BAB II LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Landasan Teori
1. Pragmatik Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof bernama Charles Morris pada tahun 1938. Charles Morris (dalam Nadar, 2009:5) mengartikan pragmatik sebagai “the study of relation of signs to interpreters” atau studi relasi antara tandatanda dengan para penafsirnya. Tanda-tanda yang dimaksud adalah bahasa yang berawal dari suatu pemikiran dan kemudian berkembanglah pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik. Definisi pragmatik sudah banyak diperkenalkan oleh para ahli bahasa. Beberapa diantaranya sebagai berikut. Thomas (1995:22), dalam bukunya yang berjudul Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics mendefinisikan pragmatik sebagai bidang ilmu yang mengkaji makna dalam interaksi atau meaning in interaction. Pengertian tersebut dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negoisasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran. Thomas (1995:22) membagi pragmatik menjadi dua bagian, yaitu menggunakan sudut pandang sosial dan menggunakan sudut pandang kognitif. Dengan menggunakan sudut pandang sosial, berarti menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara atau speaker meaning. Pragmatik yang menggunakan sudut pandang kognitif, berarti menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran atau utterance interpretation. Pendekatan kognitif sering digunakan oleh para ahli pragmatik, lebih terfokus pada pendengar karena berkaitan dengan menginterpretasikan sebuah tuturan. Parker (dalam Kunjana Rahardi, 2005:48) berpendapat, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Parker membedakan pragmatik dengan studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk beluk bahasa secara internal. Menurutnya, studi bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks, seperti yang diutarakan
8
9
oleh Levinson yakni pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya(dalam Kunjana Rahardi, 2005:48). Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics (2006:3-4) mengemukakan empat ruang lingkup yang terdapat dalam pragmatik, yaitu: (1) Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur, (2) Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual, (3) Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, (4) Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan Leech, dalam buku Prinsip-Prinsip Pragmatik (edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka), mengatakan “pragmatik adalah studi tentang makna ujaran di dalam situasi-situasi ujar (speech situation)” (1993:8). Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Karya Leech yang paling menonjol di bidang pragmatik adalah teori prinsip kesantunan (politeness principles). I Dewa Putu Wijana (1996: 6), berpendapat bahwa pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa (selain sosiolinguistik) yang muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Pragmatik mengungkap maksud suatu tuturan di dalam peristiwa komunikasi, baik secara tersurat maupun tersirat di balik tuturan. Maksud tuturan dapat dikenali melalui penggunaan bahasa secara konkret dengan mempertimbangkan komponen situasi tutur. Rustono (1999:17) menjelaskan bahwa pragmatik mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa komunikasi, oleh karena itu analisis pragmatis berupaya menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat
di
balik tuturan. Maksud tuturan dapat
diidentifikasikan dengan mempertimbangkan komponen situasi tutur yang mencakupi penutur, mitra tutur, tujuan, konteks, tuturan sebagai hasil aktivitas, dan tuturan sebagai tindakan verbal.
10
Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994:83-84) berpendapat, pragmatik adalah bidang linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan. Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu ujaran itu diujarkan. Berdasarkan beberapa pengertian dari para tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna tuturan yang terdapat dalam suatu peristiwa tutur, yang terikat dengan konteks yang melatarbelakangi peristiwa tutur tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa hubungan antara maksud tuturan dalam suatu peristiwa tutur dengan konteks merupakan dasar dalam pemahaman pragmatik.
2. Konteks, Komponen dan Situasi Tutur Rustono (1999: 20) berpendapat konteks merupakan sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas maksud suatu pertuturan. Sarana itu meliputi, ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud dan situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Yunita (2011: 186) juga memberikan penjelasan mengenai konteks, menurutnya konteks merupakan latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Halliday (1985:6-7) mengatakan konteks merupakan teksteks yang menyertai teks yang lain atau kalimat-kalimat yang menyertai kalimat tertentu. Komponen tutur dan situasi tutur juga memiliki peran yang penting, dalam kajian pragmatik yakni sebagai bahan pertimbangan untuk mengungkapkan suatu maksud tutur yang terdapat dalam peristiwa tutur. Dell Hymes (dalam Pranowo, 2009: 101) mengemukakan beberapa komponen tutur yang diakronimkan dengan istilah SPEAKING yang perlu diperhatikan seseorang dalam berkomunikasi. Masing-masing huruf dalam akronim merupakan inisial dari istilah-istilah berikut. a. (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi. b. (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi (O1 dan O2).
11
c. (E) Ends
(tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam
berkomunikasi. d. (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan dalam bahasa tulis atau bahasa lisan misalnya, berupa permintaan, sedangkan isi pesan adalah wujud permintaannya. e. (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya, bagaimana pesan itu disampaikan kepada mitra tutur (cara penyampaian). f. (N) Norms (norma) yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi. g. (G) Genres (ragam, register) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan, misalnya ragam formal, ragam santai dan sebagainya. Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Situasi tutur sangat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan makna yang dikandung oleh unsur-unsurnya (Rustono, 1999: 25). Leech (edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993:19-20) membagi aspek-aspek situasi ujar menjadi lima macam yaitu: (a) penutur dan mitra tutur, (b) konteks sebuah tuturan, (c) tujuan sebuah tuturan, (d) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan (tindak ujar), (e) tuturan sebagai produk tindak verbal. a. Penutur dan Mitra tutur Penyapa adalah orang yang menyapa. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyampaikan fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pertuturan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban. b.
Konteks Sebuah Tuturan Konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang bersama yang dimiliki
oleh penutur dan mitra tutur dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna
12
tuturan. Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut dengan konteks. Di dalam pragmatik, konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Konteks ini membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur. c. Tujuan Sebuah Tuturan Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Di dalam peristiwa tutur, bermacammacam tuturan dapat diekspresikan untuk menyatakan suatu tuturan, dan bermacammacam tujuan dapat dinyatakan dengan tujuan yang sama. d. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Kegiatan (Tindak Ujar) Tindak tutur merupakan suatu aktivitas. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act). Tindak tutur sebagai suatu tindakan itu sama dengan tindakan mencubit dan menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan bertutur bagian tubuh yang berperan adalah alat ucap. e. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Tuturan tercipta melalui tindakan verbal, maka tuturan itu merupakan hasil tindak verbal. Tindakan verbal adalah tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa.
3. Tindak Tutur Menurut pembahasan Cook (dalam Sahar, 2011: 1374) mengenai teori tindak tutur, Cook mengatakan bahwa “Speech act theory attempts to explain how speakers use language to accomplish intended actions and how hearers infer intended meaning form what is said.” yang artinya teori tindak tutur menjelaskan bagaimana pembicara atau penutur menggunakan bahasa untuk mencapai tindakan yang dimaksudkan dan
13
bagaimana pendengar menyimpulkan bentuk makna yang dimaksudkan apa yang dikatakan. Yule (2006) berpendapat bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Setiap tindak tutur yang diucapkan oleh seorang penutur mempunyai makna tertentu. Tindak tutur dapat berwujud permohonan, permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan atau janji. Rustono (1999: 31) berpendapat bahwa tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Oleh karena sifatnya yang sentral itulah, tindak tutur bersifat pokok di dalam pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan tertentu bisa dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh) di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu. Seorang ahli bahasa yang bernama J.L. Austin menelusuri hakikat tindak tutur. Austin mengemukakan konsep mengenai Act of Utterance (tindak ujar). Pidato kuliah Austin dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul How to Do Things with Words (1962). Melalui buku itu, Austin mengemukakan pandangan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi untuk mengatakan sesuatu. Pandangan Austin ini bertentangan dengan para filosof sebelumnya, yang mengatakan bahwa berbahasa hanyalah aktivitas mengatakan sesuatu. Berkaitan dengan teori tindak tutur, Austin (1962) mengemukakan dua terminologi, yaitu tuturan konstatif (constative) dan tuturan performatif (performative). Tuturan konstatif adalah tuturan yang pengutaraannya hanya dipergunakan untuk menyatakan
sesuatu
(1962:4-6).
Tuturan
performatif
adalah
tuturan
yang
pengutaraannya dipergunakan untuk melakukan sesuatu (1962:4-11). Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962:100-102) dirumuskan menjadi tiga tindakan, yaitu: a. Tindak lokusi (locutionary act) Tindak lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
14
b. Tindak ilokusi (illocutionary act) Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to do something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan. c. Tindak perlokusi (perlocutionary act) Sebuah tuturan yang diucapkan seorang penutur sering memilki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (162:101) dinamakan tindak perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, ataupun tidak sengaja. Austin (1962:150-163) membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima kategori, yaitu: a. Verdiktif (verdictives utterances) Tindak tutur verdiktif dilambangkan dengan memberi keputusan misalnya keputusan hakim, juri, dan penengah atau wasit, perkiraan, dan penilaian. Verba tindak tutur verdiktif antara lain, menilai, menandai, memperhitungkan, menempatkan, menguraikan, menganalisis. b. Eksersitif (exercitives utterances) Tindak tutur eksersitif merupakan tindak tutur yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya. Verba yang menandai antara lain, mewariskan, membujuk,
menyatakan,
membatalkan
perintah
(lampau),
memperingatkan,
menurunkan pangkat. c. Komisif (commissives utterances) Tindak tutur komisif dilambangkan dengan harapan atau dengan kata lain perjanjian; menjanjikan untuk melakukan sesuatu, tetapi juga termasuk pengumuman atau pemberitahuan, yang bukan janji. Verba yang menandai antara lain, berjanji, mengambil-alih atau tanggungjawab, mengajukan, menjamin, bersumpah, menyetujui. d. Behabitif (behabitives utterances) Tindak tutur behabitif meliputi reaksi-reaksi terhadap kebiasaan dan keberuntungan orang lain dan merupakan sikap serta ekspresi seseorang terhadap kebiasaan orang lain, misalnya meminta maaf, berterima kasih, bersimpati, menantang, mengucapkan salam, mengucapkan selamat.
15
e. Ekspositif (expositives utterances) Tindak tutur ekspositif merupakan tindak tutur yang memberi penjelasan, keterangan, atau perincian kepada seseorang, misalnya menyangkal, menguraikan, menyebutkan, menginformasikan, mengabarkan, bersaksi. Murid Austin yang menjadi pendukung dan juga pengkritik gagasan Austin sekaligus membuat formula-formula pelengkap adalah Searle. Dia menyatakan bahwa setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Setiap tuturan dari seorang penutur memungkinkan mengandung lokusi, ilokusi, dan
perlokusi saja, atau mengandung
kedua tindak tutur atau ketiga-tiganya. Menurut Searle (1979:16) tindak tutur adalah penghasilan kalimat dalam kondisi-kondisi tertentu. Searle juga mengatakan bahwa tindak tutur adalah dasar atau minimal unit komunikasi ilmu bahasa. Menurut Searle, inti dari tindak tutur adalah tindak ilokusi. Menurutnya, dalam tindak ilokusi, penutur dalam mengatakan sesuatu juga melakukan sesuatu. Sehubungan dengan itu, Searle menggolongkan tindak tutur ilokusi menjadi lima bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima tindak tutur tersebut yaitu tindak tutur asertif, tindak tutur direktif, tindak tutur komisif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklarasi. Searle (dalam Martinich (ed), 1996a:147-149, Asim Gunarwan, 1994:85-86) mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis. Kelima jenis tindak tutur adalah sebagai berikut. a. Tindak Tutur Respresentatif atau Asertif (Assertives) Tindak tutur respresentatif atau asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya tuturan-tuturan menyatakan, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan menyebutkan. b. Tindak Tutur Direktif (Directives) Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu atau berharap lawan tutur melakukan sesuatu. Tuturan-tuturan, menyuruh, memohon,
16
menuntut, menyarankan, memerintah, dan menantang termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif ini. c. Tindak Tutur Komisif (Commisives) Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Misalnya tuturan berjanji, bersumpah, berkaul, dan mengancam. d. Tindak Tutur Ekspresif (Expressives) Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tuturan memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif ini. e. Tindak Tutur Deklarasi (Declarations) Deklarasi didefinisikan sebagai jenis tindak tutur yang bersifat khas, berhasilnya tindak ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dan realitas di dunia, atau bisa juga dikatakan sebagai tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Fraser (dalam Suko Raharjo, 2012) menyebut tindak tutur ini dengan istilah establishive atau isbati. Penutur deklarasi haruslah seorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang khusus dalam sebuah institusi tertentu, misalnya hakim dalam institusi pengadilan yang menjatuhkan hukuman. Tuturan-tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menolong, meng-ampuni, dan memaafkan, termasuk dalam tindak tutur deklarasi (dalam Suko Raharjo, 2012: 207). Berbeda dengan Searle (1983) yang membuat pengelompokan seperti di atas, tokoh lain, seperti Leech (1983) dan Blum-Kulka (1987) justrus menyatakan hal yang berbalikan, yakni bahwa satu maksud atau satu fungsi bahasa dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam. Leech (dalam M. D. D. Oka, 1993:327-329) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi enam macam, yaitu:
17
a. Tindak Tutur Asertif Tindak tutur asertif merupakan tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran
proposisi
yang
dituturkan,
misalnya,
menceritakan,
melaporkan,
mengemukakan, menyatakan, mengumumkan, mendesak. b. Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif merupakan bentuk tindak tutur yang dimaksudkan oleh penutur untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan, misalnya memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang. c. Tindak Tutur Komisif Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyatakan janji atau penawaran, misalnya menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan, berkaul, bersumpah. d. Tindak Tutur Ekspresif Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur, misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa ikut bersimpati, meminta maaf. e. Tindak Tutur Deklaratif Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya memecat, membaptis, menikahkan, mengangkat, menghukum, memutuskan. f. Tindak Tutur Rogatif Tindak tutur rogatif adalah tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur untuk menanyakan jika bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif ragu-ragu, misalnya menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan. Pandangan terbaru mengenai tindak tutur dari Kreidler (1998:183-194) dalam bukunya Introducing English Semantics membagi tindak tutur menjadi tujuh, sebagai berikut: (1) assertive utterances , (2) performative utterances, (3) verdictive utterances, (4) expressive utterances, (5) directive utterance, (6) commissive utterances, dan (7) phatic utterances. Penjelasan mengenai ketujuh tindak tutur tersebut yaitu berikut ini.
18
a. Tindak Tutur Asertif (Assertive Utterances) Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang terjadi ketika pembicara dan pendengar menggunakan bahasa untuk menceritakan apa yang mereka ketahui dan percayai yang sesuai dengan fakta (Kreidler, 1998:183-184). Tindak tutur asertif ini bersifat menginformasikan, benar atau salah (Edy, 2013:9). Verba dari tindak tutur asertif, misalnya mengatakan (allege), mengumumkan (announce), menyetujui (agree), melaporkan (report), menjelaskan (explain) mengingatkan (remind), menyanggah (protest). b. Tindak Tutur Performatif (Performative Utterances) Tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang membuat atau menyebabkan resminya apa yang diucapkan (Kreidler, 1998:185). Contoh tindakan yang termasuk dalam tindak tutur performatif adalah mengumumkan (declared), membaptis (baptize), menyebut atau menamakan (name), mencalonkan (nominate),menjatuhkan hukuman (pronounce). Menurut Edy (2013:9), tindak tutur performatif adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu/tindakan. Tindak tutur performatif kebanyakan diungkapkan pada situasi formal, misalnya pada acara pernikahan, pemecatan kerja, penjatuhan hukuman, dan lain sebagainya. c. Tindak Tutur Verdiktif (Verdictive Utterances) Tindak tutur verdiktif terjadi karena penutur membuat penilaian terhadap tindakan orang lain, biasanya mitra tutur, verba yang termasuk dalam tindak tutur verdiktif meliputi, menuduh atau menyalahkan (accuse), tuntutan atau tuduhan (charge), pernyataan menyesal (excuse) berterima kasih (thanx) (Kreidler, 1998:187). Menurut Edy (2013:9), tindak tutur verdiktif merupakan tindak tutur yang berorientasi pada perbuatan yang telah berlalu atau bersifat retrospektif. tindak tutur retrospektif yakni apabila penutur menilai sikap yang telah dilakukan mitra tutur di masa lalu. Sikap itu bisa ditanggapi secara positif, dengan mengucapakan “selamat”, “bersyukur”, dan “terima kasih”. d. Tindak Tutur Ekspresif (Expressive Utterances) Tindak tutur ekspresif terjadi karena tindakan penutur, kegagalan penutur serta akibat yang ditimbulkan kegagalan itu, misalnya mengakui (acknowledge, admit, confess), mengingkari (deny), minta maaf (apologize) (Kreidler, 1998:188). Jika tindak
19
tutur verdiktif tentang apa yng telah dilakukan mitra tutur sebelumnya, tindak tutur ekspresif menilai atau mengevaluasi tindakan sebelumnya atau kegagalan dalam tindakan tersebut dari penutur, atau mungkin hasil bertindak atau kegagalan tersebut sekarang (Edy, 2013: 10). e. Tindak Tutur Direktif (Directive Utterances) Tindak tutur direktif mengandung maksud bahwa penutur meminta mitra tutur untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Tindak tutur direktif terbagi menjadi tiga macam, yaitu perintah (commands), permintaan (request), dan anjuran atau saran (suggestions) (Kreidler, 1998:189 dan Edy, 2013: 11). Perintah secara umum artinya adalah penutur, di dalam kewenangannya, mengatakan harapannya bahwa mitra tuturnya seharusnya (tidak) berlaku seperti yang diinginkan penutur pada mitra tuturnya (tidak) untuk dilakukan, sedangkan permintaan secara umum maksudnya adalah penutur, tidak pada kewenangannya, menyatakan harapan bahwa mitra tutur (tidak) bertindak seperti yang diinginkan penutur (tidak) untuk bertindak. Saran merupakan tindk tutur yang dibuat untuk orang lain, yakni memberi pendapat tentang apa yang seharusnya dilakukan. Arti saran secara umum adalah penutur menyatakan pendapat tentang pilihan dari mitra tutur untuk melakukan sesuatu (Edy, 2013: 96). f. Tindak Tutur Komisif (Commissive Utterances) Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang mengikat seorang penutur untuk melakukan suatu tindakan, misalnya menyetujui (agree), bertanya (ask), menawarkan (offer), menolak (refuse), berjanji atau bersumpah (swear) (Kreidler, 1998:192). g. Tindak Tutur Fatis (Phatic Utterances) Tindak tutur fatis merupakan tindak tutur yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antara penutur dan mitra tutur (Kreidler, 1998:194). Tindak tutur fatis meliputi ucapan salam, ucapan salam berpisah, cara-cara yang sopan seperti thank you, you are welcome, excuse me, yang tidak berfungsi verdiktif (penilaian terhadap tindakan orang lain) atau ekspresif (tindak akibat kegagalan penutur) (Kreidler, 1998:194).
20
Satu hal yang sangat mendasar dari penggolongan tindak tutur ilokusi ke dalam bentuk tuturan menurut beberapa tokoh bahasa adalah tindak tutur ilokusi ternyata dapat memiliki bentuk-bentuk tuturan yang mencerminkan maksud dan fungsi komunikasi yang bermacam-macam. Dua jenis fungsi yang berbeda antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain dapat bertujuan untuk menyampaikan maksud yang sama, misalnya tindak tutur verdiktif dari Austin dan Kreidler, dan perfomatif dari Kreidler sama fungsi atau maksudnya dengan tindak tutur deklaratif menurut pengelompokan dari Searle dan Leech. Perbedaan dan persamaan antara penamaan istilah dan fungsi tindak tutur dari Austin, Searle, Leech, dan Kreidler, secara lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1: Tindak Tutur menurut Austin, Searle, Leech, Kreidler No 1
Austin Verdiktif
Searle Deklarasi
Leech Deklaratif
Kreidler Performatif Verdiktif
2
Eksersitif
Direktif
Direktif
Direktif
3
Komisif
Komisif
Komisif
Komisif
4
Behabitif
Ekspresif
Ekspresif
Ekpresif
5
Ekspositif
Asertif
Asertif
Asertif
6
-
-
Rogatif
Fatis
4. Prinsip Kerja Sama Grice (dalam I Nyoman Payuyasa, 2014) mengemukakan bahwa suatu percakapan biasanya membutuhkan kerja sama antara penutur dan mitra tutur untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Prinsip yang mengatur kerja sama antara penutur dan mitra tutur dalam suatu percakapan, oleh H.P.Grice pada 1967 dinamakan sama prinsip kooperatif (cooperative principle). Grice juga mengatakan bahwa salah
21
satu dasar dari komunikasi verbal adalah adanya suatu kerjasama antara penutur dan lawan tutur. Prinsip ini bisa juga disebut sebagai prinsip kerjasama (dalam Black, 2011: 50). Prinsip kerja sama antara penutur dan mitra tutur perlu dilakukan karena dengan adanya prinsip ini, proses komunikasi dapat berjalan secara lancar. Prinsip ini antara lain mengatur apa yang harus dilakukan oleh peserta agar percakapan itu terdengar koheren (Rustono, 1999:53). Menurut Allan dalam Kunjana Rahardi (2005:52), suatu proses komunikasi antara penutur dan lawan tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Allan juga menambahkan bahwa bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain. Grice mengemukakan prinsip kerja sama yang berbunyi: ”Make your conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchance in which you are engaged” (Buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang Anda inginkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang Anda ikuti). Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan di dalam prinsip kerja sama Grice. Prinsip kerja sama Grice (dalam Levinson, 1983:105-107) seluruhnya meliputi empat maksim, secara lengkap penjelasannya sebagai berikut. a. Maksim Kuantitas ( The Maxim of Quantity) Maksim kuantitas menuntut penutur mengatakan sesuatu seinformatif yang dibutuhkan dan tidak menghendaki penutur mengatakan sesuatu yang melebihi informasi yang dibutuhkan. Maksim kuantitas dijabarkan lagi ke dalam 2 submaksim, 1) Make your contribution as informative as required (for the current purposes of the exchange), 2) Do not make your contribution more informative than is required (“Maksim Kuantitas: 1) Berikan informasi Anda sesuai kebutuhan dalam rangka tujuan atau maksud pertuturan, 2) Jangan memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan).
22
Untuk menjelaskan maksim kuantitas tersebut, Grice (dalam FX Nadar, 2009: 25) membuat ilustrasi sebagai berikut: Jika Anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi Anda sesuai kebutuhan, tidak berlebihan, tidak kurang. Misalnya, kalau pada saat tertentu saya memerlukan empat sekrup, saya ingin Anda memberikan kepada saya empat sekrup bukannya dua atau enam. Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan (1) dan tuturan (2) berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas peryataan tersebut. (1) ”Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!” (2) ”Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi!” Informasi indeksal: Tuturan (1) dan (2) dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi. (Kunjana Rahardi, 2005:54) Tuturan (1) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (2) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang, sehingga dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.
b. Maksim Kualitas (The Maxim of Quality) Maksim kualitas menghendaki setiap penutur mengatakan hal yang sebenarnya, dengan didasari bukti-bukti yang kuat. Maksim kualitas dijabarkan lagi ke dalam 2 submaksim, 1) Do not say what you believe to be false, 2) Do not say that for which you lack adequate evidence (Maksim kualitas: 1) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar, 2) Jangan mengatakan sesuatu
23
yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai). Untuk menjelaskan maksim kualitas tersebut, Grice membuat ilustrasi sebagai berikut: Saya mengharapkan kontribusi Anda sungguh-sungguh, bukan palsu. Kalau saya memerlukan gula sebagai bahan pembuat kue yang Anda minta saya membuatnya, saya tidak mengharapkan Anda memberikan garam kepada saya; kalau saya memerlukan sendok, saya ingin sendok sungguhan bukan sendok mainan yang terbuat dari karet (Grice dalam FX Nadar, 2009:25). Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (3) dan tuturan (4) berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan tersebut. (3) ”Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!” (4) ”Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!” Informasi Indeksal: Tuturan (3) dan (4) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan. (Kunjana Rahardi, 2005:55) Tuturan (4) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dan mitra tutur. Tuturan (3) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan suatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
c. Maksim Relevansi ( The Maxim of Relevance) Maksim relevansi (maksim hubungan) menghendaki penutur berucap secara relevan. Maksim relevansi dijabarkan ke dalam 1 submaksim, “Be relevant” (Harap relevan). Untuk menjelaskan maksim relevansi tersebut, Grice membuat ilustrasi sebagai berikut:
24
Saya menginginkan kontribusi pasangan saya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pada setiap tahapan transaksi; seandainya saya sedang membuat adonan kue, saya tidak mengharapkan diberi buku, atau lampin walaupun kontribusi barang-barang ini mungkin sesuai untuk tahapan berikutnya (Grice dalam FX Nadar, 2009:25-26). Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan tersebut perlu dicermati tuturan (13) dan (14) berikut. (13)
Sang Hyang Tunggal : ”Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!” : ”Hamba bersedia, ya Dewa.”
Semar Informasi indeksal
:
Tuturan ini dituturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam sebuah adegan pewayangan. Pada tuturan (13) dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang disampaikan oleh tokoh semar, benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya. Dengan perkataan lain, tuturan itu mematuhi maksim relevansi dalam prinsipkerja sama Grice. Untukmaksud-maksud tertentu,misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim itu seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Berkenaan dengan hal ini, perhaikan contoh berikut. (14)
Direktur
: “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu !”
Sekretaris : ”Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama. (Kunjana Rahardi, 2005:56)
25
Di dalam cuplikan percakapan (14) di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang sekretaris, yakni ”Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu !”. Dengan demikian tuturan (14) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksudmaksud tertentu yang khusus sifatnya.
d. Maksim Pelaksanaan (The Maxim of Manner) Maksim pelaksanaan menuntut seseorang penutur menghindari ungkapan yang tidak jelas (kabur), menghindari ketaksaan (ambigu), berkata dengan singkat, dan mengatakan dengan runtut. Maksim pelaksanaan dijabarkan ke dalam 4 submaksim, 1) Avoid obscurity of expression, 2) Avoid ambiguity, 3) Be brief (avoid unnecessary prolixity), 4) Be orderly (Maksim cara: 1) Hindari ungkapan yang tidak jelas, 2) Hindari ungkapan yang membingungkan, 3) Hindari ungkapan berkepanjangan, 4) Ungkapkan sesuatu secara runtut). Untuk menjelaskan maksim cara tersebut, Grice membuat ilustrasi “Saya mengharapkan pasangan saya menjelaskan kontribusi apa yang diberikannya dan melaksanakan tindakannya secara beralasan” (Grice dalam FX Nadar, 2009:26). Seperti penjelasan sebelumnya maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Apabila orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan (15) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi. (15)
(+) ”Ayo, cepat dibuka!” (-) ”Sebentar dulu, masih dingin.”
Informasi indeksal: Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya. (Kunjana Rahardi, 2005:57)
26
Cuplikan tuturan (15) di atas memiliki kadar kejelasan rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (+) yang berbunyi ”Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si penutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra tutur (-), yakni ”Sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa yang sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama. Di dalam masyarakat tutur jawa, justru kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan, dan semacamnya. Orang terlibat dalam pertuturan diharapkan dapat membaca maksud terselubung dari penutur. Dengan demikian, jelas bahwa dalam komunikasi yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada prinsip kerjasama Grice seringkali tidak dipatuhi atau dilanggar. Huang (2007:26) juga memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai prinsip kerjasama, dengan berpendapat bahwa ada tiga hal yang bisa dilakukan penutur berkenaan dengan maksim-maksim kerja sama tersebut, yaitu: a. Penutur bisa dengan jujur menaati maksim-maksim tersebut. b. Penutur bisa melanggar salah satu maksim. Pada kondisi tertentu, seseorang penutur bisa saja dengan engaja melanggar sub-maksim kualitas yaitu dengan sengaja berbohong. Misalnya, pada sidang pengadilan, saksi mata mungkin saja tidak memberikan kesaksian yang sesungguhnya. c. Penutur bisa mundur atau membetalkan salah satu maksim.hal ini biasa ditujukkan dengan cara seseorang penutur menggunakan batas-batas dalam percakapan, dengan menggunakan kata-kata seperti: 1) Maksim Kuantitas As you probably already know.... ‟Seperti yang mungkin sudah kamu tahu....‟
27
I can’t say anymore. ‟Saya tidak bisa berkata lagi‟ I probably don’t need to say this,but .... ‟Mungkin saya tidak perlu mengatakan ini, tapi....‟ 2) Maksim Kualitas As far as I know.... ‟Sepanjang pengetahuan saya....‟ I’am not sure if this true, but... ‟Saya tidak yakin apakah ini benar,tapi....‟ I may be wrong, but.... ‟Mungkin saya salah, tapi....‟ 3) Maksim Hubungan Oh, by the way.... ‟Oh, ngomong-ngomong....‟ I’m not sure if this relevant, but.... ‟Saya tidak yakin apa ini relevan,tapi...‟ 4) Maksim Pelaksanaan atau Cara I’m not sure if this clear, but.... ‟Saya tidak yakin apa ini sudah jelas, tapi....‟ This may be a bit tedious, but.... ‟Mungkin ini sedikit membosankan,tapi .....‟
5. Kesantunan Berbahasa Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai „diri sendiri‟ dan „orang lain‟. Konsep kesantunan sudah banyak dikemukakan oleh para ahli. Dasar pendapat para ahli tentang konsep kesantunan itu berbeda-beda. Ada konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk, norma-norma sosial, kaidah-kaidah, ada pula yang diformulasi di dalam bentuk strategi. Kesantunan menurut Fraser (1990), yaitu suatu tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya suatu kontrak percakapan. Kontrak percakapan itu sangat ditentukan oleh pesert tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur tersebut. Fraser (1990), berpandangan, bertindak sopan itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan dalam berbahasa. Berkaitan dengan kesopanan, Lakoff (1972), berpendapat bahwa terdapat tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan memiliki sopan. Ketiga kaidah itu adalah formalitas, ketidaktegasan, dan kesamaan atau kesekawanan. Leech (1983), melihat kesopanan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim). Leech, merumuskan prinsip kesopanan menjadi beberapa
28
maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim penghargaan (approbation maxim), maksim kesederhanaan (modesty maxim), maksim permufakatan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Menurut
Brown dan Levinson (dalam Asim Gunarwan, 1994: 90), teori
kesantunan berkisar atas nosi muka (face), yaitu muka positif dan muka negatif. Penjelasan mengenai prinsip kesopanan dan strategi kesantunan berbahasa akan disampaikan dibawah ini.
a. Prinsip kesopanan Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (I Dewa Putu Wijana, 1996). Maksim kesopanan tersebut merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan, seperti yang dijelaskan berikut ini.
1). Maksim Kebijaksanaan (tact maxim) Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
29
Tuan rumah
: “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.”
Tamu
: “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu.
2). Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. : “Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok
Anak kos A
yang kotor” : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”
Anak kos B
Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B.
3). Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Dosen A
: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”
30
: “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.”
Dosen B
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B.
4). Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Ibu A
: “Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.”
Ibu B
: ”Waduh..nanti grogi aku.”
Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: ” Waduh..nanti grogi aku.”
5). Maksim Pemufakatan/Kecocokan (Agreement Maxim) Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masingmasing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Guru
A
:
“Ruangannya
Guru
B
:
“He‟eh.
gelap Saklarnya
ya,
Bu.”
mana
ya?”
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang.
31
6). Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim) Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Mahasiswa A : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.” Mahasiswa B : “Wah, selamat ya. Semoga sukses.”
b. Strategi Kesantunan Berbahasa Menurut
Brown dan Levinson (dalam Asim Gunarwan, 1994: 90), teori
kesantunan berkisar atas nosi muka (face), yaitu muka positif dan muka negatif. Gagasan mengenai 'wajah' atau „muka‟, awalnya berasal dari yang Goffman (1967). Gagasan tersebut berhubungan dengan beberapa istilah rakyat seperti 'kehilangan muka' dalam bahasa Inggris, atau setara Spanyol yang 'perder imagen' (José María Gil, 2012: 401). Muka positif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dst Muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Kesantunan yang berkenaan dengan muka negatif dinamakan kesantunan negatif (Rustono, 1999: 63). Brown dan Levinson (dalam Nadar, 2009: 32) mengatakan bahwa konsep tentang muka ini bersifat universal, dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang cenderung berupa tindakan yang tidak menyenangkan yang disebut Face Threatening Acts 'Tindakan yang mengancam muka' disingkat FTA. Tindakan yang mengancam muka dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tindakan yang mengancam muka
32
positif dan muka negatif lawan tutur. Tindakan yang mengancam muka negatif meliputi tindakan yang terkandung dalam: a. Ungkapan mengenai : order and requests, suggestions, advice, remindings threats, warnings, dares (“perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman., peringatan, tantangan”). b. Ungkapan mengenai offers, promises (“tawaran, janji”). c. Ungkapan mengenai compliments, expressions of strong (negative) emotions toward H-e.g. hatred, anger (“pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian dan kemarahan terhadap lawan tutur”). Tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur meliputi: a) Ungkapan mengenai disapproval, criticism, contempt or ridicule, complaints and reprimands, accusations, insults (“ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau yang mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan”). b) Ungkapan mengenai contradictions or disagreements, challenges (“pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan”). c) Ungkapan mengenai violet (out-of-control) emotions (S gives H possible reason to fear him or be embarrassed by him) (“emosi yang tindak terkontrol yang membuat lawan tutur merasa dibuat takut atau dipermalukan”). d) Ungkapan irreverence, mention of taboo topics, including those that are inappropriate in the context (S indicates that he doesn’t value H’s value and doesn’t fear H’s fears) (“ungkapan yang tidak sopan, penyebutan hal-hal yang bersifat tabu ataupun yang tidak selayaknya dalam suatu situasi, yaitu penutur menunjukkan bahwa penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur dan juga tidak mau mengindahkan hal-hal yang ditakuti oleh lawan tutur”). e) Ungkapan mengenai bad news about H, or good news (boasting) about S (S indicates that he is willing to cause distress to H, and/or doesn’t care about H’s feeling) (“ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, atau menyombongkan berita baik, yaitu yang menunjukkan bahwa penutur tidak segan-segan menunjukkan hal-hal yang kurang menyenangkan pada lawan tutur, tidak begitu mempedulikan perasaan lawan tutur”).
33
f) Ungkapan mengenai dangerously emotional or divisive topics, e.g. politics, race, religion, women‟s liberation (S raises the possibility or likelihood of face threatening acts (such as above) occurring;i.e.,S creates a dangerous-to-face atmosphere) (“ungkapan tentang hal-hal yang membahayakan serta topik yang bersifat memecah belah pendapat, seperti masalah politik, ras, agama, pembebasan wanita. Dalam hal ini penutur menciptakan suatu suasana yang dapat atau mempunyai potensi untuk mengancam muka lawan tutur yaitu penutur membuat suatu atmosfir yang berbahaya terhadap muka lawan tutur”). g) Ungkapan mengenai non-cooperation in an activity-e.g. disruptively interruping H’s talk, making non-sequiturs or showing non-attention (S indicates that he doesn’t care about H’s negative or positive wants) (“ungkapan yang tidak kooperatif dari penutur terhadap lawan tutur, yaitu penutur menyela pembicaraan lawan tutur, menyatakan hal-hal yang tidak gayut serta tidak menunjukkan kepedulian (penutur menunjukkan bahwa dia tidak mempedulikan keinginan muka negatif maupun muka positif lawan tuturnya)”). h) Ungkapan mengenai address terms and other status marked identification in initial encounters (S may misidentify H in an offensive or embarrassing way, intentionally or accidentally) (“ungkapan-ungkapan mengenai sebutan ataupun hal-hal yang menunjukkan status lawan tutur pada perjumpaan pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru mengenai lawan tuturnya yang melukai perasaannya atau mempermalukannya baik secara sengaja ataupun tidak”). Brown dan Levinson (dalam Asim Gunarwan, 2007: 106) mengatakan bahwa ada empat strategi utama untuk mengutarakan maksud itu, ditambah satu strategi, yaitu strategi lebih baik tindak bertutur, seperti yang disinggung di dalam pengantar. Tergantung kepada derajat keterancamannya, kelima strategi itu adalah: (1) bertutur secara terus-terang tanpa basa-basi (bald on record); (2) bertutur dengan menggunakan kesantunan positif (3) bertutur dengan menggunakan kesantunan negatif; (4) bertutur dengan cara samar-samar atau tidak transparan (off record); dan (5) bertutur “di dalam hati” dalam arti penutur tidak mengujarkan maksud hatinya. Pemilihan strategi di atas tergantung dari besar atau kecilnya ancaman terhadap muka. Semakin kecilnya ancaman terhadap muka maka nomor pilihan strategisnya juga
34
semakin kecil, sebaliknya semakin besar ancaman terhadap muka maka semakin besar nomor pilihan strateginya. Setiap orang pastilah ingin menghindari tindakan yang mengancam muka lawan tutur dalam suatu komunikasi, dan akan menggunakan strategi tertentu untuk mengurangi perasaan yang kurang senang dari lawan tuturnya. Brown dan Levinson (dalam Nadar, 2009: 43-47) menawarkan beberapa strategi untuk mengurangi kekecewaan lawan tutur atau untuk mengurangi ancaman terhadap muka positif lawan tutur, yaitu: Strategy 1:Notice; attend to H (his interests, wants, deeds, goods) (“Memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, barang-barang lawan tutur”). Penggunaan strategi ini misalnya penutur memperhatikan kondisi lawan tutur yang meliputi segala perubahan secara fisik, kepemilikan barang-barang tertentu dan lainlain. Beberapa contoh tuturan yang merupakan realisasi strategi ini adalah: Strategy 1: Giving special attention to H. (Memberikan perhatian khusus kepada lawan tutur). Misalnya: Goodness you cut your hair…By the way I came to borrow some flour (“Wah, baru saja potong rambut ya… Omong-omong saya datang untuk meminjam sedikit tepung terigu”). Strategy 2: exaggerate (interest, approval, sympathy with H) (“Melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap lawan tutur”). Tuturan yang melebih-lebihkan perasaan tertarik penutur pada lawan tutur, misalnya, terdapat pada tuturan berikut: What a fantastic garden you have (“Kebun anda betul-betul luar biasa bagusnya”) Strategy 3: Intensify interest to H (”Meningkatkan rasa tertatik terhadap lawan tutur”) Misalnya pada suatu interaksi, penutur suka menyelipkan sisipan ungkapan dan juga pertanyaan-pertanyaan yang tujuannya hanya untuk membuat lawan tutur lebih terlihat pada interaksi tersebut, misalnya You know (”Anda tahu kan”), …….Isn’t it (“Betul kan?”) Strategy 4: use in group identity markers (“Menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok,”) misalnya pada tuturan
35
“Help me with this bag, will you son? (“Bantu saya membawa tas ini ya nak?”). Penggunaan sebutan son, love, mate, friend dan lain-lainnya berfungsi untuk memperlunak daya imperatif tuturan kepada lawan tutur, dan sekaligus membuat kedekatan hubungan antara penutur dengan lawan tutur.” Strategy 5: Seek agreement (”Mencari dan mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur”) Contoh penggunaan strategi ini adalah penutur mengulang sebagian tuturan lawan tutur untuk menunjukkan bahwa penutur menyetujui dan mengikuti informasi apa saja yang dituturkan oleh lawan tutur, seperti dalam dialog berikut: A:
“I had a flat tyre on the way home” (“Dalam perjalanan pulang ban saya kempes”)
B:
Oh God, a flat tyre! (”Masya Allah, bannya kempes!”)
Strategy 6: Avoid disagreement (”Menghindari pertentangan dengan lawan tutur”) Dalam penggunaan strategi ini, penutur berusaha menghindari ketidaksetujuannya dengan lawan tutur, seperti dalam percakapan berikut: A:
What is she, small? (“Bagaimanakah dia, badannya kecil?”)
B:
Yes, yes she is small, not really small but certainly not very big.
(“Ya, memang kecil, tapi sebenarnya tidak terlalu kecil dan tidak juga terlalu besar”) Strategy 7: Presuppose/raise/assert common ground (“Mempresuposisikan atau menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur”) seperti dalam percakapan berikut: A:
Oh, this cut hurts awfully, Mum (“Oh luka ini sakit sekali, ma”)
B:
Yes dear, it hurts terribly, I know. (“Ya sayang, memang sakit sekali, saya tahu”)
Strategy 8: Joke (“membuat lelucon”), misalnya pada uangkapan: Ok if tackle those cookies now? (“Tidak masalah kan, kalau kue itu saya habisi saja?”)
36
Strategy 9: Assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants (“Mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tuturnya”) Contoh realisasi dari strategi ini adalah pada tuturan: Look, I know you can’t bear parties, but this one will really be good. Do come! (“Ya, saya tahu kamu tidak suka pesta, tetapi pesta ini betul-betul baik. Datanglah!”) Strategy 10: Offer, promise (“Membuat penawaran dan janji”) Strategi ini cukup sering dipakai dalam interaksi, misalnya pada contoh berikut. I’ll drop sometime next week. (“Saya akan singgah kapan-kapan minggu depan”) Strategy 11: Be optimistic (“Menunjukkan rasa optimisme”), seperti pada tuturan berikut: You will lend me your lawnmower for the weekend. I hope (“Anda pasti dapat meminjamkan mesin pemotong rumput akhir pekan ini”). Strategy 12: Include both S and H in the activity (“Berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertentu. Bisa kan?”) Contoh penggunaan strategi ini adalah tuturan yang baik penutur maupun lawan tutur, dengan memakai Let‟s misalnya: Let’s have a cookie then (“Kalau begitu, mari makan kue”). Let’s stop for a bite (“Mari berhenti untuk makan”). Strategy 13: Give (or ask for) reasons (“Memberikan dan meminta alasan”), contohnya: Why don’t we go to the seashore? (“Bagaimana kalau kita pergi ke pantai saja?”) Strategy 14: Assume or assert reciprocity (“Menawarkan suatu tindakan timbal balik, yaitu kalau lawan tutur melakukan X maka penutur akan melakukan Y”), contoh: I’ll lend you my novel if you lend me your article (“Saya akan meminjamkan buku novel saya kalau Anda meminjami saya artikel Anda”). Strategy 15: Give sympathy to H (“Memberikan rasa simpati kepada lawan tutur”) seperti pada tuturan Please let me know if there is anything I can do for you (“Kalau ada yang dapat saya lakukan untuk Anda, mohon saya diberitahu.”) Brown dan Levinson, juga mengajukan sejumlah strategi untuk mengurangi ancaman terhadapan muka negatif lawan tutur sebagai berikut:
37
Strategy 1: Be conventionally indirect (“Ungkapkan secara tidak langsung sesuai konvensi”), seperti membuat perintah dengan: Can you shut the door please? (“Tolong pintunya ditutup”). Strategy 2: Question, hedge (“Gunakan bentuk pertanyaan dengan partikel tertentu”) seperti pada tuturan: Do me a favour, will you? (“Saya minta tolong, bisa kan?”) If we are all ready, I declare the meeting open (“Apabila kita sudah siap, saya nyatakan rapat secara resmi dibuka”) Strategy 3: Be pessimistic (“Lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimistik”), misalnya: You don’t have any manilla envelopes, do you by any hance? (“Apakah Anda kebetulan mempunyai amplop dari kertas manila?”) Could you jump over that five-foot fence? (“Apakah Anda dapat melompati pagar setinggi lima kaki itu?”) Strategy 4: Minimise the imposition (“Kurangilah kekuatan atau daya ancaman terhadap muka lawan tutur”), contohnya: Could I have a taste of that cake? (“Bolehkah saya mencicipi kue itu sedikit saja?”) Strategy 5: Give deference (“Beri penghormatan”), contohnya. Excuse me sir, but would you mind if I close the windaow? (“Maaf pak, apakah Bapak keberatan kalau saya menutup jendela?”) Atau pada dialog di bawah ini: A: Would you care for a sandwich? (“Mau sepotong sandwich?”) B: Yes, Sir. (“Ya, pak”) Strategy 6: Apologize (“Gunakan permohonan maaf”), contohnya: I hope this isn’t going to bother you very much, but. (“Saya harap hal ini tidak terlalu mengganggu Anda, tetapi………”) Excuse me, but…(“Maafkan saya, tetapi………”) I am sorry but……(“Saya minta maaf, tetapi……”) I am sorry to bother you but……(“Maaf mengganggu Anda, tetapi……”)
38
Strategy 7: Impersonalize S and H (“Jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur”), contoh: Do this for me please (“Mohon kerjakan ini untuk saya”) Take that out please (“Tolong keluarkan barang itu”) It would be appreciated if………(“Akan sangat dihargai seandainya…”) Strategy 8: State the FTA as a general rule (“Nyatakan tindakan mengancam muka sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku”), contohnya: Passengers will please refrain from flushing toilets on the train (“Para penumpang dimohon tidak menyiram toilet dalam kereta ini”) International regulations require that the fuselage be sprayed with DDT (“Peraturan internasional mengharuskan rangka pesawat disemprot dengan DDT”). Strategy 9: Nominalize (“Nominalkan pernyataan”), contohnya: Your good performance on the examinations impressed us favourably (“Prestasi Anda dalam ujian sangat mengesankan kami”) Your performing well on the exminations impressed us favourably (“Prestasi Anda dalam ujian sangat mengesankan kami”) Strategy 10: Go on record as incurring a debt, or as not indebting H (“Nyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang) atau tidak kepada lawan tutur”), contohnya: I’ll never be able to repay yaou if you…… (“Saya tidak akan pernah dapat membayar kebaikan Anda seandainya Anda.......”)
c.
Skala Kesantunan Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang
sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga skala itu antara lain: 1) Skala Kesantunan Leech Di dalam model kesantunan Leech (Kunjana Rahardi, 2005: 66), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan Leech selengkapnya.
39
a. Cost benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer Menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan dari mitra tutur, akan semakin dipandang tidak snatunlah tuturan itu. b. Optimality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a specific linguistic act Menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. c.
Indirectness scale: indicating the amount of inferencing required of the hearerin order to establish the intended speaker meaning
Menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsngnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. d. Authority scale : representing the status relationship between speaker and hearer. Menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. e.
Social distance scale: Indicating the degree of familiarity between speaker and hearer.
Menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecendurungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.
40
2) Skala Kesantunan Brown dan Levinson Skala Kesantunan menurut Brown dan Levinson (Kunjana Rahardi, 2005: 68) sebagai berikut: a. Skala peringkat jarak social antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan usia, jens kelamin, dan latar belakang social cultural. Berkenaan dengan perbedaan usia antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua usia seseorang, peringkat kesantunan dalam bertutur akan semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih muda cenderung memiliki peringkat yang rendah di dalam kegiatan bertutur. orang berjenis kelamin wanita, cenderung memiliki kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaumwanita cenderung berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu karena, biasanya ia banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Latar belakang sosialkultural seseorang memiliki peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang seperti petani, pedagang, buruh bangunan, pembantu rumah tangga dsb. Demikian pula orang-orang kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa. b. Skala peringkat status social antara penutur dan mitra tutur atau Peringkat kekuasaan (power writing) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Contoh: di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Demikian pula di dalam kelas dosen memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan mahasiswa
41
c. Skala peringkat tindak tutur (rank rating), didasarkan atas kedudukan relative tindak tutur satu dengan tindak tutur yang lain. Contohnya dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertemu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesopanan yang berlaku pada masyarakat tutur itu. Namun, hal yang sama akan dianggap wajar dalam situasi berbeda. Misalnya, saat terjadi kebakaran, orang berada di rumah tetangganya bahkan sampai waktu yang tidak ditentukan. 3). Skala kesantunan Robin Lakoff Robin Lakoff (dalam Kunjana Rahardi, 2005: 70) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur. a. Skala pertama atau skala formalitas Dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. b. Skala kedua atau skala ketidaktegasan/skala pilihan Menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua pihak. Tidak diperbolehkan terlalu tegang atau kaku. c. Skala ketiga atau peringkat kesekawanan atau kesamaan Menunjukkan bahwa agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Agar tercapai maksud yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.
B. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai tindak tutur dengan menggunakan ancangan pragmatik sudah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian tentang tindak tutur dalam dialog
42
langsung masih sedikit dilakukan. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini akan disajikan sebagai berikut. Agus Yuliantoro (2014) dalam disertasinya yang berjudul “Tindak Tutur Penolakan Masyarakat Jawa Surakarta dan Banyumas dalam Transaksi Jual beli di Pasar Tradisional (Kajian Pragmatik)”. Penelitian ini membahas mengenai pemarkah bahasa yang digunakan dalam menyampaikan tindak tutur penolakan oleh masyarakat Jawa Surakarta dan Banyumas dalam transaksi jual beli di pasar tradisional. Fokus penelitian ini yaitu mencari persamaan dan perbedaan penolakan dalam transaksi jual beli di pasar tradisional di Surakarta dan Banyumas, khususnya proses penolakan. Faktor-faktor
yang menyebabkan munculnya persamaan dan perbedaan penolakan
dalam transaksi jual beli di pasar tradisional Surakarta dan Banyumas, meliputi penanda lingual penolakan, rangkaian penolakan, kaitan bentuk tindak tutur penolakan dengan prinsip kerja sama dan rinsip kesantunan, dan karakteristik penolakan. Edy Tri Sulistyo (2012) dalam disertasinya yang berjudul “Kajian Pragmatik Tindak Tutur Direktif dalam Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagara IV”. Penelitian ini mengkaji mengenai tindak tutur direktif dalam teks Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagara IV, beserta cara pengungkapannya, kesantunan, implikatur dan daya pragmatik. Kepribadian Mangkunagara IV dan latar belakang penuturnya serta pemahaman dan tanggapan masyarakat terhadap Serat Wedhatama juga dibahas dalam penelitian ini. Rostina (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur dalam Interaksi Sosial di pasar Tradisional Aksara Medan”. Penelitian ini membahas mengenai jenisjenis tindak tutur yang terdapat dalam interaksi sosial di pasar tradisional Aksara Medan dan struktur percakapan yang terdapat di pasar tradisional Aksara Medan. Teori yang digunakan sebagai dasar untuk menjawab atau memecahkan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur menurut Austin dan pola pasangan berdampingan atau bersesuaian oleh Coulthard, dan struktur percakapan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Penelitian Tindak Tutur dalam Proses Jual Beli di Surakarta
ini berbeda
dengan dua penelitian di atas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas terletak pada data, fokus analisis dan teori yang digunakan dalam analisis.
43
Perbedaannya dengan penelitian yang pertama terletak pada data dan fokus analisis. Perbedaannya dengan penelitian yang kedua terletak pada data dan fokus analisis. Perbedaannya dengan penelitian yang ketiga terletak pada data, fokus analisis, teori yang digunakan. Berdasarkan atas data penelitian, penelitian yang pertama menggunakan data dari percakapan proses jual beli di pasar tradisional di dua daerah yang berbeda yakni pasar-pasar tradisional Surakarta dan pasar-pasar tradisional Banyumas. Penelitian yang kedua menggunakan data dari teks Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagara IV. Penelitian yang ketiga menggunakan data dari percakapan proses jual beli di pasar tradisional Aksara Medan. Penelitian Tindak Tutur dalam Proses Jual Beli di Pasar Tradisional Surakarta, menggunakan data dari percakapan proses jual beli di pasarpasar tradisional di daerah Surakarta. Berdasarkan
atas
Fokus
penelitian,
penelitian
pertama
memfokuskan
pembahasan pada persamaan dan perbedaan tindak tutur penolakan dalam transaksi jual beli di pasar tradisional di Surakarta dan Banyumas, khususnya proses penolakan. Penelitian yang kedua memfokuskan pembahasan pada tindak tutur direktif yang digunakan dalam teks Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagara IV beserta cara pengungkapannya, kesantunan, implikatur, daya pragmatik, kepribadian Mangkunagara IV dan latar belakang penuturnya serta pemahaman dan tanggapan masyarakat terhadap Serat Wedhatama.Dan penelitian yang ketiga memfokuskan pembahasan pada jenisjenis tindak tutur yang digunakan dan struktur percakapan yang terdapat di pasar tradisional Aksara Medan. Fokus penelitian Tindak Tutur dalam Proses Jual Beli di Pasar Tradisional Surakarta yakni membahas mengenai jenis-jenis tindak tutur yang digunakan dan kaitan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan dengan tindak tutur yang muncul dalam proses jual beli di pasar-pasar tradisional Surakarta. Berdasarkkan acuan teori yang digunakan, penelitian pertama menggunakan acuan teori pragmatik khususnya teori tindak tutur yang berfungsi sebagai penolakan. Acuan teori yang digunakan pada penelitian kedua menggunakan acuan teori pragmatik khususnya teori tindak tutur direktif. Pembahasan pada penelitian ketiga mengunakan acauan teori pragmatik khususnya teori tindak tutur menurut Austin dan pola pasangan berdampingan atau bersesuaian oleh Coulthard, dan struktur percakapan teori Linguistik
44
Fungsional Sistemik (LFS). Penelitian Tindak Tutur dan Prinsip Kerjasama dalam Proses Jual Beli di Pasar Tradisional Surakarta menggunakan teori pragmatik khususnya teori tindak tutur menurut Kreidler. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitian pada tindak tutur yang terdapat pada proses jual beli di pasar sesuai dengan penerapan dari pembagian tindak tutur menurut Kreidler.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir yang terkait dengan penelitian ini secara garis besar dapat dilukiskan pada bagan di bawah ini. Pragmatik
Teori Tindak Tutur Kreidler
Konteks
Tuturan Antara Penjual dan Pembeli dalam Proses Jual Beli
Tindak Tutur
Prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan
a. Jenis-jenisnya b. Dominasi dan alasannya
Pembahasan untuk menghasilkan simpulan
Bagan 1. Kerangka Pikir Penelitian
45
Penjelasan tentang bagan. Sumber data penelitian ini adalah percakapan atau diaolg dalam proses jual beli di pasar tradisional Surakarta. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui data dalam penelitian ini adalah tuturan antara penjual dan pembeli beserta konteksnya yang mengandung tindak tutur di beberapa pasar tradisional Surakarta, seperti di pasar Klewer, Gedhe, Ledoksari, Nusukan, dan pasar Mojosongo. Keseluruhan
tuturan
beserta konteksnya yang terdiri atas beberapa jenis tuturan dianalisis menggunakan kajian pragmatik yakni teori tindak tutur Kreidler. Kemudian setelah diketahui jenisjenis tidak tutur yang terdapat dalam proses jual beli di pasar tradisional Surakarta, terlihat tindak tutur yang mendominasi dan mengapa tindak tutur tersebut mendominasi. Dalam munculnya suatu tindak tutur, tidak akan lepas kaitannya dengan prinsip kerjasama dan kesantunannya. Setelah itu penulis dapat memperoleh hasil simpulan dari pembahasan dalam penelitian ini.