11 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Sapi Perah Pada dasarnya, ternak perah diartikan sebagai ternak penghasil air susu.
Menurut Makin (2011), susu didefinisikan sebagai sekresi fisiologis dari kelenjar susu merupakan makanan yang secara alami paling sempurna, karena merupakan sumber utama protein, kalsium, fospor, dan vitamin.
Kuantitas susu yang
dihasilkan oleh ternak sapi perah lebih banyak dibandingkan dengan ternak perah lainnya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional. Seekor sapi perah rata-rata dapat menghasilkan susu hingga 11 liter/hari dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Boediyana, 2008). Kuantitas maupun kualitas susu yang dihasilkan masih dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Keanekaragaman bangsa ternak sapi perah saat ini sudah tersebar di seluruh dunia. Holstein Frisian (FH) merupakan ternak sapi perah yang sudah didomestikasi dan tersebar secara luas di Indonesia. Performa produksi seekor sapi dapat dilihat dari produksi susu, lama laktasi, puncak laktasi, dan lama kering (Rahman, 2015). Sapi FH memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan bangsa-bangsa lainnya (Atabany dkk., 2010). Sapi perah FH impor dari negara lain, seperti Australia, merupakan bangsa sapi perah terbaik bila dikembangkan di daerah tropis walaupun produksi susu akan menurun dibandingkan dengan negara asalnya. Sudono dalam Ratnawati, dkk (2010) menyatakan rata-rata produksi susu per laktasi sapi FH di Amerika Serikat mencapai 7.245 kg, sedangkan di Indonesia mencapai 10 liter/ekor/hari atau kurang lebih sekitar 3.050 kg/laktasi. Sapi perah induk laktasi adalah sapi perah yang melahirkan dan akan segera memproduksi susu
12 (Djaja dkk., 2009). Lama laktasi sapi perah paling baik adalah 305 hari atau 10 bulan. Kemampuan laktasi yang lebih pendek atau lebih lama akan berakibat tidak baik pada laktasi-laktasi berikutnya (Siregar dkk., 1996). Manajemen reproduksi dapat mempengaruhi jumlah produksi susu yang dihasilkan karena dapat menggambarkan tingkat tatalaksana reproduksi yang dijalankan, secara tidak langsung mempengaruhi tingkat pendapatan peternak (Makin, 1990). Menurut hasil kajian Makin dan Suharwanto (2012), rataan nilai-nilai performan sifat reproduksi sapi perah FH di Jawa Barat meliputi kawin pertama setelah beranak sebesar 86,45 ± 20,64 hari, lama masa kosong sebesar 119,10 ± 31,33 hari, jumlah kawin setiap kebuntingan sebesar 1,88 ± 0,88 kali, lama bunting sebesar 276,20 ±7,52 hari, dan selang beranak selama 389,60 ± 25,40 hari. Munculnya usaha ternak sapi perah di daerah Kabupaten Bandung, khusunya Kecamatan Cilengkrang berawal dari masuknya Bantuan Presiden pada tahun 1981 kepada Koperasi Unit Desa (KUD) Sinar Jaya. Bantuan tersebut berupa ternak sapi perah FH murni yang diimpor langsung dari New Zealand. Saat ini, populasi sapi perah di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang sudah mencapai 1.114 ekor (Data Desa Ciporeat, 2015).
2.2
Usaha Ternak Sapi Perah Sapi perah merupakan ternak ruminansia besar penghasil susu sebagai
produksi utamanya. Kebutuhan akan susu semakin meningkat tiap tahunnya, sehingga keberadaan usaha ternak sapi perah harus selalu berkembang. Peningkatan usaha ini tidak hanya didukung dari peningkatan populasi ternak sapi perah, namun harus didukung dari produktivitas ternak.
13 Usaha ternak sapi perah merupakan usaha yang mempunyai sifat maju (Dameria dkk., 2013).
Sifat maju tersebut diartikan mampu secara selektif
menggunakan teknologi maju dalam prosesnya sehingga dapat menghasilkan output yang optimal, sebab peningkatan produktivitas sapi perah tidak hanya didukung dari segi genetik ternak, namun didukung oleh peningkatan kualitas lingkungan, seperti pakan yang diberikan, iklim dimana ternak tersebut dipelihara serta penerapan teknologi. Manajemen pemeliharaan yang lebih optimal dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi perah. Skala usaha yang optimal merupakan salah satu faktor dalam mencapai keuntungan usaha ternak sapi perah (Priyanti dkk., 2009). Hal tersebut belum sepenuhnya didukung karena kondisi usaha sapi perah saat ini masih didominasi peternakan sapi perah rakyat. Erwidodo dan Sayaka dalam Priyanti, dkk (2009) memperkirakan bahwa 64 persen produksi susu segar di Indonesia berasal dari peternak sapi perah berskala kecil, 28 persen berasal dari peternak sapi perah berskala menengah, dan 8 persen berasal dari peternak sapi perah berskala besar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 751/kpts/Um/10/1982 mengenai Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi dalam Negeri, usaha sapi perah terbagi menjadi dua bentuk. Petama, peternakan sapi perah rakyat yang dilaksanakan sebagai usaha sampingan, memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah yang dilaksanakan untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran.
14 Faktor-faktor produksi sangat berpengaruh pada keuntungan atau hasil yang didapat oleh peternak sapi perah. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah sapi laktasi dan ketersediaan modal sangat berpengaruh terhadap produksi susu (Priyanti dkk., 2009). Penggunaan faktor produksi dalam usaha ternak sapi perah perlu diperhatikan dalam mencapai suatu hasil yang maksimal. Faktor produksi (factors of productions) merupakan input yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa (Mankiw, 2006). Keuntungan usaha dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggunaan faktor-faktor produksi secara efesien dan peningkatan harga output (Priyanti dkk., 2009). Output dari hasil usaha ternak sapi perah dapat dilihat dari harga jual susu yang dihasilkan serta penjualan ternak pedet maupun afkir.
2.3
Skala Usaha Sapi Perah Umumnya, peternakan sapi perah di Indonesia khususnya daerah Jawa Barat
masih didominasi oleh peternakan usaha rakyat berskala rendah dan masih terbilang sedikit keberadaan skala usaha menengah dan besar.
Swastika, dkk (2005)
menyatakan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia masih merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Kepemilikan sapi perah betina produktif dapat menjadi tolak ukur dalam skala usaha, sehingga dapat menghasilkan output yang optimal. Menurut Suryadi, dkk (1989) dibedakan menjadi (1) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 1-3 ekor, (2) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 4-6 ekor, dan (3) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak lebih dari tujuh ekor.
15 Keberadaan usaha ternak sapi perah skala rendah masih disebabkan oleh rendahnya tingkat produktivitas. Hal tersebut didukung dari kurangnya modal para petani maupun pengetahuan atau keterampilan petani yang mencakup aspek produksi, pemberian pakan, pengolahan hasil panen, penerapan sistem recording, pemerahan, sanitasi, dan pencegahan penyakit (Dameria dkk., 2013). Peningkatan jumlah sapi perah produktif dalam usaha ternak dapat meningkatkan keuntungan peternak. Harga susu yang tidak sebanding dengan biaya produksi dapat dilakukan dengan mengurangi pemeliharaan ternak sapi perah non produktif. Ahmad dan Hermiyetti dalam Priyanti, dkk (2009) menyatakan bahwa diperkirakan skala ekonomis dapat dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak. Jumlah sapi perah ini harus diimbangi dengan rasio sapi perah produktif dan non produktif. Djaja dalam Priyanti, dkk (2009) mengatakan agar terjadi kelangsungan usaha dan kestabilan produksi terjaga, maka komposisi ternak pada usaha sapi perah adalah 85 persen ternak laktasi dan 15 persen ternak kering kandang.
2.4
Tenaga Kerja Pembicaraan mengenai tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia harus
dibedakan ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani kecil-kecilan (usahatani pertanian rakyat) dan persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besar yaitu perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya (Mubyarto,1994). Hal ini sangat penting karena penggunaan tenaga kerja dalam usahatani berbeda dengan penggunaan tenaga kerja yang digunakan oleh perusahaan besar. Menurut Mankiw (2006), dua faktor produksi yang paling penting adalah modal dan tenaga kerja.
16 Peran tenaga kerja dalam usaha ternak sapi perah bergantung pada skala usaha yang dijalankan.
Usaha dengan skala rendah atau keluarga biasanya
memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Peternak atau keluarganya dalam mengelola usaha ternak berperan sekaligus sebagai tenaga kerja dalam usahanya (Darmawi, 2012). Dalam usahatani, sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, isteri, dan anak-anak petani (Mubyarto, 1994). Terdapat pengorbanan yang dikeluarkan oleh keluarga peternak dalam menjalankan usahanya, diantaranya pengorbanan tenaga, pikiran, dan modal usaha. Pengorbanan yang dikeluarkan oleh sebuah keluarga merupakan sebuah faktor produksi dalam menjalankan usaha yang tidak pernah dibayar dengan uang. Uniknya, seorang peternak tidak hanya berperan sebagai tenaga kerja keluarga (labor), namun sebagai pemimpin (manager) dalam usaha ternaknya. Fungsi penting ini sangat menentukan bagaimana kemajuan usaha. Jika semakin tinggi tingkat usaha, seorang peternak tentunya akan memutuskan untuk memperkerjakan tenaga kerja dan peternak memusatkan diri hanya sebagai manager (Mubyarto, 1994). Tenaga kerja luar keluarga yang digunakan biasanya berupa tenaga kerja harian maupun borongan, bergantung pada keperluan peternak. Besarnya skala usaha ternak akan menentukan penggunaan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Menurut Kusmaningsih, dkk (2008) dalam Priyanti, dkk (2009) mengatakan bahwa setiap 2-4 ekor sapi memerlukan sedikitnya seorang tenaga kerja untuk memelihara. Kegiatan on farm usaha ternak sapi perah mampu menciptakan lapangan kerja yang tidak sedikit. Kenyataan ini menunjukkan bahwa usaha ternak sapi perah dapat mengembangkan potensi suatu wilayah. Pengembangan sumber daya manusia ini tentunya perlu didukung dan ditingkatkan melalui berbagai cara, antara lain
17 peningkatan mutu dan hasil kerja melalui pendidikan dan pelatihan. Pentingnya pendidikan dan pelatihan disebabkan ilmu yang didapat oleh peternak sapi perah saat ini lebih banyak diperoleh dari keluarga atau turun temurun. Pada negara maju, produktivitas tenaga kerja merupakan tolak ukur dalam menjalankan usaha. Ketersediaan tenaga kerja di negara maju sangat terbatas, berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia yang jumlahnya cukup banyak dibandingkan ketersediaan modal dan lahan (Mubyarto, 1994). Curahan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh peternak di Indonesia merupakan jumlah jam kerja yang dialokasikan untuk menjalankan usaha peternakan. Menurut Pujianto (2008) dalam Achmad dkk (2015), penggunaan dan ketersediaan tenaga kerja dihitung berdasarkan setara tenaga kerja pria (men equivalent) yakni untuk pria dewasa memiliki 1 HKP (Harian Keja Pria) setara 8 jam/hari, wanita dewasa 0,75 HKP dan anak-anak 0,5 HKP.
2.5
Analisis Usaha Ternak Sapi Perah Usaha ternak sapi perah merupakan usaha jangka panjang yang harus dijaga
keberlanjutannya dalam memenuhi kebutuhan susu nasional (Priyanti dkk., 2009). Dalam menjalankan usaha ternak sapi perah, peternak membutuhkan faktor-faktor produksi yang saling berkaitan. Faktor-faktor produksi tersebut digunakan untuk menghasilkan output sehingga peternak akan memperoleh pendapatan dari usaha ternak sapi perah. Faktor produksi dikonversikan ke dalam biaya produksi atau total cost (TC), sedangkan pendapatan dari hasil penjualan ouput dinamakan total revenue (TR).
Selisih antara TC dan TR merupakan keuntungan (π) atau
pendapatan yang diterima oleh peternak pada usaha ternak sapi perah (Hadiana dkk., 2005). Pendapatan peternak sapi perah yang masih relatif kecil masih
18 disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya belum berjalannya manajemen usaha pemeliharaan yang ekonomis seperti komposisi pemeliharaan ternak sapi perah yang tidak sesuai, belum optimalnya masa kosong, dan belum berjalannya peningkatan kebersihan susu (Kusnadi dan Juarini, 2006). Input produksi yang digunakan pada usahatani biasanya terbagi atas input tetap jangka panjang dan variabel. Input variabel adalah input yang penggunaannya hanya sekali pakai atau lama penggunaan input tersebut hanya satu tahun, sedangkan input tetap jangka panjang adalah input tetap yang penggunaanya lebih dari dua tahun. Menurut Soekardono dalam Dameria, dkk (2013), biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan biaya produksi. Keberadaan sektor penyedia sarana dan input produksi memiliki arti penting dan manfaat (Priyanti dkk., 2009), yaitu : 1.
Mendukung kegiatan subsistem produksi atau budidaya dan subsistem pengolahan.
2.
Secara ekonomi makro, sektor ini mampu memberikan nilai kontribusi pendapatan terhadap perekonomian.
3.
Keberadaan subsistem ini berdampak kepada penyediaan lapangan kerja, utamanya bagi masyarakat pedesaan.
4.
Membantu meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal yang akan dimanfaatkan oleh subsistem produksi atau budidaya dan subsistem pengolahan.
5.
Peningkatan subsistem produksi atau budidaya akan meningkatkan investasi disektor penyedia sarana dan input produksi.
19 Faktor-faktor produksi yang digunakan secara optimal akan menghasilkan keuntungan yang optimal. Keuntungan tersebut berasal dari output yang dihasilkan berupa produk utama dan sampingan. Hadiana dkk (2005) menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi keuntungan usaha sapi perah, yaitu 1) skala usaha produktif, 2) daya dukung sumber daya pakan, 3) bibit sapi perah, 4) harga input produksi dan ouput, 5) agroklimat, 6) kualitas susu, 7) manajemen budidaya, dan 8) skala usaha. Penekanan biaya produksi harus diimbangi dengan stabilnya produksi susu. Penurunan harga penjualan pakan konsentrat pada peternak akan menurunkan biaya produksi yang berdampak pada peningkatan pendapatan, namun hal tersebut baru dapat tercapai ketika penurunan harga konsentrat tidak diikuti dengan penurunan kualitas pakan konsentrat tersebut.
2.6
Analisis Jalur Analisis jalur yang dikembangkan pertama pada tahun 1920-an oleh seorang
ahli genetika yaitu Sewall Wright (Joreskog dan Sorbom, dalam Riduwan dan Kuncoro, 2014). Model analisis jalur digunakan untuk menganalisis pola hubungan antara variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen). Analisis jalur model satu persamaan strukturan (a single equation path model) merupakan salah satu teknik analisis jalur untuk menguji hipotesis.
Dalam
persamaan strukturan ini tidak ada pengaruh tidak langsung, sehingga teknik ini menganalisis jalur dengan sederhana dan hanya melihat pengaruh langsung antara variabel X dan variabel Y (Juanim, 2004).
20 Perbedaan model analisis jalur dengan model regresi terletak pada pola hubungan yang akan diungkap.
Analisis jalur bertujuan untuk mengetahui
hubungan sebab akibat yang dijelaskan pada model struktural, sedangkan model regresi digunakan untuk meramalkan atau menduga nilai sebuah variabel respon Y oleh beberapa variabel prediktor X. Data yang digunakan pada analisis jalur adalah minimal skala interval. Menurut Riduwan dan Kuncoro (2014), manfaat-manfaat dalam model path analysis diantaranya sebagai berikut : 1) Penjelasan
(explanation)
terhadap
fenomena
yang
dipelajari
atau
permasalahan yang diteliti, 2) Prediksi nilai variabel terikat (Y) berdasarkan nilai variabel bebas (X), dan prediksi dengan analisis jalur ini bersifat kualitatif, 3) Faktor determinan yaitu penentuan variabel bebas (X) yang paling berpengaruh dominan terhadap variabel terikat (Y), juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh varabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y), dan 4) Pengujian model menggunakan metode trimming theory, baik untuk uji realibitas konsep yang sudah ada maupun uji pengembangan konsep baru. Pada pengaplikasian analisis jalur, disarankan untuk menggambarkan secara diagramatik hubungan kausal antar variabel. Diagram jalur adalah alat untuk melukiskan bentuk grafis struktur hubungan kausalitas antar variabel independen, itervening (intermediary), dan dependen (Juanim, 2004). Pada sebuah diagram jalur, tanda panah berujung ganda menerangkan hubungan korelasional antara variabel, sedangkan anak panah satu arah menunjukkan hubungan kausal dari variabel independen terhadap variabel dependen (Riduwan dan Kuncoro, 2014).
21
Ilustrasi 2. Diagram Jalur yang Menyatakan Hubungan Kausal dari X1, X2, X3 ke X4 Koefisien jalur mengindikasikan seberapa besar pengaruh langsung dari suatu variabel yang mempengaruhi terhadap variabel yang dipengaruhi, dilambangkan dengan notasi ρ. Koefisien jalur biasanya dicantumkan tepat pada garis diagram jalur dan dinyatakan dalam bentuk numerik.
Korelasi antara variabel X
dilambangkan dengan notasi r. (Juanim, 2004).
Ilustrasi 3. Hubungan Kausal dari X1 dan X2 terhadap X3 Setelah dihasilkan nilai koefisien jalur dan koefisien korelasi antara variabel eksogen, perlu dilakukan pengujian koefisien jalur, baik secara bersama maupun secara parsial. Pengujian dilakukan dengan Uji F apabila secara simultan dan Uji T apabila secara parsial. Dalam pengujian ini, akan diketahui juga pengaruh variabel yang paling dominan terhadap variabel endogen.