KAJIAN EFEKTIVITAS PENGALIHAN DANA TUGAS PEMBANTUAN KE DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN
ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Efektivitas Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Pembangunan Pertanian adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Ardiani Agustina Rahmawati NIM H152120211
RINGKASAN ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI. Kajian Efektivitas Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Pembangunan Pertanian. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan ALLA ASMARA. Pembangunan sektor pertanian antar daerah di Indonesia, masih terdapat kesenjangan, dan berdampak terhadap lambatnya laju pembangunan pertanian, sehingga dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal, melalui top down planning diharapkan adanya pemerataan pembangunan pertanian. Mekanisme top down planning melalui pengalihan dana Tugas Pembantuan (TP) ke Dana Alokasi Khusus (DAK) sektor pertanian memiliki tujuan untuk menertibkan sistem pendanaan di daerah dengan menerapkan prinsip money follow function, yaitu memberikan kewenangan bagi daerah dalam hal penanganan urusan yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat, serta meningkatkan besaran alokasi dana di daerah melalui transfer daerah, sehingga diharapkan dengan adanya pengalihan dana TP ke DAK sektor pertanian dapat meningkatkan pertumbuhan pembangunan sektor pertanian, yang arahnya adalah menciptakan pemerataan pendapatan daerah serta meningkatkan kesejahteraan petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat keefektivan perencanaan dan pelaksanaan dalam pengalihan TP ke DAK, melihat peranan anggaran TP dan DAK saat tidak ada pengalihan terhadap pembangunan pertanian, serta menganalisis efektivitas pengalihan anggaran TP ke DAK terhadap pembangunan pertanian. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis regresi panel, yaitu interaksi antara time series dengan cross section, dengan menggunakan data time series dari tahun 2012-2014 dan data cross section dari 32 provinsi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus dalam pembangunan pertanian, yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara rata-rata adalah efektif. Variabel realisasi anggaran efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat pengalihan sebesar 62,50%,realisasi kegiatan efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat pengalihan sebesar 64,06%, variabel pedoman pelaksanaan efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat pengalihan sebesar 57,81%, variabel sumber daya manusia efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat pengalihan sebesar 38,54% dan variabel kelembagaan efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat pengalihan sebesar 53,90%. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian dari variabel yang digunakan hanya variabel sumber daya manusia yang menunjukkan tidak efektif, sedangkan variabel lainnya adalah efektif. Hasil estimasi model regeresi panel data menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Pembangunan Pertanian, yaitu 1) Dana Tugas Pembantuan, 2) Dana Alokasi Khusus, 3) Tenaga Kerja Pertanian, 4) Nilai Tukar Petani, dan 5) Penduduk Miskin di pedesaan,
pengaruh positif kepada dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian baik pada saat tidak dilakukan pengalihan, dan juga pada saat pengalihan dilakukan. Melalui penelitian ini diharapakan kepada para pengambil kebijakan pembangunan pertanian bahwa dari hasil penelitian, untuk meningkatkan kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan langkah kebijakan, yaitu 1) pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus untuk tetap dilanjutkan, dalam rangka meningkatkan pembangunan pertanian yang merata, di seluruh daerah di Indonesia, 2) melalui kebijakan desentralisasi fiskal, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi lebih mudah untuk diwujudkan. Kata kunci: Pertanian, Tugas Pembantuan, Dana Alokasi Khusus, Efektivitas
SUMMARY ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI. Study of the Transfer Effectiveness Co-Administered Fund to Special Allocation Fund toward Agricultural Development. Supervised by BAMBANG JUANDA and ALLA ASMARA. Nowadays, there is a gap on the development of the agricultural sector between regions in Indonesia, so that are the impact of the slow pace of agricultural development, so that with the policy of fiscal decentralization, through top-down planning is expected for equitable agricultural development. Mechanism top down planning through transfer of Co-Administration Fund (TP) to the Special Allocation Fund (DAK) , has aim to curb the financing system in the area by applying the principle of money follow function, which gives authority to the regions in terms of handling the affairs of the earlier to the central authority, as well as increasing the amount of the allocation of funds in the region through the transfer area, which is expected by the transfer of funds Co-Administration Fund (TP) to Special Allocation Fund (DAK) to agricultural sector can boost the growth of agricultural sector development, which direction are created equal distribution of income and welfare of farmers. This study aim to know the effectiveness of the planning and execution of the transfer of TP to DAK, see the role of TP and DAK budget when there is no diversion to agricultural development, as well as analyze the effectiveness of the transfer of TP to DAK budget to agricultural development. The analytical method used in this research is descriptive analysis and regression analysis of panel, ie the interaction between time series with cross section, using time series data from the years 2012-2014 and a cross section of 32 provinces in Indonesia. The results showed that the diversion of funds Assistance to the Special Allocation Fund for agricultural development, which is obtained through question and interviews are an effective average. Variable realization of effective budgets to agricultural development at the time of transfer amounted to 62.50%, the realization of effective activity against agricultural development at the time of transfer amounted to 64.06%, variable guidelines for the effective implementation of the agricultural development at the time of transfer amounted to 57.81%, variable resource humans effective against agricultural development at the time of transfer amounted to 38.54% and institutional variables effectively to agricultural development at the time of transfer amounted to 53.90%. The condition indicates that the diversion of funds Assistance to the Special Allocation Fund (DAK) for agricultural development of the variables used only variable that shows the human resources are not effective, while the other variable is effective. Results of model estimation regeresi panel data show the factors that influence the effectiveness of the transfer of Co-Administration Fund to the Special Allocation Fund to Agricultural Development, namely 1) CoAdministration Fund, 2) Special Allocation Fund, 3) Labor Agriculture, 4) Farmers Exchange Rate and 5) Rural Poor. Positive influence on CoAdministration Fund to Special Allocation Funds to agricultural development is not good at the time when the transfer done.
Through this research is expected to policy maker and agricultural development that results of research, to improve the welfare of farmers can be done by policy measures, namely 1) the transfer of funds assistance duty to a special allocation to be continued, in order to increase agricultural development evenly throughout regions in Indonesia, 2) through fiscal decentralization policy, economic growth and equity is easier to achieve. Keywords: agricultural, effectiveness, co-administration, special allocation fund.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN EFEKTIVITAS PENGALIHAN DANA TUGAS PEMBANTUAN KE DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN
ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si
PRAKATA Segala puji hanya milik Allah SWT, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tesis penelitian dengan judul “Kajian Efektivitas Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Pembangunan Pertanian“. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Bapak Dr. Alla Asmara, SPt, MSi selaku komisi pembimbing, atas curahan waktu, arahan, bimbingan dan dorongan semangat sejak penyusunan proposal, penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Dekan Fakultas Ekonomi Manajemen beserta staf atas pelayanan yang diberikan selama penulis menempuh studi di PWD IPB. Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Riwantoro, MM beserta seluruh jajaran staf Sekretariat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Pascasarjana di Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi PWD angkatan 2012, terimakasih atas kebersamaan, dukungan, dan jalinan kekeluargaan yang telah dan tetap akan terjalin hingga masa yang akan datang. Ungkapan cinta dan terima kasih yang sebesar besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Bambang Sutedjo dan Mama Enny Yusuf Wachidah Yuniwarti. Suami tercinta Iwan Hernawan Hanafi, putra-putriku tersayang Muhammad Fadhil Hanafi dan Aulia Irdina Hanafi, terimakasih atas doa, kesabaran, kasih sayang dan motivasi yang tak terhingga bagi penulis. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016 Ardiani Agustina Rahmawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 5 6 6 7
2 TINJAUAN PUSTAKA Efektivitas Anggaran Dana Tugas Pembantuan (TP) Pertanian Dana Alokasi Khusus (DAK) Pertanian Pengalihan Tugas Pembantuan (TP) ke Dana Alokasi Khusus Pembangunan Pertanian Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
8 8 9 10 12 13 14 14 16
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan Data Metode Analisis Data
19 18 18 19 19 23
4 GAMBARAN UMUM Serapan Anggaran Pertanian di Indonesia Dana Tugas Pembantuan Dana Alokasi Khusus Pembangunan Pertanian di Indonesia Tenaga Kerja Pertanian Nilai Tukar Petani (NTP) Penduduk Miskin
25 25 25 28 31 32 33 35
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Perencanaan dan Pelaksanaan Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap Pembangunan Pertanian Analisis Pelaksanaan Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pembangunan Pertanian saat tidak dilaksanakan kebijakan pengalihan Analisis Efektivitas Pengalihan Tugas pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap Pembangunan Pertanian
36 36
41 43
5 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan Implikasi Kebijakan
51 51 51
DAFTAR PUSTAKA
52
LAMPIRAN
56
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL Alokasi anggaran fungsi pertanian periode tahun anggaran 2012-2014 3 Indikator penilaian tingkat efektivitas dalam perencanaan dan pengalihan anggaran 21 Bentuk Regresi Panel Data 23 Serapan anggaran Tugas Pembantuan per propinsi tahun 2012-2014 25 Prosentase serapan dana Tugas Pembantuan bidang pertanian tahun 2012-2014 28 Serapan dana Tugas Pembantuan bidang pertanian tahun 2012-2014 30 Serapan Dana Alokasi Khusus bidang pertanian tahun 2012-2014 32 PDRB sektor pertanian menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2012 -2014 33 9 Tenaga kerja sektor pertanian (ribu orang) tahun 2012-2014 34 10 Persentase Nilai Tukar Petani di Indonesia tahun 2012-2014 36 37 11 Jumlah penduduk Miskin pedesaan tahun 2012-2014 12 Hasil Estimasi persamaan efektivitas pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus 38 13 Alokasi anggaran fungsi pertanian tahun 2012-2014 39
DAFTAR GAMBAR 1.
PDRB sektor pertanian menurut pulau di Indonesia 2012-2014
1 2.
Kerangka
Pemikiran
Penelitian
19 3.
Serapan
dana
Tugas
Pembantuan
di
32
propinsi
27 4.
Serapan
dana
Alokasi
Khusus
32
propinsi
31 5.
6 7
8
9
Efektivitas anggaran pada pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian Efektivitas kegiatan pada pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian Efektivitas pedoman pelaksanaan pada pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian Efektivitas sumber daya manusia pada pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian Efektivitas kelembagaan pada pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian
38 39
41
42 43
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian yang mencakup sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan memiliki peranan yang sangat penting di Indonesia. Sektor pertanian merupakan penyokong utama ketahanan pangan, dan mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk, dengan total jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 25.5461.70 ribu jiwa (BPS,2015), dari jumlah penduduk tersebut, sebanyak 61.204.882 jiwa bermata pencaharian sebagai petani dan tinggal di pedesaan. Dengan adanya ketimpangan jumlah penduduk yang tinggal di desa dan kota tersebut, dapat menyebabkan terjadinya ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, khususnya pada pertumbuhan ekonomi pertanian. Siregar, et al (2008) menyatakan pertumbuhan ekonomi antar wilayah yang mengalami ketimpangan, dapat dilihat dari share PDRB pertanian masingmasing wilayah tersebut. Adapun tingkat pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan pertumbuhan pembangunan pertanian di Indonesia, dapat dilihat dari share PDRB sektor pertanian antar wilayah dari tahun 2012-2014, yang terdapat pada gambar 1 berikut. 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000
2012 2013 2014
-
Sumber : BPS, 2014 (data diolah) Gambar 1. PDRB sektor pertanian menurut Pulau di Indonesia 2012-2014 Dari gambar PDRB sektor pertanian diatas, dapat kita lihat pertumbuhan sektor pertanian masih terpusat di wilayah pulau Jawa dengan nilai PDRB pertanian rata rata duapuluh enam miliar rupiah per tahun, pulau Sumatera dengan nilai rata rata PDRB pertanian sebesar sembilan miliar rupiah, sedangkan untuk pulau Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah Indonesia Timur PDRB pertaniannya rata-rata dibawah dua miliar rupiah per tahun.
2
Dari gambar diatas tersebut, dapat dilihat pertumbuhan sektor pertanian dari share PDRB pertanian ternyata, pertumbuhan sektor pertanian terpusat di wilayah pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan untuk pulau Kalimantan, Sulawesi dan wilayah Indonesia Timur share PDRB pertaniannya lebih rendah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian pada suatu daerah menurut Simatupang (2000) selain anggaran, adalah tenaga kerja pertanian dan tingkat kesejahteraan petani. Melihat kondisi ketidakmerataan angka PDRB pertanian di tiap wilayah, dapat mengakibatkan ketimpangan dalam pembangunan pertanian antar wilayah. Keadaan tersebut tentu saja dapat mengganggu stabilitas keamanan pangan nasional, yang akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi pembangunan pertanian. Sementara itu Pemerintah Indonesia dalam Muslim (2002), dijelaskan telah memposisikan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam perekonomian. Selama dua dekade lebih pembangunan pertanian menjadi prioritas pokok dalam pembangunan, dengan komitmen kuat dari pemerintah dalam pembangunan pertanian tersebut diwujudkan dalam belanja publik untuk pertanian, subsidi pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian, kelembagaan dan kesisteman pertanian. Sejak diamanatkannya kebijakan desentralisasi di Indonesia, berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perlu dilakukan penataan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Penataan hubungan yang dimaksud seperti tercantum dalam peraturan tersebut, adalah tentang perubahan pola hubungan keuangan antara pusat dengan daerah. Perubahan pola pengaturan keuangan, dicerminkan pada anggaran dan program kegiatan yang sebelumnya dilakukan dengan mekanisme top down planning atau sentralisasi, yaitu sistem yang dilakukan dengan arahan penuh dari Pemerintah Pusat, untuk selanjutnya dialihkan dengan mekanisme bottom up planning atau desentralisasi, yaitu sistem yang dilaksanakan berdasar dari keinginan dan kebutuhan dari masyarakat, sedangkan Pemerintah Pusat memfasilitasi. Secara lebih spesifik, dapat dikatakan penataan ini berperan untuk mengembalikan peranan pemerintah provinsi sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota (DJPK, 2009). Konsep desentralisasi atau sering disebut dengan istilah money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah akan selalu disertai dengan pembagian kewenangan dalam hal keuangan (Sariasih dan Adisasmito,2007). Pendelegasian sebagian urusan keuangan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan konsekuensi dari pencapaian taraf hidup masyarakat yang lebih baik (Wibowo, 2008). Desentralisasi yang diterapkan di Indonesia dilakukan dengan pendelegasian atau pelimpahan wewenang kepada daerah untuk melaksanakan urusan-urusan dasar pelayanan publik disertai dengan pelimpahan pembiayaan melalui alokasi dana yang lebih besar dan lebih leluasa. Pelimpahan wewenang tersebut meliputi penyerahan tanggung jawab kepada daerah, tetapi pengawasan tetap berada di pusat (Sarundjang, 2001).
3
Kondisi tersebut bertujuan agar peningkatan kesejahteraan masyarakat lebih cepat dan lebih tepat, karena seluruh proses dilakukan oleh daerah setempat yang diasumsikan lebih berkepentingan dan lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya. Kebijakan desentralisasi ini dianggap penting dan diperlukan untuk membuat pemerintah daerah lebih kreatif, efektif dan efisien dalam meningkatkan fungsi-fungsi publik untuk kesejahteraan masyarakat di daerah (Utami, 2010). Salah satu kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan yang diserahkan kepada daerah adalah pelayanan dalam bidang pertanian. Pertanian merupakan salah satu bidang strategis yang perlu mendapat perhatian serius, mengingat sektor pertanian memberikan kontribusi utama terhadap penyediaan bahan pangan, bahan baku industri dan pakan. Dengan demikian prioritas di bidang pertanian memang sangat diperlukan, mengingat kebutuhan pangan, sarana prasarana infrastruktur lahan dan air, akses perbenihan dan perbibitan, kelembagaan usaha ekonomi produktif, serta sistem pertanian yang efektif akan menciptakan pertanian yang kuat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi pertanian yang kokoh sesuai dengan strategi tiga jalur (triple track strategy), yaitu pro growth, pro employment, dan pro poor (Renstra Kementan 2010-2014). Pembangunan pertanian dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui peningkatan jumlah ketersediaan pangan, yang ditunjukkan dengan peningkatan produktivitas tanaman pangan dan lonjakan produksi peternakan, sehingga dapat dikatakan bahwa pembagunan pertanian yang produktif menjadi basis pembangunan ekonomi (Arifin, 2013). Mengacu pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berdasarkan Pasal 11 ayat (3) jis Pasal 13 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (2), disebutkan urusan pertanian merupakan urusan pilihan, tetapi mengingat pertanian merupakan tulang punggung perekonomian nasional dan juga merupakan tulang punggung ekonomi sebagian besar daerah (provinsi dan kabupaten/kota), maka sebaiknya provinsi dan kabupaten/kota menetapkan urusan pertanian menjadi urusan pertama yang akan dikembangkan di wilayahnya, seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yaitu telah menetapkan pertanian sebagai sektor strategis dalam mengembangkan ekonomi Indonesia dengan melakukan revitalisasi pertanian. Program revitalisasi pertanian tersebut, akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh anggaran dan kebijakan program yang sesuai dengan kebutuhan daerah khususnya petani. Selama periode tahun 2012-2014, alokasi APBN di Kementerian Pertanian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Alokasi anggaran fungsi pertanian periode tahun anggaran 2012-2014 (miliar rupiah) Tahun 2012 2013 2014
Dekon dan TP 18 843.7 17 819.5 15408. 6
Sumber: Biro Perencanaan Kementan.
Alokasi APBN DAK 1 879.5 2 542.3 2 579.5
4 Jika dilihat dari porsi anggaran sektor pertanian, baik dari dana tugas pembantuan maupun dana alokasi khusus, yang setiap tahunnya meningkat. Ternyata keluaran yang dihasilkan, dirasa belum sesuai dengan yang tertera pada Buku I Bappenas Rencana Kinerja Pemerintah, bab 19 tentang Revitalisasi Pertanian yang menyebutkan bahwa kesejahteraan petani masih rendah dan tingkat kemiskinan relatif tinggi. Hal tersebut ditandai dengan kondisi sebagai berikut: 1) pendapatan petani masih rendah baik secara nominal maupun secara relatif dibandingkan dengan sektor lain; 2) usaha pertanian masih dalam skala kecil dengan modal terbatas, serta teknologi yang sederhana; 3) terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; 4) lemahnya sistem perbenihan dan pembibitan nasional; 5) lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh; 6) masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi; serta 7) belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian. Kondisi tersebut diatas diperkuat oleh pernyataan Arifin (2013), bahwa alokasi anggaran sektor pertanian semakin meningkat setiap tahunnya, dan seharusnya mempunyai peran yang besar terhadap perekonomian nasional, akan tetapi yang terjadi adalah kondisi sebaliknya, dimana kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan, justru sekitar 70-80 persen kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin. Seperti yang diungkapkan oleh Arifin (2016) , bahwa angka kemiskinan di pedesaan dimana sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, meningkat pada tahun 2015. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Saragih (2015), bahwa dari 114,8 juta orang penduduk yang bekerja pada Agustus 2015, sebanyak 37,75 juta (sekitar 32 persen dari total penduduk yang bekerja) menyandarkan lapangan pekerjaan utama di sektor pertanian, namun banyaknya jumlah tenaga kerja pertanian tidak diikuti dengan peningkatan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Minimnya akses terhadap informasi dan sumber permodalan, menyebabkan masyarakat petani tidak dapat mengembangkan usahanya secara layak ekonomi. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara pusat dan daerah harus berdasar dari pemikiran, kebijakan desentralisasi dan delegasi kewenangan daerah. Pemerintah daerah adalah pihak yang berhubungan langsung dengan rakyat, sehingga diharapkan dapat memahami dan mengetahui keinginan serta kebutuhan yang sesuai dengan kondisi di daerah, dalam rangka meningkatkan efektivitas pembangunan secara ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer kepada daerah antara lain berupa dana perimbangan (Suparno, 2010). Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan bagian dari konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan pemerintah daerah, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan yang diserahkan, dilimpahkan dan ditugasbantukan kepada daerah secara proposional, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi serta kebutuhan daerah. Dengan mengacu pada pernyataan tersebut, maka kegiatan yang masih menjadi prioritas pemerintah pusat, namun sudah menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan untuk dikelola oleh pemerintah daerah agar penyelenggaraan pemerintahan terlaksana secara efisien dan efektif, serta mencegah adanya tumpang tindih dalam pendanaan suatu kegiatan.
5 Pengalihan dana dan kegiatan yang terjadi di Kementerian Pertanian, adalah pengalihan dari tugas pembantuan ke dana alokasi khusus. Pengalihan tersebut dilakukan tidak hanya semata karena sudah diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, (pasal 108 ayat 1 sebagaimana disebutkan “dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan anggaran kementerian/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundangan-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi dana alokasi khusus”, dan ayat 2 menyebutkan “pengalihan secara bertahap diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah”). Selain itu pengalihan tugas pembantuan ke dana alokasi khusus, juga didasarkan atas kelemahan/kekurangan dari tugas pembantuan itu sendiri, yaitu 1) kegiatan yang berasal dari tugas pembantuan bersifat top down planning atau lebih mengacu kepada kepentingan dari kementerian pertanian, terkadang tanpa memperhatikan kebutuhan, keinginan dan kondisi dari daerah. Sehingga kondisi tersebut mengakibatkan lokasi dan alokasi kegiatan yang diberikan ke daerah kabupaten/kota tidak sesuai dengan usulan dari daerah; 2) kegiatan tugas pembantuan termasuk dalam kontrak kinerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden, padahal kegiatan yang termasuk dalam kontrak kinerja tersebut terdapat kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah. Dengan adanya ke bijakan desentralisasi ini menurut Utomo (2012), akan menjadikan pemerintah daerah lebih mempunyai kewenangan yang luas untuk memajukan daerahnya, melalui potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Melalui kepercayaan yang diberikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan lebih memacu pembangunan daerah secara efektif dengan memberikan kepercayaan pengelolaan dana ke daerah, dengan satu harapan daerah yang menyelenggarakan desentralisasi tidak memiliki ego yang berlebihan dalam memikirkan daerahnya sendiri. Perumusan Masalah Melalui mekanisme desentralisasi, sebagian besar fungsi pertanian secara bertahap menjadi bagian dari urusan daerah kabupaten/kota. Penyerahan kewenangan tersebut, disertai dengan penyerahan pembiayaan melalui dana perimbangan, sehingga dengan semakin meningkatnya dana yang dikelola oleh daerah, diharapkan pembangunan pertanian lebih dapat berhasil. Kementerian Pertanian dengan program “EMPAT TARGET SUKSES” yaitu (1) pencapaian swasembada kedelai, gula dan daging sapi dan swasembada berkelanjutan untuk padi dan jagung, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani, (Renstra Kementan 2010-2014), melakukan pengalihan dana tugas pembantuan (TP) ke dana alokasi khusus (DAK) di lingkup Kementerian Pertanian, secara bertahap. Adapun kegiatan yang dialihkan adalah kegiatan yang sifatnya bisa digunakan untuk membangun/merehabilitasi/merenovasi bangunan baik UPTD/kandang/laboratorium milik daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, termasuk di dalamnya kelengkapan prasarana, sarana, dan peralatan untuk berfungsinya UPTD/ kandang/laboratorium, dan berumur ekonomis panjang, serta sesuai dengan program prioritas pusat.
6 Secara prinsip kegiatan yang dapat dialihkan adalah, kegiatan menyediakan prasarana fisik dasar pembangunan pertanian dengan memperkuat kapasitas kelembagaan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan masyarakat, dan meningkatkan kinerja pembangunan pertanian di daerah. Sedangkan yang tidak termasuk dalam kriteria tersebut diatas, adalah kegiatan yang tidak dialihkan. Kegiatan Tugas Pembantuan (TP) yang dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK), harus mampu menjawab permasalahan mendasar pembangunan pertanian yang meliputi (1) terbatasnya ketersediaan infrastruktur, (2) belum optimalnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional, (3) terbatasnya akses petani terhadap permodalan, dan masih tingginya suku bunga usaha tani, serta (4) masih lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh (Juknis DAK, Kementan, 2014). Mengingat anggaran DAK yang dialokasikan proporsinya tergolong kecil atau hanya sekitar 8.5% dari total dana TP, namun diharapkan dengan adanya pengalihan terdapat kebijakan yang efektif, terutama bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah (Bappenas, 2011) Proses pengalihan kegiatan-kegiatan sektor pertanian, yang semula diakomodir oleh dana Tugas Pembantuan dan selanjutnya akan diakomodir oleh Dana Alokasi Khusus, menimbulkan pertanyaan, apakah memang proses pengalihan tersebut dianggap lebih efektif dalam sistem penganggaran, mengingat terdapat kendala dalam proses pengalihan tersebut, yaitu: 1) perbedaan dalam teknis pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan dengan kegiatan Dana Alokasi Khusus, mengingat kegiatan yang diakomodir oleh Dana Alokasi Khusus lebih fokus untuk pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana pertanian, sedangkan Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik dan penunjang, 2) perbedaan kesiapan dan kemampuan masing-masing daerah dalam menyediakan dana pendamping DAK sebesar 10% dari total pagu yang diberikan, serta 3) Masih kurangnya pemahaman dan ketidaksiapan daerah, terhadap mekanisme pengalihan DAK. Pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus tersebut pada prinsipnya adalah, daerah diharapkan dapat membiayai urusan daerahnya sendiri sesuai dengan prioritas nasional yang termuat dalam rencana kerja pemerintah. Dimana sesuai dengan asas penyelenggaraan desentralisasi, yaitu semua urusan pemerintahan yang sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah, dan merupakan sistem yang menyeluruh sejalan dengan pembagian urusan juga harus diikuti dengan pengaturan pendanaan secara efektif dan efisien. Pelimpahan wewenang tersebut tidak hanya berupa pelimpahan kegiatan, tetapi juga diikuti oleh pelimpahan anggaran yang semula dikelola oleh pusat dalam bentuk APBN, selanjutnya setelah dialihkan ke daerah menjadi APBD, dengan tujuan untuk lebih memudahkan daerah dalam mengelola anggaran dan kegiatan sesuai dengan kebutuhannya. Ketentuannya pelaksanaan Dana Alokasi Khusus pengalihan mengutamakan kegiatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan diperuntukkan bagi pembangunan atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang. Sedangkan Tugas Pembantuan prinsipnya adalah melaksanakan anggaran dan kegiatan di daerah, dengan jumlah anggaran dan jenis kegiatan sudah ditentukan dan dikelola oleh pemerintah pusat, dan daerah hanya bisa menerima sesuai dengan yang telah ditetapkan, dengan sumber pendanaan adalah murni APBN.
7
Berdasarkan kondisi tersebut, Dana Alokasi Khusus yang dialokasikan ke daerah belum dapat dikelola atau dimanfaatkan secara optimal oleh daerah. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian secara sistematik dan direspon dengan kebijakan yang lebih selaras dan tepat sasaran. Bagi sebagian besar propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, terutama bagi propinsi dan kabupaten/kota yang kemampuan fiskalnya rendah, DAK menjadi salah satu tumpuan harapan daerah, untuk mendanai pembangunan di daerah serta mendukung pencapaian prioritas nasional. Pada tahun 2013 di Kementerian Pertanian terjadi mekanisme pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus. Dalam pengalihan tersebut, belum terdapat evaluasi yang dilakukan terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang Analisis Pengalihan Dana Tugas Pembantuan Ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Efektifitas Pembangunan Pertanian. Sehingga sesuai dengan pemikiran diatas tersebut, penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus, dilihat dari aspek perencanaan dan pelaksanaan ? 2. Bagaimana peranan anggaran Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus saat tidak terdapat pengalihan, terhadap pembangunan pertanian ? 3. Bagaimana efektivitas pembangunan pertanian saat dilakukan pengalihan Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus ?
Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kebijakan pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus, terhadap pembangunan pertanian secara nasional. Seperti permasalahan yang telah diungkapkan diatas, maka secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis efektivitas perencanaan dan pelaksanaan pengalihan Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus. 2. Menganalisis pembangunan pertanian dilihat dari peran anggaran Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus saat tidak dilakukan pengalihan. 3. Menganalisis efektivitas saat dilakukan pengalihan anggaran Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain sebagai berikut : 1. Memberikan pengalaman bagi penulis, dalam mengamati dan menganalisis suatu permasalahan yang terkait dengan kebijakan pemerintah, dan berusaha mencari solusi atas permasalahan tersebut. 2. Memberikan informasi bagi para pembaca, mengenai gambaran tentang pembangunan pertanian pada saat tidak dilakukan pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus..
8 3.
Memberikan rekomendasi kebijakan dan masukan, terutama bagi para perencana di instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah yang menangani fungsi pertanian, dalam rangka perbaikan kebijakan pengelolaan anggaran dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani, melalui pengalokasian dana yang tepat dan efektif. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup semua kabupaten atau kota di Indonesia selama periode 2012-2014, kecuali kota-kota di Provinsi DKI Jakarta (Propinsi DKI Jakarta, tidak termasuk dalam pengamatan penelitian, dikarenakan Propinsi DKI Jakarta tidak termasuk dalam kriteria kategori penerima DAK, baik secara kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis). Kabupaten/kota yang mengalami pemekaran selama periode tersebut, digabungkan dengan kabupaten/ kota induknya. Penggabungan tersebut dilakukan untuk menjaga konsistensi data dan hasil analisisnya. Cakupan penelitian ini, adalah meliputi seluruh wilayah Indonesia, dimana penelitian dilakukan dengan mengagregasi data kabupaten/kota ke data propinsi. Dengan demikian daerah yang menjadi unit observasi dalam penelitian ini terdiri dari 32 (tiga puluh dua) propinsi. Masing-masing propinsi merupakan gabungan dari kabupaten/kota yang mendapat alokasi anggaran pertanian baik dari dana Tugas Pembantuan maupun Dana Alokasi Khusus dari tahun 2012-2014, kabupaten yang mencakup dalam penelitian ini adalah 524 kabupaten/kota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lingkup koordinasi Kementerian Dalam Negeri, yang menangani bidang pertanian. Estimasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah, dengan cara membedakan kegiatan dari Kementerian Pertanian yang menjadi urusan pusat dan yang menjadi urusan daerah, dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014, dan difokuskan pada tahun 2013 karena pada tahun anggaran tersebut terjadi pengalihan dari Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus. Sehingga dengan adanya penelitian ini, diharapkan akan dapat diketahui hal-hal penting yang menjadi kendala efektivitas pengalihan tugas pembantuan ke dana alokasi khusus, dan hasilnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas pencapaian sasaran pengelolaan dan pelaksanaan Dana Alokasi Khusus di tahun tahun mendatang. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini hanya difokuskan pada dana Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus, sehingga dana lainnya tidak termasuk dibahas dalam penelitian ini. Selain itu juga dengan mempertimbangkan keterbatasan yang ada, yaitu meliputi keterbatasan ketersediaan data-data di instansi lingkup pertanian maupun instansi pendukung lainnya, serta keterbatasan sumberdaya, sehingga penelitian ini hanya menampilkan sebagian kecil masalah dari desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia.
9
TINJAUAN PUSTAKA Efektivitas Anggaran Efektivitas yang dibahas pada bagian ini, meliputi definisi efektivitas serta kriteria efektivitas anggaran. Ravianto (1989), dalam pengertiannya tentang efektivitas menyebutkan bahwa efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, serta sejauh mana orang dapat menghasilkan keluaran sesuai dengan target yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan atau kegiatan dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan, sesuai dengan biaya yang dianggarkan, dapat selesai sesuai waktu yang ditetapkan dengan target yang telah ditentukan, maka dapat dikatakan efektif. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya telah dicapai. Efektivitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi (Muchtar, 2012). Sedangkan menurut Abdurahmat (2008) efektivitas adalah pemanfaatan sumberdaya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu, yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Dalam sebuah kajian, diartikan bahwa efektivitas adalah pencapaian tujuan secara tepat, atau efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan (Dewi, 2009). Pendapat lain tentang efektivitas, yang diutarakan oleh Djumhana (2007), yaitu efektivitas menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan outcomes dengan output. Rumusan dan pandangan tentang efektivitas yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu mencapai efektivitas atau tidak, harus dikaitkan antara rencana, kehendak, aturan, tujuan atau sasaran dengan hasil yang telah dicapai setelah melakukan kegiatan untuk mencapai maksud, sasaran atau apa yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan kata lain bahwa suatu hasil dikatakan mencapai efektivitas jika hasil tersebut benar-benar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya, termasuk ketentuan yang berlaku. Selain dari uraian yang dikemukakan di atas, menunjukkan pula bahwa indikator atau ukuran efektivitas adalah kesesuaian antara rencana dengan hasil yang dicapai, atau antara ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan kenyataan pelaksanaannya, atau dengan kata lain bahwa efektif adalah kesamaan antara rencana dan hasil yang dicapai. Kesamaan atau kesesuaian dimaksud mencakup faktor waktu, prosedur dan sebagainya, sehingga untuk mengetahui sesuatu kegiatan mencapai efektivitas, dalam proses perencanaanya perlu menetapkan secara jelas dan tegas tingkat keberhasilan yang diharapkan (Azmiardi, 2011). Dari beberapa pengertian tentang efektivitas tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa efektifitas merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pencapaian hasil dari suatu kegiatan, artinya dengan menggunakan ukuran tingkat efektivitas, dapat diketahui sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan yang dilakukan atau kebijakan yang
10 diterapkan, terhadap hasil (output) yang diharapkan. Efektifitas dalam penelitian ini diartikan hubungan antara keberhasilan output yang diperoleh dengan tujuan yang diinginkan, terhadap kebijakan yang telah ditetapkan. Sehingga, apabila suatu output yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut besar atau tinggi, maka dapat dikatakan semakin efektif kegiatan atau kebijakan tersebut. Efektivitas pengunaan dana APBN melalui dana Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus, dapat diketahui dari beberapa indikator efektif, yang dalam penjabarannya diartikan sebagai tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan, dapat dilihat dari indikator sebagai berikut : 1. Ketersediaan fisik (availability), adalah bahwa dalam setiap aktivitas belanja negara yang diperuntukan bagi kegiatan fisik, tentunya indikator dasarnya akan menghasilkan output yang berupa barang/bangunan secara fisik. Hal tersebut dapat diartikan bahwa ketersediaan secara fisik mutlak harus dipenuhi oleh aktivitas belanja fisik; 2. Kualitas fisik (quality) adalah kualitas output yang dihasilnya, yaitu bahwa aspek efektifitas akan lebih reliable apabila cakupannya lebih luas, yaitu tidak hanya keterpenuhan secara fisik tetapi juga didukung kualitas output yang baik dan optimal; 3) Kesesuaian (appropriateness) adalah kesesuaian antara kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini dilandasi dasar pemikiran bahwa kesesuaian antara kebijakan dengan kebutuhan akan memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat selaku penerima manfaat; 4) Pemanfaatan (utility) adalah tingkat pemanfaatan atas output yang telah dihasilkan, yaitu semakin besar pemanfaatan atas output, maka semakin besar pula tingkat efektivitas (KSAP, 2012). Efektivitas dana APBN dalam upaya pembangunan pertanian, berkaitan erat dengan mekanisme alokasi anggaran yang diberikan, baik melalui dana Tugas Pembantuan maupun Dana Alokasi Khusus. Sistem pengalokasian anggaran, yang dipergunakan oleh Kementerian Pertanian harus disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan daerah. Artinya sistem pengalokasian anggaran yang mana dirasakan lebih efektif dan lebih memberi manfaat bagi daerah, dilihat dari karakteristik daerah serta kemampuan fiskal daerah. Dana Tugas Pembantuan (TP) Pertanian Batasan Ketentuan Tugas Pembantuan sesuai dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 adalah Penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Sedangkan dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran kementerian Negara/Lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah(SKPD) yang ditetapkan dengan surat keputusan dari Gubernur, Bupati/Walikota, dan diinformasikan kepada DPRD.
11 Daerah yang mendapatkan alokasi Tugas Pembantuan mempunyai kewajiban untuk melaporkan, mempertanggungjawabkan pelaksanaan kepada yang memberi penugasan. Tugas Pembantuan mengacu pada PP 38/2007, hanya dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah. Kegiatan Tugas Pembantuan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Prioritas Nasional dalam rangka mendukung triple track strategy (pro growth, pro job and pro poor). Dana Tugas Pembantuan (TP) pertanian, yang dialokasikan ke daerah adalah kegiatan yang mendukung program pembangunan pertanian yaitu: 1) peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan; 2) peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk tanaman hortikultura berkelanjutan; 3) peningkatan produksi, produktivitas, perkebunan berkelanjutan; 4) pencapaian swasembada daging sapi; 5) penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian; 6) pengembangan sumber daya manusia pertanian dan kelembagaan petani; 7) peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat. Kegiatan tersebut diperuntukkan kegiatan bersifat fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran dan menambah aset tetap. Kegiatan yang bersifat fisik antara lain pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, serta dapat berupa kegiatan yang bersifat fisik lainnya. Kegiatan yang bersifat fisik lainnya antara lain pengadaan barang habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk, atau sejenisnya, termasuk barang bantuan sosial yang diserahkan kepada masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat (DJPK, 2013).
Dana Alokasi Khusus (DAK) Pertanian Dana Alokasi Khusus menurut Juanda (2009) adalah dana dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu, dan dipergunakan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional, dengan dasar hukum UU 32/2004. Selanjutnya pengertian Dana Alokasi Khusus yang diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana Alokasi Khusus, diarahkan untuk membiayai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar daerah dengan memperhatikan kriteria yang berlaku, yaitu kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria umum, ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja pegawai negeri sipil daerah. Kriteria khusus, ditetapkan berdasar peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelanggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah (Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas, 2014).
12 Formulasi anggaran DAK untuk tiap-tiap daerah disusun bedasarkan tiga kriteria yaitu, 1) Kriteria Umum (KU), adalah kriteria kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja Negeri Sipil Daerah (KKD = APBD – PNSD), daerah dengan kriteria umum dibawah rata-rata nasional adalah yang diprioritaskan mendapat alokasi DAK. 2) Kriteria Khusus, adalah daerah yang penyelenggaraan otonominya diatur secara khusus dengan undang-undang meliputi daerah otonomi khusus (propinsi Papua dan Papua Barat), daerah tertinggal, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana dan daerah pesisir dan 3) Kriteria Teknis, adalah daerah yang mendapatkan alokasi berdasarkan indikator teknis, dari masing-masing kementerian teknis (DJPK, 2009). Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam pasal 162 UU No.32/2004 disebutkan bahwa DAK (Dana Alokasi Khusus) dialokasikan melalui APBN, bagi daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional dan (2) membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU (Dana Alokasi Umum), dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengamanatkan agar DAK ini diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Pelaksanaan DAK sendiri diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Anggaran dana alokasi khusus yang telah dialokasikan, tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, serta perjalanan dinas. Pelaksanaan penyusunan rencana dan program, pelaksanaan tender pengadaan kegiatan fisik, kegiatan penelitian dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan fisik, kegiatan perjalanan pegawai daerah dan kegiatan umum lainnya yang sejenis. Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawabnya, daerah penerima wajib mengalokasikan dana pendamping dalam APBD daerah masing-masing sebesar minimal 10% dari jumlah DAK yang diterimanya. Untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping yakni daerah yang selisih antara Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau negatif. Namun, dalam pelaksanaannya tidak ada daerah penerima DAK yang mempunyai selisih antara Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau negative (DJPK, 2009). DAK Bidang Pertanian pertama kali dianggarkan pada tahun 2005. Nilaianggarannya pada saat itu adalah 170 Milyar rupiah dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tahun 2011, nilai anggaran DAK telah meningkat menjadi 1.806 triliun rupiah (Kementan, 2013). Kondisi tersebut, merupakan bukti komitmen pemerintah untuk memperbaiki sektor pertanian. Kebijakan DAK Pertanian memiliki tiga hal positif. Pertama, DAK Bidang Pertanian yang dikhususkan untuk pembangunan infrastruktur pendukung sektor pertanian dapat diandalkan untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi.
13 Hal ini akan berimplikasi terhadap peningkatan daya saing produk pertanian lokal. Kedua, kegiatan yang didanai DAK yang berbasis pembangunan infrastruktur lahan dan air serta perluasan areal akan memberikan kontribusi terhadap produktivitas pertanian yang bervariasi antara 16%-18%. Ketiga, dua hal di atas akan berimplikasi terhadap kesejahteraan petani. Dengan kata lain, kegiatan DAK bidang pertanian menjadi faktor determinasi produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani. Pengalihan Tugas Pembantuan (TP) ke Dana Alokasi Khusus (DAK) Pengalihan Dana Tugas Pembantuan menjadi Dana Alokasi Khusus, sebagaimana dimaksud dalam UU 33 Tahun 2004 Pasal 108 menjadi isu permasalahan yang perlu mendapat penyelesaian dan klarifikasi secara kasus per kasus dan proporsional. Isu permasalahan yang tercantum dalam Pasal 108 tersebut berbunyi “Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran Kementerian /Lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus”. Secara filosofis, Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran Kementerian Negara/Lembaga (K/L) yang digunakan untuk mendanai urusan Pemerintah Pusat di Daerah. Sebelum desentralisasi, anggaran sektoral K/L belum memilah-milah alokasi Dana Tugas Pembantuan berdasarkan program, kegiatan, dan lokasi kegiatan, sehingga pola pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak digunakan untuk melaksanakan urusan Pemerintah Pusat, melainkan urusan pemerintahan yang sudah menjadi kewenangan daerah. Sebagai konsekuensinya, praktek pendanaan tersebut cenderung mengalami duplikasi dan inefisiensi belanja pemerintah pusat di daerah. Dalam era desentralisasi, pemerintah sudah melakukan reformasi pengelolaan anggaran (budget reform) terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan prinsip “Money Follow Function”(DJPK, 2013). Mengingat Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran K/L yang digunakan untuk melaksanakan urusan Pemerintah di daerah, maka sistem pengalokasiannya juga harus mempertimbangkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, konsep pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 tidak ditujukan untuk dana Tugas Pembantuan yang sistem pengalokasiannya menganut prinsip “Money Follow Function”, melainkan ditujukan untuk bagian anggaran Kementerian/Lembaga yang sebelum era desentralisasi masih digunakan untuk mendanai sebagian urusan pemerintahan yang sudah menjadi kewenangan Daerah. Dalam melaksanakan pengalihan Kementerian/Lembaga harus menggunakan prinsip pengalihan yaitu 1) Kementerian/Lembaga tidak diperbolehkan untuk menganggarkan kegiatan yang merupakan urusan daerah, 2) Kementerian/Lembaga dapat melaksanakan kegiatan yang merupakan urusan daerah sepanjang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden, 3) Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang diidentifikasi sebagai urusan daerah namun tidak dapat dialihkan ke kegiatan DAK, maka daerah dapat mendanai kegiatan dimaksud melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (DJPK, 2013).
14 Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang melaksanakan urusan daerah menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) ditargetkan selesai pada tahun 2010, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2008. Namun, proses pengalihan tersebut sampai tahun ini masih belum berhasil dituntaskan. Permasalahan pengalihan tersebut juga bertambah penting karena lembaga pengawas dan pemeriksa pemerintah, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sudah memberikan rekomendasi. Adapun rekomendasi yang diberikan oleh BPK tersebut berdasarkan temuan dari BPK, bahwa masih terdapat dana pemerintah pusat yang mendanai urusan daerah melalui dana Tugas Pembantuan, sehingga diberikan rekomendasi untuk mengalihkan pendanaan (Oktora,2011). Pembangunan Pertanian Pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan pertanian akan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah bruto (PDB), selain itu sektor pertanian sangat diperlukan dalam upaya menurunkan kemiskinan. Menurut data dari PBB bahwa, daerah pedesaan di negara-negara berkembang terdapat 1 miliar penduduk dari 1,2 miliar penduduk hidup dalam kemiskinan. Dari pengalaman kondisi tersebut, Lynn(2003) mengemukakan bahwa keberhasilan sektor pertanian bukan hanya alat bagi pembangunan, tapi keberhasilan di sektor pertanian juga menjadi tujuan dari pembangunan, dengan melalui peningkatan produksi pertanian. Peran pertanian terhadap pembangunan di Indonesia, dianggap menjadi salah satu jalan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Seperti yang dijelaskan oleh Priyarsono (2011), bahwa pertumbuhan sektor pertanian berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga untuk mencapai transformasi pembangunan dengan komponen pertanian, diperlukan adanya peningkatan produktivitas tenaga kerja pertanian, peningkatan pendapatan serta pengeluaran pertanian. Hal tersebut juga didukung oleh satu penelitian yang menujukkan bahwa penentu pertumbuhan pertanianya adalah keefektifan kebijakan, jadi semakin efektif kebijakan yang diterapkan, maka semakin besar dampak pertumbuhan pertanian. Dalam sebuah penelitian Rozelle dan Swinnen (2004) dalam Darsono 2005, mengungkapakan bahwa suatu negara jika ingin memajukan pertanian dalam kebijakan ekonominya, maka akan menjadi sangat penting ketika lebih dari 50% penduduknya bekerja di sektor pertanian dan belanja dari penduduk sebagian besar dipergunakan untuk pangan. Kondisi tersebut dianggap sangat sesuai dengan situasi riil yang ada di Indonesia. Pembangunan pertanian, secara teoritis dapat meningkatan ketahanan pangan melalui peningkatan produktivitas pangan dan perbaikan pendapatan petani, yang berdampak kepada perbaikan ekonomi pedesaan. Adapun strategi yang diambil oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi adalah dengan strategi tiga jalur (triple track strategy), yaitu strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment, dan pro-poor, yang ditempuh dengan cara,
15 1) peningkatan pertumbuhan ekonomi per tahun melalui percepatan ekspor, 2) pembenahan sector riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja, serta 3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan (Arifin, 2013). PDRB Pertanian Pengertian Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Nilai tambah adalah nilai yang ditambahkan dari kombinasi faktor produksi dan bahan baku dalam proses produksi. Penghitungan nilai tambah adalah nilai produksi (output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah bruto di sini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung. Dengan menjumlahkan nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto. (BPS, 2015). Suharyanto (2001) dalam Darsono (2005), menyimpulkan mengenai perilaku sektor pertanian di Indonesia, bahwa sumbangan output pertanian terhadap PDRB merupakan isu utama dalam membahas kinerja sektor pertanian dalam perekonomian. Sehingga PDRB pertanian dimasukkan sebagai varibel dalam penelitian ini.
Tenaga Kerja Pertanian Sektor Pertanian merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja paling besar dibanding sektor lain. Pada tahun 2001, sektor pertanian memberikan pangsa penyerapan tenaga kerja terbesar dibanding sektor industri, sektor pertanian menyerap 45,10 peresen dari total tenaga kerja, sedangkan sektor industri hanya mampu menyerap 12.80 persen. Erikasari (2005) menyatakan fakta menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan proporsi angkatan kerja yang terserap ke sektor pertanian pada masa krisis, sementara pada sektor lain terlihat kecenderungan penurunan tingkat penyerapan tenaga kerja tetapi dengan proporsi yang relatif kecil. Dampak dari kebijakan pembangunan sektor pertanian, ternyata belum cukup untuk menyerap angkatan kerja. Penurunan peran sektor pertanian karena adanya transformasi struktur perekonomian nasional tidak diikuti oleh menurunnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian terus menunjukkan penurunan secara relativ dibandingkan sektor lain seperti industri dan jasa (Kementan, 2012). Dengan melihat peran dari tenaga kerja pertanian, maka tenaga kerja pertanian dimasukkan sebagai variabel dalam penelitian ini.
16 Nilai Tukar Petani Indikator atau alat ukur yang digunakan untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani adalah indeks Nilai Tukar Petani (NTP), dimana peningkatan nilai tukar tersebut diharapkan mampu mengindikasikan peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian, maupun dalam kondisi sebaliknya (Syekh, 2013). Nilai tukar petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima oleh petani (lt), dengan indeks harga yang dibayar petani (lb), yang dinyatakan dalam persentase. Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani (BPS, 2014). Saat ini orientasi pembangunan pertanian adalah kearah perbaikan kesejahteraan petani, diperlukan alat ukur untuk menilai perkembangan kesejahteraan petani tersebut. Simatupang dan Maulana (2008) dalam Rahmat 2013, mengemukakan bahwa yang menjadi penanda kesejahteraan bagi rumah tangga hampir tidak ada, sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi para pengamat pembangunan pertanian dalam menilai tingkat kesejahteraan petani. Dengan demikian NTP merupakan salah satu indikator relativ dengan tingkat kesejahteraan petani. NTP dihitung dari rasio hanya antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar petani, sehingga NTP dinilai menunjukkan peningkatan kemampuan riil petani dan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani, semakin tinggi NTP maka relativ semakin sejahtera tingkat kehidupan petani. Dengan melihat peran dari Nilai Tukar Petani, maka Nilai Tukar Petani dimasukkan sebagai variabel dalam penelitian ini.
Penduduk Miskin di Pedesaan Hampir 60 persen penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, dan rata-rata dari mereka adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan, atau tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan maupun non pangan (BPS, 2014), dan sebagian besar dari angkatan kerja yang ada di pedesaan adalah bekerja di sektor pertanian, maka sudah sewajarnya pembangunan pertanian menjadi prioritas. Dengan demikian penyerapan tenaga kerja di pedesaan menjadi masalah yang penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Karakteristik penduduk miskin secara spesifik Pasaribu (2006) dalam Rusastra (2007) adalah dilihat dari, 1) sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60%), 2) sebagian besar (60%) berpenghasilan rendah dan mengonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/hari, 3) berdasarkan indikator silang proporsi pengeluaran pangan (> 60%) dan kecukupan gizi (energi<80%), dan 4) penduduk miskin dengan tingkat sumber daya manusia yang rendah umumnya tinggal di wilayah marginal, dimana dukungan infrastrukturnya terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah. Secara umum kondisi kemiskinan di perdesaan dapat digambarkan, disebabkan oleh faktor-faktor keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, baik pendidikan yang rendah, keterbatasan pada akses sumber modal, keterbatasan
17 kemampuan teknis dan manajemen, serta keterbatasan dan ketimpangan lahan (Harniati, 2008). Peran sektor pertanian sudah sangat jelas karena sekitar 63,3 persen penduduk miskin berada di perdesaan, dan perdesaan identik dengan pertanian. Pembangunan pertanian tidak diragukan akan memberikan dampak positif bagi penanggulangan kemiskinan. Dengan melihat kondisi tersebut, maka penduduk miskin di pedesaan dimasukkan dalam variabel penelitian ini. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Kajian Efektivitas Pengalihan Dana Tugas Pembantuan (TP) ke Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pembangunan Pertanian belum banyak dilakukan, namun terdapat beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan topik tersebut adalah : (1) Alim (2008), dengan judul penelitian”Efektivitas Perpaduan Komponen Anggaran dalam Prosedur Anggaran: Pengujian Kontinjensi Matching”, membahas dan mengkaji berbagai masalah yang timbul dalam pelaksanaan anggaran sebagai sutau komponen yang utuh maupun parsial. Penelitian tersebut bertujuan untuk menguji efektivitas perpaduan antar komponen anggaran dengan pengujian kontinjensi matching antara komponen anggaran dengan argumen bahwa penganggaran merupakan suatu prosedur yang berurutan dan saling terkait antar komponen anggaran. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa dalam proses penyusunan anggaran tidak terdapat pengaruh terhadap sasaran penerima anggaran. (2) Patrianov (2003) tentang “ Kajian Efektifitas dan Efisiensi Alokasi Dana APBD Provinsi Riau bagi Pengembangan Ekonomi Rakyat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau”, yang menyatakan bahwa tingkat efektivitas suatu kegiatan merupakan gambaran tingkat manfaat atau dampak suatau kegiatan terhadap lingkungan mikro maupun lingkungan makro serta optimalisasi hasil yang diperoleh dengan satu satuan input yang diberikan. (3) Yudhoyono (2004), dalam Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal, dengan menggunakan model simultan menyimpulkan bahwa kebijakan fiskal di Indonesia adalah sangat penting dalam mendorong pembangunan pertanian, pengurangan kemiskinan dan perekonomian perdesaan, revitalisasi pertanian dapat dijadikan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. (4) Darsono (2008), dalam Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan pada Agroindustri di Industri, menyebutkan instrumen yang berperan dalam kebijakan fiskal, dan mendorong kinerja sektor pertanian adalah anggaran sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, serta peningkatan kesejahteraan petani. (5) Aráoz (2013) Kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Peru sejak dari tahun 2002, bertujuan untuk menempatkan desentralisasi menuju proses dimensi yang benar. Artinya proses desentralisasi yang berlangsung ditujukan untuk, penguatan entitas dan bertanggung jawab terhadap proses, penyelesaian pengalihan fungsi dan, pengembangan kemampuan desentralisasi pemerintah itu sendiri, contohnya di kota Aragón dan Casas menunjukkan bahwa kurangnya keterampilan teknis di daerah (pemerintah daerah), seperti manajemen proyek,
18 akuntansi dan keuangan, serta perencanaan dan koordinasi dengan badan publik lainnya, memiliki dampak negatif pada kapasitas belanja pemerintah daerah. (6) Kuncoro (2004) dalam Pengaruh Transfer Antar Pemerintah pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia, menganalisis pengaruh transfer antar pemerintah pada kinerja fiskal pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia, menggunakan data panel 280 kabupaten kota di Indonesia peride 1998-2002, menggunakan model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan, penulis menemukan bahwa terjadi peningkatan alokasi transfer dan diikuti dengan penggalian pendapatan asli daerah yang lebih tinggi. Bagi pemerintah pusat, transfer diharapkan menjadi pendorong bagi pemerintah daerah secara intensif menggali sumber-sumber penerimaan sesuai kewenangannya, tetapi penggalian pendapatan asli daerah yang hanya didasarkan pada faktor inkremental akan berakibat negatif pada perekonomian daerah. Kerangka Pemikiran Dalam rangka memperlancar pelaksanaan pengalihan Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian, yang harus dilakukan adalah mengatasi kendala-kendala yang menjadi penghambat pelaksananaan pengalihan, adapun kendala yang dihadapi yaitu : pertama, ketidaksesuaian antara dana dan kegiatan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat dengan dana dan kegiatan yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah; kedua, koordinasi dan komunikasi antar instansi (pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dalam pengelolaan dana alokasi khusus terlihat masih terbatas; ketiga, pemerintah pusat dianggap terlalu campur tangan terhadap kegiatan yang dialokasikan di daerah; keempat, perbedaan sistem kendali yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, sehingga pengawasan dari pusat dianggap kurang efektif. Permasalahan tersebut harus mendapatkan penyelesaian, meskipun mekanisme pengalokasian tugas pembantuan sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. Selain permasalahan diatas, juga adanya tuntutan dari masyarakat untuk adanya peningkatan pelayanan dari pemerintah pusat yang mampu menjangkau seluruh wilayah, dan hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah sesuai dengan amanat undang-undang no 33 Tahun 2004, tentang pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus yang dilakukan terhadap dana sektor pertanian, seluruh wilayah di Indonesia meliputi kabupaten atau kota yang diakumulasikan terhadap Propinsi. Penelitian ini untuk mengamati pembangunan pertanian dilihat dari variabel pendukung, yaitu anggaran, berupa realisasi anggaran Tugas Pembantuan, alokasi dan realisasi anggaran Dana Alokasi Khusus, dengan arah kebijakannya yaitu peningkatan kesejahteraan petani. Memperhatikan permasalahan di atas tersebut, serta mengacu kepada pasal 108 Undang-Undang No 33 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa, ayat (1) Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut perturan perundang-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus; ayat (2) Pengalihan secara bertahap diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah No 7 tahun 2008 tentang
19 Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, pasal 76 ayat (1) mengamanatkan, sebagian dari anggaran kementerian/lembaga yang digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan daerah, dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus. Dengan diterapkannya peraturan desentralisasi, maka diharapakan mekanisme pengalihan tugas pembantuan ke dana alokasi khusus yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian diharapakan lebih efektif bagi pembangunan pertanian di daerah, karena daerah memiliki keleluasaan untuk merencanakanan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan di daerah. Alasan lain bahwa Dana Alokasi Khusus penting untuk dialihkan adalah, sesuai dengan yang tertuang dalam RKP 2008, bahwa Dana Alokasi Khusus pertanian dinyatakan sebagai bagian dari fokus peningkatan produksi pangan, dalam rangka mendukung ketahanan pangan melalui mendanai kebutuhan dasar daerah yang merupakan prioritas nasional. Efektivitas menurut Hidayat (1986), disebutkan bahwa efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa besar target dari sebuah output kegiatan tersebut telah tercapai. Untuk dapat mengetahui variabel apa saja yang berpengaruh terhadap efektivitas pengalihan anggaran terhadap pembangunan pertanian, yaitu dengan menggunakan variabel-variabel yang berpengaruh, yaitu : a) anggaran Tugas Pembantuan , b) anggaran Dana Alokasi Khusus, c) tenaga kerja pertanian, d) Nilai Tukar Petani (NTP) dan e) penduduk miskin di pedesaan. Efektivitas anggaran dalam penelitian ini adalah, seberapa besar atau banyak anggaran yang telah dialokasikan baik anggaran Tugas Pembantuan maupun Dana Alokasi Khusus dapat berpengaruh terhadap pembangunan pertanian di daerah. Seperti yang diungkapkan oleh Priyarsono (2013), bahwa hal utama yang efektif dalam pembangunan adalah melalui peningkatan pendapatan, peningkatan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan, Hipotesis 1. 2. 3.
Diduga perencanaan dan pelaksanaan, dalam pelaksanaan pengalihan tugas pembantuan (TP) ke dana alokasi khusus (DAK) adalah efektif Diduga tugas pembantuan lebih efektiv terhadap pembangunan pertanian saat sebelum dilalukan pengalihan. Diduga pengalihan lebih efektiv dibanding sebelum pengalihan
Mekanisme alur kerangka pemikiran dari penelitian ini, dapat dilihat pada gambar 2 berikut:
19
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal (sesuai UU No 32/2004 dan UU No 33/2004)
Reformasi Manajemen Keuangan dan Sistem Penganggaran
APBN
Belanja Pemerintah Pusat melalui K/L (Pertanian) (APBN)
Belanja Pusat di K/L
Dekonsentrasi
Dana Perimbangan (APBD)
Tugas Pembantuan
DAK
DAU
Pengalihan Dana TP ke DAK (PP No 7/ 2008)
Anggaran TP
DBH
Efektif ?
Anggaran DAK
NTP
Tenaga Kerja Pertanian
Kemiskinan diPedesaan
20
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Dalam penelitian pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus, terhadap pembangunan pertanian ini, lokasi penelitian yang digunakan adalah mecakup seluruh wilayah Indonesia, dengan basis analisis tingkat Propinsi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari tahun 20122014 pada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang menangani fungsi Pertanian pada 32 Propinsi di Indonesia. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua sumber, yaitu: 1) Data sekunder, diperoleh dari berbagai sumber baik internal maupun eksternal. Data internal adalah data yang berasal dari instansi dimana penelitian dilakukan, yaitu data dana Tugas Pembantuan (TP) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), b) Dokumen Rencana Strategis Kementerian Pertanian, c) Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 06/ Permentan/ OT. 140/I/2013, tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus Bidang Pertanian Tahun 2013, d) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/ Permentan/ OT. 104/I/2013 tentang Penugasan kepada Bupati/Walikota dalam Pengelolaan Kegiatan dan Tanggung Jawab Dana Tugas Pembantuan Kabupaten/Kota Tahun 2013. Data eksternal, adalah data yang berasal dari luar instansi penelitian dilakukan yaitu dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Direktorat Pangan dan Pertanian (Bappenas), Direktorat Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, dan dari hasil publikasi melalului internet maupun publikasi melalui majalah, jurnal dan terbitan lainnya yang terkait dengan desentralisasi fiskal, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus, 2) Data primer, digunakan untuk melengkapi analisa kualitatif, diperoleh secara langsung melalui kunjungan ke instansi pemerintah, untuk mendapatkan informasi langsung dari pejabat yang berwenang menangani 1) alokasi anggaran, yaitu sub bagian administrasi anggaran, Bagian Penyusunan Anggaran; Biro Perencanaan Kementerian Pertanian terkait dengan perencanaan alokasi dan lokasi anggaran, 2) evaluasi kegiatan, yaitu sub bagian Pemantauan dan Evaluasi Bagian Pemantauan dan Evaluasi Biro Perencanaan Kementerian Pertanian terkait dengan realisasi kegiatan, 3) realisasi anggaran, yaitu sub bagian keuangan dan pelaporan Bagian Keuangan dan Perlengkapan Biro Keuangan Kementerian Pertanian terkait dengan realisasi anggaran. Narasumber/responden yang berasal dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) serta pihak pihak terkait untuk memperoleh keterangan dan penjelasan atas data-data yang diperoleh, serta untuk mendapatkan informasi tentang seberapa jauh keterlibatan masing-masing stake holder dalam rangka pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus.
20 Metode Pengumpulan Data Berdasarkan sumber data yang diperoleh, pengumpulan data dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis dan sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari perencana daerah 32 SKPD yang menangani fungsi pertanian di Indonesia, dengan menggunakan : 1) Teknik wawancara yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya (Singarimbun, 1987). Wawancara, menurut Juanda (2009), wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan bertanya jawab langsung antara (petugas) peneliti dengan responden. Wawancara yang dilakukan adalah langsung dengan sumber data yang berkompeten, melalui bertatap muka langsung, telepon, dan surat elektrik untuk memperoleh gambaran secara lengkap dengan obyek yang diteliti. Untuk menghindari adanya non response error dan response error, wawancara dilakukan secara formal dan informal sesuai dengan situasi yang dihadapi (Bungin, 2013). Wawancara yang dilakukan dengan pejabat pembuat kebijakan/pejabat publik di instansi pusat, diharapkan dapat diketahui sejauh mana pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap program prioritas nasional Kementerian Pertanian. Wawancara dengan staf atau pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk melihat sejauh mana keterlibatan dan partisipasi perangkat daerah dalam rangka mendukung pengalihan Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi khusus. 2) Kuesioner, merupakan daftar pertanyaan yang dibagikan kepada responden untuk diisi dan kemudian dikembalikan pada peneliti. Penggunaan instrument ini relatif praktis untuk mendapatkan keterangan dari responden, terutama yang tempatnya tersebar cukup luas. Pengumpulan informasi yang berasal dari narasumber sebagai identifikasi lingkungan strategis menggunakan daftar isian dengan pertanyaan yang terdiri atas a) identifikasi faktor strategis internal, dan b) identifikasi faktor strategis eksternal. Secara terperinci daftar pertanyaan kepada informan dilampirkan sebagai kelengkapan dalam penelitian.Responden dalam penelitian ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah tingkat propinsi yang menangani fungsi pertanian. 3) Studi Kepustakaan, digunakan untuk meneliti dan mengkaji berbagai bahan, dokumen yang dianggap menunjang dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti baik berupa buku-buku, literatur, laporan kegiatan, jurnal, modul, majalah dan sumber terkait penelitian, dikaji dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh data, guna memberikan informasi berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik. Metode Pengolahan Data Pengujian Hipotesis Pertama Untuk membuktikan hipotesis yang pertama tentang keefektivan perencanaan dan pelaksanaan pengalihan Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus digunakan analisis skoring. Alasan menggunakan analisis ini adalah didasarkan atas pengembangan skala untuk mengukur sikap masyarakat terhadap suatu aspek tertentu yang dikenal dengan skala Likert (Kusuma, 2011).
21 Penggunaan penilaian kuesioner dengan menggunakan skala Likert, menurut Sugiyono (1984), adalah karena skala Likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi sub variabel, kemudian sub variabel dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur. Komponen-komponen yang terukur ini kemudian dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang kemudian akan dijawab oleh responden. Jawaban dari setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Adapun kriteria indikator penilaian tingkat efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pengalihan anggaran seperti yang tercantum pada tabel 3. Tabel 2. Indikator penilaian tingkat efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pengalihan anggaran. No Variabel 1 Perencanaan
Sub Variabel Alokasi anggaran Tugas Pembantuan
Alokasi anggaran Dana Alokasi Khusus
2
Alokasi kegiatan dana Tugas Pembantuan
dari
Alokasi kegiatan dari Dana Alokasi Khusus
3
Petunjuk teknis/ panduan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan
Indikator Penilaian 1. Anggaran yang dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah 2. Anggaran yang dialokasikan kurang sesuai dengan kebutuhan daerah 3. Anggaran yang dialokasikan sudah sesuai dengan kebutuhan daerah 1. Anggaran yang dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah 2. Anggaran yang dialokasikan kurang sesuai dengan kebutuhan daerah 3. Anggaran yang dialokasikan sudah sesuai dengan kebutuhan daerah 1. Kegiatan yang dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah 2. Kegiatan yang dialokasikan kurang sesuai dengan kebutuhan daerah 3. Kegiatan yang dialokasikan sudah sesuai dengan kebutuhan daerah 1. Kegiatan yang dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah 2. Kegiatan yang dialokasikan kurang sesuai dengan kebutuhan daerah 3. Kegiatan yang dialokasikan sudah sesuai dengan kebutuhan daerah 1. Petunjuk teknis kegiatan sulit diakses oleh daerah
22 3
4
2. Petunjuk teknis kegiatan agak mudah diakses oleh daerah 3. Petunjuk teknis kegiatan mudah diakses oleh daerah Petunjuk teknis/panduan a. Petunjuk teknis kegiatan sulit pelaksanaan kegiatan diakses oleh daerah Dana Alokasi Khusus 1. Petunjuk teknis kegiatan agak mudah diakses oleh daerah 2. Petunjuk teknis kegiatan mudah diakses oleh daerah Pelaksanaan
Sumber daya manusia 1. sdm pengelola anggaran kurang pengelola anggaran memaham i b. sdm pengelola anggaran cukup memahami 2. c. sdm pengelola anggaran sudah memahami Kelembagaan pertanian 1. kelembagaan yang menaungi bukan hanya menangani fungsi pertanian 2. kelembagaan yang menaungi menangani berbagai sub sektor pertanian 3. kelembagaan yang menanungi menangani fungsi pertanian saja
Dari masing-masing indikator pertanyaan tersebut, jawaban responden dimasukkan dalam tiga alternatif yaitu : 1. Efektif dan sesuai, jika anggaran dan kegiatan yang diperoleh sudah sesuai dengan kebutuhan dan dikelola oleh sumber daya manusia yang berkualitas serta dinaungi oleh lembaga pertanian, dengan nilai skor 21-30. 2. Cukup efektif dan cukup sesuai, jika anggaran dan kegiatan yang diperolehcukup sesuai dengan kebutuhan dan belum dikelola oleh sumber daya manusia yang berkualitas, serta belum dinaungi oleh lembaga yang menangani fungsi pertanian, dengan nilai skor 20-11. 3. Tidak efektif dan tidak sesuai, jika anggaran dan kegiatan yang diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak dikelola oleh sumber daya manusia yang berkualitas, serta dinaungi oleh lembaga yang tidak hanya menangani fungsi pertanian, dengan nilai skor 10. Kriteria keputusan : 1. Jika total skor kurang dari 50 % diasumsikan peranan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan anggaran dalam pembangunan pertanian di daerah kurang efektif 2. Jika total skor = 50 – 75 % diasumsikan peranan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan anggaran dalam pembangunan pertanian di daerah cukup efektif 3. Jika total skor lebih dari 75% diasumsikan peranan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan anggaran dalam pembangunan pertanian di daerah efektif
23 Pengujian Hipotesis Kedua Untuk menguji hipotesis kedua tentang adanya efektivitas dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus sebelum dilakukan pengalihan. Data sekunder terdiri atas data perencanaan dan realisasi anggaran serta perencanaandan realisasi kegiatan, dianalisis dengan regresi data panel. Estimasi dengan metode Panel Data, adalah estimasi dengan menyusun data dalam bentuk pooled, yaitu data yang mengkombinasikan data time series dan data cross section regression. Secara umum bentuk data panel dapat dijelaskan seperti tertera pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Bentuk Regeresi Data Panel Propinsi
Tahun
1
2012 2013 2014 2012 2013 2014 …. 2012 2013 2014
2 …. 32
Y
X1
X2
…….
X6
D 0 1 1
Adapun persamaan regeresi untuk data panel (Baltagi, 2005) yaitu : Yit = β1Xit1+ β2Xit2+ … + βnXitn + εit Xit1 = 1,2 …. n, dan t = 1,2, …… t i = unit cross section t = unit waktu Yit = peubah respon pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t Xitn= peubah bebas ke-n pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t β1= intersep εit= peubah galat pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t Keuntungan menggunakan teknik panel data menurut Baltagi (2005) adalah: 1) untuk mengendalikan keheterogenan individu, 2) memberikan informasi yang lebih, less collinerity diantara variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien, 3) panel data dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur effect yang tidak bisa dideteksi dalam model data cross section atau time series, 4) panel data sangat sesuai untuk mempelajari dan menguji perilaku model yang kompleks dibandingkan model data cross section atau data time series. Karena pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus baru berlangsung selama satu tahun, untuk mengatasi kekurangan derajat bebas, maka model data panel sangat sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini. Dengan panel data observasi yang kita peroleh merupakan gabungan time series dengan cross section.
24 Metode Analisis Data Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian Untuk menjawab permasalahan pertama, yang menggunakan perencanaan dan pelaksanaan dalam melihat efektivitas pengalihan menggunakan konsep mekanisme pengalihan yang telah menjadi kesepakatan antara kementerian teknis, Bappenas, kementerian keuangan dan kementerian dalam negeri, yaitu atas dasar 1) identifikasi jenis kewenangan dan penentuan kriteria teknis, 2) analisis dan evaluasi perencanaan serta capaian kinerja, 3) analisis dan evaluasi penganggaran, dan 4) analisis dan evaluasi kewenangan/urusan serta kesiapan implementasi di daerah. Dalam mencapai tujuan penelitian dan menguji hipotesa digunakan analisis, dengan metode pengukuran skoring, artinya masing-masing alternatif jawaban diberikan skor 1 (satu) untuk perencanaan dan pelaksanaan yang tidak sesuai, 2 (dua) untuk perencanaan dan pelaksanaan yang cukup sesuai, dan 3 (tiga) untuk perencanaan dan pelaksanaan yang sudah sesuai. Tingkat adopsi diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu tingkat adopsi rendah, sedang dan tinggi. Analisis yang digunakan untuk melihat kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan data terhadap data primer responden dilakukan dengan pengolahan deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengkaji kesesuaian antara anggaran dan kegiatan yang menjadi prioritas pengalihan dari tugas pembantuan ke dana alokasi khusus. Penentuan narasumber dan responden dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, sehingga orang yang dijadikan narasumber atau responden sebaiknya yang memenuhikriteria sebagai berikut: 1. Menguasai atau memahami tentang mekanisme pengalokasian dan evaluasi anggaran baik tugas pembantuan maupun dana alokasi khusus. Mereka sedang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan penganggaran dan 2. evaluasi. 3. Mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai, dan tidak menyembunyikan informasi (Bungin, 2013). Analisis yang dilakukan adalah dengan membandingan seluruh peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan dan Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus, baik berupa Renstra, Pedum, Juknis, Peraturan Menteri serta kebijakan lainnya yang terkait, dibandingkan dengan hasil wawancara dan kuesioner. Kuesioner yang dibagikan diberi skoring, berdasarkan indikator-indikator yang berkaitan dengan anggaran dan kegiatan prioritas bidang pertanian. Hasil skoring selanjutnya, akan dianalisis untuk menampilkan apakah kegiatan yang dialihkan, sudah sesuai baik dari faktor anggaran maupun faktor kegiatan. Narasumber atau responden yang dipilih dalam penelitian ini berasal dari unsur pemerintah. Dari persepsi dan saran-saran narasumber dapat diketahui kesesuaian antara anggaran dan kegiatan yang menjadi prioritas pengalihan dari tugas pembantuan ke dana alokasi khusus.
25
Pelaksanaan Tugas Pembantuan pada saat tidak dilakukan pengalihan ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian. Untuk menjawab permasalahan kedua dan ketiga, menggunakan konsep dari Yudhoyono (2004), dengan data time series tingkat nasional yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal di Indonesia adalah sangat penting dalam mendorong pembangunan pertanian, pengurangan kemiskinan dan perekonomian perdesaan, sehingga revitalisasi pertanian dapat dijadikan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Dalam menguji tentang dugaan adanya hubungan (korelasi) antara dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus saat tidak dilakukan pengalihan, digunakan alat analisis model regresi data panel, adalah penggabungan data time series dan cross section. Keuntungan dari penggunaan data panel dibandingkan dengan hanya data time series atau cross section, yaitu: 1. Data panel akan memberikan informasi yang lebih lengkap, lebih beragam, kurang berkorelasi antar variabel, derajat bebas lebih besar dan lebih efisien. 2. Studi data panel lebih memuaskan untuk menentukan perubahan dinamis dibandingkan dengan studi berulang dari cross section. 3. Menganalisis perilaku yang lebih kompleks. 4. Dapat meminimumkan bias yang dihasilkan oleh agresi individu atau perusahaan karena unit data lebih banyak (Juanda, 2009). Adapun model rumusan matematis yang digunakan pada tahap sebelum pengalihan, sebagai berikut : lnYit = α + β1lnTP+β2lnDAK+ β3lnTKP+ β4lnNTP+ β5lnKD+ β6D+ ε it Keterangan : Yit : Efektivitas pembangunan pertanian dilihat dari PDRB pertanian propinsi i tahun ket (Miliar Rupiah) α : Intersep βi : Koefisien hubungan variabel independent dengan dependent ke-i XTP : Anggaran Tugas Pembantuan pada propinsi ke i tahun ke t (Miliar Rupiah) XDAK : Anggaran Dana Alokasi Khusus pada propinsi ke i tahun (Miliar Rupiah) XTKP : Jumlah tenaga kerja pertanian pada propinsi ke i tahun (ribu orang) XNTP : Nilai Tukar Petani pada propinsi ke i tahun ke t (%) XKD : Tingkat kemiskinan pedesaan pada propinsi i tahun ke t ( ribu orang) D : 0 : Dummy saat tidak ada pengalihan (tahun 2012 dan 2014) D : 1 : Dummy saat dilakukan pengalihan (tahun 2013)
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan dalam penelitian tesis ini, secara garis besar akan dijelaskan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah hasil pengolahan data responden, diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan. Bagian kedua merupakan hasil analisis penelitian, dimana dilakukan pengujian masing-masing hipotesis yang disesuikan dengan kerangka pikir, kemudian dilakukan pengujian menggunakan analisis regresi panel. Bagian ketiga merupakan pembahasan atas hasil pengujian. Hasil Data Sekunder Serapan Anggaran Dana Tugas Pembantuan sektor Pertanian di Indonesia Sebaran dana Tugas Pembantuan untuk sektor pertanian pada 32 propinsi di Indonesia dari tahun 2012 sampai dengan 2014, berdasarkan kategori serapan anggaran yang digunakan oleh Kementerian Pertanian yaitu, a) anggaran dengan serapan 0 – 24,9 % dimasukkan dalam kategori sangat rendah, b) anggaran dengan serapan 25 – 49,9 % dimasukkan dalam kategori rendah, c) anggaran dengan serapan 50 – 74,9% dimasukkan dalam kategori sedang, dan d) dengan serapan anggaran 75 – 100% dimasukkan dalam kategori tinggi. Berdasarkan prosentase serapan dana Tugas Pembantuan, realisasi dana tugas pembantuan dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 di 32 propinsi, dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Prosentase serapan dana Tugas Pembantuan bidang pertanian tahun 2012-2014 No 1 2 3 4
Serapan Tinggi (75 – 100 % ) Sedang (50 – 74,9 %) Rendah ( 25 – 49,9 %) Sangat Rendah (0 – 24,9 % ) Total
2012 75 19 6 0 100
2013 47 47 6 0 100
2014 96 4 0 0 100
Sumber: Kementan (data diolah), 2014
Adapun rincian serapan anggaran dana Tugas Pembantuan sektor pertanian untuk per propinsi dari tahun 2012- 2014, dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Serapan anggaran Tugas Pembantuan per propinsi tahun 2012-2014 Tugas Pembantuan No
Provinsi 2012 Serapan (juta Rp)
1 2 3 4 5
ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU KEPULAUAN RIAU
255,26 105,96 94,08 102,95 12,75
(%) 96.21 71.82 96.36 88.21 48.05
2013 serapan (%) (jutaRp) 191,47 71.34 108,18 72.98 77,04 72.01 53,69 71.71 11,22 54.03
2014 serapan (%) (jutaRp) 294,47 90.13 153,40 86.11 128,97 80.48 80,50 91.15 108,29 95.81
27
No
Provinsi
Tugas Pembantuan 2013 2014 serapan Serapan (%) (%) (%) (jutaRp) (jutaRp) 66.55 80,09 69.39 210,87 85.37 57.02 29,83 57.16 69,40 93.23 97.87 80.83 136,88 242,49 96.89 50.00 24 50.01 42,02 94.13 96.83 35,16 73.11 5,26 84.63 91.39 349,61 87.66 485,15 90.05 97.02 500,60 92.47 483,32 79.43 53.77 29,66 76.36 55,51 91.06 95.00 577,68 95.00 640,78 73.91 90.96 52,72 91.38 93,47 95.87 89.17 20,52 78.28 128,42 89.09 94.04 211,46 90.30 183,69 93.26 92.45 86.27 168,38 156,60 95.28 90.00 43,10 70.00 168,28 91.40 92.05 19,57 55.19 108,03 97.12 89.97 61.96 48,36 131,83 87.15 80.64 9,27 37.20 57,60 88.29 92.66 26,74 61.00 86,91 98.77 80.89 88.66 157,58 550,03 98.66 53.35 47,05 64.21 190,55 98.07 89.26 25,27 88.66 170,27 98.66 84.97 25,69 69.12 63,03 96.84 53.58 62.27 15,71 118,28 94.73 89.69 15,05 74.24 92,78 89.40 84.59 40,60 88.31 110,03 93.71 90.57 39,80 79.21 104,28 96.88 87.62 112,91 89.35 57,04 93.59
2012 serapan (juta Rp)
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU BANGKA BELITUNG LAMPUNG JAWABARAT BANTEN JAWA TENGAH D I YOGYAKARTA JAWATIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTANTIMUR SULAWESI UTARA GORONTALO SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT SULAWESI TENGGARA BALI NTB NTT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA PAPUA BARAT
42,38 57,69 269,11 21,79 29,69 376,01 406,89 42,97 640,95 64,91 65,33 159,35 196,01 28,09 33,35 72,72 17,45 54,51 330,28 330,28 49,97 58,37 28,41 31,96 31,2 71,52 34,5
Sumber: Kementan (data diolah), 2014
Gambaran rataan serapan dana Tugas Pembantuan di 32 propinsi dapat dilihat pada gambar 3 berikut :
28
Gambar 3. Serapan Dana Tugas Pembantuan di 32 Propinsi
Gambaran dana Tugas Pembantuan tahun 2012 pada 32 Propinsi, berdasarkan serapannya sebagai berikut : 1. Daerah dengan serapan tinggi sebanyak 75%, terdapat pada 26 (duapuluh enam) dari 32 Propinsi, yaitu Propinsi 1) Aceh, 2) Sumatera Barat, 3) Riau, 4) Lampung, 5) Kep. Riau, 6) Jawa Barat, 7) Jawa Tengah, 8) Jawa Timur, 9) Banten, 10) Bali, 11) Bali, 12) NTB, 13) NTT, 14) Kalimantan Barat, 15) Kalimantan Tengah, 16) Kalimantan Selatan, 17) Kalimantan Timur, 18) Sulawesi Utara, 19) Sulawesi Selatan, 20) Sulawesi Tenggara, 21) Gorontalo, 22) Maluku, 23) Maluku, 24) Maluku Utara, 25) Papua, dan 26) Papua Barat; 2. Daerah dengan serapan sedang sebanyak 19%, terdapat pada enam Propinsi, yaitu 1) Sumatera Utara, 2) Sumatera Selatan, 3) Bengkulu, 4) D.I. Yogyakarta, 5) Sulawesi Tengah, 6) Sulawesi Barat; c) Daerah dengan serapan rendah sebanyak 6% terdapat pada dua Propinsi yaitu 1) Jambi dan 2) Bangka Belitung. Gambaran dana Tugas Pembantuan berdasarkan serapan pada tahun 2013 yaitu : 1. Daerah dengan serapan tinggi sebanyak 47% terdapat pada lima belas Propinsi yaitu, 1) Jawa Barat, 2) Jawa Tengah, 3) D.I. Yogyakarta, 4) Banten, 5) Bali, 6) NTT, 7) NTB, 8) Kalimantan Barat, 9) Sulawesi Selatan, 10) Sulawesi Tenggara, 11) Maluku, 12) Maluku Utara, 13) Papua, 14) Papua Barat. 2. Daerah dengan serapan sedang sebanyak 47% terdapat pada lima belas Propinsi yaitu, 1) Aceh, 2) Sumatera Utara, 3) Sumatera Barat, 4) Riau, 5) Jambi, 6) Sumatera Selatan, 7) Bengkulu, 8) Lampung, 9) Kep. Riau, 10) Kalimantan Tengah, 11) Kalimantan Selatan, 12) Sulawesi Utara, 13) Sulawesi Tengah, 14) Gorontalo.
29 3. Daerah dengan serapan rendah sebesar 6 % terdapat pada dua Propinsi yaitu 1) Bangka Belitung dan 2) Kalimantan Timur. Gambaran dana Tugas Pembantuan berdasarkan serapan pada tahun 2014, yaitu: 1. daerah dengan serapan tinggi adalah sebanyak 96 % atau tigapuluh satu Propinsi yaitu 1) Aceh, 2) Sumatera Utara, 3) Sumatera Barat, 4) Riau, 5) Jambi, 6) Sumatera Selatan, 7) Bengkulu, 8) Lampung, 9) Bangka Belitung, 10) Kep. Riau, 11) Jawa Barat, 12) Jawa Tengah, 13) D.I. Yogyakarta, 14) Banten, 15) Bali, 16) NTB, 17) NTT, 18) Kalimantan Barat, 19) Kalimantan Tengah 20) Kalimantan Selatan, 21) Kalimantan Timur, 22) Sulawesi Utara, 23) Sulawesi Selatan, 24) Sulawesi Tengah, 25) Sulawesi Tenggara, 26) Gorontalo, 27) Sulawesi Barat, 28) Maluku, 29) Maluku Utara, 30) Papua, 31) Papua Barat, 2. daerah dengan serapan rendah sebesar 4% hanya terdapat pada satu Propinsi yaitu Jawa Timur. Dari prosentase serapan dana tugas pembantuan, dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2013 terdapat penurunan serapan anggaran sebesar 28% dari tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terdapat pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus sebesar Rp 417.7 miliar. Adapun rincian kegiatan dan anggaran yang dialihkan dari TP ke DAK adalah sebagai berikut : 1. Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan, dengan total pengalihan sebesar Rp 35 miliar, dengan rincian : 1. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman rempah dan penyegar sebesar RP 2 miliar, 2. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tahunan sebesar Rp 3 miliar, 3. Pengembangan Penanganan pasca panen komoditas perkebunan sebesar Rp 15 miliar, 4. Dukungan Perlindungan Perkebunan sebesar Rp 15 miliar. 5. Program Pencapaian Swasembada Daging dan Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal, dengan total pengalihan sebesar Rp 87.7 miliar, dengan rincian : 1. Pengembangan ternak kambing domba sebesar Rp 20.8 miliar. 2. Pengembangan budidaya kambing perah sebesar Rp 7.3 miliar. 3. Pengembangan budidaya unggas lokal sebesar Rp 26.5 miliar. 4. Pengembangan budidaya aneka ternak sebesar Rp 13.9 miliar. 5. Pengembangan integrasi ternak unggas Rp 2.7 miliar. 6. Pengembangan unit pengolah pakan unggas Rp 4.8 miliar. 7. Fasilitasi tempat pengumpulan susu (TPS) Rp 3.4 miliar. 8. Fasilitasi rumah potong hewan unggas dan tempat penampungan unggas Rp 8.1 miliar. 9. Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian, dengan total pengalihan sebesar Rp 250 miliar, dengan rincian : 1. Konservasi air dan antisipasi anomali iklim (embung/dam parit) sebesar Rp 100 miliar. 2. Pengembangan Irigasi Air Tanah/Pompanisasi sebesar Rp 100 miliar. 3. Pengembangan Jalan Pertanian sebesar Rp 50 miliar.
30 4. Program peningkatan diversifkasi dan ketahanan pangan masyarakat, dengan total pengalihan sebesar Rp 45 miliar, dengan rincian : 1. Lumbung Pangan sebesar Rp 25 miliar. 2. Pengembangan ketersediaan dan penanganan rawan pangan sebesar Rp 20 miliar. Pengalihan dana tugas pembantuan yang dilakukan di kementerian pertanian tersebut didasarkan atas analisis yang dilakukan yaitu : 1) analisis kesamaan nama dan/atau jenis kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum di RKA-K/L dengan lingkup bidang kegiatan yang tercantum dalam DAK sesuai PMK Nomor 209/PMK.07/2011, 2) analisis kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum dalam RKA-K/L berdasarkan pemetaan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana termuat dalam lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007, dan 3) analisis sifat kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum dalam RKA-K/L berdasarkan keterkaitan manfaat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat (direct delivery public service). Pada tahun anggaran 2014, serapan anggaran dana tugas pembantuan mengalami kenaikan sebesar 48% dari tahun sebelumnya, kondisi tersebut dikarenakan pengalihan anggaran tugas pembantuan sudah tidak dilakukan. Yang membedakan antara kegiatan Tugas Pembantuan yang dialihkan dengan kegiatan Tugas Pembantuan regular adalah, terletak pada kebijakan dan kewenangannya. Artinya walaupun kegiatan tersebut bersifat fisik dan berumur ekonomis panjang, tapi tidak dialihkan ke dana alokasi khusus dengan alasan kegiatan tersebut masih memerlukan pengawasan langsung (intervensi) dari pemerintah pusat, dikarenakan kekhawatiran kementerian atas tidak tercapainya target kinerja dari program prioritas nasional yang telah ditetapkan. Alasan lain yang menyebabkan tidak semua kegiatan yang bersifat fisik dan sudah menjadi urusan daerah tidak dialihkan adalah, adanya keraguan dari pihak kementerian terhadap kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kegiatan prioritas nasional yang menjadi tanggung jawab kementerian, walaupun kegiatan tersebut sudah menjadi urusan daerah. Dana Alokasi Khusus Serapan anggaran Dana Alokasi Khusus sektor pertainan dari tahun 20122014 seperti yang terdapat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Serapan anggaran Dana Alokasi Khusus tahun 2012-2014 No
1 2 3 4 5 6
Provinsi
ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU KEPULAUAN RIAU JAMBI
Dana Alokasi Khusus 2012 2013 Serapan Serapan (%) (%) Miliar Rp MiliarRp 40.21 69.76 7,69 5,48 39.06 62.39 9,77 7,92 43.20 65.13 10,65 12,88 64.88 00.00 2,01 1,59 44.25 76.35 8,05 8,63 76.18 85.34 8,87 9,37
2014 serapan (%) MiliarRp 50.00 30,41 00.00 16,13 75.00 16,70 49.00 0,75 75.77 9,15 25.00 10,50
31 Dana Alokasi Khusus No
Provinsi 2012 Serapan Miliar Rp
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
SUMATERA SELATAN BENGKULU BANGKABELITUNG LAMPUNG JAWABARAT BANTEN JAWATENGAH D I YOGYAKARTA JAWATIMUR KALIMANTAN BARAT KALTENG KALSEL KALIMANTANTIMUR SULAWESIUTARA GORONTALO SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT SULTRA BALI NTB NTT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA PAPUA BARAT
9,92 15,65 11,49 10,29 7,27 12,14 15,25 10,33 14,19 9,36 9,03 19,41 17,87 17,23 8,94 1,80 14,97 19,20 12,12 16,63 27,02 12,22 16,39 12,65 9,20 6,57
(%) 41.37 51.23 58.49 48.58 58.58 60.91 49.16 50.49 95.72 65.98 35.06 51.14 95.96 61.81 13.83 1.35 17.93 82.92 26.46 18.17 42.73 25.00 43.00 26.00 48.00 9.00
2013 Serapan (%) MiliarRp 72.57 10,97 70.26 18,21 79.52 19,57 63.84 5,51 70.91 10,08 80.64 10,10 73.61 12,80 62.23 10,45 67.73 11,75 51.86 10,96 68.04 8,94 60.96 12,93 91.88 23,42 83.63 12,15 83.51 3,76 68.43 1,18 61.24 20,15 81.01 18,87 92.79 10,35 68.78 17,43 80.20 14,31 85.00 15,41 80.00 14,82 97.00 12,96 54.00 8,04 43.00 2,58
2014 Serapan (%) MiliarRp 75.00 19,40 50.00 18,30 85.00 20,94 35.00 16,83 50.00 14,06 50.00 18,19 49.00 3,85 50.00 16,88 00.00 11,69 60.00 33,61 00.00 16,53 65.00 27,34 50.00 13,10 75.00 16,87 50.00 9,16 00.00 1,73 60.00 22,94 80.00 17,00 80.00 11,32 74.00 27,02 25.00 16,80 25.00 15,02 00.00 32,44 00.00 35,90 75.00 14,17 00.00 18,57
Sumber: Kementan (data diolah), 2014
Adapun gambaran untuk serapan anggaran dana alokasi khusus sektor pertanian pada 32 propinsi dapat dilihat pada gambar 4 berikut.
32
Gambar 4. Serapan Dana Alokasi Khusus di 32 propinsi Gambaran dana alokasi khusus tahun 2012 di 32 propinsi adalah, daerah dengan serapan tinggi sebanyak 13% terdapat pada empat propinsi yaitu 1) Sumatera Selatan, 2) Banten, 3) Kalimantan Barat 4) Sulawesi Selatan. Daerah dengan serapan sedang sebanyak 25% terdapat pada delapan propinsi yaitu 1) Riau, 2) Lampung, 3) Bangka Belitung, 4) Jawa Barat, 5) Jawa Tengah, 6) Bali, 7) NTT, 8) Kalimantan Tengah. Daerah dengan serapan rendah sebanyak 43% terdapat pada empat belas propinsi yaitu 1) Aceh, 2) Sumatera Utara, 3) Sumatera Barat, 4) Jambi, 5) Bengkulu, 6) Kep. Riau, 7) D. I. Yogyakarta, 8) Jawa Timur, 9) NTB, 10) Sulawesi Tengah, 11) Gorontalo, 12) Maluku, 13) Maluku Utara, 14) Papua, sedangkan daerah dengan serapan sangat rendah sebanyak 19% terdapat enam propinsi yaitu 1) Kalimantan Selatan, 2) Kalimantan Timur, 3) Sulawesi Utara, 4) Sulawesi Tenggara, 5) Sulawesi Barat, 6) Papua Barat. Gambaran Dana Alokasi Khusus tahun 2013 di 32 propinsi adalah, daerah dengan serapan tinggi sebanyak 41% terdapat pada tiga belas Propinsi yaitu 1) Jambi, 2) Sumatera Selatan, 3) Bangka Belitung, 4) Jawa Tengah, 5) Kalimantan Tengah, 6) Kalimantan Barat, 7) Kalimantan Selatan, 8) Sulawesi Selatan, 9) Sulawesi Tengah, 10) Gorontalo, 11) Sulawesi Barat, 12) Maluku dan 13) Maluku Utara. Daerah dengan serapan sedang sebanyak 53% terdapat pada enam belas propinsi yaitu 1) Aceh, 2) Sumatera Utara, 3) Sumatera Barat, 4) Bengkulu, 5) Lampung, 6) Kep. Riau, 7) Jawa Barat, 8) D. I. Yogyakarta, 9) Jawa Timur, 10) Banten, 11) Bali, 12) NTB, 13) NTT, 14) Kalimantan Timur, 15) Sulawesi Utara, 16) Sulawesi Tenggara, dan daerah dengan serapan rendah sebanyak 6% terdapat pada dua propinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Untuk gambaran serapan dana alokasi khusus tahun 2014 di 32 propinsi adalah, daerah dengan serapan tinggi sebanyak 25% terdapat pada delapan propinsi yaitu 1) Sumatera Barat, 2) Jambi, 3) Sumatera Selatan, 4) Bangka Belitung, 5) Jawa Tengah, 6) Sulawesi Selatan, 7) Sulawesi Tengah, 8) Sulawesi
33 Tenggara. Daerah dengan serapan sedang sebanyak 34% terdapat pada sebelas propinsi yaitu 1) Bengkulu, 2) Lampung, 3) Kep. Riau, 4) Jawa Barat, 5) D.I. Yogyakarta, 6) Jawa Timur, 7) Banten, 8) NTB, 9) NTT, 10) Kalimantan Tengah, 11) Papua. Daerah dengan serapan rendah sebanyak 19% terdapat pada enam propinsi yaitu 1) Aceh, 2) Riau, 3) Bali, 4) Kalimantan Barat, 5) Kalimantan Selatan, 6) Sulawesi Utara, dan daerah dengan serapan sangat rendah sebanyak 22% terdapat pada tujuh propinsi yaitu 1) Sumatera Utara, 2) Kalimantan Timur, 3) Gorontalo, 4) Sulawesi Barat, 5) Maluku, 6) Maluku Utara, 7) Papua Barat. Secara umum realisasi dana alokasi khusus dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 di 32 propinsi, berdasarkan serapan dapat digambarkan pada Tabel 7. Serapan dana alokasi khusus bidang pertanian tahun 2012-2014 No 1 2 3 4
Serapan Tinggi (75 – 100 % ) Sedang (50 – 74,9 %) Rendah (25 – 49,9 %) Sangat Rendah (0 –24,9 % ) Total
2012 13 25 43 19 100
2013 41 53 6 0 100
2014 25 34 19 22 100
Sumber: Kementan (data diolah), 2014
Pada tahun 2013, pada serapan sedang terdapat peningkatan serapan anggaran sebesar 28% dari tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terdapat pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus sebesar Rp 417.7 miliar.Sedangkan pada tahun 2014 terjadi penurunan serapan anggaran sebesar 16 % dari tahun sebelumnya, hal tersebut dikarenakan pada tahun tersebut tidak terdapat pengalihan anggaran dari dana Tugas Pembantuan, sehingga Dana Alokasi Khusus yang dialokasikan pada tahun 2014 kembali lagi ke alokasi Dana Alokasi Khusus reguler, tanpa pengalihan.Kegiatan yang alokasi anggarannya pada tahun 2013 dialihakan ke dana alokasi khusus, secara otomatis setelah pengalihan tidak dilakukan lagi maka kegiatan tersebut kembali lagi menjadi kegiatan tugas pembantuan. Perbedaan antara DAK sebelum pengalihan (2012) dengan DAK pengalihan (2013), adalah terletak pada sasaran pelaksana kegiatan. Pada tahun 2012, sasaran pelaksana DAK adalah SKPD yang menangani bidang pertanian, penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan lingkup kabupaten/kota. Pemanfaatan DAK bidang pertanian untuk tahun 2012 diarahkan untuk dua kegiatan, yaitu kegiatan utama dan kegiatan penunjang. Kegiatan utama meliputi a) perluasan areal pertanian, b) penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan air, c) penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan lahan, sedangkan kegiatan penunjang meliputi 1. penyediaan gudang cadangan pangan pemerintah, 2. pembangunan/rehabilitasi/renovasi balai penyuluhan pertanian di kecamatan dan penyediaan sarana penyuluhan, 3. penyediaan prasarana dan sarana balai perbenihan/perbibitan kabupaten/kota untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunaan, peternakan, 4. pembangunan/rehabilitasi pusat/klinik/pos pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan, 5. penanganan pasca panen.
34 Sedangkan pada tahun 2013, sasaran pelaksana DAK adalah 1) SKPD yang menangani bidang pertanian, perkebunan dan peternakkan lingkup propinsi, dan 2) SKPD yang menangani bidang pertanian, penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan lingkup kabupaten/kota, serta kegiatan yang dialokasikan tidak dibedakan kegiatan utama dan kegiatan penunjang. Pembangunan Pertanian di Indonesia Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pertanian Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan pertanian, adalah melalui angka PDRB pertanian, yang didalamnya menggambarkan secara makro kondisi perekonomian di suatu wilayah pada waktu tertentu. PDRB pertanian yang digunakan meliputi PDRB subsektor tanaman bahan makanan, sub sektor tanaman perkebunan, dan subsektor peternakan dan hasilnya, dengan mengabaikan PDRB sektor kehutanan dan PDRB sektor perikanan dan kelautan, yang merupakan bagian dari PDRB pertanian. Hal tersebut dikarenakan, kondisi geografis tiap wilayah memiliki potensi unggulan yang berbeda-beda, sehingga apabila kedua sektor yang diabaikan tersebut digunakan, tidak dapat menampilkan nilai dari PDRB pertanian yang sesungguhnya dari wilayah tersebut pada tahun tertentu. Tabel 8 PDRB sektor pertanian menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan dari tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Propinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kep. Riau Jawa Barat Jawa Tengah D. I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
( Miliar rupiah ) 2012 2013 7748 8023 25907 26893 7948 8514 10979 11771 5472 5912 10919 11493 3083 3225 13638 14362 1883 2035 540 559 39144 40497 33946 34728 3410 3426 46578 47080 6371 6 865 4822 4888 4332 4481 4367 4476 7155 7747 4749 4912
2014 8309 27927 9163 12631 6388 12098 3377 15125 2199 579 41898 35537 3442 47587 7397 4955 4635 4589 8391 5082
35 No
Propinsi 2012
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
6129 4066 2862 11361 5942 2523 756 2203 683 939 2490 747
( Miliar rupiah ) 2013 6257 4284 2917 11585 6 257 2648 800 2326 707 963 2652 781
2014 6392 4517 2973 11815 6590 2779 847 2456 732 988 2825 817
Sumber: Kementan (data diolah), 2014
Nilai PDRB pertanian untuk masing-masing wilayah, rata-rata setiap tahun mengalami kenaikan. Kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa, dengan peningkatan nilai PDRB pertanian, maka pembangunan pertanian setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Tenaga Kerja Pertanian Gambaran tenaga kerja sektor pertanian di Indonesia dari tahun 2012-2014 adalah sebagai berikut : Tabel 9 Tenaga kerja sektor pertanian (ribu orang) tahun 2012-2014 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali
2012 941879 2419990 691234 1187318 703492 2031738 424056 1306583 106510 66374 3205782 4860061 314866 6800288 488075 452220
2013
2014
953087 2448788 699460 1201447 711864 2055 916 429102 1322131 107777 67164 3243931 4917895 318612 6881212 493883 457602
964810 2478908 708063 1216225 720620 2081203 434380 1338394 109103 67990 3283832 4978385 322531 6965851 499958 463230
36
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
676711 1228348 1279265 525146 738055 337804 239346 1172513 568385 305515 122392 271704 281939 220476 891765 93058
684763 1242965 1294489 531396 746838 341824 242194 1186466 575149 309151 123848 274938 285294 223100 902377 94165
693186 1258253 1310411 537932 756024 346028 245173 1201060 582224 312954 125372 278319 288803 225844 913476 95323
Sumber: Kementan (data diolah), 2014
Tenaga kerja pertanian di masing-masing Propinsi setiap tahun mengalami peningkatan, kondisi ini dapat diasumsikan bahwa, peningkatan tenaga kerja pertanian berkorelasi positif terhadap peningkatan pembangunan pertanian. Nilai Tukar Petani (NTP) Nilai tukar petani menggambarkan tingkat atau daya tukar/daya beli petani terhadap produk yang dibeli/dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli. Semakin tinggi nilai tukar petani, semakin baik daya beli petani terhadap produk konsumsi dan input produksi tersebut, dan berarti secara relatif lebih sejahtera,diasumsikan bahwa pembangunan pertanian di wilayah tersebut juga meningkat. Secara umum NTP menghasilkan 3 pengertian: 1) NTP > 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar, dengan kata lain petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik dan menjadi lebih besar dari pengeluarannya, 2) NTP = 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada tahun dasar, dengan kata lain petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya, 3) NTP < 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan NTP pada tahun dasar, dengan kata lain petani mengalami defisit.Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya.Pendapatan petani turun dan lebih kecil dari pengeluarannya.Gambaran Nilai Tukar Petani (NTP) di setiap propinsi di Indonesia dari tahun 2012-2014 adalah sebagai berikut
37 Tabel 10 Persentase nilai tukar petani tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Propinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Total
2012 104.14 101.73 105.03 95.59 92.16 110.13 102.42 125.41 174.16 104.84 108.93 108.69 116.45 102.16 108.44 108.27 95.61 105.93 100.92 99.25 107.85 98.04 101.47 108.05 97.79 106.45 102.33 104.40 104.70 100.66 101.63 100.79 3404.42
2013 100.59 99.55 102.16 99.27 93.07 105.41 98.85 113.34 100.63 103.24 106.79 103.78 110.02 103.88 107.45 105.30 97.21 98.55 97.13 100.17 102.97 96.81 99.39 106.19 99.65 103.94 100.87 103.33 103.03 100.52 99.71 99.49 3262.20
2014 98.17 100.10 100.61 113.33 97.04 100.84 112.48 104.19 101.55 92.60 104.43 93.37 102.21 104.74 104.75 96.09 99.82 100.27 96.63 101.34 91.43 91.62 99.37 105.39 93.58 92.98 101.24 102.96 100.51 103.26 97.27 100.17 3204.33
Sumber: Kementan (data diolah), 2014
Gambaran Nilai Tukar Petani di Indonesia dari tahun 2012-2014, menunjukkan angka rata-rata untuk tiap propinsi, tidak terdapat perbedaan yang mencolok pada angka nilai tukar petani. Dari angka diatas dapat dilihat nilai tukar petani semakin tahun mengalami penurunan. Menurunnya nilai tukar petani, maka tentu saja akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan petani, dan pengaruhnya terhadap pembangunan pertanian.
38 Penduduk Miskin Tabel 11 Jumlah penduduk miskin pedesaan tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Propinsi
2012 711,10 709,10 273,60 324,90 164,70 674,40 217,80 981,10 46,20 24,60 1.861,50 2.916,90 255,60 3.354,60 314,80 67,70 412,90 882,90 281,50 109,60 132,70 154,60 110,70 672,30 349,40 274,70 169,90 131,50 287,80 79,60 928,30 210,00
2013 698,92 701,59 255,74 359,82 175,20 732,25 222,75 911,53 47,83 29,68 1756,49 2834,14 209,66 3243,79 268,25 81,38 438,37 911,10 316,40 99,60 122,31 157,03 135,10 696,91 335,78 129,61 178,13 129,61 271,40 74,77 1012,57 221,38
2014 679,38 693,13 246,21 338,75 172,68 714,94 216,91 919,73 46,96 32,90 1684,90 2790,29 208,15 3216,53 268,01 86,76 431,31 886,18 303,38 109,37 128,28 154,20 137,48 651,95 315,41 268,30 171,22 124,82 259,44 73,62 828,50 211,40
INDONESIA 18.087,00 Sumber: Kementan (data diolah), 2014
17.759,09
17.371,09
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun 2012 sampai tahun 2014 terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Konsentrasi penduduk miskin di Pulau Jawa mencapai rata-rata 57,5 persen dari total penduduk miskin di Indonesia, selanjutnya Pulau Sumatera manjadi daerah kedua setelah Pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk miskin
39 yang cukup banyak. Secara umum jumlah penduduk miskin dipedesaan pada tiap propinsi, mengalami penurunan setiap tahunnya, kondisi tersebut dapat diasumsikan semakin menurunnya jumlah penduduk miskin, maka tingkat kesejahteraan penduduk di pedesaan semakin meningkat. Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan pengalihan dana Tugas Pembantuanke Dana Alokasi Khusus terhadap Pembangunan Pertanian Untuk mengetahui efektivitas perencanaan dan pelaksanaan pengalihan anggaran adalah, dapat diketahui dari hasil 32 kuesioner yang dibagikan kepada responden. Kuesioner tersebut dibagi dalam dua kelompok pertanyaan, yaitu berdasarkan yaitu 1) Perencanaan dan 2) Pelaksanaan. Efektivitas perencanaan dilihat indikator capaian yang telah ditetapkan sesuai dengan target program dari kementerian pertanian, yaitu realisasi anggaran, realiasi kegiatan, dan pemahaman dan penerimaan terhadap panduan pelaksanaan kegiatan. Efektivitas pelaksanaan dilihat dari indikator capaian yang telah ditetapkan sesuai dengan target program, dilihat dari capaian program, dukungan sumber daya manusia, serta dukungan kelembagaan. Berdasarkan olahan kuesioner, diperoleh data sebagai berikut : 1. Perencanaan Dilihat dari indikator anggaran yang dipergunakan untuk melihat efektivitas pengalihan yang dilakukan, dalam hal ini efektivitas dilihat dari realisasi anggaran atau anggaran yang terserap dan dapat digunakan untuk pelaksanaan kegiatan. Pada variabel anggaran diperoleh hasil, responden menyatakan efektiv sebanyak 62,50% dan kurang efektif sebanyak 37,50%. Adapun daerah yang menyatakan anggaran efektif sebesar 62,5% terdapat 20 daerah, yaitu 1) Aceh, 2) Sumatera Selatan, 3) Jambi, 4) Riau, 5) Bengkulu, 6) Bangka Belitung, 7) Jawa Barat, 8) Jawa Tengah, 9) DI Yogyakarta, 10) Jawa Timur, 11) Kalimantan Selatan, 12) Kalimantan Barat, 13) Sulawesi Selatan, 14) Sulawesi Tenggara, 15) Sulawesi Barat, 16) Gorontalo, 17) NTT, 18) Maluku, 19) Maluku Utara, 20) Papua Barat. Sedangkan daerah yang menyatakan bahwa anggaran kurang atau tidak efektif.,terdapat 12 daerah yaitu 1) Sumatera Utara, 2) Sumatera Barat, 3) Kep. Riau, 4) Bandar Lampung, 5) Banten, 6) Kalimantan Tengah, 7) Kalimantan Timur, 8) Sulawesi Tengah, 9) Sulawesi Utara, 10) Bali, 11) NTB, 12) Papua. Variabel anggaran (tugas pembantuan dan dana alokasi khusus) efektif terhadap pembangunan pertanian. Pada indikator anggaran, hasil kuesioner dari 32 responden dapat dilihat pada gambar 5 berikut.
37,50% 62,50%
Efektif Kurang efektif
Gambar 5. Efektivitas anggaran pada pengalihan dana tugas pembantuan
40 ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian. Sesuai dengan hasil wawancara langsung dengan responden, dapat diketahui efektivitas anggaran sebesar 62,50% tersebut dapat dilihat dari anggaran yang dialokasikan sudah sesuai dengan usulan atau kebutuhan daerah, serta anggaran yang telah dialokasikan dapat terserap sesuai dengan target yang telah ditetapkan, sehingga program kegiatan dapat dilaksanakan, sesuai dengan target yang telah dibuat, dan dapat mendukung keberhasilan pembangunan pertanian di daerahnya. Arifin (2005) menyatakan bahwa stimulasi anggaran pembangunan di sektor pertanian akan dapat mencipatkan dampak ganda (multiplier effect) pada sektor ekonomi, yang secara potensial dapat diandalkan dalam pembangunan ekonomi. Sedangkan 37,50% responden yang menyatakan anggaran kurang efektif, dikarenakan alasan 1) anggaran yang dialokasikan tidak sesuai dengan usulan atau kebutuhan daerah, 2) terlambatnya mekanisme pencairan anggaran, diakibatkan karena kebijakan yang berbeda-beda di setiap daerah, sehingga anggaran yang telah dialokasikan tidak dapat terealalisasi sesuai dengan target. Daerah yang tidak dapat menyerap atau merealisasikan anggaran yang telah dialokasikan sesuai dengan target, akan berdampak terhadap berkurangnya pengalokasian anggaran di tahun berikutnya pada daerah tersebut, sehingga berdampak secara langsung terhadap keberhasilan pembangunan pertanian. Sedangkan kendala yang dialami oleh penerima anggaran DAK adalah masih kurang tepatnya informasi alokasi anggaran yang diterima oleh daerah, karena DAK merupakan transfer bersyarat dengan tujuan khusus yang besaran anggarannya telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga daerah penerima DAK, sebaiknya sudah mendapatkan informasi sebelumnya tentang besaran yang akan diterima, jadi daerah penerima dapat menyiapkan terlebih dahulu alokasi dana pedamping minimal sebesar 10%, serta dana penunjang maksimal sebesar 10% dari alokasi dana yang akan diterima, yang dialokasikan dari APBD. Karena selama ini dana pendamping menjadi masalah tersendiri bagi daerah, daerah yang tidak dapat menyiapkan dana pendamping dan dana penunjang sebesar 10% dari total dana yang diperoleh, maka anggaran tersebut dapat dialihkan secara otomatis kepada daerah yang sudah siap dengan dana pendampingnya, kondisi tersebut tentu saja sangat merugikan terutama bagi daerah yang sangat membutuhkan DAK dalam pembangunan pertanian di daerahnya. Haryanto (2007) bahwa efektivitas dalam anggaran berarti, bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai sasaran atau tujuan kepentingan dari yang telah ditargetkan. Dari indikator kegiatan yang digunakan untuk melihat efektivitas kegiatan yang dialokasikan pada saat pengalihan, dari 32 responden diperoleh hasil seperti yang yang tertera pada gambar 6 berikut.
41
35,94% 64,06%
Efektif Kurang Efektif
Gambar 6. Efektivitas kegiatan pada pengalihan dana Tugas Pembantuan Ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian. Hasil kuesioner dari 32 responden, menyatakan bahwa kegiatan yang dialokasikan pada saat dilakukan pengalihan efektiv sebesar 64,06% dan kurang efektif sebesar 35,94%. Dari wawancara langsung dengan responden, hasil efektivitas sebesar 64,06%, dilihat dari kegiatan-kegiatan yang menjadi program pembangunan pertanian, dan dialokasikan ke daerah, sudah sesuai dengan usulan dan kebutuhan dari daerah, sehingga kegiatan-kegiatan yang teralokasikan tersebut dapat diakomodir dan dilaksanakan dengan baik, serta mendukung pembangunan pertanian sesuai dengan program yang telah ditargetkan. Mutakin (2013), dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kegiatan yang dialokasikan, dapat dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut terkelola dengan baik, dan bermanfaat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Adapun daerah yang dapat melaksanakan kegiatan pembangunan pertanian sesuai dengan program dan alokasi yang telah direncanakan, sebagian besar adalah daerah yang ada di pulau Jawa dan Sumatera. Kondisi tersebut dikarenakan wilayah di Jawa dan Sumatera, memiliki karakteristik wilayah, potensi sumber daya alam, serta potensi sumber daya manusia yang hampir sama, sehingga mempermudah dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan responden yang menyatakan sebesar 35,94% kegiatan yang dialokasikan di daerahnya kurang efektif, hal tersebut dikarenakan pengalokasian kegiatan kurang sesuai dengan usulan atau kebutuhan dari daerah. Masing-masing daerah memiliki perbedaan karakteristik wilayah, serta memiliki perbedaan keragaman potensi atau keunggulan produk yang dihasilkan. Sehingga dengan melihat perbedaan kondisi tersebut, pengalokasikan kegiatan tidak dapat disamaratakan, dan harus melihat kebutuhan daerah berdasarkan potensi yang dimiliki di wilayahnya. Para responden juga meyatakan bahwa kegiatan Tugas Pembantuan yang telah diperoleh tetap diterima walaupun tidak sesuai dengan kebutuhan daerah, kadang-kadang ada kegiatan yang double funding, sementara terdapat kegiatan yang sebenarnya sangat dibutuhkan tetapi tidak terbiayai. Selain itu sosialisasi program Tugas Pembantuan yang dilakukan oleh SKPD dirasakan kurang koordinasi dengan provinsi maupun pusat, sehingga SKPD merasakan uraian tugas yang diberikan belum begitu jelas, mengingat ada program yang tidak diusulkan pemerintah daerah, namun tiba-tiba muncul dan harus dilaksanakan, serta menjadi tanggung jawab SKPD.
42 Pelaksanaan Dilihat dari indikator pedoman pelaksanakan kegiatan atau dengan istilah lain petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dipergunakan untuk melihat efektivitas pengalihan yang dilakukan, dari 32 responden diperoleh hasil seperti pada gambar 7 berikut.
42,19% 57,81%
Efektif Kurang Efektif
Gambar 7. Efektivitas pedoman pelaksanaan kegiatan pada pengalihan dana Tugas pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian. Variabel pedoman pelaksanaan kegiatan,diperoleh hasil responden menyatakan efektiv sebanyak 57,81% dan kurang efektif sebanyak 42,19%. Pedoman pelaksanaan kegiatan (Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus) efektif terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian. Dari hasil wawancara langsung dengan responden, dapat diketahui efektivitas sebesar 57,81% tersebut, dilihat dari indikator, a) panduan pelaksanaan tersedia tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan serta dapat dipergunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan, b) panduan yang telah dikeluarkan sebagai acuan atau pedoman dalam pelaksanaan kegiatan yang dialokasikan ke daerah dapat diperoleh dengan mudah, sehingga dapat mempermudah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah dialokasikan dalam rangka mendukung pembangunan pertanian. Sedangkan 42,19% responden yang menyatakan anggaran kurang efektif dikarenakan alasan, a) panduan yang telah dikeluarkan sebagai acuan atau pedoman dalam pelaksanaan kegiatan rata-rata hanya terdistribusikan sampai ke propinsi saja, b) akses daerah terutama kabupaten dalam memperoleh pedoman pelaksanaan masih sulit, hal ini diakibatkan karena akses beberapa kabupaten masih terbatas, c) panduan kegiatan tidak tersedia tepat waktu, sehingga tidak dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan serta tidak dapat dipergunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan, sehingga menghambat dalam pelaksanaan kegiatan yang telah dialokasikan dalam rangka mendukung pembangunan pertanian. Efektivitas pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus dalam implentasi pelaksanannya dapat dilihat dari indikator sumber daya manusia dan kelembagaan. Kedua indikator tersebut digunakan sebagai penentu keberhasilan pelaksanaan kegiatan karena, suatu kegiatan tidak akan berjalan bila tidak ada sumber daya yang melaksanakan serta kelembagaan yang menaunginya.
43 Dilihat dari indikator sumber daya manusia yang dipergunakan untuk melihat efektivitas pengalihan yang dilakukan, dari 32 responden diperoleh hasil seperti pada gambar 8 berikut.
38,54 61,46
Efektif Kurang Efektif
Gambar 8. Efektivitas sumber daya manusia pada pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian. Pada indikator sumber daya manusia diperoleh hasil responden menyatakan efektiv sebanyak 38,54% dan kurang efektif sebanyak 61,46%. Menurut hasil wawancara langsung dengan responden, diketahui bahwa 38,54% sumber daya manusia yang berperan terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian sebagian besar tertumpu di pulau Jawa dan sebagian pulau Sumatera. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa sumber daya manusia yang mengelola sektor pertanian dari sisi anggaran dan kegiatan (kebijakan), masih sangat minim. Disebutkan oleh responden, bahwa sumber daya yang berkualitas dalam hal ini sarjana atau tenaga ahli teknis yang membidangi pertanian sebagian besar ada di wilayah pulau Jawa dan sebagian Sumatera, sehingga di wilayah selain kedua pulau tersebut masih kekurangan akan sumber daya manusia yang berkualitas, terutama yang menangani sektor pertanian. Sehingga jika suatu daerah memperoleh alokasi anggaran dan kegiatan sesuai dengan kapasitas dan kebutuhannya, tetapi apabila tidak didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, maka anggaran dan kegiatan tersebut tidak akan terealisasi sesuai dengan yang telah direncanakan. Para responden juga menyatakan, sangat berharap bahwa pemerintah daerah mampu mengeliminir terjadinya mutasi baik tenaga teknis maupun pengelola keuangan SKPD selama program berjalan, sehingga program dapat berjalan dan tercapai sesuai dengan yang telah ditargetkan. Responden yang menyatakan 61,46% sumber daya manusia kurang efektif adalah responden yang berasal dari wilayah bagian tengah dan timur Indonesia. Hasil tersebut sesuai dengan data IPM dari BPS (2014) yang menggambarkan bahwa untuk pulau Jawa dan pulau Sumatera rata-rata IPM nya diatas 75%, sedangkan di wilayah lain selain dua pulau tersebut rata-rata adalah dibawah 70%.. Karyana (2012), dalam hasil penelitiannya mnenjelaskan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten Bangka, bahwa SKPD diberi amanah untuk melaksanakan Tugas Pembantuan, namun tidak disertai hak dan kewajiban yang seimbang berkenaan dengan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang kurang memadai, karena sumber daya manusia yang ada di SKPD juga
44 harus mengejar target atau urusan yang menjadi tupoksinya sendiri, sehingga kadang-kadang sulit membagi pekerjaan Simanjuntak (2015) dalam hasil penelitiannya menjelaskan, bahwa dengan adanya desentralisasi yang telah berjalan di Indonesia sejak tahun 2001, telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan di setiap daerah dalam menjalankan urusan pemerintahannya sendiri, akan tetapi dalam melaksanakan desentralisasi tersebut terdapat berbagai kendala yang dihadapi terutama keterbatasan sumber daya manusia. Sumber daya manusia sebagai pengelola anggaran, maupun sumber daya manusia sebagai pengelola kegiatan berperan sangat penting, dalam setiap pelaksanaan kegiatan. Seperti yang disebutkan oleh Rustiadi (2011), bahwa pembangunan sumber daya manusia merupakan bagian dari pertumbuhan ekonomi, sehingga jika akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah maka perlu ditingkatkan kualitas sumber daya manusianya. Tanpa adanya sumber daya manusia yang handal, maka pengelolaan dan pemanfaatan berbagai sumber daya, akan menjadi tidak berdaya guna dan berhasil guna (Siagian, 2011). Dalam penelitian sebelumnya Harahap, et al (2011) juga menyebutkan bahwa sumber daya manusia memiliki pengaruh nyata terhadap peningkatan pembangunan pertanian. Efektivitas pelaksanaan pengalihan dilihat dari indikator kelembagaan, dari 32 responden yang mengisi pada variabel kelembagaan diperoleh hasil seperti pada gambar 9 berikut.
46,09 53,91
Efektif Kurang Efektif
Gambar 9. Efektivitas kelembagaan pada pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian. Pada indikator kelembagaan diperoleh hasil efektif sebanyak 53,90% dan kurang efektif sebanyak 46,10%. Dari hasil tersebut dapat dikatakan indikator kelembagaanefektif dan berperan terhadap pengalihan, walaupun angka yang dihasilkan tidak terlalu signifikan. Menurut kondisi di lapangan dan sesuai hasil wawancara dengan para responden, efektivitas kelembagaan pada penelitian ini, dilihat dari konsistensi serta keseriusan kelembagaan tersebut dalam mengelola anggaran, kegiatan serta ketersediaan sumber daya yang berkualitas dalam mengelola kelembagaannya. Bentuk kelembagaan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan pertanian, disebutkan bahwa SKPD yang
45 kelembagaannya hanya menangani fungsi pertanian, baik pertanian tanaman pangan, hortikulura, perkebunan dan peternakan, dinyatakan lebih berhasil dan mampu dalam mengelola anggaran dan kegiatan. Jika dibandingkan dengan SKPD yang kelembagaannya menangani berbagai fungsi, yaitu fungsi pertanian, perikanan dan kelautan serta kehutanan dalam satu instansi. Kelembagaan yang menangani berbagai bidang namun masih satu dalam satu sektor, memiliki kebijakan yang relatifsama dalam pengelolaan baik anggaran maupun kegiatan yang dialokasikan, sehingga para pengelola anggaran dan pelaksana kegiatan dapat melakukan kegiatan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Sedangkan kelembagaan yang dalam satu instansi menangani sektor yang beragam baik itu pertanian, perikanan dan kelautan serta kehutanan, masing-masing sektor tersebut memiliki kebijakan tersendiri, sehingga dalam pelaksanaannya di lapangan menjadi kendala tersendiri bagi para pengelola anggaran dan pelaksana kegiatan. Seperti yang diungkapkan oleh Suradisastra (2006), bahwa pembangunan pertanian jika dilaksanakan oleh suatu kelembagaan atau organisasi, dengan menggabungkan tahap perencanaan dan implementasi, maka peluang keberhasilan pembangunan pertanian menjadi semakin besar. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa, sebagian besar lembaga pembangunan pertanian di Indonesia merupakan lembaga atau organisasi yang dibentuk oleh pemerintah dan bersifat top down, sehingga mempengaruhi kinerja dan keberhasilan institusi tersebut. Pemprov Jawa Barat (2015) dalam laporan tahunan pertanggung jawaban pelaksanaan dana tugas pembantuan menjelaskan, bahwa dalam melaksanakan suatu program, diperlukan upaya pendekatan partisipatif melalui penguatan kelembagaan (capacity building), guna mendukung pelaksanaan program pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan .; Lebih lanjut disebutkan bahwa upaya penyempurnaan pembangunan pertanian yang ditempuh selama ini lebih menekankan pada penyempurnaan struktur, daripada penyempurnaan strategi dan kinerja. Saat ini masih diperlukan adanya suatu kelembagaan yang terorganisir dalam satu sistem kebijakan, sehingga setiap program maupun kebijakan dalam rangka peningkatan pembangunan khususnya pembangunan pertanian dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kebijakan yang ada, tanpa harus berseberangan dengan kebijakan sektor lainnya. Analisis Pelaksanaan Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus terhadap pembangunan pertanian saat tidak dilaksanakan kebijakan pengalihan. Hasil estimasi model dari pelaksanaan pengalihan Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus menunjukkan bahwa nilai koefisien R-square berkorelasi positif yaitu sebesar 85%, dari hasil analisis tersebut semua variabel berpengaruh positif, artinya jika terjadi pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus, maka akan diikuti oleh kenaikan dari kelima variabel, sehingga setiap variabel yang dipergunakan, dapat menjelaskan keterkaitan dari setiap variabel dalam model tersebut.
46 Tabel 12 Hasil estimasi persamaan efektivitas pengalihan dana TP ke DAK Variabel Intersep TP DAK TK pertanian NTP Penduduk Miskin DAK interaksiDummy Durbin – Watson R-Square
Parameter 8.094914 0.0208247 0.0134684 1.131567 -0.1154004 -0.711608 0.0126827 0.99717271 0.8586
t-hit 6.65 3.32 2.69 12.35 -2.15 -1.94 1.70 F-Hitung Prob>F
Prob-t 0.001 0.007 0.000 0.032 0.052 0.088 0.000 217.44 0.000000
Secara umum dari hasil olahan tersebut dapat dikatan bahwa semua variabel yang digunakan dalam melihat efektivitas pengalihan dana tugas pembantuan sektor pertanian berkorelasi positif terhadap pembangunan pertanian. Analisis keterkaitan antara Tugas Pembantuan terhadap Pembangunan Pertanian. Keberhasilan pembangunan pertanian di setiap daerah, diukur dari nilai PDRB pertanian di daerah tersebut pada waktu tertentu, hasil analisis yang diperoleh dari hubungan antara Tugas Pembantuan yang diberikan kepada daerah dengan PDRB pertanian adalah berkorelasi positif. Artinya bahwa setiap terdapat kenaikan dana Tugas Pembantuan sebesar Rp 0.0208, dapat meningkatkan nilai PDRB pertanian sebesar sebesar Rp 1 miliar, sehingga dana Tugas Pembantuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembanguan pertanian di daerah. Wasistiono (2006) dalam Karyana (2012) menjelaskan latar belakang perlunya diberikan TP kepada daerah karena adanya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat secara lebih ekonomis, lebih efesien dan efektif, lebih transparan dan akuntabel. Dasar pertimbangan pelaksanaan tugas pembantuan, yaitu: (1) keterbatasan kemampuan pemerintah dan atau pemerintah daerah; (2) sifat urusan yang sulit dilaksanakan dengan baik tanpa mengikutsertakan pemerintah daerah; (3) perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga sesuatu urusan pemerintahan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila ditugaskan kepada pemerintah daerah. Analisis Keterkaitan antara Dana Alokasi Khusus sebelum pengalihan terhadap Pembangunan Pertanian Dari hasil analisis diperoleh hasil bahwa, Dana Alokasi Khusus yang diberikan ke daerah, pada saat sebelum dilakukan pengalihan berkorelasi positif terhadap pembangunan pertanian sebesar 0.013. Ini menunjukkan bahwa terjadi pengingkatan penerimaan Dana Alokasi Khusus sebesar 1%, maka output pembangunan pertanian pada daerah yang bersangkutan akan naik sebesar 0.013 % (cateris paribus). Sesuai dengan tujuannya pemberian Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk membantu daerah tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasana dasar masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembanguan pertanian di daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional (Nota Keuangan 2009).
47 Sejalan dengan hasil tersebut, Yufrizal (2014) menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus yang dialokasikan di kabupaten/kota sangat berperan dalam percepatan pembangunan sektor strategis serta peningkatan infrastuktur.Walaupun dana alokasi khusus ini berperan dalam peningkatan pembangunan, tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala yaitu 1) proses pengganggaran APBD yang tidak sinergis dengan alokasi dana alokasi khusus, karena keterlambatan alokasi dana alokasi khusus, 2) adanya beban dana pendamping dari APBD, sementara daerah yang memiliki pendapatan asli daerah rendsah akan kesulitan untuk mengalokasikannya, 3) Petunjuk teknis yang dirasa terlalu kaku pemanfaatannya oleh daerah, dan tidak sesuai denga karakteristik daerah sehingga anggaran yang sudah teralokasi apabila tidak sesuai dengan petujuk teknis, maka kegiatan tidak dapat dilaksanakan, selain itu petunjuk teknis juga sering terlambat sampai di daerah yang mengakibatkan proses perencanaan berjalan lambat. Analisis Keterkaitan antara Tenaga Kerja Pertanian terhadap Pembangunan Pertanian Dari analisis diperoleh hasil bahwa tenaga kerja pertanian berkorelasi positif terhadap pembangunan pertanian dengan nilai sebesar 1.131567. Artinya apabila jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian meningkat sebanyak 1.000 orang, maka PDRB sektor pertanian akan meningkat sebesar 1.13 Miliar Rupiah. Tenaga kerja merupakan input dalam proses produksi sektor pertanian, sehingga peningkatan jumlahnya akan memberi pengaruh terhadap peningkatan outputnya. Nurridzki (2002), dalam penelitiannya juga menemukan bahwa peranan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat besar. Bahkan setelah tahun 1990-an dia menemukan bahwa yang memberikan dampak pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera adalah faktor tenaga kerja. Sementara untuk Pulau Jawa faktor tenaga kerja telah memberikan dampak terbesar terhadap pembangunan ekonomi dari tahun 1985. Sementara itu menurut Ediana (2006), menyatakan bahwa di Indonesia masih banyak terjadi penumpukan tenaga kerja di sektor pertanian dibandingkan dengan sektor industri dan jasa, dan kesempatan kerja pada sektor pertanian juga memberikan pengaruh positif terhadap produk domestik bruto sektor pertanian. Sementara Supriyati (2010) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pada periode tahun 2005-2009 telah terjadi pergeseran yang cukup signifikan pada tenaga kerja pertanian, yaitu dari petani menjadi buruh tani. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja pertanian yang saat ini aktif adalah lebih banyak buruh tani dibanding petani. Analisis Keterkaitan antara Nilai Tukar Petani (NTP) terhadap Pembangunan Pertanian Nilai Tukar Petanian sesuai analisis mempengaruhi pembangunan pertanian pada nilai parameter sebesar -0.115. Artinya jika NTP meningkat sebesar 1 % maka akan menurunkan pembangunan pertanian sebesar 0.115 %. Hasil ini diasumsikan bahwa PDRB pertanian yang dikorelasikan dengan NTP hanya menunjukkan tingkat perekonomian secara makro, atau dalam kata lain nilai NTP bukan merupakan penyumbang dominan terhadap PDRB pertanian. Sehingga ketika tingkat kesehahteraan petani meningkat, maka tidak memberikan dampak yang postif terhadap peningkatan PDRB pertanian.
48 Sunendar (2012 ), dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa selama kurun waktu 2008-2011, subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB sektor pertanian, namun pada kenyataannya nilai indeks NTP yang diterima para petani subsektor tanaman pangan adalah paling rendah. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi pada sektor pertanian, tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Keadaan tersebut, juga bisa diakibatkan karena adanya berbagai kebijakan pertanian di Indonesia yang masih memfokuskan terhadap peningkatan jumlah produksi, tanpa memperhatikan tingkat kesejahteraan petani. Syekh (2013) dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa NTP yang diterima oleh para petani berhubungan erat dengan luas dan kepemilikan lahan, artinya para petani penggarap hanya akan mendapatkan hasil yang kecil, dibandingkan dengan petani pemilik lahan. Analisis Keterkaitan antara Penduduk Miskin terhadap Pembangunan Pertanian Angka penduduk miskin yang dipergunakan dalam analisis ini adalah penduduk miskin yang tinggal di pedesaan. Dengan dasar alasan bahwa sebagian besar atau hampir keseluruhan petani yang ada di Indonesia tinggal di pedesaan. Berdasarkan hasil penelitian Yudhoyono (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai upaya mengatasi kemiskinan dan pengangguran : Analisis ekonomi-politik kebijakan fiskal” mengungkapkan bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran lebih parah terjadi di perdesaan dibandingkan di perkotaan, salah satu strategi penanggulangannya adalah melalui pembangunan yang difokuskan pada pertanian dan perdesaan, melalui kebijakan fiskal yang secara langsung berpengaruh terhadap pembangunan pertanian. Dari analisis diperoleh hasil bahwa penduduk miskin mempengaruhi pembangunan pertanian secara nyata dan signifikan di nilai keofisien parameter sebesar -0.711608. Artinya jika penduduk miskin meningkat sebesar 1%, maka akan menurunkan pembangunan pertanian sebesar 0.711%. Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian Murohman (2014) bahwa pengembangan sektor pertanian efektif mengurangi jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat, karena sektor pertanian dapat menyerap tenaga kerja yang banyak dan juga memberikan pendapatan bagi penduduk miskin. Sejalan dengan hasil diatas Siregar dan Wahyuniarti (2008) menyatakan penurunan jumlah penduduk miskin signifikan terhadap peningkatan share sektor pertanian. Sedangkan Tjondronegoro (2006), berpendapat lain, yaitu penduduk yang berada di sektor pertanian pada umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber utama pendapatannya dari sektor-sektor lain, terutama industri dan perdagangan, kondisi ini diperburuk oleh semakin banyaknya areal pertanian yang berganti fungsi ke kegiatan-kegiatan non perertanian, karena pemusatan kepemilikan tanah oleh pemodal besar yang hidup di perkotaan. Kondisi ini membuktikan bahwa, pembangunan sektor pertanian tidak berperan sepenuhnya terhadap penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Walaupun anggaran pembangunan pertanian setiap tahun di tiap wilayah rata-rata meningkat, namun dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat belum merata, hal ini diakibatkan salah satunya adalah kendala akses terhadap program-program yang tersedia. Menurut Hermantyo (2008), bahwa prasyarat bagi para petani dapat
49 melaksanakan pembangunan pertanian adalah adanya akses terhadap 1) kepemilikan tanah atau lahan, 2) proses produksi, 3) pasar dan 4) kebebasan, dan keempat aspek strategis tersebutlah yang saat ini masih menjadi kendala dalam pelaksanaan program pembangunan pertanian. Sejalan dengan penelitian tersebut, Yudhoyono (2004), mengungkapkan bahwa untuk mengurangi kemiskinan khususnya di perdesaan diperlukan kebijakan campuran (policy mix) antara pengeluaran pemerintah untuk pembangunan pertanian dan kebijakan pemerintah. Analisis Efektivitas Pengalihan Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap Pembangunan Pertanian Hasil dugaan parameter interaksi antara DAK dengan dummy, menunjukkan hasil analisis korelasi positif antara dana tugas pembantuan yang dialihkan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian, dengan nilai sebesar 0.0126827. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa pengalihan dana dari tugas pembantuan ke dana alokasi khusus adalah efektif. Dilihat dari hasil dummy pengalihan, menunjukkan hasil bahwa pengalihan anggaran pertanian dari TP ke DAK efektif dilakukan karena lebih berpengaruh terhadap pembangunan pertanian. Menurut hasil kajian (White Paper) dari Bappenas (2011), yang melihat sejauh mana capaian indikator pembangunan dari dana DAK yang dialokasikan ke setiap daerah, dengan PDRB sebagai indikator pertumbuhannya, diperoleh hasil bahwa dari dana DAK bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur dan lingkungan hidup, yang dialokasikan terlihat hanya DAK pertanian yang menunjukkan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil dari penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Sumedi (2013), yang menyatakan bahwa dampak dari desentralisasi fiskal yang dilakukan di Indonesia, menunjukkanmemiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan daerah, walaupun belum mampu mencapai tujuan yang dikehendaki. Dilihat dari proporsi anggaran yang diperuntukkan sektor pertanian dari tahun 2012-2014, pada tabel 13 berikut. Tabel 13 . Alokasi anggaran untuk fungsi pertanian periode tahun anggaran 20122014 (miliar rupiah) Tahun 2012 2013 2014
Sumber Dana Dekon dan TP 18 843.7 17 819.5 15408. 6
DAK 1 879.5 2 542.3 2 579.5
Sumber: Biro Perencanaan Kementan, data diolah
Tabel diatas menggambarkan tren alokasi anggaran untuk Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dari tahun 2012 – 2014 terdapat penurunan sebesar 18 %, sedangkan sebaliknya untuk anggaran Dana Alokasi Khusus dari tahun 2012-2014 terjadi peningkatan sebesar 37 %. Hal tersebut menggambarkan bahwa, alokasi anggaran untuk sektor pertanian lebih banyak dialokasikan untuk transfer daerah, dibandingkan dengan yang dialokasikan secara Tugas Pembantuan. Dari proporsi anggaran pada tabel tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa walaupun dana tugas pembantuan tersebut efektif terhadap pembangunan pertanian, tetapi anggaran dana alokasi khusus lebih berperan dan bermanfaat.
50 Pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus, yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2013, merupakan satu kebijakan yang diambil dengan alasan, masih terdapat ketimpangan dalam pembangunan pertanian di berbagai daerah, hal tersebut diakibatkan salah satunya adalah alokasi dana untuk pembangunan pertanian lebih banyak bersifat sentralistik (Tugas Pembantuan), sehingga daerah lebih banyak menerima alokasi anggaran dengan kegiatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, tanpa melihat kebutuhan dan kemampuan daerah tersebut. Berawal dari kondisi tersebut, maka diambil langkah kebijakan, yaitu dengan mengalokasikan anggaran pertanian dengan sistem desentralistik (transfer daerah), dengan sistem tersebut daerah lebih dapat mengelola anggaran yang dialokasikan sesuai dengan kebutuhan kegiatan di daerah, yang disesuaikan dengan prioritas nasional, dan diharapkan dengan adanya pengalihan tersebut pembangunan pertanian antar daerah lebih merata. Menurut hasil kajian (White Paper) dari Bappenas (2011), yang melihat alokasi DAK di berbagai bidang dari sisi kapasitas fiskal, diperolah hasil bahwa DAK bidang pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa DAK yang dialokasikan tersebut tidak akan berarti, apabila tidak diikuti dengan adanya kebijakan yang mengaturnya. Selain itu tepatnya informasi alokasi anggaran yang diterima oleh daerah juga penting, karena DAK adalah dana transfer daerah yang bersyarat dengan tujuan khusus dengan besaran dana (pagu) nya telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga daerah penerima DAK, sudah mendapatkan informasi besaran yang akan diterima, dan dapat menyiapkan alokasi dana pedamping minimal sebesar 10%, serta dana penunjang maksimal sebesar 10% dari alokasi dana yang akan diterima, yang dialokasikan dari APBD. Nuruda (2014) dalam hasil penelitiannya, menjelaskan bahwa alokasi dana dana tugas pembantuan berdasarkan persepsi pejabat eselon I Kementerian pertanian, masih terdapat ketidaksesuaian kewenangan. Dana tugas pembantuan sebesar Rp 4,60 triliun pada Kementerian Pertanian masih digunakan untuk urusan yang seharusnya seudah menjadi kewenangan daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhinya disebabkan oleh beberapa aturan dalam peraturan perundangan yang tidak konsisten dan mendukung pengalihan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan menjadi DAK. Sesuai dengan hasil penelitian terdahulu (Sumedi, 2003), pada sektor pertanian dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, maka kebijakan dan arah pembangunan sektor pertanian lebih banyak ditentukan oleh daerah, hal ini tentu saja menimbulkan peluang pengembangan komoditas, sesuai dengan potensi dan daya saing wilayah sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani dan pengentasan kemiskinan. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Simanjuntak (2015), yang menyatakan bahwa dengan adanya mekanisme desentralisasi akan membuat manajemen daerah bisa berkembang lebih baik, artinya dengan efektifnya pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus, memberikan ruang gerak bagi pemerintah daerah untuk lebih melihat, memahami dan mengakomodir kepentingan dari masyarakat semakin besar. Hasil penelitian yang menyatakan bahwa kebijakan pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus berjalan efektif, maka kebijakan pelaksanaan dana alokasi khusus di daerah perlu lebih ditekankan pada dana alokasi khusus
51 yang berperan terhadap pembangunan pertanian dengan prioritas untuk mendorong pencapaian standar pelayanan minimal (SPM) atau disebut dengan istilah (DAK-SPM). Formulasi alokasi DAK-SPM dianggap penting dalam rangka pendistribusian alokasi yang adil dan mencerminkan tujuan alokasi. Kajian menyangkut mekanisme DAK-SPM juga telah dilakukan Juanda, et al (2013), dengan kesimpulan bahwa DAK yang diprioritaskan untuk mendanai kegiatan pencapaian SPM dapat bersifat fisik (belanja modal) dan non fisik seperti belanja pegawai, barang dan jasa, bantuan sosial maupun hibah sepanjang dapat meningkatkan atau mempertahankan pencapaian setiap indikator SPM. Daerah yang layak mendapatkan DAK-SPM adalah daerah yang memenuhi persyaratan dari aspek kemampuan keuangan dan pencapaian SPM. Kemampuan keuangan ditunjukkan dengan Indeks Kemampuan Keuangan Daerahnya (IKKD) dibawah rata-rata nasional (IKKD<1), sedangkan pencapaian SPM ditandai oleh Indeks Pencapaian SPM. Dalam rangka megarah kepada pencapaian dana alokasi khusus yang dapat mendorong standar pelayanan minimal, maka diberlakukan kebijakan pengajuan dana alokasi khusus kepada kementerian teknis dilakukan melalui e-proposal. Dengan adanya e-proposal di Kementerian Pertanian, diharapakan dapat dibangun sistem bootom-up planning yang efektif dan efisien, dan mampu menjelaskan kebutuhan anggaran yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang ditargetkan, lengkap dengan daya dukung yang akurat dan legalitas dari dinas terkait. Dengan adanya sistem e-proposal ini dapat mempermudah urusan derah dengan pusat, dengan tujuan antara lain: (1) menjaring sebanyak mungkin usulanusulan dari daerah yang potensial untuk dikembangkan, mempercepat pengiriman data proposal dari seluruh kabupaten/kota dan provinsi (3) memperkuat peran SKPD provinsi sebagai koordinator mekanisme perencanaan satu pintu (4) mempercepat proses penilaian proposal oleh tim pusat (5) meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengalokasian anggaran pemerintah kabupaten/kota dan provinsi di seluruh Indonesia (6) mendukung upaya hemat barang persediaan (paperless)dan pengelolaan data base lebih baik (7) mendukung percepatan Reformasi Birokrasi dimana usulan-usulan dari daerah akan diproses di pusat dengan transparan dan akuntabel (Kementan, 2015).
52
SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka sesuai dengan tujuan penelitian disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Secara umum proses perencananaan dan pelaksanaan pengalihan tugas pembantuan ke dana alokasi khusus yang dilakukan di 32 propinsi adalah efektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya mekanisme pengalihan melalui transfer dana ke daerah, akan lebih memudahkan daerah dalam pengelolaan dana dan kegiatan, karena lebih sesuai dengan kebutuhan, potensi dan kapasitas masing-masing wilayah. Dana Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus sektor pertanian, pada 2. saat tidak terdapat pengalihan yaitu pada tahun 2012 dan 2014, berkorelasi positif terhadap pembangunan pertanian. Sedangkan dilihat dari nilai variabel tenaga kerja pertanian dan penduduk miskin yang ada di pedesaan, dimana masing-masing variabel berkorelasi negatif terhadap pembangunan pertanian. 3. Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus sektor pertanian yang dilakukan pada tahun 2013, adalah efektif terhadap pembangunan pertanian. Hal tersebut dapat dilihat dari pengaruh Dana Alokasi Khusus lebih tinggi setelah dilakukan pengalihan. Sehingga apabila proses pengalihan Dana Alokasi Khusus, dilakukan secara terus menerus, diharapkan pembangunan pertanian semakin merata, serta kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pertanian dapat tercapai. Implikasi Kebijakan 1.
2.
3.
Pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus yang berjalan dengan efektif, dapat dijadikan acuan kebijakan bahwa proses pengalihan tersebut dapat dilanjutkan, dan tidak hanya dilakukan di kementerian pertanian saja, tetapi juga dapat dilakukan di kementerian teknis lainnya yang masih mengalokasikan kegiatan dengan dana Tugas Pembantuan. Dana pendamping sebaiknya tidak diperlukan, karena akan memberatkan daerah serta perlu adanya sinkronisasi semua program kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang relevan, sehingga tidak terjadi penganggaran pada objek yang sama. Kebijakan pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus, perlu diikuti dengan kebijakan peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia serta peningkatan kualitas kelembagaan di daerah, sebagai salah upaya dalam mendukung kebijakan tersebut, sehingga proses pengalihan dapat tetap dilanjutkan. Selain itu perlu juga dilakukan pendekatan pengalihan yang fokus pada target output dan outcome yang berperan terhadap pembangunan pertanian dengan prioritas untuk mendorong pencapaian standar pelayanan minimal (SPM) atau disebut dengan istilah (DAK-SPM) melalui mekanisme e- proposal yang dibangun dengan sistem bottom om planinng, sehingga agar terwujud pencapaian yang efektif.
53
DAFTAR PUSTAKA Abdurahmat. 2008. Efektivitas Organisasi. Edisi Pertama. Airlangga. Jakarta Alim, M. Nizarul., 2003. Efektivitas Perpaduan Komponen Anggaran dalam Prosedur Anggaran: Pengujian Kontinjensi Matching. VenturaVol. 6. No. 3, Desember: 317-328.Universitas Trunojoyo. Bangkalan Aráoz, Gonzalo Neyra. 2013. Decentralization in Peru. International Journal of Public Budget No 81 XLI . Maret / April 2013. http://www.asip.org. Arifin, Bustanul. 2005. Pembangunan Pertanian : Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta. PT. Grasindo Arifin, Bustanul. 2013.Ekonomi Pembangunan Pedesaan. IPB Press. Bogor Arifin, Bustanul. 2016. Reorientasi Pembangunan Pertanian. Harian Kompas Opini 11 Januari 2016) . Jakarta Azmiardi. 2011. Efektivitas Penyusunan Dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Berdasar Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005. [skripsi] Universitas Hasanuddin. Makassar. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK). White Paper. Jakarta. Baltagi, Badi H. 2005. Economic Analysis of Panel Data. 3rd ed. John Wiley & Sons Ltd. Chihester. Bungin, Burhan. 2013. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi ( Formatformat kuantitatif dan kualitatif untuk studi Sosiologi, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen dan Pemasaran). Prenada Media Group. Jakarta Darsono. 2008. Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian Dengan Penekanan Pada Agroindustri di Indonesia.[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dewi. 2009. Perbedaan Efektif dan Efisiensi. Kajian.[Internet].[diunduh 2013 Desember 7]. Tersedia pada: http://dewi.students.undip.ac.id Djumhana, M. 2007. Hukum Perbankan Indonesia.PT Citra Aditya. Bandung Direktorat Jenderal Anggaran. 2008. Nota Keuangan dan APBN 2009. Kementerian Keuangan. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2009. Kebijakan Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Sosialisasi Rekomendasi Kementerian Keuangan. Jakarta. Ediana, I.W. 2006. Struktur Ekonomi Dan Kesempatan Kerja Sektor Pertaniandan Non Pertanian Serta KualitasSumberdaya Manusia Di Indonesia.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Harahap, SS. 2011. Teori Akuntansi. Rajawali Press. Jakarta. Harniati. 2008. Program Program Sektor Pertanian yang Berorientasi Penangggulangan Kemiskinan : Pengalaman Proyek Pembinanaan Peningkatan Pendapatan Petani-Petani Kecil (P4K) Sebagai Sebuah Model Penanggulangan Kemiskinan di Perdesaan. Prosisiding Seminar Nasional :
54 Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. ISBN:978-9793566-65-8. Departemen Pertanian. Haryanto. 2007. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Pertama. Universitas Diponegoro. Semarang. Hermantyo, A. I. 2008. Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Pendampingan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin di Sektor Pertanian (sebuah refleksi). Prosisiding Seminar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. ISBN:978-979-3566-65-8. Departemen Pertanian. Hidayat. 1986. Teori Efektivitas Dalam Kinerja Karyawan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Juanda, B. et al. 2014. Kajian Atas Indikator Standar Pelayanan Nasional (ISPN) di Bidang Layanan Publik Dasar Yang Relevan Dengan Pengalokasian DAK. Laporan Akhir Tim Asisten Desentralisasi Fiskal (TADF). Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Kementerian Keuangan. Juanda, B. 2009. Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya Terhadap Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Teori dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan.IPB Press.Bogor. Juanda, B.2009. Metodologi Penelitian Ekonomi Dan Bisnis.Edisi ke-2..IPB Press. Karyana, Ayi. 2012. Koordinasi Penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten Bangka. Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 20102014. Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP). 2012. Belanja Berkualitas Jadi Tema RAPBN 2013.Kajian.[Internet]. [diunduh 2013 September 11]. Tersedia pada: http://www.depkeu.go.id Kuncoro, H. 2004. Pengaruh Transfer Antar Pemerintah pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian Ekonomi Negara Berkembang. 9(1): 47-63. Kusuma, S. 2011. Efektivitas Bank Perkrediatn Rakyat (BPR) Dalam Rangka Membangun Ekonomi Kerakyatan di Daerah Pedesaan.Agritop.Jurnal IlmuIlmu Pertanian.Vol. 9 No 1.Juni 2011. ISSN:1963-2897.Bogor. Muchtar, M. 2012. Efektivitas Pelaksanaan Diklat Prajabatan Pada Badan Kepegawaian Pendidikan Dan Pelatihan Daerah Kab. Tana Toraja (Skripsi). Universitas Hasanuddin. Makasar. Murohman. 2014. Analisis Dampak Perubahan Alokasi Investasi Pemerintah Daerah Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Barat [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muslim, A. 2002. Structural Adjusment in Agriculture in Asia and The Pacific : Indonesia Asian Productivity Organization. Tokyo. Mutakin, et al. 2013. Efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) Dalam Menunjang Pembangunan Pertanian di Kecamatan Nagmbur Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Ilmu-Ilmu
55 Agribisnis (JIIA) volume 1 No 2. April 2013. ISSN : 2337-7070. Bandar Lampung. Nurridzki, Nanda. 2002. Peranan Pengeluaran Pembangunan Sektoral Pemerintah dan Modal Swasta Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Provinsi di Indonesia 1983 -1998. [Tesis].Universitas Indonesia.Depok . Nuruda, AR. 2014. Analisis Kesesuaian Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan pada Kementerian Pertanian. [Tesis]. Universitas Indonesia. Depok . Oktora, Beny Trias. 2011. Analisa Kajian Pelaksanaan, Kendala dan Saran Tindakan atas Pengalihan Quasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke DAK. Kajian.[Internet].[diunduh 2012 Desember 12]. Tersedia pada: http://benytriasoktora.com Patrianov, A.R. 2003. Kajian Efektivitas dan Efisiensi Alokasi Dana APBD Provinsi Riau bagi Pengembangan Ekonomi Rakyat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau.[Tesis]. Institut Pertanian Bogor.Bogor. Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.Jakarta. Priyarsono, DS. 2011. Dari Pertanian ke Industri: Analisis Pembangunan Dalam Perspektif Ekonomi Regional. IPB Press.Bogor. Pyndyck, R.S and D. L Rubenfield. 1991. Econometric Model and Economic Forecast. McGraw-Hill International Edition. Singapore Ravianto. 1989. Produktivitas dan Seni Usaha. PT. Binaman Teknika Aksara.Jakarta . Rusastra, et al. 2007. Kesejahteraan dan Pemikiran Penanggulangan Kemiskinan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 Nomor 1. ISSN : 1693-2021. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.Jakarta: Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Saragih, H. 2015. Target Pengentasan Kemiskinan 2015, Akar Masalah di Pertanian Pedesaan. Kajian [Internet] diunduh pada 8 Juni 2016. Tersedia pada : www.spi.or.id Sariasih, A. dan Adisasmito, W. 2007.Analisis Model Penetapan Dana Alokasi Khusus Non Dana Reboisasi Bidang Kesehatan Tahun 2005. Buletin Penelitian Kesehatan . 35 (1):1-14. ISSN: 0125-9695. EISSN: 2338-3453. Sarundjang, SH . 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Penerbit Sinar Pustaka. Jakarta. Siagian, S. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Simanjuntak, Kardin. 2015. Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan di Indonesia. Jurnal Bina Praja Volume 7 Nomor 3 Edisis Juni 2015: 111130. Kementerian Dalam Negeri. Jakarta Simatupang P, et al. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Bogor. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Singarimbun M. 2007. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta . Siregar H, Wahyuniarti D. 2008. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.Bogor .
56 Sugiyono.1984. Metode Penelitian Bisnis. CV Alfabeta.Bandung . Sumedi. 2003. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kesenjangan Antar Daerah dan Kinerja Perekonomian Nasional dan Daerah. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Sumedi. 2013. Dampak Dana Dekonsentrasi Kementerian Pertanian dan Pengeluaran Daerah pada Sektor Pertanian Terhadap Kinerja Pertanian Daerah. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 31 No 02. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor . Sunendar, A. 2012.Analisis Faktor_Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia (Periode Tahun 2008 2010). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Suparno.2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Supriyati. 2010. Dinamika Ekonomi Ketenagakerjaan Pertanian: Permasalahan dan Kebijakan Strategis Pengembangan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 Nomor 1. ISSN : 1693-2021. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor Suradisastra, K. 2006. Revitalisasi Kelembagaan untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 Nomor 4. ISSN: 1693-2021. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Bogor . Syekh, Sayid. 2013. Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi. Jurnal Bina Praja. Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013 : 253-260. Kementerian Dalam Negeri. Jakarta. Tjondronegoro, SMP. 2006. Kemiskinan dan Pembaruan Agraria. Harian Kompas. Opini 6 Maret 2006 . Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Utami, Zamrud. 2010. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Alokasi Belanja Daerah untuk Pendidikan Dasar dan Menengah di Kota Bekasi. [Tesis].Universitas Indonesia.Depok . Utomo, Tri Widodo. 2012. Telaah Normatif dan Empiris Tentang Implementasi Asas Dekonsentrasi di Indonesia.Jurnal Borneo Administrator. Volume 8 Nomor 3 : 254-420. Pusat Kajian Kebijakan LAN-RI. Jakarta. Wibowo, Puji. 2008. Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Jurnal Keuangan Publik. Volume 5 (1) : 5583. Jakarta . Yudhoyono, Susilo Bambang. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran Analisis Ekonomi Politik Kebijkaan Fiskal. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor . Yufrizal. 2014. Fenomena Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kajian Bappeda Kabupaten Solok Selatan.
57
Lampiran 1 Kuesioner
KUESIONER TENTANG PERSEPSI SKPD YANG MENANGANI FUNGSI PERTANIAN MENGENAI KAJIAN EFEKTIVITAS PENGALIHAN DANA TUGAS PEMBANTUAN KE DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN Sebagai bahan penelitian dalam rangka Penyusunan Tesis Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Perdesaan (PWD) Fakultas Ekonomi Manajemen - Institut Pertanian Bogor
1.
2. 1.
Identitas Responden Nama
:
Instansi
:
Propinsi
:
Petunjuk Pengisian Kuesioner Bacalah terlebih dahulu secara cermat setiap pertanyaan atau pernyataan sebelum saudara menjawab.
2.
Jawablah setiap pertanyaan atau pernyataan dengan memberikan tanda cek (√) pada kolom di salah satu alternatif jawaban, yang saudara anggap sesuai.
3.
Apabila saudara merasa memberikan jawaban yang salah, maka berikan tanda sama dengan (=) pada jawaban tersebut, selanjutnya berikan tanda cek (√) pada kolom di salah satu alternatif jawaban lain yang saudara anggap sesuai.
4.
Jawablah dengan jujur dan teliti.
5.
Setelah angket diisi lengkap, mohon diserahkan kepada kami,
58 Terima Kasih. 1.
Apakah anggaran yang dialokasikan untuk Tugas Pembantuan, sudah dirakasan berdampak efektif terhadap peningkatan produksi dan produktivitas terhadap pencapaian swasembada ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
2.
Dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran Tugas Pembantuan di daerah, apakah lebih dirasakan efektif peruntukkannya untuk mendanai kegiatan yang bersifat fisik ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
3.
Dalam pelaksanaan pengelolaan anggaranTugas Pembantuan di daerah, apakah lebih dirasakan efektif peruntukkannya untuk mendanai kegiatan yang bersifat habis pakai ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
4.
Dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran di daerah Saudara, apakah dana Tugas Pembantuan dirasakan lebih efektif pengelolaannya dibanding dengan Dana Alokasi Khusus ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
59 5.
Apakah anggaran yang dialokasikan untuk Dana Alokasi Khusus, sudah dirakasan berdampak efektif terhadap peningkatan produksi dan produktivitas terhadap pencapaian swasembada ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
6.
Apakah anggaran yang dialokasikan untuk Dana Alokasi Khusus, sudah dirakasan berdampak efektif terhadap peningkatan produksi dan produktivitas terhadap pencapaian swasembada ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
7.
Apakah kegiatan dari Dana Alokasi Khusus yang dialokasikan ke daerah Saudara, sudah efektif sesuai dengan tugas dan fungsinya ?
Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
8.
Apakah anggaran dari Dana Tugas Pembantuan, yang dialokasikan ke Daerah Saudara, sudah dapat dianggap efektif dan sesuai dengan perencanaan ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
60 9.
Apakah kegiatan dari Tugas Pembantuan yang dialokasikan ke daerah Saudara, sudah efektif sesuai dengan tugas dan fungsinya ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
10.
Apakah kegiatan yang didanai oleh Dana Alokasi Khusus dirasa efektif, untuk pembangunan pertanian di daerah ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
11.
Apakah jenis kegiatan pilihan yang diakomodir oleh Dana Alokasi Khusus di bidang pertanian, dianggap efektiv dan sesuai dengan kegiatan prioritas dan kebijakan daerah ? Ragu - ragu
Sangat efektif Efektif
Tidak Efektif Kurang Efektif
12.
Apakah pengalihan dana dari Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus efektiv terhadap kebijakan pembangunan pertanian di instansi Saudara ? Sangat efektif Efektif Kurang efektif
Ragu - ragu Tidak efektif
61 13.
Apakah pedoman pelaksanaan Tugas Pembantuan, yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian dirasakan efektif dan dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
14.
Apakah kegiatan yang berasal dari Dana Alokasi Khusus, dan dialokasikan ke kabupaten/kota dianggap sudah efektif dan sesuai dengan juknis pemanfaatan DAK pertanian ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
15.
Apakah kegiatan yang berasal dari Dana Alokasi Khusus, dan dialokasikan ke propinsi dianggap sudah efektif dan sesuai dengan juknis pemanfaatan DAK pertanian ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
16. Menurut Saudara, dengan adanya petunjuk pelaksanaan kegiatan, apakah justru membuat pelaksanaan kegiatan pertanian menjadi efektif atau tidak ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
62 17. Apakah sumber daya manusia di instansi Saudarasudah mengelolaanggaran dan kegiatan yang dialokasikan secara efektif? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
18.
Dalam rangka adanya pengalihan Dana Alokasi Khususdari Tugas Pembantuan, apakah instansi saudara didukung oleh sumber daya manusia yang paham dan berkualitas dalam hal tersebut ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektiv
Tidak Efektif
Kurang Efektif
19.
Apakah kelembagaan (SKPD) saudara di daerahsudah efektif dalam mengelola anggaran pertanian (APBN maupun dana transfer daerah) yang diperoleh, sesuai dengan pertauran/kebijakan yang berlaku ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
20.
Apakah DAK pertanian yang dialokasikan ke Daerah sudah dikelola secara efektiv oleh SKPD yang berkepentingan menangani tugas dan fungsi pertanian ? Sangat efektif
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang Efektif
63 21.
Apakah instansi di tempat Saudara mendukung pengalihan dana pembagunan pertanian dari Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Sangat mendukung
Ragu - ragu
Efektif Tidak Efektif Kurang mendukung 22.
Apakah DAK pertanian yang dialokasikan ke Daerah sudah dikelola secara efektiv oleh SKPD yang berkepentingan menangani tugas dan fungsi pertanian ? Sangat sesuai
Ragu - ragu
Sesuai sesuai Kurang sesuai
64
Lampiran 2. Hasil Jawaban Kuesioner Variabel Anggaran No
Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jambi Riau Bengkulu Kep. Riau Bangka Belitung Bandar Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Utara Bali NTT NTB Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
1 X1 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 5 5 4 4
2 X2 4 4 4 4 4 3 5 4 3 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4
3 X3 3 3 1 3 4 3 1 1 4 1 1 1 3 4 4 1 4 4 4 1 3 4 3 4 3 3 1 3 3 3 3 4
ANGGARAN 4 5 X4 X5 4 3 5 1 4 3 4 4 3 3 4 4 3 5 1 4 4 3 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4 4 3 4 2 3 1 4 4 4 4 4 4 4 3 4 2 4 2 5 4 4 3 4 3 5 4 5 1 4 4 4 4 1 1 4 3
6 X6 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 3 4 5 4 4 4 1 4 5 4 3 3 4 5 3 3 4 1 5 4 1 3
7 X7 4 3 3 4 3 4 5 4 4 3 3 4 5 4 4 4 1 4 5 4 3 4 3 3 2 3 4 1 5 4 3 3
8 X8 4 1 3 4 3 4 4 4 4 3 3 4 5 4 4 4 2 4 3 4 3 5 4 4 3 3 5 4 3 3 1 3
65
Lampiran 3. Hasil Jawaban Kuesioner Variabel Kegiatan No Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jambi Riau Bengkulu Kep. Riau Bangka Belitung Bandar Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Utara Bali NTT NTB Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
9 X9 4 3 2 3 4 4 4 4 3 4 3 4 4 2 3 4 2 4 5 4 4 4 3 4 4 4 3 1 4 3 1 3
KEGIATAN 10 11 X10 X11 3 4 3 3 4 4 3 3 4 4 3 1 3 4 3 3 3 3 4 4 3 4 4 4 3 3 4 3 4 4 3 4 2 2 3 3 5 4 3 2 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 4 5 3 4 4 4 3 4
12 X12 4 4 3 3 5 3 4 4 3 5 4 4 4 2 5 4 4 2 2 4 5 4 3 5 3 4 5 3 4 3 1 3
66
Lampiran 4. Hasil Jawaban Kuesioner Variabel Pedoman No Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jambi Riau Bengkulu Kep. Riau Bangka Belitung Bandar Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Utara Bali NTT NTB Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
13 X13 4 4 2 3 3 4 4 4 3 4 4 4 3 2 3 4 4 4 2 5 4 4 3 4 1 4 3 1 4 3 3 3
PEDOMAN 14 15 X14 X15 4 4 4 2 4 3 4 3 5 3 1 3 3 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 3 2 4 4 4 4 2 2 3 4 3 2 3 2 4 4 4 4 4 3 4 4 4 1 4 2 4 3 4 3 5 5 4 3 3 4 4 3
16 X16 3 3 3 3 5 3 4 4 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 3 3 5 3 3 3
67
Lampiran 5. Hasil Jawaban Kuesioner Variabel Sumber Daya Manusia No
SDM Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jambi Riau Bengkulu Kep. Riau Bangka Belitung Bandar Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Utara Bali NTT NTB Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
17 X17 3 3 3 3 2 3 4 3 3 4 4 4 3 2 4 3 4 2 2 3 4 4 3 4 3 3 3 3 4 3 1 3
18 X18 4 3 3 3 1 4 4 4 3 4 4 4 3 2 4 4 2 4 3 4 4 4 3 5 1 3 3 1 3 3 1 3
68 Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi Panel . xtreg y x1 x2 x3 x4 x6 d , re sa Random-effects GLS regression Group variable: prov
Number of obs Number of groups
= =
96 32
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
within = 0.6223 between = 0.8589 overall = 0.8586
corr(u_i, X)
Wald chi2(6) Prob > chi2
= 0 (assumed)
y
Coef.
Std. Err.
z
x1 x2 x3 x4 x6 d _cons
.0208247 .0134684 1.131567 -.1154004 -.0711608 .0126827 8.094914
.0062796 .0050021 .0916445 .0537438 .0366571 .007444 1.217413
sigma_u sigma_e rho
.40767175 .02170754 .99717271
(fraction of variance due to u_i)
3.32 2.69 12.35 -2.15 -1.94 1.70 6.65
P>|z| 0.001 0.007 0.000 0.032 0.052 0.088 0.000
= =
217.44 0.0000
[95% Conf. Interval] .0085169 .0036644 .9519467 -.2207362 -.1430073 -.0019072 5.708828
.0331326 .0232723 1.311187 -.0100645 .0006858 .0272726 10.481
69