KAJIAN PENGHITUNGAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DENGAN PENDEKATAN KONSUMSI MENGGUNAKAN TABEL INPUT-OUPUT KURUN WAKTU 2008 – 2012 David Mondru Sihotang, Tubagus Chairul Amachi Program Studi S1 Ekstensi Akuntansi, Universitas Indonesia
[email protected] Abstrak Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu pajak yang selalu mengalami peningkatan penerimaan dari tahun ke tahun. Namun kita belum mengetahui berapa besar potensi PPN sebenarnya yang dapat dikumpulkan setiap tahunnya. Beberapa penelitian sebelumnya menghitung potensi PPN ini dengan pendekatan yang berbeda-beda, penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan penghitungan dengan Tabel Input Ouput Updating Tahun 2008 yang dipublikasikan BPS, dan untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2012, penulis melakukan proyeksi terhadap Tabel Input-Output tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi PPN Indonesia masih sangat besar, PPN coverage ratio Indonesia dari tahun 20082012 menunjukkan hasil dibawah 50 persen setiap tahunnya, berarti masih banyak potensi yang masih belum digali. Jika ditinjau lebih detail lagi, maka dari 9 (sembilan) sektor lapangan usaha, 3 sektor lapangan usaha dengan potensi paling besar adalah sektor industri pengolahan, industri perdagangan dan konstruksi. Oleh karena itu, perlu upaya dan kerja keras Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk meningkatkan penerimaan pajak di sektor-sektor ekonomi mengingat potensi PPN di Indonesia masih sangat besar. Kata Kunci: perpajakan, pajak pertambahan nilai (ppn), potensi penerimaan ppn
Abstract Value Added Tax (VAT) revenue is one of the tax revenue that always increase year to year. But we do not know exactly how much VAT potency can be collected each year. Several previous studies quantify the VAT potency with different approaches, research in this study using the calculation approach with Input Output Table Updating published by Badan Pusat Statistik (BPS) in 2008, and for 2009 to 2012, the authors made projections on the Input-Output Table . The results indicate that the potential revenue of VAT in Indonesia is very large, VAT coverage ratio Indonesia from 2008-2012 shows result below 50 percent each year, it means there are still a lot of potency that is still untapped. If viewed in detail, from 9 (nine) business field sectors, 3 (three) business field sectors with the greatest potency are manufacturing, trade, and construction industries. Therefore, it needs effort and hard work from Directorate General of Taxation (DGT) to increase tax revenues in the those economic sectors given the fact that revenue potency of VAT in Indonesia is very large. Keywords: tax, value added tax, potency revenue value added tax
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
Penerimaan pajak masih tetap menjadi tulang punggung pendapatan negara di Indonesia untuk tahun 2013 dan mungkin untuk tahun-tahun ke depan. Total penerimaan perpajakan 2013 ditargetkan mencapai Rp1.073 triliun atau 78 persen dari pendapatan negara, naik 74,8 persen dari tahun 2012. Dengan total penerimaan pajak sebesar itu, rasio penerimaan perpajakan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio mengalami peningkatan dari 11,9 persen di tahun 2012 menjadi 12,9 persen di tahun 2013. Dilihat peningkatan target penerimaan pajak setiap tahunnya, memang menjadi beban berat bagi Direktorat jenderal Pajak untuk selalu meningkatkan penerimaan pajak hingga rata-rata 1024% per tahun. Bahkan jika dilihat selama 4 (empat) tahun terakhir, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai, kendati secara teoritis potensi penerimaan pajak masih sangat besar. Kontribusi Pajak Penghasilan (PPh) merupakan yang paling besar dalam APBN dari tahun ke tahun, diikuti dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea masuk. PPN berbeda dengan PPh yang secara mutlak dipengaruhi oleh subjektivitas dan penghasilan atau laba rugi Wajib Pajak. Besar kecilnya penerimaan PPN sangat bergantung pada besar kecilnya basis PPN yaitu transaksi ekonomi yang menjadi objek PPN dan pada akhirnya bergantung pada tingkat konsumsi dalam negeri dan perekonomian secara keseluruhan. Melihat bahwa pertumbuhan PPN di Indonesia setiap tahun meningkat, maka sebenarnya potensi PPN di Indonesia masih besar. Jika berkaca dari peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia setiap tahunnya, yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi dan pengeluaran nasional, maka seyogyanya penerimaan PPN juga mengikuti pertumbuhan tersebut. Namun kita juga belum tahu sebenarnya berapa besar potensi penerimaan PPN dari transaksi ekonomi tersebut. 1.2. Permasalahan Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pendekatan apa yang dapat digunakan untuk menghitung potensi penerimaan PPN di Indonesia, berapa besar potensi PPN yang masih dapat digali untuk mengoptimalkan penerimaan PPN dan berapa besar PPN Coverage Ratio di Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini antara lain melihat pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung potensi penerimaan PPN di Indonesia, menghitung besar potensi yang masih dapat digali untuk mengoptimalkan penerimaan PPN, menghitung besar PPN Coverage Ratio di Indonesia setiap sektor yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan penerimaan PPN. 2. TINJAUAN TEORITIS
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
2.1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985 menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah berlaku di Indonesia sejak tahun 1951. Proses penggantian ini merupakan salah satu rangkaian perombakan sistem perpajakan nasional yang dikenal sebagai Tax Reform 1983. PPN menggantikan peranan PPn di Indonesia, karena PPN memiliki beberapa karakter yang tidak dimiliki oleh PPn. Sukardji (2013) dalam bukunya Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menguraikan karakteristik PPN sebagai berikut: 1. PPN adalah Pajak Tidak Langsung Skema ini menggambarkan pengertian PPN ditinjau dari sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul beban pajak dengan kedudukan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara pada pihak-pihak yang berbeda. 2.
PPN adalah Pajak Objektif Sebagai pajak objektif PPN mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak relevan. PPN tidak mempertimbangkan kondisi subjektif subjek Pajak.
3.
PPN Bersifat Multi Stage Levy Non Kumulatif Multi Stage Levy mengandung pengertian bahwa PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Hal ini berarti PPN dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Meskipun demikian, ternyata PPN tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (non kumulasi).
4. Perhitungan PPN Terutang Menggunakan Indirect Substraction Method Indirect Substraction Method adalah metode perhitungan PPN yang akan disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa. UU PPN Indonesia menganut Indirect Substraction Method. Untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang atas penyerahan tersebut diperlukan suatu dokumen pendukung, yang disebut dengan Faktur Pajak. Oleh karena itu, faktur pajak merupakan syarat mutlak dalam indirect substraction method. Dalam hukum pajak, kegiatan mengurangkan pajak dengan pajak dinamakan tax credit yaitu mengkreditkan pajak yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa yang
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
dinamakan Pajak Masukan dengan pajak yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran. 5. PPN Menganut Destination Principle (Prinsip Tujuan) Prinsip ini menganut prinsip bahwa PPN dipungut di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi, dalam hal ini tidak memandang asal barang atau jasa tersebut. 6. PPN adalah Pajak Atas Konsumsi Dalam Negeri Sasaran pengenaan PPN sebenarnya adalah konsumen akhir atas konsumsi yang dilakukan, selama barang/jasa masih dalam proses produksi dan distribusi, maka beban PPN masih dapat dialihkan kepada pihak pemikul beban pajak selanjutnya. 7. PPN menganut konsep Accrual Basis Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip pengakuan terutang akrual basis arrtinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima. 2.2. Penelitian Terdahulu Sampai saat ini ada beberapa pendekatan yang dilakukan untuk mencoba menghitung potensi Pajak Pertambahan Nilai. Penulis mengambil referensi dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Liberty, 2000 yang menghitung potensi PPN dengan melakukan pendekatan metode addition method dan penelitian yang pernah dilakukan oleh Fifi Firyanti, 2006 yang menghitung potensi PPN dengan menggunakan tabel Input Output yang juga digunakan oleh Mckenzie (1991) dan Stephen V. Marks (2003). Penghitungan Potensi PPN dengan menggunakan Tabel Input-Output Penggunaan tabel I-O pernah dilakukan oleh McKenzie (1991) untuk mengestimasi adanya masalah pengecualian dalam dasar pengenaan PPN di negara-negara berkembang. Metode yang sama dikembangkan oleh Pelechio dan Hill (1996) dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan konsumsi dan pendekatan produksi untuk menghitung dasar pengenaan PPN di Zambia. Penelitian penghitungan Potensi PPN menggunakan tabel I-O ini pernah dilakukan oleh Fifi Firyanti tahun 2006 dalam thesis berjudul “Analisa kinerja penerimaan PPN dengan tabel I-O”. Penghitungan potensi PPN menggunakan tabel I-O timbul dari pemikiran bahwa Dasar Pengenaan PPN (DPP) tanpa adanya pengecualian atas Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN, tarif nol persen terbatas hanya untuk ekspor, dan PPN atas pembelian barang modal dapat dikreditkan adalah sama dengan pajak atas konsumsi. Namun di banyak negara berkembang khususnya Indonesia terdapat beberapa pengecualian atas barang dan
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
jasa yang dikenakan PPN. Hal ini membutuhkan penyesuaian lebih lanjut untuk menghitung DPP sebenarnya dengan memasukkan dampak adanya pengecualian tersebut. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia adalah pajak yang berbasis atas konsumsi di dalam negeri, dan dihitung dengan menggunakan indirect substractive method dimana pajak dihitung dengan mengurangkan pajak yang dipungut pada saat penjualan (pajak keluaran) dengan jumlah pajak yang dipungut pada saat pembelian (pajak masukan). Untuk menghitung potensi penerimaan PPN tersebut diperlukan data mengenai output yang dikeluarkan oleh suatu sektor dan susunan input yang digunakannya. Hal ini dapat diperoleh dari Tabel Input Output yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar unsur kegiatan ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan dalam bentuk tabel. Kelemahan dari tabel I-O untuk menyusun potensi penerimaan PPN adalah bahwa tabel I-O tidak tersedia setiap tahun sehingga datanya tidak update. Tabel I-O Indonesia Updating disusun setiap dua atau tiga tahun di antara tahun berakhiran 5 dan 0 seperti Tabel IO Updating 2008 yang digunakan oleh penulis dalam pengolahan data. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa level dan nominal (current price) sektor-sektor ekonomi untuk proses produksi barang dan jasa mengalami perubahan cukup berarti, meskipun secara struktur ekonomi tidak berubah secara nyata. Hal ini berbeda dengan data PDB maupun data pengeluaran pemerintah yang datanya selalu tersedia setiap tahun. Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan updating tabel I-O untuk tahun dilakukannya penghitungan potensi PPN. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penghitungan Potensi PPN dalam Penelitian Setiap pendekatan untuk menghitung potensi PPN yang diuraikan
sebelumnya
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Dalam penelitian ini, penulis melakukan pendekatan penghitungan dengan menggunakan Tabel Input Output yang dimodifikasi dengan Tabel Produk Domestik Bruto Menurut Penggunaan dan Menurut Lapangan Usaha yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Dari karakteristik PPN yaitu pajak atas konsumsi (consumption tax) dan prinsip destination principle, maka penelitian ini menitikberatkan pada permintaan akhir dari konsumen.
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
3.2. Kerangka dan Desain Penelitian Potensi penerimaan PPN yang dihitung dalam skripsi ini adalah potensi penerimaan PPN untuk tahun 2008 sampai dengan 2012. Untuk menghitung potensi penerimaan PPN di tahun-tahun dimana tidak tersedia tabel I-O yaitu tahun 2009 sampai dengan 20012, penulis melakukan updating tabel I-O dengan menggunakan data PDB sektoral dan PDB penggunaan tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012. Dalam melakukan updating tabel I-O perlu diperhatikan bahwa pada suatu model input-output yang bersifat terbuka, transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan tabel I-O harus memenuhi tiga asumsi dasar yaitu: a.
Keseragaman (homogeneity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output (barang dan jasa) dengan struktur input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi otomatis antar output dari sektor yang berbeda;
b.
Kesebandingan (proportionality), yaitu asumsi bahwa kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan;
c.
Penjumlahan (addivity), yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Tabel yang digunakan dalam penggunaan Tabel Input Output dalam penelitian ini
antara lain: a. Tabel Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Semua nilai transaksi pada tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen hanya mencakup barang dan jasa produk dalam negeri dan dinilai atas dasar harga produsen. b. Tabel Koefisien Teknik Koefisien ini diturunkan dari tabel transaksi dengan cara membagi setiap isian sel pada kuadran I dengan total output pada kolom masing-masing. Angka ini diasumsikan tidak berubah sehingga dikatakan sebagai ukuran tetap dari hubungan antara output dengan inputnya atau dengan kata lain satu sektor menggunakan input dalam proporsi tetap. Dengan menggunakantabel koefisien teknik, maka suatu sektor dapat memperkirakan besarnya input yang harus dipakai dari sektor lainnya jika hendak menambah produksinya. Alur penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai dasar penghitungan potensi PPN yang dilakukan oleh penulis ditunjukkan alur di bawah.
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
Alur Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tabel I-O
Melihat Tabel Kuadran II (Permintaan Akhir)
Menghitung Konsumsi Rumah Tangga (301)
Menghitung Alokasi Konsumsi Pemerintah (302)
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Menghitung Alokasi Pembentukan Modal Tetap (303)
Alokasi Pembentukan Modal Tetap
Menghitung Alokasi Ekspor Barang/Jasa (305 & 306)
Alokasi Ekspor Barang & Jasa
Menghitung Potensi PPN dari sektor yang tidak dikenakan atau diibebaskan PPN
Alokasi Input Antara
Dasar Pengenaan PPN = Alokasi Input Antara + Kons. Rumah Tangga + Kons. Pemerintah + Alokasi Pembentukan Modal Tetap – Alokasi Barang & Jasa
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Penghitungan Potensi Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2008-2012 Seperti yang telah diuraikan dalam bab III tentang kerangka penelitian, sebelum melakukan penghitungan potensi, maka langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1. Penelitian ini menggunakan Tabel I-O Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen tahun 2008 atas 66 sektor perekonomian. Untuk memudahkan updating tahun-tahun selanjutnya, maka Tabel I-O ini disederhanakan menjadi 34 sektor sesuai dengan sektor yang tertera pada data PDB Menurut Lapangan Usaha yang dipublikasikan BPS. 2. Sesuai dengan karakteristik PPN yaitu pajak atas konsumsi, maka kita bisa melihat permintaan akhir dari Tabel Input Output yang digambarkan dengan konsumsi rumah tangga dan data konsumsi pemerintah. 3. Kemudian untuk data investasi (pembentukan modal tetap) per sektor. Ketentuan PPN mengatur terkait penyerahan barang strategis dibebaskan dari pengenaan PPN seperti pembelian barang modal baik impor berupa mesin dan peralatan pabrik, tidak termasuk suku cadang. Oleh karena itu, untuk menghitung biaya pembentukan modal tetap selain yang dibebaskan tersebut yang menjadi potensi PPN penulis mengestimasi berdasarkan
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
pengalokasian dengan asumsi bahwa pengeluaran investasi untuk setiap barang modal sama dengan bagian input antara pada sektor tersebut. Ditunjukkan dengan formula:
I! =
!! ∑!
I
.................................................... (1)
dimana: In = besarnya alokasi pengeluaran investasi di sektor n an = jumlah input antara (190) di sektor n ∑a = total input (210) I = pengeluaran investasi (305 dan 306) di sektor n 4. Untuk ekspor, sesuai dengan karakteristik PPN bahwa PPN dikenakan atas konsumsi di dalam negeri, maka seyogyanya ekspor PPN tidak dikenakan PPN. Namun untuk menjaga daya saing produk ekspor di dunia internasional, ketentuan PPN mengatur bahwa atas ekspor BKP dan JKP dikenakan tarif nol persen. Konsekuensi dari ketentuan tersebut mengakibatkan bahwa atas pembelian dan biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan produksi BKP dan JKP untuk diekspor dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak. Oleh sebab itu, dalam mekanisme PPN, biaya tersebut mengurangi potensi PPN yang dapat dipungut. Karena tidak terdapat data berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh Pengusaha Kena Pajak memproduksi barang untuk tujuan ekspor, maka penulis mengalokasikan pengeluaran biaya produksi untuk tujuan ekspor dengan asumsi bahwa pengeluaran biaya untuk setiap barang/jasa ekspor sama dengan bagian input antara pada sektor tersebut. Ditunjukkan dengan formula:
E! =
!! ∑!
! ............................................ (2)
dimana: En = besarnya alokasi pengeluaran biaya untuk ekspor di sektor n an = jumlah input (190) antara di sektor n pada lampiran 1 ∑a = total input (210) pada lampiran 1 E = jumlah eskpor (305 dan 306) di sektor n pada lampiran 1 5. Untuk impor, sesuai dengan karakteristik PPN bahwa PPN dikenakan atas konsumsi barang di dalam negeri, maka atas impor dikenakan PPN. Namun penghitungan potensi PPN dalam skirpsi ini, angka impor tidak dimasukkan dalam penghitungan potensi PPN karena mengacu pada pasal 4 ayat 1 huruf b UU 42 Tahun 2009 yang mengatur bahwa Pemungutan PPN atas impor dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
sehingga kepastian atas pemungutan PPN impor ini menjadikan dasar bagi penulis untuk mengecualikan penghitungan PPN dari impor Barang Kena Pajak. 6. Untuk menghitung dasar penghitungan potensi PPN dari data di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: a. Tidak semua objek PPN dikenakan PPN. Untuk sektor yang bukan merupakan objek PPN dan sektor yang merupakan objek PPN tetapi penyerahannya dilakukan oleh non PKP, maka tidak ada potensi PPN yang dibayarkan. Penulis mengestimasi sektorsektor yang bukan merupakan objek PPN dan atau penyerahannya dilakukan oleh non PKP menurut ketentuan PPN. b. Konsumsi akhir dari sektor pada poin a yang tidak termasuk potensi PPN. Potensi PPN dari sektor tersebut berasal dari input antara dan pembentukan modal tetap. Proses penghitungannya dapat diuraikan sebagai berikut: Xij adalah input antara yang dikeluarkan sektor i dari sektor j. Input antara tersebut adalah potensi PPN yang dibayarkan oleh sektor i saat membeli barang/jasa dari sektor j untuk memproduksi barang, jika sektor j adalah sektor yang tidak disebutkan dalam poin a, maka potensi PPN dapat dihitung dari input antara tersebut. c. Untuk konsumsi pemerintah, tidak semua pengeluaran konsumsi pemerintah adalah potensi PPN. Bagian konsumsi pemerintah paling besar adalah belanja pegawai dan hal tersebut bukan objek PPN. Jika dilihat dari data PDB menurut Penggunaan, konsumsi pemerintah dibagi atas belanja barang, belanja pegawai, serta penerimaan barang dan jasa. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa besar belanja pegawai dari total konsumsi pemerintah rata-rata mencapai 50 persen setiap tahun. Sehingga untuk konsumsi pemerintah, data yang dapat dihitung sebagai potensi PPN diestimasikan sebesar 50 persen dari konsumsi pemerintah di tiap sektor. Setelah data selesai dikelompokkan, maka dapat dilakukan penghitungan potensi PPN dari poin-poin yang telah diuraikan di atas. Penghitungan yang dilakukan adalah dengan formula: Dasar Pengenaan PPN = Alokasi input antara + Konsumsi Rumah Tangga + Konsumsi pemerintah + Alokasi Pembentukan Modal Tetap (PMT) – Alokasi Ekspor Barang/Jasa Setelah tahap penghitungan potensi penerimaan PPN tahun 2008 selesai, tahap selanjutnya adalah menghitung potensi PPN tahun 2009 sampai dengan 2012. Tahap yang dilakukan sama dengan penghitungan potensi PPN tahun 2008, tetapi karena tidak tersedianya
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
Tabel I-O tahun 2009 hingga 2012, penulis melakukan proyeksi atau updating Tabel I-O tahun 2008. 4.2. Penghitungan PPN Coverage Ratio Untuk melakukan analisis potensi dengan realisasi PPN, penulis menyandingkan data potensi PPN dengan realisasi PPN dari tahun 2008-2012. Karena penghitungan potensi PPN sebelumnya tidak memperhitungkan PPN yang timbul dari kegiatan impor, maka rincian realisasi PPN mengecualikan PPN dan PPnBM Impor untuk disandingkan dengan potensi PPN. Dari realisasi penerimaan PPN tersebut, penulis menyandingkan dengan data potensi PPN yang diperoleh dari DPP Potensi PPN dikalikan dengan tarif umum PPN sebesar 10 (sepuluh) persen, untuk melihat PPN Coverage Ratio yaitu perbandingan antara jumlah pajak yang berhasil dihimpun dengan potensi yang seyogyanya dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Untuk melakukan analisis lebih
lanjut, perlu dilihat sektor-sektor mana yang memberikan potensi besar dan penerimaan yang cukup besar bagi PPN. Karena data realisasi penerimaan PPN yang diperoleh hanya dibagi dalam 9 (sembilan) sektor menurut Lapangan Usaha, maka data potensi PPN 34 sektor harus disederhanakan menjadi 9 (sembilan) sektor besar untuk melihat perbandingan potensi tiap sektor. Data penghitungan PPN Coverage Ratio PPN tahun 2008 sampai tahun 2012 ditunjukkan pada tabel 4.1 sampai dengan 4.5. Tabel 4.1 Tabel PPN Coverage Ratio Tahun 2008 (dalam Milyar Rupiah) NO
LAPANGAN USAHA
Potensi PPN Berdasarkan Tabel I/O 2008
Realisasi PPN Tahun 2008 (exclude impor)
PPN Coverage Ratio
17.099,20
3.089,12
18,07%
4.723,69
4.650,06
98,44%
74.483,86
53.665,29
72,05%
3.904,99
633,51
16,22%
60.327,11
11.399,76
18,90%
5
PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN JASA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH KONSTRUKSI
6
PERDAGANGAN
43.005,34
20.424,60
47,49%
7
PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
28.782,49
8.806,69
30,60%
1 2 3 4
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
KEUANGAN, 24.538,74 9.584,97 PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN JASA - JASA DAN 9 37.444,48 8.598,06 SEKTOR LAINNYA JUMLAH 294.309,90 120.852,06 Sumber: Hasil Pengolahan Data BPS dan Data Penerimaan Pajak 8
39,06% 22,96%
Penghitungan PPN Coverage Ratio untuk tahun 2009 ditunjukkan pada tabel 4.2 Tabel 4.2 Tabel PPN Coverage Ratio Tahun 2009 (dalam Milyar Rupiah) NO LAPANGAN USAHA 1
2 3 4 5 6 7 8 9
PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN JASA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH KONSTRUKSI PERDAGANGAN PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN JASA - JASA DAN SEKTOR LAINNYA JUMLAH
Potensi PPN Berdasarkan Tabel I/O 2009
Realisasi PPN Tahun 2009 (exclude impor)
PPN Coverage Ratio
16.062,24
3.545,47
22,07%
5.962,42
5.868,64
98,43%
89.415,64
56.338,69
63,01%
4.264,14
730,29
17,13%
78.948,65
12.465,87
15,79%
47.981,93
23.669,75
49,33%
29.181,68
9.704,22
33,25%
29.276,94
10.510,90
35,90%
44.335,92
9.611,63
21,68%
345.429,57
132.445,45
Penghitungan PPN Coverage Ratio untuk tahun 2010 ditunjukkan pada tabel 4.3 Tabel 4.3 Tabel PPN Coverage Ratio Tahun 2010 (dalam milyar rupiah) NO LAPANGAN USAHA 1
2 3 4
PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN LISTRIK, GAS, DAN AIR
Potensi PPN Berdasarkan Tabel I/O 2010
Realisasi PPN Tahun 2010 (exclude impor)
PPN Coverage Ratio
18.527,12
3.962,40
21,39%
7.485,13
4.993,35
66,71%
93.465,51
62.861,26
67,26%
4.611,03
1.025,21
22,23%
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
BERSIH KONSTRUKSI 92.242,75 12.807,92 PERDAGANGAN, 51.981,17 27.204,55 HOTEL DAN RESTORAN 7 PENGANGKUTAN DAN 32.764,64 12.341,75 KOMUNIKASI 8 KEUANGAN, 31.959,13 12.880,31 PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN 9 JASA - JASA DAN 49.290,72 10.581,93 SEKTOR LAINNYA JUMLAH 382.327,21 148.658,67 Sumber: Hasil Pengolahan Data BPS dan Data Penerimaan Pajak 5 6
13,89% 52,34% 37,67% 40,30% 21,47%
Penghitungan PPN Coverage Ratio untuk tahun 2011 ditunjukkan pada tabel 4.4 Tabel 4.4 Tabel PPN Coverage Ratio Tahun 2011 (dalam milyar rupiah) NO.
LAPANGAN USAHA
5
PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN JASA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH KONSTRUKSI
6
PERDAGANGAN
1 2 3 4
Potensi PPN Berdasarkan Tabel I/O 2011
Realisasi PPN Tahun 2011 (exclude impor)
PPN Coverage Ratio
20.485,63
5.167,73
25,23%
8.829,75
6.432,98
72,86%
93.901,52
65.847,02
70,12%
4.972,60
1.000,47
20,12%
104.156,00
15.099,70
14,50%
55.250,37
32.888,92
59,53%
PENGANGKUTAN DAN 36.384,25 14.161,60 KOMUNIKASI KEUANGAN, 8 35.668,86 15.267,02 PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN JASA - JASA DAN 9 56.563,00 13.177,40 SEKTOR LAINNYA JUMLAH 416.211,99 169.042,85 Sumber: Hasil Pengolahan Data BPS dan Data Penerimaan Pajak 7
38,92% 42,80% 23,30%
Penghitungan PPN Coverage Ratio untuk tahun 2012 ditunjukkan pada tabel 4.5 Tabel 4.5 Tabel PPN Coverage Ratio Tahun 2012
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
(dalam milyar rupiah) NO.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
LAPANGAN USAHA PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH KONSTRUKSI PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN JASA - JASA DAN SEKTOR LAINNYA JUMLAH
Potensi PPN Berdasarkan Tabel I/O 2012
Realisasi PPN Tahun 2012 (exclude impor)
PPN Coverage Ratio
22.469,56
4.506,82
20,06%
10.292,58
5.960,99
57,92%
107.905,35
74.697,55
69,23%
5.453,02
1.407,31
25,81%
119.442,90
19.681,01
16,48%
61.682,74
42.218,23
68,44%
39.650,09
16.178,07
40,80%
39.215,78
19.753,44
50,37%
63.131,79
15.226,87
24,12%
469.243,79
169.042,85
Sumber: Hasil Pengolahan Data BPS dan Data Penerimaan Pajak
Dari penghitungan potensi PPN, maka tiga sektor dengan potensi terbesar dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 adalah sektor industri pengolahan, konstruksi dan perdagangan, hotel dan restoran. Namun jika dilihat dari VAT coverage ratio, tiga sektor dengan coverage ratio di atas 50 persen setiap tahun adalah sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan sektor perdagangan. Untuk sektor konstruksi, VAT coverage ratio masih sangat rendah dengan rata-rata setiap tahunnya di bawah 20 persen. Dengan demikian perlu upaya yang lebih untuk menggali penerimaan PPN pada sektor konstruksi Dari PPN Coverage Ratio yang telah dihitung, jika disandingkan dengan data potensi dan realisasi total setiap tahun, maka PPN Coverage Ratio PPN Indonesia masih rendah, dengan rata-rata di bawah 50 persen. Berarti masih diperlukan upaya pemerintah yang lebih keras untuk meningkatkan penerimaan dari sektor-sektor dengan potensi yang besar. DJP perlu melakukan upaya peningkatan kepatuhan Wajib Pajak khususnya Pengusaha Kena Pajak dengan melakukan pengawasan yang lebih efektif terkait dengan pemungutan PPN dan mekanisme pengkreditan pajak masukan melalui faktur pajak.
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
5. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian, kesimpulan yang dapat ditarik yaitu: 1. Pendekatan penghitungan yang dapat digunakan untuk menghitung potensi PPN adalah dengan menggunakan Tabel I-O ditambah dengan data PDB menurut penggunaan dan lapangan usaha karena tabel I-O ini menyediakan data permintaan akhir tiap sektor dan keterkaitan sektor-sektor ekonomi yang dapat dihitung dan dianalisis sesuai dengan prinsip-prinsip PPN yang berlaku. Untuk tabel I-O yang tidak tersedia yakni dari tahun 2009-2012, proyeksi dapat digunakan dengan meng-update tabel I-O agar kebutuhan analisis data tersedia dengan menambahkan data yang ada pada PDB menurut penggunaan dan lapangan usaha. 2. Tiga sektor utama dengan potensi terbesar di tahun 2008 sampai dengan 2012 adalah sektor industri pengolahan, konstruksi dan perdagangan. Namun untuk realisasi penerimaan PPN, tiga sektor utama dengan tax Coverage Ratio paling besar adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Direktorat Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan langkah yang tepat untuk menggali dan meningkatkan PPN di tiga potensi sektor terbesar tersebut. 3. Dilihat dari PPN Coverage Ratio secara keseluruhan dari tahun 2008-2012 dengan menyandingkan data realisasi PPN (tanpa impor) dan potensi PPN, maka rasio pemungutan PPN Indonesia masih rendah. Rasio tersebut masih rata-rata sebesar 40 persen setiap tahun. 5.2. Keterbatasan Penelitian Sebagai suatu metode penghitungan yang digunkan oleh penulis untuk menghitung potensi, terdapat beberapa keterbatasan antara lain: 1. Tidak tersedianya tabel I-O untuk tahun 2009 sampai dengan 2012, sehingga penulis melakukan updating dengan menggunakan data PDB sektoral dan PDB penggunaan serta angka koefisien teknik. Angka ini diasumsikan tidak berubah sehingga dikatakan sebagai ukuran tetap dari hubungan antara output dengan inputnya atau dengan kata lain satu sektor menggunakan input dalam proporsi tetap. 2. Untuk penghitungan potensi PPN dari konsumsi pemerintah, penulis melakukan estimasi sebesar 50 persen dari pengeluaran pemerintah yang dapat diterima sebagai potensi PPN dengan melihat rata-rata persentase pengeluaran pemerintah selain belanja pegawai. 3. Untuk penghitungan alokasi pembentukan modal tetap, penulis melakukan estimasi terhadap biaya yang dapat diterima sebagai potensi PPN karena dalam data pembentukan modal tetap tidak tergambar jelas barang yang mendapat fasilitas dibebaskan PPN seperti
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
mesin dan peralatan pabrik, namun di dalam data pembentukan modal tetap juga terdapat suku cadang dan peralatan yang dan biaya lain yang merupakan potensi PPN. 4. Untuk kegiatan ekspor yang dikenakan tarif nol persen, maka terdapat mekanisme pengkreditan pajak masukan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atas pajak masukan yang telah dibayar dalam proses produksi. Pengkreditan pajak masukan akan mengurangi potensi PPN. Untuk menghitung hal tersebut, karena data restitusi per sektor tidak tersedia, maka penulis mengestimasi biaya yang mungkin dikeluarkan saat proses produksi sebagai pengurang potensi PPN. 5. Mekanisme Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non PKP tentu akan berpengaruh dalam pemungutan PPN. Data tersebut tidak tersedia dalam penelitian ini, sehingga analisis angka dalam skripsi ini mengasumsikan bahwa semua konsumsi akhir yang dilakukan adalah potensi PPN selain untuk sektor-sektor yang penyerahan BKP/JKP tidak dikenakan PPN. 5.3. Saran Saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah: 1. Jika dimungkinkan, maka pada penelitian selanjutnya juga dimasukkan persentase rata-rata biaya yang dikeluarkan setiap sektor dalam memproduksi barang untuk tujuan ekspor dan pembentukan barang modal. Persentase tersebut dapat diperoleh dari benchmarking atau standar rata-rata biaya yang digunakan dalam sektor tersebut agar diperoleh data yang lebih akurat. 2. Untuk menghitung potensi PPN pada penelitian selanjutnya agar lebih akurat, maka disarankan untuk mempertimbangkan persentase jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non PKP di setiap sektor untuk memperhitungkan mekanisme besar pajak yang dapat dikreditkan. 3. Dari hasil peneltian, bahwa gap potensi dan penerimaan PPN masih terlalu besar. Oleh karena itu, diharapkan kepada Direktorat Jenderal Pajak agar melakukan upaya-upaya yang lebih efektif dan maksimal untuk mengamankan penerimaan negara khususnya PPN. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi penelitian selanjutnya terhadap penggalian potensi PPN.
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA _______, A Handbook for Tax Simplification. The World Bank Group, USA. November 2009. ______. Ikhtisar Survei OECD Perekonomian Indonesia. OECD. September 2012 ______, Consumption Tax Trend 2012s, VAT/GST and Excise Rates, Trends and Administration Issues, OECD, 2012 A.Tait, Alan. Value Added Tax International Practice and Problems. International Monetary Fund (IMF), Washington D.C, USA. November 2001 Alink, Matthijs and Kommer, Victor Van. Handbook on Tax Administration. IBFD. 2011 Aizenman, Joshua and Jinjarak, Yothin. (2005). The Collection Efficiency of The Value Added Tax: Theory and International Evidence.Journal of Economics. 2005 Ambarita, Erik Manson. (2009). “Analisis Dampak Reformasi Perpajakan Terhadap Efisiensi Pemungutan Pajak Indonesia”. Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia. Jakarta. Bikas, Egidijus and Saikivicius, Darius. (2010). The Reform of Value Added Tax in Lithuania: Productivity and Collection Efficiency. 6th International Scientific Conference. Journal. Blanchard, Olivier. Macroeconomics 5th Edition. Prentice Hall. Pearson Education. 2009 Fahlevi, Muhamad Riza. (2009) “Penerapan Asas Efisiensi dalam Pengaturan dan Pemungutan Pajak di Indonesia (Studi atas Pengaturan Pemungutan Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan di Bawah Undang-Undang Tahun 1984-2006)”. Disertasi Doktoral Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Jakarta. Firyanti, Fifi. (2006). “Analisa Kinerja Penerimaan Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia Tahun 2003-2006 dengan Menggunakan Tabel Input Output”. Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Hybka. Malgorzata Magdalena. (2009). VAT Collection Efficiency in Poland Before and After Accession to The European Union – A Comparative Analysis. Journal of Economics. Ekonomika 2009. Jenkins, Glen P, Chun-Yan Kuo, Gangadhar P.Shukla. Tax Analysis and revenue Forecasting –Issues and Techniques-. Harvard Institue for International Development. Harvard University. 2000 Mankiw, N. Gregory. Principle of Economics – Pengantar Ekonomi Makro. Salemba Empat, Jakarta. 2006 Mankiw, N. Gregory. Principle of Economics Sixth Edition. Harvard University, USA. 2008 McGee, Robert W. Taxation and Public Finance in Transition and Developing Economies. Springer, USA. 2008 Pandiangan, Liberti. (2000). “Penghitungan Potensi Pajak Pertambahan Nilai dengan Addition Method di Indonesia, Suatu Analisis Berdasarkan Pendekatan Produk Domestik Bruto”. Tesis Magister Program Studi Ilmu Administrasi Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Universitas Indonesia, Jakarta.
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013
Prabowo, Lambang. (2005). “Pengaruh Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Kondisi Makroekonomi Indonesia (Analisa Persamaan Simultan)”. Tesis Magister Akuntansi, Universitas Indonesia, Jakarta. Produk Domestik Bruto Kota Semarang 2011. Bappeda Kota Semarang dan Badan Pusat Statistik Semarang. Semarang 2012 Rohnal Sinaga, Andar. (2010). “Pengaruh Variabel-Variabel Makro Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak Indonesia”. Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia, Jakarta. Silaban, Reinhard. (2010). “Pengaruh Reformasi Perpajakan Tahun 1983,1984 dan 2000 Terhadap Penerimaan Pajak”. Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia, Jakarta. Sukardji, Untung. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia (Edisi Revisi 2012). Cetakan kedelapan, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Oktober 2012 Tabel Input Ouput Indonesia Updating 2008. Badan Pusat Statistik. Oktober 2009 Tabel Input-Output Pariwisata Provinsi Banten Tahun 2009. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Agustus 2010. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Laman situs Direktorat Jenderal Pajak: www.pajak.go.id Laman situs Badan Pusat Statistik: www.bps.go.id
Kajian penghitungan…, David Mondru Sihotang, FE UI, 2013