BAB I PENDAHULUAN
I. A Latar Belakang Masalah Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan agar dapat tumbuh secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004). Kebutuhankebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik sampai psikologis yang pada umumnya dipenuhi oleh caregiver (orang tua, kakek/nenek, pengasuh, atau orang dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan kesejahteraan anak) (Santrock, 1998). Dengan demikian, anak akan merasakan pengalaman cinta yang murni dan disiplin yang sehat. Kondisi tersebut memberikan mereka perasaan aman dan puas sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan real self mereka (Horney, dalam Feist, 2002) Orang tua, sebagai caregiver utama, memiliki kontribusi yang sangat besar dalam memberikan cinta dan perhatian pada anak untuk mendukung perkembangan anak sehingga menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock, 1998). Memang, kebanyakan orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik, namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu atau tidak mau peduli dan ada pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka. (Papalia, 2004). Bahkan, ada juga orang tua yang mengaku menyayangi anaknya namun tetap tega menyakiti anak atas nama disiplin dan kasih sayang (Santrock, 1998).
1
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data dari informasi dan dokumen di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), ada sekitar 27,4 % dari 62 kasus penganiayaan terhadap anak di Sumatera Utara, dilakukan oleh orang tua sepanjang tahun 2006 meliputi 11 kasus dilakukan oleh orang tua kandung, 4 kasus oleh orang tua tiri, dan 2 kasus oleh orang tua angkat. Tentunya, jumlah tersebut bukan merupakan angka keseluruhan anak yang mengalami penganiayaan oleh orang tua di Sumatera Utara. Fenomena seperti ini sering disebut sebagai aib keluarga sehingga tidak terbuka dan tidak melibatkan orang lain. Selain itu, anak juga merasa takut menceritakan perlakuan orang tuanya pada orang lain karena budaya di Indonesia mengharuskan anak sejak kecil patuh dan taat kepada orang tua. Anak sering dibelenggu dogma-dogma yang mengabaikan hak anak untuk mengemukakan pendapat. Peristiwa penganiayaan anak biasa dikenal dengan istilah child abuse atau child maltreatment. Child abuse atau child maltreatment meliputi dua perilaku yaitu abuse dan neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak. Perilaku abuse dan neglect ini memiliki empat tipe. Pertama, physical abuse, yaitu kekerasan terhadap fisik anak yang dapat berupa pukulan, tendangan atau pembakaran. Kedua, neglect, merupakan pengabaian atau kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan pendidikan dasar anak. Ketiga, sexual abuse, merupakan kegiatan seksual yang melibatkan anak. Keempat, emotional maltreatment, meliputi tindakan maupun tidak ada tindakan sama sekali (Papalia, 2004).
2
Universitas Sumatera Utara
The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam McDonal, 2007) menyatakan bahwa child abuse merupakan penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak, namun pada penelitian ini peneliti berfokus pada orang tua sebagai pelaku child abuse. Rafeinstein (2000) mengutip pengalaman Rebecca sebagai anak yang tumbuh dengan ibu yang abusive secara fisik dan verbal, serta ayah yang jarang ada di rumah :
“......Ibuku sering memanggilku dengan sebutan ‘bodoh’ atau ‘idiot’. Kalau aku melakukan kesalahan ibu akan memukul dan membenturkan kepalaku..... sedangkan ayah menyayangiku tapi tidak pernah ada saat aku membutuhkannya. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya.”
Pada umumnya, orang dewasa yang yang melakukan kekerasan terhadap anak mereka sendiri kurang memiliki kontrol atas dorongan agresi dan memiliki pemikiran yang tidak realistik bahwa anak-anak dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya sendiri. Biasanya mereka juga memiliki sejarah kekerasan ketika mereka kecil (Kempe et al. dalam Berk, 2000). Sejarah kekerasan biasanya merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998). Papalia (2004) menambahkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan berasal dari semua usia, namun angka tertinggi adalah usia 3 tahun ke bawah. Dari sepuluh kasus, sembilan diantaranya dilakukan oleh orang tua anak –
3
Universitas Sumatera Utara
biasanya ibu, kecuali untuk kasus sexual abuse. Selain itu, anak perempuan 4 kali lebih beresiko mengalami sexual abuse dibandingkan anak laki-laki. Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur (Berns, 2004), bayi prematur, anak yang sakit parah, anak yang ceroboh, overaktif atau memiliki masalah perkembangan lain, serta anak hasil kehamilan yang tidak diinginkan (Berk, 2000) cenderung mengalami child abuse. Child abuse juga bisa dihubungkan dengan nilai budaya, hukum dan kebiasaan yang dipegang keluarga turun-temurun. Masyarakat yang memandang kekerasan sebagai cara yang tepat untuk mengatasi masalah cenderung melakukan child abuse. Di Amerika, dimana perilaku kekerasan secara luas diterima, lebih dari 90% orang tua melaporkan menggunakan tamparan dan memukul bokong untuk mendisiplinkan anak, sedangkan di negara-negara yang tidak menerima adanya hukuman fisik, seperti China, Jepang, Luxemburg dan Swedia, jarang terjadi child abuse (Staub; Zigler & Hall, dalam Berk, 2000) Faktor lain seperti rendahnya pendapatan, pengangguran, konflik perkawinan, domestic violence, stres pada orang tua, sering berpindah-pindah tempat tinggal, dan pemakaian obat-obatan terlarang juga mempengaruhi kemungkinan terjadinya child abuse (Berk, 2000). Child Abuse dapat menyebabkan akibat yang serius, baik bagi fisik, maupun psikis. Kekerasan fisik dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan kerusakan organ reproduksi atau bahkan
4
Universitas Sumatera Utara
tertular penyakit menular seksual, dan mungkin saja, kehamilan (Wibisono, 2004). Mengalami pengabaian dan kekerasan emosional mengakibatkan anak cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi (Berns, 2004). Dampak psikis dari child abuse dapat berupa kesulitan berkonsentrasi, mengalami gangguan belajar, dan prestasi menurun. Anak-anak korban child abuse juga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial. Mereka berperilaku agresif sehingga cenderung ditolak teman sebaya atau malah menjadi pasif atau menarik diri karena merasakan ketidakberdayaan. Mereka juga takut orang tua akan kehilangan kontrol sehingga memilih menghindar dari orang tua (Papalia, 2004). Kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhan akan cinta dan perasaan aman yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan berjudi (Berns, 2004). Selain itu, anak juga mengalami tekanan psikologis seperti takut, stres, trauma (Wibisono, 2004), rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam (Herman, 1997). Kemarahan yang merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan ketidakberdayaan kemudian dapat berubah menjadi amukan yang kuat setelah anak dewasa. Anak juga mengalami kesulitan membangun kepercayaan, dan merasa tidak berharga (Crosson, 2002). Penderitaan akibat dampak-dampak kekerasan pada anak tidak hanya terjadi setelah mengalami tindak kekerasan tetapi juga dapat dialami anak sampai ia dewasa seperti gangguan psikologis yang
5
Universitas Sumatera Utara
dapat berupa histeris, mimpi buruk, dan merasa peristiwa lalu muncul lagi (Wibisono, 2004). Biere (1992) memberi istilah adult survivor untuk orang dewasa yang memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak. Tanpa intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga. Mereka akan menjalani hidup dengan membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka. Rebecca (dalam Rafeinstein, 2000) menceritakan efek pengalamannya sebagai korban child abuse berupa kemarahan yang terus dibawanya bahkan setelah ia dewasa dan berkeluarga: “Aku menghabiskan seluruh masa kanak-kanakku dengan ketakutan melakukan sesuatu yang akan membuatnya jengkel. Sebagai hasilnya, aku hidup dengan rasa marah yang konstan.... Bertahun-tahun, aku menyesuaikan diri dengan semua kemarahan, yang menghabiskan energiku dan menghalangi kebahagiaanku. Aku juga secara fisik sering sakit. Aku benar-benar kacau."
Banyak survivors mengungkapkan bahwa selain merasa marah, mereka juga merasakan ketidakberdayaan dan ketakutan ketika dianiaya atau melihat anggota keluarga lain (bahkan hewan peliharaan) dianiaya. Mereka kemudian belajar mengembangkan keahlian mengenal tanda-tanda akan terjadi kekerasan, misalnya perubahan ekspresi wajah, suara dan bahasa tubuh orang tua. Apabila orang tua menunjukan reaksi tersebut, mereka berusaha melindungi diri dengan menghindar atau melarikan diri, dan jika gagal, mereka akan berusaha menjadi ‘anak yang baik’ untuk menenangkan orang tua (Herman, 1997). Seperti yang terjadi pada Asti (bukan nama sebenarnya) yang mengaku merasa takut ketika ibu
6
Universitas Sumatera Utara
tirinya marah-marah sehingga ia memilih menghindar, berharap ibu tirinya tidak semakin marah. “..Ya kami baek-baek lah. Jangan sampek tambah marah pula dia kan.... Bis tu kami pigi aja masuk kamar. Takut kami mamak tiri kami tambah marah…”(komunikasi personal, 26 Agustus 2007)
Menekan rasa marahnya dan berusaha menjadi ‘anak yang baik’ membuat anak berespon secara pasif yaitu dengan tidak mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan perilaku secara langsung kepada orang tua, melainkan dengan caracara seperti berdiam diri, tindakan agresif pasif, dan merenungi (ruminate) child abuse yang dialaminya serta perasaannya. Mereka tidak langsung mengatakan atau melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka marah dan benci atas perilaku abusive yang dialaminya, melainkan terus mengingat-ingat dan menyimpan perasaan di dalam hati, atau melakukan “sesuatu” tanpa sepengetahuan orang tua (Worthington, 1999). Dalam trilogi novelnya, Dave (dalam Pelzer, 2003) menceritakan pengalaman pribadinya sebagai orang berhasil bertahan hidup setelah mengalami physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu kandungnya sendiri sejak ia berusia 4 tahun. Berikut kutipan yang menunjukan keadaan rumination Dave dewasa terhadap ibunya ketika ia berkunjung ke rumah ibunya: “.....Ingin rasanya aku melompat dari dudukku, berdiri di depannya, lalu berteriak persis di depan wajahnya yang menjijikkan itu, ‘Kau perempuan jalang tak waras! Kau anggap aku mainan! Budak yang bisa kau perintah seenaknya! Kau merendahkan diriku, menghapus namaku, dan menyiksaku sampai nyaris mati’....... Masih dengan nafas berat, aku meneruskan kemarahanku dalam hati, ‘Sadarkah kau apa yang bisa kulakukan terhadapmu sekarang ini, saat ini juga? Aku bisa mencekik lehermu yang tembam itu, dan membuat nyawamu melayang. Atau, aku bisa juga membuatmu menderita perlahan-lahan, perlahan-lahan sekali. Kau tidak
7
Universitas Sumatera Utara
langsung kubunuh, tapi kucopot daya hidupmu perlahan-lahan. Aku bisa melakukannya, sungguh aku bisa’” (hal 281-282)
Individu yang mengalami emosi-emosi tersebut di atas dikatakan sedang berada dalam keadaan unforgive (tidak memaafkan). Unforgiveness didefinisikan sebagai emosi "dingin" yang melibatkan rasa marah, sakit hati, dan rasa benci, bersamaan dengan motivasi untuk menghindari atau membalas transgresor (pelaku kejadian penyerangan). Emosi dingin tidak mudah hilang seiring berjalannya waktu, kecuali apabila dilakukan intervensi yang tepat (Worthington, 1999). Emosi-emosi dingin ini mengakibatkan dampak buruk bagi individu yang mengalaminya antara lain menurunnya fungsi kekebalan tubuh dan depresi (Zechmeister, 2004). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, orang tersebut menjadi lebih mungkin terkena masalah kesehatan. Emosi-emosi negatif dapat memperbesar kemungkinan terjadinya penyakit jantung dan kanker dan individu akan sulit mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, individu berusaha menghilangkan atau setidaknya mengurangi unforgiveness. Ada banyak cara sehingga seseorang dapat mengurangi unforgiveness, misalnya dengan langsung membalas, membalas dendam, menuntut keadilan atau dengan defense psikologis (represi, proyeksi, denial, dan sebagainya). Cara-cara tersebut mungkin dapat mengurangi beberapa emosi negatif, namun emosi negatif lainnya tetap akan ada atau bahkan semakin bertambah. Ada satu cara lagi untuk
8
Universitas Sumatera Utara
mengatasi unforgiveness yaitu dengan forgiveness (pemaafan) (Worthington & Wade, 1999). Menurut Lucia (2005), ketika seseorang memaafkan, ia mengganti perasaan unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan seseorang. Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi emosi. Disonansi emosi terjadi ketika korban mengalami emosi-emosi positif seperti empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi ini bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) yang dirasakan korban sehingga korban merasa tidak nyaman dan akan berusaha menyeimbangkan emosinya. Akan tetapi, mengalami disonansi emosi tidak berarti menyebabkan forgiveness. Orang yang merasakan disonansi emosi juga mungkin saja malah kembali unforgive (Worthington & Wade, 1999). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness antara lain empati, rumination (merenungi kejadian yang menimbulkan sakit hati), kualitas hubungan, permintaan maaf (McCullough, 2000), agama dan kepercayaan (Worthington & Wade, 1999). Faktor-faktor tersebut ada yang berkorelasi positif dan ada yang berkorelasi negatif dan dapat mempengaruhi disonansi emosi pada diri korban, namun apakah individu forgive atau kembali unforgive ditentukan oleh korban sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Worthington & Wade (1999) bahwa forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban untuk melepaskan unforgiveness.
9
Universitas Sumatera Utara
Anda (bukan nama sebenarnya) memiliki ayah yang dulunya adalah seorang penjudi dan pemabuk. Sejak kecil ia dan anggota keluarganya yang lain sering dipukuli ayahnya. Perasaan unforgive-nya juga diperparah karena ia tidak tahan melihat ibunya menderita. Pada akhirnya, Anda memilih forgive setelah melihat ibunya bahagia setelah ayahnya sadar dan berubah. “..masalah abang sama bapak kan karna dia mabok-mabok itu. Kalo udah mabok woo.. Bukannya apa, Abang paling gak tahan nengok mamak. Dulu kalo dibilang dendam, dendam kali Abang sama dia Vi. Tapi nengok bapak sekarang udah berubah rasanya abang bersukur juga la. Gak penting sama Abang dia harus ngomong apa sama Abang. Yang penting dia udah berubah, terus nengok mamak udah seneng Abang juga seneng..” (komunikasi personal, tanggal 23 November 2007)
Berbeda dengan Anda yang memilih forgive walaupun tanpa kata maaf, Asti (bukan nama sebenarnya) memilih tetap unforgive pada ayahnya walaupun ayahnya telah menyatakan penyesalan dan permintaan maaf padanya. Ia menghilangkan emosi positif yang muncul dalam dirinya akibat permintaan maaf ayahnya dengan meyakinkan dirinya bahwa penyesalan ayah sudah terlambat. “…Itulah ayah kami pun dah insaf juga. Tapi insaf pun ayah kami kekmana lah dah gak bisa lagi, Dev. Minta maaf pun dia, gak guna lagi. Tak bisa kumaafkan dia…Udah lama kali kejadiannya. Tau ko Dev kayakmana perasaanku ini Dev?”(komunikasi personal, 10 Agustus 2007)
Forgiveness sendiri tidak menjamin adanya pemulihan hubungan (rekonsiliasi). Setelah memaafkan pun, survivor belum tentu memiliki hubungan yang erat seperti sebelum child abuse terjadi atau seperti layaknya hubungan orang tua dan anak pada umumnya. Akan tetapi, forgiveness lebih memberikan konsekuensi positif daripada unforgiveness, yang meliputi meningkatnya kesehatan fisik dan emosional (Lucia, 2005), penyembuhan trauma (Orcutt dalam
10
Universitas Sumatera Utara
Worthington, 1999), mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil (Worthington, 1998), memperbaiki hubungan interpersonal dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) (Konstam, 2000). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa child abuse memiliki dampak-dampak buruk bagi anak, salah satunya anak akan membawa emosi negatif (unforgiveness) yang akan dibawa anak hingga dewasa apabila tidak tercapai solusi yang tepat dan dapat mengganggu hubungan anak dan orang tua. Setiap individu berbeda-beda responnya terhadap unforgiveness, namun, cara yang paling baik untuk mengurangi dan mengatasi unforgiveness adalah dengan forgiveness karena forgiveness dapat melepas perasaan dendam dalam jiwa seseorang, dan membantu individu memperbaiki hubungannya dengan orang tuanya sehingga menuntun orang tersebut ke hidup yang lebih bahagia. Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi emosi. Akan tetapi, disonansi emosi tidak hanya menyebabkan forgiveness. Seseorang yang merasakan ketidaknyamanan disonansi emosi bisa saja kembali unforgive. Dinamika ini lah yang tertarik untuk peneliti teliti.
I. B Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan masalah utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.
11
Universitas Sumatera Utara
I. C Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.
I. D Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi klinis khususnya pada pembahasan mengenai forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan masukan bagi orang dewasa yang pernah mengalami child abuse mengenai manfaat forgiveness sebagai suatu media penyembuhan, memberikan informasi dan wawasan baru bagi orang tua dan calon orang tua mengenai dampak pengasuhan bagi perkembangan jiwa anak, dan sebagai bahan bagi pembaca dan pihak-pihak yang berhubungan dengan penanganan child abuse. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
I.E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah :
12
Universitas Sumatera Utara
BAB I
: Pendahuluan Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Landasan Teori Berisi teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari teori mengenai forgiveness dan child abuse, serta paradigma penelitian.
BAB III
: Metode Penelitian Berisi mengenai pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian, metode pengambilan data, alat pengumpulan data dan prosedur penelitian.
BAB IV
: Hasil dan Analisis Hasil Berisi uraian mengenai gambaran hasil penelitian, termasuk di dalamnya deskripsi umum partisipan penelitian, hasil observasi, dan hasil wawancara, serta rangkuman analisis hasil penelitian antar partisipan.
BAB V
: Kesimpulan, Diskusi dan Saran Berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh, diskusi tentang hal yang terkait dengan hasil penelitian dan saran, baik saran praktis maupun saran untuk penelitian lanjutan, yang berhubungan dengan hasil penelitian.
13
Universitas Sumatera Utara