KAJIAN PERUBAHAN LINGKUNGAN DI ZONA BURUK UNTUK PERUMAHAN ( Studi Kasus : Kawasan Bandung Utara )
RINA MARINA MASRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
KAJIAN PERUBAHAN LINGKUNGAN DI ZONA BURUK UNTUK PERUMAHAN ( Studi Kasus : Kawasan Bandung Utara )
RINA MARINA MASRI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
@ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber ; a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan untuk atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
Judul Disertasi
:
KAJIAN PERUBAHAN LINGKUNGAN DI ZONA BURUK PERUMAHAN (Studi Kasus di Kawasan Bandung Utara)
Nama Mahasiswa
:
Rina Marina Masri
Nomor Pokok
:
P062020051
Program Studi
:
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui : 1. Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Santun R.P. Sitorus Ketua
Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc Anggota
Dr.Ir.Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota
Dr.Ir.Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota Diketahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS
Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 19 Februari 2009
Tanggal Lulus :
ABSTRACT RINA MARINA MASRI. The Study of Environmental Change in The Bad Zone for Residential (Case Study in North Bandung Area) under supervision of SANTUN R.P.SITORUS, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, LILIK BUDI PRASETYO and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Area in North Bandung have high value of economy as comfortable for living and suitable for plantation activity, so that phenomena of land conversion to be important issues to environmental change. The goal of the research is designing a model and policy for the sustainable house development in bad zone residential lands. The objectives of research are: to evaluate existing residential based on land use for housing; to find the causing factors why community choose to stay in the house development; to find the environmental changes; to design dynamic model for environmental changes and to propose the policy on the sustainable housing development in bad zone related to the environmental changes at North Bandung. The research has been done for 1 year since January 2006 to January 2007 in Lembang, Cilengkrang, Cimenyan subdistrict North Bandung. Spatial analysis for residential lands using Arcview 3.3 of GIS software, factors analysis using SPSS 11.5 for Principal Component Analysis (PCA), traffic analysis and physical-chemical-biological analysis for environmental changes, dynamic system analysis and sensitivity analysis using Powersim versi 2.5C to achieve all the objectives above mention. Respondents in this methods who lives in this house development at bad zone are 126 house holds. The result of research as follows: 28.11%, 56.08%, 100% house development at bad zone residential lands each for Lembang, Cilengkrang and Cimenyan. The wide area, environmental convenient, road accessibility, accessibility have positive correlation to the community choose stay in the house development at bad zone. Traffic jam, water and air pollution, land degradation, flora and fauna loses so that decreasing environmental quality. The system analysis for environmental changes toward bad zone house development are: the increasing the flood frequency, land slide, the decreasing health community due to the water and air pollution, increasing mortality, decreasing the environmental convenient and decreasing comfortable living, due to environmental changes on mention the government funding for development increasing, funding for education and health for community decreasing. Result of sensitivity analysis giving alternatives policies as limited immigration, set up the standardization the building coverage ratio, limited the conservation area to residential lands and others, increasing the conservation funding for decreasing natural accident as flood, lands slides etc. Key words: North Bandung, the bad zone for residential land, GIS, environmental change, dynamic system.
PRAKATA Penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah karena atas ridho-Nya Disertasi hasil penelitian yang berjudul Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan (Studi Kasus di Kawasan Bandung Utara) dapat disusun sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan program Doktor di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB. Disertasi ini dapat tersusun karena bantuan berbagai pihak, terutama Komisi Pembimbing. Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan dari lubuk hati yang paling dalam kepada : 1. Prof.Dr.Ir.Santun R.P.Sitorus sebagai ketua komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan moril serta nasehat sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.. 2. Prof.Dr.Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc, Dr.Ir.Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr.Ir.Hartrisari Hardjomidjojo, DEA sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan moril serta nasehat sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. 3. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh staf pengajar yang telah membekali dan memperkaya ilmu. 5. Prof. Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo. MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah mengarahkan dan memfasilitasi selama mengikuti pendidikan. 6. Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya, Dr. Ir. Naresworo Nugroho dan Dr.drh. Akhmad Arief Amin sebagai penguji luar komisi Ujian Tertutup. 7. Prof. Dr.Ir. H. Cecep Kusmana, MS dan Prof.Dr.Ir.Sumarto, MSIE sebagai penguji luar komisi Ujian Terbuka. 8. Dr. Wonny, Dr. Sabarman, Dr. Mamat S, Dr. Laode Rijai, Dr. Elang Ilika, Djoko Sutrisno dan teman-teman seperjuangan yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan studi.
9.
Dr. Ir. Roos Akbar (Planologi ITB), Ir. M. Iskandar, Msi (BPLHD Provinsi Jawa Barat), Ir. Tita Phati (Dinas Pemukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat) yang telah memberikan sumbang saran, masukan dan data yang bermanfaat selama pelaksanaan penelitian ini.
10. Doa yang tulus dan ucapan terimakasih khusus untuk Ayahanda H. Masri Endjar (Almarhum) atas dorongan semangat untuk selalu berdikari, Ibunda tercinta Hj. Rukminah beserta keluarga besar H. Masri Endjar (Almarhum) atas doanya yang tiada henti, dorongan moril, bantuan dana yang tidak sedikit serta turut menjaga dan membesarkan anak-anak selama penulis menyelesaikan studi di PSL. 11. Keluarga besar Dr.Ir.B. Djatmiko (Almarhum) terutama Ibunda Dr. Ir. H. Hertami Djatmiko MPS. atas doanya yang tiada henti, dorongan moril untuk selalu bersabar serta bantuan dana selama penulis menyelesaikan studi. 12. Suami tercinta Dr.Ir.H. Iskandar Muda Purwaamijaya, MT beserta ananda Btari Mariska, Gisandro Diponegoro, dan Nabila Rasya atas segala kesabaran, dorongan, pengertian, pengorbanan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Ibu dan Bapak dengan pahala yang berlipat ganda. Amin. Sesuai dengan pepatah tiada gading yang tak retak, penulis sangat menyadari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam Disertasi ini, karenanya masukan-masukan yang konstruktif sangat diharapkan agar Disertasi ini dapat mendekati kesempurnaan. Semoga Disertasi ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya, serta dicatat dan dijadikan oleh Allah SWT sebagai bagian dari ibadah kepada-Nya. Amin. Bogor, Februari 2009
Penulis
RINGKASAN RINA MARINA MASRI. Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan (Studi Kasus : Kawasan Bandung Utara). Dibimbing oleh SANTUN R.P.SITORUS, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, LILIK BUDI PRASETYO, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Kawasan Bandung Utara memiliki kondisi ekologis yang nyaman sehingga menjadi sasaran masyarakat untuk membangun perumahan walaupun aksesibilitas untuk memperoleh air bersih sangat sulit dan mahal. Larangan untuk membangun perumahan di Kawasan Bandung Utara selain untuk melindungi kawasan resapan air agar kecepatan limpasan air tidak bertambah dan menghindarkan bahaya longsor serta erosi juga untuk menghindarkan bencana banjir di wilayah selatan Kota Bandung. Sebelum otonomi daerah sudah ada sembilan peraturan yang dikeluarkan untuk mengamankan Kawasan Bandung Utara, tetapi kualitas lingkungan justru semakin merosot tajam karena peraturan yang ada dengan implementasi di lapangan serta kesadaran masyarakat seringkali tidak selaras. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dikaji dari berbagai segi secara menyeluruh dengan menggunakan pendekatan sistem. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengevaluasi lokasi perumahan eksisting berdasarkan kesesuaian lahan untuk perumahan, (2) mengidentifikasi faktor pemilihan perumahan di zona buruk untuk perumahan, (3) mengetahui besarnya perubahan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan perumahan di zona buruk perumahan, (4) merancang model dinamis perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan di zona buruk perumahan dan (5) mengusulkan pilihan kebijakan dalam pembangunan perumahan berkelanjutan di zona buruk untuk perumahan. Analisis spasial evaluasi kesesuaian lahan untuk perumahan mengunakan software ArcView 3.3. Faktor pemilihan perumahan di zona buruk untuk perumahan dianalisis dengan analisis faktor utama (principal component analysis) menggunakan software SPSS 11.5 Analisis perubahan lingkungan untuk komponen tingkat pelayanan lalu-lintas menggunakan analisis level of loss, analisis kualitas fisik-kimia air dan udara dengan menggunakan pendekatan indeks kesehatan lingkungan air dan udara, pola perubahan volume lalu lintas dan kualitas fisik-kimia air serta udara dengan pendekatan exponential rate of growth, analisis kualitas fisik-kimia tanah dengan pendekatan analisis perubahan kualitas kesuburan tanah, analisis komponen sosial, ekonomi dan kependudukan dengan pendekatan geometric rate of growth dan dianalisis dengan software excel dan Powersim versi 2.5. Model dinamis perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan di zona buruk perumahan dianalisis dengan pendekatan sistem dinamis menggunakan Powersim versi 2.5C. Analisis kebijakan dalam pembangunan perumahan berkelanjutan di zona buruk perumahan dipilih berdasarkan pendekatan hasil validasi dan sensitivitas simulasi model menggunakan Powersim versi 2.5C. Hasil analisis spasial zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan di kawasan budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan menunjukkan 7.902,36 Ha (68,22%) dari total luas lahan berada di zona buruk untuk perumahan. Sedangkan hasil analisis spasial evaluasi lokasi perumahan eksisting menunjukkan 1022,869 Ha (45,90%) luas terbangun berada di zona buruk
perumahan. Zona buruk untuk perumahan dengan faktor pembatas : drainase (buruk sampai sangat buruk), kepekaan terhadap erosi (sedang sampai berat), bencana banjir (jarang sampai sangat sering), kemiringan lereng (berbukit sampai sangat curam), tekstur tanah (halus sampai agak halus), batuan dan kerikil (banyak sampai sangat banyak), kedalaman efektif tanah (dalam sampai sedang). Hasil analisis spasial menunjukkan telah terjadi konversi lahan di kawasan lindung menjadi kawasan perumahan seluas 144,41 Ha, 78,49% berada di daerah hutan lindung dan 21,51% berada di daerah konservasi. Hasil pengujian ulang analisis faktor utama (PCA), menunjukkan angka Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy dan Barlett’s Test of Sphericity sebesar 0,773 dengan signifikansi 0,000. Berdasarkan angka eigenvalue terbentuk tiga komponen utama. Hasil rotated component matrix menunjukkan bahwa komponen satu (faktor lokasi) terdiri dari : variabel lahan yang luas, panorama indah dan sejuk, aksesibilitas jalan, kedekatan dengan tempat kerja merupakan faktor terbesar responden memilih tinggal di Kawasan Bandung Utara dengan nilai skor keragaman sebesar 4,908. Komponen dua (faktor fasilitas) terdiri dari : sistem drainase yang baik, pengolahan limbah padat dan ketersediaan fasos. dengan nilai skor keragaman sebesar 1,656. Komponen tiga (faktor harga) adalah harga lahan dengan nilai skor keragaman sebesar 1,090. Walaupun sebagian besar responden (54,7%-74,6%) telah mendapatkan informasi tentang konservasi Kawasan Bandung Utara, kemampuan lahan dan kesesuaian lahan untuk perumahan tetapi dalam pelaksanaannya tidak mempertimbangkan kemampuan dan kesesuaian lahan untuk perumahan, tidak peduli dengan luas tutupan lantai rumah serta tidak memperhatikan konstruksi rumah tahan gempa. Perubahan lingkungan yang terjadi di zona buruk untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang berupa menurunnya tingkat pelayanan jalan (kelas C, D,E dan F); menurunnya kualitas udara dan kebisingan di atas baku mutu ; menurunnya kualitas air; meningkatnya kuantitas air yang menimbulkan bencana banjir dan longsor; menurunnya kesuburan tanah, berkurangnya keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang merusak ekosistem; pertambahan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, berkurangnya alokasi lahan untuk perumahan dan kawasan lindung, meningkatnya dana bencana. Berdasarkan hasil analisis paired sample T Test diperoleh angka signifikansi (P value) sebesar 0,017 atau lebih kecil dari α 0,05 dan t hitung (2,634) > t tabel (2,109) dengan angka tersebut dapat disimpulkan bahwa pada taraf kepercayaan 95% berbeda secara nyata, yang berarti Ho ditolak artinya bahwa ada perbedaan perubahan yang berarti antara sebelum dan sesudah pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. Simulasi model kajian perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan menunjukkan bahwa bertambahnya jumlah penduduk meningkatkan jumlah luas lahan terbangun. Luas lahan kawasan budidaya akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2047 dan luas lahan kawasan lindung akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2058. Luas lahan terbangun bertambah berdampak pada : menurunnya tingkat kesehatan lingkungan akibat pecemaran air dan udara; menurunnya ketersediaan produksi pertanian dan volume biomassa hutan lindung; menurunnya keragaman hayati (biodiversity), menurunnya keindahan dan kenyamanan lingkungan yang
berdampak pada menurunnya nilai manfaat jasa lingkungan; meningkatnya dana pembangunan untuk menanggulangi kerusakan lingkungan akibat banjir dan longsor dan lebih rendahnya dana pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan yang diterima penduduk dibandingkan dengan dana bencana. Model dinamis kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk lahan perumahan memenuhi kriteria validasi AME (absolute mean error), AVE (absolute variation error), KF (Kalman filter), KD (koefisien diskrepansi) dan DB (Durbin Watson) sehingga dapat dijadikan acuan untuk prediksi di masa depan serta acuan untuk menyusun kebijakan penggunaan lahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. Pilihan kebijakan-kebijakan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang, adalah (1) Kebijakan yang terkait dengan pengendalian laju pembangunan perumahan dengan memanfaatkan instrumen teknologi citra satelit dan sistem informasi geografis khususnya dalam mengimplementasikan penyempurnaan penataan ruang untuk pembangunan perumahan di zona yang baik dan aman serta mengimplementasikan instrumen hukum, perundangan, program insentifdisinsentif bagi pembangunan perumahan yang berkelanjutan, (2) Kebijakan standar penggunaan lahan perumahan per orang yang efisien, efektif tetapi optimal untuk menekan laju pembangunan perumahan serta laju limpasan air permukaan, (3) Kebijakan pengaturan keluar masuknya orang untuk tinggal di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang untuk mengendalikan laju pertambahan jumlah penduduk yang ditekankan pada pembatasan migrasi masuk untuk menetap karena nilai sensitivitas migrasi masuk tergolong terbesar terhadap jumlah penduduk dibandingkan variabel-variabel kelahiran, kematian dan migrasi keluar, (4) Kebijakan alokasi lahan kawasan lindung yang ketat di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang untuk menghentikan kegiatan konversi lahan kawasan lindung menjadi lahan perumahan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang lebih cepat, tepat, mudah dan murah, (5) Kebijakan peningkatan pendapatan daerah melalui kegiatan yang memanfaatkan keunggulan wilayah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang serta mengalokasikan dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat mengurangi bencana banjir dan longsor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Kerangka Pemikiran 1.3. Perumusan Masalah 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Manfaat Penelitian 1.6. Hipotesis Penelitian 1.7. Novelty Penelitian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penataan Ruang 2.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan 2.2.1. Aspek-Aspek Kebijakan Penggunaan Lahan 2.2.2. Pengertian Evaluasi Lahan 2.2.3. Kelas Kesesuaian Lahan 2.2.4. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Perumahan 2.2.5. Aplikasi SIG untuk Analisis Evaluasi Lahan Perumahan 2.3. Pemilihan Lokasi Perumahan 2.3.1. Teori Lokasi 2.3.2. Lokasi Alokasi 2.3.3. Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Perumahan 2.4. Pembangunan Perumahan Berkelanjutan 2.5. Analisis Sistem Dinamis 2.6. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu tentang Lahan Perumahan di Kawasan Bandung Utara III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Keadaan Geografis 3.1.1. Kabupaten Bandung 3.1.2. Kecamatan Lembang 3.1.3. Kecamatan Cimenyan 3.1.4. Kecamatan Cilengkrang 3.2. Aspek Kependudukan dan Sosial 3.2.1. Kabupaten Bandung 3.2.2. Kecamatan Lembang 3.2.3. Kecamatan Cimenyan 3.2.4. Kecamatan Cilengkrang
i vi ix 1 1 4 8 8 9 9 9 11 11 15 15 17 18 20 22 27 29 31 31 38 43 dan 45 52 52 52 53 53 54 54 54 57 58 59
3.3. Aspek Ekonomis 3.3.1. Kabupaten Bandung 3.3.2. Kecamatan Lembang 3.3.3. Kecamatan Cimenyan 3.3.4. Kecamatan Cilengkrang 3.4. Struktur Tata Ruang 3.4.1. Kabupaten Bandung 3.4.2. Kecamatan Lembang 3.4.3. Kecamatan Cimenyan 3.4.4. Kecamatan Cilengkrang 3.5. Alokasi Pemanfaatan Tata Ruang 3.5.1. Kabupaten Bandung 3.5.2. Kecamatan Lembang 3.5.3. Kecamatan Cimenyan 3.5.4. Kecamatan Cilengkrang 3.6. Sumberdaya Alam 3.6.1. Kabupaten Bandung 3.6.2. Kecamatan Lembang 3.6.3. Kecamatan Cimenyan 3.6.4. Kecamatan Cilengkrang IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Bahan dan Alat 4.2.1. Aspek Spasial 4.2.2. Aspek Fisik, Kimia, Biologi Lingkungan 4.2.3. Aspek Sosial dan Ekonomi 4.3. Jenis Data yang Dikumpulkan 4.3.1. Data Spasial 4.3.2. Data Fisik, Kimia dan Biologi Lingkungan 4.3.3. Data Sosial dan Ekonomi 4.4. Teknik Penetapan Contoh (Sampling Technique) 4.5. Analisis Data 4.5.1. Analisis Data Spasial 4.5.2. Analisis Data Fisik, Kimia dan Biologi Lingkungan 4.5.3. Analisis Data Sosial dan Ekonomi 4.6. Analisis Sistem, Model dan Simulasi 4.6.1. Diagram Analisis Sistem 4.6.2. Validasi Model 4.6.3. Sensitivitas Parameter dan Model 4.6.4. Simulasi Model 4.6.5. Analisis dan Perumusan Kebijakan
60 60 62 62 63 63 63 65 66 68 70 70 72 73 73 74 74 81 81 83 85 85 85 85 86 86 86 88 89 89 90 92 92 100 103 107 107 109 110 111 111
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Perumahan di Zona Buruk untuk Lahan Perumahan 5.2. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pemilihan Lokasi Perumahan di Zona Buruk Perumahan 5.2.1. Analisis Faktor untuk Variabel yang Berpengaruh terhadap Pemilihan Lokasi Perumahan di Zona Buruk Perumahan 5.2.2. Status Sosial dan Ekonomi 5.2.3. Tata Cara Pengelolaan Infrastruktur Perumahan 5.2.4. Kondisi Infrastruktur di Lokasi Perumahan 5.2.5. Tingkat Pemahaman dan Sikap Responden 5.2.6. Analisis Kebutuhan Responden terhadap Program Program Pembangunan 5.3. Perubahan Lingkungan di Zona Buruk untuk Lahan Perumahan 5.3.1. Tingkat Pelayanan Lalu Lintas Kendaraan 5.3.2. Komponen Fisik dan Kimia Udara 5.3.3. Komponen Fisik dan Kimia Air 5.3.4. Komponen Fisik dan Kimia Tanah 5.3.5. Flora dan Fauna 5.3.6. Populasi 5.3.7. Luas Lahan Perumahan di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung 5.3.8. Debit Aliran Air 5.3.9. Frekuensi Bencana 5.3.10. Dana Bencana 5.3.11. Dana Pembangunan 5.3.12. Kependudukan 5.4. Model Dinamis Perubahan Lingkungan di Zona Buruk untuk Perumahan 5.4.1. Diagram Sebab Akibat 5.4.2. Model Diagram Alir 5.4.3. Uji Validasi 5.5. Analisis Kebijakan Pembangunan Perumahan Berkelanjutan di Zona Buruk Perumahan 5.5.1. Kebijakan Sektoral dari Sensitivitas Parameter 5.5.2. Urutan Kebijakan dari Sensitivitas Model VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 6.2. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
112 112 119 119
122 123 124 125 126 128 128 138 150 173 189 194 198 199 201 202 203 205 206 206 211 247 249 249 253 254 254 256 258 265
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1. Kerangka pemikiran kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan
7
2. Diagram alir tahapan evaluasi kesesuian lahan perumahan
98-99
3. Langkah-langkah analisis faktor pemilihan lokasi perumahan
106
4. Diagram analisis sistem pembangunan perumahan
107
5. Diagram sebab akibat perubahan lingkungan pembangunan perumahan
108
6. Peta kesesuaian lahan perumahan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang, dan Lembang Kabupaten Bandung 7. Peta kondisi nyata wilayah terbangun di zona kesesuaian lahan untuk perumahan 8. Peta kondisi nyata wilayah terbangun di zona kesesuaian lahan untuk perumahan di Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung 9. Diagram faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemilihan lokasi perumahan
116
117 118 121
10. Distribusi status sosial ekonomi penduduk
123
11. Tatacara pengelolaan infrastruktur
124
12. Kondisi pengelolaan infrastruktur perumahan
125
13. Kebutuhan responden terhadap pengembang perumahan
126
14. Kebutuhan responden terhadap pemerintah
127
15. Kebutuhan responden terhadap masyarakat
127
16. Hasil survey lalu lintas Cilengkrang dan Lembang
di
Kecamatan
Cimenyan, 129
17. Fluktuasi tingkat pelayanan jalan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
131
18. Tingkat pelayanan ruas Jalan Cikutra-Bojong Koneng
132
19. Tingkat pelayanan ruas Jalan PPH.Mustopa-Cimuncang
132
20. Tingkat pelayanan ruas Jalan PPH.Mustopa-Padasuka
133
21. Tingkat pelayanan ruas Jalan PPH.Mustopa-Jatihandap
134
22. Tingkat pelayanan ruas Jalan Raya Ujung BerungCilengkrang
134
Nomor Teks 23. Tingkat pelayanan ruas Jalan Raya Lembang-Setiabudhi
Halaman 135
24. Pola perubahan volume lalu lintas Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
137
25. Pola perubahan kualitas udara parameter NOx, Pb, HC dan kebisingan di Kecamatan Cimenyan
140
26. Pola perubahan kualitas udara parameter SO2, CO, O3 dan SPM 10 di Kecamatan Cimenyan
141
27. Pola perubahan kualitas udara untuk parameter Hidrokarbon dan kebisingan di Kecamatan Cilengkrang
144
28. Pola perubahan kualitas udara parameter NOx, SPM10 dan Pb di Kecamatan Cilengkrang 29. Pola perubahan kualitas udara untuk parameter CO, O3 dan SO2 di Kecamatan Cilengkrang 30. Pola perubahan kualitas udara untuk parameter Debu (SPM10), Pb, Hidrokarbon dan Kebisingan di Kecamatan Lembang 31. Pola perubahan kualitas udara parameter CO, O3, SO2 dan NOx di Kecamatan Lembang
145
145 148
149
32. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter TDS dan kekeruhan di Kecamatan Cimenyan
159
33. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter MBAS dan Fe di Kecamatan Cimenyan
160
34. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter BOD, COD, Minyak dan Lemak di Kecamatan Cimenyan
161
35. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter TDS dan kekeruhan di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang
167
36. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter MBAS dan Fe di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang
168
37. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter BOD, COD dan Fenol di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang
169
38. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter Amonia, Minyak dan Lemak di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang
170
39. Pola perubahan kualitas air sungai untuk parameter TDS dan kekeruhan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
172
40. Pola perubahan kualitas air sungai untuk parameter Besi (Fe) dan MBAS di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
172
vii
Nomor Teks 41. Pola perubahan kualitas air sungai untuk parameter BOD dan COD di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
Halaman 173
42. Pola perubahan kualitas air sungai untuk parameter Minyak dan Lemak serta Coli di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
173
43. Diagram sebab akibat loop I : Populasi-Pembangunan rumah baru-Indeks kualitas udara/air-Kematian dini akibat pencemaran, Ketersediaan produksi pertanian perkapita/volume biomasa hutan
207
44. Diagram sebab akibat loop II : Populasi-Lahan terbangunJumlah flora-fauna yang hilang-Indeks biodiversity-indeks jasa lingkungan-Nilai tambah manfaat jasa pembangunan lingkungan
208
45. Diagram sebab akibat loop III : Populasi-Lahan terbangunLimpasan air permukaan-Bencana-Dana bencana-Dana pendidikan dan kesehatan
209
46. Model diagram alir loop I1 : Populasi-Pembangunan rumah baru-luas lahan terbangun-volume lalu lintas- Indeks kualitas udara-Kematian dini akibat pencemaran udara
211
47. Grafik laju, pertambahan populasi dan jumlah populasi di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
213
48. Grafik laju pembangunan rumah dan jumlah rumah terbangun di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang 49. Grafik penambahan lahan terbangun(a) dan perubahan luas lahan terbangun perumahan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara 50. Grafik peningkatan jumlah lalu lintas di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
214
215 216
51. Grafik penurunan indeks kualitas udara di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
217
52. Grafik indek kesehatan lingkungan udara dan jumlah kematian dini akibat pencemaran udara
218
53. Model diagram alir loop I2 : Populasi-Pembangunan rumah baru-luas lahan terbangun/belumterbangun-pencemaran airIndeks kualitas air-Kematian dini akibat pencemaran air
218
viii
Nomor
Teks
Halaman
54. Grafik indek kualitas air sungai pagi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
221
55. Grafik indek kualitas air sungai sore di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkran
221
56. Grafik indek kesehatan lingkungan air dan jumlah kematian dini akibat pencemaran air
222
57. Model diagram alir loop I3 : Populasi-Pembangunan rumah baru-luas lahan terbangun-Luas kawasan budidaya/lindungketersediaan produksi pertanian perkapita/volumebiomasa hutan lindung
223
58. Grafik pengurangan luas lahan di kawasan budidaya dan lindung yang terbangun perumahan
224
59. Grafik pengurangan luas lahan sawah, semak, kebun campuran, tegalan yang terbangun perumahan
225
60. Grafik pengurangan produksi padi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
226
61. Grafik ketersediaan produksi padi perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
226
62. Grafik pengurangan produksi cabe, bawah merah, bawang daun di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
227
63. Grafik ketersediaan produksi cabe, bawah merah, bawang daun perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
227
64. Grafik pengurangan produksi jagung, ubi kayu, ubi jalar di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
229
65. Grafik ketersediaan produksi jagung, ubi kayu, ubi jalar perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
229
66. Grafik pengurangan produksi kacang kedele dan kacang tanah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
230
67. Grafik ketersediaan produksi kacang kedele dan kacang tanah perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
230
68. Grafik pengurangan produksi kubis, tomat, kentang dan sawi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
231
69. Grafik ketersediaan produksi kubis, tomat, kentang dan sawi perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
231
ix
Nomor
Teks
Halaman
70. Grafik pengurangan produksi pepaya, pisang, alpukat di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
232
71. Grafik ketersediaan produksi pepaya, pisang, alpukat perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
221
72. Grafik pengurangan produksi kopi, kelapa dan cengkeh di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
221
73. Grafik ketersediaan produksi kopi, kelapa dan cengkeh perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
222
74. Grafik pengurangan volume biomasa hutan acacia mangium, jati, mahoni, pinus, rasamala dan rimba campuran di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
234
75. Grafik ketersediaan volume biomasa hutan acacia mangium, jati, mahoni, pinus, rasamala dan rimba campuran perkapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
235
76. Model diagram alir loop II :Populasi-lahan terbangunkonversi lahan- indeks biodiversity-indeks jasa lingkungannilai manfaat pembangunan
235
77. Grafik pertambahan perumahan
konbersi
lahan
78. Grafik penurunan indek biodiversity Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
menjadi di
lahan
Kecamatan
238
79. Grafik penurunan indek keindahan dan kenyamanan lingkungan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
226
80. Nilai tambah manfaat pembangunan jasa lingkungan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
241
81. Model diagram alir loop III : Populasi-Lahan terbangunLimpasan air permukaan-Bencana-Dana bencana-Dana pendidikan dan kesehatan perkapita
242
82. Grafik penambahan lahan terbangun(a) dan perubahan luas lahan terbangun perumahan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara
244
83. Grafik pertambahan debit aliran air permukaan dan frekuensi kejadian banjir dan longsor
245
84. Grafik dana penanggulangan bencana banjir dan longsor
245
x
Nomor
Teks
Halaman
85. Grafik dana pembangunan yang merupakan selisih antara pendapatan asli daerah dengan dana bencana
246
86. Grafik Dana pembangunan bidang kesehatan dan pendidikan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
247
87. Diagram alir uji validasi AME dan AVE
247
88. Diagram alir uji validasi Kalman Filter dan Koefisien Diskrepansi U Theil’s
248
89. Diagram alir uji validasi Durbin Watson
248
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
Halaman
1. Peta tekstur tanah di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
265
2. Peta kelas lereng di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
266
3. Peta keadaan drainase di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
267
4. Peta kedalaman efektif tanah di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
268
5. Peta erosi tanah di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
269
6. Peta keadaan batuan kerikil dan batuan kecil di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
270
7. Peta ancaman banjir di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
271
8. Persamaan model kajian perubahan lingkungan di zona buruk perumahan dengan Powersim versi 2.5C
272
9. Instrumen penelitian komponen sosial ekonomi kajian perubahan lingkungan di zona buruk perumahan (studi kasus : di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung)
295
10. Analisis data sosial ekonomi kajian perubahan lingkungan di zona buruk perumahan
299
11. Hasil analisis faktor pemilihan lokasi perumahan di zona buruk perumahan dengan SPSS 11.5
307
12. Hasil simulasi model kajian perubahan lingkungan di zona buruk perumahan dengan Powersim versi 2.5C
311
13. Instrumen survei lalu lintas
341
14. Hasil survei lalu lintas
342
xii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan di Kota Bandung terkait dengan tersedianya lahan yang secara fisik, sosial dan ekonomi terjangkau oleh masyarakat. Kondisi topografis yang bergunung dan berbukit di wilayah utara dan datar di wilayah selatan Kota Bandung memberikan karakteristik pola perumahan dengan citra sosial ekonomi tempat lokasi perumahan berada. Perumahan di wilayah selatan Kota Bandung atau di selatan rel jalan kereta api cenderung ditempati oleh masyarakat dengan strata sosial menengah ke bawah, sedangkan perumahan yang berlokasi di wilayah utara Kota Bandung cenderung ditempati oleh masyarakat dengan strata sosial menengah ke atas. Rumah secara ideal merupakan kebutuhan keluarga untuk membina anggota keluarga dalam bidang pendidikan, sosial dan ekonomi, selayaknya secara sosial dan fisik memberikan kenyamanan dan keamanan. Tetapi tekanan jumlah penduduk terhadap lahan khususnya bagi perumahan telah mengabaikan aspek kenyamanan dan keamanan karena terbatasnya finansial dan aksesibilitas terhadap informasi ketersediaan lahan perumahan. Masyarakat cenderung untuk membangun rumah tanpa informasi yang memadai sehingga menimbulkan banyak masalah di lingkungan sekitar perumahan atau memberikan dampak terhadap wilayah secara keseluruhan. Penyimpangan penggunaan lahan untuk perumahan selain menimbulkan masalah pengurangan kapasitas lahan untuk menyerap air juga menimbulkan masalah pengelolaan dan penanggulangan limbah cair dan padat yang memperburuk kondisi sanitasi lingkungan. Kawasan Bandung Utara yang memiliki kondisi ekologis yang nyaman karena berada pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut (d.p.l) juga merupakan sasaran masyarakat untuk membangun perumahan, walaupun aksesibilitas untuk memperoleh air bersih sangat sulit dan mahal. Keluarnya berbagai peraturan pemerintah daerah mengenai larangan untuk membangun perumahan di kawasan
2
Bandung Utara memiliki maksud yaitu untuk melindungi kawasan resapan air agar kecepatan limpasan air tidak bertambah dan menghindarkan bahaya longsor serta erosi di wilayah yang memiliki kelerengan > 30% dan menghindarkan bencana banjir di wilayah selatan Kota Bandung dengan kelerengan 0 s.d. 3%. Sebelum otonomi daerah ada sembilan peraturan yang dikeluarkan untuk mengamankan kawasan Bandung Utara, tetapi kualitas lingkungan justru semakin merosot tajam setelah otonomi daerah karena peraturan yang ada dengan kesadaran masyarakat seringkali tak selaras sehingga perusakan terus terjadi. Pembangunan perumahan berkelanjutan di Kota Bandung sangat mendesak untuk diimplementasikan dan diharapkan mampu menghindarkan serta memperbaiki kondisi ekologis yang telah terjadi di Kota Bandung. Pembangunan perumahan berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan atau implementasi dari pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang yang layak huni, layak usaha, layak berkembang, dan layak lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup (Tim Penyusun Agenda 21 Sektoral, 2001). Pembangunan berkelanjutan di wilayah Kota Bandung diharapkan mampu mengakomodasi pembangunan sosial ekonomis, pembangunan fisik lingkungan dan pembangunan politik yang diharapkan mampu menghindarkan dan memperbaiki kondisi ekologis yang telah terjadi di Kota Bandung. Indikator
keberhasilan
pembangunan
sosial
ekonomis,
yaitu
semakin
meningkatnya PDRB di wilayah Kota Bandung, indikator keberhasilan pembangunan fisik lingkungan berupa terpeliharanya sumberdaya air, tanah dan udara di wilayah Bandung yang nyaman secara ekologis sedangkan indikator keberhasilan pembangunan politik dengan indikator keamanan dan ketentraman kondisi masyarakat di wilayah Bandung. Pembangunan ekonomis di wilayah Bandung menunjukkan dominasi terhadap pembangunan politik dan pembangunan lingkungan. Kawasan Bandung Utara telah banyak digunakan untuk kawasan perumahan, Sungai Citarum yang seharusnya dijaga kualitas airnya banyak digunakan sebagai tempat pembuangan limbah padat, cair dan gas dari rumah tangga maupun industri yang
3
menimbulkan bencana banjir dan menyebarnya wabah penyakit. Deviasi dari upaya konservasi menjadi deplesi sumberdaya lahan di wilayah Bandung salah satu penyebabnya adalah kawasan perumahan. Persepsi pemilik lahan dan pengusaha di Kabupaten Bandung, hanya melihat tanah sebagai faktor produksi dengan tuntutan produksi yang tinggi dan berkembang menjadi tanah sebagai komoditas yang dapat saling dipertukarkan dalam organisasi pasar seperti layaknya komoditas ekonomi lainnya. Kompetisi penggunaan lahan di atas sejalan dengan kaidah “The highest and best use of land”, yang pada akhirnya menggeser aktivitas sewa (land rent) yang ekonomi lahannya lebih rendah dan diganti oleh aktivitas yang lebih produktif (Barlowe,1986). Dari fenomena di atas, kawasan tersebut diduga akan mengalami degradasi lahan atau penurunan kualitas lahan. Secara teknis, lahan yang terdegradasi dapat dikelola melalui perbaikan parameter-parameter kualitas lahan yang mengalami penurunan.
Sumberdaya
lahan
yang
terdegradasi
dan
tidak
dikelola
akan
menghilangkan fungsi lahan sebagai sumber produksi alami yang berkelanjutan. Talkurputra (1999), mengatakan bahwa pada awal Pelita IV luas lahan yang nilai produksi alamiahnya menurun akibat berbagai kegiatan sehingga menjadi lahan kritis telah mencapai 8,2 juta hektar dengan tingkat pertambahan setiap tahunnya adalah 400.000 hektar. Penyimpangan penggunaan lahan sebagai kawasan perumahan, menimbulkan gagasan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan dan kemampuan lahan di Kawasan Bandung Utara serta menganalisis perubahan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan perumahan tersebut. Evaluasi kesesuaian lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu, dengan mempergunakan
sistem informasi geografis sebagai perangkat analisis keruangan.
Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai perencanaan tataguna tanah yang rasional sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain
4
Analisis perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara ditinjau dari segi fisik lingkungan, sosial dan ekonomi, dengan operasi sistem pemodelan sebagai perangkat analisis. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan Rencana Tataguna Tanah dan RTRW Kabupaten Bandung. Identifikasi
faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
kesesuaian
dan
kemampuan lahan untuk perumahan merupakan awal untuk mengetahui faktor-faktor penarik dan pendorong terjadinya fenomena deviasi penggunaan lahan. Faktor-faktor yang telah dikenali kemudian dikaji sehingga akan dapat diperoleh gambaran menyeluruh atau sebagian dari fenomena-fenomena yang terjadi. Dukungan data spasial (keruangan) dan data atribut statistik dengan demikian menjadi sangat penting bagi analisis spasial, ekonomi, fisik dan kimia lingkungan yang akan dilakukan. Analisis data spasial dan atribut statistik akan memberikan informasi kecenderungan yang terjadi serta proyeksi yang akan terjadi di masa depan. Model yang akan dikembangkan untuk penelitian mengenai kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk lahan perumahan adalah model eksplanatori (mekanistis) dinamis dengan memanfaatkan sistem informasi geografis. Model yang dibangun akan disimulasikan dengan menggunakan Powersim Versi 2.5c untuk memperoleh sensitivitas parameter dan model dalam bentuk tabel dan grafik.
1.2. Kerangka Pemikiran Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Masalah penggunaan lahan di Kawasan Bandung Utara diwarnai dengan isu fisik lingkungan atau isu aktivitas. Kegiatan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan dan pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara pada lokasi yang sama, langsung maupun tidak langsung memberikan dampak bagi pengembangan wilayah dan kesinambungan pembangunan di Kawasan Bandung Utara.
5
Penggunaan lahan untuk pembangunan perumahan, ternyata menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan
karena fenomena
eksploitasi lahan di Kawasan Bandung Utara menimbulkan masalah penyimpangan penggunaan lahan dan merupakan pelanggaran UU No. 26 tahun 2007. Penyimpangan penggunaan lahan, menimbulkan konflik penggunaan lahan dan merupakan salah satu dari masalah penggunaan lahan. Konflik penggunaan lahan terjadi jika satu aktivitas memberikan dampak negatif terhadap aktivitas lain pada lahan yang sama. Pergeseran dan berkurangnya penggunaan lahan pertanian produktif terutama yang berbasis ekologi lahan basah, dewasa ini terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat dan bersamaan dengan itu kebutuhan pangan penduduk pun meningkat (Jayadinata, 1999). Konflik penggunaan lahan untuk perumahan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Kawasan resapan air pada kenyataannya dieksploitasi untuk kawasan perumahan serta menimbulkan kekhawatiran akan keberlangsungannya sumberdaya lahan akibat penurunan kualitas lahan. Deviasi penggunaan lahan di Kawasan Bandung Utara tetap berlangsung dikarenakan pemantauan dan pengendalian pembangunan perumahan belum optimal meskipun pihak-pihak yang terkait sudah memperoleh informasi manfaat serta kerugian secara fisik, ekologis, sosial dan ekonomis. Selain itu rendahnya penegakkan hukum yang ada disertai implementasi Rencana Tata Ruang yang belum sepenuhnya dilaksanakan di lapangan. Penyimpangan penggunaan lahan ini menimbulkan gagasan untuk membangun suatu model pengamanan lingkungan diawali dengan pekerjaan evaluasi lahan yang bertujuan mengendalikan serta memantau penggunaan lahan dengan mudah, cepat dan tepat. Evaluasi lahan untuk pembangunan perumahan akan ditinjau berdasarkan tinjauan kesesuaian dan kemampuan lahan dengan melakukan analisis fisik, kimia, biologi lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang telah dijadikan kawasan perumahan. Analisis fisik, kimia, biologi lingkungan bertujuan untuk mengetahui terjadinya degradasi lingkungan akibat pembangunan perumahan. Penentuan kualitas lingkungan dilakukan melalui pengkajian parameter penentu kualitas lingkungan secara
6
menyeluruh. Analisis dampak lingkungan ini merupakan kelanjutan dari analisis spasial untuk memperoleh alternatif kawasan perumahan. Analisis spasial adalah analisis keruangan yang menitikberatkan pada tiga unsur geografi, yaitu jarak (distance), interaksi (interaction) dan gerakan (movement) (Bintarto dan Hadisumarno, 1982). Pada tahap pasca lapangan, operasi GIS (Geographical Information System) meliputi operasi berupa display peta tematik, perhitungan luas dan keliling serta analisis statistik (tabelaris) yang dilanjutkan dengan operasi pemodelan proyeksi tataguna lahan dan aktivitas lahan serta simulasi model variasi keluaran. Gagasan analisis perubahan lingkungan yang dipergunakan untuk kawasan perumahan walaupun dimulai oleh adanya isu lingkungan tetap harus memperhatikan aspek sosial ekonomi. Suatu hal yang tidak adil jika gagasan model perubahan lingkungan ini direalisasikan tanpa memperhatikan aspek ekonomi mikro maupun makro serta menimbulkan kemandekan berusaha dan kerugian bagi berbagai pihak terutama bagi pengusaha. Oleh karena itu,
analisis perubahan lingkungan untuk
perumahan di Kawasan Bandung Utara, selain ditinjau dari aspek fisik, kimia biologi lingkungan juga ditinjau dari aspek sosial dan ekonomi. Model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model mekanistis atau model explanatory, yaitu model yang dibangun untuk menjelaskan dinamika internal pusat kajian suatu sistem secara tepat dan menjelaskan penyebab yang ditinjau (Grant, 1996). Analisis perubahan lingkungan diusulkan agar kemampuan dan kualitas lahan dapat ditingkatkan, pertimbangan lain yaitu melakukan upaya untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan, menghindari kerusakan lingkungan yang lebih parah, upaya pemerataan kegiatan ekonomi di lokasi-lokasi lain dan memberikan jawaban pemecahan masalah konflik penggunaan lahan di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung. Kerangka Pemikiran disajikan pada Gambar 1.
7
NORMATIF RTRW KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2004
NORMATIF KONSERVASI KAWASAN BANDUNG UTARA (SE GUBERNUR JABAR 2004) (INS BUPATI BANDUNG 1994)
FENOMENA FAKTUAL PEMBANGUNAN PERUMAHAN YANG INTENSIF DI BANDUNG UTARA
ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERUMAHAN DI KABUPATEN BANDUNG BERDASARKAN USDA 1971
PETA KAWASAN TERBANGUN DI KAWASAN BANDUNG UTARA DARI HASIL PLOTTING CITRA QUICKBIRD DENGAN RESOLUSI 0,6 METER
PETA ZONASI KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN
HASIL EVALUASI KAWASAN TERBANGUN TERHADAP ZONASI KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN (TUJUAN I PENELITIAN)
PENYIMPANGAN PEMBANGUNAN RUMAH DI ZONA BURUK UNTUK PERUMAHAN DI KAWASAN BANDUNG UTARA
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PEMILIHAN LOKASI PEMBANGUNAN RUMAH DI ZONA BURUK
PERUBAHAN LINGKUNGAN (KOMPONEN FISIK -KIMIA, BIOLOGI, SOSIAL EKONOMI) AIR - TANAH - LALU-LINTAS - UDARA - SOSIAL - EKONOMI (TUJUAN III)
PCA (PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS)
(MSA), EIGEN VALUE RANGKING FAKTOR PEMILIHAN LOKASI (TUJUAN II)
c
STUDI PUSTAKA DIAGRAM SEBAB AKIBAT PERUBAHAN LINGKUNGAN DI ZONA BURUK UNTUK PERUMAHAN
DOKUMEN KAJIAN EMPIRIK
DISKUSI PAKAR
MODEL DINAMIS PERUBAHAN LINGKUNGAN DI ZONA BURUK UNTUK PERUMAHAN (TUJUAN IV)
TIRUAN SISTEM NYATA
DATA EMPIRIK
VALIDASI MODEL
DATA SIMULASI
SENSITIVITAS MODEL
PENGAMBILAN KEBIJAKAN (MUHAMMADI, AMINULLAH DAN SOESILO; 2001) (TUJUAN V)
Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan 1.3. Perumusan Masalah
8
Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Sejumlah besar pembangunan perumahan secara faktual menyimpang dari kesesuaian lahan yang baik untuk perumahan atau berada di zona buruk untuk perumahan.
2.
Faktor-faktor pemilihan lokasi perumahan di zona buruk untuk perumahan secara faktual berbeda dan menyimpang dari faktor-faktor pemilihan lokasi perumahan di zona baik perumahan.
3.
Perubahan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan menimbulkan dampak negatif lebih besar daripada dampak positifnya.
4.
Pola hubungan komponen-komponen lingkungan empiris belum dapat menjelaskan adanya penyimpangan pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan secara menyeluruh.
5.
Kebijakan-kebijakan untuk mengurangi degradasi lingkungan dan penipisan sumberdaya alam akibat pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan belum didasari dengan kajian pendekatan eksplanatoris.
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan untuk : 1. Mengevaluasi lokasi perumahan yang ada saat ini berdasarkan kesesuaian lahan untuk perumahan, 2. Mengidentifikasi faktor-faktor pemilihan lokasi perumahan di zona buruk untuk perumahan, 3. Mengetahui besarnya perubahan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan, 4. Merancang model dinamis perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan, 5. Menyusun alternatif kebijakan dalam pembangunan perumahan berkelanjutan di zona buruk untuk perumahan.
9
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah : 1. Sebagai pedoman pengambil kebijakan untuk menghindarkan penggunaan dan penataan ruang yang tidak semestinya serta mencegah terjadinya deplesi sumberdaya alam secara cepat sehingga dapat menyebabkan bencana dan kemiskinan bagi generasi yang akan datang, 2. Sebagai masukan untuk perencanaan perumahan dalam meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan yang berasaskan lestari, optimal, serasi dan seimbang demi terwujudnya pembangunan perumahan yang berkelanjutan.
1.6. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah : “ Terdapat
perbedaan perubahan kualitas lingkungan yang berarti antara sebelum
pembangunan perumahan dengan sesudah pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan “.
1.7. Novelty Penelitian Sesuatu yang baru dari penelitian mengenai kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan dapat ditinjau dari komponen masukan, komponen proses dan komponen keluarannya. Sesuatu yang baru dari penelitian ini dikaji dari komponen masukannya, yaitu : data yang diperoleh bervariasi dalam jenis data, dimensi waktu dan tingkat ketelitiannya untuk memperoleh hasil kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan. Sesuatu yang baru dari penelitian ini dikaji dari komponen prosesnya, yaitu : a. Analisis kesesuaian lahan untuk perumahan dijadikan sebagai acuan evaluasi perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan. b. Evaluasi terintegrasi komponen fisik-kimia, biologi, sosial, ekonomi dan budaya untuk melihat perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan.
10
c. Analisis-analisis parsial komponen fisik-kimia, biologi, sosial, ekonomi dan budaya disintesiskan dalam bentuk model dinamis perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan serta disimulasikan. Sesuatu yang baru dari penelitian ini dikaji dari komponen keluarannya, yaitu : “ Penyusunan alternatif kebijakan yang didahului dengan kajian sistematis komponen fisik kimia biologi dan sosial ekonomi lingkungan kawasan perumahan serta perubahannya dengan menggunakan model dinamis”.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penataan Ruang Tata ruang merupakan suatu artian harfiah dari kata ‘Spatial’ yaitu segala sesuatu yang dipertimbangkan berdasarkan kaidah keruangan. Sejalan dengan anggapan yang diartikan oleh Chadwick (1980), sebagai “The arrangement of space or in space of all kinds”. Tata ruang pada hakekatnya merupakan lingkungan fisik dimana terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang tertentu (Rapoport, 1980). Menurut Foley (1964), tata ruang bukanlah merupakan suatu sistem tertutup atau closed system melainkan suatu sistem yang menyangkut hal-hal non fisik. Selanjutnya Foley (1964) beranggapan bahwa kerangka konsepsi tata ruang meluas tidak hanya menyangkut suatu kawasan yang disebut sebagai wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek non spasial atau aspasial (bukan ketataruangan). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor non-fisik seperti organisasi fungsional, pola budaya, dan nilai komunitas. (Porteous, 1981). Dalam wawasan kaitan antara aspek keruangan dan bukan keruangan inilah kemudian Foley mengemukakan bahwa penataan ruang akan dilandasi oleh suatu paradigma dimana terdapat kaitan antara tiga aspek yaitu (Foley, 1964): 1. Aspek normatif yang bersifat aspasial seperti nilai sosial budaya, institusi, peraturan dan perundangan, teknologi dan spasial, distribusi tataruang dari pola budaya, nilai yang berkaitan dengan pola tata ruang aktivitas dan lingkungan fisik. 2. Aspek fungsional yang bersifat aspasial dan agihan fungsi, sistem aktivitas termasuk manusia dari kegiatan usaha di dalam peranan fungsionalnya dan spasial seperti distribusi tata ruang dan fungsi kaitan tata ruang, pola tata ruang kegiatan berdasarkan macam dan fungsi. 3. Aspek fisik yang bersifat aspasial seperti obyek fisik, lingkungan geofisik, lingkungan angkasa, kualitas lingkungan (permukaan, dalam bumi dan angkasa), manusia sebagai wujud fisik, kualitas sumber daya alam dan yang bersifat spasial seperti distribusi tata ruang bentuk fisik, lahan bangunan,
12
jaringan jalan, jaringan utilitas, pola tata guna lahan sesuai dengan kualitas lahannya. Dengan perkataan lain tinjauan pengertian struktur ruang harus mengacu pada suatu wawasan yang lebih luas sebagai bagian dari ruang yang disediakan untuk digunakan sebagai tempat benda-benda kegiatan dan perubahan. Untuk lebih jelasnya paradigma Foley dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Paradigma Foley
Normatif (aspek sosial-budaya)
Aspek Bukan Ketataruangan (Aspasial) - Nilai-nilai sosial - Perangkat kepranataan - Peraturan perundangan - Teknologi
Fungsional (aspek organisasi dan ekonomis)
-
Fisik (aspek wadahfisik
-
-
-
Aspek Tata Ruang (Spasial) - Distribusi tata ruang pola kultural - Nilai yang berkaitan langsung dengan pola aktivitas dan lingkungan fisik Pembagian dan agihan - Distribusi tata ruang fungsi-fungsi fungsi Sistem aktivitas - Hubungan (manusia dan kegiatan ketataruangan usaha dalam peran - Pola tata ruang fungsionalnya) kegiatan usaha berdasar fungsinya Obyek-obyek fisik - Distribusi bentuk fisik, Lingkungan geofisis bangunan, lahan, Manusia sebagai jaringan jalan, jaringan wujud fisik utilitas dan lainnya Kualitas sumber daya - Tata guna lahan alam berdasarkan kualitas dan kesesuaian sumberdaya alam
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (2), ditegaskan bahwa Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Adapun yang dimaksud dengan struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Wujud struktur pemanfaatan ruang tersebut diantaranya meliputi hierarkis pusat pelayanan seperti pusat kota, pusat lingkungan, pusat pemerintahan, prasarana jalan arteri, jalan lokal, rancang bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak antar bangunan dan sebagainya. Sedangkan yang
13
dimaksud dengan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan pertanian, serta pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan. Sejalan dengan uraian tersebut Hardjowigeno (1999), mengemukakan bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan wadah kehidupan yang mencakup ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya serta daya, keadaan sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatannya dan memelihara kelangsungan hidupnya. Karena itu tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, apabila tidak ditata secara baik dapat
mendorong
ketidakseimbangan
pembangunan
antar
wilayah
dan
ketidaklestarian lingkungan serta konflik pemanfaatan ruang. Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan kelembagaan yang berarti juga meningkatkan kualitas tata ruang. Kualitas tata ruang menurut Silalahi (1995) ditentukan oleh terwujudnya pemanfaatan ruang yang memperhatikan (1) daya dukung lingkungan, yaitu jumlah penduduk dalam suatu wilayah yang masih dapat didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam, dan penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik tanah, (2) fungsi lingkungan, yaitu tertatanya tata air, tata udara, suaka alam, suaka budaya, (3) estetika lingkungan, yaitu terpeliharanya bentang alam, (4) lokasi, yaitu pemanfaatan ruang yang serasi antara fungsi lingkungan dengan kawasan lindung dan kawasan budidaya, (5) struktur, yaitu hirarki yang jelas dalam sistem perkotaan dan hubungan yang saling menunjang antar kota besar, kota menengah dan kota kecil. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (5) disebutkan bahwa “Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Dalam penataan ruang harus berasaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara
14
terpadu, efektivitas dan efisiensi, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Selain itu harus berasaskan keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Efektivitas dan efisiensi diartikan bahwa penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang akan berfungsi secara efektif dan efisien bila didasarkan pada sistem pengendalian yang menyediakan informasi yang akurat tentang penyimpangan-penyimpangan terhadap pemanfaatan ruang yang telah terjadi dan ketegasan dalam memberikan tindakan yang tepat dalam menertibkan penyimpangan/pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, perlu disiapkan mekanisme
pengendalian
pemanfaatan
ruang
yang
baik.
Di
Wilayah
Kabupaten/Kota, penyelenggaraan pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui mekanisme perizinan, selain melalui kegiatan pengawasan penertiban. Kegiatan pengendalian melalui mekanisme perizinan ini, meliputi : izin mendirikan bangunan (IMB), izin HGU, Izin penggunaan bangunan, izin mengubah bangunan, izin merubuhkan bangunan dan lain-lain. Dasar hukum yang mengatur mengenai pengendalian pemanfaatan ruang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 35 yaitu : Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Hal ini berarti pengendalian pemanfaatan ruang merupakan usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang berupa keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang dan urun saham; pembangunan serta pengadaan infrastruktur; kemudahan prosedur perizinan dan/atau; pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah. Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang berupa pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
15
pemanfaatan ruang; dan/atau pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi dan penalti. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan zonasi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dipertegas dengan Pasal 36 yaitu : (1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. (3) Peraturan zonasi ditetapkan dengan : a. peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; b. peraturan daerah propinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem propinsi; c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi. Sejak
dikeluarkannya
Undang-Undang
No.24
Tahun
1992
dan
diperbaharui oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang merupakan salah satu instrumen hukum bagi pengelolaan lingkungan, kasus lingkungan dalam masalah penataan ruang lebih banyak diperdebatkan dan dianalisis dari sudut penataan ruang. Salah satu contoh dari masalah lingkungan hidup adalah kasus Bandung Utara.
2.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan 2.2.1. Aspek-aspek Kebijakan Penggunaan Lahan Lahan merupakan daerah dipermukaan bumi, termasuk seluruh elemenelemen dari lingkungan fisik dan biologi di dalamnya yang mempengaruhi penggunaan lahan. Lahan bukan saja tanah, tetapi termasuk terain, iklim, hidrologi, vegetasi alami dan fauna, mencakup pula di dalamnya perbaikan lahan seperti terasering dan jaringan drainase. Disamping itu termasuk juga akibatakibat kegiatan manusia baik masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah pantai dan penebangan hutan dan akibat lain yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi penggunaan lahan. (FAO 1976 ; Hardjowigeno, 1999). Menurut Hardjowigeno (1999), kebijakan penggunaan tanah harus didasarkan pada berbagai aspek, yaitu.(1) Aspek teknis yang menyangkut potensi
16
sumberdaya lahan yang dapat diperoleh dengan cara melakukan evaluasi kesesuaian lahan, (2) Aspek lingkungan, yaitu dampaknya terhadap lingkungan, (3) Aspek hukum, yaitu harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang, (4) Aspek sosial, menyangkut penggunaan lahan untuk kepentingan social. Artinya penggunaan tanah tidak hanya menguntungkan seseorang, tetapi juga harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut dan sekitarnya, (5) Aspek ekonomi, yaitu penggunaan tanah yang optimal yang memberikan keuntungan setingga-tingginya tanpa merusakkan tanahnya sendiri serta lingkungannya. (6) aspek politik atau kebijakan atau kebijakan pemerintah. Roberts (1988), mengemukakan bahwa diperlukan rencana
tata guna
lahan untuk meletakkan kerangka dasar bagi hal-hal terperinci yang dicantumkan pada banyak segi didalam rencana menyeluruh, seperti perumahan, kelestarian suatu
tempat
dan
benda-benda
bersejarah,
kelestarian
kawasan
yang
berpandangan indah, rekreasi dan ruang terbuka, transportasi, tenaga listrik, air bersih dan gas, fasilitas dan pelayanan masyarakat. Hal ini diusahakan untuk dapat menciptakan suatu pola pengembangan lahan yang masuk akal, bukan pola pengembangan dan penyebaran yang acak-acakan, tidak teratur, tidak mantap dan mahal. Rencana tata guna lahan dapat terwujud jika diciptakan pola pengembangan dengan konfigurasi khusus yang yang masuk akal dan bertahap serta didasarkan pada kebijakan-kebijakan yang sudah disahkan. Lebih lanjut Roberts (1988) mengemukakan bahwa penggunaan lahan yang optimal sesuai dengan daya dukungnya hanya dapat dilakukan apabila tersedia informasi sumberdaya lahan termasuk mengenai informasi kesesuaian lahan masing-masing wilayah dan untuk itu diperlukan suatu evaluasi kesesuaian lahan yang ada.
2.2.2. Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan yaitu penilaian daya guna lahan untuk tipe penggunaan tertentu (Sitorus, 1998). Lebih lanjut Sitorus (1998), mengemukakan bahwa manfaat mendasar dari evaluasi lahan ini adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari
17
perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Penggunaan lahan berbagai aktifitas pada umumnya ditentukan oleh kemampuan lahan atau kesesuaian lahan yang ada dalam wilayah tersebut dan kesesuaian lahan bagi suatu areal dapat digunakan sebagai pegangan dalam pemanfaatan wilayah tersebut (Sitorus, 2003). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Karena itu, evaluasi penggunaan lahan merupakan salah satu mata rantai yang harus dilakukan agar rencana tataguna tanah dapat tersusun dengan baik (Hardjowigeno, 1999). Evaluasi lahan merupakan salah satu pekerjaan dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. Dalam perencanaan tataguna tanah, proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu diperoleh dengan cara melakukan survai dan pemetaan tanah yang hasilnya digambarkan dalam bentuk peta, sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno,1999) Hasil survai dan pemetaan tanah adalah peta tanah dan peta kesesuaian lahan untuk berbagai jenis penggunaan. Dengan peta ini, maka berbagai alternatif penggunaan tanah terbaik secara fisik dapat ditentukan. Selanjutnya dilakukan analisis dampak lingkungan dan analisis sosial ekonomi terhadap jenis penggunaan lahan secara fisik tersebut. Keputusan jenis-jenis penggunaan lahan yang optimal dapat diputuskan dengan memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan kebijakan pemerintah. Evaluasi lahan dilakukan karena sifat lahan beragam, sehingga perlu dikelompokkan kedalam satuan-satuan yang lebih seragam yang memiliki potensi yang sama. Keragaman ini mempengaruhi jenis penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing satuan lahan. Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dapat dievaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang diperlukan untuk evaluasi cukup tersedia dan berkualitas baik. Pengambil keputusan atau pengguna dapat menggunakan peta kesesuaian lahan sebagai salah satu dasar untuk mengambil keputusan dalam perencanaan tataguna tanah. Untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan, sifat-sifat lingkungan fisik suatu wilayah dirinci ke dalam kualitas lahan dan setiap kualitas lahan dapat terdiri lebih dari suatu karakteristik
18
lahan. Kualitas lahan mencerminkan kondisi lahan yang berhubungan dengan kebutuhan atau syarat penggunaan lahan, termasuk didalamnya untuk syarat produksi pertanian, konservasi dan pengelolaan lingkungan. Sedangkan menurut FAO (1998), evaluasi penggunaan lahan pada intinya harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : (1) Bagaimana lahan sekarang dikelola, dan apa akibatnya bila cara-cara tersebut terus menerus dilakukan, (2) Perbaikan apa yang perlu dilakukan terhadap pengelolaan sekarang, (3) Penggunaan apa yang mungkin dapat dilakukan secara fisik dan relevan dari segi sosial ekonomi. (4) Diantara kemungkinan-kemungkinan penggunaan lahan tersebut, mana yang memberikan kemungkinan ‘produksi yang langgeng’ dan keuntungan-keuntungan lain, (5) Akibat apa yang tidak menguntungkan secara fisik, sosial dan ekonomi terhadap masing-masing penggunaan lahan tersebut, (6) Input apa yang diperlukan untuk mendapatkan produksi yang diinginkan dan untuk menekan akibat-akibat yang tidak menguntungkan, (7) Apa keuntungan dari masing-masing penggunaan lahan tersebut. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, evaluasi lahan yang dipergunakan untuk perumahan akan ditinjau berdasarkan tinjauan spasial untuk memperoleh alternatif kesesuaian kawasan yang baik untuk perumahan yang dilanjutkan dengan tinjauan evaluasi penggunaan lahan perumahan yang ada dengan alat analisis Sistem Informasi Geografik (SIG).
2.2.3. Kelas Kesesuaian Lahan Penentuan kualitas lahan secara tidak langsung melalui pengkajian parameter kualitas lahan dan harus dilakukan menyeluruh terhadap semua parameter melalui analisis kesesuaian lahan. Ada delapan istilah yang biasa dipergunakan analisis kesesuaian lahan ini yaitu (1) kesesuaian lahan aktual yaitu kesesuaian lahan saat ini dalam keadaan alami, tanpa ada perbaikan lahan, (2) kesesuaian lahan potensial yaitu kesesuaian lahan setelah dilakukan perbaikan lahan, (3) kesesuaian lahan fisik yaitu kesesuaian lahan yang didasarkan atas faktor-faktor fisik, tanpa memperhatikan faktor ekonomi, (4) kesesuaian lahan ekonomik yaitu kesesuaian lahan yang didasarkan atas faktor-faktor fisik dan pertimbangan ekonomi (5) kesesuaian lahan kualitatif yaitu kesesuaian lahan yang didasarkan pada pemadanan kriteria masing-masing kelas kesesuaian
lahan
19
dengan sifat-sifat lahannya, (6) kesesuaian lahan kuantitatif yaitu kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan angka-angka nilai masing-masing karakteristik lahan, (7) kesesuaian lahan kuantitatif fisik yaitu hasil evaluasi lahan didasarkan pada pendugaan produksi yang diharapkan, dan batas antar kelas kesesuaian lahannya dinyatakan dalam satuan produksi sesuai dengan pengelolaannya, dan (8) kesesuaian lahan kuantitatif ekonomi yaitu hasil evaluasi lahan didasarkan pada nilai besar uang, misalnya biaya masukan sarana produksi, harga produksi, keuntungan hasil dan lain-lain (Hardjowigeno, 1999). Lahan dikatakan mempunyai kualitas yang terbaik untuk suatu jenis kegunaan apabila sangat sesuai untuk kegunaan tersebut. Lahan yang mempunyai kualitas terbaik untuk perumahan belum tentu mempunyai kualitas yang baik untuk sumber top-soil. Kualitas lahan mencerminkan kondisi lahan yang berhubungan dengan kebutuhan atau syarat penggunaan lahan, termasuk didalamnya untuk syarat produksi pertanian, konservasi dan pengelolaan lingkungan. Kualitas lahan yang berhubungan dengan pembangunan perumahan secara
langsung
atau
mutlak
dapat
dilihat
dari
proses
pembangunan
perumahannya. Lahan dikatakan baik apabila pembangunan perumahan pada lahan tersebut tidak mengalami kesulitan yang berat dalam proses pengerjaannya. Lahan berkualitas buruk untuk perumahan apabila lahan tersebut tidak dapat mendukung beban bangunan diatasnya, sehingga tidak layak secara teknis untuk dibangun rumah tinggal. Sedangkan secara tidak langsung kualitas lahan tercermin dari keadaan drainase tanah, air tanah musiman, bahaya banjir, kemiringan lereng, potensi mengembang mengkerut tanah, besar dan kecilnya batuan serta bahaya erosi suatu lahan. Karena itu evaluasi kesesuaian lahan untuk perumahan diharapkan dapat menjadi suatu tindakan pencegahan pengeluaran dana yang sia-sia bagi pembangunan kawasan perumahan akibat kesalahan penggunaan lahan yang tidak sesuai untuk perumahan. Tekanan yang besar terhadap upaya konservasi lahan dengan demikian tidak datang dari isu lingkungan saja tetapi datang juga dari keterkaitan investasi dana yang besar dalam pembangunan sektor perumahan.
2.2.4. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Perumahan
20
Kesesuaian lahan untuk perumahan atau tempat tinggal yaitu kesesuaian lokasi bangunan gedung dengan beban tidak lebih dari tiga lantai. Penentuan kelas suatu lahan untuk tempat tinggal didasarkan pada kemampuan lahan sebagai penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah dan sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap biaya penggalian dan konstruksi. Sifat-sifat lahan seperti kerapatan (density), kebasahan (wetness), bahaya banjir, plastisitas, tekstur dan potensi mengembang-mengerutnya tanah berpengaruh terhadap daya dukung tanah. Sedangkan biaya penggalian tanah untuk pondasi dipengaruhi oleh tata air tanah, lereng, kedalaman tanah sampai hamparan batuan dan keadaan batu di permukaan (USDA, 1971). Tanah-tanah bertekstur liat yang banyak mengandung liat tipe 2:1 akan mengadsorpsi banyak air sehingga mempunyai nilai batas cair yang tinggi dan berpengaruh terhadap nilai compressibility tanah (penurunan volume tanah oleh beban atau tegangan yang bekerja pada tanah tersebut). Semakin tinggi nilai batas cair maka nilai compressibility semakin besar (Nash, 1951). Daya dukung tanah bertekstur pasir dan kerikil sebagai pondasi lebih besar dari pada tanah bertekstur liat. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan tanah mengadsorpsi banyak air, sehingga menjadi lunak. Adanya rembesan kapiler dari air tanah yang dangkal menyebabkan tanah menjadi agak jenuh air. Di daerah tropika dan daerah beriklim kering, evaporasi akan berlangsung cepat, akan tetapi, evaporasi akan terhambat pada bagian tengah dari bangunan karena tanah tertutup bangunan. Hal ini menyebabkan tanah di bagian tepi lebih kering dari pada di bagian tengah bangunan dan pada tanah bertekstur liat akan menyebabkan perbedaan pengerutan maupun kekuatan tanah sehingga sering terjadi penurunan pada bagian tengah dan menimbulkan keruntuhan (Nash, 1951). Oleh karena seringnya terjadi keruntuhan bangunan pada tanah-tanah bertekstur liat maka beban yang diperbolehkan paling tinggi adalah sepertiga dari kekuatan tanah tersebut (Jumikis, 1962). Pengerutan dari tanah yang banyak mengandung liat tipe 2:1 telah banyak menyebabkan kerusakan pada pondasi bangunan yang ringan (Jumikis, 1962). Kerusakan dari bangunan ditunjukkan oleh lantai bagian tengah yang terangkat dan retakan pada tembok, yang disebabkan oleh pengembangan dan pengerutan tanah yang banyak mengandung liat monmorilonit. Untuk menghindari adanya kerusakan bangunan
21
yang disebabkan oleh pengerutan tanah, hendaknya pondasi dibangun lebih dalam atau sampai pada kedalaman batuan sehingga tidak terjadi proses pengerutan tanah. Kriteria kesesuaian lahan untuk perumahan atau tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tempat tinggal (USDA, 1971) Sifat Tanah
Kesesuaian Lahan Sedang Dengan ruang di bawah tanah Baik sampai sangat baik Sedang Baik
Drainase
Tanpa ruang di bawah tanah Sedang sampai sangat cepat Agak buruk Air tanah musiman (1 bulan atau lebih)
Dengan ruang di bawah tanah >75cm Tanpa ruang di bawah tanah >75cm >50cm Tanpa Tanpa 0-8% 8-15%
>150cm
Banjir Lereng Potensi mengembang mengkerut Besar butir (Unified Group) Batuan kecil Batuan besar Dalamnya hamparan batuan
Rendah
Sedang
GW,GP,SP,GM,GC,SM,SC,C ML,CL, L dengan PI<15 dengan PI>15 Tanpa-sedikit Sedang Tanpa Sedikit Tanpa ruang di bawah tanah >150cm 100-150cm Dengan ruang di bawah tanah >100cm 50-100cm
Buruk Agak buruk sampai terhambat Buruk sampai terhambat <75cm <50cm Jarang-sering >15% Tinggi CH,MG,OL,OH
<100cm <50cm
Sumber : USDA (1971)
Keterangan : LL= Batas Cair ; PI = indeks plastisitas 2.2.5. Aplikasi SIG untuk Analisis Evaluasi Lahan Perumahan 2.2.5.1. Pengertian SIG Sistem Informasi geografis (SIG) merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri dari berbagai subsistem. Setiap subsistem tersebut mempunyai fungsi dan merupakan suatu alat untuk mengelola sejumlah data yang bervariasi dan kompleks, sehingga dihasilkan suatu bentuk informasi yang dapat dipakai untuk proses pengambilan keputusan dalam berbnagai bidang yang melibatkan aspek keruangan (spasial). Sistem informasi geografik mempunyai definisi sebagai berikut : Sekumpulan komponen yang diorganisasikan dan terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis serta personel yang dirancang untuk
22
mengefisienkan
penangkapan,
penyimpanan,
pembaharuan,
manipulasi,
analisis dan seluruh penyajian bentuk informasi yang bereferensi geografis (ESRI, 1994), Suatu sistem digital untuk menganalisis dan memanipulasi semua data geografis yang terdiri dari sistem masukan serta sistem keluaran hasil analisis dan manipulasi data (Tomlinson, 1987),
Seperangkat
alat
untuk
mengumpulkan,
menyimpan,
memanggil,
mentransformasikan dan menyajikan data spasial dari dunia nyata ke dalam bentuk tertentu untuk tujuan khusus tertentu (Burrough, 1986),
Seperangkat kerja baik secara manual ataupun didukung oleh piranti komputer untuk melakukan koleksi menyimpan, mengelola, dan menyajikan data dan informasi yang bergeoreferensi untuk tujuan tertentu (Aronoff, 1989). Adapun beberapa kegunaan sistem informasi geografis adalah sebagai
berikut : (1) Visualisasi informasi yaitu suatu bentuk penyajian informasi melalui penglihatan. Cara ini akan merangsang pikiran dibandingkan dengan cara lain yang tradisional. Semua informasi yang divisualisasikan dapat dilihat, disimpan dalam memori, diintepretasikan dan selanjutnya dianalisis. Sebagai contoh dari proses visualisasi dalam SIG diibaratkan dengan jigsaw puzzle (penyusunan potongan-potongan gambar), dimana informasi akan lebih mudah dimengerti setelah potongan-potongan tersebut disusun secara benar. (Aronoff, 1989), (2) Penggorganisasian informasi, adalah penyampaian informasi menurut hubungan yang logis. Dalam SIG, data diatur secara keruangan (spatial), (3) Pengkombinasian informasi, data yang digunakan seringkali berasal dari bermacam-macam sumber yang kadang berbeda dalam skala, sistem proyeksi, serta penyimpanannya. Dalam hal ini SIG menyediakan fasilitas dan metode untuk mengkombinasikan atau mengintegrasikan data tersebut kedalam suatu format tertentu. Proses atau pembuatan yang umum dinamakan “integrasi data”, (4)
Analisis informasi, dengan menggunakan SIG kita dapat mengintepretasikan dan mempelajari data serta informasi yang telah dikumpulkan untuk
23
keperluan tertentu, misalnya memperkirakan daerah rawan banjir dan perkembangan penutupan lahan. Metodologi SIG, berawal dari adanya masalah kemudian dilanjutkan dengan mengumpulkan data atribut (tabel) serta data spasial (peta), selanjutnya data spasial tersebut dikonversi melalui proses digitasi untuk menjadi file digital. Kedua data tersebut digabungkan dengan hasil berupa tabel, peta atau grafik. Konsep SIG adalah menggabungkan beberapa peta yang memiliki nilai informasi, kemudian dikombinasikan peta-peta tersebut menjadi sebuah peta yang mewakili beberapa informasi peta tersebut. 2.2.5.2. Basis Data SIG Basis data adalah sekumpulan data yang saling berkaitan. Dalam SIG ada dua kelompok data yaitu data spasial (peta) dan data nonspasial/atribut. Basis data dalam SIG dapat dibentuk melalui metode pemetaan dan pengamatan lapangan. Basis data spasial adalah data yang dapat diamati dan diidentifikasi di lapangan yang berkaitan dengan masalah ruang di atas atau di dalam permukaan bumi. Data ini dapat ditentukan besaran lintang dan bujur atau dengan sistem koordinat lainnya. Bentuknya berupa peta-peta dengan skala dan sistem proyeksi tertentu. Data spasial terdiri dari tiga pokok data yaitu titik, garis, poligon atau area. Di dalam SIG, data spasial diorganisasikan dalam bentuk lapisan-lapisan informasi. Data nonspasial atau atribut adalah data yang melengkapi keterangan data spasial, baik secara statistik, numerik maupun deskriptif. Data ini biasanya ditunjukkan dalam bentuk tabel. diagram atau buku deskriptif. 2.2.5.3. Struktur Data Spatial Sistem Informasi Geografis. Struktur data SIG ada tiga macam, yaitu struktur data raster, vektor, dan quadtress yang merupakan pengembangan data raster. Ketiganya memiliki kelebihan-kelebihan dan kekurangan tergantung pada jenis pemakainan. Struktur data raster menggambarkan ruang dimensi sebagai suatu matrik (array) yang terdiri atas grid sel (pixel) segi empat yang teratur menurut baris dan kolom. Tiap-tiap pixel menggambarkan bagian permukaan bumi (feature geografi). Resolusi dari struktur data raster ditentukan oleh ukuran pixel.
24
Dalam struktur data vektor, ruang dua dimensi diwakili oleh suatu gambaran yang kontinyu dan sangat teliti. Gambaran tersebut adalah tampilan dari suatu posisi tampilan geografik (titik, garis, dan poligon) pada daerah data peta dalam bentuk tertentu. Daerah peta tersebut diasumsikan sebagai ruang koordinat yang kontinyu dimana posisi obyek dapat ditentukan sesuai dengan kenampakan aslinya. Dalam struktur data ini suatu bentuk titik direkam sebagai rangkaian segmen
garis
yang
menggabungkan
pasangan-pasangan
koordinat
dan
membentuk kurva tertutup. Struktur database vektor atau raster memiliki karakteristik yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik data vektor atau raster (Aronoff, 1989) Sifat Raster Vektor Penangkapan Data Cepat Lambat Volume Data Besar Kecil Kualitas Gambar Cukup Bagus Struktur Data Sederhana Rumit Akurasi Geometrik Rendah Tinggi Analisis Jaringan Linier Kurang Bagus Analisis Poligon / Area Bagus Kurang Gabungan lapisan data Bagus Kurang Generalisasi Sederhana Sulit Pengembangan Software Mudah Sulit
Struktur data quadtress adalah pengembangan dari struktur data raster, dimana ukuran pixel dapat berubah-ubah didasarkan pada pembagian kuadran secara berturut-turut (2x2). Untuk peta tematik, pixel yang kecil hanya diperlukan di sekitar titik, garis, dan batas poligon, sedangkan untuk area yang luas homogen cukup menggunakan pixel besar.
2.2.5.4. Analisis Spasial untuk Evaluasi Lahan Perumahan Analisis spasial adalah analisis keruangan yang menitikberatkan pada tiga unsur geografi, yaitu jarak (distance), interaksi (interaction), dan gerakan (movement) (Bintarto dan Hadisumarno, 1982). Untuk membangun data base pada analisis spasial, kita harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) efisiensi, (2) kemampuan yang besar dalam menangani penggunaan yang berbeda,
25
(3) pengurangan data yang berlebihan ( redundancy data ), (4) independen data, keamanan dan integritas. Komponen-komponen sistem informasi geografis terdiri dari input data, manajemen data, manipulasi dan analisis data serta output data (Aronoff, 1989). Fungsi sistem informasi geografis yang digunakan, dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu : (1) fungsi penyimpanan dan pemanggilan data, (2) fungsi rambu-rambu permintaan yang diinginkan (query), dan (3) fungsi pemodelan (Aronoff, 1989). Sedangkan untuk mendisain suatu sistem informasi geografis yang efektif harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : 1) Analisis kebutuhan informasi untuk membuat keputusan yang meliputi wawancara, tinjauan studi dokumentasi, perincian informasi, dan spesifikasi data nyata. 2) Kategorisasi dan evaluasi keberadaaan data base yang meliputi keberadaan cakupan, proses pengumpulan data, kamus data dan data katalog. 3) Membuat spesifikasi data base baru yang meliputi klasifikasi data, skala atau resolusi, pembaharuan frekuensi dan format atau bentuk data. 4) Membuat spesifikasi elemen-elemen sistem yang meliputi : sistem manajemen, sistem perangkat lunak, sistem perangkat keras dan penyusunan institusional. 5) Membangun penjadwalan,
rencana
implementasi
pembiayaan
dan
yang
manajemen
meliputi serta
perincian
tugas,
pertanggungjawaban
(ESRI,1994). Pada tahap pasca lapangan, operasi sistem informasi geografis meliputi operasi-operasi : (1) Operasi SIG ‘Basic’ dengan analisis keruangan berupa display peta tematik, perhitungan luas dan keliling dan analisis statistik tabelaris, (2) Operasi SIG ‘Advanced’ yaitu rasterisasi, weighting, searching, dan filtering. Rasterisasi adalah pengubahan data vektor menjadi data raster dan berfungsi untuk memudahkan analisis spasial irisan informasi dari beberapa buah poligon dengan tema berbeda. Kerugiannya adalah memori penyimpanan data menjadi lebih besar. Weighting adalah pembobotan terhadap tema suatu layer spasial untuk dikalikan dengan nilai kelas layer sehingga diperoleh score layer.
26
Searching adalah proses pencarian informasi titik didalam atau diluar kurva (lingkaran, kotak, poligon) dan Filtering adalah proses penyaringan informasi titik berdasarkan kriteria kondisi atribut (if, <, >, =, and, or, then) yang dimiliki titik atau fungsi aritmatika irisan dan
(3) Operasi SIG
‘Specialised’ berupa
pemodelan proyeksi di centroid grid, pemodelan proyeksi tataguna lahan dan pemodelan dinamis aktivitas lahan perumahan, (4)
Simulasi model variansi
keluaran (kuadrat standart deviasi). Model konseptual evaluasi kesesuaian lahan untuk perumahan selanjutnya dibuatkan model fungsionalnya berupa pemberian nilai dan bobot bagi setiap kelas tema. Kelas tema yang sesuai diberi nilai dan bobot yang lebih besar dibandingkan kelas tema yang kurang atau tidak sesuai. Setelah model fungsional evaluasi kesesuaian lahan untuk perumahan dibentuk maka dilanjutkan dengan implementasi model melalui proses konversi data grafis dan atribut yang bersifat analog menjadi data digital ke dalam lingkungan komputer. Implementasi model evaluasi kesesuaian lahan untuk perumahan dalam bentuk digital memungkinkan para peneliti dan perencana untuk melakukan simulasi melalui modifikasi analisis statistika nilai-nilai tema yang dijadikan sebagai masukan untuk analisis spasial (keruangan). Zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan dapat disajikan berupa tampilan peta-peta digital dengan penuh warna atau dalam bentuk tabel-tabel lokasi zona kesesuaian lahan untuk perumahan
berdasarkan
batas-batas
administrasi
desa
atau
kecamatan
(Roberts,1988).
2.3. Pemilihan Lokasi Perumahan Rushton (1979), menyatakan bahwa banyak kasus yang berkaitan dengan kegiatan atau pergerakan mengabaikan variabel lokasi, padahal penetapan lokasi yang tepat dari suatu kegiatan tidak hanya menerangkan aktivitas-aktivitas itu sebagaimana adanya, tetapi juga harus diperoleh suatu pemikiran rasional berkaitan dengan awal mulanya serta penyebab aktivitas-aktivitas tersebut berada. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa agar penetapan suatu aktivitas di suatu lokasi itu optimum dapat dilihat dari dua sisi kepentingan yang berbeda, yaitu :
27
(1) Kepentingan pribadi (sektor swasta), yaitu pemilihan lokasi dengan sasaran keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan tersebut diperoleh dengan mempertimbangkan biaya transportasi yang harus dikeluarkan baik untuk mendapatkan bahan baku maupun dalam pendistribusian hasil produksi kepada para pemakai, serta dalam hal menekan biaya operasi agar dapat semurah mungkin; (2) Kepentingan umum, yaitu pemilihan lokasi sebagai fungsi fasilitas pelayanan
umum
tanpa
mempertimbangkan
keuntungan
semata.
Penetapan lokasi suatu fasilitas umum lebih sulit untuk dioptimumkan karena banyaknya pertimbangan yang harus dilakukan sebelum membuat keputusan yang tepat. Hasil penetapan suatu lokasi bagi fasilitas umum sering kali merupakan kesepakatan berbagai kepentingan, perasaan dan pertimbangan politis. Pola lokasi fasilitas umum seringkali harus dibuat melalui proses yang berbelit-belit dengan memperhatikan prioritas sektorsektor lainnya. Penetapan lokasi fasilitas umum dalam hal pelayanannya dapat dibedakan menjadi : (1) pelayanan biasa, yang tidak disyaratkan ketentuan khusus dalam penempatannya, (2) pelayanan darurat, yang dalam penempatannya harus memenuhi standard minimum agar dapat dijangkau dalam waktu yang cepat dan fasilitas atau peralatannya memadai. Negara-negara
berkembang
mempunyai
beberapa
masalah
dalam
menetapkan lokasi fasilitas pelayanan umum, yaitu berupa kondisi : (1) belum berkembang atau terbangunnya sistem transportasi, (2) belum terintegrasinya pola lokasi berbagai fasilitas umum, (3) belum jelasnya fungsi fasilitas umum yaitu untuk melayani atau untuk menciptakan kebutuhan, (4) adanya kesalahan lokasi fasilitas umum peningggalan kolonial, (5) masih rancunya penempatan fasilitas umum dikaitkan dengan alternatif pemerataan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika kita memperhatikan kendala-kendala tersebut di atas yang dibarengi dengan tidak meratanya persebaran penduduk padahal penduduk harus memperoleh pelayanan yang merata maka penempatan suatu fasilitas pelayanan umum harus memperhatikan lokasi yang paling aksesibel. Rushton (1979), menyatakan bahwa lokasi aksesibel itu dapat berupa : (a)
28
agregate distance minimization/agregate distance criterion yaitu jika jarak total semua penduduk yang akan dilayani dari fasilitas terdekat adalah minimum, (b) minimal distance criterion yaitu jika jarak terjauh penduduk yang akan dilayani dari fasilitas terdekat adalah minimum, (c) equal assignment criterion yaitu jika jumlah penduduk yang akan dilayani di sekitar fasilitas terdekat terdekat kurang lebih sama, (d) threshold constraint yaitu jika jumlah penduduk yang akan dilayani di sekitar fasilitas terdekat selalu lebih besar dari jumlah tertentu, (e) capacity constraint yaitu jika jumlah penduduk yang akan dilayani di daerah sekitar fasilitas terdekat tidak pernah lebih besar atau selalu kecil dari jumlah tertentu. Persoalan lokasi (ruang tempat suatu kegiatan) dapat dipecahkan melalui tahapan-tahapan : (1) tahap penyataan persoalan lokasi, (2) tahap pencirian variabel yang dianggap dominan dan (3) tahap pemberian saran pemilihan lokasi yang lebih baik (Rushton, 1979)
2.3.1. Teori Lokasi Weber (1929) dalam Barlowe (1986), mengembangkan teori lokasi industri yang mempertimbangkan faktor lokasional suatu perusahaan atau pabrik. Teori ini menekankan pada aspek produksi dengan mengabaikan unsur pusat permintaan.
Kriteria
pemilihan
lokasi
didasarkan
pada
pertimbangan
meminimalkan biaya transportasi dan upah buruh serta penempatan beberapa unit produksi yang sama pada jarak yang berdekatan (aglomerasi). Richardson (1969) mengemukakan bahwa pada banyak kasus, perusahaan seringkali mempertimbangkan cara menemukan lokasi yang sesuai dari yang paling optimal. Selanjutnya Richardson (1969) menyatakan bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan-perusahaan cenderung untuk berlokasi pada pusat perkotaan dalam usahanya untuk mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan keputusan usaha serta meminimalkan resiko. Lokasi dengan ketidakpastian minimal adalah pada pusat perkotaan. Jadi dengan demikian, keputusan lokasi didasarkan pada kriteria yang tidak berupa profitabilitas dan biaya-biaya langsung. Amenitas dan keuntungan aglomerasi merupakan penentu lokasi yang penting. Aspek-aspek tersebut menjadi penarik
29
lokasi yang lebih kuat dibandingkan kekayaan sumber daya alam, sumber energi atau upah buruh yang rendah serta elemen kunci lainnya dalam teori lokasi tradisional. Richardson (1969), selanjutnya mengemukakan bahwa pemahaman mengenai perkembangan kota-kota dan wilayah-wilayah tidak dapat diperoleh tanpa apresiasi penuh pada kekuatan aglomerasi yang terjadi, karena kekuatan aglomerasi ini menghasilkan konsentrasi industri dan aktivitas lainnya. Kekuatan aglomerasi secara nyatanya memberikan pengaruh pada : (1) keuntungan aglomerasi sosial, yaitu keuntungan yang mempengaruhi seluruh kelompok dalam masyarakat walaupun dengan dampak yang berbeda-beda. Keuntungan ini merupakan keuntungan yang ditawarkan oleh daerah perkotaan atau tempat tertentu pada seluruh kelompok masyarakat. Penyediaan fasilitas atau pelayanan umum merupakan unsur utama bagi terciptanya keuntungan ini. (2) Keuntungan aglomerasi rumah tangga, keuntungan ini menyangkut keuntungan dari hidup atau tinggal di daerah perkotaan atau tempat tertentu bagi rumah tangga, terutama bagi keluarga yang memerlukan tempat tersebut. Keuntungan ini dapat bervariasi sesuai dengan pendapatan, lapangan kerja serta kelas sosial dari rumah tangga. (3) Keuntungan aglomerasi usaha, yaitu keuntungan yang berhubungan dengan keuntungan yang ditawarkan oleh suatu tempat tertentu bagi perusahaan-perusahaan
untuk
berusaha
di
tempat
tersebut.
Selanjutnya
Richardson (1977), mengembangkan teori Bid Rent. Teori ini dikenal sebagai dasar bagi ‘The New Urban Economic’ yang menganalisis penentuan lokasi perumahan/kegiatan ekonomi dan penggunaan tanah diperkotaan dengan memasukan unsur waktu didalamnya agar lebih dinamis. Pemilihan lokasi dari perusahaan industri ditentukan oleh kemampuan perusahaan yang bersangkutan untuk membayar sewa tanah. Teori ini berlaku untuk daerah perkotaan dimana harga tanah dan sewa tanah sangat tinggi sehingga menjadi bagian dari ongkos produksi yang cukup menentukan. Dalam teori ini dijelaskan pula bahwa nilai suatu lokasi secara relatif sangat ditentukan oleh posisinya terhadap pusat-pusat kegiatan tertentu. Jadi tinggi rendahnya nilai suatu lokasi ditentukan oleh kedekatannya (nearness) terhadap pusat kegiatan. Komponen utama teori Bid Rent adalah nilai sewa secara ekonomi
30
(economic rent) dan jarak (distance). Asumsi dasar yang diberlakukan adalah adanya hubungan jarak dengan nilai sewa baik dalam bentuk sewa lahan, sewa rumah, ataupun harga lahan dan harga rumah. Semakin dekat suatu lokasi terhadap pusat kegiatan (kota), semakin tinggi pula nilai sewa ekonominya. Demikian pula sebaliknya, semakin jauh suatu lokasi terhadap pusat kegiatan, semakin kecil pula nilai sewa ekonominya. Teori ini pada prinsipnya menjelaskan adanya hubungan antara jarak dan nilai sewa terutama kaitannya dengan tataguna lahan untuk komersial (perdagangan) dan industri ringan, perumahan residential, dan industri. Di lokasi yang dekat dengan pusat kegiatan, penggunaan lahan yang paling cocok adalah untuk tujuan komersial dan industri ringan. Hal ini disebabkan adanya akses besar yang dimiliki oleh lahan terhadap berbagai pelayanan kota, disamping nilai lahannya sendiri. Dilokasi berikutnya, penggunaan lahan yang paling cocok adalah untuk permukiman, karena jaraknya dari pusat kota masih terjangkau. Demikian pula nilai sewa nya masih relatif rendah di lokasi berikutnya, peruntukan untuk permukiman tidak cocok karena biaya transportasi terlalu tinggi walaupun nilai sewa ekonominya rendah. Oleh karena itu peruntukkan yang cocok untuk industri (Richardson, 1977). 2.3.2. Lokasi Alokasi. Lokasi alokasi merupakan metode untuk menentukan lokasi yang optimal dengan penekanan pada pertimbangan preskriptif (berdasarkan norma atau kriteria tertentu) dibandingkan pada pertimbangan deskriptif (berdasarkan penjelasan seperti apa adanya) (Rushton, 1979). Selanjutnya Rushton (1979), mengemukakan bahwa metode lokasi alokasi umumnya relevan untuk penentuan lokasi bagi sektor publik tetapi dapat pula digunakan bagi penentuan lokasi sektor privat dengan modifikasi tertentu. Sektor privat seperti yang telah diuraikan terdahulu mempunyai tujuan yaitu memaksimalkan keuntungan internal, yaitu dengan cara memperbesar volume penjualan dan menekan ongkos operasional. Sedangkan sektor publik mempunyai tujuan memaksimalkan keuntungan masyarakat (umum) dengan memberikan kemudahan serta memperhatikan (1) pertimbangan agregat, memandang masyarakat secara keseluruhan dengan tidak memperhatikan bagianbagian yang lebih kecil serta penekanan terhadap pentingnya total netto yang
31
positif. (2) Pertimbangan yang lebih seksama, artinya karakteristik-karakteristik tertentu dari masyarakat menjadi pusat perhatian. Total netto tidak selalu relevan bagi sektor publik karena ada pelayanan-pelayanan jenis tertentu yang orientasinya tidak pada total netto.
2.3.3. Faktor-faktor pemilihan lokasi perumahan Sifat dari konteks pembangunan perumahan mengalami perubahan. Para pengembang dan perencana mengenal keterkaitan yang lebih luas antara faktorfaktor ekonomi dan perencanaan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pembangunan. Kalau masalah anggaran atau masalah ekonomi pernah dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi, maka sekarang ada faktor lain yang juga harus diperhitungkan. Berdasarkan sumber-sumber literatur, faktor-faktor lain tersebut antara lain adalah : kelayakan fisik, daya hubung, kedekatan dengan pusat pelayanan, jarak ke tempat kerja, kenyamanan lingkungan, harga lahan, kemudahan pembebasan lahan, ketersediaan air bersih, hukum dan lingkungan, dan ketersediaan jaringan infrastruktur. a) Kelayakan fisik Lokasi kawasan perumahan mempunyai beberapa persyaratan tertentu. Berdasarkan kelayakan fisik, dalam penjelasan Materi Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bertingkat (Dep. Pekerjaan Umum, 1981) tentang persyaratan lokasi perumahan dinyatakan bahwa lokasi kawasan perumahan harus mempunyai kondisi geologi dan topografi yang dapat menjamin keamanan. Kawasan
perumahan harus mempunyai tingkat
kemantapan dan kestabilan yang tinggi serta mempunyai tingkat kelerengan yang rendah. Sedangkan dalam Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota (Lampiran No. 22 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum N0.378/KPTS/ 1987, halaman 17), disebutkan bahwa lokasi perumahan harus memenuhi persyaratan antara lain : tidak berada di bawah permukaan air setempat, mempunyai kemiringan lahan yang relatif datar, aman dari bencana geologi. Beberapa proses geologi yang menimbulkan bencana antara lain gerakan tanah, banjir, gempa bumi, gelombang pasang, dan letusan gunung api.
32
Pengenalan akan kemungkinan bencana geologi sangat diperlukan dalam pembangunan kawasan perumahan, sehingga bencana alam yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta dapat dihindarkan. Kawasan perumahan yang aman dari bahaya geologi akan memberikan rasa aman bagi penghuninya. Sedangkan Chapin (1995), menyatakan kemiringan lahan yang layak untuk kawasan perumahan adalah kurang dari 15 %. Jayadinata (1999), juga menyatakan bahwa untuk kawasan perumahan, kemiringan lereng maksimal yang diijinkan
adalah 15%. Selanjutnya Rabinowitz (1988), mengatakan
bahwa keadaan tanah, topografi, drainase mempengaruhi desain tempat dan desain bangunan orientasi tempat, serta suasana dan faktor-faktor akustik juga merupakan hal penting dalam pemilihan lokasi perumahan. b) Ketersediaan Air Bersih Pentingnya air bersih dalam pemilihan lokasi perumahan terdapat dalam Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota (Lampiran No 22 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum N0.378/KPTS/1987, halaman 17), disebutkan bahwa lokasi perumahan harus memenuhi persyaratan antara lain adalah dapat disediakannya air bersih (air minum). Beberapa kemungkinan air bersih dapat diperoleh melalui saluran pipa PDAM yang telah tersedia, sumur gali atau sumur pantek, sumur artesis, mata air atau penjernihan air sungai, air rawa dan sebagainya. Menurut Rabinowitz (1988), faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi perumahan adalah adanya sarana seperti pemasangan aliran air bersih. Selanjutnya Vernor (1985), juga menyatakan ketersediaan air bersih merupakan salah satu faktor pertimbangan dalam pemilihan lokasi perumahan. Hal ini disebabkan air bersih merupakan salah satu kebutuhan utama bagi kehidupan manusia sehari-hari. Selain untuk mandi, cuci, masak juga terutama untuk minum. Dengan demikian sejalan dengan direncanakannya suatu lingkungan perumahan juga harus dipikirkan kemungkinan-kemungkinan diperolehnya sumber-sumber air bersih untuk menunjang kehidupan dalam setiap lingkungan perumahan tersebut. Dalam usaha melengkapi fasilitas air bersih bagi suatu lingkungan perumahan baru, bagi pihak pelaksana pembangunan
33
perumahan (developer) cara memperoleh air bersih ini akan menjadi masalah apabila potensi sekitar lingkungan perumahan tersebut tidak mendukungnya, terutama jika dikaitkan dengan biaya yang harus dikeluarkan secara efisien oleh developer. Air bersih yang tersedia selain merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam melengkapi fasilitas perumahan, juga cara perolehannya atau ketersediaannya akan menjadi daya tarik bagi konsumen dalam memilih rumah tinggal (Djuanda, 1988).
c) Aksesibilitas Daya hubung (aksesibilitas) yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam pemilihan lokasi perumahan, karena akan memudahkan pencapaian dari kawasan perumahan ke kawasan lainnya seperti pusat perdagangan, tempat kerja sekolah dan lain-lain. Rabinowitz (1988), mengemukakan aksesibilitas yang baik diperlukan dalam kriteria pemilihan lokasi sebagai pelayanan kota terhadap kemudahan berhubungan dengan aparat kepolisian, pemadam kebakaran, dinas pembuangan sampah dan sekolahsekolah. De Chiara (1990) menyatakan salah satu kriteria pemilihan lokasi perumahan adalah mempunyai tingkat daya hubung yang baik. Daya hubung yang baik antara lain diindikasikan oleh ketersediaan angkutan umum, kedekatan dengan sistem jaringan jalan dan terminal. Ketersediaan angkutan dalam pemilihan lokasi perumahan dikemukakan juga oleh Vernor (1985). Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah (1991), juga menunjukkan pentingnya ketersediaan angkutan umum dalam pemilihan lokasi kawasan perumahan terutama untuk golongan berpenghasilan rendah dan menengah. Sedangkan Barlowe (1978), menyatakan pentingnya kedekatan dengan sistem jaringan jalan utama dan terminal yang mempunyai hubungan langsung ke tempat kerja dan pusat pelayanan dalam pemilihan lokasi perumahan menunjukkan pentingnya tingkat daya hubung yang baik. Pentingnya daya hubung yang baik juga terdapat dalam Penjelasan Materi Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bertingkat (Dep. Pekerjaan Umum, 1981) tentang persyaratan lokasi perumahan yang
34
menyatakan bahwa lokasi perumahan harus berada pada daerah dimana pemukim harus dapat mencapai tempat bekerja dan pusat-pusat kegiatan pelayanan yang lebih luas paling lama 30 menit dengan menggunakan alat transportasi yang umum digunakan. Sedangkan dalam petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota (Lampiran No 22 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum N0.378/KPTS/1987, hal 17), disebutkan bahwa lokasi perumahan harus memenuhi persyaratan antara lain lokasi perumahan harus mudah dan aman mencapai tempat kerja. d) Kedekatan dengan pusat pelayanan Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi perumahan adalah kedekatan dengan pusat pelayanan. Kedekatan dengan pusat pelayanan dapat berarti dekat berdasarkan jaraknya maupun dekat karena mudah dicapai meskipun jaraknya relatif jauh. Kemudahan pencapaian ini sangat terkait dengan ketersediaan jaringan prasarana dan angkutan umum yang menghubungkan dengan pusat-pusat pelayanan. e) Jarak Ketempat Kerja dan Kenyamanan Menurut Richardson (1977) dalam penentuan lokasi kawasan perumahan terdapat dua kategori : (a) menganggap biaya yang diukur dengan nilai uang dan waktu merupakan variabel utama, hal ini mengandung arti bahwa lokasi tempat kediaman akan dicapai dengan meminimumkan biaya perjalanan dan waktu perjalanan, dan (b) menganggap bahwa dalam penentuan tempat kediaman, pilihan terhadap wilayah dan lingkungan yang baik merupakan penekanan utama. Sejalan dengan teori Richardson, menurut Barlowe (1986), sebelum adanya fasilitas transportasi modern, masyarakat lebih senang tinggal dekat pasar, dekat dengan tempat kerja, dan memilih lokasi yang dapat dengan mudah dicapai untuk meminimumkan biaya perjalanan dan waktu perjalanan. Selanjutnya Barlowe juga mengemukakan bahwa golongan berpendapatan tinggi kurang memperhatikan jarak atau lamanya waktu ke tempat kerja, kelompok berpendapatan tinggi lebih memperhatikan kenyamanan lingkungan tempat tinggal. Hubungan antara prioritas pemilihan lokasi dengan tingkat penghasilan masyarakat di negara-negara berkembang diungkapkan pula oleh
35
Barlowe (1986), dimana masyarakat berpenghasilan rendah menempatkan faktor lokasi tempat tinggal terhadap tempat kerja sebagai prioritas utama, kemudian kejelasan status kepemilikan, dan penyediaan fasilitas/kenyamanan. Sedangkan bagi kelompok penghasilan tinggi, kenyamanan dan kelengkapan fasilitas sosial menjadi prioritas utama dan lokasi tempat kerja menjadi prioritas terakhir. Sejalan dengan itu Diamond (1983) mengemukakan bahwa masyarakat golongan berpendapatan rendah dan menengah sangat memperhatikan jarak tempat tinggal ke tempat kerja. Besarnya perhatian golongan berpendapatan menengah dan rendah terhadap tempat kerja dalam penentuan lokasi tempat tinggal disebabkan oleh pengaruh ongkos transport ke tempat kerja. Selanjutnya Diamond (1983) melihat adanya hubungan antara ongkos perjalanan ke tempat kerja dengan keinginan berpindah tempat. f) Harga Lahan Harga lahan merupakan salah satu pertimbangan penting dalam pemilihan lokasi kawasan perumahan, karena harga lahan akan berpengaruh terhadap biaya total pembangunan kawasan perumahan. Semakin rendah harga lahan, maka biaya pembangunan kawasan perumahan akan semakin rendah pula. Pendapat ini sejalan dengan Rabinowitz (1988), yang mengemukakan bahwa harga tanah mempengaruhi pemilihan tempat karena berhubungan dengan kemungkinan dilaksanakannya pembangunan kawasan perumahan dengan berbagai kriteria yang ada sehingga dapat dijangkau oleh para penyewa maupun pemakai. Barlowe (1986) mengemukakan bahwa berdasarkan pertimbangan harga lahan, maka terdapat kecenderungan lokasi kawasan perumahan yang berada di wilayah pinggiran kota memiliki harga lahan lebih rendah dibandingkan harga di pusat kota. g) Hukum dan Lingkungan Pertimbangan lain yang cukup penting dalam pemilihan lokasi perumahan adalah hukum dan lingkungan seperti kesesuaian lahan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pertimbangan ini penting agar kawasan perumahan tersebut memiliki jaminan hukum (kepastian hukum) yang kuat. Seperti pendapat Rabinovitz (1988), yang mengemukakan bahwa hukum lingkungan
36
yang berlaku (dalam batas kota atau negara) yang mengijinkan didirikannya gedung dengan ukuran tertentu, tinggi maksimum gedung, batasan–batasan kemunduran, persyaratan tempat parkir, dan adanya koordinasi dengan lembaga perencanaaan daerah, serta kerjasama antar sektor pemerintah dengan swasta merupakan kriteria yang mempengaruhi pemilihan lokasi perumahan. Selain itu Crowther (1992), mengemukakan bahwa lingkungan dengan pemandangan dan kondisi pertamanan yang terencana juga merupakan aspek yang penting. Dari sudut pandang pemerintah daerah hal ini juga menjadi penting agar lokasi perumahan yang akan dibangun dapat terintegrasi dengan kawasan-kawasan lainnya sehingga tercapai keserasian sesuai dengan tujuan dari rencana tata ruang. Dalam penjelasan Materi Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak bertingkat (Departemen Pekerjaan Umum, 1981), disebutkan bahwa lokasi perumahan harus terletak pada wilayah yang telah ditentukan untuk perumahan, sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dan disahkan oleh pemerintah Daerah. Dalam peraturan perizinan lokasi perumahan di Kabupaten Bandung, pertimbangan pertimbangan yang digunakan pemerintah daerah dalam memberikan izin lokasi perumahan, disamping kesesuaian dengan rencana
adalah
tidak
mengurangi
areal
pertanian
subur,
hendaknya
dimanfaatkan tanah yang kurang produktif, dihindarkan pemindahan penduduk diperhatikan
persaratan
untuk
tidak
merusak
lingkungan,
dihindari
kemungkinan adanya tumpang tindih dan status tanah. h) Kemudahan Pembebasan Lahan Salah satu faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi kawasan perumahan adalah adanya kemudahan pembebasan lahan yang akan menentukan tahap pelaksanaan selanjutnya. Menurut Firmansyah (1991), kemudahan lahan dipengaruhi oleh faktor-faktor : • Status pemilikan lahan Semakin besar proporsi luas lahan yang dimiliki oleh pemerintah atau desa, akan semakin mudah proses pembebasan lahannya. Sebaliknya, semakin besar proporsi luas lahan yang dimiliki oleh perorangan akan semakin sulit proses pembebasan lahannya.
37
• Jumlah pemilik lahan Semakin banyak orang yang memiliki lahan satuan luasnya, akan semakin sulit proses pembebasan lahannya. Sebaliknya semakin sedikit jumlah pemilik lahan per satuan luas, akan semakin mudah proses pembebasan lahannya. 2.4. Pembangunan Perumahan Berkelanjutan Dimasa lalu, berlimpahnya sumberdaya, pesatnya pertumbuhan penduduk, suasana politik yang menyenangkan, dan ekspansi ekonomi telah menciptakan keuntungan nyata yakni sejarah tentang pertumbuhan pembangunan perumahan yang terus menerus, optimisme serta banyaknya pesanan pembangunan perumahan bahkan ekspansi pembangunan perumahan telah mencapai tarafnya yang tertinggi, disamping itu deregulasi industri keuangan, bersama-sama dengan keuntungan pajak yang besar menyebabkan kelebihan bangunan di hampir semua daerah dan berarti juga banyaknya kekosongan. Namun pada dasawarsa ini iklim optimis mulai berubah. Sebagian faktor yang mendorong pertumbuhan nampak berbalik secara tiba-tiba dan tak bisa dielakkan lagi. Era lahan yang murah dan mudah dibangun yang telah memungkinkan pembangunan di daerah pinggiran kota yang ditempati sebagian penduduk telah berakhir, semakin banyak masalah yang muncul berkenaan dengan infrastruktur, pipa pembuangan air kotor, air, sarana-sarana pelayanan dan jalan serta kewajiban yang semakin meningkat bagi perijinan masyarakat dan lingkungan. Selain itu kekuatan-kekuatan baru juga sangat mempengaruhi pembangunan perumahan. Krisis energi mengurangi kepercayaan pada kendaraan dan berarti juga mengurangi ekspansi ke daerah pinggiran kota, terjadinya inflasi dan suku bunga yang tinggi mempengaruhi biaya pembangunan, kemampuan pembangunan untuk menghasilkan keuntungan dari pemakaiannya, dan jumlah pembangunan yang dihasilkan. Kekuatan sosial ekonomi tersebut telah menyebabkan berubahnya persaingan dalam bidang pembangunan. Banyak organisasi pembangunan bersaing memperebutkan kesempatan yang makin sedikit, proyek harus menarik bagi pemakai dan penyewa sehingga dibutuhkan desain-desain baru bagi lokasi proyek, jalan masuk, kesan serta berbagai sarana. Pedoman praktis yang
38
digunakan di masa lalu
tidak lagi mencukupi, para perencana dan pengembang
bertanggung jawab terhadap lebih banyak lagi faktor yang harus dapat mengembangkan pemecahan yang inovatif terhadap kondisi perkembangan baru.
Rabinowitz (1988) mengemukakan bahwa pada tingkat nasional, kekuatan sosial
dan
ekonomi
mempengaruhi
potensi
pembangunan dan bahkan
mempengaruhi tipe dan bentuk dari perumahan yang dibangun. Diantara kekuatan kekuatan utama ini termasuk juga tersedianya dan kontrol terhadap tanah, ukuran dan lokasi pertumbuhan penduduk, jalan masuk dan tranportasi, biaya konstruksi, tersedianya keuangan, dan kondisi perekonomian. Pembangunan seringkali ditinjau dari satu aspek atau beberapa aspek saja (bersifat sektoral) dan biasanya didorong oleh motif ekonomis semata. Ruang udara, ruang permukaan, dan ruang bawah permukaan seringkali dimanfaatkan oleh pelaku yang berkepentingan dengan upaya penyiapan pembangunan secara tidak bertanggung jawab sampai pada ambang batas potensi penggunaanya. Pelaku pembangunan cenderung mempunyai latar belakang, motivasi, dan kepentingan yang berbeda, bahkan cenderung terjadi konflik antara satu dengan yang lainnya karena masing-masing mengajukan prioritas kepentingan pribadi dan berpijak pada permohonan penyediaan lahan yang berlandaskan pada kerangka kebijaksanaan lahan yang komprehensif dan holistik. Sehingga pencemaran air, tanah, dan udara oleh faktor antropogenik atau aktivitas manusia sudah semakin parah dan tidak bertanggung jawab. Menurut Suratmo (2002), isu yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat terdiri dari : isu pencemaran lingkungan, isu keanekaragaman hayati dan isu manajemen lingkungan yang terkait dengan penipisan sumberdaya alam. Isu pencemaran lingkungan muncul karena adanya fenomena menurunnya kualitas udara di wilayah perkotaan oleh emisi gas buang dari industri maupun dari kendaraan bermotor, langkanya sumber air bersih permukaan karena telah tercemar oleh limbah rumah tangga maupun industri serta sulitnya mendaur ulang sampah yang dihasilkan oleh berbagai macam aktivitas penduduk. Isu keanekaragaman hayati timbul karena rusaknya habitat berbagai macam flora dan fauna di wilayah perkotaan maupun perdesaan berupa
39
terputusnya siklus ekosistem oleh pencemaran atau pemanasan global. Isu manajemen lingkungan yang terkait dengan penipisan sumberdaya alam muncul karena aktivitas manusia dalam mengeksploitasi lingkungan untuk kebutuhan hidupnya telah banyak menghancurkan dan menghabiskan sumberdaya alam secara tidak bijaksana, baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources). Panduan yang berisi mengenai penyelamatan lingkungan dan sumberdaya alam dari kehancuran yang juga akan berdampak terhadap keberlangsungan hidup manusia kemudian dirancang oleh badan dunia Persatuan Bangsa-Bangsa berupa Agenda 21, yaitu suatu agenda untuk menghadapi masalah-masalah pembangunan dan lingkungan baik dikaji secara menyeluruh maupun sektoral. Titik tolak agenda 21 dunia adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu suatu pembangunan yang melestarikan pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan tidak hanya memperhatikan asas manfaat dan pengorbanan dari aspek ekonomi saja tetapi juga mempertimbangkan manfaat dan pengorbanan sosial serta lingkungan tidak hanya untuk generasi kini saja tetapi juga untuk generasi yang akan datang . Pembangunan
perumahan
berkelanjutan
seharusnya
secepatnya
diimplementasikan di Indonesia karena merupakan upaya berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang yang layak huni, usaha, layak berkembang, dan layak lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup melalui tahapan : (a) Memperbaiki cara mengelola permukiman, (b) Mengatur penggunaan tanah dan permukiman, (c) Meningkatkan prasarana permukiman, (d) Menjamin tersedianya transparansi dan energi, (e) Mengembangkan industri konstruksi yang mendukung pembangunan serta pemeliharaan permukiman, Negara-negara maju yang telah mampu mengatasi masalah-masalah kelaparan dan penyakit menular berbahaya, memandang kerusakan lingkungan sebagai bahaya bagi masyarakat negara maju yang makmur, aman dan
40
menyenangkan (Soemarwoto, 1991). Di negara-negara berkembang kondisinya sangat berbeda dengan di negara-negara maju. Masalah-masalah pengangguran, persamaan hak, sistem politik yang belum stabil, jumlah penduduk yang besar, terbatasnya jumlah lahan, kelaparan, dan pendidikan yang rendah menjadi kendala bagi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Catanese, 1988). Pembangunan di negara berkembang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan akan memberikan panduan bagi pemanfaatan sumber daya secara optimal sedemikian rupa sehingga tujuan masyarakat adil dan makmur dapat tercapai secara tepat guna dan berhasil guna. Tanpa pembangunan akan terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah seiring dengan berjalannya waktu. Kerusakan lingkungan ini akan membawa suatu bangsa dan negara ke dalam kondisi kebangkrutan. Pembangunan sendiri juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Untuk menghindari hal tersebut pembangunan harus berwawasan lingkungan sehingga menjadi terlanjutkan untuk jangka panjang (Soemarwoto, 1991). Sektor perumahan adalah salah satu alternatif untuk mengembangkan suatu wilayah agar masalah-masalah yang dihadapi suatu wilayah berkaitan dengan kurangnya fasilitas dapat dipecahkan. Sektor industri perumahan yang tumbuh di suatu wilayah yang belum maju dapat dilatarbelakangi oleh keuntungan komparatif wilayah tersebut terhadap wilayah lain. Keuntungan komparatif tersebut dapat berupa sumberdaya bawaan (endowments) dan ketersediaan buruh yang banyak dan murah. Dengan perkataan lain suatu wilayah yang dilimpahi faktor produksi tertentu akan mempunyai keunggulan komparatif jika wilayah tersebut melakukan spesialisasi dalam produksi komoditas yang banyak mengandung faktor produksi yang berlimpah di wilayah tersebut. (Barlowe, 1986). Menurut Rabinowitz (1988), faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan suatu kawasan perumahan dimasa kini adalah : (1) alternatif penggunaan lahan, (2) faktor-faktor dan prasarana pemasaran, (3) kerjasama antar sektor pemerintah dan swasta dan (4) biaya kelangsungan hidup serta konsekuensi pajak.
41
Selain itu pola pembangunan dengan pengembangan lingkungan hidup memerlukan pengetatan dalam penanggulangan air dan tanah, serta sumber alam lainnya. Saingan dalam pemakaian air, tanah dan sumberdaya alam mungkin tidak bisa dipecahkan melalui mekanisme pasar sehingga campur tangan pemerintah diperlukan dan ini berarti bahwa bagi sumber alam yang semakin langka, pengendalian pemerintah akan semakin menonjol. Menurut Pakpahan (1999), faktor-faktor yang digunakan sebagai indikator dalam menentukan tingkat keterancaman kelestarian kawasan resapan air di suatu wilayah, adalah luas lahan terbangun, luas lahan izin lokasi yang belum selesai tahap pembangunannya, dan kepadatan penduduk. Lahan terbangun berkaitan dengan tingkat kemampuan lahan menyerap air kedalam tanah. Kegiatan pembangunan di kawasan resapan air, baik yang disebabkan oleh penduduk maupun oleh kegiatan berizin lokasi yang telah selesai tahap pembangunannya telah meningkatkan lahan terbangun di kawasan resapan air. Peningkatan lahan terbangun di kawasan resapan air akan menyebabkan luas kawasan resapan air semakin berkurang akibat perubahan guna lahan pertanian menjadi lahan terbangun dan akan menyebabkan menurunnya kemampuan lahan untuk meresapkan air kedalam tanah. Jika luas lahan terbangun pada suatu kecamatan tetap atau bahkan dapat berkurang maka kemampuan tanah dikecamatan tersebut untuk meresapkan air juga akan tetap atau bahkan meningkat. Oleh karena itu suatu kecamatan yang luas lahan terbangun di kawasan resapan airnya sangat besar maka kelestarian kawasan resapan airnya pun lebih terancam lebih besar dibandingkan dengan kecamatan yang lainnya. Hal ini akan menyebabkan semakin menurunnya kemampuan kawasan resapan air di kecamatan tersebut untuk meresapkan air ke dalam tanah. Faktor ijin lokasi dipilih karena faktor ini dapat menunjukkan potensi peningkatan lahan terbangun atau pengurangan luas kawasan resapan air yang akan terjadi di tiap kecamatan. Izin lokasi yang telah diterbitkan oleh instansi yang berwenang tidak bisa dicabut seenaknya, apalagi jika di atas lahan yang dimohon dalam ijin lokasi tersebut sudah berdiri bangunannya. Ijin lokasi yang belum selesai tahap pembangunannya cenderung akan dilanjutkan pelaksanaannya oleh pengembang. Oleh karena itu, kecamatan yang memiliki ijin lokasi yang
42
belum selesai tahap pembangunannya cenderung akan memiliki potensi peningkatan luas lahan terbangun yang akan menyebabkan semakin berkurangnya luas kawasan resapan air di kecamatan tersebut. Kecamatan yang memiliki ijin lokasi yang belum selesai tahap pembangunannya sangat besar akan mengalami pengurangan luas kawasan resapan air semakin besar pula dan akan menyebabkan kelestarian kawasan resapan air itu lebih terancam. Faktor jumlah penduduk sangat penting dalam proses perencanaan suatu wilayah, mengingat bahwa perencanaan ini ditujukan untuk kepentingan penduduk sendiri. Selain itu penduduk juga merupakan faktor penting dalam membangkitkan kegiatan wilayah yang pada akhirnya akan berdampak pada perkembangan lahan terbangun di suatu wilayah.
2.5. Analisis Sistem Dinamis Sistem merupakan sekumpulan individu yang merupakan bagian dari populasi, sekumpulan populasi yang merupakan bagian dari komunitas dan sebagainya. Sistem dengan skala serta tingkat ketelitian yang berbeda dapat dikaji menggunakan seperangkat prinsip dan teknik yang umum digunakan dengan teori sistem secara umum (Grant, et al.,1996). Sistem Dinamis digunakan untuk mencari penjelasan permasalahan sosial jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur internal. Umpan balik (feed-back) merupakan konsep inti yang digunakan dalam sistem dinamis untuk memahami struktur sistem. Diasumsikan bahwa keputusan secara sosial atau individu dibuat berdasarkan informasi tentang keadaan sistem atau lingkungan disekitar pengambil keputusan berada (Gordon, 1989). Model-model sistem dinamis dibentuk oleh banyak lingkar umpan balik yang saling dihubungkan satu sama lain. Lingkar-lingkar umpan balik tersebut pada dasarnya menggambarkan sistem tertutup. Sebagian besar variabel terjadi dalam hubungan umpan balik dan berupa variabel endogenous. Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya mempengaruhi sistem dari luar tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut dipertimbangkan sebagai variabel exogenous di dalam model (Saeed, 1981).
43
Elemen ini ditunjukkan sebagai variabel state atau level. Setiap level adalah suatu akumulasi atau persediaan (stock) material atau informasi. Elemenelemen sistem yang menunjukkan keputusan, tindakan, atau perubahan dalam suatu level disebut rate. Suatu rate adalah aliran material atau informasi ke atau dari level. Lingkar umpan balik dibedakan kedalam dua macam yaitu lingkar umpan balik positif dan negatif. Lingkar umpan balik positif cenderung untuk memperkuat
gangguan
dan
menghasilkan
pertumbuhan
atau
peluruhan
eksponential. Lingkar umpan balik negatif cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem pada suatu keadaan kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari dua jenis lingkar tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna sistem dinamis untuk merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan dengan struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik (Saeed, 1981). Teori sistem dinamis menekankan karakteristik dan konsekuensi tipe-tipe kelambatan yang berbeda, baik dalam aliran informasi maupun aliran fisik. Mencari kelambatan (lag) hubungan dalam sistem nyata dan menunjukkan kelambatan tersebut didalam kelambatan tersebut di dalam model. Ketidak linieran (non-linieritas) juga penting dipertimbangkan dalam menjelaskan perilaku sistem. Hubungan non linier dapat menyebabkan lingkar umpan balik yang berbeda-beda tergantung kepada bagian sistem lainnya. Suatu model yang terdiri atas beberapa lingkar umpan balik yang dihubungkan secara tidak linier dapat menghasilkan berbagai macam pola perilaku yang kompleks dan dapat menunjukkan suatu perkembangan atau penyesuaian struktur sistem. Menurut Muhammadi (2001), berpikir sistem dinamis merupakan salah satu upaya mengisi perpektif yang cenderung terabaikan di Indonesia dalam melihat kejadian jangka panjang, disamping berpikir konvensional tentang kebijakan masa lampau yang kurang cocok lagi dipakai untuk pemecahan dinamika persoalan sekarang dan masa datang. Lebih lanjut Muhammadi (2001) mengemukakan perlunya pembelajaran tentang proses dinamis secara holistik dalam membawa kesadaran berpikir sistemik yang kreatif dengan pandangan antisipatif ke depan. Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah adanya kesadaran
44
untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Hal ini relevan dan penting dalam menghadapi tantangan kerumitan dan perubahan cepat dari lingkungan domestik dan global dalam abad 21 (Muhammadi, 2001).
2.6. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu tentang Lahan dan Perumahan di Kawasan Bandung Utara Ruhaimah (1987) dalam penelitiannya mengenai pola penggunaan lahan di Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung Bandung Utara menemukan bahwa debit sungai musim hujan relatif lebih besar bila dibandingkan dengan debit sungai musim kemarau yang menandakan rendahnya serapan air pada tanah daerah aliran sungai. Hal ini menunjukkan telah terjadi kerusakan tanah. Kadar lumpur dari rendah dan tiba-tiba tinggi di musim hujan merupakan petunjuk terjadinya erosi didaerah aliran sungai tersebut. Utami (1990) dalam kajiannya mengenai pengelompokkan masalah lingkungan Wilayah Bandung Utara sehubungan dengan fungsi ekologisnya sebagai wilayah
peresapan air tanah mengemukakan bahwa tingginya
perkembangan wilayah Bandung Utara dipengaruhi juga oleh adanya kendala alam, yaitu : kemiringan lahan, kepekaan tanahnya terhadap erosi, dan pernah tidaknya suatu wilayah mengalami erosi. Apabila perkembangan kawasan permukiman mencapai bagian-bagian wilayah peruntukan lahannya yang tidak sesuai dikatakan ada masalah lingkungan di wilayah tersebut. Pakpahan (1994) dalam kajiannya mengenai upaya pelestarian kawasan resapan air di Wilayah Bandung Utara mengemukakan bahwa Kecamatan Cisarua, Parongpong, Ngamprah dan Sukasari mempunyai tingkat keterancaman tinggi karena memikiki luas lahan terbangun yang tinggi atau sedang, serta memiliki luas lahan izin lokasi yang belum selesai tahap pembangunannya yang tinggi, atau rendah namun memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Sedangkan Kecamatan Cidadap, Cikalong Wetan, Lembang, Cimahi Utara, dan Padalarang memiliki tingkat keterancaman rendah karena luas terbangun dan luas lahan izin lokasi yang belum selesai tahap pembangunannya termasuk kedalam kategori rendah. Tinjauan ini menunjukkan bahwa tingginya luas lahan yang terbangun
45
disertai dengan kepadatan penduduk yang tinggi berpengaruh terhadap tingkat keterancamanan kelestarian kawasan resapan air. Komalasari (1998) mengemukakan bahwa hasil penelitian PDAM terhadap kualitas Sungai Cibeureum yang mengalir melalui Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung, selama Januari 1997 sampai Agustus 1997, menunjukkan kadar maksimum besi terlarut mencapai 4.60 mg/liter, mangan terlarut 3,48 mg/liter, kekeruhan mencapai 78.0 NTU dan pH terendah 5.4. Sedangkan menurut standard kualitas air bersih berdasarkan Permenkes RI No 416/Menkes/Per/IX/1990, kadar maksimum besi yang diperbolehkan 0.3 mg/liter, mangan terlarut 0.1 mg/liter, pH antara 6.5-8.5. Kondisi ini terjadi karena terjadi erosi yang tinggi di daerah hulu DAS Cibeureum yang memiliki struktur geologi batuan gunung merapi, kandungan mineral besi dan mangan yang tinggi dalam tanah, kondisi pH dan air yang relatif asam. Hidayat (1999) dalam penelitiannya mengenai kewenangan administratif dalam pengelolaan lingkungan Kawasan Bandung Utara mengemukakan bahwa implementasi kebijakan yang digariskan oleh pemerintah yang lebih atas tidak seluruhnya dapat diterapkan secara penuh pada pelaksanaan di lapangan tanpa adanya penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Dalam tinjauan ini juga dikemukakan bahwa kewenangan administratif melalui penanganan perijinan, pelaksanaan studi AMDAL, pengendalian, pemberian sanksi, dan pelaporan, secara rutin memiliki hubungan yang cukup erat dengan pengelolaan kawasan Bandung Utara. Dengan demikian masalah pengelolaan lingkungan yang kurang baik secara nyata dapat dijelaskan oleh penanganan perijinan, pelaksanaan studi AMDAL, pengendalian, pemberian sanksi dan pelaporan secara rutin yang kurang konsisten dengan kebijakan Pemda Tingkat I Jawa Barat. Situmorang (2004) dalam kajiannya mengenai teknologi pengembalian fungsi hidrologis lahan perumahan di kawasan inti Bandung Raya Utara, mengemukakan bahwa adanya penyimpangan penggunaan tataguna lahan di Bandung Utara menyebabkan dampak kerugian per tahunnya terhadap produksi sumur sebesar Rp 218.764.575,00, sumur pompa sebesar 537.316.500,00 dan PDAM sebesar Rp. 230.278.500,00.
46
Akibat perubahan debit infiltrasi terhadap akuifer cekungan Bandung adalah pengurangan volume akuifer sebesar 1,45 % dari total imbuhan Bandung Utara. Akibat perubahan tataguna lahan di kawasan Villa Istana Bunga adalah berkurangnya debit aliran dasar sungai Cimahi yang merupakan sumber air baku PDAM Cimahi sehingga ancaman terhadap pemenuhan air bersih Kota Cimahi. Sedangkan Tim peneliti dari Puslitbangkim (2000), dalam penelitiannya mengenai model pengendalian stabilitas aliran mantap (air) dalam tata ruang permukiman di Bandung Utara mengemukakan bahwa adanya perubahan nilai koefisien limpasan (C) di kecamatan Cimenyan yang mengharuskan nilai koefisien limpasan (C) sebesar 0,40 sedangkan nilai C dari izin lokasi sebesar 0,55. Nilai koefisien limpasan (C) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang dengan kemiringan 8%-15% yang seharusnya 0,35 dari izin lokasi akan menjadi 0,57. Jelas terlihat disini, akan adanya perubahan penggunaan nilai koefisien limpasan (C) di Kawasan Bandung Utara seandainya perizinan lokasi perumahan tersebut direalisasikan. Selain itu penelitian ini juga menemukan daerah-daerah yang tidak sesuai dijadikan sebagai daerah perumahan dan kegiatan perkotaan (daerah kerja). Daerah- daerah ini terletak pada ketinggian 750-1500 m dpl dengan kelerengan lebih dari 15% serta mempunyai curah hujan yang cukup tinggi antara 2000-2500 mm/tahun. Daerah ini mencakup Kecamatan Lembang, Parongpong, Cisarua, Cimahi Utara. Sedangkan Kecamatan Cilengkrang dan Cimenyan yang terletak pada ketinggian 750-850m dpl dengan kelerengan cukup curang lebih dari 20 %. sekarang ini telah berkembang menjadi daerah permukiman. Darsiharjo (2004) dalam penelitiannya mengenai model pemanfaatan lahan berkelanjutan di daerah hulu Sungai Cikapundung Bandung Utara mengemukakan telah terjadi kesalahan penempatan jenis penggunaan lahan.
Sebagian besar
(70,52%) penggunaan lahan yang ada sekarang di daerah hulu sungai Cikapundung tidak sesuai dengan kesesuaian lahannya untuk berbagai penggunaan lahan tersebut, sedangkan penggunaan lahan sekarang yang sesuai dengan lahannya sebesar 29,48 %. Selanjutnya Darsiharjo (2004) mengemukakan bahwa telah terjadi penipisan ketebalan tanah yang sangat cepat di daerah tegalan dan peningkatan koefisien
47
aliran permukaan setiap tahun sebesar 0,378 %, sehingga banjir di Kota Bandung bagian hilir sering terjadi dan meningkat setiap tahun. Medawati (1996) dalam penelitiannya mengenai pengembangan model pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman mengemukakan bahwa karakteristik emisi pencemar udara di daerah perkotaan di Kota Jakarta, Bandung, Surabaya ditentukan oleh besarnya sektor-sektor yang menggunakan bahan bakar. Sektor yang paling dominan di ketiga kota tersebut adalah sektor transportasi. Kontribusi emisi CO, HC, NOx, Partikulat dan SO2 sektor ini tidak saja ditentukan oleh volume lalu lintas dan jumlah kendaraan tetapi juga oleh pola lalu lintas dan sirkulasinya di dalam kota, khususnya di daerah pusat kota dan perdagangan. Sektor rumah tangga pengguna bahan bakar dan pembakaran sampah memberikan kontribusi yang cukup berarti pula, terutama emisi partikulat dan SO2, namun secara keseluruhan kontribusi kedua sektor ini masih berada di bawah sektor transportasi. Selain itu Medawati (1996) mengemukakan pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman dapat dilakukan dengan pohon Angsana, Bougenvile dan Flamboyant. Emisi CO dapat lebih diserap oleh kerimbunan tanaman-tanaman tersebut dibandingkan dengan emisi SO2. Kemampuan tanaman Angsana sebesar (+62,8%), Bougenvile (+47,96%) dan Flamboyan (+32.25%) terhadap emisi CO. Selanjutnya Medawati (1997) dalam penelitiannya mengenai pengendalian pencemaran udara dan kebisingan di lingkungan permukiman mengemukakan tanaman Bougenvile di halaman rumah sejenis semak dan perdu yang mempunyai ketinggian 2 meter dapat mereduksi debu sampai +70%. Pohon Asam Kranji dengan ketinggian 2-6 meter dapat ditanam di luar pagar halaman dan dapat mereduksi SO2 (+70%) dan CO (+60%). Sedangkan di pinggir jalan protokol sebaiknya ditanam pohon Angsana dengan ketinggian 4-8 meter karena dapat mereduksi SO2 (+38%) dan CO (+50%). Prihandono (1996) dalam kajiannya mengenai model pengendalian kadar air limbah rumah tangga non kakus mengemukakan bahwa air limbah umumnya berasal dari aktivitas mandi, cuci masak, pemakaian pembersih lantai, pembersih
48
dapur (peralatan masak), pembersih kamar mandi.
Dari beberapa lokasi
pengamatan terlihat bahwa terdapat kesamaan kandungan BOD, COD, NO3, Minyak/lemak yang telah melampaui standar baku mutu. Selanjutnya Prihandono (1996) mengemukakan tumbuhan Syperus sp3 model bavled chanel dengan jarak antar tumbuhan 40-60 cm merupakan tipe yang cukup sesuai untuk pengendalian air limbah rumah tangga non kakus dengan bio filter. Siregar (2003) dalam kajiannya mengenai analisis distribusi tegangan tanah akibat beban pondasi sebagi fungsi dari ukuran pondasi mengemukakan bahwa tanah pada tegangan yang rendah biasanya masih berperilaku elastis dan tidak linier. Pada kondisi tertentu bila tegangan terus diperbesar maka tanah akan mencapai kondisi plastis yang ditandai dengan besarnya regangan tanpa terjadi perubahan tegangan yang berarti. Bila tanah yang telah mencapai kondisi plastis kondisi plastis dan kemudian tegangan yang terdapat pada tanah dikembalikan tegangan yang terdapat pada tanah dikembalikan hingga ke titik nol maka akan terdapat regangan tetap (permanen). Pola hubungan tegangan-regangan yang terjadi saat tegangan dikembalikan ke titik nol adalah mengikuti pola saat tegangan dinaikkan sebelum mencapai plastis. Dengan demikian dapat dibayangkan suatu kondisi dimana tanah akan berperilaku plastis hingga runtuh bila regangan diteruskan. Selanjutnya Siregar (2003) mengemukakan bahwa kedalaman daerah distribusi tegangan tergantung pada ukuran pondasi dan juga gaya yang bekerja pada pondasi, sementara lebar daerah distribusi lebih tergantung pada ukuran pondasi. Semakin besar ukuran pondasi dan gaya yang bekerja semakin dalam dan lebar pula daerah distribusi yang ditimbulkan.
Herina (2006) dalam kajiannya mengenai kegagalan pondasi bangunan mengemukakan
bahwa
kegagalan
pondasi
bangunan
yang
disebabkan
berkurangnya daya dukung tanah akibat getaran gempa adalah peristiwa pencairan tanah. Masalah utama dari pencairan tanah yang harus diatasi adalah kenaikan tekanan air pori tanah karena tidak dapat terdrainase. Jika tekanan air pori ini sudah menyamai tegangan total tanah, tanah akan kehilangan kekuatannya
49
sehingga tidak mampu lagi mendukung struktur bangunan diatasnya. Upaya pengendaliannya antara lain dengan mengupayakan peningkatan kestabilan tanah dan desain struktur bangunan yang benar yang mempertimbangkan kondisi tanah pendukungnya. Ikhya (2003) dalam kajiannya mengenai analisis stabilisasi lereng mengemukakan bahwa tanah longsor sering menyebabkan kerusakan pada bangunan dan kadang menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Kelongsoran terjadi salah satunya karena lereng merupakan hasil galian (kedalaman galian 4,5 m) dengan kemiringan relatif curam tanpa dilakukan pengamanan lebih lanjut. Selain itu kelongsoran diperkirakan terjadi dengan mekanisme progressive failure yang sering terjadi pada lereng hasil galian dengan material tanah yang bersifat sensitif terhadap perubahan kondisi air tanah. Pada mekanisme ini, kelongsoran awal terjadi pada bagian bawah lereng yang selanjutnya akan menyebabkan ketidakstabilan pada bagian lereng diatasnya. Kelongsoran lanjutan akan terjadi jika proses pembebanan, baik secara mekanik maupun adanya rembesan air hujan yang menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah sehingga stabilitas lereng dalam kondisi kritis. Siahaan (2004) dalam kajiannya mengenai pengendalian indek konservasi lahan dalam pembangunan perumahan mengatakan bahwa adanya upaya mengambil jalan pintas untuk menguasai pangsa pasar perumahan yang tidak diikuti oleh kesadaran akan adanya bahaya perubahan indeks konservasi lahan dan tidak siapnya aspek pengelolaan kawasan yang ada sehingga mempercepat kerusakan lingkungan. Perubahan indek konservasi lahan ini ditandai dengan adanya banjir pada musim hujan serta terganggunya kelestarian air tanah sebagai akibat dari konservasi lahan yang tidak terkendali. Selanjutnya Siahaan (2004) mengemukakan bahwa pengendalian indek konservasi lahan lebih efektif dilakukan daripada mengendalikan aliran dasar di badan air karena biaya relatif murah dan pembagian peran fungsi ruang hidrologis lebih merata sehingga tidak terjadi pemusatan air dalam bagian ruang hidrologi tertentu (badan air) yang mengakibatkan banjir. Kuswara (2004) dalam kajiannya mengenai penataan sistem perumahan dan permukiman dalam rangka gerakan nasional pengembangan satu juta rumah
50
mengemukakan bahwa pengembangan dan penataan perumahan pada lokasi yang sesuai akan mendukung tidak hanya program perumahan dan permukiman itu sendiri, tetapi juga program pembangunan kota secara keseluruhan. Selain itu perlu upaya penataan sistem perumahan dan harus dilakukan dalam tahapan pemilihan penyediaan lokasi untuk pengembangan perumahan dan permukiman. Dua hal utama yang perlu dijadikan dasar pertimbangan adalah arah dan perkembangan kota dalam lingkup internal maupun regional serta jenis pengembangan perumahan dan permukiman itu sendiri.
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Keadaan Geografis 3.1.1. Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten dan daerah penyangga serta pintu gerbang bagi kabupaten yang berada di sekitar Ibu Kota Propinsi Jawa Barat. Ibu Kota Kabupaten Bandung adalah Soreang yang terletak di sebelah selatan wilayah administrasi Kota Bandung. Wilayah Kabupaten Bandung terletak pada posisi 6o41’ Lintang Selatan sampai dengan 7o19’ Lintang Selatan serta 107o22’ Bujur Timur sampai dengan 108o5’ Bujur Timur (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Luas wilayah Kabupaten Bandung sampai dengan tahun 2007 adalah 309.207,93 ha atau 3.092,0793 km2 yang terdiri dari 45 kecamatan dan 431 desa. Kabupaten Bandung mengelilingi batas Kota Bandung pada bagian tengah wilayahnya dan berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta serta Subang di bagian utara, Kabupaten Sumedang dan Garut di sebelah timur serta Kabupaten Cianjur di sebelah barat dan selatan. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung adalah pegunungan. Gunung Bukit Tunggul (+ 2.200 meter) berada di sebelah utara wilayah Kabupaten Bandung, Gunung Tangkuban Perahu (+ 2.076 meter) di perbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. Gunung Patuha (+ 2.334 meter) dan Gunung Malabar (+ 2.321 meter) berada di sebelah selatan wilayah Kabupaten Bandung serta Gunung Papandayan (+ 2.262 meter) dan Gunung Guntur (+ 2.249 meter) di perbatasan dengan Kabupaten Garut. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Jenis tanah yang paling dominan di Kabupaten Bandung untuk kegiatan pertanian adalah latosol yang tersebar mulai dari bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Jenis tanah alluvial lebih banyak dijumpai pada daerah datar hingga bergelombang. Jenis tanah andosol dengan struktur gembur merupakan lahan subur di daerah pegunungan. Wilayah Kabupaten Bandung secara klimatologi termasuk dalam tipe iklim B1 dengan suhu udara bervariasi antara 18oC sampai dengan 29oC serta curah hujan mencapai 1.450 mm/tahun. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
53
3.1.2. Kecamatan Lembang Kecamatan Lembang memiliki pusat pemerintahan di Kota Lembang dan berada pada posisi 107o35’5”,6256 BT sampai dengan 107o44’30”,6816 BT serta 6o51’48”,528 LS sampai dengan 6o45’54”,3456 LS. Ketinggian Kota Lembang berada pada + 1.274 m dpl. Suhu maksimum di Kecamatan Lembang adalah 27o Celcius dan suhu minimum adalah 15o Celcius. Jumlah hari dengan curah hujan terbanyak adalah 120 hari dan jumlah curah hujan sebesar 2.121 mm/tahun. (Kecamatan Lembang, 2006). Jarak pusat pemerintahan wilayah Kecamatan Lembang dengan desa atau kelurahan yang terjauh adalah 4 km atau dapat ditempuh dengan waktu ½ jam, dengan Ibu Kota Kabupaten Bandung di Soreang sejauh 39 km atau dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam serta dengan Ibu Kota Propinsi di Kota Bandung sejauh 18 km atau dapat ditempuh dengan waktu 1 jam. (Kecamatan Lembang, 2006). Jumlah desa di Kecamatan Lembang adalah sebanyak 16 desa dengan 43 dusun, 212 rukun warga dan 741 rukun tetangga. Desa-desa di Kecamatan Lembang adalah Desa Lembang, Pagerwangi, Cibogo, Cikidang, Cibodas, Cikahuripan, Wangunsari, Gudang
Kahuripan,
Langensari,
Suntenjaya,
Jayagiri,
Cikole,
Mekarwangi,
Wangunharja, Kayuambon dan Sukajaya. (Kecamatan Lembang, 2006).
3.1.3. Kecamatan Cimenyan Kecamatan Cimenyan memiliki pusat pemerintahan di Kota Cimenyan dan berada pada posisi 107o37’0”,696 BT sampai dengan 107o42’35”,28 BT serta 6o54’2”,7072 LS sampai dengan 6o49’43”,752 LS. Ketinggian Kota Cimenyan berada pada + 700 s.d + 900 m dpl. Suhu maksimum di Kecamatan Cimenyan adalah 23o Celcius dan suhu minimum adalah 18o Celcius. Jumlah hari dengan curah hujan terbanyak adalah 45 hari dan jumlah curah hujan sebesar 2.200 s.d 3.000 mm/tahun. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Jarak pusat pemerintahan wilayah Kecamatan Cimenyan dengan desa atau kelurahan yang terjauh adalah 16 km atau dapat ditempuh dengan waktu 1 jam, dengan Ibu Kota Kabupaten Bandung di Soreang sejauh 30 km atau dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam serta dengan Ibu Kota Propinsi di Kota Bandung sejauh 12 km atau dapat ditempuh dengan waktu ½ jam. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
54
Jumlah desa di Kecamatan Cimenyan adalah sebanyak 7 desa dan 2 kelurahan dengan 28 dusun, 134 rukun warga dan 544 rukun tetangga. Desa-desa di Kecamatan Cimenyan adalah Desa Mekarsaluyu, Ciburial, Cimenyan, Mandalamekar, Cikadut, Sindanglaya dan Mekarmanik serta Kelurahan Padasuka dan Cibeunying. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
3.1.4. Kecamatan Cilengkrang Kecamatan Cilengkrang memiliki pusat pemerintahan di Kota Cilengkrang dan berada pada posisi 107o40’36”,8688 BT sampai dengan 107o44’24”,9504 BT serta 6o54’46”,5408 LS sampai dengan 6o49’37”,9776 LS. Ketinggian Kota Cilengkrang berada pada + 780 m dpl. Suhu maksimum di Kecamatan Cilengkrang adalah 30o Celscius dan suhu minimum adalah 14o Celcius. Jumlah hari dengan curah hujan terbanyak adalah 5 hari. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Jarak pusat pemerintahan wilayah Kecamatan Cilengkrang dengan desa atau kelurahan yang terjauh adalah 7 km atau dapat ditempuh dengan waktu ½ jam, dengan Ibu Kota Kabupaten Bandung di Soreang sejauh 27 km atau dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam serta dengan Ibu Kota Propinsi di Kota Bandung sejauh 31 km atau dapat ditempuh dengan waktu 1 jam. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Jumlah desa di Kecamatan Cilengkrang adalah sebanyak 6 desa dengan 20 dusun, 75 rukun warga dan 296 rukun tetangga. Desa-desa di Kecamatan Cilengkrang adalah Desa Cipamekar, Cipanjalu, Ciporeat, Makamranci, Mekarwangi dan Sindanglaya. (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
3.2. Aspek Kependudukan dan Sosial 3.2.1. Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten terluas di Jawa Barat, yaitu 3.092,07 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 4.274.431 jiwa pada tahun 2005/2006. Penduduk laki-laki di Kabupaten Bandung sebanyak 2.146.942 jiwa dan penduduk perempuan di Kabupaten Bandung sebanyak 2.127.489 jiwa. Kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung cukup padat yaitu sekitar 1.382,38 jiwa per km2. Kepadatan penduduk di setiap kecamatan di Kabupaten Bandung berkisar antara 338,64
55
jiwa/km2 (Kecamatan Pasirjambu) sampai dengan 13.899,90 jiwa/km2 (Kecamatan Cimahi Tengah). Rasio jenis kelamin penduduk di Kabupaten Bandung tercatat 100,94 yang artinya adalah setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat sekitar 101 orang penduduk laki-laki. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Jumlah rumah tangga di Kabupaten Bandung mencapai 1.106.390 kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga adalah 3,863 orang atau 4 orang. Anggota keluarga terbanyak mencapai 4,13 jiwa per rumah tangganya berada di Kecamatan Ciparay dan terendah adalah 3,42 jiwa per rumah tangga di Kecamatan Dayeuhkolot. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Indikator makro sosial Kabupaten Bandung terdiri dari komponen kesehatan, pendidikan dan agama. Indikator makro sosial meliputi laju pertumbuhan penduduk, angka harapan hidup, angka kematian bayi, tingkat partisipasi angkatan kerja, rasio ketergantungan dan angka melek huruf. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bandung pada tahun 2005/2006 adalah 3,19 %, angka harapan hidup adalah 65,85 tahun, angka kematian bayi adalah 46,37 per 1.000 kelahiran, tingkat partisipasi angkatan kerja adalah 52,84 %, rasio ketergantungan adalah 52,48 % dan angka melek huruf mencapai 98,23 %. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Masyarakat Kabupaten Bandung sebagian besar merupakan masyarakat suku Sunda dengan kebudayaan yang kaya. Pluralitas dapat diterima oleh masyarakat Kabupaten Bandung dan dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Beberapa instansi militer dan polisi baik pusat pendidikan maupun kesatuan terdapat di Kabupaten Bandung, yaitu KODIM sebagai Komando Teritorial TNI (KODIM 0609 Bandung). Penanganan keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah hukum Kabupaten Bandung dilaksanakan oleh 2 Kepolisian Resor (Polres), yaitu : Polres Cimahi dan Polres Soreang. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kehidupan beragama di Kabupaten Bandung berlangsung kondusif dalam bentuk kerjasama antara umat beragama yang diwujudkan dalam forum kerukunan umat beragama. Komposisi penduduk menurut agama dan prasarana-sarana peribadatan, yaitu: penganut agama Islam di Kabupaten Bandung sebanyak 3.983.409 orang dengan mesjid sejumlah 5.664 buah serta mushola sejumlah 8.181 buah. Penganut agama
56
Kristen di Kabupaten Bandung sebanyak 26.831 orang dengan gereja Kristen sejumlah 7 buah. Penganut agama Katolik sebanyak 39.609 orang dengan gereja Katolik sejumlah 40 buah. Penganut agama Hindu sebanyak 4.806 orang dengan pura sejumlah 1 buah. Penganut agama Budha sebanyak 5.009 orang dengan vihara sejumlah 1 buah. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kabupaten Bandung yang terdiri dari 45 kecamatan, 9 kelurahan dan 431 desa, 5.809 rukun warga (RW), 22.779 rukun tetangga (RT) memiliki 1.106.390 rumah tangga atau kepala keluarga. Kepala keluarga laki-laki di Kabupaten Bandung sejumlah 991.702 orang dan kepala keluarga perempuan di Kabupaten Bandung sejumlah 114.688 orang. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Jumlah kepala keluarga di Kabupaten Bandung yang bekerja sebanyak 837.136 orang dan 269.254 orang kepala keluarga tidak bekerja. Status pernikahan kepala keluarga adalah 975.830 orang menikah sedangkan 130.560 orang berstatus duda atau janda. Status pendidikan kepala keluarga di Kabupaten Bandung yang tamat sekolah dasar (SD) sebanyak 115.027 orang, kepala keluarga di Kabupaten Bandung yang tamat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sebanyak 713.071 orang dan 224.801 kepala keluarga tamat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) serta 53.491 kepala keluarga tamat akademi atau perguruan tinggi. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Jumlah anggota keluarga laki-laki di Kabupaten Bandung adalah 2.031.398 orang dan jumlah anggota keluarga perempuan adalah 1.995.136 orang. Jumlah wanita subur di Kabupaten Bandung periode 2005/2006 mencapai 1.080.398 orang dengan kematian 1 tahun terakhir dari ibu hamil melahirkan mencapai 216 orang serta kematian bayi berumur kurang dari pada 1 tahun sebanyak 609 bayi. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Struktur penduduk di Kabupaten Bandung periode 2005/2006 untuk bayi berumur 0 sampai dengan 1 tahun adalah 86.181 bayi, untuk anak berumur 1 sampai dengan 4 tahun adalah 319.267 anak dan untuk anak berumur 5 sampai dengan 6 tahun adalah 157.331 anak. Anak usia 7 sampai dengan 12 tahun yang bersekolah sebanyak 247.787 anak laki-laki dan 230.268 anak perempuan. Anak usia 7 sampai dengan 12 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 11.444 anak laki-laki dan 8.358 anak perempuan. Anak usia sekolah 13 sampai dengan 15 tahun yang bersekolah sebanyak 113.416 anak
57
laki-laki dan 109.001 anak perempuan. Anak usia sekolah 13 sampai dengan 15 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 24.164 anak laki-laki dan 21.373 anak perempuan. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Penduduk yang berumur 22 sampai dengan 59 tahun di Kabupaten Bandung pada periode 2005/2006 sebanyak 2.139.178 orang sedangkan yang berusia di atas 50 tahun sebanyak 229.610 orang. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
3.2.2. Kecamatan Lembang Jumlah kepala keluarga di Kecamatan Lembang adalah sebanyak 25.238 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 132.952 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Lembang adalah 65.855 orang serta 67.097 orang penduduk perempuan. (Kecamatan Lembang, 2006). Struktur penduduk menurut usia di Kecamatan Lembang, yaitu 23.199 orang berusia antara 0 sampai dengan 6 tahun, 19.159 orang berusia antara 7 sampai dengan 12 tahun, 18.520 orang berusia antara 13 sampai dengan 18 tahun, 14.861 orang berusia antara 19 sampai dengan 24 tahun, 37.919 orang berusia antara 25 sampai dengan 55 tahun, 7.916 orang antara 56 tahun sampai dengan 79 tahun dan 718 orang berusia 80 tahun lebih. (Kecamatan Lembang, 2006). Penduduk di Kecamatan Lembang yang menganut Agama Islam adalah sebanyak 141.931 orang, 824 orang beragama Katolik, 1.767 orang beragama Protestan, 62 orang beragama Hindu dan 50 orang beragama Budha. Penganut kepada Tuhan Yang Maha Esa sebanyak 68 orang. (Kecamatan Lembang, 2006). Penduduk di Kecamatan Lembang dengan tingkat pendidikan belum sekolah adalah sebanyak 16.371 orang, 1.039 orang buta huruf, 10.145 orang tidak tamat sekolah, 42.547 orang tamat SD, 15.462 orang tamat SMP, 12.059 orang tamat SMU, 571 orang tamat akademi dan 4.088 orang tamat perguruan tinggi. (Kecamatan Lembang, 2006). Penduduk di Kecamatan Lembang menurut mata pencaharian yaitu 12.921 orang petani yang terdiri dari 7.567 orang petani pemilik tanah, 9.589 orang petani penggarap tanah, 123 orang petani penggarap/penyekap dan 7.643 orang buruh tani. Pengrajin/industri kecil sebanyak 483 orang, 2.377 orang buruh industri, 1.330 orang
58
buruh bangunan, 6.664 orang pedagang, 310 orang bidang pengangkutan, 3.764 orang pegawai negeri sipil, 1.123 orang TNI dan 623 orang pensiunan pegawai negeri sipil dan TNI. (Kecamatan Lembang, 2006). Jumlah pasangan usia subur di Kecamatan Lembang sebanyak 28.558 pasangan dengan 23.806 pasangan yang masuk program keluarga berencana. 4.665 orang menggunakan pil, 2.141 orang menggunakan IUD, 42 orang menggunakan kondom, 14.697 orang menggunakan suntik, 554 orang menggunakan MOP, 1.371 orang menggunakan MOW dan 2.016 orang menggunakan KB Mandiri. Penderita cacat fisik fatal sebanyak 179 orang. (Kecamatan Lembang, 2006).
3.2.3. Kecamatan Cimenyan Jumlah kepala keluarga di Kecamatan Cimenyan adalah sebanyak 21.674 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 84.664 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Cimenyan adalah 43.257 orang serta 41.407 orang penduduk perempuan. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Struktur penduduk menurut usia di Kecamatan Cimenyan, yaitu 10.015 orang berusia antara 0 sampai dengan 6 tahun, 11.413 orang berusia antara 7 sampai dengan 12 tahun, 12.505 orang berusia antara 13 sampai dengan 18 tahun, 12.643 orang berusia antara 19 sampai dengan 24 tahun, 24.751 orang berusia antara 25 sampai dengan 55 tahun, 8.510 orang antara 56 tahun sampai dengan 79 tahun dan 4.115 orang berusia 80 tahun lebih. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Penduduk di Kecamatan Cimenyan yang menganut Agama Islam adalah sebanyak 73.106 orang, 1.709 orang beragama Katolik, 3.055 orang beragama Protestan, 96 orang beragama Hindu dan 61 orang beragama Budha. Penganut kepada Tuhan Yang Maha Esa sebanyak 550 orang. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Penduduk di Kecamatan Cimenyan dengan tingkat pendidikan belum sekolah adalah sebanyak 13.210 orang, 29.800 orang tamat SD, 15.910 orang tamat SMP, 11.200 orang tamat SMU, 1.758 orang tamat akademi dan 1.821 orang tamat perguruan tinggi. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Penduduk di Kecamatan Cimenyan menurut mata pencaharian yaitu 4.772 orang petani yang terdiri dari 1.070 orang petani pemilik tanah, 221 orang petani penggarap
59
tanah, 81 orang petani penggarap/penyekap dan 3.400 orang buruh tani. Pengusaha sedang/besar sebanyak 65 orang, 92 orang pengrajin/industri kecil, 8.600 orang buruh industri, 6.560 orang buruh bangunan, 2 orang buruh pertambangan, 65 orang buruh perkebunan, 4.285 orang pedagang, 211 orang bidang pengangkutan, 2.150 orang pegawai negeri sipil, 153 orang TNI dan 687 orang pensiunan pegawai negeri sipil dan TNI. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Jumlah pasangan usia subur di Kecamatan Cimenyan sebanyak 17.425 pasangan dengan 14.281 pasangan yang masuk program keluarga berencana. 3.524 orang menggunakan pil, 1.903 orang menggunakan IUD, 27 orang menggunakan kondom, 8.083 orang menggunakan suntik, 106 orang menggunakan MOP, 442 orang menggunakan MOW dan 9.742 orang menggunakan KB Mandiri. Penderita cacat fisik fatal sebanyak 25 orang dan penderita cacat mental (gila) sebanyak 50 orang. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
3.2.4. Kecamatan Cilengkrang Jumlah kepala keluarga di Kecamatan Cilengkrang adalah sebanyak 11.051 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 38.369 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Cilengkrang adalah 19.925 orang serta 18.444 orang penduduk perempuan. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Struktur penduduk menurut usia di Kecamatan Cilengkrang, yaitu 2.621 orang berusia antara 0 sampai dengan 6 tahun, 3.270 orang berusia antara 7 sampai dengan 12 tahun, 2.466 orang berusia antara 13 sampai dengan 18 tahun, 3.147 orang berusia antara 19 sampai dengan 24 tahun, 8.076 orang berusia antara 25 sampai dengan 55 tahun, 2.104 orang antara 56 tahun sampai dengan 79 tahun dan 657 orang berusia 80 tahun lebih. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Penduduk di Kecamatan Cilengkrang yang menganut Agama Islam adalah sebanyak 37.899 orang, 309 orang beragama Katolik, 304 orang beragama Protestan, 7 orang beragama Hindu dan 50 orang beragama Budha. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Penduduk di Kecamatan Cilengkrang dengan tingkat tamat SD sebanyak 5.118 orang, 2.351 orang tamat SMP, 1.210 orang tamat SMU, 272 orang tamat perguruan tinggi. (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
60
Penduduk di Kecamatan Cilengkrang menurut mata pencaharian yaitu 4.561 orang petani yang terdiri dari 311 orang petani pemilik tanah, 1.099 orang petani penggarap tanah, 1.658 orang petani penggarap/penyekap dan 1.493 orang buruh tani. Pengusaha sedang/besar sebanyak 14 orang, 15 orang pengrajin/industri kecil, 570 orang buruh industri, 1.145 orang buruh bangunan, 450 orang buruh perkebunan, 753 orang pedagang, 1.770 orang pegawai negeri sipil, 145 orang TNI dan 78 orang pensiunan pegawai negeri sipil dan TNI. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Jumlah pasangan usia subur di Kecamatan Cilengkrang sebanyak 7.684 pasangan dengan 6.116 pasangan yang masuk program keluarga berencana. 1.907 orang menggunakan pil, 1.668 orang menggunakan IUD, 15 orang menggunakan kondom, 2.837 orang menggunakan suntik, 104 orang menggunakan MOP dan 2.720 orang menggunakan KB Mandiri. (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
3.3. Aspek Ekonomis 3.3.1. Kabupaten Bandung Sektor di Kabupaten Bandung yang dapat dijadikan basis ekonomi adalah sektor industri. Hasil analisis LQ (Location Quotient) menunjukkan bahwa sektor industri, listrik, gas dan air bersih memegang peranan utama dalam perekonomian Kabupaten Bandung berdasarkan harga konstan dan harga berlaku. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Hasil analisis shift-share menunjukkan bahwa sektor industri dan bangunan merupakan sektor-sektor perekonomian wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif pesat dan memiliki keunggulan komparatif yang meningkat dalam perekonomian
propinsi
serta
memiliki
kecenderungan
menggeser
struktur
perekonomian daerah. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Hasil analisis terhadap potensi setiap sektor perekonomian di beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung adalah : •
Kota Cisarua di Kabupaten Bandung berada 18 km di sebelah utara Kabupaten Bandung. Akses ke Kota Cisarua sudah cukup baik dan dihubungkan oleh jalan kabupaten dengan Kota Lembang dan Cimahi. Kota Cisarua berfungsi sebagai kota pertanian hortikultura dan peternakan sapi perah. Kontribusi pertanian
61
hortikultura jauh lebih besar dibandingkan peternakan sapi perah. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). •
Kota Lembang di Kabupaten Bandung berada 16 km di sebelah utara Kota Bandung. Kota Lembang berpenduduk 42.094 jiwa dengan laju pertambahan penduduk sebesar 2,73 % per tahun. Kota Lembang berfungsi sebagai pusat kecamatan, pusat hasil pertanian hortikultura, tempat rekreasi, pendidikan tinggi militer (Polisi dan Angkatan Udara). Kota Lembang memiliki potensi yang sangat baik untuk berkembang, karena : (i) merupakan pemasok kebutuhan komoditas pertanian ke Kota Bandung, (ii) memiliki kondisi alam yang cukup baik, objek wisata yang menarik dan prasarana-sarana yang telah berkembang dengan baik, (iii) objek wisata yang terdapat di sebelah utara wilayah Lembang, yaitu : Tangkuban Perahu, Cikole, Maribaya dan Jayagiri. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
•
Kota Cimenyan di Kabupaten Bandung merupakan kota yang memiliki pengaruh langsung terhadap Kota Bandung karena jaraknya yang sangat berdekatan, mirip dengan Kota Margahayu. Batas Kota Cimenyan dan Kota Bandung secara fisik sudah tidak terlihat lagi. Kota Cimenyan berada 5 km di sebelah utara Kota Bandung dan berada di daerah penyangga sehingga Kota Cimenyan dibatasi perkembangannya. Kota Cimenyan berfungsi sebagai pusat kegiatan di Kecamatan Cimenyan dan menampung banyak luapan penduduk dari Kota Bandung, terutama para tenaga kerja pabrik dari Kota Bandung. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
•
Kota Cilengkrang berada 20 km di sebelah timur laut Kota Bandung. Kota Cilengkrang sangat dipengaruhi langsung oleh Kota Bandung. Potensi utama Kota Cilengkrang adalah sektor pertanian. Komoditas pertanian Kota Cilengkrang banyak dipasarkan di Kota Bandung. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
•
Kota Parongpong berada 15 km di sebelah utara Kota Bandung. Kota Parongpong berfungsi sebagai pusat kecamatan, pusat hasil pertanian, hortikultura dan tempat rekreasi. Kota Parongpong memiliki potensi untuk dikembangkan karena : (i) merupakan pemasok kebutuhan Kota Bandung untuk
62
komoditas pertanian, (ii) memiliki kondisi alam yang cukup baik, objek wisata yang menarik dan prasarana serta sarana yang telah berkembang. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
3.3.2. Kecamatan Lembang Sarana perekonomian di Kecamatan Lembang terdiri dari koperasi, bangunan pasar, pertokoan, warung, kios, bank dan stasiun. Koperasi di Kecamatan Lembang sebanyak 17 buah, yang terdiri dari 6 buah koperasi simpan pinjam, 1 buah koperasi unit desa (KUD), 1 buah BKPD dan 9 buah badan-badan kredit. Pasar dengan bangunan permanen atau semi permanen di Kecamatan Lembang sebanyak 2 buah. Jumlah toko, kios dan warung di Kecamatan Lembang sebanyak 1.879 buah. Bank di Kecamatan Lembang sebanyak 6 buah. Stasiun di Kecamatan Lembang sebanyak 1 buah. (Kecamatan Lembang, 2006). Jumlah perusahaan atau badan usaha di Kecamatan Lembang bergerak pada sektor industri, perhotelan/losmen/penginapan, rumah makan/warung makan dan lainlain. Jumlah badan usaha sektor industri sebanyak 262 buah, terdiri dari badan usaha besar dan sedang sebanyak 13 buah, badan usaha kecil sebanyak 75 buah dan badan usaha
rumah
tangga
sebanyak
174
buah.
Jumlah
badan
usaha
sektor
perhotelan/losmen/penginapan di Kecamatan Lembang sebanyak 36 buah. Jumlah badan usaha sektor rumah makan/warung makan sebanyak 114 buah sedangkan sektor lain-lain sebanyak 1 buah. (Kecamatan Lembang, 2006). Fasilitas perkreditan di Kecamatan Lembang berupa Bimas/Inmas/Insus menyalurkan kredit kepada 541 orang. (Kecamatan Lembang, 2006).
3.3.3. Kecamatan Cimenyan Sarana perekonomian di Kecamatan Cimenyan terdiri dari koperasi, pertokoan, warung, kios dan telepon umum. Koperasi di Kecamatan Cimenyan sebanyak 35 buah, yang terdiri dari 19 buah koperasi simpan pinjam dan 15 buah koperasi lainnya. Jumlah toko, kios dan warung di Kecamatan Cimenyan sebanyak 811 buah. Jumlah telepon umum di Kecamatan Cimenyan sebanyak 61 buah. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
63
Jumlah perusahaan atau badan usaha di Kecamatan Cimenyan bergerak pada sektor industri, perhotelan/losmen/penginapan, rumah makan/warung makan dan lainlain. Jumlah badan usaha sektor industri sebanyak 871 buah, terdiri dari badan usaha kecil sebanyak 15 buah dengan 80 orang tenaga kerja dan badan usaha rumah tangga sebanyak 18 buah dengan 40 orang tenaga kerja. Jumlah badan usaha sektor rumah makan/warung makan sebanyak 781 buah dengan 1.211 orang tenaga kerja, 18 buah usaha perdagangan dengan 200 orang tenaga kerja, 35 buah usaha angkutan dengan 70 orang tenaga kerja serta 14 buah usaha lain-lain dengan 21 orang tenaga kerja. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
3.3.4. Kecamatan Cilengkrang Sarana perekonomian di Kecamatan Cilengkrang terdiri dari koperasi, pertokoan, warung, kios dan telepon umum. Koperasi di Kecamatan Cilengkrang sebanyak 7 buah, yang terdiri dari 4 buah koperasi simpan pinjam dan 3 buah koperasi lainnya. Jumlah toko, kios dan warung di Kecamatan Cilengkrang sebanyak 215 buah. Jumlah telepon umum di Kecamatan Cilengkrang sebanyak 22 buah. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Jumlah perusahaan atau badan usaha di Kecamatan Cilengkrang bergerak pada sektor industri, perhotelan/losmen/penginapan, rumah makan/warung makan dan lainlain. Jumlah badan usaha sektor industri sebanyak 57 buah, terdiri dari badan usaha besar dan sedang sebanyak 14 buah dengan 420 orang tenaga kerja, badan usaha kecil sebanyak 15 buah dengan 150 orang tenaga kerja dan badan usaha rumah tangga sebanyak 28 buah dengan 140 orang tenaga kerja. Jumlah badan usaha perdagangan sebanyak 379 buah dengan 759 orang tenaga kerja. (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
3.4. Struktur Tata Ruang 3.4.1. Kabupaten Bandung Kawasan lindung di Kabupaten Bandung adalah seluas 84.462 ha atau sekitar 27,12 % dari luas wilayah Kabupaten Bandung. Kawasan lindung terdiri dari kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya, kawasan lindung setempat, kawasan cagar alam dan kawasan rawan bencana.
64
Kawasan lindung di Kabupaten Bandung berdasarkan klasifikasi fungsinya terdiri atas : •
Perairan,
•
Hutan lindung,
•
Cagar alam,
•
Taman hutan raya (THR) atau wisata alam,
•
Sempadan sungai / danau,
•
Ruang terbuka hijau (RTH). Kawasan hutan lindung sebagian besar merupakan kawasan yang mempunyai
kelerengan > 40 % yang tersebar di bagian barat dan selatan (Kecamatan Cipatat, Cililin, Gununghalu, Ciwidey, Pangalengan, Banjaran dan Ciparay). Kawasan lindung lain adalah kawasan di sekitar Waduk Cirata dan Saguling dengan radius hingga 100 meter, kawasan resapan air di Bandung Utara (Cisarua, Cimenyan dan Lembang), kawasan di sekitar mata air atau danau, di sepanjang koridor sungai serta di kawasan rawan bencan alam (banjir atau longsor). (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan budidaya di wilayah Kabupaten Bandung meliputi area seluas 227.013 ha atau sekitar 72,88 % dari wilayah Kabupaten Bandung. Kawasan budidaya di Kabupaten Bandung menurut fungsinya terbagi atas : hutan produksi, pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, industri, permukiman, perdagangan, perkantoran dan sarana umum. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kegiatan utama yang membentuk struktur tata ruang Kabupaten Bandung secara spasial dan fungsional serta memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya adalah: •
Pusat Administrasi Pemerintahan di Kota Soreang,
•
Terminal antar kota di Cileunyi dan terminal peti kemas Gedebage,
•
Industri di Dayeuhkolot-Pameungpeuk-Banjaran, Katapang-Soreang, Majalaya, Cimahi Tengah-Cimahi Barat dan Rancaekek-Cicalengka,
•
Perumahan di kota-kota satelit, yaitu : di Kecamatan Ciwidey, Pangalengan, Cicalengka Rancaekek, Margahayu, Ciparay, Banjaran, Cililin, Cileunyi, Cipatat, Cimahi dan Cipeundeuy.
65
•
Perkebunan dan agribisnis di Ciwidey, Pangalengan dan Lembang,
•
Penambangan batu kapur atau galian C di Kecamatan Padalarang – Cipatat,
•
Pariwisata alam di Kecamatan Pangalengan dan Lembang,
•
Kawasan daerah aliran sungai (DAS) Citarum, Waduk Saguling dan Waduk Cirata,
•
Hutan lindung atau cagar alam di bagian utara dan selatan Kabupaten Bandung,
•
Pertambangan galian C skala besar di Kecamatan Cipatat, Cikalong Wetan, Cicalengka, Batujajar dan lain sebagainya. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
3.4.2. Kecamatan Lembang Prasarana transportasi di Kecamatan Lembang terdiri dari jalan propinsi sepanjang 31,5 km, jalan kabupaten sepanjang 26,2 km dan jalan desa sepanjang 173,5 km. Prasarana transportasi yang rusak di Kecamatan Lembang untuk jalan kelas I sepanjang 13 km, jalan kelas II yang rusak sepanjang 21 km, jalan kelas III yang rusak sepanjang 19 km dan jalan kelas IV yang rusak sepanjang 29 km atau total jalan yang rusak di Kecamatan Lembang adalah sepanjang 82 km. (Kecamatan Lembang, 2006). Jumlah jembatan di Kecamatan Lembang sebanyak 5 buah dengan panjang 46 meter. Jembatan beton/batu bata sebanyak 5 buah dengan panjang 46 meter, jembatan besi sebanyak 6 buah dengan panjang 25 meter. (Kecamatan Lembang, 2006). Jumlah tempat ibadah di Kecamatan Lembang, yaitu mesjid sebanyak 263 buah, surau/mushola sebanyak 163 buah, gereja sebanyak 7 buah dan kuil/pura sebanyak 1 buah. (Kecamatan Lembang, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Lembang berupa taman kanak-kanak sebanyak 40 buah dengan jumlah murid 2.600 siswa. Sekolah dasar negeri sebanyak 71 buah dengan jumlah murid 18.961 siswa, 726 orang guru, 180 lokal serta 3.600 m2 prasarana fisik. Sekolah dasar Inpres sebanyak 30 buah dengan jumlah murid 8.220 siswa, 335 orang guru, 100 lokal serta 3.000 m2 prasarana fisik. Sekolah dasar Islam sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 186 siswa dan 14 orang guru. (Kecamatan Lembang, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Lembang berupa sekolah menengah pertama negeri sebanyak 3 buah dengan jumlah murid 3.796 murid, 93 orang guru dan 60 lokal.
66
Sekolah menengah pertama swasta sebanyak 12 buah dengan jumlah murid 736 orang, 67 orang guru, 16 lokal serta 900 m2 prasarana fisik. (Kecamatan Lembang, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Lembang berupa sekolah menengah umum sebanyak 1 buah dengan jumlah murid 3.796 murid, 42 orang guru, 15 lokal serta 3.435 m2 prasarana fisik. Sekolah menengah umum swasta sebanyak 11 buah dengan jumlah murid 14.168 murid, 84 orang guru, 160 lokal serta 150 m2 prasarana fisik. Sarana pendidikan di Kecamatan Lembang setingkat akademi memiliki jumlah mahasiswa sebanyak 2.374 orang dengan 150 orang dosen. (Kecamatan Lembang, 2006). Rumah penduduk di Kecamatan Lembang yang dindingnya terbuat sebagian dari batu sebanyak 3.852 buah, 3.243 rumah dindingnya terbuat dari kayu/papan, 442 rumah dindingnya terbuat dari bambu dan 7.396 rumah panggung. (Kecamatan Lembang, 2006). Tempat pariwisata di Kecamatan Lembang berupa taman sebanyak 2 buah, 7 buah tempat pertunjukan kesenian tradisional, 3 buah tempat rekreasi alam/sejarah, 2 buah toko cinderamata souvenir, 2 buah sanggar kesenian, 36 buah penginapan dan 31 buah restoran. (Kecamatan Lembang, 2006). Sarana kesehatan di Kecamatan Lembang berupa rumah sakit bersalin sebanyak 11 buah, 3 buah pusat kesehatan masyarakat, 8 buah puskesmas pembantu dengan 7 orang dokter, tempat praktek dokter dengan 12 orang dokter umum, 2 orang dokter anak, 4 orang dokter kebidanan, 1 orang dokter hewan. Dukun sunat sebanyak 2 orang. Apotik sebanyak 4 buah. (Kecamatan Lembang, 2006). Fasilitas listrik di Kecamatan Lembang digunakan oleh 17.905 orang. (Kecamatan Lembang, 2006).
3.4.3. Kecamatan Cimenyan Prasarana transportasi di Kecamatan Cimenyan terdiri dari jalan kabupaten sepanjang 44 km dan jalan desa sepanjang 74 km. Prasarana transportasi di Kecamatan Cimenyan untuk jalan kelas IV sepanjang 74 km dan 74 km jalan desa dengan jalan desa yang rusak sepanjang 3 km atau total jalan yang rusak di Kecamatan Cimenyan adalah sepanjang 3 km. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
67
Jumlah jembatan di Kecamatan Cimenyan sebanyak 15 buah dengan panjang 2020 meter. Jembatan beton/batu bata sebanyak 15 buah dengan panjang 687 meter, yang terdiri dari 2 buah jembatan berkondisi baik dengan panjang 65 meter, 10 buah jembatan berkondisi sedang dengan panjang 541 meter, 3 buah jembatan berkondisi rusak dengan panjang 81 meter. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Jumlah tempat ibadah di Kecamatan Cimenyan, yaitu mesjid sebanyak 77 buah, surau/mushola sebanyak 15 buah dan gereja sebanyak 2 buah. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Cimenyan berupa taman kanak-kanak sebanyak 36 buah dengan jumlah murid 841 siswa, 87 orang guru, 38 lokal serta 395 m2 prasarana fisik. Sekolah dasar negeri sebanyak 41 buah dengan jumlah murid 5.541 siswa, 243 orang guru, 28 lokal serta 285 m2 prasarana fisik. Madrasah/Ibtidaiyah negeri sebanyak 1 buah dengan jumlah murid 36 siswa, 4 orang guru, 1 lokal serta 11 m2 prasarana fisik. Sekolah dasar swasta sebanyak 3 buah dengan jumlah murid 365 siswa, 40 orang guru, 2 lokal serta 25 m2 prasarana fisik. Sekolah luar biasa sebanyak 1 buah dengan jumlah murid 25 orang, 25 orang guru, 1 lokal serta 15 m2 prasarana fisik. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Cimenyan berupa sekolah menengah pertama negeri sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 785 murid, 50 orang guru dan 2 lokal serta 25 m2 prasarana fisik. Sekolah menengah pertama swasta sebanyak 5 buah dengan jumlah murid 650 orang, 82 orang guru, 5 lokal serta 60 m2 prasarana fisik. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Cimenyan setingkat akademi sebanyak 1 buah dengan jumlah mahasiswa 50 orang, 18 orang dosen, 3 lokal serta 40 m2 prasarana fisik. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Rumah penduduk di Kecamatan Cimenyan yang dindingnya terbuat batu/gedung permanen sebanyak 8.850 buah, 3.250 rumah terbuat dari sebagian batu, 1.685 rumah dindingnya terbuat dari kayu/papan, 46 rumah dindingnya terbuat dari bambu dan 125 rumah panggung. Rumah di Kecamatan Cimenyan menurut tipenya, yaitu 850 buah tipe A, 95 buah tipe B dan 75 buah tipe C. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
68
Tempat pariwisata di Kecamatan Cimenyan berupa taman sebanyak 5 buah, 2 buah tempat pemandian, 5 buah hutan lindung/goa, 12 buah tempat rekreasi alam/sejarah, 3 buah toko cinderamata souvenir, 8 buah sanggar kesenian dengan 15 orang budayawan dan 80 orang anggota seniman, 2 buah penginapan dan 5 buah restoran. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Sarana kesehatan di Kecamatan Cimenyan berupa puskesmas sebanyak 2 buah dengan 4 orang dokter, 4 orang perawat, 13 orang bidan serta pengunjung yang sakit periode Januari s.d Juni 2006 sebanyak 80 orang dan periode Juli s.d Desember 2006 sebanyak 95 orang. Puskesmas pembantu di Kecamatan Cimenyan sebanyak 8 buah dengan 2 orang dokter, 2 orang perawat dan 6 orang bidan. Jumlah praktek dokter di Kecamatan Cimenyan, yaitu 12 orang dokter umum, 3 orang dokter anak, 1 orang dokter kebidanan, 1 orang dokter kulit/kelamin dan 2 orang dokter akhli lainnya. Dukun sunat sebanyak 7 orang. (Kecamatan Cimenyan, 2006). Fasilitas listrik PLN di Kecamatan Cimenyan digunakan oleh 11.791 orang dan listrik Non-PLN digunakan oleh 2.935 orang. (Kecamatan Cimenyan, 2006).
3.4.4. Kecamatan Cilengkrang Prasarana transportasi di Kecamatan Cilengkrang terdiri dari jalan kabupaten sepanjang 15 km dan jalan desa sepanjang 135 km. Prasarana transportasi di Kecamatan Cilengkrang untuk jalan kelas IV sepanjang 15 km dengan jalan kelas IV yang rusak sepanjang 4 km dan 433 km jalan desa dengan jalan desa yang rusak sepanjang 30 km atau total jalan yang rusak di Kecamatan Cilengkrang adalah sepanjang 34 km. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Jumlah jembatan di Kecamatan Cilengkrang sebanyak 33 buah dengan panjang 90 meter. Jembatan beton/batu bata sebanyak 22 buah dengan panjang 66 meter, yang terdiri dari 11 buah jembatan berkondisi baik dengan panjang 40 meter, 12 buah jembatan berkondisi sedang dengan panjang 50 meter. (Profil Kecamatan Cilengkrang, 2006). Jumlah tempat ibadah di Kecamatan Cilengkrang, yaitu mesjid sebanyak 68 buah dan surau/mushola sebanyak 87 buah. (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
69
Sarana pendidikan di Kecamatan Cilengkrang berupa taman kanak-kanak sebanyak 5 buah dengan jumlah murid 124 siswa, 5 orang guru serta 5 lokal. Sekolah dasar negeri sebanyak 18 buah dengan jumlah murid 4.546 siswa, 139 orang guru serta 30 lokal. Sekolah dasar swasta Islam sebanyak 1 buah dengan jumlah murid 135 siswa, 10 orang guru, 3 lokal serta 3.255 m2 prasarana fisik. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Cilengkrang berupa sekolah menengah pertama negeri sebanyak 1 buah dengan jumlah murid 297 murid, 20 orang guru dan 7 lokal serta 6.000 m2 prasarana fisik. Sekolah menengah pertama swasta sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 570 orang, 34 orang guru serta 5.000 lokal. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Sarana pendidikan di Kecamatan Cilengkrang setingkat sekolah menengah umum swasta umum sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 146 murid, 27 orang guru, 15 lokal serta 5.000 m2 prasarana fisik. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Rumah penduduk di Kecamatan Cilengkrang yang dindingnya terbuat batu/gedung permanen sebanyak 2.878 buah, 1.027 rumah terbuat dari sebagian batu, 1.290 rumah dindingnya terbuat dari kayu/papan, 1.710 rumah dindingnya terbuat dari bambu dan 286 rumah panggung. Rumah di Kecamatan Cilengkrang menurut tipenya, yaitu 2.878 buah tipe A, 1.027 buah tipe B dan 3.226 buah tipe C. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Tempat pariwisata di Kecamatan Cilengkrang berupa 5 buah hutan lindung/goa, 30 buah sanggar kesenian dengan 150 orang seniman. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Sarana kesehatan di Kecamatan Cilengkrang berupa puskesmas sebanyak 1 buah dengan 3 orang dokter, 2 orang perawat, 7 orang bidan serta pengunjung yang sakit periode Juli s.d Desember 2006 sebanyak 1.399 orang. Puskesmas pembantu di Kecamatan Cilengkrang sebanyak 1 buah dengan 1 orang bidan. Jumlah praktek dokter di Kecamatan Cilengkrang, yaitu 2 orang dokter umum dan 1 orang dokter akhli lainnya. Apotik/depot obat sebanyak 1 buah. (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Fasilitas listrik PLN di Kecamatan Cilengkrang digunakan oleh 5.781 orang. (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
70
3.5. Alokasi Pemanfaatan Tata Ruang 3.5.1. Kabupaten Bandung Kawasan lindung di Kabupaten Bandung adalah seluas 84.462 ha atau sekitar 27,12 % dari luas wilayah Kabupaten Bandung. Kawasan lindung terdiri dari kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya, kawasan lindung setempat, kawasan cagar alam, kawasan wisata alam / Taman Hutan Raya, kawasan perairan dan kawasan rawan bencana. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan hutan lindung dan konservasi di Kabupaten Bandung adalah seluas 48.917 ha yang terletak di Kecamatan Lembang seluas 991 ha, di Kecamatan Cimenyan seluas 73 ha, dan di Kecamatan Cilengkrang seluas 659 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan sempadan sungai yang memiliki lebar 50 – 100 meter dari kiri-kanan, yaitu : Sungai Citarum, Sungai Cimahi, Sungai Cisangkuy, Sungai Ciwidey, Sungai Citarik dan Sungai Cikapundung. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan cagar alam di Kabupaten Bandung adalah Tangkuban Perahu seluas 221 ha dan Yunghun Lembang seluas 2 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan longsor dan/atau erosi tanah di Kabupaten Bandung seluas 7.587,86 ha terletak di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan. Kawasan letusan gunung berapi dan/atau beresiko terkena aliran lahar di Kabupaten Bandung terletak di Kecamatan Cilengkrang seluas 220 ha, di Kecamatan Cimenyan seluas 230 ha dan di Kecamatan Lembang seluas 4.340 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan budidaya di wilayah Kabupaten Bandung meliputi areal seluas 227.013 ha atau sekitar 72,88 % dari wilayah Kabupaten Bandung. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan hutan produksi di Kabupaten Bandung terletak di Kecamatan di Kecamatan Cimenyan seluas 611 ha, di Kecamatan Cilengkrang seluas 479 ha dan di Kecamatan Lembang seluas 2.709 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Alokasi hutan rakyat di Kabupaten Bandung seluas 5.375 ha dan berada di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang, dan Lembang. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
71
Kawasan pertanian pangan lahan basah di Kabupaten Bandung terletak di Kecamatan Cimenyan seluas 199 ha, di Kecamatan Cilengkrang seluas 227 ha dan di Kecamatan Lembang seluas 379 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Lahan-lahan untuk pengembangan agrobisnis ini diarahkan ke lokasi-lokasi kebun dengan kondisi tanah serta iklim yang mendukung, seperti di Kecamatan Lembang dan Kawasan Bandung Utara lainnya. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan pertanian pangan lahan kering di Kabupaten Bandung berada di lokasilokasi, yaitu : di Kecamatan Cimenyan seluas 1.971 ha, di Kecamatan Cilengkrang seluas 434 ha dan di Kecamatan Lembang seluas 3.372 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan tanaman tahunan/perkebunan di Kabupaten Bandung berada di Kecamatan Cimenyan seluas 453 ha, di Kecamatan Cilengkrang seluas 694 ha dan di Kecamatan Lembang seluas 629 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Perkebunan merupakan area yang dikelola secara intensif baik oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah yang umumnya berupa perkebunan teh dan dialokasikan di wilayah Kecamatan Lembang dan Cisarua. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Agroindustri di Kabupaten Bandung merupakan sektor baru yang memberikan potensi besar untuk dikembangkan. Pengembangan kawasan agroindustri di Kabupaten Bandung dialokasikan di Kecamatan Lembang dan Cisarua (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan pariwisata terdiri dari : •
Satuan kawasan wisata (SKW) Lembang yang meliputi Situ Lembang, Situ Umar, Taman Bunga Cihideung, Peneropongan Bintang Boscha dan Pengembangan Pariwisata Terpadu di bekas Tanah Baru Ajak dan sekitarnya, Taman Wisata Yunghun, Curug Panganten, Curug Cimahi, Perkebunan Sukawarna dan Puncrut,
•
Satuan kawasan wisata (SKW) Tangkubanparahu yang meliputi Kawah Tangkubanparahu, Jayagiri dan Bumi Perkemahan Cikole, Kawasan permukiman di Kabupaten Bandung seluas 28.719 ha atau 9,2 % dari
luas Kabupaten Bandung yang terdiri dari kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan. Kawasan permukiman perkotaan di Kabupaten Bandung seluas
72
27 ha di Kecamatan Cimenyan, di Kecamatan Cilengkrang seluas 50 ha (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Proyeksi kebutuhan lahan perumahan sampai dengan tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung menunjukkan adanya kekurangan cadangan lahan seluas 6.725 ha. Jika dikaji untuk setiap kecamatan maka terdapat 44 kecamatan yang kekurangan cadangan lahan untuk pembangunan perumahan seluas 7.152 ha serta terdapat 2 kecamatan di Kabupaten Bandung yang kelebihan cadangan lahan untuk perumahan, yaitu Kecamatan Padalarang dan Batujajar seluas 200 ha. Untuk mendayagunakan kelebihan lahan dengan demikian perlu ditetapkan satuan kawasan pengembangan perumahan yang didasarkan atas pendekatan geografis. Kebutuhan akan pembangunan perumahan di suatu kecamatan dengan adanya satuan kawasan pengembangan dapat diarahkan dengan cara pemanfaatan kelebihan lahan perumahan di kecamatan tetangganya di dalam satuan kawasan pengembangan. Pengaturan tersebut menambah cadangan lahan di Kabupaten Bandung sampai dengan tahun 2010 seluas 7.366 ha untuk 43 kecamatan dan 3 kecamatan lain masih memiliki cadangan lahan untuk perumahan seluas 178 ha. (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan permukiman perdesaan di Kabupaten Bandung seluas 24.177 ha dan kawasan permukiman yang berada di Kecamatan Cimenyan seluas 605 ha serta di Kecamatan Cilengkrang seluas 79 ha (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
3.5.2. Kecamatan Lembang Bentuk wilayah di Kecamatan Lembang sebesar 5 % berbentuk datar sampai berombak, 15 % berombak sampai berbukit dan 80 % berbukit sampai bergunung. Luas tanah sawah beririgasi teknis di Kecamatan Lembang seluas 344,32 ha dan luas tanah kering seluas 5.588,32 ha yang terdiri dari pekarangan/bangunan/emplasemen seluas 347,9 ha, kebun/tegalan seluas 36,9 ha dan ladang/tanah huma seluas 4.304 ha. Luas lahan basah di Kecamatan Lembang seluas 30,7 ha dan luas tanah hutan di Kecamatan Lembang seluas 4.164,4 ha. Tanah untuk keperluan fasilitas umum, yaitu lapangan olah raga seluas 16 ha, taman rekreasi seluas 4 ha dan kuburan seluas 16 ha (Kecamatan Lembang, 2006).
73
3.5.3. Kecamatan Cimenyan Bentuk wilayah di Kecamatan Cimenyan sebesar 28 % berbentuk datar sampai berombak, 60 % berombak sampai berbukit dan 12 % berbukit sampai bergunung. Luas tanah sawah di Kecamatan Lembang seluas 632 ha, yang terdiri dari 30 ha tanah sawah beririgasi teknis, 63 ha tanah sawah beririgasi ½ teknis, 103 ha tanah sawah beririgasi sederhana dan 436 ha tanah sawah tadah hujan/sawah rendengan. Luas tanah kering di Kecamatan Cimenyan seluas 1.403 ha yang terdiri dari pekarangan/bangunan/ emplasemen seluas 257 ha, kebun/tegalan seluas 1.109 ha dan ladang penggembalaan/ pengangonan seluas 37 ha. Luas lahan basah di Kecamatan Cimenyan seluas 5 ha berupa balong/empang/kolam. Luas tanah hutan di Kecamatan Cimenyan seluas 824 ha berupa hutan lebat. Luas tanah perkebunan swasta di Kecamatan Cimenyan seluas 237,93 ha. Luas tanah untuk keperluan fasilitas umum di Kecamatan Cimenyan seluas 67 ha, yang terdiri dari 5 ha lapangan olah raga, 37 ha taman rekreasi, 15 ha jalur hijau dan 10 ha kuburan (Kecamatan Cimenyan, 2006).
3.5.4. Kecamatan Cilengkrang Bentuk wilayah di Kecamatan Cilengkrang sebesar 60 % berombak sampai berbukit dan 40 % berbukit sampai bergunung. Luas tanah sawah di Kecamatan Cilengkrang seluas 203 ha, yang terdiri dari 70,725 ha tanah sawah beririgasi ½ teknis, 178 ha tanah sawah beririgasi sederhana dan 42 ha tanah sawah tadah hujan/sawah rendengan. Luas tanah kering di Kecamatan Cilengkrang seluas 858 ha yang terdiri dari pekarangan/bangunan/emplasemen seluas 433 ha dan kebun/tegalan seluas 425 ha. Luas lahan basah di Kecamatan Cilengkrang seluas 9 ha berupa balong/empang/kolam. Luas tanah hutan di Kecamatan Cilengkrang seluas 1.067 ha berupa hutan lebat seluas 60 ha, 20 ha hutan belukar dan 987 ha hutan sejenis. Luas tanah perkebunan di Kecamatan Cilengkrang seluas 1.027,37 ha. Luas tanah untuk keperluan fasilitas umum di Kecamatan Cilengkrang seluas 11,5 ha. Tanah tandus dan tanah pasir seluas 65 ha (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
74
3.6. Sumberdaya Alam 3.6.1. Kabupaten Bandung Hasil analisis kesesuaian lahan aktual (tanpa input) menunjukkan bahwa luas lahan yang dikategorikan sangat sesuai (S1) untuk tanaman pangan lahan basah (TPLB) dan tanaman pangan lahan kering (TPLK) seluas 74,96 ha. Luas lahan yang dikategorikan cukup sesuai (S2) untuk tanaman pangan lahan basah (TPLB) dan tanaman pangan lahan kering (TPLK) sesuai 23,10 ha dan sangat sesuai (S3) untuk tanaman tahunan (TT) seluas 64,45 ha. Luas lahan yang dikategorikan tidak sesuai (N) untuk tanaman pangan lahan basah (TPLB), tanaman pangan lahan kering (TPLK) dan tanaman tahunan (TT) seluas 143.345,80 ha atau sekitar 46,02 % dari wilayah Kabupaten Bandung (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kecamatan di Kabupaten Bandung dengan luas lahan sangat sesuai (S1) untuk TPLB dan TPLK terluas (lebih dari pada 3.000 ha) adalah di Kecamatan Batujajar seluas 5.000 ha, di Kecamatan Majalaya dan Solokan Jeruk seluas 4.921 ha, di Kecamatan Rancaekek seluas 4.529 ha, di Kecamatan Ciparay seluas 3.971,90 ha, di Kecamatan Pacet seluas 3.280,70 ha dan di Kecamatan Baleendah seluas 3.820 ha. Kecamatan di Kabupaten Bandung yang memiliki areal tidak sesuai (N) (lebih dari 10.000 ha) berada di Kecamatan Gununghalu dan Rongga seluas 20.011,1 ha, di Kecamatan Pasirjambu seluas 23.849,30 ha, di Kecamatan Ciwidey dan Rancabali seluas 17.192,86 ha dan di Kecamatan Pangalengan seluas 12.132,94 ha. Kecamatan dengan luas lahan sangat sesuai (S1) untuk tanaman tahunan (TT) atau Agroforestry (lebih dari 5.000 ha) berada di Kecamatan Pangalengan seluas 6.387,74 ha, di Kecamatan Gununghalu dan Rongga seluas 7.380,52 ha, di Kecamatan Lembang seluas 6.393,14 ha dan di Kecamatan Kertasari seluas 5.933,92 ha (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Asumsi bahwa luas lahan yang sesuai untuk tanaman pangan lahan kering (TPLK) merupakan lahan yang sesuai juga untuk kegiatan perkotaan, maka dapat disimpulkan bahwa luas lahan yang sesuai untuk kegiatan perkotaan untuk seluruh kelas kesesuaian lahan seluas 131.306,64 ha atau 42,16 % dari luas wilayah Kabupaten Bandung (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
75
Kabupaten Bandung yang terletak pada posisi 107o22’–108o05’ BT dan 06o41’– 07o19’ LS serta luas daerah mencapai 309.207,93 ha. Wilayah Kabupaten Bandung terletak pada ketinggian + 110 meter di atas permukaan laut (dpl) di Kecamatan Cipeundeuy sampai dengan ketinggian 2.429 meter dpl di Gunung Patuha. Wilayah dengan ketinggian tempat < 2.000 m dpl berada di Kecamatan Cipeundeuy, Ciwidey, Rancabali, Kertasari, Lembang dan Pasirjambu. Wilayah dengan ketinggian di atas 2.000 meter dpl merupakan wilayah sempit seluas 14.863.500 ha atau 4,81 % dari wilayah Kabupaten Bandung berada di Kecamatan Banjaran, Kertasari, Pacet, Pangalengan dan Pasirjambu (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Wilayah Kabupaten Bandung merupakan cekungan di dataran tinggi Bandung yang morfologi wilayahnya terdiri dari dataran landai/datar, bukit dan pegunungan. Kemiringan lereng di Kabupaten Bandung bervariasi antara 0 – 8 %, 8 – 15 %, sampai dengan > 40 %. Sebagian besar wilayah bukit dan pegunungan di Kabupaten Bandung terbentang sepanjang utara ke selatan serta bagian barat Kabupaten Bandung dengan kemiringan beragam, antara 26 – 40 % dan > 40 %. Wilayah bukit dan pegunungan di Kabupaten Bandung merupakan daerah tangkapan air yang memiliki peran penting, khususnya formasi Cibeureum. Wilayah bukit dan pegunungan di Kabupaten Bandung secara
hidrogeologis
merupakan
kawasan
lindung
yang
berfungsi
menjaga
keseimbangan hidrologis cekungan Bandung (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Dataran Kabupaten Bandung terhampar luas di bagian tengah cekungan Bandung dengan kemiringan 0–2 % dan 2–8 % ke arah barat dan ke arah Sungai Citarum, yang membelah wilayah Kabupaten Bandung dari timur ke barat. Wilayah dataran di Kabupaten Bandung merupakan kawasan persawahan subur yang sebagian merupakan rawan banjir. Kota-kota yang merupakan kota satelit dan sembrani tandingan (counter magnet) dari Kota Bandung terdapat di wilayah dataran Kabupaten Bandung (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Wilayah Kabupaten Bandung beriklim tropis dan dipengaruhi oleh iklim muson dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1.500 mm/tahun sampai dengan 4.000 mm/tahun serta suhu rata-rata berkisar antara 19oC sampai dengan 24oC dengan penyimpangan harian dapat mencapai 5oC serta kelembaban udara bervariasi antara
76
78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Sungai besar dan kecil di Kabupaten Bandung ada sekitar 172 buah dan 30% sampai dengan 40% berair sepanjang tahun. Sungai-sungai besar di Kabupaten Bandung diantaranya adalah Sungai Citarum, Sungai Cikapundung dan Sungai Cisangkuy dan dimanfaatkan untuk kepentingan pengairan, sumber air baku PDAM dan sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Kabupaten Bandung memanfaatkan sumber energi panas bumi yang berasal dari puncak Gunung Kamojang Kabupaten Bandung (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan rawan bencana adalah daerah yang pernah mengalami bencana atau daerah yang dikategorikan memiliki potensi terjadinya bencana. Bencana yang paling sering terjadi di Kabupaten Bandung adalah banjir dan erosi tanah. Kawasan yang termasuk dalam bahaya lahar gunung berapi juga ada di Kabupaten Bandung (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kawasan rawan banjir di Kabupaten Bandung umumnya berada di daerah sepanjang tepi Sungai Citarum bagian hulu. Muara-muara anak sungai yang sering menyebabkan banjir di Kabupaten Bandung diantaranya adalah Sungai Ciganitri, Sungai Citarik, Sungai Cimanggung, Sungai Cikawung, Sungai Cimuncang dan Sungai Cipamokolan. Luas kawasan yang terkena genangan banjir rutin di Kabupaten Bandung seluas 1.700 ha. Banjir di Kabupaten Bandung pada tahun 1984 terjadi 3 kali, yaitu pada Bulan Januari seluas 4.088 ha, pada Bulan Februari seluas 2.460 ha dan pada Bulan April seluas 2.242 ha. Banjir di Kabupaten Bandung pada tahun 1986 terjadi di 9 kecamatan dengan luas genangan 4.278 ha. Kawasan bencana alam banjir di Kabupaten Bandung merupakan daerah cekungan Bandung, yaitu antara km 27+000 sampai dengan km 32+000, meliputi Kawasan Desa Tegalluar, Desa Babakan Sayang dan Desa Sapan. Kawasan bencana banjir ini menjadi kawasan limitasi bagi pengembangan di Kabupaten Bandung. Kawasan rawan banjir di Kabupaten Bandung yaitu : Kecamatan Bojongsoang, Kecamatan Rancaekek, Kecamatan Ciparay dan Kecamatan Majalaya. Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung erat kaitannya dengan drainase permukaan tanah, yaitu menunjukkan lamanya atau seringnya tanah tergenang air. Drainase juga
77
sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah lainnya, seperti : kelerengan, tekstur tanah dan konsistensi/porositas tanah. Total luas wilayah rawan banjir adalah sekitar 7.157,77 ha (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Sungai yang pembuangannya melintasi jalan di Kabupaten Bandung adalah Sungai Cipamokolan, Sungai Cinambo (Desa Tegalluar), Sungai Babakan Sayang dan Sungai Ciendog (di Desa Babakan Sayang). Sungai-sungai tersebut bermuara di Sungai Citarik yang selanjutnya menuju ke arah Sungai Citarum di Desa Sapan sehingga setiap tahun Desa Sapan selalu mengalami banjir (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Penyebab banjir lain di Kabupaten Bandung adalah terjadinya sedimentasi atau pendangkalan pada sungai-sungai tersebut sehingga menyebabkan penyumbatan dan air kembali ke lokasi jalan tol serta menggenang di sisi kiri dan kanan badan jalan. Daerah lain yang memiliki potensi banjir di Kabupaten Bandung adalah Kecamatan Margahayu dan Kecamatan Margaasih (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Program untuk mengatasi masalah banjir di Kabupaten Bandung adalah dengan melakukan normalisasi anak Sungai Citarum, melakukan peningkatan sistem drainase tersier serta menyesuaikan oulet yang berada di Jalan Tol Padalarang-Cileunyi dengan Sungai Citarum. Kawasan yang tidak pernah tergenang (genangan akhirnya mengalir) mencapai 296.940,49 ha atau 96,03 % dari luas wilayah Kabupaten Bandung sedangkan sisanya 3,97% merupakan daerah yang tergenang terus menerus, seperti danau atau waduk (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Bencana yang juga pernah terjadi di Kabupaten Bandung adalah erosi tanah. Luas lahan yang tanahnya tidak/belum mengalami erosi seluas 289.352,63 ha atau 97,44 % dari luas wilayah Kabupaten Bandung. Daerah rawan erosi dengan tingkat erosi beragam di Kabupaten Bandung seluas 7.587,86 ha atau 2,56 % dari luas wilayah Kabupaten Bandung. Daerah-daerah di Kabupaten Bandung yang rawan erosi berada di Kecamatan Lembang, Cisarua, Ciwidey dan Pangalengan (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Beberapa kawasan di Kabupaten Bandung, terutama di utara Kabupaten Bandung tergolong pada daerah beresiko terkena aliran lahar. Lahar dapat terbawa arus sungai sehingga membahayakan daerah-daerah yang dilalui sungai tersebut. Beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung yang memiliki resiko terkena aliran lahar adalah
78
Kecamatan Cilengkrang seluas 220 ha, Kecamatan Cimenyan seluas 230 ha dan Kecamatan Lembang seluas 4.340 ha (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kabupaten Bandung memiliki beberapa sumber air, baik air tanah maupun air permukaan. Air permukaan terdiri atas 4 danau alam dan 3 danau buatan serta sejumlah 172 sungai. Sekitar 30 sungai di Kabupaten Bandung selalu berair sepanjang tahun. Sedangkan kondisi danau atau waduk di Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut : •
Danau Ciharus dan Pangkalan yang terdapat di Kecamatan Ibun berada pada ketinggian + 1.500 m dpl dan memiliki debit air kecil sehingga pemanfaatannya hanya untuk keperluan irigasi,
•
Waduk Cileunca dan Cipanunjang yang berada di Kecamatan Pangalengan digunakan untuk PLTA di DAS Cisangkuy Hulu. Kapasitas total pengaliran air Waduk Cileunca dan Cipanunjang adalah sekitar 9 m3/detik dan kapasitas terpakai sekitar 6,25 m3/detik. Waduk Ciburuy terdapat di Kecamatan Padalarang
dan
digunakan
untuk
keperluan
irigasi
dengan
kapasitas
penyimpanan mencapai sekitar 4 juta m3. Waduk Lembang digunakan untuk keperluan irigasi dan terletak di bagian hulu DAS Cimahi. Waduk Lembang berkapasitas 3,7 juta m3 dengan daerah tangkapan waduk mencapai 6,3 m3. •
Bendungan Saguling terletak di Sungai Citarum dan digunakan untuk PLTA, irigasi dan penyediaan air minum. Kapasitas waduk mencapai sekitar 1.000 juta m3.
•
Bendung Cirata berada di arah hilir Bendungan Saguling dengan volume sekitar 2.000 juta m3 dan ketinggian muka air + 220 meter dpl. Sungai Citarum memiliki pola aliran sungai terhadap sungai-sungai lain berupa
tulang rusuk dengan tulang punggungnya adalah Sungai Citarum. Dampak dari pola tulang rusuk Sungai Citarum menyebabkan beban pencemaran dan sedimentasi Sungai Citarum tergolong berat. Beberapa anak Sungai Citarum membawa buangan bahan pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan industri serta membawa erosi yang mengakibatkan sedimentasi pada beberapa muara anak Sungai Citarum. Seluruh wilayah Kabupaten Bandung termasuk dalam daerah aliran sungai (DAS) Citarum dengan kondisi hidrologis setiap wilayah berbeda. Luas daerah tangkapan (catchment area) dari DAS Citarum adalah sekitar 268.130 ha. DAS Cimanuk yang terdapat di
79
dalam Kabupaten Bandung memiliki luas 1.730 ha dan WAS Cibuni seluas 13.438 ha, WAS Cimanuk seluas 5.390 ha serta DAS Cilaki seluas 20.547 ha (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Kecamatan-kecamatan lain yang memiliki debit lebih dari pada 200 m3/detik adalah: •
Kecamatan Cisarua memiliki 3 buah sungai dengan total debit sungai adalah + 418 m3/detik,
•
Kecamatan Lembang memiliki 10 buah sungai dengan total debit sungai adalah + 244 m3/detik,
•
Kecamatan Cilengkrang memiliki 16 buah sungai dengan total debit sungai adalah + 231 m3/detik, Kecamatan Ciparay bagian selatan memiliki debit sungai sebesar 100 m3/detik
dari 4 buah sungai, yaitu Sungai Cisarea, Cimanggahang, Cibalekambang dan Cikopo yang bersumber dari Gunung Geulis, Gunung Leutik dan Gunung Aseupan (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Lokasi-lokasi batuan dimanfaatkan sebagai batu gali terdapat di Nagreg, Cililin dan Lembang. Batuan di Bukit Baleendah, Ciparay, Pameungpeuk, Cimahi Selatan, Cimindi dan Batujajar berupa batuan beku (lava intrusif) yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan galian. Perbukitan Rajamandala kaya akan batu gamping yang berguna untuk bahan baku industri kapur, marmer dan semen. Batu andesit, kaolin dan pasir kuarsa juga terdapat di Rajamandala. Beberapa jenis batuan, seperti : batu gamping, andesit, teras, marmer, kaolin, batu kwarsa dan sirtu tersebar juga di Kecamatan Margaasih, Batujajar, Soreang, Banjaran, Cicalengka, Lembang, Majalaya dan Solokan Jeruk (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Potensi lain yang terdapat di Kabupaten Bandung adalah energi panas bumi dan air panas. Energi panas bumi terdapat di Puncak Gunung Kamojang dan dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Air panas berada di Maribaya, Kertamanah dan Cimanggu serta telah dimanfaatkan sebagai objek wisata (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Air sungai di Kabupaten Bandung seperti Sungai Cisangkuy, Cikapundung dan Citarum dimanfaatkan sebagai sumber irigasi/pengairan dan sumber energi. Pembangkit
80
listrik tenaga air (PLTA) di Kabupaten Bandung berada di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. PLTA microhydro dengan memanfaatkan air terjun dan jeram juga banyak terdapat di beberapa aliran sungai di Kabupaten Bandung. Air terjun di Kabupaten Bandung juga berfungsi sebagai objek wisata, yaitu : Curug Cimahi dan Curug Panganten di Cisarua serta Curug Sindulang di Cicalengka dan lain-lainnya (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Lahan non-terbangun di Kabupaten Bandung didominasi oleh pemanfaatan hutan sebesar 25,90 %, yang bermakna yaitu jumlah luas areal hutan sudah memenuhi ketentuan sebagai fungsi daerah resapan air 23,24 %. Kegiatan industri di Kabupaten Bandung hanya menggunakan lahan sebesar 0,43 % (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Daerah-daerah rawan longsor di Kabupaten Bandung berada di Cisarua dan Lembang. Sungai di Kabupaten Bandung berpotensi pula menimbulkan bencana longsor dan banjir. Bencana banjir dan genangan air di Kabupaten Bandung disebabkan oleh pendangkalan akibat fenomena erosi di bagian hulu dan bahan buangan dari kawasan permukiman. Pemanfaatan lahan hutan di Kabupaten Bandung menimbulkan pula kerusakan tata air, erosi dan munculnya tanah kritis serta punahnya habitat flora dan fauna. Pengambilan bahan baku dari hutan melalui kegiatan industri dapat menimbulkan dampak berupa buangan industri ke aliran sungai berupa pencemaran (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006). Daerah-daerah di Kabupaten Bandung yang mengalami kritis air tanah dan sudah mencapai ambang batas, yaitu : •
Daerah kategori kritis air tanah berada di Kecamatan Rancaekek dan Kecamatan Majalaya,
•
Daerah kategori rawan air tanah adalah di Kecamatan Cimahi Selatan (Leuwigajah) dan Kecamatan Dayeuhkolot. Kabupaten Bandung memiliki potensi bahaya vulkanik sehingga beberapa
daerah ditetapkan sebagai daerah beresiko terkena aliran lahar, yaitu beberapa desa di Kecamatan Lembang. Daerah di Kabupaten Bandung yang memiliki gerakan tanah sedang dan tinggi berada di Kecamatan Lembang, Cicalengka, Ciwidey, Pasirjambu dan Sindangkerta. Daerah di Kabupaten Bandung dengan kondisi pondasi buruk sampai
81
dengan kedalaman lebih dari pada 20 meter berada di Kecamatan Rancaekek dan Majalaya terutama di sepanjang sisi Sungai Citarum. Potensi masalah bencana alam banjir di Kabupaten Bandung berada di sekitar daerah Sungai Citarum terutama di bagian hulunya. Masalah lingkungan di Kabupaten Bandung yang perlu dijadikan perhatian adalah limbah yang dihasilkan oleh 13 sektor kegiatan, yaitu : sektor industri, transportasi, persampahan, pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, pariwisata, kesehatan, pertambangan, pembangkit energi, perdagangan (pasar dan pertokoan) serta perumahan (Bappeda Kabupaten Bandung, 2006).
3.6.2. Kecamatan Lembang Produksi rata-rata tanaman utama di Kecamatan Lembang untuk padi adalah 29 ton, tanaman jagung sebanyak 173,5 ton, ketela pohon sebanyak 290 ton, ketela rambat sebanyak 89 ton, kacang tanah sebanyak 3 ton, sayur-sayuran sebanyak 5.019,11 ton dan buah-buahan sebanyak 1.178,9 ton (Kecamatan Lembang, 2006). Produksi rata-rata tanaman komoditas di Kecamatan Lembang untuk cengkeh adalah 1,6 ton, tanaman tembakau sebanyak 1 ton dan untuk tanaman kopi sebanyak 14 ton (Kecamatan Lembang, 2006). Luas lahan di Kecamatan Lembang berupa lahan sawah seluas 803,7 ha dan 30,70 ha berupa tambak/kolam (Kecamatan Lembang, 2006). Jumlah ternak di Kecamatan Lembang terdiri dari 12.695 ekor sapi perah, 1.176 ekor sapi biasa, 686 ekor kambing, 4.976 ekor domba, 404 ekor kuda, 76.929 ekor ayam, 1.587 ekor itik dan 8.049 ekor jenis ternak lain (Kecamatan Lembang, 2006). Sumber daya air di Kecamatan Lembang dapat diperoleh dari PAM dengan pengguna sebanyak 4.987 orang, Badan Pengelola Air dengan pengguna sebanyak 3.711 orang, pompa jet / pompa tangan dengan pengguna sebanyak 200 orang serta sumur dengan pengguna sebanyak 4.596 orang (Kecamatan Lembang, 2006).
3.6.3. Kecamatan Cimenyan Produksi rata-rata tanaman utama di Kecamatan Cimenyan untuk padi adalah 545 ton dengan luas tanaman dan yang dipanen seluas 180 ha sehingga jumlahnya 725 ton. Produksi rata-rata tanaman jagung sebanyak 200 dengan luas tanaman dan yang
82
dipanen seluas 60 ha sehingga jumlahnya 250 ton. Produksi rata-rata tanaman ketela pohon sebanyak 650 ton dengan luas tanaman dan yang dipanen seluas 135 ha sehingga jumlahnya 850 ton. Produksi rata-rata tanaman ketela rambat sebanyak 4 ton dengan luas tanaman 2 ha dan luas yang dipanen 4 ha sehingga jumlahnya 5 ton. Produksi ratarata tanaman sayur-sayuran sebanyak 120 ton dengan luas tanaman 10 ha dan luas yang dipanen seluas 9 ha sehingga jumlahnya 128 ton. Produksi rata-rata tanaman buahbuahan sebanyak 2 ton dengan luas tanaman dan luas yang dipanen seluas 2 ha sehingga jumlahnya 2 ton (Kecamatan Cimenyan, 2006). Produksi rata-rata tanaman komoditas di Kecamatan Cimenyan untuk cengkeh adalah 20 ton belum berproduksi, 90 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 85 ton. Tanaman tembakau sebanyak 3 ton belum berproduksi, 3 ton sudah berproduksi, 1 ton tidak berproduksi dengan jumlah produksi 20 ton. Tanaman kelapa sebanyak 4 ton belum berproduksi, 5 ton telah berproduksi, 1ton tidak berproduksi dengan jumlah produksi 10 ton. Tanaman kelapa sawit sebanyak 5 ton belum berproduksi, 3 ton sudah berproduksi, 1 ton tidak berproduksi dengan jumlah produksi 2 ton. Tanaman kopi sebanyak 1 ton belum berproduksi, 1 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 0,1 ton. Tanaman lain-lain sebanyak 5 ton belum berproduksi, 5 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 10 ton (Kecamatan Cimenyan, 2006). Luas tanah sawah di Kecamatan Cimenyan seluas 632 ha, yang terdiri dari 30 ha tanah sawah beririgasi teknis, 63 ha tanah sawah beririgasi ½ teknis, 103 ha tanah sawah beririgasi sederhana dan 436 ha tanah sawah tadah hujan/sawah rendengan. Luas tanah kering
di
Kecamatan
Cimenyan
seluas
1.403
ha
yang
terdiri
dari
pekarangan/bangunan/emplasemen seluas 257 ha, kebun/tegalan seluas 1.109 ha dan ladang penggembalaan/pengangonan seluas 37 ha. Luas lahan basah di Kecamatan Cimenyan seluas 5 ha berupa balong/empang/kolam. Luas tanah hutan di Kecamatan Cimenyan seluas 824 ha berupa hutan lebat. Luas tanah perkebunan swasta di Kecamatan Cimenyan seluas 237,93 ha (Kecamatan Cimenyan, 2006). Jumlah ternak di Kecamatan Cimenyan terdiri dari 80 ekor sapi perah, 617 ekor sapi biasa, 77 ekor kerbau, 45 ekor kambing, 6.520 ekor domba, 2 ekor kuda, 412 ekor ayam, 3.900 ekor itik dan 415 ekor jenis ternak lain (Kecamatan Cimenyan, 2006).
83
Sumber daya air di Kecamatan Cimenyan dapat diperoleh dari PAM dengan pengguna sebanyak 541 orang, Badan Pengelola Air dengan pengguna sebanyak 3.7 orang, pompa jet / pompa tangan dengan pengguna sebanyak 2.359 orang serta sumur dengan pengguna sebanyak 1.611 orang (Kecamatan Cimenyan, 2006).
3.6.4. Kecamatan Cilengkrang Produksi rata-rata tanaman utama di Kecamatan Cilengkrang untuk padi adalah 4,5 ton dengan luas tanaman dan yang dipanen seluas 204 ha sehingga jumlahnya 208,5 ton. Produksi rata-rata tanaman jagung sebanyak 5 ton dengan luas tanaman dan yang dipanen seluas 72 ha sehingga jumlahnya 360 ton. Produksi rata-rata tanaman ketela pohon sebanyak 20 ton dengan luas tanaman dan yang dipanen seluas 29 ha sehingga jumlahnya 580 ton. Produksi rata-rata tanaman ketela rambat sebanyak 12 ton dengan luas tanaman dan luas yang dipanen 23 ha sehingga jumlahnya 276 ton. Produksi ratarata tanaman kacang tanah sebanyak 2,5 ton dengan luas tanaman dan luas yang dipanen 9 ha sehingga jumlahnya 22,5 ton. Produksi rata-rata tanaman sayur-sayuran sebanyak 10 ton dengan luas tanaman dan luas yang dipanen seluas 20 ha sehingga jumlahnya 200 ton. Produksi rata-rata tanaman buah-buahan sebanyak 10 ton dengan luas tanaman dan luas yang dipanen seluas 24 ha sehingga jumlahnya 240 ton (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Produksi rata-rata tanaman komoditas di Kecamatan Cilengkrang untuk cengkeh adalah 3 ton belum berproduksi, 8 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 1.248 ton bunga basah. Tanaman tembakau sebanyak 80 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 72 ton. Tanaman kelapa sebanyak 2 ton belum berproduksi, 7 ton telah berproduksi dengan jumlah produksi 8.960 butir. Tanaman kopi sebanyak 20 ton belum berproduksi, 5 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 8 ton buah basah. Tanaman melinjo sebanyak 4 ton belum berproduksi, 2,5 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 5 ton buah basah. Tanaman lain-lain sebanyak 3 ton belum berproduksi, 1 ton sudah berproduksi dengan jumlah produksi 1,5 ton gula merah (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Luas tanah sawah di Kecamatan Cilengkrang seluas 203 ha, yang terdiri dari 70,725 ha tanah sawah beririgasi ½ teknis, 178 ha tanah sawah beririgasi sederhana dan
84
42 ha tanah sawah tadah hujan/sawah rendengan. Luas tanah kering di Kecamatan Cilengkrang seluas 858 ha yang terdiri dari pekarangan/bangunan/emplasemen seluas 433 ha dan kebun/tegalan seluas 425 ha. Luas lahan basah di Kecamatan Cilengkrang seluas 9 ha berupa balong/empang/kolam. Luas tanah hutan di Kecamatan Cilengkrang seluas 1.067 ha berupa hutan lebat seluas 60 ha, 20 ha hutan belukar dan 987 ha hutan sejenis. Luas tanah perkebunan di Kecamatan Cilengkrang seluas 1.027,37 ha (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Jumlah ternak di Kecamatan Cilengkrang terdiri dari 2.636 ekor sapi perah, 195 ekor sapi biasa, 59 ekor kerbau, 92 ekor kambing, 6.699 ekor domba, 179.745 ekor ayam dan 733 ekor itik (Kecamatan Cilengkrang, 2006). Sumber daya air di Kecamatan Cilengkrang dapat diperoleh dari PAM dengan pengguna sebanyak 1.040 orang, Badan Pengelola Air dengan pengguna sebanyak 51 orang, pompa jet / pompa tangan dengan pengguna sebanyak 5.199 orang serta sumur dengan pengguna sebanyak 27.726 orang (Kecamatan Cilengkrang, 2006).
IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di tiga wilayah kecamatan di zona kawasan perumahan berkategori buruk untuk perumahan yang berada di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung yaitu Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. Kegiatan Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2006 sampai dengan Januari 2007. 4.2. Bahan dan Alat 4.2.1. Aspek Spasial Obyek penelitian zonasi kawasan perumahan berwawasan lingkungan di Kabupaten Bandung menggunakan Sistem Informasi Geografik adalah kondisi wilayah Kabupaten Bandung. Data spasial dan tekstual kondisi aktual wilayah Kabupaten Bandung dikumpulkan untuk dianalisis bagi kepentingan zonasi kawasan perumahan berwawasan lingkungan. Batasan area tidak hanya bersifat batas ekologis saja yang ditonjolkan tetapi juga batas administrasi
sampai
tingkat
desa
sehingga
hasil
analisis
dapat
diimplementasikan di lapangan, baik untuk kegiatan perencanaan maupun pemantauan hasil-hasil pembangunan. Aspek spasial ini diperoleh dalam bentuk peta-peta analog atau peta-peta digital. Peralatan yang digunakan untuk analisis spasial ini terdiri dari Mapinfo, ArcInfo, ArcView, printer, CPU dan monitor. 4.2.2. Aspek Fisik, Kimia Biologi Lingkungan Obyek dari aspek fisik, kimia dan biologi lingkungan adalah lingkungan yang berkategori buruk untuk perumahan di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung.
86
Peralatan yang digunakan untuk mengambil sampel dari lapangan terdiri dari : cangkul, bor tanah (Auger), tali rafia, pita ukur, plastik, pH tester, Munsell Soil Color Chart, kamera dan pedoman observasi. 4.2.3. Aspek Sosial dan Ekonomi Obyek dari aspek sosial dan ekonomi adalah para penduduk yang terkait dengan penggunaan lahan untuk perumahan di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung. Peralatan yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai data sosial, ekonomi adalah kuesioner serta studi dokumentasi dari instansi terkait. Perangkat lunak yang dipergunakan adalah SPSS 11.5 untuk analisis faktor, Excel for windows 2003 dan Powersim versi 2.5C untuk analisis tingkat pelayanan jalan. 4.3. Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dengan bidang dan lokasi studi yaitu dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, BAPPEDA Kabupaten Bandung, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Sedangkan data primer diperoleh dari hasil survey lapangan. Ringkasan kegiatan pengumpulan data penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4. 4.3.1. Data Spasial Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari dua jenis, yaitu : data grafis berupa peta-peta data pokok pembangunan Kabupaten Bandung berskala 1: 100.000 tahun 2004 dari peta dasar Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
87
Tabel 4. Ringkasan kegiatan yang dilakukan No
Tujuan
1.
Mengevaluasi lokasi perumahan eksisting berdasarkan kesesuaian lahan untuk perumahan,
2.
3.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi pembangunan perumahan di zona buruk perumahan
Mengetahui besarnya perubahan lingkungan yang terjadi di zona buruk untuk lahan perumahan,
Tabel 4. (Lanjutan)
Data dan Informasi yang diperlukan Spasial : - Peta-peta data pokok pembangunan Kabupaten Bandung berskala 1 : 100.000 (Peta drainase, peta banjir, peta lereng, peta tekstur tanah, peta batuan, peta kedalaman efektif tanah, peta erosi) - Peta penggunaan lahan Resolusi 0,6 m dari hasil plotting citra Quickbird (S) Data angket dari penghuni perumahan: - Faktor pemilihan lokasi (P) - Indikator status sosial dan ekonomi (P) - Indikator kondisi dan pengelolaan perumahan (P) - Indikator dinamika masyarakat (pemahaman, tanggapan dan respon masyarakat) (P) Fisik Lingkungan: - Fisik & Kimia Udara (P,S) - Kebisingan (P,S) - Kualitas Air (P,S) - Fisik Kimia Tanah (P,S) - Flora & Fauna (P,S) - Pola perubahan lingkungan udara dan air - Indeks Kualitas Air (IKA) - Indeks Kualitas Udara (IKU) - Indeks Kesehatan Lingkungan Air (IKLa) - Laju perubahan Alokasi lahan untuk perumahan dan kawasan lindung Sosial : - Tingkat Pelayanan lalu lintas (P,S) - Pola perubahan volume lalu lintas (P,S)
Analisis Data yang akan Dilaksanakan - Zonasi Kesesuaian lahan Perumahan - Kesesuaian penggunaan lahan eksisting
- Analisis Faktor dengan SPSS 11.5 - Prosentase - Prosentase
- Prosentase
Data th 2004-2007 - Analisis Udara & Kebisingan - Analisis Air - Analisis Tanah - Analisis kerapatan - Exponential rate of growth - Bobot, skoring - Bobot, skoring - Bobot, scoring - Geometric rate of growth Data th 2004-2007 - Level of Loss - Exponential growth
rate
of
88
No.
Tujuan
Data dan Informasi yang diperlukan Sosial : - Jumlah penduduk & kepadatan penduduk (S) - Perkiraan laju pertumbuhan penduduk (S) - Frekuensi Bencana Ekonomi: - Laju pendapatan daerah (S) - Laju dana pembangunan (S) - Laju dana penanggulangan bencana - Laju dana pembangunan Pendidikan dan Kesehatan (S) 4. Merancang model dinamis - Hasil Analisis Fisik, perubahan lingkungan di zona Kimia, Biologi , buruk untuk lahan perumahan Sosekbud. - Sub Model Hasil Analisis sistem Fisik, Kimia, Biologi , Sosekbud. 5. Mengusulkan pilihan kebijakan - Hasil simulasi model Kajian Perubahan dalam pembangunan perumahan Lingkungan di zona buruk berkelanjutan di zona buruk untuk untuk lahan perumahan lahan perumahan Keterangan : P = Data Primer; S = Data Sekunder
Analisis Data yang akan Dilaksanakan Data th 2004-2007 - Prosentase - Geometric rate of growth - Fraksi - Geometric rate of growth - Fraksi - Fraksi - Fraksi
- Analisis Sistem dengan Powersim versi 2.5C
-Sensitivitas Parameter dan Model Dinamis dengan Powersim versi 2.5 C
Data grafis berupa peta-peta termasuk Peta situasi lokasi penelitian dikumpulkan dari Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bandung dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat hasil interpretasi citra satelit oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) yang dikonversikan menjadi data vektor digital format ArcInfo. Peta-peta yang dikumpulkan meliputi : peta drainase, peta banjir, peta lereng, peta tekstur tanah, peta batuan, peta kedalaman efektif tanah, peta erosi, peta penggunaan lahan dan peta rupa bumi. Peta-peta analog dan peta digital yang diperoleh kemudian ditumpangtindihkan dengan tema-tema pada peta data pokok pembangunan.
4.3.2. Data Fisik, Kimia dan Biologi Lingkungan
89
a. Data primer meliputi Data kualitas air, tingkat kebisingan, kualitas udara dan lain-lain. b. Data sekunder Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dengan bidang dan lokasi studi yaitu dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, Badan Meteorologi dan Geofisika Bandung berupa data kondisi saat ini maupun data kala waktu (time series) meliputi: - Data Fisik-Kimia
Kualitas udara [ NH3, NOx, CO, SO2, H2S, Pb, debu, getaran dan kebisingan (decibel), dan iklim makro (curah hujan, suhu udara, kelembaban, arah angin)]. Data tersebut sebagai perbandingan dengan data primer. Kualitas air sungai (bau, zat padat terlarut, zat padat tersuspensi, kekeruhan, rasa, temperatur, warna, daya hantar listrik, besi, kesadahan, pH, fenol, minyak dan lemak, MBAS, zat organik, BOD, COD dan amonium)
Hidrologi (debit air, banjir)
4.3.3. Data Sosial dan Ekonomi a. Data Primer hasil angket dan survei lapangan meliputi : Status sosial dan ekonomi penduduk (komposisi penduduk, tingkat pendidikan, kesempatan kerja, pendapatan dan pengeluaran, tingkat aksesibilitas, status kepemilikan lahan); Indikator kondisi infrastruktur perumahan, pengelolaan lahan dan lingkungan perumahan); Indikator dinamika penduduk (tingkat pemahaman dan sikap penduduk, kepuasan dan kebutuhan penduduk); Motivasi penduduk dalam pemilihan lokasi perumahan; Jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) b. Data Sekunder :
90
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dengan bidang dan lokasi studi yaitu dari dari BAPPEDA Kabupaten Bandung dan BPS Kabupaten Bandung meliputi :
Jumlah penduduk perempuan dan laki-laki, kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar (jumlah orang), komposisi penduduk, jumlah keluarga, tingkat kesehatan, jumlah angka kematian bayi, jumlah angka harapan hidup, tingkat pendidikan, anggota keluarga yang sekolah, jumlah anggota melek huruf penduduk di atas usia 10 tahun, jumlah peserta pendidikan, pola pekerjaan, kesempatan kerja, jumlah tenaga kerja, anggota keluarga yang bekerja, kegiatan sosial, luas wilayah per kecamatan,
kondisi
perumahan,
status
pemilikan
lahan,
tingkat
aksesibilitas kecamatan.
Struktur ekonomis dan pergeserannya, laju pertumbuhan ekonomis, laju pendapatan/produktivitas per kapita, sektor pembangunan apa saja yang termasuk sektor basis dan sektor unggulan, komoditas yang dihasilkan, penyebaran aktivitas ekonomis.
4.4. Teknik Penetapan Contoh (Sampling Technique) Teori sistem sampling dapat dikaji dari teori survei sampel dan teori penarikan sampel klasik (Cochran, 1991). Teori survei sampel diterapkan pada survei besar dengan pengukuran yang berbeda-beda dengan distribusi frekuensi yang berbeda dan memiliki bentuk matematis bebas dan tidak berdistribusi normal karena keterbatasan
informasi menduga distribusi frekuensi, jumlah pengukuran pada
setiap unit yang terbatas dan dibenarkan menduga bentuk matematik distribusi frekuensi sehingga hasilnya dapat menggunakan teori penarikan sampel klasik. Sedangkan teori penarikan sampel dilakukan pada populasi yang dianggap berdistribusi normal. Bentuk matematis distribusi normal berasal dari parameter populasi (nilai rata-rata dan variansi) yang nilainya diperkirakan dari data sampel. Sistem sampling dalam penelitian ini menggunakan desain sampling berurutan (sequantial sampling design). Desain sampel ini dipilih jika aturan-aturan
91
dalam penarikan sampel tidak sama selama penarikan sampel berlangsung dan sampel ditarik secara bertingkat serta diamati satu persatu dari anggota pupulasi (Nasir, 1988). Teknik purposive selection dilakukan dalam memilih lokasi penelitian di zona kawasan tidak sesuai permanen untuk perumahan. Penarikan sampel dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: Tahap 1 : Penentuan Zona kesesuian lahan untuk kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan dipertimbangkan berdasarkan : (a) zona drainase, (b) zona banjir, (c) zona lereng permukaan, (d) zona tekstur tanah, (e) zona batuan, (f) zona kedalaman efektif tanah dan (g) zona erosi. Tahap 2 : Penentuan kesesuaian lahan untuk tempat tinggal dibagi menjadi tiga kelas zona yaitu (1) zona baik untuk kawasan perumahan, (2) zona sedang untuk kawasan perumahan dan (3) zona buruk untuk kawasan perumahan. Tahap 3 : Penentuan kecamatan yang mewakili kawasan yang buruk berdasarkan informasi lereng permukaan, drainase, banjir, tekstur tanah, batuan, kedalaman efektif tanah dan erosi dengan teknik purposive selection. Tahap 4 : Pada masing-masing kecamatan dipilih sample fraction sebesar 10 – 25 % secara random untuk menentukan desa yang mewakili kawasan buruk untuk perumahan berdasarkan tinggi tempat dpl (elevasi), masing-masing dengan ketinggian : 650-850 m dpl, 850-1050 m dpl, 1050- 1500 mdpl. Tahap 5: Pada masing-masing desa sesuai tahap 2, dipilih kawasan lokasi yang memiliki kemiringan lereng masing-masing : <15%, 15-30%, >30%
Tahap 6 :
92
Dari setiap lokasi (sesuai tahap 3) dipilih responden masing-masing 10 % dari jumlah penduduk 4.5. Analisis Data 4.5.1. Analisis Data Spasial Pembangunan aplikasi sistem informasi geografik untuk zonasi kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan. Untuk memperoleh hasil yang diperoleh dari pembangunan model zonasi kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan digunakan kombinasi teknik analisis yang melalui prosedur : a) Identifikasi kebutuhan pengguna untuk memperoleh zonasi kawasan perumahan berwawasan lingkungan. b) Studi pustaka mengenai kriteria kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan. c) Pembuatan model konseptual untuk pemasukan data, pemrosesan data dan pengeluaran hasil analisis. Kriteria kesesuaian lahan untuk perumahan atau tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 5. Nilai parameter kesesuaian lahan untuk (USDA, 1971) No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan Baik Sedang 1. Drainase D0 - D1 D1 - D2 2. Banjir O0 O0 3. Lereng L0 - L1 L2 4. Tekstur T3 T2 Tanah 5. Kerikil / B0 B1 Batuan 6. Kedalaman K3 K2 Efektif 7. Erosi E0 E1 Sumber : USDA (1971)
tempat tinggal
Buruk D3 – D4 O1 – O4 L3 – L5 T1 B2 – B3 K0 – K1 E 2 – E3
93
Ketujuh parameter tersebut di atas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kelayakan fisik lahan untuk tempat tinggal (gedung). Pembobotan pada masing-masing tema mengacu pada
pengaruh secara langsung
terhadap konstruksi pondasi bangunan (Nakazawa, 1984 ; Chapin 1995). Perhitungan indeks kelayakan fisik menggunakan persamaan : Indeks Kelayakan Fisik = TwTr+LwLr+DwDr+KwKr+EwEr+BwBr+OwOr…...(Chapin, 1995) Dimana : w = bobot ; r = nilai interval (rating) ; T = Tekstur tanah; L = Lereng ; D= Drainase tanah ; K = Kedalaman Efektif ; E = Erosi ; B = Batuan ; O = Banjir Pengumpulan data dari lapangan dan mengelompokkan data berdasarkan jenis dan resolusi datanya. d) Pembuatan model fungsional untuk pemasukan data, pemrosesan data dan pengeluaran hasil analisis. Model fungsional input data meliputi: Tekstur tanah berhubungan dengan terdapatnya mineral liat yang terkandung dalam tanah. Tanah yang mengandung liat tipe 2 : 1 yang tinggi menyebabkan terjadinya retakan (craking ) dimusim kemarau. Tabel 6. Tekstur Tanah ( lapisan atas, lapisan bawah ) T1 T2 T3
Tekstrur Tanah Halus Sedang Kasar
Bobot (B) 1 1 1
Nilai (N) 1 2 3
BxN 1 2 3
Curamnya lereng merupakan faktor yang menentukan dalam kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk meratakan tanah tersebut. Hal tersebut menentukan banyaknya tanah yang harus digali di atas lereng dan ditimbunkan ke bagian bawah lereng.
Tabel 7. Kelas Kemiringan Lereng
94
Kemiringan Lereng 0% - 3% (datar) >3% - 8% (landai/ berombak) >8%-15% (agakmiring/bergelombang) >15% - 25% (miring / berbukit) >25% - 40% (agak curam) >40 % (curam)
L0 L1 L2 L3 L4 L5
Bobot (B) 1 1 1 1 1 1
Nilai (N) 6 5 4 3 2 1
BxN 6 5 4 3 2 1
Drainase berhubungan dengan timbulnya bahaya genangan air, atau
kemungkinan timbulnya kerusakan terhadap konstruksi-konstruksi dibawah tanah karena tata air tanah yang buruk. Tabel 8. Kelas Drainase Drainase Baik Agak baik Agak buruk Buruk Sangat buruk
D0 D1 D2 D3 D4
Bobot (B) 1 1 1 1 1
Nilai (N) 5 4 3 2 1
BxN 5 4 3 2 1
Kedalaman efektif tanah adalah tebalnya lapisan tanah dari permukaan tanah sampai bahan induk atau kedalaman sampai suatu lapisan dimana perakaran tanaman tidak lagi dapat menembusnya. Lapisan tersebut dapat berupa liat yang keras. Kedalaman efektif 0-10 cm terlalu dangkal untuk usaha pertanian, sedangkan kedalaman 10-30 cm masih memungkinkan untuk tanaman semusim. Tanaman semusim cukup baik jika diusahakan pada tanah-tanah dengan kedalaman 30-60 cm, tetapi tanaman tahunan masih kurang baik. Tanaman semusim baik sekali jika diusahakan pada tanah berkedalaman efektif lebih dari 60 cm, Pada kedalaman 60-90 cm tanaman tahunan sudah cukup baik, yang paling baik untuk tanaman tahunan jika kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm (Talkurputra et al., 1996).
Tabel 9. Kedalaman efektif tanah
95
K0 K1 K2 K3
Kedalaman Efektif Tanah Dalam (> 90 cm) Sedang (>60 - 90 cm) Dangkal (30 – 60 cm) Sangat dangkal (<30 cm)
Bobot (B) 1 1 1 1
Nilai (N) 1 2 3 4
BxN 1 2 3 4
Erosi adalah perpindahan partikel tanah dari satu tempat ke tempat lain disebabkan adanya aliran permukaan (Kartasapoetra, 2000). Faktor yang mempengaruhi erosi adalah curah hujan, keadaan tanah, panjang dan sudut lereng, vegetasi serta konservasi yang diterapkan. Lahan yang bervegetasi rapat, datar dengan curah hujan yang rendah mempunyai tingkat erosi jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan lahan curam, tidak bervegetasi dan mempunyai curah hujan tinggi. Tabel 10. Keadaan erosi E0 E1 E2 E3
Keadaan erosi Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka
Bobot (B) 1 1 1 1
Nilai 4 3 2 1
BxN 4 3 2 1
Adanya hamparan batuan pada kedalaman 2 meter atau kurang, berpengaruh
terhadap
pembangunan
konstruksi-konstruksi
yang
memerlukan penggalian tanah yang tidak terlalu dalam. Tabel 11. Prosentase Kerikil / batuan
B0 B1 B2 B3
Kerikil/Batuan Tidak ada / sedikit (0%-15 % volume tanah) Sedang (>15%-50% volume tanah ) Banyak (>50%-90% volume tanah) Sangat Banyak (>90% volume tanah)
Bobot (B) 1
Nilai (N) 4
BxN 4
1
3
3
1
2
2
1
1
1
Tabel 12. Frekuensi Banjir Banjir
Bobot (B)
Nilai (N)
BxN
96
00 01 02 03 04
Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Sangat sering
1 1 1 1 1
5 4 3 2 1
5 4 3 2 1
00 = dalam periode satu tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam; 01 = banjir yang menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur dalam periode kurang dari satu bulan; 02 = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secata teratur tertutup banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam; 03 = selama waktu 2-5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam; 04 = selama waktu enam bulan atau lebih tanah selalu banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam. Model fungsional output data : Kriteria pembagian kelas kesesuaian lahan untuk perumahan dari hasil overlay adalah : Bobot x nilai kelas = skor masing - masing tema Penjumlahan skor = skor tekstur + skor drainase + skor banjir + skor batuan + skor lereng + skor kedalaman tanah efektif + skor erosi Rentang kelas = (nilai maksimum-nilai minimum) Panjang interval (ρ) = Rentang kelas/3 Klasifikasi lokasi potensial untuk kawasan perumahan berdasarkan kelayakan fisik di Kabupaten Bandung adalah : Klasifikasi lahan buruk untuk kawasan perumahan dengan nilai antara nilai minimum sampai dengan nilai minimum + (ρ) Klasifikasi lahan sedang untuk kawasan perumahan dengan nilai diatas nilai nilai minimum + (ρ) sampai dengan nilai minimum + 2 (ρ) Klasifikasi baik sama dengan nilai diatas nilai minimum + 2 (ρ) sampai dengan nilai maksimum. e) Melakukan analisis spasial dengan menggunakan peta dasar skala 1 : 100.000 yang mencakup luasan batas administrasi Kabupaten Bandung yang meliputi 7 tema yang bobot, rating dan nilainya ditetapkan
97
berdasarkan studi pustaka, diskusi pakar, simulasi verifikasi serta pemeriksaan lapangan (ground check) sehingga diperoleh keluaran zona buruk untuk perumahan dengan nilai 7–15, zona sedang dengan nilai 1623 dan zona baik dengan nilai 24-31. Nilai terbesar (31) dan terkecil (7) dari hasil analisis spasial pada cakupan wilayah Kabupaten Bandung merupakan jangkauan keluaran yang dibagi menjadi 3 kelas dengan panjang kelas yang sama untuk zona baik, sedang dan buruk. f) Memperoleh data sekunder hasil pencitraan satelit Quickbird dan ploting peta garis dengan resolusi 0,6 m atau skala 1: 25.000 yang menyajikan informasi peta tutupan lahan (landcover) dan penggunaan lahan (landuse) sehingga lahan terbangun perumahan dapat diketahui luasan dan posisinya. g) Menumpangtindihkan (superimposed/overlay) hasil analisis spasial zona baik, sedang dan buruk terhadap plotting peta garis yang menyajikan informasi luasan serta posisi lahan terbangun untuk wilayah Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang melalui pengikatan koordinat UTM yang dimiliki oleh kedua peta dalam bentuk soft copy di lingkungan komputer format digital. Titik ikat antara peta dalam bentuk softcopy 1:100.000 peta wilayah Kabupaten Bandung dengan 1:25.000 peta Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah titik-titik 107o37’BT-107o45’ BT dan 6o45’ LS - 6o55’LS pada koordinat geodetik atau 784.000 m - 804.000 m dan 9.236.000 m - 9.252.000 m pada koordinat UTM 47. h) Melakukan analisis spasial luasan dan lokasi kawasan terbangun yang berada di zona baik, sedang dan buruk hasil kesesuaian lahan perumahan, kawasan terbangun yang berada di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang berdasarkan batas administrasi serta kawasan terbangun yang berada di kawasan budidaya dan lindung. Diagram alir tahapan evaluasi kesesuaiaan lahan untuk perumahan dapat dilihat pada Gambar 2.
98
Studi Pustaka
Identifikasi Kebutuhan Evaluasi Kesesuaiaan Lahan Perumahan Secara Spasial Skala Regional
Klasifikasi Tekstual Atribut
Model Konseptual Evaluasi Kesesuaiaan Lahan Perumahan Secara Spasial Skala Regional
Peta-Peta : -DasarTopografi -Tematik Batuan -Tematik Drainase -Tematik Banjir -Tematik Tekstur Tanah -Tematik Kedalaman Efektif Tanah -Tematik Erosi Tanah -Tematik Kelerengan Sumber : BAPEDA
Perancangan Model Fungsional Evaluasi Kesesuaiaan Lahan Perumahan Secara Spasial
Klasifikasi Tematik
Konversi Data Analog Menjadi Digital Proses Digitasi, Entry Data, Editing
Database Digital untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Perumahan Secara Spasial
Implementasi Model Sistem Manajemen Data Base
Analisis Spasial
1
Peta Zonasi Kesesuaian Lahan Perumahan
Metoda Pembobotan & Penilaian
Kriteria Kesesuaian Lahan Perumahan
Gambar 2. Diagram alir tahapan evaluasi kesesuaian lahan perumahan
99
1
Lahan yang baik untuk perumahan
Lahan buruk untuk perumahan
Lahan yang sedang untuk perumahan
Overlay/Superimposed Searching
Peta Kawasan Lindung Luas Kesesuaian Lahan Untuk Perumahan di Kawasan Lindung dan Non Lindung
Peta Eksisting Penggunaan Lahan untuk Perumahan
Overlay/Superimposed
Luas Kesesuaian Penggunaan Lahan Perumahan Eksisting di Zona Baik, Sedang, Buruk untuk Perumahan
Gambar 2. (Lanjutan)
100
4.5.2. Analisis Data Fisik, Kimia dan Biologi Lingkungan 1. Komponen Fisik – Kimia (a). Kebisingan Tingkat kebisingan diukur dengan menggunakan Sound Level Meter yang dilakukan secara insitu di sekitar lokasi studi. Kemudian disesuaikan dengan standar Baku Mutu Kualitas Udara dan Baku mutu Tingkat Kebisingan berdasarkan Kep-48/MENLH/11/1996.
L D = L15 + 20 log
15 D
L tot = L O + L D
Kebisingan Total:
Keterangan : L0 LD L15 D
: Intensitas kebisingan awal : Intensitas Kebisingan : Intensitas kebisingan alat pada jarak D meter : Jarak Pengamatan dari sumber bising
(b). Kualitas Udara Pengukuran kualitas udara dilakukan secara langsung di lokasi penelitian. Kemudian disesuaikan dengan Baku Mutu Udara Ambien berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999.
Metode analisis kualitas udara
dan kebisingan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 13. Perhitungan konsentrasi partikel debu di udara menggunakan rumus berikut :
C =
W1 − W O V
Keterangan : 3 C : Kadar debu (mg/m )
V W0 W1
: Volume contoh udara yang telah dikoreksi (m3) : Berat kertas saring sebelum pengambilan contoh udara : Berat kertas saring sesudah pengambilan contoh udara
101
Tabel 13. Metode analisis data kualitas udara
Analisis
Metode
Amoniak, NH3
Nessler
Nitrogen Dioksida (NO2)
Griess Saltzman
Karbon monoksida (CO)
Combustion Analyzer
Sulfur Dioksida (SO2)
Pararosanilin
Hidrogen Sulfida (H2S)
Metilen biru
Debu
Gravimetri
Timbal, Pb
AAS
(c). Kualitas Air Pengukuran parameter kualitas air menggunakan berbagai metode sesuai dengan parameter yang diperlukan. Penggujian mengacu pada Standart Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th edition 1998 (SMEWW). Hasil pengukuran dibandingkan dengan standar Baku Mutu
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas I. Pengukuran contoh air untuk pemeriksaan sifat fisik dan kimia air dilakukan dengan : Metode in situ dilakukan pengukuran secara langsung di lokasi studi
meliputi parameter warna, kebauan dan pH. Metode ex situ: pengukuran dilakukan secara tidak langsung, dengan
mengambil sampel untuk dilakukan analisis laboratorium, meliputi parameter : kekeruhan, padatan tersuspensi (TDS), COD, BOD5, Nitrit, Nitrat dan lain-lain.
Tabel 14. Metode analisis kualitas fisik dan kimia air
102
Parameter Suhu Warna Kekeruhan Keasaman
Metode dan Peralatan Termometer, tesmistor Visual, spektrofotometr, tabung nessler Nephelometri, Potensiometri, elektroda gelas, air suling, larutan buffer pH 4,004, pH 7,415, pH 9,183 Kejernihan Keping secchi, meteran BOD Titrasi dengan cara Winkler, Mn SO4, tritasi iodemetris tiosulfat, Elektrokimia dengan dissolved oxigen meter COD Oksidator K2Cr2O7 DHL Elektroda konduktometer, KCL Minyak dan Lemak Asam khlorida (HCL 1 :1), gelas ukur, kertas saring, Na2SO4
Analisis kualitas badan air yang bercampur limbah kegiatan dilakukan di dua lokasi yang berbeda, yaitu di lokasi sebelum pemukiman (hulu sungai) dan sesudah pemukiman (hilir) dengan menggunakan persamaan; Cm =
(Ca × Q a ) + (C b × Q b ) Qa + Qb
Keterangan :
Cm : Konsentrasi parameter kualitas air saluran setelah bercampur dengan limbah kegiatan, mg/l. Ca : Konsentrasi parameter kualitas air sungai sebelum bercampur dengan limbah, mg/l Cb : Konsentrasi parameter kualitas air limbah cair kegiatan, mg/l Qa : Debit air sungai sebelum bercampur dengan limbah cair, m3/detik Qb : Debit limbah cair kegiatan, m3/detik, (0,8 Q air bersih)
(d) Kualitas Tanah
103
Pengumpulan data fisik, dan kimia tanah didahului dengan analisis karakteristik morfologi tubuh tanah di lapangan meliputi : kedalaman dan batas horison,
warna matrik,
karatan,
pH lapang, konkresi, tekstur,
konsistensi, bahan organik, aktivitas fauna, cracks, pori-pori, perakaran, dan fragmen batuan. Selanjutnya pengambilan contoh tanah pada kondisi lapang (kelembaban tanah sedang yaitu keadaan tanah kira-kira cukup untuk pengolahan tanah). Contoh tanah yang akan dianalisis di laboratorium ini merupakan contoh tanah individu. Contoh tanah individu diambil pada setiap titik pengambilan dari lapisan olah atau lapisan perakaran di lokasi sekitar pemukiman yang dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu (1) sebelum perumahan permanen dibangun, dan (2) sesudah perumahan permanen dibangun. Analisis tanah dilakukan di laboratorium terdiri dari pH tanah, tekstur tanah, plastisitas tanah, kadar air tanah, fosfor dan kalium cadangan ekstrak HCl 25 %, fosfor tersedia metode Olsen, susunan kation (Ca,Mg,K,Na), kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa, karbon organic (C-organik) serta nitrogen total.
4.5.3. Analisis Data Sosial dan Ekonomi Analisis sosial dan ekonomi dari data sekunder berdasarkan penilaian aspek kuantitas penduduk, kepadatan penduduk, laju pembangunan perumahan, sektorsektor yang dapat meningkatkan pertambahan dana pembangunan dan pendapatan. Untuk maksud tersebut jenis informasi yang dibutuhkan dan metode analisis data dapat dilihat pada Tabel 15. Analisis data primer untuk mengetahui peranan penduduk memilih lokasi perumahan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : a) Menyusun kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyan bagi penduduk, b) Menyebarkan dan mengujicoba kuesioner kepada para penduduk, c) Menghimpun kembali kuesioner dan melakukan revisi, d) Menyebarkan kuesioner yang telah direvisi dan mengumpulkan kembali,
104
e) Menyusun data kuesioner ke dalam tabel analisis.
Tabel 15. Metode analisis data sosial dan ekonomi PERTANYAAN/INFORMASI METODE ANALISIS Bagaimana jumlah dan tingkat Perhitungan jumlah dan tingkat kepadatan kepadatan penduduk penduduk ; Crude density of population: Jumlah penduduk/luas wilayah Residential density of population: Jumlah penduduk/luas lahan perumahan komposisi penduduk Bagaimana komposisi penduduk Perhitungan berdasarkan sex ratio berdasarkan umur dan jenis kelamin Bagaimana besar jumlah penduduk Perhitungan Perkiraan jumlah penduduk dimasa yang akan datang berdasarkan metode proyeksi geometric rate of growth dengan rumus : Pt = Po ( 1 +r)t Pt = jumlah penduduk pada tahun t Po= jumlah penduduk pada tahun awal rate = angka pertumbuhan penduduk t = jangka waktu dalam tahun Bagaimana besar jumlah pembangunan Perhitungan Perkiraan jumlah perumahan dimasa yang akan datang pembangunan perumahan berdasarkan proyeksi geometric rate of growth : PRn = PR*(1+r)n Bagaimana kondisi tingkat kepadatan Perhitungan Perkiraan jumlah LHR lalu lintas dimasa sekarang dan dimasa berdasarkan metode proyeksi geometric rate of growth dengan rumus akan datang t Vt = Vo(1 + r ) Vt : Volume lalu lintas pada tahun 1 Vo : volume lalu lintas awal R : rate pertumbuhan arus lalu lintas t : tahun ke n Bagaimana tingkat pendidikan Pengukuran tingkat pendidikan masyarakat dengan prosentase Bagaimana kondisi ketenagakerjaan Pengukuran kesempatan kerja masyarakat dimasa sekarang dengan prosentase Bagaimana tingkat pemenuhan Pengukuran tingkat pendapatan, kebutuhan dasar penduduk pengeluaran dengan prosentase Bagaimana tanggapan masyarakat Pengukuran dinamika sosial masyarakat terhadap program pembangunan dengan prosentase Tabel 15. (Lanjutan) PERTANYAAN/INFORMASI
METODE ANALISIS
105
Bagaimana masyarakat menentukan lokasi perumahan Bagaimana laju pertumbuhan pendapatan daerah Bagaimana laju pertambahan dana penanggulangan bencana lingkungan
Perhitungan faktor-faktor pemilihan lokasi perumahan dengan R factor Anaysis Perhitungan pertumbuhan ekonomi dengan : PADst = PADs*(1+r)t Perhitungan sumbangan masing-masing sektor dana penanggulangan bencana : DB = ∑(FBs *Nilai DBs) FBs = fraksi dana bencana tiap sektor DBs = nilai dana bencana tiap sektor
Bagaimana laju pertambahan alokasi dana pembangunan Bagaimana laju pertambahan dana pembangunan sektor kesehatan dan pendidikan
Perhitungan pertambahan dana pembangunan: ADPn = PADs*(1+r)n-∑(FBs *Nilai DBs) Perhitungan laju pertumbuhan dana pembangunan sektor pendidikan: ex = APBD*( fe / Px) fe = fraksi dana pembangunan pendidikan (%) Perhitungan laju pertumbuhan dana pembangunan sektor kesehatan: hx = APBD*( fh / Px) fh = fraksi dana pembangunan kesehatan (%) Px = jumlah penduduk
Sumber : Amien (1992) Pemilihan
lokasi
perumahan
oleh
penghuni
dianalisis
dengan
menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) berdasarkan hasil kuesioner yang disebarkan kepada penghuni. Penggunaan PCA sejalan dengan salah satu tujuan penelitian yaitu menemukan faktor-faktor dominan dalam pemilihan lokasi perumahan oleh penghuni. Hasil analisis PCA antara lain adalah besar korelasi parsial lewat pilihan Anti-Image Correlation, Kaiser Meyer Olkin (KMO) Measurement of Sampling Adequacy (MSA), Akar Ciri (Eigenvalue) dan faktor akar ciri. Metode ini dipilih untuk mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji korelasi. Tujuan analisis ini adalah ingin mengetahui variabel apa saja yang mempengaruhi seseorang memilih tinggal di Kawasan Bandung Utara. Langkah pertama analisis ini adalah data summarization dengan membuat matriks korelasi antar variabel. Kemudian dilakukan data reduction untuk membuat satu atau beberapa faktor saja yang berpengaruh.
Prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka asumsi-asumsi terkait dengan
106
korelasi harus terpenuhi yaitu : (1) besar korelasi atau korelasi antar variabel independen harus cukup kuat atau > 0,5, (2) besar korelasi partial atau korelasi antar dua variabel dengan menganggap tetap variabel yang lain, justru harus kecil, (3) pengujian seluruh matrik korelasi (korelasi antar variabel), diukur dengan besaran Barlett Test of Sphericity atau Measure Sampling Adequacy (MSA). Analisis dilakukan dengan menggunakan Software SPSS 11.5. Supranto (2004) menggambarkan langkah-langkah analisis seperti tertera pada Gambar 3. Merumuskan Masalah
1
Bentuk Matriks Korelasi
2
Tentukan Metode Analisis Faktor
3
Lakukan Rotasi
Interpretasikan Faktor
Hitung Skor Faktor
4
5
Pilih Variabel Surrogate
7 6
Gambar 3. Langkah-langkah Analisis Faktor
4.6. Analisis Sistem, Model dan Simulasi
107
Analisis sistem dan pemodelan yang dilanjutkan dengan beberapa skenario dilakukan untuk mendekati masalah dan mencapai tujuan yang diharapkan. Penyusunan model didasarkan pada beberapa hasil studi di lapangan dan laboratorium yang dikombinasikan dengan konsep teoritis. Model dinamik dalam penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi model perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan dan menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan perumahan yang berkelanjutan. 4.6.1. Diagram Analisis Sistem
Diagram analisis sistem dan diagram sebab akibat perubahan lingkungan pembangunan berturut-turut tertera pada Gambar 4 dan 5.
Input Lingkungan -Budaya Masyarakat -Penegakan hukum yang lemah -Materialistik & Hedonisme Output yang Dinginkan - Pembangunan Perumahan di zona baik untuk perumahan dikaji dari aspek lingkungan
Input Tak Terkontrol - Sosial Kependudukan - Sosial Ekonomi Proses Pembangunan Perumahan
Input Terkontrol - Luas Lahan
Pengawasan Tataruang : - Hak Atas Tanah - Izin Mendirikan Bangunan - Pajak Bumi dan Bangunan - Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur
Output yang Tidak Diinginkan : - Pembangunan Perumahan di zona buruk dikaji dari aspek lingkungan
Gambar 4. Diagram analisis sistem pembangunan perumahan
108
Limpasan Air
+
Banjir & Longsor
-
-
Dana Pembangunan
Lahan Kawasan Lindung
+
+ Lahan Kawasan Budi Daya Non Perumahan
+ Manfaat Pembangunan
+
Biodiversity
-
-
+ +
Luas Lahan Terbangun
Penduduk
+ Lalu Lintas
+ -
+
+ -
+ +
Jumlah Rumah yang Dibangun
Pencemaran Udara
+
Pencemaran Aliran Permukaan
Kesehatan Lingkungan Jasa Lingkungan
Gambar 5.
-
-
+
Diagram Sebab Akibat Perubahan Lingkungan Perumahan
Pembangunan
4.6.2. Validasi Model
Tahapan untuk mengetahui tingkat ketepatan model terhadap fenomena di lapangan dilakukan dengan : (1) studi literatur, (2) diskusi dengan para pakar, (3) merancang model konseptual dan fungsional, (4) pengambilan data lapangan,
109
(5) penentual nilai inisial model, (6) menjalankan model, (7) menghitung selisih hasil data lapangan dengan hasil simulasi model, (8) memperoleh error model terhadap data lapangan, (9) membandingkan error yang diperoleh terhadap standar toleransi error dan (10) mengetahui tingkat validasi model. Validitas model diuji dengan cara kuantitatif (Aminullah, 2001) yaitu : (1) Absolute Mean Error (AME) AME =
| Σ Ps - Σ Pi | ……………………….........................(1)
T o
Σ ΡI
|
|
Dimana : T = Waktu pengamatan. Ps = Nilai hasil simulasi. Pi = Nilai faktual Batas Penyimpangan yang diterima untuk AME adalah < 0,05 (2) Absolute Variation Error (AVE) | σs - σi| ……………………….........................(2)
AVE =
| σi
|
Dimana : σs = Standard deviasi hasil simulasi σI = Standard deviasi faktual Batas penyimpangan yang diterima untuk AVE adalah < 0,05 (3) Kalman Filter (KF) KF
=
σs2
……………………….........................(3)
σs2 - σi1 Dimana : σs2 = Variansi hasil simulasi σi2 = Variansi faktual Batas penyimpangan yang diterima untuk KF adalah 47,5% < KF < 52,5 % (4) Koefisien Diskrepansi (U-Theil’s) KD
=
{∑ [(Ps-Ps.dt)-(Pi-Pi.dt)2.] 1/N} 0,5……………….(4)
σi - σs Dimana : = Standard deviasi hasil simulasi σs
110
σI
= Standard deviasi faktual N = Jumlah pengamatan. Ps = Nilai hasil simulasi. Pi = Nilai faktual dt = Diferensial waktu KD < 0,05 menyatakan grafik kurang tajam KD > 0,05 menyatakan grafik tajam sekali (5) Durbin Watson (DB) DB = ∑ (Pi-Ps)2
(T)
-(Pi-Ps)2 (T-1) …………………..…………….(5)
∑T (Pi-Ps)2(T) T Ps Pi
= Waktu pengamatan. = Nilai hasil simulasi. = Nilai faktual
4.6.3. Sensitivitas Parameter dan Model
Sensitivitas parameter yaitu suatu perbandingan perubahan satu satuan variabel sebab terhadap satu satuan variabel akibat.Semakin kecil nilai sensitivitas parameter maka semakin besar pengaruh perubahan yang diakibatkan oleh parameter (variabel) sebab. Semakin besar nilai sensitivitas parameter maka semakin kecil pengaruh perubahan yang diakibatkan oleh parameter (variabel) sebab. Sensitivitas model menurut Schnoor (1996) adalah nilai kumulatif sensitivitas parameter-parameter model. Semakin besar sensitivitas model maka model semakin peka terhadap perubahan lingkungan. Semakin kecil sensitivitas model maka model semakin tidak peka terhadap perubahan lingkungan.
4.6.4. Simulasi Model
Simulasi model adalah tiruan perilaku sistem nyata. Dengan menirukan perilaku sistem nyata, proses analisis akan lebih cepat, bersifat menyeluruh, hemat dan dapat dipertanggungjawabkan. Variabel-variabel atau parameter-
111
parameter yang diubah dalam simulasi model keterkaitan perumahan terhadap perubahan lingkungan adalah: 1) Aspek sosial ekonomis : jumlah penduduk, kepadatan penduduk, jumlah pembangunan rumah, alokasi lahan perumahan, alokasi lahan kawasan lindung, alokasi dana pembangunan, jumlah lalu lintas; 2) Aspek fisik, kimia dan biologis lingkungan : indeks kualitas air, indeks kualitas udara, indeks biodiversity. 4.6.5. Analisis dan Perumusan Kebijakan
Analisis adalah suatu pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam kebijakan, upaya atau tindakan bersifat peka untuk mempengaruhi kerja sebuah sistem. Oleh karena sasarannya adalah mempengaruhi sistem, maka tindakan tersebut bersifat strategis, yaitu bersifat jangka panjang dan menyeluruh. Menurut Aminullah (2001), salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Tahapan yang dilakukan dalam pengembangan ide kebijakan baru dengan simulasi model adalah dengan mengurutkan semua parameter dalam model dan sensitivitasnya. Parameter yang memiliki sensitivitas tinggi adalah parameter yang dapat mempengaruhi unjuk kerja sistem yaitu parameter yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan dalam periode waktu tertentu. Selanjutnya adalah uji sensitivitas kombinasi parameter terpilih sehingga diperoleh bermacam kombinasi parameter terpilih untuk mempengaruhi unjuk kerja sistem (Aminullah, 2001).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Perumahan di Zona Buruk untuk Lahan Perumahan Analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis berbasis komputer untuk memperoleh zonasi kesesuaian lahan perumahan di kecamatan-kecamatan Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung ditentukan berdasarkan : peta drainase, peta banjir, peta lereng permukaan, peta tekstur tanah, peta batuan, peta kedalaman efektif tanah dan peta erosi. Gambar peta-peta tematik input disajikan pada Lampiran 1 sampai 7. Selisih skor terbesar dan terkecil hasil analisis (31-7) adalah 24 atau sama dengan rentang. Selanjutnya adalah penentuan kesesuaian lahan untuk perumahan yang dibagi menjadi tiga kelas zona dengan panjang interval (ρ) sebesar 8 yaitu : (1) zona baik untuk kawasan perumahan dengan nilai antara 24 sampai dengan 31, (2) zona sedang untuk kawasan perumahan dengan nilai antara 16 sampai dengan 23 dan (3) zona buruk untuk kawasan perumahan dengan nilai antara 7 sampai dengan 15. Gambar peta tematik output (peta zonasi kesesuaian lahan perumahan) disajikan pada Gambar 6. Hasil analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis berbasis komputer untuk memperoleh zonasi lokasi perumahan di kawasan budidaya kecamatankecamatan Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung menunjukkan 230,19 ha lahan berkategori baik untuk lahan perumahan, 3.450,64 ha lahan berkategori sedang untuk lahan perumahan dan 7.902,36 ha lahan berkategori buruk untuk lahan perumahan. Hasil analisis spasial zonasi lokasi-lokasi perumahan di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan disajikan pada Tabel 16 . Tabel 16. Hasil analisis spasial zonasi kesesuaian lahan perumahan di Kawasan Budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan (ha) Luas Kesesuaian Lahan untuk Perumahan (ha) No Kecamatan Jumlah Baik Sedang Buruk 1. Lembang 230,19 2.966,78 2.523,62 5.720,60 2. Cilengkrang 0 482,51 1.117,07 1.599,58 3. Cimenyan 0 1,35 4.261,67 4.263,02 Jumlah 230,19 3.450,64 7.902,36 11.583,19 Persentase 1,99% 29,79% 68,22% 100%
113
Hasil analisis spasial zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan menunjukkan 68,22% (7.902,36 Ha) dari total luas lahan berada di zona buruk perumahan. Selain itu, hasil analisis spasial menunjukkan bahwa lahan di Kecamatan Lembang memiliki peluang lebih besar untuk dibangun perumahan dibandingkan Kecamatan Cilengkrang dan Cimenyan. Faktor kendala terbesar di zona baik untuk perumahan adalah parameter drainase tanah yang sangat buruk, yaitu kondisi tanah dengan tingkat bahaya genangan air yang tinggi sehingga tanah menjadi agak jenuh air. Evaporasi akan terhambat pada bagian tengah dari bangunan karena tanah tertutup bangunan sehingaa dapat menyebabkan tanah dibagian tepi lebih cepat kering daripada dibagian tengah bangunan. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan pengerutan maupun kekuatan tanah sehingga sering terjadi penurunan pada bagian tengah dan menimbulkan keruntuhan.
Untuk menghindari adanya kerusakan bangunan yang
disebabkan oleh pengerutan tanah, hendaknya pondasi dibangun lebih dalam atau sampai pada kedalaman batuan sehingga tidak terjadi proses pengerutan tanah. Faktor kendala terbesar di zona sedang untuk perumahan selain parameter drainase tanah juga parameter kemiringan lereng diatas 15%. Pembangunan perumahan pada kemiringan lereng relatif curam tanpa dilakukan pengamanan lebih lanjut dapat menyebabkan tanah longsor. Kelongsoran terjadi pada lereng dengan material tanah yang bersifat sensitif terhadap perubahan kondisi air tanah. Kelongsoran awal terjadi pada bagian bawah lereng dan akan menyebabkan ketidakstabilan pada bagian lereng di atasnya. Kelongsoran lanjutan akan terjadi jika proses pembebanan, baik secara mekanik maupun adanya rembesan air hujan menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah sehingga stabilitas lereng dalam kondisi kritis. Hal ini dapat dihindari selain membangun tembok penahan tanah adalah mengimplementasikan persyaratan teknis koefisien dasar bangunan sebesar 20 % dari luas tanah, membangun rumah konsep eco-architecture dan penanaman vegetasi pada teras bangku atau teras tangga. Hasil analisis spasial zonasi lokasi perumahan yang berada di kawasan lindung di kecamatan-kecamatan Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung menunjukkan 164,69 ha lahan berkategori baik untuk lahan perumahan berada di kawasan lindung, 1.869,57 ha lahan berkategori sedang untuk lahan perumahan berada di kawasan lindung dan 4.351,73 ha lahan berkategori buruk untuk lahan perumahan berada di kawasan
114
lindung. Hasil analisis spasial zonasi lokasi-lokasi perumahan di Kawasan Lindung Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil analisis spasial zonasi kesesuaian lahan perumahan di Kawasan Lindung Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan (ha) Luas Kesesuaian Lahan untuk Perumahan (ha) No Kecamatan Jumlah Baik Sedang Buruk 1. Lembang 164,69 1.669,64 2.149,48 3.983,80 2. Cimenyan 0 5,72 957,89 963,61 3. Cilengkrang 0 194,21 1.244,36 1.438,57 Jumlah 164,69 1.869,57 4.351,73 6.385,99 Kondisi nyata penggunaan lahan perumahan eksisting di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan secara numeris telah menyimpang dari batas zona Baik dan Sedang untuk lahan perumahan. Hasil analisis spasial menunjukkan 45,90% (1022,87 Ha) luas terbangun di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan berada di zona buruk perumahan. Hasil analisis kondisi nyata lokasi-lokasi perumahan yang berada pada zona kesesuaian lahan untuk perumahan disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 7. Tabel 18. Luas wilayah terbangun eksisting di zona kesesuaian lahan perumahan (ha) No
Kecamatan
1. Lembang 2. Cilengkrang 3. Cimenyan Jumlah Persentase
Luas Wilayah Terbangun (ha) Baik Sedang Buruk 131,65 989,04 438,21 85,08 108,63 476,03 131,65 1074,12 1022,87 (5,90%) (48,20%) (45,90%)
Jumlah (ha) 1558,90 193,71 476,03 2228,64 (100%)
Penggunaan lahan perumahan eksisting di Kecamatan Cimenyan berada di zona buruk untuk perumahan atau 100 % telah menyimpang dari batas zona Baik dan Sedang untuk lahan perumahan yaitu seluas 476.025 ha. Luas lahan perumahan eksisting di Kecamatan Lembang sebesar 28,11 % dan 56,08% di Kecamatan Cilengkrang berada di zona buruk untuk perumahan atau telah menyimpang dari batas zona Baik dan Sedang untuk lahan perumahan. Persentase luas lahan permukiman eksisting yang berada di zona kesesuaian lahan untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 19.
115
Tabel 19. Persentase luas wilayah terbangun di zona kesesuaian lahan perumahan di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan Kabupaten Bandung (ha) No
Kecamatan
1. Lembang 2. Cilengkrang 3. Cimenyan
Baik 8,45 0.00 0.00
% Luas Wilayah Terbangun Sedang Buruk 63,44 28,11 43,92 56,08 0 100
Jumlah (%) 100.00 100.00 100.00
Hasil analisis spasial kondisi nyata penggunaan lahan perumahan eksisting yang berada di Kawasan Lindung di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung menunjukkan 144,41 ha lahan terbangun berada di Kawasan Lindung. 113,34 ha lahan terbangun perumahan berada di hutan lindung dan 31,07 ha lahan terbangun perumahan berada di daerah konservasi. Hal ini menunjukkan telah terjadi konversi lahan untuk Kawasan Lindung menjadi kawasan perumahan. Hasil analisis spasial wilayah terbangun perumahan di Kawasan Lindung Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 8. Tabel 20. Luas wilayah terbangun eksisting di Kawasan Lindung (ha) No Kecamatan Luas Wilayah Terbangun (ha) Hutan Lindung Konservasi Jumlah (ha) 1. Lembang 93,95 15,94 109,89 2. Cilengkrang 1,26 15,12 16,39 3. Cimenyan 18,13 0,00 18,13 Jumlah 113,34 31,07 144,41 Persentase 78,49% 21,51% 100%
115
Gambar 6. Peta Batas Administrasi Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang di Kabupaten Bandung
116
Gambar 6. Peta Kesesuaian Perumahan Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang di Kabupaten Bandung
117
Gambar 7. Peta Kondisi Nyata Wilayah Terbangun di Zona Kesesuaian Lahan Perumahan
118
Gambar 8. Peta kondisi nyata wilayah terbangun di zona kesesuian lahan untuk perumahan
119
5.2. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemilihan Lokasi Perumahan di Zona Buruk Perumahan Hasil survei yang dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2007 di Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan Kawasan Bandung Utara yang melibatkan 12 Perumahan yaitu perumahan Pasir Honje, Bumi Asri, BCI, Tirtawening, Setiabudi Regensi, Komplek Atput, Komplek Kejaksaan, Pasir Layung, Merpati Duta, Nirwana, Bukit Mas, dan Cipaku Indah II sebanyak 126 Responden, menunjukkan status sosial dan ekonomi, keadaan lahan dan pengelolaan lahan perumahan, serta kebutuhan responden. Uraian masing-masing faktor tertera berikut ini : 5.2.1. Analisis Faktor untuk Variabel yang Berpengaruh terhadap Pemilihan Lokasi Perumahan di Zona Buruk Perumahan Tahap pertama analisis faktor adalah menilai mana saja variabel yang dianggap layak untuk dimasukan dalam analisis selanjutnya. Pengujian dilakukan dengan memasukkan semua variabel yang ada, kemudian pada variabel-variabel tersebut dikenakan sejumlah pengujian. Hasil pertama analisis faktor utama (PCA) menunjukkan angka Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy dan Barlett’s Test of Sphericity adalah 0,773 >0,50 dengan signifikansi 0,000. Nilai KMO yang besar menunjukkan bahwa korelasi antar pasangan variabel bisa diterangkan oleh variabel lainnya dan analisis faktor dianggap sebagai teknik yang tepat untuk analisis matrik korelasi. Oleh karena angka tersebut sudah di atas 0,5 dan signifikansi jauh dibawah 0,05, maka variabel dan sampel yang ada sudah bisa dianalisis lebih lanjut. Hasil Anti Image Correlation, khususnya pada angka korelasi yang bertanda a (arah diagonal dari kiri atas ke kanan bawah) menunjukkan variabel-variabel yang layak diuji lanjut adalah variabel dengan nilai MSA diatas 0,5 yakni variabel panorama, luas lahan, harga lahan, daya dukung lahan, pengelolaan drainase, pengelolaan limbah, ketersediaan fasilitas sosial, jalan masuk dan kedekatan dengan tempat kerja dan tempat lain. Sesuai dengan tujuan dari analisis PCA adalah penyederhanaan variabel. Artinya variabel-variabel baru yang dihasilkan dari proses analisis komponen utama jumlahnya harus lebih sedikit dari jumlah variabel asalnya. Komponen utama yang dihasilkan dari
120
yang memiliki akar ciri (eigenvalue) tertinggi hingga terendah. Angka eigenvalue di bawah satu tidak digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk. Hasil analisis berdasarkan angka eigenvalue tertera pada Tabel 21. Tabel 21. Keragaman total pemilihan lokasi perumahan Komponen Akar Ciri (Eigenvalues) Total % Keragaman % Kumulatif 1 4,908 54,529 54,529 2 1,656 18,403 72,932 3 1,090 12,111 85,042 4 0,681 7,569 92,611 5 0,327 3,632 96,244 6 0,183 2,031 98,275 7 0,141 1,570 99,844 8 0,013 0,150 99,994 9 0,001 0,006 100,000 Dari Tabel 21 terlihat bahwa hanya tiga faktor yang terbentuk, karena dengan tiga faktor angka eigenvalue masih diatas satu yaitu 1,090. Namun untuk empat faktor angka eigenvalue sudah di bawah satu (0,681), sehingga proses factoring berhenti pada tiga faktor saja. Analisis dilanjutkan dengan menunjukkan distribusi ke sembilan variabel tersebut pada tiga faktor yang terbentuk. Rotated component matrix pada lampiran 14 memperlihatkan distribusi variabel yang lebih jelas dan nyata dibandingkan dengan tabel komponen matrik (component matrix). Hasil rotated component matrix (a) menunjukkan bahwa komponen satu (faktor fisik) terdiri dari variabel panorama, luas lahan, jalan masuk ke perumahan, kedekatan dengan tempat kerja/kegiatan lain dan daya dukung lahan. Komponen dua terdiri (faktor sosial) dari variabel sistem drainase, pengelolaan limbah, ketersediaan fasos. Sedangkan komponen tiga (faktor ekonomi) terdiri dari satu variabel yaitu harga lahan. Berdasarkan pertimbangan angka total akar ciri (eigenvalue), distribusi variabel berdasarkan rotated component matrix(a) dan koefisien skor faktor ditentukan nilai skor faktor masing-masing variabel pemilihan lokasi perumahan oleh penghuni. Berdasarkan nilai skor faktor dapat ditentukan nilai masing-masing faktor (F1, F2 dan F3) pemilihan lokasi perumahan berdasarkan rumus : Fi
= Wi1X1 + Wi2 X2 + Wi3 X2+ …….+ Wij Xk
F1PLP(F) = 1,286 X1+ 1,276 X2 + 1,320 X2+ 1,168 X2 –0,214 X5
121
F2PLP(S) = 0,767 X6+ 0,593 X7 + 0,471 X8 F3PLP(E) = 0,739 X9 Nilai skor faktor pemilihan lokasi perumahan oleh penghuni dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai skor faktor masing-masing variabel pemilihan lokasi perumahan Skor Keragaman 4.908 4.908 4.908 4.908 4,908 1.656 1.656 1.656 1.090
Panorama Jalan Masuk Luas Lahan Kedekatan Daya Dukung Sistem Drainase Pengelolan Limbah Ketersedian Fasos Harga
Koefisien Skor faktor 0.262 0.260 0.269 0.238 0.129 0.463 0.358 0.432 0.678
Nilai Skor Faktor 1.286 1.276 1.320 1.168 0.214 0.767 0.593 0.471 0.739
Nilai Faktor 4,837 4,837 4,837 4,837 4,837 1,830 1,830 1,830 0,739
Diagram faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemilihan lokasi perumahan disajikan dalam Gambar 9. 0.739
Harga 0.471
Ketersedian Fasos
0.593
Pengelolan Limbah
0.767
Sistem Drainase Daya Dukung
0.214
Kedekatan
1.168
Luas Lahan
1.32
Jalan Masuk
1.276
Panorama
1.286 Skor Faktor
Gambar 9. Diagram faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemilihan lokasi perumahan Selain itu, responden yang tinggal Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang di Kawasan Bandung Utara tidak mempertimbangkan kemampuan dan kesesuaian lahan, tidak peduli pada perbandingan luas tutupan lantai rumah dengan luas lahan dan tidak memperhatikan konstruksi rumah tahan gempa meskipun sebagian besar
122
responden (54,7%-74,6%) telah mendapatkan informasi tentang konservasi Kawasan Bandung Utara, kemampuan lahan dan kesesuaian lahan untuk perumahan, perbandingan luas tutupan lantai rumah dengan lahan, analisis dampak lingkungan, bencana yang mungkin timbul terkait dengan pembangunan perumahan, hubungan tutupan lahan dengan banjir, rumah berwawasan lingkungan, rumah tahan gempa, informasi keragaman flora dan fauna lokal.
5.2.2. Status Sosial dan Ekonomi • Persentase laki-laki dan perempuan sebesar 55,7%:44,3 %. • Persentase tingkat pendidikan untuk tingkat sarjana (S1, S2 dan S3) sebesar 68,1 %, SMA (29,3 %), SMP (4,7 %), SD (2,3 %), Diploma 1 (0,79 %) dan tidak melalui jenjang pendidikan formal sebesar 1,59%. • Kendaraan yang banyak dimiliki adalah kendaraan beroda dua (58,5 %), kendaraan beroda empat (40,5 %), dan tidak memiliki kendaraan (0,8 %). • Pekerjaan kepala keluarga kebanyakan adalah Pegawai Negeri Sipil (43,6 %), Pegawai Swasta (29,3 %), Wiraswasta (18,25 %), Dosen (5,5 %), dan sisanya adalah pensiunan. • Persentase pendapatan diatas 2 juta yaitu sebesar 66,6 %, sedangkan pendapatan kurang dari 2 juta sebesar 32,5 %. • Pengeluaran keluarga terbesar tiap bulan adalah pengeluaran anggaran biaya untuk telepon (46,24%), pengeluaran untuk listrik (36,7%), pengeluaran untuk air bersih (8,29%), pengeluaran untuk iuran wajib (6,25%) dan pengeluaran untuk sampah (2,48%). Dari pengeluaran keseluruhan itu dapat disimpulkan menjadi dua bagian yaitu 74,6% pengeluaran di bawah Rp 500.000,00/bulan dan 25,3% pengeluaran di atas Rp 500.000,00/bulan. • Persentase pengeluaran yang paling besar adalah pengeluaran biaya untuk perawatan rumah (46,1%), pengeluaran untuk pajak kendaraan bermotor (33,6%), biaya perawatan infrastruktur (9,7%) dan biaya untuk pajak bumi dan bangunan (6,45%). • Status tempat tinggal yang ditempati kebanyakan adalah milik sendiri (79,4%), milik keluarga (7,14%), rumah dinas (13,4 %).
123
• 54,7% responden memperoleh rumah dengan cara kredit dan 31,7% membayar tunai. Distribusi status sosial dan ekonomi responden disajikan pada Gambar 10.
100% 80%
27.3
44.3
40.5
13.4
32.3
40%
68
55.7
58.7
46.95
20%
31.7
33.6
29.3
60%
79.4
67.7
54.7
50.25
46,95%-79,4%
4,7%-18,25%
ha n ol e Pe r
em ilik an Ke p
ua ra n ge l
n
13,4%-44,3%
Pe n
an
Pe nd ap at a
Ke nd ar a
Pe ke rja
an
n ik a Pe nd id
Se x
R at
io
0%
5,5%-6,45%
Gambar 10. Distribusi Status Sosial Ekonomi Penduduk 5.2.3. Tata Cara Pengelolaan Infrastruktur Perumahan • Pengelolaan air kotor secara terpusat sebesar 48,41%, yang melakukannya dengan perumahan (22,2%) dan mandiri (29,3%). • Pengelolaan limbah padat secara mandiri sebesar 88,8%, terpusat (7,1%) dan pengolahan dengan perumahan (3,9 %). • Pengelolaan limbah sampah bersatu dengan perumahan sebesar 56,3%, terpusat (23,8%) dan mandiri (19,8%). • Sumber dan daya listrik yang banyak digunakan adalah 900 watt yaitu sebesar 35,7%, 1300 watt (33,3%), 2200 watt (27,7%) dan 450 watt 3, 17 %. • 75,3% responden mendapatkan sumber air bersih dari Non PDAM dan 24,6% mendapatkan sumber air bersih dari PDAM. Tata cara pengelolaan infrastruktur disajikan pada Gambar 11.
124
100%
0 19.8
29.3
80% 60%
24.6 35.7
22.2
88.8
56.3 33.3
40%
75.3 48.41
20%
3.9 7.1
23.8
Limbah Padat
Sampah
0% Air Kotor
Terpusat
Perumahan
27.7
Air bersih
Listrik
Mandiri
Gambar 11. Tata Cara Pengelolaan Infrastruktur 5.2.4. Kondisi Infrastruktur di Lokasi Perumahan • Kondisi infrastruktur di lokasi perumahan untuk jalan dan jenis perkerasan sebesar 60% adalah sedang, baik (27,7%), buruk (8,72%), sangat baik (2,58%), sangat buruk (0,7 %). • Kondisi drainase adalah sedang (68%), baik (22 %), buruk (5,6%), sangat baik (3,2%), sangat buruk (0,8%). • Pengelolaan air kotor adalah sedang (67,5%), baik (24%), buruk (4,7%) dan sangat baik (3,9 %). • Pengelolaan limbah padat adalah sedang (70%), baik (27%), sangat baik (2,3 %), dan buruk (0,79%). • Pengelolaan sampah adalah sedang (66,3%), baik (24%), sangat baik (7,14%), buruk (4,8%) dan sangat buruk (4%). • Kondisi infrastruktur listrik adalah baik (70,59%), sangat baik (11,9 %), sedang (15,92%) dan buruk (1, 59 %). • Kondisi infrastruktur air bersih adalah sedang (64%), sangat baik (20%), baik (15,1%) dan sangat buruk (0,8 %). Kondisi pengelolaan infrastruktur di lokasi perumahan disajikan pada Gambar 12.
125
100%
8.72
5.6
60
63.8
4.8
80% 60%
67.4
70
64
60.06
76.9
24
12
40% 20
20% 0%
27.7
22
24
27
2.58
3.2
3.9
2.3
7.14
12
Jalan
Drainase
Air Kotor
Limbah Padat
Sampah
Listrik
Baik
Sedang
Buruk
Sangat Baik
20
Air Bersih
Sangat Buruk
Gambar 12. Kondisi Pengelolan Infrastruktur Perumahan
5.2.5. Tingkat Pemahaman dan Sikap Responden • Para responden sebagian besar telah banyak mengetahui informasi tentang lokasi perumahan yang ditempati sekarang, baik informasi tentang kemampuan lahan (50%), kesesuaian lahan untuk perumahan (57,14%), ruang terbuka/fasilitas sosial/fasilitas umum (69,05), analisa dampak
lingkungan (60,32%), kawasan
Bandung Utara (74,6%), bencana-bencana yang mungkin timbul (71,43%), hubungan tutupan lahan dengan bencana banjir (56,35%), rumah berwawasan lingkungan (61,90%), informasi tentang flora dan fauna lokal. Sebagian besar responden tidak mengetahui perbandingan luas tutupan lantai rumah dengan lahan (52,38%) dan pembangunan rumah yang tahan gempa (54,76%). • Sebagian besar sikap responden merasa puas menetap di lokasi perumahan yang mereka tempati sekarang(54,8%), responden merasa sangat puas bahkan mereka ingin tetap menetap di lokasi perumahan yang mereka tempati sekarang (28,6 %), cukup puas tetapi ada berbagai pertimbangan akan mencari lokasi perumahan yang lain (12,7%), tidak puas (3,1%), sangat tidak puas (0,79%).
126
5.2.6. Analisis Kebutuhan Responden Terhadap Program-program Pembangunan Analisis kebutuhan responden kepada berbagai pihak, baik terhadap pengembangan perumahan, pemerintah daerah terkait dengan penataan ruang, maupun kepada masyarakat sekitar lokasi perumahan. • Kebutuhan responden terhadap pengembang perumahan 81,7% responden membutuhkan informasi tentang lokasi perumahan, mengharapkan kondisi infrastruktur perumahan yang perlu ditingkatkan lagi dan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi juga perlu diperbaiki. 88% responden mengharapkan fasilitas umum, sosial dan ruang terbuka hijau perlu diperbaiki. Kebutuhan responden terhadap pengembang perumahan disajikan pada Gambar 13. RTH
88
12
Fasos/Fasum
88
12
Sarana & prasarana Transportasi
81.7
18.3
Infrastruktur
81.7
18.3
Informasi lokasi
81.7
18.3
0
10
20
30
40
50
81,7%-88%
60
70
80
90
100
12%-18,3%
Gambar 13. Kebutuhan responden terhadap pengembang perumahan • Kebutuhan responden kepada pemerintah daerah terkait penataan ruang. 91,27% responden mengharapkan informasi kegiatan pembangunan yang lebih terbuka lagi, 83,3% membutuhkan informasi perencanaan ruang yang menyeluruh, 90,48% membutuhkan subsidi pembangunan perumahan untuk rakyat dan pengendalian pembangunan perumahan, 80,16% membutuhkan insentif pembangunan vertikal atau rumah bertingkat. Kebutuhan responden kepada pemerintah daerah terkait penataan ruang disajikan pada Gambar 14.
127
Insentif pembangunan vertikal
80.16
19.84
90.48
Subsidi pembangunan perumahan Perencanaan ruang
9.52
83.3
16.7
91.27
Transparansi pembangunan 0%
20%
8.73
40%
60%
80,16%-91,27%
80%
100%
8,73%-19,84%
Gambar 14. Kebutuhan responden terhadap pemerintah • Kebutuhan responden terhadap masyarakat 90%
responden
membutuhan
perlunya
kegiatan
pelatihan
dan
penyuluhan
pembangunan perumahan, 93% adanya peran serta masyarakat terhadap pembangunan, 93,7% membutuhkan sosialisasi kawasan konservasi dan lahan subur, 96% masyarakat membutuhkan peningkatan pengelolaan sampah, 93,7% masyarakat membutuhkan peningkatan pengelolaan limbah rumah tangga dan 94,4% masyarakat membutuhkan peningkatan informasi manfaat dan pengorbanan kegiatan pembangunan perumahan serta adanya peningkatan kesadaran lingkungan perumahan yang sesuai dan sehat. Kebutuhan responden terhadap masyarakat disajikan pada Gambar 15. Informasi manfaat & pengorbanan
94.4
5.6
Pengelolaan limbah RT
93.7
6.3
Pengelolaan sampah
96
4
Sosialisasi kawasan
93.7
6.3
93
7
Peranserta masyarakat
90
Pelatihan & penyuluhan 0%
10
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100 % 90%-96% 45-10%
Gambar 15. Kebutuhan responden terhadap masyarakat
128
5.3. Perubahan Lingkungan di Zona Buruk untuk Lahan Perumahan 5.3.1. Tingkat Pelayanan Lalu Lintas Kendaraan Pembangunan
Bandung
Utara
berdampak
terhadap
beban
jalan
yang
mempengaruhi kelancaran, keselamatan dan kepadatan lalu-lintas yang dapat dilihat dari volume lalu-lintas yang lebih padat. Biasanya besar bangkitan lalu-lintas dipengaruhi oleh luas perumahan dan tingkat pengisiannya. Semakin besar luas perumahan dan tingkat pengisian maka semakin besar pula bangkitan lalu-lintasnya. Disamping itu pembangunan perumahan meningkatkan tarikan penduduk sehingga menambah volume kendaraan di koridor jalan. Secara garis besar permasalahan yang timbul adalah bangkitan pergerakan penduduk, yang membebani dan menambah volume lalu lintas di ruas jalan yang berada di wilayah pengaruh kawasan ini serta kemacetan dan penurunan tingkat pelayanan jalan. Wilayah pengaruh perkembangan akibat pembangunan perumahan di kawasan Bandung
Utara
adalah
ruas
jalan
Lembang-KH
Mustopha-Cilengkrang
dan
persimpangan jalan KH. Mustopha-Bojong Koneng-Cimuncang dan Padasuka-Jatihandap yang sebelumnya memang mempunyai volume lalu lintas yang cukup tinggi. Kondisi ini dikarenakan jalan Lembang-KH.Mustopha-Cilengkrang merupakan jalan arteri primer yang berfungsi sebagai trought traffic kota Bandung yang merupakan jalur lalu lintas kearah Subang dan Cirebon. Selain itu arus lalu lintas di ruas jalan pengaruh merupakan arus menerus menuju ke kawasan pusat kota dan juga merupakan arus pergerakan lokal yang dihasilkan oleh kegiatan yang berada di wilayah studi. Wilayah pengaruh perkembangan akibat pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Wilayah Pengaruh Pembangunan Bandung Utara Ruas Jalan Lebar Jalan (m) Kapasitas (smp) Cikutra-Bojong Koneng 7,5 3366 PPH.Mustopa-Cimuncang 8,8 3770 PPH.Mustopa-Padasuka 9,0 3960 PPH. Mustopa-Jatihandap 11,4 7665 Raya Ujungberung- Cilengkrang 8,8 3402 Raya Lembang- Sersan Bajuri 8,8 3527 Sumber : Hasil Perhitungan (2007).
129
Hasil studi lapangan didapat jumlah kendaraan terbesar pada ruas jalan K.H. Mustopha-Jatihandap berkisar antara 6294 sampai dengan 9603 per jam untuk masingmasing arah. Untuk lebih jelasnya kondisi sekarang unit kendaraan pada ruas jalan dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 16. Tabel 24. Hasil Survei Lalu-Lintas Unit Kendaraan Per Jam Unit Kendaraan Per jam No. Lokasi Pagi Siang Sore Malam 1. Lembang 3401 4148 4884 3456 2. Bojongkoneng 2731 2780 3693 1780 3. Cimuncang 2217 2832 2225 2085 4. Padasuka 3365 2617 2819 1842 5. Jatihandap 4231 9603 6294 4231 6. Cilengkrang 2256 2125 2570 2710 Sumber : Hasil Perhitungan (2007).
100 00 90 00 80 00 70 00
Lembang
60 00
Bojongkoneng
50 00
Cimuncang Padasuka
40 00
Jatihandap 30 00
Cilengkrang
20 00 10 00 0 Pa gi
Sia ng
Sore
Malam
Gambar 16. Hasil Survei Lalu Lintas di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Volume lalu lintas terbesar dijumpai pada ruas jalan K.H. Mustopha-Jatihandap yaitu 10356 smp per jam pada jam sibuk siang untuk masing-masing arah. Untuk lebih jelasnya kondisi eksisting volume lalu lintas pada ruas jalan terlihat pada Tabel 25.
130
Tabel 25. Volume Lalu-Lintas Satuan Mobil Penumpang (smp) Volume Lalu lintas (smp) No. Lokasi Pagi Siang Sore Malam 1. Lembang 5031 4496 5170 3614 2. Bojongkoneng 3141 3052 4119 2050 3. Cimuncang 4199 3332 4165 3428 4. Padasuka 4527 4084 4018 3709 5. Jatihandap 5549 10356 7692 5958 6. Cilengkrang 2620 2517 2922 3080 Sumber : Hasil Perhitungan (2007)
Hasil analisis tingkat pelayanan jalan menunjukkan sudah tidak ada lagi arus jalan yang lancar, volume lalu lintas rendah dan kendaraan tidak dapat dikemudikan dengan kecepatan tinggi. Arus lalu lintas stabil dengan kecepatan terbatas serta volume sesuai untuk jalan luar kota
hanya pada ruas jalan Cikutra-Bojongkoneng (kelas tingkat
pelayanan B). Untuk lebih jelasnya hasil analisis tingkat pelayanan jalan di Kecamatan Cimenyan, Lembang dan Cilengkrang dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Tingkat Pelayanan Jalan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang
Lokasi Lembang Bojongkoneng Cimuncang Padasuka Jatihandap Cilengkrang
Pagi 1,43 F 0,93 E 1,17 F 1,2 F 0,72 C 0,77 C
Tingkat Pelayanan Jalan (VCR) Siang Sore 1,27 F 1,47 F 0,91 E 1,22 F 0,93 E 1,16 F 1,08 F 1,07 F 1,35 F 1,00 E 0,74 C 0,86 D
Malam 1,02 F 0,61 B 0,96 E 0,98 E 0,78 C 0,91 E
Pada jam sibuk pagi, tingkat pelayanan ruas jalan PPH. Mustopa-Jatihandap dan Cilengkrang
adalah kelas C yang berarti arus lalu lintas stabil tetapi kecepatan
dipengaruhi oleh lalu lintas dan volume masih sesuai untuk jalan kota. Pada ruas jalan Cikutra-Bojongkoneng menunjukkan tingkat pelayanan E artinya arus lalu lintas tidak stabil, kecepatan rendah dan volume mendekati kapasitas. Sementara itu, di ruas jalan PPH Mustopa-Cimuncang, PPH. Mustopa - Padasuka dan Raya Lembang-Setiabudhi tingkat pelayanan jalan F artinya arus sudah terhambat, kecepatan rendah, volume di bawah kapasitas dan kendaraaan banyak berhenti. Fluktuasi tingkat pelayanan jalan sepanjang ruas jalan Lembang-Cimenyan-Cilengkrang disajikan pada Gambar 17.
131
1.60 1.40 1.20 1.00 V C R
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1
2
3
4
Waktu Pengamatan Lembang Padasuka
Bojongkoneng Jatihandap
Cimuncang Cilengkrang
Gambar 17. Fluktuasi tingkat pelayanan jalan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang • Tingkat Pelayanan Ruas Jalan Cikutra-Bojong Koneng Pada jam sibuk pagi dan siang, ruas jalan Cikutra-Bojongkoneng menunjukkan tingkat pelayanan E berarti arus lalu lintas tidak stabil, kecepatan rendah dan volume mendekati kapasitas. Sementara itu, pada jam sibuk sore menunjukkan tingkat pelayanan jalan kelas F artinya arus sudah terhambat, kecepatan kendaraan rendah, volume lalu lintas di atas kapasitas jalan dan kendaraaan banyak berhenti. Arus lalu lintas kembali stabil dengan kecepatan terbatas serta volume sesuai untuk jalan luar kota hanya pada jam sibuk malam (kelas B). Grafik tingkat pelayanan jalan dapat dilihat pada Gambar 18.
132
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
4119 3141
3052 2050
1
2
3
4
Volume Lalu Lintas Bojongkoneng Kapasitas jalan bojongkoneng
Gambar 18. Tingkat pelayanan ruas Jalan Cikutra-Bojong Koneng Tingkat Pelayanan Ruas Jalan PPH.Mustopa-Cimuncang Ruas jalan PPH.Mustopa-Cikutra pada jam sibuk pagi dan sore menunjukkan tingkat pelayanan jalan kelas F artinya arus sudah terhambat, kecepatan kendaraan rendah, volume lalu lintas di bawah kapasitas jalan dan kendaraaan banyak berhenti. Pada jam sibuk siang dan malam, menunjukkan tingkat pelayanan E berarti arus lalu lintas tidak stabil, kecepatan rendah dan volume mendekati kapasitas.Grafik tingkat pelayanan jalan dapat dilihat pada Gambar 19.
5000 4000
4199
4165 3428
3332
3000 2000 1000 0 1
2
Volume Lalu Lintas Cimuncang
3
4
Kapasitas Jalan Cimuncang
Gambar 19. Tingkat pelayanan ruas Jalan PPH.Mustopa-Cimuncang
133
• Tingkat Pelayanan Ruas Jalan PPH.Mustopa-Padasuka Ruas jalan PPH.Mustopa-Padasuka pada jam sibuk pagi, siang dan sore menunjukkan tingkat pelayanan jalan F artinya arus sudah terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas dan kendaraaan banyak berhenti. Sementara itu, pada jam sibuk malam menunjukkan tingkat pelayanan jalan E artinya arus lalu lintas tidak stabil, kecepatan rendah dan volume mendekati kapasitas. Grafik tingkat pelayanan jalan dapat dilihat pada Gambar 20. 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
4527 4084
1
2
Volume Lalu Lintas Padasuka
4018
3
3709
4
Kapasitas jalan Padasuka
Gambar 20. Tingkat pelayanan ruas Jalan PPH.Mustopa-Padasuka • Tingkat Pelayanan Ruas Jalan PPH.Mustopa-Jatihandap Ruas jalan PPH.Mustopa-Jatihandap pada jam sibuk pagi dan malam menunjukkan tingkat pelayanan jalan kelas C yang berarti arus lalu lintas stabil tetapi kecepatan dipengaruhi oleh lalu lintas dan volume masih sesuai untuk jalan kota. Pada jam sibuk siang mengalami penurunan (tingkat pelayanan jalan F) artinya arus sudah terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas dan kendaraaan banyak berhenti. Pada jam sibuk sore menunjukkan tingkat pelayanan jalan E artinya arus lalu lintas tidak stabil, kecepatan rendah dan volume mendekati kapasitas. Grafik tingkat pelayanan ruas jalan PPH. Mustopha-Jatihandap dapat dilihat pada Gambar 21.
134
12000 10356
10000 8000
7692
6000
5958
5549
4000 2000 0 1
2
Volume Lalu Lintas Jatihandap
3
4
Kapasitas Jalan Jatihandap
Gambar 21. Tingkat pelayanan ruas Jalan PPH.Mustopa-Jatihandap • Tingkat Pelayanan Ruas Jalan Raya Ujung Berung- Cilengkrang Hasil analisis menunjukkan ruas jalan Raya Ujungberung-Cilengkrang pada jam sibuk pagi dan siang dan malam kelas menunjukkan tingkat pelayanan C yang berarti arus lalu lintas stabil tetapi kecepatan dipengaruhi oleh lalu lintas dan volume masih sesuai untuk jalan kota. Pada jam sibuk sore arus lalu lintas tidak stabil dengan kecepatan rendah (kelas D) dan mengalami penurunan pada jam sibuk malam menjadi kelas E dimana arus lalu lintas tidak stabil, kecepatan kendaraan rendah dan volume mendekati kapasitas. Grafik tingkat pelayanan ruas jalan Raya Ujung Berung-Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 22. 4000 3000
2620
2517
1
2
2922
3080
3
4
2000 1000 0
Volume Lalu Lintas Cilengkrang
Kapasitas Jalan Cilengkrang
Gambar 22. Tingkat pelayanan ruas Jalan Raya Ujung Berung-Cilengkrang
135
• Tingkat Pelayanan Ruas Jalan Raya Lembang- Setiabudhi Pada jam sibuk pagi sampai malam di ruas jalan Lembang- Setiabudhi tingkat pelayanan jalan adalah kelas kelas F artinya arus sudah terhambat, kecepatan rendah, volume di bawah kapasitas dan kendaraaan banyak berhenti. Grafik tingkat pelayanan ruas jalan Raya Lembang-Setiabudi dapat dilihat pada Gambar 23. 6000
5031
5000
5170 4496 3614
4000 3000 2000 1000 0 1
2
Volume Lalu lintas Lembang
3
4
Kapasitas Jalan Lembang
Gambar 23. Tingkat pelayanan ruas Jalan Raya Lembang-Setiabudhi
Keterkaitan Antara Luas Terbangun, Kapasitas Koridor, Volume Lalu Lintas, Kepadatan Lalu Lintas dan Laju Bangkitan Lalu Lintas Perumahan Tingkat aksesibilitas menuju perumahan berkaitan dengan laju bangkitan lalu lintas perumahan. Tingkat aksesibilitas menuju perumahan dapat digambarkan antara lain oleh kapasitas jalan pada koridor dimana perumahan berada. Jalan dengan kapasitas besar, selain mudah dilalui penduduk juga dapat menampung banyak kendaraan. Tabel 27 menunjukkan keterkaitan luas terbangun terhadap kapasitas, volume lalu lintas dan bangkitan lalu lintas perumahan. Tabel 27. Keterkaitan Antara Luas Terbangun, Kapasitas Koridor, Volume Lalu Lintas, Kepadatan Lalu Lintas dan Laju Bangkitan Lalu Lintas Perumahan Kecamatan Lembang Cilengkrang Cimenyan
Luas Terbangun (Ha) 438.214 108.630 476.025
Volume Lalu Lintas (smp) 5031 2922 5549
Kapasitas Jalan (smp) 3527 3402 3770
Kepadatan Lalu Lintas (VCR) 1,43 0,86 1,47
Laju Bangkitan Masuk Keluar (smp) (smp) 2629 1402 494 263 3070 1638
136
Dari Tabel 27 terlihat adanya keterkaitan antara luas terbangun dengan laju bangkitan lalu lintas, semakin luas wilayah terbangun laju bangkitan masuk dan keluar semakin besar. Selain itu, ada kaitan antara kapasitas jalan dan volume lalu lintas terhadap bangkitan lalu lintas perumahan. Semakin besar volume lalu lintas dan kapasitas jalan, semakin tinggi laju bangkitan lalu lintas perumahan. Volume lalu lintas menggambarkan besarnya tarikan bepergian pada koridor. Bepergian pada koridor ini adalah masuk dan keluarnya kendaraan dari lokasi perumahan. Kapasitas jalan berkaitan dengan laju bangkitan lalu lintas perumahan. Semakin besar kapasitas jalan pada koridor dimana perumahan berlokasi, semakin besar laju bangkitan lalu lintas perumahan. Kapasitas jalan yang besar lebih memperlancar dan mempermudah menuju perumahan bila dibandingkan dengan jalan yang kapasitasnya kecil walaupun kepadatannya sama. Kepadatan lalu lintas yang ditunjukkan oleh rasio volume per kapasitas (V/C) tertinggi berada di sepanjang koridor jalan Cimenyan. Hal ini menunjukkan bahwa luas wilayah terbangun di Kecamatan Cimenyan mengakibatkan bangkitan lalu lintas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kecamatan yang lainnya.
Pola Perubahan Lingkungan Akibat Penambahan Bangkitan Lalulintas Hasil pengukuran volume lalu lintas pada periode tahun 2004 sampai tahun 2007 menunjukkan parameter volume lalu lintas harian rata-rata mengalami kenaikan. Sedangkan untuk parameter laju pertumbuhan atau rate volume lalu lintas memiliki pola turun naik. Hasil pengukuran volume lalu lintas dan laju pertumbuhan volume lalu lintas tahun 2004-2007 di kecamatan dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Volume Lalu Lintas tahun 2004-2007, Laju Pertumbuhan, dan Dampak Bangkitan Dampak Laju Bangkitan Kecamatan 2004 2005 2006 Laju 2007 Masuk Keluar Lembang 3530 3848 4964 5031 0,131 52.26% 27.87% Cilengkrang 2346 2404 2705 2922 0,077 18.85% 10.04% Cimenyan 3207 3739 4310 5549 0,202 55.33% 29.52% Dari Tabel 26 terlihat bahwa ada kontribusi laju bangkitan lalu lintas terhadap volume lalu lintas. Laju bangkitan masuk di Kecamatan Cimenyan menyumbang
137
55,33% terhadap volume lalu lintas dan 29,52% laju bangkitan keluar sepanjang koridor jalan di Kecamatan Cimenyan.
Luas wilayah terbangun yang besar di
Kecamatan Cimenyan meningkatkan tarikan penduduk sehingga menambah volume kendaraaan. Selain itu, besarnya luas wilayah terbangun mempengaruhi besarnya bangkitan lalu lintas di sepanjang koridor jalan. Tingkat kepadatan lalu lintas jalan terlihat sudah melampaui kapasitas jalan yang ada, sehingga tingkat pelayanan jalan di masing-masing ruas jalan di ketiga kecamatan tersebut mengalami penurunan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas dan ketidaknyamanan para pengguna jalan. Perubahan lingkungan akibat penambahan bangkitan lalu lintas karena
adanya
pembangunan perumahan di Kecamatan Cimenyan, Lembang dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara dapat dilihat pada Gambar 24.
6,000 4 6
Volume Lalu Lintas (smp)
5,000 4
1
6
2 4,000
1 4 2
3
6
1
2
1 3
3,000
3 4
2 5
5 6
Kapasitas_Jalan_Cimenyan_ Kapasitas_Jalan_Cilengkrang Kapasitas_Jalan_Lembang Volume_LL_Cimenyan Volume_LL_Cilengkrang Volume_LL_Lembang
5 5 2,000 1
2
3
Waktu (Tahun 2004-2007)
Gambar 24. Pola Perubahan Volume Lalu Lintas Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Alternatif solusi terhadap dampak lalu lintas yang timbul dari pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara terbagi menjadi dua bagian yaitu penambahan jumlah lajur jalan dan penambahan lebar jalan di tiap ruas jalan. Tabel 29. Alternatif Kebijakan Penambahan Lajur dan Lebar Jalan Ruas Jalan Jumlah Lajur Bojong Koneng 1 Cimuncang 1 Padasuka 2 Jatihandap 2 Cilengkrang 1 Lembang 1 Sumber : Hasil Perhitungan (2008)
Lebar Jalan 4 5 5 6 3 4
138
5.3.2. Komponen Fisik dan Kimia Udara •
Hasil Analisis Fisik dan Kimia Udara di Kecamatan Cimenyan
Analisis kualitas udara di Kecamatan Cimenyan dilaksanakan di Desa Padasuka. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 30 sampai 32. Tabel 30. Pemantauan kualitas udara di Desa Padasuka Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung selama 8 jam Nox Waktu 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 Jumlah Rata-rata Maksimal Minimal
O3 SO2 CO SPM HC4 Non HC Standard Baku Mutu Udara Ambien (Kep.41/MENKLH/1999)
0.05 ppm
0.10ppm
0.10 ppm
20 ppm
150ug/m3
0.0795 0.0934 0.1177 0.1209 0.1196 0.1641 0.1421 0.0841 0.9214 0.1152 0.1641 0.0795
0.0265 0.0495 0.0520 0.0438 0.0416 0.0450 0.0364 0.0375 0.3323 0.0415 0.0520 0.0265
0.0233 0.0200 0.0167 0.0196 0.0155 0.0156 0.0180 0.0183 0.1470 0.0184 0.0233 0.0155
4.501 2.111 2.511 2.100 2.890 5.012 2.370 2.451 23.946 2.993 5.012 2.100
120 150 189 139 143 181 111 140 1173 147 189 111
0.24 ppm
2.931 0.120 0.538 0.119 0.406 0.769 1.280 2.021 8.184 1.023 2.931 0.119
0.136 0.065 0.431 0.127 0.494 1.285 2.536 4.624 9.698 1.212 4.624 0.065
Tabel 31. Pemantauan tingkat kebisingan di Desa Padasuka Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung untuk perumahan dan permukiman dengan standar 55 dB(A) berdasarkan Kep.MENLH No.Kep 48/MENLH/11/1996 JAM PENGUKURAN 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
Leq
dBA 81.9 77.4 77.0 78.3 78.0 77.8 76.6 77.7
139
Tabel 32. Hasil pemantauan kualitas udara di Desa Padasuka Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung dari 3 titik pengukuran No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Parameter
Standar Sulfur Dioksida (SO2) 0.10 ppm Karbon Monoksida (CO) 20 ppm Oksida Nitrogen (NOx) 0.05 ppm Oksidan (O3) 0.10 ppm Debu (TSP) 230 ugr/m3 Debu (SPM10) 150 ugr/m3 Hidro Karbon (HC) 0.24 ppm Kebisingan 55 (dBA) Temperatur (Rata-rata) 0C Kelembaban (Rata-rata) % Arah Angin -
Hasil Pengukuran Titik 1 Titik 2 0.018 0.013 2.993 2.092 0.115 0.104 0.042 0.034 231.01 228.81 146.63 144.7 1.023 0.906 78.1 75.6 27 27 67.72 67.72 Utara Utara
Titik 3 0.011 1.762 0.049 0.031 225.91 143.75 0.625 69.4 27 67.72 Utara
Dari Tabel 32 kualitas udara di Kecamatan Cimenyan dari hasil pengukuran di tiga titik terlihat bahwa parameter NOx, Debu (TSP), HC dan kebisingan kualitasnya sudah diatas baku mutu yang ditetapkan. •
Pola Perubahan Kualitas Udara di Kecamatan Cimenyan Hasil pengukuran kualitas udara pada periode tahun 2004-2006 menunjukkan
parameter-parameter kualitas udara di Kecamatan Cimenyan mengalami pola yang meningkat. Untuk parameter NOx, Pb, HC dan kebisingan memiliki nilai diatas baku mutu. Kualitas udara Kecamatan Cimenyan tahun 2004-2006 dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Kualitas Udara Kecamatan Cimenyan Tahun 2004-2006 Baku mutu
2004
2005
2006
Rate 1
Rate 2
0.10 ppm
0.014
0.017
0.0184
0.214
0.146
20 ppm
2.216
2.282
2.993
0.03
0.162
3. Oksida Nitrogen (NOx)
0.05 ppm
0.102
0.112
0.1152
0.098
0.063
4. Oksidan (O3)
0.10 ppm
0.03
0.0036
0.0415
-0.88
0.176
150 ugr/m3
141.05
145.027
146.63
0.028
0.02
2 ugr/m3
1.5
2.23
2.92
0.487
0.395
7. Hidro Karbon (HC)
0.24 ppm
0.678
0.851
1.023
0.255
0.228
8. Kebisingan
55 (dBA)
74.37
74.47
78.1
0.001
0.025
No
Parameter
1. Sulfur Dioksida (SO2) 2. Karbon Monoksida (CO)
5. Debu (SPM10) 6. Pb (Timbal)
Sumber : (Hasil perhitungan 2007)
140
Hasil pengukuran parameter NOx (Oksigen Nitrogen) di Kecamatan Cimenyan memiliki nilai di atas baku mutu yang ditetapkan. NOx dihasilkan dari pembakaran bensin dengan O2 dan N2. Tingginya nilai NOx dipengaruhi oleh beban dan kecepatan putaran mesin kendaraan pada saat mesin bekerja dengan beban yang berat, waktu penyalaan api pada mesin bensin dan temperatur yang tinggi. Sementara itu, parameter Pb selain memiliki nilai di atas baku mutu juga memiliki laju kenaikan yang paling tinggi dibanding parameter-parameter yang lainnya. Parameter Hidrokarbon memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan. Hidrokarbon ini merupakan pencemar utama yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dari padatnya lalu lintas di sepanjang ruas jalan PPH.Mustopa-Padasuka. Kemacetan kendaraan di ruas jalan ini meningkatkan kadar hidrokarbon di udara. Kadar hidrokarbon ini pada tahun 2006 walaupun mempunyai laju perubahan yang menurun dibandingkan tahun sebelumnya tetapi tetap di atas baku mutu yang telah ditetapkan. Hasil pengukuran parameter kebisingan (noise) memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan untuk kawasan perumahan dan permukiman hal ini disebabkan tidak seimbangnya pertumbuhan luas jalan dan jumlah kendaraan. Selain itu, hal ini juga disebabkan banyaknya persimpangan jalan dan lampu lalu lintas serta pertemuan jalan yang sempit dan lebar di sepanjang ruas jalan PPH. Mustopa- Padasuka. Sementara itu, parameter Pb selain memiliki nilai di atas baku mutu juga memiliki laju kenaikan yang paling tinggi dibanding parameter-parameter yang lainnya. Pola perubahan kualitas udara
10 2 2 2 2
Baku_Mutu_NOx_005
1 1
1
1
1
2
3
NOx_Cimenyan
2
Nili Parameter Pb
Nilai Parameter NOx
untuk parameter NOx, Pb, HC dan kebisingan dapat dilihat pada Gambar 25.
5 1 1 2
1
1 2
Baku_Mutu_Pb_2 Pb_Cimenyan
0
1 0
0
1
2
2
2
2
2 01
1
1
1
0
1
2
3
Waktu (Tahun)
1 2
Baku_Mutu_HC_024 HC_Cimenyan
Nilai Parameter Bising
3
1
2
3
Waktu
Waktu (Tahun)
Nilai Parameter HC
1 2
2
80 75 2
2
2
70 65
1
60 55
1
1
1
1
2
3
2
Baku_Mutu_Bising_55 Kebisingan_Cimenyan
50 0
Waktu
Gambar 25. Pola Perubahan Kualitas Udara Parameter NOx, Pb, HC dan Kebisingan di Kecamatan Cimenyan
141
Hasil pengukuran parameter debu (SPM 10) walaupun masih dibawah baku mutu tetapi memiliki kecenderungan pola meningkat. Partikulat ini dihasilkan akibat proses mekanis yang dapat menghasilkan abu dari pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna dari kendaraan, kontribusi sumber transportasi dalam mengemisikan partikulat lebih dari 51 % dari total emisi partikulat dan sisanya dari aktifitas lain. Selain debu, parameter-parameter SO2, CO, dan O3 masih memiliki nilai di bawah baku mutu tetapi memiliki pola perubahan yang meningkat karena memiliki rate kenaikan yang tinggi. Pola perubahan kualitas udara untuk parameter SO2, CO, O3 dan SPM 10 dapat dilihat
0.20
2
2
20
2
0.15 0.10 2
1
0.05
2 1 0
1 1
1
1
2
3
SO2_Cimenyan Baku_Mutu__SO2_01
Nilai Parameter CO
Nilai Parameter SO2
pada Gambar 26.
2
10
1
5 2 0
1 0
2
2
0.08 0.06 0.04 0.02
1
0.00 2 0
1
1
1
1 2
1
2
Waktu (Tahun)
1
1
1
1
2
3
C0_Cimenyan
Baku_Mutu_CO_2 2 0
Waktu (Tahun)
3
O3_Cimenyan Baku_Mutu_O3_01
Nilai Parameter SPM
Nilai Parameter O3
2
2
15
Waktu (Tahun) 0.10
2
200 150
1
12
12
1
100
1
50
2
02 0
1
2
SPM_Cimenyan Baku_Mutu__SPM _150
3
Waktu (Tahun)
Gambar 26. Pola Perubahan Kualitas Udara Parameter SO2, CO, O3 dan SPM 10 di Kecamatan Cimenyan
142
•
Hasil Analisis Fisik dan Kimia Udara di Kecamatan Cilengkrang Analisis fisik dan kimia udara di Kecamatan Cilengkrang dilaksanakan di Desa Jatiendah. Hasil analisis kualitas udara dapat dilihat pada Tabel 34 sampai 36. Tabel 34. Pemantauan Kualitas Udara di Desa Jatiendah Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung selama 8 jam
Waktu 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 Jumlah Rata-rata Maksimal Minimal
O3 SO2 CO SPM HC4 Non HC Nox Standard Baku Mutu Udara Ambien (Kep.41/MENKLH/1999) 0.05 ppm
0.10ppm
0.10 ppm
20 ppm
150 ug/m3
0.0552 0.0356 0.0513 0.0235 0.0270 0.0589 0.0409 0.0634 0.3558 0.0445 0.0634 0.0235
0.0288 0.0384 0.0455 0.0352 0.0404 0.0441 0.0522 0.0404 0.3250 0.0406 0.0522 0.0288
0.0095 0.0176 0.0161 0.0164 0.0109 0.0202 0.0185 0.0188 0.1280 0.0160 0.0202 0.0095
1.553 2.013 1.798 2.236 1.783 2.312 2.055 2.568 16.318 2.040 2.568 1.553
57.40 93.00 71.20 25.30 45.90 106.80 81.70 26.40 507.70 63.46 106.80 25.30
0.24 ppm
3.357 2.070 2.062 1.867 3.806 2.377 2.367 2.145 20.051 2.506 3.806 1.867
0.137 7.855 5.025 3.408 3.915 5.772 9.023 0.157 35.292 4.412 9.023 0.137
Tabel 35. Pemantauan Tingkat Kebisingan di Desa Jatiendah Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung untuk Perumahan dan Permukiman dengan Standar 55 dB(A) berdasarkan Kep.MENLH No.Kep.48/MENLH/11/1996 JAM PENGUKURAN 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
Leq
dBA 67.3 68.9 69.8 68.4 69.2 74.5 68.9 67.4
143
Tabel 36. Hasil Pemantauan Kualitas Udara di Desa Jatiendah Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung dari 3 titik pengukuran No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Parameter
Standar Sulfur Dioksida (SO2) 0.10 ppm Karbon Monoksida (CO) 20 ppm Oksida Nitrogen (NOx) 0.05 ppm Oksidan (O3) 0.10 ppm Debu (TSP) 230 ugr/m3 Debu (SPM10) 150 ugr/m3 Hidro Karbon (HC) 0.24 ppm Kebisingan 55 (dBA) Temperatur (Rata-rata) 0C Kelembaban (Rata-rata) % Arah Angin -
Hasil Pengukuran Titik 1 Titik 2 Titik 3 0.016 0.013 0.011 2.040 1.966 1.818 0.0445 0.040 0.038 0.0406 0.027 0.018 152.000 150.030 148.920 63.460 62.020 61.980 2.506 2.473 2.058 69.30 67.70 62.90 24 24 24 81.44 81.44 81.44 Utara Utara Utara
Dari Tabel 36 terlihat bahwa kualitas udara di Kecamatan Cilengkrang dari hasil pengukuran di tiga titik hanya parameter Hidrokarbon dan kebisingan kualitasnya sudah diatas baku mutu yang ditetapkan. •
Pola Perubahan Kualitas Udara di Kecamatan Cilengkrang Hasil pengukuran kualitas udara di Kecamatan Cilengkrang pada periode tahun
2004-2006 menunjukkan parameter NOx (Oksida Nitrogen), debu (Suspended Particulate Matter), Pb (timbal), HC (Hidrokarbon) dan Kebisingan mengalami kenaikan, sedangkan untuk parameter SO2, CO, dan O3 memiliki pola turun naik. Kualitas udara di Kecamatan Cilengkrang tahun 2004-2006 dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Kualitas Udara Kecamatan Cilengkrang Tahun 2004-2006 No 1 2 3 4
Parameter Sulfur Dioksida (SO2) Karbon Monoksida (CO) Oksida Nitrogen (NOx) Oksidan (O3)
5 Debu (SPM10) 6 Pb (Timbal) 7 Hidro Karbon (HC) 8 Kebisingan
Baku mutu 2004 2005 2006 Rate1 0.10 ppm 0.0197 0.02 0.016 0.015 20 ppm 1.276 2.054 2.04 0.61 0.05 ppm 0.018 0.02 0.0445 0.111 0.10 ppm 0.0295 0.0414 0.0406 0.403
Rate 2 -0.099 0.264 0.572 0.173
150 ugr/m3
55.53
60.07
63.46
0.082
0.069
2 ugr/m3 0.24 ppm 55 (dBA)
1.667 62.2
1.17 2.27 66.27
1.2 2.506 69.3
0.362 0.065
0.026 0.226 0.056
144
Hasil pengukuran parameter HC (Hidrokarbon) memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan dan mempunyai pola meningkat. Hidrokarbon ini merupakan pencemar utama yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dari padatnya lalu lintas di sepanjang ruas jalan Raya Ujung Berung-Cilengkrang. Kemacetan kendaraan di sepanjang ruas jalan ini meningkatkan kadar hidrokarbon di udara. Walaupun laju kenaikan parameter hidrokarbon ini pada tahun 2006 menurun dibandingkan tahun sebelumnya tetapi nilai pengukuran tetap diatas baku mutu yang telah ditetapkan. Hasil pengukuran parameter kebisingan (noise) memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan untuk kawasan perumahan dan permukiman. Hal ini disebabkan tidak seimbangnya pertumbuhan luas jalan dan jumlah kendaraan serta banyaknya persimpangan jalan dan lampu lalu lintas di sepanjang ruas jalan Raya Ujung BerungCilengkrang. Pola perubahan kualitas udara untuk
Hidrokarbon dan kebisingan
di
Nilai Parameter HC
3 1 2
1 1 1
1 2 02 0
2
2
2
1
2
3
Waktu (Tahun)
HC Baku_Mutu_HC_024
Nilai Parameter Bising
Kecamatan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 27. 80 1
60 1
2
1
1
2
2
40
1
20
2
02 0
1
2
Kebisingan Baku_Mutu_Bising_55
3
Waktu (Tahun)
Gambar 27. Pola Perubahan Kualitas Udara Untuk Parameter Hidrokarbon dan Kebisingan di Kecamatan Cilengkrang Parameter NOx (Oksida Nitrogen), debu (Suspended Particulate Matter), Pb (timbal) walaupun masih dibawah baku mutu tetapi memiliki kecenderungan pola meningkat. Parameter NOx selain memiliki pola meningkat juga memiliki nilai laju yang tinggi setelah CO. NOx dihasilkan dari pembakaran bensin dengan O2 dan N2. Tingginya nilai NOx dipengaruhi oleh beban dan kecepatan putaran mesin kendaraan pada saat mesin bekerja dengan beban yang berat, waktu penyalaan api pada mesin bensin dan temperatur yang tinggi. Pola perubahan kualitas udara untuk NOx, SPM10 dan Pb Kecamatan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 28.
di
Nilai Parameter SPM
145
150
2
2
2
1
1
1
1
2
100 50 1 02 0
SPM
1
Baku_Mutu__SPM
2
3
0.05
2
2
2.0
2 Nilai Parameter Pb
Nilai Parameter NOx
Waktu (Tahun 2004-2006)
0.04 0.03 0.02
1
1
1
1
1 2
0.01 0.00 2 0
1
2
NOx Baku_Mutu_NOx
1.0
1
2
2
1
1
1 1
0.5
2
0.0 2 0
3
2
1.5
1
Waktu
2
PB Baku_Mutu_Pb
3
Waktu (Tahun)
Gambar 28. Pola Perubahan Kualitas Udara Untuk Parameter NOx, SPM10 dan Pb di Kecamatan Cilengkrang Parameter-parameter SO2, CO, dan O3 masih dibawah baku mutu dan memiliki pola naik turun. Parameter CO selain memiliki pola turun naik juga memiliki nilai laju tertinggi dibandingkan parameter-parameter lainnya. Pola perubahan kualitas udara untuk CO, O3 dan SO2 di Kecamatan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 29. Nilai Parameter SO2
0.10
2
2
2
0.08 0.06 1
0.04 0.02 1 0.00 2 0
1
1
1
1
2
3
2
SO2 Baku_Mutu__SO2
Waktu (Tahun 2004-2006)
20
2
2
2
15 1
10 5 01 0
2
1
1
1
2
Waktu (Tahun)
1 3
2
C0 Baku_Mutu_CO
Nilai Parameter O3
Nilai Parameter CO
25 0.10
2
2
2 1
1
0.05 1 0.00 2 0
1
1 2 1
2
O3 Baku_Mutu_O3
3
Waktu (Tahun)
Gambar 29. Pola Perubahan Kualitas Udara Untuk Parameter CO, O3 dan SO2 di Kecamatan Cilengkrang
146
•
Hasil Analisis Fisik dan Kimia Udara Kecamatan Lembang Analisis fisik dan kimia udara di Kecamatan Lembang dilaksanakan di Desa
Kayuambon. Kualitas udara di Kecamatan Lembang dari hasil pengukuran di tiga titik, menunjukkan bahwa parameter Debu (TSP), Debu (SPM10), Hidrokarbon dan kebisingan kualitasnya sudah diatas baku mutu yang ditetapkan. Hasil analisis kualitas udara di Kecamatan Lembang dapat dilihat pada Tabel 38 sampai 40. Tabel 38. Pemantauan Kualitas Udara di Desa Kayuambon Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung selama 8 jam Waktu 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 Jumlah Rata-rata Maksimal Minimal
Nox O3 SO2 CO SPM HC4 Non HC Standard Baku Mutu Udara Ambien (Kep.41/MENKLH/1999) 0.05 ppm
0.10 ppm
0.10 ppm
20 ppm
150 ug/m3
0.0373 0.0076 0.0020 0.0015 0.0428 0.0087 0.0023 0.0017 0.1039 0.0130 0.0428 0.0015
0.0437 0.0319 0.0367 0.0350 0.0502 0.0367 0.0421 0.0402 0.3165 0.0396 0.0502 0.0319
0.0312 0.0227 0.0202 0.0202 0.0358 0.0261 0.0232 0.0231 0.2025 0.0253 0.0358 0.0202
17.739 15.217 14.279 14.159 12.849 13.249 15.320 15.183 117.995 14.749 17.739 12.849
90.00 100.00 300.00 660.00 103.00 120.00 300.00 700.00 2373.00 296.63 700.00 90
0.24 ppm
5.069 1.639 1.606 1.607 5.817 1.883 1.845 1.846 21.31 2.664 5.817 1.606
0.140 4.468 3.108 2.566 11.647 5.132 3.570 2.948 33.579 4.197 11.647 0.140
Tabel 39. Pemantauan Tingkat Kebisingan di Desa Kayuambon Kecamatan Lembang untuk Perumahan dan Permukiman selama 8 jam dengan standar 55 dB(A) berdasarkan Kep.MENLH No.Kep.48/MENLH/11/1996 JAM PENGUKURAN 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
Leq
dBA 77.6 78.8 77.4 74.6 75.4 75.7 74.6 75.6
147
Tabel 40. Hasil Pemantauan Kualitas Udara di Desa Kayuambon Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung dari 3 Titik Pengukuran No
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Sulfur Dioksida (SO2) Karbon Monoksida(CO) Oksida Nitrogen (Nox) Oksidan (O3) Debu (TSP) Debu (SPM10) Hidro Karbon (HC) Kebisingan (Rata-rata) Temperatur (Rata-rata) Kelembaban (Rata-rata) Arah Angin (Rata-rata)
Standar 0,10 ppm 20 ppm 0,05 ppm 0,10 ppm 230 ugr/m3 150 ugr/m3 0,24 ppm 55 (dBA) 0C % -
Titik 1 0,0253 14,749 0,013 0.0396 377 296,63 2,664 76,2 26 72,37 Utara
Hasil Pengukuran Titik 2 Titik 3 0,013 0,008 12,25 10,98 0,011 0,008 0.025 0,022 375,1 372,96 287,23 276,13 2,499 2,386 73,1 69,9 26 26 72,37 72,37 Utara Utara
Dari Tabel 40 dapat terlihat bahwa kualitas udara di Kecamatan Lembang dari hasil pengukuran di tiga titik untuk parameter Debu TSP, SPM10, Hidrokarbon dan kebisingan kualitasnya sudah diatas baku mutu yang ditetapkan. •
Pola Perubahan Kualitas Udara di Kecamatan Lembang Hasil pengukuran kualitas udara di ruas jalan Raya Lembang- Setiabudhi pada
periode tahun 2004-2006 menunjukkan parameter-parameter CO, O3, Debu SPM 10, Pb (timbal), HC dan kebisingan mengalami kenaikan, sedangkan untuk parameter SO2 dan NOx memiliki pola turun naik. Kualitas udara di Kecamatan Lembang tahun 2004-2006 dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41. Kualitas Udara di Kecamatan Lembang Tahun 2004-2006 Baku mutu
2004
2005
2006
Rate 1
Rate 2
0.10 ppm
0.028
0.03
0.0253
0.012
-0.049
2. Karbon Monoksida (CO)
20 ppm
12.433
12.67
14.749
0.019
0.089
3. Oksida Nitrogen (NOx)
0.05 ppm
0.065
0.01
0.013
-0.831
-0.553
4. Oksidan (O3)
0.10 ppm
0.029
0.03
0.0396
0.366
0.169
No.
Parameter
1. Sulfur Dioksida (SO2)
5. Debu (SPM10)
3
150 ugr/m
237.96
286.70
296.63
0.035
0.116
6. Pb (Timbal)
3
2 ugr/m
2.050
2.07
-
0.01
-
7. Hidro Karbon (HC)
0.24 ppm
2.385
2.520
2.664
0.057
0.057
8. Kebisingan
55 (dBA)
73.07
74.50
76.2
0.02
0.021
148
Hasil pengukuran kualitas udara untuk parameter debu (SPM 10) selain memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan juga memiliki kecenderungan pola meningkat. Partikulat ini dihasilkan akibat proses mekanis yang dapat menghasilkan abu dari pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna dari kendaraan, kontribusi sumber transportasi dalam mengemisikan partikulat lebih dari 51 % dari total emisi partikulat dan sisanya dari aktifitas lain. Selain debu, parameter timbal (Pb) juga memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan dengan kecenderungan meningkat. Hasil pengukuran kualitas udara untuk parameter hidrokarbon juga memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan dan memiliki kecenderungan pola meningkat.. Hidrokarbon ini merupakan pencemar utama yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dari padatnya lalu lintas di sepanjang ruas jalan Raya Lembang-Setiabudhi. Kemacetan kendaraan di ruas jalan ini meningkatkan kadar hidrokarbon di udara. Kadar hidrokarbon ini pada tahun 2006 walaupun meningkat tetapi laju pertumbuhan kadar emisi tetap atau sama dengan tahun sebelumnya. Hasil pengukuran parameter kebisingan (noise) memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan untuk kawasan perumahan dan permukiman hal ini disebabkan tidak seimbangnya pertumbuhan luas jalan dan jumlah kendaraan. Selain itu, banyaknya persimpangan jalan dan lampu lalu lintas serta pertemuan jalan yang sempit dan lebar di sepanjang ruas jalan Raya Lembang. Pola perubahan kualitas udara untuk parameter
300 250
2.5 1
1
1
1
200 150
2
2
2
1
100
2
50 02 0
1
2
SPM_10 Baku_Mutu__SPM_150
Nilai Parameter Pb
Nilai Parameter SPM
SPM 10, Pb, HC dan Kebisingan di Kecamatan Lembang dapat dilihat pada Gambar 30. 2.0 1
1
1.0
2
0.5 0.0 2 0
3
Waktu (Tahun) 80 1
1
1
1
2.0 1.5
1
1.0
2
0.5 0.0 2 0
2
2
2
1
2
3
Waktu (Tahun)
HC Baku_Mutu_HC_024
Kebisingan
1
Nilai Parameter
Nilai Parameter HC
1
2
Pb Baku_Mutu_Pb
3
Waktu (Tahun)
3.0 2.5
1
1 2
1 2
1.5
60
1
1
1
2
2
2
40
1
20 02 0
2
1
2
Kebisingan Baku_Mutu_Bising_55
3
Waktu (Tahun)
Gambar 30. Pola Perubahan Kualitas Udara Untuk Parameter Debu (SPM10), Pb Hidrokarbon dan Kebisingan di Kecamatan Lembang
149
Hasil pengukuran parameter karbon monoksida (CO) walaupun masih dibawah baku mutu tetapi memiliki pola dengan kecenderungan meningkat. Partikulat ini dihasilkan akibat proses mekanis yang dapat menghasilkan abu dari pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna dari kendaraan, kontribusi sumber transportasi dalam mengemisikan partikulat lebih dari 51 % dari total emisi partikulat dan sisanya dari aktifitas lain. Selain CO, parameter O3 masih memiliki nilai di bawah baku mutu tetapi memiliki pola perubahan yang meningkat karena memiliki laju kenaikan yang meningkat. Hasil pengukuran parameter SO2 di Kecamatan Lembang memiliki pola dengan kecenderungan naik-turun. SO2 dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, dimana belerang teroksidasi dengan oksigen menjadi belerang dioksida SO2. Keberadaan SO2 tidak diharapkan karena sifatnya yang merusak/korosif terhadap bahan logam. Sementara itu, parameter NOx (Oksigen Nitrogen) di Kecamatan Lembang selain masih dibawah baku mutu juga memiliki pola dengan kecenderungan menurun. Pola perubahan kualitas
25 20 15 10
1
2
2
1
1
2 1 1 2
5 02 0
1
2
C0 Baku_Mutu_CO
Nilai Parameter O3
Nilai Parameter CO
udara untuk parameter CO, O3, SO2, dan NOx dapat dilihat pada Gambar 31. 0.15 0.10
2
2
0.08 0.06 1
0.04 0.02
1
0.00 2 0
1
1 Waktu (Tahun)
1
1
1
1
1
2
3
2
O3 Baku_Mutu_O3
Waktu (Tahun)
1
2
1
3
2
SO2 Baku_Mutu__SO2
Nilai Parameter NOx
Nilai Parameter SO2
2
2 1
Waktu (Tahun) 0.10
2
0.05 0.00 2 0
3
2
0.05
2
2
2
0.04 0.03
1 1
0.02
1
0.01 0.00 2 0
1 1
2
2
NOx Baku_Mutu_NOx_ 005
3
Waktu (Tahun)
Gambar 31. Pola Perubahan Kualitas Udara Parameter CO, O3, SO2, dan NOx di Kecamatan Lembang Berdasarkan hasil analisis Paired Sample T Test diperoleh angka signifikansi (P value) sebesar 0,047 atau lebih kecil dari α 0,05 dan -t
hitung
(-2,054) < -t
tabel
(-2,023)
dengan angka tersebut dapat disimpulkan bahwa pada taraf kepercayaan 95% berbeda secara nyata, yang berarti Ho diterima artinya bahwa ada perbedaan perubahan yang berarti antara sebelum dan sesudah pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang.
150
5.3.3. Komponen Fisik dan Kimia Air Badan air di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang dapat berupa air permukaan maupun air tanah. Penyelidikan badan air dipusatkan pada air permukaan, yaitu air sungai. Sungai yang mengalir terdiri dari sungai-sungai kecil, yaitu : (1) Cihalarang, (2) Cimenyan, (3) Ciparungpung, (4) Ciawiruka, (5) Cipanengah, (6) Cisanggarung, (7) Ciwaru, (8) Cipanjalu, (9) Cijalupang, (10) Cihideung, (11) Cisungapan, (12) Susukan Legok, (13) Cigulung, (14) Cikawari, (15) Cikapunduh (16) Ciputri, (17) Cipukang. Sungai-sungai besar yang mengalir adalah sungai: (1) Cikapundung, (2) Cidurian, (3) Cisaranten, (4) Cilimus dan (5) Cipaheut. Air sungai yang diperiksa kualitas
airnya adalah
sungai
Cihalarang,
Ciparungpung, Cipaheut yang berada di ruas jalan PPH.Mustopa-Jatihandap Kecamatan Cimenyan yang memiliki penggunaan lahan perumahan dan permukiman. Sungai Cisaranten di ruas jalan Raya Ujung Berung-Cilengkrang Kecamatan Cilengkrang dan sungai Cilimus di ruas jalan Raya Lembang- Setiabudhi Kecamatan Lembang yang memiliki penggunaan lahan perumahan dan permukiman. Pengujian kualitas air sungai dilakukan dilaboratorium Departemen Teknik Lingkungan FTSP ITB. Contoh air diambil pada bulan Oktober 2006 pada jam 08.00 (pagi), 17.00 (sore) dan 21.00 (malam). Parameter fisika yang dianalisis adalah : bau, zat padat terlarut (TDS), zat padat tersuspensi, kekeruhan, rasa, temperatur, warna dan daya hantar listrik, sedangkan parameter kimia yang dianalisis adalah : besi (Fe), kesadahan (CaCO3), pH, Fenol, minyak & lemak, MBAS, Zat organik (KMnO4), BOD, COD, dan Amoniak (NH4-N). Hasil pengujian air mengacu pada Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I. Hasil analisis air sungai
Cihalarang, Ciparungpung, Cipaheut, Cisaranten,
Cilimus menunjukkan parameter fisika dan kimia sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Dengan demikian secara faktual air sungaisungai tersebut tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman, baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi.
151
•
Hasil Analisis Fisik Kimia Air di Kecamatan Cimenyan
Hasil Pengujian Air Sungai Cihalarang pada Jam 08.00 Hasil analisis air di hulu (sebelum perumahan formal) dan hilir Sungai Cihalarang (sesudah perumahan formal) pada jam 08.00 menunjukkan parameter fisik kekeruhan dan parameter kimia : besi (Fe), fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD dan Amonia (NH3-N) telah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Dengan demikian secara faktual air sungai Cihalarang tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hulu dan hilir Sungai Cihalarang pada jam 08.00 dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42. Hasil pengujian air di hulu dan hilir Sungai Cihalarang dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 08.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No. Parameter Analisis Satuan Maksimum Metode Analisis Hasil Hasil Analisis Analisis Fisika Hulu Hilir 1. Bau TB Tidak Tidak SMEWW-2150 Berbau Berbau 2. Zat padat terlarut Mg/L 1000 88,7 274 SMEWW-2540-C (TDS) 3. Zat padat Mg/L 50 15 13 SMEWW-2540-D tersuspensi 4. Kekeruhan NTU 5 6,5 18 SMEWW-2130 5. Rasa TB TB TB SMEWW-2160-B o 6. Temperatur C Deviasi 3 25 25 SMEWW-2550 7. Warna TCU 15 40 17,5 SMEWW-2120-B 8. Daya hantar listrik uS/cm 392 407 SMEWW-2510 Kimia 1. Besi (Fe) Mg/L 0,3 0,60 1,68 SMEWW-3500-Fe 2. Kesadahan Mg/L 500 SMEWW-2340-C 124,48 116,32 (CaCO3) 7,18 7,14 3. PH 6-9 SMEWW-4500-H+ 4. Fenol Mg/L 0,001 0,00 0,054 SMEWW-5530-D 5. Minyak & Lemak Mg/L 1 15,26 31,05 SMEWW-5520-D 6. MBAS Mg/L 0,2 0,188 3,772 SMEWW-5540-C 7. Zat Organik 55,75 22,95 Mg/L 10 SMEWW-4500(KmnO4) KmnO4 8. BOD Mg/L 2 15,00 15,60 SMEWW-5210-D 9. COD Mg/L 10 32,41 49,08 SMEWW-5220-D Mg/L 0,5 1,007 10. Amonia (NH3-N) SMEWW4500NH3 0,256
152
Hasil analisis air di hilir Sungai Cihalarang (sesudah perumahan formal) pada jam 08.00 menunjukkan nilai lebih besar daripada hasil analisis air hulu Sungai Cihalarang (sebelum perumahan formal) untuk parameter fisik zat padat terlarut dan kekeruhan serta parameter kimia besi (Fe), fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD dan Amonia (NH3-N) serta telah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Dengan demikian secara faktual air sungai Cihalarang pada jam 08.00 pagi telah tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil Pengujian Air Sungai Cihalarang pada Jam 17.00 dan Jam 21.00 Hasil analisis air sungai di hilir sungai Cihalarang pada jam 17.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), kesadahan, fenol baru terdeteksi, minyak dan lemak, BOD, COD dan amonia melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Meskipun kadar MBAS dan Amonia (NH3-N) menurun, tetapi secara faktual air sungai Cihalarang tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air sungai di hilir sungai Cihalarang pada jam 21.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, BOD, COD serta Amonia (NH3-N) melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Secara faktual air sungai Cihalarang tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir Sungai Cihalarang pada jam 21.00 menunjukkan nilai lebih besar daripada hasil analisis air Sungai Cihalarang pada jam 17.00 untuk parameter fisik zat padat terlarut dan daya hantar listrik serta parameter kimia besi (Fe), BOD, COD dan Amonia (NH3-N). Sementara itu, Fenol, minyak dan lemak serta MBAS mengalami penurunan. Hasil analisis air sungai Cihalarang pada jam 17.00 dan jam 21.00 dapat dilihat pada Tabel 43.
153
Tabel 43. Hasil pengujian air di hilir Sungai Cihalarang dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 17.00 dan jam 21.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No. Parameter Analisis Satuan Maks Metode Analisis Hasil Hasil Analisis Analisis Fisika Jam 17.00 Jam 21.00 TB SMEWW-2150 1. Bau TB TB Mg/L 1000 SMEWW-2540-C 2. Zat padat terlarut 235 282 (TDS) Mg/L 50 SMEWW-2540-D 15 13 3. Zat padat tersuspensi NTU 5 SMEWW-2130 7,6 6,5 4. Kekeruhan TB SMEWW-2160-B TB TB 5. Rasa o C 3 SMEWW-2550 6. Temperatur 25 25 TCU 15 SMEWW-2120-B 15 70 7. Warna - SMEWW-2510 8. Daya hantar listrik uS/cm 126,7 403 Kimia Mg/L 0,3 SMEWW-3500-Fe 1. Besi (Fe) 1,26 1,63 Mg/L 500 SMEWW-2340-C 2. Kesadahan 61,22 126,53 (CaCO3) 6-9 SMEWW-4500-H+ 6,68 7,18 3. PH Mg/L 0,001 SMEWW-5530-D 4. Fenol 0,09 0,069 Mg/L 1 SMEWW-5520-D 5. Minyak & Lemak 17,89 17,37 Mg/L 0,2 SMEWW-5540-C 6. MBAS 3,522 2,988 Mg/L 10 SMEWW-45007. Zat Organik 7,15 23,25 KmnO 4 (KmnO4) Mg/L 2 SMEWW-5210-D 15,3 17,8 8. BOD Mg/L 10 SMEWW-5220-D 49,1 69,45 9. COD Mg/L 0,5 SMEWW4500NH3 10. Amonia (NH3-N) 1,719 2,224 Hasil Pengujian Air Sungai Cipaheut Hasil Pengujian Air di hulu dan hilir Sungai Cipaheut pada Jam 08.00 Hasil analisis air di hulu sungai Cipaheut (sebelum perumahan formal) pada jam 08.00 pagi menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), minyak dan lemak, BOD serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I walaupun kadar Amonia (NH3-N) lebih rendah dari sungai Cihalarang. Hal ini menunjukkan secara faktual air sungai Cipaheut tersebut tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi.
154
Hasil analisis air di hilir sungai Cipaheut (sesudah perumahan formal) pada jam 08.00 pagi menunjukkan parameter parameter fisik untuk kekeruhan dan kimia untuk besi (Fe), minyak dan lemak, MBAS, BOD serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Hal ini berarti, air di hilir sungai Cipaheut tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hulu dan hilir sungai Cipaheut pada jam 08.00 dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44. Hasil pengujian air di hulu dan hilir Sungai Cipaheut dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 08.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No Parameter Analisis Satuan Maks Metode Analisis Hasil Hasil Analisis Analisis Fisika Hulu Hilir 1. Bau TB TB TB SMEWW-2150 2. Zat padat terlarut Mg/l 1000 54,4 143,30 SMEWW-2540-C (TDS) 10 16 3. Zat padat Mg/l 50 SMEWW-2540-D tersuspensi 8 19 4. Kekeruhan NTU 5 SMEWW-2130 5. Rasa TB TB TB SMEWW-2160-B o 6. Temperatur C Deviasi 3 SMEWW-2550 25 25 25 10 7. Warna TCU 15 SMEWW-2120-B 8. Daya hantar listrik US/cm 205 213 SMEWW-2510 Kimia 1. Besi (Fe) Mg/L 0,3 0,93 1,34 SMEWW-3500-Fe 2. Kesadahan (CaCO3) Mg/L 500 85,71 75,5 SMEWW-2340-C 3. PH 6-9 6,73 6,96 SMEWW-4500-H+ 4. Fenol Mg/L 0,001 0,00 0,0027 SMEWW-5530-D 5. Minyak & Lemak Mg/L 1 17,89 25,26 SMEWW-5520-D 6. MBAS Mg/L 0,2 0,07 1,761 SMEWW-5540-C 7. Zat Organik 14,01 20,27 Mg/L 10 SMEWW-4500(KmnO4) KmnO4 8. BOD Mg/L 2 16,60 17,8 SMEWW-5210-D 9. COD Mg/L 10 SMEWW-5220-D 30,56 41,67 10. Amonia (NH3-N) Mg/L 0,5 0,226 0,252 SMEWW4500NH3 Dari Tabel 44, air di hilir Sungai Cipaheut pada jam 08.00 menunjukkan nilai lebih besar daripada hasil analisis air hulu Sungai Cipaheut untuk parameter fisik zat
155
padat terlarut, zat padat tersuspensi dan kekeruhan serta parameter kimia besi (Fe), fenol, minyak dan lemak, MBAS, KmnO4, BOD, COD dan Amonia (NH3-N). Hasil Pengujian Air Sungai Cipaheut pada Jam 17.00 dan 21.00 Hasil analisis air di hilir sungai Cipaheut pada jam 17.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD serta Amonia (NH3-N) sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Meskipun kadar MBAS dan minyak menurun dibandingkan dengan aktivitas jam pagi,
secara faktual air sungai Cipaheut sudah tercemar oleh
buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir sungai Cipaheut pada jam 17.00 dan Jam 21.00 dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Hasil pengujian air di hilir Sungai Cipaheut dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 17.00 dan jam 21.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No
Parameter Analisis
Satuan
Maks
Mg/L
TB 1000
Mg/L NTU o C TCU US/cm
Metode Analisis
SMEWW-2150 SMEWW-2540-C
Hasil Analisis Jam 17.00 TB 149,3
Hasil Analisis Jam 21.00 TB 148,2
50 5 TB 3 15 -
SMEWW-2540-D SMEWW-2130 SMEWW-2160-B SMEWW-2550 SMEWW-2120-B SMEWW-2510
16 19 TB 25 20 77,7
8 9,1 TB 25 10 212
Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L
0,3 500 6-9 0,001 1 0,2 10
0,93 40,82 7,16 0,00 23,68 1,47 4,17
1,30 81,63 6,67 0,00 21,58 1,006 14,6
Mg/L Mg/L Mg/L
2 10 0,5
SMEWW-3500-Fe SMEWW-2340-C SMEWW-4500-H+ SMEWW-5530-D SMEWW-5520-D SMEWW-5540-C SMEWW-4500KmnO4 SMEWW-5210-D SMEWW-5220-D SMEWW4500NH3
18,4 53,67 0,875
16,9 40,18 0,233
Fisika 1. Bau 2. Zat padat terlarut (TDS) 3. Zat padat tersuspensi 4. Kekeruhan 5. Rasa 6. Temperatur 7. Warna 8. Daya hantar listrik Kimia 1. Besi (Fe) 2. Kesadahan (CaCO3) 3. PH 4. Fenol 5. Minyak & Lemak 6. MBAS 7. Zat Organik (KmnO4) 8. BOD 9. COD 10 Amonia (NH3-N)
156
Dari Tabel 45, air di hilir sungai
Cipaheut pada jam 21.00 menunjukkan
parameter fisik untuk kekeruhan dan kimia untuk besi (Fe), minyak dan lemak, BOD serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Meskipun kadar MBAS dan amonium menurun, tetapi secara faktual air sungai Cipaheut tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir Sungai Cipaheut pada jam 17.00 menunjukkan nilai lebih besar daripada hasil analisis air Sungai Cipaheut pada jam 2100 untuk parameter fisik zat padat terlarut, zat padat tersuspensi dan kekeruhan serta parameter kimia Minyak dan Lemak, MBAS, BOD, COD dan Amonia (NH3-N). Sementara itu, Fe, CaCO3 dan KMnO4 mengalami kenaikan. Hasil Pengujian Kualitas Air Sungai Ciparungpung Hasil Pengujian Kualitas Air Sungai Ciparungpung pada jam 08.00 Hasil analisis air di hulu sungai Ciparungpung (sebelum perumahan formal) pada jam 08.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), minyak dan lemak, MBAS, BOD, serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Hal ini menunjukkan, secara faktual air sungai Ciparungpung tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir sungai Ciparungpung pada jam 08.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD serta Amonia (NH3-N) sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Dengan demikian secara faktual air sungai Ciparungpung tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir Sungai Ciparungpung pada jam 08.00 menunjukkan nilai lebih besar daripada hasil analisis air hulu Sungai Ciparungpung untuk parameter fisik zat padat terlarut, zat padat tersuspensi dan kekeruhan serta parameter kimia besi (Fe), fenol, minyak dan lemak, MBAS, KmnO4, BOD, COD dan Amonia (NH3-N). Hasil analisis air di hulu dan hilir sungai Ciparungpung pada jam 08.00 dapat dilihat pada Tabel 46.
157
Tabel 46. Hasil pengujian air di hulu dan hilir Sungai Ciparungpung dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 08.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No.
Parameter Analisis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Fisika Bau Zat padat terlarut (TDS) Zat padat tersuspensi Kekeruhan Rasa Temperatur Warna Daya hantar listrik Kimia Besi (Fe) Kesadahan (CaCO3) pH Fenol Minyak & Lemak MBAS Zat Organik (KmnO4)
8. 9. 10.
BOD COD Amonia (NH3-N)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Satuan
Maks
Metode Analisis
SMEWW-2150 SMEWW-2540-C
Hasil Analisis Hulu TB 76,3
Hasil Analisis Hilir TB 209
Mg/L
TB 1000
Mg/L NTU o C TCU uS/cm
50 5 TB 3 15 -
SMEWW-2540-D SMEWW-2130 SMEWW-2160-B SMEWW-2550 SMEWW-2120-B SMEWW-2510
15 19 TB 25 12,5 298
22 50 TB 25 10 275
Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L
0,3 500 6-9 0,001 1 0,2 10
1,16 79,59 7,0 0,000 23,68 0,102 24,45
2,33 89,79 7,13 0,0027 30,53 2,90 20,57
Mg/L Mg/L Mg/L
2 10 0,5
SMEWW-3500-Fe SMEWW-2340-C SMEWW-4500-H+ SMEWW-5530-D SMEWW-5520-D SMEWW-5540-C SMEWW-4500KmnO4 SMEWW-5210-D SMEWW-5220-D SMEWW4500NH3
13,80 23,15 0,169
17,0 60,19 2,302
Hasil Pengujian Kualitas Air Sungai Ciparungpung pada jam 17.00 dan jam 21.00 Hasil analisis air di hilir sungai Ciparungpung pada jam 17.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD serta Amonia (NH3-N) sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Hal ini menunjukkan, bahwa air sungai Ciparungpung tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir sungai Ciparungpung pada jam 17.00 dan jam 21.00 dapat dilihat pada Tabel 47.
158
Tabel 47. Hasil pengujian air di hilir Sungai Ciparungpung dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 17.00 dan jam 21.00 bulan Oktober 2006 (Acuan: Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No
Parameter Analisis
Fisika 1. Bau 2. Zat padat terlarut (TDS) 3. Zat padat tersuspensi 4. Kekeruhan 5. Rasa 6. Temperatur 7. Warna 8. Daya hantar listrik Kimia 1. Besi (Fe) 2. Kesadahan (CaCO3) 3. PH 4. Fenol 5. Minyak & Lemak 6. MBAS 7. Zat Organik (KmnO4) 8. BOD 9. COD 10. Amonia (NH3-N)
Satuan
Maks
Metode Analisis
SMEWW-2150 SMEWW-2540-C
Hasil Analisis Jam 17.00 TB 192,8
Hasil Analisis Jam 21.00 TB 167
Mg/L
TB 1000
Mg/L NTU o C TCU uS/cm
50 5 TB 3 15 -
SMEWW-2540-D SMEWW-2130 SMEWW-2160-B SMEWW-2550 SMEWW-2120-B SMEWW-2510
40 55 TB 25 15 108,8
62 70 TB 25 15 241
Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L
0,3 500 6-9 0,001 1 0,2 10
2,54 57,14 7,4 0,097 25,26 2,859 8,650
4,14 75,5 7,22 0,014 20,00 1,30 20,57
Mg/L Mg/L Mg/L
2 10 0,5
SMEWW-3500-Fe SMEWW-2340-C SMEWW-4500-H+ SMEWW-5530-D SMEWW-5520-D SMEWW-5540-C SMEWW-4500KmnO4 SMEWW-5210-D SMEWW-5220-D SMEWW4500NH3
17,20 93,74 1,75
17,80 46,30 0,618
Dari Tabel 47, hasil analisis air sungai di hilir sungai Ciparungpung pada jam 21.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD serta Amonia (NH3-N) melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Hal ini berarti secara faktual air sungai Ciparungpung tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir Sungai Ciparungpung pada jam 17.00 menunjukkan nilai lebih besar daripada hasil analisis air Sungai Ciparungpung pada jam 2100 untuk parameter fisik zat padat terlarut dan parameter kimia untuk fenol, Minyak dan Lemak, MBAS, COD dan Amonia (NH3-N). Sementara itu, kekeruhan, Fe, CaCO3 dan KMnO4 menunjukkan kenaikan pada jam 21.00 .
159
Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai di Kecamatan Cimenyan Hasil pengukuran parameter kualitas air sungai menunjukkan adanya perbedaan kandungan antara hulu dan hilir sungai pada waktu pengamatan pagi dan mengalami kenaikan kadar kandungan setelah adanya aktivitas perumahan yang melampaui batas persyaratan baku mutu untuk beberapa parameter. Parameter TDS walaupun belum melampaui baku mutu tetapi mengalami kenaikan pada jam 07-09.00, bila TDS bertambah maka kesadahan akan naik pula. Kesadahan selain dapat menyebabkan pengendapan pada dinding pipa saluran juga dapat menimbulkan sulitnya sabun membusa. Parameter kekeruhan selain sudah melampaui baku mutu juga mempunyai nilai yang berbeda antara di hulu dan di hilir serta memiliki pola fluktuasi yang meningkat pada jam 08.00-21.00 terutama di sungai Ciparungpung. Kekeruhan biasanya disebabkan oleh zat padat tersuspensi, baik yang bersifat anorganik (lapukan batuan atau logam) maupun yang organik (lapukan tanaman atau hewan). Air yang keruh sulit didesinfeksi, karena mikroba terlindung oleh zat tersuspensi tersebut. Hal ini berbahaya bagi kesehatan bila mikroba tersebut bersifat patogen. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter
300
200 150
143.30
100 50
192.8 149.30
70
70
235.00 209
80
282.00
274.00 250
167 148.20
88.70 76.3 54.40
Nilai Pengamatan
Nilai Pengamatan
TDS dan kekeruhan di Kecamatan Cimenyan dapat dilihat pada Gambar 32.
60 55 50 40 30 25
0
20
Hulu
Pagi
Sore
19
10
Waktu Pengamatan
12.00 8.00 6.50
Cipaheut
7.60
9.10 6.50
0 Hulu
Ciparungpung
19.00
18.00
Malam
Cihalarang
Pagi
Sore
Waktu Pengamatan
Ciparungpung
Cipaheut
Malam Cihalarang
Gambar 32. Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai untuk Parameter TDS dan Kekeruhan di Kecamatan Cimenyan
160
Parameter MBAS di hulu sungai masih dibawah baku mutu, tetapi mengalami kenaikan di hilir sungai pada waktu pengamatan pagi dikarenakan aktivitas pemakaian air pada jam tersebut banyak digunakan dan mengalami penurunan pada waktu pengamatan malam (jam 21.00) karena pada waktu tersebut hampir tidak ada aktivitas rumah tangga. Parameter MBAS dalam air dapat menimbulkan buih dan selama proses aerasi buih tersebut berada di atas permukaan gelembung udara dan relatif tetap. Zat ini menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam air dan mengganggu kehidupan biologis atau mikroorganisme. Selain itu, MBAS mempermudah absorpsi racun melalui insang sehingga dapat mempertinggi toksisitas racun dalam tubuh ikan. Parameter Fe dari hulu sampai hilir sudah melampaui batas persyaratan baku mutu. Parameter Fe memiliki pola meningkat di sungai Ciparungpung dan pola naik turun di sungai Cipaheut dan Cihalarang. Kandungan Fe selain dapat menyebabkan kekeruhan dan kesadahan pada air, juga dapat menimbulkan rasa, warna kuning, pengendapan dinding pipa saluran serta pertumbuhan bakteri besi. Sekalipun Fe diperlukan oleh tubuh dalam pembentukan hemoglobin, tetapi dalam dosis besar dapat merusak dinding usus karena tubuh tidak dapat mengekskresikan Fe. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter MBAS dan Fe di Kecamatan Cimenyan dapat dilihat pada Gambar 33. 4
4.5
3.772 3.522
3
2.900
2.859
2.5 2 1.761 1.5
1.47
1.30 1.006
1 0.5
Hulu
3 2.5
2.54
2.33
2 1.68 1.34
1.5 1.16 0.93 0.60
1
1.63 1.30
1.26 0.89
0
Pagi
Sore
Malam
Waktui Pengamatan Ciparungpung
3.5
0.5
0.188 0.102
0
4.14
4
2.988
Nilai Pengamatan Fe
Nilai Pengamatan
3.5
Cipaheut
Hulu
Pagi
Sore
Malam
Waktu Pengamatan
Cihalarang
Ciparungpung
Cipaheut
Cihalarang
Gambar 33. Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai untuk Parameter MBAS dan Fe di Kecamatan Cimenyan Hasil pengamatan parameter BOD, COD, Minyak dan Lemak dari hulu sampai hilir sudah melampaui batas persyaratan baku mutu. Nilai BOD yang tinggi dari limbah
161
cair akan mengurangi kandungan oksigen terlarut dalam sungai dan berdampak pada kehidupan makhluk air karena kebutuhan oksigen bagi kehidupannya tidak tersedia. Perairan akan mengandung senyawa organik dan bakteri yang tidak dibutuhkan sehingga tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan makhluk hidup. Sementara itu, COD merupakan tolok ukur yang lain untuk menyatakan kebutuhan oksigen dalam menguraikan
kandungan senyawa organik secara kimiawi. Nilai COD mencakup
kebutuhan oksigen untuk reaksi biokimiawi karena senyawa organik yang dapat dirombak oleh mikroorganisma dapat pula mengalami oksidasi melalui reaksi kimiawi. Parameter minyak dan lemak mengalami kenaikan yang berarti pada jam 08.00 dikarenakan
aktivitas rumah tangga pada jam tersebut tinggi sehingga pembuangan
limbah rumah tangga parameter ini banyak dibuang ke sungai dan memiliki pola yang menurun pada waktu pengamatan malam (jam 21.00) karena pada waktu itu hampir tidak ada aktivitas rumah tangga. Minyak dan lemak dapat mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga mengganggu kehidupan biologis atau mikroorganisme. Selain itu, minyak dan lemak dapat menyebabkan jumlah oksigen terlarut menurun. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter BOD, COD, Minyak dan Lemak di Kecamatan Cimenyan dapat dilihat pada Gambar 34.
20.00 18.40
18.00 16.60
16.00
15.00 14.00
17.00
17.80 17.20
15.60
15.30
17.80 16.90
100
13.80
93.74
90
35
12.00 80
10.00
70
8.00
60
60.19
50
49.08
46.30 40.18
41.67
40 32.41 30.56
30
23.15
20
2.00
53.57 49.1
Nilai Pengamatan
6.00 4.00
30
31.05 30.53
25
25.26
69.45
25.26 23.68 21.58 20.00
20 17.89 17.37 15.26
15
17.89
17.37
10 10
0.00 Hulu
Pagi
Sore
Malam
0
5 Hulu
Waktu Pengamatan
Pagi
Sore
Malam
0
Waktu Pengamatan
Hulu
Pagi
Sore
Malam
Waktu Pengamatan Ciparungpung
Cipaheut Ciparungpung
Cihalarang
Cihalarang
Cipaheut
Ciparungpung
Cipaheut
Cihalarang
Gambar 34. Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai untuk Parameter BOD, COD, Minyak dan Lemak di Kecamatan Cimenyan
162
• Hasil Analisis Fisik Kimia Air di Kecamatan Cilengkrang Hasil Pengujian Kualitas Air di hulu dan hilir Sungai Cisaranteun jam 08.00 Hasil analisis kualitas air di hulu sungai Cisaranteun (sebelum perumahan formal) pada jam 08.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, BOD serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Hal ini menunjukkan, bahwa secara faktual air sungai Cisaranteun tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hulu dan hilir sungai Cisaranteun pada jam 08.00 dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48. Hasil pengujian kualitas air di hulu dan hilir Sungai Cisaranteun dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 08.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No
Parameter Analisis
Fisika 1. Bau 2. Zat padat terlarut (TDS) 3. Zat padat tersuspensi 4. Kekeruhan 5. Rasa 6. Temperatur 7. Warna 8. Daya hantar listrik Kimia 1. Besi (Fe) 2. Kesadahan (CaCO3) 3. PH 4. Fenol 5. Minyak & Lemak 6. MBAS 7. Zat Organik (KmnO4) 8. BOD 9. COD 10. Amonia (NH3-N)
Satuan
Maks
Metode Analisis
Mg/L
TB 1000
Mg/L NTU o C TCU uS/cm
50 5 TB 3 15 -
Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L
0,3 500 6-9 0,001 1 0,2 10
Mg/L Mg/L Mg/L
2 10 0,5
SMEWW-2150 SMEWW-2540-C
Hasil Analisis Hulu TB 165
Hasil Analisis Hilir TB 219
SMEWW-2540-D SMEWW-2130 SMEWW-2160-B SMEWW-2550 SMEWW-2120-B SMEWW-2510
20 27 TB 25 7,5 236
24 37 TB 25 15 313
SMEWW-3500-Fe SMEWW-2340-C SMEWW-4500-H+ SMEWW-5530-D SMEWW-5520-D SMEWW-5540-C SMEWW-4500KmnO4 SMEWW-5210-D SMEWW-5220-D SMEWW4500NH3
0,972 109,45 6,94 0,040 0,52 0,080 15,65
1,48 99,45 7,22 0,055 2,0 1,388 23,62
22,50 43,73 0,053
58,80 79,08 1,46
163
Dari Tabel 48, air di hilir sungai Cisaranteun (sesudah perumahan formal) pada jam 08.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD serta Amonia telah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Hal ini berarti, secara faktual air sungai ini tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi.
Hasil Pengujian Kualitas Air Sungai Cisaranteun jam 17.00 dan jam 21.00 Hasil analisis air sungai Cisaranteun pada jam 17.00 menunjukkan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD dan Amonia (NH3-N) sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Kadar MBAS atau pemakaian detergen dan kadar amonium mengalami kenaikan, hal ini berarti secara faktual air sungai Cisaranteun tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air sungai Cisaranteun pada jam 21.00 menunjukkan parameter parameter fisik untuk kekeruhan dan kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD, COD serta Amonia sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Meskipun kadar MBAS menurun dan Amonia menurun, tetapi secara faktual air sungai Cisaranteun tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hilir sungai Cisaranteun pada jam 17.00 menunjukkan nilai lebih besar daripada hasil analisis air Sungai
Ciparungpung pada jam 2100 untuk
parameter fisik zat padat terlarut dan parameter kimia untuk fenol, Minyak dan Lemak, MBAS, COD dan Amonia (NH3-N). Sementara itu, kekeruhan, Fe, CaCO3 dan KMnO4 menunjukkan kenaikan pada jam 21.00. Hasil analisis air sungai Cisaranteun pada jam 21.00 dapat dilihat pada Tabel 49.
164
Tabel 49. Hasil pengujian air Sungai Cisaranteun dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 17.00 dan jam 21.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20thEdition 1998 (SMEWW) & baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No.
Parameter Analisis
Fisika 1. Bau 2. Zat padat terlarut (TDS) 3. Zat padat tersuspensi (TSS) 4. Kekeruhan 5. Rasa 6. Temperatur 7. Warna 8. Daya hantar listrik Kimia 1. Besi (Fe) 2. Kesadahan (CaCO3) 3. PH 4. Fenol 5. Minyak & Lemak 6. MBAS 7. Zat Organik (KmnO4) 8. BOD 9. COD 10. Amonia (NH3-N) •
Satuan
Maks
Metode Analisis
Mg/L
TB 1000
SMEWW-2150 SMEWW-2540-C
Mg/L
50
NTU o C
Hasil Analisis
Hasil Analisis
Jam 17.00
Jam 21.00
TB 292
TB 200
SMEWW-2540-D
17
20
SMEWW-2130 SMEWW-2160-B SMEWW-2550
35 TB 25
27 TB 25
TCU uS/cm
5 TB Deviasi 3 15 -
SMEWW-2120-B SMEWW-2510
10 417
10 286
Mg/L Mg/L
0,3 500
SMEWW-3500-Fe SMEWW-2340-C
1,747 179,1
1,398 119,4
Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L
6-9 0,001 1 0,2 10
7,28 0,097 3,15 2,479 18,10
7,07 0,048 2,10 0,233 30,37
Mg/L Mg/L Mg/L
2 10 0,5
SMEWW-4500-H+ SMEWW-5530-D SMEWW-5520-D SMEWW-5540-C SMEWW-4500KmnO4 SMEWW-5210-D SMEWW-5220-D SMEWW4500NH3
30,0 46,52 2,405
30,00 79,08 0,673
Hasil Analisis Fisik Kimia Air di Kecamatan Lembang
Hasil Pengujian Kualitas Air di hulu dan hilir Sungai Cilimus pada jam 08.00 Hasil analisis air di hulu sungai Cilimus (sebelum perumahan formal) pada jam 08.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan kimia untuk besi (Fe), BOD serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Hal ini menunjukkan bahwa secara faktual air sungai Cilimus hulu tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi.
165
Hasil analisis air di hilir sungai Cilimus (sesudah perumahan formal) pada jam 08.00 menunjukkan parameter fisik untuk kekeruhan dan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, MBAS, Minyak dan Lemak, BOD serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Parameter-parameter fisik dan kimia mengalami kenaikan, terutama minyak dan lemak serta MBAS, secara faktual air sungai Cilimus tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air di hulu dan hilir sungai Cilimus pada jam 08.00 dapat dilihat pada Tabel 50. Tabel 50. Hasil pengujian air di hulu Sungai Cilimus dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 08.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No
Parameter Analisis
Fisika 1. Bau 2. Zat padat terlarut (TDS) 3. Zat padat tersuspensi (TSS) 4. Kekeruhan 5. Rasa 6. Temperatur 7. Warna 8. Daya hantar listrik Kimia 1. Besi (Fe) 2. Kesadahan (CaCO3) 3. PH 4. Fenol 5. Minyak & Lemak 6. MBAS 7. Zat Organik (KmnO4) 8. BOD 9. COD 10. Amonia (NH3-N)
Satuan
Maks
Metode Analisis
Mg/L
TB 1000
SMEWW-2150 SMEWW-2540-C
Mg/L
50
SMEWW-2540-D
NTU o C TCU uS/cm
5 TB 3 15 -
SMEWW-2130 SMEWW-2160-B SMEWW-2550 SMEWW-2120-B SMEWW-2510
Mg/L Mg/L
0,3 500
SMEWW-3500-Fe SMEWW-2340-C
Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L
6-9 0,001 1 0,2 10
Mg/L Mg/L Mg/L
2 10 0,5
SMEWW-4500-H+ SMEWW-5530-D SMEWW-5520-D SMEWW-5540-C SMEWW-4500KmnO4 SMEWW-5210-D SMEWW-5220-D SMEWW4500NH3
Hasil Analisis Hulu TB
Hasil Analisis Hilir TB
162,8
308
7 11 TB 25 7,5 233
25 37 TB 25 10 440
0,570
0,925
109,45 6,67 0,002 0,0 0,080
181,09 7,10 0,069 2,10 2,66
7,36 18,6 37,22 0,0
14,42 23,8 65,13 0,234
166
Hasil Pengujian Kualitas Air Sungai Cilimus pada jam 17.00 dan jam 21.00 Hasil analisis air sungai Cilimus pada jam 17.00 menunjukkan parameter kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD dan COD melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Walaupun parameter tersebut menurun tetapi tetap melebihi kadar maksimum baku mutu. Secara faktual air sungai Cilimus sudah tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi. Hasil analisis air sungai Cilimus pada jam 17.00 dan jam 21.00 dapat dilihat pada Tabel 51. Tabel 51. Hasil pengujian air Sungai Cilimus dengan penggunaan lahan perumahan dan permukiman jam 17.00 dan jam 21.00 bulan Oktober 2006 (Acuan : Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 20th Edition 1998 (SMEWW) dan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 kelas I) No
Parameter Analisis
Fisika 1. Bau 2. Zat padat terlarut (TDS) 3. Zat padat tersuspensi 4. Kekeruhan 5. Rasa 6. Temperatur 7. Warna 8. Daya hantar listrik Kimia 1. Besi (Fe) 2. Kesadahan (CaCO3) 3. PH 4. Fenol 5. Minyak & Lemak 6. MBAS 7. Zat Organik (KmnO4) 8. BOD 9. COD 10. Amonia (NH3-N)
Satuan
Maks
Metode Analisis
Mg/L
TB 1000
SMEWW-2150 SMEWW-2540-C
Mg/L
50
SMEWW-2540-D
NTU o C TCU uS/cm
5 TB 3 15 -
SMEWW-2130 SMEWW-2160-B SMEWW-2550 SMEWW-2120-B SMEWW-2510
Mg/L Mg/L
0,3 500
SMEWW-3500-Fe SMEWW-2340-C
Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L
6-9 0,001 1 0,2 10
Mg/L Mg/L Mg/L
2 10 0,5
SMEWW-4500-H+ SMEWW-5530-D SMEWW-5520-D SMEWW-5540-C SMEWW-4500KmnO4 SMEWW-5210-D SMEWW-5220-D SMEWW4500NH3
Hasil Analisis Jam 17.00 TB
Hasil Analisis Jam 21.00 TB
284
280
25 36 TB 25 5 406
44 55 TB 25 5 400
1,609
1,359
181,09 7,26 0,083 5,26 1,55
173,13 6,98 0,112 1.,5 1,23
15,95 42,14 125,6 0,529
15,03 37,5 79,08 0,213
167
Dari Tabel 46, menunjukkan air di hilir sungai Cilimus pada jam 21.00 untuk parameter fisik kekeruhan dan kimia untuk besi (Fe), Fenol, minyak dan lemak, MBAS, BOD serta COD sudah melampaui kadar maksimum baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas I. Terjadi penurunan kadar minyak dan lemak tetapi masih melampaui baku mutu. Secara faktual air sungai Cilimus tercemar oleh buangan limbah perumahan dan permukiman baik berupa limbah dapur, limbah cucian, air seni dan tinja dari kamar mandi.
Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang Hasil pengukuran parameter kualitas air di sungai Cisaranteun kecamatan Cilengkrang dan sungai Cilimus di Kecamatan Lembang menunjukkan adanya perbedaan kandungan kualitas air antara hulu (sebelum perumahan) dan hilir (sesudah perumahan) pada waktu pengamatan yang sama (pagi). Parameter kualitas air mengalami kenaikan kadar kandungan setelah adanya aktivitas perumahan yang melampaui batas persyaratan baku mutu. Parameter TDS di Kecamatan Lembang lebih besar dari Kecamatan Cilengkrang, walaupun belum melampaui baku mutu tetapi mengalami kenaikan pada jam 08.00 dan menurun pada waktu pengamatan sore dan malam (jam 17.00 dan jam 21.00). Sementara itu, kekeruhan sungai di Kecamatan Lembang selain lebih besar dari Kecamatan Cilengkrang memiliki pola meningkat dari pagi sampai malam. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter TDS dan kekeruhan di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang dapat dilihat pada Gambar 35.
60.00 55
350.0 292.00 284
280
250.0 219.00
200.0 150.0
200.00
165.0 162.8
100.0
Nilai Pengamatan
Nilai Pengamatan
50.00
308
300.0
40.00 30.00
36 35.00 27.00
20.00 10.00
50.0
37 34.00 27.00
11
0.00
0.0 Hulu
Pagi
Sore
Malam
Cisaranteun
Hulu
Pagi
Sore
Malam
Waktu Pengamatan
Waktu Pengamatan Cilimus
Cisaranteun
Cilimus
Gambar 35. Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai untuk Parameter TDS dan Kekeruhan di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang
168
Parameter MBAS di hulu sungai (sebelum ada perumahan formal) di Kecamatan Cilengkrang maupun Lembang masih di bawah baku mutu, dan mengalami kenaikan puncak di hilir sungai Cilimus pada waktu pengamatan pagi dikarenakan aktivitas pemakaian air pada jam tersebut banyak dipergunakan dan mengalami penurunan pada waktu pengamatan malam (jam 21.00) karena pada waktu tersebut
aktivitas rumah
tangga berkurang. Hal ini, berbeda dengan sungai Cisaranteun yang mengalami kenaikan puncak pada jam pengamatan sore. Parameter MBAS dalam air dapat menimbulkan buih dan selama proses aerasi buih tersebut berada di atas permukaan gelembung udara dan relatif tetap. Zat ini menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam air dan mengganggu kehidupan biologis atau mikroorganisme. Parameter Fe dari hulu sampai hilir sudah melampaui batas persyaratan baku mutu. Parameter Fe memiliki pola meningkat di sungai Cilimus dan Cisaranteun pada waktu pengamatan sore, dan menurun kembali pada waktu pengamatan malam. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter MBAS dan Fe di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang dapat dilihat pada Gambar 36. 2.000
3
1.800
2.66 2.5
2.479
1.747 1.609
1.600 1.48
1.55
1.5 1.388
1.23 1
Nilai Pengamatan
Nilai Pengamatan
1.400
2
1.398 1.359
1.200 1.000
0.972
0.600
0.57
0.400
0.5 0.233 0
0.925
0.800
0.200
0.08 0.000
Hulu
Pagi
Sore
Malam
Waktu Pengamatan Cisaranteun
Hulu
Pagi
Sore
Malam
Waktu Pengamatan
Cilimus
Cisaranteun
Cilimus
Gambar 36. Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai untuk Parameter MBAS dan Fe di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang Hasil pengamatan parameter Fenol, BOD dan COD dari hulu sampai hilir sudah melampaui batas persyaratan baku mutu. Parameter Fenol di
hilir sungai Cilimus
maupun Cisaranteun (sesudah ada perumahan) mengalami kenaikan yang berarti pada
169
waktu pengamatan sore (jam 17.00) dikarenakan
aktivitas rumah tangga pada jam
tersebut tinggi sehingga pembuangan limbah rumah tangga parameter ini ikut terbuang ke sungai dan memiliki pola menurun pada waktu pengamatan malam (jam 21.00). Fenol adalah zat yang bersifat racun dan menimbulkan bau terutama bila berikatan dengan khlorin dari desinfektan. Hasil pengamatan parameter BOD dan COD berbeda pola dalam perubahan kenaikannya, di sungai Cisaranteun mengalami kenaikan yang berarti pada jam 08.00 sedangkan di sungai Cilimus memiliki pola meningkat pada waktu pengamatan sore (jam 17.00). BOD ini merupakan tolok ukur dari adanya kandungan senyawa organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Nilai BOD yang tinggi dari limbah cair akan mengurangi kandungan oksigen terlarut dalam sungai dan berdampak pada kehidupan makhluk air karena kebutuhan oksigen bagi kehidupannya tidak tersedia. Perairan akan mengandung senyawa organik dan bakteri yang tidak dibutuhkan sehingga tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan makhluk hidup. COD merupakan tolok ukur yang lain untuk menyatakan kebutuhan oksigen dalam menguraikan kandungan senyawa organik secara kimiawi. Nilai COD mencakup kebutuhan oksigen untuk reaksi biokimiawi karena senyawa organik yang dapat dirombak oleh mikroorganisma dapat pula mengalami oksidasi melalui reaksi kimiawi. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter BOD, COD dan Fenol di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang dapat dilihat pada Gambar 37.
140 70.00
125.6
60.00
0.120
100
0.100
0.112
40.00
37.5
30.00
30.00
30.00
79.08 65.13
43.73 37.22
40
10.00
79.08
60
23.8
22.50 18.6
20.00
80
46.52
20
0.00 Pagi
Sore
Malam
Waktu Pengamatan
Cisaranteun
Cilimus
0.097 0.083
0.080 0.069 0.060
0.062
0.040
0.040
0.055 0.048
0.020
0 Hulu
Nilai Pengamatan
42.14
Nilai Pengamatan
50.00 Nilai Pengamatan
120 58.80
Hulu
Pagi Sore Waktu Pengamatan
Cisaranteun
Malam
Cilimus
0.000 Hulu
Pagi Sore Waktu Pengamatan
Cisaranteun
Malam
Cilimus
Gambar 37. Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai untuk Parameter BOD, COD, dan Fenol di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang
170
Hasil pengamatan parameter minyak dan lemak serta amonia di hulu masih di bawah batas persyaratan baku mutu dan melampaui batas persyaratan baku mutu ketika sudah melewati perumahan (hilir). Parameter minyak dan lemak mengalami kenaikan yang berarti pada waktu pengamatan sore (jam 17.00) dikarenakan aktivitas rumah tangga pada jam tersebut tinggi sehingga pembuangan limbah rumah tangga parameter ini banyak dibuang ke sungai dan memiliki pola menurun pada waktu pengamatan malam (jam 21.00) karena aktivitas rumah tangga sudah berkurang. Minyak dan lemak ini dapat mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga mengganggu kehidupan biologis atau mikroorganisme, selain itu dapat menyebabkan jumlah oksigen terlarut menurun. Parameter amonia mengalami kenaikan yang berarti pada waktu pengamatan sore (jam 17.00) dan menurun pada waktu pengamatan malam (jam 21.00). Amonia terdapat dalam air sebagai hasil perombakkan senyawa-senyawa organik nitrogen oleh mikroorganisme pengurai. Amonia selain menimbulkan bau yang mengganggu dan beracun juga dapat mengganggu proses pengolahan air secara biologis. Semakin tinggi pH dan temperatur, ammonia bebas yang dihasilkan semakin tinggi sehingga gangguan yang ditimbulkan semakin besar. Pola fluktuasi kualitas air sungai untuk parameter minyak dan lemak serta amonium di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang dapat dilihat pada Gambar 38. 6 5.26 5
3
2.405
Nilai Pengamatan
Nilai Pengamatan
2.5 2 1.5
1.46
1
0.213
Pagi
Sore
2.10
1.05 0.52
0.053 0 Hulu
2.1 2.0
2
1
0.234 0
3.15
3
0.673
0.529
0.5
4
Malam
Waktu Pengamatan
0
0 Hulu
Pagi
Sore
Malam
Waktu Pengamatan
Cisaranteun
Cilimus
Cisaranteun
Cilimus
Gambar 38. Pola Fluktuasi Kualitas Air Sungai untuk Parameter Amonia, Minyak dan Lemak di Kecamatan Cilengkrang dan Lembang
171
Pola Perubahan Kualitas Air Sungai di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung Hasil pengukuran parameter kualitas air sungai di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung pada periode tahun 2004-2006 menunjukkan angka parameter kualitas air mengalami kenaikan. Pola ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas air sungai di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung. Laju kenaikan kadar kandungan parameter air sungai di Kecamatan Cimeyan, Cilengkrang dan Lembang tahun 2004-2006 dapat dilihat pada Tabel 52. Tabel 52. Laju Kenaikan Kadar Kandungan Parameter Air Sungai di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara No. Parameter
Satuan
1.
Mg/l
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
TDS (Total Disolved Solid) Kekeruhan Temperatur Daya Hantar Listrik Besi (Fe) pH Fenol MBAS BOD COD Amonium Minyak & Lemak Fecal Coli
Skala NTU 0 C umhos/cm Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l MPN/100ml
Laju Kenaikan Cimenyan Cilengkrang Lembang 0.033 0.176 0.040 0.197 0.141 0.034 0.417 0.277 0.218 0.352 0.231 0.254 0.477
0.042 0.267 0.016 0.156 0.086 0.023 0.410 0.314 0.244 0.297 0.258 0.203 0.546
0.082 0.056 0.027 0.149 0.148 0.015 0.344 0.154 0.205 0.294 0.039 0.465 0.599
Berdasarkan hasil analisis Paired Sample T Test untuk komponen fisik kimia air diperoleh angka signifikansi (P value) sebesar 0,026 atau lebih kecil dari α 0,05 dan -t hitung
(-2,309) < -t tabel (-2,021) dengan angka tersebut dapat disimpulkan bahwa pada taraf
kepercayaan 95% berbeda secara nyata, yang berarti Ho diterima artinya bahwa ada perbedaan perubahan untuk komponen fisik kimia air yang berarti antara sebelum dan sesudah pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang.
172
Hasil pengamatan kualitas air untuk parameter TDS memiliki pola perubahan meningkat tetapi masih dibawah baku mutu sedangkan untuk parameter kekeruhan selain memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan juga memiliki kecenderungan pola meningkat. Pola perubahan kualitas air untuk parameter TDS dan kekeruhan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang dapat dilihat pada Gambar 39.
1,000 4
4
4
4 1 2
500
3 1 0
23
1 1
23
1 2
23
4
1 3
TDS_Cimenyan TDS_Cilengkrang TDS_Lembang
Nilai Kekeruhan
Nilai Parameter TDS
80 3
1 60
1
3
1 40
3
3 20 2
2
Baku_Mutu_TDS_1000
04 0
1 2 2
2
3
4
4
4
1
2
3
4
Kekeruhan_Cimenyan Kekeruhan_Cilengkrang Kekeruhan_Lembang Baku_Mutu_Kekeruhan
Waktu (Tahun)
Waktu (Tahun)
Gambar 39. Pola Perubahan Kualitas Air Sungai untuk Parameter TDS dan Kekeruhan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Hasil pengamatan kualitas air untuk parameter Besi (Fe) dan Deterjen (MBAS) selain memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan juga memiliki kecenderungan pola meningkat. Pola perubahan kualitas air untuk parameter Besi (Fe) dan Deterjen (MBAS) di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang dapat dilihat pada Gambar 40.
Nilai Fe
1.5 2
2 13
1
2
6
3
1.2 1 3
1
0.9
2 3
0.6 0.3 4 0
4 1
4 2
Waktu (Tahun)
4 3
4
Fe_Cimenyan Fe_Cilengkrang Fe_Lembang
Nilai MBAS
1.8
2
4 21
2
1
2
2 1 1
1
2 3
Baku_Mutu_Fe 03 4 0
34 1
34 2
3 3
4
MBAS_Cimenyan MBAS_Cilengkrang MBAS_Lembang Baku_Mutu_MBAS
Waktu (Tahun)
Gambar 40. Pola Perubahan Kualitas Air Sungai untuk Parameter Besi (Fe) dan MBAS di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Hasil simulasi kualitas air untuk parameter BOD dan COD selain memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan juga memiliki kecenderungan pola meningkat. Pola perubahan kualitas air untuk parameter BOD dan COD di Cilengkrang dan Lembang dapat dilihat pada Gambar 41.
Kecamatan Cimenyan,
173
160
80
Nilai BOD
2 60 40
2 2 2 3
3
2
3
20 1 04 0
1
3
1
1
4 1
4 2
1
3
4 3
4
BOD_Cimenyan
120
3 3
1
BOD_Cilengkrang
80
BOD_Lembang
40 1 2
1
04 0
4
4
4
1
2
3
Baku_Mutu_BOD
3
2
2
1
2
1
3 4
COD_Cimenyan COD_Cilengkrang COD_Lembang Baku_Mutu_COD
Waktu (Tahun)
Waktu (Tahun)
Gambar 41. Pola Perubahan Kualitas Air Sungai untuk Parameter BOD dan COD di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Hasil pengamatan kualitas air untuk parameter Minyak dan Lemak serta Bakteri Coli
selain memiliki nilai diatas baku mutu yang ditetapkan juga memiliki
kecenderungan pola meningkat. Pola perubahan kualitas air untuk parameter Minyak dan Lemak serta Bakteri Coli di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang dapat
15 1
1
1
20
1
16
10
1 2
53
3
3
3
2
2
2
2
4 0
4 1
4 2
4 3
3 4
Minyak_Lemak_Cimenyan Minyak_Lemak_Cilengkrang Minyak_Lemak_Lembang Baku_Mutu_MInyak_Lemak
Waktu (Tahun)
Nilai Coli
Nilai Minyak & Lemak
dilihat pada Gambar 42.
12
1
1
8 3
1 3
1 3
2
42
2
2
2
04
4
4
4
1
2
3
0
1
3 4
Coli_Cimenyan Coli_Cilengkrang Coli_Lembang Baku_Mutu_COLI
Waktu (Tahun)
Gambar 42. Pola Perubahan Kualitas Air Sungai untuk Parameter Minyak dan Lemak serta Coli di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang 5.3.4. Komponen Fisik dan Kimia Tanah Penyelidikan tanah dilakukan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang yang pembangunan perumahan eksistingnya diprediksi telah menyimpang dari batas-batas zona baik dan sedang untuk lahan perumahan. Kualitas lahan diteliti dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh pembangunan perumahan mempengaruhi kondisi tanah sekitarnya. Kualitas lahan ini diketahui melalui pengukuran dan pengambilan contoh tanah di lapangan. Berdasarkan jenis penggunaan lahan, jenis tanah
dan
perbedaan lereng, maka contoh tanah diambil di enam desa sekitar lokasi perumahan dengan karakteristik yang berbeda antara satu desa dengan desa yang lainnya.
174
Karakteristik morfologi tubuh tanah diambil dari Desa Padasuka Kecamatan Cimenyan, Desa Jatiendah Kecamatan Cilengkrang, Desa Kayuambon Kecamatan Lembang.
Lokasi P1-1 : Desa Padasuka Kecamatan Cimenyan Lokasi P1-1 merupakan daerah dengan bahan induk mineral, batas horison tidak jelas, relief mikro curam dan kemiringan lereng >25 %. Warna tanah coklat gelap/dark brown (7,5YR 3/2) (Munsell Soil color chart) pada kedalaman 0-40 cm (horison A), coklat kuat/strong brown (7,5 YR 4/6) pada kedalaman 40-164 cm (horison B0) dan coklat kuat/strong brown (7,5 YR 5/6) pada kedalaman 164-173 cm
(horison B1).
Penggunaan lahan di lokasi P1-1 yaitu kebun campuran, dan jenis vegetasi : nangka, jengkol, mangga, duren. Kelas drainase sedang. Kedalaman efektif dalam (>90 cm). Tekstur liat (sangat halus). Struktur tanah massive/pejal, dengan sedikit konkresi. Konsistensi agak lekat pada kondisi basah, dan gembur pada kondisi lembab. Bahan organik sedikit. Aktivitas fauna sedikit. Terdapat banyak pori-pori pada kedalaman 0-40 cm. Ada titik-titik penimbunan (iluviasi) pada kedalaman 164-173 cm. pH agak masam (5,6) pada kedalaman 0-40 cm, agak masam (5,7) pada kedalaman 40-164 cm, dan masam (5,4) pada kedalaman 164-173 cm. Kandungan Fe rendah (2,8-3,0), Alumunium tinggi sekali ( 86,5-313,4) pada setiap horison, kandungan Na rendah (0,19-1,39), dan kandungan P sangat rendah (0-6-1,0). Kandungan Ca sedang (7,72) pada horison A dan rendah (5,15-4,34) pada horison B0, B1. Kandungan Mg tinggi (3,75-2,88) pada horison A, Bo, dan sedang (1,82) pada horison B1. Kandungan K sangat tinggi (1,66) pada horison A, sedang (0,45) pada horison B0, dan tinggi (0,58) pada horison B1. Kandungan C sedang (2,12) pada horison A dan sangat rendah (0,68-0,79) pada horison B0 dan B1. Kandungan N rendah (0,18) pada horison A, rendah (0,16) pada B0, dan sangat rendah (0,06) pada horison B1. Perbandingan C/N sedang (12) pada horison A dan horison B1 (11) serta rendah (5) pada horison B0. Daya hantar listrik EC rendah (1,35-2) pada setiap horison (A,B0, B1). KTK sedang (17,40-18,80) pada setiap horison, dan KB tinggi (66) pada horison A, sedang (43) pada horison B0, dan rendah (34) pada horison B1. Karakteristik morfologi tubuh tanah disajikan pada Tabel 53.
175
Tabel 53. Karakteristik Morfologi Tubuh Tanah Di Desa Padasuka (P1-1) Kecamatan Cimenyan Lapisan Kedalaman Batas horison Warna matrik Karatan pH lapang Konkresi Tekstur Konsistensi Bahan organik Aktivitas fauna Cracks Pori-pori Perakaran Fragmen batuan
A 0-40 cm tidak jelas coklat gelap (7,5 YR 3/2) agak masam (5,6) sedikit/kecil/keras Liat (sangat halus) agak lekat / gembur sedikit zl (sedikit) tidak ada banyak sedang sedikit
Bo 40-164 cm tidak jelas coklat kuat (7,5 YR 4/6) Sedikit agak masam (5,7) sedikit/kecil/keras Liat (sangat halus) agak lekat/ gembur Sedikit zl (sedikit) tidak ada sedikit (<0,5mm) Sedang Sedang
B1 164-173 cm tidak jelas coklat kuat (7,5 YR 5/6) Sedang masam (5,4) sedikit/kecil/keras Liat (sangat halus) agak lekat/gembur sedikit zl (sedikit) tidak ada Sedikit (<0,5mm) sedang sedikit (ada titik eluviasi)
Lokasi P1-2 : Desa Padasuka Kecamatan Cimenyan Desa Padasuka (P1-2) merupakan daerah dengan bahan induk mineral,
batas
horison tidak jelas, relief mikro agak curam dengan kemiringan lereng >25 %. Warna tanah coklat gelap/dark brown (7,5YR 4/2) pada horison A, coklat kuat/strong brown (7,5 YR 4/6) pada horison B. Penggunaan lahan adalah perkampungan dengan jenis vegetasi alang-alang. Kelas drainase sedang. Kedalaman efektif dalam (>90 cm). Tekstur liat (sangat halus). Struktur tanah dengan tingkat kemantapan struktur lemah, sangat halus (<1mm) dan berbentuk massive/pejal. Tidak ada konkresi. Konsistensi agak lekat pada kondisi basah dan gembur pada kondisi lembab. Bahan organik sedikit pada horison A. pH agak masam (5,8) pada horison A (5,8) dan pada horison B (5,6). Kandungan Fe rendah (1,9-2,0), kandungan Alumunium tinggi sekali (124,4-215,4), kandungan Na rendah (0,23-0,31) dan kandungan P sangat rendah (1,2-1,9). Kandungan Ca sedang (7,35) pada horison A dan rendah (4,34) pada horison B. Kandungan Mg tinggi (3,282,45). Kandungan K sangat tinggi (1,42) pada horison A, rendah (0,13) pada horison B. Kandungan C rendah (1,63) pada horison A dan sangat rendah (0,75) pada horison B. Kandungan N rendah (0,17) pada horison A dan
rendah (0,16) pada horison B.
Perbandingan C/N rendah (10) pada horison A dan sangat rendah (4) pada horison B.
176
Daya hantar listrik EC rendah (1,45) pada horison A dan sangat rendah (0,31) pada horison B. KTK sedang (17,01) pada horison A dan rendah (16,05) pada horison B. KB tinggi (70-53) pada horizon A dan B. Karakteristik morfologi tubuh tanah disajikan pada Tabel 54. Tabel 54. Karakteristik Morfologi Tubuh Tanah di Desa Padasuka (P1-2) Kecamatan Cimenyan Nomor Kedalaman Batas horison Warna matrik Karatan pH lapang Konkresi Tekstur Konsistensi Bahan organik Aktivitas fauna Cracks Pori-pori Perakaran Fragmen batuan
A 0-5cm tidak jelas coklat gelap (7,5 YR 4/2) tidak ada agak masam (5,8) tidak ada liat (sangat halus) agak lekat(W)/gembur (M) sedikit (sedikit) tidak ada banyak (0,5mm) banyak tidak ada
B 5-138 cm tidak jelas coklat kuat (7,5 YR 4/6) tidak ada agak masam (5,6) tidak ada Liat (sangat halus) lekat(W)/teguh(M) tidak ada tidak ada sedikit (<0,5mm) Sedikit -
Hasil analisis tanah di Kecamatan Cimenyan menunjukkan parameter fisik tanah terutama tekstur tanah mengandung liat yang tinggi yaitu di atas 75% sehingga dapat disebut teksturnya adalah liat (sangat halus). Pengolahan tanahnya agak berat dan kedap air. Tipe tanah ini sangat memerlukan bahan organik atau pupuk kandang, karena pada musim kemarau akan terjadi retakan yang dapat mematahkan perakaran tanaman. Parameter kimia tanah menunjukkan kemasaman tanah dari kelima sampel tersebut nilai pH rata-rata bersifat masam. Kandungan Al tinggi sekali tetapi kandungan Fe rendah sekali, maka tanaman akan keracunan Al. Ketersediaan P bagi tanaman sangat rendah, karena diikat terutama oleh Al dan sedikit Fe. Untuk mengurangi defisiensi P dan Ca maka pada tanah ini perlu diberi kapur dolomit selain agar pemberian pupuk Fosfat tidak sia-sia juga untuk mengatasi defisiensi Ca. Kandungan Na rendah sesuai dengan hasil pengujian kemasaman tanah pada pH yang rendah, hal ini sangat dipengaruhi oleh topografinya (dekat atau jauhnya dengan pantai). Selain itu, pemupukan Nitrogen perlu dilakukan tergantung pada komoditas yang akan diusahakan.
177
Perbedaan kualitas lahan di lokasi pembangunan perumahan dengan lahan sebelum pembangunan perumahan dapat diketahui dengan cara membandingkan kondisi parameter kualitas lahannya. Karakteristik lahan di lokasi pembangunan perumahan (P1-2) dengan lahan sebelum pembangunan perumahan (P1-1) di Kecamatan Cimenyan menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan sebagai berikut : 1) Lahan di lokasi pembangunan perumahan hanya terdiri dari horison A dan B dengan kedalaman 138 cm, sementara lahan sebelum pembangunan perumahan terdiri dari horison (A,B0, B1) dengan kedalaman 173 cm. Kedalaman horison A di lokasi pembangunan perumahan sangat dangkal (5cm) sedangkan lahan sebelum pembangunan perumahan dalam (40 cm). Kondisi ini menunjukkan telah terjadi penipisan ketebalan horison mineral di permukaan (campuran bahan mineral dan bahan organik). 2) Sifat tanah di kedua lokasi tersebut dari segi kesuburan tidak jauh berbeda. Lahan di kedua lokasi tersebut rata-rata memiliki kandungan unsur hara makro (N, P) yang rendah-sangat rendah. Kandungan C, N, K dan P2O5 mengalami penurunan pada lokasi pembangunan perumahan, terutama kandungan C
terjadi penurunan yang
berarti dari sedang (2,12) menjadi rendah (1,63). Kandungan K pada sampel B(1-2) (dilokasi pembangunan perumahan) terjadi penurunan yang berarti dari sangat tinggi (1,42) menjadi rendah (0,13), karena itu perlum pupuk kalium. Selain itu, lahan di kedua lokasi tersebut adalah bereaksi agak masam (pH = 5,6-5,7) dan berpotensi masam (pH = 5,4), tetapi tingkat ketersediaan basa tanah, kalsium dan magnesium tinggi. Mengacu pada Pedoman Penetapan Kesuburan Tanah yang didasarkan pada keadaan kandungan C organik, P2O5, K20, Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa (KB). Maka tanah di lokasi (P1-1) dan (P1-2) di Kecamatan Cimenyan mempunyai kesuburan tanah yang rendah. Perbedaan karakteristik lahan di lokasi pembangunan perumahan (P1-2) dengan lahan sebelum pembangunan perumahan (P1-1) di Kecamatan Cimenyan disajikan pada Tabel 55.
178
Tabel 55. Perbedaan Karakteristik Lahan Setelah Pembangunan Perumahan dengan Lahan Sebelum Pembangunan di Kecamatan Cimenyan Parameter Penentu Kualitas Lahan Kedalaman Horizon Media Perakaran • Tekstur •
Kedalaman efektif
Kesuburan Tanah • Total N
Lahan sebelum Pembangunan perumahan
Lokasi P1-1 Horizon A Horizon Bo Horizon B1
Liat (sangat halus) Dalam (> 90 cm)
Keterangan 0-40 cm 40-164 cm 164-173 cm
Lahan Setelah Pembangunan Ket perumahan
Lokasi P1-2 Horizon A Horizon B
sedikit kerikil Liat (sangat dan batuan (40- halus) 164 cm) Dalam (> 90 cm)
Keterangan 0-5cm 5-138 cm
Tidak kerikil batuan
ada dan
v v
v x
Horizon A Horizon Bo Horizon B1
0,18 0,16 0,06
Horizon A Horizon B
0,17 0.16
x x
•
P205
Horizon A Horizon Bo Horizon B1
1,9 1,2 0,8
Horizon A Horizon B
1,0 0,6
v v
•
K20
Horizon A Horizon Bo Horizon B1
1,66 0,45 0,58
Horizon A Horizon B
1,44 0,13
v v
•
C organik
Horizon A Horizon Bo Horizon B1
2,12 0,79 0,68
Horizon A Horizon B
1,63 0,75
v x
Horizon A Horizon Bo Horizon B1
18,80 17,40 17,77
Horizon A Horizon B
17,01 16,05
v v
5,6 5,7 5,4
Horizon A Horizon B
5,8 5,6
x x
Retensi Hara • KTK (me/100g) •
Horizon A Horizon Bo Horizon B1 Keterangan : x = sama/relatif sama v = berbeda PH
179
Lokasi P2-1 : Desa Jatiendah Kecamatan Cilengkrang Lokasi P2-1 merupakan daerah dengan bahan induk mineral, batas antara horison A1-A2 dan antara horison A2-B jelas dengan topografi bergelombang. Relief mikro datar dan kemiringan lereng >15 %. Warna tanah coklat gelap/dark brown (7,5YR ¾) pada horison A1, coklat kuat/strong brown (7,5 YR 4/6) pada horison A2 dan
coklat
kuat/strong brown (7,5 YR 5/6) pada horison B. Penggunaan lahan adalah permukiman dan kebun campuran. Jenis vegetasi : Singkong, pepaya, alang-alang. Kelas drainase lambat. Kedalaman efektif dalam (>90 cm) dan tekstur liat (halus). Bentuk struktur tanah angular blocky dengan ukuran halus (2mm) dan tingkat perkembangan struktur lemah pada horison A1-A2, sementara pada horison B dengan ukuran medium (2-5mm) dengan tingkat perkembangan struktur cukup. Tidak ada konkresi. Konsistensi dengan kondisi basah, tidak lekat pada horison A1 dan A2 serta plastis pada horison B. Gembur pada horison A1-A2 dan B pada kondisi lembab. Pada kondisi kering lepas di horison A1-A2 serta lunak di horison B. Aktivitas fauna sedikit semut pada horison A1, banyak rayap pada horison A2. Banyak pori pada horison A1 dengan ukuran halus (< 2mm), sedikit pori di horison A2 dengan ukuran >5mm, begitu pula pada horison B (<2%) dengan ukuran halus (< 2mm). Karakteristik morfologi tubuh tanah disajikan pada Tabel 56. Tabel 56. Karakteristik morfologi tubuh Cilengkrang Lapisan A1 Kedalaman 0-60 cm Batas horison bergelombang, baur Warna matrik coklat gelap/dark brown (7,5YR ¾) Struktur angular blocky, lemah, 1-2mm pH lapang netral (6,7) Tekstur liat (halus) Konsistensi tidak lekat (W) gembur (M) lepas (D) Bahan organik tidak ada Aktivitas fauna sedikit semut tidak ada Cracks Pori-pori banyak (<2mm) Perakaran banyak, >5mm Fragmen batuan tidak ada
tanah di Desa Jatiendah (P2-1) Kecamatan A2 60-170 cm bergelombang, jelas coklat kuat/strong brown (7,5 YR 4/6) angular blocky, lemah, 1-2mm agak masam (6,4) liat (halus) tidak lekat (W) gembur (M) lepas (D) tidak ada banyak rayap tidak ada sedikit (>5mm) banyak, <2mm tidak ada
B 170-218 cm coklat kuat/strong brown (7,5YR5/6) angular blocky, cukup, 2-5mm netral (6,6) liat (halus) tidak lekat(W) gembur (M) lunak (D) tidak ada tidak ada tidak ada sedikit (<2mm) sedikit, <1mm tidak ada
180
Reaksi tanah (pH) netral (6,6-6,7) pada horison A1 dan B, pH agak masam (6.4) pada horison A2. Kandungan Fe rendah (4,9) pada horison A1, sedang (12,8) pada horison A2, rendah sekali (1,5) pada horison B. Kandungan Na rendah pada horison A1 (0,19) dan A2 (0,24) serta sedang (0,62) pada horison B. Kandungan P sangat rendah (0,7) pada horison B, rendah (11,8-15,5) pada horison A1 dan A2. Kandungan Ca sedang (6,78-8,26) pada horison A1-A2, rendah (5,80) pada horison B. Kandungan Mg tinggi (2,33-2,84) pada horison A1-A2, sedang (2,08) pada horison B. Kandungan K sangat rendah (0,07) pada horison A2, rendah (0,17-0,14) pada horison A1 dan B. Kandungan C sedang (2,32) pada horison A1, rendah (1,14) pada horison A2 dan sangat rendah (0,54) pada horison B. Kandungan N rendah (0,12-0,11) pada horison A1 dan A2 serta sangat rendah (0,07) pada horison B. Perbandingan C/N tinggi (19) pada horison A1, rendah (8-10) pada horison A2 dan B. Kandungan Aluminium tinggi sekali (53,4-86,8) pada setiap horison. Daya hantar listrik EC rendah (0,54-0,71) pada setiap horison. KTK rendah (13,95-14,44) pada setiap horison. KB sangat tinggi (81) pada horison A1, tinggi (62-70) pada horison A2 dan B.
Lokasi P2-2 : Desa Jatiendah Kecamatan Cilengkrang Desa Jatiendah (P2-2) merupakan daerah dengan bahan induk mineral, batas antar horison jelas dengan topografi bergelombang. Relief mikro datar dan kemiringan lereng >15 %. Warna tanah coklat sangat gelap/very dark brown (10YR 2/2) pada horison A1 dan A2 serta coklat gelap/dark brown (10YR 4/3) pada horison B. Penggunaan lahan di lokasi P2-2 yaitu permukiman dan kebun campuran. Jenis vegetasi : Mangga, durian, pete, bambu, pisang, nangka, alang-alang. Klas drainase lambat. Kedalaman efektif dalam (>90 cm), tekstur liat (halus) pada setiap horison. Bentuk struktur tanah pada setiap horison angular blocky, dengan ukuran (25mm) dan tingkat kemantapan struktur lemah pada horison B dan A2, sedangkan pada horison A1 dengan ukuran (1-2mm) dan tingkat perkembangan struktur lemah. Ada konkresi Fe pada horison A2 . Konsistensi, plastis pada kondisi basah, gembur pada kondisi lembab, dan lepas pada kondisi kering. Aktivitas fauna banyak semut pada horison A1. Jumlah pori-pori sedang pada horison A1 dengan ukuran > 2mm, sedikit pada horison A2 dan B dengan ukuran 2-5mm. Karakteristik morfologi tubuh tanah disajikan pada Tabel 57.
181
Tabel 57. Karakteristik morfologi tubuh tanah di Desa Jatiendah (P2-2) Kecamatan Cilengkrang Lapisan Kedalaman Batas horison Warna matrik
A1 0-30 cm bergelombang, jelas coklat sangat gelap (10 YR 2/2) Struktur angular blocky, lemah 1-2mm pH lapang 5,6 Konkresi Tekstur liat (halus) Konsistensi plastis (W) gembur (M) lepas (D) Bahan organik tidak ada Aktivitas fauna semut (banyak) tidak ada Cracks Pori-pori sedang (>2mm) Perakaran banyak, <2mm Fragmen batuan tidak ada
A2 30-46 cm bergelombang, jelas coklat sangat gelap (10 YR 2/2) angular blocky, lemah, 2-5mm 6,1 sedikit Fe liat (halus) plastis (W) gembur (M) lepas (D) tidak ada tidak ada sedikit (2-5mm) sedikit, <2mm tidak ada
B 46-75 cm jelas coklat gelap (10 YR 4/3) angular blocky, lemah, 2-5mm 6,6 liat (halus) plastis (W) gembur (M) lepas (D) tidak ada tidak ada sedikit (2-5mm) sedikit, <2mm sedikit
Reaksi tanah (pH) agak masam (5,6-6,1) pada horison A1 dan A2, netral (6,6) pada horison B. Kandungan Fe rendah (3,3-4,7) pada horison A1 dan A2, rendah sekali (1,4) pada horison B. Kandungan Na rendah (0,14-0,23) pada horison A1 dan A2, sangat rendah (0,08) pada horison B. Kandungan P sangat rendah (0,7-8,2) pada setiap horison. Kandungan Ca sedang (7,30-7,33) pada horison A2 dan B, rendah (5,57) pada horison A1. Kandungan Mg tinggi (2,27-2,66) pada horison A1 dan A2, sedang (2,03) pada horison B. Kandungan K rendah (0,17) pada horison A1, sangat rendah (0,07) pada horison A2 dan B. Kandungan C sedang (2,11) pada horison A1, rendah (1,39) pada horison A2 dan sangat rendah (0,63) pada horison B. Kandungan N rendah (0,12) pada horison A1, dan sangat rendah (0,05-0,08) pada horison A2 dan B. Perbandingan C/N tinggi (17-18) pada horison A1 dan A2, sedang (13) pada horison B. Kandungan Aluminium tinggi sekali (41,0-81,9) pada setiap horison. Daya hantar listrik EC sangat rendah (0,52-0,80) pada setiap horison. KTK rendah (13,38-13,65) pada setiap horison. KB sangat tinggi (73) pada horison A2, tinggi (59-70) pada horison A2 dan B.
182
Karakteristik kualitas lahan di lokasi pembangunan perumahan (P2-2) dengan lahan sebelum pembangunan perumahan (P2-1) di Kecamatan Cilengkrang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan sebagai berikut : 1) Lahan di lokasi pembangunan perumahan (P2-2) terdiri dari horison A1, A2 dan B dengan kedalaman 75 cm, sementara lahan sebelum pembangunan perumahan terdiri dari horison (A1, A2 dan B) dengan kedalaman di atas 170 cm. Kondisi ini menunjukkan telah terjadi penipisan ketebalan horison mineral di permukaan (campuran bahan mineral dan bahan organik) yang sangat berarti. 2) Sifat tanah di kedua lokasi tersebut dari segi kesuburan tidak jauh berbeda. Lahan di kedua lokasi tersebut rata-rata memiliki kandungan unsur hara makro (N, P) yang rendah-sangat rendah. Kandungan C, N, K dan P2O5 mengalami penurunan pada lokasi pembangunan perumahan, terutama kandungan N, K, P terjadi penurunan yang berarti dari rendah menjadi sangat rendah. 3) Hasil analisis tanah (P2-2) di Kecamatan Cilengkrang menunjukkan secara fisik tanah bertekstur liat (halus) dan mempunyai tingkat kemasamam pH 5,6 dengan C/N 18 tinggi, maka lahan tersebut memerlukan penambahan pupuk nitrogen karena hasil pengujian menunjukkan kandungan Nitrogen rendah. Selain itu kandungan P rendah, maka perlu pupuk P karena adanya kecenderungan P dapat diikat oleh Al dan Fe bila kemasaman tanah tidak ditingkatkan melalui pengapuran. Kandungan Ca, Mg dapat ditingkatkan dengan pemberian kapur pertanian atau dolomit, sedangkan kandungan K yang sangat rendah diatasi dengan pemberian pupuk K. KTK yang sangat rendah, kandungan P, C dan K yang rendah pula menunjukkan tingkat kesuburan tanah yang rendah atau mengalami degradasi kesuburan maka perlu pemupukan hara makro primer seperti N, P dan K selain diadakan pengapuran dengan dolomit pada ujung kanopi terluar oleh karena kandungan Al yang tinggi. Selain itu perlu diberi pupuk kandang untuk memperbaiki struktur tanah dan sebagai sumber hara makro, mikro dan untuk meningkatkan water holding capacity. Perbedaan karakteristik lahan di lokasi pembangunan perumahan (P2-2) dengan lahan sebelum pembangunan perumahan (P2-1) di Kecamatan Cilengkrang disajikan pada Tabel 58.
183
Tabel 58. Perbedaan Karakteristik Lahan Setelah Pembangunan Perumahan dengan Lahan Sebelum Pembangunan di Kecamatan Cilengkrang Parameter Penentu Kualitas Lahan
Lahan sebelum Pembangunan perumahan
Lahan Setelah Pembangunan perumahan
Ket
Lokasi P2-1 Horison A1 Horison A2 Horison B
Keterangan 0-60 cm 60-170 cm 170-218 cm
Lokasi P2-2 Horison A1 Horison A2 Horison B
Keterangan 0-30cm 30-46 cm 46-75 cm
v v v
Media Perakaran • Tekstur
Liat (halus)
-
Liat (halus)
-
x
•
Dalam
Dalam
(> 90 cm)
x
Kedalaman Horizon
Kedalaman efektif
Kesuburan Tanah • Total N
(> 90 cm)
Horison A1 Horison A2 Horison B
0,12 (R) 0,11 (R) 0,07 (SR)
Horison A1 Horison A2 Horison B
0,12 (R) 0,08 (SR) 0,05 (SR)
x v
•
P205
Horison A1 Horison A2 Horison B
11,8 (R) 15,5 (R) 0,4 (SR)
Horison A1 Horison A2 Horison B
4,4 (SR) 8,2 (SR) 0,79 (SR)
v v x
•
K20
Horison A1 Horison A2 Horison B
0,17 (R) 0,07 (SR) 0,14 (R)
Horison A1 Horison A2 Horison B
0.07 (SR) 0,07 (SR) 0,03 (SR)
v x v
•
C organik
Horison A1 Horison A2 Horison B
Retensi Hara • KTK (me/100g) •
pH
2,32 (S) 1,14 (R) 0,54 (SR)
Horison A1 Horison A2 Horison B
2,11 (S) 1,39 (R) 0,63 (SR)
x x x
Horison A1 Horison A2 Horison B
14,44 (R) 13,95(R) 14,04(R)
Horison A1 Horison A2 Horison B
13,65(R) 13,38(R) 13,62(R)
v v v
Horison A1 Horison A2 Horison B
6,7 (N) 6,4 (AM) 6,6 (N)
Horison A1 Horison A2 Horison B
5,6 (AM) 6,1 (AM) 6,6 (N)
v x x
Keterangan : x = sama/relatif sama v = berbeda
184
Lokasi P3-1 : Desa Kayuambon Kecamatan Lembang Lokasi P3-1 merupakan daerah dengan bahan induk mineral, batas antara horison A-B1 baur dan batas antara horison B1-B2 tegas dengan topografi bergelombang. Relief mikro datar dan kemiringan lereng >25 %. Warna tanah coklat gelap/dark brown (7,5YR ¾) pada horison A, coklat kuat/strong brown (7,5 YR 4/6) pada horison B1 dan coklat kuat/strong brown (7,5 YR 5/6) pada horison B2. Penggunaan lahan di lokasi P3-1 yaitu permukiman, kebun campuran. Jenis vegetasi : Pisang, sayuran (jagung, kembang kol). Kelas drainase cepat. Kedalaman efektif dalam (>90 cm), tekstur lempung liat berdebu. Bentuk struktur tanah pada horison A-B1 granular, dengan ukuran halus (2mm) dan tingkat kemantapan struktur lemah. Sedangkan bentuk struktur tanah pada horison B2 angular blocky, dengan ukuran sangat halus (2mm) dan tingkat kemantapan struktur lemah. Tidak ada konkresi. Konsistensi lepas pada horison A1, gembur pada horison B1 dan teguh pada horison B2. Aktivitas fauna cacing dan semut pada horison A- B1 sedikit, pada kedalaman 150 cm terdapat aktivitas fauna rayap. Sedikit pori pada kedalaman 0-35 cm, begitu pula pada horison B1 (<2%) dengan ukuran halus atau < 2mm.
Ada
penimbunan (iluviasi) bahan organik pada kedalaman 187 cm. Karakteristik morfologi tanah di Desa Kayuambon disajikan dalam Tabel 59. Tabel 59. Karakteristik morfologi tubuh tanah di Desa Kayuambon (P3-1) Kecamatan Lembang B2 Lapisan A B1 Kedalaman 0-35 cm 35-117 cm >117 cm Batas horison bergelombang, baur bergelombang Tegas bergelombang Tegas Warna matrik coklat gelap coklat kuat coklat kuat 7,5 YR ¾ 7,5 YR 4/6 7,5 YR 5/6 Struktur granular, lemah, granular, lemah, angular blocky, >2mm >2mm lemah, >2mm pH lapang 6,1 6,6 6,6 Tekstur lempung liat berdebu lempung liat berdebu lempung liat berdebu Konsistensi lepas (M) gembur (M) teguh (M) Bahan organik tidak ada tidak ada tidak ada Aktivitas sedikit cacing, semut sedikit fauna tidak ada tidak ada tidak ada Cracks Pori-pori sedikit (>2mm) sedikit (<2mm) tidak ada Perakaran banyak, <5mm sedikit, <5mm sedikit, <2mm Fragmen sedikit,kerikil titik eluviasi BO pada batuan kedalaman 187 cm
185
Reaksi tanah (pH) netral (6,6) pada horison B1 dan B2,
pH agak masam (6,1)
pada horison A. Kandungan Fe rendah (3,1) pada horison B2, sedang (15,8-18) pada horison A dan B1. Kandungan Na rendah (0,27-0,37) pada semua horison. Kandungan P sangat rendah (6,4) pada horison A, rendah (15,3) pada horison B2, sedang (26,7) pada horison B1. Kandungan Ca tinggi (11,62) pada horison A, sedang (6,7-7,03) pada horison B1 dan B2. Kandungan Mg tinggi (2,18) pada horison A, sedang (1,67) pada horison B1. dan rendah (1,03) pada B2. Kandungan K tinggi (0,62) pada horison A, sedang pada horison B1 (0,40) dan rendah (0,26) pada B2. Kandungan C tinggi (3,96-4,87) pada horison A dan B1, sedang (2,91) pada horison B2. Kandungan N sedang pada horizon B2 dan horizon B1 (0,28-0,38), tinggi (0,58) pada horison A. Perbandingan C/N rendah (810) pada semua horison. Kandungan Aluminium sangat tinggi (240,1-330,3) pada setiap horizon. Daya hantar listrik EC rendah (0,16-0,19) pada setiap horizon. KTK tinggi (26,56) pada horizon A, sedang (23,66-24,33) pada horizon B1-B2. KB tinggi (56) pada horizon A, sedang (40) pada horizon B1 dan rendah (34) pada B2.
Lokasi P3-2 : Desa Kayuambon Kecamatan Lembang Desa Kayuambon (P3-2) merupakan daerah dengan bahan induk mineral, batas antara horison A-B1 baur dan
batas antara horison B1-B2 tegas dengan topografi
bergelombang. Relief mikro datar dan kemiringan lereng >25 %. Warna tanah coklat sangat gelap/very dark brown (10YR 2/2) pada kedalaman 0-12 cm dan pada kedalaman 12-27 cm, coklat gelap/dark brown (10YR 4/3) pada kedalaman >27 cm. Penggunaan lahan di lokasi P3-2 yaitu perumahan, dan jenis vegetasi : sayuran (jagung, sawi, brokoli). Klas drainase cepat. Kedalaman efektif dalam (>90 cm), tekstur lempung debu berpasir pada horison A, B1-B2. Struktur tanah dengan tingkat perkembangan lemah berukuran <2 mm dan berbentuk granular. Tidak ada konkresi. Konsistensi di horison A tidak lekat pada kondisi basah dan sangat gembur pada kondisi lembab. Konsistensi di horison B1-B2 tidak lekat pada kondisi basah dan gembur pada kondisi lembab. Ada titik penimbunan (iluviasi) bahan organik pada kedalaman antara 37-92 cm. Karakteristik morfologi tubuh tanah di Desa Kayuambon (P3-2) disajikan pada Tabel 60.
186
Tabel 60. Karakteristik morfologi tubuh tanah di Desa Kayuambon (P3-2) Kecamatan Lembang Lapisan Kedalaman Batas horison Warna matrik
A 0-12 cm bergelombang, baur coklat sangat gelap 10 YR 2/2 Struktur granular, lemah, >2mm pH lapang agak masam (5,8) Konkresi Tekstur Lempung debu berpasir Konsistensi tidak lekat (W) / sangat gembur (M) Bahan organik tidak ada Aktivitas fauna Sedikit Cracks tidak ada Pori-pori sedikit (<2mm) Perakaran banyak, <2mm Fragmen batuan sedikit,kerikil
B1 12-27 cm bergelombang Tegas coklat sangat gelap 10 YR 2/2 granular, lemah, >2mm agak masam (5,8) Lempung debu berpasir tidak lekat (W)/ gembur (M) tidak ada sedikit tidak ada sedikit (<2mm) sedikit, <2mm -
B2 >27 cm coklat gelap 10 YR 4/3 angular blocky, lemah, >2mm agak masam (5,9) Lempung debu berpasir tidak lekat(W) / gembur (M) tidak ada sedikit tidak ada sedikit (<2mm) sedikit, <2mm BO pada kedalaman 37-92 cm)
Reaksi tanah (pH) agak masam (5,8-5,9) pada setiap horison. Kandungan Fe tinggi (23,9-26,0) pada horison B1-B2, sedang (11,3) pada horison A. Kandungan Na rendah (0,24-0,36) pada semua horison. Kandungan P sangat rendah (0,4-6,4) pada semua horison. Kandungan Ca rendah (4,88) pada horison A, sedang (9,25) pada horison B1. Kandungan Mg rendah (1,02) pada horison A, sedang (1,92) pada horison B1. Kandungan K rendah (0,25-0,26) pada semua horison. Kandungan C tinggi (3,13) pada horison A, rendah (1,21) pada horison B1, sangat rendah (0,21) pada horison B2. Kandungan N sedang (0,4) pada horison A, rendah (0,18) pada horizon B1 dan sangat rendah (0,02) pada horison B2. Perbandingan C/N rendah (8-10) pada setiap horison. Kandungan Aluminium sangat tinggi (100,3-371,3) pada setiap horison. Daya hantar listrik EC sangat rendah (0,18-0,11) pada setiap horizon. KTK sedang (21,26-22,78) pada setiap horison A-B1, rendah (12,17) pada horison B2. KB rendah (28-34) pada semua horison. Perbedaan karakteristik lahan di Kecamatan Lembang disajikan pada Tabel 61.
187
Tabel 61. Perbedaan Karakteristik Lahan Setelah Pembangunan Perumahan dengan Lahan Sebelum Pembangunan di Kecamatan Lembang Parameter Penentu Kualitas Lahan
Lahan sebelum Pembangunan perumahan
Kedalaman Horizon
Horison A Horison B1 Horison B2
Lokasi P3-1
Keterangan
0-35 cm 35-117 cm >117 cm
Lahan Setelah perumahan Lokasi P3-2
Horison A Horison B1 Horison B2
Pembangunan Ket Keterangan
0-12cm 12-27 cm >27 cm
v v v
ada kerikil dan batuan (0-12 cm)
x
Media Perakaran • Tekstur Lempung debu berpasir •
Kedalaman efektif
Dalam (> 90 cm)
sedikit kerikil Lempung debu berpasir dan batuan (0-35 cm) Dalam (> 90 cm)
x
Kesuburan Tanah • Total N
•
•
•
0,58 (T) 0,38 (S) 0,28 (S)
Horison A Horison B1 Horison B2
0,40 (S) 0.18 (R) 0,02 (SR)
v v v
Horison A Horison B1 Horison B2
15,3 (T) 26,7 (R) 9,7 (SR)
Horison A Horison B1 Horison B2
6,4 (SR) 0,6 (SR) 0,4 ( SR)
v v v
Horison A Horison B1 Horison B2
0,62 (T) 0,40 (S) 0,26 (R)
Horison A Horison B1 Horison B2
0,25 (R) 0,16 (R) 0,12 (R)
v v v
Horison A Horison B1 Horison B2
4,87 (T) 3,96 (T) 2,91 (S)
Horison A Horison B1 Horison B2
3,13(T) 1,21 (R) 0,21 (SR)
v v v
Horison A Horison B1 Horison B2
26,56 (T) 23,66 (S) 24,33 (S)
Horison A Horison B1 Horison B2
22,78 (S) 12,17 (R 21,26 (S)
v v v
Horison A Horison B1 Horison B2
6,1 (AM) 6,6 (N) 6,6 (N)
Horison A Horison B1 Horison B2
5,8 (AM) 5,8 (AM) 5,9 (AM)
x v v
P205
K20
C organik
Retensi Hara • KTK (me/100g) •
Horison A Horison B1 Horison B2
pH
Keterangan : x = sama/relatif sama v = berbeda
188
Karakteristik kualitas lahan di lokasi pembangunan perumahan (P3-2) dengan lahan sebelum pembangunan perumahan (P3-1) di Kecamatan Lembang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan sebagai berikut : 1) Lahan di lokasi pembangunan perumahan (P3-2) terdiri dari horison A, B1 dan B2 dengan kedalaman 27 cm, sementara lahan sebelum pembangunan perumahan terdiri dari horison (A1, A2 dan B) dengan kedalaman di atas 117 cm. Kedalaman horison A di lokasi pembangunan perumahan sangat dangkal (12 cm) sedangkan lahan sebelum pembangunan perumahan lebih dalam (35 cm). Kondisi ini menunjukkan telah terjadi penipisan ketebalan horison mineral di permukaan (campuran bahan mineral dan bahan organik) yang sangat berarti. 2) Hasil analisis tanah di Desa Kayuambon (P3-1) Kecamatan Lembang menunjukkan secara fisik tanah bertekstur lempung debu berpasir. Tanah ini perlu diberi tambahan pupuk kandang atau kompos, pertama untuk memperbaiki struktur tanah dan sebagai sumber hara makro dan mikro, kedua sebagai penyangga terjadinya pencucian dan ketiga sebagai water holding capacity sehingga kondisi kapasitas lapang atau field capacity dapat berlangsung lama. 3) Kandungan C, N, P, K dan KTK tinggi dengan pH netral lahan di Desa Kayuambon (P3-1) Kecamatan Lembang menunjukkan belum mengalami degradasi kesuburan. Walaupun demikian, Fe rendah dan Al tinggi, maka untuk tanaman sayuran tanah tersebut perlu diberi kapur dolomit yang ditaburkan secara merata selama satu minggu baru ditanami komoditas sayuran tertentu. Kemudian diberi pupuk P untuk mencegah terikatnya P oleh Fe dan Al sehingga P yang diberikan tersedia bagi tanaman. Walaupun kandungan K tinggi tetapi tanah tersebut bersifat porous maka pemupukan K masih diperlukan. 4) Hasil analisis tanah di Desa Kayuambon (P3-2) Kecamatan Lembang menunjukkan fraksi tekstur terdiri dari debu 50%, pasir 38%, liat 12%. Tanah tersebut bertekstur lempung debu berpasir. Tanah tersebut bila kondisi kemarau mudah beterbangan bila ada angin, lebih-lebih bila di atasnya tidak ada vegetasi seperti rumput sebagai cover crop. Sifat tanah sangat porous. Untuk mencegah pencucian hara yang hebat tanah ini perlu diberi tambahan pupuk kandang kuda atau sapi, selain untuk mensuplai hara makro dan mikro yang dibutuhkan untuk tanaman sayuran, juga sebagai penyangga
189
terjadinya pencucian dan sebagai water holding capacity sehingga kondisi kapasitas lapang atau field capacity dapat berlangsung lama. Selain itu pemupukan K masih diperlukan. 5) Walaupun kandungan C tinggi pada (P3-2) namun kandungan N dan P sangat rendah, Kandungan K dan C/N juga rendah maka lahan (P3-2) telah mengalami degradasi kesuburan tanah sehingga untuk tanaman sayuran perlu diberi pupuk atau ditambah N. Berhubung sifat tanah sangat porous, maka pemberian pupuk N diberikan dalam dua kali yaitu ½ dosis waktu tanam dan ½ dosis lagi pada waktu tanaman berumur 30 hari setelah tanam. Selain itu, Kandungan P yang sangat rendah, pH masam, Fe sedang dan Al tinggi, dalam keadaan demikian maka untuk tanaman sayuran tanah tersebut perlu diberi kapur dolomit yang ditaburkan secara merata selama satu minggu baru ditanami komoditas sayuran tertentu agar Posphat tidak difiksasi oleh Al dan Fe sehingga Posphat tersedia bagi tanaman. Berdasarkan hasil analisis Paired Sample T Test diperoleh angka signifikansi (P value) sebesar 0,017 atau lebih kecil dari α 0,05 dan t hitung (2,634) > t tabel (2,109) dengan angka tersebut dapat disimpulkan bahwa pada taraf kepercayaan 95% berbeda secara nyata, yang berarti Ho diterima artinya bahwa ada perbedaan perubahan untuk komponen fisik kimia tanah yang berarti antara sebelum dan sesudah pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang.
5.3.5. Flora dan Fauna Perubahan jumlah dan jenis flora serta fauna pada pembangunan perumahan terjadi di lahan kebun campuran, sawah, dan tegalan. Keragaman flora dan fauna di kebun campuran sangat beragam, petani menanam jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kacang kedele, kacang merah, kacang hijau, tomat, bayam, bawang daun, kubis, bawang putih, cabe, sawi, kentang, buncis, ketimun, terung, kangkung, wortel merah, labu siam, bawang merah, kacang panjang serta berbagai jenis pohon tahunan. Pada lahan sawah, selain menanam padi juga menanam tanaman lain yaitu kangkung dan genjer. Kebun campuran, sawah dan tegalan memiliki beberapa fauna yang khas dari berbagai jenis spesies yang bersifat hama maupun tidak. Jumlah dan jenis flora yang hilang disajikan pada Tabel 62.
190
Tabel 62. Jenis dan jumlah flora yang hilang pada pembangunan perumahan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung No.
Jenis Flora
1. Alang-alang (Imperata cylindryca) 2. Rumput-rumputan (Xyris capensis Thunb) 3. Kirinyuh (Eupatorium pallescens) 4. Bambu (Bambusa blumeana) 5. Albasiah (Albizzia Falcata) 6. Jeungjing (Albisia chinensis) 7. Aren (Arenga Pinata) 8. Palm (Vitex Pubescens) 9. Jati (Tectona grandis) 10. Pinus (Pinus markusii) 11. Rasamala (Canarium spec) 12. Akasia (Acasia Leucoplua) 13. Rimba Campuran 14. Mahoni (Swietenia macrophylla) 15. Paku (Aspenium caudatum) 16. Paku (Gleichenia microphylla R.Br) 17. Paku (Histiopteris insica) 18. Kopi (Coffea arabica) 19. Kelapa (Cocos nucifera) 20. Cengkeh (Eugenia aromatica) 21. Alpukat (Persea Americana miller) 22. Pisang (Musa Sp) 23. Pepaya (Carica Papaya L) 24. Jagung (Zea mays L) 25. Ubi Jalar (Ipomea Batatas) 26. Ubi Kayu (Monihot esculenta) 27. Kacang Tanah (Arachis hypogea) 28. Tomat (Lycopersicon lycopersicum) 29. Bawang daun (Apium graveolens) 30. Bawang merah (Allium Cepa) 31. Cabe ( Capsium anuum) 32. Sawi (Brasica juncea) 33. Wortel (Daucus carota) 34. Kentang (Solanum tuberesum) 35. Kubis (Brassica oleracea) 36. Kacang Kedele (Glycine soya) 37. Padi (Oryza sativa spp.) 38. Genjer (Limnocharis flava)
Sumber : BPLHD, hasil perhitungan (2007)
Kerapatan
Luas Terkonversi
75 rumpun/ha
188,51
Jumlah Flora yang Hilang 14.138
100 rumpun/ha 100 rumpun/ha 125 rumpun/ha 100 pohon/ha 100 pohon/ha 100 pohon/ha 100 pohon/ha 25 pohon/ha 90 pohon/ha 70 pohon/ha 8 pohon/ha 200 pohon/ha 7 pohon/ha 400 rumpun/ha 400 rumpun/ha 400 rumpun/ha 400 pohon/ha 400 pohon/ha 900 pohon/ha 200 pohon/ha 600 pohon/ha 900 pohon/ha 25000 rumpun/ha 12500 rumpun/ha 12500 rumpun/ha 40000 rumpun/ha 25000 rumpun/ha 35000 rumpun/ha 35000 rumpun/ha 35000 rumpun/ha 35000 rumpun/ha 45000 rumpun/ha 45000 rumpun/ha 24000 rumpun/ha 35000 rumpun/ha 250000 rumpn/ha 220 rumpun/ha
188,51 188,51 188,51 117,69 117,69 117,69 117,69 113,03 113,03 113,03 113,03 113,03 113,03 113,03 113,03 113,03 3,07 0,95 1,89 3,07 9,21 9,45 36,62 6,14 10,63 4,02 24,33 9,45 44,18 9,21 13,23 9,45 15,59 33,07 2,13 223,05 223,05
18.851 18.851 23.563 11.769 11.769 11.769 11.769 2.825 10.172 7.912 904 22.606 791 45.212 45.212 45.212 1.228 380 1.701 614 5.526 8.505 915.500 76.750 132.875 160.800 608.250 330.750 1.546.300 322.350 463.050 425.250 701.550 793.680 74.550 55.762.500 49.071
191
Tabel 62. (Lanjutan) No.
Jenis Flora
Kerapatan
39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51.
Jajagoan leutik (Echinochloa colonum (L.) Jawan (Echinochloa crusgalli(L.) Beauv) Jukut lameto (Leersia hexandra Swartz) Bobontengan (Leptochloa chinensis (L.) Jajahean (Panicum repens L.) Jukut papayungan (Cyperus difformis L.) Papayungan (Cyperus halpan L.) Jekeng (Cyperus iria L.) Babawangan (Eleocharis pellucida Presl)
220 rumpun/ha 220 rumpun/ha 100 rumpun/ha 100 rumpun/ha 100 rumpun/ha 100 rumpun/ha 90 rumpun/ha 90 rumpun/ha 90 rumpun/ha 90 rumpun/ha 80 rumpun/ha 80 rumpun/ha
223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05
Jumlah Flora yang Hilang 49.071 49.071 22.305 22.305 22.305 22.305 20.074 20.074 20.074 20.074 17.844 17.844
80 rumpun/ha
223,05
17.844
80 rumpun/ha
223,05
17.844
80 rumpun/ha
223,05
17.844
80 rumpun/ha
223,05
17.844
80 rumpun/ha 80 rumpun/ha
223,05 223,05
17.844 17.844
80 rumpun/ha
223,05
17.844
80 rumpun/ha
223,05
17.844
80 rumpun/ha
223,05
17.844
50 rumpun/ha
223,05
11.152
50 rumpun/ha
223,05
11.152
50 rumpun/ha
223,05
11.152
50 rumpun/ha
223,05
11.152
52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63.
Panon munding (Frimbristylis littoralis G)
Kucaja (Scirpus juncoides Roxb. ) Semanggi (Marsilea crenata Presl) Babawangan leutik (Eriocaulon cinereum R. Br.) Jukut cai (Salvinia molesta D.S. Mitchell.) Eceng (Sagittaria guayanensis H.B.K. ssp. Lappula (D.Don) Bog Keremeh(Alternanthera philoxeroides (Mart.) Griseb. Kremek (Alternanthera sessilis (L.) DC. (=A. Repens Gmel). ) Tali said (Commelina nudiflora L.) Urang-aring (Eclipta prostrata (L.) L. (= Verbesina prostrata L.)) Gunda sawah (Hydrolea zeylanica (L.) Vahl ) Kambang penjit (Ludwigia adscendes (L.) Hara (= Jussiaea repens L.) ) Jukut Anggereman (Ludwigia hyssopifolia (G. Don) Exell Cacabean (Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven (= Jussiaea angustifolia Lmk.) ) Eceng lembut (Monochoria vaginalis (Burm.f.) Presl Lumut (lophocoleo, makednothallus, plagiochilla)
Sumber : BPLHD, hasil perhitungan (2007)
Luas Wilayah
192
Untuk melihat keanekaragaman fauna dilakukan inventarisasi berdasarkan metode jelajah dan wawancara penduduk. Dari hasil pengamatan terdapat 45 jenis fauna baik dari hasil survei maupun wawancara penduduk. Satwa liar yang banyak dijumpai umumnya dari kelas Aves (burung), diantaranya yaitu Elang (Spilornis albocabary), Merpati (Mictria cinnerea), Perkutut (Geopelia striatas), Tekukur (Streptopedia crinensis), Haur (Cospsinhur saularis) dan Puyuh (Turnix suscitator). Beberapa jenis reptil diantaranya Ular Sanca (Phyton reticularis), Ular hijau (Trinorosurus albocabaris), Kadal (Mabonya Sp) dan Bunglon (Conychephalus dilophos). Jenis mamalia yang banyak dijumpai diantaranya adalah Musang (Paradoxurus hermaproditus), Bajing (Sciurus vulgaris) dan Kera (Macaca fascicularis). Jumlah dan jenis fauna yang hilang pada pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 63. Tabel 63. Jenis dan jumlah fauna yang hilang pada pembangunan perumahan di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Lembang Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung No
Jenis Fauna
1. Babi Hutan (Sus Vitatus) 2. Musang (Paradoxurus hermaproditus) 3. Bajing (sciurus vulgaris) 4. Kera (Macaca fascicularis) 5. Ular Sanca (Phyton reticularis) 6. Ular hijau (trinorosurus albocabaris) 7. Kadal (Mabonya Sp) 8. Bunglon(conychephalus dilophos) 9. Ayam hutan (gallus gallus,gallus varius) 10. Elang hitam (ictinaetus malayensis) 11. Elang (spilornis albocabary) 12. Burung hantu(tyto alba) 13. Merpati (mictria cinnerea) 14. Perkutut (geopelia striatas) 15. Tekukur (Streptopedia crinensis) 16. Haur (cospsinhur saularis) 17. Puyuh (turnix suscitator) 18. Kalong (rhinolophus affinis, r.borneensis, r. luctus, tylonycteris, eonycteris spelaea) 19. Kupu-kupu (Ornithoptera sp) 20. Cacing (Lumbricus sp.)
Sumber : BPLHD, hasil perhitungan (2007)
1 ekor/100 m2
113.03
Jumlah Fauna yang Hilang 11.303
1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2
113.03 113.03 113.03 113.03 113.03 117.697 117.697
11.303 11.303 11.303 11.303 11.303 23.539 11.769
1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2
113.03 113.03 113.03 117.697 117.697 117.697 117.697 117.697 117.697
11.303 11.303 11.303 11.769 23.539 23.539 23.539 23.539 23.539
2 ekor/100 m2 15ekor/100 m2 50ekor/100 m2
117.697 117.697 236.24
23.539 23.539 354.360
Kerapatan
Luas konversi
193
Tabel 63. ( Lanjutan) No
Jenis Fauna
21. Tikus (Ratus sp.) 22. Ulat tentara (Spodoptera mauritia acronyctoides) 23. Ulat tanduk hijau (Melanitis leda ismene Cramer) 24. Ulat jengkal palsu hijau (Naranga aenescens (Moore)) 25. Lalat bibit (Hydrellia philippina Ferino) 26. Hama putih palsu (Cnaphalocrocis medinalis (Guenee)) 27. Hama putih (Nymphula depunctalisi (Guenee)) 28. Katak (Rana macrodon, R. cancrivora, R. Limnocharis) 29. Belut (Monopterus albus) 30. Lele (Clarias batrachus) 31. Kepala timah (Aplocheilus panchax) 32. Mujair (Oreochromis nilotichus) 33. Betok (Anabas testudineus) 34. Gabus (Channa micropeltes) 35. Sepat (Trichogaster trichopterus) 36. Lintah (Achiroides leucorhynchos) 37. Keong mas (Pomacea canaliculata) 38. Burung sawah (Lonchura spp., Ploceus sp.) 39. Penggerek batang padi (Scirpophaga incertulas, Scirpophaga innotata, Chilo suppressalis) 40. Wereng coklat (Nilaparvata lugens (Stal)) 41. Wereng hijau (Nephotettix virescens (Distant)) 42. Kepinding tanah (Scotinophara coarctata (Fabricus)) 43. Walang sangit (Leptocorisa oratorius (Fabricius)) 44. Ganjur (Orseolia oryzae (WoodMason)) 45. Orong-orong (Gryllotalpa orientalis Burmeister)
Sumber : BPLHD, hasil perhitungan (2007)
Kerapatan
Luas Konversi
2 ekor/100 m2
236,24
Jumlah Fauna yang Hilang 47.248
25ekor/100 m2 15ekor/100 m2
236,24
590.600
236,24
354.360
15ekor/100 m2
236,24
354.360
15ekor/100 m2
236,24
354.360
25ekor/100 m2
236,24
590.600
15ekor/100 m2
223,05
22.305
1 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 2 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 1 ekor/100 m2 5 ekor/100 m2
223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05 223,05
44.610 44.610 44.610 44.610 44.610 22.305 22.305 22.305 111.525 22.305
1 ekor/100 m2
223,05
557.625
25ekor/100 m2
223,05
557.625
15ekor/100 m2
223,05
334.575
15ekor/100 m2
223,05
334.575
25ekor/100 m2
223,05
334.575
15ekor/100 m2
223,05
557.625
25ekor/100 m2
223,05
334.575
2 ekor/100 m2
223,05
334.575
194
Berdasarkan standar kualitas lingkungan dibandingkan dengan hasil survei data primer, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah jenis fauna Aves dan keanekaragamannya termasuk kategori baik karena jumlahnya antara 6-15 jenis, sedangkan untuk mamalia termasuk kategori kurang baik karena jumlahnya kurang dari 10.
5.3.6. Populasi Jumlah penduduk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 64. Tabel 64. Jumlah Populasi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah Penduduk (orang) Lembang Cimenyan Cilengkrang 107061 60.087 23.512 127.393 67.249 26.525 127.614 67.279 27.004 128.175 69.052 27.326 138.305 69.052 27.326 138.305 75.604 32.085 138.928 76.417 32.596 144.988 78.526 33.312 147.986 83.298 36.359 152.120 85.945 38.104 156.607 88.053 39.305
Jumlah
190.660 221.167 221.897 224.553 234.683 245.994 247.941 256.826 267.643 276.169 283.965 Jumlah Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005 Laju perubahan penduduk (rate)
Laju 0,1600 0,0032 0,0120 0,0451 0,0472 0,0079 0,0358 0,0421 0,0319 0,0282 0,4134
di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan
Cilengkrang Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung dihitung menggunakan metode geometric rate of growth, yaitu : r = (Pt/Po)(1/t) – 1 Pt = jumlah penduduk pada tahun ke t Po = jumlah penduduk pada tahun ke 0 t = interval waktu (tahun) r = rate (laju) Rata-rata laju perubahan penduduk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : Σ(rPop 1995-2005)/10) =
0,4134/10
= 0,0413
195
Perubahan penduduk dipengaruhi oleh jumlah kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar. Jumlah kelahiran di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 65. Tabel 65. Jumlah Kelahiran di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Jumlah kelahiran (orang) No Tahun Jumlah Pertambahan Lembang Cimenyan Cilengkrang 1. 1995 1911 1030 672 3613 2. 1996 1981 1067 697 3745 132 3. 1997 2053 1106 722 3881 136 4. 1998 2128 1147 748 4023 142 5. 1999 2206 1188 776 4170 147 6. 2000 2286 1232 804 4322 152 7. 2001 2370 1277 833 4480 158 8. 2002 2456 1323 864 4643 163 9. 2003 2546 1372 895 4813 170 10. 2004 2639 1422 928 4989 176 11. 2005 2735 1474 962 5171 182 Jumlah 1.558 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005 Jumlah kematian di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 66. Tabel 66. Jumlah Kematian di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Jumlah kematian (orang) Jumlah Pertambahan Lembang Cimenyan Cilengkrang 1. 1995 540 353 223 1116 2. 1996 559 366 232 1157 41 3. 1997 580 379 240 1199 42 4. 1998 601 393 249 1243 44 5. 1999 622 408 258 1288 45 6. 2000 646 422 267 1335 47 7. 2001 669 438 277 1384 49 8. 2002 693 454 287 1434 50 9. 2003 719 470 298 1487 53 10. 2004 744 488 309 1541 54 11. 2005 772 505 320 1597 56 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005
No
Tahun
196
Jumlah migrasi masuk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 67. Tabel 67. Migrasi Masuk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Migrasi Masuk (orang) Lembang Cimenyan Cilengkrang 2659 4598 1211 2756 4768 1256 2858 4943 1302 2963 5125 1350 3073 5313 1399 3185 5509 1451 3303 5712 1504 3424 5922 1560 3550 6140 1617 3681 6366 1676 3817 6600 1738
Jumlah
8468 8780 9103 9438 9785 10145 10519 10906 11307 11723 12155 Jumlah Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005
Pertambahan
312 323 335 347 360 374 387 401 416 432 3687
Jumlah migrasi keluar di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 68. Tabel 68. Migrasi Keluar di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Migrasi Keluar (Orang) Lembang Cimenyan Cilengkrang Jumlah Pertambahan 1. 1995 1568 1511 135 3214 2. 1996 1625 1566 140 3331 117 3. 1997 1685 1623 145 3453 122 4. 1998 1747 1682 150 3579 126 5. 1999 1810 1743 156 3709 130 6. 2000 1876 1807 161 3845 136 7. 2001 1945 1873 167 3985 140 8. 2002 2016 1942 174 4131 146 9. 2003 2089 2012 180 4281 150 10. 2004 2166 2086 186 4438 157 11. 2005 2244 2162 193 4599 161 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005
No
Tahun
197
Untuk mengetahui nilai rate kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar terhadap nilai rate perubahan jumlah penduduk maka harus dihitung fraksi kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar. Fraksi kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar disajikan pada Tabel 69. Tabel 69. Fraksi kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar No Tahun
ΔNatalitas
Δ Inmigrasi
Δ Outmigrasi
Δ Mortalitas
Δ N Δ In
/
Δ Out ΔM
/
(ΔN+ΔIn)/ ( ΔO+ΔM)
(rN+rIn)/ (rN /rIn) (rOut/rM) (rOut+rM)
1 2
1996 1997
132 136
312 323
117 122
41 42
0,4231 0,4211
2,8537 2,9048
2.,8101 2,7988
3
1998
142
335
126
44
0,4239
2,8636
2,8059
4
1999
147
347
130
45
0,4236
2,8889
2,8229
5 6
2000 2001
152 158
360 374
136 140
47 49
0,4222 0,4225
2,8936 2,8571
2,7978 2,8148
7
2002
163
387
146
50
0,4212
2,9200
2,8061
8
2003
170
401
150
53
0,4239
2,8302
2,8128
9 2004 10 2005
176 182
416 432
157 161
54 56
0,4231 0,4213
2,9074 2,8750
2,8057 2,8295
Rata-rata
0,4226
2,8794
2,8104
Hasil perhitungan dari Tabel 69 diolah kembali untuk memperoleh nilai rate kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar yang jumlahnya harus sama dengan nilai rate perubahan jumlah penduduk atau memenuhi persamaan : rPopulasi = rNatalitas + rInmigrasi – rMortalitas – rOutmigrasi = 0,04134 dengan prinsip mencari 4 variabel dengan 4 buah persamaan dari kombinasi Tabel 68 maka diperoleh : rNatalitas
= 0,4226 rInmigrasi
rOutmigrasi
=
2,8794 rMortalitas
(rNatalitas + rInmigrasi) = 2,8104 (rMortalitas + rOutmigrasi) (1,4226 rInmigrasi) rInmigrasi
= 2,8104
(3,8794 rMortalitas)
= 7,6641601 rMortalitas
198
sehingga diperoleh nilai rate kematian (rMortalitas) sebesar 0,00573, nilai rate migrasi masuk (rInmigrasi) sebesar 0,0448979 , nilai rate migrasi keluar (rOutmigrasi) sebesar 0,01649 dan nilai rate kelahiran (rNatalitas) = 0,018693
5.3.7. Lahan Perumahan di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung 5.3.7.1. Lahan Terbangun Perumahan di Kawasan Bandung Utara Laju penambahan luas lahan perumahan di Kawasan Bandung Utara adalah : d LT2005 = d LT1996 ( 1 + rLT ) T rLT = ( d LT2004 / d LT1996 ) RLL = ( 777.320/566.890 )
(1/T) (1/9)
–1
– 1 = 0,035698
Luas lahan terbangun perumahan di Kawasan Bandung Utara Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 70. Tabel 70. Luas Lahan Terbangun Perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung No Tahun Kecamatan Lembang Cimenyan Cilengkrang Jumlah Pertambahan 1 1995 11,388,320 3,477,569 1,415,121 16,281,010 2 1996 11,784,851 3,598,655 1,464,394 16,847,900 566,890 3 1997 12,197,338 3,724,613 1,515,650 17,437,600 589,700 4 1998 12,626,430 3,855,641 1,568,969 18,051,040 613,440 5 1999 13,072,788 3,991,943 1,624,434 18,689,165 638,125 6 2000 13,537,117 4,133,731 1,682,132 19,352,980 663,815 7 2001 14,020,132 4,281,226 1,742,151 20,043,510 690,530 8 2002 14,522,593 4,434,659 1,804,588 20,761,840 718,330 9 2003 15,045,276 4,594,267 1,869,537 21,509,080 747,240 10 2004 15,589,000 4,760,300 1,937,100 22,286,400 777,320 Jumlah 6,005,990 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005 5.3.7.2. Lahan Terbangun Perumahan di Kawasan Lindung Laju konversi lahan di kawasan lindung akibat pembangunan perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d KL2005 = d KL1996 ( 1 + RkL ) T RKL = ( d KL2004 / d KL1996 ) RLL = ( 50.377 /36.733 )
(1/9)
(1/T)
–1
– 1 = 0,0315722
199
Luas konversi lahan terbangun perumahan di Kawasan Lindung Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 71. Tabel 71. Luas Konversi Lahan Terbangun Perumahan di Kawasan Lindung Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang No Tahun Kecamatan Lembang Cimenyan Cilengkrang Jumlah Pertambahan 1 1995 737,929 225,336 91,696 1,054,960 2 1996 763,623 233,182 94,888 1,091,693 36,733 3 1997 790,351 241,344 98,210 1,129,904 38,211 4 1998 818,154 249,834 101,664 1,169,652 39,748 5 1999 847,077 258,666 105,258 1,211,001 41,349 6 2000 877,165 267,853 108,997 1,254,015 43,014 7 2001 908,462 277,411 112,886 1,298,759 44,744 8 2002 941,020 287,352 116,932 1,345,304 46,545 9 2003 974,888 297,695 121,140 1,393,723 48,419 10 2004 1,010,126 308,455 125,519 1,444,100 50,377 Jumlah 216,417 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005 Laju konversi lahan di kawasan lindung akibat pembangunan perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d KL2005 = d KL1996 ( 1 + RkL ) T RKL = ( d KL2004 / d KL1996 ) RLL = ( 50.377 /36.733 )
(1/9)
(1/T)
–1
– 1 = 0,0315722
5.3.8. Debit Aliran Air Kegiatan pembangunan perumahan dapat mengubah kondisi fisik kawasan studi dalam beberapa hal sebagai berikut: -
Berkurangnya kawasan peresapan
-
Berkurangnya kapasitas peresapan
-
Bertambahnya aliran permukaan yang mengalir ke sungai yang mengakibatkan banjir/luapan di sungai.
Debit aliran permukaan dipengaruhi oleh koefisien limpasan, curah hujan dan luas daerah tangkapan air.
200
5.3.8.1. Koefisien Limpasan Koefisien limpasan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dipengaruhi oleh besarnya kawasan peresapan. Kawasan sebelum terbangun mempunyai koefisien limpasan sebesar 0, sedangkan pembangunan permukiman di Bandung Utara Kabupaten Bandung menyebabkan adanya perubahan nilai koefisien limpasan di kecamatan Cimenyan yang mengharuskan nilai koefisien limpasan sebesar 0,40 sedangkan nilai C dari izin lokasi sebesar 0,55. Nilai koefisien limpasan di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang dengan kemiringan 8%-15% yang seharusnya 0,35 dari izin lokasi akan menjadi 0,57. Jelas terlihat disini, akan adanya perubahan penggunaan nilai koefisien limpasan di Kawasan Bandung Utara seandainya perizinan lokasi perumahan tersebut direalisasikan. 5.3.8.2. Curah Hujan Data hujan di Kawasan Bandung Utara diperoleh dari stasiun hujan yang dianggap mewakili yaitu Stasiun Hujan Kecamatan Cimenyan (lokasi pengukur hujan di Taman Nasional Djuanda), Stasiun Hujan Kecamatan Lembang (lokasi pengukur hujan di Kantor Kecamatan Lembang), Stasiun Hujan Kecamatan Cilengkrang (lokasi pengukur hujan di Kantor Kecamatan Cilengkrang ) Pada umumnya besarnya curah hujan tergantung ketinggian tempat, semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, curah hujan semakin besar. Kondisi umum ini berlaku di Kawasan Bandung Utara terlihat pada Tabel 72. Tabel 72. Data Ketinggian dan Curah Hujan di Kawasan Bandung Utara Stasiun Hujan Cilengkrang Bulan +780m dpl 190,6 Januari 139,2 Pebruari 247,4 Maret 179,4 April 138,8 Mei 27,8 Juni 31,4 Juli 25,6 Agustus 10,2 September 126,4 Oktober 304,0 Nopember 170,4 Desember Jumlah 1.591 Sumber : Data hujan l999-2006
Cimenyan +900 m dpl 268,4 171,4 190,3 163,5 88,8 45,8 63,6 35,5 16,0 225,1 300,4 200,9 1.769,7
Lembang +1.274 m dpl 318,6 255,0 230,4 195,6 113,4 47,2 49,8 30,8 14,8 241,4 335,4 255.8 2.087,6
201
Dari Tabel 72, terlihat bahwa Cilengkrang dengan ketinggian +780 meter dpl mempunyai curah hujan rata-rata 1.591,2 mm per tahun, Cimenyan dengan ketinggian + 900 meter
dpl mempunyai curah hujan 1.769,7 mm per tahun, Lembang dengan
ketinggian 1.274 meter dpl mempunyai curah hujan rata-rata 2.087,6 mm per tahun. 5.3.8.3. Luas tangkapan Area Luas tangkapan area di Kecamatan Lembang adalah sebesar 4673,10 ha, Cimenyan adalah sebesar 5219,56 ha dan Cilengkrang adalah sebesar 2361,43 ha.
5.3.9. Frekuensi Bencana Frekuensi bencana banjir dan longsor di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 73. Tabel 73. Frekuensi Bencana Banjir dan Longsor di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Frekuensi Bencana Banjir dan Longsor No. Tahun Banjir Pertambahan Longsor Pertambahan 1. 1995 26 5 2. 1996 27 1 6 1 3. 1997 27 0 6 0 4. 1998 28 1 6 0 5. 1999 29 1 7 1 6. 2000 30 1 7 0 7. 2001 32 2 7 0 8. 2002 33 1 7 0 9. 2003 35 2 7 0 10. 2004 36 1 8 1 11. 2005 38 2 10 2 Jumlah 12 Jumlah 5 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka, NKLHD, BPLHD Tahun 1995 s.d 2005 Laju frekuensi kejadian banjir di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d fb2005 = d fb1996 ( 1 + Rfb ) dT Rfb = ( d fb2005 / d fb1996 ) Rfb = ( 2 / 1 )
(1/10)
(1/dT)
–1
– 1 = 0.0717735
202
Laju frekuensi kejadian longsor di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d fL2005 = d fL1996 ( 1 + RfL ) dT RfL = ( d fL2005 / d fL1996 ) RfL = ( 2/ 1 )
(1/10)
(1/dT)
–1
– 1 = 0,071773
5.3.10. Dana Bencana Laju dana penanggulangan bencana di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d Db2005 = d Db1996 ( 1 + RDb ) dT RDb = ( d Db2005 / d Db1996 )
(1/dT)
RDb = ( 95.000.000 /40.000.000 )
–1 (1/10)
– 1 = 0,09035
Dana penanggulangan bencana banjir dan longsor di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 74. Tabel 74. Dana Bencana di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang No. Tahun 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Dana Penanggulangan Bencana (Rupiah) Dana Bencana Pertambahan 640.000.000 680.000.000 40,000,000 730.000.000 50,000,000 785.000.000 55,000,000 840.000.000 55,000,000 900.000.000 60,000,000 970.000.000 70,000,000 1.040.000.000 70,000,000 1.115.000.000 75,000,000 1190.000.000 75,000,000 1285.000.000 95,000,000 Jumlah 645,000,000
Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005
203
5.3.11. Dana Pembangunan 5.3.11.1. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 75. Tabel 75 . Pendapatan Daerah Kecamatan Lembang, Cimenyan, Cilengkrang No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pendapatan Daerah (Rupiah) Pendapatan Daerah Pertambahan 209.663.000.000 239.219.000.000 29.556.000.000 272.941.000.000 33.722.000.000 311.416.000.000 38.475.000.000 355.316.000.000 43.900.000.000 405.404.000.000 50.088.000.000 462.552.000.000 57.148.000.000 527.757.000.000 65.205.000.000 602.153.000.000 74.396.000.000 687.037.000.000 84.884.000.000 783.887.000.000 96.850.000.000 Jumlah 574.224.000.000
Laju pendapatan daerah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d PAD2005 = d PAD1996 ( 1 + RPAD ) dT RPAD = ( d PAD2005 / d PAD1996 )
(1/dT)
–1
RPAD = ( 96850000000 / 29556000000 )
(1/10)
– 1 = 0,12601817
5.3.11.2. Dana Pembangunan Bidang Kesehatan Laju dana pembangunan bidang kesehatan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d DK2005 = d DK1996 ( 1 + RDK ) dT RDK = ( d DK2005 / d DK1996 )
(1/dT)
RDK = ( 4.915.955/ 3.270.590 )
–1
(1/10)
– 1 = 0,04345042
Dana pembangunan bidang kesehatan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 76.
204
Tabel 76. Dana Kesehatan Kecamatan Lembang, Cimenyan, Cilengkrang Dana Kesehatan (Rupiah) Dana Kesehatan Pertambahan 1. 1995 398.345.938 2. 1996 5.054.771.785 3,217,590 3. 1997 5.548.534.485 1,481,289 4. 1998 6.143.994.633 1,786,383 5. 1999 7.027.113.069 2,649,600 6. 2000 8.061.961.362 3,104,568 7. 2001 8.895.131.316 2,548,606 8. 2002 10.087.097.976 3,526,569 9. 2003 11.509.451.929 4,267,073 10. 2004 13.004.522.041 4,484,943 11. 2005 14.643.507.120 4,916,955 93.960.206 10.569.901 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1996 s.d 2005 No.
Tahun
5.3.11.3. Dana Pembangunan Bidang Pendidikan Dana pendidikan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 77. Tabel 77. Dana Pembangunan Pendidikan di Kecamatan Lembang, Cimenyan, Cilengkrang Dana Pendidikan (Rupiah) No. Tahun Dana Pendidikan Pertambahan 1. 1995 1.194.694.626 2. 1996 15.164.536.522 3,217,590 3. 1997 16.645.825.352 1,481,289 4. 1998 18.432.208.452 1,786,383 5. 1999 21.081.808.573 2,649,600 6. 2000 24.186.376.074 3,104,568 7. 2001 26.734.982.148 2,548,606 8. 2002 30.261.550.754 3,526,569 9. 2003 34.528.623.430 4,267,073 10. 2004 39.013.566.123 4,484,943 11. 2005 43.930.521.360 4,916,955 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1996 s.d 2005
205
Laju dana pembangunan bidang pendidikan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d DP2005 = d DP1996 ( 1 + RDP ) dT RDP = ( d DP2005 / d DP1996 )
(1/dT)
RDP = ( 4.916.955 / 3.217.590 )
–1
(1/10)
– 1 = 0,04331765
5.3.12. Kependudukan Laju kepadatan penduduk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah : d KP2005 = d KP1996 ( 1 + RDKP ) dT RKP = ( d KP2005 / d KP1996 ) RKP = ( 0,0003 /0,0009 )
(1/dT)
(1/10)
–1
– 1 = 0,0527
Kepadatan penduduk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang disajikan pada Tabel 78. Tabel 78. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang No. Tahun Populasi Luas Lahan Perumahan Kepadatan 1. 1995 190660 16,281,010 85 2. 1996 221167 16,847,900 76 3. 1997 221897 17,437,600 79 4. 1998 224553 18,051,040 80 5. 1999 234683 18,689,165 80 6. 2000 245994 19,352,980 79 7. 2001 247941 20,043,510 81 8. 2002 256826 20,761,840 81 9. 2003 267643 21,509,080 80 10. 2004 276169 22,286,400 81 11. 2005 283965 23,095,000 81 Jumlah 2480838 16,281,010 Sumber : Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 1995 s.d 2005
206
5.4. Model Dinamis Perubahan Lingkungan di Zona Buruk untuk Perumahan
5.4.1. Diagram Sebab Akibat Perancangan model dinamis pola perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan melalui tahapan tahapan : perancangan diagram sebab akibat, model diagram alir, uji kesahihan (validitas) dan simulasi model untuk memperoleh variabel-variabel dalam model yang memiliki kepekaan (sensitivitas) tinggi terhadap perubahan lingkungan. Pemodelan perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan dimulai dengan mengenali sistem yang terjadi di alam, yaitu sistem pembangunan perumahan. Perumahan menjadi objek dan merupakan tempat proses aktivitas. Jumlah populasi merupakan akar permasalahan pada perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan. Jumlah penduduk yang bertambah menyebabkan bertambahnya permintaan pembangunan perumahan baru. Pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara yang meningkat menimbulkan bangkitan pergerakan penduduk, yang berakibat bertambahnya volume lalu lintas di ruas jalan. Selain menyebabkan kemacetan dan penurunan tingkat pelayanan jalan, volume lalu-lintas yang meningkat berdampak pada meningkatnya pencemaran udara di wilayah pengaruh kawasan ini. Pencemaran udara yang tinggi menyebabkan menurunnya kesehatan penduduk. Pembangunan perumahan berdampak pula pada meningkatnya pencemaran air permukaan dikarenakan penduduk membuang limbah cair maupun padat pada air permukaan di wilayah kawasan ini. Pencemaran air permukaan yang tinggi menyebabkan menurunnya kesehatan pada lingkungan yang berdampak pada menurunnya jumlah penduduk. Pembangunan perumahan yang meningkat berdampak pula pada menurunnya kualitas kesuburan tanah, selain itu jumlah rumah yang meningkat menyebabkan kebutuhan akan lahan perumahan meningkat pula. Kebutuhan lahan untuk perumahan meningkat mengakibatkan berkurangnya lahan untuk perumahan yang berdampak pada tingginya penggunaan lahan pertanian di kawasan budidaya dan kawasan lindung yang menyebabkan menurunnya ketersediaan produksi pertanian perkapita.
207
Diagram sebab akibat loop I: Populasi - Pembangunan Rumah Baru - Indeks Kualitas Udara/Air/Tanah, Kematian dini akibat pencemaran, Ketersediaan Produksi Pertanian perkapita tertera pada Gambar 43. InMigrasi + + +
Natalitas
+
+
-
Populasi
Mortalitas
+
+
+
-
-
-
OutMigrasi
Pembangunan Rumah Baru
Ketersediaan Volume Biomassa Hutan per kapita
+ -
Ketersediaan Produksi Pertanian per kapita
+
+
+
+ Volume Lalu Lintas
Kualitas Aliran Air
Lahan untuk Pembangunan Baru Perumahan +
-
Kualitas Udara
+ Indeks Kualitas Udara
+
Luas Lahan Terbangun
Indeks Kualitas Air
Indeks Kesehatan Lingkungan
Produksi Pertanian
Luas Kawasan Budidaya Non Perumahan
+
+
+
-
Luas Kawasan Hutan Lindung
-
Jumlah kematian dini akibat pencemaran air
+
+ Indeks Kesehatan Lingkungan Udara
Volume Biomassa Hutan Lindung
+
-
Jumlah kematian dini akibat pencemaran udara
+
Jumlah kematian dini akibat pencemaran
Gambar 43. Diagram sebab akibat loop I : Populasi - Pembangunan Rumah Baru Indeks Kualitas Udara/Air/Tanah, Kematian dini akibat pencemaran, Ketersediaan Produksi Pertanian per kapita
208
Berkurangnya lahan untuk perumahan berdampak pada tingginya penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya non perumahan dan kawasan lindung. Penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya maupun di kawasan lindung untuk perumahan mengurangi keanekaragaman hayati (biodiversity). Pengurangan biodiversity baik secara kualitatif maupun kuantitatif akan menurunkan manfaat lingkungan (jasa lingkungan berupa pemandangan alam dan kenyamanan lingkungan . Jasa lingkungan yang berkurang menurunkan nilai manfaat pembangunan atau menaikkan nilai pengorbanan pembangunan bagi penduduk. Diagram sebab akibat loop II : Populasi- Lahan terbangun - Jumlah flora dan fauna yang hilang - Indeks biodiversity Indeks Jasa Lingkungan - Nilai tambah manfaat jasa pembangunan lingkungan tertera pada Gambar 44. InMigrasi + +
+ +
Natalitas
+
-
Populasi
+
-
-
+
+
OutMigrasi
+
Pembangunan Rumah Baru
Mortalitas
+
Nilai Tambah Manfaat Pembangunan Jasa Lingkungan per kapita
-
+
Alokasi Dana Pembangunan
+ + Lahan untuk Pembangunan Baru Perumahan
Indeks Jasa Lingkungan
+
+
+
-
+
Luas Kawasan Budidaya Non Perumahan
-
Luas Kawasan Lindung
Indeks Keindahan Lingkungan
Indeks Kenyamanan Lingkungan
Luas Lahan Terbangun
+
Jumlah dan Jenis flora yang hilang
+
-
Indeks Biodiversity
+ +
+
Jumlah dan Jenis Fauna yang hilang
-
Gambar 44. Diagram sebab akibat loop II : Populasi - Lahan terbangun - Jumlah flora dan fauna yang hilang - Indeks biodiversity - Indeks Jasa Lingkungan-Nilai tambah manfaat jasa pembangunan lingkungan
209
Salah satu fungsi kawasan lindung adalah sebagai pengatur tata air. Sinar matahari dan hujan akan langsung ke tanah dengan terbukanya tajuk pada kawasan ini. Vegetasi adalah bentuk yang paling baik untuk melindungi tanah dari pengikisan air hujan. Permukaan tanah akan mendapat benturan air hujan dan air langsung tumpah ke sungai-sungai bila formasi tajuk makin renggang. Besarnya aliran air permukaan dapat menyebabkan banjir dan longsor. Banjir dan longsor menyebabkan dana pembangunan menjadi bertambah karena bertambahnya dana bencana yang digunakan untuk mengatasi dampak negatif banjir dan longsor sehingga manfaat pembangunan menjadi berkurang.
bagi penduduk
Diagram sebab akibat loop III : Populasi - Lahan terbangun -
Limpasan air permukaan - Bencana - Dana bencana - Dana pendidikan dan kesehatan perkapita tertera pada Gambar 45. InMigrasi + +
+
+
Natalitas +
+
Pembangunan Rumah Baru
+
-
Populasi
-
-
Mortalitas +
+ -
OutMigrasi
-
Alokasi Dana Kesehatan per kapita
Alokasi Dana Pendidikan per kapita -
-
+ Anggaran Belanja Daerah untuk Bencana Lahan untuk Pembangunan Baru Perumahan
+ Dana Penanggulangan Bencana
+ + Luas Lahan Terbangun
Bencana Banjir
-
+ Bencana Longsor
+
+
+
Luas Kawasan Budidaya Non Perumahan
-
Limpasan Air Permukaan
-
Luas Kawasan Lindung
Gambar 45. Diagram sebab akibat loop III : Populasi - Lahan terbangun Limpasan air permukaan - Bencana - Dana Bencana - Alokasi dana pendidikan dan kesehatan perkapita 5.4.2. Model Diagram Alir
210
Model diagram alir loop I1 : Populasi - Pembangunan Rumah Baru –Volume Lalu lintas Indeks Kualitas Udara- Kematian dini akibat pencemaran udara tertera pada Gambar 46.
Rate_InMigrasi
Rate_OutMigrasi
InMigrasi
OutMigrasi
Natalitas
Mortalitas
Populasi Penambahan_Populasi Rate_Natalitas InMigrasi
Rate_Mortalitas OutMigrasi
Fraksi_Pembangunan_Rumah_vs_Populasi
Penambahan_Jumlah_Rumah
Jumlah_Rumah_yang_Terbangun Lahan_Terbangun_Awal
Pembangunan_Rumah_Baru
Lahan_untuk_Pembangunan_Rumah_Baru Pembangunan_Rumah_Baru
Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Luas_Lahan_Terbangun
Luas_Wilayah_Studi Penambahan_Lahan_Terbangun Lahan_Terbangun_Awal
smp_pagi
smp_malam smp_siang
Konstanta_pagi
smp_sore
Konstanta_Siang Konstanta_Sore
Luas_Lahan_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun
Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Konstanta_Malam
Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Fraksi_Rumah_vs_smp
Gambar 46. Model Diagram Alir Loop I1 : Populasi - Pembangunan Rumah Baru Luas Lahan Terbangun - Volume Lalu Lintas - Indeks Kualitas Udara Kematian dini akibat pencemaran udara
211
Fraksi_smpNoise_pg
Indeks_Noise_pagi
Noise_pg Fraksi_smpNonHC_pg
Non_HC_pg
Indeks_Non_HC_pagi
Fraksi_smpHC4_pg
smp_pagi
HC4_pg Fraksi_smpSPM_pg
Indeks_HC4_pagi Indeks_Kualitas_Udara_Pagi
SPM_pg Indeks_SPM_pagi Fraksi_smpCO_pg
Indeks_CO_pagi
CO_pg
SO2_pg Fraksi_smpSO2_pg
O3_pg Fraksi_smpO3_pg
NOx_pg
Indeks_SO2_pagi
Indeks_O3_pagi
Indeks_NOx_pagi
Fraksi_smpNOx_pg
Indeks_Kualitas_Udara_Pagi
Bobot_Pencemaran_Udara
ndeks_Kualitas_Udara_siang_hari Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Udara Indeks_Kualitas_Udara_sore deks_Kualitas_Udara_malam_hari
Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_Uda
Mortalitas Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Udara
Gambar 46. (Lanjutan) Simulasi model diagram alir untuk loop I1 dimulai dengan mengenali sistem yang terjadi di alam, yaitu sistem kependudukan. Penduduk menjadi objek dan merupakan pelaku aktivitas. Jumlah penduduk merupakan akar permasalahan bagi perubahan
212
lingkungan akibat pembangunan perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara. Rata-rata laju (rate) pertumbuhan penduduk dari data tahun 1995/2005 adalah 0,04134, nilai rate kematian sebesar 0,00573, nilai rate migrasi masuk sebesar 0,0448979 , nilai rate migrasi keluar sebesar 0,01649 dan nilai rate kelahiran sebesar 0,018693. Nilai-nilai ini dijadikan nilai masukan rate pertumbuhan jumlah penduduk pada permodelan dinamis pola perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara. Hasil simulasi menunjukkan pertambahan populasi akibat pembangunan perumahan adalah sebesar 7888 orang pada tahun 1995 dan bertambah menjadi 59.872 orang pada tahun 2045. Jumlah populasi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang akan naik dari 190.660 orang pada tahun 1995 menjadi 1.447.210 orang pada tahun 2045. Jumlah penduduk selain dipengaruhi oleh jumlah kelahiran dan kematian juga dipengaruhi oleh migrasi masuk dan migrasi keluar akibat pembangunan perumahan. Satu rumah yang dibangun oleh developer akan mendatangkan migrasi ratarata 4 orang penghuni perumahan. Grafik pertambahan populasi dan jumlah populasi dapat dilihat pada Gambar 47. 3 5 60,000
5 3
1 2
40,000 3 3
20,000 35
5 1 14
5 14
14 35 14 1 4 2 2 2 2 2,000 2,020
Tahun (a)
2
3 4 5
Natalitas Mortalitas InMigrasi Outmigrasi Penambahan_Populas
Jumlah Populasi (orang)
Pertambahan Populasi (orang)
80,000
1,500,000
1,000,000
500,000
2 2,050
2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050
Tahun (b)
Gambar 47. Grafik (a) Laju Pertambahan Populasi dan (b) Jumlah Populasi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara
213
Jumlah populasi yang meningkat menyebabkan pembangunan perumahan meningkat pula. Pembangunan perumahan dipengaruhi oleh fraksi penduduk terhadap pembangunan rumah. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pertambahan pembangunan rumah formal baru bertambah dari 1576 rumah pada tahun 1995 menjadi 12450 rumah pada tahun 2045. Fraksi jumlah penduduk yang mempengaruhi pertambahan pembangunan perumahan adalah senilai 4. Grafik Laju Pembangunan Rumah Baru di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara dapat dilihat pada Gambar 48.
Jumlah_Rumah_Terbangun
Pembangunan_Rumah_Baru
15,000
10,000
5,000
2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050
Tahun (a)
300,000
200,000
100,000
2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
2,050
Tahun (b)
Gambar 48. Grafik Laju Pembangunan Rumah Baru (a) dan Jumlah Rumah Terbangun (b) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara Jumlah rumah yang meningkat menyebabkan luas lahan terbangun perumahan meningkat pula. Penambahan luas lahan terbangun selain dipengaruhi oleh penambahan pembangunan rumah baru, dipengaruhi pula oleh fraksi pengaruh jumlah rumah terbangun terhadap kebutuhan lahan perumahan. Hasil simulasi menunjukkan penambahan luas lahan terbangun perumahan adalah seluas 55,12 Ha pada tahun 1995 menjadi 714,35 Ha pada tahun 2057. Luas lahan terbangun untuk perumahan bertambah dari seluas 1.628,10 ha pada tahun 1995 menjadi seluas 2.228.64 ha pada tahun 2004 dan meningkat menjadi seluas 17.140,38 ha pada tahun 2058. Grafik penambahan luas lahan terbangun dan perubahan luas lahan terbangun tertera pada Gambar 49. Lahan terbangun perumahan yang bertambah mengakibatkan terjadinya bangkitan pergerakan penduduk, yang berakibat bertambahnya volume lalu lintas di ruas jalan.
20,000
800
Luas Lahan Terbangun (Ha)
Penambahan Lahan Terbangun (Ha)
214
600
400
200
2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050 2,060
Tahun (a)
15,000
10,000
5,000
2,000
2,020
2,040
2,060
Tahun (b)
Gambar 49. Grafik Penambahan Lahan Terbangun (a) dan Perubahan Luas Lahan Terbangun Perumahan (b) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara Pertambahan bangkitan volume lalu lintas (smp) selain dipengaruhi oleh luas lahan terbangun dan jumlah pembangunan rumah baru, dipengaruhi pula oleh fraksi jumlah rumah terhadap luas lahan dan fraksi pengaruh jumlah rumah terhadap volume lalu lintas (smp). Hasil simulasi menunjukkan jumlah volume lalu lintas pagi (smp pagi) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang mengalami kenaikan dari 25.067 pada tahun 2007 menjadi 104.840 pada tahun 2045, jumlah volume lalu lintas siang (smp siang) mengalami kenaikan dari 27.837 pada tahun 2007 menjadi 116.426 pada tahun 2045, jumlah volume lalu lintas sore (smp sore) mengalami kenaikan dari 28.086 pada tahun 2007 menjadi 117.467 pada tahun 2045 dan jumlah volume lalu lintas malam (smp malam) mengalami kenaikan dari 21.839 pada tahun 2007 menjadi 91.340 pada tahun 2045. Grafik peningkatan jumlah lalu lintas di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 50.
215
2
200,000
Volume Lalu Lintas (smp)
1 4 150,000
3 2
100,000
2
2 50,000 12 2,000
34
1
234
2,010
1
1
23 4
2,020
3
3
1
1
4
2 3
1 4
4
smp_pagi smp_siang smp_sore smp_malam
4
2,030
2,040
2,050
2,060
Tahun
Gambar 50. Grafik Peningkatan jumlah lalu lintas di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Selain menyebabkan kemacetan dan penurunan tingkat pelayanan jalan, volume lalu-lintas yang meningkat berdampak pada meningkatnya pencemaran udara di wilayah pengaruh kawasan ini. Pencemaran udara yang tinggi menyebabkan menurunnya kualitas udara yang akan berdampak pada kesehatan penduduk. Semakin tinggi jumlah lalu lintas maka semakin tinggi emisi gas buang kendaraan. Semakin tinggi jumlah emisi gas buang kendaraan maka semakin tercemar udara. Semakin tercemar udara maka indek kualitas udara semakin menurun. Hasil simulasi menunjukkan Indek Kualitas Udara pagi (IKU pagi) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang mengalami penurunan dari 100 pada tahun 1995 menjadi 9,76 pada tahun 2045. Indek Kualitas Udara pagi (IKU pagi) merupakan jumlah indeks emisi gas buang kendaraan pada pengamatan pagi hari di sepanjang koridor jalan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang yang dipengaruhi oleh bobot masing-masing emisi gas buang. Indek Kualitas Udara siang (IKU siang) mengalami penurunan dari 99,74 pada tahun 1995 menjadi 1,73 pada tahun 2044 dan 0 pada tahun 2045. Indek Kualitas Udara siang (IKU siang) merupakan jumlah indeks emisi gas buang kendaraan pada pengamatan siang hari. Indek Kualitas Udara sore (IKU sore) mengalami penurunan dari 99,62 pada tahun 1995 menjadi 0 pada tahun 2045. Indek Kualitas Udara sore (IKU sore) merupakan jumlah indeks emisi gas buang kendaraan pada pengamatan
216
sore hari. Sedangkan Indek Kualitas Udara malam (IKU malam) mengalami penurunan dari 100 pada tahun 1995 menjadi 24,62 pada tahun 2045. Indek Kualitas Udara malam (IKU malam) merupakan jumlah indeks emisi gas buang kendaraan pada pengamatan malam hari. Grafik penurunan indeks kualitas udara di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 51. 100
12
80
34
1
23
4 14 2
60 40
3
4 1 3
1 2
2
4
3
1 20
4
2
Indeks_Kualitas_Udara_Pagi Indeks_Kualitas_Udara_Siang Indeks_Kualitas_Udara_Sore Indeks_Kualitas_Udara_malam
3 0 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
1234 1 2,050 2,060
Tahun
Gambar 51. Grafik Penurunan Indeks Kualitas Udara di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Indeks kualitas udara yang menurun berdampak pada menurunnya indeks kesehatan lingkungan udara. Indek kesehatan lingkungan udara (IKLu) selain dipengaruhi oleh indeks kualitas udara juga dipengaruhi oleh bobot pencemaran lingkungan udara. Hasil simulasi menunjukkan indek kesehatan lingkungan udara (IKLu) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang mengalami penurunan dari 64,75 pada tahun 1995 menjadi 0 pada tahun 2045. Menurunnya indeks kesehatan lingkungan udara berdampak pada meningkatnya jumlah kematian. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai indeks kesehatan lingkungan dibawah 50 dapat menyebabkan kematian dini akibat pencemaran udara. Semakin menurunnya nilai indeks kesehatan lingkungan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang, jumlah kematian dini akibat pencemaran udara semakin bertambah dari 1 orang pada tahun 2026 menjadi 6 orang pada tahun 2045 dan menjadi 10 orang pada tahun 2060. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan nilai indeks kualitas dan nilai indeks kesehatan lingkungan udara yang berdampak bertambahnya jumlah kematian dini akibat pencemaran udara. Grafik indeks
217
kesehatan lingkungan udara dan jumlah kematian dini akibat pencemaran udara dapat
Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pence maran_Udara
Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Udara
dilihat pada Gambar 52. 60 50 40 30 20 10
10
8
6
4
2
0
0 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
2,050
2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050 2,060
2,060
Tahun (b)
Tahun (a)
Gambar 52. Grafik (a) Indeks Kesehatan Lingkungan Udara dan (b) Jumlah Kematian Dini akibat Pencemaran Udara Model diagram alir loop I2 : Lahan_untuk_Pembangunan_Rumah_Baru Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Pembangunan_Rumah_Baru
Luas_Lahan_Terbangun
Luas_Wilayah_Studi Penambahan_Lahan_Terbangun Lahan_Terbangun_Awal
Fraksi_TDS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi TDS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun TDS_di_Hilir_Sungai_pagi Luas_Lahan_Terbangun TDS_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_TDS_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun
Zat_Padat_Tersuspensi_di_Hilir_Sungai_pagi Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_pagi
Fraksi_Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_pagi
Gambar 53. Model Diagram Alir Loop I2 : Populasi - Pembangunan Rumah Baru –Luas lahan terbangun/Luas Lahan belum terbangun – Pencemaran Air- Indeks Kualitas Air- Kematian dini akibat pencemaran air
218
Fraksi_Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Luas_Lahan_Terbangun
Besi_Fe_di_Daerah_Hilir_Sungai_pagi Besi_Fe_Lahan_Terbangun_pagi
Fraksi_Besi_Fe_Lahan_Terbangun_pagi
Fraksi_Kesadahan_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Kesadahan_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Luas_Lahan_Terbangun
Kesadahan_di_Hilir_Sungai_pagi Kesadahan_Lahan_Terbangun_pagi
Fraksi_Kesadahan_Lahan_Terbangun_pagi
Zat_Padat_Tersuspensi_di_Hilir_pagi Indeks_Zat_Padat_Tersuspensi_pagi_di_hilir TDS_di_Hilir_pagi
Indeks_TDS_pagi_di_hilir
Kekeruhan_di_Hilir_pagi
Indeks_Kekeruhan_pagi_di_hilir
Temperatur_di_Hilir_pagi
Indeks_Temperatur_pagi_di_hilir
Warna_di_Hilir_pagi
Indeks_Warna_pagi_di_hilir_sungai
DHL_di_Hilir_pagi
Indeks_DHL_pagi_di_hilir
Besi_Fe_di_Hilir_pagi
Indeks_Besi_pagi_di_hilir
Kesadahan_di_Hilir_pagi
Indeks_Kesadahan_pagi_di_hilir
pH_di_Hilir_pagi
Indeks_pH_pagi_di_hilir
Phenol_di_Hilir_pagi
Minyak_Lemak_di_Hilir_pagi
MBAS_di_Hilir_pagi
Zat_Organik_KMnO4_di_Hilir_pagi
BOD_di_Hilir_pagi
COD_di_Hilir_pagi
Amonia_di_Hilir_pagi
Indeks_Phenol_pagi_di_hilir
Indeks_Minyak_Lemak_pagi_di_hilir
Indeks_MBAS_pagi_di_hilir
Indeks_KMn4_pagi_di_hilir
Indeks_BOD_pagi_di_hilir
Indeks_COD_pagi_di_hilir
Indeks_NH3N_pagi_di_hilir
Gambar 53. (Lanjutan)
Indeks_Kualitas_Air_Sungai_pagi_di_hillir
219
Bobot_Pencemaran_Sungai
Indeks_Kualitas_Air_Sungai_pagi_di_hillir
Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Air_Sungai
Indeks_Kualitas_Air_Sungai_sore_di_hillir
Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_Sungai
Mortalitas
Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Air_Sungai
Gambar 53. (Lanjutan) Jumlah populasi yang meningkat menyebabkan pembangunan perumahan meningkat pula. Jumlah rumah yang meningkat menyebabkan luas lahan terbangun perumahan meningkat pula. Lahan terbangun perumahan yang bertambah berdampak pada meningkatnya pencemaran air permukaan dikarenakan penduduk membuang limbah cair maupun padat pada air permukaan di wilayah kawasan ini. Pencemaran aliran permukaan yang tinggi menyebabkan menurunnya kualitas air yang berdampak pada menurunnya kesehatan lingkungan. Selain luas lahan terbangun maupun belum terbangun, fraksi tiap-tiap parameter
mempengaruhi nilai masing-masing parameter
kualitas air sungai. Selanjutnya nilai indek masing-masing parameter kualitas air sungai pada tiap-tiap waktu pengamatan di daerah hilir di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang akan mempengaruhi nilai indek kualitas air (IKA) di masing-masing waktu pengamatan (IKA). Hasil simulasi model diagram alir untuk Loop I2 menunjukkan nilai Indek Kualitas Air pagi (IKA pagi) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang mengalami penurunan dari 33,66 pada tahun 1995 menjadi 23,04 pada tahun 2045 dan 4,12 pada tahun 2060. Indek Kualitas Air pagi (IKA pagi) merupakan jumlah indeks pencemar air permukaan pada pengamatan pagi hari di hilir sungai di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang yang dipengaruhi oleh bobot masing-masing parameter kualitas air. Grafik penurunan indeks kualitas udara di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 54. Indek Kualitas Air sore (IKA sore) mengalami penurunan dari 34,04 pada tahun 1995 menjadi 19.10 pada tahun 2045 dan 9,04 pada tahun 2060.
220
16 16
30
1
16 16
2 16
3 4 5
20
6 7
16
8 9 10 10
11 1
0
2
5
3
4
7
6
2,000
8 1
2
4 7 1 8 8 8
12
2
2,020
1
8
9 10 11 12 13 14 15 3
2,010
7
4
2,030
5
16 7 8 4 1 7 7 9 10 11 12 3 2
6
2,040
13
7
2,050
2,060
14 15 16
Indeks_TDS_pagi_di_hilir Indeks_Zat_Padat_Tersuspensi_pagi_di_hilir Indeks_Kekeruhan_pagi_di_hilir Indeks_Temperatur_pagi_di_hilir Indeks_DHL_pagi_di_hilir Indeks_Besi_pagi_di_hilir Indeks_Kesadahan_pagi_di_hilir Indeks_pH_pagi_di_hilir Indeks_Phenol_pagi_di_hilir Indeks_Minyak_Lemak_pagi_di_hilir Indeks_MBAS_pagi_di_hilir Indeks_KMn4_pagi_di_hilir Indeks_BOD_pagi_di_hilir Indeks_COD_pagi_di_hilir Indeks_NH3N_pagi_di_hilir Indeks_Kualitas_Air_Sungai_pagi_di_hillir
Tahun
Gambar 54. Grafik Indek Kualitas Air Sungai Pagi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Indeks Kualitas Air sore (IKA sore) merupakan jumlah indeks pencemaran parameter air pada pengamatan sore hari. Grafik penurunan indeks kualitas air sore di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 55. 1 17
2
30
3
17
4 17
5
17
6
17 20
7 8 17 9 10
10
11 17 12 1
2 6
8
3 2,000
1
2
8
1 9
2 9
8
1
9
8 2
6
4 0
9
5
7
10 11 12 13 14 15 16
2,010
2,020
2,030
Tahun
3
2,040
4
8
8
1
2 9 9 2 7 10 1
5
2,050
8
2,060
13 14 15 16 17
Indeks_TDS_sore_di_hilir_sungai Indeks_Zat_Padat_Tersuspensi_sore_di_hilir_sungai Indeks_Kekeruhan_sore_di_hilir_sungai Indeks_Temperatur_sore_di_hilir_sungai Indeks_Warna_sore_di_hilir_sungai Indeks_Daya_Hantar_Listrik_sore_di_hilir_sungai Indeks_Besi_Fe_sore_di_hilir_sungai Indeks_Kesadahan_CaCO3_sore_di_hilir_sungai Indeks_pH_sore_di_hilir_sungai Indeks_Phenol_sore_di_hilir_sungai Indeks_Minyak_dan_Lemak_sore_di_hilir_sungai Indeks_MBAS_sore_di_hilir_sungai Indeks_KMn4_sore_di_hilir_sungai Indeks_BOD_sore_di_hilir_sungai Indeks_COD_sore_di_hilir_sungai Indeks_NH3N_sore_di_hilir_sungai Indeks_Kualitas_Air_Sungai_sore_di_hillir
Gambar 55. Grafik Indek Kualitas Air Sungai Sore di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
221
Kualitas air di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang yang menurun berdampak pada menurunnya kesehatan lingkungan sehingga meningkatkan jumlah kematian akibat pencemaran air. Hasil simulasi menunjukkan indek kesehatan lingkungan air (IKLa) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang akan turun dari 33,66 pada tahun 1995 menjadi 19,10 pada tahun 2045 dan menjadi. 4,12 pada tahun 2060. Indek kesehatan lingkungan air (IKLa) selain dipengaruhi oleh indeks kualitas air juga dipengaruhi oleh bobot pencemaran air. Semakin kecil nilai indek kualitas air maka semakin kecil indeks kesehatan lingkungan air. Menurunnya indeks kesehatan lingkungan air berdampak pada meningkatnya jumlah kematian dini akibat pencemaran air. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai indeks kesehatan lingkungan air dibawah 29 dapat menyebabkan kematian dini akibat pencemaran air. Semakin menurunnya nilai indeks kesehatan lingkungan air di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang, jumlah kematian dini akibat pencemaran air semakin bertambah dari 1 orang pada tahun 2010 menjadi 5 orang pada tahun 2045 dan menjadi 10 orang pada tahun 2060. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan nilai indeks kualitas air dan nilai indeks kesehatan lingkungan air berdampak pada bertambahnya jumlah kematian dini akibat pencemaran air. Grafik Indeks Kesehatan Lingkungan Air dan jumlah kematian dini akibat pencemaran air dapat dilihat pada Gambar 56. 30
2 2 2
2 2
20
1
2
2 10
Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Air_Sungai Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Air_Sungai
1 1 1 2,000
1 2,010
1 2,020
1 2,030
1 2,040
2,050
2 2,060
Tahun
Gambar 56. Grafik Indeks Kesehatan Lingkungan Air dan Jumlah Kematian Dini akibat Pencemaran Air
222
Jumlah rumah yang meningkat menyebabkan kebutuhan akan lahan perumahan meningkat pula. Kebutuhan lahan untuk perumahan meningkat mengakibatkan berkurangnya lahan untuk perumahan yang berdampak pada tingginya penggunaan lahan pertanian di kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pembangunan perumahan yang meningkat berdampak pada menurunnya kualitas kesuburan tanah yang menyebabkan menurunnya ketersediaan produksi pertanian perkapita. Model Diagram Alir Loop I3 : Populasi - Pembangunan Rumah Baru - Luas lahan terbangun - Luas Kawasan Budidaya/Kawasan Lindung -Ketersediaan Produksi Pertanian Perkapita/Ketersediaan Biomassa Hutan Lindung tertera pada Gambar 57. Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun
Konversi_Lahan_Budidaya_untuk_Perumahan
Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya Lahan_untuk_Pembangunan_Rumah_Baru Lahan_Lindung_Awal_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan Kawasan_Perairan_di_Lahan_Lindung Konversi_Lahan_Budidaya_untuk_Perumahan Rasio_Luas_Lahan_Semak
Rasio_Luas_Tegalan Konversi_Lahan_Tegalan
Konversi_Lahan_Semak
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi
Rasio_Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi
Konversi_Lahan_Kebun_Campuran Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
Rasio_Luas_Konservasi Konversi_Luas_Konservasi
Rasio_Luas_Hutan_Lindung Konversi_Luas_Hutan_Lindung
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya Lahan_Sawah_Awal_Belum_Terbangun Rasio_Luas_Sawah_Irigasi Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya
Luas_Lahan_Sawah
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi
Gambar 57. Model Diagram Alir Loop I3 : Populasi - Pembangunan Rumah Baru - Luas Lahan Terbangun – Luas Kawasan Budidaya/ Kawasan Lindung Ketersediaan Produksi Pertanian Per kapita/ Ketersediaan Biomassa Hutan Lindung
223
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya
Lahan_Semak_Awal_Belum_Terbangun
Rasio_Luas_Lahan_Semak Luas_Lahan_Semak
Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya
Lahan_Kebun_Campuran_Belum_Terbangun
Rasio_Luas_Lahan_Kebun_Campuran Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi Produktivitas_Padi_Sawah
Produksi_Padi_Sawah
Luas_Lahan_Sawah
Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Produktivitas_Padi_Gogo
Produksi_Padi_Gogo
Luas_Lahan_Sawah Rasio_Luas_Lahan_Jagung Produktivitas_Jagung
Produksi_Jagung
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Populasi Ketersediaan_Padi_Sawah_per_kapita Produksi_Padi_Sawah
Populasi Ketersediaan_Padi_Gogo_per_kapita
Produksi_Padi_Gogo Populasi
Ketersediaan_Jagung_per_kapita Produksi_Jagung
Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Rasio_Luas_Konservasi
Rasio_Luas_Hutan_Lindung
Luas_Lahan_Konservasi
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Jati Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Jati
Volume_Biomassa_Hutan_Jati
Luas_Lahan_Hutan_Lindung Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Pinus Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Pinus
Volume_Biomassa_Hutan_Pinus
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Jati_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Jati
Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Pinus_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Pinus
Gambar 57. (Lanjutan)
224
Lahan terbangun perumahan yang bertambah mengakibatkan terjadinya pengurangan luas lahan kawasan budidaya. Berkurangnya luas
lahan di kawasan
budidaya disebabkan adanya konversi lahan budidaya untuk pembangunan rumah baru. Luas lahan di Kawasan budidaya awal yang belum terbangun perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah senilai 11.583,19 ha dikurangi dengan luas lahan terbangun perumahan eksisting seluas 1.628,10 ha. Hasil simulasi menunjukkan berkurangnya luas lahan kawasan budidaya di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara dan akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2047. Luas lahan yang terbangun perumahan selain mengakibatkan terjadinya konversi penggunaan lahan di kawasan budidaya untuk perumahan, mengakibatkan pula adanya konversi kawasan lindung untuk perumahan. Berkurangnya luas lahan di kawasan lindung disebabkan lahan kawasan budidaya telah habis digunakan untuk perumahan sehingga lahan di kawasan lindung terkonversi untuk perumahan. Luas lahan di Kawasan Lindung yang belum terbangun perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah senilai 6.385.99 ha dikurangi dengan luas lahan terbangun perumahan eksisting di kawasan lindung seluas 105,496 ha. Luas lahan kawasan lindung di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2058. Grafik pengurangan luas lahan kawasan budidaya dan kawasan lindung yang terbangun perumahan tertera pada Gambar 58. 3 150,000,000
M^2
3 100,000,000
50,000,000
1 2 3
1
1 1
2 3
3 2
12
3
3
2
2,010
2,020
3
1
0 2,000
2 2
2,030
2,040
1 2,050
Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Luas_Lahan_Terbangun
1 2,060
Tahun
Gambar 58. Grafik Pengurangan Luas Lahan Kawasan Budidaya dan Kawasan lindung yang terbangun Perumahan
225
Penambahan luas lahan terbangun di Kawasan Budidaya berdampak pada pengurangan luas lahan di kawasan budidaya. Hasil simulasi menunjukkan berkurangnya luas lahan sawah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
Kawasan
Bandung Utara dari seluas 291,12 ha akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2047. Luas lahan kebun campuran dari seluas 308,34 ha akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2047.
Luas lahan semak dari seluas 246,04 ha akan habis
digunakan untuk perumahan pada tahun 2047. Luas lahan tegalan dari seluas 153,61 ha akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2047. Grafik pengurangan luas lahan kawasan budidaya dan kawasan lindung yang terbangun perumahan tertera pada Gambar 59. 30,000,000 1
3 13
2 2
20,000,000
13
m^2
2 4
1
13 2
4
2
4
10,000,000
4
3 1 4
423 0
1234 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
2,050
Luas_Lahan_Sawah Luas_Lahan_Semak Luas_Lahan_Kebun_Campuran Luas_Lahan_Tegalan
1 2,060
Tahun
Gambar 59. Grafik Pengurangan Luas Lahan Sawah, Semak, Kebun dan Tegalan yang terbangun Perumahan
Campuran
Menurunnya luas lahan pertanian di kawasan budidaya mempengaruhi ketersediaan produksi pertanian perkapita. Hasil simulasi menunjukkan produksi pertanian untuk komoditas padi sawah akan mengalami penurunan dari 3.987 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton
pada tahun 2048, sedangkan produksi pertanian untuk
komoditas padi gogo akan mengalami penurunan dari 954 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048. Grafik pengurangan produksi padi sawah dan padi gogo tertera pada Gambar 60.
226
4,000
1 1
Ton
3,000
1 1
2,000
1 1,000
1
2
2
2
2
2
0 2,000
2,010
2,020
2,030 2,040
2 12 2,050
Produksi_Padi_Sawah Produksi_Padi_Gogo
1 2,060
Tahun
Gambar 60. Grafik Pengurangan Produksi Padi di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Menurunnya
produksi
pertanian
untuk
komoditas
padi
mempengaruhi
ketersediaan produksi pertanian per kapita. Hasil simulasi menunjukkan ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas padi sawah akan mengalami penurunan dari 20,91 kg per orang pada tahun 1995 menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas padi gogo akan mengalami penurunan dari 5 kg per orang pada tahun 1995 menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Grafik pengurangan ketersediaan produksi padi sawah dan padi gogo per kapita tertera pada Gambar 61.
Kg per orang
20 15
1
10 5
1
1 1
2
0 2,000
2
2 1 2
2 2,020
1
2
2,040
12
Ketersediaan_Padi_Sawah_per_kapita Ketersediaan_Padi_Gogo_per_kapita
1 2,060
Tahun
Gambar 61. Grafik Pengurangan Ketersediaan Produksi Padi Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Hasil simulasi menunjukkan produksi pertanian untuk komoditas cabe akan mengalami penurunan dari 4.765 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048, sedangkan untuk komoditas bawang merah akan mengalami penurunan dari 19.020 ton
227
pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048 dan komoditas bawang daun akan mengalami penurunan dari 6.795 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048 . Grafik
pengurangan produksi cabe, bawang merah dan bawang daun tertera pada
Gambar 62. 20,000 2 2
Ton
15,000
2 2
10,000
5,000
1 2
3
3
1
1
2
3 1
1
3
Produksi_Cabe Produksi_Bawang_Merah Produksi_Bawang_Daun
3 1 3
0
1 2 3 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
2,050
1 2,060
Tahun
Gambar 62. Grafik Pengurangan Produksi Cabe, Bawang Merah dan Bawang Daun di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Menurunnya produksi pertanian untuk komoditas produksi cabe, bawang merah dan bawang daun mempengaruhi ketersediaan produksi pertanian per kapita. Hasil simulasi menunjukkan ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas cabe dari 35,64 kg per orang, bawang merah dari 99,76 kg per orang dan ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas bawang daun akan mengalami penurunan dari 24,99 kg per orang pada tahun 1995 menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Grafik pengurangan ketersediaan produksi cabe, bawang merah dan bawang daun per kapita tertera pada Gambar 63. 100
Kg per orang
2
50
1
2
2 3 1
2 1
3
0 2,000
2,010
3
Ketersediaan_Cabe_per_kapita Ketersediaan_Bawang_Merah_per_kapita Ketersediaan_Bawang_Daun_per_kapita
2 1 3 2,020
1 3 2,030
1 2 3 2,040
1 2 3 2,050
1 2,060
Tahun
Gambar 63. Grafik Pengurangan Ketersediaan Produksi Cabe, Bawang Merah dan Bawang Putih Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
228
Produksi pertanian untuk komoditas jagung akan mengalami penurunan dari 2.299 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048, komoditas ubi kayu akan mengalami penurunan dari 1.581 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048 dan komoditas ubi jalar akan mengalami penurunan dari 849,23 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048. Grafik pengurangan produksi jagung, ubi kayu dan ubi jalar tertera pada Gambar 64. 1 2,000
1 1
Ton
1,500
2
2
1
2
1,000 3
1
2
3
3
500
3
1 2 3
2,030
2,040
2 3
0
123 2,000
2,010
2,020
2,050
Produksi_Jagung Produksi_Ubi_Kayu Produksi_Ubi_Jalar
1 2,060
Tahun
Gambar 64. Grafik Pengurangan Produksi Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas ubi jalar dari 4,45 kg per orang, ubi kayu dari 8,29 kg per orang dan ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas jagung akan mengalami penurunan dari 12,06 kg per orang pada tahun 1995 menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Grafik
pengurangan ketersediaan
produksi ubi jalar, ubi kayu dan jagung per kapita tertera pada Gambar 65.
Kg per orang
10
3 2
5 1
1
3 2
2 3
1 1
2
0 2,000
2,010
2,020
3 3 12 2,030
123 2,040
123 2,050
Ketersediaan_Ubi_Jalar_per_kapita Ketersediaan_Ubi_Kayu_per_kapita Ketersediaan_Jagung_per_kapita
1 2,060
Tahun
Gambar 65. Grafik Pengurangan Ketersediaan Produksi Ubi jalar, Ubi kayu dan Jagung Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
229
Produksi pertanian untuk komoditas kacang kedele akan mengalami penurunan dari 26,34 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048, komoditas kacang tanah akan mengalami penurunan dari 80,78 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048. Grafik
pengurangan produksi kacang kedele dan kacang tanah tertera pada
Gambar 66. 2 2 60
2
Ton
2 1
30 1
1
2
1
2
Produksi_Kacang_Kedele Produksi_Kacang_Tanah
1 1
0 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
12 2,050
1 2,060
Tahun
Gambar 66. Grafik Pengurangan Produksi Kacang Kedele dan Kacang Tanah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas kacang kedele dari 0,14 kg per orang, dan ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas kacang tanah akan mengalami penurunan dari 0,43 kg per orang pada tahun 1995 menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Grafik pengurangan ketersediaan produksi kacang kedele dan kacang tanah per kapita tertera pada Gambar 67.
Kg per orang
0.4 0.3
1
0.2 0.1
1
2
2,000
2
1
2
0.0
1
1 2
2 2,020
1
2
2,040
12
Ketersediaan_Kacang_Tanah_per_kapita Ketersediaan_Kacang_Kedele_per_kapita
1 2,060
Tahun
Gambar 67. Grafik Pengurangan Ketersediaan Produksi Kacang Tanah dan Kacang Kedele Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
230
Produksi pertanian untuk komoditas kubis akan mengalami penurunan dari 69.258 ton, tomat dari 26.301 ton, kentang dari 40.805 ton dan sawi dari 29.302 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048. Grafik pengurangan produksi kubis, tomat, kentang, sawi tertera pada Gambar 68. 1
60,000
1
Ton
1 40,000
3
3
24
20,000
1
1
2
3
24
3 24
24
1 23
0 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
3 4
4
Produksi_Kubis Produksi_Tomat Produksi_Kentang Produksi_Sawi
1234 1 2,050 2,060
Tahun
Gambar 68. Grafik Pengurangan Produksi Kubis, Tomat, Kentang dan Sawi Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
di
Ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas sawi dari 153,69 kg per orang, komoditas tomat dari 137,95 kg per orang, komoditas kubis dari 363,25 kg per orang,
ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas kentang akan
mengalami penurunan dari 214,02 kg per orang pada tahun 1995 menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Grafik pengurangan ketersediaan produksi kubis, tomat, kentang, sawi per kapita tertera pada Gambar 69.
Kg per orang
300
4 1
200 4
2 100
1
3
2 1
2
3
123
0 2,000
3
4
2,010
2,020
4 123 2,030
4 1234 2,040
Ketersediaan_Sawi_per_kapita Ketersediaan_Kentang_per_kapita Ketersediaan_Tomat_per_kapita Ketersediaan_Kubis_per_kapita
1234 1 2,050 2,060
Tahun
Gambar 69. Grafik Pengurangan Ketersediaan Produksi Kubis, Tomat, Kentang dan Sawi Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
231
Produksi pertanian untuk komoditas pepaya akan mengalami penurunan dari 63,64 ton, pisang dari 6.684 ton dan alpukat dari 416,12 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048. Grafik pengurangan produksi pepaya, pisang dan alpukat tertera pada Gambar 70. 3
6,000
3
5,000
3
Ton
4,000
3
1
3,000 2,000
2
3
3
1,000 2 1 2,000
0
2 1 2,010
12 2,020
12 2,030
12 2,040
123 2,050
Produksi_Pepaya Produksi_Alpukat Produksi_Pisang
1 2,060
Tahun
Gambar 70. Grafik Pengurangan Produksi Pepaya, Pisang dan Alpukat Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
di
Ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas pisang dari 35,06 kg per orang, komoditas pepaya dari 0,334 kg per orang dan komoditas alpukat dari 2,18 kg per orang pada tahun 1995 akan mengalami penurunan menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Grafik pengurangan ketersediaan produksi pepaya, pisang dan alpukat per kapita tertera pada Gambar 71.
30
Kg per orang
2 20
1
2
2 10
2
3
Ketersediaan_Pepaya_per_kapita Ketersediaan_Pisang_per_kapita Ketersediaan_Alpukat_per_kapita
2 0
3
13
13
13
2,000
2,010
2,020
2,030
1
2 1 3 2,040
123 2,050
1 2,060
Tahun
Gambar 71. Grafik Pengurangan Ketersediaan Produksi Pepaya, Pisang Alpukat Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
232
Produksi pertanian untuk komoditas kopi akan mengalami penurunan dari 15,79 ton, kelapa dari 3,47 ton dan cengkeh dari 4,98 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048. Grafik pengurangan produksi kopi, kelapa dan cengkeh tertera pada Gambar 72. 15
1 1 1
10
Ton
1 5
3 2
1
2
2
3 2
3
3 23
0 2,000
2,010
2
1
3
2,020
2,030
2,040
123 2,050
Produksi_Kopi Produksi_Kelapa Produksi_Cengkeh
1 2,060
Tahun
Gambar 72. Grafik Pengurangan Produksi Kopi, Kelapa dan Cengkeh Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
di
Ketersediaan produksi pertanian per kapita untuk komoditas kopi dari 0,083 kg per orang, komoditas kelapa dari 0,0182 kg per orang dan komoditas cengkeh dari 0,0261 kg per orang pada tahun 1995 akan mengalami penurunan menjadi 0 kg per orang pada tahun 2048. Grafik pengurangan ketersediaan produksi kopi, kelapa dan cengkeh per
Kg per orang
kapita tertera pada Gambar 73.
0.06
1
1
1
2
0.03 1
3 2 2 2,000
2,010
Ketersediaan_Kelapa_per_kapita Ketersediaan_Cengkeh_per_kapita
1
3
0.00
3
Ketersediaan_Kopi_per_kapita
23 2,020
23 2,030
1
23 2,040
123 2,050
1 2,060
Tahun
Gambar 73. Grafik Pengurangan Ketersediaan Produksi Kopi, Kelapa dan Cengkeh Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang
233
Volume biomasa hutan Acacia Mangium di kawasan lindung akan mengalami penurunan dari 7.221.192 ton, hutan jati dari 24.650.683 ton, hutan mahoni dari 5.504.071 ton, hutan pinus dari 89.655.689, hutan rasamala 70.745.538 ton dan rimba campuran dari 198.969.397 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2059. Grafik pengurangan volume biomasa hutan Acacia Mangium, jati , mahoni, pinus, rasamala dan rimba campuran tertera pada Gambar 74. 200,000,000
6
6
6
6
6
6 150,000,000
Ton
1 2
100,000,000 2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3 2
4
3
5
50,000,000
0
6
1
1
1
1
1
45
45
45
45
45
Volume_Biomassa_Hutan_Jati Volume_Biomassa_Hutan_Pinus Volume_Biomassa_Hutan_Rasamala Volume_Biomassa_Hutan_Acacia_Mangium Volume_Biomassa_Hutan_Mahoni Volume_Biomassa_Hutan_Rimba_Campura
1 45
1
2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050 2,060
Tahun
Gambar 74. Grafik Pengurangan Volume Biomasa Hutan Acacia Mangium, Jati , Mahoni, Pinus, Rasamala dan Rimba Campuran Di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Ketersediaan biomasa hutan Acacia Mangium di kawasan lindung akan mengalami penurunan dari 27,62 m3 per orang, hutan jati dari 94,29 m3 per orang, hutan mahoni dari 21,05 m3 per orang, hutan pinus dari 342,94 m3 per orang, hutan rasamala 270,60 m3 per orang dan rimba campuran dari 761,07 m3 per orang pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2059. Grafik pengurangan ketersediaan biomasa hutan Acacia Mangium, jati , mahoni, pinus, rasamala dan rimba campuran tertera pada Gambar 75.
234
1,000
M^3 per orang
1 1 1
2
500 3 1
5
4
4 4
1
5
6 0
2 3
2 3
2,000
2,010
6
2 3 2,020
5 1
4 5 6
4 5
5
2 3 6
2 3
2,030
2,040
6
1 4
Ketersediaan_Volume_Biomassa_Rimba_Campuran_per _kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Mahoni_per_kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Acacia_Mangium_per _kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Rasamala_per_kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Pinus_per_kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Jati_per_kapita
6 2 3 4 5 6 2,050
2,060
Tahun
Gambar 75. Grafik Pengurangan Ketersediaan Volume Biomasa Hutan Acacia Mangium, Jati , Mahoni, Pinus, Rasamala dan Rimba Campuran Per kapita di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Model Diagram Alir Loop II Berkurangnya lahan untuk perumahan berdampak pada tingginya penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya non perumahan dan kawasan lindung. Penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya maupun di kawasan lindung untuk perumahan mengurangi keanekaragaman hayati (biodiversity). Pengurangan biodiversity baik secara kualitatif maupun kuantitatif akan menurunkan manfaat lingkungan (jasa lingkungan berupa pemandangan alam dan kenyamanan lingkungan) . Jasa lingkungan yang berkurang menurunkan nilai manfaat pembangunan atau menaikkan nilai pengorbanan pembangunan bagi penduduk. Model diagram alir loop II tertera pada Gambar 76. Kerapatan_alang_alang_Imperata_cylindryca Jumlah_alang_alang_Imperata_cylindryca_yang_hilang
Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
Kerapatan_rumput_Xyris_capensis_Thumb Jumlah_rumput_Xyris_capensis_Thumb_yang_hilang Konversi_Lahan_Semak
Gambar 76. Model Diagram Alir Loop II : Populasi- Lahan terbangun - Konversi lahan- Jumlah flora dan fauna yang hilang - Indeks biodiversity Indeks Jasa Lingkungan - Nilai tambah manfaat jasa pembangunan lingkungan
235
Kerapatan_kirinyuh_Eupatorium_pallescens
Jumlah_kirinyuh_Eupatorium_pallescens_yang_hilang Konversi_Lahan_Semak
Jumlah_paku_Aspenium_caudatum_yang_hilang Kerapatan_paku_Aspenium_caudatum
Konversi_Lahan_Kebun_Campuran
Kerapatan_tomat_Lycopersicon_lycopersicum
Jumlah_tomat_Lycopersicon_lycopersicum_yang_hilang
Konversi_Lahan_Kebun_Campuran
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Kerapatan_padi_Oryza_sativa_spp
Jumlah_padi_Oryza_sativa_spp_yang_hilang
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Kerapatan_genjer_Limnocharis_flava
Jumlah_genjer_Limnocharis_flava_yang_hilang
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Kerapatan_babi_hutan_Sus_Vitatus Jumlah_babi_hutan_Sus_Vitatus_yang_hilang Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
Kerapatan_kadal_Mabonya_Sp Jumlah_kadal_Mabonya_Sp_yang_hilang Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
Kerapatan_merpati_mitricia_cinnerea
Jumlah_merpati_mitricia_cinnerea_yang_hilang
Konversi_Lahan_Semak
Kerapatan_kupu_kupu_Ornithoptera_Sp
Jumlah_kupu_kupu_Ornithoptera_Sp_yang_hilang
Konversi_Lahan_Semak
Kerapatan_cacing_Lumbricus_Sp
Jumlah_cacing_Lumbricus_Sp
Konversi_Lahan_Semak Jmlah_ulat_tentara_Spodoptera_mauritia_acronyctoides_yg_hilang Kerapatan_ulat_tentara_Spodoptera_mauritia_acronyctoides Konversi_Lahan_Kebun_Campuran Jumlah_ulat_tanduk_hijau_Melanitis_ledaismene_Cramer_yg_hilang Kerapatan_ulat_tanduk_hijau_Melanitis_ledaismene_Cramer Konversi_Lahan_Kebun_Campuran
Jenis_Flora_di_Kawasan_Lindung Nilai_diversitas_flora Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Lahan_Lindung_Awal_Belum_Terbangun
Indeks_Biodiversity_Kawasan_Lindung
Kawasan_Perairan_di_Lahan_Lindung Nilai_diversitas_fauna Jenis_Fauna_di_Kawasan_Lindung
Gambar 76. (Lanjutan)
236
Jenis_Flora_di_Lahan_Semak Nilai_diversitas_flora Luas_Semak Indeks_Biodiversity_Lahan_Semak Lahan_Semak_Awal_Belum_Terbangun Nilai_diversitas_fauna Jenis_Fauna_di_Lahan_Semak
Jenis_Flora_di_Lahan_Kebun_Campuran Nilai_diversitas_flora Luas_Kebun_Campuran Indeks_Biodiversity_Lahan_Kebun_Campuran Lahan_Kebun_Campuran_Belum_Terbangun Nilai_diversitas_fauna Jenis_Fauna_di_Lahan_Kebun_Campuran
Jenis_Flora_di_Lahan_Sawah Nilai_diversitas_flora Luas_Sawah Indeks_Biodiversity_Lahan_Sawah Lahan_Sawah_Awal_Belum_Terbangun Nilai_diversitas_fauna Jenis_Fauna_di_Lahan_Sawah
Indeks_Biodiversity_Kawasan_Lindung Indeks_Biodiversity_Lahan_Semak Indeks_Biodiversity
Indeks_Biodiversity_Lahan_Kebun_Campuran Indeks_Biodiversity_Lahan_Sawah
Indeks_Kenyamanan_Lingkungan
Bobot_Kenyamanan_Lingkungan Indeks_Biodiversity Bobot_Keindahan_Lingkungan
Indeks_Keindahan_Lingkungan
Indeks_Kenyamanan_Lingkungan Indeks_Jasa_Lingkungan Indeks_Keindahan_Lingkungan Populasi
Nilai_Tambah_Manfaat_Pembangunan_Jasa_Lingkungan_per_kapita
Dana_Pembangunan
Gambar 76. (Lanjutan)
Konversi lahan kawasan budidaya dan kawasan lindung menjadi lahan perumahan berpengaruh terhadap menurunnya kerapatan jumlah jenis flora dan fauna di kawasan budidaya dan kawasan lindung. Jumlah jenis flora dan fauna dengan nilai diversitasnya mempengaruhi keanekaragaman hayati atau nilai indek biodiversity kawasan disamping
237
luas kawasan yang terbangun. Hasil simulasi model diagram alir untuk loop II menunjukkan adanya pertambahan konversi lahan untuk pembangunan perumahan di kawasan budidaya. Lahan kebun campuran terkonversi dari seluas 174.945 m2 (17,49 ha) menjadi 1.361.719 m2 (136,17 ha), lahan sawah beririgasi terkonversi dari 115.686 m2 (11,57 ha) menjadi 900.449 m2 (90,05 ha), lahan sawah tadah hujan dari 49.492 m2 (4,95 ha) menjadi 385.228 m2 (38,52 ha), semak dari 139.600 m2 (13,96 ha) menjadi 1.086.589 m2 (108,66 ha) dan tegalan dari 87.158 m2 (8,72 ha) menjadi 678.404 m2 (67,84 ha). Sedangkan pertambahan konversi lahan untuk pembangunan perumahan di kawasan lindung dari seluas 105,496 ha pada tahun 1995 menjadi seluas 6.208,35 ha pada tahun 2044 . Grafik pertambahan konversi lahan menjadi lahan terbangun perumahan tertera pada Gambar 77. 1
2
1,000,000
1
M^2
5 3 2 1 5
500,000
2 5 2
0
2 5 136 4
1 4
5 3
1
3
3
6
2 3 4 5
1 6 4
6
1
6
Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan Konversi_Lahan_Kebun_Campuran Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Konversi_Lahan_Semak Konversi_Lahan_Tegalan
4
6 4
23456 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050 2,060
Tahun
Gambar 77. Grafik Pertambahan Konversi Lahan menjadi Lahan Perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Pertambahan konversi lahan berdampak pada menurunnya keaneragaman flora dan fauna (nilai indek biodiversity) di Kawasan Bandung Utara. Hasil simulasi menunjukkan nilai indek biodiversity di Kawasan Bandung Utara menurun dari 100,00 pada tahun 1995 menjadi 1,11 pada tahun 2059. Hal ini menunjukkan keaneragaman hayati di Kawasan Bandung Utara dapat dikategorikan sangat baik pada tahun 1995 dan kemudian menurun menjadi sangat buruk pada tahun 2060.
Indek biodiversity lahan kebun campuran
menurun dari 39,13 pada tahun 1995 menjadi 1,47 pada tahun 2047, indek biodiversity lahan sawah menurun dari 39,13 pada tahun 1995 menjadi 1,47 pada tahun 2047, indek
238
biodiversity lahan semak menurun dari 10,43 pada tahun 1995 menjadi 0,46 pada tahun 2047 dan indek biodiversity untuk kawasan lindung lahan menurun dari 11,30 pada tahun 1995 menjadi 1,15 pada tahun 2047. Grafik Penurunan Indeks Biodiversity di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang tertera pada Gambar 78. 100
5 5 5 1
5
2
50 34
34
3
5 34
4
34 12
12
0 2,000
2,010
1
2
2,020
1
2
2,030
13 4 2 2,040
1 5 234 2,050
5
Indeks_Biodiversity_Kawasan_Lindung Indeks_Biodiversity_Lahan_Semak Indeks_Biodiversity_Lahan_Kebun_Campuran Indeks_Biodiversity_Lahan_Sawah Indeks_Biodiversity
1 2,060
Tahun
Gambar 78. Grafik Penurunan Indeks Biodiversity Cimenyan dan Cilengkrang
di Kecamatan Lembang,
Pengurangan biodiversity baik secara kualitatif maupun kuantitatif akan menurunkan manfaat lingkungan (jasa lingkungan berupa pemandangan alam dan kenyamanan lingkungan). Hasil simulasi menunjukkan nilai indek kenyamanan lingkungan semakin menurun dari 60,00 pada tahun 1995 menjadi 0,67 pada tahun 2058. Indek keindahan lingkungan semakin menurun dari 40,00 pada tahun 1995 menjadi 0,45 pada tahun 58. Nilai indek kenyamanan lingkungan dan indek keindahan lingkungan selain dipengaruhi oleh nilai biodiversity, dipengaruhi pula oleh bobot keindahan dan kenyamanan. Semakin luas lahan terkonversi perumahan, semakin kecil nilai keanekaragaman hayati kawasan. Semakin kecil nilai keanekaragaman hayati di Kawasan Bandung Utara, semakin kecil nilai kenyamanan dan keindahan lingkungan. Grafik indek keindahan dan kenyamanan lingkungan di Kawasan Bandung Utara dapat dilihat pada Gambar 79.
239
100
1 1 1
2 50
1 2
1 2
3
3
2 3
2 1 3
3
1
2,010
2,020
2,030
Indeks_Keindahan_Lingkungan
2 3
0 2,000
Indeks_Biodiversity Indeks_Kenyamanan_Lingkungan
2,040
23
2,050
1 2,060
Tahun
Gambar 79. Grafik indeks keindahan dan indeks kenyamanan lingkungan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Menurunnya nilai keindahan dan kenyamanan di Kawasan Bandung Utara baik secara kualitatif maupun kuantitatif akan menurunkan manfaat lingkungan (nilai jasa lingkungan). Nilai jasa lingkungan yang berkurang menurunkan nilai manfaat pembangunan atau menaikkan nilai pengorbanan pembangunan bagi penduduk. Nilai tambah manfaat pembangunan dalam bentuk nilai jasa lingkungan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang yang naik dari Rp. 1,09 juta per orang pada tahun 1995 menjadi Rp. 26.42 juta pada tahun 2042 dan menurun menjadi Rp. 3,95 juta pada tahun 2058 serta Rp. -546,506 pada tahun 2059. Nilai tambah manfaat pembangunan dalam bentuk nilai jasa lingkungan selain dipengaruhi oleh nilai indeks kenyamanan dan keindahan lingkungan juga dipengaruhi oleh jumlah pertambahan populasi. Semakin banyak penduduk, semakin banyak jumlah rumah yang dibangun. Semakin banyak jumlah rumah yang dibangun maka semakin luas lahan terbangun perumahan. Semakin luas lahan terbangun perumahan maka semakin luas lahan di kawasan budidaya non perumahan dan kawasan lindung terkonversi perumahan. Semakin luas lahan terkonversi perumahan, semakin kecil nilai keanekaragaman hayati kawasan. Semakin kecil nilai keanekaragaman hayati kawasan, semakin kecil nilai kenyamanan dan keindahan lingkungan. Semakin kecil nilai kenyamanan dan keindahan lingkungan, semakin kecil nilai tambah manfaat pembangunan dalam bentuk nilai jasa lingkungan. Nilai tambah manfaat pembangunan
240
jasa lingkungan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 80. 25,000,000
Rupiah per orang
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
2,050
2,060
Tahun
Gambar 80. Nilai tambah manfaat pembangunan jasa lingkungan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Model Diagram Alir Loop III Jumlah penduduk yang bertambah menyebabkan bertambahnya permintaan pembangunan perumahan baru. Pembangunan perumahan yang meningkat menyebabkan luas lahan terbangun perumahan meningkat pula. Luas lahan terbangun perumahan meningkat mengakibatkan berkurangnya lahan untuk bidang resapan air hujan. Salah satu fungsi bidang resapan adalah sebagai pengatur tata air. Sinar matahari dan hujan akan langsung ke tanah dengan terbukanya tajuk pada kawasan ini. Vegetasi adalah bentuk yang paling baik untuk melindungi tanah dari pengikisan air hujan. Permukaan tanah akan mendapat benturan air hujan dan air langsung tumpah ke sungai-sungai bila formasi tajuk makin renggang. Besarnya aliran air permukaan dapat menyebabkan banjir dan longsor.
Banjir dan longsor
menyebabkan dana pembangunan menjadi bertambah
karena bertambahnya dana bencana yang digunakan untuk mengatasi dampak negatif banjir dan longsor sehingga manfaat pembangunan kesehatan penduduk menjadi berkurang. Gambar 81.
berupa dana pendidikan dan
Model diagram alir loop III tertera pada
241
Rate_InMigrasi
Rate_OutMigrasi OutMigrasi
InMigrasi
Mortalitas
Natalitas
Populasi Penambahan_Populasi
Rate_Mortalitas
Rate_Natalitas InMigrasi
OutMigrasi
Pembangunan_Rumah_Baru
Fraksi_Pembangunan_Rumah_vs_Populasi Jumlah_Rumah_yang_Terbangun
Penambahan_Jumlah_Rumah
Lahan_Terbangun_Awal Lahan_untuk_Pembangunan_Rumah_Baru Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Pembangunan_Rumah_Baru
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun
Penambahan_Lahan_Terbangun Luas_Wilayah_Studi Koefisien_Limpasan Lahan_Terbangun_Awal
Lahan_Lindung_Awal_Belum_Terbangun
Debit_Aliran Koefisien_Frekuensi_Banjir Curah_Hujan_Rata_Rata_Harian Koefisien_Frekuensi_Longsor Frekuensi_Banjir
Frekuensi_Longsor Fraksi_Dana_P_Bencana_vs_Longsor
Fraksi_Dana_P_Bencana_vs_Banjir Dana_Pembangunan
Dana_Penanggulangan_Bencana
Pendapatan_Daerah Rate_Pendapatan_Daera
Fraksi_Dana_Pendidikan_vs_Dana_Pembangunan
Fraksi_Dana_Kesehatan_vs_Dana_Pembanguan Dana_Pendidikan_per_kapita
Dana_Kesehatan_per_kapita
Populasi
Gambar 81. Model Diagram Alir Loop III : Populasi - Lahan terbangun-Limpasan air permukaan – Bencana Banjir dan Longsor - Dana bencana - dana pendidikan dan kesehatan per kapita
242
Simulasi model diagram alir untuk Loop III dimulai dengan mengenali sistem kependudukan. Jumlah populasi yang meningkat menyebabkan pembangunan perumahan meningkat pula. Pertambahan pembangunan perumahan menyebabkan jumlah rumah terbangun meningkat pula. Jumlah rumah terbangun
selain dipengaruhi oleh fraksi
penduduk terhadap pembangunan rumah dipengaruhi pula oleh fraksi pengaruh jumlah rumah terbangun terhadap kebutuhan lahan perumahan. Fraksi pengaruh jumlah rumah terbangun terhadap kebutuhan lahan perumahan adalah senilai 295,47 m2/orang yang diperoleh dari data perbandingan luas 1:3:6 untuk rumah sederhana, sedang dan mewah serta luas untuk infrastruktur, fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau. Hasil simulasi menunjukkan jumlah rumah terbangun secara formal meningkat dari 39.478 rumah pada tahun 1995 menjadi 302.280 rumah pada tahun 2045. Jumlah rumah yang meningkat menyebabkan luas lahan terbangun perumahan meningkat pula. Luas lahan di Kawasan budidaya awal yang belum terbangun perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah senilai 11.583,19 ha dikurangi dengan luas lahan terbangun perumahan eksisting seluas 1.628,10 ha. Sementara itu luas lahan di Kawasan Lindung yang belum terbangun perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang adalah senilai 6.385.99 ha dikurangi dengan luas lahan terbangun perumahan eksisting di kawasan lindung seluas 105,496 ha. Hasil simulasi menunjukkan penambahan luas lahan terbangun perumahan adalah seluas 55,12 Ha pada tahun 1995 menjadi 714,35 Ha pada tahun 2057. Luas lahan terbangun untuk perumahan bertambah dari seluas 1.628,10 ha pada tahun 1995 menjadi seluas 17.140,38 ha pada tahun 2058. Luas terbangun perumahan akan terus bertambah jika kecenderungan tingkat perubahan fenomena pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara tetap seperti pengamatan sebelum penelitian ini dilakukan (sebelum tahun 2006). Grafik penambahan luas lahan terbangun tertera pada Gambar 82.
20,000
800
Luas Lahan Terbangun (Ha)
Penambahan Lahan Terbangun (Ha)
243
600
400
200
2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050 2,060
Tahun (a)
15,000
10,000
5,000
2,000
2,020
2,040
2,060
Tahun (b)
Gambar 82. Grafik Penambahan Lahan Terbangun (a) dan Perubahan Luas Lahan Terbangun Perumahan (b) di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang Kawasan Bandung Utara Semakin bertambah luas lahan terbangun perumahan, semakin berkurang bidang resapan tanah di Kawasan Bandung Utara. Salah satu fungsi bidang resapan adalah sebagai penampung air permukaan. Selain itu permukaan tanah terbuka untuk perumahan akan mendapat benturan air hujan dan air langsung tumpah ke sungai-sungai bila formasi tajuk makin renggang. Besarnya aliran air permukaan dapat menyebabkan banjir dan longsor. Debit aliran air permukaan karena bertambah luasnya lahan permukiman akan naik dari 4.219,19 m3/tahun pada tahun 1995 menjadi 47.396 m3/tahun pada tahun 2058. Debit aliran selain dipengaruhi oleh curah hujan juga dipengaruhi oleh koefisien limpasan dan luas lahan terbangun di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. Perubahan nilai debit aliran air permukaan yang tinggi menyebabkan frekuensi kejadian banjir dan longsor meningkat. Frekuensi kejadian banjir karena pembangunan perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang akan naik dari 26 kejadian banjir pada tahun 1995 menjadi 288 kejadian pada tahun 2058. Frekuensi kejadian longsor karena pembangunan perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang akan naik dari 6 kejadian pada tahun 1995 menjadi 67 kejadian pada tahun 2058. Grafik debit aliran air permukaan dan frekuensi kejadian banjir serta longsor dapat dilihat pada Gambar 83.
244
1
300
Frekuensi Kejadian
Debit Aliran (M3/Tahun)
50,000
40,000
30,000
20,000
1
200
2
100
2
1
2,000
2,020
2,040
2,060
Frekuensi_Banjir Frekuensi_Longsor
1 1
10,000
1
1
2 1 2 2 2 2 2,000 2,020 2,040
2
2,060
Tahun (b)
Tahun (a)
Gambar 83. Grafik Pertambahan Debit Aliran Air Permukaan (a), dan Frekuensi Kejadian Banjir dan Longsor (b) Frekuensi banjir dan longsor yang tinggi akibat adanya perubahan penggunaan lahan untuk perumahan dapat menyebabkan dana pembangunan menjadi bertambah karena diperlukan dana bencana yang digunakan untuk mengatasi dampak negatif dari banjir dan longsor. Dana penanggulangan bencana banjir dan longsor di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang akan naik dari Rp. 639 juta pada tahun 1995 menjadi Rp. 80,25 milyard pada tahun 2060. Grafik dana bencana yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah untuk menanggulangi bencana longsor dan banjir dapat dilihat
Dana Penanggulangan Bencana (Rp)
pada Gambar 84.
6e10
3e10
0 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
2,050
Tahun
Gambar 84. Grafik Dana Penanggulangan Bencana Banjir dan Longsor
2,060
245
Dana pembangunan yang merupakan selisih antara pendapatan asli daerah dengan dana bencana akan naik dari Rp. 209 milyard pada tahun 1995 menjadi Rp. 106 trilyun pada tahun 2042 dan Rp. 870 trilyun pada tahun 2057 atas dasar harga konstan atau tidak dipengaruhi oleh nilai inflasi. Grafik Dana pembangunan yang merupakan selisih antara pendapatan asli daerah dengan dana bencana dapat dilihat pada Gambar 85. 1
Rp
1e15
5e14
1 2
Dana_Pembangunan Pendapatan_Daerah
1 2 1 0
12 2,000
12 2,010
12 2,020
12 2,030
2 2,040
2 2,050
2,060
Tahun
Gambar 85. Grafik dana pembangunan yang merupakan selisih antara pendapatan asli daerah dengan dana bencana Nilai manfaat pembangunan berupa dana pendidikan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang yang diterima setiap orang pada tahun 1995 sebesar Rp. 63.000, pada tahun 2060 akan naik menjadi Rp. 24,32 juta per orang. Nilai manfaat pembangunan bidang pendidikan dipengaruhi oleh dana pembangunan dan fraksi dana pembangunan pendidikan yang dibagi dengan jumlah penduduk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. Nilai manfaat pembangunan berupa dana kesehatan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dari sebesar Rp. 21. 000 perorang pada tahun 1995 akan naik menjadi Rp. 8,1 juta per orang pada tahun 2060. Nilai manfaat pembangunan bidang kesehatan dipengaruhi oleh dana pembangunan dan fraksi dana pembangunan kesehatan yang dibagi dengan jumlah penduduk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. Grafik dana kesehatan dan dana pendidikan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang dapat dilihat pada Gambar 86.
246
25,000,000
2
20,000,000
Rp
15,000,000 1 10,000,000
2
2
Dana_Kesehatan_per_kapita Dana_Pendidikan_per_kapita
1 5,000,000 2 0
1 2 2,010
1 2 2,000
2
1 2 2,020
1
1
1 2,030
2,040
2,050
2,060
Tahun
Gambar 86. Dana pembangunan bidang kesehatan dan bidang pendidikan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang 5.4.3. Uji Validasi Uji validasi model dinamis dengan Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variation Error (AVE) tertera pada Gambar 87. Time 2,005
Validasi Model Dinamis dengan AME (Absolute Mean Error) AME = | Jumlah Ps - Jumlah Pi | / | Jumlah Pi | --> AME < 0,05 Ps = Nilai hasil simulasi Pi = Nilai faktual Variabel Alokasi Lahan Perumahan
Masukan_Simulasi
Kumulatif_Nilai_Simulasi
Kumulatif_Nilai_Faktual
5.61561e8
5.619e8
AME_Absolute_Mean_Error 0.000603
Masukan_Faktual
Nilai_Simulasi Kumulatif_Absolut_Faktual
Selisih_Absolut_Simulasi_Faktual
Nilai_Faktual
Jumlah_Pengamatan Batas_Penyimpangan_AME_dan_AVE
AME_Absolute_Mean_Error
Validasi Model Dinamis dengan AVE (Absolute Variation Error) AVE = | SD Ps - SD Pi | / | SD Pi | --> AVE < 0,05 SD Ps = Standar Deviasi hasil simulasi SD Pi = Standar Deviasi faktual Variabel Alokasi Lahan Perumahan
Time 2,005
AVE_Absolute_Variation_Error 0.000359
Kumulatif_Nilai_Simulasi
Kumulatif_Nilai_Faktual
5.61561e8
5.619e8
Nilai_Mean_Faktual
Nilai_Mean_Simulasi
Jumlah_Pengamatan
Jumlah_Pengamatan
Time 2,005
Kuadrat_Nilai_Simulasi_vs_Mean_Simulasi
Nilai_Mean_Simulasi 80,223,000.00
Nilai_Mean_Faktual 80,271,428.57
Kumulatif_Kuadrat_Simulasi Standar_Deviasi_Simulasi Jumlah_Pengamatan
6.25074e16 Masukan_Kuadrat_Simulasi Nilai_Simulasi
Mean_Simulasi
AVE_Absolute_Variation_Error
Kuadrat_Nilai_Faktual_vs_Mean_Faktual Jumlah_Pengamatan
Kumulatif_Kuadrat_Faktual
6.25524e16 Nilai_Faktual
Mean_Faktual
Masukan_Kuadrat_Faktual
Standar_Deviasi_Faktual
Gambar 87. Diagram Alir Uji Validasi AME dan AVE
247
Uji validasi model dinamis dengan Kalman Filter dan Koefisien Diskrepansi U Theil’s tertera pada Gambar 88. Validasi Model Dinamis dengan KF (Kalman Filter) KF = (SD Ps)^2 / [(SD Ps)^2 + (SD Pi)^2] --> 0,475 < KF < 0,525 (SD Ps)^2 = Variansi Nilai Simulasi (SD Pi)^2 = Variansi Nilai Faktual
Time
KF_Kalman_Filter
2,005
0.50
Standar_Deviasi_Simulasi
KF_Kalman_Filter
Standar_Deviasi_Faktual
Validasi Model Dinamis dengan KD (Koefisien Diskrepansi U-Theil's) KD = [ Jumlah (Ps-Ps.dT)^2-(Pi-Pi.dT)^2 . 1/n]^0.5 / (SD Pi - SD Ps) Ps = Nilai Simulasi ; Pi = Nilai Faktual ; dT = Diferensial Waktu SD Ps = Standar Deviasi Nilai Simulasi SD Pi = Standar Deviasi Nilai Faktual KD < 0,05 menyatakan grafik kurang tajam KD > 0,05 menyatakan grafik tajam sekali
Jumlah_Pengamatan
Masukan_Pembilang_KD Kumulatif_Pembilang_KD diferensial_Waktu
Nilai_Pembilang_KD
Nilai_Simulasi
Nilai_Faktual KD_Koefisien_Diskrepansi_U_Theils
Standar_Deviasi_Faktual
Time 2,005
KD_Koefisien_Diskrepansi_U_Theils 0.00
Nilai_Penyebut_KD Standar_Deviasi_Simulasi
Gambar 88. Diagram Alir Uji Validasi Kalman Filter dan Koefisien Diskrepansi U Theil’s Uji validasi model dinamis dengan Durbin Watson tertera pada Gambar 89. Validasi Model Dinamis dengan DB (Durbin Watson) DB = [Jumlah (Pi - Ps)^2 (t) - Jumlah (Pi - Ps)^2 (t-1)] / (Jumlah (Pi - Ps)^2 (t) Pi = Nilai Faktual Ps = Nilai Hasil Simulasi t = waktu pada t ; t-1 = waktu pada t-1 Nilai_Faktual Masukan_Faktual_vs_Simulasi_pada_t Kumulatif_Faktual_vs_Simulasi_pada_t
DB_Durbin_Watson Nilai_Simulasi
Masukan_Faktual_vs_Simulasi_pada_t_minus_1 Kumulatif_Faktual_vs_Simulasi_pada_t_minus_1 Nilai_Faktual_t_minus_1
Time 2,005
DB_Durbin_Watson 0.00
Nilai_Simulasi_t_minus_1
Gambar 89. Diagram Alir Uji Validasi Durbin Watson
248
Tingkat validitas parameter dan model diperoleh dari hasil perbandingan nilai hasil simulasi permodelan dinamis kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk lahan perumahan dengan nilai-nilai empiriknya. Ringkasan Validasi Model Dinamis Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan dapat dilihat pada Tabel 79. Tabel 79. Ringkasan Validasi Model Dinamis Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan (Studi Kasus : Kawasan Bandung Utara) No Variabel 1. Jumlah Penduduk 2. Pembangunan Rumah 3. Luas Terbangun Perumahan 4. Luas Kawasan Lindung 5. Dana Pembangunan Sumber : Hasil Perhitungan (2009)
AME 0,04020 0,01340 0,00078 0,00114 0,00109
AVE 0,0610 0,0522 0,0008 0,0009 0,0026
KF 0,469 0,473 0,500 0,500 0,499
KD 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
DB 0,0187 0,1111 0,0225 0,0165 0,5110
Hasil uji validasi model dinamis kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk lahan perumahan menunjukkan bahwa parameter-parameter jumlah rumah terbangun, jumlah penduduk, luas lahan terbangun perumahan, luas lahan kawasan lindung dan dana pembangunan memenuhi kriteria uji validasi AME (absolute mean error), AVE (absolute variation error), KF (Kalman filter), KD (koefisien diskrepansi) dan DB (Durbin Watson). Model dinamis kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk lahan perumahan dapat dijadikan acuan untuk memprediksi perubahan di masa depan serta dijadikan alat untuk pengambilan kebijakan berdasarkan nilai sensitivitas parameter dan model. 5.5. Analisis Kebijakan Pembangunan Perumahan Berkelanjutan di Zona Buruk Perumahan 5.5.1. Kebijakan Sektoral dari Resume Sensitivitas Parameter Hasil analisis sensitivitas parameter menunjukkan urutan tingkat sensitivitas parameter variabel terikat jumlah penduduk adalah migrasi masuk, kelahiran, migrasi keluar dan kematian. Variabel terikat jumlah rumah bergantung pada fraksi pengaruh pembangunan rumah terhadap kebutuhan lahan yang diperoleh dari data perbandingan luas 1:3:6 untuk rumah sederhana, sedang dan mewah serta luas kebutuhan lahan untuk infrastruktur, fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau, laju penambahan
249
jumlah rumah, fraksi pengaruh jumlah populasi terhadap pembangunan rumah sebesar 4 dan luas lahan terbangun awal.
Sensitivas variabel terikat luas lahan terbangun
perumahan bergantung pada penambahan lahan untuk pembangunan rumah baru. Sensitivitas variabel terikat luas lahan kawasan lindung bergantung pada konversi kawasan lindung untuk perumahan. Sensitivitas variabel terikat dana pembangunan bergantung pada pendapatan daerah dan dana penanggulangan bencana. Jumlah penduduk dapat dijadikan dasar kebijakan bagi Pemerintah Daerah untuk memprioritaskan program pengaturan migrasi ke Kawasan Bandung Utara bagi keberhasilan konservasi Kawasan Bandung Utara. Alokasi Lahan perumahan dapat dijadikan dasar kebijakan bagi Pemerintah Daerah untuk memprioritaskan program penyempurnaan standar penggunaan lahan di Kawasan Bandung Utara sehingga pembangunan berkelanjutan dapat tercapai dengan optimal. Jumlah rumah terbangun dapat dijadikan dasar kebijakan bagi Pemerintah Daerah untuk merevisi dan menyempurnakan penataan ruang (perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang) di Kawasan Bandung Utara dengan memanfaatkan instrumen teknologi (citra satelit dan sistem informasi geografis) serta instrumen hukum, perundangan, program insentif dis-insentif (izin mendirikan bangunan, pajak bumi dan bangunan). Luas kawasan lindung dapat dijadikan dasar kebijakan bagi Pemerintah Daerah untuk memprioritaskan perbaikan program pengendalian konversi kawasan lindung menjadi perumahan dan penggunaan lain sehingga dapat mengurangi jumlah bencana banjir dan longsor. Dana pembangunan dapat dijadikan dasar kebijakan bagi Pemerintah Daerah untuk memprioritaskan program pencegahan bencana longsor dan banjir serta program peningkatan pendapatan daerah sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat secara bermakna di masa depan. Ringkasan sensitivitas parameter dapat dilihat pada Tabel 80.
250
Tabel 80. Ringkasan Sensitivitas Parameter Variabel Terikat Variabel Bebas No 1. Jumlah Populasi Natalitas Mortalitas In Migrasi Out Migrasi 2. Jumlah Rumah Penambahan Terbangun jumlah rumah Pembangunan rumah baru
3. Luas Lahan Terbangun
Penambahan populasi Fraksi pembangunan rumah vs populasi Lahan terbangun awal Fraksi lahan vs rumah Penambahan lahan terbangun
Lahan untuk pembangunan rumah baru Luas wilayah studi
4. Luas Lahan Lindung
Lahan budidaya awal belum terbangun lahan lindung awal belum terbangun Konversi Kawasan Lindung oleh perumahan
Nilai Sensitivitas
Satuan
Populasi*rate natalitas Populasi* rate mortalitas Populasi*rate inmigrasi Populasi*rate outmigrasi Pembangunan rumah baru Penambahan populasi)/fraksi pembangunan rumah vs populasi Natalitas+inmigrasimortalitas-outmigrasi 4
org /thn org /thn org /thn org /thn rmh/thn
org/th m2
(1456,87+171,22)*10000 (1*2000+3*600+6*54)/ 10*0,72 IF(luas lahan terbangun<=luas wilayah studi,lahan untuk pembangunan rumah baru,0) Pembangunan rumah baru*Fraksi lahan vs rumah (lahan budidaya awal belum terbangun+lahan lindung awal belum terbangun+lahan terbangun awal) (11583.191456.877022)*10000
m2/org
(6385,99171,224315)*10000 IF (luas lahan kawasan budidaya >=0,0, IF (luas lahan kawasan lindung >=0,lahan untuk pembangunan rumah baru,0))
m2
m2
m2 m2
m2
m2
251
Tabel 80. (Lanjutan) Variabel Terikat No
Variabel Bebas
Nilai Sensitivitas
Satuan
Luas lahan kawasan budidaya
(lahan budidaya awal belum terbangunkawasan perairan dilahan budidaya)-(konversi lahan budidaya untuk perumahan)Δt 135,0338742*10000
m2
(lahan lindung awal belum terbangunkawasan perairan dilahan lindung-(konversi lahan lindung untuk perumahan)Δt 74,4461258*1000
m2
(dana pembangunan*rate pendapatan daerah) Δt frekuensi banjir*fraksi dana bencana vs banjir+frekuensi longsor*fraksi dana bencana vs longsor
Rp/thn
Kawasan perairan dilahan budidaya Luas lahan kawasan lindung
5. Dana Pembangunan
Kawasan perairan dilahan budidaya Pendapatan Daerah Dana penanggulangan Bencana
Kebijakan-kebijakan
sektoral
yang
perlu
dilakukan
untuk
m2
m2
mendukung
pembangunan perumahan yang berkelanjutan dan melindungi kawasan lindung di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang berdasarkan hasil perhitungan sensitivitas parameter, adalah : 1. Kebijakan yang terkait dengan pengendalian laju pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara dengan memanfaatkan instrumen teknologi citra satelit dan sistem informasi geografis khususnya dalam mengimplementasikan pembangunan perumahan di zona yang baik untuk perumahan dan mengimplementasikan instrumen hukum, perundangan, program insentif dis-insentif bagi pembangunan perumahan yang berkelanjutan.
252
2. Kebijakan standar penggunaan lahan perumahan per orang yang efisien, efektif tetapi optimal untuk menekan laju pembangunan perumahan serta laju limpasan air permukaan. 3. Kebijakan pengendalian konversi lahan kawasan lindung yang lebih cepat, tepat, mudah dan murah memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi. 4. Kebijakan yang terkait dengan jumlah penduduk di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang ditekankan pada pembatasan migrasi masuk untuk menetap karena nilai sensitivitas migrasi masuk terbesar terhadap jumlah penduduk dibandingkan variabel-variabel kelahiran, kematian dan migrasi keluar. 5. Kebijakan meningkatkan pendapatan daerah melalui kegiatan yang memanfaatkan keunggulan wilayah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang serta mengalokasikan dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat mengurangi bencana banjir dan longsor. 5.5.2. Urutan Kebijakan dari Ringkasan Sensitivitas Model Urutan tingkat sensitivitas model kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan di Kawasan Bandung Utara adalah variabel jumlah rumah terbangun, jumlah penduduk, luas lahan terbangun perumahan, luas kawasan lindung dan dana pembangunan. Ringkasan sensitivitas model untuk model dinamis kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk lahan perumahan dapat dilihat pada Tabel 81. Kebijakan yang harus diimplementasikan secara siklus dan kontinyu agar terwujud pembangunan perumahan yang berkelanjutan serta terwujudnya konservasi kawasan lindung di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang berdasarkan uji sensitivitas model adalah sebagai berikut: 1. Tahap pertama merevisi dan menyempurnakan penataan ruang dengan memanfaatkan instrumen teknologi (citra satelit dan sistem informasi geografis) serta instrumen hukum, perundangan, program insentif dis-insentif (izin mendirikan bangunan, pajak bumi dan bangunan) untuk mengendalikan laju pembangunan perumahan. 2. Tahap kedua mengimplementasikan kebijakan alokasi lahan perumahan yang proporsional di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang untuk menekan laju pembangunan perumahan.
253
3. Tahap ketiga mengimplementasikan kebijakan pengaturan keluar masuknya orang untuk tinggal di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang untuk mengendalikan laju pertambahan jumlah penduduk. 4. Tahap keempat mengimplementasikan kebijakan alokasi lahan kawasan lindung yang ketat di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang untuk menghentikan kegiatan konversi lahan kawasan lindung menjadi lahan perumahan dan kegiatan lain. 5. Tahap kelima mengimplementasikan kebijakan alokasi dana pembangunan yang memiliki visi dan misi untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui keunggulan wilayah di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang serta mengalokasikan dana untuk kegiatan-kegiatan yang dapat mengurangi bencana banjir dan longsor akibat pembangunan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. 6. Tahap keenam kembali ke tahap pertama dengan melakukan perbaikan dan penyempurnaan sehingga kegiatan pembangunan dapat berkelanjutan dan menjadi lebih baik dan sempurna. Tabel 81. Ringkasan Sensitivitas Model Dinamis Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan No Variabel Terikat Nilai Sensitivitas Satuan 1. Jumlah Populasi org/tahun 190660* (-outmigrasi) Δt + Δt (inmigrasi) (-mortalitas) Δt + (natalitas) Δt Lahan terbangun awal/fraksi lahan 2. Jumlah Rumah Terbangun rmh/thn vs rumah + (penambahan jumlah rumah) Δt
3. Luas Lahan Terbangun
4. Luas Lahan Kawasan Lindung
5. Dana Pembangunan
Lahan terbangun awal+(Penambahan lahan terbangun) Δt (Lahan lindung awal belum terbangun-kawasan perairan di lahan lindung- (konversi lahan kawasan lindung untuk perumahan) Δt (pendapatan daerahΔt -dana penanggulangan bencana Δt )
m2/tahun m2/tahun
Rp/thn
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan (studi kasus : Kawasan Bandung Utara) adalah : 1. Luas lahan eksisting yang digunakan untuk lahan perumahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang seluas 2.228,64 Ha. Hasil analisis spasial zona kesesuaian lahan untuk perumahan menunjukkan sebagian besar (68,20%) luas lahan daerah penelitian tergolong zona buruk untuk perumahan dan hampir setengahnya (45,90%) luas perumahan terbangun berada pada zona buruk untuk perumahan. 2. Faktor terbesar yang mempengaruhi pemilihan lokasi perumahan di zona buruk
untuk perumahan adalah faktor fisik lingkungan yaitu : luas lahan (1,32) diikuti dengan panorama indah dan sejuk (1,29), aksesibilitas yang baik (1,28), kedekatan dengan tempat kerja atau lainnya (1,17). Walaupun, sebagian besar responden (54,7%-74,6%) telah mendapatkan informasi tentang konservasi di Kawasan Bandung Utara dan kemampuan lahan serta kesesuaian lahan untuk perumahan, tetapi responden tidak mempertimbangkan kemampuan dan kesesuaian lahan untuk perumahan, tidak peduli pada perbandingan luas tutupan lantai rumah dengan luas lahan serta tidak memperhatikan konstruksi rumah tahan gempa 3. Pembangunan perumahan di zona buruk untuk perumahan di Kawasan Bandung Utara berdampak pada meningkatnya volume lalu lintas dan menurunnya kinerja jalan di sepanjang koridor jalan Lembang-Cimenyan– Cilengkrang dengan kategori D,E,F (>0,85); menurunnya kualitas udara dan kebisingan di atas baku mutu ; menurunnya kualitas air; meningkatnya kuantitas air yang menimbulkan bencana banjir dan longsor; menurunnya kesuburan tanah; berkurangnya keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang merusak ekosistem dan perubahan nilai jasa lingkungan yang menurunkan kenyamanan dan keindahan lingkungan. 4. Simulasi model kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan menunjukkan pertambahan luas lahan terbangun perumahan berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan lingkungan akibat pencemaran air dan udara, menurunnya ketersediaan produksi pertanian perkapita dan ketersediaan biomassa
255
hutan lindung, menurunnya keragaman hayati (biodiversity), menurunnya nilai keindahan serta kenyamanan lingkungan, meningkatnya frekuensi banjir dan frekuensi longsor. Lahan di kawasan budidaya akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2047 dan lahan di kawasan lindung akan habis digunakan untuk perumahan pada tahun 2058 jika kecenderungan tingkat perubahan fenomena pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara tetap seperti pengamatan sebelum penelitian ini dilakukan (sebelum tahun 2007). Dana pembangunan untuk menanggulangi kerusakan lingkungan meningkat sehingga dana pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan yang diterima penduduk akan lebih rendah dibandingkan dengan dana bencana. Model dinamis kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk lahan perumahan memenuhi kriteria validasi AME (absolute mean error), AVE (absolute variation error), KF (Kalman filter), KD (koefisien diskrepansi) dan DB (Durbin Watson) sehingga dapat dijadikan acuan untuk prediksi di masa depan serta acuan untuk menyusun kebijakan penggunaan lahan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang. 5. Pilihan
kebijakan-kebijakan
untuk
mendukung
pembangunan
perumahan
berkelanjutan di Kecamatan Lembang, Cimenyan dan Cilengkrang, adalah: a. Kebijakan yang memperkuat kapasitas pengendalian pemanfaatan ruang untuk perumahan yang didukung oleh kombinasi : SIG, teknologi citra satelit dan GPS sehingga instrumen hukum, peraturan dan perundang-undangan penataan ruang dapat berfungsi dengan cepat, tepat, mudah dan optimal. b. Kebijakan pengaturan keluar masuknya orang untuk mengendalikan laju pertambahan jumlah penduduk yang ditekankan pada pembatasan migrasi masuk untuk menetap karena nilai sensitivitas migrasi masuk tergolong terbesar terhadap jumlah penduduk dibandingkan variabel-variabel kelahiran, kematian dan migrasi keluar. c. Kebijakan standar penggunaan lahan perumahan per orang yang efisien, efektif tetapi optimal untuk menekan laju pembangunan perumahan serta laju limpasan air permukaan. d. Kebijakan pengendalian pemanfaatan lahan kawasan lindung yang ketat dari konversi lahan kawasan lindung menjadi lahan perumahan atau kegiatan lain
256
(pertanian, perkebunan dan lainnya) menggunakan teknologi SIG, citra satelit dan GPS agar penyimpangan (deviasi) pemanfaatan lahan kawasan lindung dapat diantisipasi secara dini dengan cepat, tepat, mudah. e. Kebijakan peningkatan pendapatan daerah melalui program insentif dis-insentif berupa pajak restribusi perumahan, IMB dan subsidi pengusaha dengan mengalokasikan dana pembangunan untuk kegiatan yang dapat mengurangi bencana banjir dan longsor.
6.2. Rekomendasi Rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah : 1. Penataan ruang ditekankan pada upaya preservasi lahan yang buruk untuk lahan perumahan dengan didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peralatan
dan
pendanaan
untuk
program
pembangunan
perumahan
berkelanjutan di Kawasan Bandung Utara. 2. Pengendalian pemanfaatan ruang disarankan ditingkatkan melalui program peningkatan kesadaran para pelaku pembangunan akan pentingnya konservasi Kawasan Bandung Utara untuk pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di masa depan. Kegiatan preventif dilakukan dengan meniadakan perizinan pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara. Kegiatan kuratif dengan membongkar perumahan yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan serta tidak mentaati ketentuan 20 % Building Coverage Ratio (BCR). 3. Pengelolaan lingkungan perumahan dapat berhasil dengan baik jika Pemerintah Daerah memprioritaskan kebijakan perbaikan kinerja tingkat pelayanan jalan dengan meningkatkan kapasitas jalan, rasio volume dan kecepatan kendaraan melalui penambahan lajur jalan dan lebar jalan. Limbah rumah tangga dikelola secara partisipatif oleh masyarakat dan disubsidi oleh para pengusaha serta dikoordinasikan dan difasilitasi oleh Pemerintah Kecamatan dan Desa. Kondisi tanah dengan tingkat kesuburan yang rendah diarahkan untuk memiliki tutupan lahan bervegetasi (dihutankan) tetapi tidak untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan (agar tingkat erosi tidak besar dan efisiensi sumber daya lahan). Lahan perumahan yang telah terbangun diwajibkan pada lahan terbukanya
257
ditanami pohon berkayu keras (angsana, asam kranji, flamboyan) dengan pupuk N, P, K dan pemberian kapur dengan dolomit pada ujung kanopi pohon terluar (karena kandungan Al yang tinggi) serta pemberian pupuk kandang (memperbaiki struktur tanah, sebagai sumber hara makro dan mikro serta sebagai water holding capacity). Pengendalian kebisingan dengan menanami pohon Bougenvile. Pengendalian debu (suspended particulate matter) dengan menanami pohon sejenis semak dan perdu dengan ketinggian 2 meter serta menyirami jalan secara periodik yang dilakukan secara sinergis oleh para pemangku kepentingan. Pengendalian Pb (timbal), CO, NOx, O3, SO2 dan HC pada tingkat lokal dengan program penanaman pohon. Pelestarian flora dan fauna ditingkatkan melalui program kampanye melalui poster di kantor pelayanan umum terdekat, brosur yang disebarkan ke setiap rumah penduduk dan program pengabdian masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya flora dan fauna bagi ekosistem Kawasan Bandung Utara yang dilakukan oleh kalangan pemerintah daerah, perguruan tinggi atau pihak swasta. 4. Pemanfaatan hasil model dinamis kajian perubahan lingkungan di zona buruk perumahan di Kawasan Bandung Utara disarankan untuk dijadikan sebagai salah satu sumber naskah akademik bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam menyusun atau merevisi hukum dan perundangan tentang PSDA (pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan) serta penataan ruang (perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang). 5. Konservasi Kawasan Bandung Utara dapat berhasil dengan baik jika Pemerintah Daerah memprioritaskan kebijakan penetapan standar khusus dan pengendalian penggunaan lahan untuk perumahan dilanjutkan dengan pengendalian migrasi ke Kawasan Bandung Utara, pengendalian ketat konversi penggunaan lahan kawasan lindung menjadi perumahan dan penggunaan lain serta upaya-upaya terpadu untuk meningkatkan alokasi dana pembangunan melalui peningkatan pendapatan daerah serta melakukan program-program penurunan bencana longsor dan banjir sehingga dana bencana dapat ditekan sekecil mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, A.M. 1992. Studi Tipologi Kabupaten. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Anonimous. 1979. Guidelines for Rural Centre Planning. ESCAP DHV Consulting Enggineers. New York. _______. 1994. GIS by ESRI. Environmental Systems Research Institute, Inc.USA. ________. 2006. Peraturan Perundangan-Undangan. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. _________. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007, Tentang
Penataan Ruang. Jakarta. Arikunto, S. 2002. Metode Penelitian. CV Rajawali. Jakarta. Armstrong, H. and J. Taylor. 1993. Regional Economics and Policy. T.J. Press Ltd, Padstow, Comwall. Aronoff, S. 1989. Geographic Information System : A Management Perspective. WDL Publications, Ottawa. Canada. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1997. Himpunan Peraturan di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat . 2001. Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bandung Utara. Bandung. Bappeda Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. 1986. Kabupaten Bandung Dalam Angka 1985-1986. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 1995. Kabupaten Bandung Dalam Angka 1995. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2000. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2000. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2001. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2001. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
259
_________. 2002 a. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2002. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2002b. Basis Data Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung 2002. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2003a. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2003. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2003b. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2003 Publikasi Hasil Suseda 2003. BPS dan Bapeda Kabupaten Bandung. _________. 2003c. Basis Data Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung 2003. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2004a. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2004. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2004b. Basis Data Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung 2004. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2005a. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2005. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2005b. Basis Data Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung 2005. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. _________. 2006. Basis Data Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung 2006. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Barlowe, R. 1986. Land Resource Economics. Fourth Edition. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Bintarto, R. dan S. Hadisumarno. 1982. Metoda Analisa Geografi. Penerbit LP3ES. Jakarta Burrough, P.A. 1986. Principles of Geografical Information System for Land Resources Assesment. Clarendanpress, Oxford Chadwick, G. 1980. A System View Of Planning. Pergamon Press. New York. Catanese, A. 1988. Urban Planning, McGraw-Hill, Inc. New York. Chapin, F.S. 1995. Urban Landuse Planning, University of Illinois Press. London. Chiara, J. 1990. Standard Perencanaan Tapak. Erlangga. Jakarta.
260
Cochran, W.G. 1991, Teknik Penarikan Sampel. UI-Press. Jakarta Crowther, R. 1992. Ecologic Architecture. Butterworth-Heinemann. USA Darsihardjo. 2004. Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan di Daerah Hulu Sungai Cikapundung Bandung Utara. IPB. Bogor. Departemen Pekerjaan Umum. 1981. Penjelasan Materi Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bertingkat. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. _________. 1989a. Metode Pengambilan Contoh Uji Kualitas Air.Yayasan LPMB. Bandung. _________. 1989b. Metode Pengujian Kualitas Fisika Air. Yayasan LPMB. Bandung. Diamond, R. 1983. Aspect of Land Economics. The Estate Gazelte. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. 2002.a Laporan Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Tahun 2002. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Bandung. _________. 2002b. Laporan Basis Data Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Tahun 2002. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Bandung. Djuanda, O. 1988. Penentuan Lokasi Kawasan Potensial Bagi Pengembangan Perumahan Karyawan PT IPTN Bandung. ITB. Bandung . Firmansyah. 1991. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Perumahan Bagi Karyawan Pemda Kabupaten Bandung. ITB. Bandung. Gordon, G. 1989. System Simulation. Prentice-Hall, New Delhi. India Grant. W.E., E.K. Pedersen and S.L. Marin. 1996. Ecology and Natural Resource Management : System Analysis and Simulation. John Wiley and Sons, Inc. Canada. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 1999. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Herina, S. 2006. Kegagalan Pondasi Bangunan Akibat Pencairan Tanah pada saat Kejadian Gempa. Jurnal Permukiman I (3) : 37-45. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Departemen Kimpraswil. Bandung.
261
Hidayat. 1999. Kewenangan Administratif dalam Pengelolaan Lingkungan Kawasan Lindung di Wilayah Bandung Utara. UNPAD. Bandung. Ikhya. 2003. Analisis Stabilisasi Lereng dengan Tiang (Studi Kasus : Kelongsoran Lereng Mutiara Central Plant VICO). Jurnal Teknik Sipil I (2) : 24-36. ITENAS. Bandung. Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB. Bandung. Jumikis, A.R. 1962. Soil Mechanics. Intensity lines in Civil Engineering. Van Mostrand Company Ltd. London. Kecamatan Cilengkrang. 2006. Profil Kecamatan Cilengkrang. Bandung Kecamatan Cimenyan. 2006. Profil Kecamatan Cimenyan. Bandung Kecamatan Lembang. 2006. Profil Kecamatan Lembang. Bandung Komalasari, R. 1998. Penggunaan Pasir Dolomit dengan Aliran Kontinyu Melalui Media Berbutir untuk Penyisihan Mangan (Studi Kasus : Instalasi Mini Plant Cibeureum). ITB. Bandung. Kuswara. 2004. Penataan Sistem Perumahan dan Permukiman dalam Rangka Gerakan Nasional Pengembangan Satu Juta Rumah. Jurnal Permukiman XX (1): 9-16. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Departemen Kimpraswil. Bandung. LPM ITB bersama Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. 1997. Analisis Dampak Lingkungan Regional Bandung Utara, LPM ITB. Bandung. Medawati. 1996. Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran Udara di Kawasan Permukiman. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. ________. 1997. Pengendalian Pencemaran Udara dan Kebisingan di Lingkungan Permukiman. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. Muhammadi, E. Aminullah dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis, UMJ Press. Jakarta. Nakazawa, K dan S.Sosrodarsono. 1984. Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, Pradnya Paramita. Jakarta Nasir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
262
Nash, K.L. 1951. The Elements of Soil Mechanics, in Theory and Practices. Gristabh and Company. London. Pakpahan, P. 1999. Upaya Pelestarian Kawasan Resapan Air di Wilayah Bandung Utara. ITB. Bandung. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. 1982. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukkan Lahan di Wilayah Bandung Utara. _________. 1994a. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 593.82/1174-Bapp/1994 tentang Permohonan Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah di Kawasan Bandung Utara. _________. 1994b. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 53.82/1221-Bapp/1994 tentang Pengendalian Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara. _________. 2006. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. 2001. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung. Pemerintah Kabupaten Bandung. _________. 2008. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2007 sampai Tahun 2027. Pemerintah Kabupaten Bandung. Porteous, J. Douglas. 1981. Environment and Behavior Planning and Everyday Urban Life. Reading Addison Wesley Publishers Company. Prihandono. 1996. Model Pengendalian Pencemaran Air Limbah Rumah Tangga Non-Kakus dengan Sistem Biofilter. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. 2000. Model Pengendalian Stabilitas Aliran Mantap atau (Air) Tata Ruang Permukiman di Bandung Utara. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. Rabinowitz, H.Z. 1988. Real Estate Planning In : Catanese, A., Urban Planning, page 292- 316. McGraw-Hill, Inc. New York. Rapoport, A. 1980. Human Aspects in Urban Form-Towards a Man-Environment Approach to Urban Form and Design. Pergamon Press. New York.
263
Richardson, W and W. Harry. 1969. Regional Economics : Location Theory, Urban Structure and Regional Change. Praeger. New York. _________. 1977. Urban Economics. The Dryden Press. Illinois. Roberts, T.H. 1988. Landuse Planning In A. Catanese. Urban Planning, page 266291. McGraw-Hill, Inc. New York. Rushton, G., 1979. Optimal Location of Facilities. COMPress, Inc, Wentworth. Ruhaimah, H.B. 1987. Pola Penggunaan Lahan di Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung Bandung Utara. UNPAD. Bandung. Saeed, K.1981. Modelling With System Dynamics Approach. Mc Graw Hill. Schnoor, J.L. 1996. Environmental Modelling (Fate and Transport of Pollutans in Water, Air and Soil). John Wiley and Sons Inc. Canada. Siahaan, R. 2004. Pengendalian Indeks Konservasi Lahan dalam Pembangunan Permukiman. Jurnal Permukiman XX (1): 46-54. Pusat Penelitian Pengembangan dan Permukiman. Departemen Kimpraswil. Bandung Siregar, C.A. 2003. Analisis Distribusi Tegangan Akibat Beban Pondasi sebagai Fungsi dari Ukuran Pondasi. Jurnal Teknik Sipil I (2): 1-8. ITENAS. Bandung. Sitorus, S.R.P. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung. _________. 2003. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Situmorang, E. 2004. Kajian Teknologi Pengembalian Fungsi Hidrologis Lahan Perumahan di Kawasan Konservasi Inti Bandung Raya Utara. ITB, Bandung. Soemarwoto, O. 1991. Analisis Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Rineka Cipta. Jakarta Suratmo, F.G. 2002. Analisis Mengenai Dampak lingkungan. Gadjahmada University Press. Jogyakarta.
264
Tomlinson, R.F. 1987. Geographic Information System a new frontier. In : D.J. Peuquet and D.F. Marble (Editors). Introductory Readings in Geographic Information Systems. Taylor & Francis. London. Talkurputra, M.N.D. 1999. Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Pembangunan Wilayah. Kongres Nasional HITI. Bandung. Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Departemen Pertanian. Bogor. Tim Penyusun Agenda 21 Sektoral. 2001. Agenda Permukiman untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta Utami, K. 1990. Pengelompokkan Masalah Lingkungan, Wilayah Bandung Utara Sehubungan dengan Fungsi Ekologisnya sebagai Wilayah Peresapan Air tanah. ITB. Bandung. United States Departement of Agriculture (USDA). 1971. Guide for Interpreting Engineering Uses of Soil. SCS-USDA. Washington. Vernor, J. 1985. Readings in Real Estate Market Research. American Institute of Real Estate. Chichago.
Lampiran 1. Peta Tekstur Tanah di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
Lampiran 2. Peta Kelas Lereng di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
Lampiran 3. Peta Keadaan Drainase di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
Lampiran 4. Peta Kedalaman Efektif Tanah di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
Lampiran 5. Peta Erosi Tanah di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
Lampiran 6. Peta Keadaan Batuan Kerikil dan Batuan Kecil di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
Lampiran 7. Peta Ancaman Banjir di Kecamatan Cilengkrang, Cimenyan dan Lembang Kabupaten Bandung
272
Lampiran 8. Model Diagram Alir dan Persamaan Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan dengan Powersim Versi 2.5C Rate_InMigrasi
Rate_OutMigrasi OutMigrasi
InMigrasi
Mortalitas
Natalitas
Populasi Penambahan_Populasi
Rate_Mortalitas
Rate_Natalitas InMigrasi
OutMigrasi
Pembangunan_Rumah_Baru
Fraksi_Pembangunan_Rumah_vs_Populasi Jumlah_Rumah_yang_Terbangun
Penambahan_Jumlah_Rumah
Lahan_Terbangun_Awal Lahan_untuk_Pembangunan_Rumah_Baru Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Pembangunan_Rumah_Baru Luas_Wilayah_Studi Penambahan_Lahan_Terbangun
Lahan_Terbangun_Awal Luas_Lahan_Terbangun
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun
Konversi_Lahan_Budidaya_untuk_Perumahan
Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya an_untuk_Pembangunan_Rumah_Baru Lahan_Lindung_Awal_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan Kawasan_Perairan_di_Lahan_Lindung Lahan_Terbangun_Awal Lahan_Lindung_Awal_Belum_Terbangun
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Luas_Wilayah_Studi Luas_Lahan_Terbangun
Rasio_Lahan_Terbangun_terhadap_Wilayah_Studi Luas_Wilayah_Studi
Rasio_Lahan_Belum_Terbangun_terhadap_Wilayah_Studi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun
273
Lampiran 8. (Lanjutan)
Pembangunan_Rumah_Baru
Pembangunan_Rumah_Baru
Fraksi_Rumah_vs_smp
Fraksi_Rumah_vs_smp
Konstanta_pagi
smp_pagi Konstanta_Siang
Luas_Lahan_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun
Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Pembangunan_Rumah_Baru
Pembangunan_Rumah_Baru
Fraksi_Rumah_vs_smp
Fraksi_Rumah_vs_smp
smp_sore
Konstanta_Sore
smp_siang
Konstanta_Malam
smp_malam
Luas_Lahan_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun
Fraksi_Lahan_vs_Rumah
Fraksi_Lahan_vs_Rumah
smp_pagi
O3_pg NOx_pg
SO2_pg
Fraksi_smp_vs_O3_pg Fraksi_smp_vs_NOx_pg
SPM_pg
CO_pg
HC4_pg
Non_HC_pg
Noise_pg
Fraksi_smp_vs_CO_pg Fraksi_smp_vs_HC4_pg Fraksi_smp_vs_Noise_pg
Fraksi_smp_vs_Non_HC_pg Fraksi_smp_vs_SO2_pg Fraksi_smp_vs_SPM_pg smp_siang Noise_sng
NOx_sng
O3_sng
SO2_sng CO_sng
SPM_sng
HC4_sng
Non_HC_sng
Fraksi_smp_vs_NOx_sng Fraksi_smp_vs_SO2_sngFraksi_smp_vs_SPM_sng Fraksi_smp_vs_Non_HC_sng
Fraksi_smp_vs_O3_sng
Fraksi_smp_vs_CO_sng Fraksi_smp_vs_HC4_sng Fraksi_smp_vs_Noise_sng
274
Lampiran 8. (Lanjutan)
smp_sore Noise_sore
NOx_sore
O3_sore
SO2_sore
CO_sore
SPM_sore
HC4_sore
Non_HC_sore
Fraksi_smp_vs_NOx_soreFraksi_smp_vs_SO2_soreFraksi_smp_vs_SPM_sore Fraksi_smp_vs_Non_HC_sore Fraksi_smp_vs_O3_sore Fraksi_smp_vs_CO_soreFraksi_smp_vs_HC4_sore Fraksi_smp_vs_Noise_sore smp_malam Noise_malam
Ox_malam
O3_malam
SO2_malam
CO_malam
SPM_malam
Non_HC_malam HC4_malam
Fraksi_smp_vs_NOx_malamFraksi_smp_vs_SO2_malam Fraksi_smp_vs_Non_HC_malam Fraksi_smp_vs_SPM_malam Fraksi_smp_vs_O3_malam Fraksi_smp_vs_CO_malam Fraksi_smp_vs_Noise_malam Fraksi_smp_vs_HC4_malam NOx_pgIndeks_NOx_pagi
O3_pg Indeks_O3_pagi
SO2_pgIndeks_SO2_pagi
Indeks_Noise_pagi Noise_pg
Indeks_Non_HC_pagiNon_HC_pg
Indeks_Kualitas_Udara_Pagi
CO_pg Indeks_CO_pagi NOx_sngIndeks_NOx_siang
O3_sng Indeks_O3_siang
SO2_sngIndeks_SO2_siang
CO_sng Indeks_CO_siang
Indeks_HC4_pagi
HC4_pg
Indeks_SPM_pagi
SPM_pg
Indeks_Noise_siang
Noise_sng
Indeks_Non_HC_siang Non_HC_sng
Indeks_HC4_siang
HC4_sng
Indeks_Kualitas_Udara_Siang Indeks_SPM_siang
SPM_sng
275
Lampiran 8. (Lanjutan)
Indeks_NOx_malam NOx_malam Indeks_O3_malam O3_malam Indeks_SO2_malam SO2_malam Indeks_CO_malam CO_malam
Indeks_Kualitas_Udara_malam Indeks_SPM_malam
SPM_malam Indeks_HC4_malam HC4_malam Indeks_Non_HC_malam Non_HC_malam Indeks_Noise_malam Noise_malam Indeks_NOx_sore NOx_sore Indeks_O3_sore O3_sore Indeks_SO2_sore SO2_sore Indeks_CO_sore CO_sore
Indeks_Kualitas_Udara_Sore Indeks_SPM_sore
SPM_sore Indeks_HC4_sore HC4_sore Indeks_Non_HC_sore Non_HC_sore Indeks_Noise_sore Noise_sore
Bobot_Pencemaran_Udara Indeks_Kualitas_Udara_Pagi
Indeks_Kualitas_Udara_Siang Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Udara Indeks_Kualitas_Udara_Sore
Indeks_Kualitas_Udara_malam
Mortalitas
Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_Udara
Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Udara
Lampiran 8. (Lanjutan)
276
Fraksi_TDS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi TDS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun TDS_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_TDS_Lahan_Terbangun_pagi TDS_Lahan_Terbangun_pagi TDS_di_Hilir_Sungai_pagi TDS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
at_Padat_Tersuspensi_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Belum_Terbangu Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun
Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_pagi
aksi_Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_pagi
Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_pagi Zat_Padat_Tersuspensi_di_Hilir_pagi _Padat_Tersuspensi_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Kekeruhan_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Kekeruhan_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Kekeruhan_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Kekeruhan_Lahan_Terbangun_pagi
Kekeruhan_Lahan_Terbangun_pagi Kekeruhan_di_Hilir_Sungai_pagi Kekeruhan_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Temperatur_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Temperatur_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Temperatur_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Temperatur_Lahan_Terbangun_pagi
Temperatur_Lahan_Terbangun_pagi Temperatur_di_Hilir_Sungai_pagi Temperatur_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Lampiran 8. (Lanjutan)
277
Fraksi_Warna_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Warna_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun Warna_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Warna_Lahan_Terbangun_pagi Warna_Lahan_Terbangun_pagi Warna_di_Hilir_Sungai_pagi Warna_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Terbangun_pagi Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Terbangun_pagi Daya_Hantar_Listrik_di_Hilir_Sungai_pagi Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun Besi_Fe_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Besi_Fe_Lahan_Terbangun_pagi Besi_Fe_Lahan_Terbangun_pagi Besi_Fe_di_Hilir_Sungai_pagi Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Kesadahan_CaCO3_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Kesadahan_CaCO3_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun Kesadahan_CaCO3_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Kesadahan_CaCO3_Lahan_Terbangun_pagi Kesadahan_CaCO3_Lahan_Terbangun_pagi Kesadahan_CaCO3_di_Hilir_Sungai_pagi Kesadahan_CaCO3_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Luas_Lahan_Belum_Terbangun
pH_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Luas_Lahan_Terbangun pH_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_pH_Lahan_Terbangun_pagi pH_Lahan_Terbangun_pagi pH_di_Hilir_Sungai_pagi pH_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Phenol_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Phenol_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Luas_Lahan_Terbangun Phenol_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Phenol_Lahan_Terbangun_pagi Phenol_Lahan_Terbangun_pagi Phenol_di_Hilir_Sungai_pagi Phenol_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Lampiran 8. (Lanjutan)
278
Fraksi_Minyak_dan_Lemak_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Minyak_dan_Lemak_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Minyak_dan_Lemak_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Minyak_dan_Lemak_Lahan_Terbangun_pagi
Minyak_dan_Lemak_Lahan_Terbangun_pagi Minyak_dan_Lemak_di_Hilir_pagi Minyak_dan_Lemak_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_MBAS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi MBAS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun MBAS_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_MBAS_Lahan_Terbangun_pagi
MBAS_Lahan_Terbangun_pagi MBAS_di_Hilir_Sungai_pagi MBAS_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Terbangun_pagi
Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Terbangun_pagi Zat_Organik_KMnO4_di_Hilir_Sungai_pagi Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_BOD_Lahan_Belum_Terbangun_pagi BOD_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun BOD_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_BOD_Lahan_Terbangun_pagi
BOD_Lahan_Terbangun_pagi BOD_di_Hilir_Sungai_pagi BOD_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_COD_Lahan_Belum_Terbangun_pagi COD_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun COD_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_COD_Lahan_Terbangun_pagi
COD_Lahan_Terbangun_pagi COD_di_Hilir_Sungai_pagi COD_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Fraksi_Amonia_NH3_N_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Amonia_NH3_N_Lahan_Belum_Terbangun_pagi Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Amonia_NH3_N_Lahan_Terbangun_pagi Fraksi_NH3_N_Lahan_Terbangun_pagi Amonia_NH3_N_Lahan_Terbangun_pagi Amonia_NH3_N_di_Hilir_pagi Amonia_NH3_N_Lahan_Belum_Terbangun_pagi
Lampiran 8. (Lanjutan)
279
Indeks_TDS_pagi_di_hilir_sungai
TDS_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_Zat_Padat_Tersuspensi_pagi_di_hilir_sungai Zat_Padat_Tersuspensi_di_Hilir_pagi
Kekeruhan_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_Kekeruhan_pagi_di_hilir_sungai
Temperatur_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_Temperatur_pagi_di_hilir_sungai
Warna_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_Warna_pagi_di_hilir_sungai
Daya_Hantar_Listrik_di_Hilir_Sungai_pagiIndeks_Daya_Hantar_Listrik_pagi_di_hilir_sungai
Indeks_Besi_Fe_pagi_di_hilir_sungai
Besi_Fe_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_Kualitas_Air_Sungai_pagi_di_hillir
Kesadahan_CaCO3_di_Hilir_Sungai_pagi Indeks_Kesadahan_CaCO3_pagi_di_hilir_sungai
pH_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_pH_pagi_di_hilir_sungai
Phenol_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_Phenol_pagi_di_hilir_sungai
Minyak_dan_Lemak_di_Hilir_pagi
Indeks_Minyak_dan_Lemak_pagi_di_hilir_sungai
MBAS_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_MBAS_pagi_di_hilir_sungai
Zat_Organik_KMnO4_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_KMn4_pagi_di_hilir_sungai
BOD_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_BOD_pagi_di_hilir_sungai
COD_di_Hilir_Sungai_pagi
Indeks_COD_pagi_di_hilir_sungai Indeks_NH3N_pagi_di_hilir_sungai
Amonia_NH3_N_di_Hilir_pagi
Lampiran 8. (Lanjutan)
280
Fraksi_TDS_Lahan_Belum_Terbangun_sore TDS_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun TDS_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_TDS_Lahan_Terbangun_sore
TDS_Lahan_Terbangun_sore TDS_di_Hilir_Sungai_sore TDS_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_Zat_Padat_Tersuspensi_Belum_Terbangun_sore Zat_Padat_Tersuspensi_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_sore
Zat_Padat_Tersuspensi_Lahan_Terbangun_sore Zat_Padat_Tersuspensi_di_Hilir_sore Zat_Padat_Tersuspensi_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_Kekeruhan_Lahan_Belum_Terbangun_sore Kekeruhan_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Kekeruhan_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Kekeruhan_Lahan_Terbangun_sore
Kekeruhan_Lahan_Terbangun_sore Kekeruhan_di_Hilir_Sungai_sore Kekeruhan_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_Temperatur_Lahan_Belum_Terbangun_sore Temperatur_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Temperatur_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Temperatur_Lahan_Terbangun_sore
Temperatur_Lahan_Terbangun_sore Temperatur_di_Hilir_Sungai_sore Temperatur_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_Warna_Lahan_Belum_Terbangun_sore Warna_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Warna_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Warna_Lahan_Terbangun_sore
Warna_Lahan_Terbangun_sore Warna_di_Hilir_Sungai_sore Warna_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Lampiran 8. (Lanjutan)
281
Fraksi_Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_sore Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Besi_Fe_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Besi_Fe_Lahan_Terbangun_sore
Besi_Fe_Lahan_Terbangun_sore Besi_Fe_di_Hilir_Sungai_sore Besi_Fe_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_Kesadahan_CaCO3_Lahan_Belum_Terbangun_sore Kesadahan_CaCO3_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Kesadahan_CaCO3_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Kesadahan_CaCO3_Lahan_Terbangun_sore
Kesadahan_CaCO3_Lahan_Terbangun_sore Kesadahan_CaCO3_di_Hilir_Sungai_sore Kesadahan_CaCO3_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Luas_Lahan_Belum_Terbangun pH_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Terbangun pH_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_pH_Lahan_Terbangun_sore
pH_Lahan_Terbangun_sore pH_di_Hilir_Sungai_sore pH_Lahan_Belum_Terbangun_sore
_Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Terbangun_sore ksi_Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Terbangun_sore
Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Terbangun_sore Daya_Hantar_Listrik_di_Hilir_Sungai_sore Daya_Hantar_Listrik_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Lampiran 8. (Lanjutan)
282
Fraksi_Phenol_Lahan_Belum_Terbangun_sore Phenol_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun Phenol_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Phenol_Lahan_Terbangun_sore Phenol_Lahan_Terbangun_sore Phenol_di_Hilir_Sungai_sore Phenol_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Minyak_dan_Lemak_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_Minyak_dan_Lemak_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Terbangun Minyak_dan_Lemak_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Minyak_dan_Lemak_Lahan_Terbangun_sore Minyak_dan_Lemak_Lahan_Terbangun_sore Minyak_dan_Lemak_di_Hilir_Sungai_sore Minyak_dan_Lemak_Belum_Terbangun_sore Fraksi_MBAS_Lahan_Belum_Terbangun_sore MBAS_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun MBAS_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_MBAS_Lahan_Terbangun_sore MBAS_Lahan_Terbangun_sore MBAS_di_Hilir_Sungai_sore MBAS_Lahan_Belum_Terbangun_sore Fraksi_Zat_Organik_KMnO4_Belum_Terbangun_sore Zat_Organik_KMnO4_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_Zat_Organik_KMnO4_Terbangun_sore Zat_Organik_KMnO4_Lahan_Terbangun_sore Zat_Organik_KMnO4_di_Hilir_Sungai_sore Zat_Organik_KMnO4_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_BOD_Lahan_Belum_Terbangun_sore BOD_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun BOD_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_BOD_Lahan_Terbangun_sore
BOD_Lahan_Terbangun_sore BOD_di_Hilir_Sungai_sore BOD_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Lampiran 8. (Lanjutan)
283
Fraksi_COD_Lahan_Belum_Terbangun_sore COD_Lahan_Belum_Terbangun_sore Luas_Lahan_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Terbangun COD_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_COD_Lahan_Terbangun_sore
COD_Lahan_Terbangun_sore COD_di_Hilir_Sungai_sore COD_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Fraksi_Amonia_NH3_N_Lahan_Belum_Terbangun_sore Amonia_NH3_N_Lahan_Belum_Terbangun_sor Luas_Lahan_Belum_Terbangun Luas_Lahan_Terbangun Amonia_NH3_N_Lahan_Terbangun_sore Fraksi_NH3_N_Lahan_Terbangun_sore Amonia_NH3_N_Lahan_Terbangun_sore Amonia_NH3_N_di_Hilir_sore Amonia_NH3_N_Lahan_Belum_Terbangun_sore
Bobot_Pencemaran_Sungai
ndeks_Kualitas_Air_Sungai_pagi_di_hillir
Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Air_Sunga
ndeks_Kualitas_Air_Sungai_sore_di_hillir
Mortalitas
Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_S
Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Air_Sungai
Lampiran 8. (Lanjutan)
284
TDS_di_Hilir_Sungai_soreIndeks_TDS_sore_di_hilir_sungai
Zat_Padat_Tersuspensi_di_Hilir_sore Indeks_Zat_Padat_Tersuspensi_sore_di_hilir
Kekeruhan_di_Hilir_Sungai_soreIndeks_Kekeruhan_sore_di_hilir_sungai
Temperatur_di_Hilir_Sungai_soreIndeks_Temperatur_sore_di_hilir_sungai
Warna_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_Warna_sore_di_hilir_sungai
Daya_Hantar_Listrik_di_Hilir_Sungai_soreIndeks_Daya_Hantar_Listrik_sore_di_hilir
Besi_Fe_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_Besi_Fe_sore_di_hilir_sungai
Indeks_Kualitas_Air_Sungai_sore_di_hillir
Kesadahan_CaCO3_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_Kesadahan_CaCO3_sore_di_hilir_sungai
pH_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_pH_sore_di_hilir_sungai
Phenol_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_Phenol_sore_di_hilir_sungai
Minyak_dan_Lemak_di_Hilir_Sungai_sore Indeks_Minyak_dan_Lemak_sore_di_hilir_sungai
MBAS_di_Hilir_Sungai_sore
Zat_Organik_KMnO4_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_MBAS_sore_di_hilir_sungai
Indeks_KMn4_sore_di_hilir_sungai
BOD_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_BOD_sore_di_hilir_sungai
COD_di_Hilir_Sungai_sore
Indeks_COD_sore_di_hilir_sungai
Amonia_NH3_N_di_Hilir_sore
Indeks_NH3N_sore_di_hilir_sungai
Lampiran 8. (Lanjutan)
285
Rasio_Lahan_Belum_Terbangun_terhadap_Wilayah_Studi Jumlah_Rasio_Lahan_terhadap_Wilayah_Studi Rasio_Lahan_Terbangun_terhadap_Wilayah_Studi Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Rasio_Luas_Konservasi
Rasio_Luas_Hutan_Lindung
Luas_Lahan_Konservasi
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya Lahan_Sawah_Awal_Belum_Terbangun Rasio_Luas_Sawah_Irigasi Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya
Luas_Lahan_Sawah
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi
Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya
Luas_Lahan_Tegalan
Rasio_Luas_Tegalan Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya
Lahan_Kebun_Campuran_Belum_Terbangun
Rasio_Luas_Lahan_Kebun_Campuran Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Kawasan_Perairan_di_Lahan_Budidaya
Lahan_Semak_Awal_Belum_Terbangun
Rasio_Luas_Lahan_Semak Luas_Lahan_Semak Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi Produktivitas_Padi_Sawah
Produksi_Padi_Sawah
Luas_Lahan_Sawah
Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Produktivitas_Padi_Gogo Luas_Lahan_Sawah
Lampiran 8. (Lanjutan)
Produksi_Padi_Gogo
286
Rasio_Luas_Lahan_Jagung Produktivitas_Jagung
Produksi_Jagung
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Ubi_Kayu Produktivitas_Ubi_Kayu
Produksi_Ubi_Kayu
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Ubi_Jalar Produktivitas_Ubi_Jalar
Produksi_Ubi_Jalar
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Kacang_Kedele Produktivitas_Kacang_Kedele
Produksi_Kacang_Kedele
Luas_Lahan_Kebun_Campuran Rasio_Luas_Lahan_Kacang_Tanah Produktivitas_Kacang_Tanah
Produksi_Kacang_Tanah
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Bawang_Merah Produktivitas_Bawang_Merah
Produksi_Bawang_Merah
Luas_Lahan_Kebun_Campuran Rasio_Luas_Lahan_Kubis Produktivitas_Kubis
Produksi_Kubis
Luas_Lahan_Kebun_Campuran Rasio_Luas_Lahan_Tomat Produktivitas_Tomat
Produksi_Tomat
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Cabe Produktivitas_Cabe
Produksi_Cabe
Luas_Lahan_Kebun_Campuran Rasio_Luas_Lahan_Kentang Produktivitas_Kentang
Produksi_Kentang
Luas_Lahan_Kebun_Campuran Rasio_Luas_Lahan_Sawi Produktivitas_Sawi
Produksi_Sawi
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Bawang_Daun Produktivitas_Bawang_Daun Produksi_Bawang_Daun Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Lampiran 8. (Lanjutan)
287
Rasio_Luas_Lahan_Pisang Produktivitas_Pisang
Produksi_Pisang
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Pepaya Produktivitas_Pepaya
Produksi_Pepaya
Luas_Lahan_Kebun_Campuran Rasio_Luas_Lahan_Alpukat Produktivitas_Alpukat
Produksi_Alpukat
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Kopi Produktivitas_Kopi
Produksi_Kopi
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Kelapa Produktivitas_Kelapa
Produksi_Kelapa
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Rasio_Luas_Lahan_Cengkeh Produktivitas_Cengkeh
Produksi_Cengkeh
Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Populasi Ketersediaan_Padi_Sawah_per_kapita Produksi_Padi_Sawah
Populasi Ketersediaan_Padi_Gogo_per_kapita Produksi_Padi_Gogo Populasi Ketersediaan_Kacang_Tanah_per_kapita Produksi_Kacang_Tanah
Populasi Ketersediaan_Kacang_Kedele_per_kapita Produksi_Kacang_Kedele Populasi
Ketersediaan_Ubi_Jalar_per_kapita
Produksi_Ubi_Jalar Populasi Ketersediaan_Ubi_Kayu_per_kapita Produksi_Ubi_Kayu
Lampiran 8. (Lanjutan)
288
Populasi Ketersediaan_Jagung_per_kapita Produksi_Jagung Populasi Ketersediaan_Sawi_per_kapita Produksi_Sawi Populasi
Ketersediaan_Kentang_per_kapita
Produksi_Kentang
Populasi Ketersediaan_Tomat_per_kapita Produksi_Tomat
Populasi
Ketersediaan_Kubis_per_kapita
Produksi_Kubis
Populasi
Ketersediaan_Cabe_per_kapita
Produksi_Cabe
Populasi
Ketersediaan_Bawang_Merah_per_kapita
Produksi_Bawang_Merah Populasi Ketersediaan_Bawang_Daun_per_kapita Produksi_Bawang_Daun
Populasi Ketersediaan_Pisang_per_kapita Produksi_Pisang Populasi Ketersediaan_Pepaya_per_kapita Produksi_Pepaya
Populasi
Ketersediaan_Alpukat_per_kapita
Produksi_Alpukat
Populasi
Ketersediaan_Kopi_per_kapita
Produksi_Kopi
Populasi
Ketersediaan_Kelapa_per_kapita
Produksi_Kelapa
Populasi Ketersediaan_Cengkeh_per_kapita Produksi_Cengkeh
Lampiran 8. (Lanjutan)
289
Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Jati
Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Jati
Volume_Biomassa_Hutan_Jati
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Pinus
Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Pinus
Volume_Biomassa_Hutan_Pinus
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Rasamala
Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Rasamala
Volume_Biomassa_Hutan_Rasamala
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Rimba_Campuran
Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Rimba_Campuran
Volume_Biomassa_Hutan_Rimba_Campuran
Luas_Lahan_Hutan_Lindung Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Acacia_Mangium
Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Acacia_Mangium
Volume_Biomassa_Hutan_Acacia_Mangium
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Rasio_Luas_Tumbuh_Pohon_Mahoni
Volume_Biomassa_per_luas_Lahan_Hutan_Mahoni
Volume_Biomassa_Hutan_Mahoni
Luas_Lahan_Hutan_Lindung
Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Jati_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Jati Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Pinus_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Pinus Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Rasamala_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Rasamala Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Acacia_Mangium_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Acacia_Mangium Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Mahoni_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Mahoni Populasi Ketersediaan_Volume_Biomassa_Rimba_Campuran_per_kapita Volume_Biomassa_Hutan_Rimba_Campuran
Lampiran 8. (Lanjutan)
290
Konversi_Lahan_Budidaya_untuk_Perumahan Rasio_Luas_Lahan_Semak
Rasio_Luas_Tegalan Konversi_Lahan_Tegalan
Konversi_Lahan_Semak
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi
Rasio_Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi
Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan Rasio_Luas_Konservasi
Konversi_Luas_Konservasi
Rasio_Luas_Hutan_Lindung Konversi_Luas_Hutan_Lindung
Kerapatan_alang_alang_Imperata_cylindryca Jumlah_alang_alang_Imperata_cylindryca_yang_hilang
Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
Kerapatan_rumput_rumputan_Xyris_capensis_Thumb Jumlah_rumput_Xyris_capensis_Thumb_yang_hilang Konversi_Lahan_Semak Kerapatan_kirinyuh_Eupatorium_pallescens
Jumlah_kirinyuh_Eupatorium_pallescens_yang_hilang Konversi_Lahan_Semak
Kerapatan_albasiah_Albizzia_Falcata Jumlah_albasiah_Albizzia_Falcata_yang_hilang
Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung
Kerapatan_paku_Aspenium_caudatum Jumlah_paku_Aspenium_caudatum_yang_hilang Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung
Lampiran 8. (Lanjutan)
291
Kerapatan_tomat_Lycopersicon_lycopersicum Jumlah_tomat_Lycopersicon_lycopersicum_yang_hilang Konversi_Lahan_Kebun_Campuran
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Kerapatan_padi_Oryza_sativa_spp
Jumlah_padi_Oryza_sativa_spp_yang_hilang
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Kerapatan_genjer_Limnocharis_flava
Jumlah_genjer_Limnocharis_flava_yang_hilang
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi
Kerapatan_Jukut_lameto_Leersia_hexandra_Swartz
Jumlah_Jukut_lameto_Leersia_hexandra_Swartz_yg_hilang
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Kerapatan_Jukut_papayungan_Cyperus_difformis_L
Jumlah_Jukut_papayungan_Cyperus_difformis_L_yg_hilang
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi
Kerapatan_Semanggi_Marsilea_crenata_Presl
Jumlah_Semanggi_Marsilea_crenata_Presl_yang_hilang
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Kerapatan_Eceng_lembut_Monochoria_vaginalis_Burm_f_Presl
Jumlah_Eceng_lembut_Monochoria_vaginalis_Burm_f_Presl
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Kerapatan_keong_mas_Pomacea_canaliculata
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Jumlah_keong_mas_Pomacea_canaliculata_yang_hilang
Kerapatan_Penggerek_batang_padi_Scirpophaga_incertulas Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Jumlah_Penggerek_batang_padi_Scirpophaga_incertulas_yg_hilang
Kerapatan_wereng_coklat_Nilaparvata_lugens_Stal Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Lampiran 8. (Lanjutan)
Jumlah_wereng_coklat_Nilaparvata_lugens_Stal_yang_hilang
292
Kerapatan_babi_hutan_Sus_Vitatus Jumlah_babi_hutan_Sus_Vitatus_yang_hilang Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
Kerapatan_kadal_Mabonya_Sp Jumlah_kadal_Mabonya_Sp_yang_hilang Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
Kerapatan_merpati_mitricia_cinnerea
Jumlah_merpati_mitricia_cinnerea_yang_hilang
Konversi_Lahan_Semak
Kerapatan_kupu_kupu_Ornithoptera_Sp
Jumlah_kupu_kupu_Ornithoptera_Sp_yang_hilang
Konversi_Lahan_Semak
Kerapatan_cacing_Lumbricus_Sp
Jumlah_cacing_Lumbricus_Sp
Konversi_Lahan_Semak Jmlah_ulat_tentara_Spodoptera_mauritia_acronyctoides_yg_hilang Kerapatan_ulat_tentara_Spodoptera_mauritia_acronyctoides Konversi_Lahan_Kebun_Campuran Jumlah_ulat_tanduk_hijau_Melanitis_ledaismene_Cramer_yg_hilang Kerapatan_ulat_tanduk_hijau_Melanitis_ledaismene_Cramer Konversi_Lahan_Kebun_Campuran Kerapatan_katak_Rana_Macrodon_R_cancrivora_R_Limnocharis Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Jmlah_katak_Rana_Macrodon_R_cancrivora_R_Limnocharis_yg_hilang Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan Kerapatan_belut_Monopterus_albus Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi Jumlah_belut_Monopterus_albus_yang_hilang Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Jenis_Flora_di_Kawasan_Lindung Nilai_diversitas_flora Luas_Lahan_Kawasan_Lindung
han_Lindung_Awal_Belum_Terbangun
Kawasan_Perairan_di_Lahan_Lindung
Nilai_diversitas_fauna Jenis_Fauna_di_Kawasan_Lindung
Lampiran 8. (Lanjutan)
Indeks_Biodiversity_Kawasan_Lind
293
Jenis_Flora_di_Lahan_Semak
Nilai_diversitas_flora
Luas_Lahan_Semak Indeks_Biodiversity_Lahan_Semak Lahan_Semak_Awal_Belum_Terbangun
Nilai_diversitas_fauna
Jenis_Fauna_di_Lahan_Semak
Jenis_Flora_di_Lahan_Sawah Nilai_diversitas_flora
Luas_Lahan_Sawah Indeks_Biodiversity_Lahan_Sawah Lahan_Sawah_Awal_Belum_Terbangun
Nilai_diversitas_fauna
Jenis_Fauna_di_Lahan_Sawah
Jenis_Flora_di_Lahan_Kebun_Campuran
Nilai_diversitas_flora
Luas_Lahan_Kebun_Campuran Indeks_Biodiversity_Lahan_Kebun_Campuran Lahan_Kebun_Campuran_Belum_Terbangun
Nilai_diversitas_fauna
Jenis_Fauna_di_Lahan_Kebun_Campuran
Indeks_Biodiversity_Kawasan_Lindung
Indeks_Biodiversity_Lahan_Semak Indeks_Biodiversity Indeks_Biodiversity_Lahan_Kebun_Campuran
Indeks_Biodiversity_Lahan_Sawah
Bobot_Kenyamanan_Lingkungan
Indeks_Kenyamanan_Lingkungan
Indeks_Biodiversity Bobot_Keindahan_Lingkungan
Indeks_Keindahan_Lingkungan
Indeks_Kenyamanan_Lingkungan Indeks_Jasa_Lingkungan Indeks_Keindahan_Lingkungan
Dana_Pembangunan Populasi Nilai_Tambah_Manfaat_Pembangunan_Jasa_Lingkungan_per_kapita
Lampiran 8. (Lanjutan)
294
Luas_Lahan_Terbangun Koefisien_Frekuensi_Banjir
Frekuensi_Banjir
Koefisien_Frekuensi_Longsor
Frekuensi_Longsor
Debit_Aliran Koefisien_Limpasan
Curah_Hujan_Rata_Rata_Harian
Frekuensi_Banjir
Frekuensi_Longsor
Fraksi_Dana_P_Bencana_vs_Banjir
Fraksi_Dana_P_Bencana_vs_Longsor
Dana_Pembangunan Dana_Penanggulangan_Bencana
Pendapatan_Daerah Rate_Pendapatan_Daerah
Fraksi_Dana_Pendidikan_vs_Dana_Pembangunan Fraksi_Dana_Kesehatan_vs_Dana_Pembanguan
Dana_Pendidikan_per_kapita
Dana_Kesehatan_per_kapita
Populasi
295
Lampiran 9. Instrumen Penelitian Komponen Sosial Ekonomi Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan (Studi Kasus : di Kawasan Bandung Utara Kabupaten Bandung) Surveyor Hari, Tanggal dan Jam Survey
: :
Responden Status Responden Tempat, Tanggal Lahir, Usia Tingkat Pendidikan Responden Pekerjaan Responden Alamat Responden Nama Perumahan Desa / Kelurahan Kecamatan Status Tempat Tinggal Tahun pemilikan lahan dan rumah Perolehan hak lahan dan rumah Jumlah Penghuni Rumah
: : Kepala Rumah Tangga / Anggota Rumah Tangga : : SD / SMP / SMA / S1 / S2 / S3 : : : : : : Milik Sendiri/Milik Keluarga/Kontrak : Tahun ........ SHM/HGB : Kredit selama .....tahun / Tunai senilai Rp............. : ..........pria, ............wanita, ........anak-anak, . .....dewasa Lebar Jalan dan Jenis Perkerasan : Dimensi Drainase : lebar ...........m, dalam ...............m Pengelolaan Air Kotor : Terpusat / Perumahan / Mandiri Pengelolaan Limbah Tinja : Terpusat / Perumahan / Mandiri Pengelolaan Sampah : Terpusat / Perumahan / Mandiri Sumber dan Daya Listrik : PLN/Non-PLN ................Watt Sumber Air Bersih : PDAM/Non-PDAM (Sumur dangkal/ Sumur dalam/ Artesis) Alat Komunikasi / Jumlah : TELKOM Jumlah ............ Telephone Selular Luas Lahan Rumah dan Status Hak : Harga Pasar dan NJOP Lahan per m2 : Harga Pasar dan NJOP Lahan : Luas dan Jumlah Lantai Rumah : 2 Harga Pasar dan NJOP Lantai per m : Harga Pasar dan NJOP Lantai : 1. Alasan responden memilih lokasi perumahan yang sekarang ditinggali ? a. Kelayakan fisik tanah untuk tempat tinggal. (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju) b. Lokasinya dekat dengan tempat bekerja dan sekolah. (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju)
296
Lampiran 9. (Lanjutan) c. Pertimbangan panorama lingkungan yang indah dan udara yang sejuk dan bersih. (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju) d. Akses jalan yang baik menuju perumahan (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju) e. Luas lahan yang memadai dan sesuai dengan fungsi bangunan (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju) f. Harga lahan/bangunan yang terjangkau dibandingkan dengan lokasi lain. (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju) g. Tersedia fasilitas sosial yang memadai dibandingkan dengan lokasi lain. (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju h. Sistem drainase perumahan yang baik (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju) i. Pengolahan limbah padat yang baik (sangat setuju/setuju/cukup setuju/tidak setuju/sangat tidak setuju) 2. Kondisi infrastruktur di lokasi perumahan responden ? a. Lebar jalan dan jenis perkerasan ? (sangat baik/baik/sedang/buruk/sangat buruk) b. Drainase ? (sangat baik/baik/sedang/buruk/sangat buruk) c. Air kotor ? (sangat baik/baik/sedang/buruk/sangat buruk) d. Limbah tinja ? (sangat baik/baik/sedang/buruk/sangat buruk) e. Sampah ? (sangat baik/baik/sedang/buruk/sangat buruk) f. Listrik ? (sangat baik/baik/sedang/buruk/sangat buruk) g. Air bersih ? (sangat baik/baik/sedang/buruk/sangat buruk) 3. Informasi tentang lokasi perumahan yang diterima oleh responden ? a. Kemampuan lahan ? (Tahu/Tidak Tahu) b. Kesesuaian lahan untuk perumahan ? (Tahu / Tidak Tahu) c. Perbandingan luas tutupan lantai rumah dengan lahan ? (Tahu / Tidak Tahu) d. Ruang terbuka hijau / fasos / fasum ? (Tahu / Tidak Tahu) e. Analisis dampak lingkungan ? (Tahu / Tidak Tahu) f. Kawasan Bandung Utara ? (Tahu / Tidak Tahu) g. Bencana-bencana yang mungkin timbul ? (Tahu / Tidak Tahu) h. Hubungan tutupan lahan dengan bencana banjir ? (Tahu / Tidak Tahu) i. Rumah berwawasan lingkungan ? (Tahu / Tidak Tahu) j. Rumah tahan gempa ? (Tahu / Tidak Tahu) k. Bahan bangunan yang murah dan kuat ? (Tahu / Tidak Tahu) l. Flora dan fauna lokal ? ( Tahu / Tidak Tahu) 4. Jenis dan jumlah kendaraan yang dimiliki oleh responden ? a. Kendaraan roda dua ....................jumlah................. b. Kendaraan roda empat ...................jumlah ................... c. Tidak memiliki kendaraan, menggunakan ojek (ya/tidak), angkutan umum (ya/tidak)
297
Lampiran 9. (Lanjutan) 5. Jarak dari rumah responden ke : a. Tempat bekerja ..........km, membutuhkan waktu ...........jam/menit b. Tempat bersekolah ...............km, membutuhkan waktu ..................jam/menit c. Tempat ibadah .....................km, membutuhkan waktu .................jam/menit d. Tempat belanja ..................km, membutuhkan waktu .............jam/menit e. Tempat rekreasi ...................km, membutuhkan waktu .............jam/menit f. Klinik kesehatan ....................km, membutuhkan waktu .............jam/menit g. Rumah sakit ......................km, membutuhkan waktu...............jam/menit h. Pemakaman ......................km, membutuhkan waktu ...............jam/menit 6. Pekerjaan Kepala Keluarga ? a. Pegawai Negeri Sipil (Guru/Dosen/Pegawai Pemerintahan) b. Pegawai Kontrak c. Pegawai Swasta d. Wiraswasta 7. Pendapatan Keluarga per bulan ? a. Kepala Keluarga ( i. < Rp. 2 juta : ii. > Rp. 2 juta ) b. Anggota Keluarga ( i. < Rp. 2 juta : ii. > Rp. 2 juta ) 8. Pengeluaran Keluarga per bulan ? a. Iuran Warga ( Rp.....................) b. Air Bersih ( Rp.....................) c. Listrik ( Rp......................) d. Sampah ( Rp....................) e. Telephone ( Rp......................) 9. Pengeluaran Keluarga per tahun ? a. Pajak Bumi dan Bangunan ( Rp........................) b. Pajak Kendaraan Bermotor ( Rp ........................) c. Perawatan Rumah ( Rp...........................) d. Perawatan infrastruktur ( Rp........................) 10. Kepuasan responden terhadap lokasi perumahan ? a. Sangat puas, ingin menetap seterusnya. b. Puas, tetapi ingin ada perbaikan lingkungan perumahan. c. Cukup puas, tetapi ada pertimbangan akan mencari lokasi perumahan lain. d. Tidak puas, ingin pindah ke lokasi perumahan lain kalau memungkinkan. e. Sangat tidak puas, ingin segera pindah ke lokasi perumahan lain.
298
Lampiran 9. (Lanjutan)
11. Kebutuhan responden terhadap pengembang terkait lokasi perumahan ? a. Perbaikan tentang informasi lokasi perumahan ? (Ya/Tidak) b. Perbaikan kondisi infrastruktur perumahan ? (Ya/Tidak) c. Perbaikan prasarana dan sarana transportasi ? (Ya/Tidak) d. Perbaikan fasilitas umum dan sosial ? (Ya/Tidak) e. Ruang terbuka hijau ? (Ya/Tidak) 12. Kebutuhan responden terhadap Pemerintah Daerah dalam Penataan Ruang ? a. Keterbukaan informasi kegiatan pembangunan ? (Ya/Tidak) b. Perencanaan ruang ? (Ya/Tidak) c. Subsidi pembangunan perumahan untuk rakyat (Ya/Tidak) d. Izin-izin pembangunan perumahan ? (Ya/Tidak) e. Pengendalian pembangunan perumahan ? (Ya/Tidak) f. Insentif pembangunan vertikal / rumah bertingkat ? (Ya/Tidak) 13. Kebutuhan responden terhadap masyarakat ? a. Kegiatan pelatihan dan penyuluhan pembangunan perumahan ? (Ya/Tidak) b. Peran serta terhadap pembangunan ? (Ya/Tidak) c. Sosialisasi kawasan konservasi dan lahan subur ? (Ya/Tidak) d. Pengelolaan sampah ? (Ya/Tidak) e. Pengelolaan limbah rumah tangga ? (Ya/Tidak) f. Peningkatan kegiatan pengabdian masyarakat dari perguruan tinggi ? (Ya/Tidak) g. Peningkatan informasi manfaat dan pengorbanan kegiatan pembangunan perumahan ? (Ya/Tidak) h. Peningkatan kesadaran lingkungan perumahan yang sesuai dan sehat ? (Ya/Tidak)
Bandung, Januari 2007 Terima kasih atas partisipasinya Rina Marina Masri P06 202 0051 PSDAL / PSL SPS IPB
Lampiran 11. Hasil Analisis Faktor Pemilihan Lokasi Perumahan di Zona Buruk Perumahan dengan SPSS 11.5 KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure... Bartlett's Test of Sphericity
.773
Approx. Chi-Square df Sig.Bartlett
447.488 36 .000 Anti-image Matrices
Anti-image Covariance
PANORAMA .001
JLAKSES -.001
LAHAN -.001
KDKTAN -.001
DYDUKUNG .008
DRAINASE 6.467E-05
JLAKSES
-.001
.001
.000
6.702E-05
-.007
-3.839E-05
LAHAN
-.001
.000
.220
.003
.011
.005
KDKTAN
-.001
6.702E-05
.003
.020
-.034
-.004
PANORAMA
DYDUKUNG DRAINASE LMBH FASOS HARGA Anti-image Correlation
LMBH .000
FASOS -.006
HARGA -.001
.000
.005
-.001
-.012
-.020
-.008
.015
.034
.031
.008
-.007
.011
-.034
.340
-.027
.060
-.193
.001
6.467E-05
-3.839E-05
.005
-.004
-.027
.272
-.191
-.117
-.038
.000
.000
-.012
.015
.060
-.191
.259
.016
-.022
-.006
.005
-.020
.034
-.193
-.117
.016
.418
.089
-.001
-.001
-.008
.031
.001
-.038
-.022
.089
.839
.731(a)
-.972
-.042
-.235
.449
.004
-.015
-.311
-.023
JLAKSES
-.972
.758(a)
-.030
.014
-.349
-.002
-.008
.240
-.024
LAHAN
-.042
-.030
.995(a)
.051
.042
.020
-.050
-.067
-.017
KDKTAN
-.235
.014
.051
.884(a)
-.411
-.048
.203
.369
.237
DYDUKUNG
.449
-.349
.042
-.411
.647(a)
-.088
.204
-.512
.001
DRAINASE
.004
-.002
.020
-.048
-.088
.706(a)
-.718
-.346
-.080
LMBH
-.015
-.008
-.050
.203
.204
-.718
.734(a)
.048
-.048
FASOS
-.311
.240
-.067
.369
-.512
-.346
.048
.649(a)
.150
HARGA
-.023
-.024
-.017
.237
.001
-.080
-.048
.150
.710(a)
PANORAMA
a Measures of Sampling Adequacy(MSA)
Lampiran 11. (Lanjutan) Communalities Communalities Initial 1.000
Extraction .978
JLAKSES
1.000
.976
LAHAN
1.000
.861
KDKTAN
1.000
.957
DYDUKUNG
1.000
.691
DRAINASE
1.000
.882
LMBH
1.000
.832
FASOS
1.000
.782
PANORAMA
HARGA
1.000 .694 Extraction Method : Principal Component Analysis
Total Variance Explained Initial Eigenvalues Component_Total 1
Extraction Sums of Squared Loadings
Rotation Sums of Squared Loadings
Total 4.908
% of Variance 54.529
Cumulative % 54.529
Total 4.908
% of Variance 54.529
Cumulative % 54.529
Total 4.110
% of Variance 45.672
Cumulative % 45.672
2
1.656
18.403
72.932
1.656
18.403
72.932
2.336
25.952
71.623
3
1.090
12.111
85.042
1.090
12.111
85.042
1.208
13.419
85.042
4
.681
7.569
92.611
5
.327
3.632
96.244
6
.183
2.031
98.275
7
.141
1.570
99.844
8
.013
.150
99.994
.001 .006 Extraction Method : Principal Component Analysis
100.000
9
Lampiran 11. (Lanjutan) Scree Plot 6
Eigenvalue
5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Component Number
Component Matrix(a) Component 1
2
3
KDKTAN
.954
.140
.163
JLAKSES
.947
.245
.139
PANORAMA
.946
.253
.137
LAHAN
.852
.336
.150
DYDUKUNG
-.624
-.356
.417
FASOS
-.579
.348
.570
DRAINASE
-.582
.711
.197
LMBH
-.614
.673
-.047
HARGA
-.193
.441
-.680
Extraction Method : Principal Component Analysis a 3 components extracted.
Lampiran 11. (Lanjutan) Rotated Component Matrix(a) Component PANORAMA
1 .966
2 -.210
3 -.030
JLAKSES
.963
-.216
-.036
KDKTAN
.928
-.291
-.105
LAHAN
.923
-.095
-.003
DYDUKUNG
-.619
.198
-.518
DRAINASE
-.152
.913
.159
LMBH
-.246
.801
.361
FASOS
-.236
.783
-.337
HARGA
-.110
.160
.810
Extraction Method : Principal Component Analysis a Rotation converged in 4... Factor Score Coefficient Matrix Component PANORAMA
1 .262
2 .075
3 -.048
JLAKSES
.260
.072
-.051
LAHAN
.269
.128
-.036
KDKTAN
.238
.031
-.100
DYDUKUNG
.129
.051
-.435
DRAINASE
.124
.463
.036
LMBH
.063
.358
.225
FASOS
.096
.432
-.369
HARGA
-.042
-.028
.678
Extraction Method : Principal Component Analysis.
311
Lampiran 12. Hasil Simulasi Model Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Perumahan dengan Powersim Versi 2.5C Tahun 1,995 1,996 1,997 1,998 1,999 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045
311
Pembangunan_Rumah Jumlah_Rumah_Terbangun 232.00 232.00 240.54 464.00 249.39 704.54 258.57 953.93 268.08 1,212.50 277.95 1,480.58 288.18 1,758.53 298.78 2,046.71 309.78 2,345.50 321.18 2,655.28 333.00 2,976.46 345.26 3,309.46 357.96 3,654.72 371.14 4,012.68 384.80 4,383.82 398.96 4,768.61 413.64 5,167.57 428.86 5,581.21 444.64 6,010.07 461.01 6,454.71 477.97 6,915.72 495.56 7,393.69 513.80 7,889.26 532.71 8,403.06 552.32 8,935.77 572.64 9,488.09 593.72 10,060.73 615.57 10,654.45 638.22 11,270.02 661.71 11,908.24 686.06 12,569.95 711.31 13,256.01 737.49 13,967.32 764.63 14,704.80 792.77 15,469.43 821.94 16,262.20 852.19 17,084.14 883.55 17,936.33 916.07 18,819.89 949.78 19,735.96 984.74 20,685.75 1,020.98 21,670.49 1,058.55 22,691.46 1,097.51 23,750.02 1,137.90 24,847.53 1,179.78 25,985.43 1,223.20 27,165.21 1,268.21 28,388.40 1,314.88 29,656.61 1,363.28 30,971.50 1,413.45 32,334.77
Delta_Populasi 7,751.00 8,036.47 8,332.46 8,639.35 8,957.54 9,287.44 9,629.50 9,984.16 10,351.88 10,733.14 11,128.45 11,538.31 11,963.27 12,403.88 12,860.72 13,334.38 13,825.49 14,334.69 14,862.64 15,410.03 15,977.58 16,566.04 17,176.17 17,808.77 18,464.67 19,144.73 19,849.83 20,580.90 21,338.90 22,124.81 22,939.67 23,784.54 24,660.53 25,568.78 26,510.48 27,486.86 28,499.20 29,548.83 30,637.11 31,765.48 32,935.40 34,148.41 35,406.10 36,710.10 38,062.13 39,463.96 40,917.41 42,424.40 43,986.89 45,606.92 47,286.62
Populasi 190,660.00 198,411.00 206,447.47 214,779.93 223,419.28 232,376.81 241,664.26 251,293.76 261,277.92 271,629.80 282,362.94 293,491.39 305,029.70 316,992.98 329,396.86 342,257.58 355,591.96 369,417.45 383,752.13 398,614.77 414,024.80 430,002.38 446,568.42 463,744.59 481,553.37 500,018.04 519,162.77 539,012.60 559,593.50 580,932.40 603,057.21 625,996.88 649,781.43 674,441.95 700,010.73 726,521.21 754,008.07 782,507.27 812,056.10 842,693.21 874,458.69 907,394.08 941,542.49 976,948.59 1,013,658.69 1,051,720.82 1,091,184.78 1,132,102.20 1,174,526.60 1,218,513.49 1,264,120.41
312
Lampiran 12. (Lanjutan) Tahun Demand_Lahan_Perumahan Alokasi_Lahan_Perumahan Konversi_Zona_Lindung Alokasi_Lahan_Zona_Lindung 1,995 978,563.75 45,093,220.00 0.00 112,312,200.00 1,014,604.60 44,114,656.25 0.00 112,312,200.00 1,996 1,051,972.84 43,100,051.65 0.00 112,312,200.00 1,997 1,090,717.36 42,048,078.80 0.00 112,312,200.00 1,998 1,130,888.84 40,957,361.44 0.00 112,312,200.00 1,999 1,172,539.84 39,826,472.60 0.00 112,312,200.00 2,000 1,215,724.85 38,653,932.77 0.00 112,312,200.00 2,001 1,260,500.36 37,438,207.92 0.00 112,312,200.00 2,002 1,306,924.96 36,177,707.56 0.00 112,312,200.00 2,003 1,355,059.38 34,870,782.60 0.00 112,312,200.00 2,004 1,404,966.58 33,515,723.23 0.00 112,312,200.00 2,005 1,456,711.88 32,110,756.64 0.00 112,312,200.00 2,006 1,510,362.95 30,654,044.76 0.00 112,312,200.00 2,007 1,565,989.99 29,143,681.81 0.00 112,312,200.00 2,008 1,623,665.78 27,577,691.82 0.00 112,312,200.00 2,009 1,683,465.76 25,954,026.05 0.00 112,312,200.00 2,010 1,745,468.17 24,270,560.29 0.00 112,312,200.00 2,011 1,809,754.14 22,525,092.11 0.00 112,312,200.00 2,012 1,876,407.75 20,715,337.98 0.00 112,312,200.00 2,013 1,945,516.21 18,838,930.23 0.00 112,312,200.00 2,014 2,017,169.92 16,893,414.03 0.00 112,312,200.00 2,015 2,091,462.65 14,876,244.10 0.00 112,312,200.00 2,016 2,168,491.56 12,784,781.46 0.00 112,312,200.00 2,017 2,248,357.44 10,616,289.90 0.00 112,312,200.00 2,018 2,331,164.78 8,367,932.45 0.00 112,312,200.00 2,019 2,417,021.90 6,036,767.67 0.00 112,312,200.00 2,020 2,506,041.13 3,619,745.77 0.00 112,312,200.00 2,021 2,598,338.93 1,113,704.63 0.00 112,312,200.00 2,022 2,694,036.04 -1,484,634.29 1,484,634.29 112,312,200.00 2,023 2,793,257.66 -4,178,670.33 4,178,670.33 110,827,565.71 2,024 2,896,133.60 -6,971,927.99 6,971,927.99 106,648,895.37 2,025 3,002,798.44 -9,868,061.59 9,868,061.59 99,676,967.38 2,026 3,113,391.74 -12,870,860.04 12,870,860.04 89,808,905.79 2,027 3,228,058.16 -15,984,251.78 15,984,251.78 76,938,045.75 2,028 3,346,947.72 -19,212,309.93 19,212,309.93 60,953,793.97 2,029 3,470,215.97 -22,559,257.66 22,559,257.66 41,741,484.04 2,030 3,598,024.16 -26,029,473.63 26,029,473.63 19,182,226.38 2,031 3,730,539.49 -29,627,497.78 29,627,497.78 -6,847,247.24 2,032 3,867,935.34 -33,358,037.27 33,358,037.27 -36,474,745.03 2,033 4,010,391.44 -37,225,972.61 37,225,972.61 -69,832,782.30 2,034 4,158,094.17 -41,236,364.05 41,236,364.05 -107,058,754.91 2,035 4,311,236.75 -45,394,458.22 45,394,458.22 -148,295,118.96 2,036 4,470,019.53 -49,705,694.97 49,705,694.97 -193,689,577.19 2,037 4,634,650.24 -54,175,714.50 54,175,714.50 -243,395,272.15 2,038 4,805,344.25 -58,810,364.74 58,810,364.74 -297,570,986.66 2,039 4,982,324.88 -63,615,708.99 63,615,708.99 -356,381,351.40 2,040 5,165,823.64 -68,598,033.87 68,598,033.87 -419,997,060.39 2,041 5,356,080.61 -73,763,857.51 73,763,857.51 -488,595,094.26 2,042 5,553,344.69 -79,119,938.13 79,119,938.13 -562,358,951.77 2,043 5,757,873.94 -84,673,282.82 84,673,282.82 -641,478,889.90 2,044 5,969,935.93 -90,431,156.76 90,431,156.76 -726,152,172.71 2,045
Lampiran 12. (Lanjutan)
312
313
Tahun 1,995 1,996 1,997 1,998 1,999 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045
Debit_Aliran Frekuensi_Banjir Frekuensi_Longsor 57,866,361 111.01 4.72 60,401,618 114.56 6.24 63,030,249 118.24 7.82 65,755,693 122.06 9.45 68,581,517 126.01 11.15 71,511,417 130.12 12.91 74,549,226 134.37 14.73 77,698,918 138.78 16.62 80,964,614 143.35 18.58 84,350,587 148.09 20.61 87,861,266 153.01 22.72 91,501,245 158.10 24.90 95,275,285 163.39 27.17 99,188,323 168.86 29.51 103,245,480 172.92 31.10 107,452,063 176.71 32.53 111,813,576 180.63 34.02 116,335,724 184.70 35.55 121,024,423 188.92 37.15 125,885,809 193.30 38.80 130,926,240 197.83 40.51 136,152,311 202.54 42.29 141,570,859 207.41 44.13 147,188,973 212.47 46.04 153,014,003 216.51 47.48 159,053,570 219.53 48.45 165,315,575 222.66 49.45 171,808,211 225.90 50.49 178,539,971 229.27 51.57 189,366,043 234.68 53.30 207,428,870 242.23 55.74 232,994,982 249.90 58.30 266,340,724 259.90 61.31 307,752,622 271.55 64.31 357,527,753 281.51 66.30 415,974,135 291.60 68.32 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31 465,671,326 296.57 69.31
Lampiran 12. (Lanjutan)
313
Dana_Bencana Alokasi_Dana_Pembangunan 28,107,212,581 0.00 29,108,639,002 181,556,276,419.32 30,146,948,316 391,666,759,471.39 31,223,498,923 634,460,935,187.99 32,339,699,255 914,654,251,728.51 33,497,009,613 1,237,630,862,163 34,696,944,082 1,609,538,036,468 35,941,072,512 2,037,393,887,898 37,231,022,568 2,529,210,290,822 38,568,481,863 3,094,133,131,731 39,955,200,164 3,742,602,337,017 41,392,991,681 4,486,534,465,647 42,883,737,442 5,339,531,047,838 44,429,387,752 6,317,116,299,328 45,562,992,832 7,437,008,352,470 46,616,741,875 8,719,897,701,091 47,709,300,736 10,189,001,241,886 48,842,098,781 11,870,678,764,907 50,016,618,018 13,795,009,962,268 51,234,395,035 15,996,318,960,429 52,497,023,014 18,513,772,799,710 53,806,153,814 21,392,064,285,338 55,163,500,130 24,682,191,103,864 56,570,837,736 28,442,344,775,385 57,687,918,441 32,738,924,925,037 58,515,339,112 37,648,038,629,223 59,373,233,801 43,256,480,037,074 60,262,724,862 49,662,917,441,986 61,184,975,986 56,979,931,284,144 62,668,147,934 65,335,975,421,002 64,737,881,790 74,877,087,922,261 66,847,085,984 85,769,946,836,440 69,573,598,664 98,205,356,093,961 72,710,888,990 1.1240044440878e14 75,348,970,924 1.2860324202923e14 78,023,314,579 1.4709771117579e14 79,340,290,129 1.6820723752927e14 79,340,290,129 1.9230219222125e14 79,340,290,129 2.1980492475398e14 79,340,290,129 2.5119581934633e14 79,340,290,129 2.8702297853935e14 79,340,290,129 3.2791176924502e14 79,340,290,129 3.7457571447277e14 79,340,290,129 4.2782892043012e14 79,340,290,129 4.8860025543434e14 79,340,290,129 5.5794952758278e14 79,340,290,129 6.3708594294084e14 79,340,290,129 7.2738916572537e14 79,340,290,129 8.3043334727884e14 79,340,290,129 9.4801454233603e14 79,340,290,129 1.0821819900795e15
314
Tahun 1,995 1,996 1,997 1,998 1,999 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045
Pendapatan_Daerah 209,663,489,000.00 239,219,122,053.86 272,941,124,032.43 311,416,815,463.91 355,316,309,689.41 405,404,183,917.40 462,552,795,511.68 527,757,475,436.58 602,153,863,476.44 687,037,687,149.13 783,887,328,793.48 894,389,573,871.51 1,020,468,988,931 1,164,321,440,894 1,328,452,341,453 1,515,720,282,670 1,729,386,823,757 1,973,173,296,142 2,251,325,616,179 2,568,688,234,315 2,930,788,508,642 3,343,932,972,340 3,815,317,171,651 4,353,150,987,388 4,966,801,622,627 5,666,956,746,964 6,465,810,638,713 7,377,276,567,020 8,417,229,112,843 9,603,780,649,194 10,957,596,795,968 12,502,256,343,506 14,264,661,913,481 16,275,508,509,438 18,569,818,117,488 21,187,549,668,056 24,174,294,982,113 27,582,072,822,857 31,470,234,882,476 35,906,499,483,154 40,968,130,995,796 46,743,285,517,881 53,332,546,247,480 60,850,675,294,348 69,428,612,438,567 79,215,755,648,194 90,382,563,074,653 1.031235218436e14 1.1766053534732e14 1.3424678803363e14 1.5317115500237e14
Lampiran 12. (Lanjutan)
314
Dana_Pembangunan_Kesehatan 0.00 17,385.98 36,046.30 56,126.09 77,783.94 101,193.34 126,544.25 154,044.75 183,922.91 216,428.86 251,837.03 290,448.57 332,594.13 378,636.81 428,975.43 484,074.18 544,419.02 610,536.66 683,006.47 762,465.63 849,615.01 945,225.51 1,050,145.07 1,165,306.41 1,291,735.49 1,430,573.86 1,583,074.08 1,750,599.96 1,934,652.02 2,136,881.22 2,359,087.40 2,603,254.16 2,871,583.72 3,166,482.20 3,490,605.91 3,846,902.85 4,238,598.56 4,669,275.03 5,142,863.39 5,663,651.39 6,236,357.05 6,866,171.73 7,558,807.61 8,320,549.89 9,158,314.27 10,079,710.11 11,093,110.08 12,207,726.63 13,433,696.28 14,782,172.28 16,265,426.66
Dana_Pembangunan_Pendidikan 0.00 52,157.93 108,138.91 168,378.27 233,351.81 303,580.03 379,632.76 462,134.24 551,768.73 649,286.59 755,511.08 871,345.70 997,782.40 1,135,910.44 1,286,926.29 1,452,222.55 1,633,257.05 1,831,609.99 2,049,019.40 2,287,396.88 2,548,845.02 2,835,676.53 3,150,435.22 3,495,919.24 3,875,206.47 4,291,721.57 4,749,222.25 5,251,799.88 5,803,956.06 6,410,643.66 7,077,262.20 7,809,762.47 8,614,751.17 9,499,446.60 10,471,817.73 11,540,708.56 12,715,795.68 14,007,825.08 15,428,590.16 16,990,954.18 18,709,071.16 20,598,515.20 22,676,422.83 24,961,649.68 27,474,942.81 30,239,130.34 33,279,330.24 36,623,179.88 40,301,088.83 44,346,516.85 48,796,279.97
315
Time 1,995 1,996 1,997 1,998 1,999 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045
Kepadatan Indeks_Kualitas_Air Indeks_Kes_Lingk_Air 1.06 89.99 31.50 1.10 89.58 31.35 1.15 89.16 31.21 1.20 88.72 31.05 1.24 88.27 30.89 1.29 87.80 30.73 1.34 87.31 30.56 1.40 86.81 30.38 1.45 86.28 30.20 1.51 85.74 30.01 1.57 85.18 29.81 1.63 84.59 29.61 1.70 83.99 29.39 1.76 83.36 29.18 1.83 82.71 28.95 1.90 82.03 28.71 1.98 81.33 28.47 2.06 80.61 28.21 2.14 79.85 27.95 2.22 79.07 27.68 2.30 78.26 27.39 2.39 77.42 27.10 2.49 76.55 26.79 2.58 75.65 26.48 2.68 74.72 26.15 2.78 73.75 25.81 2.89 72.74 25.46 3.00 71.70 25.10 3.11 70.62 24.72 3.23 69.50 24.33 3.36 68.34 23.92 3.48 67.13 23.50 3.62 65.89 23.06 3.75 64.59 22.61 3.90 63.25 22.14 4.04 61.86 21.65 4.20 60.41 21.14 4.35 58.92 20.62 4.52 57.37 20.08 4.69 55.76 19.52 4.87 54.09 18.93 5.05 52.36 18.33 5.24 50.57 17.70 5.44 48.71 17.05 5.64 46.78 16.37 5.85 44.78 15.67 6.07 42.71 14.95 6.30 40.56 14.20 6.54 38.34 13.42 6.78 36.03 12.61 7.03 33.63 11.77
Lampiran 12. (Lanjutan)
315
Kematian_Akibat_Pencemaran_Air 0.764 0.794 0.825 0.857 0.89 0.925 0.961 0.999 1.04 1.08 1.12 1.17 1.21 1.26 1.31 1.36 1.42 1.47 1.53 1.59 1.66 1.73 1.80 1.87 1.95 2.03 2.11 2.20 2.29 2.39 2.49 2.59 2.70 2.82 2.94 3.07 3.20 3.34 3.48 3.63 3.79 3.96 4.14 4.32 4.52 4.72 4.94 5.16 5.40 5.65 5.91
316
Time 1,995 1,996 1,997 1,998 1,999 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045
316
Jml_Lalu_Lintas Indeks_Kualitas_Udara Indeks_Kes_Lingk_Udara Kematian_Akibat_Udara 3,498.35 89.07 57.89 1.24 3,640.57 88.62 57.61 1.28 3,788.03 88.16 57.31 1.33 3,940.92 87.68 57.00 1.38 4,099.44 87.19 56.67 1.43 4,263.79 86.68 56.34 1.48 4,434.21 86.14 55.99 1.53 4,610.89 85.59 55.63 1.59 4,794.09 85.02 55.26 1.65 4,984.03 84.42 54.88 1.71 5,180.97 83.81 54.48 1.77 5,385.16 83.17 54.06 1.83 5,596.88 82.51 53.63 1.90 5,816.38 81.82 53.19 1.97 6,043.98 81.11 52.72 2.04 6,279.96 80.38 52.24 2.12 6,524.62 79.61 51.75 2.20 6,778.30 78.82 51.23 2.28 7,041.32 78.00 50.70 2.36 7,314.03 77.14 50.14 2.45 7,596.79 76.26 49.57 2.54 7,889.95 75.34 48.97 2.64 8,193.92 74.39 48.36 2.74 8,509.08 73.41 47.72 2.84 8,835.84 72.39 47.05 2.95 9,174.64 71.33 46.36 3.06 9,525.92 70.23 45.65 3.18 9,890.14 69.09 44.91 3.31 10,267.77 67.91 44.14 3.43 10,659.31 66.69 43.35 3.57 11,065.27 65.42 42.52 3.70 11,486.18 64.11 41.67 3.85 11,922.59 62.74 40.78 4.00 12,375.08 61.33 39.86 4.15 12,844.23 59.86 38.91 4.32 13,330.66 58.34 37.92 4.49 13,835.01 56.77 36.90 4.66 14,357.93 55.13 35.84 4.84 14,900.11 53.44 34.73 5.04 15,462.26 51.68 33.59 5.24 16,045.11 49.86 32.41 5.44 16,649.43 47.97 31.18 5.66 17,276.01 46.01 29.91 5.89 17,925.66 43.98 28.59 6.12 18,599.24 41.88 27.22 6.37 19,297.63 39.69 25.80 6.62 20,021.74 37.43 24.33 6.89 20,772.52 35.09 22.81 7.17 21,550.95 32.65 21.22 7.46 22,358.05 30.13 19.59 7.76 23,194.87 27.52 17.89 8.08
317
Lampiran 12. (Lanjutan) Tahun Indeks_Biodiversity_di_Kawasan_Lindung Indeks_Keindahan_Lingkungan Indeks_Kenyamanan_Lingkungan 1,995 92.56 37.02 55.53 92.56 37.02 55.53 1,996 92.56 37.02 55.53 1,997 92.56 37.02 55.53 1,998 92.56 37.02 55.53 1,999 92.56 37.02 55.53 2,000 92.56 37.02 55.53 2,001 92.56 37.02 55.53 2,002 92.56 37.02 55.53 2,003 92.56 37.02 55.53 2,004 92.56 37.02 55.53 2,005 92.56 37.02 55.53 2,006 92.56 37.02 55.53 2,007 92.56 37.02 55.53 2,008 92.56 37.02 55.53 2,009 92.56 37.02 55.53 2,010 92.56 37.02 55.53 2,011 92.56 37.02 55.53 2,012 92.56 37.02 55.53 2,013 92.56 37.02 55.53 2,014 92.56 37.02 55.53 2,015 92.56 37.02 55.53 2,016 92.56 37.02 55.53 2,017 92.56 37.02 55.53 2,018 92.56 37.02 55.53 2,019 92.56 37.02 55.53 2,020 92.56 37.02 55.53 2,021 92.56 37.02 55.53 2,022 92.56 37.02 55.53 2,023 91.33 36.53 54.80 2,024 87.89 35.16 52.73 2,025 82.14 32.86 49.29 2,026 74.01 29.60 44.41 2,027 63.40 25.36 38.04 2,028 50.23 20.09 30.14 2,029 34.40 13.76 20.64 2,030 15.81 6.32 9.48 2,031 0.00 0.00 0.00 2,032 0.00 0.00 0.00 2,033 0.00 0.00 0.00 2,034 0.00 0.00 0.00 2,035 0.00 0.00 0.00 2,036 0.00 0.00 0.00 2,037 0.00 0.00 0.00 2,038 0.00 0.00 0.00 2,039 0.00 0.00 0.00 2,040 0.00 0.00 0.00 2,041 0.00 0.00 0.00 2,042 0.00 0.00 0.00 2,043 0.00 0.00 0.00 2,044 0.00 0.00 0.00 2,045
317
318
Lampiran 12. (Lanjutan) Tahun 1,995 1,996 1,997 1,998 1,999 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045
318
Indeks_Jasa_Lingkungan 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0926 0.0913 0.0879 0.0821 0.074 0.0634 0.0502 0.0344 0.0158 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai_Tambah_Manfaat_Pembangunan_Jasa_Lingkungan 0.00 84,694.29 175,596.47 273,413.41 378,917.75 492,954.65 616,449.43 750,415.72 895,964.61 1,054,314.57 1,226,802.38 1,414,895.18 1,620,203.66 1,844,496.61 2,089,716.86 2,358,125.68 2,652,090.33 2,974,176.76 3,327,207.16 3,714,285.61 4,138,826.31 4,604,584.63 5,115,691.26 5,676,689.80 6,292,578.15 6,968,917.30 7,711,809.02 8,527,896.90 9,424,490.65 10,272,029.75 10,912,606.24 11,254,843.98 11,185,849.71 10,566,868.28 9,228,468.93 6,964,776.70 3,526,544.68 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
319
init flow
Alokasi_Dana_Pembangunan = 0 Alokasi_Dana_Pembangunan = +dt*Pendapatan_Daerah -dt*Dana_Bencana init Alokasi_Lahan_Perumahan = ((394.881+4636.419)+(676.723)+(7.069))*10000(131.652+1074.118)*10000 flow Alokasi_Lahan_Perumahan = -dt*Demand_Lahan_Perumahan init Alokasi_Lahan_Zona_Lindung = (4673.101+2361.427+5219.561)*100001022.869*10000 flow Alokasi_Lahan_Zona_Lindung = -dt*Konversi_Zona_Lindung init Jumlah_Rumah_Terbangun = 232 flow Jumlah_Rumah_Terbangun = +dt*Pembangunan_Rumah init Populasi = 190660 flow Populasi = +dt*Jumlah_Inmigrasi -dt*Jumlah_Outmigrasi -dt*Jumlah_Kematian +dt*Jumlah_Kelahiran aux Dana_Bencana = Frekuensi_Banjir*Fraksi_Banjir_vs_Dana_Bencana+Frekuensi_Longsor*Fraksi_Longsor_ vs_Dana_Bencana aux Demand_Lahan_Perumahan = Delta_Populasi*Fraksi_Penduduk_vs_Lahan aux Jumlah_Inmigrasi = Pembangunan_Rumah*Rasio_Pembangunan_Rumah_vs_Jumlah_Migrasi_Masuk aux Jumlah_Kelahiran = Kelahiran*(1+Rate_Kelahiran)^(TIME-1995) aux Jumlah_Kematian = Kematian*(1+Rate_Kematian)^(TIME-1995) aux Jumlah_Outmigrasi = Migrasi_Keluar*(1+Rate_Migrasi_Keluar)^(TIME-1995) aux Konversi_Zona_Lindung = Fraksi_Konversi_Kawasan_Lindung aux Pembangunan_Rumah = Rumah_Terbangun*(1+Rate_Pembangunan_Rumah)^(TIME-1995) aux Pendapatan_Daerah = Penerimaan_Awal*(1+Rate_Penerimaan)^(TIME-1995) aux Alokasi_Lahan_Perumahan_dan_Lindung = Alokasi_Lahan_Zona_Lindung+Alokasi_Lahan_Perumahan aux Dana_Pembangunan_Kesehatan = Alokasi_Dana_Pembangunan*Fraksi_Dana_Pembangunan_Kesehatan/Populasi aux Dana_Pembangunan_Pendidikan = Alokasi_Dana_Pembangunan*Fraksi_Dana_Pembangunan_Pendidikan/Populasi aux Debit_Aliran = Koefisien_Limpasan*Curah_Hujan*Luas_Wilayah_Studi aux Delta_Populasi = Jumlah_Kelahiran+Jumlah_Inmigrasi-Jumlah_KematianJumlah_Outmigrasi aux Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_Air = GRAPH(Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Air,0,35,[0.0035,0.00315,0.0028,0.00245,0.0021, 0.00175,0.0014,0.00105,0.0007,0.00035,0"Min:0;Max:0.0007"])
319
320
aux Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_Udara = GRAPH(Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Udara,0,50,[0.0005,0.00045,0.00040,0.00035,0.0 0030,0.00025,0.00020,0.00015,0.00010,0.00005,0"Min:0;Max:0.005"]) aux Fraksi_Konversi_Kawasan_Lindung = IF(Alokasi_Lahan_Perumahan>=0, 0, Alokasi_Lahan_Perumahan) aux Frekuensi_Banjir = Koefisien_Frekuensi_Banjir aux Frekuensi_Longsor = Koefisien_Frekuensi_Longsor aux Indeks_Biodiversity_di_Kawasan_Lindung = GRAPH(Alokasi_Lahan_Zona_Lindung,0,12134400,[0,10,20,30,40,50,60,70,80,90,100"M in:0;Max:100"]) aux Indeks_Jasa_Lingkungan = (Indeks_Keindahan_Lingkungan+Indeks_Kenyamanan_Lingkungan)/100 aux Indeks_Keindahan_Lingkungan = Indeks_Biodiversity_di_Kawasan_Lindung*Bobot_Keindahan_Lingkungan aux Indeks_Kenyamanan_Lingkungan = Indeks_Biodiversity_di_Kawasan_Lindung*Bobot_Kenyamanan_Lingkungan aux Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Air = Indeks_Kualitas_Air*Bobot_Pencemaran_Air aux Indeks_Kesehatan_Lingkungan_Udara = Indeks_Kualitas_Udara*Bobot_Pencemaran_Udara aux Indeks_Kualitas_Air = IF(Kepadatan_Penduduk_Perumahan>0, GRAPH(Kepadatan_Penduduk_Perumahan,0,0.04,[100,90,80,70,60,50,40,30,20,10,0"Min: 0;Max:100"]) ,0) aux Indeks_Kualitas_Udara = GRAPH(Jumlah_Lalu_Lintas,0,3200,[100,90,80,70,60,50,40,30,20,10,0"Min:0;Max:100"] ) aux Jumlah_Kematian_Akibat_Pencemaran_Air_dan_Udara = Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Air+Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pence maran_Udara aux Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Air = Jumlah_Kematian*Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_Air aux Jumlah_Kematian_Dini_Akibat_Pencemaran_Udara = Jumlah_Kematian*Fraksi_Kematian_Akibat_Pencemaran_Udara aux Jumlah_Lalu_Lintas = Populasi*Fraksi_Jumlah_Penduduk_vs_Lalu_Lintas aux Kepadatan_Penduduk_Perumahan = IF(Alokasi_Lahan_Perumahan>=0,Populasi/Alokasi_Lahan_Perumahan,0) aux Koefisien_Frekuensi_Banjir = GRAPH(Debit_Aliran,0,50000000,[0,100,170,215,240,255,270,280,290,295,300"Min:0;M ax:300"]) aux Koefisien_Frekuensi_Longsor = GRAPH(Debit_Aliran,0,50000000,[0,0,30,47,55,60,64,66,68,69,70"Min:0;Max:70"]) aux Koefisien_Limpasan = GRAPH(Alokasi_Lahan_Perumahan_dan_Lindung,0,89870400,[1,0.5,0"Min:0;Max:1"])
320
321
aux Nilai_Tambah_Manfaat_Pembangunan_Jasa_Lingkungan =Alokasi_Dana_Pembangunan*Indeks_Jasa_Lingkungan/Populasi const Bobot_Keindahan_Lingkungan = 0.4 const Bobot_Kenyamanan_Lingkungan = 0.6 const Bobot_Pencemaran_Air = 0.35 const Bobot_Pencemaran_Udara = 0.65 const Curah_Hujan = 7.1*365/1000 const Fraksi_Banjir_vs_Dana_Bencana = 250000000 const Fraksi_Dana_Pembangunan_Kesehatan = 0.019 const Fraksi_Dana_Pembangunan_Pendidikan = 0.057 const Fraksi_Jumlah_Penduduk_vs_Lalu_Lintas = 1/24.17 const Fraksi_Longsor_vs_Dana_Bencana = 75000000 const Fraksi_Penduduk_vs_Lahan = 126.25 const Kelahiran = 3613 const Kematian = 1116 const Luas_Wilayah_Studi = (9704.401+3038.15+5226.63)*10000 const Migrasi_Keluar = 3214 const Penerimaan_Awal = 209663489000 const Rasio_Pembangunan_Rumah_vs_Jumlah_Migrasi_Masuk = 36.5 const Rate_Kelahiran = 0.036495 const Rate_Kematian = 0.036495 const Rate_Migrasi_Keluar = 0.0364951 const Rate_Pembangunan_Rumah = 0.036802 const Rate_Penerimaan = 0.140967 const Rumah_Terbangun = 232
321
341
Lampiran 13. Instrumen survei lalu lintas
DATA SURVEI VOLUME LALU LINTAS
Simpang : Arah dari : Hr/ tgl : Tim survei : Periode Waktu MC
ST. ( Lurus ) LV HV UM
LT. ( Belok Kanan ) MC LV HV UM
Pagi 08.00-09.00 09.00-10.00 Siang 12.00-13.00 13.00-14.00 Sore 16.00-17.00 17.00-18.00 Malam 20.00-21.00 21.00-22.00 MC = Sepeda motor, Skuter, kend roda tiga LV = Mobil penumpang, Sedan, Oplet, pick up, mini bus HV = Bus Besar, truck < 2 as UM = kend, tak bermotor, sepeda, becak, gerobak
Jumlah kendaraan
342
Lampiran 14. Hasil Survei Lalu Lintas JL. BJ KONENG
DATA SURVEI VOLUME LALU-LINTAS Simpang : Bojong Koneng Arah dari : Bojong Koneng Hari/ tanggal : Senin, 08 Januari 2007 Tim Survei : Deni Yudistira, Krisna Yogaswara Purwa Jaya Sana A
J L . C IK U T R A
JL. TM P A H LA W A N
Periode Waktu
ST. ( Belok Kiri ) MC LV HV UM
LT. ( Belok Kanan ) MC LV HV UM
Pagi 08.00-09.00 251 37 4 12 222 09.00-10.00 224 35 3 13 179 Siang 12.00-13.00 318 40 2 1 173 13.00-14.00 269 158 4 3 167 Sore 16.00-17.00 195 25 8 10 185 17.00-18.00 237 22 1 1 167 Malam 20.00-21.00 106 12 0 1 109 21.00-22.00 115 17 1 6 88 MC = Sepeda motor, Skuter, kend roda tiga LV = Mobil penumpang, Sedan, Oplet, pick up, mini bus HV = Bus Besar, truck < 2 as UM = kend, tak bermotor, sepeda, becak, gerobak
Jumlah kendaraan
65 55
3 2
9 8
603 519
69 97
2 1
1 1
606 700
31 34
2 2
4 3
460 467
1 16
0 0
0 0
229 243
343
Lampiran 14. (Llanjutan) : Bojong Koneng : Jl. Cikutra : Senin, 08 Januari 2007 : Deni Yudistira, Krisna Yogaswara Purwa Jaya Sana
JL. BJ KONENG
Simpang Arah dari Hari/ tanggal Tim Survei
B J L . C IK U T R A
Periode Waktu
ST. ( Lurus ) LV HV
LT. ( Belok Kiri ) MC LV HV UM
MC UM Pagi 08.00-09.00 430 147 3 16 162 09.00-10.00 465 160 9 13 211 Siang 12.00-13.00 455 155 5 20 185 13.00-14.00 405 178 3 9 146 Sore 16.00-17.00 443 171 2 20 153 17.00-18.00 468 148 1 23 243 Malam 20.00-21.00 240 60 1 3 139 21.00-22.00 220 45 1 1 138 MC = Sepeda motor, Skuter, kend roda tiga LV = Mobil penumpang, Sedan, Oplet, pick up, mini bus HV = Bus Besar, truck < 2 as UM = kend, tak bermotor, sepeda, becak, gerobak
Jumlah kendaraan
10 6
2 1
1 1
771 866
22 17
0 0
9 4
851 762
20 25
0 0
7 10
816 918
15 22
1 1
6 5
465 433
344
Lampiran 14. (Lanjutan) JL. BJ KONENG
DATA SURVEI VOLUME LALU-LINTAS Simpang : Bojong Koneng Arah dari : TM. Pahlawan Hari/ tanggal : Senin, 08 Januari 2007 Tim Survei : Deni Yudistira, Krisna Yogaswara Purwa Jaya Sana
C JL. CIKUTRA
JL. TM PAHLAWAN
Periode Waktu MC
ST. ( Lurus ) LV HV
UM
LT. ( Belok Kiri ) MC LV HV UM
Pagi 08.00-09.00 424 192 2 21 474 220 09.00-10.00 141 17 1 4 145 32 Siang 12.00-13.00 487 234 11 9 425 200 13.00-14.00 176 54 0 3 135 45 Sore 16.00-17.00 643 223 8 23 689 244 17.00-18.00 292 60 1 14 307 73 Malam 20.00-21.00 429 146 2 7 139 15 21.00-22.00 325 111 2 0 143 44 MC = Sepeda motor, Skuter, kend roda tiga LV = Mobil penumpang, Sedan, Oplet, pick up, mini bus HV = Bus Besar, truck < 2 as UM = kend, tak bermotor, sepeda, becak, gerobak
Jumlah kendaraan
5 1
22 6
1360 347
5 0
7 2
1378 415
1 0
15 16
1846 763
1 0
6 0
745 625