II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Daging Sapi Daging adalah salah satu komoditi pertanian yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi protein dimana protein daging mengandung susunan asam amino yang lengkap (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Manusia sejak lama telah menggunakan daging sebagai bahan pangan, yaitu sejak manusia mengenal kebudayaannya, dibuktikan dengan banyak lukisan-lukisan tentang ternak sebagai bahan pangan (Kusmajadi, 2014). Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong. Daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat, yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk bibir, mocong, telinga dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf dan pembuluhpembuluh darah. Istilah daging berbeda dengan karkas. Perbedaan pengertian daging dengan karkas terletak pada kandungan tulang. Daging biasanya sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas adalah daging yang belum dipisahkan dari tulang (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Karkas tersusun oleh kira-kira 600 jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, berbeda pula susunan syaraf dan persediaan darahnya, serta melekatnya pada tulang, persendian dan tujuan serta jenis gerakannya (Buckle,
9 dkk., 2013). Otot yang merupakan komponen utama dari daging yang mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, bermacam-macam substansi non protein yang larut termasuk substansi nitrogenus dan anorganik dan vitamin (Soeparno, 2011). Unit esensial jaringan otot daging adalah serat yang terdiri dari bentukan elemen-elemen protein, myofibril, larutan yang ada diantaranya, sarkoplasma dan jaringan tubulus yang halus, sarkoplasmik retikulum, serat yang diikat oleh membran yang tipis (sarkolema), yaitu tempat tenunan pengikat bertaut dibagian luar (Lawrie, 2003). Daging yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia berasal dari ternak besar, ternak kecil, unggas, aneka ternak dan mungkin hewan liar (Kusmajadi, 2014). Konsumsi daging terbesar untuk daerah Jawa Barat sendiri berasal dari ternak hewan besar dengan konsumsi daging sapi sebagai konsumsi paling tinggi. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut :
Tabel 1. Produksi Daging Ternak Besar Jawa Barat Tahun 2014 Jenis ternak Sapi Kerbau Kambing Domba Babi Sumber: Badan Pusat Statistik (2015)
Jumlah (kg) 38.651.148 1.969.822 7.883.159 23.757.934 1.456.064
Daging merupakan sumber protein yang berkualitas tinggi, mengandung vitamin B dan mineral, khususnya besi. Komposisi kimia daging pada Tabel 2 dan komposisi asam amino esensial dan non esensial dalam daging dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
10 Tabel 2. Komposisi Kimia Daging Sapi Komposisi Air (%) Protein (%) Lemak (%) Ga (mg/g) P (mg/g) Besi (mg/g) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg/g) Sumber: Muchtadi dan Sugiyono (1992)
Kandungan 66.0 18.8 14.0 11.0 170.0 2.8 30.0 0.08
Tabel 3. Komposisi Asam Amino Esensial dan Non Esensial dalam Daging Jenis asam amino esensial
Kadar (%)
Arginin 6.9 Histidin 2.9 Isoleusin 5.1 Leusin 8.4 Lisin 8.4 Metionin 2.3 Phenilalanin 4.0 Threonin 4.0 Tripthopan 1.1 Valin 5.7 Sumber: Muchtadi dan Sugiyono (1992)
Jenis asam amino non esensial Alanin Asam asparatat Sistin Asam glutamat Glisin Prolin Serin Tirosin
Kadar (%) 6.4 8.8 1.4 14.4 7.1 5.4 3.8 3.2
Kandungan gizi yang terkandung dalam daging sangat dibutuhkan oleh manusia khususnya asam amino esensial yang sesuai dengan jaringan yang ada ditubuh manusia. Manusia memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara mengonsumsi daging sapi dengan kandungan protein tinggi dan asam amino esensial yang lengkap (Kusmajadi, 2014). Kebanyakan suplai bahan pangan segar cepat rusak karena kandungan air dari sedang sampai tinggi dan kandungan zat gizinya. Diantara bahan-bahan pangan tersebut, hanya jaringan-jaringan nabati yang matang dan kering yang
11 tahan terhadap kebusukan selama beberapa saat dalam suhu kamar dan bahan ini masih tetap dapat diserang oleh berbagai binatang pembusuk (Buckle, dkk., 2013). Menurut
Buckle,
dkk.,
(2013).
bahwa
pencemaran
awal
dari
mikroorganisme harus dikurangi agar daya tahan daging dapat dicapai dengan maksimum karena daging tersebut akan didistribusikan dan dipasarkan dalam keadaan segar. Sumber-sumber pencemaran mikroorganisme yang harus diawasi secara terus-menerus dan dikendalikan antara lain : 1. Kulit ternak, yang merupakan pembawa mikroorganisme terbanyak seperti halnya tanah. Pencucian pendahuluan dapat mengurangi jumlah ini, akan tetapi penting sekali dihindarkan sentuhan antara kulit dengan permukaan karkas yang baru terbuka selama pengulitan. Kulit ternak harus dilipat secara terbalik pada saat dipotong dan jangan sampai menyentuh karkas. 2. Tanah itu sendiri sebagai sumber utama kontaminasi jangan sampai memasuki tempat penyembelihan. 3. Rumen dan usus yang merupakan sumber utama bakteri yang banyak sekali tidak boleh pecah agar isinya tidak mencemari permukaan daging. 4. Lalat harus disingkirkan dan tidak boleh ada dalam ruang penyembelihan. 5. Peralatan seperti pisau, kaitan dan bangku harus dibuat dari konstruksi baja tahan karat dan harus sering dibersihkan dengan dicelup air panas atau dengan larutan chlorine. Peralatan yang permukaannya terbuat dari kayu tak dapat dijaga kondisi kebersihannya.
12 2.2
Pengawetan Daging Pembusukan bahan-bahan pangan yang mudah rusak hanya dapat
dihindari melalui konsumsi segera atau pengawetan segera dan efektif, yang tidak saja menghambat pembusukan tetapi juga membantu mengurangi pencemaran dan kemungkinan dimakan oleh binatang perusak (Buckle, dkk., 2013). Menurut Buckle, dkk., (2013) menjelaskan bahwa pada dasarnya terdapat 4 macam metoda utama dalam pengawetan bahan pangan terhadap kebusukan kerja mikroorganisme, yaitu : 1. Perusakan mikroorganisme dengan panas atau radiasi ion dan perlindungan dari pencemaran selanjutnya dengan pengemasan secara efektif. 2. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan berkadar air normal dengan pendinginan, penambahan bahan pengawet kimia (termasuk pengasapan dan perendamam dengan garam = curing) atau antibiotik, pengasaman, penyimpanan dengan gas dan lain-lain. 3. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dengan mengurangi kadar air dengan demikian juga penurunan aktivitas air (water activity) dengan
cara
pengeringan,
pembekuan
(suhu
rendah
juga
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme), pemberian gula, garam, pengentalan dan lain-lain. 4. Menghilangkan mikroorganisme, misalnya penyaringan secara steril. Menurut Gyesley (1991), bahwa daya awet adalah waktu yang direkomendasikan untuk suatu produk dapat disimpan, dimana kualitas yang telah ditentukan dari suatu produk masih dapat diterima pada kondisi distribusi dan penyimpanan yang sesuai dengan ketentuan. Secara umum terdapat tiga macam
13 komponen penting yang berhubungan dengan daya awet, yaitu perubahan mikrobiologis, kimia dan sensori (Subramaniam, 2000). Pengawetan pangan adalah semua perlakuan yang diterapkan pada bahan pangan untuk memperpanjang masa simpan. Dasar prinsip pengawetan pangan adalah memberi perlakuan terhadap bahan pangan sedekimian rupa untuk mencapai salah satu dari beberapa tujuan pengawetan, yaitu mengurangi jumlah awal sel mikroba, memperpanjang fase adaptasi semaksimal mungkin sehingga pertumbuhan mikroba diperlambat, memperlambat fase pertumbuhan logaritmik mikroba dan mempercepat fase kematian mikroba (Nurwantoro dan Djariyah, 1997). Secara umum, pengawetan daging dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu pengawetan secara fisik, biologi dan kimia. Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia dari bahan aktif ilmiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan aktif ilmiah antara lain menggunakan rempah-rempah, metabolit sekunder bakteri (bakteriosin) atau yang memiliki daya antibakteri. Pengawetan dengan menggunakan bahan kimia seperti sodium tripolyphospat (STPP), sodium nitrit, sodium laktat, sodium asetat, sendawa dan lain-lain (Sri Usmiati, 2010). Pengawetan dengan menggunakan bahan-bahan kimia relatif efektif namun penggunaannya memiliki keterbatasan serta dapat menimbulkan bahaya kesehatan seperti nitrit yang bersifat karsinogenik. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat kecenderungan untuk mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai pengawet daging, yaitu dengan menggunakan bahan pengawet alami yang lebih aman dan ramah lingkungan (Kusmajadi, 2014).
14 2.3
Kulit Buah Naga Merah
2.3.1
Taksonomi Buah Naga Merah Buah naga adalah buah sejenis pohon kaktus. Buah naga berasal dari
Meksiko, Amerika Selatan dan juga Amerika Tengah namun saat ini buah naga sudah ditanam secara komersial di Vietnam, Taiwan, Malaysia, Australia dan Indonesia. Nama asing dari buah naga adalah “Dragon Fruit”, dalam bahasa latin buah naga dikenal dengan “Phitahaya”. Isi buah naga berwarna putih, merah, atau ungu dengan taburan biji-biji berwarna hitam yang boleh dimakan (Idawati, 2012). Dalam dunia taksonomi, buah naga masuk dalam Famili Cactaceae. Klasifikasi ilmiah dari buah naga adalah sebagai berikut : Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Subfamily Genus Species
: Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Cactales : Cactaceae : Hylocereanea : Hylocereus : Hylocereus polyrhizus
Ilustrasi 1. Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) Tanaman buah naga merupakan salah satu tanaman yang telah dibudidayakan di pulau Jawa seperti di Jember, Malang, Pasuruan dan daerah lainnya. Bentuk buahnya unik dan menarik, kulitnya merah dan bersisik hijau
15 mirip sisik naga sehingga dinamakan buah naga atau dragon fruit. Jenis buah naga ada empat, yaitu Hylocereus undatus (buah naga kulit merah daging putih), Hylocereus costaricensis (buah naga kulit merah daging super merah), Hylocereus polyrhizus (buah naga kulit merah daging merah), Selenicereus megalanthus (buah naga kulit kuning daging putih) (Cahyono, 2009). Berdasarkan klasifikasi buah naga dalam ilmu taksonomi, maka secara morfologis bisa digambarkan bahwa tanaman buah naga merupakan tumbuhan tidak lengkap sebab tidak memiliki daun seperti tumbuhan lainnya. Meskipun demikian, tanaman buah naga juga memiliki akar, batang, cabang, biji, dan juga bunga (Idawati, 2012). Buah naga dapat dipanen saat buah mencapai umur 50 hari terhitung sejak bunga mekar. Pemanenan pada tanaman buah naga dilakukan pada buah yang memiliki ciri - ciri warna kulit merah mengkilap, jumbai atau sisik berubah warna dari hijau menjadi kemerahan. Musim panen terbesar buah naga terjadi pada bulan September hingga Maret (Kementrian Pertanian). 2.3.2
Kandungan Zat Gizi dan Zat Aktif Buah dan Kulit Buah Naga Merah Buah naga merah mengandung zat bioaktif yang bermanfaat bagi tubuh
diantaranya antioksidan (dalam bentuk asam askorbat, betakaroten, dan antosianin), dan serat pangan dalam bentuk pektin. Perbandingan antioksidan daging buah segar dan kulit buah naga merah kering dapat lihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Kandungan Antioksidan Daging Buah Segar dan Kulit Buah Naga Merah Kering Kandungan Asam galat Flavonoid Betasianin Aktivitas antioksidan berdasarkan DPPH methid at EC50 Pendekatan ABTS untuk vitamin C Sumber : Wu, dkk. (2006)
Daging buah/100g 42,4 ± 0,04 mg 7,21 ± 0,02 mg 10,3 ± 0,22 mg 22,4 ± 0,29 µmol
Kulit buah kering/100g 39,7 ± 5,39 mg 8,33 ± 0,11 mg 13,8 ± 0,58 mg 118 ± 4,12 µmol
28,3 ± 0,83 µmol
175 ± 15,7 µmol
16 Buah naga merah mengandung beberapa mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi. Vitamin yang terdapat di dalam buah naga merah yaitu vitamin C (Pratomo, 2008). Kandungan gizi dalam 100 gram buah naga merah dapat di lihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Gizi Buah Naga Merah per 100 gram Komponen Satuan Jumlah Air g 82,5 – 83 Protein g 0,16 – 0,23 Lemak g 0,21 – 0,61 Serat g 0,7 – 0,9 Betakaroten mg 0,005 – 0,012 Kalsium mg 6,3 – 8,8 Fosfor mg 30,2 – 36,1 Besi mg 0,55 – 0,65 Vitamin B1 mg 0,28 – 0,30 Vitamin B2 mg 0,043 – 0,045 Vitamin C mg 8–9 Niasin mg 1,297 – 1,300 Sumber : Taiwan Food Industry Development and Research Authorities (2009) Kandungan kulit buah naga merah dalam bentuk tepung dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan Kulit Buah Naga Merah dalam Bentuk Tepung Variabel Kerapatan jenis (g/l) Gross energy (kkal/kg) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Abu (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Antosianin (segar) (ppm) Antosianin (tepung) (ppm) Sumber : Daniel, R.S., dkk. (2014)
Kandungan 510,35±1,91 3195,9±52,4 8,98±0,01 2,60±0,34 25,56±0,07 18,76±0,10 1,82±0,10 0,00208±0,00014 0,56±0,43 1,27±0,31
17 Kandungan air kulit buah naga merah yang diperoleh adalah 4.9%, hal ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba (Grigelmo-Miguel dan MartinBelloso, 1999). 2.3.3
Senyawa Antioksidan dan Manfaatnya Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal tersebut dapat diredam. Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menundan dan mencegah terbentuknya reaksi radikal bebas (peroksida) dalam oksidasi lipid (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan (Hernani dan Raharjo, 2005). Adanya antioksidan alami maupun sintetis dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan, perubahan dan degradasi komponen organik dalam bahan makanan sehingga dapat memperpanjang umur simpan (Rohdiana, 2001). Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibedakan dalam dua kelompok, antioksidan alami dan sintetik. Antioksidan alami merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami atau terbentuk dari reaksi-reaksi kimia selama proses pengolahan. Antioksidan alami dapat diperoleh dari beragam sumber bahan pangan, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, rempah-rempah, dan
18 lain-lain. Contoh dari antioksidan alami adalah vitamin C, vitamin E, dan βkaroten. Senyawa antioksidan alami dalam tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik dan polifenolik, seperti golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki fungsi sebagai antioksidan meliputi flavon, flavanol, isoflavon, katekin dan kalkon, sedangkan turunan asam 13 sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Santoso, 2005). 2.3.4
Senyawa Fenol dan Flavonoid serta Manfaatnya Senyawa fenol didefinisikan secara kimia sebagai adanya paling tidak satu
cincin aromatik yang membawa satu (fenol) atau lebih (polifenol) gugus hidroksil. Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya. Turunan polifenol sebagai antioksidan dapat menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas. Mekanisme senyawa polifenol sebagai antioksidan adalah dengan mendonorkan hidrogen dari gugus hidroksilnya. Polifenol merupakan komponen yang berperan terhadap aktivitas antioksidan dalam buah dan sayuran (Hattenschwiler dan Vitousek, 2000). Senyawa flavonoida merupakan senyawa polifenol yang mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6C3C6, yaitu 2 cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan 3 karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1988). Senyawa fenol biasanya terdapat dalam berbagai jenis sayuran, buahbuahan dan tanaman. Turunan senyawa fenol merupakan metabolit sekunder terbesar yang diproduksi oleh tanaman. Senyawa ini diproduksi dalam tanaman
19 melalui jalur sikimat dan metabolisme fenil propanoid. Senyawa fenol dapat memiliki aktivitas antioksidan, antitumor, antiviral, dan antibiotik (Apak, dkk., 2007). Diantara senyawa fenol alami yang telah diketahui lebih dari seribu stuktur, flavonoid merupakan golongan terbesar (Subeki, 1998). Flavonoid terbagi menjadi 7 kelompok, yaitu antosianin, proantosianin, isoflavon, flavonon, flavonol, flavanol, dan flavon. Flavonoid memiliki aktivitas antioksidan di dalam tubuh sehingga disebut bioflavonoid (Apak, dkk., 2007). 2.3.5
Kandungan Antosianin dan Manfaatnya Kulit buah naga mengandung zat warna alami antosianin cukup tinggi
(Citramukti, 2008). Antosianin merupakan kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar luas pada tanaman. Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya larut dalam air. Flavonoid mengandung dua cincin benzen yang dihubungkan oleh tiga atom karbon (Tensiska, dkk., 2006). Antosianin terbagi kedalam enam macam, yang paling umum ialah sianidin, pelargonidin delfinidin, peonidin, petunidin, dan malvirin (Nursaerah, R., 2010). Antosianin stabil pada pH 3-5 dan suhu 50oC, mempunyai berat molekul 207,08gram/mol dan rumus molekul C15H11O (Harborne, 1987). Antosianin memiliki berbagai potensi dan manfaat bagi kesehatan seperti antioksidan, antiinflamasi, antimikroba, antivirus, menghambat agregasi platelet, mengurangi resiko terjadinya kardiovaskuler dan kanker (Prior, 2003). Antosianin juga dapat memperbaiki profil lipid darah dan memiliki efek vasoprotektif (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
20 2.4
Mikrobiologi Daging Mikroorganisme membutuhkan suplai makanan yang akan menjadi
sumber energi dan menyediakan unsur-unsur kimia dasar untuk pertumbuhan sel. Karbon dan sumber energi untuk hampir semua mikroorganisme yang berhubungan dengan bahan pangan, dapat diperoleh dari jenis gula karbohidrat sederhana seperti glukosa. Kebutuhan nitrogen dapat diperoleh dari sumbersumber anorganik atau organik seperti asam-asam amino dan protein (Buckle, dkk., 2013). Pertumbuhan mikroorganisme di dalam atau pada makanan dapat mengakibatkan berbagai perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi lagi. Apabila hal ini terjadi, produk pangan tersebut dinyatakan sebagai bahan pangan yang busuk dan ini menggambarkan suatu penyia-nyiaan sumber gizi yang berharga (Buckle, dkk., 2013). Hampir semua bahan pangan tercemar oleh berbagai mikroorganisme dari lingkungan sekitarnya (yaitu udara, air, tanah, debu, kotoran, bahan organik yang telah busuk) (Buckle, dkk., 2013). Daging sapi yang disiapkan di negeri tropis akan mengandung sedikit persentase organisme yang dapat tumbuh pada suhu dingin -1,5ºC, maka dari itu daging mempunyai daya tahan simpan yang lebih baik dibandingkan dengan daging sapi yang diperoleh dari sapi yang hidup di negeri beriklim sedang. Hal ini disebabkan karena tanah nyatanya merupakan sumber dari kebanyakan bakteri pencemar. Di daerah tropis, bakteri telah menyesuaikan diri dengan suhu tanah yang lebih tinggi (Buckle, dkk., 2013). Kerusakan daging mentah dapat disebabkan oleh pertumbuhan mikroba dan juga
21 aktivitas enzim-enzim yang ada pada daging, sedangkan lemak dapat dioksidasi secara kimia (Soeparno, 2011). Dalam Buckle, dkk., (2013) pertumbuhan mikroorganisme terbentuk melalui beberapa fase, yaitu: 1. Fase lambat (lag phase) : pada awal inokulasi sel ke dalam media nutrient segar biasanya pada suatu peroide dimana tidak terjadi pembelahan sel. Fase lambat ini terjadi antara beberapa menit sampai beberapa jam tergantung pada spesies, umur dari sel inokulum dan lingkungannya. Waktu pada fase lambat dibutuhkan untuk kegiatan metabolisme dalam rangka persiapan dan penyesuaian diri dengan kondisi pertumbuhan dalam lingkungan yang baru. 2. Fase log (log phase) : setelah beradaptasi terhadap kondisi baru, sel-sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial sampai jumlah maksimum yang dapat dibantu oleh kondisi lingkungan yang dicapai. 3. Fase tetap (stationary phase) : populasi mikroorganisme jarang dpat tetap tumbuh secara eksponensial dengan kecepatan tinggi untuk suatu jangka waktu yang lama. Sebab-sebabnya akan menjadi jelas jika memikirkan akibat dari pertumbuhan secara eksponensial. Setelah 48 jam, pertumbuhan eksponensial satu sel bakteri dengan waktu lipat 20 menit akan menghasilkan turunan sebesar 2,2x1031 gram atau kirakira 4.000 kali berat bumi. Pertumbuhan populasi mikroorganisme biasanya dibatasi oleh habisnya bahan gizi yang tersedia atau penimbunan zat racun sebagai hasil akhir metabolisme. Akibatnya kecepatan pertumbuhan menurun dan pertumbuhan akhirnya terhenti. Pada titik ini, dikatakan sebagai fase tetap (stationary phase).
22 Komposisi sel-sel pada fase ini berbeda dibandingkan dengan sel-sel saat fase eksponensial dan umumnya lebih tahan terhadap perubahanperubahan kondisi fisik seperti panas, dingin dan radiasi maupun terhadap bahan-bahan kimia. 4.
Fase menurun (decline or death phase) : sel-sel yang berada pada fase tetap akhirnya akan mati bila tidak dipindahkan dalam media segar lainnya. Sebagaimana pertumbuhan, kematian sel juga secara eksponensial dan karenanya dalam bentuk logaritmis, fase menurun atau kematian ini merupakan penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-sel yang hidup terhadap waktu. Kecepatan kematian berbeda-beda tergantung spesies mikroorganisme dan konsidi lingkungannya. Fase pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Ilustrasi 2.
Ilustrasi 2. Fase-fase Pertumbuhan Mikroorganisme Menurut Cross dan Overby (1988), daging sapi segar pada suhu kamar hanya tahan selama satu hari atau kurang. Selanjutnya menurut Dirjen
23 Pengawasan Obat dan Makanan (2008), bahwa daging sapi yang telah mengalami pembusukan memiliki jumlah bakteri 107/cm atau 108/gram/mililiter. Batas cemaran mikroba daging segar di Indonesia adalah sebesar 104 cfu/g. Apabila lebih dari itu maka daging sudah tidak layak untuk dikonsumsi (Buckle, dkk., 2013). Menurut Buckle, dkk., (2013), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging adalah sebagai berikut: 1. Faktor intrinsik a. Aktivitas air (water activity), kebutuhan air untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bahan pangan dengan kadar air tinggi (nilai aw : 0,95-0,99)
umumnya
dapat
ditumbuhi
oleh
semua
jenis
mikroorganisme, tetapi karena bakteri dapat tumbuh lebih cepat daripada kapang dan khamir, maka kerusakan akibat bakteri lebih banyak dijumpai. b. Nilai pH, beberapa mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 5,08,0, sedangkan pH akhir dari daging sekitar 5,3–5,5 yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan sebagian besar bakteri. c. Potensial reduksi-oksidasi, bahan pangan dengan potensi reduksioksidasi yang tinggi akan membantu pertumbuhan dari jenis-jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik pada spesies gram negatif berbentuk batang seperti Pseudomonas. d. Zat-zat gizi, daging mengandung zat-zat bergizi yang dapat membantu pertumbuhan kebanyakan mikroorganisme. e. Bahan-bahan antimikroba yang terdapat secara alamiah. 2. Faktor ekstrinsik
24 a. Suhu, secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suhu semakin besar tingkat pertumbuhan. Sebagian besar bakteri tumbuh pada kisaran suhu dibawah 0ºC (dibawah -15ºC) sampai diatas 65ºC. Pertumbuhan mikroorganisme dapat dikelompokan sebagai psikrofilik dan psikrotof seperti Pseudomonas dan Proteus. Mesofilik dan thermotrof atau thermofilik. Berikut pengelompokan mikroorganisme berdasarkan reaksi pertumbuhannya terhadap suhu dapat dilihat pada Tabel 7: Tabel 7. Pengelompokan Mikroorganisme Berdasarkan Reaksi Pertumbuhannya terhadap Suhu Suhu pertumbuhan minimum (ºC) Psikrofilik -15 Psikrotrof -5 Mesofil 5 sampai 10 Thermofil 40 Thermotrof 15 Sumber : Buckle, dkk., (2013) Kelompok
Suhu pertumbuhan optimum (ºC) 10 25 30 sampai 37 45 sampai 55 42 sampai 46
Suhu pertumbuhan maksimum (ºC) 20 35 45 60 sampai 80 50
b. Kelembaban relatif, apabila kelembaban relatif cukup tinggi maka cairan akan terkondensasi pada permukaan daging, sehingga permukaan daging menjadi basah dan sangat kondensif untuk pertumbuhan dan kerusakan mikrobial, jika kelembaban relatif cukup rendah maka cairan permukaan daging menjadi gelap dan nilai ekonomis daging berkurang karena pengerutan dan daging menjadi kurang menarik (Soeparno, 2011). c. Oksigen atmosfir, bakteri dapat tumbuh pada daging dengan kondisi aerobik, anaerobik dan fakultatif anaerobik. Bakteri yang tumbuh pada permukaan daging adalah bakteri aerobik dan
25 fakultatif anaerobik, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung
bakteri
anaerobik
dan
fakultatif
anaerobik
(Kusmajadi, 2014). d. Keadaan fisik seperti bentuk daging. Mikroba yang dapat mencemari daging antara lain Salmonella sp., Escherichia coli, Coliform, Staphylococcus sp., dan Pseudomonas (Erni, 2009). Mikroorganisme yang berasal dari pekerja, antara lain Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus dan Staphylococcus aureus, Clostridium walchi, Bacillus cereus dan Streptococcus dari feses (Lawrie, 2003).
2.5
Total Bakteri Mikroba yang terdapat pada daging dapat dihitung jumlahnya sehingga
dapat diketahui kelayakan daging tersebut dengan melihat jumlah bakteri yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Total Plate Count (TPC) merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menghitung jumlah bakteri pada suatu sampel. Prinsip dari metode total plate count yaitu sampel diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis, kemudian dibiakkan dalam media padat berupa nutrient dalam bentuk agar dan harus diinkubasikan selama 24 jam atau lebih (Buckle, dkk., 2013). Prinsip dari metode hitung cawan adalah jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Dalam metode hitung cawan, bahan pangan yang diperkirakan mengandung lebih dari 300 sel jasad renik per ml atau per gram
26 atau per cm. Setelah diinkubasi akan terbentuk koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, dimana jumlah yang terbaik adalah antara 25 sampai 250 koloni (Larry M, dkk., 2001)
N= [(1xn1) + (0.1xn2) x (d)] Keterangan : N C n1 n2 d
2.6
= Jumlah koloni per ml atau gram produk = Jumlah total koloni pada semua plate (25-250) = Jumlah plate yang dihitung pada pengenceran pertama = Jumlah plate yang dihitung pada pengenceran kedua = Pengenceran pertama yang dihitung (25-250)
Awal Kebusukan Penyebab pembusukan yang paling utama adalah mikroorganisme dan
berbagai perubahan enzimatis maupun nonenzimatis yang terjadi setelah panen, penyembelihan atau pengolahan (Buckle, dkk., 2013). Mekanisme terjadinya kerusakan daging oleh bakteri adalah begitu hewan mati maka sirkulasi darah terhenti sehingga suplai oksigen juga terhenti yang mengakibatkan reduksi dari potensi oksidasi-reduksi, kemudian terjadi glikolisis anaerobik yaitu pemecahan glikogen menjadi asam laktat sehingga pH daging menjadi turun. Turunnya pH daging ini menyebabkan enzim katepsin (secara alami terdapat pada daging) menjadi aktif, sehingga protein terpecah menjadi Peptone dan asam-asam amino yang akan digunakan bakteri untuk tumbuh membentuk enzim, sehingga bakteri memecah protein lebih lanjut dan menghasilkan produk berbau busuk (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Gejala pembusukan akibat pertumbuhan bakteri diantaranya adalah terbentuk slem (lendir) pada permukaan daging yang disebabkan oleh
27 pertumbuhan bakteri L. Viridens dan pembentukan lendir berwarna hijau oleh Enterococcus dan Bacillus thermospacta, kehilangan warna oleh terdestruksinya pigmen daging (mioglobin) menjadi metmioglobin yang berwarna coklat menjadi kuning atau hijau yang disebabakan oeh bakteri pembentuk sufmyglobin atau timbulnya koloni bakteri, ada produksi gas, bau kurang enak, cacat dan dekomposisi lemak (Kusmajadi, 2014). Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawasenyawa berbau busuk seperti amonis, H2S, indol dan amin yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme (Siagian, 2002).
2.7
Derajat Keasaman Derajat keasaman daging ternak hidup berkisar antara 6,8-7,2 dan setelah
disembelih terjadi penurunan pH karena terjadi penimbunan asam laktat dalam jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob dan kemudian pH akan meningkat seiring dengan pertumbuhan mikroba (Forrest, dkk., 1975). Perubahan pH sesudah ternak mati menurut Buckle, dkk,. (2013) pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, yang selanjutnya ditentukan oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan. Walaupun demikian, pH akhir yang tercapai mempunyai beberapa pengaruh yang berarti dalam mutu daging, yaitu : 1. pH rendah, berada sekitar pH 5,1–6,1 menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka yang sangat diinginkan untuk pengasinan daging, warna merah muda yang cerah yang disukai konsumen, flavor yang lebih disukai, baik dalam kondisi telas dimasak atau diasin dan stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan akibat mikroorganisme.
28 2. pH tinggi, berada sekitar 6,2–7,2 menyebabkan daging pada tahap akhir mempunyai struktur yang tertutup atau padat dengan warna merah-ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya pH rendah lebih disukai untuk mempertahankan kebanyakan faktor mutu yang penting daripada daging. Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH dimana pertumbuhan masih memungkinkan dan masing-masing biasanya mempunyai pH optimum. Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0–8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0 sampai 1,0 biasanya bersifat merusak (Buckle, dkk., 2013).