BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Media massa merupakan sumber informasi yang sangat penting bagi manusia. Media massa merupakan alat bantu bagi masyarakat untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan gejala-gejala sosial/ kebutuhan-kebutuhan sosial. Di jaman teknologi modern seperti sekarang ini, manusia pun mampu menciptakan alat-alat modern yang memudahkan mereka untuk mendapatkan informasi. Misalnya internet, televisi (baik yang berbayar ataupun tidak), radio, dan lain-lain. Melalui media, manusia mampu berinteraksi atau berhubungan dengan orang di belahan dunia lain. Media juga dianggap penting dalam semua sistem masyarakat karena dianggap mampu memberi/ menciptakan second reality. Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, media sering ditempatkan sebagai salah satu variabel determinan. Bahkan , media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial dan politik. Dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). Hanya mereka yang mempunyai akses kepada informasi yang bakal menguasai percaturan kekuasaan (Sobur, 2004: 31). Bagi sebagian orang media mungkin dianggap sebagai wadah untuk menampung aspirasi rakyat (demokrasi). Sebagian orang lain menganggap media massa tidak pernah lebih banyak memberikan kebenaran/ kenyataan apa adanya.
Universitas Sumatera Utara
Media massa tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, memahami kebenarannya dan memberitakannya kepada publik. Ia mendahului semua itu. Ia menciptakan peristiwa. Menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran. Tidak selalu untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu secara setia dan terkontrol (Sobur, 2004: 33). Ada juga orang-orang yang menganggap media sebagai kekuatan keempat dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik sebuah Negara (the fourth estate). Sebagai alat untuk menyampaikan berita dan informasi tentang berbagai hal, media mampu membentuk opini publik dalam menyikapi suatu peristiwa. Abrar menyatakan, sebagai sponsor opini khalayak, pers (media) perlu berperilaku fair (jujur) dan modesty (rendah hati). Perilaku fair akan menjamin berita objektif, akurat dan berpihak pada kebenaran. Sedangkan perilaku modesty akan menjamin lahirnya berita yang cermat dan tidak emosional (Abrar, 1997: 8). Namun hal penting yang patut diketahui adalah media (wartawan) tidak pernah bisa membuat pemberitaan yang netral dan seobjektif mungkin. Hal ini disebabkan karena ada kepentingan-kepentingan lain (misalnya kepentingan media, pemilik media, atau wartawan sendiri) yang terdapat dalam sebuah pemberitaan media massa. Akhir-akhir ini media massa sedang ramai mengangkat pemberitaan tentang kenaikan harga BBM. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat penting sehingga saat isu kenaikan BBM muncul, kebijakan tersebut menuai banyak penolakan. Penolakan ini muncul terutama dari kalangan masyarakat menegah ke bawah, alasannya adalah di samping kenaikan BBM yang dirasa semakin memberatkan masyarakat, kenaikan BBM juga mampu
Universitas Sumatera Utara
memicu naiknya harga kebutuhan-kebutuhan lain seperti sembako, tarif angkutan, dan lain-lain. Pemerintah sendiri menilai kebijakan untuk menaikkan harga BBM memang harus dilakukan akibat tingginya harga minyak dunia. Presiden dalam pidatonya pernah menyebutkan agar rakyat memahami bila pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM. Dan walaupun terjadi berbagai aksi penolakan, akhirnya pada tanggal 23 Mei 2008 harga BBM resmi naik sebanyak 28,7 %. Pemerintah mengakui naiknya harga BBM sangat berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat, khususnya yang menengah ke bawah. Oleh karena itu pemerintah telah mempersiapkan kompensasi yaitu memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebanyak Rp. 100.000,- per bulan bagi masyarakat miskin. Namun, banyak pihak menganggap BLT bukanlah jalan keluar bagi masyarakat. Bercermin dari kebijakan pemberian BLT setelah naiknya BBM tahun 2005, pemberian dana BLT tidak merata bagi seluruh masyarakat miskin, bahkan jadwal pemberian BLT tidak tepat pada waktunya. Keadaan tersebut memunculkan anggapan bahwa BLT tidak efektif dalam meringankan beban masyarakat miskin. Sebaliknya dikhawatirkan jumlah masyarakat miskin semakin meningkat. Berbagai lapisan masyarakat mulai dari LSM, mahasiswa, buruh. ibu-ibu, tukang becak, dan supir angkutan umum berunjuk rasa menolak naiknya harga BBM. Tidak hanya sebelum harga BBM dinyatakan naik, pasca kebijakan tersebut aksi protes pun tetap terjadi di mana-mana. Aksi protes tersebut ditunjukkan dalam berbagai hal seperti demonstrasi , aksi teatrikal, aksi tutup
Universitas Sumatera Utara
mulut, mogok makan, dan lain-lain. Berbagai upaya dilakukan dengan harapan pemerintah mau “melihat ke bawah” dan mengubah kebijakannya. Salah satu elemen masyarakat yang menonjol dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM adalah mahasiswa. Mahasiswa secara bergantian berunjuk rasa menolak kebijakan tersebut. Salah satu situs internet membuat pernyataan bahwa bagi mahasiswa, pemberian BLT bagi masyarakat miskin dianggap sebagai cara untuk membungkam gejolak di masyarakat terkait dengan kenaikan harga BBM. Namun, tidak semua aksi protes terhadap kenaikan harga BBM berlangsung aman dan damai. Bahkan banyak yang berakhir ricuh, bentrok dengan petugas keamanan, dan mengakibatkan jatuhnya korban. Kerusuhan serta bentrok antara mahasiswa Universitas Nasional dan aparat polisi mengawali hari pertama dikeluarkannya kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Mahasiswa memprotes kebijakan tersebut dengan berunjuk rasa sejak malam di kampus Unas. Unjuk rasa berakhir ricuh di mana terjadi tindakan-tindakan anarkis: melempari bom Molotov, botol, dan batu. Aksi mahasiswa tersebut dibalas polisi dengan menyerang mahasiswa sampai ke kampus Unas. Polisi juga melakukan tindakan anarkis dengan melakukan pemukulan, penangkapan terhadap mahasiswa, dan pengrusakan fasilitas kampus. Demonstrasi mahasiswa terus berlangsung di beberapa tempat di Indonesia dan tidak sedikit yang berakhir ricuh. Aksi bakar ban, lempar batu dengan pihak aparat pun mewarnai demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Terkait dengan tingginya tingkat keseringan demonstrasi mahasiswa yang berakhir ricuh, muncul berbagai pendapat, penilaian terhadap aksi mahasiswa. Ada anggapan bahwa demonstrasi mahasiswa telah kehilangan tujuannya, demo
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kemacetan lalu-lintas dan berujung kekerasan. Anarkisme yang dilakukan mahasiswa dalam berbagai aksi unjuk rasa dinilai kontra produktif. Aksi anarkis bisa menghilangkan dukungan masyarakat yang merupakan modal utama mencapai tujuan demonstrasi (http://hariansib.com/2008/05/29/mahasiswaaniaya-polisi-di-kampus-moestopo/). Mantan Ketua Umum PB Himpunan mahasiswa Islam periode 2003-2005, Hasanuddin menghimbau semua eksponen mahasiswa semua sikap kritis yang sebagaimana terekspresi antara lain dalam demonstrasi mulai berlangsung secara santun dan tidak merugikan rakyat yang dibelanya. Menurutnya, aksi demonstrasi sudah memakan banyak korban sehingga mahasiswa harus mengukur lagi efektivitas penyampaian aspirasi dengan
cara-cara
kekerasan
(http://beritasore.com/2008/25/08/alumni-hmi-
seyogianya-aksi-demonstrasi-mahasiswa-berlangsung-santun/). Dukungan terhadap aksi mahasiswa juga bermunculan. Beberapa pihak berpendapat bahwa demostrasi yang dilakukan adalah untuk membela hak rakyat khususnya rakyat miskin. Ada juga yang menyatakan mahasiswa pada awalnya tidak berniat untuk melakukan aksi anarkis dalam kegiatan unjuk rasa. Ada anggapan bahwa kemungkinan ricuh dalam aksi demonstrasi mahasiswa terjadi karena ditunggangi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu lewat demonstrasi tersebut, dan akibatnya citra demonstrasi mahasiswa menjadi buruk. Banyak ungkapan yang muncul tentang aksi demonstrasi mahasiswa. Media massa (pers) dalam setiap pemberitaannya pun dapat menimbulkan citracitra tersendiri bagi pihak yang diberitakan, seperti mahasiswa. Media memang dituntut untuk membuat berita yang real yaitu fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Namun ada kepentingan-kepentingan lain yang pada akhirnya membuat
Universitas Sumatera Utara
realitas media berbeda dengan realitas sesungguhnya. Ada fakta-fakta yang diangkat menjadi berita ada juga yang tidak. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya, siapa narasumber yang ditanyai, isu-isu apa yang dominan diangkat dari suatu peristiwa, posisi berita dalam surat kabar, dan lain-lain. Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita (Eriyanto, 2002: 91). Peristiwa-peristiwa yang kompleks, tidak beraturan diolah sedemikian rupa dan dibuat supaya beraturan dan bermakna lewat skema interpretatif wartawan. Wartawan berusaha mengembangkan beritanya sehingga peristiwa yang tidak menarik sekalipun menjadi menarik dan bermakna. Setiap media memiliki ideologi masing-masing dalam memaknai dan memahami suatu peristiwa. Harian Waspada dan Analisa, seperti halnya media lain, juga memiliki perspektif sendiri dalam menulis berita. Perbedaan segmen pembaca dan “kuat” di segmen berita (misalnya: politik, ekonomi, dan lain-lain) mampu membuat media mengarahkan suatu peristiwa sesuai dengan segmen tersebut. Dengan perbedaan ideologi, 1 (satu) fakta yang sama dapat diberitakan secara berbeda oleh media yang berbeda, misalnya peristiwa demonstrasi mahasiswa karena naiknya harga BBM. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana harian Waspada dan harian Analisa mengemas peristiwa demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM menjadi berita yang akhirnya menurut media tersebut layak untuk dikonsumsi khalayak.
Universitas Sumatera Utara
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah aksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM dikonstruksi oleh harian Waspada dan harian Analisa?”.
I.3. Pembatasan Masalah Untuk menghindari permasalahan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, penulis membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Penelitian terbatas hanya dilakukan terhadap harian Waspada dan harian Analisa edisi 1 Mei 2008-30 Juni 2008, 2. Berita-berita yang diteliti terbatas pada berita tentang aksi mahasiswa terkait penolakan terhadap kebijakan naiknya harga BBM, 3. Penelitian ini bersifat kualitatif/ konstruktivis, 4. Penelitian menggunakan analisis framing dengan menggunakan model analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perspektif atau ideologi media Waspada dan Analisa dalam menulis berita demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa mengemas pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM. 3. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa mengonstruksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM.
I.4.2. Manfaat Penelitian 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan di lingkungan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya kajian-kajian tentang analisis framing, 2. Secara teoritis, peneliti dapat menerapkan ilmu yang diperoleh selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU dan menambah wawasan peneliti mengenai konstruksi media terhadap suatu berita, 3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca surat kabar dan media Waspada serta media Analisa.
I.5. Kerangka Teori Setiap metode ataupun pendekatan selalu didasari oleh pemikiranpemikiran ataupun teori-teori yang digunakan sebagai pijakan berpikir. Salah satu fungsi utama teori ialah memberikan fondasi dalam berpikir ilmiah (Sarwono, 2006: 197).
Universitas Sumatera Utara
I.5.1. Analisis Framing Framing adalah metode penyajian realitas di mana kebenaran suatu realitas tidak diingkari secara total melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan
sorotan-sorotan terhadap
aspek-aspek
tertentu
saja dengan
menggunakan istilah yang mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001: 186). Gagasan mengenai framing pada awalnya dikemukakan oleh Baterson tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Tahun 1974, Goffman mengembangkan konsep frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Seperti layaknya kalau kita melihat lewat jendela, seringkali batasan pandangan menghalangi kita untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Melalui berita, kita mengetahui apa yang terjadi di daerah manapun di dunia. Melalui media, kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik di Jakarta, kehidupannya, kegiatannya. Tetapi apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita rasakan mngenai dunia itu tergantung pada jendela apa yang kita pakai. Pandangan lewat jendela itu, tergantung pada apakah jendela yang kita pakai besar atau kecil. Jendela yang besar dapat melihat lebih luas, sementara jendela yang kecil membatasi pandangan kita. Apakah jendela itu berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu dapat dibuka lebar ataukah hanya dapat dibuka setengahnya. Apakah lewat jendela itu kita bisa melihat secara bebas ke luar atau
Universitas Sumatera Utara
kah kita hanya bisa mengintip dari balik jerujinya. Yang paling penting, apakah jendela itu terletak dalam rumah yang punya posisi tinggi ataukah dalam rumah yang terhalang oleh rumah lain. Dalam berita, jendela itu yang kita sebut sebagai frame atau bingkai (Eriyanto, 2004: 4). Pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan (Imawan, dalam Sobur, 2004: 162). Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana, adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks. Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami (Hamad, 2004: 2003)
I.5.2 Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki Model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks,
Universitas Sumatera Utara
media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2004: 252). Menurut Pan dan Kosicki ada 2 dari konsepsi framing yang saling berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan kosepsi sosiologis (social). Bagaimana kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan. Dalam mengkonstruksi suatu realitas wartawan tidak hanya menggunakan konsepsi yang ada dalam dirinya semata. Namun proses konstruksi juga melibatkan nilai-nilai sosial yang melekat dalam diri wartawan, khalayak yang akan membaca berita, dan ditentukan juga oleh proses produksi yang melibatkan standard kerja, profesi jurnalistik, dan standard profesional dari wartawan. Dengan cara apa wartawan atau media menonjolkan pemaknaan atau penafsiran mereka atas suatu peristiwa? Wartawan memakai secara strategis kata, kalimat, lead, hubungan antar kalimat, foto, grafik, dan perangkat lain untuk membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami oleh pembaca (Eriyanto, 2004: 254). Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide.
Universitas Sumatera Utara
I.5.3. Berita dan Konstruksi Realitas Ada banyak definisi berita yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Astrid S. Susanto Sunario berita adalah suatu pelaporan tentang suatu kejadian yang
dianggap
penting
(Sunario,
1993:
159).
Mitchell
V.
Charnley
mendefinisikan berita yaitu laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting atau keduanya, bagi sejumlah besar orang (Kusumaningrat, 2005: 39). Dalam definisi jurnalistik, Assegaff menyatakan berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup segisegi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan (Assegaf, dalam Sumadiria, 2005: 64-65). Berita lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Namun, tidak semua peristiwa layak atau mempunyai nilai berita. Beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah (Santana, 2005: 18-20): 1. Immediacy, kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu amat penting di sini. 2. Proximity, adalah kedekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam keseharian hidup mereka. Khalayak berita akan tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan sehari-harinya.
Universitas Sumatera Utara
3. Consequence, berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji pegawai negeri, kenaikan harga BBM, masyarakat dengan segera akan mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari yang harus mereka hadapi. 4. Conflict,
perseteruan
antarindividu,
antartim
atau
antarnegara
merupakan elemen-elemen natural dari berbagai berita-berita yang mengandung konflik. 5. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi (unussualness) ialah sesuatu yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat. 6. Seks, kerap seks menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan. Segala hal yang berhubungan dengan seks pasti menarik dan menjadi sumber berita. 7. Emotion, sering disebut elemen human interest. Elemen ini menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau tragedi. 8. Prominence, elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar intilah “names make news” (nama membuat berita). Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang terkenal (public figure, pejabat, pembuat kebijakan, dan lain-lain) akan dibuu berita. 9. Suspense, elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat. Kisah berta yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting. Kejelasan fakta tetap dituntut oleh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam ilmu komunikasi sebagai payung dunia jurnalisme, sebenarnya ada dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang bernama “berita”. Pertama, berita sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu proses manajemen produksi institusi media setak surat kabar ataupun majalah. Kedua, berita sebagai hasil rekonstruksi realitas yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna (Birowo, 2004: 168-169). Ahli sosiologi, Gaye Tuchman dalam bukunya Making News, menyatakan bahwa berita merupakan konstruksi realitas sosial. Tindakan membuat berita, kata Tuchman adalah tindakan mengkonstruksi realita itu sendiri, bukan penggambaran realita. Dia menekankan bahwa berita adalah sekutu bagi lembaga-lembaga yang berlegitimiasi dan bahwa berita juga melegitimasi status quo (Severin, 2007: 400). Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka dapat dibuat skema yang dapat menjelaskan kerangka teori (Theorytical Framework) sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Skema 1. Kerangka Teori (Theorytical Framework)
Konstruktivis
Analisis Framing Model Pan dan Kosicki
Informasi
Proses Produksi Berita oleh Media
Realitas
Pola Konstruksi
Teks Berita
I.6. Kerangka Konsep Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat
dipakai
untuk
menggambarkan
berbagai
fenomena
yang
sama
(Singarimbun, 1995: 17). Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995: 40). Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
Universitas Sumatera Utara
Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
STRUKTUR
SINTAKSIS
PERANGKAT FRAMING
1. Skema berita
UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan
Cara wartawan
sumber, pernyataan,
menyusun fakta
penutup SKRIP
2. Kelengkapan berita
5W + 1H
3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti
Paragraf, proposisi,
7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora
Kata, idiom,
Cara wartawan mengisahkan fakta
TEMATIK Cara wartawan menulis fakta.
RETORIS Cara wartawan
kalimat, hubungan antar kalimat
gambar/foto, grafik
menekankan fakta
Sumber: Eriyanto, 2004: 256
Universitas Sumatera Utara
I.7. Definisi Konsep 1. Sintaksis Dalam pengertian umum, sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan bagan berita-headline, lead, latar informasi, sumber, penutupdalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Unit yang diamati dari struktur sintaksis adalah: a. Headline Berita yang menjadi topik utama media. b. Lead Alinea pembuka atau alinea pertama suatu berita. Lead atau teras berita berisi pokok-pokok penting yang dapat mewakili isi berita. c. Latar informasi Merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin ditampilkan wartawan. Wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. d. Kutipan sumber berita Orang atau hal-hal yang dijadikan sumber berita. Dimaksudkan untuk membangun objektivitas prinsip keseimbangan dan tidak memihak. Ia juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan bukan pendapat wartawan semata, melainkan pendapat orang yang mempunyai otoritas tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing atas tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai menyimpang. e. Pernyataan Merupakan kalimat-kalimat yang dibuat untuk mendukung isi berita. f. Penutup Bagian akhir berita. 2. Skrip Skrip berhubungan dengan bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur wartawan dalam mengisahkan/ menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah unsur kelengkapan berita, yaitu: a. Who (siapa), siapa yang terlibat b. What (apa), apa peristiwa yang diberitakan c. When (kapan), waktu terjadinya peristiwa d. Where (dimana), lokasi peristiwa e. Why (mengapa), mengapa bisa terjadi f. How (bagaimana), bagaimana terjadinya peristiwa
Universitas Sumatera Utara
3. Tematik Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis, bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Tematik memiliki perangkat framing: a. Detail Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) b. Koherensi Merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau sebab-akibat. c. Bentuk kalimat Bentuk kalimat dipakai untuk menjelaskan fakta yang ada, berhubungan dengan kalimat pasif atau kalimat aktif dan kalimat deduktif atau kalimat induktif.
Universitas Sumatera Utara
d. Kata ganti Kata pengganti subjek atau objek dalam suatu kalimat, misalnya : aku, dia., mereka, itu, dan lain-lain. 4. Retoris Struktur retoris suatu wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin di tonjolkan. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memaknai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca. Retoris memiliki perangkat framing sebagai berikut: a. Leksikon Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa. b. Grafis Biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar, termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar, tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan. c. Metafora Kalimat perumpamaan atau pengandaian.
Universitas Sumatera Utara