II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan
dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari Belanda yaitu di Provinsi North Holland dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625. Sapi FH mempunyai beberapa keunggulan yaitu sifatnya yang jinak, tidak tahan panas tetapi sangat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan (Blakely dan Bade, 1994). Oleh karena itu bangsa sapi FH banyak diminati oleh peternak sapi perah di Indonesia. Adapun ciri khas sapi FH adalah sebagai berikut: a. Warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih, di negeri Belanda sendiri ada FH yang mempunyai warna coklat/merah dengan bercak-bercak putih (Brown FH); b. Bulu ujung ekor berwarna putih; c. Tanduknya pendek dan menjurus ke depan; d. Sifat pada betinanya cenderung lebih tenak dan jinak dibanding jantan; e. Tidak tahan panas, tetapi lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dibanding bangsa sapi perah lainnya; f. Merupakan bangsa sapi perah terbesar di dunia dengan berat standar betina 625-650 kg, dan jantan 900-1.000 kg; g. Ambing besar, kepala panjang sempit;
7
h. Mempunyai sifat masak lambat (late maturity), betina bisa dikawinkan pada umur antara 18-21 bulan; i. Pertumbuhan badan maksimum sampai umur 7 tahun; j. Produksi susu tertinggi di dunia mencapai rata-rata 6.000 liter/laktasi dengan persentase kadar lemak berkisar 2,5 - 4,3%.
2.2
Produksi Susu Susu adalah suatu bahan makanan yang diperoleh dari hasil sekresi
keseluruhan oleh sel sekresi kelenjar susu yang didapat melalui pemerahan yang lengkap dari satu atau lebih sapi perah betina yang sedang laktasi (Soeharsono, 2008). Produksi susu umumnya bertambah untuk bulan pertama setelah melahirkan dan meningkat sampai mencapai puncak produksi, kemudian perlahan-lahan berkurang pada bulan akhir periode laktasi (Ensminger dan Tyler, 2006; Muljana, 1982 dalam Firman, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi kira-kira 6% setiap bulannya (Blakely dan Bade, 1994). Strategi peningkatan mutu genetik selain dengan impor betina bunting adalah dengan impor semen pejantan seperti yang dilakukan di BBPTU Baturraden. Rataan produksi pada laktasi pertama sapi FH keturunan pejantan impor di BBPTU Baturraden berdasarkan pengamatan tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 secara berturut-turut adalah 4.595±1.241 kg, 3.765±973 kg, 3.760±1.714 kg, 2.928±756 kg, 3.266±874 kg, dan 2.527±449 kg, keseluruhan diperoleh rataan produksi susu laktasi pertama sapi FH dara sebanyak 3.922± 1.297 kg (Yustisi, dkk., 2013). Produksi susu sapi FH di Amerika serikat rata-rata 7.425 kg/laktasi sedangkan di Indonesia sekitar 3.050 kg/laktasi. Produksi susu
8
yang dihasilkan oleh sapi FH di Indonesia ternyata lebih rendah sekitar 3.0004.000 kg/laktasi (Sudono, dkk., 2003; Talib, 2006). Produksi susu total setiap laktasi bervariasi, namun puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ke-3 dan ke-4. Mulai dari laktasi pertama produksi susu akan meningkat sampai umur dewasa. Umur sapi perah yang semakin bertambah menyebabkan penurunan produksi susu secara perlahan. Produksi susu pada laktasi pertama adalah sekitar 70%, laktasi kedua 80%, laktasi ketiga 90%, laktasi keempat 95% dari produksi susu pada umur dewasa dengan selang beranak 12 bulan dan beranak pertama pada umur 2 tahun (Ensminger, 1971).
2.3
Masa Laktasi Masa laktasi adalah masa sapi perah sedang menghasilkan susu antara waktu
beranak dengan masa kering (Sudono, 1984). Peristiwa ini akan dialami sebagai suatu
siklus
berulang
dalam
kehidupan
sapi
perah
betina
secara
berkesinambungan selama organ reproduksi masih aktif. Awal suatu laktasi dimulai dengan pengeluaran air susu setelah kelahiran. Sekresi susu terus meningkat sampai mencapai puncaknya. Peningkatan produksi akan mencapai puncaknya pada bulan ke-1 sampai bulan ke-3 dari satu masa laktasi dan kemudian turun pada pertengahan laktasi, serta istirahat pada masa kering. Menurut Blakely dan Bade (1994), umumnya masa laktasi yang normal adalah 305 hari dengan masa kering 60 hari. Namun pada kenyataannya panjang laktasi setiap ternak sapi perah bervariasi. Biasanya lama laktasi akan lebih pendek apabila sapi perah tersebut terlalu cepat dikawinkan lagi setelah melahirkan atau dikeringkan dan juga karena suatu
9
penyakit. Sebaliknya masa laktasi yang panjang dikarenakan sapi perah tersebut sulit dalam pengawinan berikutnya. Menurut Ensminger dan Tyler (2006), bahwa masa laktasi dapat dibagi kedalam 4 fase yaitu : (1) awal dan puncak laktasi sewaktu mulai menghasilkan susu sampai pada produksi tertinggi (setelah beranak sampai 5 bulan kemudian); (2) pertengahan laktasi sewaktu hasil produksi susu mulai menurun tetapi masih berada dalam pencapaian hasil rata-rata (5-7 bulan setelah beranak); (3) akhir laktasi sewaktu produksi sudah semakin menurun landau hingga saatnya berhenti (7-10 bulan setelah beranak); dan (4) masa kering fase ketika sapi perah istirahat dan tidak lagi menghasilkan susu.
2.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Produksi susu dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan. Musim, curah hujan, hari hujan, temperatur, kelembaban, tahun pemeliharaan dan peternakan juga merupakan faktor lingkungan yang banyak mempengaruhi produksi susu, dan pada kenyataannya faktor-faktor tersebut seringkali berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman produksi susu (Indrijani, 2001). A.
Faktor Genetik Secara umum perbedaan antar bangsa sapi perah karena adanya
perbedaan genetik yang mengatur suatu sifat. Variasi dalam sifat produksi susu pada setiap individu sapi perah disebabkan karena faktor keturunan dan hereditas. Induk dan bapak yang mempunyai genetik unggul akan menghasilkan keturunan yang unggul atau superior, sebaliknya induk dan bapak yang mempunyai kualitas genetik dibawah rata-rata maka akan menghasilkan keturunan yang mempunyai kualitas genetik dibawah rata-rata
10
pula yang akibatnya akan terjadi variasi sifat produksi susu pada bangsa itu. Oleh karena itu faktor hereditas akan berpengaruh terhadap jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh setiap individu sapi perah. Perkawinan sapi perah di Indonesia hampir semuanya menerapkan teknologi Inseminasi Buatan (IB). Pejantan yang digunakan dalam penerapan IB berkontribusi besar terhadap perbaikan genetik berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan anak dengan jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Pejantan yang dipakai sebagai sumber semen pada perkawinan IB perlu diseleksi secara ketat agar kemampuan produksi susu yang diturunkan kepada keturunannya dapat meningkatkan produksi susu total populasi generasi berikutnya. Sapi jantan tidak dapat mengekspresikan secara langsung produksi susu, untuk mengetahui potensi genetiknya sangat umum diestimasi melalui uji progeni dengan membandingkan rataan produksi susu keturunannya terhadap sapi perah betina keturunan pejantan lain (Hedah, 1996). Selain itu untuk mengetahui kualitas mutu genetik yang diturunkan pejantan perlu dikaji melalui Uji Performa produksi susu keturunannya. Uji Performa adalah pengujian yang dilakukan untuk memilih ternak bibit unggul berdasarkan sifat kualitatif dan kuantitatif meliputi pengukuran, penimbangan dan penilaian. Adapun beberapa parameter yang diamati pada Uji Performa yaitu produksi susu total 305 hari, umur ternak, frekuensi pemerahan, lama (hari) laktasi, dan masa kering (Anggraeni dkk., 1998). B.
Pemberian Pakan Tujuan utama pemeliharaan sapi perah adalah untuk memperoleh hasil
produksi susu yang tinggi dengan kualitas susu yang baik. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka faktor nutrisi yang diberikan kepada sapi perah
11
merupakan salah satu komponen penting yang harus diperhatikan secara khusus oleh para peternak agar sapi perah mampu mewujudkan kinerja produksi yang memenuhi harapan. Sapi perah hendaknya diberi pakan dengan kualitas yang tinggi sehingga dapat berproduksi secara maksimal sesuai dengan kemampuannya. Secara garis besar kelompok nutrisi pakan yang diperlukan dalam pemeliharaan sapi perah adalah energi, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Soeharsono, 2008). Pakan yang berkualitas tinggi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi, dan produksi susu sapi perah. Pakan yang diberikan pada sapi perah digolongkan menjadi tiga, yaitu pakan hijauan, pakan konsentrat, dan pakan tambahan (Ensminger, 1971). Efektivitas pemeliharaan sapi perah menjadi lebih ekonomis apabila terpenuhi kecukupan pakan dan mampu memanfaatkan keberadaan hijauan yang ada di lingkungan sekitar secara seimbang dengan kebutuhan nutrisinya. Kunci utama dalam tatalaksana pemberian pakan sapi perah terletak pada tingkat kandungan dan imbangan antar setiap nutrisi yang ada di dalam pakan. Sapi perah akan tumbuh dengan baik dan berproduksi optimal apabila memperoleh makanan secara cukup dalam jumlah dan kandungan nutrisinya. C.
Manajemen Pemeliharaan Secara umum manajemen peternakan mencakup manajemen pemberian
pakan, manajemen sistem reproduksi, dan manajemen pemeliharaan rutin harus selalu dijalankan dalam pengawasan yang sama besarnya. Karena kelemahan atau kekurangan pengelolaan pada salah satu aspek tersebut akan mempengaruhi produktivitas ternak, termasuk kualitas dan kuantitas produksi susu sapi perah (Soeharsono, 2008). Peningkatan produksi susu menurut Talib (1999) tidak hanya bergantung pada kualitas genetik ternak saja, tetapi yang
12
lebih penting adalah seberapa besar potensi genetik yang dibawanya dapat ditampilkan melalui manipulasi faktor lingkungan seperti manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharaan yang dapat mempengaruhi produksi susu salah satunya adalah frekuensi pemerahan. Sapi perah yang diperah lebih dari 2 kali produksi susu yang dihasilkan biasanya lebih banyak sekitar 20% dibandingkan dengan sapi perah yang hanya mengalami 2 kali pemerahan dalam sehari. Namun pada sapi perah yang produksinya rendah, frekuensi pemerahan tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan produksi susu (Ginting dan Sitepu, 1989). Foley dkk., (1973) menyatakan interval pemerahan juga akan mempengaruhi kadar lemak susu. Interval pemerahan 12 jam adalah interval pemerahan yang seimbang dan optimal untuk sapi perah dengan potensi produksi yang tidak terlalu tinggi. D.
Iklim Salah satu faktor lingkungan yang cukup dominan dalam mempengaruhi
produktivitas ternak adalah iklim mikro. Ada empat unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak secara langsung, yaitu; suhu, kelembaban udara, radiasi, dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung (Yani & Purwanto, 2006). Suhu dan kelembaban menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam
tubuh
ternak,
keseimbangan
air,
keseimbangan
energi,
dan
keseimbangan tingkah laku ternak (Yani & Purwanto, 2006). Suhu udara dan kelembaban harian di Indonesia berkisar 24-34°C dan kelembaban 60-90%. Pada suhu dan kelembaban tersebut, proses penguapan dari tubuh sapi FH akan terhambat sehingga mengalami cekaman panas. Pengaruh yang timbul pada
13
sapi FH akibat kecaman panas adalah: 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung, 7) perubahan tingkah laku, dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Yani & Purwanto, 2006). Suhu lingkungan yang ideal bagi sapi perah adalah 15,5oC karena pada kondisi ini produksi susu sapi perah akan mencapai optimal. Sedangkan suhu kritis untuk sapi FH adalah 27oC dan tingkat kelembaban yang tinggi akan menyebabkan penurunan produksi susu pada ternak sapi perah (Hadisutanto, 2008). Cekaman iklim tropis juga mempengaruhi mutu produktivitas lainnya seperti pertumbuhan yang lamban, tertundanya umur beranak pertama, memanjangnya interval beranak dan komponennya, dan rendahnya produksi susu (Anggraeni, 2012).
2.5
Faktor Koreksi Kemampuan produksi susu tiap ekor sapi perah betina sangatlah bervariasi,
seperti halnya seekor sapi perah muda yang baru satu atau dua kali beranak dengan sapi perah yang sudah enam atau tujuh kali beranak akan berbeda nilainya meskipun produksi kedua sapi perah tersebut sama pada suatu periode laktasi. Produksi susu dapat disesuaikan atau dikoreksi ke arah standar tertentu. Standarisasi produksi susu digunakan untuk membandingkan kemampuan produksi air susu tiap ekor sapi perah bagi kepentingan seleksi untuk memilih bibit yang bermutu. Faktor koreksi yang paling umum digunakan dalam standarisasi produksi susu adalah faktor koreksi yang disesuaikan ke arah lama laktasi normal 305 hari,
14
frekuensi pemerahan 2 kali sehari dan umur pada puncak produksi (Mature Equivalent Basis = ME) adalah 7 tahun. Lama hari berproduksi atau masa laktasi antara sapi-sapi betina umumnya menunjukkan keragaman yang besar. Hasil-hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lama laktasi merupakan sumber keragaman yang perlu dipertimbangkan dalam mendapatkan faktor koreksi laktasi lengkap (Anggraeni, 1995). Sapi perah betina dengan lama laktasi kurang dari 305 hari akan memiliki faktor koreksi yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan lama laktasi yang lebih dari 305 hari, sebaliknya faktor koreksi untuk lama laktasi yang lebih dari 305 hari akan lebih kecil.