of enzimatic properties of lipase in plants, animals and microorganisms. Pakistan J Appl Sci 2(4): 474-484.
81
Pohan HG dan Wardayani NIA. 2006. Mempelajari Proses Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L). IHP (Warta Industri Hasil Pertanian) 23 (2): 26-41. PORIM. 2005. PORIM Test Methods. Palm Oil Research Institute of Malaysia, Ministry of Primary Industries, Malaysia. Sambanthamurthi R, Chong CL, Khaik C, Yeu KH, Premavathy R. 1991. Chilling induced lipid hydrolysis in the oil palm (Elaeis guineensis) mesocarp. J Exp Botany 42: 1199-1205. Santoso B, Murtiningrum, Sarungallo ZL. 2011. Morfologi Buah Selama Tahap Perkembangan Buah Merah (Pandanus conoideus). Agrotek 2(6): 23-29. Sarungallo ZL, Hariyadi P, Andarwulan N, Purnomo EP. 2014. Characterization of chemical properties, lipid profile, total phenol and tocopherol content of oils extracted from nine clones of red fruit (Pandanus conoideus). Kasetsart Journal (Nature Science), preparation for publication. Surono I, Endaryanto TA, Nishigaki T. 2008. Indonesian Biodiversities from Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. J Fac Agric Shinshu Univ 44(1.2): 23-27. Wilska-Jeszka J. 2002. Food Colorants. In: Sikorski ZE (ed). Chemical and Functional Properties of Food Components, Second Edition. 212-215. CRC Press, New York. Wong ML, Timms RE, Goh EM. 1988. Colorimetric determination of total tocopherols in palm olein and stearin. JAOCS. 65: 258-261. You LL, Baharin BS. 2006. Effects of enzymatic hydrolysis on crude palm olein by lipase from Candida rugosa. J Food Lipids 13: 73-87. Zeb A, Murkovic M. 2011. Determination of thermal oxidation and oxidation products of β-carotene in corn oil triacylglycerols. Food Res Int. doi:10.1016/j.foodres.2011.02.039.
7 PENGARUH METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU KIMIA DAN KOMPOSISI ASAM LEMAK MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus)* The effect of extraction method on the chemical quality and fatty acid composition of red fruit (Pandanus conoideus) oil Abstract Red fruit (Pandanus conoideus) oil has tradionally been used by native people of Papua. The most common extraction methods involve cooking of red fruits at high temperature for very long time which may causing deterioration of oil quality. The objective of this research was to study the effect of different extraction methods on the chemical quality (moisture content, free fatty acids (FFA), iodine value, peroxide value, total carotenoid and total tocopherol) and fatty acid composition of red fruit oil. Extraction methods studied were (i) wet (with water addition) and (ii) dry (additional water addition) extraction methods, Folch extraction method was used as a method of reference. The results showed dry extraction method produced significantly (P <0.05) better chemical quality of the resulted red fruit oil as compared to that of wet extraction method, especially with respect to the lower level of FFA, higher level of total carotenoids and total tocopherols, but the same quality with regards to its moisture content and peroxide value. The method of extraction of red fruit with a dry or wet method does not affect the chemical properties of the oil indicated by the fatty acid composition and iodine values were not significantly different (P <0.05) with the Folch method. The critical step for red fruit oil extraction is associated with heat treatment during extraction, at which the presence of water, temperature, and time of processing are identified as critical factors. Keywords: red fruit (Pandanus conoideus) oil, dry extraction, chemical quality, chemical properties, carotenoid and tochoplerol. Pendahuluan Buah merah (Pandanus conoideus) secara tradisional digunakan sebagai sumber minyak oleh masyarakat Papua. Menurut Murtiningrum et al. (2012), kandungan lemak buah merah bervariasi, berkisar 11,2-30,7% (bk). Minyak buah merah mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh, terutama asam oleat, linoleat, linolenat dan palmitoleat, serta berbagai komponen minor aktif yang meliputi αkaroten, β-karoten, β-kriptosantin, α-tokoferol serta komponen fenol (Murtiningrum et al. 2005; Surono et al. 2008; Rohman et al. 2012; Rohman et al. 2010). Minyak buah merah juga terbukti berkhasiat bagi kesehatan secara in vivo, yaitu menghambat tumor dan membunuh sel kanker (Mun‘im et al. 2006; Moeljopawiro et al. 2007; Surono et al. 2008), antiinflamasi dan meningkatkan sel imun (Khiong et al. 2009), menurunkan gula darah tikus (Rattus norvegicus) diabetik (Winarto et al. 2009), dan meningkatkan fertilitas (Rifki 2009). Oleh karena itu minyak buah merah sangat berpotensi dikembangkan sebagai bahan (ingredient) pangan fungsional. * Makalah telah diterima untuk terbit pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian, volume 24 tahun 2014.
83
Namun kandungan komponen aktif minyak buah merah tersebut sangat mudah mengalami perubahan selama proses ekstraksinya sehingga mempengaruhi kualitasnya (Andarwulan et al. 2006). Disamping itu karakteristik fisik, kimia dan fungsional minyak sangat ditentukan oleh komposisi asam lemaknya (Scrimgeour 2005). Dilaporkan pula bahwa metode ekstraksi minyak buah merah mempengaruhi komposisi asam lemaknya (Andarwulan et al. 2006; Pohan dan Wardayani 2006). Tabel 1. Kajian metode ekstraksi buah merah yang telah dilakukan. Metode Ekstraksi
Basah (dengan penambahan air)
Kering (tanpa penambahan air, dikombinasi dengan pengempaan hidrolik)
Tahapan Ekstraksi Pemasakan buah merah (dengan penambahan air, rasio air:buah 1:2) selama 1 jam, pemisahan pasta buah merah dan pemasakan pasta 1 jam. Pengukusan buah (dengan penambahan air, rasio buah:air 1:2) selama 30 menit, pemisahan pasta, pemasakan pasta 45 menit, kemudian disentrifugasi. Pengukusan dalam otoklaf 100oC (dengan penambahan air, rasio buah:air 1:2) selama 15 menit, pemisahan biji dan pasta, pasta dikempa secara hidrolik dan disentrifugasi. Pemasakan buah merah (dengan penambahan air, rasio buah:air = 1:4) selama 30 menit dan pasta dikempa (jack pres) Ekstraksi kering: pengukusan buah (tanpa penambahan air) 30 menit, dilumatkan (menggunakan blender) dan dikempa secara hidrolik Pengukusan buah (tanpa penambahan air) dengan otoklaf (120oC) 30 menit, diikuti pengempaan dan sentrifugasi. Pengukusan buah (tanpa penambahan air) dengan otoklaf (120oC) 60 menit, diikuti pengempaan dan sentrifugasi.
Hasil
Peneliti
Rendemen 15,9 % (bk) Asam lemak bebas (ALB) 20,5% Bilangan peroksida 4,4 mg O2/100g Bilangan iod 63,1 Rendemen 20% ALB 0,57% Bilangan peroksida 2,31 mg O2/100g Bilangan iod 55,4
Murtiningrum et al. (2005)
Rendemen 18% ALB 0,09% Bilangan peroksida 0,16 mg O2/100 g Bilangan iod 67,8
Andarwulan et al. (2006)
Rendemen 4,6% ALB 6,96%
Pohan dan Wardayani (2006)
Rendemen 10,2% ALB 2,8%
Pohan dan Wardayani (2006)
Rendemen 32,5 %
Lubis et al. (2012)
Rendemen 35,0%
Lubis et al. (2012)
Andarwulan et al. (2006)
Secara umum, ekstraksi minyak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak, bisa dilakukan dengan menggunakan tiga metode utama, yaitu (i) rendering atau pemanasan; yaitu dengan cara pemasakan dengan penambahan air (wet rendering) dan pengukusan tanpa penambahan air (dry rendering), (ii) pengempaan; baik dengan menggunakan kempa hidrolik (hydraulic press) maupun
84
kempa ulir (screw press), dan (iii) ekstraksi pelarut (solvent extraction) (Johnson 2002). Secara tradisional, metode ekstraksi minyak buah merah yang umum digunakan oleh masyarakat maupun produsen lokal di Papua adalah ekstraksi basah dengan proses pemasakan pipilan buah. Pemasakan biasanya dilakukan dengan penambahan air (rasio buah dan air 1:2-4) dalam waktu yang cukup lama, berkisar antara 5-30 jam (Limbongan dan Malik 2009), sehingga bisa menyebabkan terjadinya kerusakan minyak oleh panas, air berlebih, udara dan cahaya, yang berakibat pada penurunan kualitas minyak buah merah yang dihasilkan. Metode ekstraksi yang beragam, dengan parameter proses yang juga beragam, telah menyebabkan berbagai peneliti melaporkan kualitas minyak buah merah yang berbeda-beda (Andarwulan et al. 1996; Murtiningrum et al. 2005; Pohan dan Wardayani 2006; Lubis et al. 2012) sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa ekstraksi basah dengan waktu proses pemanasan sekitar 2 jam, menghasilkan minyak buah merah dengan asam lemak bebas (ALB) yang tinggi yaitu 20,5% (Murtiningrum et al. 2005). Pengurangan waktu pemanasan dalam pemasakan buah merah serta aplikasi tekanan uap (otoklaf) dapat menurunkan ALB minyak buah merah yang dihasilkan (Andarwulan et al. 2006; Pohan dan Wardayani 2006). Selanjutnya, Pohan dan Wardayani (2006) melaporkan bahwa ekstraksi minyak buah merah dengan cara kering (meliputi tahapan pengukusan yang diikuti dengan pengempaan/jack pres) dapat menurunkan ALB dan meningkatkan rendemen minyak buah merah dibandingkan dengan ekstraksi basah. Ekstraksi minyak buah merah menggunakan metode basah lebih banyak digunakan oleh masyarakat dengan alasan mudah dan hanya memerlukan peralatan sederhana. Namun demikian, metode ekstraksi kering dikombinasikan dengan pengempaan perlu dikembangkan, terutama untuk aplikasi pada industri pengolahan minyak buah merah. Oleh karena itu perlu dilakukan optimalisasi tahapan ekstraksi buah merah baik dengan cara basah maupun cara kering agar menghasilkan minyak yang berkualitas baik sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah oleh masyarakat. Perbedaan utama dari ekstraksi minyak buah merah cara basah dan cara kering adalah pemasakan buah dengan penambahan air (ekstraksi basah) dan pengukusan buah tanpa air dengan tekanan uap (otoklaf) diikuti dengan pengempaan (ekstraksi kering). Fauzi dan Sarmidi (2010) melaporkan bahwa sterilisasi selama 40 menit meningkatkan rendemen minyak sawit, namun meningkatkan pula jumlah kehilangan total β-karoten, dimana kehilangan total β-karoten terendah diperoleh pada proses sterilisasi selama 20 menit. Lubis et al. (2012) juga melaporkan (Tabel 1) bahwa peningkatan
lama pengukusan pada suhu 120 oC dari 30 menit menjadi 60 menit akan meningkatkan rendemen minyak buah merah dari 32,5% ke 35,0%. Dalam kajian ini penentuan tahapan ektraksi basah mengacu pada laporan Murtiningrum et al. (2005) dan Andarwulan et al. (2006), yaitu pemasakan pipilan buah merah dengan perbandingan buah:air 1:2 selama 20 menit, dilanjutkan pemisahan pasta (campuran daging buah dan air) dari biji, pemanasan pasta selama ±1 jam sampai minyak terekstrak sempurna, dan pada tahap akhir dilakukan pemisahan minyak secara sentrifugasi. Sedangkan tahapan ekstraksi kering dilakukan dengan mengacu Lubis et al. (2012), dimana buah merah dikukus dengan otoklaf pada suhu 120oC selama 20 menit. Setelah pengukusan, buah merah dikempa menggunakan kempa hidrolik dan hasil kempaan dipisahkan melalui proses sentrifugasi.
85
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh metode ektraksi basah dan kering terhadap sifat kimia minyak buah merah yang dihasilkan, dengan menggunakan minyak buah merah hasil ekstraksi menggunakan pelarut sebagai pembanding. Selain itu, terhadap minyak buah merah yang dihasilkan juga dilakukan analisis komposisi asam lemak, total karotenoid, dan total tokoferol. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah buah merah dengan nama lokal Monsor yang diperoleh dari Kebun Percobaan Universitas Negeri Papua (UNIPA)Manokwari. Buah merah yang digunakan adalah buah segar yang dipanen pada tingkat kematangan optimal yang ditandai dengan bulir buah telah berisis penuh (bernas), berwarna merah tua, daun seludang terbuka dan 50% telah mengering. Buah merah diperam pada suhu kamar selama 2 hari sebelum diekstrak, untuk melunakkan daging buah dan memudahkan proses pemipilan. Bahan kimia yang digunakan adalah berbagai bahan kimia dengan analytical grade untuk analisa kadar asam lemak bebas (ALB), bilangan iod, bilangan peroksida, komposisi asam lemak, total karotenoid dan total tokoferol. Peralatan yang digunakan meliputi alat ekstraksi minyak buah merah yaitu timbangan, otoklaf, hydrolic press, rotary evaporator, sentrifus, kompor gas dan botol kaca (warna gelap/coklat). Sedangkan peralatan untuk analisis minyak buah merah antara lain timbangan analitik, oven, hot plate, water bath, alat titrasi, spektrofotometer (Shimadzu UV-2450, Kyoto, Jepang), gas kromatografi (GC-2100 Series, Shimadzu Co., dengan kolom DB-23 (30 m x 0,25 mm) dan ketebalan 0,25 μm, detektor Flame Ionization, monitor Hawlett Packard Panel dan microliter syringe 10 μl), serta peralatan gelas lainnya. Ekstraksi Minyak Buah Merah Ekstraksi basah. Pipilan buah merah (±500g) ditambahkan air dengan perbandingan buah dan air 1:2, dan dimasak menggunakan kompor gas, sampai mendidih dan kemudian dipertahankan selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan pemisahan biji dan daging buah dengan cara pengadukan dan penyaringan. Campuran daging buah dan air (pasta) dimasak sampai mendidih selama ± 60 menit sampai minyak terekstrak sempurna. Ekstrak dikumpulkan dan dilakukan pemisahan fase minyak dan air dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit, minyak yang dihasilkan dikemas dalam botol gelap. Ekstraksi kering. Pipilan buah merah (±300g) dipanaskan menggunakan otoklaf sampai mencapai suhu 120 oC (tekanan 14,9 Psi), dan kemudian dipertahankan selama 20 menit. Pemanasan dihentikan dengan membuka katup otoklaf dan mematikan sumber panasnya, dan kemudian pipilan buah merah dikeluarkan dari otoklaf. Pipilan buah merah yang telah dimasak kemudian dikempa dengan alat kempa hidrolik (hydrolic press). Minyak kasar yang terekstrak kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit. Minyak yang diperoleh selanjutnya dikemas dalam botol gelap. Ekstraksi pelarut (Folch et al. 1957). Sekitar 12 g daging buah merah dimaserasi yaitu direndam dalam 80 ml pelarut campuran kloroform dan methanol (2:1) selama 1 jam dan diaduk dengan pengaduk magnet. Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum. Kemudian,
86
sebanyak 16 ml NaCl 0.88% ditambahkan kedalam larutan hasil penyaringan, dan selanjutnya dilakukan pemisahan dengan labu pisah untuk mendapatkan fase minyak. Sisa-sisa pelarut pada fase minyak diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 oC. Analisis mutu kimia Mutu kimia minyak buah merah dianalisis terhadap kadar air menggunakan metode oven (AOAC 2005), ALB ditentukan berdasarkan metode titrasi (AOCS 2003) dan bilangan peroksida menggunakan metode asam asetat-chloroform (AOCS 2003). Pengukuran total karotenoid menggunakan metode Porim (2005) dan Knockaert et al. (2012) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 0,01 g minyak buah merah, ditambahkan 0,1% butylated hydroxytoluene (BHT) dan heksan dalam labu ukur 10 ml sampai tanda tera dan divortek. Selanjutnya absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm and 470 nm dengan menggunakan heksan yang ditambahkan 0,1% BHT sebagai blanko. Total karotenoid dihitung menggunakan rumus berikut.
A adalah absorbansi pada λ maksimal, volume adalah total volume larutan sampel, adalah extinction coefficient yaitu 2560 untuk β-karoten dalam heksan (Hart dan Scott 1995). Pengukuran total tokoferol menggunakan metode Wong et al. (1988). Sebanyak 0,01 g contoh dimasukan dalam labu takar 10 ml dan ditambahkan 5 ml toluen, 3,5 ml 2,2 bipiridin (0,07% w/v dalam etanol 95%), 0,5 ml FeCl3.6.H2O (0,2% w/v dalam etanol 95%). Larutan ditepatkan sampai 10 ml etanol 95%, lalu divorteks dan didiamkan selama 10 menit. Absorbansi larutan diukur pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 520 nm. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa sampel. Konsentrasi total tokoferol dihitung berdasarkan kurva standar α-tokoferol dibuat dengan cara yang sama pada kisaran 100-1500 ppm dalam toluen, dengan menggunakan rumus berikut. Keterangan : A = absorbansi sample M = gradient pada kurva standar W = berat sampel (g)
Analisis Komposisi Asam Lemak Analisa komposisi asam lemak minyak buah merah dilakukan dengan metoda esterifikasi triasilgliserida (Fatty Acid Methyl Esters) dan selanjunya dianalisis menggunakan gas kromatografi (AOCS 2003). Untuk mengkonfirmasi ketidakjenuhan asam-asam lemak minyak buah merah juga akan dilakukan pengukuran bilangan iod berdasarkan metode Wijs (AOAC 2005) Analisis Data Data hasil analisa minyak buah merah ditabulasi dan dianalisis secara statistik dengan Analisis Ragam, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan's
87
Multiple Range Test (DMRT) menggunakan Program Statistical Analysis Software (SAS) 9.1.3. Hasil dan Pembahasan Pada penelitian ini sifat kimia minyak buah merah yang dianalisis meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas (ALB), bilangan peroksida, bilangan iod, total karotenoid dan total tokoferol. Sifat kimia minyak buah merah hasil ekstraksi dengan 3 metode yang dipelajari pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Mutu kimia minyak buah merah hasil ektraksi basah, ekstraksi kering dan ekstraksi pelarut (kloroform-metanol). Metode ekstraksi minyak buah merah Sifat kimia minyak Ekstraksi Ekstraksi pelarut Ektraksi basah kering (kloroform-metanol) Kadar air (%) 0,21±0,002a 0,18±0,002a 0,17±0,001a ALB (%) 8,50±0,62a 7,24±0,41b 7,99±0,24ab a a Peroksida (mg O2/100g) 0,38±0,001 0,37±0,01 0,37±0,01a Total Karotenoid (mg/kg) 12.695±1291c 15.283±565b 19.439±491a c b Total Tokoferol (mg/kg) 1.304±81 1.499±20 1.614±29a *Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Kadar air Kadar air minyak buah merah hasil ekstraksi dari ke-3 metode tidak berbeda nyata (P<0,05) satu sama lain, berkisar antara 0,17-0,21%. Jika dibandingkan dengan air kadar air maksimum pada CPO (maksimal 0,5%, SNI 2006), dan minyak goreng (maksimal 0,3%, SNI 2002) maka kadar air minyak buah merah ini masih lebih rendah. Rendahnya kadar air minyak buah merah ini diduga disebabkan karena adanya proses sentrifugasi dalam proses ekstraksi ini cukup efektif memisahkan air, daging buah dan minyak. Adanya air dalam minyak dapat menyebabkan reaksi hidrolisis yang memicu kerusakan minyak, yang ditandai dengan meningkatkan kadar asam lemak bebas (Ngando et al. 2006), sehingga kadar air merupakan parameter penting dalam menentukan kualitas minyak. Asam lemak bebas (ALB) Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa metode ekstraksi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar ALB minyak buah merah. Kadar ALB tersebut berkisar 7,24-8,5% dengan nilai terendah yang diekstrak dengan cara kering. Kadar asam lemak bebas (ALB) mengindikasikan terjadinya reaksi hidrolisis minyak. Hidrolisis lemak dapat dipicu oleh adanya air dan aktivitas lipase pada buah (Ngando et al. 2006), yang dapat terjadi selama pasca panen maupun selama proses ekstraksi minyak. Kadar ALB minyak buah merah hasil ekstraksi cara kering secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan kadar ALB minyak hasil ekstraksi basah, tetapi tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan kadar ALB minyak yang diekstrak dengan pelarut. Prinsip metode ekstraksi basah minyak buah merah adalah pemanasan atau pemasakan buah dengan penambahan air (rasio buah dan air 1:2) pada suhu 100 oC selama 20 menit, selama pemasakan akan terjadi denaturasi protein (yang merupakan pengemulsi minyak dan air), sehingga fase minyak akan terpisah dari fase air.
88
Sedangkan pada proses ekstraksi kering, buah dipanaskan melalui proses pengukusan dengan otoklaf (tanpa air) pada suhu 120 oC selama 20 menit, sehingga terjadi inaktivasi enzim (lipase), pelunakan jaringan, denaturasi protein sehingga merusak diding sel sehingga minyak keluar dari sel, peningkatan viskositas minyak, sehingga dengan pengempaan secara hidrolik minyak akan terekstrak dari jaringan buah. ALB pada dasarnya tidak terdapat dalam minyak atau lemak pada jaringan hidup, namun dapat terbentuk oleh enzim (lipase) setelah pemanenan buah melalui reaksi hidrolisis ikatan ester pada lemak (lipolisis), dan dengan adanya pemanasan dan air (Ngando et al. 2006). Dalam metode ekstraksi kering, tidak dilakukan penambahan air sehingga reaksi hidrolisis dapat diminimalisasi, dibandingkan dengan ekstraksi basah yang menggunakan air sebagai media pemanasan, sehingga memungkinkan terjadinya hidrolisis selama proses pengolahannya. Kadar ALB minyak buah merah yang dilaporkan ini (7,24-8,5%) juga lebih rendah dibandingkan dengan kadar ALB minyak buah merah hasil ekstraksi secara tradisional (ekstraksi basah), yaitu 20,5% (Murtiningrum et al. 2005) sampai 21,9% (Andarwulan et al. 2006). Perbedaan ini disebabkan karena tahapan ekstraksi kering yang digunakan dalam kajian ini lebih efektif dan waktu proses ekstraksi dalam kajian ini jauh lebih singkat sehingga reaksi hidrolisis menghasilkan ALB dapat direduksi. Dilaporkan bahwa pemasakan yang dilakukan oleh Murtiningrum et al. (2005) adalah selama ±2 jam, dan Andarwulan et al. (2006) selama lebih dari 24 jam. Lebih lanjut Andarwulan et al. (2006) juga melaporkan bahwa pengurangan waktu pemasakan akan mampu menurunkan ALB, walaupun rendemen minyak akan menurun. Dengan demikian ALB minyak buah merah sangat dipengaruhi oleh tahapan yang digunakan dalam metode ekstraksi, tahapan ekstraksi serta aplikasi suhu, waktu dan pengempaan. Jika dibandingkan dengan kadar ALB maksimal pada CPO (0,5%; SNI, 2006) maka kadar ALB minyak buah merah yang dihasilkan dari penelitian ini masih sangat tinggi. Mengacu pada batas masksimum kadar ALB pada minyak goreng (SNI, 2002), maka minyak buah merah ini masih memerlukan proses pemurnian, sehingga paling tidak akan mencapai kadar ALB maksimum 0,3%. Pemurnian minyak kasar dapat dilakukan baik secara kimia maupun fisik tergantung tujuan atau produk akhir, namun umumnya melalui 4 tahapan yaitu degumming, netralisasi, bleaching, dan deodorisasi (Lin dan Koseoglu 2005; Basiron 2005). Murtiningrum (2004) melaporkan bahwa pemurnian minyak buah merah (ekstraksi basah) secara konvensional dengan tahapan degumming (0.2% H2PO4), netralisasi (NaOH 16 oBe), pengkelatan (asam sitrat 0.005%), dan pemucatan (arang aktif 4%) dapat menurunkan kadar ALB dari 20,5% menjadi 0,28% dan bilangan peroksida dari 4,4 mg O2/100g menjadi 0,0, tetapi menurunkan kadar -karoten dari 123 ppm menjadi 0,66 ppm. Oleh karena itu kajian selanjutnya akan difokuskan pada optimasi tahapan pemurnian minyak dengan meminimalisasi kehilangan komponen aktifnya. Bilangan Peroksida (BP) Minyak buah merah hasil ke-3 metode ekstraksi yang dipelajari pada penelitian ini mempunyai bilangan peroksida (BP) berkisar 0,37-0,38 mg O2/100g, dan tidak berbeda nyata (P<0,05) satu sama lain (Tabel 2); nilai ini lebih rendah dari BP maksimum yang dipersyaratkan untuk minyak goreng (2 mg O2/100 g; SNI 2002). BP minyak buah merah dalam kajian ini juga lebih rendah dibandingkan
89
dengan laporan Murtiningrum et al. (2005), yang mengekstraksi minyak secara basah (4,4 mg O2/100g), dan Sarungallo et al. (2009), yang melaporkan minyak buah merah yang diekstrak secara tradisional dari Distrik Merdey (17,6 mg O2/100g). Perbedaan BP ini disebabkan terutama karena perbedaan lama proses pemasakan. Sebagaimana kadar ALB, rendahnya bilangan peroksida ini juga disebabkan karena waktu ekstraksi yang lebih pendek, dimana Murtiningrum et al. (2005) melakukan pemasakan selama lama ± 2 jam. Sementara itu, ekstraksi secara tradisional dari Merdey selain proses pemasakan buah merah selama 30-40 menit, kemudian dilakukan proses pelumatan dan pengempaan, yang memerlukan waktu sampai sekitar ±6 jam, kemudian dilanjutkan dengan pengendapan selama 24 jam (Sarungallo et al. 2009). Total waktu proses ektraksi yang mencapai lebih dari 30 jam inilah yang menyebabkan minyak buah yang dihasilkan mempunyai BP sangat tinggi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa dengan mempersingkat waktu ekstraksi, baik untuk ekstraksi kering maupun ekstraksi basah, mampu menurunkan tingkat kerusakan oksidatif, yang dinyatakan dengan menurunnya bilangan peroksida. Hal yang sama telah dilaporkan oleh Andarwulan et al. (2006) bahwa pengurangan waktu pemasakan buah dari 30 menit menjadi 15 menit dapat menurunkan BP minyak buah merah dari 2,31 mg O2/100g menjadi 0,16 mg O2/100g. Kandungan Karotenoid dan Tokoferol Minyak buah merah dikenal mempunyai kandungan karotenoid dan tokoferol yang sangat tinggi (Surono et al. 2008; Roreng dan Nishigaki 2013). Tabel 2 memperlihatkan total karotenoid dan tokoferol minyak buah merah yang dihasilkan pada penelitian ini. Terlihat bahwa ke-3 metode ekstraksi yang dipelajari, menghasilkan minyak buah merah dengan kandungan total karotenoid dan tokoferol yang berbeda nyata (P<0,05) satu sama lain. Menurut Wilska-Jeszka (2002), karotenoid dan tokoferol sangat sensitif terhadap oksigen, cahaya, suhu dan keasaman karena memiliki struktur dengan sistem ikatan rangkap terkonyugasi sehingga mengandung banyak elektron reaktif dan mudah teroksidasi. Minyak buah merah yang diekstrak dengan pelarut menghasilkan dengan kandungan karotenoid tertinggi yaitu sebesar 19.439±491 mg/kg, yang mengalami penurunan pada ekstraksi kering menjadi 15.283±565 mg/kg dan pada ekstraksi basah menjadi 12.695±1291 mg/kg. Tingginya total karotenoid pada minyak buah merah hasil ekstrak pelarut karena proses ekstraksinya dilakukan pada suhu kamar, sehingga kerusakan karotenoid dapat diminimalisasi. Sementara itu, pada minyak hasil ekstraksi kering mengalami penurunan kadar karotenoid sekitar 21% dari karotenoid ekstrak pelarut, lebih rendah dibandingkan dengan penurunan total karotenoid pada minyak hasil ekstrasi basah sebesar 35%. Phenomena yang sama terjadi untuk tokoferol (Tabel 2), dimana ekstraksi kering dan ekstrasi basah menyebabkan penurunan kadar total tokoferol, masing-masing, sebesar sekitar 7% dan 19% dari total tokoferol ekstrak pelarut sebesar 1614 mg/kg. Pohan dan Wardayani (2006) juga melaporkan bahwa ekstraksi kering buah merah menghasilkan minyak dengan kadar total karotenoid (10450 mg/kg) dan tokoferol (13650 mg/kg) lebih tinggi daripada minyak hasil ekstraksi basah yaitu berturut-turut 8960 mg/kg dan 11440 mg/kg. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstraksi kering (menggunakan otoklaf dilanjutkan dengan pengempaan) dapat lebih meminimalisasi hilangnya komponen
90
aktif buah merah, baik karotenoid maupun tokoferol, dibandingkan dengan ekstraksi basah (perebusan). Adanya air berlebih pada proses ekstraksi diduga akan memicu terjadinya reaksi hidrolisis dan oksidasi minyak sehingga meningkatkan laju kerusakan komponen karotenoid dan tokoferolnya. Dilaporkan pula bahwa proses pengolahan dengan menggunakan proses pemanasan, homogenisasi dan tekanan tinggi, dapat menyebabkan isomerisasi dan degradasi karotenoid beberapa produk pangan (Knockaert et al. 2012; Zeb 2012). Komposisi dan ketidak-jenuhan asam lemak minyak buah merah Komposisi asam lemak minyak buah merah hasil ekstraksi dari ke-3 metode diperlihatkan pada Tabel 3. Umumnya komposisi asam lemak minyak hasil ekstraksi secara basah maupun kering tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan ekstrak pelarut, kecuali beberapa asam lemak minor, yaitu asam lemak jenuh (C10 dan C18) dan asam lemak tidak jenuh (C18:3) dan komponen yang tidak diketahui. Tabel 3. Komposisi asam lemak dan bilangan iod minyak buah merah hasil dari ektraksi basah, ekstraksi kering dan ekstraksi pelarut (kloroformmetanol). Kadar asam lemak (g/100g minyak) minyak buah merah hasil tiga metode ekstraksi Komposisi asam lemak Ekstraksi pelarut Ektraksi basah Ekstraksi kering (kloroform:metanol) C8 0,02±0,001a 0,03±0,003a 0,03±0,001a C10 0,0025±0,0009b 0,0024±0,0001b 0,005±0,0001a C12 0,08±0,001a 0,10±0,011a 0,18±0,004a C14 0,08±0,006a 0,08±0,003a 0,12±0,005a Asam lemak jenuh C16 17,07±1,488a 16,82±1,28a 17,12±0,77a C18 0,75±0,095b 0,84±0,038b 1,18±0,12a C20 0,15±0,015a 0,12±0,005a 0,14±0,015a Total 18,13±1,40a 18,00±1,32a 18,78±0,87a C16:1 0,83±0,047a 0,80±0,004a 0,88±0,13a C18:1 59,35±0,766a 60,55±0,64a 60,04±3,86a MUFA* C20:1 0,22±0,015a 0,28±0,002a 0,21±0,030a Asam lemak Total 60,40±0,83a 61,63±0,64a 61,13±4,22a tidak C18:2 4,27±0,051a 5,27±0,79a 5,96±0,86a jenuh PUFA** C18:3 0,87±0,001b 1,14±0,01a 1,11±0,09a Total 5,14±0,050a 6,40±0,80a 7,08±1,03a Total 65,54±0,78a 68,04±1,44a 68,30±3,19a a b Unknown 1,59±0,081 0,22±0,019 0,34±0,045b Total asam lemak 85,26±0,54a 86,26±2,78a 87,42±2,36a Bilangan Iod 80,37±1,33a 80,95±0,99a 80,09±0,15a Ket: *MUFA : monounsaturated fatty acid **PUFA : polyunsaturated fatty acid ***Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
91
Secara umum, Tabel 3 menunjukkan bahwa minyak buah merah tersusun atas asam lemak jenuh (ALJ) berkisar 18,00-18,78 g/100g dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ) sekitar 65,57-68,3 g/100g. Komponen utama ALJ minyak buah merah adalah palmitat (C16:0) 16,82-17,12 g/100g, sedangkan komponen utama ALTJ yaitu asam oleat (C18:1) berkisar 59,35-60,55 g/100g, linoleat (C18:2) 4,27-5,96 g/100g, sedangkan linolenat (C18:3) 0,87-1,14 g/100g. Komposisi alam lemak buah merah (Tabel 3) ini mirip dengan hasil peneliti terdahulu yang melaporkan bahwa komposisi asam lemak minyak buah merah asal Jayapura (Papua) terdiri atas asam oleat, linoleat, palmitoleat dan palmitat, masing-masing sebesar 60,8 g/100g, 7,5 g/100g, 0,13 g/100g, dan 17,7 g/100g (Rohman et al. 2012). Tingkat ketidak-jenuhan asam lemak bisa juga dinyatakan dengan bilangan Iod (BI). Pengamatan terhadap perubahan BI dapat digunakan untuk mengikuti adanya kerusakan oksidatif, dimana proses oksidasi akan menyebabkan asam lemak tidak jenuh minyak sangat terdegradasi, yang ditunjukkan dengan menurunnya BI (Scrimgeour 2005; Basiron 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa minyak buah merah hasil ekstraksi basah (pemasakan) maupun kering (pengukusan dan pengempaan) tidak menunjukkan BI yang berbeda nyata (P<0,05) dengan minyak hasil ekstraksi dengan pelarut (Tabel 3). Tingginya nilai BI minyak buah merah ini (sekitar 80 mg/100 g) sesuai dengan hasil analisis komposisi asam lemaknya (Tabel 3) yang didominasi oleh asam lemak tidak jenuh dan tidak menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) antar perlakuan, dan menunjukkan bahwa ketidak-jenuhan minyak buah merah yang dihasilkan masih tinggi. Andawulan et al. (2006) melaporkan bahwa ektraksi minyak buah merah secara tradisional (pemasakan pasta 3 jam dan pengendapan minyak 24 jam) akan memiliki BI 42,6 g/100 g, dimana nilai BI ini dapat ditingkatkan menjadi 67,8 g/100 g dengan pemanasan menggunakan otoklaf (100 oC, 15 menit) dan dilanjutkan dengan pengempaan. Nilai BI minyak buah merah pada penelitian ini lebih tinggi daripada nilai BI yang dilaporkan Andawulan et al. (2006) sebesar 67,8 g/100, maupun Murtiningrum et al. (2005) sebesar 63,12 g/100g. Perbedaan ini dapat disebabkan karena perbedaan klon buah merah serta tahapan proses dan waktu yang digunakan selama ekstraksi. Lebih lanjut, Tabel 3 memperlihatkan pula bahwa minyak hasil ekstraksi basah mempunyai kadar komponen yang tidak diketahui paling tinggi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa penggunaan panas dalam ekstraksi basah dapat menyebabkan asam lemak tidak jenuh lebih mudah terdegradasi sehingga menghasilkan komponen yang tidak teridentifikasi, seperti aldehid, keton, alkohol dan asam organik rantai pendek (Atinafu dan Bedemo 2011). Dugaan ini juga diperkuat dengan laporan dari Andarwulan et al. (2006) yang menyatakan bahwa persentasi ALTJ minyak buah merah hasil ekstraksi basah menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan. Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Caponio et al. (2006), yang mengamati bahwa pemanasan beberapa minyak nabati (minyak zaitun virgin, minyak bunga matahari dan minyak kacang) dengan oven biasa maupun oven microwave pada suhu 70-230oC selama 15-45 menit, menyebabkan kadar ALTJ menurun. Tingginya kandungan ALTJ (yang juga dinyatakan dengan tingginya BI) pada minyak buah merah juga dapat mengindikasikan bahwa tahapan dalam ekstraksi yang dilakukan (baik ekstraksi kering maupun ekstraksi basah) sudah dapat meminimalisasi terjadinya oksidasi ALTJ.
92
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kualitas kimia minyak buah merah yang dihasilkan dengan metode ekstraksi kering secara nyata (P<0,05) lebih baik dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dengan metode ekstraksi basah, yang ditunjukkan oleh kadar asam lemak bebas (ALB) yang lebih rendah, serta kadar total karotenoid dan tokoferol yang lebih tinggi, namun memiliki kualitas yang sama pada kadar air dan nilai peroksida. Tahapan yang diaplikasikan dalam metode ekstraksi minyak buah merah baik dengan cara kering maupun basah ini dengan waktu ekstraksi yang relatif pendek (20 menit) tidak mempengaruhi sifat kimia minyak yang dinyatakan oleh komposisi asam lemak dan bilangan iod yang tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan ekstrak metode Folch. Faktor kritis untuk proses ekstraksi minyak buah merah terletak pada tahap pemanasan, dimana parameter yang perlu dikendalikan adalah keberadaan air, suhu dan lama proses. Saran Kajian selanjutnya difokuskan pada upaya penurunan kadar asam lemak bebas minyak melalui optimasi tahapan proses pemurnian minyak mentah buah merah yang diekstraksi secara kering, dengan meminimalisasi kehilangan komponen aktifnya. Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan dana penelitian melalui Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) tahun 20092013. Daftar Pustaka Andarwulan N, Palupi NS, Susanti. 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L.). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), Yogyakarta, Indonesia. 2-3 Agustus 2006. [AOCS] American Oil Chemists' Society. 2003. Official Methods and Recommended Practices of the AOCS. 5th ed. Champaign, Illinois: AOCS. [AOAC] Association of Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Wahington DC:AOAC. Atinafu DG and Bedemo B. 2011. Estimation of Total Free Fatty Acid and Cholesterol Content in Some Commercial Edible Oils in Ethiopia, Bahir DAR. J Cereal Oil Seeds. 2 (6): 71-76. Basiron Y. 2005. Palm Oil. Di dalam Shahidi F (ed.), Edible Oil and Fat Products: Edible Oils. Volume 2. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Sixth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Ltd. Caponio F, A Pasqualone and T Gomes. 2003. Changes in the fatty acid composition of vegetable oils in model doughs submitted to conventional or microwave heating. Int J Food Sci Technol. 38: 481-486.
93
Johnson LA. 2002. Recovery, Refining, Converting, and Stabilizing Edible Fats and Oils. Di dalam Akoh CC dan Min DB (ed.), Food Lipids-Chemistry, Nutrition, and Biotechnology. New York: Marcel Dekker, Inc. Fauzi NAM dan Sarmidi MR. 2010. Extraction of Heat Treated Palm Oil and Their Stability on β-carotene During Storage. J Sci Technol. 2 (1): 45-54 Folch J, Lees M, Sloane-Stanley GH. 1957. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissues. J Biol Chem. 226: 497-509. Hart DJ dan Scott KJ. 1995. Development and evaluation of an HPLC method for the analysis of carotenoids in foods, and the measurement of the carotenoid content of vegetables and fruits commonly consumed in the UK. Food Chem. 54: 101-111. Karabulut I. 2010. Effects of α-tocopherol, β-carotene and ascorbyl palmitate on oxidative stability of butter oil triacylglycerols. Food Chem. 123: 622-627. Khiong K, Adhika OA, Chakravitha M. 2009. Inhibition of NF-κB Pathway as the Therapeutic Potential of Red Fruit (Pandanus conoideus Lam.) in the Treatment of Inflammatory Bowel Disease. JKM (Jurnal Kedokteran Maranatha). 9 (1): 69-75. Knockaert G, Lemmens L, Van-Buggenhout S, Hendrickx M, Van-Loey A. 2012. Changes in β-carotene bioaccessibility and concentration during processing of carrot puree. Food Chem. 133: 60-67. Limbongan J dan Malik A. 2009. Peluang Pengembangan Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk) di Provinsi Papua. Jurnal Litbang Pertanian 28 (4): 134141. Lin L, Koseoglu SS. 2005. Membrane Processing of Fats and Oils. Di dalam Shahidi F (ed.), Edible Oil and Fat Products: Processing Technologies. Volume 5. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Sixth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Ltd. Lubis EH, Wijaya H, Lestari N. 2012. Mempelajari ekstraksi dan stabilitas total karotenoid, dan α- dan β-cryptoxanthin dalam esktrak buah merah (Pandanus conoideus Lamk). Jurnal Riset Tek Ind. 6 (12): 126-140. Moeljopawiro S, Anggelia MR, Ayuningtya D, Widaryanti B, Sari Y, Budi IM. 2007. Pengaruh Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk) terhadap Pertumbuhan sel Kanker Payudara dan Sel Kanker Usus Besar. Berkala Ilmiah Biologi, 6 (2): 121-130. Mun‘im A, Andrajati R, Susilowati H. 2006. Uji Hambatan Tumorigenesis Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Tikus Putih Betina yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz(A)Antrasen (Dmba). Majalah Ilmu Kefarmasian 3 (3): 153-161. Murtiningrum. 2004. Ekstraksi Minyak dengan Metode Wet Rendering dari Buah Merah (Pandanus conoideus L.) dan Pemurnian dengan Filtrasi Membran. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Murtiningrum, Ketaren S, Suprihatin, Kaseno. 2005. Ekstraksi Minyak dengan Metode Wet Rendering dari Buah Merah (Pandanus conoideus L.). J Tek Ind Pert. 15: 28-33. Murtiningrum, Sarungallo ZL, Mawikere NL. 2012. The exploration and diversity of red fruit (Pandanus conoideus L.) from Papua based on its physical characteristics and chemical composition. J Biol Diversity. 13 (3): 124-129.
94
Ngando EGF, Dhouib R, Carriere F, Zollo PHA, Arondel V. 2006. Assaying lipase activity from oil palm fruit (Elaeis guineensis Jacq.) mesocarp. Plant Physiol Biochem. 44: 611-617. Pohan HG dan Wardayani NIA. 2006. Mempelajari Proses Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L). IHP (Warta Industri Hasil Pertanian) 23 (2): 26-41. PORIM. 2005. PORIM Test Methods. Malaysia: Palm Oil Research Institute of Malaysia; Ministry of Primary Industries. Rifki. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Merah (Pandanus Conoideus) terhadap Jumlah dan Motilitas Spermatozoa Mencit (Mus Musculus). [Skripsi]. Semarang: Universitas Islam Sultan Agung. Rohman A, Riyanto S, Yuniarti N, Saputra WR, Utami R, Mulatsih W. 2010. Antioxidant activity, total phenolic, total flavanoid of extracts and fractions of red fruit (Pandanus conoideus Lam). IFRJ. 17: 97-106. Rohman A, Sugeng R, Che Man YB. 2012. Characterizaton of red fruit (Pandanus conoideus Lam) oil. IFRJ. 19 (2): 563-567. Roreng MK dan Nishigaki T. 2013. Buah Merah dan Penduduk Papua. IHP (Warta Industri Hasil Pertanian) 30 (1): 1-8. Sarungallo ZL, Murtiningrum, Paiki SNP. 2009. Sifat Fisikokimia Minyak Kasar dan Hasil Degumming dari Buah Merah (Pandanus conoideus L.) yang diekstrak secara Tradisional Merdey. J Agrotek 1(6): 9-15. Scrimgeour C. 2005. Chemistry of Fatty Acids. Di dalam Shahidi F (ed.), Edible Oil and Fat Products: Chemistry, Properties, and Health Effects. Volume 1. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Sixth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Ltd. [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2901-2006. 2006. Minyak kelapa sawit. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-3741-2002. 2002. Minyak goreng. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Surono I, Endaryanto TA, Nishigaki T. 2008. Indonesian Biodiversities, from Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. J Fac Agric Shinshu Univ. 44 (1.2): 23-27. Wilska-Jeszka J. 2002. Food Colorants. Di dalam Sikorski ZE, (ed.). Chemical and Functional Properties of Food Components, Second Edition. New York: CRC Press. P212-215. Winarto, Maduyan M, Anisah N. 2009. The effect of Pandanus conoideus Lam. oil on pancreatic β-cells dan glibenclamide hypoglycemic effect of diabetic wistar rats. Berkala Ilmu Kedokteran. 41: 11-19. Wong ML, Timms RE, Goh EM. 1988. Colorimetric determination of total tocopherols in palm olein and stearin. JAOCS. 65: 258-261. Zeb A. 2012. Oxidation and formation of oxidation products of β-carotene at boiling temperature. Chem Phys Lipids. 165: 277- 281.
8 PEMBAHASAN UMUM
Kualitas dan khasiat minyak buah merah tidak hanya ditentukan oleh kestabilan sifat fisikokimia dan komponen aktifnya, baik selama proses pengolahan maupun dalam penyimpanannya, namun juga oleh karakteristik sifat fisik buahnya. Keragaman klon-klon buah merah yang tumbuh menyebar di dataran Papua cukup tinggi sehingga memiliki karakteristik fisik buah dan sifat kimia minyak yang bervariasi. Dalam upaya pengembangan tanaman buah merah sebagai bahan baku industri, informasi karakteristik fisik buah dan sifat kimia minyak buah merah sangat diperlukan sebagai dasar dalam pengembangan produk berbasis buah merah, untuk identifikasi minyak, penentuan stabilitas dan aplikasinya dalam industri, serta untuk program pemuliaannya. Dalam penelitian ini buah merah yang dikarakterisasi terdiri dari 9 klon yang berasal dari 3 area budidaya di Papua yaitu distrik Minyambouw (Manokwari, Provinsi Papua Barat, kebun percobaan Universitas Negeri Papua (Manokwari, Provinsi Papua Barat) dan Distrik Koya (Jayapura, Provinsi Papua). Sifat fisik buah dan tanaman buah merah Indikator tingkat kematangan dan kualitas internal dan eksternal buah merupakan faktor penentu untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sangat dipengaruhi tujuan pengolahannya. Pemanfaatan buah merah selain sebagai bahan pangan, ekstrak minyak buah merah telah dikomersilkan sebagai suplemen kaya antioksidan untuk meningkatkan stamina dan menyembuhkan berbagai penyakit (Budi dan Paimin 2002). Dengan demikian parameter kualitas buah merah yang dibutuhkan oleh pasar meliputi kesegaran dan tingkat kematangan buah, ukuran panjang dan lebar buah; berat buah (daging buah, biji dan empulur); kadar lemak dan kadar asam lemak bebas; dan kandungan karotenoid dan tokoferol Karakteristik fisik buah dan tanaman dari 9 klon buah merah menunjukkan adanya variasi antar klon. Secara fisik buah utuh (cepallum) buah merah dapat digambarkan berbentuk silinder meruncing, dari pangkal membulat sampai ke tengah membesar atau mengecil sampai ke bagian ujung. Buah utuh buah merah terdiri dari kumpulan bulir (drupa) yang tersusun rapat dan menempel kuat pada empulur (pedicel), dan setiap bulir terdiri dari biji yang diselimuti oleh daging buah (pulp) yang berlemak. Rataan persentasi daging buah merah per buah utuh adalah 12% daging buah, 33% biji, dan 55% empulur. Daging buah dari buah merah merupakan bagian yang dikonsumsi, diolah dan diekstrak minyaknya. Perhitungan rendemen minyak dengan dasar perhitungan yang berbeda (berat daging buah atau berat total bulir) dan dengan basis (basis kering atau basis basah) akan menghasilkan nilai yang berbeda. Oleh karena itu bagian buah merah ini penting untuk ditetapkan sebagai dasar dalam perhitungan rendemen minyak, serta dinyatakan dalam basis kering untuk mengevaluasi efektivitas proses ekstraksi minyak buah merah. Karakter tanaman buah merah yang berperan dalam pembentukan buah adalah ukuran daun, yang mana klon dengan ukuran daun yang lebih kecil memiliki buah dengan ukuran yang lebih kecil (Menjib Rumbai dan Monsor), sedangkan ke-7
96
klon yang lain memiliki ukuran daun yang lebih besar sehingga menghasilkan buah dengan ukuran yang lebih besar. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya laju fotosintesis, karena pada daun yang lebih luas mengandung klorofil yang lebih banyak sehingga terjadi peningkatan jumlah karbon yang dapat diikat selama terkena cahaya matahari (Blanke dan Lenz 1989; Imani 2010). Komponen aktif minyak buah merah Minyak buah merah telah dilaporkan sebagai salah satu sumber karotenoid alami (Budi 2001; Andarwulan et al. 2006; Surono et al. 2008). Dalam kajian ini total karotenoid minyak buah merah dari klon yang berwarna merah berkisar 940919959 ppm, masih berada dalam kisaran total karotenoid minyak buah merah yang dilaporkan berbagai referensi yaitu 8960-21430 ppm (Tabel 2). Perbedaan ini dapat disebabkan karena perbedaan klon dan asal buah merah, metode ekstraksi dan metode analisanya. Dibandingkan dengan bahan pangan yang lain, total karotenoid minyak buah merah jauh lebih tinggi (Tabel 2). Tabel 2 Kadar total karotenoid minyak buah merah dibandingkan dengan beberapa bahan pangan lain. Jenis bahan pangan Total karotenoid α-karoten Referensi β-karoten Minyak buah merah (klon kuning)-ekstrak pelarut Minyak buah merah (klon merah-ekstrak pelarut Minyak buah merah (ekstraksi basah) Minyak buah merah (modifikasi ekstraksi basah) Minyak buah merah (modifikasi ekstraksi basah) Minyak buah merah (ekstraksi kering-kempa hidrolik) Minyak buah merah (produkkomersil) Minyak sawit mentah-CPO (varietas Elaeis Oleifera) CPO (varietas E. guineensis) CPO (hibrid E. Oleifera dan E. guineensis) CPO Ubi jalar kultivar kuning Ubi jalar kultivar oranye Wortel Wortel Ubi jalar-warna oranye Labu kuning Cabe hijau Kacang hijau Tomato Cabe merah *bk = basis kering - = data tidak tersedia
(ppm) 3027
(ppm) 66.9
(ppm) 66.9
9409-19959
10.8-118
10.8-118
12233
-
378
Budi (2001)
21430
-
4583
8960
-
605
10450
-
655
-
2-9
15-63
Andarwulan et al. (2006) Pohan dan Wardayani (2006) Pohan dan Wardayani (2006) Wada et al. (2013)
700-800
-
-
1430 2324
-
-
500-700 0.13-0.39 (bk)* 1.35-3.99 (bk)* 1283-1474
272-381 -
272-381 -
21.2 24.10 16.5 31 1130
25-49 3.8-9.0 -
55-103 14.4-33.1 -
Hasil penelitian (Bab 4)
Yap et al. (1997)
Sundram et al. (2003) Ishiguro et al. (2010) Knockaert et al. (2012) Heinonen (1990) Liu et al. (2009) Kandlakunta et al. (2008)
97
Mengacu pada pada kromatogram HPLC karotenoid minyak buah merah yang dihasilkan dalam kajian ini (Bab 4, Gambar 1) dan persentasi area puncaknya (Tabel 3), terlihat bahwa persentasi area puncak yang terdeteksi sebagai α-karoten, β-karoten, α-kriptosantin, dan β-kriptosan hanya sebesar 8.6%, sedangkan sekitar 91.7% merupakan komponen yang tidak diketahui. Pada Tabel 3 juga terlihat bahwa beberapa komponen yang tidak diketahui terdeteksi di awal kromatogram (puncak nomor 4, 5, 6, 7 dan 13) dengan kadar 9.2-23.7%, sehingga dapat diduga bahwa β-karoten bukan merupakan komponen utama dari karotenoid minyak buah merah. Sehingga dalam penelitian selanjutnya ditujukan untuk mengidentifikasi komponen karotenoid minyak buah merah secara lengkap. Tabel 3 Persentasi area puncak dari semua puncak dalam kromatogram-HPLC karotenoid minyak buah merah. Nomor puncak kromatogram
Komponen karotenoid
Area puncak*
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown α-cryptoxanthin β-cryptoxanthin Unknown Unknown α-carotene β-carotene
1,244,342 1,781,836 1,707,273 13,129,966 17,482,619 11,985,894 10,825,598 774,478 1,750,106 1,397,165 6,634,691 2,939,719 27,901,129 4,417,573 1,129,465 1,427,540 3,305,643 369,956 1,508,933 5,982,555
Persentasi puncak semua komponen dalam kromatogram (%) 1.1 1.5 1.5 11.2 14.9 10.2 9.2 0.7 1.5 1.2 5.6 2.5 23.7 3.8 1.0 1.2 2.8 0.3 1.3 5.1
*n=3
Komponen aktif lain yang terdeteksi pada minyak buah merah adalah tokoferol. Total tokoferol minyak buah merah yang dilaporkan peneliti terdahulu berkisar 10319-13650 ppm, lebih tinggi dibandingkan hasil dalam kajian ini (Tabel 4). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan klon, metode ekstraksi dan metode analisis yang digunakan. Sedangkan jika dibandingkan dengan minyak dan bahan nabati lain, kadar total tokoferol minyak buah merah relatif lebih tinggi (Tabel 4). Komposisi tokoferol minyak buah merah yaitu α-tokoferol yang dilaporkan peneliti sebelumnya berkisar 417-1368 ppm (Tabel 4), lebih tinggi dari yang dihasilkan dalam kajian ini sekitar 52-272 ppm, namun relatif setara dengan laporan Surono et al. (2008) yaitu 212 ppm. Minyak buah merah juga mengandung γtokoferol dengan kisaran 16-287 ppm. Dibandingkan dengan minyak nabati lain kandungan α-tokoferol minyak buah merah relatif lebih tinggi, sedangkan kadar γ-
98
tokoferol hanya klon Mbarugum yang memiliki kadar lebih tinggi dari minyak kedelai (Tabel 4). Berdasarkan data kromatogram tokoferol minyak buah merah (Gambar 1), terlihat bahwa terdapat komponen tokoferol lain yang terdeteksi pada waktu retensi 0.7-4.7 menit, yang persentasi area puncaknya disajikan pada Tabel 5. Persentasi area puncak yang terdeteksi sebagai α-tokoferol dan γ-tokoferol masing-masing sebesar 18.5% dan 8.7%, sedangkan sekitar 72.7% merupakan komponen yang tidak diketahui. Tabel 4 Kadar α-tokoferol dan γ-tokoferol minyak buah merah dibandingkan dengan minyak dan bahan pangan lain. Jenis bahan pangan Minyak buah merah (klon merah)-ekstrak pelarut Minyak buah merah (ekstraksi basah) Minyak buah merah (modifikasi ekstraksi basah) Minyak buah merah (modifikasi ekstraksi basah) Minyak buah merah (ekstraksi kering-kempa hidrolik) Minyak sawit
Total tokoferol (ppm) 1060-1728
α-tokoferol (ppm) 52-272
γ-tokoferol (ppm) 16-287
10319
-
-
Budi (2001)
10832
1368
-
Andarwulan et al. (2006)
11440
417
-
Pohan dan Wardayani (2006)
13650
453
-
Pohan dan Wardayani (2006)
600-1000
35-178
22-35
Minyak zaitun (extra virgin) Minyak zaitun Minyak zaitun (virgin) Minyak kedelai (refined)
177
163
-
84-464 829*
2-190 82-444 152*
1-29 247**
Minyak jagung (refined)
829
207
-
-
18.4-50.2
1.3-47.5
Ekstrak Anggur
Referensi Hasil penelitian (Bab 5)
Sambanthamurthi et al. (2000); Li et al. (2011); Adam et al. (2007) Gliszczyńska-Świgło et al. (2007) Firestone (2005) Beltra´n et al. (2010) *Gliszczyńska-Świgło et al. (2007); **Adam et al. (2007) Gliszczyńska-Świgło et al. (2007) Tangolar et al. (2011)
- = data tidak tersedia
Gambar 1 Kromatogram γ-tokoferol dan α-tokoferol minyak buah merah.
99
Terkait dengan komponen tokoferol lain pada kromatogram tersebut, Tan et al. (2009) melaporkan bahwa CPO-rendah asam lemak bebas mengandung γtokotrienol 570 ppm (± 44%) sebagai komponen utama dari total tokoferol (1293 ppm) diikuti α- tokotrienol (309,7 ppm), α- tokoferol (235.3 ppm) dan δ-tokotrienol (194,7 ppm). Disampin itu, Chen dan Bergman (2005) melaporkan pula bahwa waktu retensi tokoferol dan tokotrienol bekatul (ekstrak etanol) yang terdiri dari δtocotrienol, β, γ-tocotrienol, α-tocotrienol, β, γ-tokoferol dan α-tokoferol adalah berturut-turut 8, 5, 9, 10, 13,8, dan 15, dimana tokotrienol muncul lebih dulu pada kromatogram. Seperti halnya pada Gambar 2, kromatogram HPLC tokoferol buah merah, terdapat beberapa puncak yang tidak diketahui muncul diawal sebelum γtokoferol dan α-tokoferol yang dapat diprediksi sebagai isomer dari tokotrienol dan tokoferol lain. Oleh karena itu penelitian selanjutnya akan ditujukan untuk mengidentifikasi komponen tokoferol minyak buah merah secara lengkap. Tabel 5 Persentasi area puncak dari semua puncak dalam kromatogram-HPLC tokoferol minyak buah merah. Nomor puncak kromatogram
Komponen tokoferol
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
unknown unknown unknown unknown Unknown Unknown Unknown Unknown Unknown γ-tocopherol α-tocopherol
Area puncak* 669191 5804 9583 11048 61147 4241 27785 43321 106345 239242 112648
Persentasi puncak semua komponen dalam kromatogram (%) 51.9 0.4 0.7 0.9 4.7 0.3 2.2 3.4 8.2 18.5 8.7
Hasil analisis komponen aktif ini juga membuktikan bahwa minyak buah merah mengandung senyawa aktif yaitu karotenoid (3027-19959 ppm), tokoferol (1060-1728 ppm) dan fenol (90-742 ppm), yang merupakan antioksidan alami dengan kadar yang relatif lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain (minyak sawit dan minyak zaitun). Adanya komponen aktif tersebut juga mengkontribusi stabilitas minyak buah merah. Oleh karena itu, minyak buah merah dapat digunakan sebagai sumber antioksidan alami dan minyak nabati sebagai neutraceutical (suplemen, bahan/makanan fungsional). Hasil ini juga memperlihatkan bahwa setiap klon buah merah mengandung komposisi komponen aktif yang bervariasi sehingga dapat diintroduksi dan seleksi sebagai klon buah merah baru yang berpotensi sebagai sumber antioksidan alami seperti klon Monsor, Mbarugum, Himbiak, Memeri, Edewewits dan Menjib Rumbai. Profil asam lemak dan triasilgliserida (TAG) minyak buah merah Komposisi asam lemak dan triasilgliserida sangat mempengaruhi sifat fisik dan sifat kimia minyak dari ke-9 klon buah merah, yang didominasi oleh asam lemak tidak jenuh, dan sejalan dengan laporan Rohman et al. (2012) (Tabel 5).
100
Dibandingkan dengan minyak nabati lain (Tabel 5 dan Tabel 6) komposisi asam lemak dan TAG minyak buah merah menyerupai minyak zaitun. Tabel 5 Komposisi asam lemak minyak buah merah dibandingkan dengan minyak nabati lain. Asam Lemak (%) As. Lemak Jenuh: Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) As. Lemak Tak Jenuh: Palmitoleat (16:1) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3)
Minyak buah merah*
Minyak buah merah**
Minyak sawit***
Minyak zaitun****
Minyak Kedelai*****
15.67-21.27 0.17-2.68
20.05 0.18
39.9 4.04
8.5-15.3 2.1-2.5
14.04 4.07
0.64-2.70 63.50-73.42 5.23-16.55 0.95-1.65
0.15 68.8 8.5 0.17
0.21 35.99 14.53 -
0.7-1.6 62.5-78.0 8.3-16.6 0.8
23.27 52.18 5.63
- = tidak terdeteksi * Hasil penelitian **Rohman et al. (2012) ***Li et al. (2012) ****Firestone (2005)
Tabel 6 Komposisi triasilgliserida (TAG) minyak buah merah dibandingkan dengan minyak nabati lain. Jenis TAG (%) POP POO PPP PLO PLP OOO POS OPO SOO OLO PLL LOO LLO Total dari: UUU SUU SUS SSS
Minyak buah merah 7.0-10.21 24.23-31.08 1.32-1.57 3.72-14.3 1.2-2.2 26.84-39.81 1.21-1.54 1.77-4.21 7.23-17.43 1.40-4.66 -
Minyak sawit (Sundram et al. 2003) 20 20.5 6.9 6.6 6.4 5.3 3.5 1.9 1.8 1.7
Minyak zaitun (Firestone 2005) 5.1 22-26 8-16.2 23.2-39.9 0.5-0.8 4.3-5.1 -
1.8 -
13.3-16.0 2.4-10.6
37.77-47.65 38.45-46.84 9.21-12.42 1.32-1.57
9.52 37.53 42.68 9.57
51.4-56.1 39.0-42.5 1.4-1.8 -
- = tidak terdeteksi * P = palmitat; S = stearat; O = oleat; L = linoleat. **U = unsaturated; S : saturated; UUU (triunsaturates); SUU (diunsaturates); SUS (monounsaturate); SSS (UUU (trisaturates)
Walaupun komposisi asam lemak dan TAG minyak buah merah menyerupai minyak zaitun, data pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa kejenuhan dari struktur TAG, yaitu total UUU (triunsaturates) dari minyak buah merah (37.8-47.7%) lebih
101
rendah dari minyak zaitun (51.4-56.1). Perbedaan tersebut disebabkan karena minyak zaitun mengandung spesies LOO dan LLO yang tidak terdapat pada minyak buah merah. Sementara, Jahaniaval et al. (2000) melaporkan bahwa kadar total UUU minyak wijen berkisar 46,6%, relatif sama dengan minyak buah merah, namun jenis atau spesies TAG minyak wijen didominasi oleh OLL 17.9%, POL 14.6% dan OOP 13.1%. Dengan demikian, berdasarkan komposisi TAG-nya minyak buah merah memiliki sifat fungsional yang berbeda dengan minyak nabati lain. Menurut Scrimgeour (2005) dan Sundram et al. (2003), pola melelehnya (melting behavior) TAG secara umum dapat diperkirakan dari komposisi asam lemaknya, yaitu TAG yang kaya asam rantai panjang dan jenuh memiliki titik leleh tinggi, sedangkan yang memiliki polyunsaturated tinggi memiliki titik leleh yang rendah. Ditambahkan pula bahwa minyak dengan komposisi asam lemak yang sama dapat mempunyai perbedaan sifat fungsionalnya seperti kandungan lemak padat (solid fat content), bentuk polimorfis dan titik lelehnya sebagai akibat dari perbedaan komposisi TAG. Data profil lemak (komposisi asam lemak dan TAG) dari minyak buah merah yang dihasilkan ini dapat digunakan sebagai dasar untuk identifikasi minyak buah merah, serta untuk mendeteksi pemalsuan minyak buah merah dengan minyak lainnya. Principle component analysis (PCA) karakteristik fisik buah, komposisi karotenoid dan profil lemak minyak buah merah Hubungan antara ke-9 klon buah merah berdasarkan karakter fisik buah, komposisi karotenoid dan profil lemak minyak berdasarkan PCA, menghasilkan pengelompokan yang berbeda-beda. Umumnya ke-9 klon buah merah yang berasal dari 3 lokasi budidaya di Papua ini mengelompok berdasarkan kedekatan variabel yang dianalisis. Berdasarkan karakter fisik buah dan tanaman dari ke-9 klon buah merah membentuk 4 kelompok yang menyebar di 4 kuadran biplot PCA (kuadran I: klon Hibcau, Hityom dan Himbiak asal Distrik Minyambouw; kuadran II: klon Mbarugum asal Distrik Koya, Jayapura; kuadran III: klon Monsrus, Monsor dan Menjib Rumbai dan kuadran IV: klon Memeri dan Edewewits asal Kebun Percobaan UNIPA, Manokwari). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan tempat tumbuh sangat mempengaruhi sifat fisik buah dan tanaman buah merah. Pengaruh kondisi ekologi dan lingkungan budidaya juga dilaporkan mempengaruhi sifat fisik almond (Imani 2010) dan bawang putih (Volk dan Stern 2009). Sementara itu, hasil PCA yang didasarkan pada kadar karotenoid minyak dari 9 klon buah merah, menghasilkan 3 kelompok yaitu kelompok A yaitu Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus dan Memeri (dengan kadar total karotenoid, βkaroten dan β-kriptosantin yang lebih tinggi), didominasi klon yang tumbuh pada dataran rendah, kecuali Himbiak (Distrik Minyambouw); kelompok B yaitu Menjib Rumbai (kadar α-karoten dan α-kriptosantin lebih tinggi); dan kelompok C yaitu Edewewits, Hibcau dan Hityom (kadar total karotenoid lebih rendah) didominasi oleh klon dari dataran tinggi, kecuali Edewewits (Kebun Percobaan Unipa). Umumnya klon yang tumbuh pada dataran rendah cenderung dapat menghasilkan karotenoid lebih tinggi dibandingkan dataran tinggi. Hasil ini didukung oleh beberapa laporan yang menyatakan bahwa kadar karotenoid dipengaruhi oleh
102
beberapa faktor termasuk tahap perkembangan kematangan, lingkungan, stress atau kombinasinya. Ditambahkan pula bahwa karotenoid terdapat di daun dan batang tanaman yang berperan penting dalam proses fotosintesis dan melindungi terhadap kerusakan foto-oksidatif, yang kadarnya dalam kloroplas daun dipengaruhi oleh intesitas cahaya (Cazzonelli 2011; van de Berg et al. 2000; Khemvong dan Suvachittanont 2005). Dengan demikian pada daerah dataran rendah dengan suhu lingkungan yang relatif lebih panas dengan intensitas cahaya matahari lebih tinggi akan memicu tanaman memproduksi karotenoid. Karotenoid disintesis dalam plastida melalui jalur isoprenoid. Isoprenoid diturunkan dari isopentenyl difosfat (IPP) dan isomer dimethylallyl diphosphate (DMAPP). Pada tumbuhan tingkat tinggi, ada dua jalur yang mengarah ke pembentukan isoprenoid yaitu jalur asetat/mevalonat (MVA) dan 2C-methyl-Derythritol-4-phosphate (MEP). Tahap awal pada jalur MEP adalah kondensasi piruvate dan glyceraldehyde-3-phosphate menghasilkan 1-deoxy-D-xylulose-5phosphate (DXP) (Khamvong dan Suvachittanont 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa biosintesis karotenoid meliputi serangkaian tahapan, yaitu: 1) pembentukan asam mevalonat (produk dari metabolisme asam asetat) yang meningkatkan isopentenyl diphosphate, umumnya C5 prekursor dari semua isoprenoid alami, 2) pembentukan geranylgeranyl diphosphate, 3) pembentukan phytoene asiklik, 4) siklisasi untuk membentuk karoten alisiklik, dan 5) pembentukan xanthophylls (Velišek et al. 2007). Ditambahkan pula bahwa melalui kondensasi dua molekul geranylgeranyl diphosphate (adisi elektrofilik memberikan kation tersier), yang dikatalisis oleh phytoene sintase (EC 2.5.1.32) menghasilkan phytoene (15-cis7,8,11,12,7',8’,11',12'-octahydro-ψ,ψ-carotene), sebagai karoten pertama, yang terbentuk melalui senyawa cyclopropyl prephytoene diphosphate. Selanjutnya phytoene diisomerisasi oleh carotenoid isomerase menghasilkan turunan karotenoid lainnya (Velišek et al. 2007). Kadar karotenoid buah merah, selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, hasil PCA ini juga memperlihatkan bahwa beberapa klon buah merah dari dataran tinggi mengelompok pada Kelompok A (kadar karotenoid lebih rendah), demikian halnya pada Kelompok C (kadar karotenoid lebih tinggi) terdapat klon dari dataran rendah. Oleh karena itu kadar karotenoid buah merah tidak hanya dipengaruhi oleh lokasi tempat tumbuhnya, namun dapat juga dipengaruhi klon/genetik. Beberapa kajian juga melaporkan bahwa klon/kultivar mempengaruhi kadar karotenoid, seperti pada cabe merah (Me'ndez et al. 2000) dan wortel (Matějková dan Petříková 2010; Nicolle et al. 2004). Djelaskan pula bahwa kadar karotenoid dari tanaman dapat ditingkatkan dengan rekayasa genetika (Me'ndez et al. 2000; Nicolle et al. 2004). Hasil PCA berdasarkan kandungan asam lemak dan jenis triasilgliserida minyak dari 9 klon buah merah, menghasilkan 3 kelompok. Pada kelompok 1 (kuadran I) yaitu Hibcau dan Hityom yang dicirikan oleh tingginya C18:2, total PUFA, OLO, PLO, didominasi oleh klon yang tumbuh pada dataran tinggi (Distrik Minyambouw). Kelompok 2 (kuadran II) yaitu Mbarugum dan Edewewits dicirikan oleh C16:0 dan total SFC (saturated fatty acid content) terdiri dari klon asal dataran rendah. Sedangkan kelompok 3 (kuadran III dan IV) yaitu Memeri, Monsor, Menjib Rumbai, Himbiak, Monsrus dengan penciri utama C18:1, total MUFA dan OOO merupakan klon dari dataran rendah, kecuali Himbiak.
103
Umumnya klon buah merah yang tumbuh pada dataran tinggi mengandung asam lemak tidak jenuh tinggi (PUFA dan C18:2), sedangkan di dataran rendah mengandung asam lemak tidak jenuh tunggal (C18:1 dan MUFA) lebih tinggi. Perbedaan ini dapat diduga dipengaruhi oleh suhu lingkungan di daerah dataran tinggi lebih rendah dengan kelembaban yang lebih tinggi sehingga meningkatkan tingkat ketidakjenuhan lemak. Fenomena yang sama dilaporkan Esmaeili et al. (2012) serta Sadeghi dan Talaii (2002) bahwa suhu rendah disertai curah hujan dan kelembaban tinggi akan mengurangi kadar asam lemak jenuh (palmitat) dan meningkatkan asam lemak tidak jenuh minyak zaitun. Biosintesis asam lemak dalam tanaman terjadi dalam plastid melalui aktivitas fatty acid synthetase (FAS), yang diawali dengan pembentukan malonyl CoA. Mula-mula pada daun (kloroplas) energi cahaya dibutuhkan untuk menyediakan NADPH dan ATP (dari reaksi-terang fotosintesis) untuk aktivitas acetyl-CoA carboxylase (ACCase), untuk mengkonversi acetyl-CoA menjadi malonyl-CoA. Malonyl CoA ditransfer pada gugus ser-SH acyl carrier protein (ACP) melalui ikatan kovalen tioester. ACP adalah molekul protein kecil yang memiliki gugus prostetik 4’-phosphopantetheine dan terdapat gugus tiol (SH) pada ujungnya. Gugus prostetik 4’-phosphopantetheine pada ACP memiliki lengan yang lentur sehingga memudahkan asam lemak intermediet berinteraksi dengan gugus asil ketika terjadi perpanjangan rantai asam lemak. Selanjutnya gugus malonil dan gugus asil yang teraktifasi melakukan reaksi kondensasi menghasilkan satu molekul CO2 dan acetoacetyl-ACP. Acetoacetyl-ACP yang terbentuk pada tahap kondensasi kemudian mengalami reaksi reduksi gugus karbonil pada karbon C-3 membentuk D-β-hydroxybutyryl-ACP. Selanjuntya terjadi reaksi dehidrasi, yaitu satu molekul air dilepaskan dari karbon C-2 dan C-3 D-β-hydroxybutyryl-ACP membentuk ikatan ganda pada produknya trans-Δ2- butenoyl-ACP; dan tahap terakhir adalah reaksi reduksi ikatan ganda trans-Δ2- butenoyl-ACP membentuk butyryl-ACP. Keempat reaksi pada biosintesis asam lemak ini terus berulang sehingga menghasilkan jumlah karbon sekitar enam belas (asam palmitat) (Rawsthorne 2002). Oleh karena itu intensitas sinar dan suhu lingkungan sangat mempengaruhi sintesis asam lemak tanaman. Beberapa kajian melaporkan bahwa komposisi asam lemak zaitun dipengaruhi ketinggian lokasi budidaya (Esmaeili et al. 2012), curah hujan dan kelembaban (Sadeghi dan Talaii 2002). Walaupun ke-9 klon buah merah yang berasal dari 3 daerah budidaya dengan ketinggian dataran yang berbeda, namun tidak semua klon dari area budidaya yang sama mengelompok pada kelompok yang sama, seperti klon Edewewits dan Himbiak. Poiana dan Mincione (2004) juga melaporkan bahwa kandungan asam lemak minyak dari 9 kultivar zaitun yang bervariasi antar kultivar. Oleh karena itu perbedaan komposisi asam lemak dan TAG minyak dari 9 klon buah merah tidak hanya dipengaruhi lokasi tempat tumbuhnya tetapi juga oleh karakter genetik/klon. Pengaruh pemanasan terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah Kualitas minyak nabati sangat ditentukan oleh kandungan asam lemak bebasnya (ALB) yang sangat mudah teroksidasi menyebabkan ketengikan. Kadar ALB minyak (ekstrak pelarut) buah merah dari ke-9 klon berkisar 4.4-9.2%, yang diduga merupakan hasil hidrolisis lemak oleh lipase yang terdapat secara alami
104
dalam buah merah. Telah dijelaskan bahwa pada dasarnya ALB tidak terdapat dalam minyak atau lemak pada jaringan hidup, namun dapat terbentuk oleh lipase setelah buah dipanen melalui reaksi hidrolisis ikatan ester pada lemak yang dapat dipicu oleh adanya pemanasan dan tersedianya air, serta pada saat buah terluka atau memar (Nawar 1996; Ngando et al. 2013). Secara fisik buah merah yang dipanen pada saat matang, jika tidak segera diolah, selama proses pemeraman (lebih dari 2 hari) akan terjadi proses pelunakan buah dan bulir buah merah yang menempel pada empulur akan semakin merenggang sehingga perikarp atau daging buah antar bulir akan terbuka dan terkontak langsung dengan udara dan memicu aktivitas lipase. Kisaran suhu aktif lipase tanaman berkisar antara 20-38 oC (Pahoja dan Sethar 2002), sedangkan aktivitas lipase pada mesokarp sawit stabil pada kisaran suhu 20-50 oC (Ngando et al. 2006). Oleh karena itu pengendalian kadar ALB minyak buah merah dapat dilakukan dengan menginkatifkan lipase melalui aplikasi pemanasan suhu tinggi. Dalam kajian ini, peningkatan suhu (0-120 oC) dan waktu pemanasan (0-45 menit) menggunakan otoklaf dapat meningkatkan rendemen dan menurunkan kadar ALB minyak buah merah, namun menurunkan kadar total karotenoid dan total tokferol. Perlakuan pemanasan (otoklaf) pada 120 oC selama 20 menit efektif dalam menurunkan kadar ALB minyak buah merah sehingga mencapai kadar ALB yang tidak berbeda nyata dengan minyak buah merah yang diekstrak dengan pengempaan tanpa pemanasan. Pengujian aktivitas lipase menunjukkan bahwa buah merah (klon Monsor) secara alami mengandung enzim lipase dengan aktivitas 27.05 U/mg, yang dengan pemanasan pada suhu 100oC selama 5 menit dapat menurunkan aktivitasnya. Namun aktivitas lipase dalam jaringan buah merah tersebut masih ada sehingga dapat menghidrolisis lemak dalam daging buah selama proses ekstraksi dan meningkatkan kadar ALB minyak. Kajian ini juga mengindikasikan bahwa selama proses pemanasan (100-120 oC) menggunakan otoklaf pada awal pemanasan buah merah dapat terjadi peningkatan aktivitas lipase, dan dengan peningkatan waktu pemanasan dapat menginaktivasi lipase sehingga menghambat pembentuk ALB. Pengendalian pembentukan ALB minyak buah merah dapat dilakukan dengan penggunaan suhu tinggi 120 oC selama 20 menit. Metode Ekstraksi Minyak Buah Merah Buah merah diolah secara tradisional oleh masyarakat Papua sebagai sumber minyak dengan diekstrak menggunakan cara basah yaitu dengan pemasakan pipilan dan air dengan rasio buah dan air 1:2-4, selama kisaran waktu antara 5-30 jam (Limbongan dan Malik 2009). Lamanya pemanasan ini memungkinkan terjadinya kerusakan minyak buah merah oleh panas, air berlebih, udara dan cahaya, menyebabkan penurunan kualitas minyak yang diekstrak. Berbagai kajian perbaikan metode ekstraksi minyak buah merah yang telah dilaporkan (Andarwulan et al. 1996; Murtiningrum et al. 2005; Pohan dan Wardayani 2006; Lubis et al. 2012), menunjukkan bahwa ekstraksi kering dengan tahapan pengukusan diikuti proses pengempaan dapat menurunkan ALB dan meningkatkan rendemen minyak buah merah dibandingkan dengan ekstraksi basah. Namun umumnya ekstraksi basah yang banyak digunakan masyarakat karena lebih mudah dilakukan dengan peralatan sederhana. Sementara metode ekstraksi kering
105
dikombinasikan dengan pengempaan perlu dikembangkan terutama untuk aplikasi pada industri pengolahan minyak buah merah kedepannya. Berdasarkan kajian sebelumnya diketahui bahwa pemanasan buah merah maksimal dalam menginaktifkan lipase dengan kadar ALB terendah dicapai pada suhu otoklaf 120 oC selama 20 menit. Dalam kajian ini dievaluasi metode ektraksi minyak buah merah dengan ekstraksi basah maupun kering, dilakukan pemanasan awal selama 20 menit. Adapun pada metode ekstraksi basah, jumlah air yang digunakan diminimalisasi (rasio buah dan air 1:2) dengan waktu pemanasan 20 menit, dan dilanjutkan dengan pemasakan pasta selama 1 jam, sedangkan ekstraksi kering menggunakan pengukusan bertekanan (tanpa penambahan air) selama 20 menit yang dilanjutkan dengan pengempaan hidrolik. Metode ekstraksi kering ini dapat menghasilkan minyak buah merah dengan mutu yang lebih baik, yaitu dengan kadar ALB lebih rendah, kadar total karotenoid dan total tokoferol yang lebih tinggi. Namun, kedua metode ekstraksi tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air dan bilangan peroksida minyak buah merah yang dihasilkan. Dengan demikian aplikasi waktu pemanasanan dalam ekstraksi yang relatif singkat yaitu 20 menit, kedua metode ekstraksi ini mampu menghasilkan minyak buah merah dengan komposisi asam lemak dan bilangan iod yang mirip dengan minyak ekstrak pelarut (metode Folch). Adapun faktor kritis dalam ekstraksi minyak buah merah adalah proses pemanasan (suhu tinggi), dengan pengendalian penggunaan air, suhu, dan lama proses pengolahannya. Daftar Pustaka Adam SK, Sulaiman NA, Mat Top AG, Jaarin K. 2007. Heating Reduces Vitamin E Content in Palm and Soy Oils. Malaysian J Biochem Mol Biol. 15(2): 76-79. Andarwulan N, Palupi NS, Susanti. 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L.). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI), Yogyakarta, Indonesia. 2-3 Agustus 2006. Beltra´n G, Jime´nez A, del Rio C, Sa´nchez S, Martı´nez L, Uceda M, Aguilera MP. 2010. Variability of vitamin E in virgin olive oil by agronomical and genetic factors. J Food Comp Anal. 23: 633-639. Blanke MM, Lenz F. 1989. Fruit photosynthesis. Plant Cell Environ. 12:31-46. Bonnie TY, Choo YM. 1999. Oxidation and thermal degradation of carotenoids. J Oil Palm Res. 2(1):62-78 Budi IM, Paimin FR. 2005. Buah Merah. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Budi IM. 2001. Kajian Kandungan Zat Gizi dan Fisikokimia Berbagai Jenis Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L) Hasil Ekstraksi Secara Tradisional Di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Cazzonelli CI. 2011. Carotenoids in nature: insights from plants and beyond. Funct Plant Biol. 38: 833-847. Chen MH, Bergman CJ. 2005. A rapid procedure for analysing rice bran tocopherol,tocotrienol and g-oryzanol contents. J Food Comp Anal. 18:139151.
106
Esmaeili A, Shaykhmoradi F, Naseri R. 2012. Comparison of oil content and fatty acid composition of native olive genotypes in different region of Liam, Iran. Intl. J Agri Crop Sci. 4(8): 434-438. Firestone D. 2005. Olive oil. Di dalam Shahidi F (Ed.). Edible Oil and Fat Products: Edible Oils. Volume 2. 6th ed. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. New Jersey, USA: John Wiley & Sons. Gliszczyńska-Świgło A, Sikorska E, Khmelinskii I, Sikorski M. 2007. Tocopherol content in edible plant oils. Pol J Food Nutr Sci. 57 (4A): 157-161. Heinonen, M.I. 1990. Carotenoids and provitamin A activity of carrot (Daucus carota L.) cultivars. J Agric Food Chem. 38: 609-612. Imani A. 2010. Phenotypic Correlation between Some Nurserphelogical Traits among 60 Cultivars and the Genotypes of Almond. Int J Nuts Related Sci. 1(1): 30-37. Ishiguro K, Yoshinaga M, Kai Y, Maoka T, Yoshimoto M. 2010. Composition, content and anti-oxidative activity of the carotenoids in yellow-fleshed sweetpotato (Ipomoea batatas L.). Breeding Sci. 60: 324-329. Jahaniaval F, Kakuda Y, Marcone MF. 2000. Fatty Acid and Triacylglycerol Compositions of Seed Oils of Five Amaranthus Accessions and Their Comparison to Other Oils. JAOCS 77(8): 847-852. Kandlakunta B, Rajendran A, Thingnganing L. 2008. Carotene content of some common (cereals, pulses, vegetables, spices and condiments) and unconventional sources of plant origin. Food Chem. 106: 85-89. Khemvong S, Suvachittanont W. 2005. Molecular cloning and expression of a cDNA encoding 1-deoxy-D-xylulose-5-phosphate synthase from oil palm Elaeis guineensis Jacq. Plant Sci. 169: 571-578. Knockaert G, Lemmens L, Van-Buggenhout S, Hendrickx M, Van-Loey A. 2012. Changes in β-carotene bioaccessibility and concentration during processing of carrot puree. Food Chem.133: 60-67. Li R, Xia Q, Tang M, Zhao S, Chen W, Lei X, Bai X. 2012. Chemical composition of Chinese palm fruit and chemical properties of the oil extracts. African J Biotechnol. 11(39): 9377-9382. DOI: 10.5897/AJB11. 3604. Limbongan J, Malik A. 2009. Peluang Pengembangan Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk) di Provinsi Papua. J Litbang Pert. 28(4):134-141. Liu SC, Lin JT, Yang DJ. 2009. Determination of cis- and trans- α- and βcarotenoids in Taiwanese sweet potatoes (Ipomoea batatas Lam.) harvested at various times. Food Chem. 116:605-610. Lubis EH, Wijaya H, Lestari N. 2012. Mempelajari ekstraksi dan stabilitas total karotenoid, dan α- dan β-cryptoxanthin dalam esktrak buah merah (Pandanus conoideus Lamk). J Riset Tek Ind. 6 (12): 126-140. Matějková J, Petříková K. 2010. Variation in Content of Carotenoids and Vitamin C in Carrots. Not Sci Biol. 2(4): 88-91. Me´ndez DH, de Guevara RG, Mı´nguez-Mosquera MI. 2000. Carotenoid biosynthesis changes in five red pepper (Capsicumannuum L.) cultivars during ripening cultivar selection for breeding. J Agric Food Chem. 48: 3857-3864. Murtiningrum, Ketaren S, Suprihatin, Kaseno. 2005. Ekstraksi minyak dengan metode wet rendering dari buah pandan (Pandanus conoideus L.). J Tek Ind Pert .15: 28-33.
107
Nawar WW. 1996. Lipids. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry, 3rd ed. New York: Marcel Dekker. Ngando EGF, Dhouib R, Carriere F, Zollo PHA, Arondel V. 2006. Assaying lipase activity from oil palm fruit (Elaeis guineensis Jacq.) mesocarp. Plant Physiol Biochem. 44: 611-617. Ngando EGF, Mpondo-Mpondo EA, Ewane MA. 2013. Some quality parameters of crude palm oil from major markets of Douala, Cameroon. African J Food Sci. 7(12):473-478. Nicolle C, Simon G, Rock E, Amouroux, Remesy C. 2004. Genetic Variability Influences Carotenoid, Vitamin, Phenolic, and Mineral Content in White, Yellow, Purple, Orange, and Dark-orange Carrots Cultivars. J Amer Soc Hort Sci. 129(4): 523-529. Pahoja VM, Sethar MA. 2002. A review of enzimatic properties of lipase in plants, animals and microorganisms. Pakistan J Appl Sci. 2(4): 474-484. Pohan HG dan Wardayani NIA. 2006. Mempelajari Proses Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L). IHP (Warta Industri Hasil Pertanian) 23 (2): 26-41. Poiana M, Mincione A. 2004. Fatty acids evolution and composition of olive oils extracted from different olive cultivars grown in Calabrian area. Grasas y Aceites. 55(3): 282-290. Rawsthorne S. 2002.Carbon flux and fatty acid synthesis in plants. Prog Lipid Res. 41: 182–196 Rohman A, Sugeng R, Che Man YB. 2012. Characterizaton of red fruit (Pandanus conoideus Lam) oil. IFRJ. 19(2): 563-567. Sadeghi H, Talaii AR. 2002. Impact of environmental conditions on fatty acids combination of olive oil in an Iranian olive, cv. Zard. Acta Hortic. 586:579582. Sambanthamurthi R, Chong CL, Khaik C, Yeu KH, Premavathy R. 1991. Chilling induced lipid hydrolysis in the oil palm (Elaeis guineensis) mesocarp. J Exp Botany 42: 1199-1205. Scrimgeour C. 2005. Chemistry of Fatty Acids. Di dalam Shahidi F (ed.), Edible Oil and Fat Products: Chemistry, Properties, and Health Effects. Volume 1. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Sixth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Ltd. Sundram K, Sambanthamurthi R, Tan YA. 2003. Palm fruit chemistry and nutrition. Asia Pacific J Clin Nutr. 12: 355-362. Surono I, Endaryanto TA, Nishigaki T. 2008. Indonesian Biodiversities from Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. J Fac Agric Shinshu Univ. 44(1.2): 23-27. Tan CH, Ghazali HM, Kuntom A, Tan CP, Ariffin AA. 2009. Extraction and physicochemical properties of low free fatty acid crude palm oil. Food Chem.113: 645-650. Tangolar, S.G., F. O¨zogul, S. Tangolar and C. Yag˘mur. 2011. Tocopherol content in fifteen grape varieties obtained using a rapid HPLC method. J Food Comp Anal. doi:10.1016/j.jfca.2010.08.003. Turhan H, Citak N, Pehlivanoglu H, Mengul Z. 2010. Effects of ecological and topographic conditions on oil content and fatty acid composition in sunflower. Bulgarian J Agric Sci. 16(5): 553-558.
108
van de Berg H, Faulks R, Granado FH. Hirschberg J, Olmedilla B, Sandmann G, Southon S, Stahl W. 2000. The potential for the improvement of carotenoids levels in foods and the likely systemic effects. J Sci Food Agric. 80: 880912. Velišek J, Davidek J, Cejpek K. 2007. Biosynthesis of Food Constituents: Natural Pigments. Part 2 - a Review. Czech J Food Sci. 26(2): 73-98. Volk GM, Stern D. 2009. Phenotypic Characteristics of Ten Garlic Cultivars Grown at Different North American Locations. Hortscience. 44(5):1238-1247. Wada M, Fujimoto K, Nishigaki T, Febriyanti E, Ikeda R; Nakashima K. 2013. Determinatin of α- and β-cryptoxanthins, and α- and β-carotenes in Buah Merah oil by HPLC-UV detection. J Agro-Based Industry. 30(1):1-8. Wilska-Jeszka J. 2002. Food Colorants. Di dalam Sikorski ZE (Ed.). Chemical and Functional Properties of Food Components, Second Edition. New York: CRC Press. pp 212-215. Yap SC, Choo YM, Ooi CK, Ong ASH, Goh SH. 1997. Quantitative analysis of carotenes in the oil from different palm species. Elaeis. 3:309-378.
9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan buah utuh (cepallum) buah merah terdiri atas empulur (51-61%), bulir (3949%), biji (27-36%) dan daging buah (10-17%). Keragaman sifat fisik buah utuh (cepallum) antar klon terutama ditunjukkan oleh warna kuning-oranye atau merah-merah tua, berbentuk silinder meruncing yang dari bagian pangkal sampai ke tengah membesar atau mengecil sampai ke bagian ujung mengecil, dengan ukuran panjang buah yang terdiri dari ukuran pendek (<50 cm), sedang (40-60 cm) dan panjang (>60 cm). Karakter fisik empulur setiap klon juga bervariasi pada warna yang umumnya berwarna putih atau kuning, berbentuk silinder meruncing, dengan ukuran lingkar pangkal lebih kecil dari bagian tengah dan mengecil pada bagian ujung. Keragaman karakter fisik drupa (bulir) diperlihatkan pada warna yaitu kuning-oranye atau merah-merah tua, berbentuk persegi banyak atau poligonal (segi 5, segi 6 atau segi 7) yang mengerucut tajam pada bagian ujung permukaannya dan membentuk segi empat pada bagian bawah dengan ukuran yang bervariasi. Daging buah yang melekat pada biji di setiap bulir buah merah merupakan bagian yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan sumber minyak. Perhitungan rendemen minyak buah merah berdasarkan berat total bulir (5.7-8.7% basis basah, bb atau 5.5-12.4% basis kering, bk) lebih rendah dari pada yang berdasarkan berat total daging buahnya (19.7-27.4% bb atau 19.8-44.2% bk). Keragaman sifat fisik tanaman antar klon, terutama pada tinggi tanaman dan batang utama, panjang cabang dan jarak antar cabang serta panjang dan lebar daun. Hasil principle component analysis (PCA) yang didasarkan pada 11 variabel sifat fisik tanaman dan buah dari 9 klon buah merah terdistribusi dalam 4 kuadran berdasarkan lokasi budidayanya, yaitu kuadran I (Hibcau, Hityom dan Himbiak) asal Distrik Minyambouw, kuadran II (Mbarugum) asal Distrik Koya, Jayapura, kuadran III (Monsrus, Monsor dan Menjib Rumbai) dan kuadran IV (Memeri dan Edewewits) berasal dari Kebun Percobaan UNIPA, Manokwari. Penentuan karotenoid dengan sampel minyak buah merah dengan HPLCUV/Vis telah dikembangkan. Metode yang dihasilkan ini dianggap presisi yang diindikasikan dengan nilai RSDs kurang dari 11% dan akurasi lebih dari 90%. Metode ini berhasil diaplikasikan untuk menentukan kandungan karotenoid dari 9 klon minyak buah merah, dengan kisaran 5.4-138.5 ng/mg untuk α-kriptosantin, 3.9-29.4 ng/mg untuk β- kriptosantin, 3.5-80.0 ng/mg for α-karoten, dan 10.8118.0 ng/mg for β-karoten. Sementara, total karotenoid minyak buah merah berkisar 3027-19959 ng/mg. Hasil kromatogram HPLC karotenoid minyak buah merah menunjukkan bahwa presentasi total area puncak dari α-karoten, β-karoten, α-kriptosantin, dan β-kriptosan hanya sebesar 8.6%, sehingga bukan merupakan komponen utama dari karotenoid minyak buah merah. Hasil PCA berdasarkan kandungan karotenoid dari 9 klon buah merah menghasilkan 3 grup yaitu group A dengan total karotenoid yang lebih tinggi (Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus, Memeri), group B dengan α-kriptosantin dan α-karoten yang lebih tinggi (Menjib Rumbai), dan group C dengan total karotenoid yang lebih rendah (Edewewits, Hibcau dan Hityom).
110
Selain profil 4 jenis karotenoid, penelitian ini juga berhasil melakukan karakterisasi minyak buah merah berdasarkan pada kandungan fenol (90-742 ppm), tokoferol (234-1728 ppm), α-tokoferol (52-272 ppm) dan γ-tokoferol (16287 ppm). Hasil kromatogram HPLC tokoferol minyak buah merah menunjukkan bahwa persentasi total area puncak dari α-tokoferol dan γ-tokoferol masingmasing sebesar 18.5% dan 8.7%, dan terdapat pula beberapa peak lain yang muncul di awal kromatogram, sehingga dapat diprediksi bahwa minyak buah merah juga mengandung isomer dari tokotrienol dan tokoferol lain. Karakteristik kimia, profil lemak maupun komponen aktif minyak buah merah sangat bervariasi antar klon. Kisaran persentase asam lemak bebas minyak buah merah adalah 4.3-9.2%, bilangan peroksida 0.36-0.84 mg O2/100 g, bilangan iod 79.3-85.5 g/100 g dan kadar fosfor 37-374 mg/kg. Komponen utama asam lemak minyak buah merah adalah asam lemak tidak jenuh yaitu oleat (63.5073.42%) dan linoleat (5.23-16.55%), sedangkan asam lemak tidak jenuhnya adalah palmitat (15.67-21.27%). Komposisi utama triasilgliserol minyak buah merah terdiri atas OOO (26.84-39.81%), POO (24.23-31.08%), OLO (7.2317.43%) dan PLO (3.72-14.3%). Hasil PCA profil lemak minyak buah merah menghasilkan 3 grup klon buah merah sesuai dengan komposisi asam lemak dan triasilgliserol. Minyak buah merah juga mengandung fenol 90-742 ppm, tokoferol 234-1728 ppm, α-tokoferol 52-272 ppm dan γ-tokoferol 16-287 ppm. Minyak buah merah memiliki sifat kimia yang baik dengan kandungan komponen aktif yang cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai suplemen (pangan fungsional), minyak makan, maupun industri. Aplikasi pemanasan sebelum ekstraksi dengan metode kering dapat meningkatkan rendemen minyak, tetapi menurunkan kandungan karotenoid dan tokoferol total pada minyak buah merah. Pemanasan juga meningkatkan kandungan asam lemak bebas (ALB) minyak, namun peningkatannya menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu pemanasan. Kadar minimum ALB pada minyak buah merah diperoleh dari sampel dengan pemanasan pada 120 oC selama 20 menit. Aplikasi pemanasan sebelum ekstraksi cara kering (menggunakan kempa hidrolik) menghasilkan minyak dengan rendemen tertinggi (11.5±0.3% dari total bulir), karotenoid total sebesar 15371±162 ppm, dan tokoferol total sebesar 1515±24 ppm, serta kadar ALB sebesar 7.6 ± 0.1% tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan kadar ALB sampel kontrol (7.1±0.2%). Pemanasan dengan tekanan uap (otoklaf) pada suhu 100 oC selama 5 menit dapat menurunkan aktivitas lipase menjadi 6.43 U/mg, dan dapat diinaktifkan dengan pemanasan (otoklaf) pada suhu 120oC selama 20 menit. Kualitas kimia minyak buah merah yang dihasilkan dengan metode ekstraksi kering secara nyata (P<0.05) lebih baik dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dengan metode ekstraksi basah, yang ditunjukkan oleh kadar asam lemak bebas (ALB) yang lebih rendah, serta kadar total karotenoid dan tokoferol yang lebih tinggi, namun memiliki kualitas yang sama pada kadar air dan nilai peroksida. Tahapan yang diaplikasikan dalam metode ekstraksi minyak buah merah baik dengan cara kering maupun basah ini dengan waktu pemanasan yang relatif singkat (20 menit) tidak mempengaruhi sifat kimia minyak yang dinyatakan oleh komposisi asam lemak dan bilangan iod yang tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan ekstrak metode Folch. Faktor kritis untuk proses ekstraksi
111
minyak buah merah terletak pada tahap pemanasan, dimana parameter yang perlu dikendalikan adalah keberadaan air, suhu dan lama proses. Saran Penelitian ini masih dapat dilanjutkan untuk melengkapi informasi yang belum diperoleh dalam disertasi ini, yaitu: Analisis komposisi turunan dari karotenoid dan tokoferol minyak buah merah lebih lanjut untuk mengidentifikasi komponen utama penyusun dari komponen aktif tersebut. Pengujian pengaruh perlakuan panas buah merah segera setelah panen terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah yang diekstrak dengan metode kering. Pengujian aktivitas lipase buah dari berbagai klon buah merah pada kisaran suhu dan waktu pemanasan 100-120 oC selama 0-30 menit. Optimasi tahapan proses pemurnian minyak mentah buah merah yang diekstraksi secara kering, untuk menurunkan kadar asam lemak bebas (ALB) minyak dengan meminimalisasi kehilangan komponen aktifnya. Perancang peralatan pengolahan/ekstraksi minyak buah merah. Pengaruh budidaya terhadap sifat fisik (ukuran buah utuh, ukuran bulir dan empulur) dan produktivitas buah merah dari beberapa klon dengan karakter ukuran daun yang berbeda, yang dibudidaya pada beberapa lokasi dengan ketinggian dan lokasi geografi yang berbeda. Informasi keragaman karakteristik sifat fisik buah merah (daging buah dan empulur) dan sifat kimia minyak buah merah (komponen aktif dan kadar ALB) yang dihasilkan dalam kajian ini dapat dijadikan parameter dalam seleksi klon buah merah unggul dalam pemuliaannya.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 1 Agustus 1970, sebagai anak pertama dari lima bersaudara (Nunik, Sira, Selly, dan Panca Sarungallo) dalam keluarga bapak J. Bunga’ Sarungallo dan ibu S. Lumiling Silalong. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1989, penulis diterima di PS Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada PS Ilmu Pangan pada Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2009 dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) tahun 2009-2013 dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih sejak tahun 1996, dan di Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian (Fapertek), Universitas Negeri Papua (UNIPA), Manokwari, Provinsi Papua Barat sejak tahun 2000 sampai sekarang. Bidang penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang ditekuni sejak menjadi dosen mencakup kajian teknologi pengolahan berbasis bahan pangan asal Papua antara lain sagu, ubi jalar, buah ai-bon (Mangrove Bruguiera), sarang semut, kakao, Pandanus tectorius dan buah merah (Pandanus conoideus). Penulis aktif melakukan penelitian dan memperoleh pendanaan dari DIKTI (Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional 2010/2011; Hibah Bersaing 2009/2010 dan 2013/2014; MP3EI 2012/1014) bersama tim peneliti UNIPA. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini telah diajukan sebagai artikel ilmiah pada beberapa jurnal, yaitu: 1) “Characterization of chemical properties, lipid profile, total phenol and tocopherol content of oils extracted from nine clones of red fruit (Pandanus conoideus)” telah dipresentasikan (poster) pada Food Innovation Asia Conference 2014 di Bangkok dan diterima untuk diterbitkan pada Kasetsart Journal (Natural Science); 2) “Analysis of α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α-carotene, and β-carotene of red fruit (Pandanus conoideus) oil by high-performance liquid chromatography (HPLC)” merupakan hasil Program Sandwich 2012-Universitas Nagasaki, sedang dalam persiapan publikasi, dan 3) “Pengaruh metode ekstraksi terhadap mutu kimia dan komposisi asam lemak minyak buah merah (Pandanus conoideus)” siap terbit pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian volume 24 tahun 2014.