Kajian Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik Sebagai Bahan Baku Industri (Studi Kasus Di Daerah Istimewa Yogyakarta) 1
2
2
Siswoyo , Illah Sailah dan Ani Suryani Abstract
Since 1998, cicada has been interesting agricultural commodity because of it’s benefit. Cicada is a commodity with good potential market. Cicada breeding could be run with relatively small capital. It also creates job opportunity. It is a simple business to run, not required special skill, but correctness and assiduity. The aim of the research are : (1) to formulate feasibility of cicada breeding business that developed by The Association of Indonesian Cicada Breeder (ASTRIK) at farmer and Division level, (2) to formulate efficient partnership model of Cicada breeding development by empowering people. The method of this study is case study with descriptive analysis (quantitative and qualitative). The data collected through questioner and interview with ASTRIK head office staff, divisions, and breeder. Data analysis uses Microsoft excel application, Feasibility analysis uses investment criterion which consist of Pay Back Period (PBP), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV) and Internal Rate of Return (IRR). Generally, it is feasible to run Cicada breeding business. This is indicated by production aspect (big area is not required, and its’ ease to be learned); financial feasibility analysis resulted these following information : investment capital needed for breeder is Rp. 327.000,- ; Based on the financial feasibility at breeder level, it is feasible to run, indicated by PBP value (8 periods), BEP (Rp. 4,324,494,-), NPV (Rp. 56,152,-), B/C ratio (1.01) and IRR (17.44%). Based on the financial feasibility analysis at Division level, investment capital need is Rp. 18,650,000,- ; Financial feasibility criterion for division level are PBP (6 periods), BEP (Rp. 22,100,825,-), NPV (Rp. 9,309,064,-), B/C Ratio (1.38) and IRR (82.69%). Partnership model that developed by ASTRIK is a cooperation among ASTRIK, Division level, and breeders. These three components are related and supporting each other, so that the program will not run well if one of them is not coordinated. To fulfill industrial demand on cicada product, ASTRIK strategy is developing division in the group net of Indonesian breeder. To accelerate production increase, ASTRIK make a cooperation model with divisions in distributing and supplying input (egg and feed), technology and market guarantee of cicada product. Keywords: Cicada, breeding, ASTRIK, feasibility analysis, partnership model
PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Kondisi perekonomian yang tidak menentu menyebabkan sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Dampak langsung yang nyata adalah bertambahnya angka pengangguran. Akibat yang dirasakan secara langsung adalah menurunnya pendapatan untuk menunjang hidup sehari-hari dan keadaan ini sangat memprihatinkan. Sehubungan dengan itu, perlu dicari terobosan usaha yang mampu menjawab permasalahan tersebut. Salah satu alternatif usaha yang telah berkembang dan dikenal masyarakat adalah budidaya jangkrik. Defoliart (1982) menyatakan, bahwa jangkrik sangat potensial untuk dibudidayakan sebagai bahan pangan dan pakan ternak karena memiliki palabilitas dan kandungan protein yang sangat tinggi, yaitu antara 58-62%. Jangkrik dalam bentuk tepung dapat digunakan sebagai pakan burung berkicau, ikan arwana, pakan udang dan lele (Paimin, 1999). Dengan maraknya para penggemar burung berkicau dan ikan di berbagai kota besar, kebutuhan akan jangkrik semakin meningkat. Manfaat yang dapat diperoleh dari pakan tambahan yang berasal dari jangkrik adalah dapat meningkatkan mutu suara burung berkicau dan dapat menambah kecemerlangan warna, serta stamina pada ikan arwana. Untuk memenuhi kebutuhan jangkrik tersebut, peternak tidak dapat mengandalkan jangkrik alam, karena jangkrik alam sangat tergantung pada musim, khususnya musim penghujan. Oleh karena itu, perlu upaya budidaya jangkrik yang kontinu dan menguntungkan. Berbagai kajian telah
1 2
Alumni PS MPI, SPs IPB Staf Pengajar PS MPI, SPs IPB
65 diupayakan untuk menunjang usaha peternakan ini, meliputi teknologi budidaya, manajemen usaha, pemasaran dan diversifikasi pemanfaatan hasil panen. Semua itu, bertujuan agar jangkrik ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga membawa manfaat bagi peternak itu sendiri dan merupakan sumber devisa bagi negara Indonesia. Permintaan pasar terhadap jangkrik untuk saat ini tidak hanya sebagai makanan ikan dan burung, tetapi telah bergeser pada sektor industri. Hal ini disebabkan jangkrik banyak mengandung senyawa organik seperti protein, lemak dan karbohidrat, serta senyawa anorganik, yaitu mineral. Asam amino glutamat, glisin dan sistein merupakan zat atau substrat (precursor) untuk sistesis glutation (GSH) dalam sel tubuh. Jika ditinjau dari kandungan asam aminonya, maka protein jangkrik dimungkinkan untuk digunakan sebagai antioksidan bagi tubuh, guna mencegah penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Berdasarkan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Asosiasi Peternak Jangkrik Indonesia (ASTRIK) Pusat, yang pernah dilakukan, keunggulan jangkrik mengandung asam amino, asam lemak, kadar kolagen, omega 3 dan omega 6 pada jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus). Jangkrik yang sudah kering dan berupa tepung mengandung asam amino sistein sebesar 44,76 mg/g, asam amino ini merupakan asam amino tertinggi dalam jangkrik (ASTRIK, 2004). Senyawa ini sangat dibutuhkan dalam proses pembentukan GSH (glisin, sistein dan hesin) yang merupakan zat antioksidan alami dalam tubuh manusia. Saat ini ada peluang industri yang lebih besar, yaitu dengan menjadikan tepung jangkrik sebagai bahan baku industri. Apabila jangkrik menjadi bahan baku industri, maka pasokan berkelanjutan, mutu terjamin dan produksi dalam jumlah besar. Jangkrik pun sangat mungkin untuk dijadikan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetika, jamu dan makanan. Kegiatan budidaya jangkrik ini menjanjikan pasar yang potensial untuk meraup rupiah. Melihat manfaat dari jangkrik tersebut, maka banyak orang mencari informasi tentang cara beternak sampai dengan pemasarannya. 2.
Permasalahan a. b.
3.
Bagaimana kelayakan usaha budidaya jangkrik dilihat dari sisi peternak dan divisi ? Bagaimana pola kemitraan pengembangan usaha budidaya jangkrik yang dilakukan oleh ASTRIK ?
Tujuan a. Terumuskannya kelayakan usaha budidaya jangkrik di tingkat peternak dan pengembangan usaha di tingkat divisi. b. Terumuskannya pola kemitraan pengembangan usaha budidaya jangkrik yang efisien dan mampu memberdayakan masyarakat.
METODOLOGI 1.
Lokasi Kajian ini dilakukan di ASTRIK Pusat, Divisi dan Peternak di daerah Yogyakarta.
2.
Metode Kerja Pengumpulan data Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan sekunder yang bersifat kuantitatif dan kualitatif terhadap studi kelayakan usaha budidaya jangkrik di Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan cara : (1) Studi kepustakaan (eksplorasi), terutama menelaah referensi dan bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti sebagai landasan teori; (2) Pengamatan langsung dengan cara mempelajari berbagai dokumen, proses produksi dan pemasaran; (3) Membuat daftar pertanyaan (kuesioner) dan wawancara dengan pengurus ASTRIK pusat, Divisi dan peternak di Yogyakarta. Pengolahan dan Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam kajian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, meliputi tahap transfer data, editing data, pengolahan dan interprestasi data secara deskriptif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui aspek manajemen, aspek teknis dan produksi, serta aspek pemasaran. Aspek manajemen meliputi sejarah perusahaan, organisasi dan manajemen.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
66 Aspek teknis dan produksi meliputi lokasi usaha, peralatan produksi dan proses produksi. Aspek pasar meliputi pemasaran dan daya serap pasar. Aspek analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui aspek kelayakan usaha budidaya jangkrik. Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis kelayakan investasi. Analisis kelayakan suatu kegiatan usaha digunakan lima kriteria investasi yaitu Pay Back Period (PBP), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). a.
PBP PBP adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Perhitungan PBP ini menggunakan rasio keuntungan dan biaya dengan nilai sekarang. Jika nilai perbandingan keuntungan dengan biaya lebih besar atau sama dengan 1, proyek tersebut dapat dijalankan (Umar, 1997). Notasinya sebagai berikut :
m B n 1 C n 1
PBP n
Dimana : n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt-Ct negatif terakhir m = nilai kumulatif Bt-Ct negatif terakhir B n 1 = nilai sekarang penerimaan bruto pada tahun n + 1
C n 1 = nilai sekarang biaya bruto tahun n + 1 b. Net B/C Menurut Gittinger (1996), Net B/C merupakan perbandingan jumlah nilai bersih sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif. Angka ini menunjukkan tingkat besarnya tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu satuan. Notasinya sebagai berikut : n
Net B
C
Bt Ct
(1 i) t 0 n
t
(untuk Bt-Ct > 0)
Ci Bi
(untuk Bt-Ct < 0)
(1 i) t 0
t
Dimana : Bt = benefit bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = cost bruto pada tahun ke-t (Rp) n = umur ekonomis usaha (tahun) i = tingkat suku bunga (%) t = periode investasi (i = 1,2,3....n) Jika diperoleh nilai net B/C > 1, maka proyek layak dilaksanakan, tetapi jika nilai B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. c. BEP BEP adalah suatu cara untuk dapat menetapkan tingkat produksi dimana penjualan sama dengan biaya-biaya. Proyek dikatakan impas jika jumlah hasil penjualan produknya pada suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditanggung, sehingga proyek tersebut tidak menderita kerugian tetapi juga tidak memperoleh laba. Jika hasil penjualan produk tidak dapat melampaui titik ini, maka proyek yang bersangkutan tidak dapat memberikan laba (Sutojo, 1993). Notasinya sebagai berikut :
BEP
Biaya Tetap Biaya Variabel 1 Total Penerimaan
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
67 d. NPV Menurut Gittinger (1996), NPV adalah menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi, merupakan jumlah nilai penerimaan arus tunai pada waktu sekarang dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan selama waktu tertentu. Notasinya sebagai berikut : n
NPV t 0 n
t o
n Bt Ct t (1 i) t o (1 i) t
Bt Ct (1 i)t
dimana : Bt = benefit bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = cost bruto pada tahun ke-t (Rp) n = umur ekonomis usaha (tahun) i = tingkat suku bunga (%) t = periode investasi (i = 1,2,3....n)
e. IRR Menurut Gray, dkk (1992), IRR menunjukkan persentase keuntungan yang diperolah atau investasi bersih dari suatu proyek, atau tingkat diskonto yang dapat membuat arus penerimaan bersih sekarang dari investasi (NPV) sama dengan nol. Notasinya sebagai berikut :
i* i
NPV1 (i2 i1 ) NPV1 NPV 2
Dimana : NPV1 = Nilai NPV yang positif (Rp) NPV2 = Nilai NPV yang negatif (Rp) i1 = discount rate nilai NPV yang positif (%) i2 = discount rate nilai NPV yang negatif (%) i* = IRR (%) IRR menunjukkan persentase keuntungan yang diperolah atau investasi bersih dari suatu proyek, atau tingkat diskonto yang dapat membuat arus penerimaan bersih sekarang dari investasi (NPV) sama dengan nol. Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat diskonto, maka proyek layak untuk dilaksanakan sedangkan jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat diskonto, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Keadaan Umum Prospek usaha budidaya jangkrik masih berpeluang tinggi, selain sebagai pakan burung dan ikan oleh para penggemar, jangkrik juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri. Manfaat jangkrik secara umum, menurut hasil uji klinis dan penelitian yang dilakukan oleh Litbang ASTRIK (2002), bahwa jangkrik mengandung sistein dimana senyawa ini sangat dibutuhkan dalam proses pembentukan GSH (glutation) yang merupakan zat antioksidan alami pada tubuh manusia. Untuk satu kali produksi (35 hari) dari satu paket sarana produksi yang terdiri dari 4 ons telur, 120 kg pakan dan 20 kandang kardus berukuran 100 cm x 60 cm x 30 cm dengan harga Rp. 1.400.000 dapat menghasilkan jangkrik sebanyak 80 kg dengan harga Rp. 30.000/kg, sehingga dalam 1 kali produksi diperoleh keuntungan Rp. 1.000.000. Usaha peternakan jangkrik ini menguntungkan untuk dikembangkan (ASTRIK, 2004). Usaha budidaya jangkrik sangat baik untuk dikembangkan, karena dapat memberdayakan masyarakat lebih mandiri dan dapat menciptakan lapangan kerja, sehingga pendapatan keluarga akan meningkat. Usaha budidaya jangkrik dapat memberikan alternatif usaha, baik sebagai sampingan maupun berskala besar, yang sifatnya mudah, tidak memerlukan modal besar, murah dan ramah lingkungan, serta tidak memerlukan tempat yang luas. Semua orang dapat dengan mudah belajar beternak jangkrik, karena yang terpenting adalah ketekunan dan ketelitian. Berhasil tidaknya beternak jangkrik sangat tergantung dari pengalaman masing-masing peternak, disamping itu juga perlu ketekunan dan keuletan untuk mau belajar mencari upaya bagaimana agar dapat meningkatkan hasil produksi, sehingga hasil produksi dari periode ke periode berikutnya dapat mengalami peningkatan. Proses produksi usaha jangkrik terdiri dari (a) Persiapan Kandang, kandang jangkrik yang digunakan berupa kotak/box yang terbuat dari kardus. Prinsipnya, jangkrik tidak dapat keluar, dapat
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
68 udara dan sesuai dengan populasi atau jumlah jangkriknya (jangan terlalu padat). Kandang/kardus standar yang digunakan oleh ASTRIK berukuran 100 cm x 60 cm x 30 cm. Agar kardus tidak cepat rusak sebaiknya dibuatkan rak, sehingga kardus tidak langsung menyentuh tanah. Untuk mengantisipasi serangan binatang pengganggu seperti semut, laba-laba dan cicak, kaki rak diberi oli bekas atau minyak tanah; (b) Sarana dan Media Pendukung, tersedianya: media persembunyian atau rumpon, berupa daun kering, seperti klaras/daun pisang kering, daun jati kering, daun tebu kering, dan Koran, serta tempat minum, berupa spon pada umur 1-10 hari, berupa tatakan yang diberi kerikil ketika jangkrik berumur 11 hari sampai 35 hari; (c) Penetasan Telur Jangkrik, dipengaruhi oleh faktor kelembaban, terutama kelembabannya harus dijaga. Beberapa cara penetasan telur yang dapat dilakukan oleh peternak (Adihendro, 1999), yaitu: (1) metode alami, (2) metode buatan (dengan kain halus), (3) penetasan media pasir, (4) penetasan dengan stoples, dan (5) penetasan media spons/busa. Peternak anggota ASTRIK sebagian besar menerapkan metode buatan (dengan kain halus); dan (d) Pembesaran, menurut peternak anggota ASTRIK sangat tergantung pada tahap: pemberian pakan, pemberian minum, kontrol suhu dan penanggulangan penyakit. Sebagai bahan baku industri, ASTRIK menetapkan jangkrik dipanen pada umur 35 hari, dengan ciri-ciri jangkrik sudah bersayap. Jangkrik dipanen dengan cara ditangkap dengan tangan satu persatu atau dengan serok, kemudian dimasukkan ke dalam wadah penampung, dapat berupa kardus, karung plastik/bagor, di lakukan dengan hati-hati, agar tidak ada jangkrik yang terluka atau lepas salah satu anggota badannya. Di dalam wadah penampungan dimasukkan dedaunan kering agar jangkrik tidak saling bertumpuk dan diberi lubang agar jangkrik tidak mati lemas. Jangkrik siap dipasarkan ke Divisi ASTRIK atau ke ASTRIK pusat. Dalam pengiriman jarak jauh, untuk menghindari kematian jangkrik, biasanya wadah penampungan diberi kardus bekas telur puyuh atau telur ayam dan angkutan diusahakan tertutup, sehingga jangkrik terlindungi dari panas dan hujan. Alur proses panen dan proses pengeringan jangkrik yaitu jangkrik hidup hasil panen dari anggota di setor ke ASTRIK pusat. ASTRIK melakukan sortasi sesuai dengan ukuran (± 2 cm) yang diinginkan dan dikelompokkan berdasarkan kriteria, ditimbang dan dipisahkan untuk kebutuhan induk produksi telur ASTRIK dan untuk dimatikan, dioven dan ditepungkan. 2.
Hasil yang Dikaji a. Aspek Teknis dan Produksi Berdasarkan pengamatan dan evaluasi aspek teknis dan produksi, bahwa untuk mendapatkan panen yang maksimal (80 kg) perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut : (1) sarana dan prasarana produksi harus bersih, (2) bahan baku (telur dan pakan) sesuai standar ASTRIK, 0 (3) suhu ruang berkisar antara 30-34 C, (4) luas kandang harus memenuhi standar, karena keberhasilan budidaya jangkrik sangat ditentukan oleh luasan kandang, (5) Media persembunyian harus sesuai, baik tata letak maupun jenis media, karena akan mempengaruhi hasil produktivitas, (6) untuk memacu produktivitas jauhkan kandang dari predator, yaitu semut, labalaba dan cicak, (7) tatalaksana pemeliharaan harus disiplin, teratur dan bersih, (8) pada saat panen, hindarkan kepadatan jangkrik pada saat membawa ke tempat Divisi. Untuk itu, peternak perlu teliti dan tekun, karena budidaya jangkrik sangat tergantung dengan faktor lingkungan (faktor alam), faktor makanan dan minuman, serta faktor persembunyian. Sarana dan prasarana yang direkomendasi oleh ASTRIK, telah memenuhi aspek teknis dan produksi. b. Aspek Pasar dan Pemasaran Berdasarkan surat edaran dan surat keputusan ASTRIK, sarana dan prasarana produksi diperoleh dari ASTRIK, yang selanjutnya ASTRIK menjamin pasar untuk jangkrik siap panen. Ciri-ciri jangkrik siap panen adalah sebagai berikut (standar ASTRIK) : (1) Umur 35 hari, (2) jangkrik sudah bersayap, (3) ukuran panjang jangkrik minimal 2 cm dan (4) bukan jangkrik yang lemas atau mati. Hasil panen berupa jangkrik hidup yang selanjutnya disetor dari peternak ke divisi, sedangkan dari Divisi ke Pusat, hasil panen berupa jangkrik hidup maupun hasil oven, tergantung pada Divisi memiliki oven atau tidak. Harga yang berlaku saat ini adalah harga kering oven Rp. 96.000,-kg (mutu A), Rp. 88.000,-kg (mutu B), dan Rp.75.000.-kg (mutu C), dan jangkrik hidup Rp. 30.000,-/kg. Jangkrik kering oven akan diproses lagi menjadi tepung, yang selanjutnya didistribusikan ke perusahaan obat dan jamu oleh CV. Astrik Agri Indo. Oleh karena itu, peternak maupun Divisi dalam kegiatan pemasarannya dijamin oleh ASTRIK, sehingga layak untuk dilakukan/diusahakan.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
69 c. Kelayakan Usaha Penilaian terhadap keberhasilan budidaya jangkrik dalam memperoleh laba/keuntungan, umumnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) biaya produksi dan pemasaran, (2) volume penjualan dan (3) harga jual produk. Ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan yang lainnya. Dari data yang diperoleh digunakan asumsi yang bersumber dari hasil wawancara mendalam yang disajikan untuk menghitung kelayakan usaha budidaya jangkrik berikut : 1) Kelayakan Usaha di Tingkat Peternak Asumsi perhitungan analisis keuangan untuk peternak adalah (a) Modal swadaya dalam satu kali produksi untuk 20 kandang, (b) Waktu yang diperlukan untuk produksi 45 hari/periode, (c) Pelaksanaan budidaya jangkrik 8 kali periode/tahun dan (d) Kardus dan perlengkapan dapat digunakan 4 kali produksi. Data yang digunakan dalam analisa kelayakan adalah data pendapatan bersih, yang diperoleh dengan cara mengurangi arus kas masuk dengan kas keluar. Kriteria kelayakan yang digunakan untuk menilai kelayakan finansial dalam kajian ini adalah PBP, NPV, B/C ratio, IRR dan BEP. Setelah diperoleh pendapatan bersih, selanjutnya dilakukan pendiskontoan terhadap pendapatan bersih tersebut dengan pendekatan adanya nilai uang terhadap waktu. Tingkat diskonto yang digunakan didasarkan pada rataan suku bunga deposito bank umum pada saat kajian. Hasil perhitungan PBP, NPV, B/C ratio, IRR dan BEP dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis finansial peternak jangkrik Uraian Nilai
PBP (periode) 8
NPV (Rp) 56.150
B/C Ratio 1,01
IRR (%) 17,44
BEP (Rp) 4.324.495
Untuk dapat mewujudkan target produksi maksimum yang diasumsikan ASTRIK adalah 80 kg/periode produksi, maka peternak harus bisa mencapai produksi sesuai dengan nilai regresi pada Gambar 1. Nilai perkiraan periode produksi untuk mencapai produksi maksimum (Tabel 2).
Y ŷt = 5,55 + 4,85833*t
40
Jumlah Produksi (kg)
30
20
10 Index
1
2
3
4
5
6
7
8
X
Periode produksi keGambar 1. Plot data produksi rataan
Periode yang dapat menghasilkan produk mendekati 80 kg adalah periode ke-15 (tahun ke-2), dimana nilai produksinya 78,42 kg.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
70 Tabel 2. Nilai perkiraan produksi Perkiraan periode produksi 9 10 11 12 13 14 15 16
Nilai perkiraan produksi (kg) 49,27 54,13 58,99 63,85 68,70 73,56 78,42 83,28
2) Kelayakan Usaha di Tingkat Divisi Asumsi perhitungan analisis keuangan tingkat Divisi adalah (a) Peternak dalam satu periode 20 orang masing-masing memelihara satu paket, (b) Perhitungan dilakukan selama satu tahun, (c) Harga jual jangkrik kering Rp. 96.000/kg (mutu A), Rp. 88.000/kg (mutu B), dan Rp. 75.000 (mutu C). Kriteria kelayakan yang digunakan untuk menilai kelayakan finansial dalam kajian ini adalah PBP, NPV, B/C ratio, BEP dan IRR. Hasil perhitungan berdasarkan Tabel 2, divisi ASTRIK mempunyai nilai PBP 6 periode, artinya divisi tersebut mampu mengembalikan investasinya dari modal awal selama 6 periode produksi (5 bulan). Nilai NPV yang dihasilkan adalah Rp. 9.309.065,- artinya divisi selama menjalankan usahanya mendapatkan keuntungan Rp. 9.309.065,- setelah dikurangi modal awal. Hasil perhitungan B/C ratio diperoleh nilai 1,38, artinya biaya yang dikeluarkan oleh divisi satu satuan akan menghasilkan tingkat pendapatan 1,38 satuan. Hasil analisis finansial usaha divisi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis keuangan usaha divisi Uraian Nilai
PBP (periode) 6
NPV (Rp) 9.309.065
B/C ratio 1,38
IRR (%) 82.69
BEP (Rp) 22.100.825
Perhitungan IRR menghasilkan nilai 82,69%. Nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga deposito bank umum pada saat kajian, sehingga divisi ini layak untuk melaksanakan usaha budidaya jangkrik yang beranggotakan 20 orang peternak dengan masing-masing berternak satu paket. Nilai BEP yang diperoleh adalah Rp. 22.100.825, artinya jika divisi melaksanakan usahanya dapat menghasilkan penjualan Rp. 22.100.825, maka usaha divisi baru akan dapat mencapai titik impas. d. Pola Kemitraan Dalam Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik Dari hasil kajian lapang diperoleh sistem pola kemitraan pengembangan usaha ternak jangkrik yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 2. Dapat dijelaskan bahwa ada 3 (tiga) pelaku usaha yang saling berkaitan, yaitu (1) Asosiasi (ASTRIK), (2) Divisi dan (3) Peternak.
DIVISI
DIVISI
ASTRIK
Peternak
DIVISI
DIVISI
Gambar 2. Pola kemitraan pengembangan usaha jangkrik
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
71 Dalam usaha pengembangan budidaya jangkrik sebagai bahan baku industri yang dapat mempengaruhi keberhasilan, diantaranya terbentuknya pola kemitraan antara Asosiasi (ASTRIK), Divisi dan Peternak yang masing-masing saling berkaitan, sehingga menjadi terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan untuk memenuhi permintaan pasar industri. Strategi yang dapat dikembangkan oleh ASTRIK adalah dengan mengembangkan Divisi di seluruh Indonesia. Dengan strategi ini, diharapkan muncul Divisi-divisi baru yang mempunyai anggota peternak dengan produksi jangkrik yang meningkat dan kontinu, sehingga dapat memenuhi kuota kebutuhan pasar industri sebesar 1.000 ton per bulan dapat segera terpenuhi. Dalam rangka menumbuhkembangkan peternak jangkrik ada baiknya Divisi memiliki konselor usaha yang bertugas memberikan penyuluhan kepada peternak. Materi penyuluhan dapat berupa teknik beternak maupun pemotivasian, karena faktor kegagalan di awal beternak sangat tinggi. Terbukti dengan setelah 8 kali periode produksi baru mencapai 50%. Dengan demikian, disarankan agar kemitraan dapat diperdalam dengan adanya konselor usaha di bawah Divisi. Konselor usaha akan mendapat honor dari Divisi dan pendapatan tambahan jika ada peningkatan produksi. Pola kerja konselor usaha dapat dilihat pada Gambar 3.
Konselor usaha
DIVISI
Peternak
ASTRIK Gambar 3. Pola kerja konselor usaha
Periode atau siklus produksi ditentukan oleh pendapatan dan pengeluaran dalam satu kali periode. Hal ini berarti lama tidaknya umur pengembalian investasi ditentukan oleh produksi dan harga yang berlaku saat ini. Jika dilihat dari hasil analisis finansial budidaya jangkrik dalam satu tahun dengan produksi tiap periode menghasilkan 80 kg, tingkat pengembalain investasi ditunjukkan pada 2 periode. Sedangkan hasil analisis finansial budidaya jangkrik dalam setahun dengan produksi rataan < 30 kg, tingkat pengembalian investasi ditunjukkan pada 8 periode. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi produksi, maka semakin cepat dalam pengembalian investasinya.
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan a. Secara teknis teknologis, budidaya jangkrik mudah dilakukan, jika mengikuti standar budidaya yang dianjurkan oleh ASTRIK. Pengembalian biaya investasi pada budidaya jangkrik dapat dilakukan oleh peternak setelah 8 periode siklus beternak dengan volume produksi rataan 30 kg. Apabila asumsi ASTRIK dapat dipenuhi (produksi 80 kg/siklus), maka pengembalian biaya investasi dapat dilakukan setelah 2 periode beternak. Keuntungan yang diperoleh dengan rataan produksi 30 kg/siklus akan menghasilkan keuntungan Rp. 56.152, dengan tingkat pendapatan 1,01 satu satuan. Titik impas akan dicapai pada saat menghasilkan penjualan Rp. 4.324.494, dan suku bunga diperoleh lebih tinggi bila dibandingkan suku bunga deposito bank umum (17,44%). b. Pola kemitraan yang terbentuk dalam pengembangan budidaya jangkrik berbentuk jejaring kerja yang saling menguntungkan antara ASTRIK sebagai penyedia bahan baku, memfasilitasi teknologi dan manajemen produksi, serta penjamin pasar. Divisi sebagai koordinasi di tingkat Kabupaten/Kota, dan Peternak sebagai pelaksana budidaya jangkrik kalung. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pola kemitraan ini belum sempurna, karena belum berdasarkan pada bagi risiko kerugian. Kerugian ini terjadi akibat dari produksi yang tidak menentu dari hasil panen
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
72 yang lebih rendah dari standar ASTRIK. Pola kemitraan ini perlu penyempurnaan dengan pola saling menguntungkan antara peternak dengan ASTRIK. Divisi dan konselor usaha merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pola kemitraan yang dapat dikembangkan oleh ASTRIK, guna memperoleh keuntungan maksimal dan tercapainya pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan keluarga. 2.
Saran a. Untuk mengembangkan usaha budidaya jangkrik secara terus menerus selain memperhatikan aspek produksi dan keuangan, juga perlu diperhatikan aspek mutu produk dan mutu proses jangkrik. Dalam hal ini diperlukan konselor usaha yang mampu memotivator dan pembinaan secara berkelanjutan. b. Untuk memenuhi kebutuhan pasar industri diperlukan keterbukaan antara ASTRIK, Divisi dan Peternak dalam pengelolaan dan pengembangan usaha budidaya jangkrik, sehingga kesinambungan dan kontinuitas produksi akan terjaga. Dalam hal ini diperlukan konselor usaha dalam menumbuhkembangkan peternak yang berfungsi sebagai penyuluh dan pembina kepada peternak. c. Divisi perlu mencari peluang pasar, jika hasil panen peternak < 10 kg.
DAFTAR PUSTAKA Adihendro. 1999. Rahasia Beternak Jangkrik. Andy Agency, Jakarta. ASTRIK. 2002. Company Profile. Yogyakarta. _______. 2004. Laporan Tahunan ASTRIK 2004. Yogyakarta. Defoliart, G.R., M.N. Parajule and D.B. Hogg. 1993. Model for Use in mass production of Acheta Domesticus (orthoptera: Gryllidae) as food. J. Econ. Entomol. Gittinger, J.P. 1996. Analisis ekonomi Proyek Pertanian (Terjemahan). Universitas Indonesia Press, Jakarta. Gray, C., dkk. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Paimin, F.B. 1999. Mengatasi Permasalahan Jangkrik (Cetakan I). Penerbit Swadaya, Jakarta. Sutojo. 1993. Studi Kelayakan Proyek. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Umar, H. 1997. Studi Kelayakan Bisnis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008