PEREMPUAN HINDU DALAM PERIBADATAN (Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaYogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar SarjanaTheologi Islam (S.Th.I) Oleh : Erin Gayatri NIM 10520039
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014
ii
iii
iv
MOTTO Perempuan merupakan gambaran dari pengorbanan diri. Namun pengorbanan dirinya terbatas dalam lingkungan keluarganya. Mengapa ia tidak melakukan pengorbanan yang lebih besar untuk umat daripada pengorbanan yang dilakukannya untuk keluarga? (Sepucuk surat Mahatma Gandhi untuk perempuan Hindu).
Tidak ada sesuatu yang kebetulan; Kita dipertemukan untuk suatu hal; entah untuk belajar atau mengajarkan, sesaat atau selamanya, berarti atau sekedarnya; tapi apapun alasannya lakukanlah yang terbaik; karena Allah yang mempertemukan.
v
PERSEMBAHAN
Dengan senantiasa bersyukur dan mengharap Ridho Allah SWT, saya persembahakan karya ini untuk: Mama dan Bapak tersayang yang selalu mendoakan dan mengusahakan kebaikan serta kesuksesan untuk anak-anaknya. Terimakasih atas ketabahan dan kesabaran kalian. Untuk keenam orang adikku tercinta. Eden, Accang, Afdal, Rida, Alya dan Naila. Kalian penyemangatku untuk menuju kesuksesan. Almarhuma nenek Cantik dan kakek, Indo dan Ne” Ungngu. Untuk almamaterku yang aku banggakan. Perbandingan Agama, Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta.
vii
ABSTRAK Agama Hindu memaknai peribadatan sebagai suatu bentuk usaha keseimbangan alam semesta, dimana Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini dengan Yajna. Pelaku peribadatan dalam agama Hindu terdiri dari Sang Yajamana (umat yang melakukan peribadatan), Sarathi Banten (pembuat sesaji) dan Sang Pemuput Karya (pemimpin peribadatan). Ketiga pelaku tersebut biasa disebut dengan Tri Manggalaning Yajna. Pandita dalam konsep Hindu dianggap sebagai orang suci dan temasuk dalam varna Brahmana. Kaum perempuan Hindu memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin peribadatan atau biasa disebut dengan Pandita. Hal tersebut menggambarkan idealisme agama Hindu yang berpihak pada kesetaraan. Saat idealisme tersebut dihadapkan dengan realitas yang ada, perempuan Hindu masih sangat tertinggal untuk menjadi pemimpin peribadatan. Berdasarkan kesenjangan antara idealisme dan realitas tersebut, penulis merumuskan tiga persoalan yaitu bagaimana perempuan Hindu dalam kitab suci,bagaimana peran perempuan Hindu dalam peribadatan dan apa faktor yang melatarbelakangi minimnya keterlibatan perempuan Hindu dalam memimpin peribadatan. Upaya menjawab rumusan masalah tersebut, pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka untuk menemukan dan menyelidiki data-data dan faktafakta yang ada mengenai perempuan di dalam agama Hindu. Selain itu studi lapangan menjadi pelengkap dan penguat penelitian ini dengan mengamati dan menyelidiki fakta-fakta empiris yang terjadi, wawancara dengan tokoh-tokoh agama Hindu serta perempuan Hindu yang menjadi pelaksana peribadatan, serta dokumentasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosilogi agama, serta pengolahan data kualitatif yang bersifat deskriptif analisis. Data-data yang ada dianalisis dengan teori feminisme tentang gender dan seksualitas yang menggambarkan seperti apa konstruksi sosial dan budaya serta konsep nilai, baik dan buruk maupun orientasi yang berpengaruh tehadap pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, berbagai konsep yang memberikan kesetaraan kepada laki-laki dan perempuan, tidak juga berpengaruh pada kondisi perempuan Hindu untuk berperan sebagai pemimpin peribadatan. Minimnya keterlibatan perempuan Hindu untuk menjadi pemimpin peribadatan disebabkan oleh pengaruh kebudayaan Jawa yang telah mengakar pada perempuan Hindu Yogyakarta. Perempuan Hindu Yogyakarta saat ini merasa kesulitan jika harus menjalani proses sebelum menjadi Pandita atau Pinandita. Budaya Patriarki yang telah mengakar, menyebabkan perempuan Hindu tidak perlu mempertanyakan profesi kepanditaan yang dikuasai oleh laki-laki. Di sisi lain sebagian besar perempuan Hindu diarahakan untuk berprofesi sebagai Sarathi Banten atau pembuat sesaji dari pada menjadi Pandita. Posisi Sarathi Banten dalam pelaksanaan peribadatan lebih bersifat pasif, karena menjadi pendamping atau asisten Pandita saat pelaksanaan upacara. Peran tersebut tidak jauh berbeda dengan peran domestik yang selama ini diperankan perempuan dalam rumah tangga. viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang senantiasa mencurahkan kasih dan sayangNya untuk semua makhluknya, menuntun hamba-hambanya dalam mencari kebaikan. Berkat kemurahannya, penulis dapat menyelesaikan karya ini. Shalawat serta salam untuk Nabi Muhammad yang telah mengajarkan dan menunjukkan maksud-maksud Tuhan di alam semesta ini. Dengan segala kekurangan yang saya miliki, karya ini dapat terselesaiakan atas bantuan, semangat, dan doa yang telah diberikan kepada penulis. Oleh karena itu, tiada suatu kata yang patut untuk disampaikan kepada semua pihak yang terkait melainkan ungkapan rasa terimakasih, yang setulus-tulusnya. Ungkapan ini penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2. Dr H. Syaifan Nur, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3. Ahmad Muttaqin, S. Ag., M.Ag., M.A., Ph.D., selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama dan Roni Ismail S.Th.I, M.S.I., selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama. 4. Prof. Djamannuri selaku pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan semangat agar bisa menyelesaikan studi tepat waktu dan senantiasa memberi arahan saat penulis menemukan kesulitan. Terimakasih atas kemurahan hati bapak.
ix
5. Keluarga besarku di Mappedeceng dan Radda yang telah memberikan bantuan moril maupun materil selama masa studi saya. 6. Saudara Rachmat Setiawan yang tak kenal lelah untuk membantu penulis dalam segala hal. Semoga cepat nyusul skripsinya :D 7. Teman-teman kuliah khususnya PA angkatan 2010 tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, semoga kesehatan dan kesuksesan selalu menyertai kita. 8. Saudari-saudariku di Wisma Anging Mammiri Tika, Dian, Pibul, Komang, Fai, Prima, Lala, kak Chunni, Inci, Ica, Kak Asia, Kak Aqua, Anggi, kak Nani, Fitto, Marni, Kak Nisa, Kak Randa, Meong, Dilla, Naya, Ami, Nida dan Pupu’. Kak Ica, Kak Ana, Kak Rini, Kak Nunu, Kak Yuli. Sebuah anugerah bisa satu atap dengan kalian . 9. Keluarga KKN Klidon: kk Anwari, kk Reno, kk Ardi, Farhah, Shinta, Aim, Zia dan Khotim yang telah memberikan semangat dan inspirasi. 10. Departemen agama Yogyakarta bagian bimas Hindu yang telah memberikan informasi dan data-data mengenai umat Hindu. Serta ketua PHDI dan WHDI Yogyakarta yang telah memberikan informasi dan referensi tentang perempuan Hindu. 11. Untuk semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan semangat dan sumbangsih do’a, penulis ucapkan banyak terimakasih. Penulis tidak akan mampu membalas jasa-jasa kalian, semoga kebaikan kalian menjadi amal jariah yang mengalir tanpa henti. Dengan ucapan
x
Alhamdulillahirabbilalamin, semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita semua terutama untuk kelimuan perbandingan agama.
Yogyakarta, 16 Oktober 2014 Penulis Erin Gayatri NIM: 10520039
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i PERNYATAAN KEASLIAN................................................................................ii FORMULIR KELAYAKAN SKRIPSI.............................................................. iii PENGESAHAN SKRIPSI/ TUGAS AKHIR .................................................... iv MOTTO ................................................................................................................. v PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 10 C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan ............................................................... 11 D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 12 E. Kerangka Teori........................................................................................... 15 F.
Metedologi Penelitian ................................................................................ 22
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 26 BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN GAMBARAN UMUM AGAMA HINDU DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA .................... 28 A. Deskripsi Lokasi Penelitian........................................................................ 28 C. Keutamaan Perempuan Hindu dalam Kitab Suci ....................................... 35 BAB III PERIBADATAN DALAM AGAMA HINDU.................................... 42 A. Agama Hindu Memaknai Peribadatan ....................................................... 42 B. Syarat-Syarat Melakukan Peribadatan (Yajna) .......................................... 48 C. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Pribadatan (Yajna) ....................................... 49 D. Pelaksana Yajna ......................................................................................... 51 BAB IV PERAN DAN POSISI PEREMPUAN HINDU DALAM PERIBADATAN ................................................................................................. 69 A. Pandita dan Pinandita Perempuan .............................................................. 69 B. Perempuan Hindu Sebagai Sarathi Banten ................................................ 76 xi
C. Keterlibatan dan Kesempatan yang Dimiliki Perempuan Hindu dalam Peribadatan ........................................................................................................ 81 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 91 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 93 Daftar Lampiran ............................................................................................... 109
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk............................................................................29 Tabel 2.2 Jumlah Pemeluk Agama Menurut Golongan Dan Kabupaten........ 32 Tabel 2.3 Jumlah Juru Penerang Agama Menurut Kabupaten/Kota................33
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laki-laki dan perempuan menjadi ciptaan Tuhan paling mulia. Namun dalam prakteknya, perempuan dan laki-laki yang memiliki jenis kelamin berbeda, juga dipisahkan dalam peran, sifat dan status yang berbeda dalam kehidupan. Misalnya laki-laki selalu diidentikkan dengan sifat yang Maskulin dan lebih berperan dominan di luar rumah, sedangkan perempuan diidentikkan dengan sifat yang feminim dan diarahkan untuk lebih berperan didalam rumah. Pada masyarakat primitif, laki-laki lebih memilih untuk menjadi pemburu hewan liar, dan perempuan menjadi peramu hasil tangkapan hewan liar tadi. Melangkah ke masayrakat agraris, laki-laki masih tetap berada pada peran sentral di luar rumah dengan bertani, dan perempuan masih menjadi peramu dan mengurusi anak didalam rumah. Dampaknya perempuan pada masa itu tidak mengetahui seperti apa kondisi luar, dan bagaimana relasi kelompoknya dengan kelompok yang lain.1 Pada masyarakat industri tidak juga berubah dalam pembagian peran laki-laki dan perempuan, laki-laki masih terus sibuk dengan perannya dalam sektor industri dan perempuan disibukkan dalam sektor domestik. Hingga pada abad 19 muncul beberapa keprihatinan mengenai peran dan posisi perempuan yang selama ini jauh terpinggirkan dalam wilayah publik, 1
Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 80-83.
1
2
menempati posisi kelas dua dari laki-laki, seolah akses dan kesempatan tertutup untuk mereka. Setelah dilakukan pengamatan lebih jauh, masalah tersebut tidak hanya terjadi dalam kehidupan ekonomi dan sosial, hampir pada semua bidang baik itu kebudayaan, undang-undang atau peraturan pemerintah, bidang agama, yang selama ini diyakini menjadi sumber kebaikan dan keadilan untuk semua umat. Dalam kehidupan keagamaan, peribadatan menjadi hal yang paling sakral, karena hal tersebut menjadi salah satu sarana dan bentuk ekspresi keagamaan yang senantiasa ditanamkan pada setiap umat dalam agamanya masing-masing. Menurut Mercia Eliade, dalam peribadatan itulah hal yang profan ditransformasikan menjadi hal yang sakral. Agar dapat mewakili maksud para umat kepada yang maha Suci.2 Aturan umum dan tata cara yang spesifik dalam peribadatan menjadi bentuk persatuan dan identitas dari agama tersebut. Hal tersebut dapat bersumber dari kitab suci, ajaran-ajaran dari guru agama, atau bahkan dapat pula bersumber dari kesepakatan umat yang ada mengenai apa yang menjadi syarat dilakukannya sebuah peribadatan, siapa saja yang dapat terlibat didalamnya, dan apa hukumnya jika melanggar aturan peribadatan. Aturan itu akhirnya dibakukan menjadi sebuah aturan umum yang mesti ditaati. Unsur-unsur dalam peribadatan cukup kompleks, menyangkut semua yang terlibat dalam persiapan peribadatan, berlangsungnya peribadatan, hingga akhir dari peribadatan. Laki-laki dan perempuan atau umat itu sendiri menjadi unsur terpenting dalam penyelengaraan peribadatan. 2
Mercia Eliade, Sakral dan Profan terj. Nuwanto (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001)
3
Salah satu hal yang cukup berpengaruh dalam pembagian peran mengenai peribadatan ialah gambaran konsep penciptaan dan tradisi antara laki-laki dan perempuan oleh beberapa agama. Di antaranya, dalam tradisi Buddha terdapat pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam hukum Manu, status perempuan tergantung pada suami. Setelah tua diwariskan kepada anak laki-laki. Dalam hal peribadatan, perempuan yang menjadi Bhiksu mendapat persyaratan yang lebih berat daripada laki-laki, perempuan 350 sila dan laki-laki 250 sila.3 Agama Yahudi dalam kitab Taurat memberikan gambaran tentang perempuan, misalnya dalam kita Kejadian 3:112 dinyatakan bahwa perempuan menjadi penyebab terjadinya dosa, yang mengakibatkan perempuan mendapat hukuman berupa rasa sakit diantaranya pada waktu melahirkan. Selain itu agama Nasrani memiliki pandangan tentang asal terciptanya perempuan, dimana Hawa perempuan pertama diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hampir semua agama menganggap bahwa perempuan yang sedang menstruasi itu kotor dan najis. Sehingga pada zaman dulu, mereka diasingkan dan makanan yang mereka masak tidak boleh dimakan. Dengan berbagai problema yang dialami oleh perempuan tadi, akhirnya segala bentuk pranata sosial dan urusan keagamaan dipegang oleh laki-laki.4 Agama Hindu yang dikenal dengan ciri filsafat mistik memiliki sejarah yang panjang terkait peran perempuannya dalam peribadatan. Jika dilihat dari 3
Sri Suhanjati Sukri&Ridin Sofyan, Perempuan dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 4. 4
Sri Suhanjati Sukri&Ridin Sofyan, Perempuan dan Seksualitas, hlm. 6. (Sila dalam agama Budha adalah etika atau moral yang dilakukan berdasarkan cetana atau kehendak).
4
periodenya, perempuan Hindu di India dibagi kedalam tiga periode, yakni: periode awal (1500-500 S.M.), periode klasik atau pertengahan (500 S.M1800 M.) dan periode modern (setelah 1800 M). Pada periode awal berkiblat pada berbagai macam teks yang terdapat dalam himpunan kitab suci Weda seperti Sruti yang menjadi rujukan bagi umat Hindu. Dalam konteks dialektika historis, bagian awal ini menganalisis bagaimana nilai-nilai Rg-Weda, pendidikan brahmatik, dan asketisme serta “kebijaksanaan” Upanishad memberikan konstribusi baik positif maupun negatif kepada orientasi klasik tentang perempuan Hindu. Pada periode klasik dan pertengahan memusatkan pada konsep ideal feminitas dalam Hindu klasik seperti diungkapkan dalam teks-teks smrti yang menjadi kitab suci sekunder. Yakni pemahaman fenomenologis tentang relijiusitas domestik perempuan Hindu yang merujuk pada stridharma (tingkah laku ideal seorang perempuan Hindu).5 Perempuan Hindu pada masa klasik masih terjebak pada ritual sati.6 Pada periode klasik, agama Buddha datang sebagai pembaharu dan melawan berbagai sistem yang selama ini dianggap bersifat diskriminatif dan
5
Kathrine K. Young “Hindu” dalam Arvind Sharma, Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: Suka Press, 2006), hlm. 81. 6
Sati merupakan tradisi membakar diri hidup-hidup yang dilakukan seorang istri untuk menunjukkan kesetiaannya kepada suami, tradisi sati tersebut biasanya dilakukan oleh perempuan yang berkasta tinggi dan dipercaya hanya perempuan pilihan yang dapat melakukannya. Tradisi sathi dipandang sebagai alternatif yang lebih baik ketika seorang istri ditinggal mati oleh sang suami. Tradisi sati tidak hanya berlaku bagi istri, tetapi juga bagi istri simpanan, saudara ipar bahkan juga seorang ibu. Pelaku sati diagungkan sebagai pahlawan dan dipercaya sebagai tiket untuk menuju surga sesuai dengan ajaran Hindu. Saat ini tradisi sati tersebut tidak lagi berlaku di kalangan umat Hindu karena dianggap sebagai tradisi yang kejam, namun tuntutan kesetiaan seorang perempuan terhadap suaminya masih berlaku karena terdapat kepercayaan bahwasannya suami adalah dewa bagi istrinya. Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 324.
5
hanya berpihak pada golongan tertentu. Dalam Brahmanisme, perempuan hanya diizinkan melakukan ibadah dalam status belahan dari suami mereka tidak boleh mempelajari naskah-naskah suci. Satu-satunya jalan keselamatan mereka hanyalah lewat kesetiaan dan pengorbanan terhadap suami mereka.7 Di antara bentuk pembaharu Buddha yakni penghapusan kasta, pemberian hak dan kesempatan kepada perempuan yang ingin mendalami spiritualitasnya. Sebagian perempuan Hindu menyambut pembebasan tersebut dengan menginggalkan kerajaan dan rumah mereka untuk menjadi seorang Bikhuni, meskipun tiga bulan setelah wafatnya sang Buddha para Bikhu lebih mendominasi dan membuat beberapa aturan untuk para Bikhuni.8 Kemudian pada periode modern, lahirnya pembaharuan-pembaharuan yang menafsirkan dan merasionalkan alasan perlunya perubahan peranan perempuan dalam gerakan kemerdekaan, posisi perempuan Hindu
dalam
konstitusi dan negara sekuler baru, serta penilaian kritis terhadap perkembangan yang terjadi selama Tahun Perempuan Internasional.9 Pada abad ke sembilan belas seorang tokoh nasionalis sekaligus rohaniawan Hindu akhirnya membuka jalan kebebasan untuk perempuan Hindu, mereka terlibat dalam gerakan kampanye perempuan India terhadap penajajahan Inggris. Mahatma Gandhi menempatkan perempuan-perempuan India ke dalam asrama, mereka membahas masalah-masalah perempuan dan mengikuti 7
Zakiyuddin Baidhawy (ed.), Wacana Teologi Feminis: perspektif agama, geografis, dan teori-teori (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 19-22. 8
Sri Suhanjati Sukri&Ridin Sofyan, Perempuan dan Seksualitas, hlm. 14.
9
Kathrine K. Young “Hindu” dalam Arvind Sharma, Perempuan Dalam Agama, hlm. 82.
6
kuliah-kuliah tentang perempuan. Inti dari pembahasan-pembahasan tersebut adalah kebebasan bagi perempuan. Salah satu surat Gandhi terhadap perempuan Hindu: “Perempuan merupakan gambaran dari pengorbanan diri. Namun sekarang pengorbanan dirinya terbatas dalam lingkungan keluarganya. Mengapa ia tidak melakukan pengorbanan yang lebih besar untuk bangsa daripada pengorbanan yang dilakukannya untuk keluarga?”10 Pembebasan yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi tidak lantas menyelesaikan masalah-masalah perempuan Hindu yang selama ini hidup dalam budaya Patriarki, di mana dewa-dewa lebih mayoritas dan dominan tugas-tugasnya dari dewi-dewi yang disembah. Meskipun ada sejarah yang diasumsikan bahwa sebelum kedatangan bangsa Arya, bangsa Drawida bersifat matriarki dan tidak mengenal kasta-kasta.11 Dalam setiap ritual dan prosesi peribadatan, laki-laki Hindu senantiasa menduduki peran sentral yang lebih dekat dengan dewa-dewa saat melakukan pemujaan. Perempuan lebih difokuskan pada pemujaan-pemujaan dan doa seputar kehidupan keluarga dengan maksud agar dewa-dewa dan dewi-dewi berkenan untuk memberikan kebahagiaan dalam keluarga. Namun setelah masa pembebasan, perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk terlibat sebagai pemimpin peribadatan. Sejarah perempuan Hindu di India dengan perempuan Hindu di Indonesia sangat berbeda dari latarbelakang kebudayaannya. Agama Hindu di 10
Kathrine K. Young “Hindu” dalam Arvind Sharma, Perempuan Dalam Agama, hlm. 82.
11
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia,1989),
hlm. 10.
7
Indonesia bercorak kerajaan pada masa-masa kejayaannya. Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu, umat Hindu menyebar ke berbagai daerah kemudian beradaptasi dengan kebudayaan pada daerah tersebut, kecuali umat Hindu di Bali yang membentuk kebudayaannya sendiri sebab pulau Bali saat dijadikan tempat pelarian oleh umat Hindu dalam kondisi tidak berpenghuni. Perempuan Hindu dalam konteks Indonesia telah mendapatkan akses dan kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam memimpin peribadatan dan melakukan pelayanan kepada umat. Hal tersebut dapat dilihat dalam syarat-syarat untuk menjadi orang suci atau pemimpin peribadatan tidak menekankan hanya lakilaki saja yang bisa. Kesempatan yang diberikan kepada perempuan, merupakan bentuk keterbukaan agama Hindu dan pengakuannya akan bentuk keadilan, yang menjadi dilematis bahwa semenjak perempuan Hindu diberikan akses untuk menjadi pemimpin dalam peribadatan, sampai saat ini masih sangat jarang untuk menemukan perempuan yang menjadi pemimpin ibadat. Suksesnya kegiatan upacara keagamaan sebagai poros keberhasilan melakukan Panca Yajna terletak pada kesungguhan, ketulusan dan pemahaman secara menyeluruh dari komponen Sang Yajamana (pelaku Yajna), orang yang membuat sarana sampai menjadi upakara dan sesajian dinamakan Sang Sarathi, dan yang menyelasaikan atau memimpin upacara Yajna dinamakan sang Manggala.12 Diantara tiga komponen tersebut
12
I Made Sujana, Nyoman Susila dkk., Pedoman Sarathi Banten (Denpasar: Widya Dharma, 2008), hlm. 15.
8
Manggala memiliki peran inti akan terwujudnya dua komponen lainnya. Karena Manggala menjadi perwakilan dalam hubungan antara pemujaan umat kepada Sang Hyang Widhi. Dalam agama Hindu pemimpin peribadatan dibagi dalam dua tingkatan yakni Dwi jati atau biasa disebut dengan Pandita atau Sulinggih atau Pedanda untuk wilayah Bali. Selanjutnya Eka Jati atau biasa disebut Pinandita, Pemangku, Wasi dan sejenisnya.13Untuk wilayah Yogyakarta misalnya, hanya terdapat dua Pandita karena untuk mencapai tahap ini orang Hindu harus melalui beberapa ujian dan pengakuan langsung baik dari umat maupun lembaga PHDI (Persatuan Hindu Dharma Indonesia), sebelumnya pernah ada Pandita atau Pedanda perempuan di daerah Jawa Tengah yakni Ratu Gayatri yang juga berasal dari keturunan Pandita. Namun masa kepanditaannya hanya 2010 sampai 2013 karena meninggal dunia. Sedang untuk jumlah Pinandita terdapat 55 orang dan semuanya laki-laki. Berdasarkan informasi dari Kementrian Agama wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, belum pernah ada perempuan Hindu yang diangkat menjadi Pandita ataupun Pinandita di Yogyakarta.14 Walaupun dari hasil wawancara dengan seorang Pinandita di Pura Jagadnata Sorowajan Bantul yakni Wasi Sastro Widodo bahwa sudah ada satu orang perempuan yang dapat dikatakan sebagai “calon” Pinandita namun sampai saat ini masih dalam tahap belajar dan belum bisa melakukan 13
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta: Kementerian Agama republik Indonesia, 2010), hlm. 116. 14
Hasil wawancara dengan kepala bimbingan masyarakat Hindu kementerian agama wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 22 Mei 2014 di kantor kementerian agama wilayah DIY.
9
pelayanan sepenuhnya kepada umat, perempuan tersebut bernama ibu Ida Ayu.15 Pada tanggal 31 Mei, ibu Ida Ayu juga ikut dalam peribadatan hari raya Kuningan di Pura Karang Gede. Selama peribadatan berlangsung, penulis tidak melihat perbedaan yang spesifik dalam tugas ibu Ida Ayu dan para Pinandita, namun status mereka tetap saja berbeda, ibu Ida Ayu sampai saat ini masih menjadi “calon” Pinandita sedangkan yang lain sudah resmi diangkat menjadi Pinandita. Sejauh ini peran perempuan yang paling terlihat dalam peribadatan adalah Pinandita istri yakni istri Pinandita yang secara tidak langsung diberikan tugas-tugas dalam mengurusi sesaji-sesaji dalam peribadatan, karena sesaji merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan ibadah. Dengan melihat realitas tersebut bahwa ada kesenjangan yang cukup jauh antara konsep ideal dalam agama Hindu dan kenyataan yang ada. Bentuk-bentuk kasta dalam agama Hindu saat ini tidak lagi sepenuhnya berpegang pada keturunan, tetapi berpegang pada sejauh mana seorang Hindu mampu menjadi umat yang memiliki tugas-tugas yang mulia di muka bumi ini, dan yang mendapat posisi kasta tertinggi adalah mereka yang menjadi orang-orang suci yang memimpin peribadatan dan dihormati oleh umatnya. Secara pragmatis perempuan Hindu juga menginginkan posisi
15
Hasil Wawancara dengan Wasi Sastro Widodo, pada tanggal 31 Mei 2014 di Pura Jagadnata Sorowajan Bantul.
10
demikian, menjadi pemimpin dan dapat melayani umat. Namun baru sebagian kecil saja yang bisa mencapainya. Aturan umum untuk menjadi orang suci (Pandita atau Pinandita) yaitu suci dalam artian berbudi pekerti luhur, taat dalam ibadah, menjauh dari segala bentuk nafsu duniawi dan mampu dalam melakukan pelayanan yang tulus terhadap umat. Selanjutnya memiliki pengetahuan yang cukup dalam kitab suci Weda dan mampu untuk mengamalkannya dalam setiap peribadatan. Mengamati hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh, bagaimana ajaran agama Hindu dalam peribadatan, Adakah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peribadatan, sejauh apa keterlibatan perempuan Hindu dalam prosesi peribadatan. Bagaiamana usaha dan kemampuan perempuan Hindu untuk menjadi pemimpin peribadatan. Jika syarat yang tidak dapat dipenuhi adalah suci, bisa berarti perempuan lebih dekat dengan hawa nafsu dunia itu sendiri dan sulit untuk menjadi panutan ditengah umat, tapi disisi lain perempuan selalu diidentikkan dalam pelayanannya yang tulus kepada keluarga khususnya. Namun jika syarat
yang tidak dapat dipenuhi adalah pengetahuan kitab suci Weda,
mungkin kesempatan dan keinginan perempuan itu sendiri dalam menuntut ilmu agama khususnya mempelajari Weda sangat minim. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
11
1. Bagaimana perempuan Hindu dalam kitab suci? 2. Bagaimana peran perempuan Hindu Yogyakarta dalam peribadatan? 3. Apa faktor yang melatarbelakangi minimnya keterlibatan perempuan Hindu Yogyakartadalam memimpin peribadatan? C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian: a. Untuk mengetahui gambaran perempuan Hindu dalam kitab suci. b. Untuk mengetahui dan mengungkap peran perempuan Hindu Yogyakarta dalam peribadatan. c. Untuk mengetahui alasan atau hal-hal yang melatarbelakangi minimnya keterlibatan perempuan Hindu Yogyakarta untuk menjadi pemimpin peribadatan. 2. Kegunaan Penelitian: a. Secara
teoritis,
mengembangkan
penelitian penelitian
ini
diharapkan
menambah
dan
Fenomenologi
Agama
dan
perbandingan agama, terutama dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai perempuan Hindu dalam peribadatan. b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu bacaan yang memberi petunjuk sejauh apa perempuan Hindu berperan dalam peribadatan, kemudian menjadi bahan bacaan yang berpengaruh dan mampu untuk meningkatkan jumlah Pemimpin perempuan Hindu yang mau dan mampu melayani umat Hindu dalam peribadatan. Baik itu berasal dari keinginan dan gerakan
12
perempuan itu sendiri maupun akses dan kesempatan yang jelas dan terbuka. D. Tinjauan Pustaka Sejauh proses pencarian penulis mengenai tulisan atau penelitian yang berkaitan dengan tema yang diangkat “Perempuan Hindu dalam Peribadatan” belum ada yang membahas secara spesifik. Namun ada beberapa tulisan yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas dalam penelitian ini, yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan acuan, pertimbangan dan perbandingan. Tinjauan pustaka ini juga dimaksudkan agar tulisan ini terhindar dari unsurunsur plagiasi. Penelitian Kurniasih yang berjudul “Perempuan Dalam Agama Hindu (Studi Pemikiran Mahatma Gandhi)” yang ditulis pada tahun 2003.16 Penelitian ini membahas tentang pemikiran-pemikiran Mahatma Gandhi terhadap perempuan Hindu yang selama ini terbatas dalam ruang gerak keluarga dan berada di bawah pengawasan laki-laki. Mahatma Gandhi menjadi tokoh yang mampu menggerakkan perempuan Hindu untuk keluar dari ruang gerak yang terbatas. Inti dari pemikirannya yakni perempuan Hindu harus diperlakukan setara dengan laki-laki. Gandhi memulai gerakannya dengan menumbuhkan kesadaran kaum perempuan dan kaum laki-laki Hindu akan kesetaraan yaitu Satyagraha dan Ahimsa.
16
Kurniasih, “Perempuan Dalam Agama Hindu”, Skripsi Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2003, hlm. viii.
13
Penelitian Hasiholan yang berjudul “Perempuan Hindu Dalam Pemikiran Mahatma Gandhi” yang ditulis pada tahun 2009.17 Penelitian ini membahas bagaimana perempuan dalam agama Hindu menurut Mahatma Gandhi dan apa konstribusi Mahatma Gandhi terhadap pergerakan perempuan Hindu di India, hasil dari penelitian ini memaparkan bahwa perempuan Hindu sangat tabah selama masa-masa diskriminasi terhadap mereka dan merupakan simbol
dari
pengorbanan.
Selanjutnya
Mahatma
Gandhi
melakukan
reinterpretasi baru tentang perspektif agama Hindu dan melahirkan konsep yang dinamakan Ahimsa dan Satyagraha. Gandhi juga melakukan penolakan terhadap pernikahan dini dan mengusung perkawinan kembali bagi para janda. Penelitian Achmad Mulia Sobirin, dengan judul “Perempuan Dalam Hukum Adat Hindu Bali: Tinjauan Antropolgi Agama dan Feminimologi Agama di Desa Banjar Dawan Klungkung Semarapura Bali” yang ditulis pada tahun 2009.18Tulisan ini menjelaskan tentang perempuan Hindu di Bali yang begitu kuat dengan peran ganda. Di rumah mereka sebagai ibu rumah tangga dan di luar mereka juga menjadi salah satu sumber pencari nafkah keluarga. Tulisan ini juga memaparkan bagaimana posisi perempuan Hindu dalam Hukum adat diantaranya: hukum adat perkawinan, warisan dan kematian. Namun penelitian ini tidak sampai pada analisis bahwa perempuan Hindu 17
Hasiholan, “Perempuan Hindu Dalam Pemikiran Mahatma Gandhi”, Skripsi Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Syarifhidayatullah, 2009, hlm. viii. 18
Ahmad Mulia Sobirin, “Perempuan Dalam Hukum Adat Hindu Bali: Tinjauan Antropologi Agama dan Fenomenologi Agama di Desa Banjar Dawan Klungkung Semarapura Bali” Skripsi Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2009, hlm. ix.
14
dalam menjalani peran mereka, seperti apa beban tersendiri yang mereka rasakan jika menggunakan kacamata gender. Skripsi Ainun Naimah, “Pendeta Perempuan Dalam Gereja Kristen Jawa Yogyakarta” yang ditulis pada tahun 2013.19 Penelitian ini memaparkan tentang peran Pendeta perempuan dalam gereja kristen Jawa yang mana hidup dalam budaya Patriarki. Hasil dari penelitian ini bahwa para Pendeta Perempuan tersebut mampu untuk keluar dari latarbelakang budaya Jawa yang bersifat patriarki. Meskipun jumlah Pendeta perempuan dalam gereja Kristen Jawa hanya sedikit dan berbanding jauh dengan pendeta laki-laki, pembagian tugas dan peran tidak ada bedanya dengan pendeta laki-laki. Penelitian ini menggunakan subjek penelitian yang berbeda dengan rencana penelitian penulis. Tetapi ada kesamaan dalam hal peran perempuan dalam peribadatan dan melayani umat. Letak perbedaan penelitian penulis dengan beberapa karya ilmiah di atas yaitu: pertama subjek penelitian yang berbeda, dengan mengangkat tema Perempuan Hindu Dalam Peribadatan. Kesempatan mereka untuk menjadi seorang Pandita dan Pinandita salah satunya. Dengan menggunakan perspektif gender dan seksualitas, penelitian ini nantinya berusaha mengkaji dan memaparkan hal-hal yang melatarbelakangi minimnya keterlibatan perempuan Hindu untuk menjadi pemimpin peribadatan.
19
Ainun Naimah, “Pendeta Perempuan Dalam Gereja Kristen Jawa”, Skripsi Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2013, hlm. viii.
15
E. Kerangka Teori Filsafat perenial menerangkan kepada kita, bahwa manusia yang berada pada wilayah eksoteris, memiliki kecenderungan atau hasrat untuk menyadari dan memikirkan keberadaan Tuhan pada wilayah esoteris. Begitupun sebaliknya, Tuhan yang berada pada wilayah esoteris juga memberi tanda dan petunjuk kepada manusia akan keberadaanNya.20 Tanda atau petunjuk tadi kemudian berusaha dipahami oleh manusia dengan berbagai macam bentuk kebudayaan, wilayah geografis, maupun pemikiran-pemikiran yang berbeda. Salah satu bukti dari keyakinan manusia akan keberadaan Tuhan, dengan melakukan pemujaan-pemujaan sebagai wujud rasa takjub, takut, permohonan maupun pengabdian. Dengan berkiblat kepada judul dari penelitian ini, maka diperlukan teori yang nantinya membantu untuk melihat bagaimana peran perempuan Hindu dalam peribadatan. Sebab membahas perempuan itu sendiri, secara tidak langsung akan membahas laki-laki yang menjadi tolak ukur sejauh apa keduanya saling membagi peran. Tarik-menarik antara idealisme dan empirisme seakan tidak pernah habis. Dalam ranah sosial, masalah selalu hadir beriringan dengan kesadaran manusia itu sendiri. Sehingga pemahaman dan pemaknaan yang dibentuk oleh manusia mengalami pergeseranpergeseran. Michel Foucault dengan gagasannya mengenai Arkeologi Ilmu Pengetahuan dan Genealogi Kekuasaan, yang secara khusus dia tertarik pada
20
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan,
1994)
16
pernyataan-pernyataan awal di bidang sejarah. Dia ingin menemukan kondisikondisi dasar sebuah diskursus tercipta. Ketika ia membentuk suatu sains atau disiplin, bukan berasal dari subjek manusia atau pengarang, tetapi berasal dari aturan-aturan diskursif dasar dan praktik-praktik yang masih ada pada situasi dan kondisi saat itu.21 Di tengah perkembangan pesat yang dialami oleh ilmu pengetahuan, Michel Foucault justru kembali mempertanyakan letak ilmu pengetahuan itu sendiri dihadapkan dengan manusia. Di mana dalam proses penemuan ilmuilmu tersebut tidak dapat dipisahkan dari kuasa ilmuan sendiri. Keberpihakan yang secara sadar atau tidak ternyata terkandung dalam ilmu pengetahuan yang dalam aturan bakunya harus bersifat netral atau bebas nilai dan seobjektif mungkin. Posisi ilmu pengetahuan yang bebas nilai dan objektif sesungguhnya menimbulkan sama-samar, harusnya ilmu pengetahuan senantiasa berpihak,
yaitu berpihak
pada
keadilan,
kesetaraan
dan
kemerataan.22 Michel Foucault dalam kutipannya: “Saya berharap bahwa disetiap masyarakat produksi diskursus segera dikontrol, diseleksi, diatur dan diresdistribusi berdasarkan sejumlah prosedur yang pasti, dan perannya adalah untuk mencegah kekuasaan dan bahayanya, untuk mengatasi pengetahuan-
21
George Ritzer, Teori Sosial Postmodern terj. Muhammad Taufik, (Yogyakarta: Juxtapose dan Kreasi Wacana, 2006), hlm. 67-78. 22
Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan Teori Sosial Maskulin (Yogyakarta: Jendela, 2004), hlm. XXIV-XXV.
17
pengetahun yang berubah, untuk menyingkirkan hal yang memberatkan, menyingkirkan hal material yang mempesona”.23 Apa yang diilhamkan oleh Foucault, diaminkan oleh para feminis bahwa yang melatarbelakangi kondisi perempuan yang termarginalkan saat ini, juga berasa dari kekuasaan yang direduksi oleh para pencetus teori-teori dalam ilmu pengetahuan, notabenenya adalah laki-laki. yang secara sadar atau tidak, kepentingan-kepentingan mereka ikut dalam teori tersebut. Dengan kata lain bahwa hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan selalu timbal balik. Menurut Easle, fakta bahwa sebagian besar ilmuan adalah laki-laki, menimbulkan masalah tersendiri bagi representasi perempuan dalam institusi ilmu.24, bahwa ada diskriminasi dan praktik dari isntitusi ilmu terhadap perempuan. Krisis kepercayaan kaum feminis dengan teori-teori sosial yang menawarkan kesetaraan, akhirnya mereka menghadirkan cara pandang tersendiri, diantaranya yang dikenal sebagai alat analisis gender. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.25Sejak tahun 1970an, studi tentang wanita mulai banyak dilakukan oleh para ilmuan. Alat analisis yang selalu digunakan dalam studi tersebut adalah gender, Selama berabad-abad, dalam peradaban Barat, gender menjadi kata yang bermakna sekedar untuk 23
Sebagaimana dikutip oleh Gerge Ritzer dalam Teori-Teori, hlm. 78.
24
Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan Teori Sosial Maskulin hlm. XXIV-XXV. 25
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi, hlm. 8.
18
membedakan sifat yang melekat pada jenis kelamin, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Ann Oakley baru pada 1972 memperkenalkan gender sebagai alat untuk membedakan antara sifat ketentuan atau takdir biologis, dengan suatu ketentuan manusia, yakni konstruksi sosial dan budaya.26 Dengan perspektif gender, membawa
manusia dan ilmu-ilmu sosial
memasuki kesadaran baru yakni suatu kesadaran bagaiamana konstruksi budaya gender telah membawa pada bencana, ketidakadilan, diskriminasi dan berbagai proses dehumanisasi lainnya terhadap kaum perempuan. Dengan cara ini fokus kajian tidak hanya tertuju pada perempuan tetapi juga pada laki-laki yang secara langsung berpengaruh di dalam pembentukan realitas hidup perempuan. Pendekatan semacam ini akan menjelaskan dominasi dan subordinasi antara hubungan-hubungan kekuasaan secara
umum yang
ternyata memberi pengaruh sangat penting dalam kehidupan perempuan secara luas. Dalam aliran feminisme radikal, meyakini bahwa posisi perempuan yang termarginalkan dalam berbagai aspek kehidupan, disebabkan oleh kondisi kaum perempuan menjadi dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki di yakini sebagai bentuk dasar penindasan. Patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan, sedangkan feminisme liberal berasumsi bahwa kondisi perempuan saat ini dikarenakan keterbelakangan dan ketidakmampuan kaum perempuan
26
Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis, hlm. XXI-XXII.
19
bersaing dengan laki-laki. Hal itu menjadi kelemahannya sendiri akibat dari kebodohan dan sifat irrasional yang berpegang teguh kepada nilai-nilai.27 Michel Foucault kembali membangkitkan minat ahli ilmu sosial untuk meneliti tubuh sebagai bidang kajian yang cukup penting. Bukan hanya dalam pemahaman sejarah dan manajemen setiap anggota tubuh, melainkan juga sejarah rezim medis telah menemukan arena legitimasi kekuasaannya melalui tubuh manusia. Munculnya minat ini juga semakin melemahkan pengaruh asumsi biologis yang menegaskan bahwa tubuh merupakan fenomena biologis yang tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu sosial. Karena setiap bagian tubuh memiliki biografinya sendiri, memiliki sejarah kehidupan yang meliputi berbagai proses perubahan dan tindakan-tindakan yang pernah diambil untuk mengendalikan, mengatur, bahkan menertibkan setiap gerak-gerik tubuh. Cara-cara yang ditempuh oleh individu dalam pengaturan tubuh terkait langsung dengan kontrol sosial. Secara sosial, tubuh tidak terlepas dari pengaturan, pemonitoran secara tetap, penertiban dan pengendalian.28 Akhirnya aliran feminisme juga melakukan kajian mengenai hubungan antara tubuh perempuan dengan pandangan dan posisinya diantara laki-laki. bahwa karena kondisi biologis, khususnya organ reproduksi dari perempuan, menjadikan perempuan the second human dalam kehidupan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dalam segala aspek peran didominasi oleh laki-laki.
27
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi, hlm. 84-97.
28
Irwan Abdullah, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan (Yogyakarta: Tarawang Press, 2001), hlm. 67.
20
Menurut kamus kesehatan, seksualitas adalah istilah komposit yang mengacu pada totalitas kedirian. Seksualitas menunjukkan karakter manusia kita. Bukan hanya tindakan seksual kita dan memiliki implikasi tentang arti total sebagai pria atau wanita. Seksualitas berkaitan dengan variabel biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual dari kehidupan, yang mempengaruhi perkembangan kepribadian dan hubungan interpersonal. Hal ini termasuk persepsi diri, harga diri, sejarah pribadi, citra tubuh dan lain-lain.Berbicara tentang seksualitas dalam ilmu sosial, berarti kita sedang berada dalam tiga aspek yaitu: norma (aturan-aturan yang berlaku), nilai (ukuran baik dan buruk), kemudian orientasi (kecenderungan atau keinginan). Jika dihadapkan dengan tubuh perempuan saat ini, mereka belum mampu untuk keluar dari stereotipe sebagai objek seksual. Bahkan pemahaman keagamaan juga ikut melanggengkannya. Perempuan dengan organ reproduksi yang kompleks, menjadikan pengetahuan-pengetahuan keagamaan menciptakan karya-karya seputar aturan-aturan dalam kerberagamaan. Sepertih halnya Fikih wanita dalam Islam dan Stridharma (tingkah laku ideal seorang perempuan Hindu). Dari teori Michel Foucault tentang genealogi kekuasaan yang menghasilkan diskursus-diskursus yang juga merambat kepada stigma-stigma mengenai tubuh atau jenis kelamin. Para feminis mentransformasi teori tersebut kedalam perspektif gender dan seksualitas, penulis mencoba menggunakannya untuk mengkaji dan menganalisa tema yang penulis angkat yaitu
“Perempuan
Hindu
Dalam
Peribadatan
Di
Daerah
Istimewa
Yogyakarta”. Dimana perempuan Hindu yang senantiasa dihadapkan dengan
21
budaya patriarki disekitarnya. Dalam kegiatan keberagamaannya juga senantiasa dihadapkan dengan aturan-aturan peribadatan. Misalnya laranganlarangan ketika memasuki tempat ibadah (Pura) saat menstruasi, habis melahirkan (masa Cuntaka). Tetapi ditengah kondisi tersebut, konsep agamanya
sangat
terbuka dan
membolehkan akan
adanya
seorang
Pandita/Pinandita perempuan untuk menjadi pemimpin peribadatan dan melakukan pelayanan umat. Melihat, menganalisis ataupun meninjau ulang ajaran-ajaran Agama atau hal yang bersifat theologi yang begitu disakralkan dengan menggunakan perspektif gender dan seksualitas, dapat dikatakan tidak mudah. Sebab kondisi yang sudah ada dan tertanam di masyarakat atau umat agama selama ini dianggap bagian dari perintah Tuhan. Sehingga hal yang tabu untuk kembali mempertanyakan ajaran-ajaran atau kondisi tersebut. Akan tetapi pengetahuan dan pemahaman keagamaan, tidaklah jauh berbeda dengan apa yang ada dalam ilmu pengetahuan. Sebab dalam agama samawi misalnya, berbagai penafsiran terhadap kitab suci terkadang tidak mampu untuk mewakilkan maksud-maksud Tuhan di bumi ini. Lain halnya dengan agama duniawi seperti agama Hindu yang Kitab sucinya menurut beberapa ahli, berasal dari tulisan para kaum Brahmana yang memliki pengaruh begitu kuat dalam konsep-konsep keagamaan Hindu. Kemudian kondisi yang telah matang tidak hanya dibentuk oleh konsep keagamaan, melainkan konsep kebudayaan yang mengakar dalam masyarakat itu sendiri, hal ini sangat berhubungan dengan teori Foucault mengenai genealogi kekuasaan. Bahwa kondisi yang sudah
22
“dinormalisasikan” akan senantiasa terlihat benar oleh masyarakat pada umumya. F. Metedologi Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis ini adalah penelitian lapangan (Field Research) dan jika merujuk pada objek penelitian maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif yaitu sebuah metode penelitian yang berusaha mengungkapkan keadaan yang bersifat alamiah yang tidak hanya menggambarkan variabel-variabel tunggal melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variable dengan variable lain.29 Secara umum sumber data kualitatif adalah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah.30 1. Menetukan lokasi penelitian Ketertarikan penulis melakukan penelitian tentang perempuan Hindu Yogyakarta dalam kesempatannya untuk menjadi Pinandita, mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Gunung Kidul Kec. Ngawen karena umat Hindu mayoritas berada di Gunung Kidul Kec. Ngawen di bandingkan Kabupaten lainnya. Kemudian lokasi penelitian yang kedua di Kabupaten Bantul daerah Sorowajan (Pura Jagadnata) karena Ketua Sanggrahan Pinandita se Yogyakarta berdomisili di daerah tersebut. 2. Pendekatan
29
M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 58. 30
M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, hlm. 63.
23
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Sosiologi Agama, yaitu dengan meneliti dan menganalisis realitas sosial keagamaan Perempuan Hindu Yogyakarta, bagaiamana minat mereka dalam menjadi Pandita dan Pinandita, apa saja yang menjadi hambatan mereka untuk menjadi Pandita dan Pinandita. 3. Pengumpulan data a. Jenis data yang dikumpulkan oleh peneliti adalah jenis data menurut sumbernya, yaitu: 1.) Data primer, yakni data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber subjek peneliti untuk tujuan khusus.31 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah perempuan Hindu Yogyakarta, Gunung Kidul, Kec. Ngawen dan perempuan Hindu Kabupaten Bantul, Sorowajan. Dan juga para pinandita. 2.) Data sekunder, yakni data yang nantinya dapat menunjang selama proses penelitian. b. Teknik pengumpulan data 1.) Wawancara Ada dua jenis wawancara yang lazim digunakan oleh para peneliti yaitu wawancara tersruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur merupakan wawancara yang sebagian jenis pertanyaannya telah ditentukan sebelumnya sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara 31
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1990), hlm. 162.
24
yang belum ditentukan jenis dan garis besar pertanyaan yang akan ditanyakan pada informan.32 Terkait dengan penelitian ini, penulis menggunakan kedua jenis wawancara tersebut. Dengan wawancara terstruktur penulis membuat struktur pertanyaan yang ditanyakan kepada
informan
dengan
maksud
agar
arah
dan
tujuan
pertanyaannya sesuai dengan objek yang diteliti. Selain itu, wawancara tidak terstruktur juga dipakai oleh penulis guna melengkapi data-data yang sepatutnya dipertanyakan saat itu untuk dijadikan sebuah data penelitian. Pihak-pihak yang akan di wawancarai dalam pengumpulan data ini diantaranya: Pengurus PWHDI (Persatuan Wanita Hindu Dharma Indonesia), beberapa wanita Hindu yang berada di kec. Ngawen dan Bantul, ketua PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia)Yogyakarta, anggota Sanggrahan Sulinggih Yogyakarta. 2.) Dokumentasi Data dokumentasi yang akan di kumpulkan yaitu, dokumendokumen resmi baik berupa catatan, maupun gambar yang dapat melengkapa data-data yang dibutuhkan. Diantaranya, peraturan lembaga PHDI Yogyakarta mengenai syarat dan ketentuan menjadi Pinandita, data pinandita perempuan yang pernah ada baik itu di luar daerah Yogyakarta. Isi kitab suci veda yang membahas tentang perempuan dalam peribadatan. 32
Ahmad Tanzah, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 63
25
3.) Observasi Observasi ialah pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematik mengenai fenomena yang diselidiki.33 Yakni suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta merekam perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Teknik observasi dalam penelitian ini untuk mengamati secara langsung kegiatan perempuan Hindu Yogyakarta yang menjadi subjek penelitian
dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam
keluarga maupun dalam peribadatan di Pura. 4. Analisis data Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
deskriptif-analisis
yaitu
mengorganisasikan
dan
mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.34 Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis gender dan seksualitas yang nantinya akan menghasilkan informasi mengenai perbedaan dan persamaan yang didapatkan oleh laki-laki dan perempuan dalam relasi gender hubungannya dengan peran dalam peribadatan keagamaan Hindu. Dan dengan analisis seksualitas akan memperlihatkan apakah 33
Suharsini Sukanto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 234. 34
Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 103.
26
perempuan Hindu Yogyakarta juga masih berada dalam berbagai konstruk dan diskursus seksualitas yang melahirkan ketimpangan gender atau tidak. G. Sistematika Penulisan Pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima Bab. Hal ini dimaksudkan agar lebih memudahkan peneliti dalam melakukan pembahasan dan dapat memenuhi unsur-unsur yang sebaiknya masuk dalam pembahasan. Setiap Bab merupakan satuan yang tidak berdiri sendiri, kelimanya disusun dalam sistematika yang saling berkaitan erat, membentuk satu kesatuan dari seluruh isi penelitian. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut: Bab I, berisi tentang pendahuluan yang berisi tentang pertanggung jawaban metodologis penulis dalam penulisan skripsi ini, yang meliputi subsub bab, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Dengan demikian akan ada arah yang jelas sehingga tidak terjadi kesalah fahaman, penyimpangan dari pokok masalah dan peyimpangan tujuan penelitian dapat dihindari. Bab II, menguraikan atau mendeskripsikan situasi dan kondisi yang berkaitan dengan subjek penelitian yang dikaji, meliputi letak geografis dan akses wilayah, jumlah umat Hindu, budaya yang dianut masyarakat sekitar.
27
Bab III,berisikan tentang peribadatan dalam agama Hindu, pengertian Pandita dan Pinandita, syarat, tugas dan wewenangnya. serta kitab suci yang membahas tentang perempuan Hindu. Bab IV, berisikan penjelasan tentang peran dan posisi perempuan Hindu dalam peribadatan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi minimnya Pandita dan Pinandita perempuan Hindu di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bab V, merupakan akhir dari penelitian ini yang berisi penutup yang meliputi kesimpulan penelitian, saran-saran dengan lampiran-lampiran yang berhubungan dengan penelitian ini.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan tahap-tahap pembahasan, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai inti atau jawaban dari permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Perempuan Hindu di dalam kitab suci memiliki dua sisi yang terkadang berlawanan. Pada beberapa uraian, perempuan Hindu disebut begitu terhormat dan menjadi sumber kebahagiaan bagi keluarga. Namun disamping penghormatan yang diberikan, perempuan Hindu secara halus diarahkan untuk lebih berperan dalam wilayah domestik dari padawilayah publik. Hal tersebut digambarkan dalam kitab suci yang menyebutkan bahwa perempuan Hindu sebaiknya ahli dalam mengurus alat0alat rumah tangga dan sebagainya. 2. Perempuan Hindu dalam hal peribadatan mendapat peran yang pasif dan juga minim. Profesi sebagai Sarathi Banten lebih banyak dipilih oleh perempuan dari pada menjadi Pandita atau Pinandita. Sarathi Banten menjadi pendamping atau asisten pemimpin peribadatan. Profesi tersebut menggambarkan posisi perempuan dalam pribadatan selalu berada pada kelas dua atau
91
92
subordinatif. Dan sulit untuk menyeimbangi laki-laki karena termarginalkan dengan berbagai aturan seperti larangan masuk pura saat menstruasi dan habis melahirkan yang menjadi halangan untuk lebih aktif dalam peribadatan. 3. Faktor yang menyebabkan minimnya perempuan Hindu menjadi pemimpin peribadatan diantaranya: budaya Jawa yang menjadi bagian dari kehidupan perempuan Hindu Yogyakarta. Dimana budaya Jawa bersifat patriarki selain itu ajaran-ajaran teologi
Hindu
dalam
kitab
suci,
pembahasan
tentang
perempuan yang menggambarkan perempuan ideal dalam agama Hindu adalah perempuan yang selalu patuh dan tunduk kepada laki-laki, secara tidak langsung memberikan posisi yang tinggi terhadap laki-laki di hadapan perempuan. B. Saran Penelitian lebih difokuskan pada perempuan Hindu dalam peribadatan pada Daerah Iatimewa Yogyakarta. Hal-hal yang belum dibahas atau diteliti dalam penulisan ini diantaranya: a. Perempuan Hindu dalam kehidupan sosial b. Perempuan Hindu dalam ranah politik c. Perempuan Hindu dalam bidang pendidikan d. Perempuan Hindu dalam bidang kesehatan misalanya tentang Program Keluarga Berencana.
93
DAFTAR PUSTAKA Ali, M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002. Ali,M. Sayuthi.Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Baidhawy, Zakiyuddin(ed.). Wacana Teologi Feminis: perspektif agama, geografis, dan teori-teori. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997. Departemen Agama RI Ditjen Agama Hindu dan Buddha. Pengarusutamaan Gender. Surabaya: Paramita. 2005. Departemen Agama RI Ditjen Bimas Hindu, Buku Pelajaran Agama Hindu Untuk SLTA Kelas 2 (Smester 1&2).Surabaya: Paramita. 2006. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Republik Indonesia. Materi Pokok: Dasar-Dasar Agama Hindu, Jakarta: 2010. Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012. Frithjof Schuon. Islam dan Filsafat Perenial terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan. 1994. Gandhi, Mahatma. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial terj. Chodijah Nasution. Jakarta: Bulan Bintang. 1977. Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1989. Harits, Syamsuddin. Salam, Abdul dkk. Fenomenologi Agama Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1985. Hidayat, Rachmad. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Jendela. 2004. Irianto,Sulistyowati.Perempuan dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2000. Irwan, Abdullah. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press. 2001. J.R. Raco. Metode penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo. 2010 Keene, Michael. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
94
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pendidikan Agama Hindu dan Budipekerti. 2013. Maswinara, I Wayan. Gayatri Shadana Maha Mantra Menurut Weda Surabaya: Paramita. 2009. Mercia Eliade. Sakral dan profan terj. Nuwanto. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru 2001. Netra, Anak Agung Gde Oka. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Denpasar: Widya Dharma. 2009. Ngurah, I Gusti Bagus. Suatama, Ida Bagus dkk. Materi Pokok Dasar-Dasar Agama Hindu. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Hindu Kementerian Agama Republik Indonesia. 2010. Puniatmaja, Ida Pedanda Gede Oka. Etika Hindu. Denpasar: ESBE buku, 2012. Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern terj. Muhammad Taufik. Yogyakarta: Juxtapose dan Kreasi Wacana. 2006. Romdhon, Basuki A. Singgih. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988. Rosyidah, Ida. Gandhi’s Ideas of Women Hinduism. Jakarta: REFLEKSI Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. 2006. Sharma, Arvind (ed.). Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Suka Press. 2006. Sharma, Arvind. agama Hindu. terj. Ngakan Made Madrasuta dan Sanh Ayu Putu Renny. Surabaya: Paramitha. 2000. Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008. Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka Alhusna. 1983. Sujana, I Made. Susila, Nyoman dkk. Pedoman Sarathi Banten. Denpasar: Widya Dharma. 2008. Sukanto, Suharsini. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 1993. Sukri, Sri Suhanjati & Sofyan,Ridin. Perempuan dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2001.
95
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik Bandung: Tarsito. 1990. Tanzah, Ahmad. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Teras. 2009. Triguna, IBG Yuda. Himpunan Dharma Wacana dan Dharma Tula. Jakarta: Ditjen Bimas Hindu. 2011. Umar, Nazaruddin. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. 1999. Wach, Joachim. Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan. Jakarta: Rajawali Pers. 1996. Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2004.
Skripsi: Kurniasih. Perempuan Dalam Agama Hindu. Skripsi Jurusan Perbandingan Agama. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. 2003. Hasiholan.Perempuan Hindu Dalam Pemikiran Mahatma Gandhi. Skripsi Jurusan Perbandingan Agama. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Syarifhidayatullah. 2009. Sobirin,Ahmad Mulia.Perempuan Dalam Hukum Adat Hindu Bali: Tinjauan Antropologi Agama dan Fenomenologi Agama di Desa Banjar Dawan Klungkung Semarapura Bali.Skripsi Jurusan Perbandingan Agama. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. 2009. Naimah,Ainun.Pendeta Perempuan Dalam Gereja Kristen Jawa. Skripsi Jurusan Perbandingan Agama. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. 2013. Web: http://www.parisada.org/index.php https://www.facebook.com/pages/Wanita-Hindu-Dharma Indonesia/1689648431
Daftar Lampiran A. Lampiran gambar:
Ibu Ida Ayu sedang membagikan Tirta suci pada umat. (upacara hari kuningan).
Tampak dari jauh seorang sarathi banten yang mendampingi Pandita.
D. Lampiran pertanyaan: 1. Pertanyaan untuk ketua Perhimpuan Hindu Dharma Indonesia, Ketua Sanggrahan Pinandita se-Yogyakarta, dan beberapa pengurus pura: a. Adakah Pandita atau Pinandita perempuan di Daerah Istimewah Yogyakarta? b. Apa faktor yang menyebabkan minimnya perempuan Hindu yang menjadi Pandita dan Pinandita? 2. Pertanyaan untuk ketua WHDI dan beberapa Sarathi Banten: a. Apa tanggapan anda tentang Pandita atau Pinandita perempuan? b. Mengapa jumlah perempuan Hindu yang menjadi Pandita dan Pinandita sangat sedikit? c. Apabila anda diberi kesempatan untuk menjadi Pandita atau Pinandita apakah anda berminat?
CURICULUM VITAE Nama
: Erin Gayatri
Nama Panggilan
: Erin
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat/tangal lahir
: Radda, 21 April 1992 :Desa
Alamat
Mappedeceng,
RT/RW
002/0,
Kecamatan
Mappedeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan Hp
: 085242753911
Nama Ayah
: Saing
Nama Ibu
: Samria
Riwayat Pendidikan : Tahun 1997-2004
SD Negeri 112 Tobulo
Tahun 2004-2007
SMP Negeri 1 Mappedeceng
Tahun 2007-2010
SMA Negeri 1 Masamba
Tahun 2010-2014
Universitas
Islam
Negeri
Sunan
Kalijaga,
Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Perbandingan Agama Keahlian
: 1. Mengoperasikan komputer microsoft office word, excel, powerpoint. 2. Kemampuan Bahasa Inggris sedang namun tidak pasif.
Pengalaman kerja
: Mengajar TPA dan les privat