II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Tinjauan Umum Sapi Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga
kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili Bovidae, seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan Anoa (Sugeng, 2003).
Sapi potong adalah sapi yang
dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristk tersebut, dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya (Tanari, 2001). Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Sub kelas
: Theria
Ordo
: Artiodactyla
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos
Spesies
: B. indicus, B. taurus, B. sondaicus Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia.
Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan
8 karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa, 2005). Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit dan penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak (Suryana, 2009). Terdapat 2 (dua) bangsa ternak sapi yang menjadi plasma nutfah asli Indonesia, yakni sapi asli Indonesia dan sapi lokal Indonesia. Antara sapi asli Indonesia dan sapi lokal Indonesia terdapat perbedaan yang mencolok, baik itu dari aspek genetik maupun asal – usulnya. Sapi asli Indonesia adalah bangsa sapi yang sejak dahulu kala sudah ada di Indonesia, bukan keturunan sapi impor. Proses domestikasinya murni dilakukan di Indonesia dan tidak ada pengaruh genetik sapi impor. Sedangkan sapi lokal Indonesia adalah bangsa sapi yang didatangkan dari luar wilayah Indonesia (sapi impor) tetapi sudah lama dikembangbiakkan di Indonesia sehingga telah mempunyai ciri khas tersendiri. Jenis sapi yang termasuk sapi asli Indonesia adalah Sapi Bali.
Sapi Bali
merupakan keturunan banteng liar (Bos bibos atau Bos sondaicus) yang telah mengalami proses domestikasi selama berabad-abad. Domestikasi Sapi Bali
9 dilakukan di Asia Tenggara dan terpusat di Indonesia tepatnya di Pulau Bali. Sapi Bali didomestikasi selama lebih kurang 3500 SM (Rollinson, 1984), sedangkan jenis sapi yang termasuk sapi lokal Indonesia diantaranya adalah Sapi Sumba Ongole, Sapi Madura, Sapi Aceh, Sapi Pesisir dan Sapi Pasundan, masing – masing sapi lokal Indonesia telah memiliki ciri khas tertentu karena telah lama berkembang biak di Indonesia. 2.2
Sapi Pasundan Sapi Pasundan merupakan sapi lokal yang termasuk sapi potong dan
berkembang di masyarakat buffer zone sepanjang wilayah Priangan Utara (Kabupaten Kuningan, Majalengka, Kabupaten Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, dan Ciamis) dan juga di wilayah pesisir selatan Jawa Barat. Wilayah tersebut antara lain Pangandaran, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Sukabumi. Eksistensi populasi ini terdapat di peternakan rakyat dengan pola pemeliharaan sebagian besar semi intensif dan ekstensif. Pola ini mengandalkan daya dukung lahan perkebunan dan hutan melalui integrasi lahan tersebut untuk pengembalaan ternak (Dinas Peternakan Provinsi Jabar, 2014). Sapi Pasundan merupakan salah satu ternak lokal asli Jawa Barat yang sebelumnya disebut Sapi Rancah. Sebelum pemerintah menetapkan Rumpun Sapi Pasundan, nama sapi lokal ini cukup beragam antara lain Sapi Rancah (penamaan oleh masyarakat Ciamis), Sapi Pakidulan (penamaan oleh masyarakat pesisir selatan Tasikmalaya, Pangandaran, Garut, Sukabumi dan Cianjur) dan Sapi Kacang (penamaan oleh masyarakat Kuningan dan Indramayu). Sapi Pasundan diharapkan menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat dalam misi untuk mencapai suasembada daging sapi khususnya di Jawa Barat sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat. Sapi Pasundan
10 telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai sapi asli Jawa Barat melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 1051/Kpts/SR.120/10/2014 tanggal 13 Oktober 2014 tentang Penetapan Rumpun Sapi Pasundan.
Sapi
Pasundan merupakan kekayaan sumber daya genetik ternak lokal Indonesia. Tingkat kepemilikan Sapi Pasundan di Jawa Barat per peternak berkisar antara 10 – 20 ekor (Arifin, 2009). Kondisi ini yang menyebabkan Sapi Pasundan termasuk populasi induk sapi produktif di Jawa Barat. Penelitian Indrijani dkk (2012) dengan menggunakan pendugaan parameter untuk perhitungan populasi menunjukkan bahwa populasi Sapi Pasundan di Jawa Barat berkisar lebih dari 50.000 ekor.
Keunggulan Sapi Pasundan berdasarkan presepsi peternak
diantaranya yaitu reproduksi yang baik, tahan penyakit tropis dan perubahan lingkungan ekstrim termasuk pakan. Pemeliharaan Sapi Pasundan di masyarakat dikelola secara intensif maupun ekstensif (Indrijani, dkk., 2012). Karakter Sapi Pasundan merupakan representasi dari Bos sondaicus, yang memiliki karakter warna tubuh merah bata, merah melahonais atau merah sawo matang dan pada beberapa pejantan terjadi perubahan warna menjadi hitam legam. Sapi ini memiliki garis belut berwarna hitam atau merah tua, terdapat warna putih pada bagian pantat dan keempat kaki bawahnya dengan batasan yang tidak jelas. Indrijani dkk (2012) menyatakan bahwa secara arkheologis sapi ini merupakan hasil tekanan inbreeding dari generasi ke generasi hasil persilangan pada program grading up sapi PO dan program grading up Sapi Jawa dengan Sapi Madura dan Sapi Bali pada zaman Kolonial. Oleh karena itu berdasar ada dan tidak adanya gelambir Sapi Pasundan terbagi menjadi dua kelompok, yakni bergelambir dan tidak bergelambir (Dinas Peternakan Provinsi Jabar, 2014).
11 Sejarah pembentukan dua tipe ini dimulai pada zaman kolonial (tahun 1896) saat pemerintah melakukan program grading up sapi-sapi Jawa Barat yang pada waktu itu masih Bos javanicus murni. Grading up pertama adalah mengawinkan sapi lokal tersebut dengan sapi Bali dan Madura. Tujuan sistem perkawinan ini adalah untuk meningkatkan performa ternak agar dapat digunakan untuk kerja perkebunan milik pemerintah Kolonial. Kegiatan peningkatan mutu genetik ini tidak dilanjutkan setelah terjadi perubahan politis (dari tanam paksa ke politik etis), kondisi ini mengakibatkan peternak tidak melakukan sistem perkawinan dan seleksi yang rapih. Akibat seleksi negatif dan inbreeding yang terus menerus (lebih dari sepuluh generasi) maka karakter efek heterosis menurun drastis sehingga menghasilkan ternak dengan performa yang kecil walaupun masih terdapat kesamaan genetis dengan Sapi Bali murni. Tipe yang kedua yakni tipe gelambir, tipe ini dibentuk dari sejarah Ongolisasi di Jawa Barat oleh pemerintah kolonial (tahun 1904). Pemerintah Belanda mengirim pejantan Ongole murni dan dikawinkan dengan betina-betina Bos javanicus tanpa mengebiri pejantan yang ada sebelumnya. Pada awal tahun 1910 di Jawa Barat telah terbentuk sapi-sapi PO yang memiliki karakter sebagai ternak kerja dengan performa yang lebih besar dari populasi sebelumnya. Perubahan politik Kolonial membuat peternak tidak melakukan sistem perkawinan yang mempertahankan karakter PO. Peternak di basis populasi sapi PO melakukan sistem perkawinan yang tidak terarah sehingga terjadi in breeding, akibatnya pada generasi tertentu terjad pelunturan sifat kualitatif dari Ongole dan terbentuk Sapi Sunda dengan karakter bergelambir (Dinas Peternakan Provinsi Jabar, 2014).
12 2.3
Sifat Kualitatif Sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan
secara tegas misalnya warna bulu, ada tidaknya tanduk dan sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Sifat kualitatif adalah suatu sifat dimana masing-masing individu dapat diklasifikasikan kedalam satu hingga dua kelompok atau lebih, dan pengelompokan itu berbeda jenis satu sama lain (Warwick, 1995). Sifat ini mungkin tidak ada hubungannya dengan produksi, tetapi sifat kualitatif penting bagi para pemulia sebagai cap dagang (trade mark) sehingga sering dipertimbangkan dalam program pemuliaan (Warwick, dkk., 1995). Perbedaan lingkungan mempunyai pengaruh kecil atau tidak ada sama sekali pengaruh terhadap ekspresi sifat kualitatif (Hardjosubroto, 1994). Sifat kualitatif dapat netral, bermanfaat atau merugikan tergantung dari keadaan dimana ternak itu dipelihara.
Misalnya, tanduk pada sapi mungkin berguna untuk
menyerang predator di daerah dimana hal itu merupakan masalah, tetapi untuk ternak yang dipelihara dalam keadaan sempit akan mengakibatkan ternak itu melukai satu sama lain, jadi sifat itu tidak diinginkan (Warwick, dkk., 1995). 2.3.1
Warna dan Pola Warna Tipe dasar tatawarna bulu dapat dibedakan menurut: pertama, warna yang
meliputi seluruh permukaan tubuh sehingga membentuk warna yang seragam atau homogen atau warna tunggal; dan kedua, hetrogen atau warna campuran. Warna heterogen ini memilik dua tipe yang berbeda, yaitu: (a) komposit, apabila pada tubuh ditemukan bidang-bidang warna yang berbeda (spotted); dan (b) campuran, apabila bulu-bulu dari warna yang berbeda tampak secara bergantian satu dengan
13 lainnya. Warna pada sapi umumnya diklasifikasikan kedalam warna tunggal (unicoloured) dan terpola (patterned) (Maciejowski dan Zieba, 1982). Dasar tata-warna bulu tubuh pada sapi dan semua mamalia adalah ada atau tidaknya melanin pada bulu. Melanin ditemukan dalam melanosom dari sitoplasma
melanosid.
Melanosit
berpindah
dari
ujung
syaraf
selama
perkembangan embrionik dan pigmentasi hanya terjadi di daerah-daerah tubuh dimana ujung syaraf ini ada. Bercak putih terjadi di daerah-daerah dimana kulit atau bulu kekurangan melanosit. Pigmentasi pada semua bagian tubuh juga dapat berkurang oleh berkurangnya aktivitas melanosit. Terdapat dua tipe melanin yaitu eumelanin dan paeomelanin. Eumelanin memberikan warna-warna hitam dan coklat, dan paeomelanin untuk warna-warna coklat kemerahan, merah, tan, kuning (Fries dan Ruvinsky, 1999). Salah
satu
cara
mengidentifikasi
bangsa
ternak
adalah
dengan
menggunakan warna dan pola warna sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Wiley (1981) bahwa spesies-spesies sering ditandai oleh warna atau pola warna tertentu. Seberapa jauh warna dapat diandalkan tergantung pada pengetahuan pengaruh dari faktor-faktor ontogenik dan lingkungan. Pola warna, apabila ada, mungkin lebih berguna dari pada warna itu sendiri. Hal ini biasanya dianggap sebagai
character
displacement
untuk
menghindari
kebingungan
saat
membedaakan satu bangsa dengan bangsa lainnya (Baker dan Manwell, 1991). Warna pada umumnya kurang berperan dalam produksi ternak, seperti tingkat pertumbuhan, efisiensi makanan, dan produksi susu (Bogart, 1959). Namun demikian, warna memiliki nilai estetika tersendiri dimana warna dapat memberikan keuntungan ekonomi, seperti kulit yang menarik dapat memberikan
14 harga yang tinggi untuk perabotan, pakaian dan hiasan (Baker dan Manwell, 1991) Warna bulu dan kulit secara nyata mempengaruhi thermoregulasi. Permukaan yang gelap cepat mengabsorpsi namun juga cepat melepas panas, sedangkan permukaan yang putih dapat menahan radiasi matahari namun kurang memancarkannya (Maciejowsky dan Zieba, 1982).
Warna juga berhubungan
dengan daya adaptasi hewan tersebut pada lingkungan tertentu, di daerah tropis dengan derajat radiasi sinar matahari yang tinggi hewan dengan warna bulu terang dan kulit yang berpigmen gelap beradaptasi lebih baik (Fries dan Ruvinsky, 1999). 2.3.2
Gelambir Pada sapi-sapi Bos indicus, adanya gelambir merupakan salah satu
karakteristik dan ciri dari bangsa tersebut. Gelambir berada dibawah leher sampai hampir perut, yang berbentuk lipatan-lipatan. Gelambir berfungsi sebagai thermoregulator suhu tubuh (Blakely dan Bade, 1994). Gelambir berhubungan erat dengan jenis kelamin, biasanya gelambir yang panjang dan berlipat-lipat dimiliki oleh sapi jantan (Setiadi dan Diwyanto, 1997). Gelambir yang panjang bermanfaat dalam mekanisme pengaturan suhu tubuh ternak di iklim yang panas yaitu dengan semakin luasnya permukaan kulit yang dapat membantu proses pendinginan, serta semakin banyaknya pori-pori yang membantu keluarnya keringat (Kelly, 2013). 2.3.3
Tanduk Tanduk merupakan sifat yang dikontrol oleh sepasang gena yang dapat
dilihat, serta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Tanduk adalah bagian
15 tubuh beberapa binatang, yang tumbuh dari kepala, yang merupakan proyeksi yang terbuat dari kulit yang keras. Tanduk mengandung banyak keratin, protein yang juga ada di rambut dan kuku manusia. Tanduk memiliki berbagai kegunaan pada hewan, yaitu mempertahankan diri dari predator dan mempertahankan wilayah sendiri.
Selain itu dapat juga sebagai daya tarik pejantan di depan
betinanya. Tanduk sapi tidak pernah bercabang sekali tumbuh, yang terdiri dari inti tulang timbul dalam dermis kulit dan menyatu dalam tengkorak (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).