DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Penulis: Suryo Sakti Hadiwijoyo Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta 55283 Telp. : 0274-889836; 0274-889398 Fax. : 0274-889057 E-mail :
[email protected]
Hadiwijoyo, Suryo Sakti DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA; Dalam Sistem Ketatanegaraan Indoensia/Suryo Sakti Hadiwijoyo - Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013 xii + 230 hlm, 1 Jil.: 26 cm. ISBN: 978-979-756-983-9
1. Ketatanegaraan
I. Judul
PRAKATA
“
Akhir sebuah penantian panjang”, kalimat tersebut layak diucapkan dengan penuh rasa syukur oleh semua pihak yang selama ini menantikan terbitnya Undang-Undang Keistimewaan DIY. Hari Kamis tanggal 30 Agustus 2012, merupakan tonggak bersejarah bagi pengakuan secara legal terhadap eksistensi keistimewaan Yogyakarta, dimana pada hari dan tanggal tersebut telah disahkan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi undang-undang tanpa disertai catatan. Proses panjang yang menyertai proses penyusunan RUU sampai dengan penetapannya menjadi undang-undang telah menguras energi yang cukup besar, baik bagi Pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat Yogyakarta, karena disertai dengan berbagai gejolak dan tarik ulur kepentingan yang sudah barang tentu sarat dengan nuansa politik. Gagasan untuk melakukan pengkajian terhadap keistimewaan Yogyakarta, khususnya berkaitan dengan mekanisme kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan ini muncul sejak penulis mengamati konflik yang menyertai pada saat berakhirnya masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 1998, dimana pada saat itu Pemerintah Pusat (c.q Departemen Dalam Negeri) menghendaki penentuan Gubernur dilakukan dengan cara pemilihan melalui DPRD sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, namun disisi lain masyarakat Yogyakarta menghendaki penetapan langsung Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan perbedaan persepsi tersebut berimbas pada aksi penolakan masyarakat Yogyakarta terhadap kedatangan Menteri Dalam Negeri pada waktu itu yaitu Syarwan Hamid pada saat pelantikan Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta periode 1998-2003. Hal tersebut ternyata kembali terulang pada tahun 2003 pada saat berakhirnya masa jabatan Sri Sultan Hemengku Buwono X sebagai Gubernur periode 1998-2003 dan pada tahun 2008 pada saat berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur periode 2003-2008, bahkan gerakan dari
vi
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Ketatanegaran Indonesia
berbagai elemen masyarakat Yogyakarta yang mendukung penetapan Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus berlangsung hingga saat menjelang ditetapkannya RUU Keistimewaan menjadi undangundang.1 Bersamaan dengan itu telah disusun pula RUU Keistimewaan Yogyakarta dengan berbagai versi sampai akhirnya RUU Keistimewaan Yogyakarta versi Pemerintah Pusat yang secara resmi diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI melalui Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-99/Pres/12/2010 tanggal 16 Desember 2010 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan ditindaklanjuti dengan penyampaian keterangan pemerintah atas RUU Keistimewaan Provinsi DIY yang telah disampaikan pada Rapat Kerja dengan Komisi II DPRRI pada tanggal 2 Januari 2011 maupun pertemuan-pertemuan atau rapat kerja yang lain, sampai akhirnya pada tanggal 30 Agustus 2012 RUU Keistimewaan Daerah Istimnewa Yogyakarta telah disepakati dan ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.2 Melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2012, disepakati bahwa substansi kewenangan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bertumpu pada 5 (lima) aspek, yaitu Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur; Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; Kebudayaan; Pertanahan dan Tata Ruang.3 Namun demikian, kewenangan lain yang tidak berkaitan dengan kelima aspek tersebut tetap mengacu pada undang-undang tentang pemerintahan daerah. Terbitnya undang-undang tersebut setelah melewati proses penyusunan yang cukup lama sudah barang tentu membawa konsekuensi logis bagi kesiapan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang Keistimewaan dimasud, baik kerabat Kasultanan/Kadipatan Paku Alaman, Pemerintah Daerah DIY besreta pemerintah kabupaten/kota di wilayah DIY, Masyarakat Yogyakarta, maupun elite politik di tingkat pusat maupun daerah. Keberhasilan implementasi keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta sangat tergantung pada bagaimana kesiapan keempat unsur tersebut dalam memahami dan memaknai setiap ketentuan yang tertuang dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2012, serta bagaimana memahami kepentingan masyarakat Yogyakarta secara lebih komprehensif sehingga tidak memanfaatkan situasi yang ada untuk kepentingan jangka pendek dari berbagai aspek. Berkaitan dengan hal tersebut, perhatian terhadap faktor sejarah, budaya, politik, maupun yuridis sebagai bagian yang menentukan dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah 1. Berbagai gerakan dari elemen masyarakat Yogyakarta maupun unsur Kesatuan Masyarakat Adat di Indonesia yang berisi dukungan terhadap keistimewaan Yogyakarta dengan salah satu substansinya berkaitan dengan penetapan Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Pada tanggal 30 Agustus 2012 telah disahkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan resmi diundangkan pada tanggal 3 September 2012. 2. Hamengku Buwono X, Mengapa Keistimewaan DIY Dipertahankan, Harian Suara Merdeka, 3 Maret 2011 3. Lihat Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Prakata
vii
Istimewa Yogyakarta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya memformulasikan bentuk dan substansi keistimewaan bagi Yogyakarta. Perumusan regulasi yang mengatur tentang substansi keistimewaan Yogyakarta hanya dapat dicapai apabila kita mengetahui latar belakang sejarah dan kebudayaan suatu bangsa atau suatu komunitas (dalam hal ini adalah Kasultanan dan Pakualaman). Dengan kata lain, terdapat hubungan timbal balik antara sejarah-budaya terhadap budaya politik, dimana corak budaya lokal berpengaruh terhadap proses demokratisasi maupun perkembangan demokratisasi yang digulirkan. Melalui perspektif inilah, maka sejarah hukum Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat ditelusuri. Selanjutnya melalui buku yang berjudul Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Ketatanegaran Indonesia (Sebuah Pendekatan Sejarah Hukum dan Teori Kekuasaan) ini penulis mencoba untuk melakukan kajian dengan berdasarkan pada rujukan dari berbagai karya ilmiah, pendapat pakar sejarah, pakar pemerintahan dan hukum tata negara maupun peraturan perundangan yang pernah ada di Indonesia tentang Daerah Istimewa Yogyakarta. Berkaitan dengan hal tersebut melalui buku sederhana ini penulis akan mencoba untuk menelusuri sistem dan struktur kepemimpinan serta pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta serta menelusuri bagaimana sebenarnya kedudukan dan status Daerah Istimewa dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai regulasi terbaru yang menjadi payung hukum keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan juga kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Penulisan buku ini difokuskan pada fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan landasan hukum kedudukan dan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan menggunakan pendekatan sejarah hukum (legal historis), maka sumber bahan utama yang dijadikan fokus adalah sumber tertulis. Dengan demikian diharapkan akan muncul gagasan yang lebih obyektif dalam menangkap sisi penting keistimewaan Yogyakarta terutama kaitannya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia, sehingga kiranya dapat dijadikan sebagai perenungan bagi semua pihak yang berkepentingan dan mencintai Yogyakarta sekaligus menjadi referensi bagi tumbuhnya kesadaran moral terhadap arti pentingnya kesatuan dan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta. Penulis menyadari telah banyak buku, tulisan, artikel, maupun karya ilmiah dari para pakar yang mengupas tentang kedudukan dan substansi keistimewaan Yogyakarta, namun demikian penulis mencoba untuk menambah khasanah tulisan maupun kajian tersebut, sehingga setidaknya melalui buku ini diharapkan pemahaman secara komprehensif terhadap kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam sistem pemerintahan daerah dan sistem ketatanegaraan dapat lebih terbuka akan semakin memperkuat terwujudnya Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang demokratis dan berbasis pada nilainilai kultural. Lebih lanjut Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa tiada karya yang pasti sempurna karena setiap manusia memiliki keterbatasan. Oleh karena itu dengan kelapangan hati dan kesadaran pikiran, penulis membuka pintu kritik secara penuh kepada siapapun yang peduli terhadap karya
viii
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Ketatanegaran Indonesia
ini dan sekali lagi dengan segala kekurangan yang ada penulis berharap semoga karya yang sangat sederhana ini dapat memberi manfaat kepada siapa saja yang membutuhkan betapapun kecilnya. Tidak lupa mengakhiri pengantar dalam buku ini, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan, pengeditan, maupun dalam penambahan/pengayaan materi penulisan buku ini, tidak lupa juga di ucapkan terima kasih kepada Penerbit Graha Ilmu yang telah membantu proses penerbitan buku ini. Akhirnya, penulis berharap bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut bukan lah merupakan akhir dari sebuah perjalanan panjang, namun justru merupakan langkah awal mewujudkan Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang demokratis, menyejahterakan dan mengayomi seluruh elemen masyarakat dengan tetap berbasis pada nilai-nilai kultural dan kearifan lokal.
Salatiga, September 2012 Penulis
DAFTAR ISI
PRAKATA
V
DAFTAR ISI
IX
BAB 1 SEBUAH PEMAHAMAN AWAL
1
BAB 2 PENDEKATAN SEJARAH HUKUM, SISTEM PEMERINTAHAN DAN BANGUNAN NEGARA, DAN TEORI KEKUASAAN
15
A. B.
15 24 24 26
Pendekatan Sejarah Hukum Sistem Pemerintahan dan Bangunan Negara 1. Sistem Pemerintahan 2. Bentuk dan Bangunan Negara
C. Teori Kekuasaan
32
BAB 3 DAERAH ISTIMEWA A. Daerah Istimewa B. Ragam Daerah Istimewa
41 41 44
BAB 4 DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF YURIDIS
49
A.
49 49 53 56 58
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Konstitusi 1. UUD 1945 2. Konstitusi RIS 1949 3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 4. UUD 1945 Pasca Amandemen
B. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
61 61
x
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Ketatanegaran Indonesia 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
63 66 72 73 74 76 77
C. Undang-Undang Pembentukan Daerah 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2012
78 78 79
BAB 5 SEJARAH HUKUM PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
97
A.
Masa Hindia Belanda 1. Perjanjian Tahun 1743 2. Perjanjian Tahun 1746 3. Perjanjian Tahun 1749
97 98 99 99
B. C.
Masa Pendudukan Jepang Masa Pasca Kemerdekaan 1. Periode Tahun 1945-1950 2. Periode Tahun 1950-1959 3. Periode 1959-1965 4. Periode 1965-1974 5. Periode Tahun 1974-1999 6. Periode Pasca Tahun 1999
BAB 6 UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2012 DAN MASA DEPAN KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
111 119 119 133 134 136 137 139 149
A. Keistimewaan dalam bingkai Negara Kesatuan B. Subtansi Kewenangan Keistimewaan DIY 1. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur 2. Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY 3. Kebudayaan 4. Pertanahan 5. Tata Ruang
149 154 155 160 160 161 164
C. Masa Depan Keistimewaan DIY 1. Kasultanan dan Pakualaman 2. Rakyat
165 166 167