Programme
POLICY PAPER, DESEMBER-II 2012
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
PROSPEK PERKEMBANGAN EKSPOR DAN INVESTASI TETAP DI INDONESIA 2013
Daftar Isi Team
○
○
○
○
○
○
○
i
Pendahuluan
○
○
○
○
○
○
○
1
Faktor-faktor Penentu Pertumbuhan Ekspor
○
○
○
○
○
○
○
1
Faktor-faktor Penentu Investasi
○
○
○
○
○
○
○
17
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Catatan Akhir: Prospek Bagus 2013 Daftar Pustaka
23 28
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Team
Penulis : Tulus Tambunan Steering Commitee 1. Hariyadi B. Sukamdani 2. Emirsyah Satar 3. Maxi Gunawan 4. Rahardjo Jamtomo Active Team 1. Didik J. Rachbini - Executive Director 2. Tulus Tambunan - Senior Economist and Project Team Leader 3. Rasidin Sitepu - Junior Economist 4. M. Hakim - Legal Councel 5. Yohanna M.L Gultom - Social Scientist 6. Aslim Nurhasan - PR Professional/Expert
Tulisan ini merupakan hasil pemikiran Tim Advokasi Program ACTIVE. Pertanyaan yang berkaitan dengan tulisan ini dapat diajukan kepada Tim ACTIVE Kadin Indonesia di
[email protected]
i
Berdasarkan pemikiran di atas tersebut, tujuan utama dari policy paper ini adalah
2. Faktor-faktor penentu Pertumbuhan Ekspor 2.1. Pembahasan Kerangka Teori Pertumbuhan dan perkembangan (diversifikasi pasar serta produk dan pendalaman) ekspor dipengaruhi secara bersamaan oleh banyak faktor, yang menurut sifatnya (endogen/bisa dikontrol versus eksogen/tidak bisa dikontrol) bisa dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan faktorfaktor di sisi penawaran (Gambar 1). Faktorfaktor di sisi permintaan bersifat eksogen bagi Indonesia, termasuk perubahan harga di pasar internasional untuk semua produk yang Indonesia ekspor. Karena menurut laporan tahunan dari WTO, berdasarkan sumbangannya terhadap nilai total ekspor dunia, Indonesia hingga saat ini tidak termasuk negara-negara eksportir penting untuk hampir semua barang dan jasa yang diperdagangkan secara internasional. Jadi dalam perdagangan dunia, Indonesia bukan penentu harga, melainkan price taker. Pemerintah Indonesia hanya bisa mempengaruhi harga dalam mata uang asing dari produk-produk ekspor Indonesia lewat perubahan kurs rupiah (devaluasi atau revaluasi).
1
Programme
Sejak krisis keuangan Asia 1997/98 hingga sekarang ini pengeluaran rumah tangga (konsumsi swasta) memegang peranan kunci sebagai motor penggerak pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Ini tidak salah, namun untuk pertumbuhan ekonomi nasional jangka panjang konsumsi swasta sebagai faktor penentu utama bisa menjadi sebuah masalah besar. Pembentukan modal tetap bruto (investasi jangka panjang) adalah motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi nasional jangka panjang. Stok barang dan jasa yang diperdagangkan (dijual di pasar) suatu saat akan habis dan berarti perlu produksi baru dan volumenya akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan riil per kapita. Untuk itu diperlukan investasi baik untuk menambah mesin atau mengganti yang ada dengan yang baru dan memperluas tempat produksi (pabrik, gudang, dan gedung perkantoran). Selain itu, dengan jumlah penduduk yang begitu banyak yang berarti suplai tenaga kerja yang akan terus bertambah setiap tahun, Indonesia sudah pasti akan sangat membutuhkan investasi tetap. Demikian juga halnya dengan ekspor, khususnya ekspor non-migas, terutama lagi ekspor manufaktur sangat krusial bagi perekonomian Indonesia, bukan saja untuk peningkatan kesempatan kerja secara keseluruhan (lewat keterkaitan produksi ke belakang dan ke depan antara industri ekspor dan sektor-sektor ekonomi lainnya), tetapi juga sebagai sumber utama pendapatan devisa (menggantikan peran pinjaman luar negeri), karena yang terakhir ini Indonesia sangat perlukan untuk pembayaran barang-barang impor kebutuhan dalam negeri yang Indonesia belum mampu membuatnya atau akan kurang efisien untuk diproduksi di dalam negeri.
meninjau kembali perkembangan investasi tetap dan ekspor Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, dan kondisi dari faktorfaktor pendukungnya (atau yang mempengaruhi perkembangan tersebut). Berdasarkan hasil tinjauan kembali tersebut, dan berdasarkan pandangan-pandangan/opini sejumlah narasumber yang dikutip dari media masa, policy paper ini menjabarkan prospek perkembangan investasi tetap dan ekspor Indonesia tahun 2013.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
1. Pendahuluan
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 1: Faktor-faktor Penentu Daya Saing dan Kinerja Ekspor di Tingkat Makro (Negara) Sisi Penawaran
Sisi Permintaan Ekspor
SDM: kualitas & upah Teknologi & kemampuan inovasi Pendanaan
Permintaan Luar Negeri (LN)
Jumlah penduduk LN Kebijakan/kesepakatan internasional/regional/ bilateral
Bahan baku/SDA
Pendapatan LN Kebijakan/peraturan pemerintah
Infrastruktur & logistik
Harga LN
Industri pendukung Kurs rupiah Enerji
Informasi
Kebijakan ekspor-impor
Kebijakan sektoral
Sumber: dikutip dari Gambar 1 di Tambunan dan Sitepu (2012).
Faktor-faktor yang bersifat endogen bagi Indonesia adalah dari sisi penawaran yang meliputi sumber daya manusia (SDM), ketersediaan/penguasaan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi di tingkat perusahaa, pendanaan yakni ketersediaan pinjaman dan skim-skim pendanaan ekspor dan impor dari sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, ketersediaan bahan baku bukan hanya dalam arti jumlah tetapi juga kualitas dan harga (walaupun untuk faktor satu ini sifat endogennya terbatas), infrastruktur dan logistik dalam kuantitas dan kualitas, pembangunan industri-industri pendukung yang membuat komponen, barang-barang modal dan perantara dan mengolah bahan baku (di dalam
2
model “berlian” mengenai konsep daya saing ekonomi dari M. Porter, industri pendukung termasuk diantara empat pilar utama daya saing), enerji dalam kuantitas, kualitas dan harga, ketersediaan informasi, dan kebijakan khusus ekspor. Yang membuat faktor-faktor di sisi penawaran ini semakin kompleks dari sudut pandang kebijakan pemerintah adalah bahwa masing-masing dari faktor-faktor tersebut mewakili sektor masing-masing, dan ini berarti berbagai kebijakan sektoral secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap tingkat daya saing dan kinerja ekspor. Misalnya dalam hal SDM: kebijakan dari Kementerian
Selain dibedakan menurut sifatnya seperti yang diuraikan di atas tersebut, faktor-faktor
Gambar2. Daya Saing Produk dan Faktor-Faktor Utama Penentunya di Tingkat Perusahaan Daya Saing Produk
Daya Saing Perusahaan
Faktor-faktor Penentu Daya Saing Perusahaan
Keahlian Pekerja Keahlian pengusaha
Ketersediaan modal Organisasi dan manajemen yang baik
Ketersediaan informasi Ketersediaan teknologi
Ketersediaan input lainnya
Sumber: dikutip dari Gambar 2 di Tambunan dan Sitepu (2012).
3
Programme
yang mempengaruhi tingkat daya saing dan kinerja ekspor bisa juga dibedakan menurut tingkatnya, yakni pada tingkat makro dan tingkat mikro. Di tingkat makro adalah yang telah dibahas tersebut di atas, yakni faktorfaktor di sisi permintaan dan sisi penawaran yang mempengaruhi daya saing dan kinerja ekspor nasional secara keseluruhan. Sedangkan di tingkat mikro adalah mengenai daya saing ekspor dari sebuah perusahaan secara individu. Tingkat daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari tingkat daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dalam gilirannya, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, dan lainnya (Gambar 2).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Pendidikan turut serta mempengaruhi ketersediaan pekerja-pekerja terampil siap pakai bagi perusahaan-perusahaan eksportir. Demikian juga, UU Perburuhan sangat mempengaruhi kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang berarti juga daya saing perusahaan-perusahaan eksportir, khususnya yang padat karya, seperti industri tekstil dan pakaian jadi dan industri alas kaki. Demikian juga kebijakan moneter, misalnya dalam penentuan suku bunga pinjaman atau nilai tukar rupiah, sangat berpengaruh terhadap kegiatan ekspor. Tingkat suku bunga yang terlalu tinggi membuat biaya produksi meningkat yang berarti mengurangi daya saing harga dari ekspor Indonesia, yang selanjutnya menurunkan permintaan dunia terhadap ekspor Indonesia. Nilai tukar rupiah yang terlalu tinggi juga membuat daya saing harga dari ekspor Indonesia menurun relatif dibandingkan harga dari produk yang sama buatan negara lain.
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Dua faktor pertama tersebut adalah aspek SDM, yang mana, keahlian pekerja tidak hanya dalam teknik produksi (antara lan disain produk dan proses produksi), tetapi juga teknik pemasaran dan dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Sedang keahlian pengusaha terutama adalah wawasan bisnis, dan yang dimaksud di sini adalah wawasan mengenai bisnisnya dan juga lingkungan eksternalnya (antara lain perkembangan saat ini dan ke depan dari pasar ekspor yang dilayani dan juga dari pasar-pasar ekspor lainnya yang belum dilayani, kondisi persaingan (termasuk calon-calon pesaing yang akan muncul), dan segala macam peraturan pemerintah atau dunia (seperti dalam konteks World Trade Organisation (WTO) dalam perdagangan internasional) mengenai perdagangan, produksi dan investasi di bidang bisnisnya. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan eksternalnya adalah kebijakan-kebijakan ekonomi umum seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan perdagangan luar negeri, kecenderungan dari perubahan selera masyarakat, perubahan sosial-budaya yang bisa mempengaruhi dalam jangka panjang permintaan atau persepsi pembeli (masyarakat) terhadap produknya, dan lainlain). Wawasan pengusaha yang luas juga sangat penting bagi inovasi, dan bukan lagi rahasia umum bahwa inovasi merupakan kunci utama daya saing. Bahkan banyak literatur menyatakan bahwa banyak faktor yang menentukan kemampuan perusahaan melakukan inovasi, diantaranya adalah kreativitas pengusaha, dan yang terakhir ini, pada gilirannya, ditentukan oleh wawasannya mengenai bisnis yang ditekuninnya (Shahid, 2007). 2.2. Bukti empiris 2.2.1 Kondisi dari Beberapa Faktor Pendukung Salah satu sumber yang menunjukkan kondisi dari sejumlah faktor penentu daya
4
saing Indonesia adalah laporan tahunan dari World Economic Forum. Dalam menganalisis daya saing global dari sebuah negara/ekonomi, WEF mengelompokkan sejumlah faktor ke dalam tiga kolompok (tiga sub-indeks). Pertama, persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi (stabilitas) ekonomi makro dan tingkat pendidikan serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak proses/pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang bisa meningkatkan efisiensi (atau produktivitas) ekonomi seperti pendidikan tinggi dan pelatihan (kualitas sumber daya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan teknologi di tingkat nasional maupun perusahaan secara individu, dan luas pasar domestik. Kelompok ketiga adalah faktorfaktor inovasi dan kecanggihan proses produksi di dalam perusahaan yang secara bersama menentukan tingkat inovasi suatu negara. Laporan WEF untuk periode 2012-2013 menunjukkan posisi Indonesia di peringkat 50 (dari 144 negara) yang berarti relatif memburuk dibandingkan periode sebelumnya (2011-2012) yakni di peringkat 46 (dari 142 negara), atau untuk periode 2010-2011 di peringkat 44 (dari 139 negara). Selanjutnya, peringkat Indonesia untuk masing-masing faktor penentu daya saing dapat diihat di Tabel 1. Selain itu, di dalam survei, para responnden yakni pimpinan perusahaan/ceo dari semua skala usaha dan di sektor-sektor besar (berdasarkan pangsa PDB) seperti industri, pertanian, pertambangan dan perdagangan ditanya mengenai kendala-kendala utama yang mereka hadapi dalam menjalankan usaha di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa masalah paling serius adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, disusul di
Peringkat (dari 144 negara) 50
Persyaratan dasar (40%) 1.Kelembagaan 2.Infrastruktur 3.Stabilitas ekonomi makro 4.Kesehatan dan pendidikan dasar Pendorong efisiensi (50%) 5.Pendidikan tinggi dan pelatihan 6.Efisiensi pasar barang dan jasa 7.Efisiensi pasar tenaga kerja 8.Kecanggihan pasar keuangan 9.Kesiapan teknologi 10.Luas pasar domestik Faktor-faktor inovasi dan kecanggihan (10%) 11.Kecanggihan bisnis 12.Inovasi
58 72 78 25 70 58 73 63 120 70 85 16 40 42 39
Sumber: WEF (2012)
peringkat kedua dan ketiga oleh, masingmasing, masalah korupsi dan kurangnya infrastruktur. Salah satu yang menyolot dari Tabel 1 di atas tersebut adalah buruknya posisi Indonesia dalam hal infrastruktur. Memang faktor ini hingga saat ini masih merupakan salah satu penghambat serius bagi peningkatan daya
saing global Indonesia, baik dalam perdagangan (khususnya ekspor) maupun dalam menarik investasi asing, khususnya penanaman modal asing (PMA). Berikut, beberapa gambar dan tabel di bawah ini bisa memberikan fakta yang leibih jelas mengenai kondisi infrastruktur di tanah air.
Gambar 3 Peringkat Dunia Negara-negara ASEAN untuk Infrastruktur Versi WEF, 2012
Sumber: dikutip dari Gambar 2 di Tambunan (2012) (data: WEF, 2012).
5
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
CI
Programme
Tabel 1: GCI versi WEF dari Indonesia, 2012-2013
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 4 Peringkat dan Skor Infrastruktur Indonesia Versi WEF, 2009-2012
Sumber: dikutip dari Gambar 3 di Tambunan (2012) (data: WEF, beberapa tahun terakhir).
Tabel 2. Peringkat Indonesia untuk Infrastruktur Menurut Komponen Versi WEF, 2012 No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kualitas infrastruktur secara keseluruhan Kualitas jalan Kualitas infrastruktur jalan kereta api Kualitas infrastruktur pelabuhan Kualitas infrastruktur transportasi udara Ketersediaan tempat duduk pesawat terbang kilometers/minggu, juta orang Kualitas listrik Pembelian/pendaftaran telefon bergerak (seluler)/100 penduduk Jalur telefon tetap/100 penduduk
Nilai
Peringkat
3,7 3,4 3,2 3,6 4,2 1.794,9 3,9 97,7 15,9
92 90 51 104 89 20 93 90 78
Sumber: dikutip dari Tabel 1 di Tambunan (2012) (data: WEF, beberapa tahun terakhir).
Demikian juga untuk logistik, kondisi Indonesia sangat buruk. Logistics Performance Index (LPI) tahun 2010 dari Bank Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke 75 dari 150 negara yang disurvei. LPI Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2009 yang berada pada posisi 43 (berarti sempat membaik dibandingkan peringkat pada tahun 2007 yakni ke 47). Biaya logistik di Indonesia memang sangat tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari peringkat dunia di mana Indonesia berada di
peringkat 92 dari total 150 negara. Semakin besar persentase biaya logistik terhadap PDB mencerminkan semakin rendah tingkat efisiensi logistik. Menurut harian Kompas November 2011 1,di Indonesia, biaya logistik sekitar 17 persen dari total biaya produksi, dibandingkan Malaysia hanya 8 persen, Filipina 7 persen, dan Singapura 6 persen. Dari data biaya logistik nasional tahun 2010, nilai bisnis logistik Indonesia diperkirakan Rp 1.402 triliun, atau sekitar 26 persen dari total PDB, dan Asosiasi
1 Harian Kompas, “Infrastruktur. Logistik dan Daya Saing”, Ekonomi, Rabu, 16 November 2011, halaman 17.
6
Programme
menurut Bank Dunia pada tahun 2007 persentasenya adalah 30 (Gambar 5). Satu contoh, biaya pergudangan (inventory carrying cost) sekitar Rp 421 triliun, biaya transportasi Rp 841 triliun, dan biaya administrasi Rp 140 triliun.
Gambar 5. Biaya Logistik (% PDB) menurut beberapa negara, 2007
Sumber: dikutip dari Rachbini (2012) (data: Bank Dunia, 2010)
Sedangkan menurut harian Kompas Desember 2012 2, biaya logistik di Indonensia mencapai 25 persen dari total nilai barang yang diperdagangkan. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan AS (10%), Jepang (10-11%), dan
Korea Selatan (16%). Buruknya logistik dan infrastruktur Indnesia dalam kaitannya dengan perdagangan luar negeri dapat juga dilihat di Tabel 3 yang dikutip dari harian Kompas tersebut yang menunjukkan kemampuan sebuah negara
Tabel 3: Indeks Perdagangan Beberapa Negara, 2012 Negara
Singapura Jepang AS Malaysia Taiwan Korea Selatan China Thailand Indonesia Vietnam Filipina India
Peringkat semua kategori 1 18 23 24 29 34 56 57 58 68 72 100
Peringkat subkategori Akses pasar Administrasi perbatasan 1 98 60 32 101 115 108 59 17 41 14 130
1 8 20 39 31 25 45 47 65 94 72 77
Infrastruktur transportasi dan komunikasi 1 14 15 20 19 11 48 46 77 56 91 84
Lingkungan perusahaan 5 26 42 30 22 57 45 76 77 69 107 24
Sumber: dikutip dari harian Kompas (lihat cacatan kaki no.2). 2 Harian Kompas, “Biaya Logistik 25 Persen”, Ekonomi, Rabu, 26 Desember 2012, halaman 17
7
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia memperkirakan bahwa pada tahun 2011 bisnis logistik sekitar Rp 9,9 triliun, atau tumbuh 10 persen dari tahun 2010. Sebenarnya, 26 persen itu menunjukkan ada sedikit perbaikan, karena
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
melakukan perdagangan luar negeri. Menurut kedua harian Kompas tersebut, penyebab tingginya biaya logistik di Indonesia tersebut antara lain adalah: (i) kondisi pelabuhanpelabuhan laut di dalam negeri yang masih buruk hingga saat ini; (ii) buruknya infrastruktur dan sistem transportasi. Antrean panjang truk yang sering terjadi di pelabuhan Merak menjadi salah satu contoh konkret, (iii) regulasi yang terlalu banyak mengatur retribusi serta pungutan-pungutan liar, dan tidak diragukan lagi, hal ini menjadi sangat serius sejak diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, and (iv) panjangnya mata rantai distribusi. Misalnya container
tujuan Eropa harus melalui Singapura atau Malaysia dulu. Dalam hal upah, akhir-akhir ini terlihat bahwa desakan para pekerja akan kenaikan upah semakin besar. Seperti di DKI Jakarta UMR Rp 1.2 juta/bulan telah berubah menjadi Rp. 2.2 juta/perbulan. Tentu ini menjadi beban tambahan yang besar bagi industri, dan yang pasti kenaikan upah ini akan menekan daya saing industri karena biaya yang semakin besar. Dengan memakai sebuah model ekonometri sederhana, Tabel 4 memperlihatkan dampak dari kenaikan upah terhadap kinerja industri. Dalam simulasi ini scenario yang ditetapkan adalah peningkatan upah sebesar 10 persen.
Tabel 4. Dampak Kenaikan Upah terhadap Kinerja Industri Manufaktur
Endogen
Satuan
Skenario Upah Naik 10 % Nilai
%∆
Output
Rp Triliun
2,208.33
2,198.87
-0.428
Export
Rp Triliun
589.75
579.88
-1.674
Jumlah Tenaga Kerja
Ribu Orang
4,501
4,483
-0.399
Permintaan Energy
Juta Liter
35,323.24
35,090.47
-0.659
Pada Tabel 4 terlihat bahwa kenaikan upah sebesar 10 persen berdampak pada penurunan output sebesar 0.42 perse. Penurunan output ini akan searang dengan menurunkan kinerja ekspor sebeasr 1.67%. Rendah kinerja industry yang ditunjukkan oleh turunnya ekspor dan output, maka industry akan meresponnya dengan mengurangi permintaan akan tenaga kerja sebesar 0.39 persen atau turun sebesar 232 orang. Penurunan ini dapat berupa kurangnya serapan tenaga kerja baru ataupun permberhentian tenaga kerja (PHK). Tentu saja hal ini akan mendorong peningkatan pengangguran secara nasional. Dalam hal energi, sektor industri masih mendominasi konsumsi energi, dengan
8
Baseline
pemakaian sebesar 329,7 juta SBM (setara barrel minyak) atau 49,86% dari total konsumsi energi nasional. Di tempat kedua, sektor transportasi menyumbang konsumsi sebesar 226,6 juta SBM (32.26%). Sementara rumah tangga dan bangunan komersial masing masing menggunakan 81,5 juta SBM (10,31%) dan 29,1 juta SBM (3,62%). Tren peningkatan permintaan energi dari industri dari tahun ke tahun merupakan suatu tantangan dalam penyediaan pasokan energi untuk sektor industri di Indonesia, dalam rangka untuk mendukung industri yang beroreantasi ekspor (Gambar 6). Saat ini terdapat sekitar 10 perusahaan yang menggunakan energi terbesar di Indonesia, adalah (1) PT Krakatau Steel (besi
Programme
PT Golden Island Texstile Ind (tekstil), dan (10) PT Sugih Brothers (tekstil). Konsumsi energi juga di sektor Industri terlihat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sehingga menjadi suatu signal bagi pemerintah untuk menyediakan pasokan yang cukup bagi industri di Indonesia.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
baja), (2) PT Panca Citra Wira Brothers (tekstil), (3) PT Semen Gresik (semen), (4) PT GT Petrochem Industri (kimia), (5) PT Mulya Keramik Indah Raya (keramik), (6) PT Petrokimia Gresik (kimia), (7) PT Semen Padang (semen), (8) PT Colorindo Aneka Chemicals (kimia), (9)
Gambar 6. Konsumsi Energi Final Berdasarkan Sektor, 2006-2010 (BOE)
Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2011
Berdasarkan Data Industri Besar Sedang (Survei IBS), terlihat bahwa input yang digunakan dalam porses produksi adalah tenaga kerja, bahan baku dan pelumas, bahan baku penolong, listrik dan non listrik, dan input lainnya. Komponen pengeluaran terbesar di Industri secara agregat adalah biaya untuk bahan baku penolong sebesar 644,93 trilun (76.67%),
kemudian diikuti oleh biaya tenaga kerja sekitar 77.95 triliun (9.27%), dan bahan bakar dan pelumas Rp 30,52 (3.63%). Lebih lengkap komponen biaya dan proporsi biaya ditampilkan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Sehingga menjadi isu penting tenaga kerja, bahan baku dan bahan bakar menjadi isu utama dalam proses industrialisasi
Tabel 5. Komponen Biaya Industri di Indonesia, (Rp Triliun) Input Produksi
2006
2007
2008
2009
Tenaga Kerja Bahan Bakar dan Pelumas Bahan Baku Penolong Listrik dan Non Listrik Lainnya
77.95 27.81 644.93 26.90 60.87
70.45 39.18 797.22 33.24 132.72
82.81 45.38 1,028.48 35.80 149.46
82.70 39.07 1,039.59 36.66 134.96
Total
838.46
1,072.81
1,341.93
1,332.97
Sumber: IBS, 2006-2009
9
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Tabel 6. Share per Jenis Biaya terhadap Total Biaya Industri di Indonesia
Komponen Biaya
2006
Tenaga Kerja Bahan Baku Bahan Baku Penolong Listrik dan Non Listrik Lainnya Total Share
2007
2008
2009
Rerata
9.27 3.63 76.67 3.20 7.24
6.57 3.65 74.31 3.10 12.37
6.17 3.38 76.64 2.67 11.14
6.20 2.93 77.99 2.75 10.12
7.05 3.40 76.40 2.93 10.22
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: IBS, 2006-2009
Hingga tahun 2009, porsi penggunaan bahan bakar dan pelumas bagi industri mencapai 39.07 Triliun. Dimana komponen energi terbesar disumbangkan oleh bahan bakar Solar sekitar Rp 71,387.15 miliar, sedangkan pengeluaran Industri untuk energi terbesar kedua adalah batubara, yaitu Rp. 17.040,86 miliar. Hal ini
menunjukkan bahwa input produksi yang berasal dari bahan bakar dan pelumas bagi industri cukup penting dalam rangka untuk meningkatkan daya saing industri di Indonesia. Nilai pengeluaran energi dan proporsi berdasarkan jenis energi yang digunakan Industri di Indonesia ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Biaya dan Proporsi Berdasarkan Jenis Energi yang digunakan Industri di Indonesia Jenis Energy Premium
Solar
Minyak Tanah Batu Bara Gas LPG
Lainya
2006
2007
2008
2009
Total
1,265.05
2,422.29
2,347.18
2,407.72
8,442.24
4.55
6.18
5.17
6.16
5.57
13,605.96
19,300.65
21,391.18
17,089.36
71,387.15
%
48.92
49.27
47.14
43.74
47.14
Rp Miliar
283.97
877.11
405.64
378.38
1,945.11
Rp Miliar % Rp Miliar
1.02
2.24
0.89
0.97
1.28
Rp Miliar
%
3,201.88
3,569.70
5,476.05
4,793.24
17,040.86
% Rp Miliar
11.51 2,001.01
9.11 3,275.39
12.07 2,267.32
12.27 3,148.57
11.25 10,692.30
% Rp Miliar % Rp Miliar %
Pelumas
Rp Miliar %
Total
Rp Miliar %
Sumber: IBS, 2006-2009
10
7.19
8.36
5.00
8.06
7.06
278.85
612.09
548.66
925.88
2,365.47
1.00
1.56
1.21
2.37
1.56
5,799.75
7,263.14
10,938.53
8,396.69
32,398.11
20.85
18.54
24.11
21.49
21.39
1,376.10
1,854.70
2,003.55
1,928.86
7,163.21
4.95
4.73
4.42
4.94
4.73
27,812.58
39,175.07
45,378.11
39,068.69
100.00
100.00
100.00
100.00
151,434.45 100.00
Tabel 8 Nilai Perdagangan Luar Negeri Indonesia, 2009-2012 (miliar dollar AS)
Uraian
Nilai 2009
Ekspor: -non-migas -migas Impor: -non-migas -migas Surplus/defisit: -non-migas -migas
2010 97,5 19,0 77,8 19,0 19,7 0.0
2011
129,7 28,0 108,2 27,4 21,5 0,6
2012*
162,0 41,6 136,6 40,7 25,4 0,9
140,8 34,0 137,2 38,8 3,5 -4,8
Keterangan: * hingga November. Sumber: Litbang Kompas (diolah dari data BPS), dikutip dari harian Kompas, Sabtu, 5/1/2013
(Ekonomi, halaman 17).
Tabel 9 Ekspor-Impor Indonesia Menurut Bulan Selama 2012 (miliar dollar AS)
Bulan
Nilai Ekspor
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November
15,57 15,70 17,25 16,17 16,83 15,44 16,09 14,05 15,90 15,64 16,44
Impor 14,55 14,87 16,33 16,94 17,04 16,73 16,35 13,81 15,35 17,21 16,92
NPLN 1,02 (0,9;0,1)* 0,83 (1,0; -0,1) 0,93 (1,4; -0,5) -0,76 (-0,2; -0,6) -0,21 (-0,5;0,3) -1,29 (-0,8;-0,5) -0,26 (-0,4;0,1) 0,23 (0,7;-0,5) 0,55 -1,57 -0,48
Keterangan: * (non-migas; migas) Sumber: Litbang Kompas (diolah dari data BPS), dikutip dari harian Kompas, Rabu, 3/10/2012 (Ekonomi,halaman 17), dan Kamis, 3/1/2013 (Ekonomi, halaman 17).
11
Programme
Data resmi menunjukkan bahwa pada tahun 2012 (hingga November) neraca perdagangan luar negeri (NPLN) Indonesia mengalami defisit sebesar 4,8 miliar dollar AS (Tabel 8). Dilihat per bulannya, secara kumulatif,
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
nilai ekspor Januari-November 2012 mencapai 174,76 miliar dollar AS atau turun sekitar 6,25 persen (Tabel 9). Menurut sektor, ekspor hasil industri mengalami penurunan 4,64 persen, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya merosot hampir 9,30 persen. Sedangkan ekspor hasil pertanian meningkat sebesar 10,05 persen.
2.2.2 Perkembangan Ekspor
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Menurut negara tujuan, Cina, Jepang dan Amerika Serikat (AS) masih merupakan tiga negara tujuan utama ekspor Indonesia. Ekspor nonmigas Indonesia pada Oktober 2012 ke tiga pasar tersebut masing-masing mencapai US$1.821,8 juta, US$1.418,4 juta dan US$1.154,0 juta, dengan peranan ketiganya mencapai 34,66 persen. Penurunan ekspor nonmigas Oktober 2012 jika dibandingkan dengan September 2012 terjadi ke sebagian besar negara tujuan utama, yaitu India sebesar US$199,3 juta; Singapura sebesar US$85,1 juta; Malaysia
sebesar US$54,1 juta; Korea Selatan sebesar US$41,4 juta; Jepang sebesar US$38,7 juta; AS sebesar US$25,6 juta; Jerman sebesar US$4,2 juta; dan Inggris sebesar US$1,2 juta Sebaliknya, ekspor ke Cina mengalami peningkatan sebesar US$144,5 juta, diikuti Australia sebesar US$97,5 juta; Taiwan sebesar US$47,8 juta; Thailand sebesar US$7,5 juta; dan Perancis sebesar US$5,0 juta. Sementara, ekspor ke Uni Eropa (27 negara) pada Oktober 2012 mencapai US$1.482,3 juta. Secara keseluruhan, total ekspor ketiga belas negara tujuan utama di atas turun 1,58 persen (Tabel 10).
Tabel 10. Ekspor Nonmigas Indonesia Menurut Negara Tujuan Januari–Oktober 2012
Sumber: BPS, 2012
12
log(EXPit ) = λ0i + λ1i log(NERt ) + λ2i log(PDBW9it ) + εit dimana EXP it
= nilai ekspor di provinsi i pada tahun ke t
NERit
= nilai tukar rupiah terhadap dollar pada tahun ke t
PDBW9it = PDB di 9 negara dunia pada tahun ke t (yaitu AS, Uni Eropa, Singapura, Malaysia, Perancis, Jerman, Inggris, Cina dan Jepang). Dengan memakai data panel ekspor Indonesia menurut provinsi, hasil estimasi model ekspor daerah diperlihatkan di Lampiran. Untuk variabel nilai tukar (NER) diperlakukan sama untuk setiap provinsi, sementara PDB dari 9 negara di dunia diperlakukan berbeda untuk setiap provinsi. Dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi adalah sebesar R 2 =0.99, yang dapat diintepretasikan bahwa 99% variasi di dalam ekspor daerah dijelaskan oleh nilai tukar (NER) dan PDB di 9 negara tujuan ekspor. Respon perubahan ekspor daerah terhadap perubahan pendapatan atau PDB sembilan negara terebut adalah elastis di setiap daerah, dalam arti bahwa kenaikan PDB dari sembilan negara tersebut sebesar 1%, cateris paribus, akan
Prospek ekspor Indonesia ke depan, menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan (dikutip dari harian Kompas, Kamis, 3/1/2013), pada tahun 2013 diperkirakan NPLN Indonesia diperkirakan masih akan defisit. Proyeksi ini didasarkan pada kondisi ekonomi global yang juga diperkirakan masih akan buruk. Lebih rincinya, pada tahun 2013 diperkirakan permintaan dunia akan ekspor dari negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, masih akan lemah dan harga dari sejumlah komoditas primer di pasar global juga masih akan melemah akibat merosotnya permintaan dunia. Dan yang terakhir ini sangat berarti bagi Indonesia mengingat bahwa sekitar 65,2 persen dari total ekspor Indonesia adalah komoditas-komoditas pertambangan, termasuk dinataranya: (i) batu bara yang harganya di pasar internasional merosot tajam dari 130 dollar AS per ton ke 60-70 dollar AS per ton, (ii) CPO yang harganya (ratarata di Rotterdam, Belanda) juga menurun dari sekitar 1.200 dollar AS per ton pada awal tahun 2012 (atau 1.126,1 dollar AS (Rp 10,8 juta) pada tahun 2011) menjad 999,7 dollar AS (atau Rp 9,6 juta) per ton belakangan ini, dan (iii) karet yang semula harganya 4 dollar AS per kg. turun menjadi 2,6 dollar AS per kg. (Kompas, Kamis, 3/1/2013; 9/ 1/2013) (Gambar 7). Menurut Kompas 3, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), merosotnya permintaan dunia terhadap CPO akan terus berlangsung selama kuartal pertama 2013. Walaupun volume ekspor CPO Indonesia tahun
3 Harian Kompas, “Biodiesel Solusi Sawit”, Ekonomi, Rabu, 9 Januari 2013, halaman 18.
13
Programme
meningkatkan permintaan akan ekspor lebih dari 1%, dan secara statistik berbeda nyata dengan nol. Berdeda halnya dengan respon perubahan ekspor terhadap perubahan nilai tukar rupiah adalah inelastis. Artinya perubahan nilai tukar sebesar 1%, akan meningkatkan ekspor kurang dari 1%.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Secara sederhana, besarnya pengaruh dari faktor-faktor penentu ekspor terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia, terutama nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dari negara tujuan ekspor dan pendapatan (yang diwakili oleh produk domestik bruto/PDB) di negara tujuan ekspor, dapat dianalisis secara empiris dengan model permintaan akan ekspor yang difungsikan dengan nilai tukar dan PDB disembilan (9) negara di dunia, yang secara matematik dituliskan sebagai berikut:
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 7 Pergerakan Harga Beberapa Komoditas Strategis Indonesia, 2012 (dollar AS per ton)
Sumber: Litbang Kompas (diolah dari data Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, dan International Rubber Consortium), dikutip dari harian Kompas, Rabu, 9/01/2013 (Ekonomi, halaman 18).
tahun 2012 mencapai 18,1 juta ton senilai 21,6 miliar dollar AS (Rp 208,5 triliun), naik dari ekspor tahun 2011 senilai 19 miliar dollar AS (Rp 171 triliun).
November 2012, maka jelas bahwa nilai total ekspor Indonesia terus menurun. Pada bulan
Jika diurut nilai ekspor Indonesia per bulan dan ditarik trennya sejak tahun 2011 hingga
bulan November sebanyak 16,44 miliar dollar AS (Gambar 8).
Agustus 2011 nilai total ekspor Indonesia tercatat sebanyak 18,65 miliar dollar AS dan pada
Gambar 8 Perkembangan Nilai Total Ekspor Indonesia, Agustus 2011-November 2012 (miliar dollar AS)
Sumber: Litbang Kompas (diolah dari data BPS), dikutip dari harian Kompas, Selasa, 2/10/2012 (Ekonomi, halaman 17).
14
Gambar 9: Perkembangan Nilai Ekspor Pertanian Indonesia, 2007-2012* (juta dollar AS)
Keterangan: * hingga Oktober Sumber: Litbang Kompas (diolah dari data Kementerian Perdagangan dan BPS), dikutip dari harian Kompas, Sabtu, 29/12/2012 (Ekonomi, halaman 18).
Namun demikian, walaupun nilai mengalami penurunan pada tahun 2012 dibandingkan 2011, ekspor industri pengolahan nonmigas selama tahun 2012 menjadi andalan dan diyakini akan tetap berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2013. Sepeti yang dapat dilihat di Gambar 10, produk-produk andalan untuk ekspor adalah pengolahan kelapa/kelapa sawit, tekstil, besi baja, mesin-mesin, otomotif, pengolahan
karet, elektronika, bubuk kertas dan kertas, pengolahan tembaga, timah dan lainnya. Salah satu produk lainnya itu yang pertumbuhannya sangat baik adalah mebel yang menurut Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (ASMINDO), selama Januari-September 2012 pertumbuhan ekspornya sekitar 6,9 persen, atau nilainya mencapai 1,4 miliar dollar AS dan hingga akhir tahun 2012 nilai ekspornya diproyeksi mencapai 1,8 miliar dollar AS atau
15
Programme
Serikat, sejumlah negara Eropa, dan India akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Oleh sebab itu, neraca perdagangan pertanian Indonesia pada tahun 2013 diproyeksi tidak akan jauh berbeda dengan pencapaian tahun 2012, dengan proyeksi surplus 16,7 miliar dollar AS hingga paling besar 22,8 miliar dollar AS. Menurut data dari Kementerian Pertanian (dikutip dari Kompas yang sama), sampai dengan September 2012, surplus neraca perdagangan produk pertanian mencapai 16,93 miliar dollar AS. Yang mengalami defisit adalah subsektor tanaman pangan 4,44 miliar dollar AS, subsektor hortikultura 1,16 miliar dollar AS, dan subsektor peternakan 1,67 miliar dollar AS.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Sektor yang menunjukkan kinerja baik dalam ekspor adalah pertanian. Tidak kelihatan adanya dampak dari krisis ekonomi zone euro terhadap ekspor pertanian Indonesia. Memang dalam nilai menurun karena harga dari sejumlah komoditas pertanian di pasar ekspor menurun namun dalam volume terus bertambah. Pada tahun 2007 nilainya tercatat 3.657,78 juta dollar AS dan pada tahun 2012 (hingga Oktober) tercatat 4.664, 30 juta dollar AS (Gambar 9). Namun menurut Menteri Pertanian Suswono yang dikutip dari harian Kompas, Sabtu, 29 Desember 2012 (Ekonomi, halaman 18), pada tahun 2013 negara-negara tujuan ekspor pertanian Indonesia seperti China, Amerika
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 10 Ekspor Industri Pengolahan Nonmigas Indonesia Menurut Kelompok Barang, September 2012 (%).
Sumber: Litbang Kompas (diolah dari data Kementerian Perindustrian), dikutip dari harian Kompas, Selasa, 18/12/2012 (Ekonomi, halaman 20).
pertumbuhannya mencapai 8-10 persen. Ekspor mebel Indonesia sempat memburuk pada tahun 2011 yang nilainya tercatat 1,76 miliar dollar AS atau turun sekitar 10 persen dari nilai ekspor tahun 20104. Melemahnya NPLN membuat perkembangan nilai transaksi berjalan neraca
pembayaran Indonesia (NPI), yang terdiri dari transaksi barang, dan jasa (ekspor dan impor), dan pendapatan, dan transfer berjalan, juga melemah. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 11, hingga triwulan (Tw) III tahun 2011 transaksi berjalan Indonesia masih positif; namun setelah itu cenderung terus defisit.
Gambar 11: Perkembangan Transaksi Berjalan NPI 2010-2012 (juta dollar AS)
Sumber: Litbang Kompas (diolah dari data BI), dikutip dari harian Kompas, Sabtu, 29/12/2012 (Ekonomi, halaman 17).
4 Harian Kompas, “Ekspor Mebel Tumbuh di Tengah Krisis”, Ekonomi, Rabu, 9 Januari 2013, halaman 18. Menurut ASMINDO yang dikutip dari harian Kompas ini, karena Eropa sedang krisis ekonomi dan ekonomi AS sedang lesuh, maka pengusaha mebel Indonesia pada tahun 2013 akan lebih fokus pada pasar ASEAN. Selama ini perhatian kurang pada pasar ASEAN yang membuat pangsa pasar regional ini di dalam total ekspor mebel Indonesia kurang dari 10 persen atau hanya sekitar 90 juta dollar AS selama periode 2012. ASMINDO menargetkan ekspor mebel ke ASEAN bisa tembus 150 juta dollar AS.
16
Secara umum, lingkungan bisnis atau usaha dapat didefinisikan sebagai kondisi-kondisi yang berlaku yang bisa mendorong atau, sebaliknya, menghambat perkembangan dan pertumbuhan kegiatan-kegiatan usaha di semua sektor, atau, faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatankegiatan dari sebuah perusahaan (http// www.quantum3.co.za/ CI%20Glossary). Berdasarkan literatur (a.l. Mathew, 2009), Secara umum, sesuai sifatnya dilihat dari sisi perusahaan atau pelaku usaha, lingkungan usaha bisa dibedakan antara lingkungan internal, atau yang terjadi di dalam sebuah perusahaan yang sepenuhnya bisa dikontrol oleh perusahaan, dan lingkungan eksternal, yang terjadi di luar perusahaan yang sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh perusahaan. Elemen-elemen dari lingkungan internal adalah manusia, yakni pekerja dan pimpinan, material atau bahan baku, modal baik untuk pembiayaan kegiatan usaha sehari-hari (modal kerja) maupun untuk perluasan usaha (modal investasi), mesin dan peralatan produksi (yang mengandung teknologi tertentu) dan proses atau sistem manajemen yang diterapkan. Walaupun faktor-faktor tersebut bisa dikontrol sepenuhnya oleh perusahaan, dalam kenyataan sehari-hari, faktor-faktor tersebut tidak tertutup dari pengaruh dari lingungan eksternal. Misalnya, ketentuan upah minimum bisa berdampak negatif terhadap kondisi keuangan perusahaan, yang berarti menciptakan lingkungan internal yang tidak kondusif lewat faktor tenaga kerja. Atau contoh lainnya, kelangkahan bahan baku seperti yang pernah dialami oleh produsenprodusen meubel dari rotan akibat kebijakan pemerintah waktu itu yang memperbolehkan ekspor rotan mentah menciptakan lingkungan internal yang tidak kondusif lewat faktor material.
Lingkungan eksternal mikro terdiri dari pemasok bahan baku, alat-alat produksi, dan lainnya; pembeli (masyarakat dan usaha; dalam dan luar negeri), perantara (dalam pemasaran, distribusi dan pendanaan); dan masyarakat/ publik (termasuk media). Sedangkan linkungan eksternal makro terdiri dari dua kelompok besar, yakni ekonomi dan non-ekonomi (Gambar 12). Lingkungan eksternal makro dari aspek ekonomi memiliki tiga sub-elemen kunci yakni kondisi perekonomian masyarakat (diantaranya adalah tingkat pendapatan rata-rata masyarakat, kesenjangan dalam distribusi pendapatan, jumlah orang miskin, rasio antara kelompok masyarakat menengah-bawah dan kelompok masyarakat atas, dll.), kebijakan-kebijakan ekonomi (diantaranya yang paling penting adalah kebijakan fiskal-moneter, kebijakan perdagangan luar negeri, kebijakan investasi, kebijakan harga, kebijakan industri dan sektorsektor lainnya) dan sistem ekonomi (terbuka vs. tertutup; liberal vs. proteksi), dan (2) nonekonomi seperti politik, sosial-budaya, alam, teknologi, demografi, dan internasional.
17
Programme
3.1. Pembahasan Kerangka Teori
Sedangkan lingkungan usaha eksternal terdiri dari enam elemen besar, yakni pemerintah, faktor-faktor legal, faktor-faktor geo-fisik, faktor-faktor politik, faktor-faktor sosial-budaya, dan faktor-faktor kependudukan atau demografi. Ke enam elemen ini sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh perusahaan secara individu; bahkan faktor-faktor geo-fisik sama sekali diluar kontrol manusia. Selanjutnya, seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 2, ada dua macam lingkungan eksternal, yakni lingkungan mikro, yakni yang berhubungan langsung dengan kegiatan sebuah perusahaan atau berpengaruh langsung terhadap kegiatan sebuah usaha, yang disebut juga lingkungan operasi, dan, lingkungan makro yang mempengaruhi tetapi tidak berkaitan langsung dengan kegiatan sebuah perusahaan.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
3. Faktor-faktor Penentu Investasi
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 12 Lingkungan Usaha Eksternal
Mikro
External
Pemasok Pembeli Perantara pemasaran
Makro
Ekonomi 1. Ekonomi Masyarakat 2. Kebijakan Ekonomi 3. Sistem Ekonomi 4. Infrastruktur & Logistik 5. Perbankan 6. Perusahaan 7. Asuransi 8. Pasar Uang & Modal
Publik Non-Ekonomi 1. Politik 2. Sosbud 3. Teknologi 4. Alam 5. Internasional Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan usaha yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan di suatu ekonomi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor secara bersamaan, dan prosesnya bisa sangat kompleks karena sebagian besar dari faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi. Misalnya, sistem ekonomi yang dianut oleh sebuah negara sangat ditentukan oleh sistem politik yang dianut oleh negara tersebut, bahkan tidak lepas dari pengaruh dari sosial-budaya masyarakatnya. Dalam menganalisis motivasi dibalik keinginan Indonesia selama ini untuk tetap bergabung di dalam kelompok ASEAN dan APEC, harus juga dilihat sistem politik yang dianut Indonesia selama ini dan juga sosial-budaya masyarakat Indonesia yang memang sudah sejak era prakolonialisasi sangat terbuka dengan bangsabangsa lain di dunia. Demikian juga dalam menganalisis kenapa di Indonesia selama ini dalam membuka suatu usaha baru memerlukan lebih banyak waktu dan biaya dan prosedurnya lebih ruwet dibandingkan dengan di, misalnya
18
Singapura. Sistem pemerintahan khususnya aspek birojrasinya dan sosial budaya masyarakat Indonesia (serius vs. tidak serius, komitmen vs. tidak komitmen, disiplin vs. tidak disiplin, etos kerja rendah vs. tinggi, dan lainnya) harus merupakan dua variabel penting (bahkan variabel kunci) di dalam analisisnya. Faktor-faktor eksternal makro tersebut sangat menentukan daya saing sebuah wilayah/ daerah dalam menarik investasi dari luar. Menurut Piter (2002) indikator penentu daya saing daerah adalah perekonomian daerah, keterbukaan, sistem keuangan, infrastruktur dan sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, kelembagaan, governance dan kebijakan pemerintah, serta manajemen dan ekonomi makro. Perekonomian daerah merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indikator keterbukaan merupakan ukuran seberapa jauh perekonomian suatu
Gambar 13. Indikator Utama Penentu Daya Saing Daerah Nilai tambah, investasi, Tanungan, konsumsi A khir Kinerja Sektoral, Biaya Hidup
Internasionalisasi, Perdagangan \Internasional, Investasi Asing, Perdagangan Antar Daerah
Nilai tambah, inv estasi , Tanungan, konsumsi A khir Kinerja Sektoral, Biaya Hidup
Perekonomian Daerah
Keterbukaan
Sistem Keuangan
Infrastruktur fisik, informasi dan Komunikasi, Sumber Daya Al am
Kegiatan Penelitian SDM di Bidang Teknologi
Infra Struktur & Sumber Daya Alam
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
DAYA SAING D AERAH
Kelembagaan
Karakteristik Penduduk, Ketenaga Kerjaan, Pendidikan, Kualitas Hidup, Perilaku dan Nilsi Sosial
Govermance & Kebik an Pemerintah Pendidikan, Biaya Tenaga Kerja, Kinerja Perusahaan, Ek sistensi Manajemen, Budaya Perusahaan
Sumber Daya Manusia
Manajemen & Ekonomi Mikro
Larakteristik Penduduk, Ketenaga Kerjaan, Pendidikan, Kualitas Hidup, Perilaku dan Nilsi Sosial
Produktivitas, Biaya Tenaga Kerja, Kinerja Perusahaan, Ekonomi Manajemen, Budaya Perusahaan
Sumber: Abdullah, (2002).
Indikator sumber daya manusia dalam kal ini ditujukan untuk mengukur ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia. Kelembagaan merupakan indikator yang mengukur seberapa jauh iklim sosial, politik, hukum, dan aspek keamanan maupun mempengaruhi secara positif aktiviatas perekonomian daerah. Indikator Governance dan kebijakan pemerintah dimaksudkan sebagai ukuran dari
kualitas administrasi pemerintahan daerah, khususnya dalam rangka menyediakan infrastruktur fisik dan peraturan-peraturan daerah. Dalam indikator manajemen dan ekonomi makro pengukuran yang dilakukan dikaitkan dengan pertanyaan seberapa jauh perusahaan di daerah dikelola dengan cara yang inovatif, menguntungkan dan bertanggung jawab.
19
Programme
tersebut. Infrastruktur dalam hal ini merupakan indikator seberapa besar sumber daya seperti modal fisik, geografi, dan sumber daya alam dapat mendukung aktivitas perekonomian daerah yang bernilai tambah. Ilmu pengetahuan dan teknologi mengukur kemampuan daerah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta menerapnya dalam aktivitas ekonomi yang meningkatkan nilai tambah (Gambar 13).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
daerah berhubungan dengan daerah lain yang tercermin dari perdagangan daerah tersebut dengan daerah lain dalam cakupan nasional dan internasional. Indikator sistem keuangan merefleksikan kemampuan sistem finansial perbankan dan non-perbankan di daerah untuk menfasilitasi aktivitas perekonomian yang memberikan nilai tambah. Sistem keuangan suatu daerah akan mempengaruhi alokasi faktor produksi yang terjadi di perekonomian daerah
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
3.2. Bukti empiris
penanaman modal, (2) promosi investasi daerah, (3) komitmen pemda, (4) infrastruktur, (5) akses lahan usaha, (6) tenaga kerja, (7) keamanan usaha, (8) kinerja ekonomi daerah, dan (9) peranan dunia usaha dalam perekonomian daerah.
3.2.1. Indeks Iklim Investasi Di tingkat provinsi, iklim investasi menurut hasil survei KPPOD dan BKPM diperlihatkan di Gambar 14. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, iklim investasi atau iklim usaha dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terkait satu sama lain, dengan derajat pengaruh berbeda antar faktor. Dalam survei KPPOD dan BKPM tersebut, ditetapkan sembilan indikator pemeringkatan iklim usaha di provinsi, yakni: (1) kelembagaan pelayanan
Salah satu temuan pokok dari survei tersebut adalah dimana terdapat 4 (empat) provinsi luar pulau Jawa mendominasi 5 peringkat teratas, dan hanya satu provinsi di pulau Jawa yang selama ini menjadi pusat aktivitas ekonomi yang berhasil. provinsi
Gambar 14: Peringkat Iklim Investasi di Wilayah Indonesia.
Indeks Iklim Investasi Sulawesi Utara Jawa Tengah Kalimantan Selatan Gorontalo Sulawesi Selatan Jawa Timur Kalimantan Timur Kepulauan Riau Kalimantan Barat Bali ACEH DKI. Jakarta Kalimantan Tengah Jambi Jawa Barat Bangka Belitung Sulawesi Tengah Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Banten Lampung Maluku D.I. Yogyakarta Maluku Utara Papua NTB NTT Sulawesi Barat Sumatera Utara Bengkulu Sulawesi Tenggara Papua Barat 0
10
Sumber: KPPOD dan BKPM, 2008.
20
20
30
40
50
60
70
80
Sumber: Sitepu K, (2012)
21
Programme
kelembagaan pelayanan investasi menjamin hadirnya iklim usaha yang baik. Provinsi Papua Barat menempati peringkat terendah indeks iklim investasi daerah, hal ini dicerminkan karena rendahnya fasilitas infrastruktur, akses lahan yang kurang mendukung, dan keamanan berusaha yang belum terjamin. Rendahnya Kurang iklim investasi secara simultan membuat kinerja ekonomi daerah kurang maksimal, dan sulit merangsang keterlibatan swasta dalam perekonomian daerah yang kurang.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Sulawesi Utara, terdiri dari 13 Kabupaten/Kota dengan dan memiliki potensi pariwisata, perikanan dan perkebunan, menempati peringkat tertinggi untuk nilai total indeks iklim investasi. provinsi Sulawesi Utara dinilai baik di seluruh indicator penilaian, utamanya pada indikator akses lahan (82,51), komitmen Pemda dalam pengembangan dunia usaha (72,85) dan kelembagaan IPMP (72,59). Dengan akses lahan yang mudah, didukung komitmen Pemda dalam mengembangkan dunia usaha dan
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Perhitungan indeks daya saing daerah dilakukan oleh Sitepu (2012) dengan menggunakan 50 indikator yang dikelompokkan menajdi empat indicator utama pembentuk daya saing daerah yaitu (1) perekonomian daerah dengan bobot (2) Fasilitas Wilayah/Infrastruktur dengan bobot (3) Iklim investasi dengan bobot dan, (4) Sumberdaya manusia. Indeks daya saing daerah tertinggi terdapat diprovinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 62.04. Kontribusi indeks daya saing daerah Provinsi DKI Jakarta terbesar disumbangkan oleh Sumberdaya Manusia dan fasilitas infrastruktur. Lima provinsi terbesar yang memiliki daya saing yang baik relative terhadap provinsi lainnya adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau. Hanya delapan provinsi yang memiliki daya saing di atas Nasional, yaitu (1) Provinsi DKI Jakarta, (2) DI Yogyakarta, (3) Bali, (4) Kalimantan Timur, (5) Kepulauan Riau, (6) Aceh, (7) Jawa Barat, dan (8) Provinsi
Kalimantan Selatan. Provinsi lainnya masih dibawah indeks daya saing nasional dengan nilai indeks sebesar 43.84. Secara lengkap indeks daya saing daerah ditampilkan pada Gambar 14. 3.2.2. Perkembangan PMA dan PMDN Berdasarkan informasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi tetap tahun 2012 mencapai Rp 313,2 triliun atau 110,5 persen dari target. Menurut BKPM, ini menjadi modal positif untuk menuju target tahun 2013 senilai Rp 390 triliun atau meningkat 24,6% dari realisasi tahun 2012. Lebih rincinya, realisasi investasi tetap selama periode Januari-Desember 2012 terdiri dari PMDN sebanyak Rp 92,2 triliun dan PMA Rp 221,0 triliun atau 24,6 miliar dollar AS2.Masing-masing naik dibandingkan realisasi tahun 2012. Berikut, Tabel 11 menjabarkan rincian dari realisasi PMA dan PMDN menurut lima besar sektor usaha dan wilayah.
Tabel 11 Realisasi PMA dan PMDN menurut Lima Besar Sektor Usaha dan Wilayah, 2012 Sektor
Wilayah
PMDN (Rp triliun): 1) industri makanan
PMDN (Rp triliun): Rp11,2 1) Jawa Timur
Rp 21,5
2) industri mineral nonlogam
Rp 10,7 2) Jawa Barat
Rp 11,4
3) pertambangan
Rp 10,5 3) DKI Jakarta
Rp 8,5
4) tanaman pangan dan perkebunan
Rp 9,6 4) Kalimantan Timur
Rp 5,9
5) transportasi, gudang dan telekomunikasi
Rp 8,6 5) Jawa Tengah
Rp 5,8
PMA (miliar dollar AS)
PMA (miliar dollar AS)
1) pertambangan 2) transportasi, gudang dan telekomunikasi
4,3 1) Jawa Barat 2,8 2) DKI Jakarta
4,2 4,1
3) industri kimia dasar, barang kimia & farmasi 4) industri logam dasar, barang logam, mesin & elektronik
2,8 3) Banten 2,5 4) Jawa Timur
2,7 2,3
5) industri alat angkutan & transportasi lainnya
1,8 5) Kalimantan Timur
2,0
Sumber: BKPM, dikutip dari Harian Kompas, lihat catatan kaki no 5. 5Harian Kompas, “Rekor Nilai Investasi”, Ekonomi, Rabu, 23 Januari 2013, halaman 19.
22
Periode 2007
2008
2009
2010
2011
2012
PMA ( mil. Dollar AS) -Jawa -Luar Jawa
8,50
13,57
9,37
11,50
12,32
13,66
1,84
1,30
1,44
4,72
7,15
10,90
18,67
7,82
25,77
35,14
37,18
52,69
16,21
8,13
16,44
25,48
38,82
39,49
PMDN (Rp tril.) -Jawa -Luar Jawa
Sumber: BKPM, dikutip dari Harian Kompas, lihat catatan kaki no 5. Jika dilihat dari tahun 2007, pertumbuhan investasi tetap setiap tahun, khususnya PMA, di wilayah di luar pulau Jawa cenderung semakin besar. Misalnya, pada tahun 2007 nilai total PMA di pulau Jawa tercatat sekitar 8,50 miliar dollar AS dibandingkan hanya sekitar 1,84 miliar dollar AS di wilayah di luar Jawa. Pada tahun 2012, PMA di luar pulau Jawa tercatat sebanyak 10,90 miliar dollar AS, yang berarti suatu peningkatan sebesar 492,4% (Tabel 12). Realisasi PMA berdasarkan asal negara meliputi Singapura 4,9 miliar dollar AS, Jepang 2,5 miliar dollar AS, Korea Selatan 1,9 miliar dollar AS, AS 1,2 miliar dollar AS, dan Mauritius sekitar 1,1 miliar dollar.
4. Catatan Akhir: Prospek Bagus 2013? Berbicara soal prospek ke depan, prospek perkembangan investasi tetap khususnya PMA di Indonesia jauh lebih baik dibandingkan prospek ekspor Indonesia untuk periode 2013. Alasannya sederhana, ekspor Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global jangka pendek, dan hingga saat ini
perekonomian global masih belum pulih sepenuhnya dari krisis ekonomi global 2008/09 dan masih dibayangi oleh krisis hutang zona euro yang masih berlangsung hingga saat ini. Apalagi melihat kenyataan bahwa diversifikasi pasar ekspor Indonesia masih sangat rendah, yakni masih sangat tergantung pada tiga negara yakni China, AS dan Jepang, yang sangat rapuh terhadap ketidakstabilan ekonomi di Eropa. Sedangkan perkembangan positif dari arus masuk PMA dan pertumbuhan PMDN dalam beberapa tahun terakhir menjadi alasan untuk optimis mengenai pertumbuhan investasi tetap di Indonesia pada tahun 2013. Rasa optimis ini didukung oleh sejumlah perkembangan positif menjelang akhir tahun 2012, diantaranya kebijakan penyuntikan dana ke pasar domestik Amerika Serikat (AS) oleh bank sentralnya (The Federal Reserve), akan adanya dana segar yang akan dikucurkan di zona Euro, dan rencana pemerintah Jepang untuk mengapresiasi mata uangnya, yen. Kebijakan terakhir ini berarti produk-produk buatan Jepang dalam mata uang asing misalnya US dollar akam mahal, dan akan mendorong perusahaan-perusahaan di Jepang memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
23
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Tabel 12. Investasi Tetap di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa, 2007-2012
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Namun demikian, pertumbuhan investasi tetap di Indonesia juga akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang memberikan kepastian bagi setiap investor dan yang mempengaruhi biaya produksi di Indonesia, yakni antara lain korupsi tinggi, inefisiensi birokrasi, ruwetnya proses pembebasan lahan, tidak adanya kepastiaan hukum, dan masalah perburuhan, khususnya mengenai penentuan atau kewajiban upah minimum dan peraturan mengenai outsourcing, dan buruknya infrastruktur serta mahalnya biaya logistik. Misalnya, seperti yang pernah dikabarkan oleh Harian Kompas (Selasa, 7 Agustus 2012, halaman 20), pengusaha China akan segera menginvestasikan uangnya sebanyak Rp 8,6 triliun di sektor perminyakan dan mineral (berupa kilang minyak dan pabrik peleburan bauksit) di Kepulauan Riau. Investasi ini antara lain mengantisipasi kebijakan pemerintah Indonesia mengenai pelarangan ekspor mineral mentah (dalam bentuk batuan yang mengandung pasir silika dan bijih bauksit) pada tahun 2014 nanti. Juga (masih menurut Harian Kompas yang sama itu), Badan Pengusahaan (BP) Batam mencatat delapan (8) perusahaan mendaftar berinvestasi di Batam, yang berasal dari Singapura (dibidang perkapalan, tekstil dan pengolahan logam), Malaysia, Korea Selatan, dan Ukraina (dibidang ekspor dan impor) dengan jumlah investasi tercatat 8,4 juta dollar AS. Namun baik Kepulauan Riau secara umum maupun Batam secara khusus masih mengalami banyak persoalan yang bisa mengancam kelangsungan arus masuk PMA terutama dalam hal pembebasan lahan dan kepastian
hukum. Misalnya (masih menurut Harian Kompas yang sama tersebut), ada investasi senilai 2 miliar dollar AS akhirnya batal dilaksanakan di Batam karena tidak dapat lahan. Sedangkan dalam hal kepastian hukum adalah terutama pada proses perizinan6. Masalah-masalah di atas tersebut yang membuat Indonesia selama ini masih belum merupakan negara paling disukai untuk berinvestasi. Menurut Harian Kompas, Sabtu 12 November 2011, penilaian 1.000 CEO dari wilayah Asia Tenggara dan lainnya di dunia dalam survei “Global Capital Confidence Barometer Ernst & Young 2011”, negara yang paling menarik untuk berinvestasi di Asia Pasifik baik dari respons dunia maupun respons di Asia Tenggara adalah China, disusul kemudian oleh India, Australia dan Malaysia, dan Singapura (Tabel 13). Berdasarkan penilaian dari responden dunia, Indonesia berada di peringkat ke enam, sedangkan berdasarkan penilaian dari responden Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 5. Namun demikian, hasil survei lainnya yakni survei daya saing ASEAN untuk periode 20112012 yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew School of Public Policy dan National University of Singapore, yang dikutip oleh Harian Kompas, Selasa 20 November 2012, menyebutkan bahwa Indonesia dengan segala kekurangannya yang ada masih tetap dinilai paling menarik untuk investasi dibandingkan dengan 9 negara anggota ASEAN lainnya. Dua faktor utama yang membuat masih bagusnya posisi Indonesia tersebut adalah pasar domestik yang paling besar dan SDM serta SDA yang paling banyak di kawasan ASEAN.
6 Hasil sebuah survei dari International Financial Cooperation (IFC) mengungkapkan bahwa banyak daerah di Indonesia mempersulit perizinan. Bahkan, peringkat kemudahan berinvestasi di daerah khusus seperti di Batam lebih buruk daripada misalnya Yogyakarta (Harian Kompas, “China Investasi Rp 8,6 Triliun”, Ekonomi, Selasa, 7 Agustus 2012, halaman 20).
24
Respons Dunia
Peringkat
Respons Asia Tenggara
1
China
1
China
2
India
2
India
3
Australia
3
Malaysia
4
Singapura
4
Singapura
5
Malaysia
5
Indonesia
6
Indonesia
6
Vietnam
7
Vietnam
7
Australia
8
Jepang
8
Thailand
9
Korea Selatan
9
Filipina
10
Filipina
10
Taiwan
Sumber: Earnst and Young 2011 (dikutip dari Harian Kompas, “Indonesia Kalah Menarik”, Ekonomi, Sabtu, 12 November 2011, halaman 17).
Lampiran Hasil Estimasi Model Ekspor Daerah Indonesia Dependent Variable: LOG(EXP?) Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 12/15/12 Time: 12:14 Sample: 2000 2010 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 34 Total panel (unbalanced) observations: 365 Convergence achieved after 11 iterations Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-13.28152
0.665101
-19.96919
0.0000
LOG(NER)
0.111750
0.061079
1.829606
0.0682
_00--LOG(GDPW9)
2.547941
0.050694
50.26165
0.0000
_11--LOG(GDPW9)
2.174736
0.053424
40.70694
0.0000
25
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Peringkat
Programme
Tabel 13: Negara Yang Paling Menarik Untuk Berinvestasi di Asia Pasifik, 2011
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE) 26
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
_12--LOG(GDPW9)
2.260560
0.050702
44.58516
0.0000
_13--LOG(GDPW9)
2.068705
0.052190
39.63784
0.0000
_14--LOG(GDPW9)
2.287465
0.051432
44.47583
0.0000
_15--LOG(GDPW9)
2.073169
0.050919
40.71544
0.0000
_16--LOG(GDPW9)
2.190997
0.050694
43.21964
0.0000
_17--LOG(GDPW9)
1.954180
0.050672
38.56501
0.0000
_18--LOG(GDPW9)
2.146526
0.050827
42.23204
0.0000
_19--LOG(GDPW9)
2.051719
0.051078
40.16832
0.0000
_21--LOG(GDPW9)
2.232082
0.050500
44.19954
0.0000
_31--LOG(GDPW9)
2.412946
0.050715
47.57850
0.0000
_32--LOG(GDPW9)
2.369740
0.050935
46.52494
0.0000
_33--LOG(GDPW9)
2.327481
0.050826
45.79322
0.0000
_34--LOG(GDPW9)
2.086364
0.050690
41.15909
0.0000
_35--LOG(GDPW9)
2.370163
0.050715
46.73479
0.0000
_36--LOG(GDPW9)
2.266034
0.051152
44.30004
0.0000
_51--LOG(GDPW9)
2.138047
0.050865
42.03336
0.0000
_52--LOG(GDPW9)
2.054045
0.051048
40.23789
0.0000
_53--LOG(GDPW9)
1.996383
0.050784
39.31141
0.0000
_61--LOG(GDPW9)
2.100193
0.050760
41.37531
0.0000
_62--LOG(GDPW9)
2.051424
0.050909
40.29574
0.0000
_63--LOG(GDPW9)
2.150972
0.050784
42.35490
0.0000
_64--LOG(GDPW9)
2.355653
0.050719
46.44479
0.0000
_71--LOG(GDPW9)
2.054748
0.051226
40.11158
0.0000
_72--LOG(GDPW9)
1.959326
0.050691
38.65257
0.0000
_73--LOG(GDPW9)
2.144651
0.051213
41.87724
0.0000
_74--LOG(GDPW9)
1.952931
0.051838
37.67346
0.0000
_75--LOG(GDPW9)
1.749717
0.052307
33.45077
0.0000
_76--LOG(GDPW9)
1.813941
0.050881
35.65066
0.0000
_81--LOG(GDPW9)
1.814329
0.050705
35.78173
0.0000
Std. Error
t-Statistic
Prob.
_82--LOG(GDPW9)
1.867554
0.050728
36.81502
0.0000
_91--LOG(GDPW9)
1.991468
0.050728
39.25755
0.0000
_92--LOG(GDPW9)
2.157470
0.051498
41.89455
0.0000
Programme
Coefficient
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Variable
W eighted Statistics R-squared
0.999859
Mean dependent var
20.66050
Adjusted R-squared
0.999844
S.D. dependent var
17.29227
S.E. of regression
0.215656
Sum squared resid
15.30102
F-statistic
66857.79
Durbin-W atson stat
0.760650
Prob(F-statistic)
0.000000
Unweighted Statistics R-squared
0.987575
Mean dependent var
9.275817
Adjusted R-squared
0.986253
S.D. dependent var
1.839354
S.E. of regression
0.215657
Sum squared resid
15.30111
Durbin-Watson stat
0.365516
27
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Daftar Pustaka Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2008. Pemeringkatan Iklim Investasi 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2008. KPPOD dan BKPM, Jakarta. Indonesia Mathew, Mercy (ed.) (2009), Case Studies on Business Environment – Vol. 1, IBS Case Development Center, Andhra Pradesh, India. Sitepu, Rasidin (2012). Peranan Daya Saing Dalam Meningkatkan Investasi Daereh. Policy Paper No.11, Nopember 2012, Tim ACTIVE, Kadin Indonesia dan European Union, Jakarta: Kadin Indonesia. Tambunan, Tulus T.H. (2011), “DAYA SAING GLOBAL INDONESIA: WORLD ECONOMIC FORUM 20112011”, Center for Industry, SME and Business Competition Studies, USAKTI, Jakarta Tambunan, Tulus T.H. (2011), “Perkembangan UMKM di Indonesia: Apakah Mereka Digerakkan oleh Jiwa Kewirausahaan?”, Center for Industry, SME and Business Competition Studies, USAKTI, Jakarta Tambunan, Tulus T.H. (2012), “Infrastruktur dan Logistik di Indonesia: Kondisi, Kendala dan Solusi Alternatif”, Policy Paper No.8, September 2012, Tim ACTIVE, Kadin Indonesia dan European Union, Jakarta: Kadin Indonesia. Tambunan, Tulus T.H. dan Rasidin Sitepu (2012), “Ekspor dan Daya Saing”, Policy Paper No.2, Maret 2012, Tim ACTIVE, Kadin Indonesia dan European Union, Jakarta: Kadin Indonesia. WB&IFC (2010), Doing Business in Indonesia 2010, Washington, D.C.: The World Bank and The International Financial Corporation. WB&IFC (2012), Doing Business in Indonesia 2012, Washington, D.C.: The World Bank and WEF (2012), The Global Competitiveness Report 2012-2013, Geneva: World Economic Forum.
28