1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tertawa muncul secara alami pada manusia bahkan pada bayi yang baru berusia beberapa bulan. Pemicu terjadinya tawa dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti ketika digelitiki, membaca kisah yang lucu, menonton komedi, ataupun ketika mendengar suara yang menggelikan. Ihwal bagaimana cara kerja hal-hal tersebut dapat mengundang tawa rupanya telah menjadi bahan penelitian bagi para ahli yang menekuni bidang tersebut untuk menggalinya lebih jauh terutama pakar linguistik, kognitif, psikologi dan lain sebagainya. Aristoteles melalui Cameron (1993: 5) melihat tertawa sebagai sifat khas kemanusiaan dan salah satu yang membedakan manusia dari hewan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pendapat Aristoteles ini dibantah oleh ahli seperti Steven Legare dari Universite De Montreal (nouvelles.umontreal.ca) yang dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tawa merupakan perilaku universal. Disebut universal karena perilaku ini tidak hanya dilakukan oleh manusia, tetapi juga hewan, misalnya kera. Legare juga menyebutkan bahwa tawa diasosiasikan dengan perubahan kontraksi pada otot dan aktivasi otak. Fenomena inilah yang membawa tawa menjadi sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Jika diperhatikan, orang-orang yang menyukai humor terlihat lebih segar daripada yang terlalu serius. Hal ini dikarenakan aktifitas tersebut dapat meningkatkan jumlah endorphin, yaitu suatu unsur penghilang rasa sakit alami
dalam tubuh. Dr. Lee S. Berk dari Loma Linda University, California, USA (Harsono,2010) menjelaskan bahwa tertawa membantu meningkatkan jumlah selsel pembunuh alami (dikenal dengan sel NK, sejenis sel darah putih) serta meningkatkan antibodi sehingga berperan besar dalam melawan infeksi, alergi serta kanker. Hal ini agaknya sesuai dengan apa yang dipaparkan Martin (2010:25) tentang kaitan humor dan kesehatan bagi manusia. Penelitian psikoneuroimunologi menunjukkan humor berhubungan dengan emosi dan imunitas seseorang sehingga banyak penyedia layanan kesehatan memanfaatkan humor untuk mempercepat kesembuhan pasien yang ada di rumah sakit dengan menyediakan ruangan komedi (comedy rooms) dan badut-badut untuk menghibur pasien. Humor dianggap dapat menjadi sebuah metode percepatan dalam pemulihan pada pasien yang menderita sakit kronis, kanker, dan penyakit lainnya Selain memberi manfaat yang positif untuk tubuh, humor pun memiliki peranan yang cukup penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Bergson and Freud melalui Billig (2005:2) menyatakan bahwa kekonyolan berada dalam setiap aspek kehidupan sosial sejalan dengan adat dan kebiasaan dalam komunitas sosial mereka itu sendiri. Hal inilah yang membuat humor terus berkembang karena humor mengikuti apa yang sedang terjadi dalam masyarakat. Berbagai hal dalam ruang lingkup manusia dapat berpotensi untuk dijadikan bahan suatu kelucuan seperti ketimpangan sosial, fenomena aneh, tren terbaru, sindiran politik dan lain sebagainya. Humor dapat dijadikan sebagai media untuk menyampaikan pesan yang baik karena sifatnya yang santai dan menghibur.
Sebagai sarana hiburan, humor telah banyak disajikan dalam berbagai bentuk media seperti media audio (radio) dan media visual (kartun). Selain itu humor juga dapat dituangkan dalam audio visual seperti dalam stand-up comedy. Stand-up comedy sebagai salah satu produk humor yang marak diperbincangkan oleh khalayak ramai dewasa ini dapat diartikan sebagai ‘komedi berdiri’ atau ‘komedi tunggal’. Stand-up comedy memiliki kekhasan yaitu membawakan materi lawakannya di atas panggung seorang diri di depan penonton secara langsung. Dilihat dari sejarahnya, stand-up comedy telah mencul dari abad ke 19 di Amerika dan Eropa. Namun perkembangan secara signifikan terjadi di Amerika pada pertengahan abad 19. Hal ini ditandai pada sekitar tahun 1970 banyak klubklub komedi dibuka. Komik pada era ini sering menggunakan lelucon mengenai etnis seperti-Afrika, Skotlandia, Jerman, Yahudi dan membangun humor berdasarkan stereotip populer. Di tahun 1980an kemajuan pesat terjadi, lebih dari 300 klub komedi bermunculan dan acara stand-up comedy meledak di televisi (comedians.about.com). Meskipun sedikit jatuh di awal tahun 1990-an, stand-up comedy kembali bersinar pada tahun 2000 sampai sekarang. Acara-acara yang mengusung tema stand-up comedy semakin menjamur. Penampilan mereka pun semakin mudah untuk diakses, seperti sekarang ini penonton dapat melihat mereka melalui film, DVD, Youtube, dan situs-situs internet lain. Pelaku stand-up comedy dikenal sebagai comic (comedy microphone) yang selanjutnya akan disebut sebagai komik dalam penelitian ini. Istilah ini digunakan karena microphone adalah satu-satunya alat yang digunakan pelaku stand-up comedy ketika menyampaikan humor-humor segarnya di hadapan penonton.
Beberapa komik terkenal di Amerika yaitu Eddie Murphie, George Carlin, Margareth Cho, Jerry Seinfield, Woody Allen, dan Chris Rock. Nama-nama di atas sangat terkenal dikalangan penggemar stand-up comedy karena lawakan mereka memiliki karakter masing-masing dalam materi komedinya. Eddie Murphy misalnya terkenal dengan kekuatan mimik wajahnya, George Carlin dengan gerutuan dan sering bersinggungan dengan topik religi, kemudian Margareth Cho yang mengandalkan materi humor tentang politik dan perempuan. Chris Rock sendiri terkenal dengan materi lelucon yang dipengaruhi oleh pionir komedi hitam seperti Richard Pryor dan Redd. Ia menyerang subyek yang banyak dihindari komik seperti politik, ras dan selebriti. Keterbukaan dan kejujurannya yang sangat berani itulah yang menjadikan Chris Rock sebagai salah satu komik paling sukses dan terkenal dalam komedi modern (www.icomedytv.com) Kesuksesan Chris Rock tersebut juga tidak terlepas dari kepiawaiannya meramu lelucon-lelucon untuk menimbulkan tawa penonton. Jika ditinjau dari ranah linguistik, komik pada umumnya banyak melanggar aspek-aspek pragmatik dan memanfaatkan aspek kebahasaan. Hal di atas dapat dilihat dari contoh berikut:
(Datum 1) 48CR: George Bush has fucked up so bad... ((weak laughter)) ‘George Bush benar-benar gagal...’ ((tertawa lemah)) 49CR: he made it hard for a white man to run for president. ((laughter and long applause)) ‘Dia menyulitkan pria kulit putih untuk menjadi presiden.’ (( tertawa dan bertepuk tangan panjang))
50CR: People are like,"Give me a black man, a white woman, ‘Orang-orang berkata ,"berikan aku seorang kulit hitam, wanita kulit putih,’ 51 CR: "a giraffe, a zebra,anything but another white man! ‘jerapah, zebra, apapun kecuali pria kulit putih lagi!’ 52CR: "That last one fucked up my roof." ‘Pria kulit putih terakhir telah merusak atapku.’ Dalam wacana di atas terlihat sindiran keras Chris Rock pada dunia politik. Setidaknya terdapat beberapa pelanggaran prinsip pragmatik dalam tuturan tersebut. Pertama adalah pelanggaran maksim kuantitas yang dapat terlihat dari tuturan 51. Chris Rock menyebutkan nama-nama hewan seperti jerapah dan zebra untuk mempertegas kalimat sebelumnya yang menolak orang kulit putih untuk kembali maju sebagai presiden Amerika Serikat. Hal ini tentu melanggar prinsip kuantitas yang menghendaki penutur untuk berbicara tidak berlebihan dan secukupnya. Pelanggaran kesopanan pun terjadi pada tuturan Chris Rock tersebut yaitu pelanggaran maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan karena ia telah merugikan pihak-pihak tertentu dan terlihat jelas ia tidak menghormati mereka. Dari segi kebahasaan sendiri Chris Rock memiliki trik tersendiri untuk memancing tawa penonton. Gaya bahasa yang digunakannya pun bervariasi dalam menyampaikan cerita humornya. Salah satu gaya bahasa yang digunakannya adalah hiperbola. Hal ini menjadi salah satu senjata andalannya untuk menciptakan efek humor yang luar biasa. Berikut adalah contohnya:
(Datum 2) 99 CR: That's right, Barack, man, he don't let his blackness sneak up on you. ((weak laughter)) ‘Ya benar, Barack. Dia tak membiarkan kehitamannya mendekatimu.’ ((tertawa lemah)) 100 CR: If his name was Bob Jones or something, ‘Jika namanya adalah Bob Jones atau seperti itu’ 101 CR: it might take you two or three weeks to realise he black. ‘Mungkin kau akan butuh dua atau tiga minggu untuk menyadari dia itu hitam.’ 102 CR: But as soon as you hear “Barack Obama”, ‘tapi setelah kau mendengar “Barack Obama”,’ 103 CR: you expect to see a brother with a spear... ((long laughter)) ‘kau menduga melihat pria hitam membawa tombak’ ((tertawa panjang)) 104 CR: just standing on top of a dead lion. ((laughter)) ‘berdiri di atas bangkai singa.’ ((tertawa))
Gaya bahasa hiperbola banyak digunakan untuk melebih-lebihkan suatu hal, keadaan, ataupun situasi yang dekat dengan para komik. Hal ini dapat terlihat dari wacana di atas dimana Chris Rock menyoroti tentang nama ‘Barack Obama’. Chris membayangkan nama itu seperti seorang pria hitam dengan membawa tombak dan berdiri di atas singa yang mati seperti pada tuturan 103 dan 104. Reaksi penonton yang tertawa lepas ketika mendengar hal itu merupakan bukti bahwa gaya bahasa ini masih menjadi primadona bagi komik. Tema sederhana mengenai nama seseorang pun dapat menimbulkan kelucuan karena komik menggunakan gaya bahasa hiperbola dalam penciptaan humornya. Komik juga dikenal sebagai pencerita yang ulung. Mereka dapat menceritakan kisah lucu yang panjang ataupun pendek dengan menggunakan struktur yang beragam. Ada kalanya mereka hanya menggunakan satu atau dua
kalimat saja dalam membuat kelucuan. Hal ini digunakan sebagai variasi agar lawakan mereka tidak monoton. Berikut merupakan salah satu contohnya: (Datum 3) 105 CR: Barack Obama! ‘Barack Obama!’ 106 CR: You expect to see the bass player from The Commodores come out. [singing and pretending to be a bassist] “too hot to trot, now baby. Too hot to trot baby” ((laughter, scream and applause)) ‘Kau menduga akan melihat pemain bass The Commodores keluar.’ [bernyanyi dan menirukan pemain bass] “too hot to trot, now baby. Too hot to trot baby” ((tertawa,berteriak dan bertepuk tangan)) Dari contoh di atas terlihat bahwa Chris Rock hanya menggunakan kalimat singkat untuk menyampaikan lawakannya. Topik yang diangkatnya adalah Barack Obama. Struktur seperti ini dapat dikatakan termasuk dalam jenis one-liners dimana komik tidak membutuhkan pengantar cerita yang digunakan untuk membangun konstruksi sebuah lelucon. Chris Rock berhasil membuat penonton tertawa ketika ia menyamakan Barack Obama dengan pemain bass The Commodores yang juga sama-sama berkulit hitam. Penonton pun semakin tertawa ketika ia menirukan aksi pemain bass tersebut sambil bernyanyi. Di lain sisi, Chris Rock juga sering menceritakan pengalaman hidupnya dengan ironi yang mampu menciptakan gelak tawa penonton seperti pada contoh di bawah ini: (Datum 4) 731 CR: I'll tell you exactly how that happened. I dropped out of school in the 10th grade. ‘aku akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku putus sekolah di kelas 1 SMA’ 732 CR: Dropped out in the 10th grade, which is the dumbest thing you could ever fucking do. ‘Putus sekolah di kelas 1 SMA itu adalah hal terbodoh yang pernah kau lakukan.’ 733 CR: You know why? Cos when you drop out in the 10th grade, ‘Kau tau kenapa? Karena ketika kau putus sekolah di kelas 1 SMA’
734 CR: you really might as well have dropped out in the second grade. ((weak laughter)) ‘Seharusnya kau keluar saja saat kelas 2 SD’ ((tertawa lemah)) 735 CR: Why? Cos you qualified for the exact same jobs. ‘mengapa? Karena kau hanya bisa mendapat pekerjaan yang sama juga’ 736 CR: Matter of fact, the person that dropped out in the second grade ‘Bahkan orang yang keluar dari kelas 2 SD’ 737 CR: is more qualified cos they have eight years of work experience. ‘ lebih memiliki kualifikasi karena mereka punya pengalaman kerja 8 tahun.’
Lawakan Chris Rock di atas merupakan sebuah ironi terhadap apa yang terjadi pada keputusan hidupnya yang meninggalkan bangku sekolah pada tingkat pertama SMA dan bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran. Ia mengatakan bahwa hal tersebut adalah hal terbodoh yang ia lakukan seperti yang terlihat pada tuturan 732. Hal yang membuat cerita ini lucu adalah ketika ia menyesali mengapa tidak keluar pada kelas 2 SD karena lebih berkualifikasi dengan pengalaman kerja delapan tahun. Dari contoh ini terlihat kepiawaian Chris Rock menjadikan ironi sebagai salah satu alat untuk meledakkan tertawa penonton. Terdapat berbagai hal menarik dari lawakannya yang sangat memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut.
Chris Rock sendiri merupakan salah satu komik terbesar sepanjang sejarah. Ia sudah melakukan 141 pertunjukan besar dan tidak kurang 554.781 orang telah menontonnya secara langsung. Chris Rock dibesarkan di BedfordStuyvesant, yang berlokasi di Brooklyn, New York. Debut layar lebarnya adalah di film Beverly Hills Cop II (1987) dan menghabiskan tiga tahun sebagai aktor Saturday Night Live (1975) (IMDB.com). Pada tahun 1994, Chris Rock memulai
debut stand-up comedynya di HBO yang berjudul Big Ass Jokes, disusul dengan program komedi Bring the Pain yang memenangkan dua buah penghargaan Emmy Awards (http://comedians.about.com). Tur perjalanan komedinya juga dikabarkan menjadi tur komedi terbesar di dunia. Hal inilah yang membuat HBO kemudian mendokumentasikan dan mempublikasikan tur komedinya ke dalam film yang berjudul Kill the Messenger. Penelitian mengenai stand-up comedy masih sangat jarang dilakukan. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji humor yang terdapat dalam film Kill the Messenger dimana film yang berdurasi 80 menit ini menyuguhkan stand-up comedy Chris Rock di London, New York, dan Johannesburg. Berbagai manuver humornya yang cerdas dan sangat tajam menjadikan pertunjukannya sangat diminati oleh berbagai lapisan kalangan. Struktur materi lawakan yang diberikan oleh Chris Rock juga memiliki keunikan sehingga sangat memadai untuk diteliti lebih lanjut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, tesis ini selanjutnya akan membahas humor dalam film Kill the Messenger yang berisi tur stand-up comedy Chris Rock. Terdapat empat hal yang menjadi permasalahan yaitu: 1. Bagaimana struktur stand-up comedy yang dibawakan oleh Chris Rock dalam film stand-up comedy Kill the Messenger? 2. Aspek-aspek pragmatik apa saja yang dimanfaatkan untuk menimbulkan kelucuan dalam film stand-up comedy Kill the messenger’?
3. Aspek-aspek kebahasaan apa saja yang dimanfaatkan dalam film stand-up comedy Kill the Messenger? 4. Fungsi humor apa saja yang terdapat dalam film stand-up comedy Kill the Messenger?
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penulisan tesis ini adalah untuk mendeskripsikan wacana humor dalam film Kill the Messenger yang menampilkan stand-up comedy dari Chris Rock serta mendeskripsikan hal-hal yang menciptakan kelucuan dan fungsinya. Setidaknya terdapat empat tujuan yang dipaparkan secara singkat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Menjelaskan struktur stand-up comedy yang dibawakan oleh Chris Rock dalam film Kill the Messenger 2. Mendeskripsikan aspek-aspek pragmatik yang dimanfaatkan untuk menimbulkan kelucuan dalam film stand-up comedy Kill the messenger 3. Mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan dalam film stand-up comedy Kill the Messenger 4. Mendeskripsikan fungsi humor yang terdapat dalam film stand-up comedy Kill the Messenger.
1.4 Manfaat Penelitian Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dan referensi dalam kajian mengenai wacana humor verbal ditinjau dari aspek-aspek linguistik yang digunakan dalam stand-up comedy. Adapun secara
teoritis, manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan pengetahuan yang komprehensif terhadap humor verbal khususnya dalam stand-up comedy yang dibawakan oleh Chris Rock. Penelitian ini juga berfungsi untuk mengetahui penerapan teori mengenai humor, struktur wacana humor, pemanfaatan aspek pragmatik dan kebahasaan, dan fungsinya sehingga bermanfaat bagi peneliti yang akan mengkaji mengenai wacana humor lainnya. 1.5 Tinjauan Pustaka Wijana (1995) dalam disertasinya yaitu “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia” mendeskripsikan penyimpangan aspek pragmatik dalam wacana kartun yaitu penyimpangan prinsip kerja sama, penyimpangan maksim kesopanan, penyimpangan mendeskripsikan
parameter aspek
pragmatik.
kebahasaan
Secara
spesifik
yang dimanfaatkan
Wijana sebagai
juga sumber
kejenakaan yaitu aspek ortografis, fonologis, ketaksaan, metonimi, hiponimi, sinonimi, antonimi, eufemisme, nama , deiksis, perulangan, pertalian kata dalam frasa, pertalian elemen intra-klausa, dan pertalian antar proposisi. Tipe-tipe wacana humor.yang berhasil ditemukan dalam disertasi ini yaitu wacana nonmonolog, wacana monolog dan wacana dialog. Analisis Wacana Humor Verbal Bahasa Inggris (studi Kasus Serial How I Met Your Mother) oleh Suwanto (2012) turut menjadi salah satu tinjauan literatur bagi penelitian ini. Terdapat beberapa aspek yang menjadi masalah penelitiannya yaitu (1)aspek-aspek pragmatik yang dimanfaatkan untuk menimbulkan kelucuan, (2) aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan untuk menimbulkan kelucuan, (3)
pemanfaatan dan penyimpangan komponen tutur demi humor, dan (4) kejenakaan dilihat dari General Theory of Verbal Humor Salvatore Attardo. Penelitian ini menemukan bahwa serial HIMYM menggunakan aspek-aspek kebahasaan sebagai pemicu humor berupa ortografis, fonologis, morfologis, ketaksaan, hiponimi, antonimi, nama, eufemisme, hiperbola, deiksis, pertalian elemen intra sentensial, pertalian elemen inter sentensial, dan pertalian elemen antar proposisi. Pada tataran pragmatik, penelitian tersebut menemukan bahwa humor tercipta dari penyimpangan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan, prinsip ironi, dan presuposisi. Komsit HIMYM juga memanfaatkan semua segi komponen tutur. Penelitian ini juga membahas humor melalui GTVH beserta kekurangan teori tersebut. Penelitian terbaru mengenai humor adalah penelitian yang dilakukan Joko Ariyanto (2013) yaitu Analisis Wacana Humor Rons Imawan. Tesis ini menghasilkan temuan pemanfaatan aspek pragmatik dalam wacana humor Rons Imawan yang terbagi menjadi menjadi tiga yaitu:
penyimpangan prinsip
kerjasama, penyimpangan prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik nya. Selain itu terdapat pula aspek-aspek kebahasaan seperti aspek ortografis, aspek fonologis, ketaksaan, hiponimi, sinonimi, antonimi, eufemisme, nama, deiksis, pertalian kata dalam frasa, pertalian elemen intra klausa, konstruksi aktif pasif, pertalian
antarklausa,
dan
pertalian
antarproposisi
yang
menjadi
hasil
penelitiannya. Ia juga meneliti tentang tipe-tipe wacana humor, dan fungsi wacana.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya mengenai humor. Penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian yang berobjek stand-up comedy karena penelitian semacam ini masih sangat sedikit dilakukan.
Berbeda dengan
penelitian sebelumnya yang lebih banyak meneliti humor non verbal seperti tekateki, kartun dan lain sebagainya ataupun sesama humor verbal seperti komedi situasi. Masih minimnya penelitian mengenai stand-up comedy ini mungkin dikarenakan genre ini masih terbilang baru dalam seni melawak.
Stand-up
comedy merupakan humor yang memiliki karakteristik khas dimana hanya terdapat satu tokoh di atas panggung yang memiliki teknik dan strategi tersendiri untuk memancing tawa penonton. Hal inilah yang membuat penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Analisis Wacana Analisis wacana merupakan salah satu penelitian linguistik yang mulai digemari beberapa puluh tahun belakangan ini. Lubis (1993:12) menyatakan bahwa selama ini aliran-aliran linguistik membatasi penganalisisannya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau sebagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga
mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana (Littlejon melalui Sobur, 2006 : 48). Analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa dalam tindak komunikasi. Wacana sendiri menurut Kridalaksana (2005 : 259) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Humor berbentuk lisan (yang sudah ditranskripsikan dalam bentuk tulisan) dapat dianggap sebagai wacana. Samsuri menguraikan beberapa aspek yang berkaitan dengan kajian wacana. Aspek-aspek tersebut adalah (a) konteks wacana, (b) topik, tema dan judul wacana, (c) kohesi dan koherensi wacana (d) referensi dan inferensi wacana. Konteks wacana yang membantu memberikan penafsiran tentang makna ujaran adalah situasi wacana. Situasi mungkin dinyatakan secara eksplisit dalam wacana, tetapi dapat pula disarankan oleh berbagai unsur wacana, yang disebut ciri-ciri (wacana) atau koordinat-koordinat (wacana), seperti pembicara, pendengar, waktu, tempat, topik, bentuk amanat, peristiwa, saluran dan kode) (Samsuri melalui Arifin & Rani, 2000 : 13). 1.6.2 Humor Pada dasarnya humor merupakan reaksi emosional manusia terhadap bahasa baik bahasa lisan ataupun tulisan. Dalam literatur-literatur yang ada, banyak sekali teori yang membahas tentang humor, namun dalam garis besarnya, berbagai
teori tentang humor dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) ragam, yaitu: Pertama, teori keunggulan (Superiority Theory), dikenal juga sebagai teori permusuhan (hostility theory) atau dapat pula disebut teori penghinaan (disparagement theory). Plato dan Aristoteles melalui Schwarz (2010:47) merujuk ke sisi agresif humor, yang terutama digunakan untuk meremehkan dan mempermalukan lawan tertentu. Kedua filsuf ini menekankan bahwa tertawa adalah sarana kekuasaan dan keunggulan bila ditujukan terhadap kesalahan orang lain dan dengan demikian mengungkapkan inferioritas mereka. Rasa lebih baik, rasa lebih tinggi atau lebih sempurna pada diri seseorang dalam menghadapi suatu keadaan yang mengandung kekurangan atau kelemahan adalah inti dari teori ini. Teori keunggulan (superiority) inilah yang dapat dipakai untuk menerangkan mengapa para penonton tertawa terbahak-bahak jika komik menceritakan sesuatu yang merendahkan orang lain. Teori humor yang kedua adalah teori ketidaksesuaian (incongruity theory). Wijana (2004: 21) menyatakan bahwa humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang komplek. Teori humor ini timbul karena perubahan yang tiba-tiba dari situasi yang sangat diharapkan menjadi suatu hal yang sama sekali tidak diduga pada tempatnya. Tertawa terjadi karena harapan yang dikacaukan (Frustrated Expectation) sehingga seseorang dari suatu sikap mental dibawa kedalam suatu sikap mental yang sama sekali berlainan. Ketiga adalah teori pembebasan (Relief Theory). Teori ini menyebutkan bahwa inti dari humor adalah pembebasan atau pelepasan dari kekurangan yang
terdapat pada diri seseorang. Teori pembebasan menyebutkan bahwa humor digunakan untuk melepaskan ketegangan atau untuk membuat orang merasa dibebaskan ketika berbicara tentang topik tabu seperti hal-hal yang berbau seks. Berbagai pembatasan dan larangan yang ditentukan oleh masyarakat menjadikan dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri seseorang mendapat tekanan. Bilamana kekurangan atau tekanan itu dapat dilepaskan oleh misalnya dengan lelucon tentang seks, maka hal ini dapat meledakkan tawa bagi orang yang mendengarnya. Teori lain terbaru tentang humor digagas oleh Raskin dan Attardo. Raskin (1985) berkaitan dengan Semantic Script-Based Theory of Humor (SSTH), yang menyebabkan teori umum humor lisan (GTVH) lahir beberapa tahun kemudian (Attardo dan Raskin 1991). General Theory of Verbal Humor (GTVH) adalah teori yang dikembangkan oleh Raskin dan Attardo pada tahun 1991 dan dapat digambarkan sebagai tindak lanjut untuk Semantic Script-Based Theory of Humor (SSTH) (Schwarz, 2010: 55-56). Terdapat beberapa hal penting yang menjadi pedoman teori GTVH yaitu (1) script opposition (SO), yang telah dikenal dengan teori SSTH Raskin yaitu menggali makna dari sebuah teks humor, (2) the logical mechanism (LM), yang mewujudkan logika lokal dan berhubungan dengan cara di mana dua skrip lelucon dibawa bersama-sama, (3) situation (SI), yang menggambarkan berbagai orang yang memainkan peran dalam lelucon, obyek, dan lokasi lelucon, (4) target (TA), yang menggambarkan seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran, (5) narrative strategy (NS), yang mengidentifikasi gaya yang digunakan untuk
menyajikan lelucon (misalnya dialog, teka-teki, narasi) dan (6) language (LA), yang mewakili semua kata dan unit linguistik lainnya yang digunakan dalam teks (Attardo, 2008:108). Berbicara mengenai humor tentu tidak terlepas dari struktur yang membangun humor tersebut. Setidaknya terdapat tiga bagian utama dalam struktur humor seperti yang diungkap oleh Hockett (1960) melalui Schwarz (2010: 65) yaitu build up, pivot, dan punch line. Sama halnya dengan struktur sebuah cerita, humor memiliki bagian pendahuluan yang membangun kerangka berpikir penikmatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Carter (2001: 66) yaitu The setup is not the funny part of a joke, but it is the most important part. If you can't get the audience interested at the beginning of a joke, they are not going to be there at the end of the joke. Audiences make up their minds very quickly, so on every joke it's important to first capture their attention, then make them laugh.
Dapat dilihat dari penggalan penjelasan di atas bahwa bagian pendahuluan bukan merupakan bagian yang lucu dari sebuah lelucon. Jika komik tidak dapat menarik perhatian penonton di awal ceritanya, mereka tidak akan mengikutinya sampai akhir lelucon. Penonton dapat berubah pikiran dalam sekejap sehingga sangatlah penting bagi komik untuk manarik perhatian penonton pada awal cerita. Bagian selanjutnya yang ada pada humor adalah pivot. Secara harfiah pivot sendiri berarti bagian inti yang menjadi topik dari lelucon. Pivot terdiri dari kata atau frase yang menciptakan ketaksaan. Bagian terakhir adalah punchline
yaitu kalimat akhir yang mengagetkan dan yang mampu membuat penonton tertawa. Punchline biasanya mematahkan konsep yang telah dibangun pada bagian pendahuluan sehingga mengakibatkan dampak yang lucu bagi penonton. 1.6.3 Pragmatik Berkenaan dengan kaidah tindak tutur, Grice (1975) merumuskan kaidah bertutur prinsip kerjasama. Prinsip ini merupakan kaidah bertutur yang berisi sejumlah tuntunan bagaimana seharusnya seseorang bertutur. Prinsip kerja sama dirumuskan sebagai berikut, ‘Buatlah sumbangan informasi Anda sebanyak yang dibutuhkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang diikuti’. Secara garis besar terdapat empat maksim yang harus ditaati peserta tindak tutur yakni (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara. Maksim kuantitas menyarankan agar para pserta tutur dalam interaksi memberi informasi sebanyak yang diperlukan, dan tidak memberikan sumbangan informasi yang lebih dari yang diperlukan. Berbeda halnya dengan maksim kualitas yang menyarankan agar peserta tutur dalam suatu interaksi tidak memberikan informasi yang diyakini salah (bohong), dan tidak memberikan informasi yang tidak didukung bukti yang memadai. Selanjutnya Maksim hubungan menyarakan agar para peserta tutur memberikan informasi yang relevan dengan topik pembicaraan. Terakhir maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu (1) menghindari ungkapan yang kabur, (2) menghindariu kata-kata yang berarti ganda, (3) mengatakan sesuatu dengan singkat, dan (4) mengatakan sesuatu dengan teratur.
Selain prinsip kerja sama di atas Leech (1983:16) mengajukan ada enam teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan seperti berikut: 1. Maksim kebijaksanaan (tact), menggariskan bahwa setiap pertuturan harus meminimalkan kerugian terhadap orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. 2. Maksim kemurahan (generosity) menghendaki setiap peserta tuturan untuk meminimalkan keuntungan bagi sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. 3. Maksim penerimaan (approbation) menuntut setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan ketidakhormatan pada orang lain dan memaksimalkan rasa hormat bagi orang lain. 4. Maksim kerendahan hati (modesty) menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri. 5. Maksim kecocokan (agreement) menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur meminimalkan kesetujuan antara diri sendiri dengan orang lain dan memaksimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan orang lain. 6. Maksim kesimpatian (Sympathy) mengharuskan semua peserta pertuturan untuk meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya dan memaksimalkan rasa simpati kepada mitra tutur.
1.6.4 Aspek Kebahasaan Pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan untuk menciptakan humor merupakan sesuatu yang sering terjadi. Kreativitas pencipta humor dalam memainkan kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana dengan konteks yang bervariasi dapat menghasilkan suatu lelucon yang menghibur. Dalam humor verbal khususnya stand-up comedy pemanfaatan aspek kebahasaan lebih menjurus kepada ketaksaan dan gaya bahasa. Wijana ( 2004: 141) menyatakan setidaknya ada dua macam ketaksaan secara sederhana yaitu ketaksaan leksikal dan ketaksaan gramatikal. Ketaksaan leksikal terbentuk karena bentuk-bentuk yang memiliki dua makna atau lebih. Hal ini seperti yang terdapat pada polisemi dan homonimi. Lain halnya dengan ketaksaan gramatikal yang terbentuk dengan penggabungannya dengan leksem lain. Selain itu gaya bahasa pun tidak luput dimanfaatkan oleh komik untuk menciptakan humor yaitu dengan menggunakan metafora, hiperbola, dan lain sebagainya. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang ada, dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah tuturan dan performa Chris Rock dalam stand-up comedy nya. Hal ini kemudian ditranskripsikan ke dalam wacana tulis untuk kemudian dapat dikaji lebih lanjut. Metode kualitatif sesuai untuk menganalisis data yang dikumpulkan karena merupakan hasil transkripsi tuturan Chris Rock yang diambil dari film dokumenter ‘Kill the Messenger’. Film yang menyuguhkan penampilan Chris Rock di atas panggung dari awal sampai akhir ini merupakan perjalanan tur
stand-up comedynya di tiga kota yaitu Johannesburg, New York dan London. Penampilan stand-up comedy Chris Rock dalam tiga kota ini dikompilasi menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga film ini bisa dinikmati dengan baik. Penelitian ini terbagi dalam tiga tahapan metode yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa tahap; pertama, penulis menonton film “Kill the Messenger” dan mengamati secara keseluruhan humor yang terdapat pada materi stand-up comedy Chris Rock. Tidak hanya tuturan yang diucapkan oleh Chris Rock yang menjadi fokus penelitian namun performa Chris Rock seperti gestur, ekspresi wajah, dan tindakan meniru seseorang juga turut diperhatikan. Tuturan Chris Rock yang menggunakan Bahasa Inggris dialek Black English kemudian ditranskripsikan kedalam bentuk tulisan untuk pengumpulan data. Respon penonton berupa tawa, tepuk tangan, teriakan, siulan, dan standing ovation dalam film dokumenter stand-up comedy Chris Rock tersebut juga menjadi sorotan karena reaksi penonton sedikit banyak menandai unsur jenaka yang ada pada stand-up comedy. Pada proses pentranskripsian penulis menggunakan model yang dibangun oleh Dressler dan Kreuz (2000) dimana setiap baris dari transkripsi mewakili bahasa lisan yang tersegmentasi menjadi sebuah kesatuan intonasi (www.uni-saarland.de). Hal inilah yang membuat transkripsi stand-up comedy pada penelitian ini terdiri dari banyak barisbaris pendek berisi tuturan lisan yang ditranskripsikan berdasarkan intonasi penutur. Selanjutnya penulis mencatat bagian-bagian yang terkait dengan permasalahan penelitian untuk dapat dianalisis lebih lanjut.
Tahap kedua yaitu tahap analisis data. Data yang terkumpul diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena data merupakan tuturan berbahasa Inggris. Pada proses penerjemahan penulis terbantu oleh teks terjemahan bahasa Indonesia yang ada pada video. Penulis kemudian mengecek kembali terjemahan tersebut dengan transkrip yang ada agar tidak ditemui kalimat-kalimat yang kurang jelas. Setelah itu dilakukan analisis data untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadi kelucuan. Selanjutnya data dikelompokkan pada masing-masing kategori permasalahan dan diteliti lebih lanjut dengan teori yang sesuai. Tahap ketiga adalah penyajian hasil analisis data. Penulis menggunakan ragam informal yaitu hanya menggunakan kata-kata dalam memaparkan hasil analisis data. Melalui hal ini, fenomena-fenomena linguistik dapat dideskripsikan dan dijelaskan sesuai dengan teori yang digunakan. 1.8 Sistematika Penyajian Pembahasan mengenai Humor dalam film Kill The Messenger
terbagi
menjadi enam bab. Pada bab pertama terdapat beberapa hal penting yang menjadi pondasi penelitian yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Kemudian bab kedua menjelaskan tentang struktur humor dalam stand-up comedy meliputi bentuk dan berbagai tipe wacana humor stand-up comedy Chris Rock. Selanjutnya pada bab ketiga menjelaskan mengenai aspek pragmatik yang dimanfaatkan dalam stand-up comedy Chris Rock. Beberapa hal yang dibahas adalah mengenai pelanggaran prinsip kerjasama, pelanggaran prinsip kesopanan, penyimpangan parameter pragmatik, dan
pemanfaatan prinsip ironi. Bab keempat mendeskripsikan pemanfaatan aspekaspek kebahasaan yang terdapat dalam film Kill the Messenger yang meliputi tiga wilayah besar yaitu morfologi, sintaksis, dan semantis. Bab lima mendeskripsikan fungsi humor yang terdapat dalam film “Kill the Messenger”. Terakhir adalah bab keenam yang merupakan bab kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari apa yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya