II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Asal Usul dan Klasifikasi Domba Garut Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan hal-hal tertentu, diantaranya berdasarkan perbandingan banyak daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak (Kammlade, 1955). Menurut Blakely dan Bade (1992) domba diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Ordo
: Arthiodactyla
Family
: Bovidae
Species
: Ovis Aries
Keragaman wilayah di muka bumi menyebabkan begitu banyak rumpun domba yang tersebar di seluruh dunia. Sampai saat ini tercatat 245 rumpun yang telah diidentifikasi dengan cukup baik, sehingga dari sisi performa fisik berupa sifat-sifat kuantitatif maupun sifat-sifat kualitatif dapat dibedakan antara satu rumpun dengan rumpun lainnya (Heriyadi, 2002). Catatan populasi domba pertama di Indonesia pada tahun 1922, mencapai jumlah 1,1 juta ekor, sepertiga dari jumlah tersebut (366.000 ekor) terdapat di Keresidenan Priangan. Namun dari jumlah tersebut tidak diketahui bangsa-bangsa
7
8
domba apa saja yang hidup di wilayah Priangan. Selain domba lokal telah menyebar pula domba Ekor Gemuk (Donggala dan Madura) yang berasal dari Asia Barat Daya. Saat ini populasi domba di Indonesia mencapai 15.715.000 ekor dan di Jawa Barat mencapai 10.003.000 ekor (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014). Proses terbentuknya domba Garut sementara ini diyakini berawal dari persilangan tiga bangsa domba, yaitu domba Merino, domba Kaapstad dan domba lokal dari wilayah Priangan, sehingga dalam perkembangan selanjutnya dikenal dengan nama domba Priangan atau domba Garut, karena awal persilangan dan perkembangan domba Priangan terbaik berasal dari daerah Garut. Tahun 1864 pemerintah Belanda mulai memasukkan domba Merino yang pemeliharaannya diserahkan pada KF Holle, tahun 1869 domba-domba tersebut dipindahkan ke Garut dan secara bertahap dilakukan penyebaran ke beberapa penggemar domba, antara lain kepada Bupati Limbangan (satu pasang) dan Van Nispen seekor pejantan Merino yang pada saat itu kebetulan memiliki seekor domba Kaapstad, serta disebarkan ke beberapa daerah lain seperti Kabupaten Sumedang, Garut, dan Bandung (Merkens dan Soemirat, 1926). Penyebaran tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya ras domba Priangan atau domba Garut. Persilangan yang telah berlangsung secara terus menerus selama puluhan tahun, dan berjalan tanpa suatu proram dan arah yang jelas, antara domba Merino domba Lokal, domba Merino X domba Lokal X domba Kaapstad, banyak diyakini oleh para peneliti bahwa ini merupakan asal usul terbentuknya ras domba priangan. Namun demikian, kajian secara ilmiah belum dapat diungkapkan dengan pasti, khususnya kajian dari sisi komposisi darah dan gena domba Garut (Heriyadi, 2002).
9
Asal-usul perkembangan domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai sumber daya genetik ternak (SDGT) asli dari Jawa Barat, yaitu dari daerah Cibuluh, Cikandang dan Cikeris di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja. Keyakinan ini telah cukup lama berkembang di kalangan peternak di Kecamatan Cikajang dan Wanaraja. Sebagian besar masyarakat di kedua kecamatan tersebut, bahkan meragukan bahwa Domba Garut dengan ciri-ciri kuping yang rumpung berasal dari daerah lain di luar Garut, termasuk tokoh-tokoh peternak domba di Garut meyakini bahwa Domba Garut merupakan SDGT asli atau merupakan ternak asli dari Kabupaten Garut. Keyakinan yang berkembang pada masyarakat peternak di Kecamatan Cikajang dan Wanaraja tersebut sampai saat ini cukup sesuai dengan fakta sejarah dan perkembangan Domba Garut. Di samping itu, dari sisi logika yang dilandasi oleh teori genetika dapat diterima bahwa domba Garut yang berkembang saat ini merupakan domba asli dari Kecamatan Cikajang khususnya domba-domba yang memiliki warna dominan hitam pada bagian muka (Heriyadi, 2011). Domba Garut adalah domba yang memiliki kombinasi daun telinga rumpung atau ngadaun hiris dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong. Domba Garut diyakini berasal dari kabupaten Garut sebagai sumber daya genetik ternak asli Jawa Barat, yaitu dari daerah Cibuluh, Cikandang dan Cikeris di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja (Heriyadi, 2011). Saat ini, domba Garut merupakan salah satu aset sumber daya geneik ternak asli yang sangat penting di Provinsi Jawa Barat sehingga perlu dilestarikan, dibudidayakan dan dikembangkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang optimum agar dapat mendongkrak dan mensejahterakan kehidupan petani/peternak khususnya peternak domba Garut (Heriyadi, 2011).
10
2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Menurut Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dada, dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan dan minum, dan mendapat tepat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja pada ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proposional dari bobot tubuh karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Ensminger (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah pertambahan dari urat daging, tulang, organ-organ internal serta bagian lain pada tubuh. Menurut Berg dan Butterfield (1976) pertumbuhan merupakan hal terpenting pada ternak kerena hasil akhir yang diharapkan dari pertumbuhan adalah pertumbuhan bobot hidup per unit waktu. Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yaitu : menyangkut peningkatan massa per satuan waktu dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan differensial komponenkomponen tubuh. Berdasarkan teori pertumbuhan komponen karkas, tulang merupakan komponen yang tumbuh paling dini kemudian disusul oleh daging dan terakhir adalah lemak (Berg dan Butterfield, 1976). Perkembangan atau perubahan otot, tulang dan bagian lain dari tubuh akan berpengaruh terhadap perubahan komposisi penyusunan otot tubuh seperti protein, lemak dan karbohidrat, sehingga akan berpengaruh pula terhadap komposisi daging. Tulang lebih dulu tumbuh karena merupakan kerangka yang menentukan pertumbuhan tubuh, disamping daging dan lemak (Berg et al, 1976). Pertumbuhan potensial bertambah dan mencapai maksimum pada umur sekitar 5 bulan, sesudah itu pertumbuhan menjadi lambat sampai mencapai bobot tubuh dewasa (Gatenby, 1995).
11
Pertumbuhan pada semua jenis hewan umumnya sama yaitu pada awalnya berlangsung lambat kemudian semakin lama semakin cepat, akan tetapi pertumbuhan tersebut kembali lambat pada saat ternak itu mendekati dewasa tubuh. Namun kecepatan pertumbuhan tidak lepas dari faktor genetik dan lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Menurut Hammond et al. (1976) menyatakan bahwa pada ternak yang sedang tumbuh terdapat dua hal yang terjadi yaitu : (1) Pertambahan bobot badan sampai domba mencapai dewasa tubuh yang dinamakan pertumbuhan; (2) perubahan bentuk tubuh dan beberapa fungsi organ menjadi sempurna yang dinamakan perkembangan. Menurut Ensminger (1991), ternak betina mengalami pertumbuhan lebih dahulu dibandingkan jantan. Hal ini dikarenakan betina menyiapkan pertumbuhan pada organ reproduksi. Hafez dan Dyer (1969) menyatakan bahwa pertumbuhan seekor tenak dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan, terutama manajemen pemeliharaan, jenis pakan, bobot badan dan iklim. 2.3 Morfometrik dan Performa Ukuran Tubuh Morfologi adalah ilmu tentang ukuran ataupun bentuk, yang bersama sifat eksternal termasuk juga warna diartikan secara luas, bahkan hampir disamakan dengan anatomi. Doho (1994) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh dapat digunakan untuk menggambarkan eksterior hewan sebagai ciri khas suatu bangsa. Performa atau penampilan individu ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki individu tadi (Hardjosubroto, 1994). Mulliadi (1996) menyatakan ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak
12
kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas serta memeberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Pengukuran ukuran tubuh dilakukan berdasarkan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perebedaan-perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi. Penggunaan ukuran tubuh meliputi tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada, lebar panggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada, lebar dada, lebar panggul dan lingkar panggul pada domba Priangan yang dilakukan oleh Dwiyanto (1982) untuk menaksir bobot badan dan merupakan gambaran eksterior hewan sebagai ciri khas suatu bangsa serta untuk menentukan domba yang mempunyai produksi tinggi. Lebar dada dapat menunjukkan organ respirasi dan sirkulasi yang dimiliki oleh domba. Semakin lebar dada domba maka organ respirasi dan sirkulasi semakin besar. Pertumbuhan tulang dada dipengaruhi oleh perkembangan organ-organ dalam dan perlekatan daging pada tulang bahu dan dada yang menekan kapasitas tubuh (Atmaja dkk., 2002). Salamahwati (2004) melaporkan bahwa lingkar dada pada domba Garut jantan tipe tangkas dan domba Garut jantan tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 54,97 ± 6,73 cm dan 54,30 ± 14,65 cm, sedangkan untuk domba Garut betina tipe tangkas dan domba Garut betina tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 53,02 ± 13,19 cm dan 52,48 ± 11,28 cm. Setiawan (2003) melaporkan bahwa lingkar dada pada domba Garut betina tipe tangkas dan domba Garut betina tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah adalah 58,64 ±5,91 cm dan 61,61 ± 4,12 cm. Menurut Takaendengan (1998) lingkar dada merupakan bagian tubuh domba yang mengalami pembesaran kearah samping.
13
Salamahwati (2004) melaporkan rataan panjang badan domba Garut jantan tipe tangkas dan domba Garut jantan tipe pedaging yang berumbur kurang dai 1 tahun adalah 42,52 ± 12,82 cm dan 47,91 ± 8,26 cm, sedangkan untuk domba Garut betina tipe tangkas dan domba Garut betina tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 44,15 ±9,88 cm dan 44,19 ± 7,51 cm. Setiawan (2003) melaporkan ukuran panjang badan domba Garut betina tipe tangkas dan domba Garut betina tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 44,44 ± 4,96 cm dan 45,44 ± 3,10 cm. Salamahwati (2004) melaporkan bahwa tinggi pundak domba Garut jantan tipe tangkas dan domba Garut jantan tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 52,07 ± 12,42 cm dan 51,51 ± 8,38 cm. Sedangkan domba Garut betina tipe tangkas dan domba Garut betina tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 47,88 ± 13,40 cm dan 48,13 ± 9,33 cm. Setiawan (2003) melaporkan bahwa tinggi pundak domba Garut betina tipe tangkas dan domba Garut betina tipe pedaging yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 55,52 ± 2,99 cm dan 56,53 ±1,79 cm. 2.4 Pemilihan Bibit Bibit ternak merupakan salah satu sarana produksi ternak penting dan strategis untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil dalam menyediakan pangan asal ternak yang berdaya saing tinggi. Ternak yang bermutu dapat diperoleh dari bibit unggul dengan melalui pemuliaan serta proses sertifikasi. Secara umum, klasifikasi bibit ternak terdiri atas bibit dasar, bibit induk dan ternak sebar atau ternak niaga. Bibit dasar (foundation stock) merupakan bibit hasil proses pemuliaan dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan bibit induk. Bibit
14
induk (breeding stock) merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan bibit sebar, sedangkan ternak sebar niaga (commercial stock) merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi (Departemen Pertanian, 2001). Pemilihan bibit ternak bertujuan untuk memperoleh bangsa-bangsa ternak yang memiliki sifat-sifat produktif potensial seperti memiliki persentase kelahiran anak yang tinggi, kesuburan yang tinggi, kecepatan tumbuh yang baik serta persentasi karkas yang baik dan sebagainya (Suhaemi, 2008). Kriteria - kriteria yang biasa dipergunakan sebagai pedoman dalam rangka melaksanakan seleksi atau pemilihan bibit ialah : bangsa ternak, kesuburan dan persentase kelahiran anak, temperamen dan produksi susu induk, produksi daging dan susu, recording dan status kesehatan ternak tersebut. 2.5 Seleksi Menurut Suhaemi (2008) seleksi adalah istilah dalam pemilihan ternak yang menggambarkan proses pemilihan secara sistimatis ternak-ternak dari suatu populasi untuk dijadikan tetua generasi berikutnya. Adapun dasar pemilihan dan penyingkiran yang dipakai adalah mutu genetiknya. Mutu genetik ternak tidak tampak dari luar, yang tampak dan dapat diukur dari luar adalah performanya, sedangkan performa ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, harus dilakukan suatu pendugaan atau penaksiran terlebih dahulu terhadap mutu genetiknya atas dasar performa yang ada. Menurut Kurnianto (2009) Seleksi dalam ilmu pemuliaan ternak diartikan sebagai upaya memilih dan mempertahankan ternak-ternak yang dianggap baik untuk terus dipelihara sebagai tetua bagi generasi yang akan datang dan
15
mengeluarkan ternak-ternak (culling) yang dianggap kurang baik. Dalam melaksanakan seleksi dilakukan pemilihan sekelompok ternak yang mempunyai produksi yang lebih tinggi dari rataan populasinya (Martojo, dkk., 1985). Menurut Anang dan Indrijani (2009) dalam konteks pemuliabiakan ternak seleksi adalah suatu proses memilih ternak yang disukai yang akan dijadikan sebagai tetua untuk generasi berikutnya. Tujuan umum dari seleksi adalah untuk meningkatkan produktivitas ternak melalui perbaikan mutu bibit. Dalam melakukan seleksi, tujuan seleksi harus ditetapkan terlebih dahulu. Kemajuan Seleksi atau Respon Seleksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : seleksi diferensial (S), heritabilitas (h2), dan Interval generasi (l). Seleksi diferensial adalah perbedaan rata-rata performan individu-individu yang terseleksi dengan rata-rata performan individu-individu pada populasi awal. Atau dengan kata lain, seleksi diferensial adalah keunggulan ternak-ternak yang terseleksi terhadap rata-rata populasi (keseluruhan ternak sebelum diseleksi). Heritabilitas merupakan suatu perbandingan antara ragam yang disebabkan oleh faktor genetik dengan ragam fenotip. Interval generasi dapat diartikan sebagai rata-rata umur tetua/induk ketika anaknya dilahirkan. Setiap jenis ternak mungkin mempunyai interval generasi yang berbeda. Interval generasi dipengaruhi oleh umur pertama kali ternak tersebut dikawinkan dan lama bunting, dengan demikian interval generasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pakan dan tatalaksana. Keragaman (variasi) individu (terutama variasi genotip) memegang peranan penting dalam pemuliaan ternak. Jika dalam suatu populasi ternak tidak ada variasi genotip, maka menyeleksi ternak bibit tidak perlu dilakukan. Untuk ternak pengganti tinggal diambil ternak yang ada tanpa harus melakukan pertimbangan seleksi. Semakin tinggi variasi genotip didalam populasi, semakin besar perbaikan
16
mutu bibit yang diharapkan. Dalam ilmu pemuliaan ternak, fenotip, genotip dan lingkungan diungkapkan dalam bentuk variasi (Anang dan Indrijani, 2009). Seleksi yang paling sederhana adalah seleksi massa atau individu, yaitu individu yang diseleksi atas dasar performanya sendiri. Pada seleksi individu, dilakukan pemilihan terhadap individu-individu yang mempunyai performa terbaik. Untuk dapat melakukannya biasanya performa dari ternak-ternak yang sedang dipilih disusun atau diurutkan dari performa yang terbaik sampai terburuk atau sebaliknya, terburuk sampai terbaik. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk memilih ternak mana yang akan dipilih dan tidak akan dipilih (Hardjosubroto, 1994). Menurut Warwick dkk., (1990) seleksi individu atau massa hanya berdasarkan pada fenotipe dari individu-individu yang berarti satu sifat tunggal atau kombinasi sifat atau indeks atau beberapa sifat. Seleksi individu paling berguna untuk sifatsifat yang dapat diukur pada kedua jenis kelamin sebelum dewasa atau sebelum umur perkawinan pertama. Seleksi penyisihan bebas bertingkat (Independent Culling Level) adalah seleksi dimana dua sifat atau lebih, masing-masing dipilih secara bebas atau seleksi dapat dilakukan pada waktu yang sama dengan cara memilih yang berada pada titik tertentu untuk tiap sifat tanpa mengindahkan keuntungan dari sifat lain (Warwick, 1990).