8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Konsumsi Gizi Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi, misalnya kelainan struktur saluran cerna dan kekurangan enzim (Almatsier S, 2001). Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Keadaan gizi dapat bermanifestasi kurang atau lebih. Seseorang yang kekurangan salah satu atau lebih zat gizi dapat menyebabkan penyakit defisiensi. Konsumsi zat gizi yang berlebihan juga membahayakan kesehatan. Kebutuhan berbagai zat gizi tergantung pada beberapa faktor, seperti : umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik. Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan (AKG) digunakan sebagai standar untuk
9
mencapai status gizi yang optimal bagi penduduk di suatu wilayah (Anonim, 2010 ). Tingkat konsumsi gizi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan semua zat gizi yang diperlukan tubuh dalam susunan hidangan dan perbandingan yang satu dengan yang lain. Kuantitas menunjukkan kwantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapatkan keadaan kesehatan gizi yang sebaikbaiknya (Sediaoetama AD, 1996). Penentuan status gizi dan menilai asupan zat gizi seseorang dapat dilakukan dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain metode frekuensi makanan, metode riwayat makan, metode telepon, dan metode pendaftaran makanan. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar komposisi bahan makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan ( Supariasa, 2001).
10
Daftar komposisi bahan makanan (DKBM) merupakan suatu daftar yang memuat berbagai bahan makanan dan kandungan zat gizi dari setiap 100 gram bahan makanan dan juga memuat bagian yang dapat dimakan (BDD) yang dinyatakan dalam persen. Pengelompokan makanan disesuaikan dengan pengelompokan yang digunakan dalam buku komposisi zat gizi makanan ASEAN (ASEAN Food Composition Tables). Penggunaan pengelompokan makanan tersebut dimaksudkan untuk keharmonisan, keselarasan penyajian data komposisi zat gizi makanan di kawasan Asia Tenggara (Mahmud MK,dkk. 2005). Untuk memudahkan menilai kandungan zat gizi bahan makanan, telah diciptakan sebuah program perangkat lunak (software) yang disebut program nutrisurvey. Program nutrisurvey ini disamping berfungsi untuk menganalisis kandungan zat gizi bahan makanan dan/atau resep makanan, juga dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan zat gizi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik (Saptawati, 2010). 2.2 Vegetarian Istilah vegetarian dicetuskan pertama kali pada tahun 1847 dan digunakan secara resmi oleh para pendiri British Vegetarian Society di Northwood Villa, Kent, Inggris. Meskipun demikian, istilah vegetarian sebenarnya sudah dikenal sejak jaman dahulu kala. Sebelum tahun 1847, kelompok yang tidak makan daging secara umum dikenal sebagai Pythagorean atau mengikuti sistem Pythagorean. Hal ini sesuai dengan Pythagoras, seorang vegetarian dari zaman Yunani kuno dan seorang pilosuf terkenal dengan kontribusinya terhadap ilmu geometrik dan matematik (Widjaja dkk, 2007; Wardhana, 2010).
11
Kata vegetarian berasal dari Bahasa Latin vegetus, artinya semangat, sehat, segar, aktif dan bergairah. Pengertian vegetarian secara umum yaitu orang yang tidak mengkonsumsi semua daging hewan, baik daging sapi, kambing, ayam, ikan maupun daging hewan lainnya. Para vegetarian hanya memakan sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian maupun bahan nabati lainnya (Widjaja dkk. 2007). Pilihan untuk menjadi vegetarian memang tergantung pada masing-masing individu. Beberapa alasan yang sering kali melatarbelakangi keinginan seseorang untuk menjadi vegetarian adalah alasan kesehatan, lingkungan, finansial, spiritual dan alasan fisiologis tubuh manusia (Wardhana, 2010). Pada dasarnya, para vegetarian tidak mengkonsumsi produk hewani. Namun, diantara penganut vegetarian, terdapat pula kelompok-kelompok yang masih toleran memasukkan produk hewani tertentu ke dalam menu makanannya. Oleh karena itu, vegetarian oleh International Vegetarian Union dikelompokkan berdasarkan susunan menu dan tingkat kesulitannya menjadi sebagai berikut (Widjaja dkk. 2007) : 1.
Vegan : adalah vegetarian murni yang hanya mengkonsumsi bijibijian, kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Kelompok ini sama sekali tidak mengkonsumsi makanan hewani seperti daging ternak, daging unggas, ikan, susu, telur dan produk olahannya. Mereka juga tidak menggunakan semua produk yang dihasilkan oleh binatang seperti madu, bahan kulit, sutera, wool, hingga gelatin.
12
2.
Lacto Vegetarian : adalah vegetarian yang mengkonsumsi bahan pangan nabati dan berpantang makan daging ternak, daging unggas, ikan dan telur beserta produk olahannya. Kelompok ini masih diperbolehkan mengkonsumsi susu beserta hasil olahannya (keju dan yoghurt).
3. Lacto-Ovo Vegetarian : adalah vegetarian yang mengkonsumsi bahan – bahan nabati dan tidak mengkonsumsi daging ternak, daging unggas dan ikan. Kelompok ini masih diperbolehkan mengkonsumsi telur dan susu beserta produk olahannya. Sedangkan menurut Bangun AP (2003), ada beberapa kelompok vegetarian yaitu : 1. Vegetarian Vegan : adalah vegetarian murni karena mereka sama sekali tidak menyantap makanan yang berasal dari hewan, seperti daging, jeroan, susu dan telur. Karena itu sumber makanan utama kelompok vegetarian ini adalah bahan nabati, seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan serta biji-bijian. 2. Vegetarian Lakto : kelompok vegetarian ini selain menyantap hidangan dari sumber-sumber nabati juga mengkonsumsi susu dan hasil olahannya, seperti keju, mentega, dan yoghurt. 3. Vegetarian Lakto-ovo : kelompok vegetarian ini berpantang mengkonsumsi produk-produk hewani, terutama jika hewan tersebut disembelih dahulu. Telur dan susu masih diperbolehkan untuk dikonsumsi. Hidangan utama tetap bersumber dari produk-produk nabati.
13
4. Vegetarian Vesco : adalah kelompok vegetarian selain menyantap hidangan dari sumber nabati, juga boleh menyantap hidangan dari ikan, baik ikan laut maupun ikan air tawar. 5. Vegetarian Fluctarian : adalah kelompok vegetarian yang paling longgar dibandingkan dengan kelompok – kelompok vegetarian yang lain. Kelompok ini pantang makan daging yang berwarna merah, mereka masih bisa makan ayam goreng, sup ayam, dan daging olahan unggas lainnya. 2.3 Konsumsi Zat Gizi pada Vegetarian Berpola makan vegetarian mempunyai keuntungan tertentu tetapi ada pula kerugian yang ditimbulkan. Pada umumnya sumber protein yang tersedia dipasaran berasal dari hewani. Adanya keterbatasan pada bahan makanan ini menyebabkan para vegetarian harus teliti memilih jenis bahan makanan yang bermutu agar tidak kekurangan protein dan zat gizi lainnya. Keadaan seperti ini yang biasanya tidak menguntungkan, mengingat protein sangat dibutuhkan untuk membentuk serta memelihara jaringan atau sel-sel tubuh, memproduksi hormon dan enzim, merupakan sumber energi dan membentuk antibodi atau perlindungan pada bagian tubuh yang terkena infeksi. Selain risiko kekurangan protein dan asam amino esensial, kemungkinan besar para vegetarian kekurangan kalsium, riboflavin, zat besi, vitamin D dan vitamin B12. Kandungan serat yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan masalah. Pada dasarnya fungsi serat adalah mengikat zat-zat karsinogenik yang menyebabkan kanker, tetapi mengkonsumsi
14
serat terlalu tinggi dapat mengikat zat-zat mineral yang malah diperlukan oleh tubuh (Mitirukmi, 1989 dalam Yogianti, 2003). Pola makan vegetarian mengandung serat yang lebih tinggi, maka diperlukan
kalori
yang
tinggi
untuk
memenuhi
semuanya.
Terdapat
kecenderungan untuk memakan kalori yang lebih sedikit jika volume makanan yang dimakan berjumlah sama. Masalah tersebut dapat diatasi dengan memakan volume makanan yang lebih besar pada setiap hidangan dan menu makan lebih sering (Aritonang, dkk. 2008). Bagi remaja yang vegetarian, dibutuhkan pola makanan yang memberikan asupan zat gizi termasuk kalsium, zat besi dan vitamin B12 yang cukup. Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang mereka. Sumber makanan yang kaya kalsium adalah susu dan susu kedelai yang diperkaya kalsium, sayuran hijau dan jus jeruk, dimana jenis makanan yang kaya kalsium ini dikonsumsi setiap hari. Zat besi banyak terdapat pada brokoli, kismis, semangka, bayam, dan kacangkacangan termasuk kacang panjang dan buncis (Chiang, 2006 dalam Aritonang,dkk. 2008). 2.4 Protein 2.4.1 Susunan Kimiawi Protein Protein merupakan bahan utama dalam pembentukan sel jaringan, baik jaringan tubuh tumbuh-tumbuhan maupun tubuh manusia dan hewan, karena itu protein disebut unsur pembangun. Berbeda dari karbohidrat dan lemak, protein merupakan senyawa dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen (Moehji S, 2002).
15
Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, oksigen, hidrogen dan nitrogen, beberapa asam amino disamping itu mengandung unsur-unsur fosfor,besi, iodium, dan kobalt dalam jumlah yang sangat kecil. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein, karena terdapat di dalam semua protein
akan
tetapi
tidak
terdapat
di
dalam
karbohidrat
dan
lemak
(Almatsier S, 2001). Unit pembangunan
dalam semua jenis protein adalah asam amino.
Berbagai jenis asam amino membangun sel dan jaringan tubuh yang sangat spesifik, seperti : a). kolagen terletak dalam jaringan ikat tubuh, b). miosin dalam jaringan otot, c). hemoglobin dalam sel darah merah, d). sel enzim, dan e). hormon insulin. Terdapat 3 (tiga) gugus yang penting dalam struktur protein, yaitu : 1. Gugus basa yaitu amine (-NH2); 2. Gugus asam yaitu (-COOH) atau gugus karboksil: 3. Rantai samping (R= radikal) atau rantai cabang (Anonim, 2010). 2.4.2 Fungsi Protein Protein merupakan unsur terpenting yang terdapat dalam semua mahluk hidup. Secara garis besar, fungsi protein bagi manusia adalah sebagai berikut (Almatsier S, 2001;Nirmala Devi, 2010) : 1. Pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan Pertumbuhan dan penambahan otot hanya mungkin bila tersedia cukup campuran asam amino yang sesuai termasuk untuk pemeliharaan
16
dan perbaikan. Sebelum sel mensintesis protein baru, semua asam amino esensial harus tersedia dalam waktu yang bersamaan. Untuk memproduksi asam amino non esensial, harus tersedia nitrogen dalam jumlah yang sesuai. 2. Mengatur keseimbangan air Cairan tubuh terdapat di dalam tiga kompartemen: intra seluler, ekstra seluler dan intra vaskular. Distribusi cairan di dalam kompartemenkompartemen ini harus dijaga dalam keadaan seimbang atau homeostasis. Keseimbangan ini diperoleh melalui sistem kompleks yang melibatkan protein dan elektrolit. 3. Pembentukan antibodi Kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi tergantung pada kemampuannya untuk memproduksi antibodi terhadap mikroorganisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang memasuki tubuh. Sistem imun yang baik tergantung pada suplai asam amino yang dibutuhkan untuk mensintesis antibodi. 4. Mengangkut zat-zat gizi Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Protein dapat mengangkut beberapa zat gizi seperti : vitamin A, mangan, dan zat besi.
17
5. Sumber energi Sebagi sumber energi, protein ekuivalen dengan karbohidrat, karena menghasilkan 4 kkal/gr protein. Namun, protein sebagai sumber energi relatif lebih mahal. 6. Menjaga pH tubuh Protein dalam darah berfungsi sebagai buffer, komponen yang mampu melawan perubahan pH dan menjaga pH apabila ada tambahan asam / alkali. 2.4.3 Sumber Protein Berbagai bahan makanan dapat digunakan sebagai sumber protein, baik berasal dari hewani maupun bahan nabati, seperti : 1. Daging berwarna merah, termasuk daging sapi, kambing dan babi. 2. Daging ayam, telur , ikan, susu, keju dianggap mengandung protein lengkap yang efisien untuk tubuh. 3. Golongan kacang-kacangan : legume, kacang kedelai, kacang hijau. 4. Golongan sereal : beras mengandung 7% protein, dan gandum mengandung 12% protein. (Anonim, 2010). 2.4.4 Angka Kecukupan Protein Kebutuhan protein menurut FAO/WHO (1985), adalah konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan protein (AKP) orang dewasa menurut hasil-hasil penelitian keseimbangan nitrogen
adalah 0,75 gram/kg berat badan, berupa
18
protein patokan tinggi yaitu protein telur (mutu cerna / digestibility dan daya manfaat / utility telur adalah 100). Angka ini dinamakan safe level of intake atau taraf suapan terjamin. Angka kecukupan protein dipengaruhi oleh mutu protein hidangan yang dinyatakan dalam skor asam amino (SAA), daya cerna protein (DP), dan berat badan seseorang (Almatsier,S, 2001). Tabel 2.1 Angka Kecukupan Protein yang Dianjurkan (per orang per hari) Golongan Umur
Berat badan (kg)
Tinggi Protein badan (cm) (gr)
Golongan umur
0-6 bln 7-12 bln 1-3 th 4-6 th 7-9 th
6 8,5 12 17 25
60 71 90 110 120
10 16 25 39 45
Pria 10-12 th 13-15 th 16-18 th 19-29 th 30-49 th 50-64 th >64 th
35 46 55 56 62 62 62
138 150 160 165 165 165 165
50 60 65 60 50 60 60
Wanita 10-12 th 13-15 th 16-18 th 19-29 th 30-49 th 50-64 th >64 th hamil menyusui 0-6 bln 7-12 bln
Berat badan (kg)
Tinggi Protein badan (cm) (gr)
37 48 50 52 55 55 55
145 153 154 156 156 156 156
50 57 50 50 50 50 50 +17 +17 +17
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII tahun 2004.Dikutip dari : Nirmala Devi (2010).
2.5 Zat Besi 2.5.1 Konsumsi Zat Besi Zat besi merupakan mikro mineral yang paling banyak dalam tubuh manusia, sekitar 3-5 gr (Almatsier, 2002). Zat besi yang bersumber dari makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu : 1). Besi heme, yang terdapat dalam daging dan ikan, proporsi absorpsinya tinggi (10-20%), dan tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi; 2). Besi non heme,
19
yang berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, proporsi absorpsinya rendah (1-2%) dipengaruhi
oleh
bahan
pemacu
atau
bahan
penghambat
sehingga
bioavailabilitasnya rendah. Banyaknya absorpsi zat besi tergantung pada hal-hal sebagai berikut : 1). Jumlah kandungan zat besi dalam makanan; 2). Jenis zat besi dalam makanan ( besi heme atau non heme ); 3). Adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan; 4). Jumlah cadangan besi dalam tubuh; dan 5). Kecepatan eritropoesis (Bakta, 2007). Kehadiran nutrisi lain, seperti protein hewani, vitamin C, vitamin A, seng (Zn), asam folat dan zat gizi mikro lain dapat meningkatkan penyerapan besi dalam tubuh. Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan pada remaja dan dewasa berkisar 13 – 26 mg/hr (Nirmala Dewi, 2010). 2.5.2 Absorbsi Besi Manusia tidak memiliki mekanisme khusus yang efektif untuk mengeluarkan besi tubuh yang berlebihan, sehingga keseimbangan besi dalam tubuh secara fisiologis diatur dengan mengendalikan absorbsinya, yaitu bila cadangan besi tubuh sudah cukup maka absorbsinya akan menurun, dan sebaliknya bila cadangan besi tubuh menurun absorbsinya akan segera meningkat beberapa kali lipat. Secara normal pertukaran besi dengan lingkungan sangat terbatas yaitu kurang dari 0,05% dari besi tubuh total, baik yang diserap ataupun yang hilang tiap hari melalui deskuamasi epitel kulit, saluran gastrointestinal dan traktus urinarius (Somayana, 2005). Terdapat 3 (tiga) mekanisme yang mengatur absorbsi besi di usus halus, yaitu (Bakta,dkk. 2006) :
20
1. Regulator dietetik Absorbsi besi dipengaruhi oleh jenis diet dimana besi terdapat. Diet dengan bioavailabilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta adanya faktor enhancer atau pemacu akan meningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi dengan bioavailabilitas rendah adalah besi non heme, besi yang berasal dari sumber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan disertai persentase absorbsi besi yang rendah. Pada regulator dietetik ini juga dikenal adanya mucosal block yaitu suatu fenomena setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam diet, maka enterosit ( sel epitel usus ) resisten terhadap absorbsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan. 2. Regulator simpanan Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh. Penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Mekanisme ini diperkirakan melalui crypt-cell programming sebagai respon terhadap saturasi transferin plasma dengan besi. 3. Regulator eritropoietik Besarnya absorbsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis. Regulator eritropoietik mempunyai kemampuan regulasi absorbsi lebih tinggi dibandingkan dengan regulator simpanan. Mekanisme regulator ini belum diketahui secara pasti, namun akhir–akhir ini ditemukan suatu peptida
21
hormonal kecil yaitu hepcidin yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soluble regulator absorbsi besi dalam usus. 2.5.3. Siklus Besi Dalam Tubuh Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1 – 2 mg, ekskresi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif ( hemolisis intramedular ). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah mengalami proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg sehingga dapat dilihat suatu lingkaran tertutup ( closed circuit ) yang sangat efisien, seperti dilukiskan pada Gambar 2.1 ( Bakta, 2007 ) :
Gambar 2.1. Skema siklus pertukaran besi dalam tubuh (Diambil dari : Bakta, I Made : Hematologi Klinik Ringkas, 2007).
22
2.6 Penentuan Status Besi Dalam menentukan status besi, selain kadar hemoglobin (Hb) perlu dilakukan analisis tahapan defisiensi besi yang lain yaitu status besi dalam hati, banyaknya zat besi dalam sistem eritropoiesis, dan zat besi yang beredar dalam darah. 2.6.1 Hemoglobin Hemoglobin (Hb) adalah parameter yang digunakan secara luas untuk menetapkan prevalensi anemia. Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah, yang dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen darah. Kandungan Hb yang rendah mengidentifikasikan anemia. Nilai normal yang paling sering dinyatakan adalah 14 – 18 gr/100 ml untuk pria dan 12 – 16 gr/100 ml untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat dengan gr% atau gr/dl) (Supariasa,dkk. 2002). Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblas dan berlanjut bahkan dalam stadium retikulosit pada pembentukan sel darah merah. Tahap dasar pembentukan hemoglobin yaitu : mula-mula, suksinil-KoA, yang dibentuk dalam siklus Krebs berikatan dengan glisin membentuk molekul pirol, kemudian empat pirol bergabung untuk membentuk protoporfirin IX, yang kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang, yaitu globin yang disintesis oleh ribosom, membentuk suatu sub unit hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin (Gambar 2.3). Tiap-tiap rantai mempunyai berat molekul kira-kira 16.000,
23
empat rantai ini selanjutnya akan berikatan longgar satu sama lain untuk membentuk molekul hemoglobin yang lengkap (Guyton dan Hall, 2008). Gambar
2.2
dibawah
ini
memperlihatkan
tahap
dasar
kimiawi
pembentukan hemoglobin :
Gambar 2.2 Tahap dasar pembentukan hemoglobin (Diambil dari :Guyton dan Hall : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, 2008).
Gambar 2.3 Struktur dasar molekul hemoglobin ( Diambil dari : Guyton dan Hall : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, 2008 ).
24
2.6.2 Feritin Serum Feritin adalah kompleks protein-besi yang larut dalam air dengan berat molekul 465.000, ini terbentuk dari sarung protein sebelah luar , apoferitin yang terdiri atas 22 sub unit dan inti besi-fosfat hidroksida (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Kadar feritin serum (FS) merupakan salah satu ukuran yang baik untuk mengetahui simpanan besi (Lee, 2003). Banyaknya feritin yang dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya simpanan zat besi di dalam hati. Dalam keadaan normal rata-rata FS untuk laki-laki dewasa adalah 90 µg/l dan untuk wanita dewasa 30 µg/l. Perbedaan kadar FS ini menggambarkan perbedaan banyaknya simpanan zat besi dalam tubuh, dimana laki-laki tiga kali lebih banyak dari wanita. Walaupun kadar FS juga dipengaruhi oleh adanya infeksi, namun demikian FS masih merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan kurang zat besi atau dalam evaluasi hasil suatu program. Apabila seseorang mempunyai kadar FS < 12 µg/l (ada yang memakai < 15 µg/l atau < 20 µg/l) maka orang yang bersangkutan dinyatakan sebagai kurang zat besi (Lee, 2003). Berdasarkan kriteria ini, sebenarnya banyak orang yang menderita kurang besi tetapi tidak dapat terdeteksi dengan cara mengukur feritin serum, karena kadar feritin yang dikeluarkan dari hati akan meningkat dalam darah apabila yang bersangkutan menderita penyakit kronis, infeksi dan penyakit hati. Apabila penyakit infeksi tersebut tidak umum dijumpai di masyarakat, maka penentuan feritin pilihan yang tepat (Yogianti, 2003).
25
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Somayana (2005), pada pasien anemia di RSUP Sanglah pemakaian titik pemilah (cut off point) feritin serum < 12 µg/l dan < 20 μg/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96% . Sensitivitas tertinggi (84%) justru tercapai pada pemakaian feritin serum < 40 µg/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%). Disimpulkan pada penelitian ini bahwa pada daerah tropik dimana kasus infeksi masih banyak dijumpai, titik pemilah feritin serum < 40µ/l masih dapat dipakai untuk mendiagnosis anemia defisiensi besi. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rhematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 μg/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia defisiensi besi yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisisiensi besi, tetapi feritin serum diatas 100 µg/l dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi (Bakta, dkk. 2006). 2.7 Anemia 2.7.1 Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan ferifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Nilai nomal hemoglobin sangat bervariasi secara
26
fisiologik tergantung umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal (Bakta, 2006). WHO menetapkan cut off point anemia berdasarkan umur dan kelompok gender seperti Tabel 2.2 : Tabel 2.2 Kriteria Anemia Menurut WHO berdasarkan Umur dan Kelompok Gender Umur atau Kelompok Gender
Hemoglobin (Hb)
Anak-anak 6-59 bulan
< 11 gr%
Anak-anak 5-11 tahun
< 11,5 gr%
Anak-anak 12-14 tahun
< 12 gr%
Wanita tidak hamil (>15 tahun )
< 12 gr%
Wanita hamil
< 11 gr%
Laki-laki (>15 tahun)
< 13 gr%
Dikutip dari : WHO (2001): Iron Deficiency Anaemia. Assessment, Prevention and Control. A Guide for programme Managers.
2.7.2. Klasifikasi Berdasarkan etiologi, anemia diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu : a). Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang; b). Anemia akibat hemoragi; c). Anemia hemolitik ; dan d). Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui. Sedangkan berdasarkan gambaran morfologinya, anemia dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : a). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; b). Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; dan c). Anemia makrositer, bila MCV > 95fl. Salah satu penyebab anemia hipokromik mikrositer adalah defisiensi besi (Bakta, 2006).
27
2.8 Anemia Defisiensi besi 2.8.1 Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi (Masrizal, 2007). Menurut Bakta (2007), anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (total iron binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, berkurangnya kadar feritin serum, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi. 2.8.2 Epidemiologi Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai di klinik maupun di masyarakat, baik di negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara maju (Lee, 2003). Anemia ini mengenai
28
lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius (Bakta,dkk. 2006). Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memperkirakan bahwa 2 milyar penduduk dunia (utamanya di negara berkembang) menderita anemia defisiensi besi. Wanita hamil dan anak-anak muda merupakan kelompok paling berisiko, dimana diperkirakan sekitar 67% anak-anak umur 0-5 tahun dan 76% wanita hamil menderita anemia. Angka prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita berkisar antara 40% di Afrika sampai 65% di Asia Selatan (Geissler dan Powers, 2009) Anemia defisiensi besi atau anemia gizi besi (AGB) merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia yang harus mendapatkan perhatian dan penanggulangan secara serius. Anemia gizi di Indonesia 90% adalah karena kekurangan zat besi (Argana, 2004). Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) di Indonesia. Martoatmojo dkk. pada penelitiannya di Jawa Barat, Jogya dan Bali mendapatkan prevalensi ADB sebesar 16-50% pada laki-laki dan 2584% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalensi ADB sebesar 27% (Bakta, dkk. 2006). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia tahun 2001, prevalensi anemia pada balita sebesar 48,1%, anak usia sekolah dan remaja sebesar 26,5%, wanita usia subur (WUS) 20-29 tahun sebesar 25,3%,
29
WUS 30-39 tahun sebesar 25,9%, WUS 40-49 tahun sebesar 28,7% dan ibu hamil sebesar 40,1% (Briawan D, dkk. 2009). 2.8.3 Penyebab Anemia
defisiensi
besi
(ADB)
dapat
disebabkan
oleh
karena
(Masrizal, 2007) : a. Asupan zat besi Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi bahan makanan yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik kurangnya penyediaan pangan, distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan. b.
Penyerapan zat besi Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap tergantung dari jenis zat besi dan bahan makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan besi. Besi-heme, yang merupakan bagian dari hemoglobin dan mioglobin yang terdapat di dalam daging hewan dapat diserap dua kali lipat dari pada besi-nonheme.
Zat penghambat penyerapan zat besi diantaranya adalah
tannin , phitat dan serat. Tannin yang merupakan polifenol dan terdapat di dalam teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan buah menghambat penyerapan besi dengan cara mengikatnya. Asam phitat dan faktor lain di
30
dalam serat sereallia dan asam oksalat di dalam sayuran menghambat penyerapan besi (Almatsier S,2001). Sedangkan zat yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi antara lain sistein (daging), vitamin C, sitrat, malat, dan laktat yang umumnya terdapat dalam buah-buahan (Anonim, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Dines C. Sharma dan Rati Mathur (1994) di Jaipur India, diperoleh hasil bahwa pemberian vitamin C pada kelompok vegetarian yang menderita anemia dan defisiesi besi meningkatkan rata-rata kadar hemoglobin sebesar 8%, serum besi sebesar 17%, dan saturasi transferin sebesar 23%. Disimpulkan bahwa pemberian suplementasi vitamin C merupakan metode yang lebih baik untuk meningkatkan status hematologi dan besi dibandingkan dengan pemberian garam besi (Sharma DC dan Rati Mathur, 1995). c.
Kebutuhan meningkat Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada kasus-kasus perdarahan kronis yang disebabkan oleh parasit. Pada kelompok remaja, pematangan seksual menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat. Kebutuhan zat besi remaja wanita lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki karena dibutuhkan untuk mengganti zat besi yang hilang saat menstruasi.
d.
Kehilangan zat besi Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit, urine disebut kehilangan zat besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi basal juga
31
kehilangan zat besi melalui menstruasi. Disamping itu kehilangan zat besi disebabkan oleh infeksi cacing di dalam usus. 2.8.4 Klasifikasi Defisiensi Besi Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu (Gibson, 2005, Bakta, 2007) : 1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoiesis belum terganggu. 2. Eritropoiesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoiesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. 3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi. Tahapan defisiensi besi sampai terjadinya anemia defisiensi besi dapat digambarkan seperti Gambar 2.2 di bawah ini :
Gambar 2.2 Tahapan defisiensi besi (diambil dari : Beck W.S. Hematology, 5th ed, 1998).
32
2.8.5 Dampak Anemia Defisiensi Besi Dampak anemia defisiensi besi / anemia gizi dapat menyebabkan berbagai konsekuensi fisiologis. Anemia gizi pada wanita hamil dapat menyebabkan perdarahan, pre eklampsia, kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), kematian ibu dan kematian perinatal serta rentan terhadap penyakit infeksi (Jalal, F dan Atmojo SM, 1998). Anemia defisiensi besi pada anak usia sekolah akan menyebabkan gangguan perkembangan kognitif, motorik, dan prestasi belajar. Beberapa studi literatur
ditemukan bahwa anemia defisiensi besi dapat
menyebabkan transport oksigen menjadi berkurang dan mengakibatkan produksi energi menjadi rendah, sehingga anak menjadi mudah lelah dan kurang dapat berkonsentrasi (Atmojo, 1987). Menurut Pollit dan Leibel (Pipes, 1977 dalam Jalal F, dan Atmojo, 1998) kekurangan besi pada anak usia sekolah dapat menyebabkan perubahan tingkah laku disertai dengan rendahnya motivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang bersifat intelektual. Bahkan Bank Dunia mengingatkan bahwa anemia defisiensi besi pada anak sekolah menyebabkan hilangnya 5-10% prestasi belajar. Pada usia dewasa, anemia defisiensi besi akan menyebabkan mudah lelah dan rendahnya produktivitas kerja. Menurut Bank Dunia anemia menyebabkan hilangnya 10-15% output pada berbagai sektor pekerjaan. Sementara itu Husaini dan Karyadi (1985), dalam penelitiannya pada penyadap karet menemukan bahwa, pekerja penyadap karet yang menderita anemia menghasilkan produksi latex 20% lebih rendah daripada yang nomal (Jalal,F dan Atmojo SM, 1998).