KAJIAN SUSUT HASIL PANEN DAN PERONTOKAN GABAH DI PROVINSI RIAU Achmad Saiful Alim1, Fahroji1 dan Reni Astarina1 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau Jl. Kaharuddin Nasution no 341, Pekanbaru Riau email:
[email protected]
ABSTRACT The main problem encountered in post-harvest handling of rice is the high losses both quantitatively and qualitatively. Postharvest handling of rice aimed at improving efficiency, reduced harvest losses and maintaining high quality of rice / paddy. Postharvest stages activities include harvesting, collecting / stacking, threshing, transport, drying, storage and milling. This study aims to determine the value of harvest losses at harvesting and threshing stages in Riau Province. The study was held at seven (7) districts: Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Siak, Indragiri Hulu, Kampar and Kuantan Singingi, with three farmer cooperators as samples and 3 repetitions at each location. Average rate of harvest losses at Riau Province is 1.05%, lower than the national rate (1.2%). The lowest value in Siak (0.2%) and the highest value in Indragiri Hilir (2.49%). The level of harvest losses is influenced by varieties, harvesting age, how to harvest and harvest tools. Average threshing losses at Riau Province is 1.09%, higher than the national rate (0.18%). The lowest threshing losses is 0.18% in Rokan Hulu, while the highest is 2.93% in Kuantan Singingi. The level of threshing lossess was strongly influenced by the varieties, harvesting, stacking and collecting, collecting area, thresher tools, cleaning means, and the rotation speed of threshing machine. Keywords: harvest losses, rice, paddy, postharvest, harvesting, threshing
PENDAHULUAN
P
adi merupakan makanan pokok rakyat Indonesia, komoditi strategis dan sekaligus komoditi politis. Upaya-upaya peningkatan produksi padi dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk telah dilakukan oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah). Sejalan dengan program Pusat dalam meningkatkan produksi beras melalui Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), maka Pemerintah Provinsi Riau melakukan gerakan terobosan melalui program Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM). Perkembangan produksi padi setelah dilaksanakannya OPRM dan P2BN, pada dua tahun pertama cenderung mengalami peningkatan, namun karena beberapa permasalahan yang dihadapi, seperti kondisi perubahan iklim yang tidak menentu, alih fungsi lahan sawah yang cukup tinggi (2.508,71 ha/tahun) serta infrastruktur jaringan irigasi yang rusak hampir mencapai 51,25 % (Daerah Irigasi dan Daerah Rawa), menyebabkan produksi padi pada tahun 2012 mengalami penurunan. Pada tahun 2011 luas panen di Provinsi Riau 145.242 ha
dengan produksi 535.788 ton, sedangkan tahun 2012 luas panen 144.015 ha dan produksi 512.152 ton (turun 23.636 ton atau 4,41 %) (BPS, 2012). Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya, yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu tingkat kehilangan hasil atau susut baik gabah maupun beras yang masih tergolong tinggi. Angka susut panen merupakan angka yang sangat penting untuk menentukan angka produksi dan produktivitas lahan per luasan tertentu, baik untuk skala petani, skala daerah maupun skala nasional. Angka susut panen juga sangat berguna dalam hal peramalan produksi gabah/beras secara nasional serta penentuan neraca ekspor-impor beras maupun bahan pangan lain. Hasil survei susut pasca panen padi secara nasional yang telah dilakukan pada tahun 2005 - 2007 sebesar 10,82 % (Dirjen PPHP, 2009). Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya susut (losses) baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Permasalahan tersebut berakibat adanya kecenderungan tidak memberikan insentif kepada petani untuk memperbaiki tingkat pendapatannya. Padi/gabah yang kadar airnya tinggi mempunyai sifat mudah rusak dan akan mengalami susut pada saat penanganan pascapanen dan pengolahan. Pada
32 saat panen, perontokan, transportasi, pengeringan, penyimpanan, dan penggilingan terjadi susut dan kehilangan yang cukup besar persentasenya (Hasbullah, 2010). Berdasarkan hasil survei susut panen dan pasca panen gabah beras kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Pertanian tahun 2005, 2006, 2007 bila dibandingkan hasil survei yang sama tahun 1995 dan 1996 menunjukkan, bahwa terjadi penurunan susut sebesar 9,69% dari 20,51% (BPS 1995/96) menjadi 10,82% (BPS 2005/2007). Penanganan pascapanen yang baik dan tepat dapat menekan susut dan menghasilkan kualitas gabah/beras yang tinggi sehingga dapat meningkatkan harga jual gabah/beras petani (Dirjen P2HP, 2009) Penanganan pascapanen padi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, menekan tingginya susut hasil dan mempertahankan mutu gabah/beras. Tahapan kegiatan pascapanen meliputi panen, pengumpulan/ penumpukan, perontokan, pengangkutan, pengeringan, penyimpanan, dan penggilingan. Besarnya susut pada setiap tahapan proses cukup beragam. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya susut antara lain: (1) varietas padi, (2) kondisi tanaman dan tingkat kematangan padi, (3) sistem pemanenan dan jumlah pemanen, (4) alat mesin pascapanen, dan (5) sistem penggilingan (Hasbullah, 2010). Penerapan teknologi pascapanen yang tepat diiringi tumbuhnya kesadaran pentingnya menghindari krisis pangan, sangat memungkinkan untuk dapat menekan angka susut yang saat ini. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan pengadaan dan rehabilitasi sabit bergerigi, terpal, pedal thresher dan power thresher serta merevitalisasi penggilingan padi kecil dengan menambahkan alat mesin penggilingan berupa cleaner, separator maupun perbaikan polisher yang rusak. Pengadaan alat mesin tersebut dilakukan melalui sistem penguatan modal usaha kelompok (PUMK) maupun bantuan langsung kepada gabungan kelompok tani (Gapoktan) (Ditjen P2HP Deptan, 2007). Selama ini, angka susut hasil di tingkat Provinsi Riau selalu mengacu kepada angka tingkat nasional tersebut, tentunya perhitungan tersebut tidak terlalu akurat khusus untuk Provinsi Riau. Oleh karena itu, untuk mendapatkan angka susut hasil tingkat Provinsi Riau yang lebih akurat dan valid, perlu dilakukan penghitungan susut hasil tingkat Provinsi Riau. Penghitungan susut hasil ini bertujuan untuk mengetahui nilai susut hasil pada tahap panen dan tahap perontokan gabah. Dari
Agrica Ekstensia. Vol. 9 No. 2 Nopember 2015: 31-36
kegiatan ini diharapkan Provinsi Riau memiliki bahan rujukan dan kebijakan dalam perbaikan penanganan pasca panen padi khususnya pada tahap panen dan perontokan.
METODOLOGI Kajian penghitungan susut hasil dilaksanakan pada tahun 2013. Tempat pelaksanaan di daerah sentra produksi padi pada 7 (tujuh) kabupaten, yaitu: Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Siak, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan Kampar. Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah tanaman padi yang siap panen di lahan petani koperator. Alat yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sabit bergerigi, papan ukuran 40 x 14 cm, power thresher, timbangan digital, timbangan manual, terpal, karung goni, moisture tester, meteran, tali rafia, dan kain Kegiatan ini dilaksanakan di lahan padi sawah petani koperator yang siap untuk dipanen di 7 Kabupaten, tiap kabupaten diambil 3 lahan petani kooperator sebagai sampel dan tiap lahan dilakukan 3 kali ulangan penghitungan susut panen dan susut perontokan. Data utama berupa data hasil penghitungan di lahan petani yang prosedur pemanenan dan perontokannya sesuai dengan kebiasaan petani setempat sedangkan data penunjang diperoleh dari kuisioner petani koperator. Prosedur penghitungan susut panen mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Nugraha (2009) sedangkan penghitungan susut pada perontokan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Hadiutomo (2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN Susut Panen Kegiatan susut panen dilaksanakan dengan mengamati cara atau kebiasaan panen yang dilakukan oleh lahan sawah para petani yang menjadi responden dari kegiatan ini, kebiasaan petani tersebut meliputi cara panen, cara perontokan maupun peralatan yang digunakan. Varietas yang ditanam petani kooperator dapat dilihat pada Tabel 1. Petani melakukan panen dengan menggunakan alat panen sabit. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa 44,4% petani menggunakan sabit biasa dan 55,6% menggunakan sabit bergerigi.
Kajian Susut Hasil Panen Dan Perontokan... (Achmad Saiful Alim dkk.)
Tabel 1. Varietas yang ditanam petani kooperator Kecamatan/ Desa
No
Kabupaten
1
Rokan Hilir
2
Rokan Hulu
3
Indragiri Hilir
4
Indragiri Hulu
5
Siak
Bunga Raya/ Jaya Pura
6
Kampar
7
Kuantan Singingi
Kampar Kiri/ Sei. Geringging Kuantan Tengah/ Pulau Baru
Rimba Melintang/ Pematang Sikek Rambah Samo/Rambah Baru Keritang/ Seberang Pebenaan Rakit Kulim/ Kelayang
Varietas Situ Bagendit Ciherang Inpari 13 Batang Piaman Bt. Piaman IR 42 Intan Cilamaya Logawa Inpari 13 Ciherang IR 42
Susut panen pada 7 Kabupaten di Provinsi Riau yang dikaji, berkisar antara 0,2 – 2,49%. Nilai terendah di Kabupaten Siak (0,2%) dan nilai tertinggi di Kabupaten Indragiri Hilir (2,49%). Rata-rata susut panen adalah 1,05 %. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Susut Panen di Daerah Kajian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kabupaten Indragiri Hilir Indragiri Hulu Siak Kampar Rokan Hilir Rokan Hulu Kuantan Singingi Rata-rata Susut Panen
Rata-rata susut panen (%) 2.49 0.49 0.20 0.66 0.96 0.73 1.84 1.05
Rata-rata susut panen di Provinsi Riau adalah 1,05%, nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan susut panen tingkat Nasional pada tahun 2005-2007 yang besarnya 1,2%. Menurut Hadiutomo (2007), faktor yang mempengaruhi besarnya kehilangan hasil dipengaruhi oleh (1). Varietas padi dan (2). Kondisi tanaman dan tingkat kematangan padi. Besarnya susut pada setiap tahapan proses cukup beragam. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya susut antara lain: (1) varietas padi, (2) kondisi tanaman dan tingkat kematangan padi, (3) sistem pemanenan dan jumlah pemanen, (4) alat
33
mesin pascapanen, dan (5) sistem penggilingan (Hasbullah, 2010). Lebih lanjut Suprihatno, B., dkk. (2010) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi daya kerontokan adalah varietas. Tingginya tingkat kehilangan hasil pada saat panen di Kabupaten Indragiri Hilir karena petani mempunyai kebiasaan yang kurang baik dalam memanen, pemanenan dilakukan terlambat atau melebihi umur panen. Walaupun mereka sudah memahami cara menentukan saat panen terhadap tanaman padi mereka, namun karena dengan beberapa alasan kegiatan panen ini sering terlambat dilaksanakan. Alasan yang mereka kemukakan adalah keterbatasan tenaga kerja untuk memanen dan/atau adanya alternatif pekerjaan lain yang lebih menjanjikan hasilnya seperti pekerjaan di kebun kelapa atau membuat kopra. Dampak dari keterlambatan panen ini berakibat pada tingkat kehilangan hasil saat panen cukup tinggi, tanaman padi mudah mengalami kerontokan karena pengaruh goyangan tangan atau sabit pemanen. Selain itu, varietas yang digunakan juga berpengaruh terhadap kerontokan pada saat dilakukan panen. Varietas yang mudah rontok, tidak akan tahan terhadap goyangan tangan atau sabit pemanen. Apalagi bila pemanenan dilakukan terlambat. Menurut Setyono et al. (1998) bahwa goyangan dan tarikan batang padi yang terlalu kuat pada saat panen dan juga kadar air gabah yang relatif rendah (21-23%) akan memperbesar persentase gabah yang rontok dan hilang. Petani responden yang dikaji hasil panennya, menggunakan varietas Batang Piaman. Selanjutnya Suprihatno, B., dkk. (2010) menyatakan bahwa berdasarkan deskripsinya, varietas Batang Piaman merupakan tanaman yang mempunyai tingkat kerebahan dan kerontokan sedang. Rendahnya tingkat kehilangan hasil di Kabupaten Siak kemungkinan disebabkan karena rata-rata ketiga jenis varietas yang digunakan adalah tahan terhadap kerontokan. Menurut Suprihatno, B., (2010) varietas Cilamaya Muncul agak tahan terhadap kerontokan dan tahan rebah, varietas Inpari 13 mempunyai tingkat kerontokan sedang, sedangkan varietas Logawa mudah rontok. Memang disadari bahwa bahwa varietas Logawa mudah rontok, namun nilai rata-rata dua varietas lainnya cukup rendah. Cara panen di Kabupaten Siak adalah dengan cara upah bawon per kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 5-10 orang. Menurut Ananto, dkk. (2003), pemanenan padi dengan sistem kelompok atau beregu mudah
34 terkontrol, sehingga dapat menekan tingkat kehilangan hasil panen. Tingginya tingkat kehilangan hasil pada saat panen di Kabupaten Rokan Hilir karena petani melakukan panen agak terlambat atau melebihi umur panen, pemanenan yang dilakukan oleh kelompok kerja kurang hati-hati, dan kondisi sawah masih tergenang sehingga petani agak sulit bergerak dalam petakan panen karena terbenam, gerakkan yang dilakukan oleh petani menimbulkan goyangan yang cukup kuat. Selain itu, varietas yang digunakan juga berpengaruh terhadap kerontokan pada saat dilakukan panen. Varietas yang mudah rontok, tidak akan tahan terhadap goyangan tangan atau sabit pemanen. Apalagi bila pemanenan dilakukan terlambat. Petani responden yang dikaji hasil panennya, menggunakan varietas Batang Piaman. Selanjutnya Suprihatno, B., dkk. (2010) menyatakan bahwa berdasarkan deskripsinya, varietas Situ Bagendit merupakan tanaman yang mempunyai tingkat kerebahan dan kerontokan sedang. Angka susut panen di Kabupaten Kuantan Singingi cukup tinggi, di bawah Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini terjadi karena varietas IR 42 yang digunakan oleh petani mempunyai tingkat kerontokan sedang dan kemungkinan pengaruh cara petani meggunakan sabit pemanenan yang cukup kuat tarikannya. Rata-rata susut panen Provinsi Riau adalah 1,05 %, nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan susut panen tingkat Nasional yang besarnya 1,2%. Namun demikian, kita harus tetap waspada dan berikhtiar agar nilai susut panen ini dapat ditekan lagi dengan perbaikan-perbaikan dalam teknologi dan pelatihan terhadap petani. Kehilangan hasil pada saat panen sebesar 1,05 % ini, bila dikonversikan dengan produksi padi tahun 2012 sebanyak 512.152 ton GKG atau 533.492 ton GKP (konversi GKP-GKG 86%), yaitu sebanyak 5.602 ton. Nilai ini setara dengan 5.602 x 1000 kg x Rp.3.500 = Rp. 19.607.000.000.- (sembilan belas milyar enamratus tujuh juta rupiah). Susut Perontokan Susut perontokan gabah yang terjadi pada 7 kabupaten yang dikaji berkisar antara 0,18 2,93%. Susut gabah terendah karena perontokan di Rokan Hulu sedangkan yang tertinggi di Kuantan Singingi. Rata-rata susut karena perontokan untuk tingkat provinsi sebesar 1,09%.
Agrica Ekstensia. Vol. 9 No. 2 Nopember 2015: 31-36
Tabel 3. Persentase Susut Perontokan di Daerah Kajian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kabupaten
Rata-rata susut panen (%)
Indragiri Hilir
0.38
Indragiri Hulu Siak Kampar Rokan Hilir Rokan Hulu Kuantan Singingi Rata-rata Susut Perontokan
0.63 0.72 0.31 2.47 0.18 2.93 1.09
Faktor-faktor yang mempengaruhi susut perontokan antara lain alat perontok, luasan alas perontok, kehati-hatian orang yang merontok dan pembersihan gabah setelah dirontok. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa besaran susut perontokan di Provinsi Riau berkisar 0,18 – 2,93 %, dengan nilai rata-rata sebesar 1,09%. Nilai ini lebih besar dari nilai susut perontokan secara nasional yaitu 0,18 %. Tingginya nilai susut hasil pada saat perontokan paling banyak terjadi karena kurang telitinya petani dalam pembersihan gabah yang telah dirontok. Pembersihan gabah biasanya dilakukan dengan cara ditampi menggunakan nyiru. Pada saat menampi gabah banyak yang ikut terbuang bersama kotoran atau bahan bukan gabah. Petani menggunakan power thresher yang tidak standar kecepatannya. Menurut Hadiutomo (2007), faktor lain yang mempengaruhi tingkat kerontokan, yaitu: alat mesin panen dan pasca panen padi, sistem pemanenan dan jumlah pemanen, dan cara dan alat mesin pengeringan. Penyebab lain dari hilangnya hasil pada saat merontok adalah alas penampungan hasil perontokan yang kurang luas. Petani menggunakan alas antara 12 m2 s.d. 60m2. Alas yang direkomendasikan adalah minimal 24m2 dengan ukuran 4m x 6m. Kebiasaan sebagian petani setelah melakukan panen, padinya tidak langsung dirontok tetapi dibiarkan beberapa hari di lapangan di atas tunggul jerami padi, setelah itu baru dirontok dengan menggunakan power thresher. Namun pada saat dilakukan kegiatan kajian, padi yang sudah dipanen langsung dirontok dengan menggunakan power thresher. Penyebab tertundanya kegiatan perontokan ini karena kelangkaan tenaga kerja atau ada pekerjaan lain yang lebih mendesak atau
35
Kajian Susut Hasil Panen Dan Perontokan... (Achmad Saiful Alim dkk.)
menguntungkan seperti memanen kelapa atau membuat kopra, kasus ini terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir. Tingkat susut hasil pada saat perontokan di Kabupaten Rokan Hilir cukup besar (2,47%), di tempat ke dua setelah Kabupaten Kuantan Singingi (2,93%) dan di atas angka rata-rata provinsi (1,09%). Penyebab tingginya kehilangan hasil ini karena terpal yang digunakan oleh petani kurang luas, petani kurang terampil menggunakan alat perontok sehingga putaran mesin perontok yang menggunakan tenaga diesel tidak stabil dan berkecepatan tinggi, akibatnya butiran gabah banyak yang terlempar ke luar terpal yang biasa digunakan petani. Tingkat susut hasil pada saat perontokan di Kabupaten Rokan Hulu merupakan yang terendah, hal ini kemungkinan disebabkan oleh petani bersama para pekerja lainnya telah cukup terampil dalam menggunakan mesin perontok, melakukan penampian dan penggunaan alas yang cukup luas. Alas terpal yang digunakan berukuran 24 m2 – 60 m2. Tingginya tingkat kehilangan hasil pada saat perontokan di Kabupaten Kuantan Singingi, karena cara petani menggunakan power thresher belum terampil, terutama dalam mengatur gabah yang masuk ke dalam alat perontok (feeder) dan kecepatan perputaran mesin perontok. Hal ini mengakibatkan, gabah yang telah dirontokkan cukup banyak yang berhamburan ke luar dari areal alas/terpal. Selain itu, alas penampungan yang digunakan kurang luas dan pada saat melakukan pembersihan dengan menggunakan nyiru, para petani menampi gabah dalam jumlah banyak dan kurang hati-hati, sehingga banyak gabah yang terbuang. Nilai rata-rata susut hasil pada saat perontokan tingkat Provinsi Riau sebesar 1,09% masih lebih tinggi dari rata-rata nasional, yang hanya sebesar 0,18%. Kondisi seperti ini tentunya tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut, karena akan sangat mempengaruhi jumlah produksi padi di Provinsi Riau atau pun pendapatan petani. Sebagai gambaran dapat diambil ilustrasi sebagai berikut, produksi padi di Provinsi Riau pada tahun 2012 sebesar 512.152 ton GKG setara dengan 533.492 ton GKP, maka kehilangan hasil akibat susut perontokan bisa mencapai 1,09% x 533.492 ton = 5.815 ton. Bila nilainya dikonverikan ke dalam rupiah mencapai: 5.815 x 1000 kg x Rp.3.500/kg = Rp.20.352.500.000,-. (dua puluh milyar tiga ratus lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah).
KESIMPULAN DAN SARAN Rata-rata angka susut saat panen tingkat Provinsi Riau 1,05%, lebih rendah dari angka nasional (1,2%). Nilai terendah di Kabupaten Siak 0,2% dan nilai tertinggi di Kabupaten Indragiri Hilir 2,49%. Tingkat kehilangan hasil pada saat panen sangat dipengaruhi oleh jenis varietas, umur panen, cara panen dan alat panen yang digunakan. Rata-rata angka susut saat perontokan tingkat Provinsi Riau 1,09%, lebih tinggi dari angka nasional (0,18%). Susut hasil terendah karena perontokan di Rokan Hulu sebesar 0,18%, sedangkan yang tertinggi di Kuantan Singingi 2,93%. Tingkat kehilangan hasil saat perontokan sangat dipengaruhi oleh jenis varietas, umur panen, penumpukan dan pengumpulan, luas alas/terpal kerja, alat perontok yang digunakan, cara pembersihan, dan kecepatan putaran mesin perontok. Untuk menekan kehilangan hasil, disarankan agar petani dapat ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam budidaya tanaman padi, penanganan panen dan pasca panen. Untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja pada beberapa daerah kajian, sebaiknya Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan alat dan mesin pertanian atau menggalakkan kegiatan Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) di tingkat lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Ananto, E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan teknis penanganan panen dan pascapanen padi dalam sistem usahatani tanaman-ternak. Puslitbangtan, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2012. Riau dalam Angka 2011. BPS Riau. Ditjen P2HP . 2007. Pedoman Teknis Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. Ditjen
PPHP. 2009. Penekanan Susut dan Peningkatan Rendemen Gabah/beras. http://pphp.deptan.go.id/disp_informasi/1/ 1/0/674/penekanan_susut_dan_peningkata n_rendemen_gabah_beras.html. tanggal akses: 28 Maret 2013.
36 Hadiutomo, K. 2006. Teknik Pengukuran Kehilangan Hasil Pasca Panen Padi. Direktorat Penanganan Pasca Panen Ditjen Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta. Hasbullah, R. 2010. Gerakan Nasional Penurunan Susut Pascapanen, Suatu Upaya Menanggulangi Krisis Pangan. Institut Pertanian Bogor. Kementan. 2011. Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton pada Tahun 2014 http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_up load/44_BAB%20III.pdf. Nugraha, S., 2012. Inovasi Teknologi Pascapanen Untuk Mengurangi Susut Hasil dan Mempertahankan Mutu Gabah/Beras Di Tingkat Petani. Buletin Teknologi Pascananen Pertanian Vol 8 (1), 2012. Nugraha, S. 2009. Evaluasi Susut Panen dengan Metode Konvensional dan Metode Papan. Seminar Nasional Padi 2009. Nugraha, S. 2009. Metode Baru Pengukuran Susut Panen. Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia 2009. Setyono, A., Sutrisno dan Sigit Nugraha. 1998. Uji coba regu pemanen dan mesin perontok padi dalam pemanenan padi sistem beregu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi dalam Pengembangan Pertanian dengan Orientasi Agribisnis. BPTP Ungaran. Hal 56-69. Suprihatno, B., dkk., 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Agrica Ekstensia. Vol. 9 No. 2 Nopember 2015: 31-36