KAJIAN AUTONOMI REGULASI DAN PROSPEK INVESTASI DI PROVINSI RIAU Oleh: Cisilia Maiyori Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Alamat : Jl. Yos Sudarso km 8 Rumbai Pekanbaru Email:
[email protected] Abstrak
Investasi di era otonomi daerah mengalami berbagai masalah. Pemerintah pusat telah mengeluarkan Keppres khusus mengenai investor yang ingin membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha. Kenyataannya, banyak peraturan pemerintah atau keputusan presiden yang tidak dapat berjalan efektif. Hal ini terjadi karena adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang merasa paling berkepentingan atas penanaman modal di daerah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diberikan dalam bidang penanaman modal. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan oleh BKPM untuk pemerintah pusat dan BKPMD untuk pemerintah daerah. Namun setelah otonomi daerah, terjadi ketidakjelasan mengenai pengurusan izin usaha/investasi, juga terjadi tarik-menarik antara kegiatan BKPM dengan BKPMD serta instansi-instansi pemerintah daerah lainnya yang menangani kegiatan investasi. Dalam konteks pelayanan, birokrasi cenderung lama dan belit-belit. Sementara, jangka waktu izin usaha baru keluar paling lama tiga bulan. Untuk meningkatkan iklim investasi di daerah, maka pemerintah daerah perlu memudahkan jalan bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Kemudian, pemerintah pusat perlu membantu pemerintah daerah dalam menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah. Kata kunci: investasi, otonomi, regulasi
Abstract
Investment in the era of regional autonomy appeared various problems. The central government had issued a special decree for the investor who wanted to open a business in the local government area, especially regard to the process to obtain a business permit. In fact, many government regulations or presidential decree could not run effectively. This happened because of the conflicts of interest between the central government and local governments who felt most concerned over the investment in the area. This study was normative research. The results showed that the regional autonomy policy both in the province and city/municipal government had been given in the field of investment. Before the implementation of regional autonomy, permit issued by BKPM for the central government and BKPMD for the local government. After local autonomy, it was unclear whether the business permit or investment permit under BKPM or BKPMD. There was a clash on local and central
1
government authority deal with investment activity. In the context of services, the bureaucracy tended to be lengthy and serpentine. Meanwhile, the issue of a new permit took a maximum period of three months. To improve the investment atmosphere in the province, city or municipal government, the local government needed to ease the investors to open their businesses. Besides, the central government required to support local governments in simplifying the process of investment permit. Keywords: investments, autonomy, regulations
Pendahuluan Keberadaan otonomi daerah merupakan poin utama dalam membangun daerah di era reformasi ini. Daerah berwenang menggali potensi-potensi yang dirasa perlu untuk menciptakan suatu kondisi perekonomian yang lebih kondusif bagi warga masyarakat. Dalam arti kata, pembangunan ekonomi yang diciptakan dapat mengakomodir semua keinginan masyarakat terhadap kebutuhan hasil produksi sumber daya alam. Seiring arahan otonomi daerah tersebut, diperlukan modal atau pertambahan modal dimana merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran strategi, yaitu investasi atau penanaman modal.1 Selama ini yang menjadi kekurangan fatal dalam sinergis ekonomi ialah ketika suatu daerah dihadapkan pada solved problem. Daerah memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam, akan tetapi tidak ada motor pengerak tambahan, yaitu modal dalam bentuk sumber dana pengembangan kerja atau bentuk manajemen kerja. Adapun yang menjadi pemicu terhambatnya penanaman modal asing di Indonesia ialah kondisi masyarakat Indonesia yang tidak kondusif, sehingga mengakibatkan iklim yang dirasa tidak sehat dalam pengembangan usaha. Salah satu faktor yang mendukung keinginan pemodal untuk menanamkan modalnya di Indonesia, yakni segi ekonomi, politik, atau hukum.2 Bentuk penanaman modal ini didorong untuk memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan ekonomi serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Kemudahan iklim berinvestasi di suatu daerah dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana ekonomi yang memadai. Peraturan perundang-undangan yang mendukung dan prosedur pelayanan investasi serta kebijakan ekonomi makro yang tepat. Kegiatan penanaman modal merupakan kegiatan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak. Penanaman modal tidak terbatas oleh orang-orang yang mempunyai modal, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan ekploitasi sumber daya alam secara tidak terbatas, malahan akan dapat pula merupakan ekploitasi dari manusia itu sendiri. Dengan memanfaatkan modalnya para pemilik modal akan dapat merusak kehidupan ekonomi masyarakat kecil, seperti dilaksananakannya kegiatan monopoli dan kegiatan monoksoni oleh pemilik modal besar, sehingga golongan ekonomi lemah makin menyempit. Karena itu, penanaman modal perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerusakan dalam sistem perekonomian suatu negara. Di era perkembangan pasar bebas, penanaman modal lebih diarahkan dalam bentuk penanaman modal asing yang dipergunakan untuk pembangunan negara Indonesia yang akan meringankan tekanan-tekanan pada neraca pembayaran luar
1 2
Dhaniswara K Harjono, Penanaman Modal, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 35. Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 69.
2
negeri. Selain itu, modal asing akan menambah kemampuan negara Indonesia untuk mendatangkan modal, ketrampilan, dan tehnologi dari luar negeri.3 Manfaat khusus akan terasa untuk bidang-bidang usaha atau proyek-proyek yang bersifat kapital intensif, seperti proyek-proyek pertambangan, industri besar-besaran dan lain-lain, yang memerlukan modal besar dan biaya yang tidak sedikit, ketrampilan, dan tehnologi yang lebih tinggi. Pembangunan sektor yang seperti itu akan lebih mudah dan akan lebih lancar dilaksanakan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama bila dilakukan dan dibiayai dengan pemasukan modal asing karena kenyataan telah membuktikan saat ini modal nasional masih jauh dari mencukupi untuk dapat menjamin penyelesaian proyek-proyek besar itu merupakan landasan untuk perkembangan ekonomi di lapangan lainnya. Mengenai bidang usaha yang menarik bagi pemodal asing, pada umumnya peranan modal (investor) asing lebih tertarik dan mengutamakan penanaman modal dibidang usaha produksi bahan-bahan ekspor, lagi pula modal itu pada umumya merupakan modal yang berasal dari negara-negara industri. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa sejak dahulu sampai saat ini permintaan akan bahan-bahan mentah dari negara-negara industri semakin besar dan hampir tak berkurang. Kenyataan ini menyebabkan modal asing yang ditanam di negara Indonesia sejak zaman penjajahan dahulu ditujukan kepada bidang usaha yang menghasilkan bahan mentah. Dapatlah dikatakan bahwa daya penarik bagi investasi modal asing di Indonesia bertalian langsung secara langsung dengan permintaan dari negara-negara industri (penanam modal) sendiri, hingga investasi modal asing di negara Indonesia dapat kiranya diarahkan pada produksi bahan-bahan agraris dan ektraktif mineral untuk pasaran luar negeri. Investasi ke arah produksi yang ditujukan untuk konsumsi atau pasaran dalam negeri tidaklah menarik bagi penanam modal asing karena daya beli (purchasing power) bangsa Indonesia serta produktivitas sektor-sektor di luar bahan-bahan ekspor agraris dan ektraktif mineral tetap rendah. Sejak kemerdekaan negara Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu pemerintah telah membatasi atau melarang investasi modal asing, di berbagai sektor tertentu, seperti bidang usaha public utilities dan yang memegang peranan penting bagi pertahanan negara Indonesia. Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan suatu tindakan dari orang asing atau badan hukum asing untuk melakukan investasi modal dengan motif untuk berbisnis dalam bentuk apapun ke wilayah suatu negara lain. Di Indonesia tentang Penanaman Modal Asing ini diatur dalam perundangundangan tentang penanaman modal asing.4 Dalam hubungan ini timbul bermacam-macam hal. Pertama, Penanaman Modal Asing itu sebaiknya dihubungkan dengan bidang-bidang usaha yang dapat memberi dorongan untuk ekspor (eksport promotion) atau di lapangan yang dapat membawa penghematan devisa. Kedua, pendapat lain menghendaki agar penanaman modal asing haruslah dihubungkan dengan secara langsung usaha-usaha yang diharapkan akan dapat memperkuat neraca pembayaran. Kalau diteliti kedua pendapat tersebut sebenarnya tidak bertentangan secara absolute, sebab kedua-duanya bermaksud untuk akhirnya meningkatkan roduktivitas umum di dalam masyarakat. Ketiga, Penanaman Modal Asing dalam rangka pembangunan ekonomi yang harus seimbang didasarkan atas investasi yang dijalankan secara bersamaan dan serentak dilapangan yang ragam. Hendaklah diarahkan antar sektor pertanian dan struktur ekonomi.5
3
Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: IUP Press, 1996), hlm. 177. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 67. 5 Ismail Sunny, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradya Paramita, 1976), hlm. 15. 4
3
Dengan melihat kesempatan pemasukan dana dari investor luar negeri inilah pemerintah Indonesia membuat berbagai peraturan atau kebijaksanaan untuk penanaman modal di Indonesia. Salah satu caranya dengan membuat undang-undang yang mengatur tentang penanaman modal di Indonesia. Untuk mencegah adanya dominasi itu pembuat undang-undang menekankan kepada bidang-bidang usaha daripada modal asing dan mengenai daerah berusaha penanaman modal asingpun di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah. Di samping itu, pemerintah juga menetapkan macam perusahan modal asing. Pengaturan lain yang mendukung pelaksanan penanaman modal asing akan berkaitan erat dengan masalah pelayanan satu pintu yang dilakukan Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BPMPD), dimana setiap daerah dikenal dengan istilah BPMPD. Adapun keberadaan lembaga ini merupakan salah satu bentuk aplikasi pemerintah dalam memberikan berbagai kemudahan dalam iklim investasi walaupun dalam perkembangannnya mengalami beberapa kali pengantian nama dengan diikuti dengan perubahan seperangkat aturan. Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sejalan dengan era pasar bebas pemerintah telah memberikan peluang untuk mengembangkan potensi daerah secara keseluruhan untuk kemajuan daerahnya secara mandiri. Masing-masing daerah berusaha untuk mengemas berbagai kemudahan dengan aturan yang ada. Begitu juga ketika daerah Provinsi Riau menjadi wilayah investasi yang cukup solid untuk pengembangan sektor usaha, maka dirasa perlu untuk memberikan kemudahan. Berbagai bentuk kemudahan berusaha diakomodir tidak saja oleh pemerintah pusat dalam hal kemudahan dlam sektor pajak dan biaya ekspor atau impor. Sedangkan daerah mengusahakan untuk menciptakan suatu kawasan yang diperbolehkan untuk investasi.6 Dampak dari otonomi daerah adanya peluang bagi pihak asing untuk membuat momerandum understanding (MoU). Di daerah khusunya hal yang berkaitan dengan investasi yang cukup banyak mempunyai peranan penting ialah Kamar Dagang Industri karena kamar Dagang industri (KADIN) merupakan motor pengerak dalam memfasilitasi para pedagang dan pengusahapengusaha agar menyatukan visi, misi, dan fikiran untuk memciptakan dan melihat prospek dari investasi untuk mengembangkan ekonomi kedaerahan khususnya di Provinsi Riau. Konsep Teori Intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi, merupakan konsep negara Kesejahteraan (welfare state) yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum. Untuk mewujudkan pengaturan ekonomi secara makro, maka pemerintah membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hukum administrasi negara yang membatasi hak individu, yang pada awalnya dilindungi oleh Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Hukum yang merupakan intervensi pemerintah ini disebut sebagai Hukum Ekonomi (Droit Economique). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengatur prinsipprinsip menjamin hak ekonomi individu dan kewajiban negara dalam bidang ekonomi, prinsip ini dapat dilihat dalam Pasal 27 (1) mengenai kesamaan hak dan kewajiban dalam mematuhi hukum; Pasal 27 (2) mengenai keseimbangan hak dalam berusaha dan/atau kesinambungan hajat hidup negara; Pasal 33 (1) mengenai kebersamaan hidup; Pasal 33 (2) mengenai keseimbangan hidup. Dengan adanya aturan yang diberikan konstitusi. Hal ini merupakan kewajiban konstitusi (public order) yang harus 6 Soedono Dirjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 208.
4
dilakukan oleh Penyelengara Negara. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penyelengara. Pemerintahan Negara, Legislatif sebagai komponen pembuat undang-undang, dan Yudikatif sebagai penjamin kepastian hukum. Dalam ilmu ekonomi, upaya yang dilakukan oleh pemerintah ini dengan partisipasi komponen lain di luar pemerintah (KADIN), beberapa komponen yang dipelajari dalam ilmu ekonomi terapan, yaitu pada Ekonomi Pembagunan. Menurut Meiere Baldwin,
Economic development is a process whereby an economy’s real national income increase on a long period of time. And if the rate of development is greater than rate of population growth, then per capital real income will increase.7 Factor-faktor yang mempengaruhi pembangunan sebagai berikut: sumber daya manusia (labor supply, education, discipline, motivation, etc); sumber daya (national resource); dan pembentukan modal (capital formulation); serta teknologi dan kinerja usaha (technology and entrepreneur ship); peraturan negara (rule of law). Pembangunan ekonomi, dari sisi hukum merupakan hasil kebijakan publik (public policy) dalam bidang ekonomi makro, yang berasal dari public order yang diberikan oleh konstitusi. Untuk mewujudkan kebijakan publik ini diperlukan sebuah landasan regulasi yang berbentuk sejumlah perturan dalam bidang administrasi dan beberpa kesepakatankesepakatan (MOU), agar tercipta pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance principles). Maksudnya agar terpenuhi aspek legalitas dari sebuah kebijakan publik yang akan diterapkan pada masyarakat. Perangkat Normatif yang mengatur Penanaman Modal di Indonesia. Pertama, Regulasi, yaitu ketentuan normatif yang dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang atau kekuasaaan yang sah, yang berbentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan berlaku umum. Kedua, Deregulasi, yaitu peraturan yang berasal dari kebijakan publik yang sifatnya jangka pendek dan menengah tentang sejumlah kebijakan yang menunjang investasi. Regulasi yang utama dalam Penanaman Modal Asing ialah Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang Undang Nomor 11 tahun 1970 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sedangkan deregulasi banyak dihasilkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tentang kesiapan mereka menerima investasi asing. Rekonstruksi Hukum Tanpa Mengabaikan Aspek Legalitas Peraturan Perundang-undangan Hukum dan Ekonomi sangat berkaitan dengan perkembangan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha manusia tersebut ditunjang dengan perkembangan teknologi, berdasarkan interaksi, dan ketersedian sumber daya alam dan manusia. Ilmu hukum dan ilmu ekonomi selalu dinamis dengan perubahan-perubahan yang diinginkan oleh pasar agar pasar dapat menerima dan menerapkannya untuk kebutuhan praktis. Dalam ajaran sosilogis yurisprodence dapat dilihat besarnya pengaruh praktis dalam bidang ekonomi melakukan pembentukan hukum, seperti diperkenankannya diterapkan beberapa doktrin-doktrin, dan beberapa traktat dalam bidang ekonomi sebagai sumber hukum yang mengatur prilaku ekonomi. Pound berpandangan bahwa hukum secara fungsional bertujuan sebagai sarana untuk merekayasa sosial (law as a tool social enginering). Hal ini dapat dibenarkan karena hukum akan digunakan untuk maksud-maksud tertentu sesuai dengan tujuan hukum (teori fungsional hukum). Contohnya, hukum dibentuk dan dibangun untuk mengatur bagaimana hukum tersebut dapat mengatur prilaku bisnis yang dilakukan oleh 7 Meiere Baldwind, Economic Development Teory, History, and Policy, (New York: Mc Graw Hill, 1957), hlm. 5.
5
investor agar kegiatan ekonomi yang mereka buat mendapat perlindungan oleh hukum. Untuk menjamin terdapatnya perlindungan hukum, maka dibentuklah sebuah kaedah hukum dalam bidang investasi dalam bentuk perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi, traktat, dan kesepakatan-kesepakatan lainnya. Teori rekonstruksi dapat dideskripsikan bahwa apabila bangunan (konstruksinya) tersebut berubah, maka berubah pula fungsi dari bangunan tersebut8. Perubahan konstruksi dapat terjadi terus-menerus karena usaha pembangunan ekonomi dan hukum secara fungsional, seperti konstruksi bangunan hukum yang pada awalnya disusun dengan prinsip sosialis komunis dirombak dengan bangunan liberal, kapitaslis maka fungsi dari hukum tersebut akan berubah secara ekstrim, sedangkan konstruksinya (pelakunya ekonominya tetap). Perubahan bangunan hukum ekonomi secara bertahap cenderung lamban mengantisipasi kebutuhan pelaku ekonomi dan pasar, seperti di Indonesia telah dibuat beberapa deregulasi yang bermaksud agar menyesuaikan diri peraturan dengan keadaan yang dapat diterima masyarakat. Misalnya tentang independensi sistem moneter mengakibatkan pemerintah tidak boleh lagi ikut campur dalam bidang kekuasaan moneter pada Bank Indonesia. Tujuan melakukan rekonstruksi hukum akan selalu berbeda di setiap negara karena secara filosofis setiap negara tidak akan sama keadaan dan kemampuannya dalam melakukan usaha ekonomis. Di setiap negara akan selalu berbeda konstruksi hukum dan ekonominya. Hal ini sangat erat berkaitan dengan strategi pemerintah dalam melaksanakan publik policies-nya. Hukum Yang Autonomus Konsep autonomi di Indonesia berkaitan dengan peraturan terutama dibidang ekonomi masih belum mencerminkan peraturan yang bersifat autonomous lokal, apabila dilihat bentuk formal dari peraturan tersebut. Peraturan yang mengikat rakyat banyak (warga negara) baik yang bersifat publik maupun privat masih banyak yang diatur oleh undang-undang yang bersifat sentralistik. Dengan impian Autonomi Daerah (Lokal) dapat diwujudkan dalam pembuatan hukum yang autonomous, oleh karena hukum yang atonom lebih cederung dapat diterapkan dan lebih kompetitif dibandingkan daerah lain terutama dalam investasi. Sifat kompetitif ini dikarenakan walaupun peraturan ialah produk politik (publik), tetapi produk tersebut dapat dilakukan penilaian peraturan manakah yang cenderung dapat dikondisikan pada kenyataan yang real. Sinronisasi Peraturan Perundang-undangan Walaupun hukum yang dibuat ialah hukum yang bersifat otonom, tetapi haruslah didasari oleh sumber hukum yang lebih tinggi yang dikenal dengan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara hirakis. Di samping itu, ada sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan secara horizontal. Secara horizontal dilakukan dengan sinkronisasi peraturan dengan perundang-undangan lain yang mengatur subtansi yang sama. Dalam teori dan ilmu hukum dikenal dengan uji materil dan formil dari peraturan perundang undangan hak uji materil pada tingkat peraturan perundangan-undangan dilakukan pada Makkamah Konstitusi RI, sedangkan pengujian materil peraturan di bawah undang-undang dilakukan pada Mahkamah Agung RI. Di samping itu, departemen dalam negeri dalam rangka pengawasan terhadap produk peraturan daerah dapat melakukan pengujian formil dan materil pada perturan-peraturan daearah tersebut berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
8
Rasyiyah Rahmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang: Bayu Media, 2004), hlm. 7.
6
Tujuan Regulasi Menghimpun Modal dan Menciptakan Iklim Kondusif. Penanaman modal ialah suatu usaha yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka menghimpun modal untuk menambah modal untuk tujuan bisnis/usaha. Pemasukan modal dapat berasal dari sebagai berikut: (1) penanaman modal secara langsung (direct investnent), yaitu jenis penanaman modal kepada perusahan dengan cara masuknya modal secara langsung didasari kesepakatan untuk penanaman sejumlah modal dalam rangka menambah modal perusahaan; (2) penanaman modal secara tidak langsung (indirect invesment) ialah dengan jalan masuknya modal keperusahan dengan public overing di pasar modal/bursa saham (capital market); (3) modal yang berasal dari pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan dan perbankan dalam dan luar negeri; dan (4) masuknya barang modal, bantuan teknis, lisensi yang merupakan modal yang bergerak9. Sumber modal dapat berasal dari sumber dalam negeri dan sumber luar negri modal dalam negeri disebut sebagai Modal Dalam Negeri, sedangkan modal dari luar negeri dinamakan sebagai Modal Asing. Pengertian modal dalam negeri menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 ialah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disisihkan/disediakan guna menjalankan sesuatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Penamaman modal dalam negeri adalah penggunaan dari pada kekayaan seperti disebut dalam Pasal 1, baik secara langsung menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut terdiri atas persorangan dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku. Perusahahan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% dari pada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan atau swasta nasional. Persentase itu harus ditingkatkan sehingga tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75% perusahaan asing ialah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalan ayat 1 pasal ini. Jika usaha yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berbentuk perseroan terbatas masa sekurang-kurang persentase tersebut dalam ayat 1 dari jumlah saham harus sama. Pihak swasta yang memiliki modal tersebut dapat terdiri atas perusahaan perseorangan dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, modal dalam negeri diartikan sebagai sumber produktif dari masyarakat Indonesia yang dapat dipergunakan bagai pembangunan ekonomi pada umumnya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 ditegaskan bahwa perusahaan nasional adalah perusahaan yang modal dalam negerinya ditamam di dalamnya dimiliki oleh negara dan swasta nasional. Penanaman Modal Asing menurut Pasal 1 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menurut undang-undang ini adalah meliputi penananam modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang–undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia. Dalam arti, pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut. Dari rumusan tersebut terkandung beberapa unsur pokok dari Penanaman Modal Asing, yaitu: penanaman modal secara langsung; penanaman modal untuk menjalankan usaha perusahaan; dan resiko langsung ditanggung oleh si pemilik modal. Pengertian modal asing menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 ialah tiga jenis. Pertama, modal asing adalah alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonsia untuk menetukan alat pembayaran 9
Erman Rajaguguk, Hukum Investasi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), hlm. 50.
7
luar negeri yang mana termasuk pengertian modal asing, maka pembentuk undangundang menggunakan sebagai ketentuan atau kriterianya adalah kekayaan devisa Indonesia. Maksudnya devisa yang dikuasai oleh negara dan dimiliki baik oleh Warga Negara Indonesia maupun oleh Negara. Kesimpulannya alat pembayaran luar negeri yang merupakan modal asing adalah alat pembayaran luar negeri yang tidak dikuasai oleh negara dan digunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia. Kedua, modal asing adalah alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuanpenemuan baru milik orang asing dan bahan yang dimasuknan dari luar ke dalam wilayah Indonesia selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari devisa Indonsia. Alat–alat yang bersangkutan tidak atas biaya atau beban dari kekayaan devisa Indonesia. Artinya, alatalat perusahaan tersebut tidak dibeli dengan menggunakan devisa yang berada dalam penguasaan negara. Ketiga, modal asing adalah bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang-undang ini diperkenankan ditranfer, tetapi dipergunakan untuk berbagai perusahaan di Indonesia. Maksudnya modal asing adalah bagian hasil dari perusahaan, bagian hasil dari perusahaan ini adalah merupakan bagian yang diperkenankan ditransfer menurut Pasal 19 Undang-undang ini berupa bagian dari keuntungan perusahaan tersebut. Kesimpulan pengertian modal asing dalam arti Undang-Undang Penanaman Modal Asing dapat dibedakan atas Penanaman Modal Asing dalam arti sesungguhnya yaitu modal asing yang sejak semula memang diperuntukkan bagi penanaman modal (investasi). Kemudian Penanaman Modal Asing yang berasal dari hutang (kredit luar negeri) yang dikenal dengan istilah Debet Invesment Convertioan Scheme/ DICS. Modal asing tersebut dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu modal asing yang ditanamkan dan modal asing yang berasal dari kredit. Dengan adanya undang-undang di atas dapat digunakan sebagai kaedah yang memayungi peraturan yang ada dibawahnya (umbrella provition)10. Untuk masa sekarang, sebenarnya kedua undang-undang ini sangat lemah, karena banyak kondisi dan materi/variabel-variabel penentu dari undangundang ini tidak kondusif lagi, sehingga banyak peraturan penanamam modal di bawahnya dan peraturan lain yang menyokong secara horizontal yang terkadang jauh panggang dari api sehinggga menyulitkan bahkan dapat merugikan investor dalam berinvestasi, panjangnya birokrasi karena beberapa izin harus diurus di pusat (sentralistik) yang merupakan bentukan isi dan menjadi ciri pada awal pembentukan peraturan perundang-undangan pada waktu itu, sengaja diciptakan. Hal yang demikian berakibat dan berpengaruh langsung peraturan undang-undang yang dibentuk di bawahnya secara vertikal maupun peraturan perundang-undngan yang dikoordinasikan secara horizontal. Kelemahan inilah salah satu kendala dalam berinvestasi di negeri ini sehingga kurang kompetitif dan menelan biaya tinggi akibat biaya birokrasi tersebut. Kelemahan lainnya masih banyak perizinan yang tumpang tindih, seperti yang seperti izin melewati pintu pusat terlebih dahulu, kemudian perizinan sama bentuknya juga diurus di daerah. Metode Penelitian Jenis penelitian ini ialah penelitian hukum yuridis sosiologis, yakni dengan lebih memfokuskan terhadap persoalan-persoalan yang muncul dan untuk itu penulis menitikberatkan pembahasan pada ketentuan perundang-undangan dan melihat bagaimana hukum dipraktekkan dalam masyarakat. Sifat penelitian ini ialah penelitian lapangan (field Research) merupakan penelitian langsung ke lapangan.11
10 11
Imam Syahputra, Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta: Harvarindo, 2000), hlm. 20. Bambang Soegondo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), hlm. 33.
8
Lokasi Penelitian dilaksanakan di Badan Investasi dan Promosi Daerah Riau, Pemerintah daerah melalui sub bidang Perekonomian, Kamar Dagang Provinsi Riau, Perpustakaan Daerah Riau, Perpustakaan Universitas Riau, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, dan Perpustakaan Lainnya. Sumber data dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama yang diperoleh oleh peneliti melalui responden atau sampel. Data ini dapat berasal dari masyarakat, pegawai swasta dan sumber lainnya, yang terpenting permasalahan berhubungan dengan dengan pokok masalah yang dibahas. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku literature yang mendukung dengan pokok permasalahan yang dibahas. Data sekunder dapat berupa skripsi, tesis, disertasi, jurnal, surat kabar, makalah, seminar dan lainnya. Teknik pengumpulan data. Untuk memperoleh data yang relevan guna menjawab persoalan-persoalan yang ada, pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan alat sebagai berikut: observasi, wawancara, dan kajian pustaka. Sementara dalam menganalisa data dilakukan dengan memakai metode induktif dan metode deduktif. Pada akhirnya semua yang diperoleh setelah diolah dan dianalisa dan dianalisa dengan metode ini dituangkan dalam suatu bentuk penelitian. Pembahasan Pengaruh otonomi Daerah terhadap investasi Pada hakekatnya otonomi daerah ialah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Eksplorasi dan eksploitasi potensi ekonomi daerah dimungkinkan manakala ada kewenangan dari unsur-unsur di daerah untuk memanfaatkan potensinya. Namun persoalannya ternyata cukup kompleks karena kecurigaan dan kekhawatiran terjadinya disintegrasi menjadi alasan pemerintah pusat untuk secara hati-hati merumuskan kebijakan otonomi daerah seperti dalam rumusan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang dianggap tidak selaras dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 karena pemberian kewenangan yang cukup besar tidak diimbangi dengan perubahan mendasar dalam rangka penguatan dari sisi pendanaan.12 Keberhasilan dalam bidang perekonomian ini dapat dicapai dengan beberapa cara, diantaranya menyetujui adanya investasi daerah. Perkembangan investasi di Indonesia merupakan salah satu indikator kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Investasi yang dilakukan secara tepat dapat mendukung tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Faktor yang mepengaruhi pelaksanaan investasi di Indonesia yaitu dengan pemberlakukan otonomi daerah. Investasi merupakan salah satu instrument dalam sistem perekonomian suatu bangsa yang sangat penting. Tidak mengherankan jika di negara maju maupun negara Indonesia berusaha secara optimal untuk menjadi tujuan investasi guna menggerakkan roda perekonomian yang berhubungan langsung dengan sistem produksi, kegiatan perdagangan dan ekspor serta kegiatan ekonomi masyarakat pada umumnya. Ruang lingkup ini tidaklah berlebihan jika dikemukakan kehadiran investasi merupakan suatu hal yang signifikan dalam pembangunan nasional atau tepatnya dalam menggerakkan roda perekonomian yang dilakukan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan faedah bahwa Indonesia menerima kegiatan investasi dalam bentuk penanaman modal asing maupun dalam negeri. Dalam pertimbangan (konsiderans) huruf c, bahwa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional dan mewujudkan 12
Sri Hartoyo, Otonomi Daerah dan Peluang Pengembangan Investasi, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 13, No. 2, Desember 2012, hlm. 276-287.
9
kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk pengelolaan potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebagian asas penanaman modal yang penting dalam menunjukkan kegiatan investasi, yaitu Pasal 3 huruf j keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.13 Mengembangkan investasi yang lebih menarik ialah memperkuat kelembagaan dan keleluasaan peran daerah sesuai prinsip otonomi daerah dandesentralisasi. Secara teoritis, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kepala daerah dalam hal ini Bupati diberi otoritas untuk mengelola daerahnya secara otonom untuk menarik investor menanamkan modalnya di daerah dengan memberikan ketentuan (Perda) yang meringankan investor asing. Sejalan dengan itu kelembagaan bidang investasi menjadi faktor yang kritis dan menjadi titik paling lemah, sehingga penataan dan penguatannya perlu diwujudkan.Pemberian kewenangan dalam mengelola rumah tangga suatu daerahdiberikan oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Derah. Otonomi daerah yang dalam konsepnya diatur pada Pasal 1 angka (4) memberikan pemahaman bahwa suatu daerah telah menerima kewenangannya dalam mengupayakan terjadinya investasi baik hak, kewenangan dan kewajiban sehingga dapat mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan Hukum, Keberadaan otonomi daerah merupakan bentuk (main point) point utama dalam membangun daerah diera sekarang. Daerah berwenang mengali potensi-potensi yang dirasa perlu untuk menciptakan suatu kondisi perekonomian yang lebih kondusif bagi warga masyarakat dalam arti kata pembangunan ekonomi yang diciptakan dapat mengakomodir semua keinginan masyarakat terhadap kebutuhan hasil produksi sumber daya alam. Seiring arahan otonomi daerah tersebut diperlukan modal atau pertambahan modal dimana merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran strategi yaitu investasi atau penanaman modal.14 Selama ini yang menjadi kekurangan fatal dalam sinergis ekonomi adalah ketika suatu daerah dihadapkan pada solved problem, ada sumber daya manusia, ada sumber daya alam tetapi tidak ada motor pengerak tambahan yaitu modal dalam bentuk sumber dana pengembangan kerja atau bentuk manajemen kerja itu sendiri. Adapun yang menjadi pemicu terhambatnya penanaman modal asing dinegara kita adalah kondisi masyarakat Indonesia yang tidak kondusif atau aman sehingga menimbulkan iklim yang dirasa tidak sehat dalam pengembangan usaha. Salah satu faktor yang mendukung keinginan pemodal untuk menanamkan modalnya di Indonesia baik dari berbagai segi apakah ekonomi, politik ataupun Hukum.15 Bentuk penanaman modal ini didorong untuk memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan ekonomi serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Kemudahan iklim berinvestasi disuatu daerah dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana ekonomi yang memadai. Peraturan perundang-undangan yang mendukung dan prosedur pelayanan investsi serta kebijakan ekonomi makro yang tepat. Kegiatan penanaman modal akan merupakan kegiatan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak. Penanaman modal tidak terbatas oleh orang-orang yang mempunyai modal tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan ekploitasi sumber daya alam secara tidak terbatas malahan akan dapat pula merupakan ekploitasi dari manusia itu sendiri. Dengan memanfaatkan modalnya para pemilik modal akan dapat merusak kehidupan ekonomi masyarakat ekonomi kecil seperti dilaksananakannya 13
Isa Ismail, Kendala Investasi Di Era Otonomi Daerah, Jurnal Politica, Vol. 5, No. 1, Oktober 2014,
14
Dhaniswara K Harjono, Penanaman Modal ..... Op. Cit., hlm. 35. Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal ..... Op. Cit., hlm. 69.
hlm. 5. 15
10
kegiatan monopoli dan kegiatan monoksoni oleh pemilik modal besar. Sehingga golongan ekonomi lemah makin menyempit karena itu penanaman modal perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerusakan dalam system perekonomian suatu Negara. Diera perkembangan pasar bebas, penanaman modal lebih diarahkan dalam bentuk penanaman modal asing yang dipergunakan untuk pembangunan Negara kita yang akan meringankan tekanan-tekanan pada neraca pembayaran luar negeri. Selain itu modal asing akan menambah kemampuan Negara kita untuk mendatangkan modal, skill dan tehnologi dari luar negeri.16 Manfaat khusus akan terasa untuk bidang-bidang usaha atau proyek-proyek yang bersifat kapital intensif, seperti proyek-proyek pertambangan, industri besar-besaran dan lain-lain yang memerlukan modal besar dan biaya yang tidak sedikit, skill dan tehnologi yang lebih tinggi. Pembangunan sektor yang seperti itu akan lebih mudah dan akan lebih lancar dilaksanakan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama bila dilakukan dan dibiayai dengan pemasukan modal asing karena kenyataan telah membuktikan pada saat ini modal nasional, bahkan masih jauh dari mencukupi untuk dapat menjamin penyelesaian proyek-proyek besar itu merupakan landasan untuk perkembangan ekonomi dilapangan lainnya. Mengenai bidang usaha yang menarik bagi pemodal asing, pada umumnya peranan modal (investor) asing lebih tertarik dan mengutamakan penanaman modal dibidang usaha produksi bahan-bahan eksport lagi pula modal itu pada umumya merupakan modal yang berasal dari Negara-negara industri. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak dahulu sampai saat ini permintaan akan bahan-bahan mentah dari negara-negara industri semakin besar dan hampir tak berkurang. Kenyataan ini menyebabkan modal asing yang ditanam dinegara kita sejak zaman penjajahan dahulu ditujukan kepada bidang usaha yang menghasilkan bahan mentah. Dapatlah dikatakan bahwa daya penarik bagi investasi modal asing di Indonesia bertalian langsung secara langsung dengan permintaan dari Negara-negara industri (penanam modal) sendiri, hingga investasi modal asing dinegara kita dapat kiranya diarahkan pada produksi bahan-bahan agraris dan ektraktif mineral untuk pasaran luar negeri. Investasi kearah produksi yang ditujukan untuk konsumsi atau pasaran dalam negeri tidaklah menarik bagi penanam modal asing karena daya beli (purchasing power) bangsa kita serta produktivitas sektor-sektor diluar bahan-bahan eksport agraris dan ektraktif mineral tetap rendah. Sejak kemerdekaan negara Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu pemerintah telah membatasi atau melarang investasi modal asing, diberbagai sektor tertentu seperti bidang usaha public utilities dan yang memegang peranan penting bagi pertahanan negara Indonesia. Penanaman Modal Asing merupakan suatu tindakan dari orang asing atau badan hukum asing untuk melakukan investasi modal dengan motif untuk berbisnis dalam bentuk apapun kewilayah suatu negara lain. Di Indonesia tentang Penanaman Modal Asing ini diatur dalam perundang-undangan tentang penanaman modal asing.17 Dalam hubungan ini timbul bermacam hal. Pertama, Penanaman Modal Asing itu sebaiknya dihubungkan dengan bidang-bidang usaha yang dapat memberi dorongan untuk ekspor (eksport promotion) atau di lapangan yang dapat membawa penghematan devisa. Kedua, pendapat lain menghendaki agar penanaman modal asing haruslah dihubungkan dengan secara langsung usaha-usaha yang diharapkan akan dapat memperkuat neraca pembayaran. Kalau diteliti kedua pendapat tersebut sebenarnya tidak bertentangan secara absolut sebab kedua-duanya bermaksud untuk akhirnya 16 17
Sumantoro, Hukum Ekonomi ..... Op. Cit., hlm. 177. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis ..... Op. Cit., hlm. 67.
11
meningkatkan roduktivitas umum di dalam masyarakat. Ketiga, Penanaman Modal Asing dalam rangka pembangunan ekonomi yang harus seimbang didasarkan atas investasi yang dijalankan secara bersamaan dan serentak dilapangan yang ragam. Hendaklah diarahkan antar sector pertanian dan struktur ekonomi.18 Dengan melihat kesempatan pemasukan dana dari investor luar negeri inilah pemerintah Indonesia membuat berbagai peraturan atau kebijaksanaan untuk penanaman modal di Indonesia. Salah satu caranya dengan membuat Undang-undang yang mengatur tentang penanaman modal di Indonesia. Salah satu caranya dengan membuat Undang-undang yang mengatur tentang Penanaman modal. Untuk mencegah adanya dominasi itu pembuat Undang-undang menekankan kepada bidang-bidang usaha daripada modal asing dan malahan mengenai daerah berusaha penanaman modal asingpun di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah dan disamping itu pemerintah juga menetapkan macam perusahan modal asing. Pengaturan lain yang mendukung pelaksanan penanaman modal asing akan berkaitan erat dengan masalah pelayanan satu pintu yang dilakukan Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BPMPD),dimana disetiap daerah dikenal dengan istilah BPMPD. Adapun keberadaan lembaga ini merupakan salah satu bentuk aplikasi pemerintah dalam memberikan berbagi kemudahan dalam iklim investasi walaupun dalam perkembangannnya mengalami beberapa kali pengantian nama dengan diikuti dengan perubahan seperangkat aturan. Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah sejalan dengan era pasar bebas pemerintah nasional telah memberikan peluang untuk mengembangkan potensi daerah secara keseluruhan untuk kemajuan daerahnya secara mandiri. Masing-masing daearah berusaha untuk mengemas berbagai kemudahan dengan aturan yanga ada,begitu juga ketika daerah Riau menjadi wilayah investasi yang cukup solid untuk pengembangan sektor usaha maka dirasa perlu untuk memberikan kemudahan.Berbagai bentuk kemudahan berusaha diakomodir tidak saja oleh pemerintah pusat dalam hal kemudahan dlam sector pajak dan biaya eksport import. Sedangkan daerah mengusahakan untuk menciptakan suatu kawasan yang diperbolehkan untuk investasi.19 Dampak dari otonomi daerah adanya peluang bagi pihak asing untuk membuat momerandum understanding (MoU). Didaerah khusunya hal yang berkaitan dengan investasi yang cukup banyak mempunyai peranan penting adalah Kamar Dagang Industri karena kamar Dagang industry merupakan motor pengerak dalam memfasilitasi para pedagang dan juga pengusaha-pengusaha agar menyatukan visi,misi dan fikiran untuk memciptakan dan melihat prospek dari investasi untuk mengembangkan ekonomi kedaerahan khususnya di Provinsi Riau. Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Investasi Kegiatan investasi yang sejak terbentuknya Undang-undang Penanaman modal Asing dan undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri Tahun 1966-1967 menjadi latar belakang penting adalah pembangunan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan sehingga dalam mewujudkannya maka perlu adanya kepastian dalam memberikan perlindungan hukum. Untuk mewujudkan tujuan nasional, pemerintah harus memikirkan segala aspek kehidupan untuk menggerakkan perekonomi maka setiap Pemerintah Daerah yang dalam pemberian desentralisasi otonomi daerah perlu memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku sehingga menjamin tidak ada pihak yang 18 19
Ismail Sunny, Tinjauan dan Pembahasan ..... Op. Cit., hlm. 15. Soedono Dirjosisworo, Hukum Perusahaan ..... Op. Cit., hlm. 208.
12
dirugikan baik dalam pemenuhan kesejahteraan bagi rakyat dan iklim yang kondusif bagi investor dalam berkegiatan investasi. Keselarasan antara kedua perihal penting ini perlu diwujudkan dalam kenyataan oleh undang-undang yang berlaku di daerah. Konsep dari Prinsip Swadaya yang dikemukakan oleh Notonagoro yang dikutip oleh Ferry Aries Suranta dalam bukunya Penggunaan Lahan Hak Ulayat memberikan pandangan bahwa tidak dianalisa, merupakan tujuan yang kuat sehingga sidang MPRS Tahun 1966 menganggap perlu untuk berulang-ulang kali dan mengulangi hubungan politik pembangunan ekonomi yang bebas aktif. Berdasarkan pendapat ini investasi merupakan salah satu target dalam menunjang adanya pembangunan ekonomi terutama ekonomi daerah sehingga perlu adanya kesinambungan dalam mewujudkan dan mencapai tujuan kesejahteraan. Jadi negara Indonesia sendiri mengakui perlu adanya investasi. Investasi di zaman orde lama di atur dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Selanjutnya, diperbaharui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1960 kemudian dicabut tahun 1965 melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 1965. Undang-undang investasi diIndonesia mengalami kekosongan hukum (Recht Vacum) pada tahun 1965-1967 di masa orde baru. Kemerosotan ekonomi di akhir masa orde baru memaksa pemerintah Indonesia membuat Undang-undang investasi baru walaupun ada pihak yang setuju maupun berlawanan terhadap UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Beberapa pemikiran yang mendasar tidak terlaksana dengan baik akibat belum tertata dengan cermat pembagian pengelolaan investasi. Jadi kewenangan dalam menjalankan perintah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 14. Ridwan H.R mengemukakan bahwa Pendelegasian ini harus diterapkan dengan mengingat teori bahwa wewenang yang dimiliki oleh penyelenggara Negara sebagai konsekuensi di anutnya asas legalitas dalam Negara hukum, sehingga kewenangan diperlukan dalam melegitimasi tindakan penyelenggaraan Negara dan sumber kewenangan sendiri berasal dari peraturan perundang-undangan.20 Kondisi pelaksanaan hukum seperti ini memberikan pemahaman menjalankan undang-undang yang tidak sempurna karena tidak adanya keseimbangan yang terjadi antara sifat materil dan formilnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal Pasal 30 ayat (3) bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah. Undang-Undang Penanaman modal sebelumnya mengatur wewenang pemerintah menentukan perincian bidang-bidang bagi modal asing; menentukan syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh penanaman modal asing secara kasuistis; dan menetapkan bidang-bidang usaha tertentu yang tidak boleh ditanam oleh modal asing; dan menetapkan bidang-bidang usaha yang dapat diadakan kerjasama antara modal asing dan modal nasional. Kajian Otonomi dan Investasi diRiau Diakui ada banyak penyebab terjadinya Perda bermasalah terutama setelah diberlakukan otonomi daerah. Mulai aparat yang membidani sebuah Perda belum memahami asas-asas hukum dan teknik penyusunan peraturan. Rendahnya partisipasi masyarakat untuk peduli Perda juga berpengaruh. Parahnya, persoalan itu makin runyam bila anggota DPRD juga
20 Panji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), hlm. 10.
13
minim daya kritisnya dalam hal pembuatan Perda. Institusi pengusaha, seperti KADIN daerah juga perlu diajak bicara.21 Sikap sejumlah penguasa daerah yang tak mau tunduk pada aturan pusat dengan dalih demi kepentingan daerah sangat dilematis. Satu sisi daerah merasa lebih tahu potensi dan kondisi terkininya. Di sisi lain, pusat telah menetapkan garis-garis besar penyusunan Perda. Kalau menyimak dari aturan, tidak perlu ada Perda illegal. Sebenarnya solusinya sudah jelas, yaitu sudah diatur dalam standar harmonisasi pembuatan peraturan antara pusat dan daerah. Hanya, standar harmonisasi itu lebih tercetak rapi di atas kertas ketimbang diimplementasikan dalam kenyataan. 22 Berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 dalam Pasal 145 ayat 2 ditegaskan bahwa apabila Perda lebih tinggi dari peraturan pusat, maka pemerintah berhak membatalkan Perda tersebut. Hal lain yang menyebabkan munculnya Perda bermasalah dalam perspektif hukum karena ada keterlambatan pemerintah pusat untuk menyediakan payung hukum bagi daerah berupa peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang Otonomi, di samping terdapatnya peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral yang tumpang tindih dengan Undang-Undang Otonomi otonomi dan peraturan pelaksanaan yang telah diundangkan. Pengaturan Tentang Investasi Terdapat beberapa ketentuan tentang investasi sebagai berikut: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Investasi Pemerintah; Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/Pmk.010/2008 tentang Investasi Dana Pensiun; dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Masalah yang dihadapi dalam investasi di daerah Masalah yang dihadapi dalam investasi di daerah berupa tinggi rendahnya jaminan keamanan dan kepastian hukum telah terakomodasi dalam proses pembuatan Perda sehingga merangsang bagi munculnya iklim usaha dan investasi, dan indikator apa yang dapat digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya jaminan keamanan dan kepastian hukum pada suatu daerah, sehingga diharapkan para investor tertarik menanamkan modalnya ke daerah. Selanjutnya, untuk mengatasi persoalan pembangunan daerah pemekaran, maka perlu dirumuskan strategi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas SDM di daerah. Strategi untuk mengundang investor asing (PMA) ke daerah merupakan langkah strategi sekaligus cukup berat karena menuntut kesiapan semua instansi terkait baik di pusat maupun di daerah. Ketersediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air minum, jaringan telekomunikasi menjadi kendala utama 21
Tulus Tambunan, Iklim Investasi di Indonesia, Masalah, Tantangan dan Potensi, hlm. 5. Lihat http://www.kadinindonesia.or.id/id/doc/opini/Iklim_Investasi_Di_Indonesia_Masalah,Tantangan_Dan_Potensi.pdf, diakses tanggal 11 Mei 2015. 22 Nike K. Rumokoy, Problematika Peraturan Daerah Antara Tantangan dan Peluang Berinvestasi Di Era Otonomi Daerah, Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1, Januari-April 2010, hlm. 108.
14
dalam menarik investor asing ke daerah. Adanya kepastian hukum menyangkut pajak, ijin usaha, pemanfaatan lahan juga menjadi kendala paling besar dalam mendorong masuknya investasi asing di daerah. Kesenjangan investasi sebagai dampak kebijakan pemekaran wilayah harus direspon dengan strategi pembangunan ekonomi daerah yang berwawasan penguatan ekonomi rakyat melalui dukungan pemerintah dalam bentuk penyediaan fasilitas infrastruktur, kredit keuangan, fasilitas pemasaran, dan sebagainya, sehingga dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah. Reformasi pajak dan retribusi daerah di era Otonomi Daerah (Otda), dalam kerangka pengumpulan dana pembangunan di daerah, pada implementasinya banyak dampak yang ditimbulkan, sehubungan masing- masing daerah berlomba untuk menciptakan perda baru yang mengatur masalah pajak dan retribusi di daerahnya, dampak yang ditimbulkan dari banyaknya perda tentang pajak dan retribusi daerah, adalah terhambatnya investasi di daerah, karena para investor menganggap pajak-pajak dan retribusi-retribusi tersebut sangat membebani mereka.23 Pemerintah dalam menerbitkan izin dalam bidang investasi harus objektif dalam menerapkan persyaratan dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan mengedepankan prinsip perlindungan bagi masyarakat yang terkena dampak dari penerbitan izin tersebut. Pemerintah Daerah harus lebih aktif dalam mendengar aspirasi dari masyarakat yang terkena dampak dari penerbitan izin tersebut agar fungsi penerapan terhadap para pelaku usaha dapat mencapai kepatuhan terhadap perizinan serta dapat menerapkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya, meskipun itu sampai dengan pencabutan izin. Dalam rangka meningkatkan investasi di daerah, maka antara lain diupayakan mempermudah pemberian pelayanan izin investasi dengan memperbanyak pusat pelayanan pemberian izin investasi. Pendapat ini dikemukakan oleh Rai Widjayakarena hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan iklim investasi termasuk di daerah (perizinan dipermudah). Hambatan dan kendala dalam Investasi terutama PMA berkaitan dengan perkembangan kebijakan Nasional dan Kebijakan Internasional yang diterapkan dalam pasar bebas terutama wilayah Riau yang berada dikawasan yang dekat dengan Negaranegara Tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Persyaratan dan standar internasional mutu produk dan pelayanan dapat menjadi entri barrier untuk memasuki pasar global. Perdagangan bebas ternyata dimanfaatkan oleh produk luar negeri untuk memasuki pasar domestic, sementara kita belum mampu memanfaatkan secara maksimal peluang tersebut disebabkan keterbatasan kualitas SDM menghambat persaingan. Hadirnya new growing economic countries di Asia, seperti China dan Vietnam menurunkan daya saing dalam pasar regional dan internasional24. Kebijakan dan strategi Negara-negara tetangga yang lebih maju dalam berinvestasi pada bidang perkebunan dan kehutanan telah menghilangkan peluang untuk memperoleh keuntungan dari nilai tambah produk primer. Ketidak stabilan politik dan keamanan di Indonesia secara umum menurunkan minat investasi oleh pihak asing sebagaimana terlihat dari jumlah dan nilai investasi yang fluktuatif. Belum terbentuknya pemihakan perekonomian kepada masyarakat secara taat asas sebagaimana ditunjukan oleh monopoli teknologi dan pemasaran produk oleh perusahaan bersekala besar cendrung bersifat parasitic, sehingga kegiatan masyarakat, seperti perkebunan rakyat sulit mencapai kemajuan.
23
Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 51. 24 Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2012), hlm. 96.
15
Sementara faktor Penghambat Investasi sebagai berikut: Ketersediaan Infrastruktur (Jalita), Kebijakan Pemerintah, Sumber Daya Manusia, Ketersediaan Data Informasi, Jaminan Keamanan, Sistem Peradilan, Perlakuan Terhadap Investor yang Ada, dan Pendanaan. Daerah dianggap layak dan menarik untuk investasi tergantung pada infrastruktur, lokasi, pelayanan publik dan kepastian hukum. Pelabuhan, misalnya, merupakan syarat kebutuhan utama jika perusahaan membutuhkan akses pasar ekspor. Anjloknya peringkat investasi Riau umumnya dan Pekanbaru khususnya secara nasional boleh jadi infrastruktur penyebabnya. Solusinya hanya satu, segera benahi.Data BKPM menempatkan Riau di posisi rangking 14 untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan 12 untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDM). Data ini agak mengejutkan karena sebelumnya Riau jadi provinsi satu-satunya rangking teratas di luar Jawa. Bukan saja posisi Riau yang mengalami penurunan, Kota Pekanbaru juga mengalami hal yang sama. Kota Pekanbaru yang pada tahun 2009 menjadi puncak kota paling berpotensi dan diminati untuk investasi, mendadak turun dan tidak termasuk ke dalam lima besar dalam hasil penilaian tersebut.25 Berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional sampai triwulan III 2010, nilai investasi domestik dan asing ke provinsi ini terus merosot. Bahkan rangking investasi Riau juga menurun sehingga tertinggal dari sejumlah daerah lain di Indonesia. Dalam laporan tersebut tercatat Rp 34,723 miliar untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN). Sedangkan untuk penanaman modal asing (PMA) mencapai 193 juta dolar Amerika.Terlepas dari menurunnya posisi Riau sebagai tujuan investasi PMDN dan PMA, Investasi di Riau masih prospek dan menjanjikan misalnya potensi perkebunan yang diprediksikan bakal semakin bersinar, salah satunya kelapa sawit. Potensi ini mengundang investor untuk menanamkan investasinya di daerah berkembang ini. Investasi perkebunan ini dilirik investor bukan saja dalam negeri namun juga luar negeri. Sektor perkebunan masih mengandalkan sektor perkebunan.26 Tapi bukan berarti sektor lain juga tidak dilirik investor. Namun tentu potensi ini harus dikemas secara baik dan menarik sehingga bisa mengundang minat investor untuk menanamkan investasinya di Provinsi Riau. Menurunnya peringkat daerah investasi PMDN dan PMA tidak akan mempengaruhi minat investor menanamkan modalnya di Riau. Apalagi penurunan tersebut juga dampak dari faktor ekonomi pada tahun lalu akibat krisis yang terjadi. Persoalan itu tidak bagi Riau saja, tapi juga semua daerah, namun juga penurunan secara nasional. Kendala infrastruktur menghambat minat investor menanamkan investasinya di daerah ini. Bila daerah tidak ingin kehilangan investor yang akan menanamkan investasinya, infrastruktur ini harusnya menjadi prioritas. Infrastruktur yang paling harus diutamakan adalah sarana jalan, air dan listrik. Bila pembangunan pembangkit PLTU 2×100 tuntas tentu persoalan listrik bisa teratasi. Tinggal lagi jalan dan air. Jika sudah terlengkapi infrastrukturnya sangat memungkinkan Riau kembali meraih peringkat papan atas lagi sebagai daerah investasi. minimnya infrastruktur pendukung lain, seperti pelabuhan yang terbatas, akses jalan yang terbatas dan pasokan air yang minim dari perusahaan pengelolaan air bersih setempat. Lalu permasalahan sengketa lahan dengan warga hingga kini masih menghantui dunia investasi dan terjadi perbedaan persepsi pemangku kepentingan tentang pelaksanaan konsep bisnis pro lingkungan. Kuantitas, kualitas dan validitas data investasi yang ditawarkan kepada investor masih belum sepenuhnya sesuai dengan yang dibutuhkan dan belum optimalnya fungsi pelayanan perizinan di sejumlah kabupaten/kota di Riau. Masih ditemukannya aksi premanisme 25 26
Data Statistik Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau, 2009, hlm. 10. Lihat Buku Statistik Investasi, Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau, 2009.
16
yang menganggu dunia usaha di Riau serta belum terjaminnya kepastian hukum juga masih menjadi kendala pengembangan investasi di provinsi itu. Sedangkan di tingkat pusat belum terbentukya pelayanan satu atap antar departemen dan lembaga terkait yang membuat peringkat kemudahan berinvestasi di Indonesia pada peringkat 122 telah menyebabkan investor lebih memilih Vietnam di Asia Tenggara. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal yang dirilis per 31 Oktober 2009 disebutkan, realisasi nilai investasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Riau sebesar 139,2 juta dolar AS dari lima proyek dan berada di peringkat ke delapan nasional. Sedangkan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tercatat sebesar Rp3,38 triliun dari empat proyek dan berada pada peringkat ke tiga setelah DKI Jakarta dengan nilai Rp9,15 triliun dan Banten Rp4,31 triliun. Rekomendasi Upaya Pengembangan sebagai berikut: Positioning Pemerintah Pusat dan Daerah, Alternatif Insentif Investasi, Fokus pada pengembangan infrastruktur, Peningkatan kerjasama pemerintah dengan dunia usaha, Peningkatan Kualitas SDM, Pengembangan Pusat Pertumbuhan, dan Peran Aktif Lembaga Keuangan. Dalam proses investasi di Riau pelaksanaan Kontrak Karya mempunyai hambatan-hambatan yang bersifat yuridis dan non yuridis. Hambatan-hambatan yang bersifat yuridis adalah hambatan- hambatan yang berkaitan dengan isi dan tujuan yang terdapat dalam Kontrak Karya,seperti Wilayah Kontrak Karya yang terdapat endapan mineral yang menjadi tujuan usaha pengusahaan bahan galian (tambang) dan pembayaran royalti dan iuran usaha pertambangan, serta pengembangan masyarakat sekitar wilayah Kontrak Karya atau sering disebut sebagai masyarakat lingkar tambang. Hambatan non yuridis adalah hambatan-hambatan yang terdapat di luar isi Kontrak Karya, yang tidak diatur dalam Kontrak Karya. Dalam Kontrak Karya ini juga diatur tata cara penyelesaian sengketa, melalui pilihan hukum yaitu hukum Indonesia dan Pilihan Forum (Choice of Forum),yaitu lembaga Arbitrase dan konsialisi, akan tetapi Lembaga Peradilan Indonesia tidak dipilih hanya untuk menghindari keberpihakan kepada Pemerintah Indonesia27. Yang tidak memenuhi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat khususnya di Riau dengan mengakhiri izin penanaman modal, sebab pembatalan kegiatan bagi .penanaman modal di Indonesia pada umumnya dikarenakan jangka waktu izin penanaman modal telah berakhir, dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah, dan batal demi hukum Pada dasarnya izin bagi penanaman modal asing selama 30 tahun dan tidak akan berakhir jika ada perpanjangan yang dilakukan oleh badan hukum asing yang ada di Indonesia. Pembatalan secara sepihak merupakan pembatalan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, pembatalan ini dilakukan apabila penanam modal lalai terhadap kewajiban-kewajiban sesuai dengan kesepakatan dengan negara penerima terutama tunduk pada kebijakan hukum Negara penerima, sitem pembagian hasil dan keuntungan serta ketidak patuhan dalam membayar pajak. Persetujuan ini akan berakhir dan perusahaan akan dibebaskan dari semua kewajiban-kewajibannya menurut kontrak, setelah ada penegasan (konfirmasi) atas pengakhiran tersebut dari Menteri. Konfirmasi tersebut harus diterbitkan dalam jangka waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan sejak tanggal perusahaan menyerahkan pemberitahuan tersebut, dengan ketentuan bahwa data dan pemenuhan kewajiban-kewajiban oleh perusahaan telah dipenuhi dan dapat diterima oleh Menteri. Dalam hal Depertemen tidak memberikan pemberitahuan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut, maka kontrak dengan sendirinya berakhir dan perusahaan akan dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya.
27 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Perjanjian Internasional, (Jakarta: Rajawali, 2004), hlm. 35.
17
Penutup Dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka secara tidak langsung memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya. Pengaruh dari otonomi daerah terhadap investasi didaerah Riau adalah Perda yang tidak hirarki dengan aturan Pusat, kurangnya Koordinasi BKPMD dan KADIN serta berbagai kotrak karya yang bermasalah karena pembagian hasil untuk PAD yang tidak jelas. Oleh karena itu, harus jelas pembagian wewenang Daerah dalam hal investasi sehinnga bisa meminimalisir persoalan investasi. Kemudia, perlu adanya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan investasi agar sinergi untuk menciptakan investasi yang bernilai guna. Daftar Pustaka Aminudin Ilmar. 2004. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana. Bambang Soegondo. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo. Dhaniswara K Harjono. 2007. Penanaman Modal. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Erman Rajaguguk. 2006. Hukum Investasi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Huala Adolf. 2004. Perjanjian Penanaman Modal dalam Perjanjian Internasional. Jakarta: Rajawali. Imam Syahputra. 2000. Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia. Jakarta: Harvarindo. Isa Ismail, Kendala Investasi Di Era Otonomi Daerah, Jurnal Politica, Vol. 5, No. 1, Oktober 2014. Ismail Sunny. 1976. Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri. Jakarta: Pradya Paramita. Jimly Asshiddiqie. 1998. Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi. Jakarta: Balai Pustaka. Meiere Baldwind. 1957. Economic Development Teory, History, and Policy. New York: Mc Graw Hill. Munir Fuady. 2005. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra Aditya Bakti. Nike K. Rumokoy, Problematika Peraturan Daerah Antara Tantangan dan Peluang Berinvestasi Di Era Otonomi Daerah, Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1, Januari-April 2010. Panji Anoraga. 2006. Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing. Jakarta: Pustaka Jaya. Rasyiyah Rahmawati. 2004. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Malang: Bayu Media. Salim HS dan Budi Sutrisno. 2012. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Grafindo. Soedono Dirjosisworo. 1999. Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia. Bandung: Mandar Maju. Sri Hartoyo, Otonomi Daerah dan Peluang Pengembangan Investasi, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 13, No. 2, Desember 2012. Statistik Investasi, Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau, 2009. Sumantoro. 1996. Hukum Ekonomi. Jakarta: IUP Press.
18