1
EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN Fusarium sp. SEBAGAI PENGINDUKSI GANDA TERHADAP PEMBENTUKAN GAHARU PADA POHON Aquilaria microcarpa
ESTI WULANDARI
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
2
ABSTRAK ESTI WULANDARI. Efektivitas Acremonium sp. dan Fusarium sp. sebagai Penginduksi Ganda terhadap Pembentukan Gaharu pada Pohon Aquilaria microcarpa. Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan ERDI SANTOSO. Aquilaria microcarpa merupakan salah satu pohon penghasil gaharu. Gaharu dibentuk sebagai akibat infeksi cendawan. Acremonium sp. dan Fusarium sp. adalah cendawan yang sering dipergunakan untuk induksi pembentukan gubal. Acremonium sp. sebagai inokulan tunggal belum mampu merangsang pohon untuk menghasilkan gubal dalam kualitas yang baik. Oleh sebab itu, inokulasi Acremonium sp. yang dikombinasikan dengan Fusarium sp. (dalam inokulan ganda) diteliti untuk meningkatkan kualitas gubal. Batang pohon A.microcarpa dibor dan diberi larutan gula 2%, kemudian inokulan 1(A= Acremonium sp. atau F= Fusarium sp.) dimasukkan ke dalam lubang dan diikuti inokulan 2 (F= Fusarium sp. atau A= Acremonium sp.) dengan selang waktu inokulasi 1 minggu. Inokulan-inokulan ini diberikan pada lubang yang berbeda pada batang pohon yang sama, sehingga seluruh perlakuan adalah AF dan FA sebagai inokulan ganda, serta A atau F sebagai inokulan tuggal. Efektifitas inokulan diukur melalui kebugaran pohon dan beberapa kriteria kualitas seperti perubahan warna kayu (intensitas, panjang dan lebar zona perubahan warna), tingkat wangi dan kandungan terpenoid. Pengamatan dilakukan setiap bulan selama 4 bulan. Semua pohon yag diinokulasi menurun kebugarannya sejak 1 bulan setelah inokulasi. Intensitas warna kayu, panjang dan lebar zona perubahan warna serta tingkat wangi kayu pada pemberian inokulan ganda cenderung lebih tinggi dibandingkan pemberian inokulan tunggal. Inokulan ganda AF merangsang pembentukan wangi dengan tingkat dan frekuensi titik inokulasi yang wanginya lebih tinggi daripada FA. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A merangsang pohon membentuk triterpenoid. Kata kunci: gubal gaharu, Acremonium sp., Fusarium sp., inokulan tunggal, inokulan ganda, senyawa terpenoid
ABSTRACT ESTI WULANDARI. Effectivity of Acremonium sp. and Fusarium sp. as Double Inducer for Agarwood Formation in Aquilaria microcarpa. Supervised by GAYUH RAHAYU and ERDI SANTOSO. Aquilaria microcarpa is one of the agarwood trees that produced the best quality of agar. The agar was formed on the infected tree. Acremonium sp. and Fusarium sp. are usually used as inoculant for agar production. Yet, Acremonium as single inoculant was not able to induce the tree to produce a good quality of agarwood. Therefore, Acremonium sp. was combined with Fusarium sp. (served as double inoculant) to induce agar production. This research was aimed at studying the effectiviness of double inoculants to improve quality of agar produce comparing to its single inoculant. A. microcarpa stem was first drilled to make holes, then the hole was filled with sugar solution (2%), inoculated by the first inoculant (A= Acremonium sp. or F= Fusarium sp.) and followed by second inoculant (F= Fusarium sp. or A= Acremonium sp.). Second inoculant was given one week after the first inoculant. Those inoculants were given in different holes in the same tree. Therefore, the treatments were composed of AF and FA as double inoculants, and A or F as a single inoculant. Effectivity of inoculation was determined on the bases of tree fitness and quality criteria such as wood discoloration (intensity, length and wide of browning zone), fragrance level and terpenoid contents. The effectivity was observed each month for four months period. Based on intensity of wood discoloration, length and wide of wood discoloration zone, and fragrance level, double inoculants tended to give a better result than single inoculant. AF stimulated fragrance formation that level and frequency of inoculation point with moderate and strongly fragrance were higher then those of FA. All inoculants, except single inoculant A, stimulated tree to produce triterpenoid. Key words: agarwood, Acremonium sp., Fusarium sp., single inoculant, double inoculant, terpenoid compound
3
EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN Fusarium sp. SEBAGAI PENGINDUKSI GANDA TERHADAP PEMBENTUKAN GAHARU PADA POHON Aquilaria microcarpa
ESTI WULANDARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
4
Judul Skripsi : Efektivitas Acremonium sp. dan Fusarium sp. sebagai Penginduksi Ganda terhadap Pembentukan Gaharu pada Pohon Aquilaria microcarpa Nama : Esti Wulandari NIM : G34104063
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Gayuh Rahayu NIP 131 289 335
Dr. Ir. Erdi Santoso NIP 080 053 161
Diketahui, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA NIP 131 578 806
Tanggal Lulus :
5
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2008 ini ialah pembentukan gaharu, dengan judul Efektivitas Acremonium sp. dan Fusarium sp. Sebagai Penginduksi Ganda Terhadap Pembentukan Gaharu pada Pohon Aquilaria microcarpa. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Bapak Dr. Ir. Erdi Santoso atas kesabaran, bimbingan, saran, dan motivasi selama penelitian. Terima kasih pula kepada program hibah kemitraan HI-LINK Gaharu 2008 yang telah mendanai penelitian ini dan Bapak Dr. Ir. Miftahudin, Msi. sebagai penguji atas masukan yang diberikan. IPBCC yang telah menyediakan bahan penelitian, staf laboratorium Pusat Penelitian Hutan Konservasi dan Bapak Atep yang telah membantu dalam persiapan dan pelaksanaan di lapang. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, Yayu, dan Rheeno atas perhatian, doa, dan kasih sayangnya, serta Lia Y, Ririn, Rescy, Tina, Lia D, Desy, Fina atas kerjasama dan bantuannya, seluruh teman Biologi 41 yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2009
Esti Wulandari
6
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1986 dari ayah Urip Kurniadi (Alm.) dan ibu Emawati. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 47 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan memilih program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisiologi Tumbuhan pada tahun ajaran 2005/2006 dan 2007/2008. Asisten praktikum Biologi Cendawan 2008/2009. Penulis melaksanakan praktek lapang di PT. Pyridam Farma, Cipanas dari bulan Agustus hingga September 2007 dengan tema Pengawasan Mutu Produksi Obat di PT. Pyridam Farma, Cipanas.
7
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. vii PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 BAHAN DAN METODE .......................................................................................................... Peremajaan Biakan Acremonium sp. dan Fusarium sp. .................................................. Pembuatan Inokulan. ....................................................................................................... Uji Efektifitas inokulan ganda.......................................................................................... Deteksi Senyawa Terpenoid ............................................................................................ Analisis Data ...................................................................................................................
1 1 1 2 2 3
HASIL ........................................................................................................................................ Kebugaran Pohon ............................................................................................................ Perubahan Warna Kayu ................................................................................................... Tingkat Wangi ................................................................................................................. Pembentukan Senyawa Terpenoid...................................................................................
3 3 3 5 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 7 Efektivitas Inokulan ........................................................................................................ 7 Pembentukan Senyawa Gaharu ....................................................................................... 8 SIMPULAN ............................................................................................................................... 8 SARAN ...................................................................................................................................... 9 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 9 LAMPIRAN ............................................................................................................................... 11
8
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Halaman Intensitas warna kayu selama 4 bsi ............................................................................ 4 Panjang perubahan warna kayu selama 4 bsi ............................................................. 4 Lebar perubahan warna kayu selama 4 bsi ................................................................. 5 Tingkat wangi kayu yang berubah warna pada titik perlakuan selama 4 bsi ................................................................................................................ 5 Frekuensi wangi kategori agak wangi dan wangi pada titik perlakuan selama 4 bsi ................................................................................................................. 5 Absorban perubahan warna kayu untuk mengetahui kandungan triterpenoid selama 4 bsi.................................................................................................................................. 6
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6
Halaman Tahap-tahap perlakuan pengeboran, pemberian gula 2%, pemberian inokulan berupa pelet ................................................................................ 2 Klorosis yang telah memenuhi luasan daun pada 2 bsi .............................................. 3 Pohon dengan tajuk tanpa daun akibat serangan ulat .................................................. 3 Perubahan warna kayu dengan skor: 0, 1, 2, 3 ........................................................... 3 Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid, sampel minyak gaharu yang mewakili sebagai pembanding ...................................... 6 Hasil uji Lieberman-Burchard. Penginduksian ganda AF dan FA (A dan F) penginduksian tunggal AA dan FF mengandung triterpenoid................................................................................................................... 6
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Halaman Analisis sidik ragam intensitas warna kayu ................................................................ 12 Analisis sidik ragam panjang zona perubahan warna kayu ........................................ 12 Analisis sidik ragam lebar zona perubahan warna kayu ............................................. 12 Analisis sidik ragam tingkat wangi kayu .................................................................... 13 Analisis sidik ragam nilai absorbansi ekstrak triterpenoid asal kayu gaharu .......................................................................................................... 13
1
PENDAHULUAN Latar Balakang Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang harganya lebih tinggi dibandingkan HHBK lainnya (Wiyono & Sumarliani 1998). Gaharu digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa, kosmetik, dan obat-obatan (Sumarna 2002). Gaharu dihasilkan oleh beberapa spesies pohon gaharu (Aquilaria sp. Magnoliopsida, Thymelaeaceae). Proses pembentukan gubal pada pohon gaharu, hingga saat ini masih terus diteliti. Gubal gaharu diduga dapat terbentuk melalui infeksi cendawan (Nobuchi & Siripatanadilok, 1991). Beberapa cendawan yang berasosiasi dengan gubal gaharu, yaitu: Fusarium oxyporum, F. bulbigenium dan F. lateritium telah berhasil diisolasi oleh Santoso (1996). Selain itu, Rahayu et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa isolat Acremonium sp. asal gubal gaharu pada Gyrinops verstegii (sin. A. filaria) dan A. malaccensis mampu menginduksi gejala pembentukan gubal pada pohon gaharu (A. crassna, A. malaccensis, A. microcarpa) umur 2 tahun. Hingga akhir 2002, cendawan penginduksi gaharu yang banyak diteliti adalah Fusarium sp. dan atau Acremonium sp. Acremonium sp. sebagai penginduksi tunggal belum menghasilkan gubal yang dapat memuaskan selera pasar (Rahayu G 5 Desember 2007, komunikasi pribadi). Oleh sebab itu, penelitian perbaikan mutu gubal diarahkan pada penginduksi ganda. Namun pada beberapa kasus, infeksi cendawan yang pertama dapat membangkitkan resistensi terhadap infeksi cendawan kedua (Sticher et al. 1997). Resistensi yang muncul akibat proses seperti itu disebut Systemic Acquired Resistance (SAR). Caruso dan Kuc (1977) menyatakan F. oxysporum f.sp. bahwa infeksi cucumerinum dapat membangkitkan SAR tanaman semangka terhadap infeksi Colletotrichum lagenarium. Liu et al. (1995) juga menemukan proses SAR dari infeksi Pseudomonas lachrymans pada timun terhadap F. oxysporum. Pemanfaatan Fusarium sp. dan Acremonium sp. sebagai penginduksi ganda memerlukan informasi awal mengenai kemungkinan terbentuknya SAR yang dibangkitkan oleh Fusarium sp. terhadap Acremonium sp. dan sebaliknya. Pada gejala pembentukan gubal gaharu hasil inokulasi cendawan terdeteksi senyawa oleoresin (Prema & Bhattacharyya 1962).
Selain itu Putri (2007) dan Rosita (2008) Acremonium sp. menyatakan bahwa merangsang perubahan warna kayu dan pembentukan senyawa terpenoid. Oleh sebab itu, perubahan warna kayu dan adanya senyawa terpenoid dijadikan indikator pembentukan gubal. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Acremonium sp. dan Fusarium sp. sebagai penginduksi ganda terhadap pembentukan gubal gaharu pada pohon gaharu (A. microcarpa). Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan September 2008, di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Carita Propinsi Banten, Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Hutan Konservasi, dan Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, FMIPA IPB.
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan dan alat yang digunakan adalah pohon A. microcarpa umur 13 tahun, biakan Acremonium sp. F IPBCC 07.525 (koleksi IPBCC, Departemen Biologi FMIPA IPB), dan Fusarium sp. yang berasal dari Aquilaria sp. Padang (koleksi laboratorium Mikrobiologi, Pusat Penelitian Hutan Konservasi), larutan gula 2%, alkohol, aquades, bor, mata bor berukuran 4 mm, meteran, bahan pelet dan alat pencetaknya. Metode Peremajaan Biakan Acremonium sp. dan Fusarium sp. Acremonium sp. diremajakan pada media agar-agar kentang dekstrosa (Difco) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Biakan ini akan digunakan sebagai sumber inokulum untuk pembuatan inokulan. Pembuatan Inokulan. Acremonium sp. ditumbuhkan pada media serbuk gergaji (Rahayu G 5 Desember 2007, komunikasi pribadi) selama 2 minggu, kemudian dibentuk berupa pelet dengan ukuran 4 x 40 mm. Fusarium sp. ditumbuhkan pada media cair (Santoso E 29 Februari 2008, komunikasi pribadi) volume 300 ml, inkubasi selama 3 minggu menggunakan inkubator bergoyang.
2 Uji Efektivitas inokulan ganda. Pohon diinokulasikan dengan inokulan ganda. Inokulan ganda dibagi dalam 2 set. Set 1 (AF) terdiri dari inokulan Acremonium sp. yang inokulasinya diikuti dengan Fusarium sp., sedangkan set 2 (FA) merupakan inokulasi Fusarium sp. yang diikuti dengan Acremonium sp. Pertama-tama, batang utama pada ketinggian 0.5-1 m di atas permukaan tanah dilubangi sekeliling batangnya dengan mata bor berdiameter 4 mm, pada kedalaman lubang maksimal 1/3 diameter batang (Gambar 1a). Jarak antar lubang secara horizontal sekitar 5 cm. Ke dalam lubang dimasukkan berturut-turut larutan gula 2% (Gambar 1b), dan inokulan 1 sampai lubang dipenuhi oleh inokulan (Gambar 1c). Seminggu kemudian, pohon dilubangi lagi pada jarak 15 cm secara vertikal dari deretan lubang yang pertama. Ke dalam lubang pada deretan kedua ini dimasukkan inokulan 2. Set 1 dan 2 masing-masing diberikan pada 3 pohon. Satu pohon dibuat sebanyak 5 set perlakuan sebagai ulangan. Jarak antar set dalam 1 pohon ± 30 cm. Batang yang tidak diberi perlakuan (K), yang dilubangi saja (B), batang yang dilubangi dan diberi larutan gula (G), serta batang dengan perlakuan tunggal (diberi Acremonium sp. saja (AA) atau Fusarium sp. saja (FF)) digunakan sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan setiap 1 bulan selama 4 bulan.
(a)
(b)
Gambar
1
(c) Tahap-tahap perlakuan, (a) pengeboran, (b) pemberian gula 2%, (c) pemberian inokulan berupa pelet ke dalam lubang
Efektivitas induksi diukur melalui perkembangan pembentukan gejala gubal disekitar daerah induksi. Perubahan warna batang dan pembentukan wangi merupakan indikator pembentukan gubal. Batang disekitar lubang dikupas kulitnya, kemudian zona perubahan warna batang diukur secara horizontal dan vertikal. Daerah yang menunjukkan perubahan warna kayu dari putih menjadi coklat kehitaman diambil dengan dipahat dan dibawa ke laboratorium untuk pengamatan selanjutnya. Perubahan warna diamati pada 10 titik untuk setiap pohon. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0 = putih, 1= putih kecoklatan, 2= coklat, 3= coklat kehitaman). Tingkat perubahan warna kayu dinyatakan dalam rataan dari hasil pengamatan 3 responden. Wangi ditetapkan berdasarkan sistem skor (0= tidak wangi, 1= agak wangi, 2= wangi). Kayu disekitar titik inokulasi dipahat, dan kemudian diamati wanginya secara organoleptik ketika kayu dibakar. Wangi dinyatakan dalam tingkat wangi dan frekuensi titik induksi dengan kategori agak wangi dan sangat wangi. Tingkat wangi dinyatakan dalam rataan skor dari 3 responden. Deteksi Senyawa Terpenoid. Senyawa terpenoid dideteksi dengan metode Lieberman-Burchard (Harborne 1987). Setelah diamati tingkat wanginya, sampelsampel dari kayu yang mengalami perubahan warna dipisahkan dari bagian yang sehat. Sebanyak 0.4 g kayu yang berubah warna direndam dalam 5 ml etanol absolut panas, kemudian disaring pada cawan Petri steril dan diuapkan sampai kering (sampai terbentuk endapan berwarna kuning). Pada endapan ditambahkan 1 ml dietil eter pekat, dihomogenisasi lalu dipindahkan ke tabung reaksi steril, ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Perubahan
3 warna menjadi merah atau ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987). Sebanyak 5 ml etanol absolut ditambahkan ke dalam larutan, kemudian absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada λ 268 nm. Analisis Data. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor (perlakuan) uji F pada α = 5%. Bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
HASIL Kebugaran pohon Inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium sp. pada pohon gaharu mempengaruhi kondisi fisik pohon yang mulai terlihat pada 1 bulan setelah inokulasi (bsi). Perubahan fisik pohon ditunjukkan dengan klorosis daun-daun pada cabang pertama dan kedua dari daerah lubang induksi. Secara umum inokulan tunggal mengakibatkan klorosis pada daun-daun di dua cabang dekat lubang induksi. Sedangkan pada inokulan ganda klorosis terjadi pada tiga cabang dekat lubang induksi. Berbeda dengan daun-daun pada pohon perlakuan, pada pohon kontrol daun-daun tidak mengalami klorosis sampai akhir pengamatan. Pada 2 bsi, jumlah daun yang mengalami klorosis tidak berbeda dengan 1 bsi, tetapi klorosis hampir memenuhi luasan helai daun (Gambar 2). Selain itu pada beberapa pohon, daun yang klorosis tersebut sudah ada yang gugur.
akan berpengaruh terhadap gejala gubal gaharu.
Gambar 3 Pohon dengan tajuk tanpa daun akibat serangan ulat Perubahan warna kayu Kayu mengalami perubahan warna dari putih menjadi coklat atau coklat kehitaman yang ditentukan dengan skor (Gambar 4). Perubahan warna kayu ini terjadi pada pohon yang diberi perlakuan B, G, inokulan tunggal dan inokulan ganda. Intensitas warna kayu sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh perlakuan (Tabel 1). Secara umum intensitas warna kayu yang diberi perlakuan berbeda dari kontrol. Pada 1 bsi, perlakuan G menekan perubahan warna dibandingkan dengan perlakuan B. Namun dalam perkembangannya pengaruh G cenderung sama dari B.
(a)
Gambar 2 Klorosis yang telah memenuhi luasan daun pada 2 bsi Pada saat yang bersamaan daun-daun pada semua pohon perlakuan diserang ulat, sehingga pohon gundul tanpa daun dan ujungujung ranting mengering (Gambar 3). Tunas baru tumbuh kembali pada 3 bsi. Pada 4 bsi jumlah tunas yang sudah tumbuh sekitar 3050% pada seluruh pohon. Kondisi ini diduga
pembentukan
(b)
(c) (d) Gambar 4 Perubahan warna kayu dengan skor: (a) 0, (b) 1, (c) 2, (d) 3 Intensitas warna akibat inokulan tunggal bervariasi. Pada 3 bsi, inokulan tunggal AA mengakibatkan perubahan warna kayu dengan intensitas warna yang lebih tinggi dibandingkan FF. Namun, pemberian inokulan ganda dapat meningkatkan intensitas
4 warna dibandingkan dengan inokulan tunggal (Tabel 1). Secara umum inokulan ganda menyebabkan kayu memiliki intensitas warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan K dan inokulan tunggal. Inokulasi A pada set AF tidak mempengaruhi F dalam menginduksi perubahan warna kayu, kecuali pada 4 bsi inokulasi A mulai merangsang F untuk meningkatkan intensitas warna kayu. Sebaliknya, inokulasi F pada set FA juga merangsang A dalam menginduksi perubahan warna kayu. Pemberian inokulan ganda FA mengakibatkan perubahan warna kayu dengan intensitas warna relatif lebih tinggi dibandingkan dengan inokulan ganda AF.
Panjang zona perubahan warna akibat pemberian inokulan ganda bervariasi bergantung pada inokulan pertamanya. Pemberian F pada AF meningkatkan panjang zona perubahan warna pada titik A dibandingkan dengan inokulan tunggal AA (Tabel 2). Sedangkan pada titik induksi F-nya panjang zona perubahan warna cenderung lebih rendah dari panjang perubahan warna inokulan tunggalnya (FF). Pemberian inokulan ganda FA sedikit meningkatkan panjang zona perubahan warna pada titik induksi F dibandingkan dengan inokulan tunggal FF. Sedangkan pada titik induksi Anya panjang zona perubahan warna sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan inokulan tunggal AA (Tabel 2).
Tabel 1 Intensitas warna kayu selama 4 bsi Perlakuan K G B AF A AF F FA F FA A AA FF
Bulan ke1 0c 0.29c 0.83b 1.40a 0.87b 1.67a 1.40a 0.87b 0.87b
2 0e 1.08cd 0.90d 1.67abc 1.20cd 2.00a 1.93a 1.87ab 1.30bcd
3 0f 1.16e 1.57de 2.27bc 1.93cd 2.87a 2.67ab 2.33bc 1.67d
4 0d 1.51c 1.43c 2.40ab 2.27b 2.40ab 2.80a 2.53ab 1.73c
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada α= 0.05 AF A = inokulasi Acremonium sp. diikuti inokulasi Fusarium sp. dan diamati pada titik inokulasi Acremonium sp. AF F = inokulasi Acremonium sp.- inokulasi Fusarium sp. dan diamati pada titik inokulasi Fusarium sp. FA A = inokulasi Fusarium sp.- inokulasi Acremonium sp. dan diamati pada titik inokulasi Acremonium sp. FA F = inokulasi Fusarium sp.- inokulasi Acremonium sp. dan diamatiLebar pada titikzona inokulasi Fusarium sp.warna akibat perubahan
Panjang zona perubahan warna juga pemberian inokulan ganda juga bervariasi, dipengaruhi oleh perlakuan (Tabel 2). bergantung dari inokulan pertamanya. Perlakuan mengakibatkan peningkatan Pemberian inokulan ganda AF meningkatkan panjang zona perubahan warna dibandingkan lebar zona perubahan warna pada titik induksi K (Tabel 2). Secara umum, perlakuan G juga A dibandingkan dengan inokulan tunggal AA cenderung menekan perpanjangan zona (Tabel 3). Sedangkan pada titik induksi F-nya perubahan warna dibandingkan dengan B lebar zona perubahan warna cenderung lebih (Tabel 2). Panjang zona perubahan warna rendah dibandingkan dengan inokulan tunggal pada pemberian inokulan tunggal FF FF (Tabel 3). Pemberian inokulan ganda FA cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan juga sedikit meningkatkan lebar zona inokulan tunggal AA. Panjang zona perubahan warna pada titik F dibandingkan perubahan warna pemberian inokulan ganda dengan inokulan tunggal FF. Sedangkan pada juga cenderung lebih tinggi dibandingkan titik induksi A-nya lebar zona perubahan pemberian inokulan tunggal. Tabel 2 Panjang perubahan warna kayu (cm) selama 4 bsi Perlakuan K G B AF A AF F FA F FA A AA FF
Bulan ke1 0c 1.82b 3.27ab 3.57a 2.39ab 3.67a 2.53ab 2.68ab 3.37ab
2 0c 1.83bc 2.90ab 5.33a 2.88ab 3.90ab 3.00ab 2.40bc 3.21ab
3 0d 1.58c 2.78abc 3.37ab 2.57bc 4.18a 2.89abc 2.50bc 2.93abc
4 0c 2.14b 2.45ab 3.24ab 2.23b 3.59a 2.37ab 2.60ab 3.06ab
Ket: Berdasarkan uji lanjut Duncan, angka dalam satu kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05
5 Tabel 3 Lebar perubahan warna kayu (cm) selama 4 bsi Bulan ke-
Perlakuan
1 0d 0.56c 0.76bc 1.02a 0.79abc 0.96ab 0.73bc 0.85ab 0.89ab
K G B AF A AF F FA F FA A AA FF
2 0c 0.59b 0.80b 1.2a 0.89ab 0.93ab 0.73b 0.79b 0.92ab
3 0c 0.53b 0.72ab 0.93a 0.83a 0.94a 0.73ab 0.77ab 0.83a
4 0c 0.52b 0.63b 1.09a 0.79ab 0.99a 0.63b 0.84ab 0.84ab
Ket: Berdasarkan uji lanjut Duncan, angka dalam satu kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05
Dalam satu perlakuan, tingkat wangi pada titik-titik induksi bervariasi. Berdasarkan frekuensi tingkat wangi yang terbentuk pada titik induksi, semua perlakuan berpotensi merangsang munculnya aroma wangi dengan kategori agak wangi mulai dari 1 bsi, kecuali perlakuan G dan B (Tabel 5). Frekuensi tertinggi munculnya wangi terjadi pada 2 bsi 11.1– 88.8% titik induksi pada kategori agak wangi, sedangkan 22.2% kategori wangi pada 4 bsi. Pada 2 bsi, frekuensi wangi pada kategori agak wangi akibat inokulan tunggal FF lebih tinggi dari inokulan ganda. Inokulan 1 tidak secara konsisten menekan inokulan 2 dalam pembentukan wangi atau sebaliknya. Oleh karena itu, inokulan ganda tidak cukup efektif dalam meningkatkan frekuensi wangi pada titik induksi.
warna sedikit lebih rendah dibandingkan dengan inokulan tunggal AA. Oleh karena itu, secara umum panjang dan lebar zona perubahan warna pemberian inokulan 1 dapat sedikit menghambat perkembangan inokulan 2. Tingkat Wangi Secara umum, tingkat wangi perlakuan berbeda dari K. Pada 1 bsi, umumnya batang yang diberi perlakuan tidak menunjukkan adanya aroma wangi. Rataan skor aroma wangi pada kategori agak wangi terdeteksi pada 2 bsi yaitu pada pemberian inokulan tunggal FF dan inokulan ganda set 1 (AF). Wangi ini hilang pada bulan-bulan berikutnya (Tabel 4). Pemberian inokulan ganda tidak meningkatkan skor wangi dibandingkan dengan inokulan tunggal.
Tabel 4 Tingkat wangi kayu yang berubah warna pada titik perlakuan selama 4 bsi Bulan ke-
perlakuan
1 0f 0.13cd 0.21bcd 0.52a 0.5a 0.57a 0.26bc 0.42ab 0.62a
K G B AFA AF F FA F FA A AA FF
2 0d 0.40cd 0.48bcd 1.22a 1.15a 0.63bc 0.93ab 0.63bc 1.14a
3 0#) 0.67 0.78 0.67 0.63 0.37 0.67 0.74 0.33
4 0#) 0.41 0.37 0.44 0.92 0.22 0.45 0.59 0.37
Ket: Berdasarkan uji lanjut Duncan, angka dalam satu kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 #) = Berdasarkan uji ANOVA, angka yang tidak diikuti dengan huruf dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05
Tabel 5 Frekuensi wangi kategori agak wangi dan wangi pada titik perlakuan selama 4 bsi Perlakuan K G B AFA AFF FAF FAA AA FF
1 0 0 0
agak wangi (%) pada bulan ke2 3 4 0 0 0 22.2 22.2 22.2 11.1 33.3 11.1
22.2 11.1 22.2 0 22.2 44.4
66.6 66.6 33.3 66.6 22.2 88.8
33.3 33.3 0 66.6 44.4 11.1
22.2 33.3 0 11.1 22.2 22.2
wangi dalam (%) pada bulan ke1 2 3 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 11.1 0 0
0 22.2 0 0 0 0
6 Pembentukan Senyawa Terpenoid Senyawa terpenoid terdeteksi pada Hal ini menunjukkan bahwa kandungan semua perlakuan. Pada perlakuan tunggal FF terpenoid hasil penelitian masih sangat dan gandanya terbentuk warna merah, yang rendah. Selain itu, secara umum nilai menunjukkan adanya senyawa triterpenoid absorban perlakuan inokulan ganda hampir (Gambar 6). Warna merah pada minyak sama dengan inokulan tunggal (Tabel 6). Hal gaharu dijadikan sebagai pembanding ini menunjukkan bahwa inokulan ganda tidak kandungan triterpenoid perlakuan (Gambar 5). efektif dalam meningkatkan kandungan Pada B, G, dan inokulan tunggal AA senyawa terpenoid. terbentuk warna hijau. Warna hijau ini Inokulan AF maupun FA juga tidak menunjukkan adanya senyawa sterol mempengaruhi kandungan terpenoid. Hal ini (Harborne 1987). Sedangkan pada K tidak menunjukkan bahwa pemberian inokulan 2 terbentuk warna (bening), hal ini tidak mempengaruhi besarnya nilai absorban menunjukkan bahwa tidak terdapat senyawa inokulan 1. Begitu pula dengan nilai absorban triterpenoid maupun sterol (Gambar 6). inokulan 1 yang tidak dipengaruhi oleh Kandungan senyawa triterpenoid pada inokulan 2. Pada 3 bsi, perlakuan tunggal FF zona perubahan warna bervariasi pada setiap terbentuk endapan merah dan memiliki nilai perlakuan selama 4 bsi (Tabel 6). Secara absorbansi yang relatif tinggi. Hal ini umum, nilai absorbansi ekstrak terpenoid hasil menunjukkan kandungan triterpenoid yang perlakuan kurang dari nilai absorbansi minyak relatif tinggi pula (Tabel 6). gaharu (0.813) sebagai pembandingnya. Tabel 6 Absorban perubahan warna kayu untuk mengetahui kandungan triterpenoid selama 4bsi Perlakuan K G B AF A AF F FA F FA A AA FF
Bulan ke1 0#) 0.29* 0.12* 0.20** 0.20** 0.12** 0.12** 0.15* 0.14**
2 0c 0.24a* 0.22a* 0.06bc* 0.05bc* 0.11abc** 0.19ab** 0.20ab * 0.06bc*
3 0#) 0.34* 0.39* 0.25* 0.23** 0.21* 0.23** 0.27* 0.25**
4 0b 0.14b* 0.45a* 0.12b** 0.11b* 0.06b* 0.23ab* 0.40a* 0.15b*
Ket: Berdasarkan uji lanjut Duncan, angka dalam satu kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 #) = Berdasarkan uji ANOVA, angka yang tidak diikuti dengan huruf dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 * = Endapan berwarna hijau ** = Endapan berwarna merah kecoklatan
Gambar 5 Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid, sampel minyak gaharu yang mewakili sebagai pembanding
K B G AA FF AFF FAF FAA FF Gambar 6 Hasil uji Lieberman-Burchard. Perlakuan K, B, G, inokulan tunggal AA dan FF, serta inokulan ganda AF dan FA (A dan F)
7
PEMBAHASAN Efektivitas Induksi Pohon-pohon yang diberi perlakuan menurun kebugarannya mulai 1 bsi. Penurunan kebugaran ditunjukkan oleh adanya daun-daun yang mengalami klorosis dan kemudian daun-daun ini gugur. Klorosis mungkin berhubungan dengan ketersediaan hara. Ketersediaan hara terganggu karena jalur distribusinya ke daun terhambat akibat pengeboran. Selain itu, adanya inokulan juga menjadi penyebab klorosis. Caruso & Kuc (1977) menyatakan bahwa C. lagenarium menyebabkan klorosis pada semangka dan muskmelon. Selanjutnya menurut Agrios (2004) cendawan dapat menyebabkan klorosis dengan cara memanfaatkan nutrisi inang untuk perkembangan dan metabolismenya. Pohon semakin merana ketika diserang ulat. Tajuk-tajuk pohon menjadi gundul. Berkurangnya daun secara drastis dapat menghambat proses fotosintesis, karena daun merupakan tempat utama berlangsungnya fotosintesis pada sebagian besar tumbuhan (Campbell et al. 2002). Fotosintat sebagai sumber karbon dalam pembentukan metabolit sekunder antimikrob pun terganggu, karena kemungkinan sumber karbon lebih diutamakan untuk pembentukan metabolit primer. Perubahan warna kayu terjadi pada semua perlakuan. Pelukaan, pemberian gula, inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium sp. menyebabkan perubahan warna kayu dari putih menjadi gelap. Walker et al. (1997) menyatakan bahwa perubahan warna kayu menjadi warna coklat (browning) atau layu dapat disebabkan oleh serangan patogen (cendawan) dan kerusakan fisik. Perubahan warna kayu ini mungkin dapat mengindikasi adanya senyawa gaharu. Hal ini didukung oleh pernyataan Sumadiwangsa & Zulnely (1999) menyatakan bahwa perubahan warna dari putih menjadi coklat kehitaman merupakan gejala awal terbentuknya senyawa gaharu. Senyawa gaharu ini terdeposit pada jaringan kayu (Rahayu & Situmorang 2006). Intensitas warna kayu dipengaruhi oleh perlakuan dan masa inkubasi. Pada perlakuan pengeboran (B) intensitas perubahan warna kayu lebih tinggi dan berbeda secara nyata dibandingkan dengan pemberian gula (G). Hal ini disebabkan karena gula tersebut kemungkinan digunakan untuk mengganti gula yang hilang pada batang akibat pengeboran. Kehilangan gula ini akan berpengaruh terhadap pembentukan pati. Pati
merupakan polimer glukosa (Anonim 2009). Nobuchi & Siripatanadilok (1991) menyatakan bahwa perubahan warna menjadi coklat muncul setelah pohon kehilangan pati akibat pelukaan. Pemberian inokulan tunggal meningkatkan intensitas perubahan warna dibandingkan dengan B dan G. Peningkatan ini disebabkan oleh aktivitas cendawan yang menyerang pohon. Benhamau et al. (2000) menyatakan bahwa hifa Pythium dapat menembus dinding sel akar tanaman ketimun. Secara umum inokulan ganda menginduksi pohon untuk mengubah warna kayu dengan intensitas lebih tinggi daripada inokulan tunggal. Hal ini berbeda dari hasil penelitian Krokene et al. (1999) yang membuktikan bahwa inokulasi Heterobasidion annosum yang diikuti oleh Ceratocystis polonica menekan pembentukan gejala blue-stain pada pohon Norway spruce (Picea abies) daripada inokulasi C. polonica saja. Panjang dan lebar zona perubahan warna tidak dipengaruhi oleh periode inkubasi. Perpanjangan dan pelebaran zona perubahan warna mungkin memerlukan masa inkubasi yang lebih lama. Hal ini berbeda dari pernyataan Putri (2007) bahwa panjang zona perubahan warna pada pohon A. crassna akibat induksi Acremonium mengalami peningkatan selama pengamatan. Pada perlakuan B, G, inokulan tunggal dan inokulan ganda menunjukkan adanya perbedaan tingkat wangi. Secara umum aroma wangi tidak terbentuk, kecuali pemberian inokulan ganda AF dan inokulan tunggal FF pada 2 bsi. Hal ini membuktikan bahwa wangi merupakan respon spesifik terhadap bentuk gangguan. Terbentuknya aroma wangi ini merupakan salah satu indikasi mulai terbentunya senyawa gaharu. Hal ini didukung oleh Rahayu et al. (1999) yang menyatakan bahwa wangi merupakan satu-satunya indikator yang tepat sebagai pembentukan gubal. Pada 3 dan 4 bsi tidak terdeteksi aroma wangi, hal ini diduga karena sedikitnya akumulasi gaharu pada pohon gaharu. Senyawa gaharu merupakan metabolit sekunder yang dibentuk dari metabolit primer (Rahayu & Situmorang 2006). Produk metabolit primer ini digunakan untuk membentuk metabolit sekunder. Selama penelitian, produksi metabolit primer berkurang akibat serangan ulat. Berkurangnya metabolit primer diduga sebagai penyebab rendahnya akumulasi senyawa terpenoid.
8 Aroma wangi dan frekuensi wangi pada pemberian inokulan ganda AF relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun, intensitas warna kayu lebih rendah dibandingkan dengan pemberian inokulan ganda FA. Hal ini menunjukkan bahwa aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan intensitas warna kayu. Sesuai dengan pernyataan Rahayu et al. (1999) yang menyatakan bahwa terjadinya pembentukan wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh perubahan warna kayu. Perubahan warna (intensitas warna, panjang dan lebar zona perubahan warna) kayu akibat inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium sp. sebagai inokulan tunggal maupun inokulan ganda menunjukkan bahwa SAR pada pohon A. microcarpa tidak terbentuk. SAR merupakan sistem pertahanan pohon yang dibangkitkan oleh infeksi patogen pertama, dan pertahanan ini menekan perkembangan infeksi patogen kedua (Sticher et al. 1997). Tidak adanya SAR pada A. microcarpa ini kemungkinan disebabkan oleh periode inokulasi antara inokulan 1 dan inokulan 2 yang hanya berselang 1 minggu. Krokene et al. (1999) menyatakan bahwa pada Norway spruce (P. abies) terhadap C. polonica terbentuk SAR setelah 3 minggu infeksi H. annosum. Pembentukan Senyawa Gaharu Acremonium sp. dan Fusarium sp. dalam bentuk inokulan tunggal atau inokulan ganda dapat merangsang pohon gaharu membentuk senyawa terpenoid. Paine et al. (1997) menyatakan bahwa serangan cendawan pada pohon Pinus akan merangsang pohon untuk membentuk senyawa terpenoid sebagai pertahanan pohon. Selain itu penelitian sebelumnya, Putri (2007) juga menyatakan bahwa pemberian Acremonium sp. pada A. crassna terbukti dapat merangsang pembentukan senyawa terpenoid. Pada penelitian ini triterpenoid mulai terdeteksi pada 1 bsi. Triterpenoid terdeteksi pada pemberian inokulan tunggal FF dan inokulan ganda yang ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna merah pada pengujian Lieberman-Burchard. Sedangkan pada perlakuan B, G, dan inokulan tunggal AA terbentuk warna hijau. Warna hijau ini mengindikasikan yang terbentuk adalah senyawa sterol. Harborne (1987) menyatakan bahwa sterol merupakan salah satu senyawa yang tergolong ke dalam senyawa terpenoid. Berdasarkan nilai absorbannya, kandungan terpenoid dipengaruhi oleh
perlakuan dan masa inkubasi. Ekstrak kayu dengan perlakuan B memiliki absorban yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak kayu yang diberi inokulan tunggal dan inokulan ganda. Namun perlakuan tersebut hanya merangsang pohon untuk membentuk senyawa sterol, sedangkan pemberian inokulan dapat membentuk senyawa triterpenoid. Nilai absorban menunjukkan kadar gaharu. Kadar gaharu terendah terdeteksi pada 2 bsi. Hal tersebut berhubungan dengan kebugaran pohon yang menurun pada 2 bsi. Metabolit primer terganggu, sehingga metabolit sekunder pun terhambat. Metabolit primer menjadi prekursor dalam membentuk metabolit sekunder (Rahayu & Situmorang 2006). Senyawa terpenoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang diproduksi oleh tumbuhan sebagai respon terhadap luka dan infeksi cendawan (Nobuchi & Siripatanadilok 1991). Terpenoid terdiri atas beberapa senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpenoid dan sesquiterpenoid yang mudah menguap, diterpen yang lebih sukar menguap, dan senyawa yang tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (Harbone 1987). Kandungan senyawa triterpenoid paling tinggi pada pohon yang diinduksi Fusarium sp. sebagai inokulan tunggal. Hal ini sesuai dengan penelitian Parman & Mulyaningsih (2004), yang menyatakan bahwa hasil inokulasi F. lateritium dan Popularia sp. pada pohon gaharu terbukti dapat membentuk gubal gaharu (akumulasi triterpenoid), namun pemberian F. lateritium lebih efektif dalam memacu terbentuknya gubal.
SIMPULAN Semua pohon yag diinokulasi menurun kebugarannya sejak 1 bulan setelah inokulasi. Intensitas warna kayu, panjang dan lebar zona perubahan warna serta tingkat wangi kayu pada pemberian inokulan ganda cenderung lebih tinggi dibandingkan pemberian inokulan tunggal. Inokulan ganda AF merangsang pembentukan wangi dengan tingkat dan frekuensi titik inokulasi yang wanginya lebih tinggi daripada FA. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A merangsang pohon membentuk triterpenoid.
9
SARAN Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan penginduksian ganda pada lubang yang sama. Penambahan jumlah sampel dan waktu pengamatan agar didapatkan hasil yang lebih stabil.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2004. Plant Pathology. Ed ke-5. California: Academic Press. Inc. Anonim.2009.Sel.http://www.scribd.com/doc/ 9292029/Sel [17 Februari 2009]. Benhamou N, Gagné S, Quéré DL, Dehbi L. 2000. Bacterial-mediated induced resistance in cucumber: Beneficial effect of the endophytic bacterium Serratia plymuthica on the protection against infection by Pythium ultimum. Amer Phytopathol Soc 90(1): 45-56. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi. Ed ke-5. Rahayu L, penerjemah; Amalia S, Lemeda S, Hilarius WH, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology. Caruso FL, Kuc J. 1977. Protection of watermelon and muskmelon against Colletotrichum lagenarium by Colletotrichum lagenarium. Phytopathol 67: 1285-1289. Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I Sudiro, penerjemah; Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochem Methods. Krokene P, Christiansen E, Solheim H, Franceschi VR, Berryman AA. 1999. Induced resistance to phatogenic fungi in Norway spruce. Plant Physiol 121: 565-569. Liu L, Kloepper JW, Tuzun S. 1995. Induction of systemic resistance in Cucumber by plant growth-promoting rhizobacteria: Duration of protection and effect of host resistance on protection and root colonization. Phytopathol 85:1064-1068. Nobuchi T, Siripatanadilok S. 1991. Preliminary observation of Aquilaria cra-
ssna wood associated with the formation of aloeswood. Bull Kyoto Univ Forest 63:226-235. Paine TD, Raffa KF, Harrington TC. 1997. Interactions among scolytid bark beetles, their associated fungi, and host conifers. Annu Rev Entomol 42:179206. Parman, Mulyaningsih T. 2004. Pengembangan teknologi produksi gubal gaharu. Diskusi Sehari Pengembangan Gaharu; Jakarta, 9 Desember 2004. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Prema BR, Bhattacharyya PK. 1962. Microbiological transformation of terpenes. II. Transformations of α-pinene. National Chemical Laboratory. Poona, 14 Mei 1962. Poona. hal. 524-528. Putri A. 2007. Induksi terbentuknya senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) dengan Acremonium sp. dan MeJA [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Rahayu G, Isnaini Y, Umboh MIJ. 1999. Potensi Hifomiset dalam menginduksi pembentukan gubal gaharu. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Purwokerto, 16-18 September 1999. Purwokerto: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 573-581. Rahayu G, Situmorang J. 2006. Menuju produksi senyawa gaharu secara lestari. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI. Bogor: Lembaga Penelitian Masyarakat IPB. Rosita R. 2008. Efektivitas pemberian metil jasmonat secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut pertanian Bogor. Santoso E. 1996. Pembentukan gaharu dengan cara inokulasi. Makalah diskusi hasil penelitian dalam menunjang pemanfaatan hutan yang lestari; Bogor, 11-12 Maret 1996. Bogor: Badan Litbang
10 Kehutanan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hlm 1-3. Sticher L, Mauch-Mani B, Métraux JP. 1997. Systemic Acquired Resistance. Switzerland: Institute de Biologie Végétale, Université de Fribourg, 3 route A Gockel, 1700 Fribourg. Sumadiwangsa S, Zulnely. 1999. Catatan mengenai gaharu di Kalimantan Timur dan NTB. Info Hasil Hutan 5(2) :80-90. Sumarna Y. 2002. Budidaya Gaharu. Jakarta: Penebar Swadaya. Walker D Jr, Taylor RW, Mulrooney RP. 1997. Diagnosing Field Crop Problems. http://ag.udel.edu/extension. [19 Desember 2008]. Wiyono B, Sumarliani N.1998. Penyusunan Standar Mutu Gaharu. Bogor: Pusat Penelitian Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
11
LAMPIRAN
12 Lampiran 1 Analisis sidik ragam intensitas warna kayu Bulan ke1 2 3 4
Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
db
JK
KT
F-hit
Nilai P
8 18 26 8 18 26 8 18 26 8 16 24
6.8179 1.0296 7.8475 9.740 1.812 11.552 18.369 1.364 19.734 16.4219 0.8605 17.2823
0.8522 0.0572
14.90
<.0001
1.2175 0.1006
12.10
<.0001
2.2962 0.0758
30.30
<.0001
2.0527 0.0538
38.17
<.0001
Lampiran 2 Analisis sidik ragam panjang zona perubahan warna kayu Bulan ke1 2 3 4
Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
db
JK
KT
F-hit
Nilai P
8 18 26 8 18 26 8 18 26 8 16 24
31.689 11.942 43.631 50.633 34.835 85.468 33.261 10.923 44.184 23.908 6.921 30.829
3.961 0.6634
5.97
0.0008
6.329 1.935
3.27
0.0175
4.157 0.6068
6.85
0.0004
2.988 0.4325
6.91
0.0005
Lampiran 3 Analisis sidik ragam lebar zona perubahan warna kayu Bulan ke1 2 3 4
Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
db
JK
KT
F-hit
Nilai P
8 18 26 8 18 26 8 18 26 8 16 24
2.231 0.3084 2.539 2.623 0.5707 3.194 1.996 0.4231 2.4196 2.372 0.4899 2.8624
0.2788 0.0171
16.27
<.0001
0.328 0.0317
10.34
<.0001
0.2496 0.0235
10.62
<.0001
0.297 0.0306
9.68
<.0001
13 Lampiran 4 Analisis sidik ragam tingkat wangi kayu Bulan ke1 2 3 4
Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
db
JK
KT
F-hit
Nilai P
8 18 26 8 18 26 8 18 26 8 16 24
1.1317 0.3126 1.4443 4.0439 1.3345 5.3784 1.5489 1.9365 3.4854 1.4814 1.925 3.4060
0.14146 0.0174
8.15
0.0001
0.5055 0.0741
6.82
0.0004
0.194 0.1076
1.80
0.1431
0.1852 0.1203
1.54
0.22
Lampiran 5 Analisis sidik ragam nilai absorbansi ekstrak triterpenoid asal kayu Bulan ke1 2 3 4
Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Keterangan: db = Derajat Bebas JK = Jumlah Kuadrat KT = Kuadrat Tengah
db
JK
KT
F-hit
Nilai P
8 18 26 8 18 26 8 18 26 8 16 24
0.1515 0.2441 0.3956 0.1885 0.1263 0.3148 0.2776 0.3172 0.5948 0.5202 0.2397 0.7599
0.0189 0.0136
1.40
0.2635
0.0236 0.0070
3.36
0.0156
0.0347 0.0176
1.97
0.1108
0.0650 0.0149
4.34
0.0061