WP/8/2015
WORKING PAPER
KAJIAN STRATEGI PENGUATAN KLASTER UNTUK MENDUKUNG PASOKAN KOMODITAS VOLATILE FOODS
Yunita Resmi Sari Noviarsano Manullang Nurchair Farliani Melia Oktarina Fauzan Rahman Akhmad Jaeroni Chaikal Nuryakin Hamdan Bintara
2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
KAJIAN STRATEGI PENGUATAN KLASTER UNTUK MENDUKUNG PASOKAN KOMODITAS VOLATILE FOODS Yunita Resmi Sari, Noviarsano Manullang, Nurchair Farliani, Melia Oktarina, Fauzan Rahman, Akhmad Jaeroni, Chaikal Nuryakin, Hamdan Bintara
Abstrak Penyumbang utama inflasi berasal dari komoditas volatile foods yang pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Pasokan komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi oleh gangguan produksi, distribusi, atau kebijakan pemerintah. Gangguan pada produksi menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi jumlah permintaan. Program pengembangan klaster menjadi bentuk keikutsertaan Bank Indonesia untuk menjaga sisi penawaran untuk menjaga pergerakan harga kelompok bahan makanan. Kehadiran klaster diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dari komoditas dengan mengelola klaster menggunakan pendekatan rantai nilai (value chain). Kajian dilakukan untuk mengetahui dan meningkatkan peran klaster dalam mendukung pasokan dan mengendalikan harga komoditas volatile foods. Kajian dilakukan di klaster dua komoditas di enam daerah, yaitu tiga daerah untuk komoditi cabai (Kabupaten Jember-Jawa Timur, Kabupaten Minahasa-Sulawesi Utara, dan Kabupaten Tanah Datar-Sumatera Barat) dan tiga daerah untuk komoditi bawang merah (Kabupaten Majalengka-Jawa Barat, Kota PalangkarayaKalimantan Tengah, dan Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara). Kajian ini menggunakan beberapa alat analisis, yaitu wawancara mendalam dengan stakeholders klaster, analytical hierarchy process (AHP), dan analisis SWOT. Secara nasional terjadi surplus produksi cabai terhadap konsumsi. Namun, sulit memanfaatkan kondisi surplus di tingkat nasional untuk stabilitas harga di daerah pusat konsumsi karena cabai bersifat perishable, sedangkan preferensi konsumsi terhadap cabai dalam bentuk segar. Gejolak harga cabai lebih ditentukan oleh jauhnya lokasi produsen dan konsumen dan faktor musiman permintaan. Pembentukan harga rata-rata nasional cabai relatif didorong oleh fundamental current production dan consumption yang sifatnya mingguan bahkan harian. Untuk komoditas bawang merah, secara nasional mengalami surplus, tetapi masih terjadi lonjakan harga pada waktu tertentu. Hal itu disebabkan sentra produksi bawang merah relatif tidak merata dan hanya berpusat di Jawa dan NTB. Selain itu, permintaan bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi jika dibandingkan dengan cabai. Key word
: volatile foods, harga pangan
JEL Classification : Q00, Q11
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bank Indonesia memiliki tugas untuk memenuhi target atau sasaran inflasi, sebagaimana tertuang pada Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004. Dalam melaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah. Berdasarkan data perbandingan target dan aktual inflasi tahun 2010 s.d. 2015 (Bank Indonesia, 2015), secara umum terdapat deviasi antara target inflasi yang telah ditetapkan dan inflasi yang terjadi. Tabel 1 menunjukkan data inflasi yang ditargetkan beserta inflasi aktual dari 2010 s.d. 2015.
Tabel 1. Perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi Tahun
Target Inflasi
2010 2011 2012 2013 2014* 2015*
5+1% 5+1% 4.5+1% 4.5+1% 4.5+1% 4+1%
Inflasi Aktual (%, yoy) 6,96 3,79 4,30 8,38 8,36 3,35
Sumber: Bank Indonesia, 2015 Keterangan: *) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012
Adanya kesenjangan antara target dan inflasi aktual memicu Bank Indonesia untuk terus menyempurnakan instrumen pengendalian inflasi. Formulasi kebijakan moneter yang tepat dibutuhkan untuk mengendalikan inflasi ke level yang diinginkan. Secara historis, penyumbang utama inflasi berasal dari komoditas volatile foods yang pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Tekanan pergerakan harga pada kelompok volatile foods lebih dipicu oleh supply shocks, sedangkan permintaan komoditas cenderung stabil karena merupakan kebutuhan pokok (Prastowo, Nugroho dkk., 2008).
2
Sisi penawaran pada komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi, baik oleh gangguan produksi, distribusi, maupun kebijakan pemerintah. Gangguan pada produksi menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi permintaan. Produksi komoditas sangat tergantung pada cuaca. Komoditas bahan pangan juga mempunyai sifat perishable (mudah rusak). Efisiensi kegiatan distribusi dipengaruhi oleh panjang mata rantai distribusi dan margin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi serta kondisi sektor transportasi. Gangguan terhadap kegiatan distribusi dapat memicu kelangkaan komoditas. Sementara itu, kebijakan pemerintah dalam hal penetapan harga (administered prices) untuk komoditas, seperti BBM, tarif listrik, dan tarif angkutan dapat menggerakkan harga komoditas, khususnya komoditas perishable serta dapat mempengaruhi ekspektasi inflasi masyarakat. Program pengembangan
klaster menjadi bentuk keikutsertaan
Bank
Indonesia dalam menjaga sisi penawaran. Pendekatan klaster merupakan suatu kegiatan pengelompokan industri inti yang saling terkait, baik industri pendukung, infrastruktur, jasa penunjang, insfrastruktur informasi dan teknologi, sumber daya alam, maupun lembaga terkait (PRES, 2013). Kehadiran klaster diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dari komoditas dengan mengelola klaster dengan pendekatan value chain (rantai nilai). Hasil penguatan peran klaster diharapkan mampu mendukung peningkatan pasokan komoditas di daerah. Peningkatan pasokan diharapkan menjaga kestabilan harga komoditas. Dalam jangka panjang, diharapkan sumbangan inflasi dari komoditas volatile foods dapat lebih terkendali. Program klaster diawali oleh Bank Indonesia sejak tahun 2007. Hingga akhir 2015 Bank Indonesia telah mengembangkan lebih dari 100 klaster di hampir semua Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia. Komoditas yang didukung meliputi komoditas di sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan industri pengolahan. Pengembangan klaster sejak tahun 2014 difokuskan pada klaster komoditas yang mendukung ketahanan pangan yang berkontribusi dalam inflasi atau produk unggulan yang memiliki kontribusi dalam perekonomian. Berdasarkan data komoditas kelompok volatile foods, lima komoditas utama penyumbang terbesar inflasi dalam lima tahun terakhir adalah beras, bawang merah, cabai merah, daging sapi, dan bawang putih (DKEM BI, 2014).
3
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah Dalam rangka meningkatkan peran klaster untuk mendukung pasokan dan pengendalian harga komoditas volatile foods, dilakukan kajian mengenai strategi guna menguatkan peran klaster dalam mendukung ketersediaan pasokan komoditas dengan share tertinggi terhadap inflasi.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan kajian ini adalah (1) menganalisis kondisi dan peran klaster dalam mendukung pasokan komoditas volatile foods sebagai upaya pengendalian harga; dan (2) merekomendasi strategi penguatan klaster dalam rangka mendukung pasokan komoditas volatile foods sebagai upaya pengendalian harga.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflasi Terjadinya peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam perekonomian secara terus menerus merupakan definisi inflasi berdasarkan Blanchard (2004). Dengan mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian dalam Gordon (1997), salah satu pendekatan determinan inflasi di Indonesia dapat dijelaskan melalui konsep inflasi penawaran (cost-push inflation) atau lazim disebut supply-shock inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya pengadaan barang dan jasa. Adanya guncangan pada penawaran (cost push shock) akan bertransmisi melalui rantai produksi dan akan mempengaruhi harga jual barang (Bloch, 2004). BPS memublikasikan pengelompokan inflasi yang disebut disagregasi inflasi, yang terdiri atas inflasi inti, inflasi administered price, dan inflasi volatile food. Inflasi inti (core inflation) adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum (faktor-faktor fundamental seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran agregat) yang akan berdampak pada perubahan harga-harga secara umum dan lebih bersifat permanen dan persistent. Inflasi administered (administered price) adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya secara umum diatur pemerintah. Adapun inflasi volatile foods yaitu inflasi yang dominan dipengaruhi oleh kejutan (shocks ) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik, atau perkembangan harga komoditas pangan internasional (BPS).
2.2 Permasalahan Komoditas Cabai dan Bawang Merah Cabai dan bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Cabai memiliki sifat mudah rusak (perishable) dan musiman (seasonal) yang bergantung pada iklim yang membuat cabai tidak dapat ditanam dan dipanen sepanjang tahun. Sifat musiman inilah yang menyebabkan komoditas ini berlimpah pada musim panen sehingga harga jualnya merosot, sedangkan harga cabai melonjak ketika pasokannya terbatas.
5
Bawang merah memiliki permasalahan pada sumber daya, teknologi pemilihan lahan serta alih fungsi lahan. Beberapa lahan di sentra produksi di Jawa, khususnya Cirebon, telah mengalami degradasi hara. Kurang optimalnya sarana produksi yang mencakup varietas bibit, pupuk, serta penyiraman turut menambah kurang optimalnya produksi bawang merah. Permasalahan di off-farm yang sering terjadi adalah adanya hambatan transportasi dan distribusi, seperti kerusakan jalan dan gangguan penyeberangan antarpulau. Produk di sentra produksi tidak dapat segera dikirim ke daerah pemasaran sehingga terjadi penumpukan hasil yang mengakibatkan turunnya harga di tingkat produsen serta meningkatnya kerugian akibat sebagian komoditas mengalami kerusakan. Selain itu, para petani merugi karena harga yang diterima petani dikendalikan oleh para pedagang yang memiliki kekuatan besar. Berdasarkan karakteristiknya, bawang merah dan cabai tergolong dalam komoditas volatile foods yang sering menjadi kontributor utama penyebab inflasi volatile foods.
2.3
Klaster Klaster adalah beberapa perusahaan secara bersamaan bersaing dan
berkolaborasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Porter, 1990 dalam Boja, 2011). Keberadaan klaster akan membawa dampak dan hasil positif, seperti mengurangi biaya, waktu, dan transportasi. Juga terdapat konsentrasi tenaga kerja yang telah terspesialisasi dan kemudahan pertukaran informasi (Marshall 1890 dan Krugman 1991 dalam Boja 2011). Porter (1998) dalam Kuah (2002) menyebutkan bahwa klaster secara tidak langsung
mampu
mempengaruhi
kompetisi
dan
menciptakan
keunggulan
kompetitif, melalui peningkatan produktivitas perusahaan yang berbasis klaster, inovasi yang lebih terarah dan peningkatan kecepatan inovasi dalam mendukung pertumbuhan produktivitas, serta dorongan terbentuknya bisnis baru yang nantinya akan mengembangkan dan memperkuat klaster serta memberi umpan balik yang positif. Selain itu, Kuah (2002) juga menyimpulkan bahwa klaster akan membawa eksternalitas positif dari sisi konsumen. Dengan letak perusahaan yang berdekatan satu sama lain, pelanggan potensial dapat mengurangi biaya pencarian dalam rangka membandingkan harga dan kualitas. Dalam hal ini, reputasi dari
6
klaster, baik dari segi kualitas maupun inovasi yang akan membuat konsumen menjadi seorang pelanggan.
Tabel 2. Cost and Benefit Analysis of Locating in Cluster MANFAAT
BIAYA
SISI PERMINTAAN 1. Kedekatan dengan konsumen 2. Mengurangi biaya pencarian dari konsumen 3. Eksternalitas informasi 4. Reputasi Kompetisi di pasar output
SISI PENAWARAN 1. Efek spillover pengetahuan 2. Tenaga kerja yang terspesialisasi 3. Keuntungan infrastruktur 4. Eksternalitas informasi Kompetisi di pasar input (lahan dan tenaga kerja)
Sumber: Swann et al. (1998) dalam Kuah (2002)
Solvell (2008) dan Sovell et al. (2003) dalam Boja (2011) mencoba mendefinisikan model klaster yang berbeda. Klaster di sini dibangun di sekitar para pelaku yang keputusan dan tindakannya mempengaruhi perkembangan klaster. Para pelaku klaster yang dimaksud adalah pemerintah (baik pusat maupun lokal), sistem keuangan, sistem pendidikan dan penelitian, usaha kecil dan menengah (baik publik maupun privat), lembaga nonpemerintah, serta saluran media.
Media
Education and Research
Organization for Promotion and Collaboration
Business Environment
Government and Public Structure
Cluster
Financial System
Sumber: Solvell (2008) dalam Boja (2011)
Gambar 1. Model Klaster Faktor Klaster juga merupakan bentuk jaringan yang terbentuk berdasarkan lokasi geografis. Kedekatan antarperusahaan dan antarlembaga memastikan kesamaan 7
tertentu sehingga mampu meningkatkan frekuensi dan dampak positif dari komunikasi dan interaksi. Di Indonesia klaster secara alamiah terbentuk dari aktivitas tradisional dari komunitas lokal yang secara spesifik memproduksi komoditas tertentu. Berdasarkan keuntungan komparatif dari produk yang dibuat, pelaku usaha dapat memanfaatkan kelebihan barang mentah dan tenaga kerja lokal yang tersedia untuk lebih berkembang, sebagai contoh beberapa pengusaha batik yang bergabung dengan klaster-klaster di beberapa daerah di pulau Jawa (Tambunan, 2006). Selain itu, pengelompokan produsen furnitur rotan di desa Tegalwangi, Jawa Barat mempu menciptakan satelit-satelit kegiatan industri skala kecil di desa tetangga (Smyth, 1992 dalam Tambunan, 2006). Produsen furnitur kayu di Jepara, Jawa Tengah yang membentuk klaster furnitur telah tumbuh dari tahun 1980 dan mampu mentransformasi kota tersebut menjadi pusat komersial yang berkembang (Schiller dan Martin-Schiller, 1997 dalam Tambunan, 2006). PRES (2013) menyebutkan bahwa permasalahan klaster, antara lain, adalah keterbatasan modal, sumber daya manusia, pemanfaatan kredit yang tidak sesuai, dan keterbatasan infrastruktur. Keberhasilan pengembangan ekonomi berdasarkan klaster perlu didukung pihak pengambil kebijakan yang terkait. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemain kunci dalam pengembangan klaster, tetapi pemerintah memiliki peran penting. Peran yang dimaksud dalam kesuksesan pengembangan
klaster,
antara
lain,
adalah
pengambilan
kebijakan
yang
mendukung kebijakan ekonomi (pendidikan, pasar tenaga kerja, dan peraturan persaingan), menjadi fasilitator, serta kebijakan pengaturan subsidi (Ketels dan Memedovic, 2008).
8
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut. 1. Literature review tentang inflasi, terutama yang diakibatkan oleh volatile foods. Faktor yang mempengaruhi harga volatile foods, antara lain ialah pola distribusi dan struktur pasar dari komoditas volatile foods; kebijakan dan strategi pemerintah terkait, terutama komoditas volatile foods; serta perkembangan impor komoditas volatile foods. 2. Klaster yang akan dikaji adalah klaster ketahanan pangan untuk komoditas volatile foods, yaitu komoditas cabai dan bawang merah. 3. Kajian akan difokuskan pada sampel klaster yang mewakili wilayah komoditi cabai merah atau bawang merah. Wilayah yang dipilih juga mewakili daerah yang merupakan sentra produksi ataupun bukan merupakan sentra produksi komoditas cabai dan bawang merah. 4. Analisis strategi penguatan klaster mencakup antara lain: (a) analisis karakter inflasi di daerah sampel, terutama komoditi cabai dan bawang merah, antara lain pola dan penyebabnya yang dikaitkan dengan pasokan komoditi tersebut di KPw BI sampel; (b) analisis kondisi klaster di daerah sampel, antara lain, meliputi (i) aspek produksi (jumlah produksi, ketersediaan bahan baku, dan teknologi yang dipakai) dan aspek pasar (distribusi dalam/luar klaster, pemasaran produk, persaingan, dan peluang pasar); (ii) pengaruh atau dampak klaster terhadap harga komoditas; (iii) kebijakan dan program terkait di daerah KPw BI sampel; dan (iv) aspek lingkungan eksternal meliputi sosial dan ekonomi, kebijakan pemerintah, serta kondisi infrastruktur dan sarana transportasi; dan (c) identifikasi kendala dan kondisi yang tidak mendukung yang dihadapi di tiaptiap KPw BI sampel, identifikasi kondisi yang mendukung peningkatan pasokan komoditas di dalam klaster (FGD), identifikasi strategi dan upaya penguatan yang dilakukan (SWOT), serta peran klaster dalam strategi tersebut. Setelah itu, dilakukan pemilihan atau penyusunan prioritas dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur (AHP).
9
Gambar 2. Diagram Alur Proses Strategi Penguatan Klaster 3.2 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut. a. Data primer diperoleh dari penyebaran kuesioner, wawancara mendalam, dan pelaksanaan focus group discussion (FGD) dengan stakeholders, antara lain KPw BI pelaksana program klaster, tenaga ahli klaster, pelaku klaster a.l. petani, petugas pendamping/PPL, tokoh klaster terkait, dan akademisi. FGD bertujuan untuk memperoleh masukan ataupun informasi mengenai aspek produksi (jumlah produksi, ketersediaan bahan baku, dan teknologi yang dipakai) dan aspek pasar (distribusi dalam/luar klaster, pemasaran produk, persaingan dan peluang pasar), pengaruh atau dampak klaster terhadap harga komoditas, aspek lingkungan eksternal meliputi sosial dan ekonomi, kebijakan pemerintah, serta informasi-informasi lain yang mendukung tercapainya tujuan penelitian. b. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, data dan informasi dari data internal Bank Indonesia, stakeholders pelaksana program klaster, kementerian/ dinas terkait, pihak swasta, lembaga, dll. Sementara, metode analisis antara lain terdiri atas a. SWOT (strength-weakness–opportunity-threat) untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis guna merumuskan strategi penguatan klaster. Analisis ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antara unsur-unsur internal di dalam kondisi klaster, yang meliputi kekuatan dan kelemahan, terhadap unsurunsur eksternal di luar kondisi klaster yaitu meliputi peluang dan ancaman. b. Analisis strategi penguatan yang perlu dilakukan untuk tiap-tiap kondisi klaster (sentra atau nonsentra). Hal itu dapat dilakukan berdasarkan rekomendasi para ahli dengan menggunakan metode analytic hierarchy process (AHP) atau menggunakan metode lain yang sesuai.
10
3.3 Metode Sampling Metode pengambilan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan mempertimbangkan kondisi setiap daerah yang berbeda karakteristik inflasi dan klasternya. Wilayah klaster yang dipilih merupakan sentra dan nonsentra yang mampu menjaga inflasi dengan cukup stabil. Wilayah sampel meliputi klaster di enam daerah, yaitu sebagai berikut. 1. Kabupaten Jember, Jawa Timur, yaitu klaster cabai merah yang merupakan daerah sentra produksi. 2. Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, yaitu pengembangan klaster bawang merah di Cirebon, Jawa Barat (daerah nonsentra). 3. Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, yaitu klaster cabai rawit yang merupakan daerah sentra produksi. 4. Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yaitu klaster bawang merah yang baru dikembangkan (daerah non sentra). 5. Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yaitu klaster bawang merah yang merupakan daerah sentra produksi. 6. Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yaitu klaster cabai yang merupakan daerah sentra produksi.
3.4 Analytic Hierarchy Process (AHP) Analytic hierarchy process (AHP) adalah metode pengambilan keputusan dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-kelompok dan mengaturnya ke dalam suatu hierarki. Metode AHP dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan program urusan di pemerintahan. Dalam mengisi matriks yang perlu dilakukan adalah membandingkan pengaruh atau tingkat kepentingan elemen-elemen pada setiap level pertanyaan dengan menggunakan nilai skala seperti yang dijelaskan dalam bagian selanjutnya. AHP dilakukan dengan membandingkan satu variabel dengan variabel lain, misalnya adalah sebagai berikut. a. Penilaian terhadap elemen-elemen permasalahan setiap level yang sedang diteliti prioritasnya dalam menganalisis kondisi dan peran klaster dalam mendukung pasokan komoditas volatile foods sebagai upaya pengendalian harga dinyatakan secara numerik dengan skala angka 1 sampai dengan 9.
11
b. Angka-angka tersebut menunjukkan suatu perbandingan dari dua elemen pernyataan dengan skala kuantitatif 1 sampai dengan 9. Untuk menilai perbandingan tingkat intensitas kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang lain digunakan kriteria sebagai berikut. Intensitas Kepentingan
Keterangan/Definisi Verbal
Penjelasan
1
Sama pentingnya (equal importance)
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan.
3
Sedikit lebih penting (moderate importance)
Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya.
5
Lebih penting (essential / strong importance)
Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya.
7
Jelas lebih penting (very strong importance)
Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktik.
9
Mutlak sangat penting (extreme importance)
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai di antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada kompromi di antara dua pilihan.
dua
c. Dalam penilaian kepentingan relatif dua elemen, berlaku aksioma reciprocal. Artinya adalah jika elemen i (kolom 1) diberi nilai 5 kali lebih penting dibanding dengan elemen j, elemen j harus sama dengan 1/5 kali lebih penting dibanding elemen i. d. Jika elemen pada kolom 1 (sebelah kiri) lebih penting daripada elemen kolom 2 (sebelah kanan), nilai perbandingan itu diisikan pada kolom 1 dan jika sebaliknya diisikan pada kolom 2.
Di dalam AHP dikenal sebuah istilah, yaitu inkonsistensi. Inkonsistensi adalah nilai ketidakkonsistenan yang disebabkan oleh kesalahan perhitungan, kurangnya informasi, kurangnya konsentrasi pada saat pengambilan data, dan kemungkinan pada keadaan dunia nyata yang selalu berubah. AHP mengizinkan terjadinya inkonsistensi dengan batas nilai maksimum sebesar 10%.
12
3.5 SWOT Secara umum SWOT adalah salah satu alat untuk menganalisis lingkungan internal atau eksternal untuk merumuskan strategi apa yang akan digunakan oleh suatu organisasi. Namun, untuk tujuan analisis, komponen SWOT tersebut dapat diartikan sebagai berikut. a. Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari internal klaster atau dapat dikontrol oleh klaster. 1) Strength (kekuatan) adalah sumber (resource), skill, dan faktor-faktor lain yang secara relatif lebih unggul yang dimiliki oleh daerah survei. Contoh: akses permodalan atau manajemen yang baik. 2) Weakness (kelemahan) adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumber, skill, dan faktor-faktor lain yang secara serius menghambat kinerja/produktivitas klaster. Contoh: penelitian pengembangan, budaya wirausaha.
b.
Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar klaster yang tidak dapat dikontrol secara langsung oleh klaster. 1) Opportunity (kesempatan) adalah situasi dominan yang menguntungkan yang terdapat pada lingkungan klaster. Contoh: peraturan perundangundangaan, dan dukungan Pemda dalam pengembangan klaster. 2) Threat (hambatan) adalah situasi dominan pada klaster yang tidak menguntungkan untuk mempengaruhi pasokan atau stabilitas harga. Contoh: infrastruktur yang tidak memadai dan kompetisi dengan dengan komoditas yang lain.
Analisis SWOT ini selanjutnya akan digunakan sebagai alat bantu untuk merumuskan strategi yang tepat terhadap penguatan klaster dalam meningkatkan pasokan yang berdampak pada stabilisasi harga di kabupaten tersebut. Dalam penelitian ini kuesioner SWOT berisi dua tabel utama, yaitu penilaian tentang kondisi saat ini dan urgensi pembangunan/penanganan ke depan berkaitan dengan permasalahan subbidang/faktor dengan lebih spesifik. Untuk itu, setiap subbidang
13
dibagi dalam dua katagori, yaitu internal (untuk mendapatkan strength dan weakness) serta eksternal (untuk mendapatkan opportunity dan threat). 1. Penilaian skor, yaitu penilaian pada potensi maupun capaian hasil pada saat ini serta capaian yang diharapkan pada lima tahun ke depan. Penilaian responden 1 sampai dengan 8 dengan penjelasan: angka 1 = mutlak sangat kurang angka 2 = amat sangat kurang angka 3 = sangat kurang angka 4 = kurang angka 5 = baik angka 6 = sangat baik angka 7 = amat sangat baik angka 8 = mutlak sangat baik 2. Penilaian urgensi, yaitu penilaian terhadap tingkat urgensi faktor tersebut untuk ditangani. Penilaian ini
berhubungan dengan
skala prioritas
di
dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan yang tercermin melalui faktorfaktor tersebut. angka 1 = tidak urgen angka 2 = agak urgen angka 3 = urgen angka 4 = sangat urgen
Hasil dari kuesioner tersebut adalah angka/kuantitatif. Setiap pertanyaan yang dijawab oleh responden dalam bentuk skala akan dihitung sehingga diperoleh klaster masing-masing. Tiap skala akan diformulasikan ke dalam sebuah strategi penguatan klaster. Setelah itu, kita akan melihat kuadran hasil pengolahan dengan menghitung jumlah setiap skor yang telah dikalikan dengan tingkat urgensinya. Kuadran inilah yang berfungsi sebagai peta dari strategi penguatan klaster. Selanjutnya dibuat matriks SWOT berdasarkan kekuatan dan kelemahan dengan kesempatan dan hambatan. Berdasarkan kuadran dan matriks SWOT tersebut kita dapat menentukan rumusan strategi penguatan klaster.
14
3.6 Dekomposisi Time Series Untuk
melakukan
estimasi
terhadap
kebutuhan
pasokan
dalam
mempertahankan kestabilan harga, digunakan metode dekomposisi time series. Metode ini sangat cocok digunakan untuk variabel atau data dengan pola pergerakan musim yang kuat seperti pola produksi pertanian atau perkebunan yang memiliki musim panen. Prinsip dasar metode dekomposisi deret waktu adalah mendekomposisi (memecah) data deret waktu menjadi beberapa pola dan mengidentifikasi tiap-tiap komponen dari deret waktu tersebut secara terpisah. Pemisahan ini dilakukan untuk membantu meningkatkan ketepatan peramalan dan membantu pemahaman atas perilaku data deret waktu secara lebih baik. Metode dekomposisi dilandasi oleh asumsi bahwa data yang ada merupakan gabungan dari beberapa komponen, Data = pola + tidak berpola (irregularities) = f (tren, siklus, musiman) + kesalahan Dalam estimasi komponen tidak berpola atau komponen acak akan diwakili oleh residual, yaitu perbedaan dari kombinasi estimasi komponen tren, siklus, dan musiman dengan data sebenarnya. Asumsi di atas mengandung pengertian bahwa terdapat empat komponen yang mempengaruhi suatu deret waktu, yaitu tiga komponen yang dapat diidentifikasi karena memiliki pola tertentu, yaitu tren, siklus, dan musiman, serta komponen acak yang tidak dapat diprediksi karena tidak memiliki pola yang sistematis dan mempunyai gerakan yang tidak beraturan (Awat, 1990). Komponen tren adalah kecenderungan gerak naik atau turun pada data yang terjadi dalam jangka panjang. Variasi musim adalah gerak naik dan turun yang terjadi secara periodik (berulang dalam selang waktu yang sama). Komponen siklus adalah perubahan gelombang pasang surut yang berulang kembali dalam waktu yang cukup lama, misalnya 10 tahun, kuartal ke-20, dan lain-lain. Komponen acak (random) adalah gerakan yang tidak teratur, terjadi secara tiba-tiba, dan sulit untuk diramalkan. Gerakan tersebut dapat timbul sebagai akibat adanya peperangan, bencana alam, atau krisis moneter. Dengan
asumsi
multiplikatif tersebut, komponen
dekomposisi
dapat
direpresentasikan dengan formula
15
𝒚𝒕 = 𝑺𝒕 𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕 𝒙 𝑰𝒕 Keterangan: 𝒚𝒕 : data aktual pada periode ke-t 𝑺𝒕 : komponen siklus pada periode ke-t 𝑴𝒕 : komponen musiman pada periode ke-t 𝑻𝒕 : komponen tren pada periode ke-t 𝑰𝒕 : komponen acak pada periode ke-t Estimasi berdasarkan dekomposisi akan menyisakan ketiga komponen pertama dengan komponen acak diwakili oleh residual atau selisih antara estimasi dengan data aktual: 𝒚𝒕 = 𝒚̂𝒕 + 𝜺𝒕 𝒚̂𝒕 = 𝑺𝒕 𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕 Keterangan: 𝒚𝒕 : data aktual pada periode ke-t 𝒚̂𝒕 : data estimasi periode ke-t 𝜺𝒕 : komponen eror pada periode ke-t
16
IV. HASIL PENELITIAN
Bab ini akan memberikan gambaran umum produksi, konsumsi, dan tata niaga komoditas cabai dan bawang merah pada tingkat nasional dan daerah wilayah survei. Perlu diperhatikan bahwa komoditas terutama cabai memiliki varietas yang berbeda-beda. Cabai, misalnya, dapat dikelompokkan menjadi cabai merah besar, cabai merah keriting, cabai hijau, dan cabai rawit. Analisis cabai tanpa memperhatikan jenisnya dapat memberikan simpulan yang kurang tepat. Oleh sebab itu, dalam penelitian diusahakan sebisa mungkin mengelompokkan komoditas cabai berdasarkan varietas yang dikembangkan di wilayah survei. Selain itu, akan dipaparkan pula keragaan dan analisis pada tiap-tiap klaster responden.
4.1 Produksi, Konsumsi, dan Tata Niaga Untuk mengetahui peran klaster Bank Indonesia (BI) dalam mendukung pasokan komoditas sebagai upaya menambah pasokan dan mengendalikan harga di daerah klaster, terlebih dahulu dibutuhkan gambaran umum tentang permintaan (demand) dan produksi (supply) pada tingkat nasional dan provinsi tempat kabupaten atau kota klaster BI berada. Data agregat nasional dibutuhkan dalam analisis kestabilan harga karena perdagangan antarprovinsi di Indonesia semakin besar. Kestabilan harga komoditas di suatu wilayah tergantung, antara lain, dari keberhasilan produksi di wilayah sumber komoditas. Jika secara nasional kebutuhan komoditas lebih besar daripada produksi nasional, kecenderungan harga komoditas tersebut akan naik, demikian juga sebaliknya. Kestabilan harga juga sangat tergantung dari stabilitas produksi nasional setiap bulan. Dengan demikian, gambaran pola produksi komoditas sepanjang tahun di wilayah klaster juga perlu dikaji untuk mengetahui penyebab gejolak harga. Data konsumsi dalam analisis ini diperoleh dengan mengestimasi data konsumsi rumah tangga hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS tahun 2014, sedangkan data produksi diperoleh dari data Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian, dan BPS. Terdapat perbedaan data klasifikasi produksi dan konsumsi BPS. Untuk data produksi cabai dibagi dalam dua kelompok, yaitu cabai besar dan cabai rawit, sedangkan untuk data konsumsi terbagi menjadi tiga
17
kelompok, yaitu cabai merah, cabai hijau, dan cabai rawit. Dengan ketersediaan data seperti itu pembahasan tentang kondisi surplus atau defisit nasional dan provinsi, terutama Sumatera Barat dan Jawa Timur digunakan data total varietas cabai bukan hanya cabai merah, sedangkan untuk provinsi Sulawesi Utara dapat dikhususkan pada komoditas cabai rawit. Karena cabai dan bawang dikonsumsi secara harian, data dengan frekuensi bulanan sangat penting untuk mengestimasi kebutuhan aktual. Data produksi cabai dan bawang merah telah tersedia dalam bulanan, tetapi data konsumsi yang merupakan estimasi dari konsumsi SUSENAS hanya tersedia dalam tahunan. Oleh karena itu, data konsumsi hanya dapat digunakan untuk memprediksi rata-rata kebutuhan per bulan atau per tahun, tanpa memperhitungkan faktor musiman, seperti peningkatan konsumsi pada hari raya atau hari besar.. Demikian juga dengan data kebutuhan untuk industri yang belum tersedia, padahal jumlahnya cukup signifikan dalam mempengaruhi harga. Dengan keterbatasan itu, penelitian berusaha melengkapi setiap analisis dengan memasukkan faktor musiman dan estimasi kebutuhan industri yang diambil dari berbagai literatur.
4.1.1 Cabai Grafik 1 menunjukkan bahwa produksi cabai secara nasional lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi1 atau terjadi suplus produksi yang per tahunnya mencapai 40%–60% dari konsumsi.2 Kondisi surplus ini tidak berarti bahwa terjadi penurunan harga sepanjang tahun di seluruh wilayah Indonesia. Jika terjadi oversupply, harga akan turun di tingkat petani, tetapi dampaknya terhadap konsumen akhir dipengaruhi oleh banyak hal.
1 Data
konsumsi telah dibobotkan dengan estimasi kebutuhan industri yang menurut berbagai sumber sekitar 25% dari total kebutuhan. Suplus yang lebih besar terjadi untuk cabai rawit yang bisa mencapai 60%–80% per tahun 2Studi pendahuluan Renstra Kementan 2015–2019 menyatakan surplus sebesar 50%.
18
1,100,000
1,074,602
1,050,000
Ton
1,000,000
991,258.65
1,012,879 983,846.83
954,360
950,000 898,189.29
900,000 850,000 800,000 2012 Produksi
2013
2014
Konsumsi
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 1. Produksi dan Konsumsi Cabai Nasional Per Tahun 2012–2014 Gejolak harga cabai masih terus terjadi yang didorong oleh beberapa hal berikut. 1. Pola produksi nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat dan siklus yang panjang (hampir satu tahun). Produksi menurun pada musim hujan, sekitar bulan November–Februari (Grafik 2). Karakteristik itu juga terdapat pada permintaan cabai merah, pada bulan-bulan tertentu, seperti hari raya, konsumsi dapat meningkat 10%–20% jika dibandingkan dengan konsumsi normal. Adanya perbedaan
faktor
musiman
pada
permintaan
dan
produksi
mendorong
ketidakstabilan harga, misalnya saat hari raya permintaan meningkat, tetapi produksi menurun karena musim hujan. Dengan demikian, harga cabai ditentukan oleh fundamental current production dan consumption yang bersifat mingguan, bahkan harian. 2. Jarak produsen (sentra produksi) ke konsumen terutama ke kota-kota besar sebagai sentra defisit (Gambar 3) terlalu jauh. Gangguan transportasi terjadi ketika produksi menurun, terutama pada musim hujan, akan mendorong kenaikan harga. Selain itu, cabai bersifat perishable sehingga penyimpanan persediaan (stok) lebih sulit dilakukan untuk merespons kenaikan permintaan, terutama permintaan cabai segar. 3. Permintaan industri yang cukup tinggi juga akan mengurangi kemampuan produksi untuk menahan gejolak harga dari sisi konsumsi.
19
120,000
80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 -
100,000
Ton
80,000 60,000
40,000 20,000
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt
12 12 12 12 13 13 13 13 14 14 14 14
-
Rp
Cabai Merah
Produksi
Konsumsi
Harga
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 2. Produksi dan Rata-Rata Konsumsi3 Cabai Merah Nasional Per Bulan Tahun 2012–2014
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Gambar 3. Peta Suplus dan Defisit Cabai Nasional Tahun 2014
3Rata-rata
konsumsi per bulan diperoleh dari jumlah konsumsi per tahun dibagi 12. Hal itu menjadikan grafik rata-rata konsumsi mendatar dalam satu tahun. Kebutuhan akan data konsumsi per bulan seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangat penting untuk mampu memprediksi lebih tepat kondisi surplus/defisit dalam satu bulan.
20
Kondisi surplus cabai juga terjadi pada provinsi wilayah klaster yang disurvei (Gambar 3). Namun, jika diperinci berdasarkan jenis cabai, Sulawesi Utara mengalami defisit cabai rawit (Grafik 3). Dari sisi konsumsi, konsumsi cabai per kapita di Sumatera Barat jauh lebih tinggi (9kg/tahun/kapita) jika dibandingkan dengan Jawa Timur (3,5kg/tahun/kapita). Akibatnya, peningkatan kebutuhan konsumsi cabai di Sumatera Barat jauh lebih tinggi daripada Jawa Timur ketika terjadi dampak musiman hari raya. Selain itu, produksi cabai dari kedua sentra tersebut terserap juga oleh industri pengolahan makanan, baik industri besar (Jawa Timur) maupun industri rumah tangga (Sumatera Barat).
Sumber: BPS dan Kementan, *cabai rawit
Grafik 3. Produksi dan Konsumsi Cabai Sumatera Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara* Tahun 2012-2014 (Ton)
21
35,000 30,000
Ton
25,000 20,000 15,000 10,000 5,000
Jan-12 Mar-12 May-12 Jul-12 Sep-12 Nov-12 Jan-13 Mar-13 May-13 Jul-13 Sep-13 Nov-13 Jan-14 Mar-14 May-14 Jul-14 Sep-14 Nov-14
-
CR_Sumbar
CR_Jatim
CB_Sumbar
CB_Jatim
Sumber: BPS dan Kementan
Grafik 4. Produksi Cabai Rawit (CR) dan Cabai Besar (CB) per Bulan Sumatera Barat dan Jawa Timur Tahun 2012-2014 Grafik 4 menggambarkan perbedaan produksi cabai di Sumatera Barat dan Jawa Timur. Jawa Timur memproduksi cabai besar hampir dua kali lipat Sumatera Barat dan sekitar 32 kali lipat untuk cabai rawit. Sumatera Barat memiliki pola produksi relatif stabil sepanjang tahun, sedangkan Jawa Timur memiliki pola musiman yang kuat. Selain itu, terdapat perbedaan biaya produksi, biaya produksi Sumatera Barat mencapai dua hingga tiga kali lipat biaya produksi Jawa Timur. Jumlah produksi cabai rawit Jawa Timur mencapai puncaknya pada April– Juli dan mencapai titik terendah pada Desember–Februari, sedangkan produksi terendah cabai besar Jawa Timur adalah pada bulan Juli–Januari dan meningkat pada bulan Februari–Juni. Dengan pola seperti itu, Jawa Timur membutuhkan program penanaman bulan Oktober–November untuk cabai rawit dan program penanaman musim kemarau untuk cabai besar. Kedua program itu membutuhkan program khusus/lanjutan berupa penanganan tanaman cabai merah dan rawit dewasa pada bulan Desember dan Januari. Di lain pihak, Sumatera Barat lebih fokus pada usaha intensifikasi dan ekstensifikasi.4 Terdapat perbedaan tata niaga cabai merah di Sumatera Barat dan Jawa Timur. Dari penelusuran berbagai sumber diketahui bahwa 90% produksi cabai merah Sumatera Barat dijual ke Riau, sedangkan pasokan untuk kebutuhan Produktivitas cabai sering menurun pada musim hujan karena banyaknya cabai yang membusuk dan rentan terhadap serangan penyakit/virus. 4
22
Sumatera Barat sendiri diperoleh dari Provinsi Bengkulu, Jawa, Lampung, dan Sumatera Utara. Selain adanya permintaan industri rumah tangga, faktor tata niaga ini merupakan salah satu sebab terjadinya gejolak harga cabai di Sumatera Barat yang merupakan sentra produksi cabai merah. Di lain pihak, sentra cabai merah di Jawa Timur lebih memiliki permasalahan rendahnya harga di tingkat petani jika musim panen raya. Hal itu menegaskan pentingnya pemasaran cabai merah hasil produksi sentra Jawa Timur.5 Dari ketiga wilayah survei hanya Sulawesi Utara yang bukan merupakan sentra produksi karena budi daya cabai belum dilakukan secara masif dan sistematis. Di daerah ini konsumsi cabai rawit merah jauh lebih tinggi dibandingkan konsumsi cabai merah (18:1) sehingga budi daya difokuskan pada cabai rawit merah. Konsumsi cabai rawit merah di Sulawesi Utara meningkat tajam pada bulan pengucapan syukur atau paskah (Juli–Agustus) dan hari raya Natal. Dengan kondisi defisit per tahun yang relatif stabil sebesar 3%–7% atau 300–600 ton dari konsumsi pada tahun 2012–2014, Sulawesi Utara masih bergantung pada wilayah lain (Gorontalo6 dan Jawa Timur) untuk pemenuhan kebutuhan cabai, terutama ketika konsumsi melonjak tajam. Produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara stabil pada kisaran 9.000–9.500 ton pada tahun 2010–2013, tapi hanya mencapai 8.461 ton pada tahun 2013. Penurunan itu terjadi akibat menurunnya luas tanam terutama di Kabupaten Minahasa yang merupakan sentra produksi cabai rawit. Pada tahun 2014 pemerintah kabupaten Minahasa bersama BI menjalankan program Kabupaten Rica atau Kabupaten Cabai yang berdampak pada meningkatnya luas tanam. Program tersebut telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara sebesar 24,9 ton menjadi 8.486 ton pada tahun 2014. Kenaikan produksi tahun 2014 tersebut belum mampu mengantisipasi kenaikan kebutuhan konsumsi yang mencapai 8.779 ton (10.974 ton dengan kebutuhan industri) atau naik 8,6% dari tahun sebelumnya. Hal itu menyebabkan defisit sebesar 293 ton (2.488 ton dengan kebutuhan industri) atau sebesar 22,7% dari kebutuhan konsumsi. Defisit tersebut
Sumatera Barat dan Jawa Timur sebagai sentra dan sumber cabai bagi daerah lain juga memiliki permasalahan harga yang meningkat, terutama pada hari raya. Semakin banyak terjadi arus informasi dan perdagangan antarwilayah akan mempengaruhi harga komoditas di daerah sentra. 6 Beberapa sumber mengatakan bahwa cabai merah Gorontalo berasal dari Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) yang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Utara. Kedekatan geografis dengan Gorontalo menyebabkan tata niaga cabai kabupaten Bolsel lebih terjalin dengan Gorontalo dibandingkan dengan kabupaten/kota di Sulawesi Utara. 5
23
akan menjadi sangat besar jika terjadi kenaikan konsumsi pada bulan-bulan tertentu. Gejolak harga semakin sulit dikontrol dengan kenyataan bahwa produksi cabai rawit merah di provinsi ini menurun pada bulan Oktober–Desember saat
Produksi
Nov-14
Jul-14
Sep-14
May-14
Mar-14
Jan-14
Nov-13
Jul-13
Sep-13
May-13
Mar-13
Jan-13
Nov-12
Jul-12
Sep-12
May-12
Mar-12
1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 -
Jan-12
Ton
kebutuhan meningkat (Grafik 5).
Konsumsi
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 5. Produksi Cabai Rawit per Bulan Sulawesi Utara Tahun 2012–2014 (ton) Meskipun secara nasional surplus cabai rawit lebih besar dari surplus cabai yang bisa mencapai 60%–80%, pola penurunan produksi pada bulan Desember merupakan pola umum nasional produksi cabai rawit (Grafik 6). Penurunan produksi nasional itulah yang menjadi salah satu penyebab kenaikan harga yang sangat tinggi di Sulawesi Utara hingga mencapai Rp150.000,00/kg pada Desember 2014. Dengan demikian, program penanaman bulan September–November dan program khusus berupa penanganan tanaman cabai dewasa pada bulan Desember dan Januari sangat krusial untuk dilakukan.
24
Produksi
Sep-14
Nov-14
Jul-14
May-14
Mar-14
Jan-14
Sep-13
Nov-13
Jul-13
May-13
Mar-13
Jan-13
Sep-12
Nov-12
Jul-12
May-12
Mar-12
Jan-12
Ton
90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000
Konsumsi
Sumber: Kementan (diolah)
Grafik 6. Produksi dan Rata-Rata Konsumsi Cabai Rawit Nasional Per Bulan Tahun 2012–2014 4.1.2 Bawang Merah Grafik 7 menunjukkan bahwa produksi bawang merah secara nasional setiap tahun selalu mengalami surplus hingga mencapai 40% dari konsumsi pada tahun 20147. Keseimbangan itu tercermin juga dengan kestabilan harga bawang pada tingkat nasional.
1,400,000
1,233,984
1,200,000
Ton
1,000,000 800,000
964,221
1,010,773
755,162 629,690
705,584
600,000 400,000 200,000
2012 Produksi
2013
2014
Konsumsi
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 7. Produksi dan Konsumsi Bawang Merah Nasional Tahun 2012–2014 (ton)
7Konsumsi
belum memasukkan kebutuhan industri oleh sebab tidak ada sumber informasi yang valid mengenai berapa kebutuhan bawang untuk untuk industri.
25
Harga bawang relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan harga cabai karena beberapa faktor berikut. 1. Produksi bawang merah nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat (menurun pada Maret–April dan November–Desember dan meningkat pada Januari dan Mei/Juli), tetapi memiliki periode siklus yang lebih pendek (5 dan 7 bulan)
8
. Dengan demikian, penanaman bulan September–Oktober sangat
krusial, tetapi terhambat oleh terlambatnya musim hujan. Adapun penurunan produksi bulan Maret lebih disebabkan alih lahan untuk padi pada bulan Januari. 2. Permintaan bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi jika dibandingkan dengan cabai merah. 3. Dengan pola siklus yang lebih singkat serta daya tahan yang lebih lama (4–6 bulan), penyimpanan persediaan (stok) bawang merah lebih mudah dilakukan untuk merespons kenaikan permintaan. 4. Pembentukan harga bawang dengan demikian relatif tidak ditentukan oleh current production, tetapi juga oleh tata niaga dan struktur pasar.
160,000
70,000
140,000
60,000
120,000
Ton
40,000
80,000
30,000
60,000
Rp
50,000
100,000
20,000
40,000
10,000
20,000
-
Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov
12 12 12 12 12 12 13 13 13 13 13 13 14 14 14 14 14 14
-
Produksi
Konsumsi
Harga
Sumber: Kementan (diolah)
Grafik 8. Produksi, Rata-Rata Konsumsi Bawang Merah dan Harga per Bulan Nasional Tahun 2012–2014
Dalam satu tahun terdapat dua siklus sedangkan cabai rawit hanya memiliki satu siklus panjang dalam satu tahun. 8
26
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Gambar 4. Peta Surplus dan Defisit Bawang Merah Nasional Tahun 2014 Meskipun harga relatif lebih stabil, produksi bawang merah nasional bergantung pada sentra bawang di Jawa dan NTB (Gambar 4). Terpusatnya sentra produksi di Jawa dan NTB menimbulkan risiko apabila terjadi serangan hama atau perubahan iklim yang dapat berdampak pada penurunan produksi. Hal itu terjadi pada tahun 2013 saat sentra produksi bawang di Jawa mengalami penurunan akibat cuaca ekstrim. Harga bawang merah secara nasional melonjak hingga mencapai Rp60.000,00 yang dampak jangka panjangnya adalah naiknya harga ratarata tahunan dari Rp15.000,00 pada tahun 2013 menjadi di atas Rp20.000,00 pada tahun 2014. Dari ketiga wilayah survei (Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan Tengah), hanya Jawa Barat yang mengalami surplus karena Kabupaten Cirebon merupakan salah satu sentra produksi bawang merah nasional. Adapun Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah mengalami defisit yang menyebabkan harga relatif tinggi. Misalnya, tahun 2014 produksi bawang merah Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah berturut-turut hanya 21% dan 1% dari kebutuhan konsumsi. Dengan defisit produksi terhadap konsumsi yang mencapai hampir 80% dan 100%,
27
inflasi bawang merah di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah teratasi oleh meningkatnya produksi bawang merah nasional.
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 9. Produksi dan Konsumsi Bawang Merah Sumatera Utara, Jawa Barat dan Kalimantan Tengah Tahun 2012–2014 (ton) Efisiensi produksi juga ditentukan dari pengalaman produksi. Sumatera Utara sudah terbiasa bertanam bawang merah, tetapi tidak dengan Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Tengah, selain kurangnya kemampuan bertani dan kelengkapan kelembagaan pertanian, produktivitas dan efisiensi produksi bawang merah juga rendah sehingga harga BEP bawang merah di wilayah ini tinggi. Selain itu, bawang merah yang ada di pasar saat ini telah dikuasai oleh bawang merah dari Probolinggo-Jawa Timur dan Bima-NTB sehingga usaha meningkatkan produksi bawang merah di provinsi membutuhkan usaha on-farm dan off-farm yang besar. Selain itu, upaya meningkatkan produksi bawang merah Sumatera Utara lebih mudah dan murah karena didukung kondisi tanah yang cocok dan petani yang memiliki pengalaman dalam budi daya bawang merah (terutama di daerah tempat klaster BI berada, Kabupaten Simalungun). Salah satu faktor yang harus
28
dipertimbangkan di wilayah itu adalah kompetisi penggunaan lahan produk pertanian untuk bawang merah dan cabai merah.
4.2 Deskripsi Klaster di Wilayah Survei 4.2.1 Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat Kelompok Tani Guguak Lagundiah berdiri sejak tahun 1998. Kekompakan dan kerja sama yang solid menyebabkan kelompok ini masih berdiri hingga sekarang. Anggota kelompok memiliki aturan yang harus disepakati dan dipatuhi bersama. Salah satu nilai yang disepakati adalah bahwa jika salah satu anggota tidak hadir dalam kegiatan kelompok (mempersiapkan lahan untuk budi daya), anggota tersebut akan dikenai denda sebesar Rp100.000,00.
Tabel 3. Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar Keterangan Nama Klaster Penanggung Jawab Klaster Tahun Berdiri Tahun Mulai Klaster Lokasi dan Alamat Klaster Jumlah Anggota/Petani Nama GAPOKTAN/Asosiasi Stakeholder yang Terlibat Asal Pemasok Periode Tanam Luas Lahan Jumlah Produksi Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll)
Klaster Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar, Kelompok Tani Guguak Lagundi di Jorong Tanjuang Nagari Pandai Sikek Kecamatan X Koto KabupatenTanah Datar, Sumatera Barat Bank Indonesia 18 Maret 1998 Desember 2014 Jorong Tanjuang, Nagari Pandai Sikek , Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat 11 (sebelas) orang GAPOKTAN Pandai Sikek Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Datar, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat, Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Barat Nagari Pandai Sikek Sepanjang tahun, masa tanam 6 bulan, masa panen 20 minggu 2 hektare 100 kg–1.300 kg per minggu atau 5–20 ton per tahun Dijual kepada pedagang lokal, oleh pedagang lokal dijual ke luar Provinsi Sumatera Barat.
29
Tabel 3. (lanjutan) Keterangan
Sumber Modal
Klaster Diawali oleh modal pribadi anggota kelompok, selanjutnya modal usaha kelompok diambil dari sisa kas yang diperuntukkan untuk modal usaha pada musim tanam/tahun berikutnya, fasilitasi kegiatan SLPHT dan demplot tanaman cabai berbentuk bantuan sarana produksi.
Status/Tanggal Akhir Program
Program sedang berjalan, berakhir Desember 2016
Kegiatan Pendampingan
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu Cabai, Pelatihan Penguatan Kelembagaan/Kelompok, Demonstrasi Plot (Demplot) Tanaman Cabai (0,5 – 1 ha), Kunjungan Belajar Ke Laboratorium Hama Penyakit dan Klinik PHT (BPTHP) di Bukittinggi.
Kecamatan Sepuluh Koto merupakan daerah yang subur dan cukup sumber air. Hal itu menyebabkan klaster BI dapat melakukan penanaman sepanjang tahun dengan masa tanam selama 6 bulan dan masa panen adalah 20 minggu atau 5 bulan. Kegiatan pada tahun pertama yang dilakukan adalah memberikan pendampingan dan pengetahuan budi daya, seperti penggunaan teknologi dan penggunaan yang tepat atas pestisida atau pupuk buatan. Saat ini sedang dibuat demplot tambahan seluas 1 hektare dan sebelumnya sudah dilakukan SLPHT seluas 0,5 hektare. Dengan produksi mencapai 20 ton per tahun, klaster ini hanya mampu meningkatkan surplus sebesar 0,09%. Terdapat surplus sebesar 21.617 ton untuk provinsi serta 8.769 ton untuk Kabupaten Tanah Datar. Pada tahun 2014 Kabupaten Tanah Datar telah berhasil meningkatkan produksi cabai sebesar 79 ton atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 436 ton dari 8.333 ton menjadi 8.769 ton sehingga efektivitas Kabupaten Tanah Datar secara keseluruhan adalah sebesar 0,09%. Peran klaster BI dalam kestabilan harga belum signifikan mengingat masih tingginya gejolak harga terutama saat bulan haji atau hari raya. Pasokan lokal Sumatera Barat berasal dari luar daerah, yaitu Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa sehingga jika terjadi penurunan pasokan dari Jawa dan Lampung berdampak terhadap kenaikan harga di Sumatera Barat. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan klaster BI, yaitu sebagai berikut.
30
1. Belum terbentuknya kelembagaan seperti koperasi sehingga kelompok tani hanya bertindak sebagai penerima harga/price taker dari pengepul. 2. Perubahan cara budi daya cabai dari nonorganik menjadi organik menjadi beban anggota kelompok karena memerlukan usaha yang lebih besar. Saat ini masih belum dapat diketahui hasil dari perubahan cara budi daya organik karena belum diakukan pemanenan dari lahan demplot. 3. Peran pemerintah daerah khususnya kabupaten masih kurang sehingga pengembangan klaster cabai masih belum berjalan secara optimal. Hasil AHP dan SWOT Dalam penelitian ini analisis pasokan dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu produksi,
replikasi,
dan
sustainability,
sedangkan
stabilitas
harga
juga
dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu permintaan antara, permintaan akhir, dan konektivitas. Semua proses memiliki konsistensi yang tinggi sehingga hasil AHP dari proses ini layak untuk diambil simpulan (Grafik 10).
Produksi
Replikasi
Skill
0.324
Entrepreneurship
0.275
Teknologi
0.323
Modal Sosial
0,250
0.179
Bibit
Organisasi Klaster
0.179 0.175
Luas Lahan
0.088
Dukungan Stakeholder
Masa Tanam
0.085
Akses Pembiayaan
Inconsistency : 0,08
Inconsistency : 0,03 Sustainability
Permintaan Antara 0.351
Akses dan Perluasan… Modal Sosial dan…
0.211
Penanganan Pasca…
0.205
Akses Keuangan Keberlangsungan Input
Inconsistency : 0,06
0.122
0.131
0.102
Pedagang Besar/Pasar Induk Pengepul/Pedagang Tengkulak/Juragan/Tao ke
0.432 0.365 0.203
Inconsistency : 0,05
31
Permintaan Akhir 0.472
Akses Pasar Struktur Pasar
0.207
Keberadaan Industri
0.198
Rumah Tangga dan Industri
Konektivitas
Kualitas & Ketersediaan Infr. Relasi Pedagang dan Petani
0.124
Inconsistency : 0,03
0.353
Akses Informasi
Jalur Distribusi
0.321 0.217 0.109
Inconsistency : 0,06
Grafik 10. Hasil AHP Klaster Cabai Tanah Datar Hasil SWOT menyimpulkan bahwa modal sosial dan keterbukaan manajemen klaster menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster adalah pada akses terhadap jasa pendukung, input, dan evaluasi manajemen klaster. Di lain pihak faktor geografis, kedekatan dengan pemasok serta dukungan stakeholders menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster, sedangkan demografi dan akses informasi masih menjadi ancaman. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberadaan tenaga kerja dan perbaikan akses informasi terhadap harga serta kualitas sarana informasi menjadi program yang selaras dalam meningkatkan pasokan. Lebih lanjut, akses pasar dan jasa pendukungnya dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman terhadap pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun masyarakat.
Tabel 4. Hasil SWOT Klaster Cabai Tanah Datar STRENGTH
Modal sosial
Produksi/operasi Manajemen klaster—Keterbukaan OPPORTUNITY Penjualan Faktor geografis Sistem informasi manajemen klaster
WEAKNESS Akses terhadap jasa pendukung bisnis Ketersediaan input Manajemen klaster (evaluasi) THREAT Akses informasi Faktor demografis Faktor ekonomi
32
4.2.2 Klaster Cabai Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur
Tabel 5. Klaster Cabai Jember Keterangan Nama Klaster Penanggung Jawab Klaster Tahun Berdiri Tahun Mulai Klaster Lokasi dan Alamat Klaster Jumlah Anggota/Petani Nama GAPOKTAN/Asosiasi Stakeholder yang Terlibat Asal Pemasok Periode Tanam Luas Lahan Jumlah Produksi Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll) Sumber Modal Kegiatan Pendampingan
Klaster Koperasi Holtikultura Lestari Bank Indonesia Agustus 2011 2013 Kec. Wuluhan, Kabupaten Jember Anggota koperasi 20 orang AACI (Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia) Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Universitas Muhammadiyah Lokal Jember Sepanjang tahun, paling banyak di bulan Mei– Juni Kemitraan 125 orang 1.500 ton PT Heinz ABC, pernah dengan PT Indofood (blacklist) Koperasi Holtikultura Lestari Pelatihan Sekolah Lapangan, bantuan krat plastik, GTCK
Melalui pendampingan yang dilakukan BI Jember, terjadi peningkatan produksi. Produksi yang sebelumnya hanya menghasilkan 0,8 kg per batang menjadi 1,5–2 kg per batang. Dengan produksi mencapai 1.795 ton per tahun dan kondisi surplus sebesar 34.022 ton, klaster BI mampu meningkatkan surplus di Kabupaten Jember sebesar 1,67%. Setiap tahun Koperasi Lestari memasok 1.500 ton cabai ke PT Heinz ABC yang dipasok oleh 125 mitra koperasi. Setiap petani akan memiliki kontrak dengan jumlah dan masa tanam (bulan) yang berbeda serta harga yang sudah disepakati dengan PT Heinz ABC. Beberapa keuntungan yang diperoleh petani melalui kemitraan dengan Koperasi Lestari ialah (1) petani mitra akan mendapatkan pinjaman dalam bentuk bibit dan saprodi yang dibayar pada saat panen; (2) harga yang ditawarkan besarnya di atas biaya produksi (Rp8.000,00 per kg). Apabila terjadi penurunan hargai cabai, PT Heinz ABC tetap akan membeli dengan harga yang disepakati. Namun, jika harga pasar lebih tinggi dari harga kontrak, PT Heinz ABC akan memberikan kenaikan harga sebesar 50% dari selisih harga pasar dan harga kontrak.
33
Pada tahun 2014 dilakukan operasi pasar cabai oleh Dinas Perdagangan yaitu pada saat terjadi kenaikan harga cabai hingga Rp30.000,00. Koperasi Lestari diminta untuk berperan serta dalam operasi pasar tersebut dengan memasok 2 truk yang tiap-tiap truk berisi 5 ton (total 10 ton) dengan harga jual Rp10.000,00 per kg. Dampak adanya cabai murah yang masuk pasar secara tidak langsung menurunkan harga cabai di Pasar Tanjung Jember. Pada bulan Agustus tahun 2015 dilakukan gerakan tanam cabai di musim kemarau (GTCK) yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian dan didukung oleh BI. Untuk gerakan ini KPw BI Jember memberikan bantuan lahan seluas 1 hektare, tetapi karena ingin berdampak lebih besar, koperasi sebagai pengelola klaster BI melakukan penambahan lahan sebanyak 14 hektare sehingga menjadi 15 hektare. Kendala terbesar dalam pelaksanaan GTCK adalah ketersediaan sumber air. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan dengan menggunakan pompa untuk mengairi lahan cabai. Biaya yang dihabiskan hingga panen pertama sebesar Rp5.900,00 per batang, sangat besar jika dibandingkan biaya produksi satu musim tanam pada umumnya (musim normal) sebesar Rp6.000,00 per batang. Beberapa permasalahan yang dijumpai dalam klaster Cabai Jember adalah sebagai berikut. 1. Penurunan harga yang sangat signifikan terjadi pada saat pasokan cabai melimpah. 2. Untuk melakukan penanaman cabai dibutuhkan modal yang cukup besar sehingga membutuhkan sumber dana dari pihak luar. Sebagai ilustrasi dibutuhkan biaya 100 juta rupiah untuk 1 hektare luas lahan tanam. Hasil AHP dan SWOT Berdasarkan hasil AHP pada klaster ini, faktor terpenting dalam proses produksi adalah skill dan teknologi. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh organisasi klaster, modal sosial, dukungan stakeholders, entreprenuership, dan akses pembiayaan. Kekuatan organisasi klaster di Jember menjadi faktor replikasi yang utama karena jalinan dengan industri sudah cukup lama terjalin. Di sisi lain, akses dan perluasan pasar serta modal sosial dan jaringan menjadi faktor utama dalam keberlanjutan pertanian klaster. Untuk klaster ini, permintaan akhir yang terpenting adalah keberadaan industri untuk jaminan pasar,
34
sedangkan untuk konektivitas, akses informasi merupakan faktor terpenting untuk memperoleh informasi harga ataupun hubungan dengan seluruh mitra koperasi.
Produksi
Replikasi 0.474
Skill
0.204
Teknologi
Akses Pembiayaan
Sustainability
Permintaan Antara 0.434
Akses dan Perluasan…
0.258
Modal Sosial dan…
Akses Keuangan Keberlangsungan Input
0.152 0.087
0.219 0.142 0.068
Inconsistency : 0,05
Pengepul/Pedagang
0,390 0,220
Konektivitas 0.572
Keberadaan Industri
Struktur Pasar
0,390
Inconsistency : 0,08
Permintaan Akhir
Rumah Tangga dan Industri
Pedagang Besar/Pasar Induk
Tengkulak/Juragan/Ta oke
0.069
Inconsistency : 0,02
Akses Pasar
0.089
Inconsistency : 0,20
Inconsistency : 0,03
Penanganan Pasca…
0.155
Entrepreneurship
0.068
Luas Lahan
0.177
Dukungan Stakeholder
0.083
Bibit
0.261
Modal Sosial
0.171
Masa Tanam
0.371
Organisasi Klaster
0.416
Akses Informasi Kualitas & Ketersediaan Infr. Relasi Pedagang dan Petani Jalur Distribusi
0,260 0.213 0.111
Inconsistency : 0,02
Grafik 11. Hasil AHP Klaster Cabai Jember Hasil SWOT menyimpulkan bahwa ketersediaan input dan manajemen klaster menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster terletak pada sistem informasi manajemen klaster serta administrasi klaster. Faktor demografis (tenaga kerja), sistem informasi, dan kedekatan dengan pemasok menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Di lain pihak, geografis dan kompetisi penggunaan lahan serta akses pasar masih menjadi ancaman bagi petani klaster.
35
Tabel 6.Hasil SWOT Klaster Cabai Jember
STRENGTH Ketersediaan input Manajemen klaster Pemasaran
OPPORTUNITY Faktor demografis Sistem informasi manajemen klaster Kedekatan dengan pemasok
WEAKNESS Sistem informasi manajemen klaster Manajemen klaster Modal sosial
THREAT Faktor geografis Faktor kompetitif Akses pasar
4.2.3 Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara Pengembangan klaster cabai rawit BI di Kabupaten Minahasa dimulai pada tahun 2014 yang bertepatan dengan penetapan Kabupaten tersebut sebagai Kabupaten Cabai. Terdapat 5 klaster cabai rawit yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu Tombulu, Tombariri, Tondano Selatan, Tondano Utara, dan Tompaso Barat (Tabel 7).
Tabel 7. Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Keterangan
Klaster
Nama Klaster
Klaster Cabai Kabupaten Minahasa
Penanggung Jawab Klaster
Bank Indonesia
Tahun Berdiri
2014
Tahun Mulai Klaster
2014
Lokasi dan Alamat Klaster
Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara
Jumlah Anggota/Petani
85
Nama GAPOKTAN
Dalam proses pembentukan Pemda Kabupaten Minahasa, PT. Gunung Mas Agro Lestari, serta BPN Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Minahasa Input: lokal
Stakeholder yang Terlibat Asal Pemasok Periode Tanam Luas Lahan Jumlah Produksi Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll) Sumber Modal Status/Tanggal Akhir Program Kegiatan Pendampingan
Agustus–Oktober dan Februari–Mei 5 hektare cabai rawit dan 5 hektare cabai merah 5–10 ton per tahun (cabai rawit dan merah) Lokal dan antar provinsi Swadaya dan bantuan BI (Program Sosial Bank Indonesia) On going, berakhir pada akhir tahun 2016 Pelatihan teknis budidaya bersama PT. GMAL, edukasi keuangan, fasilitasi Sertifikasi Hak Atas Tanah (SHAT) bersama BPN
36
Bantuan BI kepada klaster berupa penyediaan saprodi dan permodalan, bahkan pada awalnya BI menyediakan pembiayaan keseluruhan proses produksi. Untuk penyediaan saprodi dilakukan oleh Pemda melalui PT Gunung Mas Agro Lestari. Pengembangan klaster diawali dengan membuat demplot dengan luas 1 hektare yang dikerjakan oleh satu kelompok tani yang terdiri atas rata-rata 10 petani. Rata-rata produksi setiap demplot adalah 1 ton per tahun. Produksi cabai rawit untuk keseluruhan demplot cabai rawit (termasuk 10 hektare demplot dari Pemda) adalah sebanyak 15 ton. Dengan produksi sebesar 15 ton per tahun dan defisit sebesar 2.488 ton per tahun, klaster BI hanya menutup defisit sebesar 0,60%. Karena Kabupaten Minahasa telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit sebesar 130 ton pada tahun 2014 atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 319 ton dari 354 ton menjadi 673 ton, program Kabupaten Cabai telah berhasil mengurangi defisit produksi cabai rawit Kabupaten Minahasa sebesar 12,82%. Peran klaster BI dalam kestabilan harga masih sangat minim karena masih tingginya gejolak harga terutama pada bulan Desember tahun 2014. Kestabilan harga tidak hanya dipengaruhi oleh peningkatan produksi, tetapi juga oleh penyelarasan antara pola tanam dan faktor musiman konsumsi masyarakat. Beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan klaster BI adalah sebagai berikut. 1. Peran klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai cenderung disebabkan oleh adanya bantuan atau insentif BI dalam pembuatan demplot. 2. Jumlah anggota kelompok tani yang terlibat dalam demplot seluas 1 hektare pada umumnya berjumlah 10 petani. Jumlah tersebut tidak efisien karena mendorong terjadinya freerider sehingga pengembangan klaster menjadi tidak optimal. 3. Upaya melakukan replikasi budi daya cabai masih kurang atau gagal terbentuk. Hal itu disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam satu demplot (1 hektare) sehingga keuntungan atau hasil per petani sangat kecil. Hal tersebut belum mendorong petani melakukan replikasi budi daya cabai. 4. Adanya indikasi kelompok tani yang tidak berada dalam satu kawasan menyebabkan sulitnya koordinasi dalam pengembangan klaster/demplot.
37
Hasil AHP dan SWOT Hasil kajian AHP (Grafik 12) menunjukkan bahwa seluruh proses memiliki konsistensi yang tinggi, kecuali permintaan akhir. Oleh karena itu, hasil AHP dari proses ini tidak valid untuk diambil simpulan. Untuk proses produksi, faktor terpenting adalah teknologi dan keahlian. Teknologi yang dibutuhkan adalah handtractor dan pompa air/embung. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh modal sosial, organisasi klaster, dukungan stakeholders, dan akses pembiayaan. BI sebaiknya mampu memanfaatkan modal sosial petani (mapalus), yaitu budaya gotong royong masyarakat Minahasa untuk melakukan replikasi klaster. Di sisi lain, akses dan perluasan pasar serta penanganan pascapanen menjadi faktor utama dalam keberlanjutan klaster.
Produksi
Replikasi 0.316
Teknologi
0.297
Skill
0.143
Luas Lahan
Modal Sosial
0.223
Organisasi Klaster
0.216
Dukungan Stakeholder
0.203 0.202
Masa Tanam
0.123
Akses Pembiayaan
Bibit
0.121
Entrepreneurship
Inconsistency : 0,03
Inconsistency : 0,02
Sustainability
Permintaan Antara 0.296
Akses dan Perluasan…
0.231
Penanganan Pasca…
0.193
Modal Sosial dan… Akses Keuangan Keberlangsungan Input
0.161
Pedagang Besar/Pasar Induk
0.338 0.137
Inconsistency : 0,04
Permintaan Akhir Rumah Tangga dan Industri
Konektivitas 0.365 0.273
Keberadaan Industri
0.247
Akses Pasar
Inconsistency : 0,38
0.525
Pengepul/Pedagang
Tengkulak/Juragan/Ta oke
0,120
Inconsistency : 0,03
Struktur Pasar
0.156
0.115
0.305
Akses Informasi Kualitas & Ketersediaan Infr. Relasi Pedagang dan Petani Jalur Distribusi
0.274 0.252 0.168
Inconsistency : 0,03
Grafik 12. Hasil AHP Klaster Cabai Kabupaten Minahasa 38
Tabel 8. Hasil SWOT Klaster Cabai Minahasa
STRENGTH Modal sosial Ketersediaan input Budaya kewirausahaan OPPORTUNITY Kedekatan dengan pemasok Peran stakeholder Akses informasi
WEAKNESS Produksi/operasi Penelitian dan pengembangan Keuangan/akuntansi THREAT Infrastruktur Akses pasar Faktor kompetitif
Hasil SWOT menyimpulkan bahwa modal sosial dan ketersediaan input menjadi kekuatan klaster paling dominan. Di sisi lain, kelemahan klaster terletak pada produksi, penelitian dan pengembangan, serta administrasi keuangan klaster. Kedekatan dengan pemasok serta dukungan stakeholders menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Di lain pihak, infrastruktur dan ketiadaan akses pasar masih menjadi ancaman bagi petani klaster. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyediaan teknologi dan infrastruktur dari stakeholders, modal sosial, atau mapalus menjadi faktor yang selaras dalam peningkatan pasokan. Lebih lanjut, akses pasar atau toko tani dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman terhadap pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun masyarakat umumnya.
4.2.4 Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Simalungun dipilih oleh Bank Indonesia sebagai daerah pengembangan klaster bawang merah karena memiliki kondisi geografis yang cukup baik. Struktur tanah lokasi ini sangat baik bagi tumbuhnya bawang merah karena memiliki karakteristik berpasir dengan sumber air yang melimpah. Lokasi pembinaan klaster bawang merah, yaitu Kecamatan Haranggaol Horisan, dahulunya merupakan sentra penghasil bawang merah sejak tahun 1980. Pada masa itu bawang merah dari daerah tersebut terkenal akan rasanya yang pedas sehingga banyak permintaan dari konsumen di Sumatera Utara. Namun, pada awal tahun 1990-an, virus tanaman menyerang seluruh area pertanian bawang merah sehingga petani lalu beralih pada budi daya tanaman lain seperti kopi. Dengan motivasi mengembalikan pertanian bawang merah di Kecamatan Haranggaol Horisan, pada tahun 2012 beberapa petani mencoba melakukan budi daya bawang merah. Kemudian pada awal tahun 2013, KPw Bank Indonesia 39
Pematang Siantar bekerja sama dengan BPTP Sumatera Utara melakukan studi mengenai pendampingan petani bawang merah dengan membentuk klaster. Setelah pengujian laboratorium terhadap beberapa jenis bibit bawang merah, diketahui jenis bawang merah maja merupakan yang paling cocok untuk struktur tanah dari kawasan ini.
Tabel 9. Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun Keterangan
Klaster
Nama Klaster
Klaster Bawang Merah
Penanggung Jawab Klaster
Bank Indonesia
Tahun Berdiri
2012
Tahun Mulai Klaster
Jumlah Anggota/Petani
2013 Kec. Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara 50
Nama GAPOKTAN
Kelompok Tani Andalan
Stakeholder yang Terlibat
BPTP Sumatera Utara
Asal Pemasok
Input: Kabupaten Aipopo
Periode Tanam
Juli–September dan Maret–Mei
Luas Lahan
13,9 hektare
Jumlah Produksi Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll) Sumber Modal
20 ton
Lokasi dan Alamat Klaster
Status/Tanggal Akhir Program Kegiatan Pendampingan
Antarkabupaten dalam provinsi Swadaya On going, berakhir pada pertengahan tahun 2016 Pelatihan teknis budidaya dan pengadaan benih, penyuluhan pupuk organik
Bank Indonesia memberikan bantuan dalam bentuk sarana produksi pertanian dengan ketentuan maksimal 5 rante (satuan luas wilayah, 1 rante = 400 m2). BPTP secara berkala memberikan hasil diseminasi dan pelatihan kepada petugas penyuluh lapang (PPL) untuk memberikan penyuluhan teknis kepada para petani seperti alokasi pupuk yang tepat, masa tanam yang disesuaikan dengan cuaca dan budi daya bibit bawang. Pada awalnya petani hanya mampu memproduksi rata-rata 8 ton. Setelah adanya pendampingan dari Bank Indonesia dan BPTP, petani mampu menghasilkan rata-rata 20–25 ton (panen terakhir pada awal September 2015).
40
Meskipun mengalami peningkatan produksi, defisit bawang merah Sumatera Utara sebesar 39.781 ton pada tahun 2014 menyebabkan produksi klaster hanya menutupi defisit sebesar 0,06%. Selain itu, produksi bawang merah di Kabupaten Simalungun sendiri juga mengalami defisit pada tahun tersebut. Di sisi lain, keberadaan klaster bawang merah di Kecamatan Haranggaol Horisan mampu menarik minat petani di luar klaster binaan Bank Indonesia untuk ikut budi daya bawang merah. Pada awalnya Bank Indonesia hanya membina dua kelompok tani klaster bawang merah itu. Sekarang kelompok tani sudah bertambah menjadi delapan kelompok dan saat ini sedang proses untuk bertambah kembali sebanyak dua kelompok baru. Keberadaan klaster bawang merah di Kecamatan Haranggaol Horisan ini mampu meningkatkan produksi bawang merah dari segi kuantitas dan terjadi efek ganda (semakin banyak petani budi daya bawang merah). Namun, luas lahan tanam semakin sempit akibat persaingan penggunaan lahan dengan komoditas pertanian lainnya sehingga produksi bawang merah kurang maksimal. Penurunan produksi disebabkan pula oleh faktor cuaca yang kerap berasap (pembakaran hutan) yang berdampak pada kurangnya sinar matahari dan berkabut (terletak di dataran tinggi).
Hasil AHP dan SWOT Hasil perhitungan dari kuesioner AHP dan SWOT yang dilakukan di daerah survei klaster bawang merah menunjukkan bahwa, dari sisi produksi, teknologi dan skill merupakan hal paling penting bagi kelancaran proses produksi di klaster bawang merah Kabupaten Simalungun. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi obat tanaman yang secara berkala diberikan ke area pertanian. Kemampuan budi daya tanaman juga merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan produksi. Produksi
Replikasi 0.339
Teknologi
0.243
Skill Luas Lahan Masa Tanam Bibit
0.141
Organisasi Klaster
0.327
Dukungan Stakeholder
0.305
Modal Sosial
0.149
0.14
Entrepreneurship
0,110
0.137
Akses Pembiayaan
0.108
Inconsistency : 0,07
Inconsistency : 0,03
41
Permintaan Antara
Sustainability Akses dan Perluasan Pasar Modal Sosial dan Networking
0.339
Keberlangsungan Input
0.487
0.219
0.16
Tengkulak/Juragan/Ta oke
0.099
0.318
Pengepul/Pedagang
0.183
Akses Keuangan Penanganan Pasca Panen
Pedagang Besar/Pasar Induk
0.196
Inconsistency : 0,06
Inconsistency : 0,003
Permintaan Akhir
Konektivitas 0.329
Akses Pasar Rumah Tangga dan Industri
0.293 0.215
Keberadaan Industri Struktur Pasar
Kualitas & Ketersediaan Infr.
0.162
Inconsistency : 0,08
0.324 0.275
Akses Informasi
0.241
Jalur Distribusi Relasi Pedagang dan Petani
0.16
Inconsistency : 0,05
Grafik 13. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun Dari segi pemasaran, untuk permintaan akhir, akses pasar menjadi penting karena di Sumatera Utara terdapat sentra terminal agribisnis (STA) yang menjadi tempat berkumpulnya semua hasil pertanian dari berbagai daerah. Dari STA ini pedagang-pedagang kecil akan mengambil komoditas untuk dijual di pasar-pasar konsumsi. Peran pedagang pengepul yang mengumpulkan hasil tanaman dari petani untuk dibawa ke STA merupakan hal yang sangat penting dalam kelancaran distribusi. Untuk sarana dan prasarana infrastruktur yang menjadi indikator penting dalam konektivitas, kondisi jalan dari dan menuju klaster di kecamatan Haranggaol Horisan memang belum cukup baik. Kondisi jalan yang sempit, terjal, dan berbukit menyebabkan lokasi ini sulit untuk diakses. Masalah keterjangkauan pasar merupakan isu yang penting bagi klaster bawang merah Kabupaten Simalungun. Hal itu disebabkan lokasi pasar yang dapat dijangkau cukup jauh dengan akses jalan yang kurang baik. Pangsa pasar juga merupakan isu penting dalam sustainability karena adanya kebutuhan pangsa
42
pasar yang cukup besar di Sumatera Utara (dilihat dari konsumsinya). Hal tersebut menjadi motivasi yang besar bagi petani untuk terus berproduksi. Untuk indikator replikasi, organisasi klaster merupakan hal yang paling utama yang mempengaruhi proses replikasi klaster. Organisasi klaster yang baik dan didukung dengan modal sosial yang kuat di klaster bawang merah tersebut mampu menarik perhatian petani lain untuk bergabung dalam kelompok-kelompok tani baru. Selain itu, kemampuan klaster mengelola dana secara baik dari modal yang ada mampu menjaga keberlangsungan budi daya untuk periode tanam selanjutnya. Dari analisis SWOT ditemukan bahwa yang menjadi kekuatan dari internal klaster bawang merah Kabupaten Simalungun adalah modal sosial yang kuat, input, dan kemampuan bertani dari anggota klaster. Semangat dan motivasi yang kuat dari anggota klaster yang didukung dengan faktor historis dari Kecamatan Haranggaol Horisan menjadi modal awal yang baik bagi berkembangnya klaster. Ketersediaan input sangat baik dan berasal dari luar klaster, yaitu dari daerah Aipopo. Saat ini klaster sedang mengembangkan benih bawang merah. Kelemahan yang ada dalam klaster, antara lain, adalah (i) masih kurangnya budaya kewirausahaan serta belum memiliki sistem informasi yang memadai; dan (ii) belum adanya gudang yang layak untuk menyimpan dan mengeringkan bawang merah sehingga bawang lebih cepat bertunas dan tidak dapat dijual untuk konsumsi.
Tabel 10. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun
STRENGTH Ketersediaan input Modal sosial Kompetensi dan keahlian
OPPORTUNITY Faktor geografis Faktor ekonomi Faktor kompetitif
WEAKNESS Budaya kewirausahaan Sistem informasi Sarana penyimpanan hasil produksi THREAT
Akses pasar Akses informasi Peran stakeholder
Faktor geografis—terutama kondisi tanah yang baik dan ketersediaan sumber air—menjadi faktor eksternal yang mendukung kemajuan klaster. Sumber air yang memadai membuat klaster ini dapat melakukan penanaman sepanjang tahun (tidak terpengaruh musim kemarau). Selain itu, bawang merah yang dihasilkan oleh 43
klaster ini lebih kompetitif jika dibandingkan dengan tanaman lain di klaster yang sama atau hasil bawang merah dari klaster lain.
4.2.5 Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat Program Klaster BI belum bersifat masif dan masih bersifat pilot project. Kegiatan yang dilakukan BI KPw Cirebon, antara lain, adalah pengembangan kapasitas dan peningkatan pendapatan dan petani. Pengembangan klaster bawang merah oleh BI mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Majalengka. Saat ini,
selain
pengembangan
kawasan
pertanian
bawang
merah,
pemerintah
Kabupaten Majalengka ingin masuk ke pasar terstruktur, mengembangkan produk turunan bawang merah, serta mengatur pola tanam yang lebih baik. Petani di Kabupaten Majalengka sudah terbiasa menyisihkan hasil panen bawang untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Biasanya jumlah yang disimpan berkisar 30% dari hasil panen sehingga ketika terjadi kenaikan harga, para petani tidak mengalami kendala dalam pengadaan bibit. Beberapa petani bawang di Kabupaten Majalengka mengkhususkan dirinya sebagai petani penangkar atau penyedia bibit yang seluruh hasil produksinya akan disimpan untuk dijadikan bibit dan dijual 3–4 bulan berikutnya.
Tabel 11. Profil Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Keterangan Nama Klaster Penanggung Jawab Klaster Tahun Berdiri Tahun Mulai Klaster Lokasi dan Alamat Klaster Ketua Asosiasi Stakeholder yang Terlibat Asal Pemasok Periode Tanam
Klaster Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Bank Indonesia 2014 2014 (secara produksi sudah dilaksanakan sejak 10 tahun silam, klaster BI baru masuk tahun 2014) Kabupaten Majalengka (Kadipaten, Ligung, Dawuan, Cibunut, Cijurey) Mudassir Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, Dinas Perdagangan dan UMKM Kabupaten Majalengka Sudah berproduksi sendiri. Terdapat pengusaha yang menjadi distributor bawang merah dari Probolinggo. Bawang tersebut dilakukan pembersihan dan penimbangan, lalu dikirim ke Sumatera Utara Sepanjang tahun
44
Tabel 11. (lanjutan) Keterangan
Klaster
Luas Lahan
Total: 30 hektare (dari 3 orang yang mengelola)
Produktivitas
Dataran rendah: 12–15 ton/ha Dataran tinggi: 8–10 ton/ha
Pemasaran (Lokal, Antar KabupatenProvinsi, dll)
Lokal, antar kabupaten dan provinsi
Sumber Modal
Swadaya dan bantuan saprodi dari stakeholder
Status/Tanggal Akhir Program Kegiatan Pendampingan
Program masih berjalan hingga saat ini, akan diadakan program Brigade Pelatihan budi daya, pelatihan pengembangan produk turunan
Produksi klaster BI di Kabupaten Majalengka tahun 2014 mencapai 795 ton. Hal itu berarti telah berkontribusi sebesar 3% terhadap surplus bawang merah di Jawa Barat sebesar 26.516 ton. Selain itu, Kabupaten Majalengka telah meningkatkan surplus bawang merah sebesar 6.527 ton pada tahun 2014 sehingga Kabupaten Majalengka telah menambah surplus produksi bawang merah sebesar 3%. Lahan yang dikelola klaster bawang merah sebesar 30 hektare dan berasal dari lahan 3 kelompok. Kegiatan klaster BI mampu meningkatkan produktivitas atau sumber daya manusia sehingga menginspirasi Pemda Kabupaten Majalengka melakukan kegiatan pengembangan klaster bawang merah. Untuk menunjang kegiatan klaster bawang merah, petani klaster telah membentuk koperasi yang dimanfaatkan untuk melakukan simpan pinjam dan memberikan fasilitas bibit jika petani kesulitan mencari bibit. Namun, untuk kepentingan keamanan, saat ini koperasi masih meminta jaminan untuk pinjaman.
Hasil AHP dan SWOT Berdasarkan hasil analisis hierarki proses, tingkat kebutuhan klaster bawang merah Kabupaten Majalengka terhadap proses replikasi, modal sosial, organisasi klaster, dan dukungan stakeholder memiliki tingkatan yang hampir sama. Pengelolaaan klaster bawang merah Kabupaten Majalengka sudah baik dengan antusiasme petani yang cukup tinggi, tetapi masih perlu ditingkatkan agar klaster memiliki nilai tambah yang lebih besar lagi bagi anggotanya.
45
Untuk keberlangsungan usaha, perlu dikembangkan akses dan perluasan pasar. Penanganan pascapanen lebih dibutuhkan oleh klaster bawang merah Kabupaten Majalengka di dataran tinggi karena hanya kendaraan tertentu saja yang dapat menjangkau klaster. Dari sisi permintaan antara, pedagang besar sangat dibutuhkan. Majalengka merupakan sentra bawang setelah Brebes yang berkaitan langsung dengan akses pasar dalam segi permintaan akhir. Dua hal itu saling berkesinambungan. Akses pasar harus lebih dimatangkan karena jika akses pasar (misalnya Pasar Kramat Jati) telah diblok oleh pasokan dari Brebes, bawang merah Kabupaten Majalengka akan sulit dipasarkan. Akses informasi di Kabupaten Majalengka menjadi sangat penting, terlebih sinyal di dataran tinggi tidak terlalu bagus sehingga menyebabkan koneksi telepon seluler di daerah tersebut menjadi sulit. Selain harga, diperlukan informasi masa tanam di daerah lain, khususnya di Brebes. Hal itu berguna untuk keseimbangan, terutama pada saat tidak musim panen di Brebes karena Kabupaten Majalengka dapat melakukan penanaman sepanjang tahun di dataran rendah atau di dataran tinggi.
Produksi
Replikasi 0.447
Skill
0.251
Teknologi
Modal Sosial
0.246
Organisasi Klaster
0.242 0.221
Bibit
0.102
Dukungan Stakeholder
Masa Tanam
0.101
Entrepreneurship
0.147
Akses Pembiayaan
0.147
Luas Lahan
0.1 Inconsistency : 0,15
Inconsistency : 0,06
Sustainability
Permintaan Antara 0.412
Akses dan Perluasan…
Penanganan Pasca… Modal Sosial dan… Akses Keuangan Keberlangsungan Input
0.235 0.139 0.126 0.088
Inconsistency : 0,03
Pedagang Besar/Pasar Induk Pengepul/Pedagang Tengkulak/Juragan/Ta oke
0.625 0.231 0.144
Inconsistency : 0,04
46
Permintaan Akhir
Konektivitas 0.501
Akses Pasar
0.341
Struktur Pasar
Rumah Tangga dan Industri Keberadaan Industri
Akses Informasi
0.311
Relasi Pedagang dan Petani
0.298
0.094 0.064
Jalur Distribusi Kualitas & Ketersediaan Infr.
Inconsistency : 0,09
0.205 0.186
Inconsistency : 0,05
Grafik 14. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Berdasarkan hasil SWOT, faktor produksi, ketersediaan input, dan faktor lain merupakan kekuatan klaster yang paling utama, sedangkan akses pasar, manajemen klaster, dan sisi keuangan masih terbilang lemah sehingga kriteria itu harus ditingkatkan kembali. Tantangan besar yang harus dihadapi adalah akses informasi, pembelian, faktor kompetitif, dan sosial budaya. Keunggulan Kabupaten Majalengka adalah memiliki faktor geografis yang terdiri atas dua dataran sehingga penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan faktor ekonomi dan kedekatan dengan pemasok.
Tabel 12. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
STRENGTH Produksi Ketersediaan input Penelitian dan pengembangan
OPPORTUNITY Faktor demografis Faktor ekonomi Faktor geografis
WEAKNESS Manajemen klaster Akses pasar Keuangan/akuntansi
THREAT Akses informasi Pembelian Faktor kompetitif
4.2.6 Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah Produksi bawang merah dari klaster di Kota Palangkaraya masih rendah karena klaster relatif baru dan lahan yang digunakan masih terbatas (berbentuk demplot). Produksi bawang merah yang ada saat ini masih terbatas untuk benih. Hasil panen dari klaster bawang merah akan dijual kembali kepada dinas untuk selanjutnya dikirim ke petani yang akan menanam bawang merah. Total produksi bawang merah mencapai 30 ton per hektare per musim tanam dan produksinya
47
belum masuk ke pasar-pasar di Kota Palangkaraya dan Kalimantan Tengah. Selama ini, Kalimantan Tengah mengalami defisit produksi bawang merah yang cukup besar. Kebutuhan konsumsi akan bawang merah di Kalimantan Tengah dikirim dari Bima (NTB), Brebes (Jawa Barat), dan Probolinggo (Jawa Timur).
Tabel 13. Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya Keterangan
Klaster
Nama Klaster
Klaster Bawang Merah Palangkaraya
Penanggung Jawab Klaster
Bank Indonesia
Tahun Berdiri
2013
Tahun Mulai Klaster
2013
Lokasi dan Alamat Klaster
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Jumlah Anggota/Petani
25
Nama GAPOKTAN/Asosiasi
-
Stakeholder yang Terlibat
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Dinas Pertanian Kota Palangkaraya
Asal Pemasok
Benih: Brebes, Bima
Periode Tanam
Sepanjang tahun
Luas Lahan
4–5 hektare
Jumlah Produksi Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll) Sumber Modal
30 ton/musim tanam
Status/Tanggal Akhir Program
Bantuan fisik diminimalkan, pembinaan teknis dan nonmaterial masih berlangsung Pelatihan budi daya, pelatihan pengolahan pascapanen, pemurnian benih, pelatihan analisis usaha tani
Kegiatan Pendampingan
Lokal Swadaya dan bantuan saprodi dari stakeholder
Jumlah produksi bawang merah dari klaster BI di Kota Palangkaraya kurang lebih sebesar 30 ton. Hal itu berarti telah berkontribusi sebesar 0,42% untuk menutup defisit produksi bawang merah di Kalimantan Tengah yang besarnya mencapai 7.187 ton per tahun. Jumlah produksi bawang merah di Palangkaraya meningkat signifikan pada tahun 2014 (123%) dari total produksi sebesar 11,06 ton tahun sebelumnya. Walaupun telah meningkat signifikan, Kalimantan Tengah tetap belum dapat mengimbangi kenaikan konsumsi bawang merah yang meningkat
48
11,1% pada tahun 2014. Dengan demikian, keberadaan klaster yang ada saat ini belum mampu untuk menutup defisit produksi bawang merah. Terdapat beberapa permasalahan/tantangan dalam upaya pengembangan bawang merah di Kalimantan Tengah, antara lain, adalah sebagai berikut. 1. Masih terbatasnya jumlah petani yang mengembangkan bawang merah di Kalimantan Tengah. 2. Masih terbatasnya jumlah petani di Kalimantan Tengah yang memahami teknis budi daya bawang merah secara baik. 3. Lahan di Kalimantan Tengah merupakan lahan marginal, berpasir, dan gambut sehingga diperlukan biaya input yang tinggi. 4. Terbatasnya aspek legalitas kepemilikan lahan oleh petani. 5. Kurangnya ketersediaan benih yang bermutu menjelang musim tanam. 6. Terbatasnya jumlah penyuluh, pengawas benih tanaman (PBT), dan petugas pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT) yang memahami teknis budi daya bawang merah. 7. Belum optimalnya fungsi kelembagaan di tingkat petani. 8. Belum adanya lembaga independen atau sukarelawan yang mau mendampingi program pengembangan bawang merah.
AHP dan SWOT Hasil analisis hierarki proses (Grafik 15) sejalan dengan hasil wawancara mendalam kepada masing-masing pihak. Pada proses produksi, klaster di Kota Palangkaraya sangat membutuhkan keahlian dan kemampuan dalam budi daya bawang merah, mulai dari penanaman hingga panen. Waktu dua tahun sejak diperkenalkannya bawang merah kepada petani dirasakan masih belum cukup untuk menguasai budi daya bawang merah sehingga belum mampu menangani permasalahan secara cepat jika terjadi serangan hama dan penyakit. Teknologi pengolahan lahan seperti penggemburan tanah masih menggunakan cangkul sehingga hasilnya tidak optimal. Di samping itu, tidak adanya saluran irigasi memaksa petani menggunakan sumur bor dan pompa sehingga membutuhkan biaya lebih mahal. Pada permintaan antara, petani lebih memilih untuk dapat langsung menjual hasil panennya ke pedagang/pengepul daripada ke pedagang besar atau tengkulak. Hal itu disebabkan petani belum memiliki akses ke pedagang besar. Sementara itu,
49
jika dijual kepada tengkulak, harga bawang merah akan dipermainkan atau ditentukan sepenuhnya oleh tengkulak. Akses ke pasar sangat penting bagi petani dalam rangka pemenuhan permintaan akhir karena bawang merah yang dihasilkan belum menembus pasar yang ada di Kota Palangkaraya, tetapi disalurkan kembali kepada dinas sesuai dengan jumlah pemberian dinas. Dari segi konektivitas, terlihat bahwa akses informasi seperti informasi harga, informasi pola tanam, dan informasi lainnya paling dibutuhkan oleh klaster di Kota Palangkaraya.
Produksi
Replikasi
Skill
0.371
Dukungan Stakeholder
Teknologi
0.354
Modal Sosial
0.124
Bibit
Luas Lahan
Permintaan Antara 0.435
0.506
Pengepul/Pedagang
0.192 Pedagang Besar/Pasar Induk
0.178
Akses Keuangan
0.101
Keberlangsungan Input
0.095
Tengkulak/Juragan/Ta oke
Inconsistency : 0,05
0.384 0,110
Inconsistency : 0,004
Permintaan Akhir
Konektivitas 0,350
Akses Pasar Rumah Tangga dan Industri
Inconsistency : 0,10
0.138
Inconsistency : 0,34
Sustainability
Keberadaan Industri
0.152
Organisasi Klaster
Inconsistency : 0,12
Struktur Pasar
0.169
Akses Pembiayaan
0.039
Penanganan Pasca Panen Modal Sosial dan Networking Akses dan Perluasan Pasar
0,250
Entrepreneurship
0.111
Masa Tanam
0.291
0,280 0,230 0,140
0.365
Akses Informasi Relasi Pedagang dan Petani Kualitas & Ketersediaan Infr. Jalur Distribusi
0.278 0.214 0.142
Inconsistency : 0,09
Grafik 15. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya 50
Berdasarkan hasil analisis SWOT pada Tabel 14, terlihat masih banyak kelemahan yang harus diperbaiki dalam kegiatan pengembangan klaster bawang merah di Kota Palangkaraya, seperti manajemen klaster, modal sosial, dan produksi/budi daya. Hal itu disebabkan usaha budi daya bawang merah merupakan sesuatu yang baru dalam dunia pertanian Kalimantan Tengah sehingga harus didukung dari segala arah untuk menunjang proses kegiatan produksi bawang merah. Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi adalah akses pasar karena bawang merah produksi Kalimantan Tengah belum banyak dikenal. Tantangan lainnya ialah kurangnya akses informasi dan adanya faktor sosio-demo-geografis yang belum mendukung. Peran stakeholder yang baik dari berbagai pihak di Kalimantan Tengah diharapkan akan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada.
Tabel 14. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
STRENGTH Ketersediaan input Penelitian dan pengembangan Kompetensi dan keahlian
OPPORTUNITY Peran stakeholder Faktor ekonomi Faktor kompetitif
WEAKNESS Manajemen klaster Modal sosial Produksi/budidaya
THREAT Akses pasar Akses informasi Faktor demografi
4.3 Tata Niaga Cabai dan Bawang Merah CABAI Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar Umumnya petani di Kabupaten Tanah Datar menjual kepada pengepul karena sudah terjalin hubungan yang lama. Hasil panen langsung diambil oleh pengepul di lokasi lahan mereka. Untuk petani klaster BI, pengepul akan menerima seluruh hasil panennya meskipun stok di pengepul sudah banyak. Pengepul akan menjual cabai dengan margin keuntungan Rp4.000,00–Rp5.000,00/kg. Pengepul tidak melakukan penyimpanan/stok cabai dari petani, semua cabai yang tiba langsung dibagi sesuai dengan pesanan dari Riau dan sisanya dijual di pasar lokal.
51
Lokasi pengepul adalah di Pasar Padang Luar dengan jumlah pengepul yang sejenis sebanyak delapan orang. Jumlah barang yang dikirim berkisar 2–5 ton per hari. Setiap hari sebanyak 40–50 orang petani menjual cabai kepada pengepul, tetapi saat sepi hanya sekitar 25 orang petani per hari. Untuk komoditas cabai, setiap 50 kg cabai yang diterima akan mengalami susut 1–2 kg yang disebabkan faktor fisik (cabai patah/jelek). Harga cabai yang diterima dari petani umumnya bagus hingga panen ke-8, setelah itu pengepul akan memberikan harga lebih rendah karena kualitas setelah panen ke-8 lebih rendah.
Klaster Cabai Kabupaten Jember Pemasaran cabai di Kabupaten Jember tidak mengalami kendala karena produksi klaster akan diserap oleh PT Heinz ABC berdasarkan kontrak yang telah disepakati. Setiap tahun Koperasi Mitra Lestari sebagai pengelola klaster memasok cabai sebanyak 1.500 ton.
Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Perdagangan cabai rawit di pasar kota Manado yang merupakan sentra konsumsi cabai rawit di Sulawesi Utara dikuasai oleh satu pedagang besar. Bahkan, pengepul yang berhubungan langsung dengan petani juga dianggap merupakan kaki tangan dari pedagang besar tersebut. Pedagang besar ini menguasai pasokan antarwilayah yang masuk ke Manado, terutama dari Gorontalo. Dengan menguasai pasar dari petani sampai konsumen akhir serta menguasai perdagangan antardaerah, pedagang besar tersebut memiliki
kekuatan monopoli dalam
perdagangan cabai di Manado yang berimplikasi pada kemampuan mengatur harga dengan mengatur pasokan. Karena cabai bersifat perishable, kekuatan pedagang besar bergantung pada tingkat kompetisi pelaku pasar. Untuk itu, pemerintah dan BI perlu mendorong perbaikan tata niaga cabai rawit di tingkat petani, misalnya dengan mendirikan toko tani dan koperasi.
Jalur Pemasaran/Penjualan Cabai: 1. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Tanah Datar Petani Pengepul Riau/Pengecer
52
2. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Kabupaten Jember Petani Mitra Koperasi Industri (PT Heinz ABC) 3. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Petani Pengumpul/Pedagang Besar Pengecer Konsumen
BAWANG MERAH Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun Kabupaten Simalungun dikenal luas dengan hasil pertanian, khususnya produk hortikultura karena lokasinya yang berada di dataran tinggi. Salah satu komoditas unggulan yang dihasilkan adalah bawang merah yang di antaranya dihasilkan oleh para petani binaan KPw Bank Indonesia Pematangsiantar di Kecamatan Haranggaol Horisan. Bawang merah yang dihasilkan setiap panen akan dikumpulkan oleh pengepul lokal untuk dibawa ke STA (sub-terminal agribisnis) Saribu Dolok yang khusus buka pada hari pasar (pekan), yaitu hari Rabu. Pada hari pasar tersebut banyak pedagang dan pengepul yang datang dari berbagai daerah yang menjual atau membeli hasil pertanian, termasuk di antaranya bawang merah dari Kecamatan Haranggaol Horisan. Sementara itu, di Pematangsiantar, STA serupa bernama STA Parluasan, buka pada hari pasar (pekan), yaitu hari Senin dan Kamis. Pengepul mendatangkan komoditas bawang merah dari daerah-daerah di Sumatera Utara serta dari Jawa. Pedagang pengecer tidak hanya dari Pematangsiantar saja, tetapi juga berasal dari Medan dan berbagai daerah di Sumatera Utara lainnya. Peran penting pengepul yang mengumpulkan komoditas dari petani dan menjualnya di STA akan lebih baik dan terorganisasi jika diwadahi dalam koperasi sehingga mampu menaikkan nilai tukar petani di STA.
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Klaster bawang merah Kabupaten Majalengka menjual hasil panennya kepada pengepul yang juga merupakan bagian dari klaster untuk selanjutnya dibawa kepada pedagang besar di kabupaten yang sama. Pedagang besar akan mendistribusikan cabai sesuai dengan wilayah yang menjadi pasarnya, seperti pasar induk, pasar modern, atau eksportir sebagai berikut.
53
1. PD Medal Rahayu a. Pasar Induk Caringin dengan permintaan 10 ton/hari b. Supermarket dengan permintaan 7 ton/minggu 2. MJ Sukasari Kaler PT Alamanda Sejati (dijual ke Singapura) dengan permintaan 2 ton/minggu
Klaster Bawang Merah Palangkaraya Bawang merah yang ada di Kota Palangkaraya berasal dari Bima, NTB, dan Brebes. Bawang tersebut masuk melalui pelabuhan di Kalimantan Selatan (Trisakti), lalu dikirim ke Palangkaraya melalui jalur darat dan langsung masuk ke pasar besar di Palangkaraya. Pasar besar di Palangkaraya memiliki tiga orang pengepul besar yang mendistribusikan bawang merah ke pedagang kecil untuk dijajakan kepada konsumen. Pengepul memiliki koneksi dengan pengirim bawang merah, sebagian merupakan keluarganya sendiri. Beberapa pedagang yang tidak memiliki hubungan dengan pengepul akan mendatangkan sendiri bawang merah dengan menggunakan truk dan menjualnya langsung di tempat dengan harga yang lebih murah. Bawang merah yang dijual merupakan hasil campuran bawang dari berbagai varietas serta belum disortir. Di pasar Kota Palangkaraya belum ada bawang merah yang merupakan produksi lokal Kota Palangkaraya sendiri karena petani klaster masih menjual bawang merah ke dinas pertanian sebagai bibit.
Jalur Pemasaran/Penjualan Bawang Merah: 1. Jalur Pemasaran di Kabupaten Simalungun Petani STA Simalungun Pengecer Konsumen 2. Jalur Pemasaran di Kabupaten Majalengka, alternatifnya adalah sebagai berikut. a. Petani Konsumen b. Petani Pengumpul Besar Pengecer Konsumen c. Petani Pengumpul Kecil Pengumpul Besar Pengecer Konsumen d. Petani Pengepul Pedagang Besar Kabupaten Pedagang Besar provinsi/Antarpropinsi Pasar Induk Konsumen e. Petani Pengepul Supermarket di Bandung 3. Jalur Pemasaran di Palangkaraya
54
a. Petani Palangkaraya Dinas Pertanian b. Petani Bima, Brebes Pengumpul Kecil Pengumpul Besar Pengepul Palangkaraya Pengecer Konsumen
4.4
Estimasi Pasokan Klaster untuk Pengendalian Harga
Dekomposisi Pola Produksi Data estimasi produksi komoditas cabai rawit, cabai besar, cabai total, dan bawang merah berdasarkan metode dekomposisi dapat dilihat pada Grafik 16, Grafik 17, dan Grafik 18. Kebutuhan klaster untuk menambah produksi ketika produksi mengalami musim yang menurun atau di bawah trend.
Cabai Rawit 160,000 150,000
Ton
140,000 130,000 120,000 110,000
Dec-16
Nov-16
Oct-16
Sep-16
Aug-16
Jul-16
Jun-16
May-16
Apr-16
Mar-16
Feb-16
Jan-16
100,000
Grafik 16. Peran Klaster Cabai Rawit untuk Mempengaruhi Pasokan Pada tahun 2016 klaster harus menambah produksi cabai rawit sebanyak 70.816 ton yang tersebar pada bulan Januari–April dan September–Desember. Kebutuhan terbesar adalah pada bulan Desember, Januari, dan Februari yang masing-masing membutuhkan sekitar 15.000 ton (estimasi produksi di bawah garis trend).
Tabel 15. Kebutuhan Pasokan Cabai Rawit Tahun 2016
55
Bulan
Tambahan Produksi (Ton)
Jan Feb Mar Apr Sep Okt Nov Des Total
14.789 14.907 9.958 2.473 1.788 5.844 6.005 15.052 70.816
Ton
Cabai Besar
210,000 200,000 190,000 180,000 170,000 160,000 150,000
Grafik 17. Peran Klaster Cabai Besar untuk Mempengaruhi Pasokan Grafik 17 menunjukkan bahwa klaster harus menambah produksi cabai besar sebanyak 96.816 ton pada tahun 2016 yang tersebar pada bulan Januari, Agustus, dan Oktober–Desember. Kebutuhan terbesar cabai adalah pada bulan November–Desember yang mencapai 25.000 ton lebih.
Tabel 16. Kebutuhan Pasokan Cabai Besar Tahun 2016 Bulan Jan Agus Sep Okt Nov Des Total
Tambahan Produksi (Ton) 8.676 9.540 7.759 17.981 25.543 26.726 96.225
Tabel 16 menampilkan estimasi kebutuhan cabai secara agregat yang merupakan penjumlahan antara estimasi kebutuhan cabai rawit dan cabai besar
56
tahun 2016. Secara total dibutuhkan pasokan cabai sebesar 167.041 ton, yaitu 70.816 ton untuk cabai rawit dan 96.225 ton untuk cabai besar. Estimasi kebutuhan terbesar berada pada bulan Januari (23.465 ton), November (31.548 ton), dan Desember (41.778 ton).
Tabel 17. Kebutuhan Pasokan Cabai Tahun 2016 Bulan
Cabai Rawit
Cabai Besar
Cabai Total
Jan
8.676
14.789
23.465
Feb
-
14.907
14.907
Mar
-
9.958
9.958
Apr
-
2.473
2.473
Agus
9.540
-
9.540
Sep
7.759
1.788
9.547
Okt
17.981
5.844
23.825
Nov
25.543
6.005
31.548
Des Total
26.726 96.225
15.052 70.816
41.778 167.041
Dec-16
Nov-16
Oct-16
Sep-16
Aug-16
Jul-16
Jun-16
May-16
Apr-16
Mar-16
Feb-16
310,000 290,000 270,000 250,000 230,000 210,000 190,000 170,000 150,000
Jan-16
Ton
Bawang Merah
Grafik 18. Peran klaster Bawang Merah untuk mempengaruhi pasokan Untuk komoditas bawang merah pada tahun 2016 klaster harus menambah produksi bawang merah sebanyak 350.623 ton yang tersebar pada bulan Februari– Mei dan September–Desember. Kebutuhan terbesar bawang merah adalah pada bulan Februari–Maret dan November–Desember.
57
Tabel 18. Kebutuhan Pasokan Bawang Merah Tahun 2016 Bulan Feb Mar Apr Mei Sep Okt Nov Des Total
Tambahan Produksi (Ton) 40.047 51.240 24.597 22.603 4.029 110 61.622 36.704 350.842
4.5 Efektivitas Wilayah Klaster Hasil survei menunjukkan bahwa klaster telah memberikan kontribusi terhadap pasokan cabai dan bawang merah di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Namun, karena produksi klaster masih minim, efektivitas klaster untuk mendukung pasokan komoditi cabai dan bawang merah dinilai masih rendah. Hal itu ditunjukkan pada Tabel 18, yaitu bahwa nilai efektivitas klaster masih berada di bawah 3%.
Tabel 19. Efektivitas Klaster
Wilayah Survei
Komoditas
Produksi Konsumsi Surplus/ Produksi Provinsi Provinsi Defisit Klaster
A Klaster Cabai Tanah Datar Klaster Cabai Jember Klaster Cabai Minahasa Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
B
C = A-B
D
Peningkatan Surplus Efektivitas Kabupaten/ Klaster Kota Klaster E
(D/C) x 100
Cabai Keriting Cabai Merah Cabai Rawit
66.797
45.180
21.617
20
436
0,09
238.820
131.634
107.186
1.795
34.022
1,67
8.486
10.974
(2.488)
15
319
0,60
Bawang Merah
130.082
103.566
26.516
795
6.527
3,00
Bawang Merah
125
7.312
(7.187)
30
-39
0,42
Secara
umum
klaster
binaan
Bank
Indonesia
mampu
mendorong
peningkatan kapasitas dan produksi dari klaster masing-masing. Besarnya
58
peningkatan
produksi
dapat
mencapai
1,5
kali
lipat
dari
produksi
normal. Berdasarkan tabel di atas, empat klaster memiliki nilai efektivitas positif yang berarti memberikan kontribusi terhadap surplus dan mengurangi defisit, yaitu (i) Klaster Cabai Tanah Datar, (ii) Klaster Cabai Jember, (iii) Klaster Cabai Minahasa, dan (iv) Klaster Bawang Merah Majalengka. Sementara itu, dua klaster lainnya masih bernilai negatif, yaitu klaster Bawang Merah Simalungun dan Klaster Bawang Merah Palangkaraya. Penyebab nilai negatif tiap-tiap klaster tersebut adalah berkurangnya produksi bawang merah di Kabupaten Simalungun dan peningkatan konsumsi yang tinggi di Kota Palangkaraya.
59
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan Komoditas cabai terdiri atas berbagai varietas yang masing-masing memiliki karakteristik pola produksi dan konsumsi sendiri. Setiap tahun surplus cabai besar mencapai 40%–50% dan cabai rawit 60%–80% di tingkat nasional. Namun, kondisi surplus tidak lantas berdampak pada penurunan harga karena pembentukan harga cabai rata-rata nasional relatif didorong oleh fundamental current production dan consumption yang bersifat mingguan bahkan harian. Permintaan cabai memiliki karakteristik musiman yang kuat, dalam arti pada bulan-bulan tertentu seperti hari raya, konsumsi dapat meningkat 10%–20% jika dibandingkan dengan konsumsi normal. Pola produksi nasional juga memiliki karakteristik musiman yang kuat dan siklus yang panjang (hampir satu tahun), tetapi produksi menurun pada musim hujan, yaitu sekitar bulan November– Februari. Perbedaan faktor musiman pada permintaan dan produksi semakin mendorong ketidakstabilan harga. Gejolak harga juga dipengaruhi oleh distribusi sentra produksi yang berbeda dengan distribusi pusat konsumsi, yaitu kota-kota besar. Di sisi lain, sifat perishable cabai merah serta preferensi konsumsi terhadap cabai segar menyebabkan sulit memanfaatkan kondisi surplus pada tingkat nasional untuk stabilitas harga di daerah pusat konsumsi. Produksi bawang merah nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat (menurun pada Februari–Maret dan November–Desember; meningkat pada Januari dan Mei/Juli), tetapi memiliki periode siklus yang lebih pendek (5 dan 7 bulan). Sementara itu, dari sisi permintaan, bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi jika dibandingkan dengan cabai merah. Secara nasional bawang merah memiliki surplus rata-rata mencapai di atas 40% setiap tahun. Peran current supply-demand kurang fundamental dalam pembentukan harga bawang merah nasional karena bawang merah relatif lebih tahan lama (4–6 bulan) dan dapat disimpan sehingga pembentukan harga bawang dengan demikian relatif tidak ditentukan oleh current production, tetapi dipengaruhi oleh tata niaga dan struktur pasar. Produksi bawang nasional bergantung pada sentra bawang nasional, yaitu Jawa dan NTB. Hal itu menjadikan sangat pentingnya peningkatan dan keberlanjutan produksi bawang pada sentra produksi tersebut.
60
Dari hasil AHP dapat disimpulkan beberapa faktor yang menentukan keberhasilan klaster dalam mempengaruhi pasokan, yaitu (1) produksi yang ditunjang oleh skill yang baik dan penguasaan teknologi dalam pengolahan atau budi daya; (2) replikasi yang dilakukan melalui organisasi klaster yang baik (misalnya koperasi) serta modal sosial yang kuat di dalam klaster atau kelompok (nilai-nilai gotong royong, rasa kebersamaan, dan kepemilikan bersama); (3) sustainability dengan memfasilitasi akses dan perluasan pasar untuk menyerap hasil produksi, modal sosial, serta networking yang dimiliki klaster; (4) permintaan antara dengan menjalin kerja sama dengan pengepul lokal; (5) permintaan akhir dapat dilakukan melalui kerja sama dengan industri berdasarkan kontrak untuk menjamin harga dan kepastian pasar; dan (6) konektivitas melalui penyediaan informasi terkait harga, akses permodalan, serta kualitas dan ketersediaan infrastruktur (jalan, listrik, dan saluran irigasi).
Tabel 20. Rangkuman AHP Produksi
Replikasi
Skill Teknologi
Organisasi Klaster Modal Sosial
Sustainability Akses dan Perluasan Pasar Modal Sosial dan Networking
Permintaan Permintaan Antara Akhir Pedagang Besar/ Pasar Induk Pengepul/ Pedagang
Akses Pasar Keberadaan Industri
Konektivitas Akses Informasi Kualitas dan Ketersediaan Infrastruktur
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa secara umum kekuatan klaster bersumber dari modal sosial yang kuat, manajemen klaster yang terbuka terhadap informasi dan hal yang baru, serta ketersediaan input yang mencukupi. Sementara itu, kelemahan klaster terletak pada aspek kelembagaan yang belum terbentuk sehingga mempunyai posisi tawar yang rendah. Akibatnya, klaster berjalan berdasarkan kebiasaan yang sudah ada tanpa adanya manajemen yang memadai. Hal itu erat kaitannya dengan klaster yang belum mempunyai jiwa wirausaha dan memiliki visi sama dengan pengelola klaster. Kondisi geografis yang mendukung menjadi peluang sehingga budi daya komoditas dapat dilakukan sepanjang tahun. Di sisi lain, sulitnya akses pasar menjadi ancaman keberlangsungan klaster karena hasil panen lazimnya dijual kepada pengepul sehingga harga ditentukan oleh pengepul.
61
5.2 Rekomendasi Peningkatan Pasokan dan Stabilitas Harga Cabai dan Bawang Merah Untuk meningkatkan pasokan cabai merah, perlu dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi melalui program pengembangan pertanian kawasan. Untuk itu, updating terhadap data kelompok tani dan gabungan kelompok tani perlu dilakukan yang dikelompokkan berdasarkan kawasan. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas, diperlukan pengembangan bibit tahan hama virus, terutama pada musim hujan serta sarana penyimpanan cabai merah nasional. Dalam rangka mendorong kestabilan harga, perlu antara lain dilakukan beberapa hal berikut. 1. Menyelaraskan pola tanam sepanjang tahun untuk menjamin ketersediaan pasokan, khususnya pada musim kemarau. 2. Memperbaiki tata niaga dan jalur distribusi agar lebih efisien dan terjaga. 3. Diversifikasi konsumsi kepada cabai bumbu kering dan cabai olahan. 4. Mendorong terjalinnya kerja sama antar provinsi sentra produksi dengan provinsi sentra konsumsi yang bertujuan menyelaraskan pasokan dan permintaan untuk kestabilan harga. 5. Menyediakan data kebutuhan komoditas rumah tangga nasional per bulan, terutama bulan-bulan hari raya yang sangat krusial untuk dilakukan prakiraan berapa peningkatan permintaan pada saat tersebut.
Sama halnya dengan cabai, untuk meningkatkan pasokan bawang merah diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi
melalui program pengembangan
pertanian kawasan. Pengembangan bibit yang tahan hama dan bebas penyakit juga penting. Selain itu, untuk mengantisipasi
ketidakpastian perubahan iklim di
sentra-sentra produksi bawang merah, dapat dilakukan penyediaan sarana dan prasarana sumber air pada lahan tadah hujan di bulan September–Oktober atau pengembangan teknologi rumah kaca untuk lahan tadah hujan pada penanaman pada bulan Januari untuk kebutuhan Maret. Kontinuitas stok juga dapat dijaga dengan menciptakan dan menyediakan teknologi penyimpanan bawang hingga mencapai enam bulan menyimpan panen raya (bulan Juli–Agustus) sehingga dapat memenuhi kebutuhan pada bulan November–Maret.
62
Adapun rekomendasi untuk mendorong kestabilan harga bawang merah antara lain adalah: 1. memperbaiki tata niaga dan jalur distribusi agar lebih efisien dan terjaga; 2. mendorong terjalinnya kerjasama antar provinsi sentra produksi dengan provinsi sentra konsumsi yang bertujuan menyelaraskan pasokan dan permintaan untuk kestabilan harga; dan 3. memasok dari daerah lain secara terkendali dan sesuai kebutuhan. Rekomendasi Penguatan Klaster Secara Umum Dalam melakukan penguatan peran klaster secara umum, upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah: 1. mengembangan dan meningkatan skill budi daya serta memanfaatkan teknologi melalui pendampingan dan demplot; 2. meningkatan status dan menguatkan kelembagaan klaster sehingga klaster memiliki daya tawar yang lebih tinggi; 3. menguatkan modal sosial klaster sehingga klaster memiliki kesamaan nilai, visi, dan tujuan sehingga dapat dipahami dan diimplementasikan seluruh anggota; 4. memerlukan adanya akses pasar serta jejaring (networking) sehingga klaster dapat menciptakan atau menghubungkannya dengan pasar baru agar produksi dapat terserap oleh pasar, bahkan ke depannya diharapkan bermitra dengan industri; 5. meningkatkan infrasruktur utama seperti akses jalan, irigasi, dan ketersediaan informasi yang difasilitasi oleh stakeholders terkait antara lain Bank Indonesia, Dinas Pertanian, Dinas PU, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan; dan 6. memberikan bantuan saprodi pada saat terjadi kondisi iklim ekstrim yang memerlukan penanganan khusus sehingga dapat menjamin keberlanjutan usaha petani.
63
DAFTAR REFERENSI
Boja, Catlin. 2011. Clusters Models, Faktors, and Characteristics. International Journal of Economic Practices and Theories, Vol 1, No.1. FMC working paper dalam buku Conference Theme Paper – Changing Paradigms of Cluster Development. Kuah, Adrian TH. 2002. Cluster Theory and the Small Business. Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship: Volume Four, Issue 3. UK. Ketels, Christian HM dan Olga Memedovic. 2008. From Clusters to Cluster-Based Economic Development. International Journal Technological Learning, Innovation and Development, Vol 1, No.3. Tambunan, Tulus. 2006. Development of Small and Medium Scale Industry Clusters in Indonesia. Kadin Indonesia-Jetro. PRES. 2013. Pemetaan dan Pendalaman Klaster Komoditas Unggulan Daerah dan Komoditas Penyumbang Inflasi. Saptana, Nur Khoiriyah Agustin dan Ahmad Makky Ar-Rozi. Kinerja Produksi dan Harga Komoditas Cabai Merah.
64
Lampiran 1 Klaster Kabupaten Jember
Kabupaten Tanah Datar
Komoditas Karakteristik Cabai Sentra Surplus Merah Besar Cabai Merah
Sentra
Produksi
Kebutuhan Vs. Produksi Surplus
Pasokan: Prod - EX + IM Surplus
Industri besar
Ekpor ke Jakarta dan lainnya
Seimbang
Defisit
Seimbang
Sudah biasa budi daya
Produksi cabai Padang Vs. konsumsi cabai Jawa
Membeli/memasok cabai Jawa dari Bengkulu dan Lampung
Seimbang
Seimbang
Surplus
Sudah biasa budidaya namun banyak tidak berupa pertanian sistematis dan masif
Defisit besar saat Natal bulan Desember
Membeli/memasok dari Gorontalo dan Surabaya
Harga Konsumen Rp 10.000,Turun jika panen raya Rp 25.000,Naik jika terdapat permasalahan produksi
90% dijual ke Riau Kabupaten Minahasa
Cabai rawit merah
Non-Sentra
Harga naik Harga normal Rp25.000,00. Bulan Desember: Rp100.000,00 s.d. Rp150.000,00
Tidak stabil sepanjang tahun terutama bulan kemarau Kabupaten Majalengka
Bawang merah
Sentra
Besar
Suplus
Sudah biasa budi daya Kota Bawang Palangkaraya merah
Non-Sentra
Sangat kecil
Dijual ke Bandung Defisit besar
Pertanian bawang tidak ada sebelumnya Kabupaten Simalungun
Bawang Merah
Non-Sentra
Kecil Sepuluh tahun berhenti budi daya bawang
Harga stabil/turun
Seimbang Mmbeli/memasok dari Brebes dan Bima
Defisit
Seimbang Membeli/memasok dari Brebes
Rp11.000,00 s.d. Rp16.000,00 Harga stabil Rp20.000,00 s.d. Rp30.000,00 Harga stabil Rp23.000,00 s.d. Rp28.000,00 Turun ketika panen besar ditambah dengan pasokan dari Jawa yang melimpah.
65
Lampiran 2. Deskripsi Wilayah 1. Kabupaten Tanah Datar Kecamatan Sepuluh Koto merupakan sentra pertanian cabai merah dengan luas lahan 1.027 hektare dan produksi 6.054 ton (2013), setara dengan 55% produksi cabai merah di Kabupaten Tanah Datar. Telah terjadi peningkatan produksi sebesar 4% atau 397 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi Kabupaten Tanah Datar terhadap total produksi Sumatera Barat adalah sebesar 17%. Petani di wilayah itu telah turuntemurun bertani cabai sehingga secara skill bertani sudah dianggap mumpuni.
Tabel 21. Produksi dan Konsumsi9 Kabupaten Tanah Datar dan Provinsi Sumatera Barat 2012–2014 (ton) Tahun 2012 2013 2014
Produksi Sumatera Tanah Barat Datar 65.104 7.842 68.101 11.001 66.797 11.398
Konsumsi Sumatera Tanah Barat Datar 44.286 2.758 43.669 2.668 45.181 2.629
2. Kabupaten Jember Kabupaten Jember merupakan salah satu sentra cabai di Jawa Timur yang menyumbang 13% dari total produksi seluruh Jawa Timur. Jawa Timur sendiri berkontribusi terhadap produksi cabai nasional sebesar 18%. Pada tahun 2013 terjadi penurunan produksi cabai di Jawa Timur sebesar 4% dan penurunan hingga 50% di Jember yang diakibatkan faktor cuaca ekstrim yang berdampak terhadap gagal panen. Pada tahun 2014 kondisi produksi kembali meningkat yang berdampak pada surplus hingga 37.000 ton. Klaster cabai di Jember dikelola oleh Koperasi Hortikultura Lestari yang berdiri pada tahun 2011. Sebelum terbentuk menjadi koperasi, Koperasi Lestari masih berbentuk kelompok usaha yang menjadi subpemasok ke PT Heinz ABC hingga tahun
9
Konsumsi di sini adalah konsumsi rumah tangga atau belum memasukkan kebutuhan industri dan benih. Kebutuhan konsumsi di luar rumah tangga diestimasi sebesar 20 persen dari kebutuhan rumah tangga sehingga estimasi kebutuhan total adalah 1,25 x konsumsi rumah tangga.
66
2011. Untuk bisa memasok secara langsung ke PT Heinz ABC, kelompok tersebut harus berbentuk lembaga resmi.
Tabel 22. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Jember dan Provinsi Jawa Timur 2012–2014 (ton) Tahun 2012 2013 2014
Produksi Jawa Jember Timur 343.710 25.821 329.177 10.553 349.842 45.744
Konsumsi Jawa Jember Timur 137.649 7.649 119.033 6.757 131.635 7.946
3. Kabupaten Minahasa Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit bagi Provinsi Sulawesi Utara dengan kontribusi mencapai 25% dari total produksi. Kabupaten Minahasa mengalami surplus produksi cabai hampir mencapai 673 ton sehingga menjadikan kabupaten tersebut strategis dalam pemenuhan kebutuhan cabai rawit di Sulawesi Utara. Produksi cabai Kabupaten Minahasa pada tahun 2014 meningkat sebesar 130 ton atau sekitar 9,5% dari tahun sebelumnya. Hal itu mengindikasikan adanya keberhasilan dengan ditetapkannya Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai meskipun hasil produksi tersebut belum optimal. Pemilihan Kabupaten Minahasa sebagai lokasi klaster Bank Indonesia sudah sangat tepat jika bertujuan untuk meningkatkan produksi. Penanaman cabai rawit sudah biasa dilakukan masyarakat Kabupaten Minahasa pada level rumah tangga, tetapi usaha bertani cabai hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Tabel 23. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Minahasa dan Provinsi Sulawesi Utara 2012–2014 (Ton) Tahun 2012 2013 2014
Produksi Sulawesi Minahasa Utara 1.455 9.656 1.710 2.156
8.461 8.486
Konsumsi Minahasa
Manado
1.479,43
1.912,49
Sulawesi Utara 9.031,56
1.355,66 1.482,91
1.320,74 1.400,50
8.063,10 8.779,12
Sumber: Susenas, BPS, dan Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa
67
4. Kabupaten Simalungun Sejak tahun 2011 konsumsi bawang merah di Sumatera Utara cenderung meningkat meskipun sempat turun pada tahun 2013. Produksi bawang merah Sumatera Utara sempat menembus 14.156 ton per tahun pada tahun 2012, tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk Sumatera Utara. Terdapat beberapa sentra penghasil bawang merah di Sumatera Utara, seperti daerah Batubara, Aipopo, Kabupaten Simalungun, dan Toba-Samosir. Kabupaten Simalungun merupakan salah satu penghasil bawang merah terbesar di Sumatera Utara walaupun sejak tahun 2011 mengalami penurunan produksi. Penurunan paling tinggi terjadi pada tahun 2013, yaitu terjadi penurunan produksi bawang merah sebesar hampir 40%.
Tabel 24. Konsumsi dan Produksi Bawang Merah Sumatera Utara Tahun 2011 2012 2013 2014
Simalungun 2.802 2.818 2.762 2.952
Konsumsi Pematang Siantar 795 684 669 648
Sumatera Utara 41.273 42.088 38.056 41.383
Produksi Sumatera Simalungun Utara 5.915 12.449 5.750 14.156 1.868 8.305 1.602 7.810
5. Kabupaten Majalengka Kondisi geografis lahan di Kabupaten Majalengka terdiri dari dua wilayah, yakni wilayah dataran rendah dan tinggi. Kondisi itu memungkinkan Kabupaten Majalengka dapat melakukan budi daya bawang merah sepanjang tahun. Penanaman bawang merah di dataran tinggi memerlukan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan penanaman di dataran rendah, mulai dari biaya input, perawatan, hingga pascapanen. Sementara itu, dari sisi produktivitas, hasil panen yang telah dicapai dataran rendah sebesar 12–15 ton/hektare dan dataran tinggi sebesar 8–10 ton/hektare. Sebagian besar produksi bawang merah Kabupaten Majalengka dibawa ke luar daerah untuk memasok pasar di Jawa Barat, Jakarta, dan daerah lainnya. Berdasarkan Tabel 24 produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2012, kemudian meningkat lagi pada tahun 2015. Harga bawang merah pada tahun 2013 bersifat fluktuatif tinggi dan berimbas pada penurunan konsumsi bawang merah.
Tabel 25. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Majalengka dan 68
Provinsi Jawa Barat 2012–2014 Tahun 2012 2013 2014
Produksi (Ton) Jawa Barat 115.896 115.585 130.082
Konsumsi Majalengka Jawa Barat 1.805 102.743 1.467 76.875 1.547 90.057
Sumber: Susenas, BPS, dan Pusat Data Pertanian Kementrian Pertanian
6. Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah berpenduduk 2.384.700 jiwa dengan luas wilayah mencapai 153.564 km2 yang sebagian di antaranya (30%) masuk dalam kategori lahan marginal berpasir dan bergambut. Lahan gambut pada awalnya tidak dimungkinkan untuk ditanami bawang merah. Akan tetapi, semenjak tahun 2012 Bank Indonesia KPw Provinsi Kalimantan Tengah bersama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah melakukan uji coba penanaman bawang merah dan berhasil dengan
baik.
Pada
tahun
2013
hal
tersebut
ditindaklanjuti
dengan
upaya
pengembangannya ketika musim kemarau. Hasil panen menunjukkan produktivitas sebesar 27,3 ton/hektare berat basah pada lahan pasir kuarsa dan sebesar 12,8 ton/hektare pada lahan gambut. Pengembangan usaha tani bawang merah dilakukan dengan mengacu pada roadmap yang yang telah dibuat atas kesepakatan bersama Bank Indonesia, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), serta dinas terkait mulai tahun 2016–2020. Pengembangan tersebut lebih diarahkan pada upaya memproduksi bawang merah untuk kebutuhan konsumsi yang dapat langsung diserap oleh pasar lokal atau nasional. Ke depan diharapkan bahwa pengembangan bawang merah di Kalimantan Tengah bisa memberi kontribusi pada penekanan laju inflasi serta pemenuhan kebutuhan benih di wilayah sekitar.
Tabel 26. Produksi dan Konsumsi Kota Palangkaraya dan Provinsi Kalimantan Tengah 2012–2014 (ton) Tahun
Produksi Kalimantan Tengah
2012 2013 2014
1,00 56,00 125,00
Konsumsi Palangkaraya Kalimantan Tengah 637,27 476,66 529,40
6.455,40 5.632,84 6.357,66
Sumber: Susenas, BPS, dan Pusat Data Pertanian Kementrian Pertanian
Lampiran 3. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan Wilayah Klaster 69
Simpulan Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster cabai Kabupaten Tanah Datar. 1. Dengan pendampingan BI terjadi perubahan dalam klaster, yaitu mengolah tanah menjadi lebih baik karena tidak terlalu banyak menggunakan pupuk kimia dan karena perbaikan teknik budi daya. 2. Peningkatan produksi dengan adanya pendampingan BI belum dapat terlihat karena belum ada hasil panen dari lahan sekolah lapangan (SL). Produktivitas baru dapat terlihat setelah 1 masa tanam dan panen. Jika produktivitas cabai meningkat signifikan diharapkan petani sekitar akan turut mengubah cara budi daya. 3. Dari hasil wawancara, Pemda cenderung memberikan bantuan kepada kelompok yang sudah bekerja sama dengan Dinas Pertanian. Kelompok tani tersebut mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian karena memperoleh prestasi, yaitu petani terbaik nomor 1 se-Kabupaten Tanah Datar dan nomor 3 terbaik seSumatera Barat. 4. Bantuan sulit diberikan oleh Dinas Pertanian berupa alat yang permanen seperti tandon air karena lahan kelompok merupakan lahan sewa. 5. Teknik bertani secara organik yang dikenalkan pada SL dirasakan cukup berat bagi anggota kelompok karena waktu pengolahan lahan yang lebih lama. 6. Bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang sudah ada secara turun-temurun. Pernah dicoba menggunakan bibit baru, tetapi tidak bisa dipanen karena sampai dengan umur hampir panen, tanaman tersebut tidak berbunga yang tentunya tidak menghasilkan cabai. 7. Berdasarkan hasil AHP, skill dan teknologi merupakan faktor yang paling penting jika akan meningkatkan produktivitas di klaster cabai Kabupaten Tanah Datar, di samping kuatnya modal sosial yang menjadi faktor utama dalam melakukan replikasi klaster. Selain itu, untuk konektivitas, faktor yang paling penting adalah akses informasi. 8. Hasil SWOT menyimpulkan bahwa untuk klaster cabai Kabupaten Tanah Datar, modal sosial dan ketersediaan input menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster terletak pada akses terhadap jasa pendukung. Di sisi lain, klaster ini memiliki peluang dari faktor geografis, sedangkan faktor demografi dan akses informasi masih menjadi ancaman bagi petani klaster. 70
Klaster Cabai Kabupaten Jember Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster cabai Kabupaten Jember. 1. Cara bertani di Kabupaten Jember sudah terstruktur dengan baik. Hal itu terlihat dengan pemilik lahan/modal bertindak sebagai manajer dan menyerahkan semua urusan teknis pekerjaan kepada tenaga kerja yang dibayar harian. Kepemimpinan dan manajerial yang baik dan andal dibutuhkan untuk mengelola sistem seperti ini. 2. Pendampingan BI telah berdampak pada peningkatan produktivitas, yaitu dari 0,8 kg per batang menjadi 1,5–2 kg per batang. Dampak itu juga dirasakan para petani nonklaster yang lahannya berdampingan dengan lahan petani klaster. 3. Pada tahun 2013 terjadi kemarau basah, yaitu hujan sepanjang tahun yang berdampak pada anjloknya produksi cabai di Kabupaten Jember hingga 50%. 4. Klaster dapat mempengaruhi harga melalui operasi pasar dengan menjual cabai di bawah harga pasaran yaitu sebesar Rp10.000,00 dari harga normal Rp28.000,00 s.d. Rp30.000,00. 5. Besarnya modal awal dalam bertani cabai memerlukan modal yang cukup besar. Hal itu tentu diperlukan akses keuangan dengan bunga yang rendah. 6. Jika melihat produksi klaster Kabupaten Jember 13% dari total produksi Jawa Timur, perubahan pasokan yang drastis cukup mempengaruhi produksi cabai di Jawa Timur, bahkan hingga ke daerah lain. 7. Setiap tahunnya Koperasi Lestari melakukan kontrak kerja sama dengan PT Heinz ABC sebanyak 1.500 ton yang dibagi dalam 12 bulan. Setiap bulan Koperasi Lestari harus dapat memenuhi pasokan sesuai dengan jumlah yang sudah disepakati. 8. Harga kontrak antara Koperasi Lestari dan PT Heinz ABC selalu di atas harga produksi. 9. Adanya anggota kelompok yang tidak berkomitmen menyebabkan koperasi pada tahun 2015 tidak dapat lagi memasok cabai kepada PT Indofood. Anggota koperasi yang bermitra memilih menjual hasil panennya di pasar yang memiliki harga lebih tinggi. 10. Wadah koperasi diperlukan untuk mendapatkan akses kerja sama dengan perusahaan. Organisasi koperasi yang terbentuk tidak murni karena yang bermitra dengan koperasi tidak diwajibkan menjadi anggota.
71
11. Dari analisis menggunakan AHP, kekuatan organisasi klaster di Kabupaten Jember menjadi faktor replikasi yang utama karena kerja sama dengan industri yang sudah cukup lama terjalin. Berbeda dengan klaster lainnya, permintaan akhir yang terpenting dalam klaster ini adalah keberadaan industri karena seluruh hasil produksi dijual ke industri. 12. Analisis SWOT menyimpulkan bahwa ketersediaan input menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster adalah pada produksi. Di lain pihak faktor demografis (tenaga kerja) menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Faktor geografis dan kompetisi penggunaan lahan serta akses pasar masih menjadi ancaman bagi petani klaster. Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster BI di Kabupaten Minahasa. 1. Jenis petani di Kabupaten Minahasa terdiri atas petani merpati (PSPB), petani pedati, dan petani sejati. 2. Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit di Sulawesi Utara dan telah ditetapkan menjadi Kabupaten Rica pada tahun 2014 yang telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit meskipun belum optimal. 3. Kemampuan klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai lebih disebabkan oleh adanya insentif swadaya BI dalam pembuatan demplot. 4. Insentif replikasi berupa keuntungan budi daya cabai masih kurang atau gagal terbentuk. Hal itu antara lain disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam satu demplot (satu hektare) sehingga hasil/petani boleh dibilang sangat kecil. 5. Jumlah 10 petani per hektare per demplot sangat tidak efisien dan mendorong terjadinya free rider. Hal itu disebabkan target kepada kelompok tani yang umumnya beranggotakan 10 petani. 6. Adanya indikasi kelompok tani tidak berada dalam satu kawasan menyebabkan sulitnya berkoordinasi dalam pengembangan klaster/demplot. 7. Terdapat indikasi petani PSPB dan/atau petani merpati dalam klaster BI dan program pertanian lainnya. 8. Dari penelusuran hasil AHP, selain skill, teknologi adalah hal yang paling penting dalam pengembangan produktivitas klaster ini, terutama hand tractor dan pompa
72
air/embung. Dalam proses replikasi, modal sosial menjadi hal terpenting dari klaster ini. 9. Setelah dilakukan analisis SWOT ditemukan bahwa modal sosial dan ketersediaan input menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan utama klaster adalah pada produksi. Di lain pihak, kedekatan dengan pemasok menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Sementara di sisi lain, infrastruktur dan ketiadaan akses pasar masih menjadi ancaman bagi petani klaster.
Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster bawang merah Kabupaten Simalungun. 1. Modal sosial dan kelembagaan di klaster Bank Indonesia Kabupaten Simalungun sangat baik untuk modal awal pembentukan klaster. 2. Kemampuan petani sangat baik dalam budi daya karena sudah memiliki pengetahuan budi daya bawang. 3. Kondisi geografis mendukung klaster untuk berkembang (kondisi air dan konstruksi tanah). 4. Harga jual bawang merah yang dihasilkan berfluktuasi tergantung bagaimana kondisi pasokan di pasar Sumatera Utara yang dipengaruhi pasokan dari Jawa dan Bima. 5. Bawang merah yang dihasilkan di Kabupaten Simalungun sangat kompetitif karena memiliki cita rasa yang berbeda dengan bawang merah yang dihasilkan di Jawa. 6. Peran stakeholders dan koordinasi antar-stakeholders masih sangat kurang di Kabupaten Simalungun dalam rangka meningkatkan produksi bawang merah. 7. Teknologi dan skill merupakan hal paling penting bagi kelancaran proses produksi di klaster bawang merah Kabupaten Simalungun berdasarkan analisis AHP. Teknologi yang dibutuhkan terutama adalah obat untuk mencegah virus tanaman. Untuk menunjang sustainability, dari segi pemasaran, akses pasar menjadi penting karena di Sumatera Utara terdapat sentra terminal agribisnis yang menjadi tempat berkumpulnya semua hasil pertanian dari berbagai daerah. 8. Hasil analisis SWOT terhadap klaster ini menunjukkan bahwa modal sosial menjadi kekuatan. Kelemahannya terletak pada masalah penanganan pascapanen dan sistem informasi klaster.
73
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka 1. Klaster Kabupaten Majalengka merupakan replikasi dari Klaster BI di Brebes yang produktivitasnya mulai agak menurun dan tanah yang mulai jenuh. Kabupaten Majalengka dicanangkan akan menjadi sentra bawang selain Brebes. 2. Klaster sudah berjalan semenjak tahun 2014 dan bekerja sama dengan dinas terkait. 3. Kondisi geografis lahan di Kabupaten Majalengka terdiri atas dua wilayah, yaitu wilayah dataran rendah dengan produktivitas sebesar 12–15 ton/hektare dan wilayah dataran tinggi (atas) dengan produktivitas sebesar 8–10 ton/hektare. 4. Kabupaten Majalengka selain memproduksi bawang merah sekaligus menjadi penangkar bawang merah. 5. Benih-benih bawang merah Kabupaten Majalengka sudah bersertifikasi. 6. Faktor cuaca yang membuat bawang merah perlu banyak pengendalian pada saat proses produksi. 7. Sudah ada program Brigade Olah Tanah untuk membantu petani, semua fasilitas bantuan sosial akan dialihkan menjadi fasilitas barang, contohnya penyediaan cultivator. Selain itu, terdapat juga Brigade Operasi Pengendalian Tanaman dan Brigade Pengairan. Program ini dilakukan oleh Dinas Pertanian. 8. Kenaikan produksi disebabkan oleh upaya petani sendiri sehingga perlu dorongan dari Pemda yang lebih besar. 9. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa skill merupakan faktor yang penting bagi klaster ini karena kondisi geografis Kabupaten Majalengka membutuhkan keterampilan khusus dari petani. Selain itu, akses dan perluasan pasar menjadi hal
yang
harus
dipikirkan
bagi
Kabupaten
Majalengka
dalam
rangka
keberlangsungan petani bawang. 10. Berdasarkan hasil SWOT, produksi dan ketersediaan input merupakan kekuatan klaster yang paling utama, sedangkan akses pasar masih terbilang lemah. Tantangan besar yang harus dihadapi adalah akses informasi.
74
Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya 1. Budi daya bawang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dan BPTP sejak tahun 2012. Sebelum tahun 2012 produksi bawang merah di Kalimantan Tengah belum ada. 2. Selama ini bawang merah yang ada di Kalimantan Tengah berasal dari Bima (NTB), Brebes (Jawa Tengah), dan Probolinggo (Jawa Timur). 3. Di Kota Palangkaraya belum terbentuk klaster seperti yang ada di Kabupaten Majalengka, yang ada masih berbentuk demplot-demplot. 4. Harga cenderung stabil pada kisaran Rp20.000,00 s.d. Rp30.000,00. 5. Produksi yang berjalan di Kota Palangkaraya masih berjalan dengan adanya bantuan dari dinas, benih diberikan, dan hasilnya dijual kepada dinas. 6. Bawang merah untuk konsumsi belum masuk ke pasar-pasar tradisional di Kota Palangkaraya. 7. Sudah ada roadmap pengembangan bawang merah 2016–2020 yang merupakan hasil kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dan dinas-dinas terkait. 8. Produksi bawang merah di Kota Palangkaraya belum mencukupi untuk konsumsi (defisit). Hal itu disebabkan peningkatan produksi tidak dapat mengimbangi peningkatan konsumsi bawang merah. 9. Skill dan teknologi merupakah hal yang penting terkait dengan produktivitas. Skill petani di Palangkaraya masih tertinggal jauh daripada petani di Jawa dan penggunaan teknologi pun masih sangat sederhana. Dalam hal replikasi, dukungan stakeholders masih sangat diperlukan, terutama dalam proses kegiatan produksi dalam demplot. 10. Banyak hal yang masih harus diperbaiki, seperti manajemen klaster karena bawang merah memang menjadi sesuatu yang baru dalam dunia pertanian di Kalimantan Tengah. Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi petani bawang merah di Palangkaraya adalah akses pasar.
Rekomendasi Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar Kabupaten Tanah Datar sebagai salah satu sentra cabai merah di Sumatera Barat memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kestabilan pasokan dan harga. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk klaster tersebut, yaitu
75
(1) meningkatkan kualitas produksi dengan menggunakan pestisida yang tepat (jenis dan dosis); (2) meningkatkan kelembagaan klaster menjadi lembaga formal, seperti koperasi, agar dapat mempermudah akses dengan stakeholders terkait; (3) menggunakan teknik penanganan pascapanen dan diversifikasi produk olahan;. (4)
mengurangi ketergantungan kepada pihak pengepul dengan membuka akses pasar ke pihak/daerah lain;
(5) memperluas akses informasi pasar, misalnya, dengan mendirikan stasiun agribisnis; (6) mengatur masa tanam dengan daerah lain agar tercipta stabilitas harga dan pasokan; (7) membentuk wadah untuk melakukan koordinasi antarpetani dalam satu provinsi; (8) meningkatkan peran dan fungsi dari PPL; (9) membuka akses keuangan dengan bunga yang rendah dan persyaratan yang mudah, seperti KKPE yang sangat membantu petani dengan suku bunga rendah; (10) meningkatkan kemampuan pengelolaan administrasi keuangan kelompok; dan (11) mengembalikan kesuburan tanah yang mulai jenuh dengan menggunakan teknologi yang tepat (organik). Klaster Cabai Kabupaten Jember Kabupaten Jember sebagai salah satu sentra cabai merah di Jatim memiliki peranan strategis dalam menjaga kestabilan pasokan dan harga cabai di Jawa Timur, bahkan hingga Jakarta dan Kalimantan. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk klaster tersebut, yaitu (1) memerlukan perbaikan aspek administrasi keuangan klaster ke arah yang lebih modern dengan menggunakan aplikasi/software akuntansi; (2) memerlukan pendampingan secara berkelanjutan, antara lain, untuk mengatasi permasalahan dan penerapan teknologi; (3) memerlukan akses kredit/pembiayaan yang sesuai dengan pola/siklus budi daya cabai, misalnya angsurannya dapat dibayar setelah panen; (4) meningkatkan koordinasi antar-stakeholders guna terciptanya sinkronisasi dalam pemberian bantuan; (5) memerlukan akses informasi harga; dan
76
(6) memerlukan
teknologi
modern
untuk
menghasilkan
cabai
yang
lebih
menguntungkan dibandingkan hasil produksi komoditas lain. Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Kabupaten Minahasa dapat dikatakan belum optimal dalam produksi cabai rawit dan dalam mendorong kestabilan harga terutama pada bulan Desember. Rekomendasi untuk optimalisasi klaster BI dan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai adalah sebagai berikut. 1. Perbaikan targeting petani klaster dan penerima bantuan pemerintah kepada petani sejati atau minimal petani pedati. 2. Pre-program harus dimulai dengan membarui (updating) dan memverifikasi data: membandingkan data BP4K dan sumber data lainnya, misal data swasta. 3. Jika updating data kelompok tani tidak dimungkinkan, program pertanian tidak ditujukan kepada kelompok tani, tetapi kepada petani kawasan dengan jumlah 3 petani/hektare yang mencakup 10 hektare atau 30 petani. 4. Jika ingin mendorong pasokan dan kestabilan harga, yang lebih potensial dilakukan BI adalah membantu ketersediaan pompa dan embung di kabupaten sentra produksi kepada petani sejati. 5. Subsidi modal dan teknologi tetap dibutuhkan dan dengan konsep kawasan, efisiensi dana klaster bisa ditingkatkan, misalnya untuk penyediaan satu hand tractor untuk 10 hektare lahan atau 3 kelompok tani kawasan. 6. Kontrak secara profesional, terutama dengan pihak swasta untuk penyediaan saprodi. 7. Bank Indonesia harus mendorong penyediaan data, terutama kebutuhan konsumsi per bulan khususnya data kebutuhan konsumsi pada bulan Juli–Agustus dan Desember. Dengan data ini dapat direncanakan program atau rencana antisipasi sebelum terjadi gejolak harga. 8. Perlu dilakukan koordinasi dan kerja sama dengan sentra cabai rawit, terutama Brebes dan sentra lainnya di Jawa Timur selain dengan Gorontalo. 9. Kesan sosial dalam program klaster harus diminimalkan oleh pimpinan Bank Indonesia di daerah dan pusat sehingga tujuan klaster lebih tegas dan terstruktur, yaitu untuk meningkatkan pasokan dan kestabilan harga.
77
10. Kesejahteraan petani yang lebih besar harus diupayakan dengan jalan mendorong akses petani ke pasar tradisional dan pasar lainnya, salah satunya dengan membentuk toko tani. 11. Bank Indonesia sebaiknya mampu memanfaatkan mapalus sebagai modal sosial petani Minahasa sebab mapalus merupakan bentuk budaya gotong royong masyarakat Minahasa. Hal itu merupakan pemanfaatan jalur adat tradisional dalam usaha mereplikasi klaster Bank Indonesia. 12. Akses pasar atau toko tani dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman terhadap pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun untuk masyarakat pada umumnya di Kabupaten Minahasa.
Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun 1. Dukungan yang kuat dari segi infrastruktur, yaitu berupa jalan sangat dibutuhkan karena berpengaruh pada konektivitas klaster dengan pasar (koordinasi pemerintah daerah). 2. Klaster membutuhkan penanganan pascapanen yang baik agar dapat menyimpan bawang merah yang dihasilkan sehingga tidak mudah busuk. 3. Informasi harga yang berkembang di pasar sangat dibutuhkan sehingga tidak merugikan petani. 4. Modal sosial yang baik (kelembagaan yang kuat) sebaiknya diwadahi dengan koperasi agar menguntungkan, baik dari segi pemasaran hasil maupun penyediaan input. 5. Komunikasi intensif antar-stakeholder yang terlibat dalam pengembangan bawang merah
di
Kabupaten
Simalungun
serta koordinasi
agar
program-program
pengembangannya lebih terarah dan tepat sasaran sangat dibutuhkan. 6. Klaster membutuhkan teknologi obat tanaman yang secara berkala diberikan ke area pertanian, selain juga pengembangkan wawasan yang bersifat ilmiah seperti alokasi pupuk. 7. Meskipun ketersediaan input di klaster ini di-supply dengan baik dari daerah lain, untuk kemandirian ke depannya dibutuhkan pengembangan bibit. Selain itu, diperlukan juga pengembangan sistem informasi untuk menunjang modal sosial yang sudah baik.
78
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka 1. Pola tanam bawang merah harus direncanakan lebih baik. 2. Tingkat promosi bawang merah Kabupaten Majalengka perlu ditingkatkan agar masyarakat mengenal bahwa komoditas bawang merah merupakan produk unggulan Kabupaten Majalengka. 3. Klaster harus disosialisaikan terlebih dahulu kepada petani, bagaimana fungsi dan peran klaster. Sosialisasi itu diperlukan agar petani tidak hanya ikut perkumpulan jika ada kegiatan klaster karena mereka beranggapan bahwa dengan adanya klaster, bantuan akan datang. 4. Perlu dibuat akte kepemilikan lahan bagi para petani. 5. Perlu ada kerja sama antar daerah dalam bentuk berita acara dalam rangka pemenuhan komoditas. Jika terjadi kelangkaan bawang merah di daerah lain, Kabupaten Majalengka dapat membantu memberikan pasokan. 6. Perlu dilakukan penelitian mengenai jenis bawang apa saja yang cocok ditanam di tiap-tiap wilayah di Kabupaten Majalengka. 7. Pedagang besar dan strategi pemasaran yang baik sangat dibutuhkan agar produksi yang melimpah dapat dimanfaatkan dengan baik dan menguntungkan serta tidak kalah bersaing dengan sentra bawang di Brebes.
Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses produksi bawang merah di lahan berpasir dan gambut. 2. Pengenalan lebih luas kepada petani apakah itu klaster, bagaimana kegiatannya, dan apa saja yang dilakukan. 3. Pemberian pemahaman untuk mengubah pola pikir para petani agar tidak bertani pada saat ada bantuan saja. Penumbuhan kesadaran dan pembangunan modal sosial yang tinggi agar mampu membuat bawang merah menjadi komoditas yang utama serta meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan petani. 4. Perlu adanya bantuan dalam pengolahan lahan, seperti cultivator dan spryer karena semua kegiatan pengolahan lahan masih dilakukan secara manual. 5. Pemaksimalan tugas dan fungsi PPL dalam memberikan penyuluhan. 6. Petani lebih menginginkan kegiatan pelatihan yang langsung di lapangan, tidak hanya sekadar pelatihan dalam bentuk seminar atau lokakarya (workshop). 7. Roadmap yang telah dibuat harus dilaksanakan dengan baik.
79
8. Jika bawang merah sudah tumbuh pesat di Kalimantan Tengah, langkah selanjutnya adalah perluasan ke pasar-pasar. Selama ini bawang merah yang tersedia di pasar merupakan kiriman dari daerah lain dan strukturnya sudah terbentuk sejak lama. Oleh karena itu, harus dipikirkan bagaimana bawang merah yang diproduksi lokal dapat masuk ke pasar-pasar tanpa terjadi perselisihan antara pemain besar pemasok bawang merah dari luar daerah. 9. Pendampingan yang intensif dari klaster ini sangat dibutuhkan karena masih berupa klaster awal, terutama pendampingan dalam pengembangan teknologi. 10. Perluasan akses pasar karena selama ini klaster lebih banyak memenuhi permintaan dari dinas saja.
80