PENYEDIAAN PERUMAHAN DAN INFRASTRUKTUR DASAR DI LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Bandung)
VERONICA KUSUMAWARDHANI
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 41
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan (Studi Kasus Kota Bandung) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Desember 2015
Veronica Kusumawardhani NIM P052110304
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
RINGKASAN
VERONICA KUSUMAWARDHANI. Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan. Bandung sebagai salah satu kota metropolitan yang berkembang di Indonesia tidak luput dari permasalahan permukiman kumuh. Permasalahan permukiman kumuh ditandai dengan penurunan kondisi lingkungan seperti kurangnya ketersediaan air baku serta pencemaran. Selain itu menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman salah satu tanda permukiman kumuh adalah kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menghitung kesenjangan sumberdaya ditinjau dari kuantitas dan kualitas air dan lahan bagi penduduk di wilayah/kawasan permukiman kumuh Kota Bandung dihitung berdasarkan standar pelayanan minimal dan standar kualitas baku mutu, serta (2) menentukan bentuk infrastruktur dasar sebagai bentuk subtitusi penyediaan sumber daya air dan lahan yang paling tepat. Penelitian dilakukan di tiga kelurahan yang mewakili tiga tipologi permukiman kumuh yaitu berat adalah Kelurahan Tamansari, sedang adalah Kelurahan Babakan Ciamis, dan ringan adalah Kelurahan Cihargeulis berdasarkan peraturan pemerintah Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis baik berupa tulisan ilmiah maupun dokumen resmi dari instansi terkait. Data primer didapatkan dari pengamatan langsung pada lokasi penelitian, observasi, serta wawancara dengan pegawai pemerintahan di lokasi studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuantitas kebutuhan air pada ketiga kelurahan tersebut terpenuhi dari sumber air PDAM dan sumur baik pompa maupun gali. Sedangkan untuk lahan maka luas lahan eksisting untuk perumahan pada ketiga kelurahan relatif mencukupiAdapun kualitas air pada ketiga kelurahan terlihat bahwa kualitas air dari sumber PDAM telah memenuhi syarat namun untuk kualitas air sumur di Kelurahan Tamansari, Kelurahan Babakan Ciamis, dan Kelurahan Cihargeulis masih melebihi ambang batas yang disyaratkan. Kemudian untuk kualitas tanah menunjukkan bahwa Kelurahan Tamansari memiliki kualitas yang paling rendah, Kelurahan Cihargeulis memiliki kualitas paling tinggi. Bentuk infrastruktur yang menjadi prioritas bentuk penyediaan di Kelurahan Tamansari sebagai permukiman kumuh berat untuk air minum adalah perpipaan dari PDAM dan pengolahan air permukaan setempat, untuk air limbah adalah MCK Komunal dan Instalasi Pengolah Air Limbah Skala lingkungan, untuk persampahan adalah Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah untuk sampah anorganik, dan untuk rumah adalah rumah susun. Bentuk penyediaan infrastruktur di Kelurahan Babakan Ciamis sebagai permukiman kumuh sedang untuk air minum adalah perpipaan PDAM, untuk air limbah adalah MCK Komunal dan Instalasi Pengolah Air Limbah Skala lingkungan, untuk persampahan adalah Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah untuk sampah anorganik, dan untuk rumah adalah rumah susun. Sedangkan bentuk
penyediaan infrastruktur di Kelurahan Cihargeulis sebagai permukiman kumuh ringan untuk air minum adalah perpipaan dari PDAM, air limbah adalah pengolahan limbah tinja dan limbah domestik terpusat skala kota di Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojonsoang, persampahan adalah Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah untuk sampah anorganik, dan rumah adalah rumah tidak bersusun. Berdasarkan kajian lebih lanjut dukungan untuk bentuk penyediaan supaya dapat memenuhi kebutuhan penduduk di tiga kelurahan tersebut adalah mengatasi kebocoran air dari PDAM, penyediaan lahan untuk membangun instalasi pengolahan air limbah komunal, penetapan target yang konsisten untuk mengolah sampah hingga 100%, serta penertiban dan penataan pembangunan rumah di lahan yang boleh dibangun atau tidak. Kata kunci: Permukiman kumuh, sumber daya alam air dan lahan, standar pelayanan minimal, baku mutu lingkungan, infrastruktur dasar permukiman
SUMMARY VERONICA Kusumawardhani. Housing and Basic Infrastructure Provision in Urban Slum. Bandung as one of the growing metropolitan in Indonesia did not escape from the problems of slums emerging. The problem of slums is characterized by such as a decrease in environmental conditions such as lack of raw water availability and pollution. Based oh those facts, this study aimed to calculate the resource gap in terms of quantity and quality of water and land, for people living in the slums in Bandung city based on minimum service standards and environment quality standards quality, and determining the form of basic infrastructure as a substitute provider of natural resources water and land that most appropriate. The study was conducted in three kelurahan which represent the three typologies of slums that are heavy is Kelurahan Tamansari, moderate is Kelurahan Babakan Ciamis, and light is Kelurahan Cihargeulis. This study uses secondary data and primary data. Secondary data were obtained from written documents in the form of scientific papers and official documents from the relevant authorities. Primary data obtained from direct observation at the location of the research, observation, and interviews with government officials in the study area. The results showed that in terms of quantity water in the three kelurahans are from the ground water and piped water from PDAM. As for the the existing land for housing in the three kelurahans suffice. In terms of water quality in the three kelurahans is seen that the quality from PDAM have met the environment standards but the quality from ground water have not. Then for soil quality with reference to Soil Quality Index of BPS was seen that the Land Quality Index in the Kelurahan Tamansari is the lowest, and Kelurahan Cihargeulis is the highest. The shape of the priority infrastructure for Kelurahan Tamansari for water is piping from PDAM or local surface water treatment, for wastewater is MCK Communal for black water and local wastewater instalation treatment plat for grey water, for solid waste is anorganic waste bank and composting for organic waste, and multistorey housing. The shape of the priority infrastructure for Kelurahan Babkan Ciamis for water is piping from PDAM, for wastewater is MCK Communal for black water and local wastewater instalation treatment plat for grey water, for solid waste is anorganic waste bank and composting for organic waste, and multistorey housing. The shape of the priority infrastructure for Kelurahan Cihargeulis for water is piping from PDAM, for wastewater is city level wastewater installation treatment in Bojongsoang, for solid waste is anorganic waste bank and composting for organic waste, landed housing. Based on further research it is found that the support for infrastructure provisions are handling PDAM water leakage, land provision to build in-site communal wastewater handling installation, implementing consistent target to handle solid waste up to 100%, housing building law enforcement. Keywords: Slums, water and natural resources of land, minimum service standards, environmental standards, the basic infrastructure of the settlements
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, peneltiian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENYEDIAAN PERUMAHAN DAN INFRASTRUKTUR DASAR DI LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Bandung)
VERONICA KUSUMAWARDHANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Widiatmaka, DEA
Judul penelitian
Nama NRP Program Studi
: Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan (Studi Kasus: Kota Bandung) : Veronica Kusumawardhani : P052110304 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo, MS).
(Dr. Ir. Indarti Komala Dewi, MSi)
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Lingkungan
An. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Magister
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana,MS. NIP. 196202121985011001
Prof. Dr. Ir. Nahrowi, MSc, NIP. 196204251986031002
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subahnahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah mengenai kuantitas dan kualitas sumber daya alam air dan lahan dan subtitusinya pada permukiman kumuh, dengan judul Kajian Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Kumuh Perkotaan Perkotaan dengan Studi Kasus di Kota Bandung. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Dr. Ir. Indarti Komala Dewi, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku penguji luar komisi serta Dr. Ir. Yanuar J. Purwanto selaku pimpinan sidang pada ujian tesis atas segala saran, bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Perencanaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kepala Satker Perencanaan dan Pengendalian Pengembangan Infrastruktur Permukiman Provinsi Jawa Barat, Kasubdit Keterpaduan Perencanaan dan Kemitraan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, Lurah Tamansari Kota Bandung, Lurah Babakan Ciamis Kota Bandung, dan Lurah Cihargeulis Kota Bandung. Kepada keluarga tercinta, Ibunda Maria Loretta Wangke, kakak Priscilla Indrawardhani, dan adik Anneke Puspawardhani yang selalu memberi dukungan moril. Selain itu kepada putra-putra penulis Muhammad Arkan Prayogo dan Wisnu Ilyas Alamsyah untuk selalu menjadi sumber semangat dalam menyelesaikan tesis, serta suami Cakra Nagara untuk bantuan dan selalu mengingatkan supaya segera menyelesaikan studi. Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan kuliah, penelitian dan penulisan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dan bantuannya. Masukan, saran, dan bimbingan sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih baik. Semoga katya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Desember 2015
Veronica Kusumawardhani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Kerangka Pemikiran
3
Perumusan Masalah
5
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
8
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
9
Pencemaran
10
Permukiman dan Perumahan
12
Permukiman Kumuh
13
Infrastruktur Dasar Permukiman
15
Standar Pelayanan Minimal
19
Teknik Analisis
20
3 METODE Waktu dan Tempat
23
Metode Analisis
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Studi
36
Kesenjangan Kebutuhan Sumber Daya Alam Air dan Lahan
39
Penentuan Bentuk Infrastruktur Dasar Permukiman Prioritas
48
Penentuan Jumlah Kebutuhan Infrastruktur Prioritas
55
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
62 62
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
66
RIWAYAT HIDUP
87
DAFTAR TABEL 1.
Jenis Pelayanan Berdasarkan Indikator Kinerja
19
2.
Kualitas air
41
3.
Indeks Kualitas Tanah Lokasi Studi
44
4.
Sandingan Kebutuhan Kuantitas dan Kualitas Air dan Lahan untuk Perumahan Kelurahan Tamansari
45
5.
Sandingan Kebutuhan Kuantitas dan Kualitas Air dan Lahan untuk Perumahan Kelurahan Babakan Ciamis
46
6.
Sandingan Kebutuhan Kuantitas dan Kualitas Air dan Lahan untuk Perumahan Kelurahan Cihargeulis
47
7.
Sandingan Kesesuaian Sumberdaya Air dan Lahan dengan Infrastruktur Dasar Permukiman Terkait
49
8.
Data Pakar
50
9.
Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Minum Kelurahan Tamansari
51
10. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Limbah Kelurahan Tamansari
51
11. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Persampahan Kelurahan Tamansari
51
12. Bentuk Penyediaan Terpilih Rumah Kelurahan Tamansari
51
13. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Minum Kelurahan Babakan Ciamis
52
14. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Limbah Kelurahan Babakan Ciamis
52
15. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Persampahan Kelurahan Babakan Ciamis
52
16. Bentuk Penyediaan Terpilih Rumah Kelurahan Babakan Ciamis
52
17. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Minum Kelurahan Cihargeulis
53
18. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Limbah Kelurahan Cihargeulis
53
19. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Persampahan Kelurahan Cihargeulis
53
20. Bentuk Penyediaan Terpilih Rumah Kelurahan Cihargeulis
53
21. Rangkuman Bentuk Infrastruktur dan Rumah Terpilih
54
22. Jumlah Debit Air dari Layanan PDAM
56
23. Jumlah Sampah yang Dihasilkan dan yang Tidak Terangkut per Hari
57
24. Perhitungan Jumlah Rata-Rata Anggota Keluarga per KK
58
25. Perhitungan Kebutuhan Rumah Susun dan Luas Lahan Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis
59
26. Perkiraan Jumlah Kebutuhan Infrastruktur dan Perumahan Prioritas
60
DAFTAR GAMBAR 1.
Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
5
2.
Rumus Indeks Kualitas Tanah
12
3.
Peta Lokasi Penelitian
23
4.
Hirarki Penentuan Infrastruktur Air Minum
30
5.
Hirarki Penentuan Infrastruktur Air Limbah
32
6.
Hirarki Penentuan Infrastruktur Persampahan
33
7.
Hirarki Penentuan Bentuk Penyediaan untuk Rumah
35
8.
Kelurahan Tamansari
37
9.
Kelurahan Babakan Ciamis
38
10. Kelurahan Cihargeulis
39
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Data Eksisting Kondisi Perumahan dan Infrastruktur
66
2.
Kriteria mutu air berdasarkan kelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air
68
3.
Data Kualitas Air Hasil Olahan PDAM
67
4.
Data Kualitas Air Sumur
70
5.
Data Narasumber
73
6.
Matriks Pairwise Comparison untuk Seluruh Responden
74
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang kegiatan utamanya bukan di sektor pertanian dengan susunan fungsi-fungsi kawasan permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Hadi, 2012). Kondisi banyak kota di Indonesia yang umumnya berkembang pesat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan serta menyediakan layanan primer dan sekunder, telah mengundang penduduk dari daerah perdesaan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik serta berbagai kemudahan lain termasuk lapangan kerja. Kondisi tersebut di atas mengakibatkan terjadinya pertambahan penduduk yang lebih pesat dibanding kemampuan pemerintah di dalam menyediakan hunian serta layanan primer lainnya. Pertumbuhan kota tersebut juga diiringi dengan terjadinya kesenjangan ekonomi yang cukup lebar antara penduduk. Penduduk dengan kemampuan ekonomi yang rendah juga membutuhkan tempat tinggal sehingga yang terjadi adalah timbulnya kantong-kantong permukiman yang dihuni oleh masyarakat berpendapatan rendah. Permukiman-permukiman tersebut biasanya menjadi kawasan permukiman yang kurang layak huni, bahkan yang terjadi pada berbagai kota cenderung berkembang menjadi kumuh dan tidak sesuai lagi dengan standard lingkungan permukiman yang sehat. Seperti yang disampaikan oleh Chowdhury et.al (2006) yaitu bahwa pertumbuhan kota-kota di negara berkembang disertai dengan pertambahan jumlah penduduk kota yang menghuni permukimanpermukiman kumuh dengan kondisi kurang layak. Permukiman kumuh di kotakota biasanya ditandai dengan kurangnya pelayanan prasarana sarana dasar dengan penghuni yang kebanyakan adalah masyarakat berpendapatan rendah.Secara umum kepadatan permukiman maupun aktivitas penduduknya dapat memberikan tekanan pada lingkungan, hingga pada satu titik, lingkungan atau sumberdaya alam yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk tersebut. Sedangkan pada suatu kawasan permukiman, kondisi lingkungan dan ketersediaan sumberdaya alam merupakan suatu prasyarat bagi keberlanjutan kehidupan permukiman. Jika daya dukung terlampaui oleh hasil aktivitas masyarakatnya maka akan muncul eksternalitas negatif, seperti pencemaran, krisis air baku, maupun masalah kesehatan. Seperti juga disampaikan dalam Supono (2009) bahwa bila kecenderungan perkembangan dan pembangunan kota yang merusak sistem daya dukung lingkungan dan komunitas warganya dibiarkan tanpa pengendalian yang ketat, kota-kota itu tidak memiliki masa depan. Masalah penanganan kawasan kumuh juga menjadi isu strategis nasional dan internasional. Pada tataran internasional penanganan kawasan kumuh dfokuskan pada pancapaian Millennium Development Goals 2015 khususnya untuk tujuan 7 sasaran 11 yaitu “Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh”. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2011,
1
luasan kawasan kumuh tersisa sebesar 12,75% atau menurun 8,18% dari kondisi tahun 1993. Namun masih terdapat permukiman kumuh yang masih harus ditangani. Penanganan tersebut sejalan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu bahwa pada tahun 2020 perkotaan di Indonesia sudah harus bebas dari kawasan kumuh. Kota-kota di Indonesia tidaklah luput dari permasalahan permukiman kumuh ini. Salah satunya adalah Kota Bandung, sebagai bagian dari Metropolitan Bandung, yang tidak luput dari segala dampak pertumbuhan ekonomi dari kota besar. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, saat ini terdapat 367 titik kawasan permukiman kumuh. Di beberapa bagian wilayah Kota Bandung permukiman kumuh menjadi masalah serius, seperti di DAS Cikapundung, ketika permukiman kumuh tumbuh di beberapa bagian bantaran sungai yang menyebabkan masalah pencemaran sungai, banjir akibat pendangkalan dan sampah, maupun konflik sosial. Ataupun di beberapa kawasan lainnya yang ditandai dengan kepadatan tinggi, ketidakteraturan hunian, masalah penyediaan infrastruktur dasar permukiman, maupun tumbuhnya permukiman di lahan yang dilarang untuk dibangun seperti lahan pemerintah maupun bantaran rel kereta api. Secara fisik bentuk perumahan yang terlihat di permukiman kumuh Kota Bandung sebagian besar terlihat kurang layak, seperti terletak di bibir sungai, berhimpitan, terbuat dari material yang kurang kokoh, kurang pencahayaan, terletak di lingkungan yang kotor, maupun permasalahan pada status tanahnya. Lebih lanjut penyediaan infrastruktur di Kota Bandung masih mengalami beberapa kendala di antaranya : Belum tersedianya TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) yang berkelanjutan dengan sistem pengolahan yang ekonomis; Sistem drainase yang ada tidak berfungsi optimal dan 50% jaringan jalan belum dilengkapi sistem drainase Belum terintegrasinya sistem air limbah kota dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Selain itu kapasitas IPAL terbatas, dan belum digunakan secara optimal; Jaringan air bersih baru melayani 53% penduduk dengan pengaliran kontinu 24 jam dan tingkat kebocoran 50%; Sumber air baku tidak memadai dan ketersediaan serta kualitas air tanah yang semakin kritis. Pemerintah kota Bandung menyadari permasalahan tersebut dan melakukan tindakan penanganan mulai dari tahap perencanaan, hingga penetapan kawasan kumuh yang menjadi prioritas untuk segera ditangani. Selan itu juga telah dibentuk Kelompok Kerja Revitalisasi kawasan kumuh yang tugas utamanya adalah menerapkan langkah-langkah penanganan kawasan kumuh di Kota Bandung namun tanpa konflik. Langkah-langkah ini dilakukan dengan landasan bahwa masyarakat khususnya penghuni kawasan kumuh adalah subyek dan bukannya obyek sehingga harus diperlakukan sebagai mitra oleh pemerintah.
2
Kerangka Pemikiran Perkembangan kota selain berdampak pada pertumbuhan ekonomi juga berdampak pada sisi lain yaitu memicu terjadinya urbanisasi, maupun kesenjangan ekonomi. Santoso (2009) menjelaskan bahwa munculnya masalah sosial dan kantong-kantong permukiman masyarakat berpenghasilan rendah di kota akibat adalah urbanisasi semu (pseudo urbanization), ketika proses urbanisasi di negara berkembang tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi (industrialisasi) keadaan sekarang ini yang disebut sebagai involusi kota. Involusi kota sendiri adalah kondisi ketika penduduk perkotaan didorong masuk ke sektor tersier walaupun sektor ini bersifat padat karya dan belum tentu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi pekerjanya. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan golongan masyarakat berpendapatan rendah yang membutuhkan tempat tinggal menghuni lokasi-lokasi yang tidak layak atau tidak diperuntukkan bagi permukiman seperti tempat pembuangan sampah, bantaran sungai, maupun sepanjang rel kereta api. Kondisi permukiman tersebut juga diperburuk dengan rendahnya kesadaran penghuni permukiman kumuh untuk menjaga kualitas lingkungannya (Soemarwoto, 1997). Kepadatan dan aktivitas penduduk memberikan tekanan pada lingkungan yang menyebabkan terlampauinya daya dukung lingkungan. Sedangkan dalam Soemarwoto (1997) juga disebutkan bahwa tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan adalah kerusakan lingkungan.Contohnya adalah menurunnya kondisi sanitasi. Hal ini disebabkan oleh naiknya kepadatan penduduk. Jumlah rumah menjadi tidak cukup dan orang membangun rumah yang sangat sederhana yang sering tidak dapat disebut sebagai rumah. Rumah ini tidak mempunyai jamban, sumber air bersih dan tempat pembuangan sampah. Kebiasaan untuk membuang air besar dimana-mana dilakukan di sini. Demikian sampah juga dibuang di sembarang tempat, sedangkan tidak terdapat tempat daur ulang. Akibatnya beban sampah atau limbah kepada lingkungan mengalami kenaikan. Sedangkan pelayanan sanitasi peningkatannya tidak sebanding dengan kebutuhan. Tidak memadainya pelayanan sanitasi dan air baku menyebabkan berkembangnya penyakit akibat kondisi sanitasi yang kurang bersih, seperti kolera, muntaber, demam berdarah, penyakit kulit, dll. Masalah lain adalah banjir. Kenaikan jumlah penduduk memerlukan bertambahnya rumah. Kenaikan kebutuhan akan perumahan yang disertai dengan belum dilaksanakannya peraturan secara sepenuhnya dan masih rendahnya kesadaran lingkunganmenyebabkan makin berkurangnya luas wilayah resapan air. Selain itu banyak rumah yang dibangun di atas bantaran sungai sehingga mengganggu fungsi DAS sebagai wilayah resapan air. Kondisi tersebut diperparah dengan kerusakan hutan di daerah hulu sungai, sehingga pada waktu hujan debit sungai cepat naiknya. Salah satu pendekatan untuk mengatasi permasalahan dampak menurunnya kualitas lingkungan di permukiman kumuh terhadap penduduknya adalah melalui penyediaan infrastruktur dasar permukiman yang memadai. Seperti yang disampaikan oleh Chogull (1996), bahwa infrastruktur adalah salah satu cara untuk mengurangi dampak kondisi lingkungan di dalam kota, yang dapat berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk kota. Infrastruktur juga merupakan instrumen untuk menciptakan wilayah perkotaan yang tertata dengan
3
baik. Sehingga jika suatu kota gagal menyediakan tingkat pelayanan infrastruktur yang memadai, maka kota tersebut dapat dikatakan kurang mampu mempertahankan keseimbangan lingkungan dengan standard kehidupan penduduknya. Selain itu juga disampaikan dalam Suhono (2008) bahwa infrastruktur dipercaya dapat ikut menjaga keseimbangan ataupun kualitas daya dukung lingkungan agar tidak semakin menurun. Infrastruktur dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, menjadikan permukiman lebih layak huni serta mengurangi gangguan kesehatan masyarakat menjadi lebih sehat dan produktif. Selain itu infrastruktur juga mempunyai peranan sangat penting dalam mendorong adanya keberlanjutan daya dukung lingkungan dan efisiensi sumber daya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia infrastruktur adalah prasarana yaitu segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya). Adapun menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman. Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011 – 2031 disebutkan bahwa prasarana kota adalah kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yang meliputi jalan, saluran air minum, saluran air limbah, saluran air hujan (drainase), sarana persampahan, jaringan gas, jaringan listrik, dan telekomunikasi. Sedangkan menurut rencana tata ruang wilayah kota tersebut sarana adalah kelengkapan kawasan permukiman perkotaan yang berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan dan pelayanan umum, peribadatan, rekreasi dan kebudayaan, olah raga dan lapangan terbuka, serta pemakaman umum. Jika ditinjau keterkaitannya dengan konteks lingkungan mencakup aspek air dan lahan, maka infrastruktur yang terkait mencakup air minum, air limbah, drainase, dan persampahan, selain aspek rumah tinggal juga menjadi komponen wajib yang harus diperhitungkan. Pada kebijakan pembangunan nasional, infrastruktur dasar permukiman tersebut juga ditujukan untuk mengatasi masalah lingkungan, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan dengan amanatnya adalah Pasal 4 yaitu “Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya”.Amanat lain tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yaitu Pasal 8 Ayat (6) “Penggunaan air baku khususnya dari air tanah dan mata air wajib memperhatikan keperluan konservasi dan pencegahan kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Perbaikan kondisi lingkungan di permukiman kumuh melalui penyediaan infrastruktur dasar permukiman tidak terlepas dari peranserta masyarakat. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Chowdhury et.al (2006) terlihat bahwa keberhasilan perbaikan permukiman kumuh bergantung pada partisipasi masyarakat. Dalam hal ini masyarakat perlu dilibatkan mulai dari tahap perencanaan hingga pemeliharaan sehingga akan timbul rasa memiliki. Sehingga
4
infrastruktur dasar permukiman yang telah terbangun akan terus dipelihara oleh masyarakat. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram seperti pada Gambar 1.1 berikut ini. Masyarakat Berpendapatan Rendah Membutuhkan Tempat Tinggal Urbanisasi
Perkembangan Perkotaan
Tumbuhnya KantongKantong Permukiman Kumuh
Kesenjangan Ekonomi
Mendukung Kepadatan dan Aktivitas Penduduk Memberi Tekanan pada Kondisi Lingkungan
Perbaikan permukiman kumuh melalui infrastruktur dasar permukiman
Menentukan infrastruktur dasar permukiman untuk mencapai kuantitas dan dan kualitas lingkungan yang dibutuhkan di permukiman kumuh
Keterangan:
Menentukan selisih kebutuhan kuantitas sumberdaya yang dibutuhkan dan kualitas lingkungan yang harus dicapai
Menghitung Kondisi Eksisting ketersediaan sumber daya dan kualitas dari aspek air dan lahan di permukiman kumuh Kota Bandung
Permasalahan Kondisi Lingkungan Permukiman Kumuh Berpengaruh terhadap: Ketersediaan sumber daya alam Kualitas lingkungan → contoh: pencemaran
Fokus penelitian Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian Perumusan Masalah
Dalam dokumen Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan Kota Bandung (2011), disampaikan bahwa sebagai bagian dari Kota
5
Inti kawasan Metropolitan Bandung, Kota Bandung menjadi pusat aktivitas dan permukiman baik bagi warga Kota Bandung maupun warga Kota dan Kabupaten yang ada di kawasan Metropolitan Bandung. Posisi tersebut menyebabkan terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam perkembangan kota Bandung, salah satunya keterbatasan daya dukung lingkungan untuk menampung jumlah penduduk kota Bandung. Berdasarkan hasil kajian penataan ruang kawasan metropolitan Bandung, daya dukung ruang Kota Bandung maksimum sebesar 3.018.038 jiwa dengan kepadatan 200 jiwa/ha. Dalam RTRW Kota Bandung 2004- 2013, jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2013 diperkirakan sudah mencapai batas maksimal daya tampung ruang Cekungan Bandung. Pada tahun 2030 mendatang jumlah penduduk Kota Bandung diperkirakan akan mencapai sekitar 4.1 juta jiwa. Daya tarik kota Bandung yang tinggi menyebabkan pertumbuhan penduduk (baik pemukim maupun commuter) juga relatif tinggi. Perkembangan jumlah penduduk tersebut tentu saja menuntut penyediaan lahan untuk perumahan dan permukiman. Perumahan yang ada saat ini belum memenuhi kebutuhan tersebut, sementara pengembangan perumahan di Kota Bandung akan semakin terbatas karena lahan yang tersedia juga terbatas.Selain itu, tingkat pendapatan dan daya beli yang rendah menyebabkan sejumlah penduduk tidak dapat memiliki rumah yang layak dan sehat. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya penduduk yang tinggal pada rumah dengan kondisi kurang layak atau kurang sehat bahkan tidak sedikit yang tinggal pada permukiman kumuh. Hal tersebut diperparah dengan ketidakseimbangan antara penyediaan infrastruktur dan utilitas kota dengan dinamika aktivitas kota sehingga tingkat pelayanan menjadi tidak optimal. Seperti telah diuraikan pada kerangka pemikiran di atas, salah satu pendekatan untuk meningkatkan atau menjaga kualitas lingkungan di permukiman kumuh adalah perbaikan kondisi perumahan dan penyediaan infrastruktur dasar permukiman. Seperti yang disampaikan oleh Chogull (1996) bahwa infrastruktur adalah salah satu cara untuk mengurangi dampak kondisi lingkungan di dalam kota, yang dapat berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk kota. Infrastruktur juga merupakan instrumen untuk menciptakan wilayah perkotaan yang tertata dengan baik. Sehingga jika suatu kota gagal menyediakan tingkat pelayanan infrastruktur yang memadai, maka kota tersebut dapat dikatakan kurang mampu mempertahankan keseimbangan lingkungan dengan standard kehidupan penduduknya. Seperti disampaikan dalam Suhono (2008) bahwa infrastruktur dipercaya dapat ikut menjaga keseimbangan ataupun kualitas daya dukung lingkungan agar tidak semakin menurun. Pemenuhan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman harus mengacu pada besaran kuantitatif tertentu. Perumahan dan infrastruktur dasar permukiman sebagai salah satu bentuk pelayanan dasar perkotaan/perdesaan harus mengacu pada suatu standar minimum tertentu yang harus dipenuhi. Seperti yang telah disampaikan oleh Joardar (1998), bahwa terdapat kriteria kunci bagaimana daya dukung dapat dipertemukan dengan standar pelayanan perkotaan yaitu bahwa dapat diukur dengan standar penyediaan minimal. Dari sisi ketersediaan, pemerintah sebagai penyedia utama pelayanan infrastruktur dasar permukiman telah menetapkan standar pelayanan minimal untuk penyediaan air minum, air limbah, persampahan, drainase, dan bangunan tinggal. Standar tersebut merupakan besaran minimum yang harus disediakan untuk per penduduk, ataupun
6
per satuan luas kawasan tertentu. Sedangkan untuk kemampuan asimilatif/mengurai limbah pemerintah juga telah menetapkan besaran baku mutu air yang harus dipenuhi. Acuan standar dan baku mutu tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1//PRT/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dipertanyakan bagaimanakah bentuk penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman hingga bisa memenuhi standar pelayanan minimal dan baku mutu. Pada permukiman kumuh, pemerintah adalah stakeholder utama dalam penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman. Hal ini dikarenakan penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman tidak bersifat cost recovery atau pulih biaya mengingat karakteristik penduduk permukiman kumuh yang biasanya masyarakat berpendapatan rendah sehingga pembebanan biaya apapun dalam rangka penyediaan infrastruktur tersebut harus diperhitungkan dengan sangat hati-hati dan seksama. Selain itu perlu diperhitungkan peranan masyarakat penghuni permukiman kumuh dalam penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman. Hal ini dikarenakan masyarakat merupakan pemakai dan pada akhirnya adalah pemelihara. Sehingga dibutuhkan bentuk dan cara penyediaan perumahan infrastruktur dasar permukiman yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat namun juga dapat mendukung ketersediaan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan. Terkait dengan uraian tersebut di atas maka beberapa pertanyaan atau masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah kuantitas dan kualitas perumahan dan infrastruktur dasar permukiman yang terkait erat dengan lingkungan pada permukiman kumuh di Kota Bandung? 2. Bagaimanakah bentuk penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman untuk memenuhi ketersediaan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan?
Tujuan Penelitian
1.
2.
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut: Menganalisa kuantitas dan kualitas perumahan dan infrastruktur dasar permukiman eksisiting yang terkait langsung dengan lingkungan khususnya sumberdaya air dan lahan di permukiman kumuh dengan mengacu pada besaran standar pelayanan minimal dan baku mutu lingkungan. Merumuskan bentuk penyediaan perumahan infrastruktur dasar permukiman yang paling tepat dan sesuai kebutuhan untuk mendukung ketersediaan sumberdaya alam dan menjaga kualitas lingkungan.
7
Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan manfaat bagi beberapa stakeholder/pemangku kepentingan sebagai berikut: 1. Memberikan masukan mengenai kuantitas dan kualitas perumahan dan infrastruktur dasar permukiman yang paling terkait dengan lingkungan seperti air minum, air limbah, dan persampahan di permukiman kumuh. 2. Memberikan masukan bentuk penyediaan infrastruktur dasar permukiman yang dibutuhkan untuk dapat mendukung kuantitas dan kualitas sumberdaya alam air dan lahan di permukiman kumuh.
8
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Dalam Soerianegara (1977) disampaikan bahwa dalam pengertian umum, sumberdaya ialah sumber persediaan, baik cadangan maupun yang baru. Lebih lanjut disampaikan bahwa sumberdaya merupakan suatu atribut dari lingkungan, yang menurut anggapan manusia mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu, yang dibatasi oleh keadaan sosial, politik, ekonomi, dan kelembagaan. Adapun pengertiannya dijabarkan sebagai berikut: 1. Persediaan total (total stock), yaitu jumlah semua unsur lingkungan yang mungkin merupakan sumberdaya jika seandainya dapat diperoleh. 2. Sumberdaya (resources) ialah suatu bagian dari persediaan total yang dapat diperoleh manusia. 3. Cadangan (reserve) ialah bagian dari sumberdaya yang diketahui dengan pasti dapat diperoleh. Dalam Soearinegara (1977) juga didefinisikan bahwa sumberdaya alam sebagai keadaan lingkungan dan bahan-bahan mentah yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan memperbaiki kesejahteraannya. Maka definisi kerja dari sumberdaya alam ialah unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan kesejahteraannya. Selain itu sumberdaya alam dapat dibedakan sifatnya ke dalam sumberdaya alam fisik, seperti tanah, air dan udara, dan sumberdaya alam hayati, yaitu hutan, padang rumput, tanaman pertanian, perkebunan, margasatwa, populasi ikan, dan sebagainya. Pembagian lain membedakan sumberdaya alam menurut kemungkinan pemulihannya yaitu: 1. Sumberdaya alam yang dapat dipulihkan (renewable atau flow resources), seperti tanah, air, hutan, padang rumput, dan populasi ikan). 2. Sumberdaya alam yang tak dapat dipulihkan (non-renewable, fund, atau stock resources), seperti tambang minyak bumi, batubara, gas bumi, dan bijih logam. 3. Sumberdaya alam yang tak akan habis (continuous resources), yaitu energi matahari, energi pasang surut, udara dan air dalam siklus hidrologi. Sumberdaya alam pun dapat dibedakan berdasarkan kebutuhan pokok manusia yaitu: 1. Sumberdaya tanah. 2. Sumberdaya air dan udara. 3. Sumberdaya energi. Dalam Soerianegara (1977) disampaikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dapat didefinisikan sebagai usaha manusia dalam mengubah ekosistem sumberdaya alam agar manusia memperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya. Pengelolaan sumberdaya alam dapat pula diberi batasan sebagai suatu proses mengalokasikan sumberdaya alam dalam ruang dan waktu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi sudah tentu bahwa dalam mengalokasikan sumberdaya alam ini diusahakan perimbangan antara populasi manusia dan sumberdaya, dengan mengusahakan pula pencegahan kerusakan pada sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pada sumberdaya alam
9
yang dapat dipulihkan, pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, yang sejauh mungkin mencegah dan mengurangi pencemaran lingkungan hidup dan dapat menjamin kelestarian sumberdaya untuk kepentingan generasi yang akan datang. Hal yang terakhir ini berarti pula bahwa sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan dijaga agar tidak mengalami kerusakan dan sumberdayasumberdaya genetik nabati dan hewani tidak mengalami kerusakan. Sasaran pengelolaan sumberdaya alam adalah ekosistem sumberdaya alam, sehingga pengelolaan lingkungan atau lingkungan hidup sudah tercakup dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam. Akan tetapi, dalam beberapa keadaan, seperti dalam masalah kerusakan dan pengotoran lingkungan oleh kegiatan pertambangan dan industri, kegiatan pengelolaannya memang khusus ditujukan untuk perbaikan keadaan lingkungan, yaitu perbaikan kualitas lingkungan hidup. Dalam hal inilah pengelolaan sumberdaya alam terpisah dari pengelolaan lingkungan hidup, dan ruang lingkupnya adalah perlindungan dan perbaikan lingkungan. Lingkungan hidup dalam tiga sistem, yaitu sistem lingkungan tanah, sistem lingkungan air, dan sistem lingkungan udara. Dari sistem lingkungan hidup dapat terlihat bahwa tanah, air, dan udara, dapat dianggap sebagai lingkungan atau sumberdaya, yaitu sumberdaya fisik. Maka pada pengelolaan lingkungan hidup pun harus diusahakan dilestarikannya. Pada sistem lingkungan tanah, usaha-usaha yang perlu dikerjakan adalah rehabilitasi, pengawetan, perencanaan, dan pendayagunaan tanah yang optimum. Pada sistem air dan udara, yang perlu diusahakan ialah pembersihan dari pengotoran dan pencegahannya. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka lingkungan hidup akan mundur kualitasnyadan akhirnya manusia takkan dapat memanfaatkannya lagi. Manusia memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan kesejahteraannya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam dapat menimbulkan akibat sampingan berupa: 1. Kerusakan dan kemunduran pada sumberdaya alam. 2. Pencemaran kimiawi, terutama pencemaran air dan udara. 3. Gangguan pada kesehatan, sebagai akibat pencemaran dan berjangkitnya wabah penyakitsebagai akibat adanya kegiatan yang mengganggu sumberdaya alam dan lingkungannya. 4. Gangguan sosial, yaitu tekanan yang dialami masyarakat manusia sebagai akibat kegiatan pemanfaatan
Pencemaran Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk ataudimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,dan/atau komponen lain ke dalam lingkunganhidup oleh kegiatan manusia sehingga melampauibaku mutu lingkungan hidup yang telahditetapkan.Dalam Hadi (2012) disebutkan bahwa aktivitas penduduk perkotaan (rumah tangga, industri, transportasi, perdagangan, dll) menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya penduduk yang ada di perkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah cair yang ada di perkotaan, sebagai contoh sampah rumah tangga di DKI Jakarta mencapai 70% dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang
10
dari 12.000 m3 (Sutjahjo et al, 2005 dalam Hadi, 2012). Melimpahnya sampah ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah materi (berupa limbah/sampah) yang perlu diproses dengan kemampuan dekomposer dalam memprosesnya. Akibatnya maka proses dekomposisi tidak berlangsung sempurna, sehingga dari bahan organik akan dihasilkan berbagai gas beracun dan berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan (Martin et al, 1985 dalam Hadi, 2012). Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi bahan pencemar, sedangkan kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat lama (Riani et al 2005 dalam Hadi, 2012). Selanjutnya dikatakan bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan kemampuan badan air untuk memurnikan limbah menjadi semakin rendah, akibatnya terjadi pencemaran berat di beberapa badan air yang melewati daerah perkotaan. Lebih lanjut dalam Hadi (2012) disampaikan bahwa besarnya beban pencemaran pada air dapat dicermati dari kualitasnya. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air maka kualitas air dapat dibagi menjadi empat kelas yaitu: a. Kelas I dapat digunakan sebagai bahan baku air minum. b. Kelas II dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air dan perikanan. c. Kelas III dapat digunakan untuk pertanian dan budidaya ikan air tawar. d. Kelas IV untuk mengairi pertamanan. Berdasarkan pembagian segmennya, kualitas badan air, dalam hal ini sungai sebagai salah satu sumber air baku terbagimenjadi beberapa kelas. Mengukur tingkat pencemaran tanah dapat didekati melalui suatu besaran yang dirumuskan oleh Badan Pusat Statistik yang disebut dengan Indeks Kualitas Tanah (IKT). IKT Pemukiman adalah suatu nilai yang menggambarkan kondisi atau mutu tanah di suatu daerah. Indeks kualitas tanah didekati dengan dua indikator yaitu volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per km2 dan persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/ saluran pembuangan akhir limbah (SPAL) di setiap ibukota provinsi. Tujuan dari indeks ini adalah untuk mengetahui kualitas tanah dan kondisi pencemaran pada tanah di suatu wilayah pada satu unit administrasi tertentu dengan membatasi pada dua aspek yang berpengaruh yaitu volume sampah yang tidak terangkut pada satu unit administrasi wilayah dan jumlah rumah yang memiliki saluran pembuangan air limbah yang layak. Nilai IKT terdiri dari dua komponen yaitu Indeks Kualitas Penanganan Sampah dan Indeks Kualitas Tangki Pengolahan Air Limbah. Nilai IKT berkisar antara 0 sampai dengan 100. Nilai ideal adalah 100, yang menggambarkan kualitas terbaik. Sementara nilai 0 menggambarkan kualitas terburuk. Nilai terbaik menunjukkan bahwa pada satu wilayah administratif tersebut sampah yang tidak terangkut dan jumlah rumah yang tidak memiliki saluran pengolahan air limbah yang layak jumlahnya paling minimal, dan berlaku sebaliknya. Rumus dari perhitungan IKT adalah:
11
IKT Sampah Rumus: IKT Sampah = 100 – Σ ai x xi Klasifikasi Y dan Nilai IKT Sampah Kelas Y Ai Xi Nilai IKT 1 0≤ Y ≤ 1 X1= Y - 0 100 - 90 1 0 2 1< Y ≤ 1 X1 = 1, X2 = Y – 1 89,9 - 30 5 5 3 ≤5 2 X1 = 1, x2 = 4, x3 = Y - 5 ≤ 30 0 Y = 6,5 → Nilai IKT Sampah = 0 Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, maka indeks = 0 Dimana: ai = Bobot untuk kelas ke-i (ai = 10, 15, 20) Y = Volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2 Xi = Rentang Y di kelas ke-i I = Klasifikasi Y IKT Limbah Rumus:
IKT Kualitas Tanah Rumus:
100
Gambar 2.1 Rumus indeks kualitas tanah
Pada studi ini pencemaran merupakan suatu indikator bahwa kualitas sumberdaya alam telah mengalami penurunan. Untuk komponen air standar yang digunakan adalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang kualitas air dibagi ke dalam kelas-kelas air dari I sampai IV hingga tidak termasuk dalam kelas air manapun. Adapun komponen air yang distudi adalah air baku untuk keperluan penduduk permukiman kumuh di Kelurahan Tamansari tersebut dari PDAM, maupun sumber air lainnya. Sedangkan untuk kondisi kualitas tanah mengacu pada perhitungan Indeks Kualitas Tanah dari BPS yaitu merupakan besaran yang bergantung pada jumlah sampah yang tidak terangkut pada satu kawasan dan persentase rumah yang buangan air limbahnya menggunakan sistem pengolahan air limbah.
Permukiman dan Perumahan Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman definisi permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di
12
kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman tidak bisa terlepas dari perumahan, seperti dinyatakan juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tersebut bahwa perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Disampaikan dalam Parwata (2004) dalam Mulyana (2009) bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permuiman tersebut selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi: topografi, geologi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang meliputi: kebutuhan biologi (ruang, udara, temperature, dsb), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi: kepadatan dan komposisi penduduk, kelompok sosial, kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum, dan administrasi; (4) fisik banguna yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan administrasi; dan (5) jaringan yang meliputi: sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak fisik. Hadi (2012) menyatakan bahwa perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri.Pada hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya, kualitas sumberdaya manusia dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tenpat tinggalnya. Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan barang modal (capital goods), karena dengan aset rumah dapat melakukan kegiatan ekonomi yang mendukung kehidupan dan penghidupannya. Dalam studi ini konteks permukiman dibatasi pada lahan yang menjadi tempat tinggal penduduk yaitu rumah atau perumahan.
Permukiman Kumuh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan dalam Martinez et al (2007) disebutkan bahwa menurut UN – Habitat (2003) rumahtangga kumuh adalah sekelompok individu yang bertempat tinggal di bawah satu atap dengan keadaan kekurangan terhadap beberapa hal berikut: 1. Akses terhadap air yang layak. Indikator ini terkait dengan akses air yang memadai bagi keperluan keluarga, dengan harga yang terjangkau, tanpa usaha untuk mendapatkannya secara ekstrem.
13
2.
Akses terhadap sanitasi yang layak. Indikator ini terkait dengan akses terhadap tempat pembuangan yang layak, baik bersifat privat maupun public, berbagi dengan sejumlah individu lain dalam jumlah yang layak. 3. Tempat hidup yang memadai. Indikator ini terkait dengan luas unit tempat tinggal yang memadai bagi penghuni. 4. Daya tahan rumah. Indikator ini menunjukkan persentase rumah dalam permukiman kumuh yang berada pada kondisi dapat dikatakan memiliki daya tahan seperti berada pada lokasi yang tidak berbahaya maupun dapat melindungi penghuninya dari kondisi iklim seperti hujan, panas, dingin, dan kelembaban. 5. Keamanan kepemilikan. Indikator ini terkait dengan bukti kepemilikan yang dianggap dapat menunjukkan status kepemilikan secara de facto. Namun data indikator ini pada kawasan kumuh termasuk sulit untuk dikumpulkan. Disampaikan dalam Chowdhury et.al (2006) bahwa pertumbuhan kota-kota di negara berkembang selalu disertai dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggal di permukiman kumuh. Kondisi permukiman kumuh selalu ditandai dengan berada di bawah standar pelayanan atau tidak ada pelayanan sama sekali dengan kondisi kehidupan yang terbilang buruk. Telah diketahui secara luas bahwa permukiman kumuh adalah manifestasi dari kemiskinan, dan dapat dikatakan sangat sulit untuk menghindar dari terjadinya permukiman kumuh pada suatu tempat yang tingkat kemiskinannya dan tingkat pertumbuhan penduduknya tinggi. Pada dasarnya bukan merupakan hal yang mudah untuk mengatasi permukiman kumuh di negara berkembang. Tantangannya adalah untuk menemukan jalan yang realistis dan efektif untuk mengatasi masalah permukiman kumuh tersebut. United Nations Millennium Summit (2000) di Johannesburg telah menetapkan target untuk memperbaiki kondisi kehidupan di permukiman kumuh. Millennium Development Goals (MDG) target 7 sasaran 11 menetapkan untuk mencapai perbaikan yang signifikan bagi kehidupan setidaknya untuk 100 juta penduduk penghuni kawasan kumuh pada tahun 2020 melalui pengentasan kemiskinan serta perbaikan infrastruktur air minum dan sanitasi. Lebih lanjut disampaikan bahwa kemiskinan, kepadatan tinggi, ketiadaan sarana utilitas, dan kurangnya infrastruktur merupakan hal yang umum terjadi di permukiman kumuh (UN – Habitat, 2003; Islam, 1996a; Miah et al, 1988, dalam Chowdhury, 2006). Penduduk miskin pada umumnya dan penghuni permukiman kumuh pada khususnya mengalami dampak negatif dari defisiensi pelayanan perkotaan. Lingkungan permukiman kumuh bersifat sangat tidak higenis karena biasanya berlokasi di tempat pembuangan sampah, bantaran sungai, maupun tepi rel kereta api (UN – Habitat, 2003; BBS, 1998; CUS, 1976, dalam Chowdhury, 2006). Dalam dokumen Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan Kota Bandung (2010) disebutkan bahwa secara umum terbentuknya kawasan kumuh disebabkan oleh: 1. Rendahnya kualitas dan kuantitas prasarana/sarana permukiman yang tidak menunjang terbentuknya struktur permukiman dan sistem pengelolaan lingkungan. 2. Adanya kegiatan ekonomi dengan industri skala kecil maupun besar yang memiliki dampak terhadap lingkungan, membutuhkan pelayanan tambahan dari penyediaan prasarana dan sarana baik secara fisik maupun teknologinya
14
3.
Terkonsentrasinya pemukiman padat beberapa lokasi yang menjadi sentra kegiatan industri kecil sehingga mengorbankan aspek kebutuhan ruang yang layak. 4. Rendahnya tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungannya. Selain itu kondisi lain yang saling mempengaruhi dari terbentuknya kawasan kumuh adalah sulitnya pengaturan garis sempadan sungai serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap kelestarian sungai serta pengetahuan terhadap dampak pencemaran limbah industri maupun limbah rumah tangga bagi sungai. Lebih lanjut disampaikan bahwa banyaknya kawasan terbangun di areal pinggiran sungai dan belum tertibnya penggunaan sempadan sungai termasuk brandgang menjadi problematika bagi pemerintah dalam pengaturan garis sempadan sungai. Pada dasarnya penanganan permukiman kumuh merupakan suatu isu strategis yang bersifat nasional. Hal ini dikuatkan dengan adanya Amanat Direktif Presiden yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang diimplementasikan melalui Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan, salah satunya dalam bentuk penataan kawasan kumuh melalui peningkatan infrastruktur lingkungan. Penanganan permukiman kumuh merupakan tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupate/kota. Permasalahan permukiman kumuh merupakan isu strategis yang harus diatasi sehingga dari segi kewenangan pemerintah merupakan tanggung jawab seluruh tingkatan pemerintahan, baik oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Pada tingkat pemerintah pusat, tanggung jawab penanganan permukiman kumuh diserahkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Cipta Karya. Penanganan permukiman kumuh di seluruh Indonesia telah dilakukan dari tahun 1980-an melalui program Kampung Improvement Program atau yang biasa disebut dengan KIP. Selain itu penanganan per sektoral juga telah dilaksanakan melalui program yang berbasis infrastruktur seperti pembangunan prasarana sanitasi masyarakat yang disebut dengan Sanimas dengan tujuan untuk menjaga kondisi kesehatan lingkungan masyarakat. Penanganan permukiman kumuh di Kota Bandung pun telah dilakukan dari satu dasawarsa, namun pada umunya terkendala dengan pembebasan lahan. Seperti di Kelurahan Tamansari pada tahun 2012 telah diinisiasi program penataan kawasan secara ,menyeluruh namun terkendala dengan pembebasan lahan sehingga harus tertunda. Hingga saat ini penanganan permukiman kumuh di Kota Bandung haris dilakukan secara parsial bertahap dalam lingkup kawasan yang kecil untuk menghindari konflik sosial.
Infrastruktur Dasar Permukiman Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, infrastruktur dasar permukiman merupakan bagian dari pembentuk struktur ruang.Adapun struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
15
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.Sedangkan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Nomor 18 Tahun 2011 prasarana kota adalah kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yang meliputi jalan, saluran air minum, saluran air limbah, saluran air hujan, sarana persampahan, jaringan gas, jaringan listrik, dan telekomunikasi. Dalam Chogull (1996) dinyatakan bahwa infrastruktur adalah salah satu cara untuk mengurangi dampak kondisi lingkungan di dalam kota, yang dapat berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk kota. Infrastruktur juga merupakan instrumen untuk menciptakan wilayah perkotaan yang tertata dengan baik. Sehingga jika suatu kota gagal menyediakan tingkat pelayanan infrastruktur yang memadai, maka kota tersebut dapat dikatakan kurang mampu mempertahankan keseimbangan lingkungan dengan standard kehidupan penduduknya. Selain itu juga disampaikan dalam Suhono (2008) bahwa infrastruktur dipercaya dapat ikut menjaga keseimbangan ataupun kualitas daya dukung lingkungan agar tidak semakin menurun. Infrastruktur dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, menjadikan permukiman lebih layak huni serta mengurangi gangguan kesehatan masyarakat menjadi lebih sehat dan produktif. Selain itu infrastruktur juga mempunyai peranan sangat penting dalam mendorong adanya keberlanjutan daya dukung lingkungan dan efisiensi sumber daya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia infrastruktur adalah prasarana yaitu segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, poyek, dan sebagainya). Adapun menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman. Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011 – 2031 disebutkan bahwa prasarana kota adalah kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yang meliputi jalan, saluran air minum, saluran air limbah, saluran air hujan (drainase), sarana persampahan, jaringan gas, jaringan listrik, dan telekomunikasi. Sedangkan menurut rencana tata ruang wilayah kota tersebut sarana adalah kelengkapan kawasan permukiman perkotaan yang berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan dan pelayanan umum, peribadatan, rekreasi dan kebudayaan, olah raga dan lapangan terbuka, serta pemakaman umum. Jika ditinjau keterkaitannya dengan konteks daya dukung lingkungan mencakup aspek air dan lahan, maka infrastruktur yang terkait mencakup air minum, air limbah, drainase, dan persampahan. Pada kebijakan pembangunan nasional, infrastruktur dasar permukiman tersebut juga ditujukan untuk mengatasi masalah lingkungan, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan dengan amanatnya adalah Pasal 4 yaitu “Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya”. Amanat lain tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yaitu Pasal 8 Ayat (6) “Penggunaan air baku khususnya dari air tanah dan mata air wajib memperhatikan
16
keperluan konservasi dan pencegahan kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Seperti telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam Pasal 17 disampaikan bahwa tata ruang mencakup struktur dan pola ruang. Sedangkan struktur ruang mencakup sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana. Menindaklanjuti undang-undang tersebut dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011-2031 ditetapkan jaringan prasarana kota terdiri dari sistem prasarana utama dan sistem prasarana lainnya. Adapun sistem prasarana utama terdiri dari sistem transportasi darat, kereta api, dan udara. Sedangkan sistem prasarana lainnya terdiri dari sistem jaringan energi, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, serta prasarana pengelolaan lingkungan kota. Dalam konteks penataan ruang infrastruktur dasar permukiman terkait erat dengan prasarana pengelolaan lingkungan kota, yang terdiri dari sistem penyediaan air minum, sistem pengelolaan air limbah kota, sistem persampahan kota, sistem drainase kota, penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana pejalan kaki, serta jalur evakuasi bencana. Dalam Chowdhury et.al (2006) dikemukakan bahwa salah satu contoh bentuk penanganan infrastruktur pada permukiman kumuh mencakup pembangunan sistem pengolahan air limbah berbasis masyarakat skala kecil, penyediaan air baku yang aman, pengolahan sampah, relokasi penduduk (jika dibutuhkan), maupun kegiatan rekonstruksi lainnya. Selain itu disampaikan bahwa program perbaikan infrastruktur diupayakan untuk meningkatkan kondisi yang tidak higenis dari sanitasi permukiman kumuh. Perbaikan infrastruktur meliputi pembangunan saluran buangan dan drainase, fasilitas MCK, tempat pembuangan sampah sementara, penyediaan air bersih, perbaikan rumah, dan perlindungan banjir. Program perbaikan infrastruktur memiliki dampak langsung terhadap kondisi lingkungan di permukiman kumuh. Namun tidak semua program perbaikan infrastruktur memperbaiki kondisi lingkungan di permukiman kumuh. Chowdhury (2006) menyatakan bahwa program perbaikan infrastruktur juga membutuhkan dukungan penilaian, sumber daya manusia, dan koordinasi yang memadai jika ingin berhasil, selain juga dibutuhkan penerimaan dan dukungan oleh penghuni permukiman kumuh. Dalam studi ini infrastruktur dasar permukiman difokuskan pada infrasruktur yang terkait langsung dengan kuantitas dan kualitas sumberdaya air dan lahan yaitu air bersih, air limbah, dan persampahan. 1. Air bersih Penyediaan air untuk penduduk di permukiman kumuh ditujukan hingga mencapai standar air bersih yang masuk ke dalam kelas air sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Hal ini disesuaikan dengan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Kebijakan dan Strategi Sistem Penyediaan Air Minum serta standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Penyediaan air minum dapat terbagi ke dalam dua bentuk yaitu perpipaan maupun non perpipaan ataupun setempat. Perpipaan adalah
17
2.
3.
bentuk penyediaan air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum dengan standar yang telah ditetapkan. Sedangkan bentuk non perpipaan adalah instalasi pengolahan air dengan standar hingga layak minum yang dibangun di lokasi dengan sumber air permukaan setempat. Instlasi pengolahan tersebut dibangun jika terdapat penduduk yang belum terlayani PDAM di daerah tersebut. Sumber air yang digunakan dapat berupa sumber air permukaan seperti sungai, danau, maupun air hujan jika volumenya memadai. Air limbah Berdasarkan kebijakan nasional pengolahan air limbah ditujukan untuk konservasi air minum dalam siklus yang berkelanjutan, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman. Pengelolaan air llimbah ditujukan untuk mengolah limbah rumah tangga dalam bentuk limbah water closet (wc) atau disebut dengan black water dan limbah domestik rumah tangga dari hasil cuci dan mandi yang disebut dengan grey water. Pengelolaan dapat dilakukan dalam beberapa skala, seperti skala rumah tangga, skala lingkungan, skala kawasan, atau skala kota. Pengelolaan dalam skala rumah tangga disebut juga dengan pengeolaan setempat atau on-site, yang biasanya diterapkan jika lingkungan perumahan tersebut masih memiliki keleluasaan lahan. Pengelolaan pada skala lingkungan, kawasan, ataupun kota merupakan pengelolaan limbah secara bersama-sama yang disebut juga dengan pengelolaan terpusat atau off-site. Pengelolaan secara terpusat dilakukan untuk mensiasati keterbatasan lahan sehingga banyak menjadi pilihan pada wilayah berkepadatan tinggi seperti di perkotaan. Persampahan Pengolahan sampah pada dasarnya ditujukan untuk mengatasi masalah pencemaran air dan lahan. Berdasarkan kebijakan pemerintahan bentuk pengolahan ditujukan untuk mengurangi sampah mulai dari sumbernya dalam hal ini adalah rumah tangga, sehingga dewasa ini bentuk pengolahan yang didorong berbentuk 3R yaitu Reduce-Reuse-Recycle yaitu pengurangan volume sampah yang diangkut ke tempat pembuangan, pemanfaatan ulang sampah untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya, maupun mengolah kembali sampah semaksimal mungkin menjadi barang yang bermanfaat. Penerapan prinsip 3R dewasa ini direpresentasikan dalam bentuk komposting untuk sampah yang berasal dari bahan organik seperti sayur maupun kulit buah maupun bank sampah untuk sampah yang bersifat non organik seperti plastik, kaca, dan lain-lain pada skala lingkungan atau kawasan. Pada skala kota, bentuk pengolahan sampah secara konvensional terdapat dalam bentuk sistem yang terentang dari rumah tangga hingga tempat pengolahan sampah akhir atau yang disebut dengan Tempat Pemrosesan Akhir atau disingkat dengan TPA. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengharuskan dilakukan pengolahan sampah di TPA dan tidak hanya ditimbun saja sehingga menyebabkan pencemaran air dan lahan serta berpotensi terjadi bencana. Pengolahan di TPA harus didukung dengan jalur distribusi yang baik mulai dari rumah tangga hingga tempat pengolahan. Bentuk pengolahan lain
18
adalah dibakar dengan alat yang disebut dengan Incinerator. Incinerator adalah alat pembakar sampah dengan suhu yang sangat tinggi sehingga residu yang dihasilkan tidak menjadi polutan. Makin besar skala pengolahan Incinerator maka makin kompleks prasyarat yang diperlukan untuk efektivitas mesin pembakar sampah tersebut, seperti unit pengelola, jenis sampah, maupun sistem operasi dan pemeliharaannya.
Standar Pelayanan Minimal Lebih lanjut dinyatakan oleh Joardar (1998), bahwa terdapat kriteria kunci bagaimana daya dukung dapat dipertemukan dengan standar pelayanan perkotaan yaitu bahwa dapat diukur dengan standar penyediaan minimal. Dalam hal ini di Indonesia dapat didekati dengan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 14 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Bidang Penataan Ruang dan Permukiman, salah satu contohnya adalah untuk sektor air minum yang ditetapkan sebesar 60 l/orang/per hari. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal telah ditentukan definisi dari Standar Pelayanan Minimal atau yang disingkat dengan SPM yaitu ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Adapun pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan, seperti infrastruktur dasar permukiman. Terkait dengan ketersediaan dan kualitas sumberdaya alam lingkungan di permukiman, penyediaan pelayanan dasar permukiman harus selaras dengan prinsip ekologi seperti kesesuaian dengan alam tapi juga dapat memenuhi standar kebutuhan minimal dari infrastruktur dasar permukiman yang dibutuhkan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota maka pelayanan publik yang terkait dengan kualitas dan kuantitas sumber daya alam meliputi air minum, air limbah, dan persampahan. Lebih lanjut penetapan standar teknis yang terukur dari standar pelayanan minimal untuk infrastruktur dasar permukiman diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Sebagaimana mana yang telah diatur dalam PP 38/2007 di atas, pengaturan dalam Permen 1/2014 tersebut meliputi pengaturan standar pelayanan minimal untuk air minum, air limbah, dan persampahan. Penjabarannya dapat dilihat sebagaimana tabel berikut.
a.
Tabel 2.1 Jenis pelayanan berdasarkan indikator kinerja Air Minum 1. Tersedianya akses air minum yang aman melalui Sistem Penyediaan Air Minum dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari.
19
b.
Penyehatan Lingkungan Permukiman (Sanitasi Lingkungan dan Persampahan) 1. Air limbah permukiman a) Tersedianya sistem air limbah setempat yang memadai. b) Tersedianya sistem air limbah skala komunitas/kawasan/kota. 2. Pengelolaan sampah a) Tersedianya fasilitas pengurangan sampah di perkotaan. b) Tersedianya sistem penanganan sampah di perkotaan.
Sumber: Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.
Sejalan dengan kondisi permukiman kumuh di perkotaan yang semakin padat dengan segala aktivitasnya, maka dapat dikatakan bahwa makin sempit pula lahan untuk perumahan, tidak terkecuali di permukiman kumuh. Hal ini menyebabkan makin banyaknya muncul hunian vertikal yang dapat menampung jumlah penduduk sebanyak mungkin namun hanya membutuhkan luasan lahan yang tidak terlalu luas. Sehingga pendekatan standar tempat tinggal lebih ke luasan yang dibutuhkan untuk menampung sekian individu sehingga dapat dihitung seluruh luas areal yang dibutuhkan untuk seluruh individu di wilayah perencanaan dan dapat dihitung jumlah lantai yang dibutuhkan untuk hunian bertingkat jika memang harus dibangun hunian vertikal tersebut karena keterbatasan lahan. Adapun standar tempat tinggal yang dibutuhkan mengacu pada besaran yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten Kota. Dalam Permen tersebut ditetapkan bahwa kriteria rumah layak meliputi: 1. Memenuhi persyaratan keselamatan bangunan meliputi: a. struktur bawah/pondasi; b. struktur tengah/kolom dan balak (Beam); c. struktur atas. 2. Menjamin kesehatan meliputi pencahayaan, penghawaan dansanitasi 3. Memenuhi kecukupan luas minimum 7,2 m2/orang sampai dengan 12 m2/orang Dalam studi ini standar pelayanan minimal digunakan untuk menjadi indikator minimum infrastruktur dasar permukiman untuk memenuhi daya dukung lingkungan bagi air minum, air limbah, sampah, dan rumah. Pendekatan yang digunakan adalah menghitung kualitas dan kuantitas sumber daya alam.
Teknik Analisis Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) Analisis Kesenjangan adalah suatu teknik analisis yang digunakan untuk menentukan langkah-langkah yang hendak diambil dalam rangka bergerak dari kondisi saat ini menuju kondisi yang diharapkan. Dapat dikatakan bahwa analisis kesenjangan memaksa institusi terkait untuk merefleksikan kondisi eksisting mereka saat ini dan kemudian apa yang diinginkan untuk masa depan. Teknik tersebut disebut juga dengan nama analisis kesenjangan-kebutuhan, analisis kebutuhan, dan penilaian kebutuhan. Tahapan analisis kebutuhan terdiri dari: 20
1.
Urutan faktor karakteristik (seperti atribut, kompetensi, dan tingkat kinerja) dari situasi saat ini. 2. Urutan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran yang dibutuhkan. 3. Besaran kesenjangan yang terukur yang harus dipenuhi. Teknik analisis kesenjangan digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur kesenjangan ketersediaan sumberdaya alam kualitas lingkungan untuk aspek air dan lahan. Adapun pemenuhan kesenjangan dilakukan melalui penyediaan infrastruktur dasar permukiman. Kesenjangan diukur dari kondisi saat ini dibandingkan dengan kondisi yang disyaratkan dalam standar pelayanan minimal dan standar baku mutu lingkungan. Kemudian pemenuhan ketersediaan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan dipenuhi melalui infrastruktur dasar permukiman sesuai dengan konversi dari SNI masing-masing infrastruktur. Analytical Hierarchial Process (AHP) Menurut Saaty (1987) dalam Latifah (2005) Teknik Analytical Hierarchial Process (AHP) adalah teknik pengukuran yang memberikan skala rasio bagi penentuan pilihan yang dilakukan secara berpasangan dalam bentuk diskret dan kontinum. Beberapa prinsip AHP yang harus dipahami adalah sebagai berikut: 1. Dekomposisi Dekomposisi adalah tahapan pemecahan persoalan setelah persoalan tersebut didefinisikan. Pemecahan dilakukan hingga ke unsur-unsurnya sampai tidak dapat dilakukan pemecahan lebih lanjut dengan tujuan mendapatkan hasil yang akurat. Hal tersebut yang menyebabkan proses analisis ini dinamakan hirarki (hierarchy). Terdapat dua jenis hirarki, yaitu lengkap dan tidak lengkap. Dalam hirarki lengkap, semua elemen pada suatu tingkat memiliki semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Namun jika tidak demikian, maka dinamakan hirarki yang tidak lengkap. 2. Penilaian Perbandingan Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relative dua elemen pada suatu tingkat tertentu yang dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan tampak lebih baik jika disajikan dalam bentuk matriks yang disebut matriks pairwise comparison. Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan dua elemen seseorang yang akan memberikan jawaban perlu pengertian menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari. 3. Sintesis Prioritas Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari eigenvectornya untuk mendapatkan prioritas local. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesa di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relative melalui prosedur sintesa dinamakan setting prioritas. 4. Konsistensi Lokal Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.
21
Contohnya anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat merupakan kriterianya, tapi tak dapat jika rasa merupakan kriterianya. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Contohnya, jika manis merupakan kriteria dan madu dinilai lima kali lebih manis disbanding gula, dan gula dua kali lebih manis disbanding sirop, maka seharusnya madu dinilai manis sepuluh kali lebih manis dibanding sirop. Jika tidak sesuai maka penilaian dapat dikatakan tak konsisten dan proses harus diulang untuk memperoleh penilaian yang lebih tepat. Terkait dengan itu maka batasan diterima tidaknya suatu matriks sebenarnya tidak ada yang baku, hanya menurut beberapa eksperimen dan pengalaman tingkat inkonsistensi sebesar 10% ke bawah adalah tingkat inkonsistensi yang masih bisa diterima. Lebih dari itu harus ada revisi penilaian karena tingkat inkonsistensi yang terlalu besar dapat menjurus pada suatu kesalahan. Dalam AHP Proses pengambilan dapat dibangun atau ditelusuri dengan logika hirarki. Adapun hirarki adalah alat yang paling mudah utk memahami masalah yang kompleks, dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemenelemen yang terkait, dan menyusun elemen-elemen secara hirarkis. Bentuk hirarki dapat berupa linier atau satu arah yaitu jika elemen terpenting diletakkan paling atas, kemudian seterusnya paling tidak penting dan “dependen” paling bawah. Dapat dikatakan bahwa suatu level mempengaruhi level bagian bawahnya; elemen bagian bawah tidak mempengaruhi bagian atasnya. Kemudian bentuk lainnya adalah non linier atau hubungan antara level tidak satu arah. Tingkatan level dapat berupa Level 1 atau teratas adalah topik permasalahan, Level 2 adalah kriteria-kriteria sebagai syarat, dan berikutnya Level n atau terbawah adalah alternatif keputusan yang mungkin diambil. Teknik AHP digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan prioritas infrastruktur dasar permukiman untuk air minum, air limbah, dan persampahan, serta bangunan tinggal yang paling tepat untuk digunakan di permukiman kumuh ditinjau dari sejumlah alternatif berdasarkan kriteria-kriteria yaitu paling meminimalisir dampak pencemaran, kesesuaian dengan kondisi geologi,serta pengoperasian dan pemeliharaan yang paling mudah. Teknik AHP dipilih karena penentuan prioritas infrastruktur dasar permukiman dilakukan secara kualitatif oleh sekelompok responden yang dipilih karena dianggap paling paham tetang substansi yang akan ditanyakan. Metode penentuan prioritas infrastrukur dasar permukiman yang dipilih dilakukan secara kualitatif karena studi empiris yang menunjukkan tingkat penurunan pencemaran air karena pemanfaatan infrastruktur pengolahan air dan sampah belum didapatkan sehingga dibutuhkan pendapat para pakar untuk menentukan prioritas tersebut. Tinjauan Literatur Dalam studi ini tinjauan literatur digunakan untuk menghitung kapasitas infrastruktur dan perumahan yang yang dibutuhkan. Tinjauan dilakukan terhadap pedoman dan standard yang terkat dengan perencanaan pembangunan infrastruktur dan rumah seperti pedoman teknis dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
22
3
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Februari 2015 di tiga lokasi yang didasari pada karakteristik kawasan yang wilyahnya ditetapkan sebagai kawasan kumuh dan dibagi ke dalam tiga tipologi yaitu kumuh ringan, kumuh sedang, dan kumuh berat. Penetapan tipologi tersebut didasarkan pada SK Walikota Bandung Nomor 648/Kep.455-DisTarCip/2010 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kota Bandung. Berdasarkan surat keputusan tersebut ditetapkan bagian wilayah Kecamatan Bandung Wetan masuk dalam kategori kumuh berat yaitu Kelurahan Tamansari, bagian wilayah Kecamatan Sumur Bandung masuk dalam kategori kumuh sedang yaitu Kelurahan Babakan Ciamis, dan bagian wilayah Kecamatan Cibeunying Kaler masuk ke dalam kategori kumuh ringan yaitu Kelurahan Cihargeulis.
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Pengumpulan Data Data terbagi atas dua jenis yaitu data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data Primer, terdiri dari: ◦ Kondisi eksisting infrastruktur dasar permukiman di wilayah studi, mencakup air minum, air limbah, persampahan, dan rumah. ◦ Data kualitas air sumur baik gali ataupun bor. 23
2. Data Sekunder ◦ Data monografi penduduk ◦ Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011 - 2031 ◦ Data kuantitas dan kualitas air PDAM dan lahan. Metode pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung, wawancara, observasi, studi pustaka, maupun berbagai dokumen resmi dari instansi terkait.
Metode Analisis
Metode Penelitian terbagi atas dua kegiatan yaitu: Menganalisa kuantitas dan kualitas perumahan dan infrastruktur dasar permukiman eksisiting yang terkait langsung dengan lingkungan khususnya sumberdaya air dan lahan di permukiman kumuh dengan mengacu pada besaran standar pelayanan minimal dan baku mutu lingkungan. Merumuskan bentuk penyediaan infrastruktur dasar permukiman kumuh yang paling tepat dan sesuai kebutuhan untuk mendukung ketersediaan sumberdaya alam dan menjaga kualitas lingkungan berdasarkan persepsi pakar.
Analisa Data Analisa data dilakukan sebagai berikut yaitu: 1. Teknik perhitungan ketersediaan dan kesenjangan kebutuhan lahan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman yang paling terkait dengan lingkungan dilihat dari aspek air dan lahan dengan membandingkan kondisi eksisting dengan standar pelayanan minimal dan standar baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. a. Ketersediaan Air: Menghitung ketersediaan air baku eksisting dari seluruh sumber, kemudian dibagi dengan kebutuhan penduduk kawasan kumuh yang masuk dalam wilayah studi. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan standar kebutuhan air minum SPM dalam Permen PU Nomor 1/PRT/M/2014tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yaitu 60 l/.orang/hari. Lahan: Menghitung luasan ketersediaan lahan yang masuk dalam kawasan budidaya (boleh dibangun dan dikembangkan), dibagi dengan jumlah penduduk, dibandingkan standar ruang pribadi untuk satu orang penduduk yaitu 9 m2/orang dalam Permenpera Nomor 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. b. Kualitas Lingkungan Air: Menghitung kondisi kualitas air baku baik dari PDAM maupun dari sumber lain jika ada, dibandingkan dengan standar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk Kelas I. Jika nilai dari sampel air 24
baku tidak masuk ke dalam kelas air yang telah ditentukan dalam PP 82/2001 tersebut maka kualitas air kurang baik. Adapun parameter yang digunakan adalah parameter yang diasumsikan sesuai dengan perumahan yaitu: 1) Parameter fisika: kekeruhan, total solid suspended (TSS), warna, bau, pH 2) Parameter kimia: COD, BOD, besi, mangan, senyawa nitrat, senyawa fosfat 3) Parameter biologi: coliform, e. coliform, f. coliform. Sampel air minum diambil dari dua sumber yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan air tanah yang berasal dari sumur gali/pompa. Sumber air PDAM untuk ketiga kelurahan berasal dari satu sumber yaitu PDAM Badaksinga, sehingga sampel air yang diambil berasal dari outlet primer hasil pengolahan PDAM tersebut. Sumber air yang berasal dari sumur pompa/gali ditentukan melalui metoda sampling acak sederhana. Jumlah sampel yang diambil mengacu pada ketentuan Roscoe (1975) yaitu julah sampel minimal untuk hasil yang baik adalah minimal 30 untuk seluruh kelurahan. Sedangkan titik-titik pengambilan sampel untuk setiap kelurahan dilakukan dengan metode acak sederhana namun tersebar di seluruh kelurahan dan untuk Kelirahan Tamansari sebagai perukiman kumuh tipologi berat dan Kelurahan Babakan Ciamis sebagai permukiman kumuh tipologi sedang yang sebagian wilayahnya berada di bantaran Sungai Cikapundung maka pengambilan sampel dilakukan dari hulu ke hilir untuk melihat apakah kondisi air tanah dapat diasumsikan dipengaruhi oleh kondisi pencemaran yang terjadi pada sungai. Lahan: Perhitungan mengacu pada Indeks Kualitas Tanah dari Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks Kualitas Tanah didekati dengan dua indikator yaitu volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per kilometer persegi dan persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/ saluran pembuangan akhir limbah (SPAL) yang layak di setiap unit wilayah administrasi. Unit wilayah administrasi yang digunakan adalah kelurahan, dan pada rumus ini nilai indeks kualitas tanah di wilayah permukiman semata tergantung pada kondisi sanitasi dari wilayah tersebut. Skala nilai adalah 0 – 100, sehingga besar kecilnya nilai indeks tersebut menunjukkan baik atau buruknya bentuk penanganan sampah dan kondisi saluran pembuangan limbah masingmasing rumah baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah.
25
Rumus: IKT Sampah Rumus: IKT Sampah = 100 – Σ ai x xi Klasifikasi Y dan Nilai IKT Sampah Kelas Y Ai Xi Nilai IKT 1 0≤ Y 1 X1= Y - 0 100 - 90 ≤1 0 2 1< Y 1 X1 = 1, X2 = Y – 1 89,9 - 30 ≤5 5 3 ≤5 2 X1 = 1, x2 = 4, x3 = Y - ≤ 30 0 5 Y = 6,5 → Nilai IKT Sampah = 0 Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, maka indeks = 0 Dimana: ai = Bobot untuk kelas ke-i (ai = 10, 15, 20) Y = Volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2 Xi = Rentang Y di kelas ke-i I = Klasifikasi Y IKT Limbah Rumus:
IKT Kualitas Tanah Rumus:
2.
100
Pendekatan dengan mengacu pada standar pelayanan minimal infrastruktur dan perumahan serta standar baku mutu lingkungan: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 2) Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. 3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 14/PRT/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. 4) SNI tentang Infrastruktur Air Minum, Air Limbah, Persampahan, dan Bangunan Tinggal. Penentuan jenis dan penempatan infrastruktur terkait daya dukung seperti: a. Air minum: kebutuhan debit air baku dan bentuk penyediaan. b. Air limbah: metode pengolahan yang paling sesuai, jumlah, kemudahan pengelolaan. c. Persampahan: metode pengolahan yang paling sesuai, jumlah, kemudahan pengelolaan. d. Rumah: luas yang dibutuhkan untuk seluruh penduduk, bentuk bangunan yang paling memenuhi dan memadai.
26
Teknik yang digunakan: a. Teknik Analytic Hierarchial Process (AHP) digunakan untuk menentukan prioritas infrastruktur dasar permukiman berdasarkan kriteria yang telah ditentukan yang dianggap paling tepat untuk kawasan kumuh. Teknik AHP diawali dengan pemilihan responden untuk disurvei dengan metode purposive sampling pakar di bidangnya sejumlah lima (5) orang. Adapun untuk penelitian responden yang dipilih didasari pada beberapa aspek berikut yaitu: 1) Merupakan para pengambil keputusan dan pelaksana di lingkup pemerintahan yang dianggap pakar dalam perbaikan permukiman kumuh. 2) Lingkup penugasan berada pada alur perencanaan dari perumusan kebijakan hingga pelaksanaan di lapangan untuk perbaikan permukiman kumuh, baik di pemerintahan pusat maupun di pemerintahan daerah hingga fasilitator pelaksana. 3) Memiliki pengalaman kerja lima tahun ke atas dalam perbaikan permukiman kumuh. Hirarki AHP: 1) Fokus Fokus penyediaan infrastruktur dasar permukiman dijabarkan untuk masing-masing infrastruktur dan bersifat spesifiksesuai standar pelayanan minimal masing-masing. 2) Stakeholder Stakeholder dijabarkan untuk dua pelaku utama yaitu pemerintah dan masyarakat. Kemudian pemerintah dibagi lagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 3) Tujuan Tujuan merupakan penjabaran dari fokus, bersifat kuantitatif dan kualitatif sesuai pencapaian standar pelayanan minimal serta baku mutu lingkungan, serta mengakomodir kondisi yang dibutuhkan untuk mendukung fokus tersebut. 4) Kriteria Kriteria terdiri dari kriteria utama yaitu kondisi tercapainya tujuan dan kriteria pendukung yaitu kesimpulan yang didapat untuk mencapai tujuan berdasarkan hasil kajian literatur. 5) Bentuk Penyediaan Infrastruktur Bentuk penyediaan ditujukan untuk menjawab hirarki di atas namun tetap menyesuaikan dengan kondisi riil serta kemungkinan penerapannya di lapangan. Hirarki tersusun untuk empat jenis infrastruktur atau sarana yaitu air minum, air limbah, persampahan, dan rumah. Adapun pilihan bentuk penyediaan infrastruktur dibatasi pada tiga pilihan untuk menghindari bentuk-bentuk pilihan yang tidak realistis namun masih tetap dapat mengakomodasi bentuk pihan yang dibutuhkan. Bentuk pilihan adalah sebagai berikut:
27
1) Air Minum Perumusan hirarki dari pemilihan infrastruktur air minum yang paling tepat di permukiman kumuh di Kota Bandung terdiri dari lima level yaitu sebagai berikut: a) Fokus Fokus ditujukan untuk menjaga kualitas dan kuantitas sumberdaya air dalam hal ini hingga mencapai standar air minum sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundangan pemerintah yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. b) Stakeholder/Pelaksana Pelaksana adalah pihak-pihak yang dinilai paling berperan dalam penyediaan air minum di permukiman kumuh yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan masyarakat dalam konteks pemberdayaan. c) Tujuan Penetapan tujuan merupakan penjabaran dari fokus utama yaitu kualitas air baku masuk ke dalam kelas air yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor No 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air serta kuantitas air baku memenuhi standar pelayanan minimal untuk air minum yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Penetapan kualitas air mutlak harus dilakukan juga melihat dari hasil kajian kesenjangan kualitas air yang menunjukkan bahwa kualitas air tanah belum memenuhi kualitas air yang disyaratkan. Selain itu tujuan dilengkapi dengan penyediaan air baku yang mudah dioperasikan masyarakat dengan biaya seminimal mungkin, didasari oleh apa yang disampaikan dalam Chowdhury et.al (2006) bahwa permukiman kumuh adalah manifestasi dari kemiskinan, dan dapat dikatakan sangat sulit untuk menghindar dari terjadinya permukiman kumuh pada suatu tempat yang tingkat kemiskinannya dan tingkat pertumbuhan penduduknya tinggi sehingga diasumsikan bahwa apapun bentuk penyediaan infrastruktur dasar permukiman harus dengan biaya seminimal mungkin. Selain itu perbaikan kondisi lingkungan di permukiman kumuh melalui penyediaan infrastruktur dasar permukiman tidak terlepas dari peranserta masyarakat keberhasilan perbaikan permukiman kumuh bergantung pada partisipasi masyarakat. Dalam hal ini masyarakat perlu dilibatkan mulai dari tahap perencanaan hingga pemeliharaan sehingga akan timbul rasa memiliki. Sehingga infrastruktur
28
d)
e)
dasar permukiman yang telah terbangun akan terus dipelihara oleh masyarakat. Kriteria Kriteria merupakan penjabaran teknis dari tujuan, dengan prasyarat yang lebih terukur. Penjabaran dari tujuan terkait kualitas dispesifikkan pada target kualitas air adalah minimal kelas I dari Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dengan pertimbangan bahwa secara kualitas minimal air tersebut aman untuk bersentuhan dengan kulit manusia walaupun masih harus diolah lebih lanjut untuk dapat dikonsumsi. Sedangkan penjabaran dari kuantitas adalah memenuhi standar pelayanan minimal untuk air minum yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yaitu 60 liter/orang/hari. Selain dua tujuan utama terdapat dua tujuan pendukung yang berdasarkan kajian literatur diasumsikan sebagai prasyarat untuk terkelolanya penyediaan air minum untuk penduduk di permukiman kumuh sesuai kuantitas dan kualitas yang ditetapkan. Dua tujuan tersebut adalah pngelolaan air baku secara mandiri dan bersifat non cost recovery atau tidak untuk tujuan profit serta pengelolaan air baku yang mudah dijangkau. Bentuk Penyediaan Bentuk penyediaan merupakan alternatif yang paling dapat diterapkan pada kawasan di perkotaan dengan karakterisitik seperti permukiman kumuh di Kota Bandung yaitu sumber air setempat yang memiliki keterbatasan apakah dalam kuantitas ataupun kualitas, permukiman kepadatan tinggi, serta karakteristik penduduk yang membutuhkan bentuk pengolahan yang mudah. Pilihan tersebut juga harus mengoptimalkan peran utama pemerintah daerah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan air minum di wilayahnya. Oleh karena itu maka alternatif penyediaan dibatasi pada tiga bentuk yaitu perpipaan dari PDAM, instalasi pengolahan air (mobile) dengan sumber air permukaan setempat, serta alternatif terakhir yaitu penampungan dan pengolahan air hujan setempat dengan tangki air. Bentuk pilihan tersebut juga didasari oleh hasil kajian kesenjangan bahwa air sumur yang menjadi sumber air penduduk belum memenuhi kualitas air yang disyaratkan yaitu kelas II. Sehingga salah satu pilihan bentuk pengolahan harus dilakukan secara setempat untuk mengolah air sumur tersebut terlebih dahulu hingga mencapai kualitas air yang disyaratkan. Adapun bentuk penyediaan melalui penampungan air hujan adalah pilihan terakhir untuk membuka kemungkinan menampung air sebanyak-banyaknya dari sumber manapun dalam rangka mengantisipasi kelangkaan air pada saat musim kemarau atau jika terjadi kekeringan.
29
Gambar 3.2 Hirarki penentuan infrastruktur air minum 2) Air Limbah Perumusan hirarki dari pemilihan infrastruktur air limbah yang paling tepat di permukiman kumuh di Kota Bandung terdiri dari lima level yaitu sebagai berikut: a) Fokus Fokus ditujukan untuk menjaga pengelolaan air limbah yang memenuhi baku mutu dan standar pelayanan minimal. Pengelolaan air limbah dimaksudkan untuk konservasi air secara berkelanjutan mengingat kondisi keterbatasan air baku yang makin kerap terjadi di perkotaan khususnya permukiman kumuh. b) Stakeholder/Pelaksana Pelaksana adalah pihak-pihak yang dinilai paling berperan dalam pengelolaan air limbah di permukiman kumuh yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam hal ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung, dan masyarakat dalam konteks pemberdayaan. c) Tujuan Penetapan tujuan merupakan penjabaran dari fokus utama yaitu kualitas air hasil olahan tidak mencemari lingkungan, baik yang bersumber dari PDAM maupun dari air tanah, dengan didukung tujuan lain terkait karakteristik masyarakat permukiman kumuh yaitu pengolahan air limbah rumah tangga yang mudah dioperasikan masyarakat dengan biaya seminimal mungkin.
30
d)
e)
Kriteria Kriteria merupakan penjabaran teknis dari tujuan, dengan prasyarat yang lebih terukur. Penjabaran dari tujuan adalah air hasil olahan memenuhi kelas II standar kualitas air dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, serta kriteria pendukung yaitu lokasi Ppngolahan mudah dijangkau maupun pengolahan mudah dioperasikan dan bersifat non cost recovery. Penetapan kriteria tersebut juga didasari dengan hasil kajian bahwa kualitas air tanah masih harus ditingkatkan untuk memenuhi kualitas air yang disyaratkan. Selain itu diasumsikan bahwa buangan air limbah penduduk yang tidak tersalurkan dan terolah dengan baik meresap ke dalam tanah dan berpengaruh terhadap kondisi air tanah dan kualitas tanah. Bentuk Penyediaan Bentuk penyediaan pengolahan air limbah terbagi pada tiga skala pengolahan yaitu skala lingkungan contohnya kelurahan, skala kawasan seperti kecamatan, maupun skala kota yang saat ini sudah ada dan dilakukan oleh PDAM Tirta Wening dengan lokasi pengolahan air limbah di Bojong Soang. Bentuk pengolahan dibagi untuk masing-masing bentuk limbah rumah tangga yaitu limbah wc (black water) dan limbah domestik selain wc (grey water). Adapun pengolahan skala lingkungan untuk lumpur tinja adalah bentuk mandi cuci kakus koletif untuk warga yang dikenal dengan sebutan MCK Komunal, untuk limbah domestik rumah tangga adalah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) skala lingkungan. Pengolahan skala kawasan untuk lumpur tinja adalah Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) dilengkapi dengan truk tinja dan untuk limbah domestik adalah Instalasi Pengolahan Air Limbah dengan skala yang lebih besar dari lingkungan yaitu kawasan. Sedangkan pengolahan air limbah skala kota adalah PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai. Pemilihan alternatif bentuk pengolahan tersebut adalah karena dibutuhkan bentuk pengolahan yang memastikan air olahan memenuhi kualitas air kelas II, selain itu bentukbentuk pengolahan tersebut juga memastikan bahwa baik dari segi penyaluran maupun pengolahan menjamin minimalisasi kebocoran yang dapat mencemari tanah dan air tanah.
31
Gambar 3.3 Hirarki penentuan infrastruktur air limbah 3) Persampahan Perumusan hirarki dari pemilihan infrastruktur persampahan yang paling tepat di permukiman kumuh di Kota Bandung terdiri dari lima level yaitu sebagai berikut: a) Fokus Fokus ditujukan untuk pengolahan persampahan yang memenuhi standar pelayanan minimal dan hasil olahannya memenuhi standar baku mutu lingkungan b) Stakeholder/Pelaksana Pelaksana adalah pihak-pihak yang dinilai paling berperan dalam penyediaan air minum di permukiman kumuh yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam ini adalah PD Kebersihan Kota Bandung, dan masyarakat dalam konteks pemberdayaan. c) Tujuan Penetapan tujuan merupakan penjabaran dari fokus utama yaitu mengurangi volume sampah dari sumbernya yaitu rumah tangga, hasil buangan seminimal mungkin mencemari air dan tanah, serta pengelolaan sampah yang mudah dioperasikan masyarakat dengan biaya seminimal mungkin. d) Kriteria Kriteria merupakan penjabaran teknis dari tujuan, dengan prasyarat yang lebih terinci, yaitu prioritas pengolahan pada skala rumah tangga, mengurangi pencemaran pada air dan
32
e)
tanah semaksimal mungkin, jarak rumah dengan lokasi pengolahan sedekat mungkin, serta pengelolaan sampah mudah dioperasikan dan bersifat non cost recovery. Bentuk Pengolahan Bentuk penyediaan dibagi ke dalam tiga skala pengolahan yaitu untuk skala lingkungan dalam hal ini RT/RW adalah komposting untuk sampah organik dan bank sampah untuk sampah anorganik. Skala kawasan atau kelurahan adalah incinerator atau mesin pembakar sampah, sedangkan untuk skala kota adalah diangkut ke Tempat Pemrosesan Air (TPA) Sarimukti dengan jalur distribusi yang memadai.
Gambar 3.4 Hirarki penentuan infrastruktur persampahan 4) Rumah Perumusan hirarki dari pemilihan rumah yang paling tepat di permukiman kumuh di Kota Bandung terdiri dari lima level yaitu sebagai berikut: a) Fokus Fokus ditujukan untuk penyediaan perumahan yang memenuhi kebutuhan dan standar pelayanan minimal dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
33
b)
c)
d)
e)
Stakeholder/Pelaksana Pelaksana adalah pihak-pihak yang dinilai paling berperan dalam penyediaan rumah di permukiman kumuh yaitu pemerintah pusat, pemerintah, dan masyarakat. Tujuan Penetapan tujuan merupakan penjabaran dari fokus utama dilengkapi dengan tujuan pedukung yaitu mengurangi bangunan tinggal berkategori kumuh, bangunan layak huni dari sisi keselamatan, keamanan, dan kenyamanan, bangunan tinggal dengan biaya pengelolaan seminim mungkin, mengikuti standar ruang pribadi untuk individu sebesar 9 m2, serta mengikuti prinsip zonasi penataan ruang. Kriteria Kriteria merupakan penjabaran teknis dari tujuan, dengan prasyarat yang lebih terperinci, yaitu biaya pembangunan semaksimal mungkin tidak dibebankan ke masyarakat, memenuhi standar minimum ruang individu sebesar 9 m2, hanya dibangun di kawasan budidaya, tidak dibangun di lokasi yang rawan bencana banjir dan longsor, serta kondisi layak huni mengacu pada ketentuan teknis yang berlaku. Beberapa kriteria ditentukan dengan pertimbangan harus mengacu kepada prinsip tata ruang yaitu bahwa pembangunan permukiman harus dilakukan di kawasan budidaya dan bukan kawasan lindung. Sedangkan kriteria untuk tidak membangun di lokasi yang rawan bencana banjir adalah didasari kondisi di dua lokasi studi yaitu Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis yang terletak di sempadan Sungai Cikapundung sehingga rawan bencana banjir dan longsor di bibir sungai. Adapun kriteria layak huni mengacu pada kondisi eksisting rumah pada lokasi studi yang sebagian dinilai tidak layak huni seperti sempit, berdesak-desakan, kurang pencahayaan, dan kondisi sanitasi yang kurang baik, terutama di Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis. Bentuk Penyediaan Bentuk penyediaan merupakan alternatif yang paling dapat diterapkan pada kawasan di perkotaan dengan karakterisitik seperti permukiman kumuh di Kota Bandung yaitu rumah tidak bersusun, rumah susun, serta relokasi sepenuhnya. Perhitungan luas yang dibutuhkan untuk setiap alternatif juga disertai dengan penghitungan luas utilitas pendukung seperti jaringan jalan, jaringan drainase, jaringan air minum, mamupun jaringan gas jika ada. Alternatif rumah tidak bersusun dan rumah susun ditujukan mengantisipasi seluruh bentuk rumah yang dapat menjadi pilihan. Alternatif relokasi sepenuhnya disertakan mengingat kondisi seperti di Kelurahan Tamansari maupun Kelurahan Babakan Caimis yang wilayah terlarang untuk didiami termasuk signifikan luasnya karena merupakan kawasan lindung yaitu sempadan sungai, namun nyatanya tetap ditinggali
34
oleh penduduk. Sehingga dibutuhkan alternatif yang maksimal untuk mendukung pelarangan pemanfaatan tanah yang bukan peruntukannya untuk didiami.
Gambar 3.5 Hirarki penentuan bentuk penyediaan untuk rumah b. Studi literatur untuk mengindentifikasi infrastruktur-infrastruktur yang dapat digunakan.
35
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Studi
1.
Kelurahan Tamansari Luas wilayah penelitian adalah 102 Hektar, dengan jumlah penduduk 24.897 jiwa terdiri dari 6.598 kepala keluarga (KK) dan memiliki kepadatan 244 orang/hektar. Jumlah rumah permanen adalah 2201 buah dan jumlah rumah semi/tidak permanen adalah 2535 buah. Terdiri dari 20 rukun warga (RW) dan 115 rukun tetangga (RT). Mata pencaharian penduduk Kelurahan Tamansari sebagian besar adalah pedagang, pegawai negeri sipil, buruh industri dan bangunan, sedangkan sisanya bermatapencaharian sebagai pengusaha, pengrajin, ABRI, pengangkutan, dan pensiunan. Dari 8526 penduduk usia produktif 20% berstatus belum sekolah dan tidak tamat SD, 50% tamat SD, SMP, dan SMA, 18% adalah tamatan sarjana muda, sedangkan 12% adalah tamatan S1, S2, dan S3. Dari segi pendapatan 80% penduduk memiliki pendapatan di bawah UMR Kota Bandung. Selain didominasi oleh perumahan, Kelurahan Tamansari berlokasi mendekati pusat kota sehingga banyak terdapat aktivitas perekonomian seperti bank, perhotelan, rumah makan, maupun pusat perbelanjaan. Selain itu karena dekat beberapa sarana pendidikan seperti Institut Teknologi Bandung dan Universitas Islam Bandung maka di Kelurahan Tamansari tersebut juga banyak terdapat usaha kos-kosan dan kontrak, baik untuk mahasiswa maupun pekerja. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan petugas kelurahan luas lahan perumahan dari keseluruhan luas wilayah kelurahan adalah sekitar 66% atau 67,32 Ha. Sekitar 25% dari luas lahan Kelurahan Tamansari merupakan kawasan lindung karena berada di sepanjang sempadan sungai Cikapundung, atau hingga mencapai lima RW yaitu RW 06, 07, 10, 13, dan 15 sehingga seharusnya tidak boleh dibangun. Namun kenyataannya wilayah sempadan sungai tetap dibangun untuk perumahan hingga mencapai bibir sungai. Luas kawasan lindung tersebut belum termasuk luas ruang terbuka hijau atau RTH yang mencapai empat persen dari seluruh wilayah yang berupa lahan kosong, tempat olahraga, tempat bermain anak, wilayah di bawah kolong jembatan layang, dan taman. Secara umum kondisi perumahan di Kelurahan Tamansari berada pada kerapatan tinggi, dengan kondisi yang kurang teratur, terutama yang terletak pada bantaran Sungai Cikapundung. Rumah-rumah tersebut berhimpitan tanpa terdapat celah di antara rumah, dan untuk yang berhadapan sebagian besar hanya dibatasi oleh jalan-jalan gang dengan lebar antara 50 centimeter hingga satu meter. Bentuk rumah bercampur antara rumah berukuran kecil baik berlantai satu ataupun berlantai dua yang banyak terdapat di bantara sungai, sedangkan rumah yang terletak di dekat jalan besar memiliki ukuran yang lebih besar. Di beberapa RW yang telah ditangani oleh pemerintah sudah tampak keteraturan dan kebersihan deretan rumah namun masih ditandai dengan kepadatan tinggi.
36
Gambar 4.1 Kelurahan Tamansari 2.
Kelurahan Babakan Ciamis Luas wilayah penelitian adalah 80 Hektar, dengan jumlah penduduk 8.471 jiwa terdiri dari 2.625 kepala keluarga (KK), dengan kepadatan 106 orang/Ha. Terdiri dari 8 rukun warga (RW) dan 43 rukun tetangga (RT). Jumlah rumah permanen adalah 795 buah, semi permanen 520 buah, dan tidak permanen 22 buah. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Babakan Ciamis sebagian besar adalah buruh, sedangkan sisanya adalah pedagang, pegawai swasta, pegawai negeri sipil, pensiunan, maupun pelajar dan mahasiswa. Dari 7489 penduduk usia produktif 12% berstatus belum sekolah dan tidak tamat SD, 72% tamat SD, SMP, dan SMA, 5% adalah tamatan sarjana muda, sedangkan 11% adalah tamatan S1, S2, dan S3. Dari segi pendapatan, sebesar 68% memiliki pendapatan di bawah UMR Kota Bandung Selain didominasi oleh perumahan, Kelurahan Babakan Ciamis berlokasi mendekati pusat kota sehingga banyak terdapat aktivitas perekonomian seperti pasar, bank, perhotelan, rumah makan, maupun pusat perbelanjaan. Selain itu karena dekat beberapa sarana pendidikan seperti Institut Teknologi Bandung dan Universitas Islam Bandung maka di Kelurahan Babakan Ciamis tersebut juga banyak terdapat usaha kos-kosan dan kontrak, baik untuk mahasiswa maupun pekerja. Selain itu juga terdapat usaha rumahan seperti warung maupun warung makan. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan petugas kelurahan luas lahan perumahan dari keseluruhan luas wilayah kelurahan adalah sekitar 64% atau 51,2 Ha. Tidak jauh berbeda dengan Kelurahan Tamansari maka Kelurahan Babakan Ciamis juga memiliki kawasan lindung di sepanjang sempadan sungai yang seharusnya tidak boleh dibangun. Luas kawasan tersebut sekitar 21% dari keseluruhan luas wilayah kelurahan. Selain itu terdapat lebih kurang 5% wilayah ruang terbuka hijau yang terdiri dari lapangan olahraga, lahan kosong, dan taman.
37
Secara umum pola persebaran bentuk perumahan di Kelurahan Babakan Ciamis memiliki kemiripan dengan Kelurahan Tamansari, yaitu rumah yang berukuran lebih besar dengan kondisi yang lebih bagus berada di tepi jalan besar, sedangkan rumah-rumah yang berukuran lebih kecil dengan kondisi yang cenderung kurang baik berada pada bantaran Sungai Cikapundung. Kondisi rumah yang berada di bantaran Sungai Cikapundung juga memiliki kemiripan kondisi dengan Kelurahan Tamansari yaitu berkerapatan tinggi, berdesak-desakan, dan nampak kurang teratur. Kondisi kerapatan tinggi ditunjukkan dengan kondisi rumah antar rumah yang tanpa jarak, atau jika berhadap-hadapan hanya dibatasi oleh gang berukuran maksimal hingga satu meter . Di beberapa RW kondisi rumah sudah teratur dan lebih bersih walaupun tetap dengan kepadatan tinggi.
Gambar 4.2 Kelurahan Babakan Ciamis 3.
Kelurahan Cihargeulis Luas wilayah penelitian adalah 74,5 Hektar, dengan jumlah penduduk 10.549 jiwa terdiri dari 3.677 kepala keluarga (KK), dan memiliki kepadatan 142 orang/Ha . Jumlah rumah permanen adalah 2.377 buah, semi permanen 723 buah, dan tidak permanen 225 rumah. Terdiri dari 11 rukun warga (RW) dan 72 rukun tetangga (RT). Mata pencaharian penduduk Cihargeulis sebagian besar adalah pengusaha kecil dan menengah, pegawai negeri maupun swasta, dan lain-lain. Dari 9389 penduduk usia produktif 40% berstatus belum sekolah dan tidak tamat SD, 5% tamat SD, SMP, dan SMA, 15% adalah tamatan sarjana muda, sedangkan 11% adalah tamatan S1, S2, dan S3 Dari segi pendapatan, sebesar 50% memiliki
38
pendapatan di bawah UMR Kota Bandung. Selain didominasi oleh perumahan, Kelurahan Cihargeulis berlokasi di kawasan perdagangan dan perkantoran, sehingga banyak terdapat aktivitas perekonomian seperti bank, perhotelan, rumah makan, maupun sarana pendidikan. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan petugas kelurahan luas lahan perumahan dari keseluruhan luas wilayah kelurahan adalah sekitar 60% atau 44,7 Ha. Luas ruang terbuka hijau atau RTH di kelurahan tersebut diperkirakan delapan persen dari luas keselurahan lahan yang meliputi tanah kosong, taman bermain, lapangan olahraga, dan taman. Kondisi perumahan di Kelurahan Cihargeulis memiliki kemiripan dalam kepadatan dengan Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis. Namun sekilas terihat tampak lebih bersih. Selain itu luasan kawasan dengan luas yang rumah yang lebih kecil juga lebih sedikit, dan banyak didominasi oleh rumah berukuran sedang hingga besar. Diasumsikan bahwa penyebab Kelyrahan Cihargeulis mendapat tipologi permukiman kumuh ringan di Kota Bandung akan karena tingkat kepadatan yang masih terbilang cukup tinggi.
Gambar 4.3 Kelurahan Cihargeulis Kesenjangan Kebutuhan Sumber Daya Alam Air dan Lahan 2.
Kuantitas a. Air Perhitungan kuantitas kesediaan air untuk penduduk memperhitungkan seluruh sumber air baku yang digunakan oleh penduduk dalam hal ini berdasarkan data sekunder, observasi dan wawancara terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu dari PDAM melalui perpipaan dan sumur gali/pompa. Namun perhitungan untuk debit air PDAM yang diterima oleh penduduk juga memperhitungkan tingkat kebocoran yang mencapai 50% dikarenakan oleh berbagai sebab seperti pipa yang bocor, pencurian air, maupun pencatatan meteran air yang kurang akurat. Sumber air PDAM untuk Kelurahan Tamansari berasal dari PDAM Dago Pakar. Adapun debit sumber air sumur gali/bor diperhitungkan melalui jumlah sumur gali/bor yang berada pada kelurahan tersebut dikalikan dengan standar minimal 39
3.
debit air sumur di perkotaan untuk sepanjang tahun yaitu lima liter/detik (Kementerian Pekerjaan Umum, 2010). b. Lahan Perhitungan kuantitas lahan untuk perumahan diperhitungkan dengan melihat lahan untuk perumahan eksisting, dikurangi dengan lahan yang tidak boleh dibangun seperti sempadan sungai di Kelurahan Tamansari dan Babakan Ciamis, serta untuk Ruang Terbuka Hijau. Kualitas a. Air Penentuan kualitas air mengacu pada standar yang diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Air, yang terbagi kedalam pengamatan terhadap nilai kualitas air dari aspek fisika, kimia, dan mikrobiologi. Penentuan memenuhi kualitas air atau tidak dilakukan dengan melihat persentase sampel yang memenuhi ataupun tidak memenuhi kualitas air baik dari parameter fisika, kimia, maupun biologi. Asumsi yang diberlakukan adalah jika satu sampel air tidak memenuhi syarat salah satu parameter maka akan dianggap tidak memenuhi kualitas air baku secara keseluruhan. Dari hasil termuan terlihat bahwa lebih dari separuh jumlah sampel menunjukkan bahwa parameter biologi banyak yang terlewati. Kadar coliform dan f.coliform ataupun e.coliform melewati dari ambang batas yang disyaratkan untuk kualitas air kelas I dari Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Perlindungan Pencemaran dan Pengelolaan Kualitas Air. Hal ini diasumsikan disebabkan oleh pada tiga permukiman yang dengan kepadatan yang cukup tinggi tersebut telah terjadi kebocoran tangki septik di dalam tanah sehingga mencemari sumber air tanah di dekatnya. Pada permukiman dengan kepadatan tinggi bisa saja terjadi bahwa tangki septik mengalami kebocoran dan bertahun-tahun tidak terperiksa dengan baik. Dari pengelompokan lokasi juga terlihat bahwa pada rumah-rumah yang berdekatan terlihat mengalami kondisi yang sama sehingga dikhawatirkan bahwa kebocoran tangki septik pada satu rumah menyebabkan tercemarnya persediaan air tanah rumah-rumah lainnya yang berdekatan. Selain itu terlihat bahwa menurunnya kualitas air tanah memiliki suatu pola yaitu makin ke selatan makin rentan terjadi yang menunjukkan bahwa pencemaran air tanah makin terjadi karena dipengaruhi oleh makin padatnya aktivitas manusia. Pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah telah melaksanakan berusaha menerapkan program yang memungkinkan bagi warga khususnya permukiman kumuh untuk dapat menikmati air dengan kualitas setara dengan air layak minum. Program tersebut meliputi perkuatan PDAM, ataupun inovasi teknologi pengolahan air. Namun hingga saat ini kualitas air baku yang dinikmati oleh masyarakat belum mencapai layak minum. Oleh karena itu untuk antisipasi ke depannya dibutuhkan penerapan program yang juga harus mempertimbangkan manfaat yang dapat dinikmati masyarakat.
40
Tabel 4.2 Kualitas air No.
Kelurahan
1.
Tamansari
Jumlah sampel 9
2. 3.
4.
Alamat RT 01 RW 03 Jl. Kebon Kembang RT 02 RW 16 Gg. Linggawastu RT 08 RW 20 Gg. Flamboyan Taman Sari Bawah RT 06 RW 20 Taman Sari Bawah
Fisika Memenuhi
Parameter Kimia Biologi Memenuhi Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Tidak Memenuhi: Nilai coliform: 1100 Nilai e.coli: 200 Tidak Memenuhi: Nilai coliform: 1200 Nilai e. coli: 200 Tidak Memenuhi: Nilai coliform: 1100 Nilai e.coli: 100 Memenuhi
5.
RT 08 RW 20 Taman Sari Bawah
Memenuhi
Memenuhi
6.
RT 07 RW 20 Taman Sari Bawah
Memenuhi
Memenuhi
7.
RT 07 RW 08 Jl. Kebon Sirih No. 8 RT 06 RW 02, Gg. Cicendo Dalam
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
RT 08 RW 08, Jl. Kebon Sirih 8 No. 58
Memenuhi
Memenuhi
Jl. 04 RW 03, Cicendo Dalam
Memenuhi
Tidak Memenuhi: BOD: 10,63 COD: 26,58
8.
9.
10.
Babakan Ciamis
8
Tidak Memenuhi: Nilai coliform: 1200 Nilai e. coli: 300 Tidak Memenuhi: Nilai coliform: 1200 Nilai e. coli: 300 Tidak Memenuhi: Coliform: 1200 F.Coliform: 200
Laboratorium penguji
Ket.
Sucofindo Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Sucofindo
41
No.
Kelurahan
Jumlah sampel
11.
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
RT 10 RW 20, Taman Sari Bawah RT 09 RW 20, Taman Sari Bawah
Memenuhi
Memenuhi
Tidak Memenuhi: Coliform: 1200 E. Coliform: 200 Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
RT 07 RW 16, Gg. Linggawastu
Memenuhi
Memenuhi
RT 03 RW 04 No. 15
Tidak Memenuhi: Nilai BOD: 5,00 Nilai Mn 0,12
Tidak Memenuhi: Coliform: 1200 E.Coliform: 300 Tidak Memenuhi: Coliform: 1300 E. Coliform: 300 Tidak Memenuhi: Coliform: 1700 F.Coliform: 1100
Memenuhi
Memenuhi Tidak Memenuhi: Coliform: 1200 E. Coliform: 300 Tidak Memenuhi: Coliform: 1300 E.Coliform: 300
RT 04 RW 02, Mesjid Al-Ikhlas No. 99, Cicendo Dalam RT 05 RW 02, Gg. Cicendo Dalam RT 03 RW 02, Gg. Cicendo RT 07 RW 20, Taman Sari Bawah
12. 13. 14.
15. 16.
17.
18.
Memenuhi
Parameter Kimia Biologi Memenuhi Tidak Memenuhi: Coliform: 1300 E.Coliform: 200 Memenuhi Memenuhi
Alamat
Cihargeulis
13
Fisika Memenuhi
19.
RT 06 RW 05, No. 20
Tidak Memenuhi: Nilai TSS: 136 Memenuhi
20.
RT 04 RW 05 No. 4
Memenuhi
Memenuhi
21.
RT 04 RW 06 No. 12
Memenuhi
Memenuhi
Laboratorium penguji
Ket.
Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Sucofindo
Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung
42
22.
RT 04 RW 06 No. 54
Fisika Memenuhi
23.
RT 04 RW 06 No. 33
Memenuhi
Parameter Kimia Biologi Tidak Memenuhi: Tidak Memenuhi: Nilai Mn: 0,1 Coliform: 1200 E. Coliform: 200 Memenuhi Memenuhi
24.
RT 05 RW 06 No. 37
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
25.
RT 08 RW 06 No. 17
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
26
RT 04 RW 06 No. 20
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
27.
RT 05 RW 06 No. 10
Memenuhi
Memenuhi
28
RT 05 RW 06 No. 12
Memenuhi
Memenuhi
29
RT 03 RW 06 No. 6
Memenuhi
Memenuhi
Tidak Memenuhi: Coliform: 1300 E. Coliform: 300 Tidak Memenuhi: Coliform: 1400 E.Coliform: 200 Memenuhi
30.
RT 03/RW02 Cicendo Dalam No. 157/97
Memenuhi
Memenuhi
No.
Kelurahan
Jumlah sampel
Alamat
Tidak Memenuhi: Coliform: 1400 E. Coliform: 400
Laboratorium penguji
Ket.
Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung Lab. PDAM Tirtawening Bandung
43
b.
Lahan Penentuan kualitas lahan mengacu pada Indeks Kualitas Tanah, suatu besaran yang dirumuskan oleh Badan Pusat Statistik untuk menentukan kualitas tanah, diitnjau dari kondisi sanitasi di permukiman tersebut, dengan komponen pembuangan air limbah di setiap rumah dan volume sampah yang tidak terangkut perkm2 perhari.
Tabel 4.3 Indeks kualitas tanah lokasi studi Persentase Jumlah Nilai Nilai Nilai rumah sampah tidak indeks indeks indeks dengan terangkut kualitas kualitas Kelurahan Tipologi kualitas saluran perkm2 tanah tanah tanah pembuangan perhari dari air dari total air limbah (m3/km2/hari) limbah sampah Tamansari Kumuh 37% 6,7 37 0 18,5 Berat Babakan Kumuh 35% 3,1 35 60 47,5 Ciamis Sedang Cihargeulis Kumuh 50,12% 0,3 50 97 73,5 Ringan Dari hasil kajian kesenjangan kuantitas dan kualitas sumberdaya air dan lahan di masing-masing kelurahan terlihat bahwa untuk segi kuantitas air dan lahan dengan mengacu pada standar pelayanan minimal masih mencukupi. Berdasarkan perhitungan kuantitas air yang bersumber dari perpipaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan air tanah dalam bentuk sumur gali/pompa terlihat bahwa debit air masih mencukupi. Sedangkan dari segi kualitas maka terlihat bahwa untuk sumber air dari PDAM telah memenuhi kualitasnya karena air bakunya telah diolah, sedangkan untuk kualitas air sumber air tanah terlihat bahwa belum memenuhi kelas air yang ditentukan, seperti pada aspek biologis dan kimia. Untuk sumberdaya tanah dari segi kuantitas terlihat jika dihitung berdasarkan nilai standar pelayanan minimal sembilan meter persegi per orang maka luasan lahan eksisting yang tersedia untuk perumahan masih mencukupi di ketiga kelurahan tersebut. Namun perhitungan untuk kuantitas lahan masih membutuhkan perhitungan tambahan seperti untuk kebutuhan utilitas jaringan listrik, perpipaan PDAM, jaringan jalan, drainase, atau jaringan pipa gas jika ada.
44
Tabel 4.4 Sandingan kebutuhan kuantitas dan kualitas air dan lahan untuk perumahan Kelurahan Tamansari Kuantitas Kualitas Yang dibutuhkan Sumber No (mengacu pada Yang daya alam Eksisting Kesenjangan Eksisting Kesenjangan standar pelayanan dibutuhkan minimal) 1 Air Perpipaan dari 44.815 m3/bulan (-) Memenuhi Kelas Air I Memenuhi (Kebutuhan PDAM: 33.064 Kebutuhan dalam PP 82/2001 Kelas Air I SPM: 60 m3/bulan penduduk dalam PP l/orang/hari) tertutupi dari 82/2001 sumur gali /pompa Jumlah sumur 55% Sampel belum Memenuhi Membutuhkan gali/pompa: 75, memenuhi kelas air I kelas air I pengolahan potensi debit dalam PP 82/2001 dalam PP atau bentuk minimal 5 (kandungan bakteri E82/2001 penyediaan liter/detik, Coli melewati ambang lebih lanjut sehingga potensi batas yang disyaratkan) dari air sumur debit minimal per bulan: 972.000 m3/bulan 2 Lahan Luas area 22,4 ha (hanya Indeks kualitas tanah: 18,5 (untuk perumahan yang untuk penduduk) Perumahan: tersedia: 47,8 Ha 9 m2 / individu)
45
Tabel 4.5 Sandingan kebutuhan kuantitas dan kualitas air dan lahan untuk perumahan Kelurahan Babakan Ciamis Kuantitas Kualitas Yang dibutuhkan Sumber daya No (mengacu pada Yang alam Eksisting Kesenjangan Eksisting Kesenjangan standar dibutuhkan pelayanan minimal) 1 Air (Kebutuhan Perpipaan: 15.579 Dalam perhitungan Memenuhi kelas air Memenuhi SPM: 60 21.592 m3/bulan m3/bulan kebutuhan masih I dalam PP 82/2001 kelas air I l/orang/hari) tertutupi oleh suplai dalam PP dari PDAM Dago 82/2001 Pakar walaupun dengan tingkat kebocoran 50% Jumlah sumur 62,5% belum Memenuhi Membutuhkan gali/pompa: 67, memenuhi kelas air I Kelas Air I pengolahan dalam PP 82/2001 dalam PP lebih lanjut dari potensi debit (kadar BOD dan 82/2001 air sumur minimal 5 COD lebih tinggi dari liter/detik, yang disyaratkan, sehingga potensi kandungan bakteri Edebit minimal Coli melewati per bulan: ambang batas yang 868.320 disyaratkan) m3/bulan 2 Lahan (untuk 37,89 Ha 7,79 Ha Indeks kualitas tanah: 47,5 Perumahan: 9 (Hanya untuk m2/individu) penduduk)
46
Tabel 4.6 Sandingan kebutuhan kuantitas dan kualitas air dan lahan untuk perumahan Kelurahan Cihargeulis Kuantitas Kualitas Yang Dibutuhkan Sumber No (Mengacu pada Yang Daya Alam Eksisting Kesenjangan Eksisting Kesenjangan Standar Pelayanan Dibutuhkan Minimal) 1 Air Perpipaan: 13.201 25.729 m3/bulan (-) Memenuhi Kelas Memenuhi (Kebutuhan m3/bulan Kebutuhan Air II dalam PP Kelas Air I SPM: 60 penduduk 82/2001 dalam PP l/orang/hari) tertutupi 82/2001 dari sumur gali /pompa Jumlah sumur 54% Sampel Memenuhi Membutuhkan gali/pompa: 122, Belum Kelas Air I pengolahan atau potensi debit Memenuhi Kelas dalam PP bentuk minimal 5 Air II dalam PP 82/2001 penyediaan lain liter/detik, 82/2001 (kadar selain air sumur sehingga potensi BOD dan Mn debit minimal per lebih tinggi dari bulan: 1.581.120 yang disyaratkan, m3/bulan kandungan EColi melebih yang disyaratkan) 2 Lahan Luas area 12,87 Ha (hanya Indeks Kualitas Tanah: 73,5 (untuk perumahan yang untuk penduduk) Perumahan: tersedia: 60,2 Ha 9 m2/ individu)
47
Penentuan Bentuk Infrastruktur Dasar Permukiman Prioritas Ketersediaan sumberdaya air dan lahan di permukiman kumuh dewasa ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme alam. Kepadatan yang tinggi, perilaku manusia, dan kondisi pencemaran menyebabkan alam menjadi tidak mampu memenuhi kebutuhan sumber daya air dan lahan khususnya tempat tinggal untuk manusia. Kondisi ini menyebabkan dibutuhkan satu bentuk rekayasa penyediaan sumberdaya air dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia, namun juga memastikan bahwa kuantitas dan kualitas ketersediaan sumberdaya tersebut tetap terjaga. Adapun bentuk rekayasa penyediaan tersebut dilakukan melalui pengadaan infrastruktur dasar permukiman dan sarana perumahan. Untuk sumberdaya air, infrastruktur dasar permukiman yang terkait erat baik dari segi kuantitas maupun kualitas adalah infrastruktur air minum dan air limbah. Infrastruktur air minum terkait dengan kuantitas dan kualitas sumberdaya air, sedangkan infrastruktur air limbah terkait erat dengan kualitas sumberdaya air. Penentuan besaran kuantitas dan kualitas sumberdaya air mengacu pada standard tertentu. Besaran kuantitas standard yang diacu adalah nilai standard pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu untuk air minum sebesar 60 liter/orang/hari yang bersumber dari Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Sedangkan dari segi kualitas untuk air mengacu pada kelas air yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Untuk standar kualitas air pada permukiman kumuh ditentukan kelas I, yaitu yang peruntukannya untuk bahan baku air minum. Untuk sumberdaya lahan maka dari segi kuantitas yang sangat jelas terkait adalah bangunan tinggal atau rumah. Sedangkan dari segi kualitas secara tidak langsung adalah infrastruktur air limbah dan persampahan, terkait dengan kebutuhan pengelolaan air limbah dan sampah sebagai residu hasil aktivitas masyarakat supaya tidak mencemari lingkungan permukiman. Dari segi perhitungan kuantitatif maka untuk kuanititas lahan mengacu pada nilai sembilan meter persegi per orang minimal yang bersumber dari Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 22/ Permen /M/ 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan untuk kualitas tanah digunakan rumus perhitungan Indeks Kualitas Tanah dari Badan Pusat Statistik dengan komponen yang dipengaruhi oleh komponen jumlah rumah yang memiliki sistem penyaluran air limbah dan volume sampah yang tidak terangkut untuk setiap satuan wilayah administratif. Perhitungan kuantitas lahan mengacu pada luas lahan perumahan eksisting yang tidak dibangun di kawasan lindung, seperti sempadan sungai, serta luas jaringan utilitas yang mendukung seperti jaringan jalan, drainase, perpipaan PDAM, dan jaringan gas jika ada.
48
Sumberdaya Air
Lahan
Tabel 4.7 Sandingan kesesuaian sumberdaya air dan lahan dengan infrastruktur dasar permukiman terkait Infrastruktur Dasar Permukiman dan Perumahan Acuan Standard Besaran Kuantitas Kualitas Air Minum Air Minum Kuantitas: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Kuantitas: Standard Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Pelayanan Minimal Air Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Minum: 60 liter /orang/ Ruang detik Kualitas: Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun Kualitas: Kelas Air I 2001 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Air Air Limbah Kualitas: Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun Kualitas: Kelas Air I 2001 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Air Rumah Air Limbah Kuantitas: Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Kuantitas: Luas minimum Tinggal dan Nomor 22/ Permen /M/ 2008 tentang Standar untuk individu sebesar 9 Persampahan Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat m2/orang dihitung Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Kualitas: Rumus Indeks melalui Kualitas Tanah oleh Badan Kualitas: Rumus Indeks Kualitas dari Badan Pusat Indeks Statistik dengan komponen jumlah rumah yang Pusat Statistik dengan skala Kualitas memiliki sistem penyaluran air limbah dan nilai 0 – 100, 0 adalah Tanah volumen sampah yang tidak terangkut untuk setiap kondisi terbaik dan 100 satuan wilayah administratif adalah kondisi yang diharapkan
49
Penentuan Bentuk Prioritas Dalam rangka penentuan bentuk infrastruktur prioritas ini diawali dengan penentuan jumlah pakar sebanyak lima orang dengan pertimbangan adalah masing-masing pakar memiliki tugas dan fungsi pada alur perencanaan dari perumusan kebijakan dan strategi nasional perbaikan permukiman kumuh hingga pelaksanaan di lapangan. Tabel 4.8 Data pakar No. Nama Jabatan 1. Ir. Atang Kepala Bidang Strategi Pembangunan Pusat Kajian Strategis Kementerian Pekerjaan Umum 2. Ir. Edward Kepala Sub Direktorat Abdurrachman, Kebijakan dan Strategi MSc Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum 3. Ir. Hadi Direktur Pengembangan Sucahyono, Permukiman Kementerian MPP, PhD Pekerjaan Umum 4. Afiyani Staf Satuan Kerja Amran, ST Perencanaan dan Pengendalian Pengembangan Infrastruktur Permukiman Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat 5. Farida Hayati, Fasilitator Program ST Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kota Bandung Tahun 2011
Keterangan Responden 1
Responden 2
Responden 3
Responden 4
Responden 5
Hasil Sintesa Dasar pemilihan infrastruktur terpilih adalah melihat infrastruktur yang terpilih berdasarkan nilai bobot terbesar oleh setiap grup responden. Perhitungan bobot dan nilai inkonsistensi dilakukan dengan software Expert Choice versi 11. Hasil analisis dengan metode AHP adalah sebagai berikut:
Kelurahan Tamansari 1.
Air Minum
50
Tabel 4.9 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur air bersih Kelurahan Tamansari Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Perpipaan Instalasi Penampungan PDAM Pengolahan dan Setempat Pengolahan Air Hujan Nilai Bobot 0,429 Bentuk yang Terpilih:
2.
0,429 0,142 Perpipaan PDAM atau Instalasi Pengolahan Setempat
0,00
Air Limbah Tabel 4.10 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur air limbah Kelurahan Tamansari Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Pengolahan Pengolahan Pengolahan Skala Skala Skala Kota Lingkungan Kawasan Nilai Bobot 0,635 Bentuk yang Terpilih:
3.
0,240 0,125 Pengolahan Skala Lingkungan
0,01
Persampahan Tabel 4.11 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur persampahan Kelurahan Tamansari Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Pengangkutan Komposting Incinerator + TPA + Bank Skala Sampah Kelurahan Nilai Bobot 0,180 Bentuk yang Terpilih:
4.
0,702 0,118 Komposting + Bank Sampah
0,04
Rumah Tabel 4.12 Bentuk penyediaan terpilih rumah Kelurahan Tamansari Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Rumah Rumah Relokasi Tidak Susun Sepenuhnya Bersusun Nilai Bobot 0,090 Bentuk yang Terpilih:
0,790 Rumah Susun
0,119
0,02
51
Kelurahan Babakan Ciamis 1. Air Minum Tabel 4.13 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur air bersih Kelurahan Babakan Ciamis Bentuk Penyediaan Nilai Perpipaan Instalasi Penampungan Inkonsistensi PDAM Pengolahan dan Setempat Pengolahan Air Hujan Nilai Bobot 0,464 Bentuk yang Terpilih:
0,389 0,146 Perpipaan PDAM
0,01
2. Air Limbah Tabel 4.13 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur air limbah Kelurahan Babakan Ciamis Nilai Bobot Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Pengolahan Pengolahan Pengolahan Skala Skala Skala Kota Lingkungan Kawasan Nilai Bobot 0,399 Bentuk yang Terpilih:
0,303 0,299 Pengolahan Skala Lingkungan
0,02
3. Persampahan Tabel 4.14 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur persampahan Kelurahan Babakan Ciamis Bentuk Penyediaan Nilai Pengangkutan Komposting Incinerator Inkonsistensi + TPA + Bank Skala Sampah Kelurahan Nilai Bobot 0,193 Bentuk yang Terpilih:
0,688 0,119 Komposting + Bank Sampah
0,02
4. Rumah Tabel 4.15 Bentuk penyediaan terpilih rumah Kelurahan Babakan Ciamis Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Rumah Rumah Relokasi Tidak Susun Sepenuhnya Bersusun Nilai Bobot 0,189 Bentuk yang Terpilih:
0,713 Rumah Susun
0,098
0,01
52
Kelurahan Cihargeulis 1. Air Minum Tabel 4.16 Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Minum Kelurahan Cihargeulis Bentuk Penyediaan Nilai Perpipaan Instalasi Penampungan Inkonsistensi PDAM Pengolahan dan Setempat Pengolahan Air Hujan Nilai Bobot 0,461 Bentuk yang Terpilih:
0,393 0,146 Perpipaan PDAM
0,00
2. Air Limbah Tabel 4.17 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur air limbah Kelurahan Cihargeulis Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Pengolahan Pengolahan Pengolahan Skala Skala Skala Kota Lingkungan Kawasan Nilai Bobot 0,213 Bentuk yang Terpilih:
0,243 0,545 Pengolahan Skala Kota
0,05
3. Persampahan Tabel 4.18 Bentuk penyediaan terpilih infrastruktur persampahan Kelurahan Cihargeulis Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Pengangkutan Komposting Incinerator + TPA + Bank Skala Sampah Kelurahan Nilai Bobot 0,184 Bentuk yang Terpilih:
0,709 0,107 Komposting + Bank Sampah
0,02
4. Rumah Tabel 4.19 Bentuk penyediaan terpilih rumah Kelurahan Cihargeulis Bentuk Penyediaan Nilai Inkonsistensi Rumah Rumah Relokasi Tidak Susun Sepenuhnya Bersusun Nilai Bobot 0,581 Bentuk yang Terpilih:
0,304 0,115 Rumah Tidak Bersusun
0,02
53
Tabel 4.20 Rangkuman bentuk infrastruktur dan rumah terpilih Kelurahan Tamansari
Babakan Ciamis
Cihargeulis
Bentuk Infrastruktur / Rumah Terpilih Air minum Air limbah Persampahan Perpipaan Pengolahan Air Limbah Skala Komposting untuk dari Lingkungan: MCK Komunal untuk Sampah Organik dan PDAM / limbah wc atau black water dan Bank Sampah untuk Instalasi Instalasi Pengolahan Air Limbah Sampah Anorganik Skala Pengolahan untuk limbah domestik atau grey Kawasan (RW/RT) Air water Setempat
Rumah Rumah Susun
Perpipaan dari PDAM
Pengolahan Air Limbah Skala Lingkungan: MCK Komunal untuk limbah wc atau black water dan Instalasi Pengolahan Air Limbah untuk limbah domestik atau grey water
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala Kawasan (RW/RT)
Rumah Susun
Perpipaan dari PDAM
Pengolahan Air Limbah Skala Kota PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala Kawasan (RW/RT)
Rumah Tidak Bersusun
Kisaran Nilai Inkonsistensi
0,00 – 0,05
54
Dari hasil analisis didapatkan bahwa untuk Kelurahan Tamansari sebagai permukiman dengan kategori kumuh berat bentuk infrastruktur yang terpilih untuk air minum adalah perpipaan dari PDAM, untuk air limbah adalah pengolahan air limbah skala lingkungan dalam hal ini kelurahan yaitu MCK Komunal untuk limbah wc atau black water dan Instalasi Pengolahan Air Limbah untuk limbah domestik atau grey water, untuk persampahan adalah komposting untuk sampah organik dan bank sampah untuk sampah anorganik skala RW/RT, sedangkan untuk rumah adalah rumah susun. Sedangkan untuk Kelurahan Babakan Ciamis dengan kategori kumuh sedang untuk air minum adalah perpipaan dari PDAM, untuk air limbah adalah adalah pengolahan air limbah skala lingkungan dalam hal ini kelurahan yaitu MCK Komunal untuk limbah wc atau black water dan Instalasi Pengolahan Air Limbah untuk limbah domestik atau grey water, untuk persampahan adalah komposting untuk sampah organik dan bank sampah untuk sampah anorganik skala RW/RT, sedangkan untuk rumah adalah rumah susun. Adapun untuk Kelurahan Cihargeulis dengan kategori kumuh ringan untuk air minum adalah perpipaan dari PDAM, untuk air limbah adalah pengolahan skala kota oleh PDAM Tirta Wening yang berlokasi di Bojong Soang dengan didukung oleh sistem perpipaan yang memadai, untuk persampahan adalah komposting untuk sampah organik dan bank sampah untuk sampah anorganik skala RW/RT, sedangkan untuk rumah adalah rumah tidak susun. Dari analisis untuk setiap infrastruktur dan rumah didapatkan nilai inkonsistensi yang berkisar antara 0,00 – 0,05 untuk setiap matriks yang ini berarti bahwa nilai inkonsistensi di bawah 10% sehingga hasil dapat diterima dan tidak perlu diulang.
Penentuan Jumlah Kebutuhan Bentuk Infrastruktur dan Perumahan Prioritas Setelah ditentukan kesenjangan kuantitas dan kualitasnya air dan lahan, serta bentuk infrastruktur dan rumah yang terpilih maka selanjutnya ditentukan besaran kebutuhannya berangkat dari kondisi eksisting. 1. Air Minum Sumber penyediaan air minum di tiga kelurahan berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Wening yang beroperasi dari Badak Singa, Dago, serta dari air tanah lewat sumur gali atau pompa. Namun untuk untuk air sumur di Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis berdasarkan data yang ada kondisinya sedikit tercemar hal ini diasumsikan karena letaknya yang berdekatan dengan Sungai Cikapundung yang telah tercemar. Sumber lain berasal dari PDAM, namun saat ini terkendala dengan tingkat kebocoran yang tinggi yaitu 50% sehingga jika infrastruktur yang terpilih adalah perpipaan dari PDAM maka kondisi kebocoran tersebut harus diatasi. Adapun kebocoran tersebut berasal dari antara lainkebocoran pada pipa, pncurian air, maupun pencatatan pada meter air yang kuran tepat.
55
Tabel 4. 21 Jumlah Debit Air dari Layanan PDAM Jumlah Tingkat Perkiraan Jumlah Debit Kelurahan Debit Air / Kebocoran Riil yang Diterima Warga Bulan Tamansari 66.128 m3 50% 33.064 m3 Babakan 43.184 m3 50% 21.592 m3 Ciamis Cihargeulis 26.402 m3 50% 13.201 m3 Seperti untuk Kelurahan Tamansari, perhitungan kebutuhan seluruh penduduk dengan pendekatan standar pelayanan minimal sebesar 60 liter/orang/hari menjadi sebesar 44.815 m3/bulan. Jika bentuk infrastruktur air minum yang terpilih adalah perpipaan PDAM maka untuk mencapai jumlah debit sebesar minimal setara dengan kebutuhan tersebut tingkat kebocoran yang harus ditangani adalah setara dengan jumlah 44.815 -33.064 = 11.751 m3 atau pengurangan tingkat kebocoran sebesar 18%. Sehingga tingkat kebocoran minimal yang diperbolehkan berdasarkan perhitungan di atas adalah 32%. Kondisi yang berbeda dialami oleh Kelurahan Babakan Ciamis yaitu jumlah debit air dari PDAM sebenarnya mencukupi untuk kebutuhan penduduk berdasarkan standar pelayanan minimal 60 liter/orang/detik/hari sehingga yang diharapkan adalah PDAM dapat mempertahankan kuantitas layanannya dambil tetap terus berusaha ditingkatkan. Sedangkan untuk Kelurahan Cihargeulis memiliki kondisi yang sama dengan Kelurahan Tamansari yaitu yaitu jika semata mengandalkan PDAM maka terdapat kesenjangan kebutuhan yaitu kebutuhan berdasarkan perhitungan standar pelayanan minimal adalah 25.729 m3 sedangkan debit yang tersedia adalah 13.201 m3/bulan. Kesenjangan yang ada sebesar 12.528 m3/bulan, sehingga diperhitungkan jika pelayanan air minum sepenuhnya direncanakan berasal dari PDAM maka tingkat kebocoran yang harus dikurangi adalah sebesar 47%, atau untuk mencapai standar pelayanan minimal maka tingkat kebocoran minimal di Kelurahan Cihargeulis harus mencapai tiga persen. Khusus untuk Kelurahan Tamansari berdasarkan kajian AHP maka bentuk tepilih kedua adalah instalasi pengolahan air setempat. Berdasarkan standar yang berlaku (SNI, 2008) maka dibutuhkan instalasi pengolahan air setempat yang memiliki keluaran 50 liter/detik atau setara dengan 129.600 m3/bulan sehingga kebutuhan penduduk dapat terpenuhi. 2.
Air Limbah Pada infrastruktur air limbah untuk pengolahan air limbah domestik non wc hingga saat ini belum ada pengolahan khusus di Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis sehingga air limbah langsung dibuang ke saluran drainase untuk kemudian dialirkan ke Sungai Cikapundung. Kondisi ini menyebabkan cukup signikannya tingkat pencemaran sungai tersebut hingga memerlukan penanganan lebih lanjut. Demikian juga untuk air limbah wc yang sebagian rumah tidak memiliki saluran pengolahan air limbah minimal septictank dan hanya cubluk biasa sehingga air buangannya langsung disalurkan menuju sungai, menyebabkan Sungai Cikapundung memiliki kadar bakteri E-Coli yang cukup tinggi. Kondisi yang cukup berbeda ditunjukkan oleh Kelurahan Cihargeulis yaitu pengolahan air limbah wc dan non wc telah dilakukan oleh
56
PDAM Tirta Wening melalui instalasi pengolahan air limbah Di Bojong Soang. Hal tersebut cukup signifikan untuk menurunkan tingkat pencemaran. Penanganan yang diusulkan untuk Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis adalah pengolahan skala lingkungan dalam hal ini tingkat kelurahan yaitu membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah untuk limbah non wc didasari standard teknik pembangunan instalasi satu unit untuk 400 KK (Kementerian Pekerjaan Umum, 2008) sehingga untuk Kelurahan Tamansari dengan 6.598 KK dibutuhkan 17 unit instalasi pengolahan. Adapun Kelurahan Babakan Ciamis dengan 2.625 KK membutuhkan tujuh unit instalasi pengolahan. Sedangkan untuk pengolahan air limbah wc maka dengan perhitungan yang proporsional 1 WC untuk melayani 200 KK maka untuk Kelurahan Tamansari dibutuhkan 33 WC Komunal atau biasa disebut MCK Komunal dan untuk Kelurahan Babakan Ciamis dibutuhkan 14 unit MCK Komunal. Saat ini telah terdapat 2 unit MCK Komunal di Kelurahan Tamansari sehingga dibutuhkan lebih kurang 31 unit MCK Komunal lagi dengan pembagian yang proporsional di setiap RW. Adapun saat ini terdapat 11 unit MCK Komunal di Kelurahan Babakan Ciamis yang tersebar di RW 1, RW 2, dan RW 8 sehingga masih dibutuhkan tiga unit MCK Komunal lagi dengan persebaran yang proporsional di seluruh kelurahan supaya mudah diakses warga. Sedangkan untuk Kelurahan Cihargeulis bentuk perbaikan yang bisa dilakukan adalah pemeliharaan perpipaan yang menyalurkan air limbah ke pusat pengolahan oleh PDAM Tirta Wening dengan pelibatan warga. 3. Persampahan Sedangkan untuk persampahan di Kelurahan Tamansari sebagian diangkut oleh Dinas Kebersihan melalui petugasnya dan sebagian lagi tak terangkut dibuang ke sungai atau dibakar. Terdapat pengelolaan Bank Sampah di RW 14, 15, 16, dan 20 untuk sampah arorganik seperti plastik, kaca, dan kertas, namun idealnya adalah setiap RW memiliki unit pengolahan atau membangun unit pengolahan untuk dengan cakupan layanan kelurahan. Bentuk yang menjadi prioritas adalah komposting untuk sampah organik atau sampah basah seperti kulit buah dan sayur minimal satu unit untuk setiap kelurahan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2010), demikian juga untuk sampah anorganik adalah membangun unit bank sampah dengan cakupan layanan seluruh kelurahan. Kondisi yang sama juga berlaku untuk Kelurahan Babakan Ciamis dan Kelurahan Cihargeulis yang pengolahan sampahnya oleh Dinas Kebersihan Kota Bandung. Namun sama seperti Kelurahan Tamansari, di Kelurahan Babakan Ciamis juga terdapat sampah yang terpaksa dibuang ke Sungai Cikapundung atau dibakar. Sedangkan di Kelurahan Cihargeulis sampah yang tak terangkut oleh Dinas Kebersihan tercecer dan jika telah mengganggu dibakar. Pilihan pengolahan sama dengan Kelurahan Tamansari yaitu komposting untuk sampah organik dengan skala layanan kelurahan dan bank sampah untuk sampah anorganik dengan skala layanan kelurahan. Tabel 4.22 Jumlah Sampah yang Dihasilkan dan yang Tidak Terangkut per Hari Kelurahan Jumlah Sampah yang Jumlah Sampah yang Tidak Dihasilkan perhari Terangkut perhari Tamansari 17,31 m3/hari 6,7 m3/hari Babakan Ciamis 12,41 m3/hari 3,1 m3/hari Cihargeulis 31,12 m3/hari 0,32 m3/hari
57
4.
Rumah Bentuk rumah eksisting di Kelurahan Tamansari, Kelurahan Babakan Ciamis, dan Kelurahan Cihargeulis adalah rumah tidak bersusun atau dikenal juga dengan istilah landed house. Kondisi rumah di Kelurahan Tamansari adalah sebagian besar berhimpitan dan terletak pada wilayah yang tidak boleh dibangun yaitu di sempadan sungai. Demikian juga di Kelurahan Babakan Ciamis yaitu sebagian wilayahnya adalah sempadan Sungai Cikapundung yang tidak boleh dibangun. Adapun kondisi rumah di Kelurahan Cihargeulis juga berhimpitan namun masih terlihat sedikit lebih tertata. Sesuai dengan kajian maka bentuk rumah yang diusulkan untuk Kelurahan Tamansari adalah rumah susun, untuk Kelurahan Babakan Ciamis adalah rumah susun, dan untuk Kelurahan Cihargeulis adalah rumah tidak bersusun. Sedangkan luasan lahan yang dibutuhkan mengacu pada standar pelayanan minimal perumahan luas untuk satu individu yaitu sembilan meter persegi. Berdasarkan perhitungan jumlah penduduk dibagi dengan jumlah KK atau kepala keluarga maka diasumsikan rata-rata jumlah anggota keluarga per keuarga adalah empat orang sehingga ditentukan luas unit per satuan rumah susun adalah 36 m2. Tabel 4.23 Perhitungan Jumlah Rata-Rata Anggota Keluarga per KK Kelurahan Jumlah Jumlah Rata-Rata Perkiraan Penduduk KK Anggota Keluarga per KK Tamansari 24.897 6.598 3,8 Babakan Ciamis 8.471 2.625 3,2 Cihargeulis 10.549 3.677 2,9 Melalui perhitungan didapatkan bahwa luas lahan yang tersedia masih mencukupi untuk dibangun perumahan, dengan telah dipotong untuk lahan yang tidak boleh dibangun dan ruang terbuka hijau. Pendekatan pembangunan rumah susun di Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis mengacu pada standar yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum yaitu bangunan rumah susun lima lantai, dengan empat lantai untuk hunian dan lantai dasar untuk fasilitas penghuni, satu lantai untuk 25 KK dan setiap unit rumah susunnya memiliki luas standar 36 m2. Adapun bangunan rumah susun memiliki bentuk baku yang disebut dengan twin block atau disingkat dengan TB, dan kelengkapan standar dari bangunan rumah susun tersebut adalah lahan parkir dengan standard 12,5 m2 per kendaraan roda empat dan luas lingkungan bangunan gedung rumah susun maksimal adalah 30% dari luas bangunannya (SNI, 2004). Sedangkan untuk Kelurahan Cihargeulis bentuk rumah yang terpilih adalah rumah tidak bersusun, dan dengan luas lahan yang tersedia dan berdasarkan perhitungan ratarata jumlah anggota keluarga yang mendekat tiga sehingga luas minimal bangunan rumah adalah 27 m2, maka luas maksimal kavling untuk rumah adalah 120 m2. Khususnya untuk Kelurahan Cihargeulis, penentuan bentuk rumah atau bangunan tinggal tetap harus memperhatikan proyeksi pertumbuhan penduduk setidaknya untuk lima tahun ke depan. Saat ini dengan luas lahan untuk perumahan masih mencukupi untuk bentuk rumah tidak bersusun, namun dengan angka pertumbuhan penduduk sebesar 1,65% (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2010) maka diperkirakan untuk lima tahun ke depan jumlah penduduk Kelurahan
58
Cihargeulis akan menjadi 11.449 penduduk. Dengan pertambahan jumlah penduduk seperti itu maka harus diperhitungkan pembangunan rumah susun sebagai alternatif hunian yang memiliki keleluasaan luas lahan, serta memperhitungkan peningkatan aktivitas selain perumahan di kelurahan tersebut. Tabel 4.24 Perhitungan Kebutuhan Rumah Susun dan dan Luas Lahan Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis Kelurahan Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Luas Lahan KK Satuan Lantai Gedung Twin yang Rumah Block / Dibutuhkan Susun yang TB Dibutuhkan Tamansari 6.598 6.598 264 66 33 77.220 m2 Babakan 2.625 2.625 105 27 14 24.300 m2 Ciamis
59
Tabel 4.25 Perkiraan Jumlah Kebutuhan Infrastruktur dan Perumahan Prioritas Lokasi Studi
Tipologi
Kelurahan Tamansari
Kumuh Berat
Kelurahan Babakan Ciamis
Kumuh Sedang
Air Minum Perpipaan PDAM dengan mengatasi tingkat kebocoran yang mencapai 50% hingga minimal menjadi 32% / Instalasi pengolahan air dengan kapasitas 50 liter/detik
Perpipaan PDAM
Infrastruktur Air Limbah Pengolahan Skala Lingkungan untuk 6.598 KK adalah Pembangunan MCK Komunal untuk rumah yang tidak memiliki septic tank secara proporsional sesuai standard sebanyak 33 unit serta pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk air buangan hasil cuci, masak, dan dapur sebanyak 17 unit yang tersebar merata dan proporsional di setiap RW. Pengolahan Skala Lingkungan untuk 2.625 KK adalah Pembangunan MCK Komunal untuk rumah yang tidak memiliki septic tank sebanyak 14 unit secara merata dan proporsional di setiap RW dan pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal untuk air buangan hasil cuci, masak, dan dapur sebanyak 7 unit untuk seluruh kelurahan secara merata dan proprosional sesuai dengan kepadatan penduduk
Sampah Membangun fasilitas Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah untuk sampah anorganik di setiap unit RW yang dikelola secara mandiri oleh warga dengan target sampah terolah hingga 100% sebanyak 20 unit
Membangun fasilitas Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah untuk sampah anorganik di setiap unit RW yang dikelola secara mandiri oleh warga dengan target sampah terolah hingga 100% sebanyak 8 unit
Sarana Rumah Rumah Susun 5 Lantai untuk 6.598 KK sebanyak 33 Twin Block, luas lahan yang dibutuhkan 77.220 m2
Rumah Susun 5 Lantai untuk 2.625 KK sebanyak 14 Twin Block, luas lahan yang dibutuhkan 24.300 m2
60
Lokasi Studi Kelurahan Cihargeulis
Tipologi Kumuh Ringan
Air Minum Perpipaan PDAM dengan mengatasi tingkat kebocoran yang mencapai 50% menjadi 3%
Infrastruktur Air Limbah Pengolahan Skala Kota pada IPAL Bojongsoang dengan mengoptimalkan kapasitas pengolahan dari yang saat ini hanya 28% dari kapasitas optimalnya
Sampah Membangun unit pengolahan Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah untuk sampah anorganik di setiap RW yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat dan memiliki target pengolahan sampah hingga 100% sebanyak 11 unit
Sarana Rumah Rumah Tidak Bersusun, untuk 3.821 KK dengan luas yang seragam untuk rata-rata tiga anggota keluarga minimal 27 m2. Dengan melihat alokasi luas lahan perumahan yang tersedia adalah 53,66 Ha (setelah dipergunakan untuk memenuhi syarat RTH 10%) maka disarankan tipe rumah maksimal adalah tipe rumah menengah dengan luas 120 m2 sehingga luas lahan yang dibutuhkan adalah 45,86 Ha
61
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan standar pelayanan minimal 60 liter/orang/hari maka kuantitas air untuk Kelurahan Tamansari sebagai permukiman kumuh berat tertutupi melalui sumber PDAM dan air sumur gali dan pompa, untuk Kelurahan Babakan Ciamis sebagai permukiman kumuh sedang tertutupi oleh sumber PDAM, dan untuk Kelurahan Cihargeulis sebagai permukiman kumuh ringan tertutupi melalui sumber PDAM dan sumur gali dan pompa. Sedangkan untuk lahan secara kuantitas kebutuhan di ketiga kelurahan tersebut tertutupi dengan ketersediaan lahan untuk perumahan yang telah ada, dengan mengacu pada besaran standar kebutuhan ruang individu 9 m2/orang. Kemudian ditinjau dari kualitas air dengan mengacu pada standard baku mutu air maka untuk Kelurahan Tamansari, Kelurahan Babakan Ciamis, dan Kelurahan Cihargeulis untuk sumber air tanah belum memenuhi standard baku mutu. Kemudian untuk kualitas tanah ditinjau dari Indeks Kualitas Tanah yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik dengan mengacu pada jumlah rumah yang tidak memiliki saluran pengolahan limbah dan jumlah sampah yang tidak terangkut maka berdasarkan perhitungan Kelurahan Tamansari memiliki nilai terendah yaitu 18,5, Kelurahan Babakan Ciamis memiliki nilai 47,5, dan Kelurahan Cihargeulis memiliki nilai tertinggi yaitu 73,5. Kemudian sebagai bentuk rekayasa penyediaan dan menjaga kualitas air maka berdasarkan survei para pakar instruktur air minum yang terpilih untuk Kelurahan Tamansari adalah perpipaan dari PDAM dan instalasi penyediaan air setempat, sedangkan untuk Kelurahan Babakan Ciamis, dan Kelurahan Cihargeulis adalah perpipaan dari PDAM. Sedangkan untuk infrastruktur air limbah bentuk pengolahan yang terpilih di Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis adalah instalasi pengolahan air limbah skala lingkungan untuk air limbah domestik non-wc dan membangun MCK komunal untuk air limbah wc, dan untuk Kelurahan Cihargeulis adalah pengolahan skala kota oleh PDAM Tirta Wening di Bojong Soang dengan didukung oleh perpipaan yang memadai. Adapun infrastruktur persampahan yang terpilih oleh para pakar untuk seluruh kelurahan adalah kegiatan komposting skala kelurahan untuk sampah organik dan pembangunan bank sampah untuk sampah anorganik. Bentuk rumah sebagai tempat tinggal yang terpilih untuk Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis adalah rumah susun, sedangkan untuk Kelurahan Cihargeulis adalah rumah tidak bersusun. Saran Pemerintah harus lebih memperhatikan kondisi kualitas air tanah di permukiman kumuh karena masih dalam kondisi tercemar namun tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Dibutuhkan suatu langkah tegas namun melibatkan masyarakat dalam menjaga kualitas air tanah di permukiman kumuh. Pemerintah harus lebih meningkatkan kinerjanya dalam hal pembinaan dan pengawasan untuk penanganan sampah dan pengolahan air limbah buangan rumah tangga.
62
Hasil studi menunjukkan bahwa rumah susun merupakan pilihan utama sebagai tempat tinggal untuk di permukiman kumuh. Namun kondisi yang terjadi di lapangan adalah rumah susun belum menjadi pilihan utama sebagai tempat tinggal. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih harus lebih gencar lagi dalam mensosialisasikan keberadaan rumah susun sebagai tempat tinggal di permukiman kumuh untuk mengatasi semua permasalahan dan keterbatasan. Hasil studi di Kelurahn Cihargeulis menunjukkan bahwa rumah tidak bersusun atau landed house masih menjadi pilihan dalam penyediaan rumah. Namun perlu diantisipasi perkembangan penduduk ke depan sehingga opsi rumah susun harus mulai dipertimbangkan.
63
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Indeks Kualitas Tanah. http://sirusa.bps.go.id [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI Tata Cara Perencanaan Fasilitas Lingkungan Rumah Susun Sederhana [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air Chogull, CL. 1996. Ten Steps to Sustainable Infrastructure. Environmetal Impact Assesment Review. 26(2): 40-55 Chowdhury, F J, and Amin, ATMN. 2006. Environmental Assesment In Slum Improvement Programs: Some Evidence from Study On Infrastructure Projects In Two Dhaka Slums. Environmetal Impact Assesment Review. 26(2): 530-552 [Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum]. 2012. Materi Bidang Air Limbah [Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum]. 2008. Pedoman Sanitasi Berbasis Masyarakat [Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum]. 2010. Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan Kota Bandung [Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum]. 2013. Bantuan Teknis Pengelolaan Air Limbah Domestik DAS Cikapundung Hadi, S. 2012. Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan, Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor Joardar, SD. 1998. Carrying Capacities and Standards As Bases Towards Urban Infrastructure Planning In India: A Case of Urban Supply and Sanitation. Environmetal Impact Assesment Review. 34(2): 70-92 Martinez J, Mboup G, Sliuzas R, Stein A. 2007. Trends In Urban and Slum Indicators Across Developing World Cities, 1990-2003. Habitat International. 32(2): 86-108 Latifah, S. 2005. Prinsip-Prinsip Dasar Analytical Hierarchy Process. Universitas Sumatera Utara Mulyana, R. 2009. Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat.[Disertasi]. Institut Pertanian Bogor Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1/PRT/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Permadi, B. 1992. AHP. Jakarta. Universitas Indonesia [Pokja Sanitasi Kota Bandung]. 2010. Buku Putih Sanitasi Kota Bandung Profil dan Tipologi Kelurahan Tamansari, 2013 Profil dan Tipologi Kelurahan Babakan Ciamis, 2014 Profil dan Tipologi Kelurahan Cihargeulis, 2014
64
Roscoe, J.T. 1975. Fundamental Research Statistics for the Behavioural Sciences, 2nd edition. New York. Holt Rinehart & Winston Saaty, RW. 1987. The Analytic Hierarchy Process – What It Is and How It Is Used. Pergamon Journals Ltd Santoso, M. 2009. Disain Kebijakan Penataan Kawasan Permukiman Tepi Sungai Berkelanjutan (Studi Kasus Sungai Ciliwung Jakarta). [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor Soemarwoto O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta. Djambatan Soerianagara, I. 1977. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagian I. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Suhono, A. 2008. Model Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Terpadu dalam Pengembangan Wilayah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus Wilayah Kedungsepur Jawa Tengah). [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor Supono, S. 2009. Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Pantai Utara Secara Berkelanjutan. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
65
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Eksisting Kondisi Perumahan dan Infrastruktur Air Minum Sumber PDAM Kelurahan
Debit/Bulan
Sumber
Tamansari
66.128 m3
Babakan Ciamis
43.184 m3
Cihargeulis
26.402 m3
PDAM Dago Pakar PDAM Dago Pakar PDAM Dago Pakar
Sumber Sumur Gali/Pompa di Perumahan Kelurahan Jumlah Potensi Debit Tamansari 75 5 – 20 l/det Babakan Ciamis
67
5 – 20 l/det
Cihargeulis
122
5 – 20 l/det
Tingkat Kebocoran 50% 50% 50%
Total Potensi Debit Minimal 972.000 m3/bulan Minimal 868.320 m3/bulan Minimal 1.581.120 m3/bulan
Air Limbah Kelurahan Tamansari Babakan Ciamis Cihargeulis Persampahan Kelurahan Tamansari Babakan Ciamis Cihargeulis
Jumlah MCK Komunal 11 2 0
Persentase Rumah dengan Sistem Pengolahan Air Limbah 37% 35% 50,12%
Jumlah Sampah yang Dihasilkan perhari 17,31 m3/hari 12,41 m3/hari 31,12 m3/hari
Jumlah Sampah yang Tidak Terangkut perhari 6,7 m3/hari 3,1 m3/hari 0,32 m3/hari
Rumah Kelurahan Tamansari Babakan Ciamis Cihargeulis
Persentase Lahan Perumahan 66% 64% 60%
Persentase Luas RTH (Sempadan Sungai, Taman, Lapangan Olahraga) 29% 25% 8%
66
Lampiran 2 Kriteria mutu air berdasarkan kelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air
67
68
Lampiran 3 Data Kualitas Air Hasil Olahan PDAM
69
Lampiran 4 Data Kualitas Air Sumur
70
71
72
73
74
75
76
77
78
Lampiran 5 Data Narasumber 1.
2.
3.
4.
5.
Nama: Ir. Hadi Sucahyono, MSc. MPP, PhD. Jabatan: Direktur Pengembangan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Masa kerja di bidang infrastruktur permukiman: 27 tahun. Pendidikan: S1 – Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung S2 – Kebijakan Publik, Georgetown University USA. Nama: Ir. Edward Abdurrahman, MSc. Jabatan: Kasubdit Kebijakan dan Strategi, Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Masa kerja di bidang infrastruktur permukiman: 18 tahun. Pendidikan: S1 – Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung S2 – Housing and Urban Development Studies, Erasmus University Belanda. Nama: Ir. Atang. Jabatan: Kabid Strategi Perencanaan, Pusat Kajian Kebijakan Strategis, Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Masa kerja di bidang infrastruktur permukiman: 25 tahun. Pendidikan: S1 – Teknik Sipil UII Yogyakarta S2 – Administrasi Publik STIAMIK. Nama: Afriyani Amran, ST. Jabatan: Staf Satker Perencanaan dan Pengendalian Pengembangan Infrastruktur Permukiman, Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat Masa kerja di bidang infrastruktur permukiman: 5 tahun Pendidikan: S1 – Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung S2 – Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung Nama: Farida Hayati, ST Jabatan: Fasilitator PNPM Perkotaan Kota Bandung Tahun 2011 Masa kerja di bidang infrastruktur permukiman: 8 tahun Pendidikan: S1 – Teknik Arsitektur UII Yogyakarta S2- Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung
79
Lampiran 6 Matriks Pairwise Comparison untuk Seluruh Responden Kelurahan Tamansari Air Bersih Bentuk Infrastruktur Perpipaan dari PDAM Pengolahan Setempat dengan Sumber Air Permukaan Penampungan Air Hujan Persampahan Bentuk Infrastruktur
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala RT/RW Incinerator Skala Kawasan (Kelurahan) Diangkut ke TPA dengan Jalur Distribusi yang Memadai Rumah Bentuk Infrastruktur Rumah Tidak Bersusun Rumah Bersusun Relokasi Sepenuhnya
Perpipaan dari PDAM 1
Pengolahan Setempat dengan Sumber Air Permukaan 1
Penampungan Air Hujan 3
1
1
3,4
0,33
0,29
1
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala RT/RW 1
Incinerator Skala Kawasan (Kelurahan)
Diangkut ke TPA dengan Jalur Distribusi yang Memadai
4,76
4,76
0,21
1
0,5
0,21
2
1
Rumah Tidak Bersusun 1 8,45 1,1
Rumah Susun 0,12
Relokasi Sepenuhnya 0,9
1 0,13
7,94 1
80
Air Limbah Bentuk Infrastruktur
Pengolahan Air Limbah Skala Lingkungan: Untuk air limbah WC: MCK Komunal Untuk air limbah non-wc : IPAL Komunal Skala Lingkungan Pengolahan Air Limbah Skala Kawasan: Untuk air limbah WC: Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) dilengkapi dengan truk tinja Untuk air limbah non-wc: IPAL Komunal Skala Kawasan Pengolahan Air Limbah Skala Kota PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai
Pengolahan Air Pengolahan Air Limbah Skala Limbah Skala Lingkungan: Kawasan: Untuk air Untuk air limbah WC: limbah WC: MCK Komunal Instalasi Pengolahan Untuk air Lumpur Tinja limbah non-wc : (IPLT) IPAL Komunal dilengkapi Skala dengan truk Lingkungan tinja Untuk air limbah nonwc: IPAL Komunal Skala Kawasan 1 3,13
Pengolahan Air Limbah Skala Kota PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai
4,32
0,32
1
2,3
0,23
0,44
1
81
Kelurahan Babakan Ciamis Air Bersih Bentuk Infrastruktur
Perpipaan dari PDAM Pengolahan Setempat dengan Sumber Air Permukaan Penampungan Air Hujan Persampahan Bentuk Infrastruktur
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala RT/RW Incinerator Skala Kawasan (Kelurahan) Diangkut ke TPA dengan Jalur Distribusi yang Memadai Rumah Bentuk Infrastruktur Rumah Tidak Bersusun Rumah Bersusun Relokasi Sepenuhnya
Perpipaan dari PDAM
1
Pengolahan Setempat dengan Sumber Air Permukaan 1,25
Penampungan Air Hujan
3
0,8
1
2,77
0,33
0,36
1
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala RT/RW 1
Incinerator Skala Kawasan (Kelurahan)
Diangkut ke TPA dengan Jalur Distribusi yang Memadai
4,76
4,6
0,21
1
0,45
0,22
0,21
1
Rumah Tidak Bersusun 1 3,44 0,32
Rumah Susun 0,29
Relokasi Sepenuhnya 3,13
1 0,14
6,96 1
82
Air Limbah Bentuk Infrastruktur
Pengolahan Air Limbah Skala Lingkungan: Untuk air limbah WC: MCK Komunal Untuk air limbah non-wc : IPAL Komunal Skala Lingkungan Pengolahan Air Limbah Skala Kawasan: Untuk air limbah WC: Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) dilengkapi dengan truk tinja Untuk air limbah non-wc: IPAL Komunal Skala Kawasan Pengolahan Air Limbah Skala Kota PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai
Pengolahan Air Pengolahan Air Limbah Skala Limbah Skala Lingkungan: Kawasan: Untuk air Untuk air limbah WC: limbah WC: MCK Komunal Instalasi Pengolahan Untuk air Lumpur Tinja limbah non-wc : (IPLT) IPAL Komunal dilengkapi Skala dengan truk Lingkungan tinja Untuk air limbah nonwc: IPAL Komunal Skala Kawasan 1 1
Pengolahan Air Limbah Skala Kota PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai
1,19
1
1
0,84
0,84
1,19
1
83
Kelurahan Cihargeulis Air Bersih Bentuk Infrastruktur
Perpipaan dari PDAM Pengolahan Setempat dengan Sumber Air Permukaan Penampungan Air Hujan Persampahan Bentuk Infrastruktur
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala RT/RW Incinerator Skala Kawasan (Kelurahan) Diangkut ke TPA dengan Jalur Distribusi yang Memadai Rumah Bentuk Infrastruktur Rumah Tidak Bersusun Rumah Bersusun Relokasi Sepenuhnya
Perpipaan dari PDAM
1
Pengolahan Setempat dengan Sumber Air Permukaan 1
Penampungan Air Hujan
3,4
1
1
3,4
0,29
0,29
1
Komposting untuk Sampah Organik dan Bank Sampah untuk Sampah Anorganik Skala RT/RW 1
Incinerator Skala Kawasan (Kelurahan)
Diangkut ke TPA dengan Jalur Distribusi yang Memadai
5,83
5,03
0,17
1
0,45
0,2
2,21
1
Rumah Tidak Bersusun 1 0,96 0,33
Rumah Susun 1,05
Relokasi Sepenuhnya 3,03
1 0,33
3,03 1
84
Air Limbah Bentuk Infrastruktur
Pengolahan Air Limbah Skala Lingkungan: Untuk air limbah WC: MCK Komunal Untuk air limbah non-wc : IPAL Komunal Skala Lingkungan Pengolahan Air Limbah Skala Kawasan: Untuk air limbah WC: Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) dilengkapi dengan truk tinja Untuk air limbah non-wc: IPAL Komunal Skala Kawasan Pengolahan Air Limbah Skala Kota PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai
Pengolahan Air Pengolahan Air Limbah Skala Limbah Skala Lingkungan: Kawasan: Untuk air Untuk air limbah WC: limbah WC: MCK Komunal Instalasi Pengolahan Untuk air Lumpur Tinja limbah non-wc : (IPLT) IPAL Komunal dilengkapi Skala dengan truk Lingkungan tinja Untuk air limbah nonwc: IPAL Komunal Skala Kawasan 1 0,69
Pengolahan Air Limbah Skala Kota PDAM Tirta Wening dilengkapi dengan penyesuaian kapasitas dan jaringan perpipaan yang memadai
0,52
1,46
1
1,1
1,93
0,9
1
85
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bandung pada tanggal 23 Oktober 1977 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dengan ayah Alm. Harry Suroso dan ibu Maria Loretta Wangke. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Program Pascasarjana IPB. Penulis bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Cipta Karya sejak tahun 2003setelah sebelumnya sempat bekerja di perusahaan swasta. Untuk memperoleh gelar magister sains, penulis menyelesaikan tesis dengan judul “Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan, Studi Kasus Kota Bandung” di bawah bimbingan Prof Dr. Surjono H. Sutjahjo, MS dan Dr. Ir. Indarti Komala Dewi, MSi. Karya ilmiah berjudul “Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan, Studi Kasus Kota Bandung” telah diserahkan kepada Jurnal NALARS, yang diterbitkan oleh Jurusan Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.
86