KAJIAN P E R U B A H A N DISTRIBUSI SPASIAL S U H U U D A R A AKIBAT PERUBAHAN P E N U T U P LAHAN Studi Kasus Cekungan B a n d u n g Erna Sri Adiningsih, Sri Hartati Soenarmo, S. Mujiasih *) Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Pusfatja - LAPAN
ABSTRACT Land cover change will cause change in energy balance, and finally will lead to air temperature change. Since detection of those changes is often difficult due to the lack of climatological stations at the surface, satellite technology becomes a good alternative for such purposes. This research was aimed to study the relation between land cover change and air temperature change. Bandung w a s chosen as a case study since its development rate was profound especially in s u b u r b a n area. The data consisted of Landsat TM band 2, 4, and 5 for land cover change analysis, TM band 7 for temperature change analysis, and air temperature from 6 meteorological stations in Bandung. The data periods were 1994, 1996, and 1998, while field observation was conducted in 1998. The result shows that air temperature changed during the periods w a s affected by land cover change especially from vegetated area to settlement area. Settlement areas during 1994 - 1996 and 1996 - 1998 were increased by 0,68 % and 8,61 %, respectively. In the same periods, the temperature tended to increase. The area of surface temperature interval 27-28 °C was 18,32 % in 1994, 4,84 % in 1996, and 19,69 % in 1998. ABSTRAK P e r u b a h a n p e n u t u p lahan akan berakibat p a d a p e r u b a h a n neraca atau kesetimbangan energi, yang pada akhirnya akan mengubah s u h u udara. Deteksi terhadap p e r u b a h a n ini seringkali sulit dilakukan akibat kurangnya kerapatan jaringan stasiun pengamatan iklim di permukaan sehingga teknologi satelit tampaknya merupakan salah satu alternatif yang baik. Tujuan penelitian ini adalah u n t u k mengkaji h u b u n g a n a n t a r a perubahan p e n u t u p lahan terhadap perubahan distribusi s u h u u d a r a p e r m u k a a n . Daerah cekungan Bandung dipilih sebagai lokasi penelitian karena laju pembangunan di daerah ini sangat pesat terutama di daerah pinggiran kota. Data yang digunakan meliputi data Landsat TM band 2, 4, d a n 5 u n t u k mengetahui perubahan penutup lahan, data TM band 7 u n t u k m e n u r u n k a n distribusi s u h u permukaan, serta data suhu dari 6 stasiun meteorologi di wilayah Bandung. Periode data yang digunakan adalah t a h u n 1994, 1996, dan 1998, sedangkan pengamatan di lapangan dilakukan p a d a t a h u n 1998. Hasil penelitian memperlihatkan, bahwa perubahan distribusi spasial s u h u u d a r a p e r m u k a a n selama periode tersebut dipengaruhi oleh perubahan penutup lahan, terutama perubahan dari Ns^>xs \serje%eta.sA menjadi lahan pemukiman. Perubahan lahan pemukiman pada periode 1994 - 1996 dan 1996 - 1998 masing-masing meningkat sebesar 0,68 % dan 8,61 %. Pada periode yang sama suhu u d a r a cenderung meningkat. Luas interval suhu permukaan 27-28 °C adalah 18,32 % pada t a h u n 1994, 4,84 % t a h u n 1996, dan 19,69 % tahun 1998.
29
1. PENDAHULUAN Pembangunan, terutama di kotakota besar yang u m u m n y a sangat pesat, menyebabkan perubahan di segala bidang. Perubahan tersebut sangat terasa seperti bergantinya kebun atau taman kota menjadi gedunggedung bertingkat, perumahan, jalan raya, dan sebagainya. Demikian halnya dengan kota Bandung, yang dalam beberapa t a h u n terakhir mengalami perubahan penutup lahan yang c u k u p berarti ditandai dengan meningkatnya pembangunan r u m a h , gedung, d a n jalan. Kondisi tersebut a n t a r a lain disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitasnya sehingga semakin banyak lahan yang dibutuhkan u n t u k menunjang kegiatan sehari-hari seperti perkantoran, industri, perumahan, pertokoan, dan jalan raya. Dengan demikian tamantaman kota atau lahan bervegetasi lainnya semakin berkurang sehingga fungsi lahan bervegetasi untuk menyegarkan udara kota menjadi berkurang. Perkembangan ini mengakibatkan perubahan unsuru n s u r iklim terutama di pusat kota yang berbeda dengan wilayah di sekitarnya. Perbedaan u n s u r iklim yang terjadi adalah pada s u h u , kecepatan angin, radiasi, d a n keawanan. Dari empat u n s u r tersebut yang dapat dirasakan langsung adalah perbedaan s u h u . Adanya distribusi suhu kota dengan pinggir kota yang kontras ini kemudian dikenal dengan istilah "Pulau Panas" atau "Heat Island". Fenomena heat island ditandai dengan adanya s u a t u daerah yang memiliki s u h u j a u h lebih tinggi dibandingkan dengan di sekitarnya. Heat island adalah s u a t u fenomena s u h u u d a r a di daerah yang padat bangunan lebih tinggi daripada s u h u u d a r a terbuka di sekitarnya, baik di desa m a u p u n di pinggir kota (Givoni, 1989. Umumnya
30
s u h u u d a r a yang tertinggi terdapat di p u s a t kota d a n akan m e n u r u n secara bertahap ke arah pinggir kota (sub urban) sampai ke desa. S u h u t a h u n a n rata-rata di kota lebih besar sekitar 3° C dibandingkan dengan pinggir kota (Landsberg, 1981). Umumnya fenomena ini terjadi di perkotaan dengan b a n g u n a n atau gedung-gedung dan jaringan jalan yang rapat atau daerah industri yang padat yang dikelilingi lahan bervegetasi. Studi heat island menggunakan data s u h u u d a r a dari stasiun perm u k a a n telah banyak dilakukan oleh sejumlah ahli klimatologi, diantaranya oleh Clarke dan Peterson (1972) yang mengkaji heat island di- St. Louis berdasarkan tata guna lahan d a n angin menggunakan metode vektor eigen. Hasilnya menunjukkan besaran heat island berkorelasi positif dengan gradien s u h u vertikal d a n polanya dipengaruhi oleh tata g u n a lahan serta kecepatan angin. Penelitian serupa dilakukan oleh Adiningsih et al. (1994) yang mengkaji heat island dan perkembangannya di wilayah J a k a r t a , Bogor, Tangerang, d a n Bekasi berdasarkan analisis suhu udara permukaan dari stasiun-stasiun klimatologi d a n data s u h u p e r m u k a a n harian dari satelit NOAA-AVHRR. Hasilnya menunjukkan, heat island berkembang cepat di musim kemarau d a n sering terjadi di pusat kota. Beberapa studi terdahulu juga telah memanfaatkan data satelit NOAA-AVHRR untuk mengkaji fenomena heat island meskipun dengan tingkat ketelitian yang masih kasar mengingat keterbatasan resolusi spasial data tersebut (Carson, Augustine dan Boland, 1977; Fuggle d a n Oke, 1970; Adiningsih et al., 1994). Dari beberapa penelitian tersebut terlihat pula bahwa satelit NOAA dapat digunakan u n t u k kajian perubahan iklim perkotaan,
k h u s u s n y a pembentukan heat island. Namun disadari, ketelitian spasialnya masih kurang. Oleh sebab itu penelitian ini memanfaatkan data satelit Landsat TM yang beresolusi spasial tinggi untuk mengkaji perubahan distribusi spasial s u h u u d a r a di Bandung d a n sekitarnya akibat adanya perubahan p e n u t u p lahan. Penelitian ini bertujuan u n t u k mengetahui pengaruh perubahan pen u t u p lahan terhadap perubahan distribusi spasial s u h u u d a r a permukaan di daerah cekungan Bandung selama periode 1994-1998. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai informasi mengenai distribusi spasial s u h u u d a r a p e r m u k a a n dan perkembangannya akibat adanya perubahan penutup lahan sehingga dapat digunakan u n t u k pengaturan tata ruang kota. 2. MEKANISMB PEMBENTUKAN PULAU PANAS Menurut Lowry (1976), terjadinya perbedaan s u h u u d a r a a n t a r a daerah perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi: a. Bahan Penutup Permukaan Permukaan daerah perkotaan terdiri dari beton d a n semen yang memiliki konduktivitas kalor sekitar tiga kali lebih tinggi daripada tanah berpasir yang b a s a h . Keadaan ini akan menyebabkan permukaan kota menerima d a n menyimpan energi yang lebih banyak daripada pedesaan. b. Bentuk dan Orientasi Permukaan Bentuk d a n orientasi permukaan kota lebih bervariasi daripada daerah pinggir kota atau pedesaan, sehingga energi matahari yang datang akan dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan serta disimpan dalam bentuk panas (heat). Sebaliknya di daerah pinggir kota
atau pedesaan yang menerima pancaran adalah lapisan vegetasi bagian atas. Selain itu, padatnya b a n g u n a n di perkotaan juga dapat mengubah pola aliran u d a r a yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi. c. Sumber Kelembaban Di perkotaan air hujan cenderung menjadi aliran permukaan akibat adanya permukaan semen, parit, selokan, d a n pipa-pipa saluran drainase. Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga tersedia cadangan air u n t u k penguapan yang dapat menyejukkan u d a r a . Selain itu, air menyerap p a n a s lebih banyak sebelum s u h u menjadi naik 1°, d a n memerlukan waktu yang lama u n t u k melepaskannya. Hal ini berarti bahwa pohon-pohon yang banyak di pedesaan akan menyerap air dalam jumlah yang banyak dan melepaskannya ke atmosfer sehingga menjaga s u h u u d a r a tetap sejuk, serta menyerap lebih banyak panas, d a n melepaskannya dalam jangka waktu yang lebih panjang. d. Sumber Kalor Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan sumber kalor sebagai akibat dari aktivitas dan p a n a s metabolisme penduduk. e. Kualitas Udara Udara perkotaan banyak mengand u n g b a h a n - b a h a n pencemar yang berasal dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor, sehingga menyebabkan kualitas udaranya menjadi lebih buruk bila dibandingkan dengan kualitas u d a r a di pedesaan. Menurut Landsberg (1981), heat island a t a u pulau p a n a s terjadi k a r e n a adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, d a n pertukaran
31
panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan. Sementara itu, Givoni (1989) mengemukakan lima faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain yang menyebabkan perkembangan heat island: a. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi a n t a r a daerah perkotaan dengan daerah terbuka di sekitarnya. b. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari. c. Konsentrasi p a n a s yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang t a h u n di perkotaan (transportasi, industri, dan sebagainya). d. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi di perkotaan lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah pedesaan. e. Sumber p a n a s musiman, yaitu pemanasan dari gedung-gedung pada musim dingin d a n pemanasan dari pendingin ruangan pada musim panas, yang akhirnya akan dilepaskan ke u d a r a kota. Teori tersebut sesuai dengan pendapat Owen (1975) yang menyebutkan beberapa faktor yang mendorong terciptanya heat island : a. Adanya lebih banyak sumber yang menghasilkan p a n a s di perkotaan daripada di lingkungan luar kota. b. Adanya beberapa bangunan yang meradiasikan p a n a s lebih cepat daripada lapangan hijau atau danau. c. J u m l a h permukaan air per satuan luas di dalam perkotaan lebih kecil daripada di pedesaan, sehingga di kota lebih banyak p a n a s yang tersedia u n t u k m e m a n a s k a n atmosfer dibandingkan dengan di luar kota. Selain itu, m e n u r u t Owen (1975), keadaan di kota dengan bangunan-
32
bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran u d a r a yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya s u a t u "kubah debu" (dust dome), yaitu semacam selubung polutan (debu d a n asap) yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan pola sirkulasi atmosfer di a t a s kota yang unik dan mengakibatkan terjadinya perbedaan s u h u yang tajam a n t a r a perkotaan dengan daerah di sekitarnya, sehingga u d a r a p a n a s akan berada di a t a s perkotaan d a n udara dingin akan berada di sekitar perkotaan tersebut.
3. KONDISI GEOGRAFIS CEKUNGAN BANDUNG Daerah cekungan Bandung secara geografis terletak pada 107° 2 0 ' 50" - 107° 4 2 ' 12" BT dan 06° 4 3 ' 55" - 07° 0 6 ' 5 1 " LS, sedangkan luasnya sekitar 368.372 hektar. Secara topograms daerah ini sangat bervariasi dengan ketinggian a n t a r a 600 hingga 2.250 meter di atas permukaan laut. Secara u m u m dapat digambarkan bahwa sebagian besar penduduk tinggal di daerah tengah cekungan ini, begitu pula dengan kegiatan pembangunan dan daerah p e r u m a h a n serta daerah industri. Daerah perkotaan di Bandung memiliki ketinggian sekitar 768 meter di a t a s permukaan laut, daerah tertinggi di bagian u t a r a dengan ketinggian 1.050 meter dan daerah terendah terletak di bagian selatan dengan ketinggian 675 meter di atas permukaan laut. Pada bagian barat cekungan ini terletak daerah dataran yang meliputi daerah Cimahi d a n Padalarang yang merupakan s u a t u celah yang terbentuk oleh pegunungan p a d a arah utara dengan puncaknya Gunung Burangrang (2.064 m) dan daerah pegunungan pada arah selatan dengan puncaknya G u n u n g Masigit. Pada arah barat terdapat Waduk Saguling d a n pada
arah timur sampai tenggara terdapat tiga buah gunung masing-masing adalah Gunung Papandayan, Gunung Patuha, d a n G u n u n g Malabar, serta terdapat daerah industri yaitu Soreang dan Banjaran. Di bagian u t a r a terdapat G u n u n g Tangkuban Perahu d a n perk e b u n a n teh. 4. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap daerah Cekungan Bandung pada periode t a h u n 1994 sampai dengan t a h u n 1998. 4.2 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai b e r i k u t : a. Data Landsat-TM tanggal 4 Juli 1994, 25 J u l i 1996, d a n tanggal 4 J a n u a r i 1998. Pemilihan periode data tersebut didasarkan pada ketersediaan data yang ada di LAPAN, meskipun idealnya digunak a n data p a d a bulan yang sama. b. Data s u h u u d a r a dari stasiun permukaan meliputi stasiun BMG
Bandung, Stasiun BMG Lembang, Stasiun Husein Sastranegara, Stasiun Pedca UNPAD, Waduk Saguling, Stasiun GM-ITB u n t u k koreksi s u h u udara permukaan terhadap data suhu permukaan citra satelit Landsat-TM. c. Peta tata g u n a lahan Cekungan Bandung t a h u n 1992 skala 1: 100.000. Penggunaan data bulan J a n u a r i 1998 diperkuat pula dengan analisis kondisi s u h u u d a r a rata-rata pada bulan J a n u a r i dibandingkan dengan bulan Juli yang menunjukkan perbedaan tidak nyata yakni kurang dari 0.5 °C. Hal ini sesuai dengan karakteristik daerah tropis pada umumnya yaitu tidak adanya perbedaan s u h u u d a r a yang nyata antar bulan. Di sisi lain, u n t u k bulan yang s a m a yaitu J u l i 1994 d a n J u l i 1996 terlihat perbedaan s u h u yang cukup nyata (Tabel 4-1). Dengan demikian kon-disi pada bulan J a n u a r i 1998 dapat mewakili gambaran perubahan yang terjadi pada t a h u n 1998.
Tabel 4 - 1 : SUHU UDARA DI BEBERAPA STASIUN METEOROLOGI YANG DITELITI No.
Stasiun
Posisi
1 2 3
BMG Bandung BMG Lembang Bandara Husein ITB Saguling UNPAD
6" 5 5 ' ; 107" 36 6° 5 0 ' ; 107° 37 6° 5 4 ' ; 107° 35
4 5 6
6°53,18';107 0 37,5' 6° 54,26'; 107° 22,26 6° 5 5 ' ; 107°22
4 Juli 1994 22,7 18,6 23,5
25 Juli 1996 23,7 20,2 23,0
4 Jan 1998 24,2 21,6 24,0
18,8 26
22,9 28,0
-
-
23,0 28,6 22,6
Suhu Rata-rata (*) Jan Juli 22,7 22,3 -
-
22,4
22,1
-
-
(-) Tidak ada data (*) Diolah dari data 1980-1989 Sumber data: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB, dan Universitas Padjadjaran. 4.3 Metode Pengolahan Citra Pengolahan data Landsat TM secara garis besar meliputi koreksi
geometrik, klasifikasi p e n u t u p lahan d a n klasifikasi s u h u udara. Secara ringkas pengolahan dan analisis data
33
yang disajikan pada Gambar 4-1 meliputi 4 tahapan u t a m a : Pertama, koreksi geometrik dan pemilahan band yang menghasilkan data terkoreksi geometrik u n t u k band 2, 4, 5, d a n 7. Kedua, klasifikasi penutup lahan yang menghasilkan peta tematik penutup lahan. Ketiga, estimasi s u h u u d a r a permukaan yang menghasilkan peta tematik s u h u udara. Keempat, analisis perubahan distribusi spasial penutup lahan dan s u h u udara. Pada bagian berikut diuraikan 3 t a h a p a n pengolahan data.
34
4.3.1 Koreksi geometrik milahan band
dan
pe-
a. Pemotongan citra wilayah Cekungan Bandung yang belum terkoreksi. b. Koreksi geometris citra menggunakan titik a c u a n Ground Control Point (GCP) dari citra Landsat yang s u d a h terkoreksi m a u p u n peta tataguna lahan. c. Pemisahan data band 2, 4, 5 (ketiganya pada spektrum tampak), dan band 7 (pada spektrum inframerah dekat).
4.3.2
Klasifikasi penutup lahan
Jenis-jenis p e n u t u p lahan yang diidentifikasi di daerah penelitian meliputi pemukiman (lahan terbangun dan jalan raya), t a n a m a n semusim (padi, palawija, d a n sayuran), industri, vegetasi tinggi (vegetasi hutan, tanaman perkebunan, pohon-pohon tinggi di pekarangan atau taman). Tubuh air (rawa-rawa, sungai, d a n danau), lahan terbuka (lapangan terbang, lahan tidak bervegetasi), awan, d a n bayangan awan. Klasifikasi dilakukan menggunakan band 2, 4, dan 5 dengan metode klasifikasi kemiripan maksimum (maximum likelihood classification). Dari proses klasifikasi diperoleh citra kelas penutup lahan d a n persentase p e n u t u p lahan dari masing-masing kelas atau jenis. 4 . 3 . 3 Estimasi suhu udara permukaan a. Dari data Landsat TM band 7 diekstrak nilai radiometer count pada lokasi yang sesuai pada koordinat lokasi stasiun meteorologi, kemudian nilai radiometer count citra dikorelasikan dengan harga s u h u dari stasiun permukaan dan akan didapat s u a t u persamaan linier Y = aX + b (4-1) dengan Y
=
s u h u u d a r a dari stasiun permukaan, X = digital number atau radiometer count d a t a TM, a, b = konstanta.
b. Persamaan tersebut kemudian diterapkan u n t u k image enhancement (penajaman citra). c. Klasifikasi citra dilakukan dengan kisaran s u h u di seluruh daerah d. penelitian menjadi selang-selang suhu.
e. Pendigitasian pola s u h u u d a r a hasil estimasi citra Landsat band 7 dan hasil digitasi yang di-overlay dengan citra kelas penutup lahan b a n d 5, 4, d a n 2. f. Hasil overlay dianalisis untuk mengetahui perkembangan suhu u d a r a permukaan akibat adanya perubahan penutup lahan di cekungan Bandung. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perubahan Penutup Lahan Dari pengolahan citra diperoleh peta tematik kelas penutup lahan t a h u n 1994, 1996, dan 1998 yang disajikan pada Gambar 5 - l a sampai dengan 5-lc. Dari gambar tersebut kelas penutup lahan daerah cekungan Bandung meliputi pemukiman, lahan terbuka, vegetasi tinggi, t a n a m a n semusim, tubuh air, industri, awan, dan bayangan awan. Gambar tersebut menunjukkan perubahan tiap kelas baik persentasenya m a u p u n luasnya. Kelas awan d a n bayangan awan tidak dibahas dalam tulisan ini. Urutan kelas-kelas penutup lahan berdasarkan persentasenya dari paling besar hingga paling kecil disajikan pada Tabel 5-1 sedangkan luas d a n persentasenya serta perubahannya disajikan pada Tabel 5-2. Dari Tabel 5-1 terlihat bahwa t a n a m a n semusim memiliki luasan terbesar di Cekungan Bandung, tetapi perubahannya tidak tetap dari t a h u n ke t a h u n . Perubahan luasnya tidak selalu disebabkan oleh konversi lahan tetapi juga dipengaruhi oleh pola tanamnya yang dapat berubah sewaktu-waktu tergantung musim t a n a m atau fase p e r t u m b u h a n n y a sehingga variasinya c u k u p besar. Selama periode tahun 1994 - 1996 luas t a n a m a n semusim bertambah sebesar 12.726,63 ha atau 7,76 %, sedangkan pada periode tahun 1996 - 1998 mengalami p e n u r u n a n
35
seluas 13.675,32 ha atau 8,34 %. Pengurangan luas t a n a m a n semusim disebabkan adanya perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman. Selain
itu, perubahan pada lahan pertanian dapat pula disebabkan fase pert u m b u h a n padi yaitu fase air sehingga lahan tergenang air (tubuh air).
Tabel 5 - 1 : URUTAN LUASAN KELAS PENUTUP LAHAN DI CEKUNGAN BANDUNG.
No Urut 1 2 3 4 5 6
Tahun 1994 Tanaman semusim Lahan terbuka Vegetasi tinggi Tubuh air Pemukiman Industri
Lahan terbuka mengalami perubahan tidak tetap baik luasnya m a u p u n perubahan persentasenya. Pada t a h u n 1994 luas lahan terbuka menduduki u r u t a n ke 2, t a h u n 1996 u r u t a n ke 4, dan t a h u n 1998 u r u t a n ke 3. Periode t a h u n 1994 - 1996 luas lahan ini berkurang sebesar 22.338,45 ha atau 13,6 % yang kemungkinan dikonversi menjadi pemukiman atau ditanami kembali menjadi kebun berpohon tinggi seperti karet atau jati atau menjadi semak belukar. Periode 1996 - 1998 lahan ini bertambah sebesar 8.410,05 ha atau 5,13 %. Hal ini terjadi terutama di luar kota Bandung sebelah barat yang disebabkan adanya kegiatan penam-bangan di bukit-bukit kapur. Urutan luas vegetasi tinggi dari t a h u n ke t a h u n tidak tetap n a m u n cenderung terus berkurang. Antara t a h u n 1994 - 1996 terjadi pengurangan luas lahan bervegetasi tinggi sebesar 7.549,83 ha atau 1,31 %, sedangkan a n t a r a t a h u n 1996 - 1998 berkurang sebesar 2.141,73 ha atau 1,31 %.
36
Tahun 1996 Tanaman semusim Vegetasi tinggi Pemukiman Lahan terbuka Industri Tubuh air
Tahun 1998 Tanaman semusim Pemukiman Lahan terbuka Tubuh air Vegetasi tinggi Industri
Pengurangan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya penebangan vegetasi h u t a n atau pohon-pohon tinggi lainnya. Kelas penutup lahan t u b u h air memiliki u r u t a n luas yang tidak tetap setiap tahunnya. Pada t a h u n 1994 kelas ini berada p a d a u r u t a n ke 4, t a h u n 1996 luasnya pada u r u t a n ke 5, dan t a h u n 1998 u r u t a n ke 4. Selama t a h u n 1994 - 1996 luasnya berkurang sebesar 16.555,95 ha atau 10,09 % dan selama t a h u n 1996 - 1998 bertambah sebesar 14.036,49 ha atau 8,56 %. Dari citra p e n u t u p lahan yang terlihat banyak berubah adalah lahan tergenang air di sekitar Bandung Selatan. Sesuai dengan hasil pengecekan di lapangan, perubahan tersebut dapat terjadi akibat pengalihan lahan sawah untuk pemukiman atau industri. Namun hal tersebut d a p a t pula disebabkan perbedaan fase p e r t u m b u h a n padi sawah pada ketiga tanggal perekaman data.
Tabel 5-2:
PERBANDINGAN PENUTUP LAHAN DAN PERUBAHANNYA DI CEKUNGAN BANDUNG TAHUN 1994, 1996 DAN TAHUN 1998.
Kelas
No
Luas Penutup Lahan 1996 Luas(ha) %
1994 Luas(ha)
%
1998 Luas (ha)
%
Perubahan Penutup Lahan 1994-1996 1996 1998 Luas (ha) % Luas (ha) %
3499,73
8,23
14615,10
8,91
28742,76
17,52
1115,37
0,68
14127,66
8.61
Lahan lerbuka
35563,95
21,68
13225,50
8,06
21635,55
13,19
-22338,45
-13,62
8410,05
5,13
3
Vegetasi linggi
24904,44
15,18
17354,61
10,58
15212,88
9,27
-7549,83
-4.60
4
Awan
2298,69
1,40
23911,20
14,58
15591,60
9.50
21612,51
13,17
5
Tanaman musiman
58708,44
35,79
71435,07
43,55
57759,75
35,21
12726,63
7,76
1
Pemukiman
2
-2141,73 -1,31 -8319,60 -5,07 . -13675.32
-8,34
6
Bayangan
6916,50
4,22
10720,44
6,54
5779,26
3,52
3803,94
2,32
7
Tubuh air
20799,54
12,68
4243,59
2,59
18280,08
11,14
-16555.95
-•0,09
14036,49
8,56
8
IIHIHMII
1351,80 164043,09
0,82 100,00
8537,58 164043.09
5,20 100,00
1041,21 164043,09
0,63 100,00
7185,78
4,38
-7496,37
-4,57
Total
-4941,18 -3,01
Tabel 5-3: LUAS DAERAH UNTUK SETIAP INTERVAL SUHU PERMUKAAN YANG DITURUNKAN DARI BAND 7 DAN PERUBAHANNYA SELAMA TAHUN 1994-1998 Interval Suhu No
fC)
1994 Luas (ha)
%
Luas Tiap Kelas Interval Suhi 1996 1998 Luas(ha) Luas(ha)
%
-
%
-31722.48
-19,34
-
987,30
0,60
-25734.60
-15.69
-29940,93
-18,26
30,51
22549,68
13,75
11508,66
7,02
-27496,08
-16,76
32212.62
19,64
48064,32
29.30
13647,06
8,32
15851.70
9,66
3,07
13927.32
8,49
24757,02
15,09
8885,52
5,42
10829,70
6,60
976,86
0.60
7943,31
4,84
14880,06
9,07
6966,45
4,24
6936.75
4,23
25-26
598,14
0.32
4464,18
2.72
7728,30
4.71
3956,04
2,40
3264.12
1,99
26-27
333,72
0,20
2425,23
1,48
32292,45
19.69
2091,51
1,28
29867.22
18,21
13505,04
8,23
-2284,74
-1.39
18
19
3105,00
1,89
2
19-20
38750,22
23,62
7027,74
4,28
-
3
20-21
56661.03
34,54
30928,23
18,86
4
21-22
38537,10
23.49
50045,76
5
22-23
1856,56
11,32
6
23-24
5041,80
7
24-25
8 9
27-28 Total
1563,66
0.95
15068,70
9.18
12783,96
7.79
164043,09
100,00
164043,09
1(10,00
164043,09
100,00
Luas daerah pemukiman mengalami peningkatan terus baik u r u t a n luas m a u p u n perubahannya dari t a h u n ke t a h u n . T a h u n 1994 kelas ini berada pada u r u t a n ke 5, t a h u n 1996 u r u t a n ke 3, d a n t a h u n 1998 pada u r u t a n ke 2. Selama t a h u n 1994 - 1996 luas pemukiman bertambah sebesar 1.115,37 ha atau 0,68 % dan t a h u n 1996 - 1998 bertambah dengan tajam sebesar 14.127,66 ha atau 8,61 %. Sebagaimana terjadi di kota-kota besar lainnya, peningkatan luas daerah pemukiman di wilayah cekungan Bandung terutama didorong oleh pert a m b a h a n jumlah penduduk dan aktivitasnya. Lahan industri memiliki u r u t a n luas d a n perubahan dari tahun ke t a h u n y a n g tidak tetap. Tahun 1994
-
%
-
1
10
%
Pcruhah in Luas liap Kelas Interval Suhu 1994- 1996 1996 1998 Luas (lia) Luas(ha)
-
kelas ini berada pada u r u t a n ke 6, t a h u n 1996 pada u r u t a n ke 5 dan t a h u n 1998 kembali p a d a u r u t a n ke 6. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Cekungan Bandung bukan daerah berorientasi industri seperti yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan. Kalaupun ada industri hanya terbatas di daerah Padalarang, Cimahi, d a n Soreang. Selama t a h u n 1994 1996 luasnya bertambah sebesar 7.185,78 ha atau 4,38 % dan perubahannya dari t a h u n 1996 - 1998 m e n u r u n sebesar 7.496,37 ha atau 4,57 %. Urutan luas penutup lahan berdasarkan perubahannya setiap t a h u n (dari yang terbesar atau terluas hingga terkecil) persentasenya disajikan pada Tabel 5-4.
37
Tabel 5-4:
No. Unit 1 2 3 4 5 6
URUTAN LUAS PERUBAHAN TAHUN KE TAHUN. Tahun 1 9 9 4 - 1996 T a n a m a n semusim (+) Industri (+) Pemukiman (+) Vegetasi tinggi (-) Tubuh air (-) Lahan terbuka (-)
KELAS
PENUTUP LAHAN
Tahun 1996 - 1998 Pemukiman (+) Tubuh air (+) Lahan terbuka (+) Vegetasi tinggi (-) Industri (-) Tanaman semusim (-)
*) Keterangan : (+) bertambah, (-) berkurang Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa secara u m u m jenis p e n u t u p lahan yang terus berkurang adalah vegetasi tinggi sedangkan kelas p e n u t u p lahan yang terus menerus bertambah adalah pemukiman. Perubahan luas daerah pemukiman sangat nyata yaitu antara t a h u n 1994 - 1996 sekitar 0,68 % dan antara t a h u n 1996 - 1998 sekitar 8,61 %. 5.2. Suhu Udara berdasarkan Estimasi dari Landsat band 7 Model regresi u m u m u n t u k kasus Cekungan Bandung yang mengkorelasikan data band 7 dan data s u h u stasiun t a h u n 1994, 1996 dan 1998 adalah Y = 0.11637X + 18, 5774 dengan Y adalah s u h u u d a r a dan X adalah nilai digital data band7, serta
koefisien korelasi (r) rata-rata sebesar 0.85. Perbandingan luas d a n persentase suhu udara permukaan serta perubahannya selama t a h u n 1994-1998 yang diestimasi dari band 7 disajikan pada Tabel 5-3. Pada Tabel 5-5. dapat dilihat luas masing-masing interval suhu dari yang terbesar hingga yang terkecil. Berdasarkan Tabel 5-5. dapat dikemukakan bahwa pada u m u m n y a luas setiap interval s u h u berubah dan mengalami kenaikan setiap t a h u n . Selain itu terlihat pula bahwa kelas interval s u h u 26 - 27° C mengalami perubahan u r u t a n luas yang mencolok pada periode a n t a r a t a h u n 1996 - 1998 yaitu dari u r u t a n ke-9 pada t a h u n 1996 menjadi u r u t a n ke-2 pada t a h u n 1998. Urutan persentase perubahannya dari yang terbesar hingga terkecil dapat dilihat pada Tabel 5-6.
Tabel 5-5: URUTAN LUAS KELAS INTERVAL SUHU TIAP TAHUN ( ° C)
38
No. Urut
Tahun 1994
Tahun 1996
Tahun 1998
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
20-21 19-20 21-22 22-23 23-24 18-19 27-28 24-25 25-26 26-27
21-22 22-23 20-21 27-28 23-24 24-25 19-20 25-26 26-27
22-23 26-27 23-24 21-22 24-25 27-28 25-26 20-21
Tabel 5-6: URUTAN LUAS PERUBAHAN KELAS SUHU PERMUKAAN (o C) No. Urut
Tahun 1994 - 1996
Tahun 1996-1998
1 2 3 4 5 6 7 8 9
22-23(+) 27 - 28(+) 21-22(+) 23 - 24 (+) 24 - 25 (+) 25-26(+) 26-27(+) 2 0 - 2 1 (-) 19-20(-)
26 - 27 (+) 22-23(+) 23 - 24 (+) 24 - 25 (+) 25-26(+) 27 - 28 (+) 21 - 2 2 ( - ) 2 0 - 2 1 (-)
Keterangan : (+) bertambah, (-) berkurang Dari Tabel 5-6 terlihat bahwa kelas inter-val suhu yang mengalami p e r t a m b a h a n terus menerus adalah 26 - 27° C dengan persentase pertambahan sebesar 1,28 % dan 18,21 % u n t u k t a h u n 1994 - 1996 d a n 1996 1998. Distribusi spasial s u h u u d a r a per-mukaan pada tahun 1994 diperlihatkan p a d a Gambar 5-Id sampai dengan 5-If dengan lokasi u n t u k setiap interval s u h u sebagai berikut: 18-19° C :Di a t a s t u b u h air (rawa atau genangan air, Waduk Saguling dan danau). 19-20° C : Di luar wilayah kota Bandung t e r u t a m a di puncak-puncak gunung. 20-21° C : D i luar wilayah kota Bandung. 21-22° C : Distribusinya mulai menga r a h ke kota Bandung. 22-23° C : Meliputi sebagian kota Band u n g d a n sekitamya (ke arah barat, barat daya, dan selatan). 23-24° C : Berada di bagian timur laut dan u t a r a Waduk Saguling, barat daya kota Bandung (Cimahi). 24-25° C : Sebagian kecil u t a r a Waduk Saguling (sebelah barat Bandung), Soreang dan Dayeuh Kolot (sebelah selatan Bandung), Cicaheum (bagian timur Bandung). 25-26° C : Mengikuti pola interval suhu
25-26° C tetapi persentasenya kecil. 26-27° C : Sebagian kecil sekitar Cibaduyut (Bandung bagian barat daya) dan Rancaekek (Band u n g bagian tenggara). 27-28° C : Pada citra warna s u h u ini meliputi c a m p u r a n daerah in-dustri d a n awan, tetapi awan tidak dibahas secara rinci, karena dianggap sebagai gangguan sehingga yang diperhitungkan hanya daerah industri yang terletak di Cimahi, Cibaduyut, dan Rancaekek. Distribusi setiap kelas s u h u u d a r a perm u k a a n pada t a h u n 1996 adalah sebagai berikut (Gambar 5-2): 19-20° C : Merata di seluruh Cekungan Bandung. 20-21° C : Sebagian besar berada di luar kota Bandung. 21-22° C : Sebagian besar berada di luar wilayah kota Bandung. 22-23° C : Mulai meluas di sebagian besar wilayah kota Bandung diban-dingkan t a h u n 1994. 23-24° C : Meluas di sebagian besar bagian tengah Waduk Saguling d a n kota Bandung dibandingkan t a h u n 1994. 24-25° C : Meluas di sekitar pinggiran kota Bandung sebelah barat, selatan, d a n barat dibandingk a n t a h u n 1994. 25-26° C : Berada di sekitar pinggiran 39
kota bandung sebelah barat, selatan, dan timur. 26-27° C : Membentuk pola di sekitar pinggiran kota Bandung (barat, timur laut, timur, barat daya, selatan). 27-28° C : Dalam tampilan citra terlihat c a m p u r a n daerah industri dan awan, tetapi yang dibahas hanya daerah industri yang terletak di Cibaduyut (Bandung bagian barat daya) dan Rancaekek (Bandung bagian tenggara). Distribusi spasial s u h u u d a r a perm u k a a n t a h u n 1998 adalah sebagai berikut (Gambar 5-2) : 20-21° C :Meliputi wilayah puncak gunung, t u b u h air. 21-22° C :Berada merata di seluruh Cekungan Bandung. 22-23° C : Meluas sebagian besar wilayah luar kota Bandung. 23-24° C : Meluas ke arah barat Cekungan Bandung (utara Waduk Sagu-ling), u t a r a kota Bandung d a n bagian barat daya. 24-25° C : Polanya m e m u s a t mengikuti pola s u h u 26-27° C. 25-26° C : Polanya mengikuti pola s u h u 26-27° C. 26-27° C : Membentuk pola memusat di timur laut Waduk Saguling, di sebagian besar kota Bandung membentuk setengah lingkaran dari barat, barat daya, selatan, tenggara, dan timur. 27-28° C : Dalam tampilan citra meliputi awan d a n industri, awan tidak dibahas sedang-
kan industri meliputi daerah Cibaduyut d a n Rancaekek. 5.3.
Hubungan Perubahan Penutup La-han d a n P e r u b a h a n S u h u Udara
Suhu u d a r a permukaan hasil estimasi dari data TM pada masingmasing p e n u t u p lahan disajikan pada Tabel 5-7. Tabel 5-7 menunjukkan bahwa s u h u u d a r a p e r m u k a a n di masing-masing penutup lahan u m u m nya meningkat setiap t a h u n karena adanya pertambahan luas penutup lahan yang banyak menghasilkan p a n a s yaitu industri, lahan terbuka, d a n pemukiman. Semen tara itu p e n u t u p lahan yang meredam s u h u seperti vegetasi tinggi, t a n a m a n semusim, dan t u b u h air j u g a berkurang sehingga mengakibatkan peningkatan suhu. Namun a d a beberapa lokasi yang menunjukkan ketidaksesuaian a n t a r a perubahan s u h u dengan jenis penutup lahannya seperti yang terjadi di Saguling. Suhu u d a r a permukaan di daerah tersebut c u k u p tinggi (24 - 25° C), sedangkan daerah tersebut dikeliling oleh Waduk Saguling yang merupakan bagian dari t u b u h air. Tingginya s u h u u d a r a di daerah tersebut kemungkinan disebabkan adanya sumber p a n a s lain, misalnya aktivitas penambangan kapur n a m u n hal ini perlu pengkajian secara mendalam. Hal serupa terjadi di daerah Rancaekek dan sekitarnya yang bariyak digenangi rawa-rawa n a m u n s u h u n y a sangat tinggi, hal ini diduga akibat adanya sumber p a n a s lain yang mempengaruhinya.
Tabel 5-7: SUHU UDARA PERMUKAAN DI TIAP JENIS PENUTUP LAHAN DI CEKUNGAN BANDUNG Suhu Udara Permukaan (" C) Penutup l.ahan Tahun 1994 Tahun 1996 Tahun 1998 Industri 27-28 27-28 27-28 Lahan terbuka 23-24 24-25 24-25 Pemukiman 22-23 24-25 26-27 Tanaman semusim 21-22 22-23 23-24 Vegetasi tinggi 19-20 20-21 21-22 Tubuh air 18-19 19-20 20-21 40
Secara u m u m tipe p e n u t u p lahan yang mengalami perluasan paling banyak adalah pemukiman di kota Bandung dan diikuti oleh lahan terbuka serta industri. Sementara itu s u h u terus menerus ber-tambah dari interval 22-23° C (tahun 1994) menjadi 23-240 C d a n 24-25° C (tahun 1996) selanjutnya 24-25° C (tahun 1998). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar luas pemukiman m a k a s u h u semakin meningkat. Sementara itu s u h u u d a r a m a u p u n luas daerah industri relatif tetap selama t a h u n 1994-1998, sehingga kontribusi daerah industri terhadap pe-ningkatan s u h u u d a r a relatif kecil.
Hubungan p e r u b a h a n p e n u t u p lahan terhadap perubahan s u h u dapat dijelaskan dengan persamaan berikut (Saryono, 1989):
AQ = J u m l a h energi yang diterima atau dilepaskan (Joule) AT = Selisih s u h u (° C) m = m a s s a (kg) C = Kapasitas p a n a s = J u m l a h energi yang diperlukan u n t u k memanaskan atau mendinginkan s u a t u volume benda sekian derajat (J m-3) c = Kapasitas p a n a s jenis (J/Kg) p = Massa jenis (Kg/m 3 )
Tabel 5-8: SIFAT FISIK BEBERAPA BENDA
Benda Panas, kering Pasir agak lembab Pasir lembab Pasir basah Liat berpasir Tanah organik Batu granit Tanah rawa Beton Air tenang Udara tenang
1,6 1,7 1,9
Kapasitas panas Jenis c (Kal g 1 ) 0,22 0,26 0,34
-
-
2,6 0,9 2,3 1 0,0012
0,2 0,8 0,21 1 0,24
Massa Jenis p (g cm')
Kapasitas Panas C ( Kal cm"3) 0,35 0,44 0,65 0,7 0,59 0,57 0,52 0,7 0,48 1 3,10 4
Kondukti vitas termal C (Kal e m ' s ' 0 C ' ) 0,002 0,004 0,0052 -
0,011 0,0015 6,10"5
Sumber : Saryono, 1989 Berdasarkan persamaan diatas dapat dikemukakan bahwa jika setiap p e r m u k a a n menerima energi radiasi matahari yang sama tetapi dengan kapasitas p a n a s yang berbeda (Tabel 58) m a k a s u h u yang dihasilkan juga berbeda. J i k a s u a t u benda berkapasitas panas besar maka suhu yang dihasilkan rendah, sebaliknya jika s u a t u benda berkapasitas p a n a s kecil m a k a s u h u yang dihasilkan tinggi. Kapasitas panas suatu benda bergantung pada kapasitas p a n a s jenis dan m a s s a jenis atau kerapatannya. Kecepatan benda menjadi p a n a s ter-
gantung dari konduktivitas termalnya, semakin besar konduktivitas termal s u a t u benda m a k a semakin cepat perambatan p a n a s d a n s u h u semakin besar. Tabel 5-8 menunjukkan bahwa kapasitas p a n a s air paling besar, d a n s u h u yang dihasilkan rendah karena konduktivitas termalnya rendah (0,0015). Sementara itu b a h a n beton memiliki kapasitas p a n a s kecil, dengan konduktivitas termalnya A sangat besar yakni 0,011. Oleh sebab itu perm u k a a n beton cepat menjadi p a n a s dan s u h u n y a cepat meningkat. Bahan beton dapat mewakili jenis p e n u t u p lahan 41
industri dan pemukiman. Bahan beton dengan kapasitas p a n a s yang lebih kecil daripada air menjadi lebih cepat p a n a s pada siang hari sehingga cepat memanas-kan u d a r a di atasnya. Namun air dengan kapasitas p a n a s yang besar memungkin-kan penyerapan kalor secara besar-besaran dan melepaskan secara lambat melalui evaporasi. Dengan adanya u a p air yang ditambahkan ke u d a r a melalui eva-porasi dalam jumlah besar menjadikan u d a r a lebih sejuk. Sesuai dengan mekanisme peningkatan suhu di perkotaan dan pembentukan heat island (Landsberg, 1981; Givoni, 1989; Owen, 1975), pengaruh s u h u lahan terhadap kondisi u d a r a di atasnya terjadi melalui konduksi semu yakni perpindahan p a n a s p a d a lapisan udara yang sangat tipis dekat permukaan (beberapa mili-meter) d a n dikatakan semu karena tidak sepenuhnya m e r u p a k a n proses perpindahan secara konduksi. Selanjutnya terjadi proses konveksi, yaitu p a n a s dipindahkan bersama-sama dengan
molekul-molekul u d a r a yang bergerak, sehingga u d a r a dipanaskan oleh perm u k a a n bumi akibat radiasi matahari, dan u d a r a akan mengembang dan naik menuju tekanan yang lebih rendah. Proses konveksi ini menyebabkan suatu pola dengan interval s u h u u d a r a tinggi di permukaan kota pada penutup lahan seperti pemukiman, lahan terbuka, dan industri, dan s u h u m e n u r u n pada jenis lahan tanaman semusim, vegetasi tinggi, dan t u b u h air. Dengan adanya distribusi s u h u u d a r a yang mencolok a n t a r a kota dan pinggiran secara horisontal memungkinkan terbentuk heat island. Heat island yang terbentuk di Cekungan Bandung secara horisontal berjarak 30 km dari pusat kota yang bersuhu tinggi dengan pinggiran yang bersuhu rendah. Heat island mulai terbentuk pada t a h u n 1996, d a n rata-rata suhu kota yang terjadi sekitar 3 - 4° C lebih tinggi dari sekitarnya sesuai definisi Landsberg (1981). Perbedaan suhu a n t a r a kota dan sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 5-9.
Tabel 5-9: PERBEDAAN SUHU ANTARA DAERAH PERKOTAAN DAN CEKUNGAN BANDUNG PADA TAHUN 1994, 1996, DAN 1998. Wilayah
PEDESAAN DI
1994
1996
1998
Pinggiran (desa)
21 - 2 2 ("C)
22 - 23 (o C)
Kota
22-23(°C)
21 - 2 2 PC) 24-25(°C)
Perubahan s u h u yang terjadi antara t a h u n 1994 - 1998 dipengaruhi oleh beberapa kelas p e n u t u p lahan yakni industri (+), pemukiman (+), vegetasi (-), dan tubuh air (-). Perubahan s u h u yang terjadi antara tahun 1996 - 1998 dipengaruhi hanya oleh 2 kelas p e n u t u p lahan yakni pemukiman (+) d a n vegetasi (-). Namun perubahan p e n u t u p lahan pemukiman yang paling menonjol yaitu 8,61 % sehingga mempengaruhi peru-bahan s u h u terutama p a d a interval 26 - 27° C sebesar 18,21 %.
42
6.
26 - 27 (o C)
KESIMPULAN
a. Kelas p e n u t u p lahan yang paling banyak berubah di daerah Cekungan Bandung dan terus meningkat selama periode tahun 1994 sampai t a h u n 1998 adalah pemukiman dengan pola meluas di sekitar Bandung Barat, Selatan, dan Timur. b. Pada t a h u n 1996 heat island di wilayah Cekungan Bandung mulai terbentuk di sekitar Cimahi, Cibaduyut dan Kiaracondong
(daerah industri dan pertokoan) dengan peningkatan s u h u u d a r a permukaan a n t a r a t a h u n 1994 1996 d a n t a h u n 1996 - 1998. c. Adanya h u b u n g a n yang erat antara perubahan p e n u t u p lahan dan s u h u u d a r a permukaan, ditandai oleh kesamaan pola perubahan luas penutup lahan dan perubahan distri-busi spasial suhu udara permukaan. d. Adanya k a s u s daerah b u k a n pemukiman yang disertai s u h u tinggi, kemungkinan disebabkan oleh adanya sumber p a n a s lain pada daerah tersebut. DAFTAR RUJUKAN Adiningsih, E.S., D. Widyasari, dan I. Santosa, 1994, Studi Heat Island di Jakarta dan sekitarnya dengan menggunakan data satelit, Majalah LAPAN No. 68: 18-37. Carson, T.N.; J. A. Augustine and F.E. Boland, 1977, Potential Applications of Satellite Temperature Measurements in the Analysis of Land Use Over Urban Areas, Bull. Amer. Meteor. Soc, 1958: 13011303. Clarke, J. F. and J. T. Peterson. 1972, An Empirical Model Using Eigenvectors to Calculate the Temporal and Spasial Variations of the St. Louis Heat island, Journal Applied Meteorologi, Februari No. 5 Vol 9: 193-210. Fuggle, R.F d a n T.R. Oke. 1970, Infrared Flux Divergence and The Urban Heat island. WMO, No. 254. Tech. Note 108: 70-75.
Lestiana, Hilda, 1997, Studi Iklim berdasarkan Analisis Variansi Elemen Iklim dan Perubahan Penutup Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat-TM, Tugas Akhir J u r u s a n GM-ITB. Bandung. Landsberg, H.E.,1981, The Urban Climate. International Geophysic Series, Vol 28, Academic Press, New York, 275 pp. Lillesand, T.M and R.W. Kiefer, 1987, Remote Sensing and Image Interpretation, J o h n Wiley & Sons, New York. Oke, T.R., 1978, Boundary. Layer Climate, Methuen & Co. Ltd. London. Owen, O. S., 1975, Natural Reseource Consevation, An Ecological Approach, Second Edition, Macmillan Publishing Co. Inc. New York. Sutanto, 1992, Penginderaan Jauh. Jilid I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soenarmo, Sri Hartati, 1994, Diktat Kuliah Penginderaan Jauh untuk Meteo-rologi-Oceanografx Geofisika. J u r u s a n GM-ITB. Bandung Saryono, 1989, Diktat Kuliah Meteorologi Mikro. Jurusan GM-ITB. Bandung. Sembiring, RK., 1995, Analisi Regresi. Penerbit ITB. Bandung. Zeid, 1996, Studi Fluk Panas Permukaan Menggunakan Data Citra Satelit NOAA untuk daerah Cekungan Bandung. Tugas Akhir J u r u s a n GM-ITB. Bandung.
Givoni,B.,1989, Urban Design in Different Climates. WMO/TD 346, World Meteorological Organization, USA.
43
6 43 57" LS 107 2050" BT
7 65TLS 107 2050" BT
6 4357" LS 6 4357" LS 107 42'14" BT 107 2050" BT
7 6"51"LS7 107 42'14"BT
65TLS 107 2050" BT
6 4357" LS 6 107 42'14" BT
6 4357" LS 107 2050" BT
6 4357" LS 107 42'14"BT
7 6'51"LS 107 42'14"BT
7 651"LS 107 2050" BT
7 6"51"LS 107 4214" BT
SKALA 1 : 500.000
G a m b a r 5 - 1 : PENUTUP LAHAN DI BANDUNG DAN SEKITARNYA PADATAHUN 1994, 1996, DAN 1998 6 4357" LS 107 2050" BT
7 651"LS 107 2050" BT
6 4357" LS 107 4214" BT
1998
6 4357" LS 107 2050" BT
6 4357" LS 107 4214" BT
7 6'51"LS Sumber : Data Landsat TM Pusat Pemanfaatan Peng107 4214" BT inderaan Jauh - LAPAN
Gambar 5-2: SUHU UDARA PERMUKAAN DI BANDUNG DAN SEKITARNYA PADA TAHUN 1994, 1996, DAN 1998
44