KARAKTERISASI INTERAKSI ANTARA TANAMAN Aquilaria microcarpa Baill DENGAN Fusarium solani DALAM PEMBENTUKAN GAHARU
RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakterisasi Interaksi antara Tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam Pembentukan Gaharu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013
Rima Herlina Setiawati Siburian NIM E461090041
RINGKASAN RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN, Karakterisasi Interaksi antara Tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam Pembentukan Gaharu. Dibimbing oleh ULFAH YUNIARTI SIREGAR, ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR, dan ERDY SANTOSO. Aquilaria microcarpa merupakan salah satu tanaman yang berpotensi menghasilkan gaharu. Di habitat alaminya maupun pada hutan tanaman, tidak semua jenis ini akan menghasilkan gaharu, diperkirakan hanya 10% yang dapat memproduksi resin gaharu. Mekanisme pembentukan gaharu diduga merupakan mekanisme pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1. Mengkarakterisasi secara morfologis tanaman A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani., 2. Mengidentifikasi anatomi kayu A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani, 3. Menentukan genotipe tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan F.solani berdasarkan marka mikrosatelit Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 17 karakter morfologi yang diukur, dua karakter yaitu karakter tinggi tanaman serta sudut percabangan memperlihatkan perbedaan antara kelompok tanaman yang diinokulasi dengan F. solani dan tidak diinokulasi. Untuk karakter anatomi kayu A.microcarpa, berdasarkan pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa pada tanaman yang diinokulasi memiliki endapan berwarna coklat keemasan pada pori dan kulit tersisip dan aroma wangi yang khas. Setelah diuji lebih lanjut dengan menggunakan GCMS kandungan endapan tersebut berupa beberapa senyawa yang teridentifikasi memiliki kesamaan dengan hasil penelitian terdahulu terkait kandungan senyawa gaharu, diantarnya adalah elemol, baimuxinal, 3-phenyl-2butanone dan chromone-4-one. Hasil uji virulensi Fusarium sp menunjukkan bahwa satu dari 4 strain, yaitu F. solani FORDA 512, memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi dibanding dengan F.solani lainnya, terutama pada anakan A, B dan C. Dua lokus mikrosatelit, yaitu 6Pa18 dan 71Pa17, dapat digunakan untuk mengkarakterisasi genotipe tanaman yang berinterksi dengan Fusarium sp yaitu semai (n = 40), pohon diinokulasi (n = 20) dan pohon tidak diinokulasikan (n = 20). Hasil analisis genetik menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam hal struktur genetik antara populasi pohon dan populasi semai. Selain itu, urutan fragmen A. microcarpa menunjukkan homologi yang rendah dengan A. crassna (82%). Urutan kladogram menunjukkan bahwa semai yang diinokulasi memiliki hubungan yang erat dengan pohon yang diinokulasi, hal ini menunjukkan peran genetik dalam pembentukan gaharu. Hasil yang diperoleh berdasarkan karakter morfologi pohon dan informasi genotipe menunjukkan informasi yang berguna pada pembentukan gaharu terutama berkenaan dengan anatomi kayu dan struktur genotipik. Kata kunci: Anatomi, Aquilaria microcarpa, gaharu, genotype, morfologi
SUMMARY RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN. Karakterisasi Interaksi antara Tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam Pembentukan Gaharu. Supervised by ULFAH YUNIARTI SIREGAR, ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR, and ERDY SANTOSO. Aquilaria microcarpa is native to Indonesia and has been identified and promoted as potential tree species to yield high quality agarwood (gaharu). Individual trees of this species, both in its natural habitat and plantation, do not always yield agarwood due to many influencing factors. It is estimated that only 10% trees would be able to yield the resin. A clear mechanism of agarwood formation is unknown and there is a lack of information on underlying causes and triggers of the formation due to natural complexity and uncertainty. However, natural defense mechanisms through a series of pathogenesis are presumed as naturally observed in other resin producing tree species. Research on the characterization of host-pathogen interaction in gaharu formation was carried out based on the above mentioned problems with the following specific objectives, namely: i). to identify morphological characters of A. microcarpa trees interacting with F. solani sp, ii). to determine wood anatomical characters of A. microcarpa interacting with F. solani, and iii) to verify the genotypes of A. microcarpa seedlings and trees interacting with F.solani based on microsatellites. Results on tree morphological analysis showed that two out of 17 morphological characters (descriptor), namely tree height (m) and branching angles (0), showed significant differences between inoculated and non-inoculated individuals. In addition, microscopic observations on wood anatomical characters of A. microcarpa revealed that inoculated plants clearly deposited golden-brown colored resin in pores and canticles with a distinct scent. Further verification using GC MS on the sediment deposits identified common compounds as reported in many previous research on agarwood, namely: baimuxinal, elemol, 3-phenyl-2butanone and chromone-3-one. On the other hand, tests on the viulence degrees of F. solani showed that one out of 4 strains, i.e. F.solani FORDA 512, showed the highest level of virulence and was significantly different with other F.solani, especially if inoculated on seedlings A60, A68 and B30. Two microsatellite loci of A. crassna, i.e. 6Pa18 and 71Pa17, were successfully transferable to A. microcarpa and could be used to characterize the genotypes of Fusariumtreated seedlings (n=40), inoculated trees (n=20) and non-inoculated trees (n=20). There were differences in terms of genetic structures between tree population and seedling population. Further sequence analysis on the microsatellite fragments on the most virulent F.solani FORDA 512- inoculated seedlings indicated genotype dependant responses for both seedling and tree stages. In addition, Sequence based cladogram showed that inoculated seedlings were closely placed with inoculated trees indicating certain genetic roles in the agarwood formation.
In conclusion, tree morphological (i.e. height growth and branch habit) as well as genetic and genomic characters were clearly observed and useful to provide early information on gaharu formation. It is also supported by the wood anatomy analysis showing the presence of gaharu resin. Key words: Anatomical, Aquilaria microcarpa, gaharu, genotyping, morphological.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI INTERAKSI ANTARA TANAMAN Aquilaria microcarpa Baill DENGAN Fusarium solani DALAM PEMBENTUKAN GAHARU
RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada ujian tertutup
: 1. Dr. Ir. Imam Santoso, MSc 2. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA 2. Dr. Ir. Supriyanto
Judul Disertasi Nama NRP Mayor
: Karakterisasi Interaksi antara Tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam Pembentukan Gaharu : Rima Herlina Setiawati Siburian : E461090041 : Silvikultur Tropika (SVK)
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Ulfah J Siregar, M.Agr Ketua
Prof.Dr.Ir.Iskandar Z,Siregar, M.For.Sc Anggota
Dr.Ir. Erdy Santoso, MS Anggota
Diketahui oleh Ketua Program studi/ Mayor Silvikultur Tropika
Dr.Ir.Basuki Wasis, MS
Tanggal Ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala hikmat dan pimpinanNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Karakterisasi interaksi antara tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam pembentukan gaharu”. Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2010 hingga September 2012. Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dana dari DIPA BIOTROP tahun 2011. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Dr.Ir. Erdy Santoso MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis, hingga selesainya penulisan disertasi. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Rektor Universitas Negeri Papua, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti studi S-3 di Sekolah Pascasarjana IPB; Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan ketua Program Studi Silvikultur Tropika atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di SPs IPB. Kepada seluruh staf pengajar dan administrasi SPs IPB, penulis menyampaikan terimakasih atas ilmu dan kelancaran administrasi selama penulis menjadi mahasiswa di SPs IPB juga kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Dana pendidikan (beasiswa) dan kepada SEAMEO BIOTROP atas hibah dana penelitian. Ucapan terimakasih juga kepada ibu Tetty Chaidamsari atas segala bantuan dan bimbingan serta dorongan dalam penyelesaian riset dan tulisan ini, serta temanteman seperjuangan Silvikultur Tropika, Ikatan Mahasiswa Pasca sarjana Papua, Sdri Laswi Irmayanti, S.Hut, ibu Dr. Ir. Oemijati Rachmatsjah, Ibu Ir. Lincah Andadari, Msi, atas bantuannya. Ungkapan terimakasih disampaikan pula kepada suami terkasih (Ricardo Tapilatu), ketiga anak-anakku (Maryrose Easter Tapilatu, Julia Rosemary Tapilatu dan Daniel Fitzgerald Tapilatu) atas segala pengorbanan, kesetiaan, kesabaran, pengertian dan doa bagi penyelesaian studiku; Penghargaan yang tinggi juga bagi kedua orang tuaku; ayahanda S.Siburian dan ibunda R. Sianturi, yang tanpa mengenal lelah selalu memanjatkan doa demi keberhasilanku, serta seluruh keluarga dan teman-teman atas doa dan semua bantuannya. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi pengetahuan dan teknologi. Bogor, Mei 2013 Rima Herlina Setiawati Siburian
DAFTAR ISI Halaman Halaman ix
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Manfaat Penelitian 1.4 Kerangka Pemikiran 2 IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI 2.1 Pendahuluan 2.2 Bahan dan Metode 2.3 Hasil 2.4 Pembahasan 2.5 Simpulan 3 IDENTIFIKASI ANATOMI KAYU AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI 3.1 Pendahuluan 3.2 Bahan dan Metode 3.3 Hasil 3.4 Pembahasan 3.5 Simpulan 4 GENOTYPE TANAMAN AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT 4.1 Pendahuluan 4.2 Bahan dan Metode 4.3 Hasil 4.4 Pembahasan 4.5 Simpulan 5 PEMBAHASAN UMUM 6 SIMPULAN DAN SARAN 7 DAFTAR PUSTAKA
x xi 1 3 4 4
7 8 9 13 15
16 17 19 26 27
28 29 32 41 43 44 50 51
DAFTAR TABEL 2.1
2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 4.1 4.2 4.3
Rataan dan simpangan baku karakter morfologi Aquilaria microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi pada KHDTK Carita Hubungan korelasi antar karakter pengamatan Nilai Koefisien Komponen Utama Aquilaria microcarpa berdasarkan karakter morfologi Karakter anatomi Aquilaria microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi Komponen gaharu dari tanaman Aquilaria microcarpa yang tidak dinokulasi Komponen gaharu dari tanamanA quilaria microcarpa yang diinokulasi Kesamaan senyawa kimia dari beberapa Aquilaria spp Senyawa Aquilaria microcarpa yang terdeteksi berdasarkan hasil GCMS pada tanaman yang diinokulasi dan tidak diinokulasi Kriteria virulensi isolat Fusarium sp pada tanaman muda A.microcarpa Primer mikrosatelit Aquilaria crasna menurut Eurlings et al. (2009) Kemampuan amplifikasi Primer mikrosatelit pada Aquilaria microcarpa
4.4 Panjang fragmen hasil amplifikasi silang pada lokus 6Pa18 dan 71Pa17 4.5 Tingkat keparahan inokulasi lima jenis Fusarium solani pada tanaman muda Aquilaria microcarpa 4.6 Koefisien kesamaan genetik lokus 71Pa17 dan 6Pa18
10 12 14 19 21 22 24 25 29 31 34 35 36 40
DAFTAR GAMBAR 1.1 2.1
2.2 2.3 2.4 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Diagram alur penelitian Teknik pengukuran pohon dan daun Aquilaria microcarpa Sampel tanaman Aquilaria . microcarpa yang di diinokulasi (a) dan tidak diinokulasi (b) Dendogram similarity variabel pengamatan morfologi A. microcarpa Biplot karakter pengukuran morfologi A. microcarpa. Teknik pengambilan sampel tanaman dengan menggunakan bor, a = (1/2 .ϴ) + 1 cm Penampang melintang Aquilaria microcarpa yang belum diinokulasi (a) dan yang telah diinokulasi (b) Penampang dan kulit tersisip Aquilaria microcarpa yang belum diinokulasi (a) dan yang telah diinokulasi (b) Penampang Aquilaria microcarpa dengan pengamatan mikroskop makro (a) dan pengamatan dengan SEM perbesaran 500 x (b) Pola amplifikasi PCR dengan primer 71Pa17 pada tanaman Aquilaria microcarpa anakan (A), tidak diinokulasi (N) dan diinokulasi (i) Morfologi tanaman setelah 4 hari diinokulasi Fusarium solani FORDA 512 Morfologi daun setelah 8 hari, diinokulasi Fusarium solani FORDA 512 Struktur penyebaran alel pada setiap individu Distribusi frekuensi alel pada lokus 6PA18 (A) dan 71PA17
6
9 10 11 13 17 20 21 22 33 34 35 36 37
4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11
Struktur penyebaran alel pada setiap individu Analisis BLAST fragmen DNA Aquilaria microcarpa dengan NCBI Pensejajaran hasil sekuen DNA Aquilaria mikrocarpa lokus 6Pa18 Pensejajaran hasil sekuen DNA Aquilaria mikrocarpa lokus 71Pa17 Cladogram tanaman Aquilaria microcarpa berdasarkan lokus 6Pa18 Cladogram tanaman Aquilaria microcarpa berdasarkan DNA lokus 71Pa17
37 38 39 40 41 41
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2.
3. 4. 5.
Pengamatan karakter dan cara pengukuran/ perhitungan Hasil analisis korelasi karakter morfologi pada Aquilaria microcarpa yang diinokulasi Fusarium solani. Hasil analisis korelasi karakter morfologi pada Aquilaria microcarpa yang tidak diinokulasi Fusarium solani Hasil pengamatan induksi Fusarium Solani pada tingkat semai Frekuensi alel mikrosatelit Aquilaria microcarpa pada populasi inokulasi, tidak inokulasi dan anakan
64
66 66 67 68
1
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Thymeleaeceae merupakan salah satu famili dari tanaman hutan tropika yang dapat menghasilkan gaharu. Famili ini memiliki kurang lebih 50 genus dan hanya tujuh genus yang diduga mampu menghasilkan gaharu, diantaranya; Aetoxylon, Enkleia, Gyrinops, Gonystylus, Dalbergia, Wikstroemia dan Aquilaria (Whitmore 1980). Sumarna 2005 menyatakan bahwa dari ketujuh genus tersebut yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis-jenis Aquilaria. Penyebaran Aquilaria di Indonesia bagian barat terdiri dari spesies Aquilaria malacciensis, A. hirta, A. agallocha, A. beccariana, A. moszkowskii, dan A. microcarpa, sedang A. filaria, A. secundana, dan A. tomentosa tersebar pada kawasan timur Indonesia. Tanaman ini umumnya tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 750 mdpl (Hou 1960). Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harga jualnya yang dapat mencapai Rp 30 juta/kg untuk kualitas super (Siran dan Turjaman 2010). Gaharu diperdagangkan untuk keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/kemenyan, pengawet berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna 2005) dan juga acara ritual keagamaan (Barden et al. 2000). Meningkatnya permintaan pasar atas komoditas ini, menyebabkan proses pencarian gaharu di hutan alam tak terkendali, disamping itu tidak semua pohon yang dicari mengandung gaharu. Minimnya pengetahuan masyarakat dalam membandingkan tanaman yang bergaharu dan tidak bergaharu mengakibatkan populasi tanaman penghasil gaharu semakin berkurang akibat kejadian asal tebang. Sebagai konsekuensi penurunan populasi beberapa jenis Aquilaria, termasuk A. microcarpa telah masuk dalam kelompok tanaman yang terancam punah sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) karena keberadaannya dialam telah menurun (Blanchette 2004). IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) memberikan status rentan (Vulnerable) yang berarti spesies ini sedang menghadapi risiko kepunahan di alam pada waktu yang akan datang. Pembatasan ekspor dengan kuota merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam perdagangan ekspor-impor gaharu. Berdasarkan data Ditjen PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) tahun 2010, telah ditetapkan kuota ekspor gaharu untuk jenis A. malaccensis yaitu 146,125 ton per tahun, sedangkan untuk jenis A. filaria sebanyak 427 ton/tahun. Untuk memenuhi kuota yang telah ditetapkan, beberapa perkebunan telah membudidayakan gaharu. Budidaya ini dilakukan karena tanaman penghasil gaharu di alam semakin sulit ditemukan. Selama ini, gaharu untuk ekspor berasal dari beberapa sentra produksi gaharu yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti Kalimantan Barat,
2
Papua, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Jambi, Bengkulu, Maluku, Mataram, Lombok, Riau, Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya. Penanaman beberapa jenis tanaman penghasil gaharu yang dilakukan pada beberapa kawasan namun hingga tanaman berumur 10 tahun menurut Umboh et al (1998), belum ada yang menghasilkan gaharu secara alami. Mekanisme pembentukan gaharu pada pohon penghasil gaharu hingga saat ini masih belum begitu dipahami, namun pembentukan ini diduga merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis (Keeling dan Bohlmann 2006). Pada mekanisme terinduksi, hama atau pathogen memicu tanaman untuk membentuk sistim pertahanan diantaranya melalui proses inokulasi (Agrios 1997). Sesquiterpenoid yang terdapat pada pembentukan gaharu diketahui merupakan senyawa pertahanan tanaman tipe fitoaleksin yang diproduksi tanaman sebagai pertahanan terhadap pengaruh luar, seperti pengaruh lingkungan dan penyakit (Keeling dan Bohlmann 2006). Metabolit sekunder atau zat ekstraktif tanaman, dapat efektif melawan patogen dan agen penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistim sinyal seluler, atau dapat terlibat dengan enzim vital dan menghambat jalur metabolisme (Bulugahapitiya dan Musharaff 2009). Metabolit sekunder pada kayu teras dapat menjadi pertahanan tanaman terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills 1987). Konsentrasi metabolit sekunder ini bervariasi antar spesies, antar jaringan, antar pohon dalam spesies yang sama, maupun antar musim. Respon yang dilakukan oleh tanaman saat terjadi interaksi dengan hama, adalah melakukan sintesis berbagai molekul toksik baik molekul protein maupun non protein yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap patogen (Agrios 1997). Pelukaan jaringan tanaman diduga dapat menginduksi sintesis senyawa fitokimia tertentu sebagai bentuk respon tanaman (Wobbe dan Klessig 1996). Pengembangan teknik inokulasi pada tanaman penghasil gaharu telah dilakukan oleh Ngatiman dan Armansyah (2005); Santoso et al. (2010), dengan tujuan untuk meningkatan keberhasilan produksi gaharu. Pada beberapa penelitian, respon tanaman terhadap patogen ditunjukkan oleh adanya perubahan dalam kandungan tanin dan fenol yang merupakan produk jalur asam sikimat (Wobbe dan Klessig 1996). Namun sejauh mana proses penginokulasian buatan ini dapat meningkatkan produk gaharu, perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh untuk mendapatkan informasi yang tepat baik informasi karakter fenotipe tanaman maupun karakter genotipenya guna mendapatkan karakter yang tepat bagi tanaman bergaharu. Serangan dan infeksi patogen dalam hal ini Fusarium sp dapat mengganggu proses fisiologis yang berdampak pada perubahan morfologi tanaman (Nieamann dan Visintini 2005; Lee dan Bostock 2006). Perubahan tersebut dapat berupa gejala lokal dan gejala sistimatik (Christiansen 1999). Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer, yang dapat terlihat dengan melakukan pengamatan perubahan morfologi, sedangkan gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh dari daerah inokulasi sehingga pengamatannya perlu dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti mikroskop disamping pengamatan molekuler. Pengamatan karakter fenotipe tanaman dapat didasarkan pada pengamatan secara langsung baik morfologi maupun anatomi (Tanksley 1983),
3
sedangkan penggunaan penanda molekuler dapat menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya (Powell et al. 1996). Penanda morfologi telah banyak digunakan dalam program dasar genetika untuk mengidentifikasi varietas, spesies, genus, maupun famili dari suatu jenis tanaman maupun program pemuliaan tanaman. Meski demikian, terdapat beberapa kelemahan yang dimiliki penanda ini, yaitu dapat dipengaruhi lingkungan (Tanksley 1983). Penanda anatomi dapat dipelajari dengan menggunakan mikroskop untuk membedakan struktur antar organel sel. Namun penanda ini memiliki kelemahan karena kadang sukar untuk memperoleh perbedaan antara sel terinfeksi dengan sel yang sehat. Sel yang terserang patogen atau sel yang tidak diserang patogen kadang memiliki arsitektur sel yang sama (Kunoh 1995). Untuk itu perlu dilakukan pendekatan dengan mempelajari senyawa-senyawa yang terbentuk sebagai akibat dari pengakumulasian senyawa pertahanan tanaman. Dimana hal ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel inang sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan mengenai respon fisiologi untuk penelitian selanjutnya ditingkat molekuler (Kunoh 1995). Penanda molekuler banyak diaplikasikan untuk membedakan setiap spesies tanaman melalui pembentukan genotipe tanaman yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Penanda molekuler mampu meningkatkan efisiensi seleksi dalam pemuliaan tanaman dengan cara seleksi secara tidak langsung terhadap karakter yang diharapkan. Selain itu, marka molekuler tidak diregulasi lingkungan sehingga tidak dipengaruhi oleh kondisi dimana tanaman tersebut berada, juga marka tersebut dapat terdeteksi pada semua tahap perkembangan tanaman (Mohan et al. 1997).
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakter tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan Fusarium solani dan tanaman yang tidak menghasilkan gaharu ditinjau dari aspek morfologi, anatomi kayu dan genetika. Secara khusus tujuan penelitian adalah untuk: A.microcarpa yang 1. Mengidentifikasi karakter morfologi tanaman berinteraksi dengan F. solani 2. Menganalisis struktur anatomi kayu dan senyawa A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani serta ragam senyawa yang terbentuk 3. Menentukan genotipe tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani berdasarkan marka mikrosatelit
4
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Morfologi tanaman yang telah diinokulasi F. solani berbeda dengan yang tidak diinokulasi. 2. Struktur anatomi dan kandungan senyawa A. microcarpa yang telah diinokulasi F. solani berbeda dengan yang tidak diinokulasi . 3. Reaksi pertahanan tanaman terhadap beberapa strain F. solani, berbeda antar individu tanaman maupun jenis F. solani akibat perbedaan genotipe tanaman.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat berupa informasi penting terkait: 1. Perbedaan karakter morfologi tanaman bergaharu, berdasarkan karakter yang diujikan. 2. Karakter struktur anatomi kayu yang diinokulasi F. solani serta informasi mengenai perbedaan kandungan senyawa kimia. 3. Genotipe tanaman yang berinteraksi dengan F. solani serta mampu menghasilkan gaharu. Kebaruan (Novelty) Kebaruaan yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini terkait informasi: 1. Karakter morfologi pembeda antara tanaman bergaharu, dilihat dari bentuk batang dan daun/tajuk tanaman. 2. Perbedaan struktur anatomi dan perbedaan kandungan senyawa kimia A.microcarpa yang telah bergaharu dan yang tidak. 3. Genotipe tanaman bergaharu yang diinokulasi dengan F. solani. 1.4 Kerangka Pemikiran Gaharu merupakan hasil dari pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropis dan berasal dari marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymeleaeceae. Tanaman A. microcarpa merupakan salah satu jenis tanaman penghasil gaharu yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada habitat alaminya maupun di hutan tanaman, tidak semua jenis ini akan menghasilkan gaharu, diperkirakan hanya 10% yang dapat memproduksi resin gaharu (Gibson 1977 dalam Ng et al. (1997). Namun karena nilai ekonomi gaharu tinggi, maka perburuan tanaman penghasil gaharu tidak terkendalikan sehingga mengakibatkan populasi dari potensi tanaman ini khususnya A.microcarpa menurun.
5
Mekanisme pembentukan gaharu belum begitu dipahami, bahkan mengapa pembentukannya tidak terjadi pada semua tanaman penghasil gaharu juga masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab tuntas. Menurut beberapa ilmuwan pembentukan gaharu dapat terjadi secara alami (Hills 1987); sedangkan menurut ilmuwan lain penyebab utamanya adalah pelukaan mekanik (Rahman dan Khisa 1984) ataupun induksi bahan kimia (Boss 1938; Baruah et al. 1982) maupun dengan jalan inokulasi cendawan/patogen (Umboh et al 1998; Santoso 1996). Namun mekanisme pembentukan gaharu ini diduga merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman. Agrios (1997) menjelaskan bahwa mekanisme terjadinya penyakit pada tanaman merupakan interaksi tanaman dengan patogen pada keadaan lingkungan yang mendukung. Interaksi ini dikenal dengan istilah segitiga penyakit, dimana ukuran dari setiap sisi sebanding dengan total jumlah sifat-sifat tiap komponen yang memungkinkan terjadinya penyakit. Dalam proses terjadinya gaharu, kondisi optimal dari ketiga aspek ini sangat penting diketahui untuk mendapatkan hasil gaharu yang optimal. Oleh karena itu penelitian-penelitian terintegrasi mengenai ketiga aspek tersebut sangat dibutuhkan guna mendapatkan informasi yang tepat mengenai proses pembentukan gaharu serta kualitas yang diharapkan. Penelitian tentang karakterisasi interaksi antara tanaman A. microcarpa Baill dengan F. solani dalam pembentukan gaharu, dirancang untuk memberikan informasi sehubungan dengan penentuan tanaman bergaharu. Upaya tersebut diawali dengan mengidentifikasi karakter fenotipe yang terdiri dari kegiatan mengidentifikasi morfologi dan anatomi tanaman yang diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi, kemudian karakter-karakter tersebut dianalisis untuk mengetahui karakter-karakter yang berbeda maupun berkorelasi terhadap proses interaksi tanaman dengan F. solani Selain itu dilakukan juga karakterisasi genotipe tanaman dengan menggunakan marka mikrosatelit untuk mengetahui perbedaan tanaman yang berinteraksi dengan F. solani. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai indikator tanaman yang berinteraksi dengan F. solani. Adapun diagram alur penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.
6
Aquilaria microcarpa
Gaharu
Alami
Non Gaharu
Cekaman (fisik/kimia)
Inokulasi
Karakterisasi
Genotipe
Fenotipe
IdentifikasiMorfologi
Identifikasi Anatomi
Kayu Analisis Karakter Morfologi
Pengamatan mikroskopis dan Analisis GCMS
Indikator tanaman bergaharu
1.1 Diagram alur penelitian
Identifikasi molekuler dengan marka mikrosatelit Pengujian populasi anakan
7
2 IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI 2.1 Pendahuluan Tanaman A. microcarpa Bail memiliki batang tegak dan dapat mencapai ketinggian 40 m, diameter 2.5 m dengan daun majemuk yang tersusun berselingan, berbentuk lonjong, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilap. Bentuk bunga majemuk, berada di ujung ranting (terminal) atau di ketiak daun (Hayne 1987). Umumnya tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah yang subur maupun tanah dengan kondisi masam, bahkan pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir dan juga ada yang mampu tumbuh di celah–celah batuan (Sumarna 2007). Tanaman A. microcarpa merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu, namun tidak semua jenis ini dapat menghasilkan gaharu. Terbentuknya gaharu pada tanaman ini diduga merupakan mekanisme pertahanan tanaman terhadap faktor abiotik maupun biotik. Faktor abiotik seperti perlakuan pemberian bahan kimia maupun pelukaan mekanis pada batang mengakibatkan tanaman bereaksi terhadap perlakuan tersebut yang kemudian membentuk gaharu (Isnaini 2004), namun hal ini tidak dapat menyebabkan penyebaran ke bagian lain dari pohon yang tidak terkena efek langsung. Hal ini berbeda dengan faktor biotik seperti jamur atau jasad renik lainnya, mekanisme pembentukan gaharu dapat menyebar ke bagian lain pada pohon, karena penyebab mekanisme ini adalah makhluk hidup yang melakukan aktifitas yang diperlukan untuk kehidupannya. Dengan terjadinya penyebaran pembentukan gaharu ke jaringan lain pada batang pohon, maka kualitas dan kuantitas produk gaharu yang dihasilkan akan lebih memuaskan (Santoso et al. 2010). Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap tanaman penghasil gaharu dari genus Aquilaria, terutama dalam hal budidaya tanaman dan rekayasa produksi gaharu (Novryanti 2008) usaha tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan konsumen gaharu yang terus meningkat sejalan dengan naiknya harga jual gaharu. Upaya pembudidayaan tanaman penghasil gaharu di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1994/1995 oleh sebuah perusahaan pengekspor gaharu, dengan menanam A. malaccensis seluas 10 hektar. Namun disisi lain, dijumpai juga beberapa kasus ketidakberhasilan pengusahaan gaharu disebabkan oleh kegagalan dalam pemeliharaan, kegagalan dalam melakukan inokulasi dan perkiraan waktu penebangan serta keragaan tanaman bergaharu yang tidak tepat, sehingga hasil yang diperoleh tidak memuaskan. Pemanenan tanaman yang diduga bergaharu secara umum dilakukan berdasarkan ciri sebagai berikut; I) daun berwarna kuning dan rontok, II) tajuk pohon kecil dan tipis, III) cabang pohon banyak yang patah, IV) banyak terdapat benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, V) kulit kayu kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus (Siran dan Turjaman 2010). Di daerah Dayak Kenyah dan Punan Kalimantan Timur, pendugaan tanaman bergaharu dilakukan dengan jalan mengiris dan memotong bagian kayu dari tumbuhan
8
penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang (Siran dan Turjaman 2010). Namun sering indikator ini tidak tepat dalam menduga keberadaan gaharu karena setelah tanaman tersebut ditebang, gaharu yang diharapkan tidak ada. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait hal diatas dengan tujuan untuk mengidentifikasi karakter morfologi tanaman yang berinteraksi dengan F. solani serta mampu menghasilkan gaharu.
2.2 Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Maret 2011 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita Banten dengan koordinat 06o8’-06o14’ Lintang Selatan dan 105º50’-105o55’ Bujur Timur. Tanaman A.microcarpa pada kawasan ini berasal dari desa penghidupan, Kecamatan Kampar Kiri-Tengah, Kabupaten Kampar - Riau, yang ditanam pada tahun 1998. Pada tahun 2009 beberapa tanaman diantaranya diinokulasi dengan beberapa F. solani. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh tanaman A.microcarpa yang terdapat pada KHDTK Carita Banten, sebanyak 110 pohon yang terdiri dari 44 pohon yang tidak diinokulasi dan 66 pohon yang telah diinokulasi. Alat yang digunakan adalah haga meter, pita meter, kaliper, kamera, tally sheet, dan alat tulis.
Metode Pengamatan morfologi dilakukan pada tanaman A. microcarpa mulai dari batang, percabangan, dan daun baik pada tanaman yang telah diinokulasi dan yang tidak diinokulasi F. solani. Metode yang digunakan adalah observasi deskriptif non eksperimen dari data lapang tentang penampilan tujuh belas karakter fenotipik (karakter batang dan daun) pada seluruh pohon A. microcarpa . Penentuan deskripsi plot yang dikaji mengacu kepada beberapa penelitian variasi tanaman hutan yang dilakukan oleh Bacilieri et al.(1995); Weber dan Montes (2005); dan Baliuckas et al. (1999). Metode pengukuran dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan deskripsi pengukuran selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. Pengukuran morfologi batang yang dilakukan adalah pengukuran tinggi total batang (TTB), tinggi bebas cabang (TB), diameter , kekekaran batang (KkB), tebal kulit(TK), kelurusan batang (KlB), kualitas bentuk batang (KB), olume bebas cabang (VBC), jumlah cabang (∑ C), sudut cabang pertama pembentuk tajuk (ScP), panjang anak daun (PD), lebar anak daun (LD), panjang petiol (PP).
9
Gambar 2.1 Teknik pengukuran pohon dan daun Aquilaria microcarpa Perbedaan penampilan fenotipik pohon induk dianalisis dengan menguji perbedaan nilai tengah (compare mean) pada setiap karakter yang diukur kemudian dilakukan uji lanjut Tukey. Parameter statistik yang dihitung meliputi nilai tengah (nilai rata-rata), standar deviasi dan koefisien varians. Analisis varians fenotipe pada populasi A.microcarpa dilakukan dengan melihat korelasi antar karakter menurut formula korelasi Pearson. Untuk menerangkan struktur varians melalui kombinasi linear dari variabel-variabel (karakter fenotipik) yang diukur, dilakukan analisis faktor. Pola pengelompokan antar karakter ditampilkan dalam bentuk grafik biplot antar faktor dengan menggunakan program MINITAB 15.0.
2.3 Hasil Analisis Keragaan Setiap Karakter Morfologi A. microcarpa Secara visual morfologi tanaman A. microcarpa baik yang telah diinokulasi tiga tahun maupun yang tidak diinokulasi, pada KHDTK Carita Banten tidak menunjukkan adanya perbedaan, seperti pada Gambar 2.2.
(a) (b)
(b)
Gambar 2.2 Morfologi tanaman Aquilaria microcarpa yang di diinokulasi (a) dan tidak diinokulasi (b)
10
Hasil pengamatan morfologi terhadap 17 deskriptor tanaman A. microcarpa baik yang telah diinokulasi maupun tidak diinokulasi, pada sampel tanaman A. microcarpa yang berjumlah 110 pohon yang terdapat di KHDTK Carita Banten juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata kecuali pada karakter tinggi total dan sudut cabang pertama pembentuk tajuk seperti terlihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Rataan dan simpangan baku karakter morfologi Aquilaria microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi pada KHDTK Carita Karakter pengamatan Tinggi total Tinggi bebas cabang Diameter Kekekaran batang Tebal kulit Kelurusan batang kualitas bentuk batang Volume bebas cabang Panjang tajuk Lebar tajuk Jumlah cabang Sudut cabang pertama pembentuk tajuk Persen penutupan tajuk Panjang anak daun Lebar anak daun Rasio panjang lebar anak daun Panjang petiol
Satuan pengukuran m m cm indeks mm indeks indeks cm3 m m buah derajat (0) % cm cm rasio
Tidak diinokulasi (n = 44) 8.273 ± 2.74 3.023 ± 1.135 23.56±10.79 2.941 ± 1.168 0.2154 ± 0.063 8.886 ± 0.387 10 ± 0,092 0.00186 ± 0.00118 5.166 ±2.335 3.847±1.697 8±3.816 65.34±19.78
Inokulasi (n = 66) 9.288 ± 2.41 3.177 ± 1.251 26.17 ± 9.4 3.225 ± 1.226 0.2267 ± 0.0559 8.7576 ± 0.4661 9.9394 ± 0.4924 0.00225± 0.00169 5.989 ± 2.41 3.811 ± 1.414 8.561 ± 3.595 55.53 ± 15.54
42.61±20.07 5.943±0.851 2.443±0.701 2.585±0.691
43.03±15.59 5.939±0.82 2.6288±0.6811 2.3722± 0.5491
3.773±0.803
3.7575±0.7245
P value 0.043* 0.512 0.182 0.228 0.329 0.132 0.349 0.194 0.078 0.904 0.436 0.004**
mm
0.903 0.981 0.169 0.075 0.918
Keterangan: * berbeda nyata (p < 0.05); ** berbeda sangat nyata (p < 0.05) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum karakter-karakter tanaman yang diinokulasi, tidak berbeda nyata dengan karakter tanaman yang tidak diinokulasi. Namun untuk hasil pengamatan pada karakter tinggi pohon nilai rata-rata yang diperoleh lebih tinggi dibanding tanaman yang tidak diinokulasi dan karakter sudut cabang pertama pembentuk tajuk, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, dimana rata-rata nilai hasil pengukuran karakter inokulasi menunjukkan hasil pengukuran yang lebih rendah dibanding tanaman yang tidak diinokulasi. Kedua nilai rata-rata karakter ini memiliki keterkaitan, dimana pertumbuhan tinggi tanaman akan lebih cepat bila sudut cabang pembentuknya memiliki nilai sudut yang kecil dibanding tanaman yang memiliki nilai sudut yang besar. Pengujian tingkat similarity tanaman yang diinokulasi dengan tanaman yang tidak diinokulasi dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan antar karakter. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiripan dari seluruh karakter yang diamati adalah 55,24 % atau keragaman sebesar 44,76 % dan karakter-karakter ini membentuk tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari karakter tinggi total, panjang tajuk, kekekaran batang, diameter, volume bebas cabang, tebal kulit,
11
lebar tajuk dan persen penutupan tajuk. Kelompok kedua terdiri dari dua karakter pengukuran daun yakni karakter panjang anak daun dan lebar anak daun, sedang kelompok ketiga terdiri dari enam karakter yaitu kelurusan batang, kualitas bentuk batang, rasio panjang lebar anak daun, panjang petiol, jumlah cabang dan sudut cabang pertama pembentuk tajuk seperti pada Gambar 2.3. Karakter pengukuran yang memiliki tingkat kemiripan yang tinggi adalah karakter tinggi total dan panjang tajuk yakni sebesar 89.71 %.
Gambar 2.3 Dendogram similarity karakter pengamatan morfologi Aquilaria microcarpa
Analisis Faktor Berdasarkan hasil pengolahan data karakter morfologi tanaman A. microcarpa, maka untuk mengetahui karakter yang mampu menjadi penentu keragaman dari tanaman yang diinokulasi maupun tidak diinokulasi dapat dilihat dengan menggunakan analisis faktor. Nilai faktor dari setiap karakter yang diinokulasi dan yang tidak diinokulasi seperti terlihat pada Tabel 2.3.
12
Tabel 2.3 Nilai koefisien faktor tanaman Aquilaria microcarpa yang tidak diinokulasi dan diinokulasi berdasarkan karakter morfologi Karakter pengukuran Eigenvalue % Keragaman Tinggi total Tinggi bebas cabang Diameter Kekekaran batang Tebal kulit Kelurusan batang Kualitas bentuk batang Volume bebas cabang Panjang tajuk Lebar tajuk Jumlah cabang Sudut cabang pertama pembentuk tajuk Persen penutupan tajuk Panjang anak daun Lebar anak daun Rasio panjang lebar anak daun Panjang petiol
Analisis Faktor Tidak diinokulasi Diinokulasi 3.838 2.831 0.226 0.167 0.897 0.794 0.255 0.434 0.815 0.798 0.413 0.275 0.272 0.291 -0.206 -0.004 0.222 0.001 0.718 0.739 0.784 0.558 0.112 0.404 0.067 -0.052 -0.116 0.117 0.255 0.363 0.498 -0.329 -0.216
0.073 0.027 0.250 -0.285 -0.025
Analisis faktor digunakan untuk menentukan variabel-variabel mana yang mempengaruhi dengan tingkat keragaman paling tinggi. Untuk itu faktor yang dipilih dari hasil analisis faktor ini hanya satu faktor. Berdasarkan loading faktornya, nilai pada faktor 1 yang lebih besar dari |0,5| menandakan variabelvariabel yang bersesuaian mempengaruhi karakter tanaman yang tidak diinokulasi dengan nilai keragaman tinggi diantaranya tinggi total, diameter, volume bebas cabang, dan panjang tajuk. Pada tanaman yang diinokulasi faktor yang memiliki nilai keragaman yang tinggi yaitu tinggi total, diameter, kekekaran batang, volume bebas cabang dan panjang tajuk. Kedua hasil pengukuran menunjukkan nilai keragaman analisis faktor yang sama baik pada tanaman yang diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi. Pola pengelompokan antar karakter yang dievaluasi dapat ditampilkan dalam grafik biplot antar faktor pengamatan. Hasil biplot menunjukkan bahwa pohon yang tidak diinokulasi dicirikan oleh karakter tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter dan panjang tajuk sedang tanaman yang diinokulasi dapat dicirikan dengan variabel tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter dan panjang tajuk. Karakter pengukuran lain tidak dapat digambarkan secara pasti sebagai variabel yang menjadi indikasi karakteristik pohon diinokulasi atau tidak.
13
(b)
(a)
Gambar 2.4 Biplot karakter pengukuran morfologi Aquilaria microcarpa tidak diinokulasi (a) dan diinokulasi (b). (X1= tinggi total, X2= tinggi bebas cabang, X3= diameter, X4= kekekaran batang, X5 = tebal kulit, X6= kelurusan batang, X7= kualitas bentuk batang, X8= volume bebas cabang, X9 = panjang tajuk, X10=lebar tajuk, X11= jumlah cabang X12= sudut cabang pertama pembentuk tajuk, X13= persen penutupan tajuk, X14= panjang anak daun, X15= lebar anak daun, X16= rasio panjang lebar anak daun , X17= panjang petiol). 2.4 Pembahasan Karakter morfologi yang diukur menunjukkan tingkat kemiripan yang tinggi, antara tanaman yang telah diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi. Hal ini diduga karena dalam tubuh tanaman terjadi reaksi pertahanan, yang mengakibatkan tanaman tetap tumbuh dan berkembang. Agrios (1997) menyatakan bahwa tanaman dapat tahan terhadap patogen karena tanaman tersebut masuk dalam kelompok tanaman yang imun terhadap patogen (ketahanan bukan-inang = non host resistance) atau karena tanaman tersebut memiliki gen ketahanan untuk mengatasi virulensi patogen (ketahanan sejati = true resistance) atau karena beberapa alasan tanaman terhindar atau toleran terhadap infeksi patogen (ketahanan nyata = apparent resistance). Siregar (2009) menyatakan bahwa tanda-tanda terbentuknya gaharu bila dilihat dari faktor morfologi sampai dengan pengamatan bulan ke enam adalah daun menguning dan rontok; kulit batang mulai mengering; ranting dan cabang mulai meranggas serta mudah patah; batang, cabang dan ranting berwarna putih berserat coklat hitam dengan teras kayu merah kecoklatan atau hitam bila kulit dikupas; bila kulitnya dibakar akan mengeluarkan aroma gaharu yang khas. Kunoh (1995) menyatakan, interaksi cendawan patogen dengan tanaman dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman yang berdampak terhadap terjadinya perubahan visual pada sel, jaringan atau organ tanaman, bahkan dapat mengakibatkan perubahan terhadap morfologi tanaman (Nieamann dan visintini 2005; Lee dan Bostock 2006). Penampilan morfologi suatu organisme merupakan hasil proses metabolisme yang terjadi didalam setiap
14
sel penyusun organisme. Keragaman morfologi pada individu dalam suatu populasi sangat tergantung pada keragaman proses dan hasil metabolisme yang terjadi pada masing-masing individu. Proses metabolisme tersebut terjadi dalam sel yang melibatkan reaksi biokimia yang dikatalis oleh enzim tertentu, sehingga mengakibatkan keragaman morfologi dan hasil metabolisme. Variasi kerentanan terhadap patogen dalam tanaman juga disebabkan karena perbedaan jumlah gen ketahanan (Agrios 1997). Tanaman yang sangat rentan terhadap suatu isolat patogen, sesungguhnya tidak memiliki gen ketahanan yang efektif untuk mengatasi isolat yang diinokulasikan pada tanaman, akibatnya tanaman tersebut mati apabila patogen yang diinokulasikan sangat virulen. Tanaman A. microcarpa yang diinokulasi dengan F. solani, juga ada yang mati saat diinokulasi, sekalipun tanaman lain di sekitarnya tidak mengalami hal yang sama. Lingkungan dapat mempengaruhi jumlah dan aktivitas patogen (Semangun 1996). Kerentanan tanaman dan virulensi patogen tidak berubah pada tanaman yang sama selama beberapa hari hingga beberapa minggu, akan tetapi keadaan lingkungan dapat berubah secara tiba-tiba dalam tingkatan yang bervariasi. Oleh karena itu, lingkungan juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan penyakit menjadi lebih cepat atau lebih lambat. Tentu saja perubahan yang terjadi pada faktor lingkungan tersebut mampu mempengaruhi tanaman inang, patogen atau kedua-duanya. Perubahan faktor lingkungan ini mungkin menguntungkan bagi pertumbuhan patogen dan tidak menguntungkan bagi tanaman inang. Teknik pemilihan tanaman yang akan diinokulasi diduga juga berpengaruh terhadap nilai karakter morfologi tanaman yang diinokulasi, dimana tanaman yang akan diinokulasi umumnya adalah tanaman yang secara fenotip sehat. Hal ini mengakibatkan nilai hasil pengukuran karakter morfologi tanaman yang diinokulasi lebih tinggi dibanding tanaman yang belum diinokulasi. Pada tahun 2008 di lokasi penelitian ini terjadi serangan hama Heortia vitessoides yang mengakibatkan proses pembentukan gaharu terganggu. Akibat serangan tersebut beberapa daun pohon penghasil gaharu menjadi rusak, pohon menjadi meranggas, bahkan mati. Tanaman yang terserang ulat H. vitessoides, kematian banyak terjadi pada kelompok tanaman yang diinokulasi, karena serangan tersebut menghambat pertumbuhan tanaman dan bahkan menimbulkan kematian tanaman. Terbukanya lahan yang disebabkan oleh matinya tanaman rentan yang tidak tahan terhadap inokulasi yang dilakukan maupun akibat serangan ulat H. vitessoides, memberi peluang bagi tanaman di sekitarnya untuk bertumbuh dan berkembang, bahkan pada beberapa tanaman yang tahan terhadap Fusarium, nilai pengukuran karakter morfologinya lebih tinggi dibandingkan pohon lainnya. Namun bila dilihat pada hasil penelitian ini kedua kelompok tanaman yang diinokulasi maupun tidak diinokulasi karakter pengukuran tinggi total, diameter, volume bebas cabang dan panjang tajuk sama-sama memberikan nilai keragaman yang tinggi.
15
2.5 Simpulan Pengukuran karakter morfologi tanaman yang diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi berdasarkan analisis faktor diperoleh nilai keragaman pengukuran tinggi total, diameter, volume bebas cabang dan panjang tajuk yang sama antar kedua kelompok tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa karakterkarakter morfologi yang digunakan, belum dapat menggambarkan perbedaan antara tanaman yang tidak diinokulasi dan yang diinokulasi.
16
3 IDENTIFIKASI ANATOMI KAYU AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI 3.1 Pendahuluan Gaharu terbentuk sebagai reaksi tanaman terhadap adanya gangguan biotik atau abiotik. Gangguan biotik yang paling banyak dilaporkan berperan dalam pembentukan gaharu adalah gangguan oleh cendawan salah satunya adalah Fusarium spp. (Gong dan Shun 2008; Siregar 2009; Isnaini et al. 2009; Mohamed et al. 2010). Pada proses interaksi antara Fusarium dengan inangnya, patogenesitas Fusarium sangat mempengaruhi respon yang diberikan oleh tanaman (Mendgen dan Deising 1993). Respon tersebut merupakan pertahanan tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan juga biokimia dalam sel maupun jaringan tanaman sehingga dapat mematikan patogen atau menghambat pertumbuhannya (Groenewald 2005). Ketahanan biokimia merupakan reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut (Agrios 1997). Perubahan biokimia dapat terjadi antara lain melalui sintesis dan akumulasi asam salisilat (Wobbe dan Klessig 1996) atau fitoaleksin (Beynon 1997), yaitu senyawa hasil metabolit sekunder yang toksik bagi virus, bakteri, maupun cendawan yang menyerupai asam lemak (Lawton et al 1992), dan dikeluarkannya elisitor berupa oligosakarida oleh tanaman (Nothnagel et al 1983). Senyawa-senyawa ini dapat melindungi tanaman secara menyeluruh terhadap serangan patogen namun dapat juga menekan perkembangan patogen sehingga tidak menurunkan produksi. Disamping itu tanaman juga dapat mempertahankan diri dengan tidak memproduksi senyawa metabolit yang diperlukan oleh patogen sehingga patogen tidak berkembang. Penelitian terdahulu mengenai identifikasi morfologi tanaman yang berinteraksi dengan Fusarium spp, belum dapat membedakan karakter-karakter tanaman penanda bergaharu. A. microcarpa merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu, dengan perubahan warna batang yang khas (coklat-kehitaman) dan memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standar Nasional 1999). Oleh karena itu identifikasi anatomi kayu serta senyawa-senyawa yang terkandung dalamnya diharapkan dapat memberikan gambaran perbedaan yang jelas antara tanaman bergaharu dan tidak bergaharu. Penelitian mengenai interaksi tanaman A.microcarpa dengan F. solani telah dilakukan dengan menguji pada tanaman muda/semai (Rahayu et al 2009; Putri et al 2008) namun perbedaan anatomi dan kandungan antara tanaman yang telah diinokulasi dan tidak diinokulasi, sangat bervariasi antar jenis tanaman penghasil gaharu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakter anatomi serta kandungan senyawa A. microcarpa pada tanaman yang telah diinokulasikan dengan F. solani maupun tidak diinokulasi.
17
3.2 Bahan dan Metode Penelitian anatomi kayu dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 pada laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Analisis kandungan senyawa tanaman dilakukan di laboratotium Forensik Markas Besar Polisi Republik Indonesia. Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman A. microcarpa yang telah diinokulasi tiga tahun sebelum dilaksanakan riset ini, serta terbentuk senyawa gaharu yakni pohon nomor 5. Sampel tanaman yang belum diinokulasi dipilih tanaman yang seumur dan dekat dengan tanaman yang telah diinokulasi, yaitu pohon nomor 22. Pengambilan sampel kayu dilakukan dari empat arah mata angin (timur, barat, utara dan selatan) dengan cara dibor seperti disajikan pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Teknik pengambilan sampel kayu dengan bor a = (1/2 .ϴ) + 1 cm Bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol teknis, gliserin teknis, larutan FAA (Formaldehid 37% : asam asetat glasial : alkohol 70% = 5:5:90), larutan n-Butanol, larutan Gifford (asam asetat glasial:etanol 60%:gliserin teknis = 20:80:5), formaldehid 4%, K2HPO4 100 mM, safranin 2%, I2KI 1%, dan larutan tembaga asetat [Cu(CH3COO)2·H2O] 50%. Alat yang digunakan yaitu fotomikroskop (Nikon Obtiphot 2), mikroskop (Nikon AFX-DX Labophot -2), mikrotom putar (Yamato RV- 240), mikrotom sorong (Microm HM 400 R) dan mikrotom beku (Yamato RV-240).
Pembuatan Slide Mikrotom Sampel kayu direndam dengan larutan alkohol 70 % segera setelah diambil dari pohon, selanjutnya diinfiltrasi dengan poly-ethylene-glycol 2000 menurut petunjuk Richter (1990) yang telah dimodifikasi, dimana contoh kayu
18
dimasukkan ke dalam gelas berisi larutan 20 % PEG 2000 dalam etanol. Sesudah itu gelas berisi contoh tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu 60oC selama 3 – 4 hari sampai semua etanol menguap. Penyayatan dilakukan dengan mikrotom putar. Untuk membantu agar jaringan tidak sobek, permukaan yang akan disayat dilapisi dengan pita pelekat (“scotch tape”). Contoh uji disayat dengan menggunakan pisau sayat mikrotom dengan ketebalan 12-20 μm pada arah melintang, radial dan tangensial. Selanjutnya pewarnaan dengan safranin-O 2 % dilakukan dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 jam. Sayatan yang telah direndam dengan safranin-O kemudian dicuci dengan alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, dan 100%, untuk kemudian direndam dalam xylol sekitar 1 menit. Proses selanjutnya adalah mounting (proses mengatur dan meletakkan bahan sayatan di atas kaca preparat). Setelah mounting, preparat dikeringkan pada slide warmer pada suhu 40-500C. Bagian anatomi kayu diamati meliputi warna kayu, lingkaran tahun, sebaran pori/pembuluh, noktah antar pori, bahan endapan dalam pori, included phloem di samping bau/aroma kayu. baik pada tanaman yang telah diinokulasi dan bergaharu serta yang belum diinokulasi. Ciri umum yang diamati meliputi: warna, tekstur, alur, pengelupasan, tebal, warna sayatan kulit dalam dan ada tidaknya eksudat, sedangkan ciri anatomi yang diamati meliputi floem, jari-jari, parenkim, serat, dan periderm. Pengujian Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC MS) Pengujian GCMS dilakukan di Laboratorium Forensik Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Jakarta), untuk menguji senyawa-senyawa yang terkandung dalam endapan yang teramati pada pengamatan anatomi. Sampel untuk pengujian GCMS berasal dari sampel yang sama dengan pengamatan anatomi, namun pada tahapan ini kayu dicincang hingga halus kemudian direndam dalam aseton selama 1 malam. Hasil rendaman ini kemudian dikering anginkan dan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan GC MS. Analisis GC MS A. microcarpa dilakukan dengan Instrumen Agilent Technologies 6890N, Detector Mass Spectrometer, interface 300 0 C, kolom yang digunakan HP-5 Capilary Coloumn, panjang (m) 30 X 0,25 (mm) I.D X 0,25 (μm) Film thickness ( 5% -Phenyl)- methylpolysiloxane, suhu Oven 100oC – 3000C pada 150C/min , selama 35 menit, kondisi injection Port Temperature (Spplit Helium, model kolom Constant, laju kolom 1:50 ; 300oC) dengan gas 1 ml/min, injection 4 μL untuk setiap sampel dan diulang 2 kali.
19
3.3 Hasil Ciri Anatomi Hasil pengamatan karakter anatomi kayu dari tanaman A. microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi memperlihatkan perbedaan warna kayu, bahan endapan dalam pori, kulit tersisip dan aroma kayu. Pada tanaman diinokulasi, warna kayu terutama di sekitar daerah inokulasi terlihat sedikit lebih gelap dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi. Aroma kayu yang ditimbulkan juga agak berbeda: kayu yang diinokulasi memiliki aroma gaharu yang khas dibandingkan dengan kayu yang tidak diinokulasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kulit tersisip nampak lebih banyak pada tanaman yang diinokulasi serta memiliki resin berlapis emas di dalam lumen, sedangkan pada tanaman yang tidak diinokulasi resin tidak terlihat. Beberapa persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri anatomi A. microcarpa yang diinokulasi dan yang tidak diinokulasi disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Karakter anatomi A. microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi Karakter Pengamatan A. microcarpa Inokulasi Tidak diinokulasi Warna kayu Coklat muda hingga tua Putih (terang) Lingkaran tahun Tidak jelas Tidak jelas Sebaran pori/pembuluh Baur dan sebagian soliter Baur dan sebagian soliter Noktah antar pori Bersilangan Bersilangan Bahan endapan dalam Ada Tidak ada pori Included phloem Ada; terdapat endapan Ada; tidak ada endapan Bau/aroma kayu Beraroma wangi Tidak beraroma Pada tanaman A. microcarpa resin yang dihasilkan tidak dieksudasi keluar melainkan terdeposit di dalam jaringan kayu dan mengakibatkan perubahan warna jaringan dari putih menjadi coklat kehitaman. Pengamatan yang dilakukan Rao et al. (1992), menunjukkan bahwa resin yang dihasilkan oleh A. agalocha terakumulasi dalam jumlah besar di included phloem, sedangkan di bagian lain seperti di unsur trakea xilem, serat xilem, dan jejari parenkima resin terakumulasi dalam jumlah sedikit. Included phloem merupakan floem sekunder yang terletak di dalam xilem sekunder (Mauseth 1988). Jaringan tempat tertimbunnya resin pada Aquilaria sp telah diketahui, namun jaringan mana yang mensekresikannya belum diketahui (Mandang dan Wiyono 2002). Diduga jaringan yang mensekresikan resin adalah parenkima floem yang terdiri atas sel-sel hidup yang dapat menyimpan pati, lemak, senyawa organik, dan merupakan tempat terakumulasi beberapa metabolit sekunder seperti tanin dan resin (Fahn 1991 ). Pada penelitian ini selain di jari-jari, endapan terlihat juga di included phloem. Menurut Blanchette (2004) included phloem merupakan jaringan khusus pada Aquilaria yang mampu mensekresikan resin. Selain pada Aquilaria struktur seperti ini juga dijumpai pada Nyctaginaceae dan Amaranthaceae. Included phloem pada Aquilaria memiliki fungsi yang sama seperti kelenjar resin pada
20
Pinus sp yaitu sebagai tempat pengakumulasi resin (Nagy et al. 2000). Mauseth (1988), menyatakan bahwa included phloem merupakan struktur kompleks yang dibentuk oleh kambium ke arah dalam, tersusun atas unsur tapis, sel pengiring, jaringan parenkima, dan serat (Rao et al. 1992). Included phloem memiliki dinding sel tipis yang tidak terwarnai dengan safranin karena tidak mengandung lignin, plat tapisnya bertipe foraminate (Rao et al. 1992; Nobuchi dan Siripatanadilok 1991). Selain included phloem, sel-sel parenkima yang sudah tidak berfungsi lagi akan mengalami sklerefikasi dan dapat terisi oleh resin (Fahn 1991). Tanaman yang diinokulasi dengan F. solani, menimbulkan respon terhadap infeksi yang terjadi pada tingkat sel, jaringan maupun organ. Respon yang teramati pada pengamatan ini adalah perbedaan pada jaringan pengakumulasi senyawa terpenoid, dimana pada tanaman A. microcarpa yang tidak diinokulasi terlihat tidak adanya endapan atau resin pada jejari parenkima, include phloem dan empulur, sedang pada tanaman yang diinokulasi terlihat adanya endapan, seperti pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3.
(a)
(b)
Gambar 3.2 Penampang melintang kayu Aquilaria microcarpa yang belum diinokulasi (a) dan yang telah diinokulasi (b), tanda panah menunjukkan endapan dalam pori
21
(a)
(b)
Gambar 3.3 Penampang dan kulit tersisip Aquilaria microcarpa yang belum diinokulasi (a) dan yang telah diinokulasi (b), tanda panah menunjukkan endapan dalam pori Komponen Kimia A. microcarpa Hasil analisis dengan menggunakan GC MS pada tanaman A. microcarpa yang tidak diinokulasi, tidak ditemukan senyawa kimia yang diduga berkorelasi dengan pembentukan gaharu seperti pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Komponen gaharu dari tanaman Aquilaria microcarpa yang tidak diinokulasi 1 2
Rentang waktu 3.859 3.938
57748699 46993579
3
4.045
45069108
19.41
4 5 6 7 8 9 10 11 12
4.313 4.363 4.443 5.638 5.713 5.785 6.713 16.317 17.373
1190854 3092894 7498711 1632302 5108772 2012226 9649992 5642118 1742249
0.51 1.33 3.23 0.70 2.20 0.88 4.16 2.43 0.75
13 14 15 16 17
18.633 21.216 22.759 23.331 30.370
9814480 5986334 2686563 6597848 5339014
4.23 2.58 1.16 2.84 2.30
18 19
30.964 32.710
1334922 3834756
0.57 1.65
20
40.000
9198165
3.96
Puncak
Lokasi
Konsentrasi (%) 24.87 20.24
Nama senyawa Methane, tetranitro- (CAS) Tetranitromethane 3,3-DIMETHYL-2-PHENYL-2-(1-OXO1,2,3,4-TETRAHYDRONAPHTHALEN 2-isopropylthio-5-trifluoracetyl-1,3oxathiolyium-4-olat 1,2-Propadiene (CAS) Allene 2-Propanone (CAS) Acetone 2-Butanone, 3-hydroxy-(CAS) Acetoin Acetic Acid (CAS) Ethylic Acid 2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) Acetol Phenol (CAS) Izal 2-Cyclopenten-1- one, 2-hydroxy-3-methyl(CAS) Corylon Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol ISOSORBID Phenol, 4-ethenyl-2- methoxy Phenol,2,6-dimethoxy-(CAS) 2,6 – Dimethoxyphenol Pentadecanoic Acid, 14-methyl-,methyl ester (CAS) METHYL 14-METHYL-F Octadecanoic acid (CAS) Stearic acid Pentadecanoic acid, 14-methyl-methyl ester (CAS) METHYL 14-METHYL-F 1,2-Benzenedicarboxylic acid, dioctyl ester (CAS) Dioctyl phthalate
22
Bhuiyan et al. 2009 juga pernah menguji minyak dari tanaman A. agallocha yang sehat, hasil yang diperoleh tidak mengindikasikan kandungan senyawa sesquiterpene dan turunannya. Hasil yang diperoleh ini berbeda dengan senyawa kimia yang terdeteksi dari A. microcarpa yang diinokulasi seperti disajikan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Komponen gaharu dari tanaman Aquilaria microcarpa yang terinokulasi 1 2 3
Rentang waktu 3.946 4.030 4.521
43336763 21481234 581871973
Konsen. (%) 0.93 0.46 12.54
4 5 6 7 8 9 10 11
6.019 8.809 12.122 14.075 15.679 17.099 18.694 20.623
24235257 14749584 66907808 416783661 23859825 16151567 21427548 983694261
0.52 0.32 1.44 8.98 0.51 0.35 0.46 21.19
12 13 14 15 16 17
21.643 23.226 23.563 25.567 26.441 26.694
153913534 62806288 17828687 44916967 30587272 27159246
3.32 1.35 0.38 0.97 0.66 0.59
18 19
27.034 27.996
24215834 78236288
0.52 1.69
20
28.550
23934213
0.52
21 22
28.971 29.476
80905192 85011925
1.74 1.83
23 24 25 26 27 28 29
29.875 30.275 30.875 31.132 31.338 32.006 32.163
109066979 193368835 105313915 61314943 140581115 225615566 65290314
2.35 4.17 2.27 1.32 3.03 4.86 1.41
30 31 32 33 34
32.625 32.838 33.013 37.340 39.843
69816367 34881132 52133006 148108946 20042318
1.50 0.75 1.12 3.19 0.43
35 36 37 38 39 40
41.873 43.126 44.957 46.421 51.114 52.638
44232320 247582648 112603924 44320723 58536492 64578087
0.95 5.33 2.43 0.95 1.26 1.39
Puncak
Lokasi
Nama senyawa Wolfram, Tricarbonyl- (2,5-Norbornadien) (E-Cycloocten) 2-PROPYNOIC ACID (3a.alpha.,4.alpha.,6a.alpha.)-Hexahydro-4-methylene-1(2H)penta 1-Propanol, 2-methyl- (CAS) Isobutyl alcohol 2-Pentanone, 4-methyl-(CAS) 4-Methyl-2-pentanone 2-Pentanone, 4-hydroxy-4-methyl-(CAS) Diacetone alcohol Ethanol, 2-butoxy- (CAS) 2-butoxyethanol Benzaldehyde (CAS) Phenylmethanal Benzene, 1-methoxy-4-methyl-(CAS) p-Methylnisole Phenol, 4-methoxy- (CAS) Hqmme CYCLOBUTANE, 1-DEUTERO-2-ETHYL-1(PENTADEUTEROETHYL) 2-Butanone,4-phenyl-(CAS) Benzylacetone Benzenepropanoic acid (CAS)PHENYLPROPIONIC ACID 1-(2-VINYL-PHENYL)-ETHANONE 2-Butanone, 4-(4-methoxyphenyl)-(CAS) ENT 20,279 3-phenyl-2-butanone 2-(2’-3”-isopropenyl-1”-cyclopropenyl-2’-methylpropyl) cyclopropyl methyl Beta,-Ionol ETHANONE, 1-(1-HYDROXY-2,6,6-TRIMETHYL-2,4CYCLOHEXADIEN 1-(3-ISOPROPYL-4-METHYL-PENT-3-EN-1YNYL)-1METHYL-CYCLOPRO Gamma, 1-cadinene aldehyde 2-Furancarboxaldehyde, 5-(5-methyl-2furanyl) methyl- (CAS) 5FORMYL “KW3 AUS EPIGLOBULOL” Baimuxinal 3,4-Dihydro-alpha-ionone 1,3-CHYCLOPENTADIEN, 5-5 DIMETHYL-1,2-DIPROPHYL LEDENOXID-(II) Velleral 3-Cyclohexene-1-methanol,.alpha.,.alpha.,4-trimetyl-(CAS) CYCLOHEKSENE Octanal,7-hydroxy-3,7-dimethyl-(CAS) Hydroxycitronella Elemol 9-Heptadecene-4,6-dyn-8-ol. (Z)-(CAS) 8-NAPHTHOL, 1-(BENZYLOXY) 1,2-Benzenedicarboxylic Acid, bis(2-ethylhexyl) ester (CAS) Bis (2-ethylhexyl) PENTANAL, 2[BIS(PHENYLMETHYL) AMINO] -4-METHYL 6-METHOXY-2-(2PHENYLETHYL)-4H-CROMEN-4-ONE 7-(Benzyloxy)-5-hydroxy-2-methyl-4H-1-benzopyran-4-one PENTANAL,2-[ S(PHENYLMETHYL)AMINO]-4-METHYL NORFLUOROCURINE Benzene, (1-methoxypropyl)-(CAS) 1-Methoxy-1-phenylpropane
Gaharu pada umumnya mengandung alkohol sesquiterpen yang menghasilkan aroma khas (Yuan 1995, Ng et al. 1997). Komposisi bahan kimia gaharu berbeda antara Aquilaria yang terinfeksi cendawan (sakit) dengan yang tidak terinfeksi (sehat). Kecuali asam lemak, pada kayu sehat tidak ditemukan senyawa golongan seskuiterpen yang merupakan komponen minyak esensial (Yuan 1995). Selanjutnya Yuan (1995) menemukan perbedaan komponen kimia
23
antara gaharu kualitas tinggi dan rendah. Agarol merupakan senyawa seskuiterpen pertama yang diisolasi dari gaharu (Yuan 1995), dan oxo –agarospirol merupakan komponen aroma gaharu yang dihasilkan dari infeksi cendawan pada kayu A. sinensis. Beberapa senyawa penting yang terkandung dalam gaharu adalah agarospirol, jinkohol dan chromone yang mungkin akan menyebabkan aroma khas gaharu (Nakanishi et al 1984, Ishihara et al 1991; Dai et al 2009). Selanjutnya Yuan (1995) menemukan perbedaan komponen kimia antara gaharu kualitas tinggi dan rendah. Agarol merupakan senyawa seskuiterpen pertama yang diisolasi dari gaharu (Yuan 1995), dan oxo agarospirol merupakan komponen aroma gaharu yang dihasilkan dari infeksi cendawan pada kayu A. sinensis. Kandungan oxoagarolspirol A. sinensis meningkat dua bulan setelah inokulasi. Menurut Ishihara et al. (1991) menyatakan bahwa kusunol, dihidrokanon, karanon, dan oxo-agarospirol merupakan senyawa seskuiterpen yang diisolasi dari gaharu kualitas rendah. Benzilaseton merupakan konstituen gaharu yang telah didentifikasi oleh Yang dan Cheng dari A. sinensis (Burfield 2005). Senyawa chromone juga merupakan konstituen gaharu (Yagura et al. 2005; Konishi et al. 2002; Dai et al 2009). Gaharu merupakan senyawa pertahanan pohon tipe fitoaleksin yang terpicu pembentukannya setelah terjadi serangan, maka pembentukan benzilaseton dan senyawaan chromone ini menunjukkan respon pertahanan pohon terhadap induksi F. bulbigenum. Yagura et al (2003) menemukan turunan cromone baru, yaitu 5-hydroxy-6methoxy-2-(2-phenylethyl) chromone, 6-hydroxy-2-(2-hydroxy-2-phenylethyl) chromone, 8-chloro-2-(2-phenylethyl)-5,6,7–trihydroxy-5,6,7,8-tetrahydro chromone, dan 6,7-dihydroxy-2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrochromone yang diisolasi dari ekstrak MeOH kayu A. sinensis. Hasil GCMS dari tanaman yang diinokulasi ini menunjukkan kesamaan komposisi kimia dengan sampel minyak gaharu dari beberapa peneliti sebelumnya diantaranya: elemol, baimuxinal, 3-phenyl-2-butanone dan 6-methoxy-2-(2phenylethyl)-4H-cromen-4-one, seperti tersaji pada Tabel 3.4. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chen et al 2011, kandungan senyawa baimuxinal yang diperoleh dari alam konsentrasinya sebesar 14,78%, lebih tinggi dibanding konsentrasi yang disuntikkan NaCl ataupun tanaman sehat. Dalam penelitian ini kandungan baimuxinal hanya sebesar 4,17 % dan untuk tanaman yang tidak diinokulasi senyawa tersebut tidak dijumpai. Namun konsentrasi senyawa elemol pada Tabel 3.3 lebih tinggi dibanding hasil penelitian Chen et al 2011. Elemol merupakan salah satu hasil sesquiterpena yang diproduksi oleh fungi pada saat menyerang tanaman (Mannito 1981) disamping tiga puluh sesquiterpena lainnya. Konsentrasi 3-phenyl-2-butanone yang ditemukan pada penelitian ini, bila dibanding dengan hasil penelitian Faridah (2009) dari daerah Kelantan, Pahang dan Terengganu menunjukkan nilai yang lebih rendah. Gubal gaharu sebenarnya adalah resin yang tidak dieksudasikan, melainkan terdeposit dalam jaringan kayu pada pohon. Deposit resin ini mengakibatkan kayu yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak padat berwarna hitam serta wangi. Resin ini termasuk golongan sesquiterpena yang mudah menguap (Ishihara et al. 1991). Namun untuk tanaman yang tidak diinokulasi, resin gaharu ini dapat dijumpai dalam jumlah yang kecil, atau bahkan tidak terdapat sama sekali.
24
Tabel 3.4 Kesamaan senyawa kimia dari beberapa Aquilaria spp Senyawa kimia Baimuxinal
Rumus bangun
Peneliti
CHO
Chen et al 2011 (A. sinensis Lour)
Elemol
Chen et al
2011 (A. sinensis
Lour) 6-Methoxy-2-(2Phenylethyl)-4Hcromen-4-one
H
H
H H
MeO
H
Faridah 2009 (A. maleccencis) Dai et al 2009 (A. sinensis Lour)
H
H
3-phenyl-2-butanone
Faridah 2009 (A. maleccencis)
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, saat ini gaharu bukan saja berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat. Tanaman penghasil gaharu di Cina digunakan sebagai obat sakit perut, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, ginjal tumor paru-paru dan lain-lain. Di Eropa, gaharu ini kabarnya diperuntukkan sebagai obat kanker. Di India, gaharu juga dipakai sebagai obat tumor usus (Putri 2011). Bahkan Asoasiasi Eksportir Gaharu Indonesia (ASGARIN) melaporkan bahwa Negara-negara di Eropa dan India sudah memanfaatkan gaharu dalam pengobatan tumor dan kanker. Di Papua, gaharu digunakan secara tradisional oleh masyarakat dengan mengambil bagian-bagian dari pohon penghasil gaharu (daun, kulit batang, dan akar) digunakan sebagai bahan pengobatan malaria. Sementara air sulingan (limbah dari proses destilasi gaharu untuk menghasilkan minyak atsiri) digunakan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit. Studi farmakologi menunjukkan bahwa A. agallocha dapat menghambat pelepasan histamin dari sel dan menekan reaksi hipersensitif. Ini mungkin berpotensi sebagai agen anti-radang dan /atau analgesik. Dalam penelitian ini ada beberapa senyawa yang dapat digunakan tanaman sebagai pertahanan terhadap patogen dan juga memiliki manfaat bagi manusia baik pada tanaman yang belum diinokulasi dan juga tpada tanaman yang telah diinokulasi, seperti pada Tabel 3.5.
25
3.4 Pembahasan Pada bagian tanaman A. microcarpa yang diinokulasi dengan F. solani dalam tubuh tanaman akan timbul reaksi pertahanan tanaman yang tidak dieksudasi keluar melainkan terdeposit di dalam jaringan kayu dan mengakibatkan perubahan warna jaringan dari putih menjadi coklat kehitaman pada areal terinfeksi akibat akumulasi resin metabolit sekunder yang merupakan senyawa penentu kualitas gaharu. Menurut Blanchette (2004), included phloem merupakan jaringan pada Aquilaria yang mampu mensekresi resin. Jaringan included phloem dan jejari parenkima tersusun oleh sel-sel hidup, sedang unsur trakea xylem dan empulur tersusun oleh sel-sel yang mati, sehingga unsur trakea dan empulur hanya berperan sebagai jaringan pendeposit saja. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa resin yang dihasilkan oleh A.microcarpa terakumulasi dalam jumlah besar di included phloem, sedangkan di bagian lain seperti trakea xilem, serat xilem, dan parenkima jejari resin terakumulasi dalam jumlah sedikit (Rao dan Dayal 1992). Fahn (1991) menyatakan bahwa jaringan parenkima floem yang terdiri dari sel-sel hidup diduga dapat menyimpan pati, lemak, senyawa organik, yang merupakan tempat terakumulasi beberapa metabolit sekunder seperti tanin dan resin. Penginokulasian tanaman A. microcarpa dengan F. solani, dapat menghasilkan aroma wangi khas gaharu diduga disebabkan oleh adanya senyawa gaharu yang terakumulasi pada kayu gaharu tersebut. Tidak semua senyawa gaharu akan memberikan aroma wangi. Taiz dan Zeiger (2002) melaporkan bahwa salah satu senyawa metabolit sekunder yang beraroma wangi adalah sesquiterpenoid. Sebagian besar komponen dalam gaharu teridentifikasi sebagai golongan sesquiterpenoid. Salah satu komponen wangi utama dari gaharu yang pertama diidentifikasi oleh Bhattacharyya dan Jain adalah agarol yang merupakan senyawa monohidroksi (Prema dan Bhattacharrya 1962). Fitoaleksin merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh jaringan inang sebagai tanggapan terhadap invasi patogen (Semangun 1996). Senyawa ini terakumulasi sampai pada suatu batas (threshold) yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen. Fitoaleksin berupa metabolit tanaman yang bersifat antimikrobia, pada tanaman sehat kadarnya sangat rendah atau tidak terdeteksi, dan akan terakumulasi sebagai akibat patologis, fisik dan rangsangan-rangsangan lain dari lingkungan. Pembentukan fitoaleksin dapat diinduksi oleh jamur, bakteri, virus, nematoda, senyawa kimia toksik atau perlakuan fisik. Beberapa fitoaleksin bersifat toksik terhadap bakteri, nematoda, jamur dan binatang (Misaghi 1982). Hasil uji kandungan senyawa terpenoid dalam penelitian ini menunjukkan bahwa endapan ekstrak kayu gaharu yang memiliki warna coklat kemerahan, mengindikasikan terbentuknya senyawa-senyawa sterol dan triterpenoid. Sterol merupakan salah satu senyawa yang tergolong dalam senyawa terpenoid (Harborne 1988). Sterol adalah terpenoid yang terikat asam lemak. Pada tumbuhan senyawa ini dihasilkan dari biosintesis senyawa triterpenoid sikloartenol (Lenny 2006). Sterol memiliki peranan penting dalam fungsi biologis
26
organisme yaitu mempertahankan integritas struktural membran dan permeabilitas membran dalam regulasi berbagai ion (Mann 1987). Seskuiterpena merupakan salah satu komponen utama gaharu. Burfield (2005) mengungkapkan 8 komponen seskuiterpena, yaitu α-agarofuran, (-)-10epi-δ-eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkoh-eremol, kusunol, jinkohol II, dan okso-agarospiral. Ishihara et al. (1993) melaporkan pula bahwa ada 8 komponen seskuiterpena yang berbeda dari Burfield (2005), yaitu (-)-selina-3,11-dien-14-al, (+)-selina-4,11-dien-14-al, asam selina-3,11-dien-14-at, asam selina-4,11-dien14- at, 9-hidroksiselina-4, 11-dien-14-at, (+)-1,5-epoksi-nor-ketoguaiena, dehidro-jinkoh-eremol, dan neo-petasana. Namun dalam penelitian ini hanya ditemukan beberapa senyawa sesquiterpena yang diduga bergaharu, hal ini dapat disebabkan karena suhu alat pyrolisis GCMS tesebut bekerja pada suhu 3000C, sehingga beberapa senyawa yang diperoleh diduga merupakan turunan dari komponen utama gaharu tersebut. Perbedaan hasil GC MS antara tanaman yang tidak diinokulasi dan tanaman telah yang diinokulasi tiga tahun, menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat virulensi F. solani disamping ketahanan tanaman dan lingkungan yang mendukung terbentuknya gaharu. Pada tanaman yang tidak diinokulasi, senyawa gaharu tidak ditemukan. Senyawa gaharu yang ditemukan, selain berfungsi sebagai pertahanan tanaman terhadap patogen juga bermanfaat bagi kesehatan manusia. Produksi senyawa metabolit sekunder pada tanaman mempunyai variabilitas yang tinggi karena sangat tergantung pada kondisi iklim, hama dan penyakit serta kondisi fisiologis dari tanaman tersebut. Pada beberapa pengujian hasil ekstrak tanaman penghasil gaharu menunjukkaan kemampuan anti mikroba dan juga sebagai antipiretik, analgesik serta anti-oksidatif tanpa aktivitas antiinflamasi (Sattayasai et al 2012). Menurut Ebadi (2007), senyawa-senyawa alkaloid dan juga senyawa Benzene dan turunannya merupakan golongan dari hidrokarbon aromatik yang berguna sebagai anti jamur, optical brightening agent dan dyes. Selain itu senyawa sesquiterpene yang diekstrak dari tanaman dapat berfungsi sebagai antioksidan, diuretik dan juga sebagai antipiretik. Pengujian kandungan senyawa gaharu serta manfaatnya terutama dalam bidang farmasi masih perlu dikembangkan guna mendapatkan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi manusia. 3.5 Simpulan Perbedaan ciri anatomi tanaman yang berinteraksi dengan F. solani, terdapat pada warna kayu, bahan endapan dalam pori, aroma kayu dan juga endapan dalam included phloem. Pengujian endapan dalam pori dengan menggunakan GCMS pada tanaman yang berinteraksi dengan F. solani mengandung beberapa senyawa pembentuk gaharu yaitu struktur dasar seskuiterpenoid seperti baimuxinal, elemol, 6-Methoxy-2-(2-Phenylethyl)-4Hcromen-4-one dan 3-phenyl-2-butanone, sedang pada tanaman yang tidak diinokulasi, endapan maupun senyawa yang diperoleh tidak mengindikasikan hal tersebut.
27
4 GENOTIPE TANAMAN AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT
4.1 Pendahuluan Penelitian terdahulu mengenai karakter fenotipe tanaman A.microcarpa, menunjukkan perbedaan antara tanaman bergaharu dan tidak, namun sifat kuantitatif ini umumnya dikendalikan oleh banyak gen dan sangat dipengaruhi lingkungan sehingga perbedaan tersebut terkadang sulit diamati. Penanda fenotipe memiliki keterbatasan karena memerlukan informasi karakter vegetatif dan generatif sehingga umumnya baru dapat teramati setelah tanaman dewasa (Jumari dan Pudjoarianto 2000). Oleh karena itu untuk mendapatkan informasi pembeda antara tanaman bergaharu dan tidak, perlu dilakukan karakterisasi genotik(Finkeldey 2005). Karakterisasi genotik dapat dilakukan dengan bantuan marka molekuler, karena memiliki tingkat akurasi dan efesiensi yang lebih tinggi. Marka molekuler seringkali dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita polimorfisme berdasarkan fragmen DNA. Keunggulan penanda molekuler adalah keakuratan data yang diperoleh dimana tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, pada pengujian hama dan penyakit tidak tergantung pada organisme pengganggu, penggunaan pada kegiatan seleksi pemuliaan tanaman dapat membantu mempercepat proses seleksi dan lebih hemat pada pengujian selanjutnya dilapangan (Kasim dan Azrai 2004). Teknologi marka molekuler pada genus Aquilaria berkembang sejalan dengan makin banyaknya pilihan marka DNA, diantaranya penggunaan marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polimerase yaitu polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer, seperti random amplified polymorphic DNA (RAPD) dilakukan oleh (Lee et al. 2011), sequence characterized amplified regions (SCARs) (Lee et al. 2011), bahkan Meiling et al. (2012) menemukan 567 pita polimorfik dari 112 accessions A. sinensis dengan menggunakan marka inter-simple sequence repeats (ISSR) dan sequence-related amplified polymorphism (SRAP) dari 11 lokasi. Marka mikrosatelit merupakan marka genetik yang bersifat kodominan dan memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi bahkan dapat diwariskan mengikuti hukum Mendel (Powell et al 1996; Hancock 1999). Eurlings dan Gravendeel (2006), mendesain empat pasang primer mikrosatelit untuk tanaman A. crassna yang memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi. Disamping itu Eurlings et al. (2010) mendesain kembali satu primer baru (71PA17) untuk menguji beberapa sampel A. crassna dari beberapa daerah di Asia. Beberapa pertimbangan penggunaan marka mikrosatelit diantaranya; marka terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi dan lokasi genom dapat diketahui, disamping itu marka mikrosatelit merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih,
28
pemetaan dan seleksi genotipe untuk karakter yang diinginkan bagi studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik (Powell et al. 1996). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka genotyping tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani diharapkan dapat dilakukan dengan menggunakan marka mikrosatelit guna mendapatkan karakter-karekter molekuler, yang diharapkan dalam membantu kegiatan pemuliaan tanaman A. microcarpa dimasa mendatang.
4.2 Bahan dan Metode Pengujian F. solani Pada Tingkat Semai A. microcarpa Baill Untuk mengetahui respon tanaman terhadap F. solani, dilakukan pengujian terhadap 40 tanaman muda (semai) dengan empat strain isolat F. solani yang telah diinokulasikan pada tanaman dewasa di Carita Banten sehingga, masing-masing strain Fusarium diujikan pada 8 tanaman muda. Jenis dan asal strain F. solani masih dalam penelitian pihak Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) Bogor, untuk itu kode strain F. solani pada riset ini berdasarkan kode peneliti yaitu; F. solani FORDA 512, F. solani FORDA 500, F. solani FORDA 509 dan F. solani FORDA 2969. Pengamatan dilakukan terhadap respon tanaman dari sejak inokulasi sampai gejala awal Nampak, dengan satuan hari setelah inokulasi (hsi). Selanjutnya dilakukan penghitungan keparahan dengan menggunakan kategori serangan atau skala kerusakan menurut Mak et al. (2008), yaitu 0 = tidak ada gejala, 1= tidak ada infeksi, 2= daun sedikit menguning, 3 daun menguning, 4= daun kuning kecoklatan dan 5 = daun gugur, kemudian dihitung dengan rumus keparahan penyakit (disease severity indeks/DSI); Tingkat keparahan (severity) Keterangan,
n = Jumlah daun dari tiap kategori serangan v = Nilai skala tiap kategori serangan Z = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi N = Jumlah daun yang diamati
Tingkat virulensi setiap isolat ditentukan dengan skor rata-rata dari semua tanaman contoh pada pengamatan terakhir menggunakan kriteria Mak et al. (2008), pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Kriteria virulensi isolat Fusarium solani pada tanaman muda Aquilaria microcarpa Skor (v) Tingkat virulensi isolat 0 Tidak virulen 0 10 Virulensi tinggi
29
Ekstraksi DNA Metode yang digunakan untuk ekstraksi DNA ini adalah metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi (Murray dan Thompson 1980). Sebagian besar metode untuk ekstraksi DNA dari jaringan tanaman yang terdapat dalam literatur, memerlukan waktu yang lama dan bahan kimia yang mahal seperti chesium khlorida sehingga kurang efisien (Brown et al 1993). Daun segar dipotong dengan ukuran 2 cm X 2 cm, kemudian digerus dengan menambahkan nitrogen cair di dalam pestel/mortar yang bersih. Hasil gerusan kemudian dimasukkan kedalam tabung mikro 2 mL dan ditambahkan larutan penyangga sebanyak 500 – 700 µL. Agar daun hasil gerusan tercampur dengan larutan penyangga dan PVP 2% secara merata maka tabung yang berisi hasil gerusan tersebut di vortex. Setelah itu diinkubasi dalam dalam water bath selama 45 menit – 1 jam sambil dibolak-balik setiap 15 menit. Suhu optimal yang digunakan dalam proses inkubasi berkisar antara 65-700C. Apabila proses inkubasi melebihi suhu optimal maka DNA yang ada dalam tube akan rusak. Setelah proses inkubasi, tabung mikro tersebut diangkat dan didinginkan selama 15 menit kemudian ditambahkan kloroform sebanyak 500 µL dan fenol sebanyak 10 µL, lalu sentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan sisa-sisa gel dengan menggunakan pipet mikro lalu dipindahkan kedalam tabung mikro baru. Kemudian ditambahkan chloroform dan fenol sebanyak dua kali yang bertujuan untuk menghilangkan pelarut organik yang tersisa dalam larutan. Supernatan yang telah terpisah dari fase organik, ditambahkan isoproponal dingin sebanyak 500 µL dan NaCl 300 µL. Campuran ini disimpan dalam freezer selama 45 menit – 1 jam. Hasil pengendapan tersebut disentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit kemudian cairan dalam tabung mikro dibuang. Hasil pengendapan akan berupa pelet DNA. Pelet DNA ini kemudian ditambahkan etanol 300 µL dan disentrifuge selama 2 menit pada kecepatan 13.000 rpm, kemudian cairan etanol tersebut dibuang. Setelah itu pelet DNA yang tersisa dalam tabung mikro dikeringkan dalam desikator dengan posisi terbalik selama 10 menit lalu ditambahkan larutan TE sebanyak 20 µL divortex kemudian disimpan didalam freezer. Proses pengeringan pelet DNA dilakukan, disiapkan agarose 1% (0,33 gram agarose dalam 33 mL TAE). Untuk proses elektroforesis, diambil 3 µL DNA ditambahkan 2 µL blue juice 10 X dan kemudian di running pada tegangan 100 volt selama ± 30 menit. DNA akan bergerak kearah positif (anoda). Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan etidium Bromide (ETBR) 10 µL per 200 ml aquades selama 3 – 5 menit dan selanjutnya dilihat pada UV transiluminator. Seleksi Primer Primer yang digunakan dalam penelitian terdiri atas empat primer spesifik untuk jenis Aquilaria (Eurlings et al. 2010). Primer tersebut diisolasi dan didesain
30
oleh Eurlings dari jenis A. crassna. Keempat primer tersebut adalah 6pa18, 10pa17, 16pa17, dan 71pa17 seperti disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Primer mikrosatelit Aquilaria crasna menurut Eurlings et al. (2010) Lokuss
Sekuens Primer (5’–3’)
Repeat (CA)8
Ukuran basa (bp) 180–210
Jumlah alel 7
TA (OC) 50
6pa18
F: TGAGGCGTGAGTGAGATATTGATT R: CCTTCCTCTCTTCTTACCTCACCA
10pa17
F: ACACACTGTTATGGTCTACAGCTT R: CGCCATCTCATAATATTCTAATGTA
(CA)12
152–156
3
50
16pa17
F: AGTGAACAACTTGACTAGGCTTG R: GCTGAACACAACAAGATATCACC
(CA)19
143–155
6
59
71pa17
F: AGCAAACAGTGGGATAAGGTC R: AGAAAGGAGGCGAAACGAAT
(CA)15
152–224
15
54
Note TA= Annealing Temperature (oC)
PCR (Polymerase Chain Reaction) Proses PCR membutuhkan 4 komponen utama yaitu H2O, HotStar Mix dari Promega, primer dan DNA. DNA hasil proses ektraksi sebelum dilakukan proses amplifikasi PCR harus dilakukan pengenceran dengan menggunakan aquabidest. Besarnya perbandingan antara DNA dengan aquabidest tergantung dari tebal dan tipisnya DNA hasil ekstraksi. Untuk proses PCR, DNA 1,5 µl dicampurkan dengan HotStar Mix 7,5 µL, Nuclease-free water 2,5 µL dan primer 1,5 µL) disentrifugasi selama 5-10 detik kemudian dimasukkan kedalam mesin PCR. Pengujian polimorfisme dilakukan dengan melihat pita hasil PCR yang divisualisasi berdasarkan hasil elektroforesis. Hasil pengujian ini dikatakan polimorfisme jika pola pita yang dihasilkan mempunyai sekurang-kurangnya lebih dari satu variasi, sedang hasil pengujian dikatakan monomorfik jika tidak memperlihatkan adanya variasi pada pola pita hasil elektroforesis. Analisis data molekuler dilakukan berdasarkan hasil skoring pita DNA yang muncul pada gel poliakrilamid dengan pewarnaan perak, dimana pada masing-masing lokus diasumsikan sebagai alel mikrosatelit. Pita DNA ini diukur panjangnya dengan menggunakan mistar, kemudian hasil pengukuran dimasukkan kedalam persamaan panjang fragmen yang diperoleh dengan software Minitab versi 15. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan pita DNA mikrosatelit yang diskoring berada pada posisi yang tepat dan optimasi agar/akrilamid telah benar. Alel mikrosatelit adalah kodominan, maka genotipe ditentukan berdasarkan variasi pita alel yang ada. Jumlah dan frekwensi alel diperoleh dari POPGEN versi 1.32 (Francis dan Yang 2000). Untuk mengetahui penyebaran alel pada setiap individu dari ketiga populasi yang teramati, dilakukan analisis dengan program Bayesian STRUCTURE versi 2.3 (http://pritch.bsd.uchicago.edu/structure.html).
31
Karakterisasi Genomik Fragmen Mikrosatelit Hasil amplifikasi PCR dari tanaman A.microcarpa ini, selanjutnya digunakan untuk mengetahui perbedaan pola karakter mikrosatelit antara tanaman yang telah diinokulasi maupun tidak diinokulasi dan juga pada tanaman muda (anakan). Sampel yang disekuens dari tingkat semai adalah sampel A dan C, untuk yang diinokulasi adalah sampel pohon 9 dan 11 sedang yang tidak diinokulasi berasal dari pohon 12 dan 15. Produk amplifikasi yang diharapkan dalam penelitian ini berkisar antara 158-224 bp. Pada penelitian ini sampel yang akan disekuensing sebanyak 8 buah dengan dua lokus, sehingga untuk masing-masing populasi hanya diujikan pada 2 lokus. Pemilihan sampel yang akan disekuensing berdasarkan frekwensi alel dan tingkat kemiripan band antar populasi. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran variasi urutan basa DNA yang diperoleh dari hasil perunutan (sekuensing) produk PCR dengan DNA cetakan (template) yang berasal dari genom A.microcarpa dan primer mikrosatelit dari tanaman A.crassna. Proses sekuensing produk PCR menggunakan mesin perunutan otomatis ABI PRISM 377 (Applied Biosystems, Foster City, CA, USA). Kegiatan perunutan (sequencing) nukleotida dilaksanakan di 1st BASE Laboratories Sdn.Bhd., Malaysia. (http://www.base-asia.com/) Urutan basa yang diperoleh dari hasil sequencing selanjutnya dianalisis dengan program BLASTn (Basic Local Alignment and Search Tool for Nucleotida) (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi) untuk mengetahui kesesuaian urutan basa atau asam amino yang didapatkan dari suatu gen atau protein dengan urutan lain yang ada dalam bank data gen. Fragmen DNA hasil PCR yang diurutkan dianalisis dengan program BLASTn. Analisis dengan program ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara urutan basa yang didapatkan dengan urutan yang terdapat dalam bank data gen. Urutan yang didapatkan diharapkan memiliki tingkat homologi yang tinggi (e-value <10 -4) dengan gen yang sesuai (Claverie dan Notredame 2003). Analisis hubungan kemiripan susunan urutan nukleotida ditentukan dengan metode aligment (pensejajaran) dengan perangkat lunak ClustalW (EMBL-European Bioinformatics Institute). Jarak genetik digunakan untuk membandingkan setiap individu dari individu lain berdasarkan pensejajaran fragmen mikrosatelit dengan menggunakan perangkat lunak ClustalW dalam situs EBI (http://www.ebi.ac.uk). Hasil Clustalw berupa cladogram atau pohon filogeni selanjutnya dibaca menggunakan perangkat lunak Mega 5. (http://www.megasoftware.net/) 4.3 Hasil Karakterisasi Aquilaria microcarpa Berdasarkan Marka Mikrosatelit Hasil pengujian amplifikasi fragmen DNA dengan menggunakan empat pasang primer mikrosatelit pada populasi A.microcarpa, menunjukkan bahwa hanya dua primer yang mampu mengamplifikasi DNA dengan baik. Adapun deskripsi DNA elektropherogram dari kedua lokus disajikan pada Gambar 4.1.
32
.
A1
A2
A3
A4
N1
N2
N3
N4
I1
I2
I3
I4
M
300 bp 224 bp 210 bp
200 bp
184 bp
100 bp
Gambar 4.1 Pola amplifikasi PCR dengan primer 71Pa17 pada tanaman Aquilaria microcarpa anakan (A), tidak diinokulasi (N) dan diinokulasi (i) Dua pasang primer lainnya yakni 10 PA 17 dan 16 PA 17, tidak menghasilkan produk amplifikasi. Eurlings et al. (2010) melakukan pengujian terhadap 12 primer microsatelit pada tanaman A. crassna, 4 primer diantaranya mengamplifikasi sampel dengan pola polimorfik, satu primer teramplifikasi monomorfik dan 7 primer lainnya tidak teramplifikasi. Kegagalan amplifikasi dalam penelitian ini dimungkinkan karena adanya ketidak sesuaian sekuen primer dengan sekuen DNA cetakan, seperti dilaporkan Eurlings et al. (2010) dimana dari beberapa sampel A. crasna untuk lokasi berbeda, pasangan primer yang dirancangnya tidak semua dapat mengamplifikasikan sampel tanaman uji. Primer yang digunakan dalam penelitian ini telah dilaporkan keberhasilannya dalam mengamplifikasi beberapa DNA tanaman penghasil gaharu dari berbagai wilayah (Siburian 2009; Eurlings et al. 2010; Irmayanti 2011). Pasangan primer mikrosatelit 6 PA 18 dan 71 PA 17 yang diuji pada A. microcarpa mampu mengamplifikasi 5 hingga 6 alel. Alel tersebut bersifat polimorfis seperti disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Kemampuan amplifikasi Primer mikrosatelit pada Aquilaria microcarpa Nama Primer 6 PA 18 10 PA 17 16 PA 17 71 PA 17
Ukuran Fragmen (bp) 180-210 152-156 143-155 152-224
Kemampuan amplifikasi
Perkiraan Panjang Fragmen (bp)
Jumlah alel
Keterangan
+ +
184,194,198,202,222 158,166,178,194,198,202,222
5 6
Polimorfik Polimorfik
Keterangan: + : teramplifikasi, -: tidak teramplifikasi
Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika sekurang-kurangnya ada dua variasi alel yang berbeda dan frekwensi dari alel yang sering ditemukan kurang dari 95 % (Finkeldey 2005). Ukuran maupun jumlah alel dilakukan menurut Leung et al. (1993) dengan asumsi bahwa semua pita DNA dengan laju migrasi yang sama, digolongkan sebagai lokus yang homolog. Data profil DNA ini kemudian diterjemahkan kedalam data matrik jarak berdasarkan nilai heterosigositas dari populasi yang dibandingkan. Hasil amplifikasi primer
33
mikrosatelit ini dapat di gunakan sebagai kandidat marka pada tanaman A. microcarpa. Panjang fragmen hasil amplifikasi silang dari primer spesifik jenis A.crassna berhasil dilakukan dengan kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan. Syarat utama terjadinya amplifikasi DNA dengan satu jenis primer adalah apabila primer tersebut mempunyai urutan basa nukleotida yang merupakan komplemen dari kedua untai cetak DNA pada posisi yang berlawanan. Adapun panjang fragmen hasil amplifikasi silang disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Panjang fragmen hasil amplifikasi silang pada lokus 6Pa18 dan 71Pa17 Lokus
Alel (bp)
6PA18
1 5 2 -
1 5 4 -
1 5 8 -
1 6 6 -
1 6 8 -
1 7 0 -
1 7 4 -
1 7 6 -
1 7 8 -
1 1 8 8 0 6 - √
1 9 4 √
1 9 6 √
1 9 4 √
71PA17
-
-
A A -
-
-
-
√
-
Ф
-
Ф Ф Ф -
-
1 9 8 √
2 2 2 0 0 2 2 6 2 √ - √
2 2 4 A
√ Ф
Keterangan : - = ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), tidak ada dalam penelitian Φ = tidak ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), ada dalam penelitian √ = ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009) dan penelitian A = Tidak ada dalam A. crassna, hanya pada lokus tertentu dalam penelitian
Berdasarkan Tabel 4.4 penulisan alel didasarkan pada panjang fragmen, misalnya untuk alel dari populasi inokulasi dapat ditulis I158, I196, I198, I202, dan I222, begitu pula penulisan nama pada populasi lainnya. Pengujian F. solani Pada Tingkat Semai A. microcarpa Baill Hasil pengamatan karakter morfologi A. microcarpa yang diinduksi F. solani pada tingkat semai, menunjukkan variasi ketahanan tanaman terhadap jenis F. solani yang diujikan sejak minggu pertama penginokulasian, terutama pada jenis F. solani FORDA 512. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning bahkan mengakibatkan gugur daun, seperti terlihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3
34
Gambar 4.2
Morfologi tanaman setelah 4 hari diinokulasi Fusarium solani FORDA 512
Gambar 4.3 Morfologi daun setelah 8 hari, diinokulasi Fusarium solani FORDA 512 Genotipe setiap semai dan tingkat keparahan inokulasi lima jenis F. solani pada tanaman muda A. microcarpa berdasarkan lokus 6PA18 dan 71Pa17 seperti disajikan dalam Tabel 4.5. Hasil pengukuran panjang fragmen yang terdeteksi, dimana lokus 6PA18 memiliki 10 variasi genotipe yaitu 184/184, 184/198, 198/198, 198/210, 210/210, 198/198, 198/210, 198/222, 210/210, 210/222 sedang untuk lokus 71PA17 memiliki 8 variasi genotipenya diantaranya 158/158, 166/166, 166/178, 178/178, 178/198, 194/195, 194/198 dan 198/198. Pengujian ketahanan terhadap suatu spesies tanaman, terkadang menyebabkan pergeseran ketahanan. Dalam pengujian interaksi F.solani terhadap tanaman A. microcarpa yang dilakukan di kebun percobaan Carita Banten, untuk kode F. solani FORDA 509 menunjukkan tingkat virulensi yang tinggi dibandingkan dengan kode Fusarium lainnya. Namun berdasarkan nilai rata-rata dan standart deviasi untuk pengamatan pengaruh F. solani pada tanaman muda, terlihat bahwa pada pengamatan minggu pertama dan kedua F. solani FORDA 512 memiliki tingkat virulensi yang tinggi dan berbeda nyata dengan jenis F. solani yang lain, terutama pada genotipe 198/198, 198/222 dan 178/178.
35
Tabel 4.5 Tingkat keparahan inokulasi lima jenis Fusarium solani pada tanaman muda Aquilaria microcarpa Jenis Fusarium 512
500
509
2969
Control
No. Tanaman A B C D E F G H 1 2 3 4 5 6 7 8 I II III IV V VI VII VIII a b c d e f g h c1 c2 c3 c4 c5 c6 c7 c8
Genotipe 71Pa17 6Pa18 198/198 178/178 198/198 178/178 198/222 178/178 202/202 198/198 202/202 198/198 202/202 198/198 202/202 198/198 202/202 198/198 202/222 198/198 202/202 198/198 202/222 198/198 202/202 198/198 202/202 198/198 198/202 198/198 202/202 198/198 198/202 198/198 202/222 198/198 198/222 198/198 198/222 198/198 198/198 198/198 198/198 198/198 198/198 198/198 198/198 178/198 198/198 178/198 198/198 178/198 198/198 178/198 198/222 178/198 202/202 178/198 202/202 178/198 202/202 178/198 202/202 178/198 202/202 178/198 202/222 178/198 202/222 178/198 202/202 178/198 202/202 178/198 202/202 178/198 198/222 178/178 202/202 178/178 198/202 178/178
1 MSI
2 MSI
3 MSI
4 MSI
3.9024 6.1538 1.2903 0.0000 10.0000 1.8182 1.8182 13.7931 6.0000 0.0000 0.0000 1.3333 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3.9024 8.4615 1.2903 5.0000 20.7143 6.3636 6.3636 26.2069 12.0000 0.0000 0.0000 3.3333 2.7586 0.0000 0.0000 2.0513 0.0000 11.1111 2.8571 0.0000 4.4444 1.8182 0.0000 4.0000 0.0000 2.0000 7.6190 4.6154 10.9677 15.7895 4.1379 8.3333 10.0000 1.6000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5.3659 8.4615 2.5806 9.4444 3.5714 7.2727 4.5455 5.5172 15.0000 6.6667 1.1765 3.3333 4.1379 4.5161 6.0000 1.5385 7.4074 10.0000 4.2857 5.4545 11.1111 8.1818 12.0000 6.0000 2.0000 9.0000 7.6190 4.6154 10.9677 15.7895 4.1379 10.8333 10.0000 1.6000 1.5385 3.8095 0.0000 2.8571 6.4000 9.3333
8.2927 13.0769 3.8710 1.6667 4.2857 8.1818 5.4545 8.2759 18.0000 6.6667 1.7647 10.0000 4.1379 5.8065 9.0000 2.5641 11.1111 15.5556 4.2857 8.1818 13.3333 10.9091 18.0000 9.0000 3.0000 12.0000 11.4286 6.9231 16.7742 24.2105 6.2069 12.5000 15.0000 2.4000 2.3077 5.7143 0.0000 4.2857 9.6000 14.0000
Keterangan: MSI = Minggu setelah inokulasi Struktur genetik Aquilaria microcarpa Frekuensi alel untuk masing-masing lokus dari populasi inokulasi, non inokulasi maupun populasi anakan yang diuji, disajikan pada Gambar 4.5, dan untuk data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Sembilan alel mikrosatelit terdeteksi pada tiga populasi A. microcarpa, dengan jumlah yang bervariasi dari kedua lokus 6 Pa 18 dan 71 Pa 17. Eurlings et al (2010) mendeteksi 3 hingga 15 alel dari empat lokus polimorfik yang digunakan pada A. crasna.
36
Gambar 4.5 Distribusi frekuensi alel pada lokus 6PA18 (A) dan 71PA17 Lokus mikrosatelit 71Pa17 mendeteksi alel jarang yakni alel 178 pada populasi anakan (2,5%). Alel disebut jarang apabila frekuensi terdeteksinya <5% dari seluruh genotipe yang dianalisis. Alel-alel intermediate (5%≤frekuensi≤30%) dan alel-alel umum mencapai 41% dari seluruh alel yang diperoleh. Sebagian besar alel-alel jarang juga merupakan alel spesifik, yaitu alel yang dimiliki oleh sebuah genotipe tertentu (Santoso et al 2006). Alel-alel ini dapat menjadi penciri suatu tanaman (fingerprinting) apabila berkaitan dengan gen-gen penting yang bermanfaat (Santoso et al. 2006). Genotipe-genotipe dengan alel jarang dapat menjadi sumber keragaman genetik baru untuk pemuliaan dan perbaikan genetik, terlebih bila alel-alel tersebut berkaitan dengan karakter penting tanaman ataupun ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Hasil analisis lanjut terhadap penyebaran alel dari setiap individu pada ketiga populasi yang teramati, dengan menggunakan program analisis Bayesian STRUCTURE, ∆K menunjukkan K=3 yang berarti populasi A.microcarpa dalam penelitain ini terbagi menjadi tiga grup genetik yang berbeda. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa proporsi alel berbaur disetiap populasi, sehingga tidak keseluruhan alel dapat digunakan untuk membedakan tanaman bergaharu dengan tidak bergaharu seperti pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Struktur penyebaran alel pada setiap individu
37
Karakterisasi Genomik Fragmen Mikrosatelit pada A. microcarpa Hasil amplifikasi PCR menunjukkan bahwa fragmen yang terbentuk sangat pendek yakni kurang lebih 180 bp. Hasil tersebut, selanjutnya disekuens untuk mengetahui perbedaan pola karakter mikrosatelit antara tanaman yang telah diinokulasi maupun tidak diinokulasi juga pada tanaman muda (anakan). Urutan basa yang diperoleh dari hasil sequencing selanjutnya dianalisis dengan program BLAST dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.7. Tampilan grafik menunjukkan fragmen DNA yang dianalisis memiliki tingkat homologi yang rendah dengan gen yang terdapat dalam bank gen, hal ini ditunjukkan oleh garis dalam grafik yang hampir semuanya berwarna biru.
. Gambar 4.7 Analisis BLAST fragmen DNA Aquilaria microcarpa dengan NCBI Hasil sekuen DNA kemudian dialignment atau disejajarkan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesamaan dan perbedaan hasil sekuen antara tanaman A.microcarpa yang diamati berdasarkan susunan nukleotida, disajikan pada Gambar 4.8. Berdasarkan hasil pensejajaran sekuen DNA lokus 6Pa18 ditemukan beberapa perbedaan antar sekuen yakni 3 site pada site tunggal (singleton variable sites) diantaranya: 139,141,dan 143. Untuk site informasi Parsimony (two variants) ada 10 site yakni: 26, 125, 126, 130, 134, 136, 137, 140, 158 dan 159 juga 2 site polimorfik informasi Parsimony (three variants): 25 dan 161. Hasil pensejajaran menunjukkan tingkat homologi yang tinggi diantara sampel-sampel yang diteliti, walaupun dijumpai juga beberapa gap (ditandai oleh garis putusputus). Gap ini menunjukkan proses mutasi, baik berupa insersi maupun delesi. Pada lokus 6Pa 18, tidak ditemukan pengulangan urutan basa mikrosatelit, walaupun primer ini dapat mengamplifikasi dengan baik pada populasi yang diujikan. Hal ini diduga karena primer mikrosatelit yang digunakan, bukan merupakan primer spesifik tanaman A.microcarpa. Namun populasi anakan 1 yang disekuens menunjukkan susunan basa nukleotida yang hampir sama dengan populasi inokulasi 2, demikian juga dengan populasi anakan 2 memiliki tingkat kesamaan susunan basa nukleotida yang mirip dengan populasi inokulasi 1. Namun demikian susunan basa spesifik antara populasi anakan dan inokulasi pada lokus ini tidak ditemukan.
38
Anakan_1_6Pa18 Inokulasi_2_6Pa18 Non_inokulasi_2_6pa18 Non_inokulasi_1_6pa18 Anakan_2_6Pa18 Inokulasi_1_6Pa18
TGAGGCGTGATGCTCGATGAAAGGCGCGCACCAAAACCCACAATC----- 45 ..........-------------.TG---------------..T.----- 17 ..........-------------.TG---------------..T.----- 17 ..........-------------.TGA--------------..T.----- 18 ..........-------------.AA---------------..C.CACAG 22 ..........-------------.AA---------------..A.----- 17
Anakan_1_6Pa18 Inokulasi_2_6Pa18 Non_inokulasi_2_6pa18 Non_inokulasi_1_6pa18 Anakan_2_6Pa18 Inokulasi_1_6Pa18
---AAATCAATATCTCTCACTCACCCCAAC----------------------...........................----------------------...........................----------------------...........................-------------------ATC...........................CTATCAATGTTTTTGCTAGA ---...........................CTATCAATGTTTTTGCTAGA
72 44 44 45 72 64
Anakan_1_6Pa18 Inokulasi_2_6Pa18 Non_inokulasi_2_6pa18 Non_inokulasi_1_6pa18 Anakan_2_6Pa18 Inokulasi_1_6Pa18
---------------------TTTCTCAATCTCTCGGGAAACA---------------------------TTTCT...T...T.GG.AAA.A---------------------------TTTCT...T...T.GG.CAA.G------------------------------CT...T...T.GG.AAG.A------AGAGATTAATTTCATTCATGCTTTGC...A...A.AT.ACA.AGATGGGC AGAGATTAATTTCATTCATGCTTTGC...A...A.AT.ACA.AGATGGGC
94 66 66 64 122 114
Anakan_1_6Pa18 Inokulasi_2_6Pa18 Non_inokulasi_2_6pa18 Non_inokulasi_1_6pa18 Anakan_2_6Pa18 Inokulasi_1_6Pa18
-----CGCGAGGAGGCG -----..CG.G----------..CG.CAA--------..CG.CCAC-CG CATCC..TA.AAAACCG CATCC..TA.AAAACCG
106 72 74 75 139 131
Gambar 4.8 Pensejajaran hasil sekuen DNA Aquilaria mikrocarpa lokus 6Pa18. Tanda (.) menunjukkan urutan basa yang sama dengan sampel lain, sedang (-) melambangkan gap. Pada lokus 71Pa17 ditemukan 18 situs tunggal yang berbeda antara sekuen diantaranya situs 85, 97, 139, 141, 143, 146, 153, 154, 155, 173,176, 178, 180, 187, 189, 191, 192 dan 194 disamping itu ada 6 site informasi Parsimony (two varians) yang berbeda dengan yang lainya yakni site 84, 86, 95, 163, 185, dan 188 sepert disajikan dalam Gambar 4.7. Hal ini dapat digunakan sebagai kandidat penciri tanaman yang memiliki tingkat ketahanan yang sama terhadap Fusarium solani. Hasil sekuensing DNA A.microcarpa pada lokus 71Pa17 menunjukkan adanya persamaan beberapa nukleotida antara populasi inokulasi dengan populasi anakan. diantaranya pada site 86,88,89, 90 dan 130 seperti pada Gambar 4.9. Hal ini dapat digunakan sebagai penduga kemiripan gen tanaman, antara tanaman yang diinokulasi dengan anakan.
39
Anakan_2_71pa17 Inokulasi_2_71pa17 Inokulasi_1_71pa17 Anakan_1_71pa17 Non_Inokulasi_1_71pa17 Non_inokulasi_2_71pa17
-----------------------------------AACACAGGGGGAGAA 15 -------------------------------------------------AGTTTGGCAAAGCAAAAATAAAATATATCTCCTCTAGCAAAGAGTGGGAT 50 -------------------------------------------GGGAGAA 7 ---------------------------------------------------------------------------------------------------
Anakan_2_71pa17 Inokulasi_2_71pa17 Inokulasi_1_71pa17 Anakan_1_71pa17 Non_Inokulasi_1_71pa17 Non_inokulasi_2_71pa17
GGTCTCTCTCTCTCTCTCTCTCTCCTGTTTATCTATGTTTTTGCTAG.AG -------------------------------T.TATGTTTTTGCT.G.AG AATGTCTCTCTCTCTCTCTCTCTCCTGTTTAT.TATGTTTT-GCT.G.AG A------------------------TGCACA-.AGTGTTTCTCTC.A.AA ----------------------TCTCATG-AG.AAA--------C.G.A-------------------------TGTGTAG.AAAG-------C.G.--
65 19 99 32 18 16
Anakan_2_71pa17 Inokulasi_2_71pa17 Inokulasi_1_71pa17 Anakan_1_71pa17 Non_Inokulasi_1_71pa17 Non_inokulasi_2_71pa17
AGATTA-ATTTCATTCATGCTTTGCAGC-ACCCTCACATGACCCAGATGG AGATTA-ATTTCATTCATGCTTT--AGC-AAACTCA..T.A.A....... AGATTA-ATT-CATTCATGCTT---AGCCAAACTCA..T.A.A....... CCCCCCCATCTGACACATG-TGAGTAGC-AAACTCA..T.A.A....... --------TTTCTTTCATGCTTT---GT-CAACTCA..C.C.A....... ------------------------------------..T.C.A.......
113 65 144 80 56 30
Anakan_2_71pa17 Inokulasi_2_71pa17 Inokulasi_1_71pa17 Anakan_1_71pa17 Non_Inokulasi_1_71pa17 Non_inokulasi_2_71pa17
GGCCATTCCTGAGAAAA-ACAGTGGATTCGTTTCTCCTCCTTTCTC---..CCA.......A....-....T..A.T.G....GCCTC.TT.C.A---..CCA.......G....-....T..A.T.G....TCCTC.TT.C.C---..CCA.......A....G....T..A.T.G....GCTCT.TC.T.C---..GGG.......G....G....A..G.G.T....TCCCC.CT.C.--ATA ..CCA.......G....-....T..A.T.G....CTCCT.CT.T.CTATA
158 110 189 126 104 79
Anakan_2_71pa17 Inokulasi_2_71pa17 Inokulasi_1_71pa17 Anakan_1_71pa17 Non_Inokulasi_1_71pa17 Non_inokulasi_2_71pa17
TA---------TATA-----------------------------------------------------------------------------------TA---------TATA----------------------------------TACTGTTTATCTATGTTTT-GCTAGA-----------------------TACTGTTTATCTATGTTTTTGCTAGAAGAGATTAATTTCATTCATGCTTG TACTGTTTATCTATGTTTTTGCTAGAAGAGATTAATTTCATTCATGCTTG
164
Anakan_2_71pa17 Inokulasi_2_71pa17 Inokulasi_1_71pa17 Anakan_1_71pa17 Non_Inokulasi_1_71pa17 Non_inokulasi_2_71pa17
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------CCAAAC--------------------------- 160 CCAAACTCACAGACACAGAGGGCCTCGAAAGGC 162
195 151 154 129
Gambar 4.9 Pensejajaran hasil sekuen DNA Aquilaria mikrocarpa lokus 71Pa17 Berdasarkan analisis nukleotida maka tingkat kesaman genetik antara anakan dan inokulasi sangat dekat, dibanding non inokulasi, koefisien kesamaan genetik tersebut tersaji pada Tabel 4.6 Tabel 4.6 Koefisien kesamaan genetik lokus 71Pa17 dan 6Pa18 71Pa17 6Pa18 Anakan1 Anakan2 Inokulasi1 Inokulasi2 N.Ino1 N.ino2
Anakan1
Anakan2
Inokulasi1
inokulasi2
N.ino1
N.ino2
0.000 0.183 0.184 0.012 0.038 0.051
0.206 0.000 0.012 0.183 0.025 0.216
0.147 0.015 0.000 0.184 0.201 0.218
0.147 0.047 0.031 0.000 0.025 0.038
0.396 0.305 0.280 0.328 0.000 0.038
0.167 0.064 0.047 0.081 0.214 0.000
Hubungan kekerabatan berdasarkan urutan basa nukleotida pada sampel tanaman yang diuji menunjukkan hubungan yang sangat erat antara sampel anakan 2 dengan inokulasi 1 pada kedua lokus, seperti terlihat pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11. Untuk sampel non inokulasi terlihat memiliki hubungan yang
40
agak jauh dengan sampel tanaman inokulasi dan anakan, pada kedua lokus. Hal ini menunjukkan bahwa kedua lokus mampu mengkarakter sampel tanaman yang diuji. Anakan_1_6Pa18 Inokulasi_2_6Pa18 Non_inokulasi_1_6pa18 Non_inokulasi_2_6pa18 Anakan_2_6Pa18 Inokulasi_1_6Pa18 0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
Gambar 4.10 Cladogram tanaman Aquilaria microcarpa berdasarkan lokus 6Pa18
Anakan_2_71pa17 Inokulasi_1_71pa17 Inokulasi_2_71pa17 Non_inokulasi_2_71pa17 Anakan_1_71pa17 Non_Inokulasi_1_71pa17 0.15
0.10
0.05
0.00
Gambar 4.11 Cladogram tanaman Aquilaria microcarpa berdasarkan lokus 71Pa17
4.4 Pembahasan Respon tanaman yang teramati pada saat dilakukan inokulasi berupa klorosis daun diduga merupakan respon hipersensitif tanaman untuk membatasi infeksi F. solani yang terjadi karena terganggunya ketersediaan hara akibat adanya pelukaan. Kekurangan hara tersebut menyebabkan daun menjadi kekurangan pigmen klorofil sehingga warna daun berubah kekuningan dan akhirnya gugur (Nieamann dan Visintini 2005). Patogen yang dapat menginfeksi berbagai tanaman termasuk tanaman penghasil gaharu adalah dari kelompok Acremonium sp dan Fusarium sp. Williams (1997) mengemukakan infeksi cendawan patogen tersebut melibatkan beberapa mekanisme yakni kekuatan mekanik, enzim dan toksin. Semua mekanisme tersebut akan berhadapan dengan sistim pertahanan pasif dan aktif
41
dari tanaman inang. Salah satu pertahanan aktif tanaman adalah dengan menghasilkan senyawa fitoaleksin (Goodman et al. 1986; Harbone 1988). Pada tanaman A. microcarpa yang diinokulasi dengan F.solani, mekanisme pertahanan terlihat dengan adanya reaksi berupa menguningnya daun hingga menggugurkan daun. Reaksi ini sangat sppesifik terhadap patogen yang berbeda juga tanaman yang berbeda. Pada jenis F. solani FORDA 512, terlihat untuk tanaman A, B dan C, reaksi yang timbul sangat cepat bila dibandingkan dengan jenis inokulasi F. solani maupun tanaman lain. Walaupun pada pengamatan setelah minggu keempat seluruh tanaman tampak kembali normal. Dixon dan Lamb (1990) mengatakan bahwa pada beberapa sel tanaman, apabila terjadi serangan oleh patogen maka proses tersebut akan dihambat oleh mekanisme pertahanan mekanik (lignin, hydroksiproline, glycoprotein), akan tetapi apabila mekanisme tersebut gagal maka tanaman akan menampakkan gejala nekrosis. Hal ini terjadi karena enzim yang dikeluarkan oleh patogen akan dihalangi oleh gen pertahanan yang akan menghasilkan berbagai ekspresi seperti pembentukan pitoaleksin, antogonis protein ataupun pemindahan siklus metabolisme, bahkan terkadang mekanisme ini dapat terjadi serempak. Kemajuan dalam pemanfaatan sistem biologi modern tidak terlepas dari prinsip dasar kimia kehidupan. Materi genetik DNA adalah persenyawaan yang terdiri dari gula, fosfat dan basa yang tersusun secara teratur inilah yang menentukan perkembangan dan pertumbuhan suatu organisme dan diturunkan pada generasi berikutnya. Suatu sekuen tertentu dari rantai gula-fosfat-basa ini disebut gen. Gen mengendalikan suatu sifat secara kimiawi melalui kerja enzimenzim. Melalui teknik tersebut kita dapat melakukan hal-hal seperti menentukan gen-gen dengan fungsi spesifik, mengisolasi gen yang spesifik tersebut, memasukkan gen spesifik yang kita inginkan ke dalam DNA organisme lain dan gen berekspresi memerintahkan sel inangnya untuk membuat bahan sesuai dengan kodenya (Crouch et al. 1998). Sejumlah daerah DNA mikrosatelit pada suatu individu diduga dapat mengenali ekspresi suatu sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (Dolf et al 1993). Mikrosatelit merupakan penanda yang bersifat kodominan sehingga genotipe dapat langsung ditentukan berdasarkan variasi alel (Crouch et al 1998). Kombinasi alel merupakan genotipe untuk setiap lokus. Adanya alel-alel spesifik yang ditemukan diduga menunjukkan sifat fenotipe khas, karena penanda molekuler umumnya berada dekat gen (Muladno 2000). Bila hal ini dihubungkan dengan tingkat resistensi tanaman terhadap inokulasi Fusarium, maka alel spesifik yang dimiliki oleh populasi anakan ini, menunjukkan tingkat kemiripan dengan tanaman diinokulasi (bergaharu). Hasil sekuen DNA A.microcarpa memberikan informasi akurat melalui pengujian homologi terhadap karakter-karakter fenotipe yang ada. Perbedaan analisis sekuen DNA antara tanaman yang diinokulasi dan yang tidak diinokulasi terlihat berdasarkan perbandingan basa nukleotida yang diuji. Hasil pensejajaran menunjukkan tingkat homologi yang tinggi antara sampel-sampel yang diteliti. Adanya homologi ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang memiliki urutan yang sama (terkonservasi). Pada lokus 6Pa18 maupun 71Pa17 terlihat bahwa urutan basa nukleotida dari anakan 2 dan inokulasi 1 memiliki tingkat homologi yang tinggi, sekalipun dalam pensejajaran ini ada beberapa gap (ditandai oleh garis putus-putus) yakni pada site anakan 2 untuk lokus 6Pa18
42
terdapat gap pada site 18 hingga site 25. Adanya gap atau perbedaan sekuen ini dapat terjadi karena proses mutasi baik itu berupa substitusi insersi maupun delesi (Gambar 4.8). Terjadinya mutasi dapat disebabkan oleh peristiwa akibat kejadian alam, adaptasi, maupun aktivitas manusia (inokulasi). Sedang untuk lokus 71Pa17, pada kedua sampel ditemukan pengulangan mikrosatelit. Hasil sekuen DNA ini dapat memberikan informasi karakter tanaman dan dapat mendeteksi hubungan kekerabatan yang lebih alami (Chase et al.1993). Pengulangan sekuen mikrosatelit yang terdeteksi pada tanaman A.microcarpa menunjukkan pengulangan yang berbeda dengan primer mikrosatelit yang berasal dari tanaman A.crasna. Perubahan Perbedaan urutan basa nukleotida ini dimungkinkan karena primer mikrosatelit merupakan penanda spesifik bagi spesies tanaman namun juga mampu mengamplifikasi silang spesies yang berbeda. Adanya pergantian basa nitrogen pada pengulangan mikrosatelit dari CA yang terdapat dalam primer mikrosatelit yang digunakan berubah menjadi CT pada lokus 71Pa17 dimungkinkan karena basa purin pada kondisi tertentu dapat ditransversi menjadi basa pirimidin (Agrios 2004).
4.5 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka pengujian tanaman A. microcarpa dengan menggunakan beberapa jenis F. solani menunjukkan reaksi yang berbeda antara tiap individu tanaman. F. solani FORDA 512 menunujukkan tingkat virulensi yang tinggi dibandingkan beberapa jenis Fusarium yang diujikan. Pada pengamatan karakterisasi genotipe tanaman, populasi anakan memiliki hubungan kekerabatan secara genetik yang dekat dengan populasi tanaman yang telah diinokulasi, namun diduga kedua populasi ini memiliki sumber genetik yang dekat. Perbedaan pola pita yang dihasilkan dari hasil amplifikasi cetakan DNA dengan primer mikrosatelit menunjukkan adanya perbedaan urutan basa antara fragmen DNA tanaman yang diinokulasi dan tidak diinokulasi.
43
5 PEMBAHASAN UMUM Mekanisme interaksi tanaman dengan F. solani pada tiga tahun setelah inokulasi dilihat dari aspek morfologi, belum dapat memberikan informasi yang jelas mengenai perbedaan tanaman yang diinokulasi dengan tanaman yang tidak diinokulasi. Ciri morfologi seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan menguning, batang dan kulit mengering atau patah, tidak menjamin kandungan gaharu yang dimiliki A.microcarpa secara pasti. Di habitat alami, diperkirakan hanya satu dari sepuluh pohon dewasa dengan diameter di atas 20 cm yang menghasilkan gaharu (Barden et al. 2000) disebutkan juga bahwa hasil gaharu yang terbaik diperoleh pada pohon berumur 50 tahun atau lebih. Isnaini (2004) mengungkapkan tanaman A. crassna asal Kamboja pernah ditanam pada kebun percobaan SEAMEO BIOTROP Bogor dan telah dilakukan inokulasi dengan jamur sebelum ditanam di lapangan, tetapi semua pohon mengalami penyembuhan tanpa menghasilkan gaharu. Mekanisme pembentukan gaharu merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis (Keeling dan Bohlmann 2006). Patogenesis pada tumbuhan merupakan pertarungan antara inang dengan patogen yang kompatibel. Agrios (1997), menyatakan bahwa keberhasilan proses infeksi suatu patogen sangat dipengaruhi oleh inang yang rentan, patogen yang virulen, lingkungan yang mendukung dan peranan manusia dalam memodifikasi lingkungan. Pendapat lain menyatakan bahwa pelukaan dan perlakuan mekanis pada pohon merupakan pemicu terbentuknya gaharu, yang kemudian diikuti aktivitas mikroba (Van Beek diacu dalam Barden et al. 2000), sementara beberapa peneliti lain berpendapat bahwa asosiasi mikroorganisme dengan tanaman dilakukan dengan menstimulasi senyawa pertahanan (Prema dan Bhattacharrya 1962; Burfield 2005; Sumarna 2005). Patogen yang berhasil menginfeksi inang kemudian tumbuh dan berkembang dalam tubuh inang sehingga menyebabkan gangguan fisiologis yang dapat mengakibatkan penyakit pada tanaman. Namun, terkadang patogen tidak mampu menginfeksi tumbuhan karena adanya hambatan mekanis dan kimiawi yang diproduksi tanaman. Kemampuan tanaman untuk mencegah masuknya atau menghambat perkembangan dan aktivitas patogen dalam jaringan tanaman merupakan ketahanan tanaman (Agrios 1997). Respon tanaman pada tingkat anakan yang teramati setelah dilakukan inokulasi menunjukkan perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning (klorosis) di sekitar lokasi inokulasi dan akhirnya gugur, diduga berkaitan dengan gejala patologis yang terjadi beberapa hari setelah inokulasi dilakukan. Reaksi ini merupakan respon tanaman yang diakibatkan terganggunya ketersediaan hara dan juga pengaktifan mekanisme pertahanan tanaman. Perubahan morfologi seperti klorosis daun, pengguguran daun sangat mudah teramati terutama pada tanaman muda, karena terjadinya proses ini sangat cepat yakni beberapa hari setelah dilakukannya inokulasi. Namun hal ini tidak terlepas dari kondisi ketahanan tanaman, tingkat virulensi F. solani serta kondisi lingkungan. Pengenalan tanaman menggunakan marka morfologi pada tanaman yang telah diinokulasi tiga tahun, masih sangat sulit dilakukan. Beberapa karakter pohon seperti tinggi total, tinggi bebas cabang diameter, jumlah cabang, persen
44
penutupan tajuk maupun karakter daun belum dapat direkomendasikan sebagai karakter penentu terjadinya interaksi tanaman dengan F. solani. Keragaman proses dalam individu tanaman terhadap tingkat virulensi patogen juga sangat berpengaruh. Tanaman yang dinokulasi patogen akan mempertahankan diri dengan mengaktifkan mekanisme ketahanan biokimia di dalam jaringan, sehingga mengakibatkan perubahan sel tanaman. Perubahan sel berupa pengendapan senyawa terpenoid pada jaringan tanaman diduga merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan A. microcarpa sebagai respon terhadap inokulasi F. solani. Menurut Kumeta & Ito (2010) seskuiterpenoid (golongan terpenoid) dibentuk pada sel hidup. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nobuchi dan Siripatanadilok (1991) bahwa parenkima merupakan tempat terjadinya biosintesis senyawa gaharu. Kandungan pati dalam parenkima akan menurun setelah pelukaan atau inokulasi cendawan. Sedangkan senyawa terpenoid yang ditemukan pada unsur trakea xilem diduga hanya tempat deposit tapi bukan tempat sintesis senyawa terpenoid. Pada tanaman A. microcarpa yang sehat tidak dijumpai endapan dalam sel yang mengandung sesquiterpenoid yang merupakan metabolit sekunder yang beraroma harum. Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit sekunder apabila terinfeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi, maupun keadaan cekaman (Goodman et al 1986). Faktor-faktor lain seperti umur pohon, perbedaan antar pohon, pengaruh musim, variasi lingkungan, dan variasi genetik juga berperan penting dalam proses interaksi dan pembentukan gaharu. Perbedaan hasil A.microcarpa yang bergaharu dan tidak melalui karakter pengamatan anatomi, menunjukkan warna kayu yang berbeda antara tanaman bergaharu dan tidak. Hal ini disebabkan karena resin yang terbentuk pada tanaman yang diinokulasi tidak dikeluarkan dari pohon, melainkan disimpan dalam jaringan kayu, sehingga jaringan kayu yang putih dan bertekstur halus berubah menjadi gelap dan keras (Anonimous 2002). Oldfield et al. (1998) dalam Barden et al. (2000) menyatakan bahwa sintesis resin pada pohon gaharu merupakan respon terhadap infeksi jamur. Produksi resin, cenderung merupakan respon terhadap pelukaan sehingga infeksi dan pertumbuhan jamur dalam jaringan tumbuhan yang terluka lebih berperan pada peningkatan resin tersebut. Senyawa yang terkandung dalam resin tersebut merupakan senyawa terpenoid yang disintesis dalam jaringan hidup (Parenkima jejari, included phloem dan empulur) yang akan merusak akumulasi pati ketika proses infeksi dan pelukaan terjadi Nagy et al. (2005). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nobuchi dan Siripatanadilok (1991) bahwa jaringan parenkim merupakan tempat terjadinya biosontesis senyawa gaharu. Kandungan senyawa pada tanaman yang telah tiga tahun terinokulasi oleh F. solani memperlihatkan hasil yang berbeda antara yang bergaharu dan tidak bahkan tidak ditemukan satu senyawapun yang sama antara keduanya, sekalipun dianalisis dengan kondisi yang sama. Tamuli (2005) mempelajari perbedaan komposisi minyak gaharu yang diperoleh dari pohon sehat, terinfeksi alami, dan diinfeksi dengan perlakuan inokulasi melalui analisis GC MS menunjukkan perbedaan komposisi yang dikaitkan dengan kualitasnya. Valerianol, asam pentadesenoat, dan asam tetradekanoat tercatat lebih tinggi pada minyak dari gaharu hasil infeksi alami dibandingkan pohon sehat.
45
Cowan (1999) menerangkan bahwa tanaman memiliki kemampuan yang tidak terbatas dalam mensintesis substansi aromatis, yang kebanyakan merupakan senyawa fenol atau turunan oksigen tersubstitusinya. Pada umumnya senyawasenyawa tersebut merupakan metabolit sekunder, yang seringkali berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, serangga, ataupun herbivora. Metabolit sekunder, meskipun tidak sangat penting bagi eksistensi suatu individu, namun sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies, dalam perjuangan menghadapi spesies-spesies lain (Manitto 1981). Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki berbagai fungsi dalam tanaman, diantaranya sebagai minyak esensial (monoterpenoid); atraktan serangga; fitoaleksin (sesqui-, di-, dan triterpena) sebagai agen antimikrobial. Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis yang terpicu pada level senyawa, dimana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika pelukaan, dan ada yang terjadi pada level gen setelah pelukaan atau infeksi. Kumeta dan Ito (2010) setelah mengisolasi RNA tanaman A. crassna yang diinokulasikan dengan methyl jasmonate mengungkapkan bahwa seskuiterpena yang paling melimpah dari kultur sel tersebut adalah δ-guaiene. Tanaman memiliki protein yang disebut protein reseptor (plant receptors proteins) yang dapat mengenali suatu senyawa yang dikeluarkan oleh patogen yang disebut elisitor. Interaksi inilah yang selanjutnya akan mendorong diaktifkannya mekanisme pertahanan tanaman. Menurut Prell dan Day (2001) mekanisme ketahanan tanaman dapat berupa hiper sensitifitas sel dengan cara pembentukan lignin atau protein struktural, senyawa fitoaleksin dan sintesis protein PR (pathogenesis related proteins) seperti kitinase dan β-1,3 glukanase. Produksi kitinase pada beberapa tanaman dapat bersifat konstitutif, namun pada beberapa tanaman lain bersifat inducible (Graham dan Sticklen 1993). Kemungkinan mekanisme pertahanan konstitutif yang utama dari tanaman hanya untuk menghambat perkembangan patogen dan memberi kesempatan mekanisme pertahanan inducible (mekanisme pertahanan terinduksi) terekspresi. Pertahanan terinduksi ini termasuk pembentukan dinding sel tambahan dan menginduksi senyawa-senyawa toksik yang dapat mematikan sel tanaman dan patogen, sehingga perkembangan patogen dapat dilokalisir. Hasil dari respon ini dapat berupa reaksi hipersensitif (hypersensitive response, HR) yaitu suatu respon yang menginduksi kematian sel secara cepat mengelilingi patogen sehingga terlokalisasi (apoptosis). Selama respon ini berlangsung, terjadi pengiriman signal ke bagian tanaman yang tidak terinfeksi untuk mengaktifkan mekanisme pertahanan inducible dan selanjutnya akan timbul resistensi yang sistemik (Systemic Acquired Resistance, SAR) untuk mengurangi tingkat keparahan serangan (Agrios 1997). Respon ketahanan lokal ini menyebabkan bagian yang terinfeksi mengembangkan ketahanan sekunder pada patogen yang sama atau lainnya. Perkembangan penelitian dalam bidang molekuler yang berbasiskan DNA, memiliki keuntungan karena keakuratan identifikasi, dimana hal ini tidak tergantung pada kondisi lingkungan maupun umur tanaman. Tanaman menyimpan informasi genetik dalam genom inti yakni dalam kloroplas dan mitokondria. Beberapa mekanisme seperti delesi, insersi, translokasi dan
46
transposisi yang dapat terjadi secara alami maupun diinduksi, dapat menyebabkan terjadinya penggantian atau perubahan basa nukleotida pada sekuen DNA. Mekanisme perubahan tersebut tidak selalu mengubah fenotipe tanaman sehingga penggunaan penanda morfologi menjadi terbatas pemanfaatannya, sedangkan penanda DNA yang langsung berintegrasi dengan system genetik lebih mencerminkan keadaan genom sesungguhnya. Pemanfaatan penanda DNA memberikan alternatif analisis keragaman genetik (DNA fingerprinting) yang lebih baik terutama untuk mengkarakterisasi populasi tanaman karena mampu menyediakan polimorfisme pita DNA dalam jumlah yang banyak, konsisten dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Keragaman genetik tidak hanya terjadi antar individu dalam populasi, tetapi juga dapat terjadi perbedaan antar populasi pada suatu jenis. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan frekwensi alel dan polimorfisme dalam suatu populasi. Perbedaan susunan genetik antar populasi dapat muncul pada saat beradaptasi dengan lingkungannya. Variasi yang muncul pada fenotipe dipengaruhi oleh komponen genetik dan lingkungan (Futuyma 1998). Informasi variasi genetik pada tanaman yang berinteraksi dengan F. solani memungkinkan proses seleksi tanaman yang berpotensi menghasilkan gaharu. Jumlah dan macam variasi genetik dalam suatu populasi dapat berubah, hal ini disebabkan karena perubahan struktur genetik populasi atau terjadinya evolusi yang diakibatkan oleh faktor evolusioner seperti seleksi, mutasi, migrasi, aliran gen dan sistim perkawinan. Mutasi selalu meningkatkan jumlah variasi. Kombinasi dua atau lebih faktor dapat menyebabkan sejumlah pola variasi genetik. Penanda genetik merupakan alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu individu dan juga untuk mempelajari sistim genetik tanaman hutan yang digunakan dalam kegiatan program pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik (Finkeldey 2005). Penanda mikrosatelit merupakan salah satu penanda molekuler yang sangat baik digunakan untuk mengetahui penciri genotipe tanaman A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani. Kelebihan mikrosatelit antara lain memiliki tingkat polimorfisme tinggi, penanda yang kodominan dan spesifik lokus serta tersebar pada genom tanaman, sehingga penanda ini menjadi pilihan yang baik untuk studi interaksi tanaman dengan F. solani. Powel et al 1996 menyatakan bahwa marka inipun mampu membedakan genotipe diantara individu dengan tingkat akurasi yang tinggi, baik pada inter dan intra spesies maupun kerabat jauhnya. Penanda mikrosatelit telah banyak digunakan untuk mengetahui interaksi tanaman dengan Fusarium sp diantaranya adalah pada tanaman Psidium guajava L (Gupta dan Misra 2011), kultivar pisang (Pushpakumari et al 2009), Pinus oocarpa (Dvorak et al 2009). Namun marka ini belum banyak digunakan untuk mengetahui interaksi F. solani dengan tanaman penghasil gaharu. Penggunaan marka mikrosatelit pada tanaman penghasil gaharu telah digunakan diantaranya pada tanaman A.crassna (Eurlings et al 2010), pada tanaman Gyrinops verstegii (Siburian 2009), bahkan Irmayanti (2011) mengujikan marka mikrosatelit ini pada lima jenis tanaman penghasil gaharu, dengan merujuk pada primer yang telah didesain oleh Eurling et al. (2010). Perkembangan terbaru dalam penggunaan marka ini, Lee et al (2012) telah mengkarakteristik 17 mikrosatelit untuk mendeteksi tanaman A. malaccensis.
47
Sekuen mikrosatelit DNA yang pendek dengan sekuen DNA pengapit bersifat conserved, memungkinkan mendesain primer untuk mengamplifikasi situs-situs spesifik menggunakan PCR. Jika primer-primer tersebut digunakan mengamplifikasi lokus-lokus SSR tertentu, maka setiap primer akan menghasilkan polimorfisme dalam bentuk perbedaan panjang hasil amplifikasi Setiap panjang akan mewakili satu alel dari suatu lokus. Perbedaan panjang terjadi karena perbedaan jumlah unit pengulangan pada lokus-lokus SSR tertentu (Morgante dan Olivieri 1993, Gupta et al. 1996, Karp et al. 1997). Keanekaragaman jumlah ulangan pada mikrosatelit dapat dideteksi dengan mengelektroforesis produk DNA yang sudah diamplifikasi di dalam sekuen gel standar, yang dapat memisahkan fragmen-fragmen yang membedakan tiap-tiap nukleotida. Primer mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini mampu mengamplifikasi sekuen mikrosatelit dan menghasilkan variasi pada setiap karakter individu. Fragmen-fragmen yang muncul sebagai hasil dari amplifikasi DNA dan yang memberikan variasi yang konsisten, hal ini diharapkan dapat dijadikan karakter penanda bagi pembentukan gaharu. Mikrosatelit DNA terdapat dalam jumlah banyak dan menyebar di dalam genom. Bentuk umum pengulangan Mikrosatelit DNA (SSR) adalah pengulangan dua basa secara sederhana seperti (CA)n; (AC)n; (GT)n; (GA)n; (CT)n; (CG)n; (GC)n; (AT)n; dan (TA)n, dalam hal ini n adalah jumlah pengulangan. Mikrosatelit dengan pengulangan 3-basa dan 4-basa ditemukan juga tetapi frekuensinya lebih rendah dibandingkan pengulangan 2-basa (Preston et al. 1999). Brown et al. (1996) melaporkan bahwa pengulangan SSR paling banyak adalah (AT)n diikuti oleh (A)n, (AG)n, (AAT)n, (AAC)n, (AGC)n, (AAG)n, (AATC)n, (AC)n bergantung pada jenis tanaman. Pada A.crassna (Eurling et al 2010), sekuensing yang dilakukan pada 207 klon pustaka genom menunjukkan 18 klon (8%) memiliki pengulangan dua basa yang khas yakni CA/GT antara 6 hingga 20 ulangan, sedang pada lokus 6Pa18 untuk sampel yang berasal dari Cina dan Vietnam alel yang ditemukan tidak memiliki alel yang spesifik. Pada tanaman A.microcarpa yang diujikan dengan lokus 6Pa18 juga tidak ditemukan pengulangan mikrosatelit yang spesifik, sekalipun primer yang diujikan menempel pada DNA. Lokasi dari sekuen berulang sederhana seperti mikrosatelit yang terletak di antara gen atau yang berdekatan dengan suatu gen sangat penting, agar dapat digunakan sebagai penanda dari sifat yang disandi oleh gen tersebut. Beberapa fragmen sekuen berulang (SSR) yang terletak di dalam atau berdekatan dengan gen fungsional sudah ditemukan. Kirkpatrick (1992) melaporkan menggunakan keberadaan ulangan mikrosatelit (AC) n di dalam gen Insulin-like Growth Factor1 (IGF-1) manusia (Rotwein et al. 1990) dan tikus (Shimatsu dan Rotwein, 1987), untuk mengembangkan primer-primer guna mengamplifikasi genom mikrosatelit bovine dan porcine pada babi. Hal ini menunjukkan bahwa penanda mikrosatelit pada satu spesies mungkin saja dapat dimanfaatkan untuk menentukan informasi sekuen dari spesies lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengujian marka mikrosatelit dengan lokus 6PA18 dan 17Pa71 pada tanaman A.microcarpa memiliki alel-alel spesifik yang dapat digunakan sebagai kriteria bagi tanaman bergaharu. Hal ini pun terlihat dari genotipe populasi anakan yang memiliki susunan basa yang
48
mirip dengan populasi inokulasi. Dengan demikian maka marka ini dapat digunakan sebagai marka bagi tanaman A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani terutama F. solani FORDA 512. Metode identifikasi spesies makhluk hidup telah berkembang dari identifikasi morfologi sampai pada identifikasi molekuler berdasarkan potongan DNA pendek yang disebut “barcode DNA” (Hebert et al. 2003). Barcode DNA memiliki fungsi-fungsi aplikatif misalnya untuk survei ekologi (Dick dan Kress 2009), identifikasi takson-takson (Lahaye et al. 2008), dan konfirmasi sampelsampel tanaman obat (Xue dan Li 2011) dan fungsi legalitas tanaman. The Consortium for the Barcode of Life (CBOL) merekomendasikan penggunaan dua gen plastida yaitu rbcL dan matK sebagai barcode standar (Hollingsworth et al. 2009). Sebagai salah satu instrumen penting dalam penelitian-penelitian yang multidisiplin, barcode DNA perlu didukung oleh ketersediaan database untuk identifikasi. Berdasarkan penelusuran singkat dalam BOLD (Barcode of Life Database) yang terhubung dengan database sekuens dari beberapa negara, data sekuens DNA barcode standar (rbcL dan matK) masih banyak spesies yang belum tersedia atau belum lengkap untuk kedua gen barcode, termasuk informasi data base A.microcarpa. Hasil penelitian ini merupakan informasi awal yang dibutuhkan untuk melengkapi bank data DNA yang dibutuhkan bagi kepentingan konservasi maupun legalitas tanaman. informasi tersebut diperoleh dari pencatatan DNA pada spesimen daun yang secara genetika memiliki persamaan DNA dengan kayunya. Meskipun dengan marka DNA mikrosatelit yang digunakan baru dapat memberikan informasi dengan dua lokus dan tingkat keberhasilan amplifikasi yang tinggi pada spesies ini, namun informasi lain yang mendukung seperti informasi anatomi dan kandungan senyawa pembeda antara yang diinokulasi dan tidak diinokulasi dapat dijadikan acuan sebagai dasar informasi mengenai tanaman A. microcarpa bergaharu.
49
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dalam penelitian ini adalah 1. Karakter morfologi antara tanaman yang diinokulasi dan yang tidak diinokulasi belum dapat digunakan sebagai penanda bagi tanaman yang berinteraksi dengan F. solani. 2. Perbedaan ciri anatomi tanaman yang berinteraksi dengan Fusarium solani adalah pada warna kayu, bahan endapan dalam pori, bau/aroma kayu dan Included phloem. Endapan tersebut bila diuji dengan GC MS mengandung beberapa senyawa yang diantaranya adalah senyawa gaharu. 3. Tanaman muda yang diuji dengan F. solani menunjukkan reaksi pertahanan tanaman yang berbeda antar individu tanaman maupun jenis F. solani. Genotipe tanaman dengan menggunakan marka mikrosatelit menunjukkan hubungan kekerabatan genetik yang dekat antara populasi inokulasi dengan populasi anakan, sekalipun tempat tumbuh kedua populasi ini berbeda, namun diduga bahwa kedua populasi ini memiliki sumber genetik yang dekat.
Saran Informasi karakter morfologi, anatomi dan genotipe yang dihasilkan dapat menjadi bahan pertimbangan awal dalam dalam program pemuliaan tanaman penghasil gaharu sehingga mampu mempercepat pengidentifikasian tanaman bergaharu baik dengan pertimbangan fenotipe dan genotipe yang berkaitan dengan suatu karakter spesifik bergaharu yang bernilai ekonomi, sehingga memperkecil penggunaan lahan untuk setiap satuan penelitian, memperkecil biaya yang diperlukan untuk pemeliharan tanaman mengingat tanaman penghasil gaharu merupakan tanaman tahunan, serta dapat mencegah duplikasi materi koleksi.
50
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York. Academic Press. Altschul SF, Madden TL, Schaffer AA, Zhang J, Zhang Z, Miller W. Lipman DJ 1997. Gapped BLAST and PSI-BLAST a new generation of protein database search programs. Nucl. Acids Res. 25: 3389-3402. Annonimous. 2002. Cultivating the world’s most expensive incense. News 25 July 2002: 2-3. [diunduh; 21 April 2011]. Tersedia pada: http://www.umn.edu/systemwids/ enews/072502.html. Ayres PG. 1992 Pest and Patogen – Plant respponses to fohar attack. UK: Bios Scientific Publishers Ltd. Azrai M, 2005. Pemanfaatan markah molekuler dalam proses seleksi pemuliaan tanaman. Jurnal AgroBiogen 1(1): 26–37. Bachem CWB, Van der Hoeven RS, the Bruijn SM, Vreugdenhil D, Zabeau M, Visser RGF,1996. Visualization of differential gene Expressionusing a novelmethod of RNA fingerprinting based on AFLP: Analysis of gene expression during potato tuberdevelopment. Plant J. 9: 745-753. Bachem CWB, Oomen RJFJ, Visser RGF. 1998. Transcript imaging with cDNAAFLP: A step by step protocol. Plant Mol. Biol. Reporter 16 : 157-173. Bacilieri R, Ducousso A & Kremer A. 1995. Genetic, morphological, ecological and phenological differentiation between Quercus petraea (Matt.) Liebl. and Quercus robur L. in a mixed stand of Northwest France. Silvae Genetica 44(1): 1–10. Baldwin et al. 1995. The ITS Region of nuclear ribosomal DNA: a valuable sources of evidence on angiospermae phylogeny. Ann Missouri Bot Gard 82: 247-277. Baliuckas V, Ekberg I, Eriksson G, Norell L, 1999. Genetic Variation Among and Within Populations of Four Swedish Hardwood Species Assessed in a Nursery Trial. Silvae Genetica 48(1), 17-25. Barden A, Anak NA, Mulliken T and Song M. 2000. Heart of the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC report. Baruah JN, Mathur RK, Jain SM, Katax JCS. 1982. Cultivation and utilization of aromatic plant. Actal C, Kapur BM, editor. Regional Research Laboratory. Council of Science and Industrial Research: Jammu-Tawi. 662 -667. Beynon JL 1997. Molecular genetics of disease resistance : An end to the gene for gene concept. CAB international, Canberra Australia. 359 – 377. Bhuiyan NI, Jaripa B, Nurul HB. 2009. Analysis of essential oil of eaglewood tree (Aquilaria agalocha Roxb) by gas chromatography mass spectrometry. J. Bangl. Pharma. Soc 4: 24-28. Blanchette RA. 2004. Research photos and information on agarwood. Research Project. Forest Pathology and Wood Microbiology Research Laboratory. University of Minnesota Plant Pathology. [diunduh; 2010 Aug 28] tersedia pada http://forestpathology.coafes.umn.edu/ agarwood.html.
51
Boer D. 2007. Keragaman dan struktur genetik populasi jati Sulawesi Tenggara berdasarkan marka Mikrosatelit [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Boss SR. 1938. The nature of Agaru formation. Science Culture. 4: 89-91. Bredemeijer GMM, Cooke RJ, Ganal MW, Peeters R, Isaac P, Noordijk Y, Rendell S, Jackson S, Röder MS, Wendehake K, Dijcks M, Amelaine M, Wickaert W, Bertrand L, Vosman B. 2002. Construction and testing of a microsatellite database containing more than 500 tomato varieties. Theor Appl Genet 105:1019–1026. Brown PTH, Lange E, Kranz E dan Lorz H. 1993. Analysis of single protoplast and regenerated plants by PCR and RAPD technology. Mol. Gen. Genet. 237; 321-341. Brown, S.M., Szewc-McFadden, and S Kresovich. 1996. Development and application of simple sequence repeats (SSR) loci for plant genome analysis. In Jauhar (Ed). Methods of genome analysis in plants. New York. 147-159. Bulugahapitiya VP, Musharaff SG. 2009. Microbial transformation of sesquiterpenoid ketone, (+) nootkatone by Macrophomia phaseolina. Ruhuna Journal of science 4;13-20. Burfield T. 2005. Agarwood Chemistry. www.cropwatch.org. [diunduh 2010 Februari 2].Cape JN and Percy KE. 1993. Environmental influences on the development of spruce needle cuticles. New Phytologist 125: 787- 799. Cape JN, Percy KE, 1993. Enviromental Influences on the Development of Spruce needle Cuticles. New Phytologist, 125, 787 – 799. Chase MW, Soltis DE, Olmstead RG. 1993. Phylogenetics of seed plants: An analysis of nucleotide sequences from the plastid gene rbcL. Ann Missouri Bot Gard 80:528-580. Chen H, Yang Y, Xue Jian, Wei J, Zhang z and Chen H 2011. Comparison of compositions and antimicrobial activities of essential oils from chemically stimulated agarwood, wild agarwood and healthy Aquilaria sinensis (Lour.) Gilg Trees. Molecules 16, 4884-4896; doi:10.3390/molecules16064884. Chen HQ, Wei JH, Yang JS, Zhang Z, Yang Y, Gao ZH, Sui C, Gong B. 2012. Chemical Constituents of Agarwood Originating from the Endemic Genus Aquilaria Plants. Chemistry & Biodiversity 9. Helvetica Chimica Acta AG, Zrich. Chen T, Fang QL, Yu TF. 2010. Mongolian Aquilaria Analysis of four-flavor powder. Journal of North Pharmacy. Claverie JM, Notredame C. 2003. Bioinformatics for Dummies. Indianapolis: Wiley Publishing. Conrath U, Chen Z, Malamy J, Duener J, Hennig J, Sanches-Casas P, Silva H, Ricigliano J, and Klessig DF, 1995. The salisilic acid signal for the activation of plant disease resistance: induction, modification, perception and transduction. In H. Lyr, Russell PE and Sisler HD (Eds.). Modern Fungicides and Antifungal Compounds. Intercept Ltd, Andover. Cowan M. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clinical microbiology review. 12 (4): 564 – 582.
52
Corley RA, Bormett GA and Ghanayem BI. 1994. Physiologically Based Pharmacokinetics of 2-Butoxyethanol and Its Major Metabolite, 2Butoxyacetic Acid, in Rats and Humans. J. Toxicology and Applied Pharmacology. 129(1).,Doi.org/10.1006/taap.1994. Cowel IG 1998. cDNA Libraries. Di dalam: Rapley R, Walker JM, editor. Molecular Biomethods Handbook. New Jersey: 131-143 Creelman RA, Mullet J E. 1997. Biosyntesisi and action of jasmonates in plants. Plant Mol Biol 48: 355-381 Christiansen E 1999. Mechanical injury and fungal infection induce acquired resistance in norway spruce. J Tree Physiol 19: 399-403. Crouch HK, Crouch JH, Jarret RL, Cregan PB dan Ortiz R. 1998. Segregation at microsatellite loci in haploid and diploid gametes of musa. Crop Science (38) 211-217. Dai H, Liu J, Zeng Y, Han Z, Wang H and Mei W. 2009. A New 2- (2Phenylethyl) Chromone from Chinese Eaglewood. Molecules, ISSN 14203049. [diunduh; 28 Agustus 2009] Tersedia pada; www.mdpi.com/journal/molecules DeVicente MC, Fulton T 2003. Using Molecular marker technology in studies on plant genetic diversity. [diunduh; 2009 Agustus 19]. Tersedia pada; Http:www.ipgr.cgiar.org/publication. Dewan Standar Nasional. 1999. SNI 02-5009. 1-1999 Gaharu. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Diwan N, Cregan PB. 1997. Automated sizing of fluorescent-labeled simple sequence repeat (SSR) markers to assay genetic variation in soybean. Theor Appl Genet 95 : 723-733. Dixon RA dan Lamb CJ. 1990. Molecular communication in interaction between plants and microbial pathogens. Annu Rev Plant Physiol. Plant Mol Biol 41: 339-367 Dolf G, Schlapfer J, Hagger C, Stranzinger G & Gaillard C. 1993. Quantitative Traits in Chicken Associated with DNA Fingerprint Band. In: Pena, S.D.J., R. Chakraborty, J.T. Epplen & A.J. Jeffreys (Eds). DNA Fingerprinting: State of the Science, Birkhauser Verlag, Basel. Dvorak WS, Potter KM, Hipkins VD, Hodge GR. 2009. Genetic diversity and gene exchange in Pinus oocarpa, a Mesoamerican pine with resistance to the pitch canker fungus (Fusarium circinatum). Int. J. Plant Sci. 170 (5): 609-626. DOI: 10.1086/597780. Dyrager C. 2012. Design and Synthesis of Chalcone and Chromone Derivatives as Novel Anticancer Agents. [Thesis Doctoral] University of Gothenburg. Sweden. Ebadi M. 2007. Desk reference of Clinical Pharmacology. Francis. Taylor &Francis. Emrani H, Aminiria C, Arbabe MAR. 2011. Genetic variation and bottleneck in Japanese quail (Coturnix japonica) strain using twelve microsatellite markers. African jour. Of Biotch. 10(20): 4289-4295 Estoup JA, Jarne P, Cornent JM. 2002. Homoplasy and mutation model at microsatellite loci and their consequences for population genetic analysis. Mol. Ecol. 11: 1591-1604
53
Eurlings MCM, Gravendeel B. 2006. Final report of CITES-financed pilot project: Search for DNA markers to discriminate cultivated from wild gaharu (agarwood). Sixteenth meeting of the Plants Committee Lima (Peru). Eurlings MCM, Van Beek HH, Gravendeel B. 2010. Polymorphic microsatellites for forensic identification of agarwood (Aquilaria crassna). FSI-197 30: 34. Fahn A. 1991. Plant Anatomy. Edisi ke-4. Oxford: Butterworth-Heinemann. Faridah S. 2009. Analysis of Agarwood Oil Composition via Preparative Thin Layer Chromatography. [Thesis] Universiti Malaysia Pahang. 2009. Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. E. Jamhuri , I.Z. Siregar, U.J. Siregar dan A.W. Kertadikara, penerjemah. GÖttingen : Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding Georg-August-UniverityGöttingen. Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetics. Findlay WPK. 1978. Timber Properties and Uses. London: Granada Publishing. Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from trees. [Diunduh; 2010 Juli 20] Tersedia pada; http://treechemicals.csl.gov.uk/review/extraction. cfm. Frances J 1990. Multivariate analysis in ecology systematic: Panaceae or Pandora’s box. Annu. Rev. Ecol. Sys/. 1990. 21:129-66. Francis CY, Yang RC (2000). Popgene version 1.32. [diunduh: 2012 Agustus 20]. Tersedia pada ; http//www.ualberta.ca/_fyeh/index.htm. Futuyma DJ 1998. Evolutionary Biology. Third Edition. Sinauer Asociates Inc. Publishers Sunderland. Gibson IAS.1977. The role of fungi in the origin of oleoresin deposis of gaharu in the wood of Aquilaria Agallocha Roxb. Bano Biggya Patrika 6: 16-26 Gino F, Bordelais I, Nguyen S, Gyapay G. 1996. Corection of source genotyping errors in automated fluorescent microsatellite analysis by enzymatic removal of one base overhangs. Nucl. Acid Res. 24 (3): 540-541 Glick BR, Pasternak JJ. 1994. Molecular biotechnology. Principles and Aplication of Recombinant DNA. ASM Press Washington DC. Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR 1986. The biochemistry and physiology of plant disease. Columbia. University of Missouri Press. Gong LJ, Shun XG. 2008. Endophytic fungi from Dracaena cambodiana and Aquilaria sinensis and their antimicrobial activity. African J Biotech 8: 731-736. Graham, L.S, Sticklen M.B. 1993. Plant chitinase. Can. J. Bot., 72, 1057 – 1083. Groenewald S. 2005. Biology, pathogenecity and diversity of Fusarium oxysporum [Thesis]. Pretoria; Universitas of Pretoria. Gupta VK, Misra AK. 2011. Microsatellite marker-based detection of Fusarium wilt pathogens of Psidium guajava L. Archives of Phytopathology and Plant Protection, 44(20) Taylor and Francis Ltd Hamrick JL, Godt MJW, Murawski DA and Loveless MD. 1991. Correlations between species traits and allozyme diversity: Implications for conservation biology. pp. 75-86. Didalam: Falk D. and Holsinger K (eds) Genetics and Conservation of Rare Plants, Oxford Press. London Hancock JM 1999. Microsatellite and other Simple Sequence: Genomic Context and Mutational Mechanism, in: Golstein, D.B and Schlotter, C. (Eds). Microsatellite: evolution and application. Oxford University Press.
54
Harbone JB 1988. Introduction to Ecological Biochemistry. London: Academic Press. Hayne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Thymelaceae. Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: Nuttige Planten Van Indonesia. 1467-1469. Hebert PDN, Ratnasingham S, and Waard JR. 2003. Barcoding animal life: cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species. Proc. R. Soc. Lond. The Royal Society. DOI 10.1098/rsbl.2003.0025 Hills 1987. Heartwood and tree Exudates. Berlin; Sppringer – Verlag Hollingsworth PM, Forrest LL, Spouge JL, Hajibabaei M, Ratnasingham R (2009) A DNA barcode for land plants. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 106: 1279412797 Hou D. 1960. Thymeleaceae. Flora malesiana 6 (1): 1 – 48 Irmayanti L. 2011. Keragaman genetik gaharu Budidaya dan alami berdasarkan penanda mikrosatelit. [Skripsi]. Bogor (ID); Institut Petanian Bogor. Ishihara M, Tomoyuki T, Tsuneya, Kenji U. 1991. Fragrant sesquiterpenes from agarwood. Phytochem 33: 1147-1155 Isnaini Y. 2004. Induksi produksi gubal gaharu melalui inokulasi cendawan dan aplikasi faktor abiotik [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Isnaini M, H. Suheri, C. Cerboncini, Krause J, C. Muellenborn. 2009. Isolasi dan uji kemampuan berbagai isolat jamur dalam menginduksi gubal gaharu pada tanaman Grynops sp. dan Proffiling kimiawi hasil inokulasi. Makalah Seminar Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari di Indonesia. Bogor: IPB International Convention Center, 12 November 2009. Jumari dan Pudjoarianto A. 2000. Kekerabatan fenotipe kultivar pisang di Jawa. Biologi (9) 531-542. Karp A, Kresovich S, Bhat KV, Ayad WG, Hodgkin T. 1997. Molecular tools in plant genetic resource conservation: A guide to the technologies: in: IPGRI Technical Bulletin No. 2. International Plant genetic Resources Institute, Rome Italy. Kasim F, Azrai M. 2004. Ulasan Pemuliaan Tanaman dengan bantuan marka molekuler, Lokakarya Teknik Dasar Molekuler untuk Pemuliaan Tanaman, Bogor 19 – 23 Juli 2004. Maros Balai Penelitian Serealia. Kat Chem. 2013. Dioctyl phthalate. [diunduh; 2012 juni 12] Tersedia pada: http://www.kat-chem.hu/en/prod-bulletins/dioktilftalat. Kat-Chem Kft Keeling CI, Bohlmann J. 2006. Genes, enzymes and chemicals of terpenoid diversity in the constitutive and induced defense of conifers against insects and pathogens. New Phytologist 170: 657-675 Kleinsmith LJ, Kish VM. 1995. Principles of Cell and Molecular Biology. Second Edition Harper Collins College Publishers. New York. Klessig D, Durner, Noad R, Navarre D, Wendehenne D, Kumar D, Zhou J, Shah J, Zhang S, Kachroo P, Trifa Y, Pontier D, Lam E, Silva H. 2000. Nitric oxide and salicylic acid signaling in plant defense. (97)16; 8849–8855 Knight JJ. 2004. Encyclopedia of Reagents for Organic Synthesis. New York: Wiley & Sons.
55
Konishi T, Konoshima T, Shimada Y, and Kiyosawa S. 2002. Six New 2-(2Phenylethyl) chromones from Agarwood. Chem. Pharm. Bull. 50 (3) 419422 Japan. Koolman J, Roehm KH. 2005. Color Atlas of Biochemistry. Edisi ke-2. New York: Thieme. Korppi M, Remes K. 2008. Asthma treatment in schoolchildren: lung function in different therapeutic groups. Journal Acta Paediatrica. 85 (2). DOI: 10.1111/j.1651-2227.1996.tb13990.x Kirkpatrick, B.W. 1992. Identification of a conserved microsatellite site in the porcine and bovine insulin-like growth factor-I gene 5' flank. J. Animal Genetics. 23:543-548 Kumeta Y, Ito M. 2010. Characterization of d-Guaiene Synthases from Cultured Cells of Aquilaria, Respponsible for the Formation of the Sesquiterpenes in Agarwood. Plant Physiology, 154; 1998–2007. American Society of Plant Biologists. Kunoh H. 1995. Cytological approaches in understanding host-parasite interaction. Di dalam Mills D et al, editor. Moleculer Asppect of Pathogenicity and Resistance: Requirement for Signal Tranduction. United States of America: APS Press. Kremer A 2002. Leaf morphological differentiation between Quercus rubur and Quercus petraea is stable across western European mixed oak stands. Ann. For. Sci. 59: 77-787 Lahaye R, Van der Bank M, Bogarin D, Warner J, Pupulin F, Gigot G, Maurin O, Duthoit S, Barraclough TG, Savolainen V (2008) DNA barcoding the floras of biodiversity hotspots. Proc. Nat. Acad. Sci., 105(8): 2923-2928 Lawton K, Uknes S, Friedrich L, Gaftney T, Alexander D, Goodman R, Métraux JP, Kessmann H, Ahl Goy P, Gut Rella M, Ward E, and Ryals J. 1992. The molecular biology of systemic aquired resistance. In Mechanisms of Defence Responses in Plants, B. Fritig and M. Legrand, eds (Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers). 422-432. Lee MH, Bostock RM. 2006. Induction, regulation, and role in pathogenesis of appressoria in Monilinia fructicola. Phytopathology 96:1072-1080. Lee SY, Weber J, Mohamed R. 2011 Genetic variation and molecular authentication of selected Aquilaria sppecies from natural populations in Malaysia using RAPD and SCAR markers. Asian J Plant Sci 10(3):202– 211. Lee TH, Chai TL, Soon LL, Ng KKS, Ng CH, Farhanah ZN, Lau KH dan Lillian SLC. 2012. Isolation and chararterization of microsatellite markers for an important tropical tree Aquilaria malaccensis (Thymelaeaceae). American Journal of Botany: 431-433. Lei G, Jin-zhong W, Ting H, Tong C, Rahman K, Lu-ping Q. 2008. Chemical Composition, Antifungal and Antitumor Properties of Ether Extracts of Scapania verrucosa Heeg. and its Endophytic Fungus Chaetomium fusiforme. Molecules, 13, 2114-2125; DOI: 10.3390/molecules13092114. Leung H, Nelson RJ, Leach JE. 1993. Population structure of plant pathogenic fungi and bacteria. Adv. Plant Pathol. 10: 157 - 205.
56
Lenny. 2006. Senyawa terpenoida dan steroida. Medan. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Mandang YI, Wiyono B. 2002. Anatomi kayu gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) dan beberapa jenis sekerabat. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20: 107-126. Manitto.P, 1981, Biosynthesis of Natural Products, Terjemahan PG Sammes, Ellis Horwood Limited. Publishers Chichester Mann J 1987. Secondary Metabolism. New York: Oxford university Press Mak C, Mohamed AA, Liew KW and Ho YW, 2008. Banana improvement. FAO. [diunduh: 2012 Agustus 20]. Tersedia pada Http://www.fao.org/docrep/007/ae216eok.html. Mauseth JD. 1988. Plant Anatomy. California: The Benjamin Publishing. Mendgen K, H Deising. 1993. Infection Structures of Fungal Plant Pathogen- a cytological and physiological evaluation. New Phytol 124: 193-213. Meiling Z, Zhiqiang X, Cheng l, Haiyan W, Jiamin J and Wenquan W. 2011. Genetic Diversity and Differentiation of Aquilaria sinensis (Lour.) Gilg Revealed by ISSR and SRAP Markers. Crop. Sci. 52 (5), 2304-2313. DOI: 10.2135 Metcalfe C.R and Chalk L. 1950. Anatomy of the Dicotyledones. Oxford. Mishaghi IJ. 1982. Physiology and Biochemistry of Plant-Pathogen Interactions. New York. Mohamed R, Jong PL, S Zali. 2010. Fungal diversity in wounded stems of Aquilaria malaccensis. Fungal Divers 43:67-74 Mohan M, Nair S, Bhagwat A, Krisna TG, Yano M, Batia CR, dan Sasaki T 1997. Genome mapping molecular markers and marker assited selection in crop palnts. Mol. Breeding 3:1-17. Morgante M. and Olivieri A.M. 1993. PCR amplified SSRs as markers in plant genetics. Plant J. 3:175-182 Muladno. 2000. Teknologi manipulasi DNA. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Murray HG, Thompson WF 1980. Rapid isolation of high molecular weight DNA. Nucleilc Acids Res 8:4321-4325. Nakanishi, T., Yamagata, E., Yoneda, K., Nagashima, T., Kawasaki, I. Yoshida, T., Mori, H. and Muira, I. 1984. Three fragrant sesquiterpenes of agarwood. Phytochemistry 23(9):2066-2067 Nagy NE, Franceschi VR, Solheim H, Krekling T, Christiansen E. 2000. Woundinduced traumatic resin duct development in stems of Norway sppruce (Pinaceae): Anatomy and cytochemical traits. American Journal of Botany 87: 302-313. Namkoong G, Boyle T, Gregorius H.R, Joly H, Savolainen O, Ratnam W, Young A. 1996. Testing Criteria and Indicators for Assessing the Sustainability of Forest Management: Genetic Criteria and Indicators. CIFOR. Nei M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number individual. Genetics 89: 583-590 Ng Lt, Chang YS, Kadir A. 1997. A review on agar (gaharu) producing Aquilaria spesies. Trop. Forest Prod. 2: 272-285
57
Ngatiman, Armansyah. 2005. Uji coba pembentukan gaharu dengan cara inokulasi. Seminar Nasional Gaharu “Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia” Bogor, 1-2 Desember 2005. Seameo Boitrop. Nieamann KO, Visintini. 2005. Assessment of potential for remote sensing detection of bark beetle-infested areas during green attack: a Literature Review. Canada: Mountain Pine Beetle Initiative Nobuchi T, Siripatanadilok S. 1991. Preliminary observation of Aquilaria crassna wood associated with the formation of aloewood. Bulletin of the Kyoto University Forest 63:226 -235. Nothnagel EA, Mcneil M. dan Dell A. 1983. Host-pathogen interactions. XXII. A galacturonic acid oligosaccharide from plant cell wall elicits phytoalexins. Plant Physiology 71:916-926. Novriyanti E. 2008. Peranan zat ekstraktif dalam pembentukan gaharu pada Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa Baill. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Parman, Mulyaningsih T, Rahman MYA, 1996. Studi etiologi gubal gaharu pada pohon ketimunan (Aquilaria filaria). Makalah disampaikan pada acara Temu Pakar Gaharu; Mataran, 11 – 12 April 1996. Mataram: Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Parman, Mulyaningsih T. 2004. Pengembangan teknologi produksi gubal gaharu. Diskusi Sehari Pengembangan Gaharu; Jakarta, 9 Desember 2004. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Park YJ, Lee JL, and Kim NS, 2009. Simple sequence repeat polymorphisms (SSRPs) for evaluation of moleculer diversity and germplasm classifi cation of minor crops. Molecules 14: 4546–4569. Pawlowski K. Kunze R De Vries S Bisseling T. 1994. Isolation of total, Poly (A) and Poysomal RNA from plant tissues. In: Plant Molecular Biology Manual (Eds. SB Gelvin and RA Shilperoort) Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. The Netherlands. Pojanagaroon S, Kaewrak C. 2002. Mechanical methods to stimulate aloes wood Formation in Aquiliria crassna Pierre ex H Lec (kritsana) Trees. [diunduh 2010 Mei 23]; ISHS Acta Hort 676. Tersedia pada www.actahort.org. Powell W, Morgante M, Andre C, Hanafey M, Vogel J, Tingey S, Raflaski A. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Mol. Breeding. 2: 225-238 Prell, H.H, Day P.R. 2001. Plant Funggal Pathogen Interaction a Classikal and Molecular View. Berlin, Sppringer Verlag. Prema BR, Bhattacharrya PK. 1962. Microbial transformation of terpenes. Nat Chem Lab. India Preston, L.R., Harker N, Holton T, and Morell MK. 1999. Plant cultivar identification using DNA analysis. Plant Varieties and Seed 12:191-205 Pushpakumari HWL, Samarasinghe WLG and Senanayake SGJN. 2009. DNA typing of dessert banana cultivar kolikuttu (‘silk’) accessions by microsatellite markers. Tropical agricultural research & extension 12 (2):2009
58
Putri AL, Gayuh R, Juliarni. 2008. Induksi pembentukan senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) dengan Acremonium sp dan metil jasmonat. Enviagro 2: 23-28 Putri AL. 2011. Studi interaksi Fusarium sp. dengan pohon gaharu (Aquilaria sp.) menggunakan pendekatan sitologi. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahayu G, Isnaini Y, Umboh MIJ. 1999. Potensi beberapa hifomiset dalam induksi gejala pembentukan gubal gaharu. Di dalam: Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI : Purwokerto, 1618 September 1999. Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. 573- 581. Rahayu G, Santoso E, Wulandari E. 2009. Efektifitas dan interaksi antara Acremonium sp dan Fusarium sp dalam pembentukan gubal gaharu pada Aquilaria microcarpa . Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di sekitar hutan. Bogor. Rahman MA, Khisa SK. 1984. Agar production in agar tree by artificial inoculation and wounding II. Further evidence in favor of agar formation [abstract]. Bano Biggyan Patrika 12: 5763. Ramadhani RC. 2006. Jaringan pengakumulasi resin gaharu pada Aquilaria Crassna. [Skripsi]. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB Bogor. Rao KR, Dayal R and Ramesh-Rao K. 1992. The secondary xylem of Aquilaria agalocha (Thymeleaceae) and the formation of agar. IAWA Bulletin n.s., 13 (2): 163-172. Richter HG. 1990. Wood and bark anatomy of Lauraceae III. Aspidostemon Rohwer & Richter. IAWA Bull. (N.S.). 11. 47-56. Rosita R 2008. Efektifitas Pemberian Metil Jasmonat secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa Terpenoid pada pohon Gaharu (Aquilaria crassna). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rotwein, P. dan Hall L.J. 1990. Evolution of insulin-like growth factor II: Characterization of the mouse IGF-II gene and identifi-cation of two pseudo exons. J.DNA and Cell Biology. 725-735. Ryals JA, Neuenschwander UH, Willits MG, Molina A, Steiner HY dan Hunt MD. 1996. Systemic acquired resistance. The Plant cell, 8; 1809-1819. Rybicky EP. 1996. PCR Primer Design and Reaction Optimisation in MolecularBiology Techniques Manual. Coyne VE, James MD, Reid SJ, editor. Rybicki: Dept.of Microbiology, Univ. Cape Town. Sambrook JE, Fritsch and Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: a laboratory manual. 2nd Edition. Cold Sppring Harbor Laboratory Press New York. Santhaella M, Suarez E, Lopez C, Gonzales C, Mosquare G, Restrepo S, Tohme J, Badillo A, Verdier V. 2004 Identification of gene in cassava that are differentially expressed during infectionwith Xanthomonas axonopodis pv manihot. Molecular Plant Pathology 5(6) : 549-558. Santoso E. 1996. Pembentukan gaharu dengan cara inokulasi. Di dalam; Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Di dalam: Siran S dan Turjaman, editor. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan.
59
Santoso E, Irianto RSB, Turjaman M, Sitepu IR, Santosa S, Najmulah, Yani A, Aryanto. 2010. Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu. Di dalam: Siran S dan Turjaman, editor. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Santoso TJ, Dwinita W, Utami, dan Endang MS. 2006. Analisis sidik jari DNA plasma nutfah kedelai menggunakan marka SSR. Jurnal Agrobiogen 2 (1): 1-7. Sattayasai J, Bantadkit J, Aromdee C, Lattmann E, Airarat W. 2012. Antipyretic, analgesic and anti-oxidative activities of Aquilaria crassna leaves extract in rodents. J. Ayurveda and Integr Med. 3(4): 175–179. Doi: 10.4103/0975-9476.104427 Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press. Yogyakarta. Sastrahidayat IR. 1990. Ilmu penyakit tumbuhan. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Usaha Nasional. Semangun H. 1993. Konsep dan asas dasar pengelolaan penyakit tumbuhan terpadu. Makalah Simposium Pendidikan Fitopatologi dan Pengendalian. Hayati. Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia 9 September 1993 Yogyakarta. Siburian R. 2009. Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal Papua berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit. . [Tesis] Bogor (ID); Institut Pertanian Bogor. Shimatsu, A. and Rotwein P. 1987. Mosaic evolution of the insulin-like growth factors. Journal of Biological Chemistry 262:7894-7900. Siran S dan Turjaman M 2010. Pengembangan Teknologi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Siregar MEB. 2009. Potensi dan induksi pembentukan gubal gaharu (Aquilaria malaccensis) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Makalah Seminar Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari di Indonesia. Bogor: IPB International Convention Center, 12 November 2009. Sruhig TM, Amberger A. 1994. Exposing contaminating phenol in nucleic acid preparations. Biotechnologies 16:403. Stockwell V and Hanchey P. 1984. The role of cuticle in resistance beans to Rhizoctonia solani. Phytopathology 74: 1640 1642. Sumarna Y. 2005. Teknologi Pengembangan Rekayasa Produksi Gaharu. Makalah pada Promosi Gaharu dan Mikoriza. Pekanbaru. Tidak diterbitkan. Szallasi A, Jonassohn M, Acs G, Biro T, Acs P, Blumberg PM, Stemer O. 2012. The stimulation of capsaicin-sensitive neurones in a vanilloid receptormediated fashion by pungent terpenoids possessing an unsaturated 1,4dialdehyde moiety. Journal of Britishn Pharmacological Society. DOI: 10.1111/j.1476-5381.1996.tb15983.x Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Ed ke 3. underland, Massachusett: Sinauer Associates Publishers. Takahashi H, Atawa T, Yasue H. 1992. Characterization of swine short interspersed repetitive sequences. Animal Genetics. 23:443-448. Tamuli P. 2005. Essential oil of eaglewood tree: a Product of pathogenesis. Jour Essent Oil Research.
60
Tanksley SD. 1983. Molecular marker in plant breeding. Plant molecular biology reporter 1 (1):3-5. Umboh MIJ, Rahayu G, Affandi H. 1998. Upaya peningkatan produksi gubal gaharu: mikropropagasi aquilaria spesies dan upaya peningkatan bioproses gubal gaharunya [Laporan penelitian RUT V] Jakarata : Menristek-DRN. Van der Biezen EA, Hedyani J, Parker JE, Jones JDG. 2000. cDNA-AFLP dispplay for the isolation of Peronosppora parasitica genes expressed during infection in Arabidopsis thaliana. Molecular Plant Microbe Interaction 13: 895-898. Verpoorte R, Heijden RVD, Memelink J (2000). Engineering the plant cell factory for secondary metabolite production. Transgenic Res 9, 323–343. Vijayan, Shockey J, Levesque CA, Cook RJ, Browse J. 1998. A role for jasmonate in pathogen defence of Arabidopsis. Proc Natl Acad Sci 95; 7209-7214. Weber JC and Montes CS. 2005. Variation and Correlations Among Stem Growth and Wood Traits of Calycophyllum sppruceanum Benth. from the Peruvian Amazon. World Agroforestry Centre (ICRAF), Apartado Postal 1558, Lima, Peru. Silvae Genetica 54, 1(31-41). Weir BS, 1996. Genetic data analysis ll. 2nd ed. Sinauer Associates, Inc., Sunderland. Widono S, Sumardiyono C, Hadisutrisno B. 2003. Pengimbasan Ketahanan Pisang terhadap Penyakit layu Fusarium dengan Burkholderia cepacia. Agrosains Volume 5 No 2; 72-79. Winson, Newton. Artists’ water colour. [diunduh 2012 Sept 20] Tersedia pada: http://www.winsornewton.com/products/water-colours/artists-watercolour/colour-chart. Whitmore TC 1980. Thymeleaceae. Tree Flora of Malaya. Kepong: Forest Research Institut. 2: 383-391. Wobbe KK, Klessig DF. 1996. Salicylic acid: an important signal in plants. In DPS Verma, ed, Plant Gene Research: signal Transduction and Development. Sppringer, Wien, Austria, 167-196. Wong TM. 1977. Wood Structure of the lesser known timbers of Peninsular Malaysia. Malayan Forest Record No. 28. Forest Research Institute. Kepong. Xue CY, Li DZ (2011) Use of dna barcode sensu lato to identify traditional Tibetan medicinal plant Gentianopsis paludosa (Gentianaceae). J. Sys. Evol., 49 (3): 267-270. Yagura T, Shibayama N, Ito M, Kiuchi F, Honda G. 2005. Three Novel Diepoxy Tetrahydrochromones from Agarwood Artificially Produced by Intentional Wounding. Tetrahedron Letters 46 : 4395-4. Yang J, Verma PR, and Lees GL. 1992. The role of cuticle and epidermal cell wall in resistance of rapeseed and mustard to Rhizoctonia solani. Plant and Soil 142: 315 321. Yang Y, Shah J, Klessing DF. 1997. Signal perception and transduction in plant defense respponse. Rev Gen and dev 11: 1621-1639. Yeh FC, Yang R. 1999. POPGENE Version 1.31 : User Guide Centre for International Forestry Research: Universitas of Alberta.
61
Yuan QS 1995. Aquilaria sppesies: in vitro culture and the production of eaglewood (agarwood) dalam Bajaj YPS editor. Biotecnology in Agriculture and Forestry 33: Medicinal and Aromatic Plants VIII. Young A, Boshier D, Boyle T, editor. 2000. Forest conservation Genetics. Colling wood: CSIRO Publishing. Zhang L. Meakin H, Dickinson M. 2003. Isolation of gene expressed during compatible interaction between leaf rust (Puccinia triticina) and wheat using cDNA-AFLP. Molecular Plant Pathol. 4: 469-477.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1 Pengamatan karakter dan cara pengukuran/ perhitungan No Karakter Satuan Kode A Karakter batang 1 Tinggi m TTB Total 2 Tinggi Bebas cabang 3 Diameter
m
TBC
cm
DBH
4 Kekekaran batang 5 Tebal kulit batang
indeks
RTD
cm
TKB
6 Kelurusan batang
indeks
KLB
7 Kualitas bentuk batang
indeks
KBB
8 Volume bebas cabang
m3
VBC
Karakter tajuk dan daun 9 Panjang m PTj tajuk 10 Lebar m LTj tajuk
Cara pengukuran/penghitungan Diukur dengan menggunakan alat hagameter dari mulai pangkal batang sampai ujung batang utama Diukur dengan menggunakan alat hagameter dari mulai pangkal batang sampai cabang pertama pembentuk tajuk Diukur dengan menggunakan alat phiband pada ketinggian batang utama setinggi dada (1, 3 m diatas permukaan tanah) Dihitung dari pembagian nilai TTB (cm) dengan DBH (cm) Diukur dengan menggunakan alat mistar dari kulit luar hingga kulit dalam dekat permukaan kayu Diukur dengan mengamati kelurusan batang dan bentuk batang secara visual dari berbagai arah. Kelurusan batang dikalisifikasikan ke dalam (a) bentuk “I” (lurus dari pangkal hingga ujung) poin 10, (b) bentuk “j” (bengkok di bagian pangkal atau dibagian tajuk) poin 6, dan (c) bentuk “S” (bengkok tidak beraturan) poin 2. Dihitung dari ukuran kedalaman lekukan batang, diklasifikasikan kedalam (a) bulat jika kedalaman lekukan kurang dari 5% ukuran DBH, poin 10; (b) agak bulat jika kedalaman mencapai 5-10% DBH, poin 6; dan (c) tidak bulat jika kedalaman lekukan > 10% DBH, poin 2. Dihitung menggunakan rumus: VBC= 0.25 X 3,14 X DBH 2 X TBC X fb X 0.0001 , dengan fb (faktor bentuk) = 0,7
B
11 Jumlah buah cabang pembentuk
JCPT
Dihitung dari nilai TTB dikurangi nilai TBC Diukur dengan menggunakan galah ukur diameter tajuk arah Utara -Selatan dan arah Barat-Timur. Nilai lebar tajuk dihitung dari nilai rata-ratanya. Dihitung dari banyaknya cabang pembentuk tajuk pohon
64 Lanjutan Lampiran 1 No 12
13
14 15
Karakter tajuk Rasio diameter cabang tajuk dengan diameter batang Sudut cabang pertama pembentuk tajuk Panjang anak daun Lebar anak daun
16 Rasio panjang lebar anak daun 17 Panjang petiol
Satuan
Kode
Rasio
RDCB
Cara pengukuran/penghitungan Dihitung dari nilai perbandingan diameter cabang pembentuk tajuk dengan diameter batang dimana cabang tersebut tumbuh.
derajat SCPT
Diukur dengan menggunakan busur derajat pada sudut yang dibentuk oleh cabang pertama pembentuk tajuk dengan batang utamanya.
cm
PAD
cm
LAD
Rasio
RPLD
Diukur dengan menggunakan mistar dari mulai pangkal daun hingga ujung daun Diukur dengan menggunakan mistar, pada bagian helaian daun terlebar, mulai dari tepi daun sisi kiri hingga tepi helaian daun sisi kanannya, kemudian dirata-ratakan dari 10 sampel yang diambil. Dihitung dari nilai perbandingan PAD dengan LAD
mm
PPD
Diukur dengan mengunakan califer , pada bagian petiol daun dari empat sisi pengukuran pohon, dengan rata-rata 10 sampel per bagian kemudian dirata-ratakan nilai keempat sisi tersebut.
65
Lampiran 2 Hasil analisis korelasi karakter morfologi pada Aquilaria microcarpa yang diinokulasi Fusarium solani. X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17
X1 0.253 0.040 0.462 0.000 0.485 0.000 0.057 0.647 -0.005 0.966 0.015 0.905 0.408 0.001 0.770 0.000 0.195 0.117 0.107 0.392 0.094 0.497 -0.085 0.497 -0.053 0.671 -0.014 0.914 -0.057 0.650 0.076 0.545
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X14
X15
X16
0.313 0.011 -0.634 0.000 0.026 0.835 0.047 0.707 0.088 0.484 0.835 0.000 -0.243 0.050 -0.010 0.937 0.024 0.847 0.015 0.906 0.187 0.134 -0.049 0.694 0.017 0.896 -0.038 0.764 -0.012 0.923
0.184 0.140 0.273 0.027 0.023 0.852 0.042 0.737 0.731 0.000 0.242 0.050 0.273 0.026 -0.154 0.217 0.017 0.894 0.123 0.325 -0.013 0.916 0.091 0.469 -0.117 0.349 -0.003 0.980
0.140 0.261 -0.001 0.994 -0.070 0.576 -0.337 0.006 0.726 0.000 0.177 0.156 0.141 0.258 -0.035 0.783 -0.244 0.048 -0.046 0.711 -0.028 0.823 -0.050 0.688 0.040 0.751
0.057 0.649 0.060 0.635 0.166 0.183 0.068 0.586 0.078 0.531 -0.082 0.518 -0.035 0.780 -0.009 0.946 0.019 0.880 0.072 0.566 -0.022 0.864 0.101 0.419
0.471 0.000 0.001 0.993 -0.104 0.404 0.081 0.518 0.156 0.212 -0.099 0.430 -0.003 0.980 -0.079 0.527 -0.070 0.578 -0.011 0.933 -0.086 0.494
0.065 0.604 -0.037 0.769 -0.105 0.401 -0.085 0.498 -0.197 0.113 -0.056 0.656 -0.009 0.941 -0.068 0.587 0.085 0.499 -0.042 0.739
-0.038 0.764 0.119 0.340 -0.101 0.419 0.026 0.838 0.169 0.174 -0.012 0.924 -0.119 0.342 -0.128 0.342 -0.023 0.854
0.270 0.029 0.028 0.824 0.110 0.379 -0.108 0.386 0.007 0.953 0.009 0.946 -0.045 0.717 0.105 0.403
0.014 0.913 0.145 0.246 0.070 0.576 0.003 0.980 0.074 0.557 -0.047 0.709 -0.173 0.164
0.058 0.644 -0.083 0.508 0.085 0.499 -0.024 0.850 0.063 0.616 0.201 0.106
0.039 0.754 0.045 0.721 0.012 0.926 0.002 0.986 0.135 0.282
-0.052 0.681 -0.008 0.947 0.026 0.838 0.073 0.561
0.537 0.000 0.014 0.912 -0.258 0.036
-0.805 0.000 -0.248 0.045
0.181 0.145
Lampiran 3 Hasil analisis korelasi karakter morfologi pada Aquilaria microcarpa yang tidak diinokulasi Fusarium solani X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17
X1 0.427 0.004 0.615 0.000 0.554 0.000 0.165 0.286 -0.058 0.709 0.128 0.408 0.659 0.000 0.818 0.000 0.101 0.516 0.056 0.720 -0.161 0.298 0.298 0.050 0.191 0.213 0.251 0.101 -0.164 0.289 -0.183 0.235
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X14
X15
X16
0.062 0.688 -0.477 0.001 0.125 0.421 -0.063 0.685 -0.133 0.390 0.671 0.000 0.044 0.776 0.278 0.068 -0.056 0.706 -0.088 0.568 0.224 0.143 -0.276 0.070 -0.073 0.638 -0.122 0.430 -0.234 0.126
0.559 0.000 0.267 0.080 -0.188 0.221 0.122 0.429 0.737 0.000 0.520 0.000 0.163 0.290 -0.159 0.303 -0.059 0.704 0.108 0.485 0.233 0.128 0.305 0.044 -0.146 0.343 -0.003 0.986
0.086 0.581 -0.030 0.844 0.190 0.216 0.020 0.899 0.706 0.000 -0.210 0.170 0.061 0.694 -0.037 0.813 0.051 0.740 0.431 0.003 0.252 0.099 0.020 0.896 0.016 0.917
-0.022 0.888 -0.208 0.175 0.276 0.0.69 0.126 0.416 -0.072 0.641 0.095 0.538 0.335 0.026 -0.025 0.870 0.327 0.030 0.042 0.788 0.124 0.424 -0.072 0.643
-0.045 0.795 -0.130 0.402 0.021 0.891 0.008 0.958 0.205 0.182 0.248 0.104 0.159 0.303 -0.020 0.897 -0.282 0.064 0.308 0.042 0.140 0.366
0.040 0.795 0.209 0.173 -0.105 0.498 0.162 0.294 -0.114 0.460 -0.057 0.714 0.171 0.267 0.208 0.176 -0.167 0.279 0.148 0.336
0.370 0.014 0.317 0.036 -0.104 0.502 -0.093 0.502 0.170 0.271 -0.039 0.800 0.180 0.241 -0.221 0.150 -0.143 0.356
0.038 0.805 0.093 0.548 -0.118 0.445 0.178 0.247 0.219 0.153 0.152 0.326 -0.057 0.714 -0.173 0.262
-0.065 0.677 -0.268 0.079 0.422 0.004 -0.389 0.009 -0.144 0.350 -0.027 0.862 -0.048 0.759
0.003 0.984 0.257 0.093 0.064 0.677 0.104 0.500 -0.097 0.529 -0.304 0.045
-0.187 0.225 0.177 0.249 0.077 0.620 -0.030 0.848 -0.090 0.560
0.023 0.885 -0.043 0.782 0.108 0.484 -0.157 0.309
0.531 0.000 0.047 0.762 -0.019 0.901
-0.788 0.000 -0.085 0.581
0.113 0.464
66
Lampiran 4 Hasil pengamatan induksi Fusarium Solani pada tingkat semai Jenis Fusarium 512
500
509
2969
control
No. Tanaman A B C D E F G
Diameter (mm) 5.06 4.79 5.61 5.80 5.63 5.46 5.12
Tinggi (cm) 40.9 46 50.1 46 48 40 41
jumlah cabang 5 3 3 2 4 4 2
jumlah daun 41 26 31 36 28 22 22
Minggu I 4 sm 4 sm 1 sm 7 sm 1 sm 1 sm
H
5.06
41
2
29
10 sm
1 2 3 4 5 6 7 8 I II III IV V VI VII VIII a b c d e
5.17 4.24 4.45 4.23 4.39 4.42 4.74 5.52 4.27 5.32 4.93 5.25 4.03 4.03 4.56 5.12 4.27 5.53 4.04 4.48 4.96
39 43 46 39 44 47 40 47 42.5 38 43 41 39 49 48 36 43 46 36 41 35
2 3 3 2 3 3 2 3 1 3 1 2 2 2 2 2 4 2 3 3
20 27 34 30 29 31 20 39 27 18 28 22 18 22 20 20 20 20 21 26 31
3 sm 1sm -
f
5.41
37
2
19
-
g h c1 c2 c3 c4 c5 c6 c7 c8
5.70 4.44 4.66 4.12 4.30 5.60 4.31 5.05 5.00 4.60
42 49 38.5 41 42 43 36 49 40 41.5
2 2 2 2 2 1 2 2 2 2
29 24 20 25 26 21 17 14 25 30
-
Keterangan: sm = sedikit menguning K = Kuning G = Gugur
Minggu II 4 sm 3sm; 1K 1 sm 3K 5G;2sm 1G;1 sm 1 G; 1sm 6 G;4 sm 6 sm 1G 2 sm 1K 3sm;1K 2 sm 2B 1 sm 2 sm 1 sm 4 sm 3 sm 7 sm;1 K 6 sm; 1K 3 sm 5 sm 5 sm 1 sm -
Minggu III 4 sm;1K 4 sm;1K 2B 3G;1A 1A;1K 1 A;2K 1 A;1K
Minggu IV 4K; 1G 4K; 1G 2K 1K 2K 3K 2K
4B
4K
3 K;3sm 3K 1sm 4B;1K 2K 2B;1K 3B 1K 5B 3sm;1K 2K 3sm 2K;2sm 3sm;1K 6sm 3sm 1sm 3sm;1K 4sm 3sm 7sm;1K
6K 3K 1K 5K 2K 3K 3K 1G 5K 3K;1G 2K 3K 4K 4K 6K 3K 1K 4K 4K 3K 7K;1G
6sm;1K
6K;1G
3sm 2sm;3K 5sm 1sm 1sm 2sm 1sm 4sm 7sm
3K 5K 5K 1K 1K 2K 1K 4K 7K
67
Lampiran 5 Frekuensi alel mikrosatelit Aquilaria microcarpa pada populasi inokulasi, tidak inokulasi dan anakan Lokus
6Pa18
71Pa17
Panjang alel (bp)
Inokulasi
178 184 194 198 210 158 166 178 194 198 210 224
40.00 50.00 10.00 35.00 57.50 7.50 -
Populasi Tidak inokulasi 20.00 35.00 20.00 25.00 32.50 35.00 32.50 -
Anakan 33.75 66.25 2.50 30.00 55.00 12.50
68
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bokondini Papua pada tanggal 23 Mei 1973 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara keluarga S.D. Siburian dan ibu R. Simatupang. Penulis menikah dengan Ricardo Tapilatu dan dikaruniai tiga orang anak; Maryrose Easter Tapilatu, Julia Rosemary Tapilatu dan Daniel Fitzgerald Tapilatu. Pendidikan Sarjana ditempuh pada jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa program Magister sains pada mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2009. Selanjutnya pada tahun 2009 penulis diterima kembali sebagai mahasiswa program doktor pada mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2003, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua Manokwari. Karya ilmiah yang telah penulis siapkan untuk diterbitkan pada jurnal ilmiah adalah sebagai berikut: 1. Rima HS Siburian, Ulfah J Siregar, Iskandar Z Siregar, Erdy Santoso. Identifikasi Karakter Morfologi Aquilaria microcarpa yang berinteraksi dengan Fusarium solani sp. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 2013 2. Rima HS Siburian, Ulfah J Siregar, Iskandar Z Siregar, Erdy Santoso, Imam Wahyudi. Anatomical Wood Characters of Aquilaria microcarpa Interacting with Fusarium solani sp. Jurnal BIOTROPIA 2013 Kedua karya tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.