perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Bab II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR
Bab dua berisi deskripsi kajian pustaka. Landasan teori, kengaka pikir, dan deskripsi lokasi penelitian. Secara lengkap kajian pustaka meliputi kajian tentang kearifan lokal dunia pertanian dalam berbagai perspektif, kajian tentang kearifan lokal di luar bidang pertanian yang relevan, kajian tentang etnolinguistik dalam berbagai perspektif, kajian tentang berbagai penelitian di kabupaten kebumen. Kajian teori meliputi tentang kategori dan ekspresi linguistik, kearifan lokal, etnolinguistik, demensi mikro dan makro linguistik dalam kajian etnolinguistik, semantik
kultural
dalam
kajian
etnolinguistik,
semiotik
dalam
kajian
etnolinguistik, konsep pola pikir dalam kajian etnolinguistik, foklor dan mitos, metafora. Kerangka berpikir penelitian ini mengenai hubungan variabel penelitian beserta konsep teoretis dan metode penelitian yang melandasinya.
A. Kajian Pustaka
Penelusuran beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dan relevan topik penelitian untuk memahami konsep yang menjadi acuan pelaksanaan penelitian dapat diperikan sebagai kajian pustaka. Dengan adanya konsep-konsep tersebut akan membantu penulis memetakan secara ilmiah atas penelitian ini. Selain itu dengan memahami deskripsi yang tergambar pada rumusan masalah, tujuan penelitian atau kajiannya, manfaat peneliti dan hasil kajiannya, metodologi yang diterapkan, seputar pemikiran-pemikiran, serta kajian teori yang relevan dapat mejadi inspirasi dalam penulisan laporan penelitian ini. Dari hasil penelusuran terhadap pustaka-pustaka yang ada meliputi a) kajian yang langsung berkaitan dengan kearifan lokal petani, b) kajian yang membahas tentang kearifan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
lokal yang relevan meskipun bidang-bidang di luar pertanian, c) kajian di bidang etnolinguistik.
1. Kajian Terkait Kearifan Lokal Dunia Pertanian di Berbagai Daerah
Kajian yang membahas tentang kearifan lokal petani dan sejenisnya yang mempunyai relevansi terhadap penelitian ini yaitu seperti Yuita. T. Winarno (2004). Penelitian ini adalah berkenaan dengan transfer ilmu yang dilakukan oleh petani. Ditemukan kenyataan bahwa petani sebenarnya memiliki pengetahuan lokal yang kurang dimanfaat karena terbiasa memanfaatkan pengetahuan– pengetahuan modern. Penelitian di bidang pertanian yang lain adalah Rosyidi (2007) yang menjelaskan tentang proses kemandirian oleh petani di Indramayu. Nuryani (2008) mengenai pembelajaran yang dilakukan oleh petani yang bersifat nonformal ikut mempengaruhi dalam terserapnya ilmu secara baik oleh petani. Pembelajaran yang dilakukan guna menggali kembali pengetahuan-pengetahuan lokal yang dimiliki oleh petani. Badrudin (2008) meneliti pertanian di daerah Jember. Penelitian tersebut menemukan banyak kekhasan dan kategori dan ekspresi linguistik yang dimiliki oleh masyarakat petani di datran rendah di Jember Jawa Timur. Karya Wisnubroto (1999) yang membicarakan kearifan lokal dikalangan masyarakat Jawa agraris yakni pengenalan waktu tradisional pranatamangsa dan wariga menurut penjabaran meteorologi serta manfaatnya dalam pertanian dan sosial. Selain itu, Sukarno (2005) yang mengkaji bahasa ritual petani sawah di desa Ploso Rejo, kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian Herawati, dkk. (2004) tentang kearifan lokal di lingkungan masyarakat petani sawah using di desa Kemiran Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Dalam penelitian ini diuraikan pola pemukiman yang digunakan oleh masyarakat Using masih tergolong sederhana. Hal ini terlihat dari susunan bangunan atau rumah yang digunakan
masih
mempertahankan ciri-ciri khas masyarakat kuno. Sistem kepercayaan dalam commit to 99% user masyarakatnya adalah pemeluk masyarakat di sana masih ada meskipun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Islam.
Kemudian, pola interaksi yang dibangun oleh masyarakat di sana
tergolong harmonis. Dalam pola pertaniannya, masyarakat Using menggunakan sistem nyabuk gunung yaitu pembuatan sengkedan sawah menurut garis contour untuk melindungi tanah dari curah hujan yang tinggi. Pola perhitungan khas dalam bercocok tanam menggunakan neptu yang meliputi 1) kerto, 2) soyo, 3) candi, 4) rogo, 5) sempoyo. Neptu yang dipercaya baik untuk melakukan kegiatan ada dua yaitu kerto dan candi atau yang jumlahnya 13. Selain itu, upacara-upacara tradisional pertanian seperti slametan wangan, labuh mendamel, slametan luwar, upacara labuh gampung dan bersih desa juga masih dipertahankan. Mumfangati, dkk. (2004) meneliti tentang kearifan lokal petani sawah, ladang dan tegalan pada Masyarakat Samin Kab. Blora. Dalam penjelasannya diuraikan tentang simbol identitas, kegiatan ritual yang di dalamnya terdapat bermacam aktivitas terkait dengan ritual sebelum masa tanam kemudian dilanjutkan dengan selamatan ketika masa panen. Dalam teknik atau metode tanam yang dipakainyapun masih tergolong tradisional. Dalam ranah kearifan lingkungan dalam masyarakat Blora memiliki tradisi pemeliharaan lingkungan yang masih sederhana pula. Hal ini dimungkingkan dalam tata cara mengolah sawah, ladang dan tegal yang dipakainya masih tergolong sederhana juga. Dwi Haryanti (2005) dimuat dalam jurnal Kajian Linguistik dan Sastra Vol 19 no 1, 2007: 35-50 mengkaji bahasa Jawa yang digunakan petani sawah di Desa Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten dalam
musim panen
Dijelaskannya dalam kajian ini perihal kearifan lokal masyarakat Klaten, Jawa Tengah, di bidang pertanian yang memperlihatkan bahwa masih dimanfaatkan kalender Jawa yang disebut dengan pranatamangsa. Kalender Jawa tersebut merupakan kalender surya yang mulai dikaitkan dengan kalender Gregorian dan dipergunakan sejak ditetapkan oleh Paku Buwana VII dari kerajaan Surakarta. Penetapan tersebut dimulai tanggal 1 mangsa kasa adalah tanggal 22 Juni 1855 dan berlaku hingga saat ini (Sukardi, 1999: 16). Penetapan kalender pranatamangsa yang sebenarnya mengikuti kalender surya atau matahari tersebut diingat dan dipahami oleh masyarakat petani berdasarkan gejala alam yang ada commit to user kaitannya dengan alam pertanian Jawa. Misalnya, jenis binatang, tumbuh-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
tumbuhan, dan kehidupan mereka; keadaan tanah dan air; dan gejala alam lainnya selalu menandai pergantian mangsa satu ke mangsa lainnya. Oleh karenanya, kalender pranata mangsa tetap menjadi acuan petani dalam melakukan kegiatan pertanian mereka. Petani Jawa, khususnya, tidak dapat dilepaskan dengan istilah pranatamangsa. Istilah pranatamangsa merupakan salah satu istilah pertanian berkait dengan kalender. Banyak petani yang masih menggunakan kalender dengan nama pranatamangsa (Sukardi, 1999; Ismail, 1990; dan Koentjaraningrat, 1984). Mangsa atau bulan pranatamangsa juga dibagi dalam 12 bulan atau „mangsa‟ dengan pembagian hari antara 23 sampai 43 hari sedangkan gregorian 28 sampai 31 hari. Artikel: “Sawah dan Kearifan Lokal”, oleh Sunaryo, dalam Suara Kebumen, Kamis 8 April 2010. Bagi masyarakat Jawa Tengah, termasuk Kebumen sawah tidak sekadar menjadi sumber mata pencaharian. Sawah menyimpan nilai kearifan lokal di dalamnya, seperti tampak dalam upacara menanam dan memanen padi. Masyarakat petani mengenal upacara Mboyong Mbok Sri, upacara Methik, upacara Wiwit, dan upacara Bersih Desa. Upacara- upacara ini memiliki tujuan mulia untuk menjaga keselamatan. Dalam upacara mboyong Mbok Sri tampak prilaku untuk memuliakan Mbok Sri yang mereka anggap sebagai Dewi Padi. Secara sistem tanda, Mbok Sri merupakan simbol pangan sebagai sumber kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Dengan dimuliakannya, diharapkan ketersediaan pangan akan tercukupi, harga pangan murah, dan jumlahnya melimpah. Tidak ditemukan lagi orang yang kekurangan dan kesulitan memperoleh pangan. Namun dalam berjalannya waktu lambat-laun terjadi pergeseran nilai yang ditandai oleh fenomena, bahwa mereka lebih sekadar menjalankan ritualnya daripada menangkap isi yang terkandung di dalamnya. Suatu penelitian lain yang memiliki setting yang mirip dengan lokasi penelitian dilakukan oleh Siti Munawaroh yang berjudul Strategi Adaptasi Nelayan Pantai Teluk Penyu di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, , dalam Patra-Widya, Vol.07, No. 04 Desember 2006, ISSN 1411-5239, Depbudpar. Isinya deskripsi tentang keterangan bahwa to user sebagai nelayan. Penelitian ini masyarakatnya 37,65% memiliki commit mata pencaharian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
dilakukan untuk mengetahui karakteristik, strategi nelayan dalam menghadapi musim panen dan musim paceklik dan permasalahan yang dihadapi. Melalui metode survey mengambil sampel 30 keluarga nelayan secara acak sesuai dengan tujuan penelitian. Data meliputi data primer dan skunder dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengetahuan mereka bernelayan terkait pedoman dan ada tidaknya melaut dari leluhur mereka. Pedomannya berdasarkan pada bintang, arah angin dan ombak laut. Sebesar 50% menggunakan perahu jenis jungkung katir, atau katiran atau veber. Merawat perahunya dengan cat, ter, aspal, dan meni, karena murah dan tidak gampang larut air asin. Untuk mengetahui ada tidaknya ikan menggunakan lampu petromaks dan insting ada tidaknya ikan suara gemuruh atau tidak. Mereka melaut siang atau malam hari dengan waktu antara 9-13 jam. Pendapatan kondisi normal 60% responden mengatakan cukup, rata-rata 150.000/hari. Ketika ikan melimpah dijual dalam bentuk pindang, gereh ke Gunungkidul, Bantul, Jawa Barat. Ketika paceklik di laut mereka menjadi buruh bangunan, jasa WC, menjual souvenir, buruh pengasinan ikan, usaha warung, dan bekerja serabutan lainnya yang mengandalkan kekuatan otot. Dwi Ratna Nurharjarini, dalam Patra-Widya, Vol.2, No.3 September 2001, ISSN 1411-5239 berjudul Pertanian dan Ekonomi Petani: Studi Ekonomi Pedesaan di Yogyakarta Tahun 1870-1935,. Isinya deskripsi tentang masuknya sistem kapitalisme di masyarakat pedesaan bersamaan waktunya dengan perubahan kebijakan dalam bidang ekonomi, komersialisasi dan eksploitasi sumber daya agraria. Proses komersialisasi di pedesaan pertama-tama ditunjukkan dengan munculnya pasar tanah dan tenaga kerja di perkebunan. Undang-undang Agraria 1870 telah memberikan kebebasan kepada pihak perkebunan untuk bisa memiliki tanah dengan cara menyewa pada petani. Dengan diberlakukan peraturan tersebut, salah satu alat produksi di pedesaan telah diliberalisasikan, maka terbukalah kesempatan untuk membuka perusahan perkebunan seluasluasnya.
Kehidupan
petani
semakin
masuk
pada
komersialisasi
yang
menyebabkan kehidupan petani semakin dekat dengan “pasar”. Tanggapan atas peristiwa itu petani ada yang pasrah, ada yang berpikir komersialisasi dapat commit mereka to user mengandalkan hasil pertanian, menimbulkan rasionalitas. Di amping
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
petani juga memilih alternatif lain seperti membuat kerajinan dan perdagangan. Pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi dalam perkembangan ekonomi dan demografi akibatnya kegiatan itu dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian petani. Ernawati Purwaningsih, dalam Parta-Widya, Vol.5, No.4 Desember 2004, Kemenbudpar, ISSN 1411-5239. Strategi Adaptasi Petani Cabai di Kecamatan Temon: Kasus di Pantai Glagah Kulonprogo, Isinya deskripsi tentang kegiatan ini sudah berjalan 5 tahun, cabainya dikenal di Jakarta sebagai cabe Temon, kualitas cabe keriting nomor satu nilai jualnya tinggi dibandingkan dari daerah lain. Jenis tanah berpasir berporositas tinggi sangat cocok untuk tanaman cabe. Air mereka dapatkan dengan membuat sumur bur dan airnya dialirkan ke sumur renteng dengan tembor pada pagi hari. Kendala angin di pantai di atasi dengan menanam barier (pemecah angin) dan memasang blarak di sekelilingnya. Waktu menanam yang tepat dengan mempertimbangkan mangsa, yaitu mangsa 11 yang paling tepat. Setelah umur cabe 70-75 hari cabe bisa dipanen. Pemetikan cabe dilakukan setiap 2-3 hari secara berulang hingga mencapai 20-30 pemetikan. Penjualan jarak dekat cabai dipetik ketika sudah merah penuh, sedangkan untuk penjualan jarak jauh seperti Jakarta dipetik ketika cabai masih semburat merah dengan maksud agar tidak mudah lembek/rusak. Ketika cabai mahal tengkulak datang di lahan cabai, tetapi jika cabai murah justru petani yang datang ke tengkulak. Mereka biasanya tidak mau repot dan menjual cabai langsung ke tengkulak. Harga yang menentukan tengkulak. Mata rantai I meliputi petani cabe-tengkulak-pedagang besar-pedagang kecil-pengecer-konsumen. Matai rantai II meliputi petanitengkulak-pedagang-pengecer. Sri Sumarsih, dalam Patra-Widya, Vol.4, No.3, September 2003. Tradisi Selamatan Pertanian di Desa Girisekar Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul, Isinya deskripsi tentang keterangan masyarakat petani tradisional sebagian masih ada yang menganggap penting peranan arwah leluhur, cikal-bakal serta makhluk halus yang dianggap mbaureksa suatu tempat. Menurut persepsi mereka arwah leluhur dan makhluk halus mau membantu para petani, maka commitselamatan to user pada tahap tertentu selamatan mereka menganggap perlu melakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
padinya. Selamatan ini selain ditujukan pada para makhluk halus dan arwah leluhur serta ditujukan kepada sosok yang bernama mBok Sri Sedana yang dianggap sebagai pelindung tanaman padi. Desa Girisekar memiliki beberapa dusun dan masing-masing memiliki cirri khas sendiri dalam melaksanakan selamatan. Tiga dusun yang dimaksud yaitu Dusun Mendak, Dusun Bali, Dusun Blimbing dalam selamatan negalke wiji terikat terikat dengan pembukaan Cupu Panjala. Tanah di Desa Girisekar tidak ada pengairan sehingga dalam mengolah tanah tergantung dengan air hujan, maka air hujan sangat berperanan penting, jika air hujan terlambat dating mereka berusaha agar hujan segera turun caranya dengan mengadakan salat bersama di lapangan, di samping itu ada yang secara tradisional minta hujan dengan selamatan di Pundhen. Selain itu Sumarsih juga menuliskan tentang Cerita Rakyat Prabu Boko Kaitannya dengan Tanaman Bawang di Dusun Pancot: Kajian Nilai Budaya dalam Laporan Penelitian Jarahnatra, No.017A/P/1999, ISSN 0854/3178, Depdikbud BKSNT Yogyakarta. Isinya deskripsi cerita Prabu Boko merupakan salah satu cerita rakyat nusantara. Dalam konteks di Desa Pancot mengungkap karakter tokohnya yaitu (a) Kyai Jenta sebagai cikal bakal Desa Pancot wataknya mengayomi warganya, (b) Prabu Boko sebagai pendatang wataknya kejam suka merampas harta milik warga masyarakat dan suka makan daging manusia, sehingga kehadirannya membuat resah warga, (c) Puthut Tetuko seorang pengembara yang wataknya suka menolong, dia membela warga dengan mengalahkan Prabu Boko dengan membanting (memoncot). Prabu Boko sebelum kematiannya dia menyesali perbuatannya dan berusaha memberikan kebaikan pada warga pancot untuk menebus kesalahannya berupa bibit tanaman. Wujudnya dari tubuh Prabu Boko yang tercabik-cabik itu tumbuh tanaman bawang merah, bawang putih, ketumbar, dan batu gamping. Sampai sekarang keempat tanaman itu menjadi penghasilan utama masyarakat Pancot. Ketika akan meninggalkan Desa Pancot pemuda yang bernama Puthut tetuka berpesan agar setiap hari Slasa Kliwon wuku Mondosiyo masyarakat Pancot melakukan sesaji bersih desa yang disebut dengan Mondosiyo. Tradisi ini secara turun-temurun dilestarikan warga setempat. Ketika pelaksanaan commitpesan-pesan to user tradisi diujung akhir acara disampaikan leluhur terkait tradisi tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
sebagai social control, media social, gotong royong, dan beriur bersama. Hal menyedihkan dalam tradisi itu yaitu perebutan ayam hidup antar pengunjung, mengakibatkan badan ayam terputus dan mati karena dikoyak-koyak tubuhnya. Seharusnya disepakati ketika ayam telah terpegang seseorang maka yang lain harus menghargai dan tidak boleh merebut. Apakah ini justru kesukaan roh dari Prabu Boko?. Tulisan yang lain adalah Dewi Sri dalam Tradisi Jawa, dalam Jantra Vol. II, No.3 Juni 2007, Depdikbud BKSN Yogyakarta, ISSN 1907-9605. Isinya tentang deskripsi masyarakat agraris di Jawa, terhadap kehadiran dewi Sri masih berlangsung sampai sekarang. Ritual penghormatan Dewi Sri Nampak pada ritus perkawinan (midodareni), tata ruang bangunan dan ritus pertanian. Dewi Sri menjadi symbol bagia orang Jawa dalam siklus perkawinan, memperlakukanm rumah dan tanah pertaniannya. Dalam struktur berfikir mereka asal-usul benih kehidupan berasal dari atas (Dewa) yang diberikan kepada dunia bawah (manusia). Supaya terjaga hubungan atas dan bawah tersebut melalui tradisi ritusritus seperti itu perlu dilestarikan. Sumardi, dalam Patra-Widya Vol.1, No.1, Mei 2000, Depdiknas BKSNT Yogyakarta,
ISSN
1411-5239.Aktivitas
Usaha
Tani
Mendong
di
desa
Sendangsari, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Isinya yaitu deskripsi daerah pengembangan pertanian mendong (Pimbristy Globulusa) di Kabupaten Sleman yaitu di Kecamatan Minggir, yaitu di Desa sendangsari dan Desa Sendangapung. Biasanya dilakukan bersamaan dengan usaha tani padi. Alasan memilih tani mendong karena dalam perkembangannya tanaman padi sudah tidak mencukupi kebutuhan mereka, di samping lahannya memang cocok untuk tanaman mendong, dapat menyerap tenaga kerja 101 orang dari 148 tenaga kerja dengan tingkat partisipasi kerja 68,14%, sedangkan pendapatan tani mendong menyumbang 63,67% kebutuhan rumah tangga, sehingga merupakan pendapatan utama mereka. Suhardi, dalam Etnografi: Jurnal Penelitian Budaya Etnik, No.01, Vol.01 Desember 2001, halaman 36-42. Politik Pembangunan Desa pada Masa Penguasaan Kolonial di Jawa dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Sosialto user Ekonomi Pedesaan: Studi Kasus commit Residensi Bagelen Jawa Tengah 1830-1870, Isi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
artikel berupa deskripsi yang menerangkan bahwa pola pembangunan eksploitatif di mana seluruh kebijakan pembangunan yang langsung berada di bawah control politik pusat (pembangunan sentralistik). Pola ini secara nyata telah mampu menggeser perekonomian desa tradisional sebelumnya, baik dalam segi orientasi produk maupun intensitas penggarapan sumber daya pedesaan. Sentralisme pembangunan ini setelah pemerintah kolonial mendapat legalitas politik dan hukum untuk menjalankan ekonomi pasar secara paksa. Gejalanya dibukanya perkebunan di 5 kabupaten di Bagelen dan dibubarkannya system pengelolaan kepemilikan tanah. Pada masa pasca colonial pembangunan sentralistik tetap dipertahankan, jika ada pergeseran sifatnya hanya pada gerak linier dari cirri eksploratif ke cirri regulatif. Herman
Joseph
No.13/P/1998,
ISSN
(1997/1998)Integrasi
Wibowo,
dalam
0854/3178,
Kelompok:
Studi
Laporan
Depdikbud Kasus
Penelitian BKSNT
Kelompok
Jarahnitra, Yogyakarta
Tani
dalam
Meningkatkan Sumber Daya Manusia,. Isinya deskripsi tentang organisasi petani yang bernama kelompok tani membentuk pola pikir yang lebih rasional. Mereka menyadari akan untung-rugi dalam melaksanakan pekerjaannya dalam hal tenaga yang telah dicurahkan dengan hasil yang mereka dapatkan, seperti di Desa Argomulyo. Perubahan telah terjadi berawal dari suprastruktur menjadi perubahan level struktur dan akhirnya pada infrastruktur. Mereka menyadari akan pentingnya sumber daya manusia. Untuk memperoleh itu mereka menerapkan manajemen tradisional dengan sistem among, yaitu “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, yaitu mengelola organisasi petani dengan berakar pada kebudayaan mereka. Ambar Adrianto, dalam Laporan Penelitian Jarahnitra, No.011/P/1997, ISSN 0854/3178, Nilai Anak di Kalangan Petani Desa Bantarsari: Pendekatan Antropologi Kependudukan, Isinya deskripsi tentang wacana untung-rugi anak dalam dunia domestik, alat ukurnya dalam konteks apa dan bagaimana, mengenalkan keluarga kecil (small family size) kepada masyarakat. Hal itu penting bagi perumus kebijakan (decision maker) demografis, seperti perilaku commit to usernorma keluarga. Konsep setempat fertilitas serta pola perencanaan atau preferensi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
tentang beban anak yaitu ekonomi (biaya anak, tambah pekerjaan, orang tua merasa terikat), psiko-sosial (anak nakal, tegang, kena musibah, gagal cita-cita, kegagalan mengasuh anak, religious-kultural (tidak ada ruginya memiliki anak). Tulisan Ambar yang lain adalah Potret Pertanian Desa Ngale Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi, dalam Perspektif Antropologi Ekonomi, dalam Laporan Penelitian Jarahnitra, No.002/P1994, ISSN 0854/3178, Depdikbud BKSNT Yogyakarta. Isinya deskripsi tentang Desa Ngale yang topografinya datar, tingkat pendidikan relatif baik, meskipun hanya ada satu SD, mereka 124 orang th 1993 sudah tamat SLTP, 60 orang tamat SMA. Tanah sawah rakyat ditanamai padi areal paling luas 360,99 Ha atau sekitar 55,16% dari keseluruhan luas tanah Desa Ngale 654,41 Ha. Pendapatan tani setahun 1.545.600 rupiah, sedangka di luar pertanian 222.000 rupiah, sehingga satu tahun hasilnya penuh 1.767.600 rupiah. Pengeluaran setahun mencapai 1.059.540 rupiah. Saldo penghasilan setahun 707.960 rupiah pada tahun 1994 waktu itu. Emiliana Sadilah, dalam Patra-Wigya, Vol.2, No.1 Maret 2001, Depbudpar, ISSN1411-5239.Masyarakat Petani Garam I Desa Karanganyar Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep (Kajian Adaptasi Lingkungan), Isinya deskripsi tentang perolehan hasil aktivitas yang dilakukan oleh petani garam yang berada di daerah pedesaaan seperti di Desa Karanganyar, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep yang berada di tepi pantai Madura sangat tergantung pada kondisi lingkungan alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan alam mereka adalah dari aspek topologi meliputi letak, luas, bentuk, dan batas laut; dari aspek non-biotik meliputi iklim, tanah, dan air. Dari aspek biotik dapat dfilihat dari perilaku
manusianya
(masyarakat
petani
garam)
dalam
melaksanakan
aktivitasnya. Mereka melakukan aktivitasnya sebagai petani garam merupakan adaptasi dengan lingkungan alam (fisikal) di mana tanda-tanda alam sebagai pedoman kerjanya. Unsur lingkungan alam fisikal berpengaruh pada letak dan batas, aspek nonbiotik (iklim, tanah dan air) dan aspek biotik (manusia) merupakan tanda-tanda sebagai pedoman kerja mereka. Desa tersebut terletak di selat Madura, di tepi pantai, letaknya hanya 6 m dari permukaan laut, sehingga commitikan. to user cocok untuk petani garam dan tambak Secara nonbiotik (iklim, tanah dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
air) menentukan mereka sebagai petani garam ketika musim kemarau (MeiOktober) dan petani ikan tambak ketika musim penghujan (Nopember-April) dalam musim yang normal. Untuk mengukur mulai dan berakhirnya masingmasing musim menggunakan mengukur panjangnya baying-bayang matahari pada siang hari (dengan pecak „jejak kaki‟) di samping tanda bintang. Jika bayangan orang dewasa di siang hari sudah memanjang 4 pecak maka pertanda kemarau sudah datang. Bulan juni mulai membuat lading garam. Jika bintang kartika malam hari sudah muncul di ufuk timur menandakan musim kemarau mulai tiba, mereka mempersiapkan ladang garam. Jika pada malam hari nampak rasi bintang seperti sungai mengarah condong barat-timur sebagai pertanada musim penghujan tiba, mereka mempersiapkan diri membuat tambak ikan, di samping bertani, berdagang dan menjadi nelayan. Demikian pula jika letak matahari condong ke selatan sebagai pertanda musim hujan tiba mereka mempersiapkan membuka tambak ikan, dan ketika matahari condong ke utara menandai musim kemarau tiba mereka
segera
mempersiapkan
ladang
garam.
Himpunan
iklim
yang
mempengaruhi aktivitas hidup mereka terpilah dalam beberapa elemen/istilah, yaitu: penyinaran matahari/pencahayaan, curah hujan, kelembaban udara, temperatur, sebagai pedoman kerja petani garam. Jika panas matahari terik (curah hujan hanya mencapai 32 mm, dan kelembaban udara hanya 60-<75 ) sebagai pertanda petani garam hasilnya akan melimpah, dan sebaliknya jika kondisi matahari redup dengan curah hujan lebih besar (lebih dari 150 mm, kelembaban udara > 75) sebagai pertanda hasil mereka akan kurang. Pertanda angin bertiup kencang di lading garam hasil garam sedikit dan menjadi garam lembut/halus. Pertanda pasang air laut di malam hari musim hujan hamper tiba, dan air pasang di siamh hari merupakan pertanda masih musim kemarau petani garam melanjutkan aktivitas mereka. Suyami, dalam Parta-Widya, Vol.3, No.2 Juni 2002, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, ISSN 1411-5239. Serat Cariyos Dewi Sri Kajian Struktur dan Nilai Budaya, Isinya deskripsi tentang Serat Cariyos Dewi Sri naskah lontar L/42/81/S.D.L.38 memuat tiga macam teks, yaitu teks sebuah suluk, commit to user teks cerita Dewi Sri, dan teks ajaran Islam. Cerita Dewi Sri dalam naskah lontar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
tersebut merupakan transformasi dari warna Islam yang berbeda dengan sumbersumber lainnya. Mengenai kandunganya isisnya meliputi nilai kearifan, nilai religi, nilai moral, dan nilai sosial. Sumardi,
dalam
Parta-Widya,
Vol.4,
No.1
Maret
2003,
Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Jarahnitra Yogyakarta, ISSN 14115239. Pertanian Organik: Kearifan Lingkungan Hidup di Desa mangunsari Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Jawa Tengah, Isinya deskripsi tentang pertanian organik di Desa Mangunsari merupakan salah satu kegiatan pertanian yang bertumpu pada pupuk kompos atau organik. Persepsinya tentang pertanian organik sangat positif dengan alasan pertanian jenis ini dapat menjaga lingkungan alam dan memberikan hasil yang lebih baik daripada mengikuti cara revolosi hijau. Beralihnya para petani dimaksudkan untuk menjaga ekosistem sawah, pilihan mereka 58% berdasarkan aspek untuk menjaga lingkungan alam. Pertanian jenis ini membuktikan pendapatan mereka lebih besar, karena biaya pupuk rendah dan hasil pertanian organik ini nilai jualnya lebih tinggi. Isni Herawati, dalam Laporan Penelitian Jarahnitra, No.016A/P/1999, Depdikbud BKSN Yogyakarta, 1999/2000, ISSN 0854/3178.Sistem Teknologi Tradisional Masyarakat Petani Tembakau di Desa Tilir dan Desa Legoksari Temanggung, Isinya tentang deskripsi tentang Desa Tilir dan Desa Legoksari merupakan desa yang masyarakatnya sebagai petani tembakau. Tembakau umumnya ditanam pada musim kemarau atau ketiga. Daerahnya cocok karena tanah dan ketinggiannya 1.000-1.500 m dari permukaan air laut, karena daunnya lebar, tebal dan aromanya kuat. Lebih baik jika keadaan tanahnya normal, ber PH 5,5-6,5 dan curah hujan 1.500-3.000 mm per tahun. Mereka masih menggunakan peralatan tradisonal dalam menanam tembakau, misalnya menggunakan cangkul dan dominan pupuk kandang, bibitnya menyemai sendiri, untuk merajang menggunakan gobang, alasnya srobongan, untuk menjemur dan menampung menggunakan rigen dan kranjang. Bukan karena tidak mampu membeli yang modern menurut mereka prosesnya yang demikian adanya. Masalah hama mereka semprot denga obat hama, meski mereka menyadari semakin modern hama commit to user tanaman semakin banyak.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Dwi Ratna N., dalam Patra-Widya, Vol7, No.1, Maret 2006, ISSN 14115239, Depbudpar.Petani Versus Perkebunan pada Masa Reorganesai Agraria Studi Kasus di Klaten, Isinya tentang deskripsi dengan berakhirnya zaman liberal dalam politik colonial dan dimulainya politik etis, system lungguh dan kondisi agraria serta administrasi di vorstenlanden mulai digugat. Pada dasawarsa pertama dan kedua abad XX reorganesasi agraria dilakukan pemerintah kolonial di daerah swapraja. Reorganesasi yang diperkenalkan tersebut membuat tatanan yang sudah lama berlaku di swapraja menjadi berubah. Empat poin perubahannya yaitu penghapusan system lungguh, pembentukan desa sebagai unit administrasi, pemberian hak tanah yang jelas kepada petani, perbaikan aturan sewa tanah. Tujuannya agar kehidupan petani menjadi lebih baik, namun kenyataanya berbeda, pihak yang mendapatkan keuntungan perkebunan. Perubahan hak dan aturan sewa menyebabkan perkebunan menguasai lahan semakin luas, akibatnya petani berontak dan memprotes keadaan itu. Isyanti, dalam Jantra, Vol.II, No.03, Juni 2007, Depdikbud BKSN Yogyakarta, ISSN 1907-9605. , Misbach dan Douwes Dekker tampil membela. Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Kasus di Desa Tunggularum, Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman), Isinya tentang deskripsi upacara merti bumi sebagai warisan tradisi turun-temurun, nilai-nilai tradisi yang dianggap baik mendukung tradisi itu, sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas limpahan karunia rejeki yang terus menerus kepada mereka, dan permohonan, rejeki melimpah, kesehatan, kepada Tuhan.
keselamatan dan ketentraman
Desa Tunggularum, Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman 80% sebagai petani. Pindahan dari Desa Tunggularum lama ke Desa Tunggularum baru. Merti Bumi karena melimpah hasilnya dan tidak terkena bencana merapi. Prosesi diawali mengambil air di Sendhang Pancuran (makna pencucian diri lahir-batin), dilakukan sehari sebelum diadakan kirab pusaka Kyai Tunggulwulung dan Tumpeng Kembar Lanang Wadon dan Gunungan Wulu Metu atau Gunungan Salak (Gunungan Salak Gung Rinengga) terbuat dari salak seberat 500kg (karena hasil andalannya buah salak), nasi jagung (kesukaan penunggu user Maha Esa dan penjaga desa merapi), dipersembahkan kepadacommit Tuhanto Yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
mereka. Pantangan-pantangannya yaitu tidak boleh bicara yang tidak baik ketika mengikuti upacara kirab pusaka Tunggulwulung, berpakain rapi dan sopan, berjalan hati-hati karena licin dan sempit, panitia pakaian kejawen, jangan memakai pakaian warna gadhung melathi karena menyamai pakaian Ratu Kidul. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Merti Bumi, yaitu nilai gotong-royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai musyawarah, nilai pengendalian sosial, nilai kearifan lokal (pelestarian sumber air Sendhang Pancuran). Di luar Jawa, Lamech dan Hutomo (1995) meneliti tentang Kearifan lokal perladangan suku Ormu dan Biak di pedesaan Kab. Jayapura dan Biak Numfor. Dalam penelitian ini diuraikan tentang pengetahuan masyarakat, pengetahuan tentang jenis-jenis tanaman, pengolahan ladang, tradisi perladangan lokal, pengetahuan tentang gejala alam yang ada di wilayah tersebut. Doppy Roy Nendia, Marthen R., Pellokita dan Antonius S.J. Adu Tae; Peranan Wanita Tani dalam Usaha tani Lahan Kering di Pulau Rote, dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi, 31 Januari – 4 Pebruari 1993 di Sawangan Bogor: Buku III dalam Bidang Ilmu Ekonomi dan Sosial Ekonomi Pertanian, Depdikbud Dirjen Dikti P4M. Isi artikel berupa deskripsi wanita tani dipulau roti memiliki peran penting dalam keputusan rumah tangga dan pengelolaan lahan pertanian, tercermin dalam alokasi waktu yang dicurahkan untuk hal tersebut, terutama di lahan kering. Perbandingannya wanita 230 jam kerja (51,34%) laki-laki 218 jam (48,66%). Pengaruhnya sampai pada hasil yang disumbangkan dalam rumah tangga, perbandingannya wanita Rp 149,940, 41 (53,48%) laki-laki Rp 130,412,32 (46,52%). Sumbangan wanita terhadap sektor usaha pemanfaatan lontar untuk rumah tangga 40,87%, laki-laki 59.13%. Dalam pengambilan keputusan memiliki otoritas yang seimbang atau setara. A. Hamid dan A. Baso Bonda, dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi, 31 Januari – 4 Pebruari 1993 di Sawangan Bogor: Buku III dalam Bidang Ilmu Ekonomi dan Sosial Ekonomi Pertanian, Depdikbud Dirjen Dikti P4M Sitem Tata Niaga Sapi dan Kerbau Serta Pengaruhnya terhadap commit toBarru user dan Pinrang,. Isi artikel berupa Pendapatan Petani Ternak di Kabupaten
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
deskripsi tata niaga sapi dan kerbau di Sulawesi Selatan cenderung menguntungkan pedagang besar antar pulau, tanpa mempertimbangkan populasi kerbau dan nasib para petani kerbau. Muhammad Ardi, Abdul Hamid Aras, Syahriadi, Yusuf Marsyuku dalam dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi, 31 Januari – 4 Pebruari 1993 di Sawangan Bogor: Buku III dalam Bidang Ilmu Ekonomi dan Sosial Ekonomi Pertanian, Depdikbud Dirjen Dikti P4M. Dampak Pembangunan Jaringan Irigasi terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Padi di Propinsi Sulawesi Selatan,. Isi artikel yaitu deskripsi dampak pembangunan irigasi di Sulawesi Selatan terhadap peningkatan pendapatan petani tercermin dalam hasil padi Rp 1.187.000; palawija Rp 205.000; pemeliharaan itik 103.000; pemeliharaan ikan 307.000 setahunnya pada waktu itu. Pembangunan irigasi memberikan dampak kesejahteraan bagi petani tercermin dalam rumah tinggal mereka dan pembiayaan sekolah anaknya. Faktor yang mempengaruhi di Sulawesi selatan adalah modal kerja dengan pengaruh yang positif, elastisitas produksi sebesar 0,2194, pupuk dengan pengaruh posiotif elastisitas produksi sebesar 0,301, pengalaman kerja dengan pengaruh posisitif elastisitas produksi sebesar 0.0325, dan luas lahan yang dikerjakan dengan pengaruh posisitif elastisitas produksi sebesar 0,6623. Sedangkan benih, obat pemberantasan hama dan tenaga kerja belum memperlihatkan pengaruh yang nyata. Usaha tani khusus produksi padi di Propinsi Sulawesi Selatan berada pada taraf Increasing Return to Scale. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Imam Santosa yang berjudul Kearifan Lokal Petani Pada Tepian Hutan Dalam Memelihara Pelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan (dalam Jurnal Wawasan, Februari 2006 Volume 11 nomer 3) ternyata petani tepian hutan tidak selalu mengalami pemudaran eksistensi kearifan lokal dalam pemeliharaan kelestarian ekosistem sumber daya hutan. Proses pemudaran kearifan lokal dipengaruhi oleh multi faktor terutama: tingginya angka kepadatan penduduk (population density), rendahnya man land ratio, lokasi geografis desa yang mudah terjangkau informasi dan berbagai commit to user yang relatif tinggi, daya dukung fasilitas transportasi umum, mobilitas penduduk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
lingkungan (carrying capacity) yang menurun lebih cepat. Adapun pada petani tepian hutan yang masih konsisten memelihara kearifan lokal sehubungan dengan kelestarian ekosistem sumber daya hutan meliputi: angka kepadatan penduduk (population density) lebih rendah, man land ratio termasuk tinggi, lokasi geografis desa lebih terisolir yang sulit terjangkau informasi dan berbagai fasilitas transportasi umum, mobilitas penduduk umumnya relatif rendah, daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi. Proses memudarnya kearifan lokal itu bermula dari masyarakat yang relatif masih bersahaja dan dengan teknologi yang masih sederhana (Pekantan Natal) dan seiring dengan naiknya intensitas penggunaan
teknologi,
tekanan
pasar,
dan
naiknya
jumlah
penduduk
(Darmokradenan) berimplikasi bahwa aksioma ekologis bahwa “tidak ada makan siang gratis” menjadi terbuktikan. Bahwa setiap bentuk ekstraksi terhadap sumber daya alam (hutan) hendaknya diikuti pemulihan kembali (recovery) terhadap alam (hutan). Dengan demikian ekosistem menjadi lebih terjaga. Penelian tentang pertanian yang berkaitan dengan kearifan lokal juga dilakukan di luar negeri antaranya di Thailand. Hasil penelitian tersebut antara lain oleh Komothip seorang mahasiswa program Ph.D dari Thailand yang menulis kearifan lokal di bidang pertanian dengan judul Local Wisdom, Environmental Protection And Community Development: The Clam Farmers In Tambon Bangkhunsai, Petchabury Province, Thailand yang dimuat dalam jurnal Manusya: Journal of Humanity Vol 10.1, 2007. Isi yang merupakan hasil penelitian itu adalah „the People Research and Development method could stimulate local wisdom to protect the environmental and develop the community in a number of ways. In particular, the local fishermen employed their local wisdom to collect clams and shellfish. They were able to make their own gear in such a way as not to destroy the natural resources and to ensure the preservation of the natural resources for a long time. Local wisdom was also used in the formation of community development projects such as an eco-tourism group and a processed seafood group. It is anticipated that these projects will lead to sustainable resources management’ ‘Penelitian dan pengembangan masyarakat mampu to user memicu masyarakat sehingga commit dapat membangkitkan kearifan lokal untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
melindungi alam dan mengembangkan masyarakat dalam beberapa cara. Khususnya pada masyarakat nelayan yang mampu memanfaatkan kearifan lokal untuk menangkap ikan. Mereka dapat membuat alat sendiri sedemikian rupa sehingga tidak sampai merusak lingkungan dan dapat memelihara lingkungan dalam jangka waktu yang cukup lama. Kearifan lokal juga dipaka dalam proyek pengembangan masyarakat seperti pariwisata, pengolahan makanan laut, Hal ini untuk mengantisipati dalam pelestarian sumber makanan‟ Penelitian yang berkaitan dengan beras juga ditemukan di Mekong dengan judul „Rice is The Life and Culture of The People of The Low Mekong Basin Region‟ Dalam makalah yang di seminarkan pada Rice Conference yang dilaksanakan di Ho Chi Minh City 15-17 Oktober 2004 ditulis oleh Dao Trong Tu, Kim Geheb, Uchiumi Susumu, dan Vitoon menyatakan „Rice farming in this has a long history, through which traditional culture and customs associated with rce farming have been formed, Rice and its significance constribute towards the language, religion and festival of the region’ „ Pertanian di daerah ini memiliki ceritera sejarah yang panjang yang tidak terpisahkan dengan tradisi budaya setempat yang selalu diasosiakan dengan perannya dengan bahasa, agama dan festifal keagamaan‟.
2. Kajian Terkait Kearifan Lokal di Luar Bidang Pertanian yang Relevan
Hasil penelitian yang mengkaji tentang kearifan lokal di luar bidang pertanian seperti Ayatrohaedi (1986) Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius); Sumintarsih (1994) tentang Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan Pemeliharaan Lingkungan; Rahyono (2005) tentang Kearifan dalam Bahasa: Sebuah Tinjauan Pragmatis terhadap Profil Kebahasaan Media Massa pada Masa Pasca orde baru; Marsono (2007) tentang Revitalisasi Kearifan Lokal guna Mewujudkan Masyarakat Sejahtera; Fernandez (2008) tentang Kearifan Lokal Komunitas Etnik: kontribusinya dalam Kebangkitan Bangsa melalui Bahasa dan Budaya; Fernandez (2009) tentang Keanekaragaman commit to user Bahasa Kerabat dan Kearifan Lokal Komunitas Subetnik Dayak di Kabupaten
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Kutai Barat, Kalimantan Timur; Sumintarsih, dkk. (2005) tentang Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Madura; Sudardi (2009) tentang Unsur Lokal Genius sebagai Aspek Pemerkaya Bahasa dan Sastra Melayu dan Indonesia; Warta (2010) tentang Folklore and Human Value Development in Multilingual Setting; Kamijan (2010) tentang Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Babad Nitik Sultan Agung; Rosidi (2010) tentang Kearifan Lokal dan Pembangunan Negara; Saputra (2010).tentang Momot-kamot: Cermin Kelenturan Sikap Hidup Orang Jawa; Sumodiningrat (2010) tentang Leadership and Example of Sri Susuhunan Pakubuwono X A Philosophical and Ethical Reflection Encourage Nationalism in Local Wisdom Basic. ‟ Kepemimipinan dan contoh yang ada pada Sri Susuhunan X sebuah philosophi dan etika refleksi mendorong nasionalisme dalam dasar kearifan lokal. Hawasi (2007) menulis tentant Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Sastra Mistik Jawa yang dimuat dalam Proceeding Peat Universitad Guna Darma volume 2 menuliskan bahwa kearifan lokal pada sastra mistik Jawa merupaka keunikan yang berhubungan dengan falsafah kebersamaan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan sang pencipta, dan harmonisasi antara manusia dan alam semesta. Ni Wayan Sartini dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Volume 2 tahun 2009 Universitas Sumatera Utara berjudul Menggali Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasan) menyimpulkan bahwa terdapat 5 tatanilai yang tercermin dalam ungkapan Bahasa Jawa yaitu 1) ekspresi tingkah laku dan idiologi, 2) ekspresi yang menunjukkan cita-cita luhur yang kuat, 3) ekspresi yang menggambarkan hubungan yang kuat antara manusia dengan Tuhan, 4) ekspresi yang menunjukkan hubungan antara manusia dengan manusia, dan 5) ekspresi yang menunjukkan tingkah laku yang kurang terpuji.
3. Kajian Terkait Etnolinguistik
Kajian yang berkaitan dengan etnolinguistik yaitu Subroto, dkk. (1997) meneliti tentang aspek-aspek bahasa dan budaya Jawa yang meliputi paribasan, to dari user perspektif kajian etnolinguistik; bebasan, saloka, pepindhan, dancommit sanepa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Subroto, dkk. (2003) meneliti tentang kearifan lokal masyarakat Jawa yang tercermin dalam bentuk pitutur-luhur berupa wangsalan dari perspektif etnolinguistik; selanjutnya Subroto, dkk. (2007, 2008, 2009) meneliti tentang pergeseran tingkat tutur bahasa Jawa di kalangan generasi muda di Surakarta dan sekitarnya; Markhamah (2000) tentang Etnik Cina: Kajian Linguistis Kultural; Wakit Abdullah dan Sri Lestari Handayani (2008) dalam Hibah Penelitian Fundamental meneliti Bahasa Jawa Orang Samin di Blora: Kajian Etnolinguistik; Waridi Hendrosaputro dan Wakit Abdullah (2009) dalam Hibah Penelitian Fundamental meneliti Bahasa Jawa dan Hubungannya dengan Perilaku Orang Jawa di Kota Surakarta: Kajian Etnolinguistik; Fernandez (2008) tentang Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Komunitas Petani dan Nelayan; Fernandez (2008) mengkaji tentang Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat Petani dan Nelayan di Jember, Petungkriyono, dan Gunung Kidul. Artikel ini dimuat pada jurnal Kajian Linguistik dan Sastra Vol 2 No 2 2008: 166-177. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam aktivitas yang menyangkut kedua ranah mata pencaharian itu dapat diketahui bahwa Bahasa Jawa di dfaerah sampel penelitian menyimpan banyak sistem pengetahuan (kognisi) masyarakat yang mencerminkan relasi yang serasi dalam hubungan diantara manusia dengan ekologi alam sekitarnya, ekologi sosial, dan ekologi pikiran masyarakatnya. Dalam kekayaan mitosnya, tercermin relasi masyarakat petani dan nelayan dengan ekologi alam makro dan mikrokosmos, relasi serasi yang terjalin secara vertikal dengan dunia supranatural dan secara horisontal dengan sesama warga masyarakat. Dalam kategori dan ekspresi linguistik seperti tampak pada kosa kata serta paduan kata misalnya, tampak pola pikir dan pandangan hidup petani dan nelayan yang terekam dalam makna yang terjalin secara tersirat maupun tersurat mengklarifikasi kemampuan pemilik budaya akan sistem pengetahuan (kognisi) yang terekam dalam bahasa sebagai bagian integral dari kebudayaan. Ahmadi Kipacha seorang guru besar pada The Open University commit to user Tanzania menulis artikel di Nordic Journal of African Studies 14(3): 356-367
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
(2005) derngan judul An Ethno-Linguistics Perspective in Kingome Swahili Narrative Texts yang menyimpulakn bahwa „The texts presented here form important documentation of severely diminishing records of ancient Swahili culture and socio-economic life. I have attempted to present and discuss these texts so that both anthropologists and linguistics could use the material. The article does not pretend to be exhaustive but offers a small contribution to documenting our Swahili heritage’. „Text yang merupakan dokumen ini merupakan dokumen yang amat penting karena menyimpan budaya Swahili dan kehidupan sosiokultural. Saya telah mendiskusikan text ini sehingga ahli antropologi dan ahli linguistik dapat menggunakan texts ini. Artikel ini tidak terlalu rumit namun dapat menawarkan konstribusi untuk mendokumentasikan warisan leluhur kami Swahili‟ . Harun (2009)
tentang Kajian Etnolinguistik dengan Pendekatan Daya Pragmatik terhadap Pepindhan dalam Bahasa Jawa. Dari hasil penelusuran pustaka tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian yang akan diteliti ini belum pernah ada, selanjutnya kajian di atas dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam penyusunan hasil penelitian ini.Apabila terdapat kemiripan namun apabila dilaksanakan penelitian di tempat yang berbeda akan menghasilkan simpulan yang berbeda pula.
4. Kajian Terkait Berbagai Penelitian di Kabupaten Kebumen
Melalui penelusuran terhadap beberapa karya ilmiah dan penelitian yang pernah dilakukan maka dapat dilaporan berilut ini. Kearifan Lokal Dalam Bahasa dan Budaya Jawa Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen yang merupakan kajian etnolinguistik yang memaparkan kearifan lokal dalam dunia pernelayanan yang terungkap dalam setiap aktivitas mereka sebagai nelayan. Kajian Bahasa Jawa Dialek Kebumen (Sudiro, 1986); Kajian Bahasa Jawa Kebumen (Priyadi, 2005); Kajian Sosiodialek Kebumen (Pujiyatno, 2007); Kajian user Sosiodialektologi Bahasa Jawa commit di Eks toKaresiden Kedu (termasuk Pengaruh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Bahasa Jawa Banyumas) (Eka, 2009); dan 2) Kajian dari perspektif budaya, seperti kajian tentang Tradisi Bersih Desa di Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen (Windhiasmoro, 2009); Tradisi Jolenan di Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen (Khusnul Khotimah, 2010); dan tradisi Jawa yang dikemas dalam ritual Haul Syeh Abdurrahman (Asmoroqondi) di Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen (Dwi Rahmawati, 2010). 3) Kajian mengenai pertanian di daerah penelitian yang ditemukan adalah tulisan-tulisan pada laman di Suara Kebumen yang merupakan artikel populer seperti berikut ini: Artikel: “Sawah dan Kearifan Lokal”, oleh Sunaryo, dalam Suara Kebumen, Kamis 8 April 2010, Artikel “Jantung Pertanian ada di Kebumen”, oleh Sukron Makmun, dalam Suara Kebumen, 11 Juli 2009. Artikel: “Kebumen Kembangkan Hutan Rakyat”, dalam Media Indonesia, 28 Januari 2011.Pemerintah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, mengembangkan 4.550 hektare hutan rakyat Dana pengembangan dialokasikan dari dana alokasi khusus bidang Kehutanan dan APBN 2011. Artikel: “Kebumen Butuh Sarana Pemasaran Produk Agrobisnis”, oleh Lamo, Jumat 2 Nopember 2001, Artikel: “Serabut Kelapa Diekspor ke China”, Oleh Lamo, Rabu 28 Maret 2007, 21.45 WIB.Kebumen memiliki peluang ekspor hasil kerajinan Kebumen makin terbuka. Penelitian tentang Kearifan Lokal Dunia Nelayan yang merupakan disertasi Wakit Abdulla, 2013. Dalam ulasanya mendeskripsikan berbagai hal tentang nelayan yang mencerminkan kearifan lokalnya termasuk pengetahuan tentang jenis-jenis ikan, pemasaran, dan peristilahan yang dipakai di dalam melaut. Bila dicermati terdapat perbedaan yang signifikan terhadap penelitian penulis karena penelitian ini dikhususkan pada kearifan local pada komunitas petani yang mencerminkan kearifan lokalnya. Apabila ada kajian yang sama seperti ulasan bentuk folklore juga berbeda karena dalam hal ini berkaitan dengan pemikiran, pandangan hidup, dan pandangan dunia komunitas petani yang dikaitkan dengan aktifitas bertani.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
B. Landasan Teori
Landasan teori sebagai dasar untuk menganalisis hasil penelitian ini adalah 1. Kajian etnolinguistik, 2. Demensi makro dan mikro linguistik dalam kajian etnolinguistik, 3. Semantik kultural dalam kajian etnolinguistik, 4. Semiotik dalam kajian etnolinguistik, 5. Konsep pola pikir adalam kajian etnolinguistik, 6. Kearifan lokal, 7. Kategori dan ekspresi linguistik, 8. Folklor dan mitos, 9. Metafora.
1. Kajian Etnolinguistik
Kajian
etnolinguistik
merupakan
analisis
interdisipliner
yang
menghubungkan keterkaitan antara penggunaan bahasa dengan lingkungan budaya yang melingkupinya. Obyek penelitian ini begitu menarik untuk dikaji lebih mendalam karena budaya dan bahasa tidak dapat dipisahkan satu sama lain saling membutuhkan. Penelitian dengan kajian etnolinguistik ini diharapkan dapat mendeskripsikan sisi menarik hubungan bahasa dan budaya. etnolinguistik tersebut, sehingga dapat dipahami bahwa etnolinguistik yaitu jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unitunit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, folklor, dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial. Pada penelitian ini menggunakan definisi dengan kata jenis untuk menjelaskan etnolinguistik tersebut. Kata “jenis” salah satunya memiliki pengertian macamnya (Poerwadarminta, 1982), maka di sini macamnya itu mengacu pada macam linguistik seperti etnolinguistik, sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, dan sebagainya. Menurut pendapat Subroto (2003) setelah mengkritisi pendapat para ahli lainnya, mengemukakan bahwa kajian etnolinguistik berkaitan dengan hipotesis “Sapir-Whorf”, yang disebut pula sebagai relativitas bahasa (language relativism) dari pikiran Boas. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa bahasa manusia user membentuk atau mempengaruhi commit persepsito manusia akan realitas lingkungannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan dalam memproses dan membuat kategori-kategori realitas di sekitarnya (Samson, 1980).
Whorf fully believed in linguistic determinism; that what ones think is fully determined by their language. He also supported linguistic relativity, which states that the differences in language reflect the different views of different people. An example of this is the studies Whorf did on the Hopi language. He studied a Hopi speaker who lived in New York City near Whorf. He concluded that Hopi speakers do not include tense in their sentences, and therefore must have a different sense of time than other groups of people. (Samson, 1980: 81)
Lebih lanjut dijelaskan bahwa etnolinguistik juga disebut linguistik antropologi (anthropological linguistics) merupakan kajian bahasa dan budaya sebagai sub-bidang utama dari antropologi (Duranti, 1997). Etnolinguistik juga dikatakan sebagai linguistik antropologi (anthropological linguistics) yaitu jenis linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa sebagai konteks dari hipotesis Sapir-Whorf, hal tersebut senada dengan hipotesis Richards, Platt, Weber (1990) yakni bahasa sebagai cermin bangsa. Di samping itu, dijelaskan bahwa pengertian etnolinguistik (anthropological linguistics) yaitu cabang linguistik yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktikpraktik budaya dan struktur sosial14 (Foley, 1997). Syarifudin memiliki pendapat bahwa istilah anthropological linguistics yang dipakai Foley (1997) lebih sesuai dengan yang dimaksud etnolinguistik. Kridalaksana (2008) memakai istilah studi etnolinguistik sama dengan linguistic antropologis. Istilah ini dipilih karena sepaham dengan istilah yang digunakan Matthews (1997), yaitu linguistik antropologis. Sementara itu Fernandez (2008)
14
Cabang linguistik lain yang sama ranahnya dengan etnolinguistik adalah sosiolinguistik yang memandang bahasa sebagai lembaga sosial, salah satu lembaga yang di dalamnya individu atau kelompok mengadakan interaksi sosial. Sasarannya untuk menemukan bagaimana pola-pola perilaku linguistik yang berkaitan dengan kelompok sosial dan berkorelasi dengan perilaku commit sosial to user linguistik dengan variabel-variabel kelompok seperti usia, gender, jenis kelamin, kelas sosial/ mata pencaharian dan ras (Foley, 1997).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
konsep teoritisnya menggunakan istilah etnolinguistik mengacu pada istilah anthropological linguistics yang digunakan oleh Foley (1997). Pendekatan terpadu antarbidang linguistik dan antropologi budaya (etnologi) atau dikenal dengan etnolinguistik, yaitu kajian yang terfokus pada pengkajian terhadap perilaku verbal dan nonverbal dengan sasaran khazanah aset budaya dan bahasa termasuk salah satu produknya folklor. Dalam aspek sosiokulturalnya kehidupan masyarakat tersebut terkait dengan berbagai peristiwa adat seperti upacara adat kelahiran, perkawinan, kematian, kesehatan, dan berbagai aktivitas lainnya (Fernandez, 2009). Pendapat lainnya menyebutkan bahwa studi etnolinguistik dapat pula disamakan atau disebut dengan studi linguistik antropologis (Kridalaksana, 2008). Linguistik antropologis yaitu cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks budaya. Kajian lingusitik antropologis mencoba mencari makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa. Maka dari itu, linguistik antropologis merupakan disiplin interpretatif yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya. Oleh karena studi linguistik antropologis tersebut bermula dari fakta kebahasaan. Dengan kata lain, data yang dipakai dalam linguistik antropologis adalah bahasa yang dapat berupa kosa-kata, frase, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya. Melalui data yang berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya (Foley, 2001:2-5). Ethnolinguistics is a field of linguistic anthropology which studies the relationship between language and culture, and the way different ethnic groups perceive the world. It is the combination between ethnology and linguistics. The former refers to the way of life of an entire community i.e. all the characteristics which distinguish one community from the other. Those characteristics make the cultural aspects of a community or a society. A well-known (but controversial) ethnolinguistic subject is the Sapir-Whorf Hypothesis, which states that perception is limited by what can be described in one's own language.
Bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pengetahuan yang dimiliki commit to user seorang individu atau masyarakat tertentu. Hal ini menjadikan bahasa sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
objek yang penting. Data primer yang berkaitan dengan kategori dan ekspresi linguistic dikumpulkan dengan metode etnografi dan etnosain dalam sebuah kajian etnolinguistik. Metthews (1997: 118) menyatakan bahwa ethnolinguistics can have the sense of anthropological linguistic.
2. Makro dan Mikro Linguistik dalam Kajian Etnolinguistik
Pada
bidang
makrolinguistik
dan
mikrolinguistik
dalam
Kajian
Etnolinguistik bahasa tidak hanya terdapat pada masalah struktur internal kebahasaan semata, melainkan berhubungan erat dengan segala pengaruhnya atas sendi-sendi kehidupan manusia dan sekitarnya. Perlu dipahami dalam kajian etnolinguistik dipahami bahwa hakikat peran bahasa yang luas sebagai pengungkap budaya. Oleh karena itu, bahasa terkait dengan pola pikir dan sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat secara kolektif. Demikian pula bahasa dalam konteks itu menjadi objek yang penting dalam kajian ini. Akibatnya berbagai aspek sosio-kultural tidak dapat diabaikan ketika kajian itu berangkat dari aspek intralinguistik, karena aspek ekstralinguistik sering tidak dapat terlepas begitu saja dari aspek intralinguistik. Peran dari dimensi makrolinguistik dapat memperkaya kajian yang menekankan pada aspek mikrolinguistik dalam kajian Etnolinguistik (Fernandez, 2009). Adanya kajian etnolinguistik mampu menjelaskan esensi linguistikantropologis yang mengkaji bahasa-bahasa masyarakat terpencil. Disiplin ilmu linguistik ini lebih bersifat interpretatif dan mengkaji bahasa untuk menemukan pemahaman budaya (Matthews (1997). Hubungan kovariatif antara struktur bahasa dengan kebudayaan suatu masyarakat dikaji di dalam model kajian tersebut. Hal tersebut seperti diungkapkan Ola (2005), Mbete (2004), dan Riana (2003). Label Linguistik Budaya merupakan alternatif juga bagi kajian etnolinguistik atau linguistik antropologi (Foley, 1997, Duranti, 1997). Hymes (1975) dan Greenberg (1957) seperti halnya Koentjaraningrat (1975) dan De Jong (1957)
berpendapat
bahwa
etnolinguistik mengkaji commit to user
tidak
hanya
sisi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
makrolinguistik dalam dimensi vertikalnya dan dimensi horisontalnya, melainkan juga secara terpadu mengkaji pula sisi mikrolinguistiknya.
3. Semantik Kultural dalam Kajian Etnolinguistik
Dalam etnolinguistik terdapat kajian semantik yang meliputi kajian semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik kultural (Subroto, 1998). Menurut konsep makro dan mikro linguistik, semantik leksikal dan gramatikal masuk dalam konsep mikro linguisyik sedangkan semantik kultural masuk dalam konsep makro linguistik. Hal tersebut disebabkab bahwa semantik leksikal adalah salah satu bidang kajian linguistik yang khusus mempelajari arti kata yang lebih kurang bersifat tetap (stabil). Istilah itu dalam bahasa Inggris disebut semasiology. Arti kata resebut ialah sebagaimana dimuat dan diperikan di dalam sebuah kamus umum (general dictionary). Jadi, semantik leksikal itu berfokus pada kata tetapi yang dikaji ialah masalah arti, makna atau arti suatu kata, tipe-tipe arti, dan teknik pemerian arti. Lebih lanjut dijelaskan kata dianggap sebagai tanda bahasa (tanda lingual) minimum yang bersifat mandiri secara bentuk makna. Ia merupakan materi bahasa yang siap dipakai dalam pemakaian atau dalam kegiatan berbahasa. Sebagai tanda bahasa (dalam bahasa Inggris sign, bahasa Perancis signe), kata adalah kesatuan tak terpisahkan antara aspek bentuk (signifier, signifiant) dengan aspek arti (signified, signifie) yang pada dasarnya kaitan antara keduanya bersifat manasuka (arbitrer), kecuali pada sebagian kosa-kata yang termasuk tiruan bunyi (onomatope) dan kata-kata yang bernilai emotif-ekspresif. Semantik leksikal ini perlu dicantumkan sebagai alat untuk memerikan ekspresi lingual dan deskripsi makna dalam hubungannya dengan penyebutan waktu, tempat, komunitas, sistem kekerabatan, kebiasaan etnik, kepercayaan, etika, estetika, dan adat-istiadat yang mengarah pada penjelasan tentang kearifan lokal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semantik gramatikal (grammatical semantics, combinatorial semantics), yaitu penyelidikan makna bahasa dengan menekankan hubungan-hubungan dalam pelbagai tataran gramatikal (Kridalaksana, 1993: 193). commit to user Melalui unit lingualnya dapat dipahami sebagai pembentuk sebuah struktur
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
wacana15, dapat diamati dibalik pola pikir masyarakat yang ditampilkan dalam budaya (seperti folklor). Mengingat analisis unit lingual penting artinya untuk mengungkapkan aspek sosiokultural suatu komunitas, karena relasi antarunit lingual dengan nilai budaya bersifat multidireksional atau multitafsir. Data yang dipakai dalam linguistik antropologis dapat berupa kosa-kata, frase, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya. Melalui data yang berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya Semantik
kultural
(cultural
semantics)
merupakan
bidang
kajian
makrolinguistik yaitu makna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya (Subroto, 1998). Konsep ini dimaksudkan untuk memahami makna ekspresi lingual dan kultural masyarakat petani di pesisir selatan Kebumen yang berhubungan dengan sistem pengetahuan (knowledge system), pola pikir, pandangan hidup, serta pandangan dunia (world view). Demikian pula makna yang tercermin dalam perilaku verbal dan nonverbal dalam bahasa dan budaya termasuk salah satu produknya adalah folklor. Semantik kultural untuk menyoroti kearifan lokal yang berkaitan dengan beraneka ragam corak aktivitas kehidupan bahasa dan budaya masyarakat. Dalam aspek sosiokulturalnya kehidupan masyarakat tersebut terkait dengan berbagai peristiwa adat.
4. Semiotik dalam Kajian Etnolingustik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang 15
Menurut Samsuri (1987/1988: 1; dalam Sumarlam, dkk., 2009: 8) bahwa wacana adalah user rekaman kebahasaan yang utuh tentangcommit peristiwatokomunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula dengan bahasa tulisan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh. Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Dalam buku itu de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name, but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer. Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang commit to user dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain lainya. Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada pendapat de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental. Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993). Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya. Untuk tanda Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan
petandanya,
sedangkan simbol commit to user
adalah
penanda
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali (Hoed, 2002). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represents something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Hubungan ikon, indeks dan simbol seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Contoh lain adalah apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada „larangan untuk berenang‟ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa „adalah berbahaya untuk berenang disitu‟ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional. Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is commit to user(Lotman, 1971:61). Pernyataan itu constructed as a hierarchy of semantic systems
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya. Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.
5. Konsep Pola Pikir dan Pandangan Hidup dalam Kajian Etnolinguistik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) pikir akal budi, ingatan, angan-angan, dan gagasan. Pola adalah bentuk, susunan, struktur, dan proses. Pola pemikiran adalah yang diterima seseorang dan yang dipakai sebagai pedoman bagaimana diterimanya dari masyarakat sekelilingnya. Menurut Dictionary of Current English, think adalah use, come to conclusion, ideas, solutions to problem, imagine, form a conception, dan intend. Pattern adalah excellent example, model, used as guide, shape, dan way. Jadi, pola berpikir meliputi model, cara, gagasan, dan proses yang dipakai sebagai pedoman, kesimpulan, dan bentuk konsep. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Pola berpikir menurut Casson (1981:75-91) adalah inferensi atau integrasi kategori konsep yang diperoleh melalui tindak klasifikasi yang hasilnya merupakan bentuk skemata. Sementara
itu
Spradley
dan
McCurdy
(1975:46)
melalui
etnographi menjelaskan penelusuran pola berpikir. Ethnography is a kind of work of cryptographers who seek to decipher codes. They make observation, but their goal is to discover the hidden meanings behind what they see, to crack the codes that other people are using. This is the essence of the ethnographic approach.every culture is a code. „Etnografi adalah sejenis kerja scorang kriptografer yang mencari kaidah yang tersembunyi. Mereka mengadakan observasi, tetapi tujuannya adalah menemukan makna tersembunyi di balik apa yang mereka lihat, memecahkan kaidah di balik masyarakat pemakai kaidah tersebut. Hal ini merupakan in ti dari pendekatan etnografi yakni setiap kebudayaan adalah kaidah‟ Spradley (1979) menyatakan bahwa untuk menelusuri pola berpikir dapat dilakukan metode etnographi yaitu: mengajukan pertanyaan deskriptif, melakukan analisis wawancara, membuat analisis domain, mengajukan pertanyaan
struktural,
membuat
analisis
taksonomik,
mengajukan
pertanyaan kontras, membuat analisis komponen, dan menemukan tematema budaya. Tentang etnography komunikasi yang ditulis oleh Saville-Troike (1989) mengemukakan bahwa geography/tempat, sejarah, peran atau status, dan ujaran dalam kehidupan sehari-hari dapat juga menelusuri pola berpikir. Menurut Ahimsa-Putra (1996), pola berpikir adalah pengetahuan, klasifikasi, aturan, dan prinsip yang diperoleh melalui bahasa. Penelitian mengenai dimensi-dimensi kenyataan yang dianggap penting oleh suatu kebudayaan kemudian juga memunculkan suatu cabang kajian yang berusaha mengungkapkan struktur pemikiran manusia. Hal ini memang merupakan akibat lebih lanjut yang tak dapat dihindari karena ketika berbagai hasil penelitian tentang sistem klasifikasi harus ditampilkan dalam bentuk berbagai model, beberapa ahli kemudian berpendapat bahwa sangattomungkin berbagai model yang commit user digunakan tersebut memang mencerminkan struktur pemikiran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
yang ada pada manusia. Upaya untuk mendalami berbagai macam sistem klasifikasi serta berbagai model yang dapat digunakan untuk menampilkannya kini menjadi sebuah spesialisasi yang disebut antropologi kognitif (cognitive anthropology). Kajian ini pertama-tama memusatkan perhatian pada dimensi semantik dari berbagai istilah yang ada dalam suatu domain (bidang) dalam suatu kebudayaan. Misalnya saja bidang kekerabatan, bidang klasifikasi tanaman, atau bidang klasifikasi penyakit. Atas dasar perbedaan-perbedaan semantis yang diketahui, penelitian kemudian menyusun sebuah kerangka klasifikasi yang dapat menampilkan sistem klasifikasi yang ditemukan dengan lebiih mudah dan jelas. Secara tidak langsung, kerangka klasifikasi yang merupakan suatu struktur ini mencerminkan struktur yang ada di balik berbagai istilah yang ada dalam suatu bidang yang diteliti, dan ini dianggap juga mencerminkan struktur yang ada dalam pemikiran manusia vvalaupun belum atau bukan merupakan keseluruhan struktur... Ahimsa-Putra (1997:9-10)
Kemudian
dalam
tulisan
Etnosains
dan
Etnometodologi
sebuah
perbandingan, Ahimsa-Putra berpendapat bahwa Antropologi kognisi bertujuan antara lain: 1) menggali pandangan yang diteliti, kehidupannya untuk menerapkan
pandangannya/persepsinya
tentang
dunia/lingkungannya
(diterjemahkan oleh penulis). Etnosains juga menggali konsep/makna yang hidup dalam masyarakat/subkultur yang diteliti. Dan makna ke tema budaya (cultural themes): 2) mencari pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal bukan
membandingkan; 3) melakukan penelusuran, antara lain: sistem
pengetahuan/pengetahuan khas suatu masyarakat. Selanjutnya, Ahimsa-Putra juga berpendapat bahwa Etnometodologi ingin menemukan rule 'kaidah' untuk landasan berinteraksi. Jadi, pola berpikir, menurut Ahimsa-Putra (1985) adalah pengetahuan suatu masyarakat, yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan sebagainya yang dinyatakan melalui bahasa. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam lingkungan manusia. Pemberian nama memang merupakan proses penting dalam kehidupan manusia, sebab melalui proses ini manusia dapat "menciptakan" keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan. commit to user Perbedaan-perbedaan mengenai persepsi yang ada pada tiap benda bisa diabaikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
selama perbedaan tersebut tidaklah penting. Oleh karena itu nama juga merupakan indeks dari klasifikasi; dari apa yang dianggap penting (significant) dalam lingkungan manusia (Tyler, 1969). Dari nama-nama ini kita dapat mengetahui patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga kita dapat mengetahui upandangan hidup" pendukung kebudayaan tersebut. Di samping itu melalui bahasa inilah berbagai pengetahuan, baik yang tersembunyi [tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap pada si peneliti.
6. Kearifan Lokal (Local Genius, Local Wisdom)
Kearifan lokal dalam KBBI (2005) terdiri atas dua kata, kearifan dan lokal. Bila dibandingkan dengan John M. Echols dan Hassan Shadily (2002). Secara umum kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gaasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, bernilai baik, yang dianut oleh anggota masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ahimsa-Putra ( 2007). Bijaksana atau pandai dalam mengatasi kesulitan dengan baik dan benar. Kearifan itu sendiri merupakan perangkat pengetahuan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan dan atau kesulitan yang dihadapi dengan cara baik dan benar Di lain pihak, definisi kearifan lokal juga berhubungan dengan penggalan pengertian kearifan di atas. Kearifan lokal dapat diartikan sebagai perangkat pengetahuan pada suatu komunitas baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk menyelesaikan persoalan dan kesulitan yang dihadapi, yang memiliki kekuatan hukum maupun tidak (Ahimsa –Putra, 2007). Hal senada juga dituliskan oleh Natasuwan dan Natalang (2002) (dalam Komothib, 2007) sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
Local wisdom is a knowledge based on the experiences of people that are handed down over the generations, sometimes by those who may be seen as village philosophers. This knowledge is used as a guideline for people’s daily activities in relations with their families, their neighbors, and other people in the village and with their surroundings. „Kearifan local merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman masyarakat yang diwariskan secara turun temurun sebagai filosof desa. Pengetahuan lokal ini digunakan sebagai pedoman dalam aktivitas sehari-hari dalam hubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat, dan warga desa lainnya lain dengan lingkungan sekitarnya‟.
Oleh karena itu, masyarakat harus menghormati leluhurnya. Pada dasarnya warisan leluhur yang mengandung tata nilai perlu dipertahankan ketika kehidupan dikuasai oleh teknologi. Dengan demikian nilai kearifan lokal perlu mendapat perhatian terutama karena masih relevan dalam kehidupan masa kini. Kearifan lokal (local wisdom) sebagai kecerdasan lokal (local genius) dalam disiplin antropologi merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quartitch Wales (dalam Sartini16). Selanjutnya beberapa ahli antropologi membahas secara panjang lebar mengenai hal ini seperti misalnya Haryati Soebadio yang mengutip pendapat Ayatrohaedi: (1986) bahwa lokal genius adalah juga cutural identity, identitas/ kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Lebih jelas Ayatrohaedi (1986) mengatakan bahwa unsur budaya daerah mempunyai potensi sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang, ciri-cirinya adalah: 1) mampu bertahan terhadap budaya luar, 2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsurunsur budaya luar, 3) mempunyai kemampuan mengitegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, 4) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan 5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Menurut I “Berpijak pada Kearifan Lokal” (Sartini:
Ketut Gobyah dalam
http://www.menggali kearifan,
didownload 17/9/2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (lokal jenius) adalah 16
Sartini adalah dosen Filsafat Kebudayaan Fakultas Filsafat UGM yang menyampaikan tentang commitLokal to user kearifan lokal dengan topik Menggali Kearifan Nusantara Sebuah Kajian Filsafat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Karakteristik local wisdom merupakan pengetahuan yang mengajarkan manusia tentang tata nilai, mengajarkan orang untuk memelihara lingkungan dan tidak merusak alam serta mempertahankan keseimbangan alam semesta. Bentukbentuk kearifan lokal bisa diimplimentasikan melalui pola berfikir, cara hidup, nilai-nilai sosial. Sayangnya hal ini merupakan konvensi yang tidak tertulis sehingga sulit bagi masyarakat untuk mempelajari pengetahuan ini. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dalam jurnal Ibda oleh Ali Nurman (2007) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai „kearifan/kebijaksanaan‟. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilainilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Hubungan yang seimbang antara keduanya akan mampu menyajikan kehidupan harmonis yang mempersyaratkan semua yang menjadi bagian lingkungan
untuk
tidak
saling
merusak.
Sesungguhnya
manusia
dan
lingkungannya adalah gambaran hidup sistemis sempurna yang pada dasarnya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Manusia membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan pernapasan karena tumbuhan menjadi produsen oksigen tetap sepanjang masa. Dengan tumbuhan-tumbuhan manusia makan dan minum karena pada tumbuhan ini air tersimpan sempurna dalam tanah dan manusia dapat menggunakan tumbuhan itu secara langsung. Oleh karena itu, agar harmonisasi kehidupan ini tercipta dan tetap terjaga, kita harus bersikap dan berperilaku arif terhadap lingkungan.
7. Kategori dan Ekspresi Linguistik
Bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman. Melalui bahasa pengalaman penutur bahasa yang beragam dapat diklasifikasikan secara berbeda walaupun seringkali tidak selalu disadari oleh para penutur. Karena bahasa dapat merefleksikan pola pikir yang terkait dengan sistem pengetahuan manusia. Bahasa dan budaya sebagai produk yang hakiki dari manusia memiliki korelasi yang erat. Selain itu, tidak terabaikan pula keterkaitannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat, komunitas, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, dan adat istiadat (Sibarani, 2004). Bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan suatu masyarakat, yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sebagainya. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam lingkungan manusia, sebab melalui proses ini manusia lantas dapat “menciptakan” keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan. Dari nama-nama ini dapat diketahui patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga kita dapat commit to user mengetahui “pandangan hidup” pendukung kebudayaan tersebut. Nama-nama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
berbagai benda merupakan kosakata dalam ranah tertentu merupakan indeks dari klasifikasi; dari apa yang dianggap penting (significant) dalam lingkungan manusia (Tyler, 1969, dalam Ahimsa-Putra, 1985: 107). Selanjutnya, klasifikasi ini tidak hanya menyangkut objek-objek atau benda, namun juga kategorisasi mengenai cara-cara, tempat-tempat, kegiatan-kegiatan, pelaku-pelaku, tujuantujuan, dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam kehidupan sehari-hari tema-tema budaya ini muncul berulangkali dalam kehidupan pendukungnya terwujud dalam bentuk berbagai ungkapan, pedoman-pedoman, peribahasa-peribahasa, dan sebagainya. Melalui bahasa berbagai pengetahuan baik yang tersembunyi (tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap oleh peneliti (Ahimsa-Putra, 1985). Terdapat beberapa penjelasan yang diungkapkan mengenai kategori dan ekspresi linguistik (Kridalaksana, 2001) menjelaskan mengenai kategori yaitu bagian dari suatu system klasifikasi. Kategori merupakan hasil pengelompokan unsur-unsur bahasa yang menggambarkan pengalaman manusia. Sementara itu Matthew (1997) menyatakan category is any class of grammatical or leksical units distinguished as some level in the structure of a language. Kemudian
dalam
tulisan
Etnosains
dan
Etnometodologi
sebuah
perbandingan, Ahimsa-Putra berpendapat bahwa Antropologi kognisi bertujuan antara lain: 1) menggali pandangan yang diteliti, kehidupannya untuk menerapkan
pandangannya/persepsinya
tentang
dunia/lingkungannya
(diterjemahkan oleh penulis). Etnosains juga menggali konsep/makna yang hidup dalam masyarakat/subkultur yang diteliti. Dan makna ke tema budaya {cultural themes): 2) mencari pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal bukan
membandingkan; 3) melakukan penelusuran, antara lain: sistem
pengetahuan/pengetahuan khas suatu masyarakat. Selanjutnya, Ahimsa-Putra juga berpendapat bahwa Etnometodologi ingin menemukan rule 'kaidah' untuk landasan berinteraksi. Jadi, pola berpikir, menurut Ahimsa-Putra (1985) adalah pengetahuan suatu masyarakat, yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan sebagainya yang dinyatakan melalui bahasa. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama to user berbagai benda yang ada dalam commit lingkungan manusia. Pemberian nama memang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
merupakan proses penting dalam kehidupan manusia, sebab melalui proses ini manusia dapat "menciptakan" keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan. Perbedaan-perbedaan mengenai persepsi yang ada pada tiap benda bisa diabaikan selama perbedaan tersebut tidaklah penting. Oleh karena itu nama juga merupakan indeks dari klasifikasi; dari apa yang dianggap penting (significant) dalam lingkungan manusia (Tyler, 1969). Dari nama-nama ini kita dapat mengetahui patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga kita dapat mengetahui upandangan hidup" pendukung kebudayaan tersebut. Di samping itu melalui bahasa inilah berbagai pengetahuan, baik yang tersembunyi [tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap pada si peneliti. Casson (1981) berpendapat bahwa seperangkat konsep, seperti misalnya, konsep lbu, dapat dilihat dari I seperangkat konsep tentang wanita dan dewi pada kebudayaan penutur bahasa Kanada. Demikian pula, Casson (1981) dalam karyanya berjudul Talking About Doing: Lexicon and Event menjabarkan cara kerja memperoleh konsep dengan tindak klasifikasi taksonomi yang dapat diperoleh kategori konsep kerja works 'bekerja', collar 'leher kemeja', bulb 'bola lampu', dropper 'penetes', strike 'bulir' dapat diketahui bagaimana sekelompok orang mengkonsepkan realitas dalam ranahnya. Leech dalam karyanya yang berjudul Two case studies in Universal Semantics dan Kempson dalam karyanya yang berjudul Category Grading and Taxonomic Relation A mug is a sort of a cup juga menjabarkan cara kerja menggunakan pemanfaatan tindak klasiflkasi taksonomis dalam menelusuri pola berpikir atau konsep (Casson, 1981). Sebagaimana diungkapkan dalam konsep Boas dan hipotesis Sapir-Whorf (Ibrahim, 1985:78-150) bahwa manusia dapat memandang dunianya melalui bahasa. Bahkan dilukiskan juga bahasa merupakan pembentuk pikiran [sharper of the mind). Kategorisasi adalah pola berpikir manusia sebagai tanggapan terhadap berbagai macam informasi yang diterimanya melalui berbagai inderanya dan bagaimana dia memprosesnya dalam pikiran dan membaginya dalam kelompokkelompok guna penyimpanan {storage) dalam ingatan dan menemukannya kembali dengan mudah. Kelompok-kelompok konsep yang menghasilkan commit Kategori to user pengamatan ini tercermin dalam pengolahan pikiran itu disebut kategori.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
bahasa, dan oleh karena itu dapat diteliti melalui bentuk-bentuk tertentu dala dalam bahasa Jasynta. M. Nasution (2004). Menurut Casson dan Aminuddin hubungan di antara konsep tidak dapat secara tepat dikatakan jika hubungan/kohesi yang memuat: sinonimi, polisemi, hubungan leksem tidak dapat diidentifikasi. Selain itu, terdapat persoalan konsep yang mengandung makna dan mempunyai perluasan makna yang berkonotasi, misalnya: metafora yang dapat diidentifikasi melalui konteks dan tingkah laku (Casson, 1981). Melalui penelitian Bahasa Malayu Manado diperoleh bahwa: tuturan yang dihasilkan seseorang atau kelompok orang melalui beragam konteks menentukan konsepnya (Nasution, 1995). Adapun makna tuturan diperlukan untuk memperoleh tema-tema budaya. Studi tentang makna juga meliputi makna yang menjadi isi abstraksi dalam kegiatan berpikir secara logis, sehingga membuahkan proposisi-proposisi yang benar, meliputi leksem, medan makna, kolokasi, hiponimi, sinonimi, kontras, oposisi, antonimi, polisemi, homonimi, dan analisis komponen, dan makna yang menjadi isi komunikasi (Aminuddin, 1988). Menurut Hoijer (1954), bahwa pola berpikir disetarakan dengan konsep (konsep adalah thinking, communicating, behavior, and meaning). Konsep dibedakan dengan persepsi. Perbedaan ini menunjuk pada tingkat perbedaan aksi dan reaksi. Persepsi, kontak langsung. Konsepsi atau kognisi lebih luas dihubungkan dengan interpretasi atau inferensi. Bentuk linguitik atau ungkapan yang terdiri atas satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan teks dimaknai berdasarkan aspek sosial budaya, mental, dan psikologis antara penutur dan petutur. Satuan lingual meliputi klausa, kalimat, paragraf, monolog, minimum dialog, dan conversation (Sudaryanto, 1983). Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa (KBBI, 2001). Secara tradisional kata dikelompokkan menjadi 10 kelas, yaitu nomina, verba, ajektiva, kata ganti pronomina, numeralia, adverbia, konjungtor, preposisi, kata sandang (artikula), dan kata seru (interjeksi). Di samping itu, to user terdapat kata ulang (reduplikasi), commit yaitu kata yang diucapkan atau dituliskan secara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
berulang dengan makna dan jenis yang berbeda-beda (Mangunsuwito, 2002). Selain beberapa jenis tersebut, dalam bahasa terdapat satuan lingual kata majemuk, yakni gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan dengan suatu makna yang baru dan makna barunya itu tidak dapat ditelusuri dari unsur-unsur pembentuknya. Adapun frasa adalah satuan yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang masing-masing mempertahankan makna dasar katanya, sementara gabungan itu menghasilkan suatu relasi tertentu, dan tiap kata pembentuknya tidak bisa berfungsi sebagai subjek dan predikat dalam konstruksi (Keraf, 1991). Frasa adalah kelompok/gabungan kata yang tidak bersifat predikatif dan hanya mempunyai kemampuan menduduki salah satu jabatan kalimat. Tarigan (1984) menyatakan bahwa frasa adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih, yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa.
8. Folklor dan Mitos
Istilah foklor mulai muncul pada tahun 1846 oleh Wlliam John Thomas untuk menggantikan istilah pupular antiquities dan popular literature (Finegan, 1992) Dalam bahasa Inggris, istilah ini memiliki arti yang sederhana berati the lore of the people. Sementara itu, UNESCO mendifinisikan foklor sebagai berikut: Folklor (or traditional or popular culture) is the totality of tradition based on creation of cultural community, expresed by a group or individuals an organized as reflecting the expectation of a community in a so far as they reflect its cultural and social identity; its standar and values are transmitted orally, by imitation or by other mean. It is included among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicrafts, architecture and other arts. Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang diberikan oleh Danandjaya (1991), bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun commit to user contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
Sebagai bagian dari kebudayaan, foklor memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan dari ragam budaya lainnya. ciri-ciri foklor menurut Danandjaya (1991) adalah sebagai berikut: 1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya secara lisan, yaitu disebarkan dari mulut ke mulut (dengan disertai gerak isyarat dan alat pembantu mengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya. 2) Bersifat tradisional, yaitu disebarka dalam bentuk yang relatif tetap atau standar di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama 3) Membentuk versi atau varian yang berbeda-beda dikarenakan penyebarannya secara lisan. 4) Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak dikenal. 5) Biasanya mempunyai bentuk yang berumus dan berbeda. 6) Mempunyai kegunaan atau fungsi bagi kolektifnya/ 7) Bersifat prelogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. 8) Merupakan milik bersama suatu kolektif. 9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu, bahkan sering berkesan kasar dan spontan. Masih menurut Danandjaya (1991), bentuk-bentuk folklor yang ada di masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: 1) Foklor lisan, yaitu foklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk foklor lisan ini misalnya bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat. 2) Foklor setengah lisan, yaitu bentuk campuran foklor lisan dengan unsur-unsur yang bukan lisan. Bentuk foklor ini misalnya permainan rakyat, tari rakyat, adat istiadat, teater rakyat, dan sebagainya. 3) Foklor bukan lisan, yaitu foklor yang bentuknya bukan lisan meskipun diajarkan secara lisan. Foklor sejenis ini dapat berbentuk materi seperti rumah adat, makanan tradisional, senjata trdisional, dan sebagainya; ataupun bentuk non materi seperti gerak isyarat, musik rakyat, bunyi sebagai tanda komunikasi, commit to user dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Folklor sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turuntemurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk, lisan mupum contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu paengingat (Danandjaja, 1991). Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa folklor dimiliki oleh suat kolektif masyarakat. Selain itu folklor yang diwariskan turun temurun secara lisan (mulut- kemulut) dalam suatu kolektif masyarakat yang mempunyai cerita berbeda-beda diantara satu daerah dengan daerah lain. Dilihat dari sisi pendukungnya folklor mempunyai beberapa fungsi. Menurut Wiliam R. Borton melalui Danandjaja (1991) fungsi folklor ada empat yaitu: a) Sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai pencerminan angan-angan suatu kolektif, b) Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, c) Alat pendidik anak, d) Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Menurut Badcock (1975), mitos memang merupakan "something which tells a story". Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa “mitos does not convey common sence information, it is not for political purpose. It serves no utilitarian end what is ever, and conveys no information about the everyday world. Nor is it necesuriley morally or political pedagogic. Batasan ini mengarahkan bahwa mitos adalah ceritera yang spesifik, artinya tidak semua ceritera tentang kekinian dapat disebut mitos. Mitos adalah bagian dari fenomena budaya yang menarik. Yang perlu dicamkan. Menurut Levi-Strauss (Ember,1986), fenomena sosial budaya merupakan representasi struktur luar yang mendasarkan diri pada struktur dalam (underlying structure) dan human. Dalam kaitan itu, Levi-Strauss (1974) menjelaskan bahwa dalam mitos terdapat hubungan unit-unit (yang merupakan struktur) yang tidak terisolasi, tetapi merupakan kesatuan relasi hubungan tersebut dapat dikombinasikan dan digunakan untuk mengungkap makna di balik mitos itu. Dalam konteks demikian, analisis mitos seperti halnya mempelajari sinar-sinar terbias ke dalam mitem yang kemudian dipadukan ke dalam struktur tunggal. Kalau demikian tidak keliru jika Kerk (1983) berpendapat bahwa mitos memang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya dan merupakan satu-kesatuan. Bahkan, Leach (1968:42) juga menegaskan commit tobahwa user mitos dan ritual beresensi sama.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
Maksudnya, jika keduanya ditinjau sudut pandang linguistik, terdapat hubungan secara struktural. Hal semacam ini telah diakui oleh Levi-Strauss (1974) yang berusaha menganalisis mitos dengan model linguistik. Dia berpendapat bahwa semua versi mitos memang berhubungan dengan budaya pemilik mitos tersebut. LeviStrauss (1974) menyatakan bahwa penciptaan mitos memang tidak teratur, sebab si empunya ceritera terbiasa menceriterakan kembali dengan mitosnya sekehendak hati. Namun, di balik ketidakteraturan itu sebenarnya ada keruntutan yang tidak disadari oleh pencipta mitos. Keteraturan dalam mitos itu sering disebut struktur. Oleh karena itu, dalam menganalisis mitos diupayakan untuk menemukan struktur. Untuk menemukan struktur mitos, Levi-Strauss (Bertens, 1974) menggunakan model linguistik sebagai pemahaman fenomena sosial budaya. Asumsi dasarnya adalah bahwa linguistik dianggap sebagai suatu sistem, terlepas dari evolusi sejarah, dan dalam sistem itu memuat relasi-relasi yang meyakinkan. Alasan lain yang mengukuhkan Levi-Strauss adalah Rossi (1974) menggunakan model linguistik, karena ia memandang bahwa fenomena sosial budaya sebagai sistem tanda dan simbol yang dapat ditranformasikan ke dalam linguistic. Bertolak dari sistem linguistik tersebut, Levi-Strauss (1974) menggunakan prinsip asosiasi ataupun analog bahwa mitos memiliki struktur yang tidak berbeda dengan linguistik. Jika linguistik digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan, demikian pula mitos. Dalam mitos terkandung berbagai macam pesan, yang baru dapat dipahami jika kita telah mengetahui struktur dan makna berbagai elemen yang ada dalam mitos tersebut.
9. Metafora
Kajian makrolinguistik dalam etnolinguistik terdapat pula kajian metafora. Konsep pengertian metafora yang dapat dipakai untuk mengngkapkan makna pada penelitian yang merupakan kajian ethnolinguistik ini, antara lain: Edi Subroto (1991), Herman Waluyo (1991), Aminuddin (1995), Stephen Ullmann (1972). Konsep-adalah seperti berikut. Edi Subroto (1991), menegaskan tentang metafora yaitu terdapatnya commit to user kemiripan antara sesuatu yang pertama (referent-1) dengan sesuatu yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
kemudian (referent-2) baik kemiripan objektif maupun kemiripan perseptual atau kultural. Sesuatu dengan yang pertama disebut tenor dan sesuatu yang kedua disebut wahana (vehicle), misalnya: punggung bukit, kaki gawang, leher botol, senja menggempur, ditaburi tawa. Menurut pendapat Herman Waluyo (1991), metafora adalah cara pandang terhadap suatu objek melalui perbandingan baik langsung maupun tidak langsung. Ada dua hal (term) yang mendasar untuk membandingkan dua objek yaitu tenor dan wahana. Dengan demikian ada kemiripan objek yang ditunjuk sebagai referen pertama dan yang menunjuk sebagai referen kedua. Aminuddin (1995), dalam Slilistika menjelaskan bahwa metafora adalah:
Salah satu bentuk bahasa kias yang dikreasikan melalui perbandingan dan pemindahan ciri semantis, baik melalui perbandingan langsung maupun secara terselubung. Metafora Aku ini binatang jalang misalnya, merupakan bentuk metafora yang menggunakan bentuk perbandingan langsung. Tetapi pada bentuk metafora Jam mengerdip sesuatu yang dibandmgkan dengan mengerdip sifatnya terselubung. Ditinjau dari fungsinya, penggunaan bentuk metaforis difungsikan untuk memperkaya gambaran ciri citraan dan gambaran makina yang dinuansakan suatu paparan.
Ullmann menyebut subjek-subjek metafora dengan barang yang kita perbandingkan dengannya. Semantic an Introduction to the science of meaning karya Ullmann menguraikan tentang kedua hal tersebut dengan istilah tenor dan vehicle, sedangkan ciri-ciri umum yang mereka punyai membentuk dasar metafora. Hal ini tampak dalam kutipan yang dinyatakan sebagai berikut: The basic structure of metaphor is very simple. There are two terms present: the thing we are talking about and that to which we are comparing it. In Richard's terminology, the former is the tenor, the latter is the vehicle. „Susunan dasar dari metafora sangat sederhana. Ada dua istilah yaitu hal yang kita bicarakan dan hal yang kita bandingkan. Istilah dari Richard yang awal adalah tenor (arah atau tujuan) dan yang terakhir adalah vehicle (wahana). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
C. Kerangka berpikir dalam Kajian Etnolinguistik
Kerangka berpikir penelitian ini adalah analisis kategori dan ekspresi linguistik komunitas petani untuk mencermati bahasa dan budayanya. Pencermatan terhadap bahasa dan budaya akan dapat ditemukan kearifan lokal Jawa asli yang masih ada di daerah transisi. Bahasa komunitas petani dalam bentuk ekspresi linguistik berupa satuan lingual kata, phrasa, kalimat, dan wacana dianalisis dari kategori dalam aktivitas bertani. Warisan budaya masyarakat petani daerah transisi dapat diamati dalam ranah pertanian, perkebunan, nderes, empang sawah, peternakan, dan jamu tradisional. Foklor yang beredar di daerah transisi meliputi foklor lisan, folklor bukan bukan lisan, dan folklor sebagian lisan. Melalui analisis berbagai folklor dapat dipahami kearifan lokal yang terkaandung di dalamnya. Pada setiap kategori folklor lisan dan sebagain lisan yang berupa mantra-mantra terdapat ekspresi linguistik yang mengandung makna linguistik dan makna kultural sedangkan pada ekspresi nonverbalnya mengandung makna simbolik. Melalui ungkapan verbal dan nonverbal folklore juga dapat dipahami berbagai pengaruh yang terjadi di daerah transisi tersebut. Melalui berbagai analisis yang komprehensif dapat terlihat pandangan hidup, pandangan dunia, dan pola pikir sebagai pemikiran kolektif. Pandangan hidup, pandangan dunia, dan pola pikir tersebut kearifan lokal yang masih asli dan dipertahankan sampai saat ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Bagan 2.1: Kerangka Berpikir KATEGORI DAN EKSPRESI LINGUISTIK SEBAGAI CERMIN KEARIFAN LOKAL BUDAYA KOMUNITAS PETANI KEBUMEN
Ekspresi Linguistik
Katergori
Ranah pertanian Perkebunan Empang Sawah Nderes Obat Tradisional Tanaman Nonpangan Folklor Upacara Ritual
Kata Phrasa Kalimat Wacana
Makna Linguistik Makna Kultural Makna Simbolik
Pemikiran Kolektive
commit to user
Kearifan Lokal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
D. Deskripsi Daerah Penelitian
1. Sejarah Kabupaten Kebumen
Seperti halnya daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai latar belakang kultur budaya dan sejarah yang berbeda-beda, Kabupaten Kebumen yang memiliki
sejarah
menumbuhkan
tentang rasa
berdirinya
bangga
Kabupaten
bagi
Kebumen
warganya
yang
sehingga
dapat dapat
menumbuhkembangkan potensi-potensi yang ada dan dapat memajukan pembangunan di segala bidang. Sejarah awal mulanya Kebumen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Mataram Islam. Hal ini disebabkan adanya beberapa keterkaitan peristiwa yang ada dan dialami Mataram membawa pengaruh bagi terbentuknya Kebumen yang masih dalam lingkup Kerajaan Mataram. Dalam struktur kekuasaan Mataram, lokasi kebumen termasuk di daerah Manca Negara Kulon (wilayah Kademangan Karanglo), dibawah Mataram. Berdasarkan Perda Kabupaten Kebumen nomor 1 tahun 1990 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kebumen dan beberapa Sumber seperti pada laman Kebumen dalam angka, 2009 dapat diketahui latar belakang berdirinya Kabupaten Kebumen sebagai berikut. Lahirnya Kebumen dilacak dari berdirinya Panjer. Menurut sejarahnya, Panjer berasal dari tokoh yang bernama Ki Bagus Bodronolo. Pada waktu Sultan Agung menyerbu ke Batavia ia membantu menjadi prajurit dan menjadi pengawal pangan, kemudian diangkat menjadi senopati. Ketika Panjer diangkat menjadi Kabupaten dengan bupatinya Ki Suwamo (dari Mataram), Ki Bodronolo diangkat menjadi Ki Gede di Panjer Lembah (Panjer Roma) dengan gelar Ki Gede Panjer Roma I. Pengangakatan tersebut berkat jasanya menangkal serangan Belanda yang akan mendarat di Pantai Petanahan yang merupakan salah satu dari lokasi penelitian, sedangkan anaknya, Ki Kertosuto, sebagai patih Bupati Suwarno. Demang Panjer Gunung, adik Ki to userRoma, kemudian menyerahkan Hastrosuto membantu ayahnyacommit di Panjer
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
jabatannya kepada Ki Hastrosuto dan bergelar Ki Panjer Roma II. Tokoh ini sangat berjasa karena memberi tanah kepada Pangeran Bumidirja yang terletak di utara Kelokan sungai Lukulo, yang kemudian dijadikan padepokan yang amat terkenal. Kedatangan Kyai P Bumidirja menyebabkan kekhawatiran dan prasangka, Oleh sebab itu beliau menyingkir ke desa Lundong, sedangkan Ki Panjer Roma II bersama Tumenggung Wongsonegoro Panjer Gunung menghindar dari kejaran pemerintah Mataram. Ki Kertowongso dipaksa taat kepada Mataram dan diserahi menjadi penguasa kedua Panjer sebagai Ki Gede Panjer III yang bergelar Tumenggung Kolopaking I (karena berjasa memberi kelapa aking pada Sunan Amangkurat I). Dari ceritera ini dapat disimpulkan bahwa lahirnya Kebumen mulai dari Panjer yaitu tanggal 26 Juni 1677. Sejarah Kabupaten Kebumen memang ada beberapa versi. Di lihat dari namanya Kebumen berasal dari nama Ki Bumi yang selanjutnya menjadi KiBumi-an dan akhirnya menjadi KEBUMEN. Layaknya, nama tempat yang lazim dalam bahasa Jawa yang berasal dari nama bangsawan ditambahkan dengan akhiran –an. Versi lain lagi berasal dari ceritera tentang Jaka Sangkrip. Daerah penelitian, desa Petanahan di Pesisir Selatan merupakan tempat penolakan pendaratan Belanda. Oleh sebab itu, secara kultural masyarakat sangat mendukung terhadap perjuangan Ki Gede Panjer Roma I. Sebagai daerah transisi, dengan masuknya Mataram sebelum Islam dan dengan invasi Sultan Agung ke barat tentu saja membawa pengaruh ke daerah Pesisir Selatan. Oleh karena itu, masyarakatnya mendukung misi Sultan Agung untuk menguasai bagian barat Jawa Tengah. Infiltrasi budaya yang memperlihatkan ciri-ciri pusat budaya berpengaruh pada masyarakat setempat. Hal ini karena kontak budaya melalui hubungan yang terjalin antara pusat budaya dan Pesisir Selatan termasuk di dalamnya adanya kontak bahasa yang tentu saja tidak dapat dihindari terutama pada waktu Sultan Agung sampai pada Ki Gede Roma I. Ada semacam akulturasi budaya bahasa pantai di Kabupaten Kebumen dari budaya yang berasal pusat budaya sehingga budaya pantai selatan merupakan commit to user percampuran. Hal ini terjadi ketika mereka saling beradaptasi. Dengan fenomena
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
ini, daerah Pesisir Selatan dapat dikatakan sebagai daerah transisi yang sudah dipengaruhi dari pusat budaya, namun pengaruh itu belum cukup kuat sehingga daerah transisi ini masih cenderung memiliki budaya yang mirip dengan daerah periferal. Pada proses percampuran itu tampak pada nama Ki Gede … kata gede merujuk pada bahasa Jawa daerah periferal yang tidak mengenal tingkat tutur, sedangkan di pusat budaya yang menerapkan kesantunan berbahasa menggunakan Ki Ageng …. Makna Ki… dalam bahasa Jawa merupakan penanda gender lakilaki yang dikontraskan dengan Nyi…. untuk perempuan.
2. Gambaran Umum Kecamatan Lokasi Penelitian
Secara garis besar kondisi umum di sepanjang Pesisir Selatan ini memiliki kesamaan dalam bentuk dan model pertaniannya, namun masing-masing kecamatan di Kabupaten Kebumen yang menjadi lokasi penelitian memiliki ciri khas yang berbeda satu sama lain. Berikut adalah ciri khas yang berbeda dari setiap kecamatan.
Tabel 2.1: Gambaran Lokasi Penelitian No 1
Kecamatan
Karakteristik - Pantai suwuk memiliki kebun binatang yang berfungsi sebagai kelestarian alam dan memiliki keindahan alam yang masih alami. Di sini terdapat tanaman jati, mangga, dll, selain tanaman pertanian. - Taruna Akmil bersama anggota Kodim 0709/ Kebumen membantu menanam 4000 pohon jati.
Puring 2
-Petanahan merupakan sentra pengrajin pengodol sabut kelapa. Dengan potensi tanaman kelapa, hasil kerajinan sabut kelapa tersebut telah berhasil menembus pasar ekspor. - Petanahan merupakan tempat pariwisata pantai dan petilasan Pandan Kuning Petanahan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
3
Klirong
- Klirong memiliki banyak pohon durian yang jumlahnya mencapai 500 pohon dengan jumlah produksi 700 kuintal per tahun. - Tanaman ini punya potensi menjadi sebuah investasi yang bernilai tinggi
4
Buluh Pesantren
-Buluh Pesantren merupakan sentra pembuatan emping melinjo. Produksi melinjo di wilayah ini tinggi. Jumlah pohon 23.444 pohon dan produksi 4.093 kuintal per tahun - Pusat Latihan Militer Angkatan Darat, terutama untuk ujicoba alat-alat berat.
5
Ambal
- Ambal memiliki pantai yang sering digunakan sebagai arena pacuan kuda tiap tahun. Even tahunan itu dilaksanakan bersamaan dengan liburan Idul Fitri, mampu menyedot wisatawan, baik lokal maupun dari luar kota bahkan luar provinsi. - Ambal terkenal dengan makanan khasnya, yaitu Sate Ambal - Mirit menjadi sentra tanaman semangka. Sepanjang jalan di Kecamatan Mirit terlihat bentangan tanaman semangka dengan segala jenis. - Pantai Rowo menjadi pusat objek wisata yang berbasiskan perlindungan lingkungan atau ekowisata.
6
Mirit 7
- Produksi padi sawah di Kecamatan Adimulyo adalah yang terbesar di Kabupaten Kebumen. - Di Adimulyo terdapat kelompok nelayan dan dilengkapi dengan tempat pelelangan ikan hasil tangkapan laut para nelayan Adimulyo Sumber: Profil Pemerintah Kabupaten Kebumen, 2009: 12-32
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
3. Kondisi Geografis dan Topografi Daerah Penelitian
Secara administratif, Kabupaten Kebumen merupakan salah satu dari 36 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah darat 128.111,50 hektar atau 1.281.115 km2 dan wilayah laut 6.867 km2. Secara astronomis terletak di antara 109050‟ Bujur Timur dan 7027‟-7050‟ Lintang Selatan. Kabupaten dalam konteks regional merupakan simbul penghubung antara Jawa Timur dan Jawa Barat dan memanjang di Pulau Jawa bagian Selatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Kebumen adalah sebagai berikut: 1) sebelah utara
: Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo;
2) sebelah timur : Kabupaten Purworejo; 3) sebelah selatan : Samudera Hindia; dan 4) sebelah barat
: Kabupaten Banyumas dan Cilacap;
Daerah Pesisir Selatan secara geografis berada pada ujung paling selatan berjajar mulai Mirit, Ambal, Buluh pesantren, Klirong, Petanahan, Puring, Adimulyo, dan Ayah. Kecamatan paling barat adalah Ayah yang berbatasan dengan Kabupaten Cilacap dan kecamatan paling timur adalah Mirit yang berbatasan dengan Purworejo, sedangkan batas sebelah utara adalah Kabupaten Kebumen bagian tengah. Di tengah Kecamatan Pesisir Selatan ini dilintasi jalan alternatif yang menghubungkan antara Banyumas dan Wates Jogjakarta, yaitu jalan Daendeles17.
17
Jalan Daendeles adalah jalur yang berada di perbatasan Kecamatan Purworejo dan Kecamatan Kebumen, dapat ditempuh melalui perempatan Kutoarjo jika dari arah timur dan Kebumen dari arah barat di Kecamatan Petanahan. Jalan ini untuk menghindari kemacetan di jalur selatan, para pemudik yang melakukan perjalanan Jakarta-Yogyakarta atau sebaliknya, dapat memilih jalur alternatif Ketawang (Purworejo, CyberNews) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
Gambar 2.1: Peta Pertanian Padi Gaga Kabupaten Kebumen
Topografi Kabupaten Kebumen berada pada ketinggian 0-997,5 km di atas permukaan laut (mdp) dengan panjang garis pantai sekitar 57,5 km kemiringan tanahnya dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan seperti terlihat pada table berikut.
Tabel 2.2: Topografi Kabupaten Kebumen No 1 2 3 4
Topografi Kemiringan 0-2% (datar)
% Luas
Sebaran Lokasi
52,26%
Wilayah tengah dan Pesisir selatan
2-15% Bergelombang 15-40% (Curam) dan > 40% (sangat curam)
4,64% 17,11% 25,99%
Wilayah bagian Utara dan sebagian Kecamatan Ayah
Sumber: Bappeda Kabupaten Kebumen 2009 Topografi Kabupaten Kebumen sangat lengkap, terdiri atas daerah pegunungan, dataran sedang, dataran rendah, hingga pantai. Dengan variasi topografi tersebut, iklim Kabupaten Kebumen sepanjang tahun 2009 berada pada 0 kisaran 24,050C sampai dengan 28,95 C, to dengan commit user kelembaban udara rata-rata 80%
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
dan kecepatan angin rata-rata 1,89 knot. Rata-rata curah hujan selama tahun 2009 sebanyak 2.246,50mm/tahun. Curah hujan tertinggi ada di kecamatan Alian sebesar 3.239mm/tahun, sedangkan terendah di Kecamatan Puring sebesar 1.238mm/tahun dan berada di ujung laut Selatan. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa lokasi penelitian yang berada di Pesisir Selatan Kabupaten Kebumen merupakan tanah datar yang luasnya cukup banyak dan memiliki curah hujan sekitar 1,238 mm/tahun.
Gambar 2. 2 : Lahan Pertanian Sepanjang Pesisir Selatan
4. Kondisi Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Kebumen mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, yaitu dari 1212.809 jiwa pada tahun 2005, dan 1.247.811 orang18 pada tahun 2009 terdiri atas 630.140 penduduk
laki-laki
dan
617.617
penduduk
perempuan
dengan
asumsi
pertumbuhan penduduk di tahun 2009 sebesar 0,50%. Proporsi penduduk usia produktif (15-54 tahun) sebesar 62,04% dan sex-rasio 102 yang berarti jumlah 18
Angka defacto yang digunakan untuk berbagai perhitungan. Sedangkan secara dejure sebanyak 1.337.839 orang atau lebih banyak dari angka defacto karena kemungkinan penduduk yang sudah di luar Kabupaten Kebumen masih tercatat, kepemilikan identitas ganda. commit todan user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
penduduk pria lebih banyak 2 orang pada setiap 100 penduduk. Sayangnya para pemuda yang merupakan usia produktif ini banyak yang meninggalkan desa untuk boro „pergi keluar dari desa untuk mencari pekerjaan di kota besar atau di luar negeri‟. Dengan demikian yang tertinggal di desa adalah penduduk yang telah berusia tua yang masih mempertahankan pola kehidupan sederhana warisan leluhur. Data penduduk Kabupaten Kebumen berikut adalah tabel kependudukan di kecamatan yang menjadi lokasi penelitian.
Tabel 2.3: Jumlah Penduduk dan kepadatan Per Kecamatan Lokasi Penelitian di Pesisir Selatan Kabupaten Kebumen. No
Nama Kecamatan
Luas Wilayah (KM2) 1 Buayan 68.420 2 Puring 61.970 3 Petanahan 44.840 4 Klirong 43.250 5 Buluhpesantren 48.770 6 Ambal 62.410 7 Mirit 52.350 Sumber: BPS Kabupaten Kebumen, 2009
Jumlah Penduduk (jiwa) 57.367 53.046 52.824 55.468 52.711 56.352 46.588
Kepadatan (jiwa/km2) 838 856 1,178 1,282 1,081 903 890
5. Ekologi Pesisir Selatan
Secara ekologis, masyarakat Pesisir mempunyai cara kehidupan bervariasi. Sekurangnya
mereka
mempunyai
alternatif
pemanfaatan dua lingkungan hidup yaitu daratan (tanah) dan lautan (air) Komoditi ekonomi dari aspek pertanian sebagai mata pencaharian utama, kususnya padi ladang yaitu padi tadah hujan yang disebut sebagai pari gaga „padi gaga‟. Mereka juga sebagai penderes karena keadaan ekologi pantai Gambar 2.3: Petani yang juga nelayan sedang melaut
yang merupakan lokasi yang sangat cocok bagi tumbuhnya commit tokelapa. user
Mencari ikan dan sumber-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
sumber alam pantai merupakan matapencaharian tambahan dari ekologi laut. Ekologi daratan di Pesisir Selatan Kabupaten Kebumen ini merupakan hamparan tanah datar yang ditumbuhi aneka tanaman pangan yang dapat digolongkan sebagai tanaman yang berada di tanah lading, yakni pari gaga ‘padi gaga‟, golongan Gambar 2.4: Petani berada di kacang-kacangan seperti kacang brul „kacang
nggisik
tanah‟, dangsul kedelai‟, jagung, aneka sayuran yang bertahan pada udara panas, dan buah. Ekologi pada bagian Pesisir yang berpasir (daerah nggisik „tepi laut‟) adalah (1) tanaman aneka rumput, misalnya dukut gulung „jenis rumput yang dapat bergulung-gulung bila kena angin‟, (2) pohon cemara yang ditanam oleh Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai program penghijauan daerah Pesisir Selatan Kebumen yang direncanakan sebagai objek wisata, (3) klaraside yakni jenis tanaman yang biasa dipakai oleh masyarakat untuk makan ternak, (4) pohon kelapa, dan (5) gandhul kalifornia „pepaya kalifornia‟. Kehidupan
masyarakat
Pesisir
Selatan
Kabupaten
Kebumen
dan
kebudayaan dapat dilihat dengan deskripsi sistem adaptasi ekologi dihubungkan dengan pola hubungan kerja melalui faktor sumber alam, teknologi, pola kerja sama serta faktor kontribusi dan distribusi. Adaptasi ekologi merupakan dasar kemasyarakatan sebagai aspek yang mengikat setiap individu dalam konteks kehidupan bersama. Kemampuan akal dan dorongan yang ada dalam diri masyarakat Pesisir Kebumen berusaha meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga menyebabkan terjadinya transformasi yang berkenaan dengan kondisi musim, faktor demografis, dan lingkungan seputar masyarakat Pesisir Selatan yang berusaha melirik potensi ekologi laut sebagai sumber penghasilan yang lain yang memungkinkan adanya mendapat tambahan penghasilan.
Hal ini ternyata
commit user menunjukkan kecenderungan bahwa padatoperkembangan selanjutnya masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
setempat berusaha menyesuaikan diri dengan ekosistem yang ada, dengan berbagai cara seperti mengatasi banjir yang menggenangi sawah dengan menebar benih ikan sehingga dapat menambah penghasilan masyarakat secara kolektif. Bentuk lain dalam pemanfaatan ekologi Pesisir adalah adanya penanaman pohon gandhul kalifornia „pepaya Kalifornia‟ secara kolektif memanfaatkan tanah kosong yang berpasir ini menjadi ladang hijau yang membentang sepanjang pantai. Gandhul Kalifornia „pepaya Kalifornia‟ menambah perkembangan ekologi Pesisir Selatan bagian gisik „depan laut‟ Transformasi matapencaharian menjadi nelayan tentunya mengandung resiko, yaitu keadaan laut dengan ombak yang besar. Keadaan ini tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa adanya musim ekstrim dan faktor demografi. Dengan melihat polanya, aktivitas masyarakat Pesisir ini dapat digolongkan sebagai bentuk kehidupan yang masih Dambar 2.5: Petani yang habis ngrumput
tradisional, walaupun teknologi dan peralatan yang dikembangkan
telah
modern.
Mereka
masih
tradisional karena pada hakikatnya masyarakat Pesisir itu hanya malakukan kegiatan mengumpulkan, mencari, dan mendapatkan apa yang telah ada di alam. Laut merupakan salah satu sumber alam yang kaya akan kandungan isinya dan kaya pula dengan tantangan alamnya. Untuk memanfaatkan laut secara optimal diperlukan pengetahuan yang lebih mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan unsur kelautan ini, baik mengenai lingkungan alam secara fisik maupun nonfisik, teknologi, atau bahkan cara pendistribusian hasil kekayaan laut. Pengetahuan yang dapat memandu agar bertindak arif dan bijaksana dalam mengeksploitasi laut bisa didapatkan dengan berbagai cara, antara lain pengalaman sebagai salah satu sumber pengetahuan yang masih dipakai sebagai acuan bertindak. Disamping itu aspek kreatif-inisiatif merupakan acuan bertindak yang sangat diperlukan dalam koridor kearifan local, dalam arti tidak merusak lingkungan. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat Pesisir Selatan mulai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
belajar tentang pernelayanan dari daerah yang lebih maju yaitu dari Cilacap dan pantai Ayah yang sudah terkenal sebagai daerah nelayan. Pola kerja yang dikembangkan masyarakat Pesisir menunjukkan bahwa faktor ketergantungan manusia terhadap alam sangat besar. Kehidupan manusia relatif mengikuti ritme alam. Perputaran alam yang lambat diterapkan dalam kehidupan manusia. Waktu yang mulurpun bukan merupakan masalah dalam masyarakat ini. Ketergantungan terhadap alam, keterbatasan kemampuan fisik manusia dan rumitnya proses kerja menyebabkan keterlibatan invidu lain dalam suatu aktivitas, baik sebagai pengendali kegiatan, tenaga pembantu, mitra kerja, lembaga penampung hasil tangkapan, maupun sosok individu yang memberikan petunjuk gaib. Karena pola matapencaharian hidup yang dikembangkan masyarakat Pesisir tergolong tradisional, maka prinsip-prinsip yang mengacu pada pola pertukaran barang (uruban) ataupun sambatan masih berlangsung. Pesisir Selatan terutama di Kecamatan Klirong mulai bangkit sebagai kekuatan baru di tengah-tengah menyempitnya lahan pertanian karena kesadaran petani akan dampak kerusakan lingkungan yang sangat merugikan sampai jangka panjang nantinya. Eksistensi petani Pesisir pantai selatan Kabupaten Kebumen kerap kali terganggu dengan hadirnya industri pertambangan. Hal ini mendorong lahirnya konflik-konflik agraria dengan melibatkan relasi kekuasaan antara modal dengan negara terhadap petani. Kandungan mineral di Pesisir pantai selatan Kebumen yang diburu oleh korporasi pertambangan merupakan penjaga ekosistem dan salah satu faktor penentu keberlangsungan pertanian Pesisir perlu dicegah karena kandungan mineral tersebut mengikat unsur-unsur senyawa dari besi yang kemudian menghasilkan air tawar sebagai sumber irigasi dan mencegah terjadinya abrasi ( Prof. Suprianto : Fak. Pertanian UGM, dalam orasi politik panen raya di pertanian Pesisir Kulon Progo, 2011). Hal ini dapat dibuktikan adanya banyak sumur yang berada di sekitar Pesisir Selatan ini airnya tidak asin namun tawar. Inilah kelebihan manfaat pasir pantai yang mengandung biji besi sehingga oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
masyarakat Pesisir Selatan dipertahankan dan diperjuangkan karena air merupakan sendi kehidupan yang sangat penting.
6. Sosio Kultural Komunitas Petani Selatan Kabupaten Kebumen a. Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan di antara komunitas petani bertumpu pada rasa gotong royong dengan sebutan kerigan. Kerigan ’gotong royong‟ merupakan kerja sama saling membantu satu sama lain antartetangga dan antarsaudara. kerigan „Gotong royong‟ di daerah Kebumen bagian selatan masih terasa sangat kental, dalam rangka pertanian antara lain derep „menuai padi bersama‟, tandur „menanam padi bersama‟, pembuatan rumah, hajatan, kerja bakti membersihkan lingkungan, kematian, dan aktivitas melaut. Gotong royong sangat tampak pada saat mengadakan upacara ritual seperti saat adanya upacara jabel „upacara setelah panen‟, upacara Suran, serta upacara bersih sedekah bumi dan sedekah laut. Pola kebersamaan dalam masyarakat di lokasi penelitian ini sangat kentara sehingga berdampak pada budaya saling membantu, kebersamaan, kerukunan, dan berbagi. Kesenjangan dalam bertetangga sangat tidak. Hal ini dapat dilihat dari bentuk rumah yang hampir sama, kesederhaan dalam pola kehidupan mereka. Oleh sebab, itu walaupun lokasi Pesisir Selatan ini luas namun penduduk bisa relatif saling mengenal sehingga orang luar daerah mudah mencari alamat seseorang. Secara ekonik19 sering kali nama-nama mereka dikaitkan dengan sesuatu yang melekat pada dirinya yang menjadi ciri khasnya sehingga akan lebih mudah mengingatnya misalnya „Bu ngainah Warung, Karto Becak, atau Bu Suprapti Penyuluh‟. Semakin berkembangnya hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan terjadilah perkembangan pola kerjasama ke daerah lain, mulai antardesa, kecamatan, dan dengan daerah lain di luar Kabupeten Kebumen. Proses ini 19
Ekonik (iconic) yaitu berkaitan dengan gambaran langsung terhadap sesuatu dengan sesuatu yang digambarkannya (Kridalaksana 1993: 80)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
membawa dampak di berbagai sektor termasuk di dalamnya budaya dan bahasa serta transisi pada lokasi penelitian.
Gambar 2.6 : Kerukunan para petani ketika di sawah dan di laut
b. Sistem Kepercayaan
Sebelum datangnya agama Islam ke Kabupaten Kebumen ,sudah ada agama dan kepercayan masyarakat tentang adanya Tuhan, seperti mempercayai adanya kekuatan gaib. Orang Kebumen khususnya di daerah selatan umumnya percaya adanya kekuatan-kekuatan makhluk halus yang disebut alam goib. Selain adanya kepercayaan yang berasal dari kraton bagi yang sudah terpengaruh oleh pusat budaya Solo-Jogja, ada juga beberapa peninggalan kepercayaan yang berasal dari daerah setempat yang
Gambar 2.7: Keris Nagososro
erat kaitannya dengan cerita rakyat dan peristiwaperistiwa di waktu lampau. Sebagai contoh kepercayaan tentang dino kapesan „hari naas yakni hari meninggalnya orangtua atau saudara‟. Hal ini dibuat mengandung makna bahwa seseorang harus tetap mengenang orangtua dan penghormatan yang tinggi terhadap orangtua. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
Makna yang berbeda adalah bahwa dina kapesan yakni orangtua meninggal merupakan hari naas sehingga menjadi peringatan agar tidak melakukan aktivitas dengan waktu yang sama supaya tidak terjadi kemalangan
hingga
meninggal
dunia.
Bila
dibandingkan dengan daerah pusat budaya Solo-Jogja hanya menunggu sampai selesai 1000 (seribu) hari saja. Selain hari kapesan mereka juga percaya adanya naga dino „naga hari dalam hal ini adalah juga merupakan hari naas‟. Naga dino merupakan lambang Gambar 2.8: Daerah yang dianggap wingit
dari kekuatna yang besar oleh sebab itu dilarang pergi melawan arah kekuatan besar karena pasti akan kalah,
sebaliknya harus searah dengan naga dina karena akan berarti menaiki kekuatan besar
sehingga
akan
lancar
dan
aman.
Jumlah
hitungan
naga
dina
dipertimbangkan menurut arah mata angin yaitu barat, timur, utara, dan selatan. Kulon „barat‟ berarti menghindari hari yang jumlahnya 11, 15, Lor „utara‟ berarti menghindari hari yang jumlah angkanya 8, 12, 16, Etan „Timur‟ berarti menghindari hari yang jumlah angkanya 9, 13, 17. Kidul „Selatan‟ menghindari hari yang jumlah angkanya 10, 14, 18. Ungkapan untuk naga dina adalah: yen lelungan ajo mapak naga dina „kalau bepergian jangan menuju ke arah hari naas. Sebagai contoh hari Jumat Legi memiliki jumlah 11 karena Jumat nilainya 6 dan Legi nilainya 5 jadi jumalhnya 11. Dengan jumlah angka 11 untuk hari Jumat Legi berarti tidak boleh bepergian ke arah Kulon „barat‟ sebab naga dina ono kulon „karena hari naas ada di barat. Bentuk kepercayaan lain adalah terhadap lokasi –lokasi tertentu yang diyakini memiliki kekuatan baik dalam bentuk petilasan, makam, atau legenda. Salah satu petilasan yang populer di Pesisir Selatan adalah petilasan Pandan Kuning yang dianggap sebagai tempat untuk bermunajat, Gundukan tempat goib yang dipersonifikasikan asalah bagus setu „sangat tampan‟, dan Nyi Ronggeng „personifikasi wanita cantik yang dulunya seorang penari. Pengobatan tradisional merupakan kepercayaan lain yaitu bahwa alam sekitar telah menyediakan obat to user „orang pintar, orang tua‟ yang untuk segala penyakit sehingga commit bisa ditemukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
dianggap dapat menyembuhkan penyakit dengan memakai ramuan-ramuan tertentu dan kadang hanya dengan air putih yang beri doa atau rapalan/mantra dipercaya dapat menyembuhkan.
1) Sistem Mitologi Mitologi yang berada di Pesisir Seelatan ini diantaranya mitos tentang ibu Ratu yang merupakan bentuk lain dari Nyi Roro Kidul dan Dewi Sulasih yang merupakan sosok lain dari Dewi Sri sebagai Dewi padi. Menurut masyarakat setempat Dewi Sri yang juga dikatakan sebagai Dewi Sulasih adalah anak dari Ibu Ratu. Hal ini merupakan cara masyarakat setempat sebagai masyarakat yang menghargai darat dan laut sebagai lingkungan alam yang memberi kehidupan menghubungkan antara
darat
dan laut
melalui
mitologinya. Mitos yang lain adalah adanya beberapa Gambar 2.9: Batu yang tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Pesisir
diperoleh melalui bertapa
seperti lokasi wingit, pamali, pemaknaan mimpi, dan pengalaman goib. Sebagai contoh, pada malam Jumat Kliwon, banyak orang tidak mau tidur sebelum jam 12 malam karena menunggu jatuhnya thothok wit klapa ‘tangkai daun kelapa yang sudah kering‟ karena ini diyakini sebagai penangkal segala penyakit tanaman apabila diberitahukan di sudut sawah atau ladang. Berikut beberapa cerita mistis (pengalaman pribadi) di lokasi penelitian yang sangat erat hubungannya dengan keberadaan mitologi dan kepercayaan yang ada di sekitar Pesisir Selatan. Mitologi bisa dalam wujud mimpi, pelarangan, keharusan, dan pengalaman spiritual pribadi. Mitologi dalam bentuk pamali, misalnya adanya larangan untuk menebang pohon pada hari selasa kliwon, larangan anak kecil melihat pengantin yang sedang di dirias agar tidak kena sawan „tulah‟, pelarangan perkawinan seberang gili. Mitologi dalam bentuk keharusan, misalnya hendak menanami tanah angker atau tanah yang baru dibeli commit to user diharuskan mengadakan selamatan dan doa terlebih dahulu kemudian dicangkul
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
tiga kali dengan ( dipacul telung kaclukan ) kemudian ditinggal pergi, selanjutnya pengerjaannya baru dilanjutkan keesokan harinya. Mitologi dalam bentuk mimpi, misalnya seseorang mimpi kejatuhan bluluk „buah kelapa yang masih kecil‟ berarti akan mendapatkan petaka atau kesialan. Oleh sebab itu harus didoakan. Contoh mitologi dalam bentuk pengalaman spiritual pribadi adalah pengalaman seorang yang dianggap pandai atau yang dituakan di lokasi penelitian sebagai berikut: a) Petilasan Mbah Pandan Sari di Pantai Karangrejo. Petilasan Mbah Pandan Sari sering digunakan orang untuk bertapa mencari pesugihan „kekayaan cara gaib‟. Mereka bertapa mulai sore hari (pukul 18.00) sampai dengan larut malam. Selama bertapa, biasanya diganggu oleh kuasa kegelapan yang berwujud ular bersisik emas yang sangat besar, macan besar bermata merah, ataupun genderuwo. Niat mereka sangat kuat untuk mendapatkan kekayaan walaupun banyak orang memperingatkan. Orang yang kuat dalam menghadapi gangguan pasti dikabulkan permintaannya, tetapi kuasa kegelapan pasti meminta imbalan, yaitu salah satu keluarga pelaku menjadi korban sebagai lebon „tebusan‟. Orang yang tidak kuat dalam menghadapi pasti lari terbirit-birit. b) Mitos Nyi Ronggeng Nyi Ronggeng adalah seorang ledek yang dibunuh di punthuk Pesisir Tegalretni sehingga menyebabkan mistik sampai sekarang. Di tempat itu sering terdengar ada bunyi tanggapan
tayub
sehingga
masyarakat
takut
melewati tempat itu pada malam hari. c) Mitos Bagus Setu Mitos Bagus Setu sebenarnya dikisahkan adanya petilasan grumbulan pohon nyamplung sebagai Gambar 2.10: Tempat wingit di pesisir Selatan
tempat pertapaan. Sepintas tempatnya liar karena di tengah-tengah hutan pohon nyamplung. Bagus Setu
berasal dari kata bagus estu „sangat tampan‟, karena bila muncul commit user wajahnya. merupakan seorang laki-laki yang to tampan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
d) Kisah Mistis Suatu kali acara lebaran di pantai Petanahan menampilkan berbagai pentas seni termasuk ndangdutan. Suasana meriah, tiba-tiba ada angin besar menghempas berbagai pentas di tempat itu sehingga menjadi berantakan hancur lebur, selang beberapa waktu ada orang dari Ujung Kulon, meskipun belum pernah tahu Petanahan, dia mengatakan dengan sungguhsungguh bahwa kejadian mistis itu dihempas oleh selendang Dewi Sulasih. Setelah mengatakan itu tiba-tiba orang itu hilang. e) Mitos Pada Bulan Sura Pada bulan Suro tanggal 27 Desember 2010 misalnya, ada 10 orang yang bermunajat di Pandan Kuning (dari Cilacap, Magelang, dan kota lainnya). Ada yang membawa kembang-menyan berniat nyekar, bersih diri, dan rialat. Biasanya ada yang diberi barang antik (keris, kendil (seperti orang ciamis jadi kaya, karena lupa tidak mengingat “jasa” pemberi kendil, maka kendil hilang dan menjadi miskin lagi)); Ada ceritera lain yaitu ada seorang yang bertapa di tempat itu dan mendapat sebuah kendil konon dikatakan yang memberi kendil adalah dhemit anak buah Nyi Rara Kidul. Ada juga bisa dikasih ujud barang antik mata-babi matanya berjumlah 27, anti bacok/ bedil, sudah dipakai 3 bulan, resikonya seperti gudhigen maka mata-babi itu dilepaskan lagi dengan mengucapkan rapal “tak balekna maneh na asalmu, saka kene nyong balekna kene”. Ada seorang cina dari Gombong yang memiliki pabrik rokok merk “Sintren” di Pandan Kuning diberi Golek Kencana akibatnya jadi kaya, tetapi setelah orang tuanya mati dan anak-anaknya tidak kuat laku-rialat, tidak kuat godanya akirnya jadi miskin lagi.
2) Upacara Tradisi
Kabupaten Kebumen sebagai salah setu lokasi yang memiliki budaya Jawa, memiliki ciri dan warna yang lebih mirip dengan budaya Jawa Banyumas berlatar commit user pola kehidupan masyarakat pedesaan. Polatokehidupan yang demikian dapat dilihat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
dari berbagai aspek kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan budaya tersebut. Oleh karena itu, roh dan warna Banyumas yang berbeda dengan budaya SoloYogyakarta menjadi budaya di daerah transisi ini. Dalam wilayah sebaran budaya Banyumas tersimpan berbagai
khasanah
budaya
masyarakat
yang
mempunyai unsur-unsur pandangan tertentu yang hidup dan berakar dalam masyarakat. Tetapi, seiring Gambar 2.11: Sarana sesaji sedekah laut dan bumi
dengan perkembangan zaman dan modernisasi serta derasnya era globalisasi pada masa dewasa ini, dapat
dipastikan bahwa suatu saat akan terjadi pergeseran budaya di lokasi penelitian ini. Apabila ini terjadi maka, budaya tradisi ini telah terdokumentasikan sehingga terhindar dari kepunahan. Upacara tradisi yang ada dalam masyarakat Kabupaten Kebumen ini dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) upacara tradisional yang berkaitan dengan kegiatan spiritual/kepercayaan masyarakat petani nelayan, seperti upacara sedekah bumi dan sedekah laut, 2) upacara tradisional yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, seperti adanya upacara jabel dan wiwitan „upacara mulai tanam dan pasca panen‟ yang merupakan pertanda ucapan syukur kepada Tuhan, dan 3) upacara tradisional yang berkaitan dengan peristiwa daur kehidupan sebagai petani nelayan misalnya upacara saat kelahiran, perningkahan, perkawinan, dan kematian. Dalam setiap upacara tradisional ini terdapat ungkapan verbal dan non verbal yang mencerminkan kearifan masyarakat petani nelayan yang sudah berusia tua yang dalam perjalanan waktu ternyata mengandung tata nilai yang masih relevan dengan dunia modern masa kini. 7. Sosial Ekonomi Kabupaten Kebumen Secara
umum
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat Kabupaten Kebumen dalam beberapa tahun mengalami peningkatan cukup signifikan diantaranya pada sektor pertanian, perdagangan, dan bangunan. Daerah pesisr Selatan yang commit to user merupakan bagian integral dari Kabupaten Gambar 2.12: Makanan khas yang banyak di jual di tepi pantai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
Kebumen memiliki peran besar bagi perkembangan ekonomi Kabupaten Kebumen pada sektor agrobisnis karena ekonomi produk pertaniannya yang cukup besar. Di antara beberapakecamatan, produk pertanian Kebumen didominasi oleh pertanian padi, palawija dan tanaman hortikultura. Produksi padi, misalnya,
banyak
dihasilkan
oleh
petani
di
Kecamatan Adimulyo, Kebumen, Ambal, Puring, Kuwarasan, Mirit serta Petanahan. Bisa dikatakan bahwa keadaan ekonomi di sana hingga kini Gambar 2. 13: Gula kelapaa produk unggulan sebagai
terpolarisasi antara dua sektor besar, yakni pertanian penopang ekonomi masyarakat
serta perdagangan barang/jasa. Keduanya bahkan saling menguatkan. Interaksi dua sektor ini pada akhirnya membentuk mata rantai ekonomi pertanian. Tingkat konsumsi barang atau jasa tak bisa lepas dari maju mundurnya kemampuan ekonomi para petani. Titik temu paling mudah diamati adalah tingkah pergerakkan interaksi jual-beli di pasar-pasar tradisional, baik di Pesisir maupun di luar kecamatan Pesisir. Hal ini merupakan daya dukung daerah kecamatan lain di seputar kota dalam perniagaan hasil pertanian. Hasil panenan petani berupa komoditas palawija, buah, dan sayur-sayuran bahkan telah mampu melampaui batas wilayah. Produk pertanian Pesisir Selatan telah mampu mensuplai banyak pasar di lain daerah.
8. Topografi Lokasi Penelitian
Topografi tanah Pesisir Selatan yang sangat cocok ditanami pohon kelapa sehingga para petani mulai banyak menanam pohon kelapa. Salah satu hasilnya adalah gula kelapa yang baik sehingga Pesisir Selatan ini dikenal sebagai sentra produksi gula kelapa yang unggul di pasaran sampai di luar Kabupaten Kebumen. Pohon kelapa hampir merata terdapat di commit to user Gambar 2.14: Situasi kerindangan di pesisir Selatan yang potensi untuk mendukung pariwisata
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
semua wilayah Pantai Selatan dan mengingat bahwa semua bagian kelapa ini dapat dimanfaat maka sangat diperlukan adanya sarana promosi dan dukungan dari berbagai pihak dalam pemasarannya sebagai salah satu produk agrobisnis. Sebagai contoh, adanya pesanan dari Korea untuk membeli 47 ton serabut kelapa sebagai bahan campuran pembuatan jok mobil dan sprinkbed, ditambah lagi tempurung kelapa yang dapat bermanfaat sebagai pengawet makanan yang aman. Dari sektor buah, misalnya semangka dan pepaya kalifornia yang terdapat di sepanjang Pesisir sebagai aset agrobisnis nonpadi. Produk pertanian nonpadi yang berkembang pesat di daerah Kebumen sepanjang Pesisir Selatan ini juga perlu bantuan penyaluran agar tidak menjadi bulan-bulanan tengkulak yang pada akhirnya pasti merugikan petani.
commit to user