Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
Kajian Deiksis dalam Cerita Bersambung Getih Sri Panggung Karya Kukuh S.Wibowo Panjebar Semangat Edisi 23 Maret – 29 Juni 2013 Oleh: Bastian Triadi Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Jawa
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan: 1) mendeskripsikan jenis dan bentuk deiksis yang terdapat dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo, 2) mendeskripsikan pengacuan deiksis yang terdapat dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo Panjebar Semangat. Analisis data menggunakan metode analisis konten. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penggunaan deiksis dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo. 1) Jenis dan bentuk deiksis yang ditemukan meliputi a) deiksis persona meliputi: deiksis persona pertama tunggal: klitika -ku ‘-ku’ (enklitik), dan dak- ‘ku-‘ (proklitik); kata aku ‘aku’, kene ‘sini’, dan kula ‘saya’, deiksis persona pertama jamak: kata kene ‘sini’ dan kita ‘kita’; frasa awake dhewe ‘diri kita’ dan kita sedaya ‘kita semua’. Deiksis persona kedua tunggal: klitika kok- ‘kau’(proklitik) dan –mu ‘-mu’ (enklitik); kata kowe ‘kamu’, mang ‘anda’, kok ‘kau’, sampeyan ‘anda’, sliramu ‘kamu’, dan panjenengan ‘anda’, deiksis persona kedua jamak kowe sakeloron ‘kamu berdua’; deiksis persona ketiga tunggal, yaitu berupa klitika –e ‘-nya’ dan –ipun ‘nya’; kata dheweke ‘dia’, kana ‘sana’, piyambake ‘dirinya’, piyambakipun ‘dirinya’, panjenengane ‘beliau’, dan panjenenganipun ‘beliau’; b) deiksis waktu: deiksis waktu saiki ‘sekarang’, wau ‘tadi’, kapungkur ‘silam’, sesuk ‘besok’, mangke ‘nanti’, dina iki ‘hari ini’, bengi iki ‘malam ini’, dalu menika ‘malam ini’, mentas wae ‘baru saja’, enjing kalawau ‘tadi pagi’, biyen kae ‘dulu’, nalika semana ‘pada saat itu’, kala semanten ‘pada saat itu’, nalika semanten ‘pada saat itu’, dan ewasemanten ‘pada saat itu’; c) Deiksis tempat: tempat kene ‘sini’, kono ‘situ’, kana ‘sana’, mrene ‘ke sini’, mrana ‘ke sana’, mriki ‘ke sini’, mriku ‘ke situ’, ngriki ‘sini’, dan ngrika ‘sana’. 2) Pengacuan yang ditemukan berupa pengacuan endofora (anafora dan katafora) dan eksofora pada pengacuan persona, waktu, dan tempat. Kata kunci : deiksis, cerita bersambung Getih Sri Panggung
Pendahuluan Manusia dalam hidupnya hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Setiap anggota masyarakat selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik sebagai komunikator (penutur atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra tutur, penyimak, pendengar, atau pembaca). Sumarlam (2010: 10) membedakan sarana komunikasi menjadi dua macam, (1) sarana komunikasi berupa bahasa lisan dan (2) sarana komunikasi berupa bahasa tulis. Dari definisi tersebut Sumarlam menerangkan bahwa wacana atau tuturan juga dibagi menjadi dua macam, yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Bentuk wacana lisan berupa khotbah, pidato, dan iklan yang disampaikan Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
81
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
secara lisan. Sementara itu, bantuk wacana tulis dapat ditemukan berupa buku-buku teks, surat, koran, majalah, dan naskah-naskah kuna. Majalah Panjebar Semangat adalah salah satu bentuk wacana tulis berbahasa Jawa yang diterbitkan setiap minggu sekali. Seiring diterbitkannya majalah Panjebar Semangat, menjadi salah satu usaha dalam rangka melestarikan keberadaan bahasa Jawa. Majalah tersebut memuat berbagai macam ilmu pengetahuan, berita, serta menyediakan sarana untuk menuangkan kreatifitas menulis seperti sastra prosa yang dikemas menggunakan bahasa Jawa. Sastra prosa yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat di antaranya cerita bersambung, cerita rakyat, dongeng, cerita pendek, dan pedhalangan. Cerita bersambung memanfaatkan media bahasa tulis dalam rangka menyampaikan pesan-pesan, pelukisan alur, tokoh, atau setting, serta unsur intrinsik lainnya kepada pembaca. Lebih lanjut pada bagian penyampaian tokoh dan setting terdapat kata-kata yang butuh penafsiran lebih
untuk dapat mengetahui siapa tokoh yang sedang
dibicarakan, tempat kejadian yang sedang dibahas, serta kapan kejadian dalam cerita tersebut berlangsung. Upaya untuk menganalisis gejala tersebut adalah melalui analisis deiksis. Salah satu karya sastra prosa berbahasa Jawa yang di dalamnya memunculkan berbagai bentuk deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu adalah cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat edisi 23 Maret – 29 Juni 2013. Penulis tertarik untuk menganalisis deiksis dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung dengan alasan sebagai berikut. (1) Dari segi isi cerita, dibandingkan dengan karya sastra prosa lain (cerbung, roman, atau novel) yang kebanyakan menceritakan tentang kehidupan sosial biasa atau kehidupan percintaan, pada cerita bersambung Getih Sri Panggung menceritakan tentang kasus pembunuhan seorang sri panggung yang penuh dengan teka-teki serta dugaan-dugaan dalam memecahkan kasus yang melibatkan banyak tokoh. Oleh karena itu cerita bersambung tersebut memacu rasa penasaran yang tinggi bagi pembaca khususnya peneliti. (2) Pada cerita bersambung Getih Sri Panggung terdapat banyak tokoh dan setting (tempat maupun waktu) yang menyebabkan banyak munculnya penggunaan klitika, kata, maupun frasa yang mengandung sifat deiksis pada percakapan antar
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
82
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
tokoh cerita. Setiap klitika, kata, maupun frasa yang mengandung sifat deiksis tersebut dalam penggunaannya memiliki jenis, bentuk, dan pengacuan yang berubah-ubah tergantung pada siapa yang menjadi penutur, mitratutur, orang yang dituturkan, dan tempat di mana tuturan tersebut digunakan (dekat dengan penutur, agak jauh dari penutur, maupun jauh dari penutur), serta kapan waktu yang ditujukan oleh penutur saat hal yang ditunjuk terjadi (waktu kini, silam, dan yang akan datang). Di sisi lain banyak pembaca yang belum paham mengenai hal tersebut. Dengan demikian cerita bersambung Getih Sri Panggung perlu dikaji dari segi deiksis. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti sangat tertarik untuk menganalisis cerita bersambung Getih Sri Panggung dari segi deiksis. Alasan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah banyak makna deiksis yang belum diungkapkan secara lebih mendalam, sehingga masih banyak pembaca belum mengerti dan kesulitan dalam memahami deiksis yang terdapat dalam cerbung Getih Sri Panggung. Oleh sebab itu, peneliti memilih judul penelitian “Kajian Deiksis dalam Cerita Bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo Panjebar Semangat edisi 23 Maret – 29 Juni 2013”. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, yakni “penelitian yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategorinya untuk memperoleh kesimpulan” (Ismawati, 2011: 112). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif karena data yang diteliti dan dikaji berupa klitika, kata, maupun frasa yang memiliki sifat deiksis beserta acuan (referensi) dan pengacuannya yang terdapat dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo Panjebar Semangat edisi 23 Maret – 29 Juni 2013. Pada penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti sendiri yang berperan sebagai intrumen utama penelitian, yaitu sebagai intrumen pengumpul sekaligus penganalisis data. Pada pengumpulan data penelitian peneliti menggunakan nota pencatat data dan dibantu dengan instrumen lain berupa alat tulis, buku tentang deiksis, dan kamus Jawa – Indonesia. Kemudian, teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik pustaka dan teknik catat. Selanjutnya, dalam menganalisis data penelitian peneliti menggunakan teknik analisis konten. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
83
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
Hasil Penelitian 1. Jenis dan Bentuk Deiksis yang terdapat dalam Cerita Bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo a. Deiksis Persona Jenis deiksis persona terdiri dari deiksis persona pertama, deiksis persona kedua, dan deiksis persona ketiga. Dari ketiga jenis deiksis persona tersebut terdapat deiksis persona yang memiliki bentuk terikat (klitika) dan bentuk bebas (kata dan frasa) baik persona tunggal maupun jamak. (1) Deiksis persona pertama tunggal bentuk terikat (klitika) yang ditemukan berupa proklitik dak‘ku-’ dan enklitik –ku ‘-ku’. Pada deiksis persona pertama tunggal bentuk bebas yang ditemukan yaitu kata aku ‘aku’ dan kula ‘saya’. Kemudian, deiksis persona pertama jamak yang ditemukan hanya dalam bentuk bebas (kata dan frasa) yaitu kene ‘sini’, awake dhewe ‘kita’, kita ‘kita’, dan kita sedaya ‘kita semua’. (2) Deiksis persona kedua tunggal bentuk terikat yang ditemukan berupa proklitik kok- ‘kau/ kamu’ dan enklitik –mu ‘-mu’. Pada deiksis persona kedua tunggal bentuk bebas yang ditemukan yaitu kowe ‘kamu’, mang ‘kamu’, kok ‘kau’, sampeyan ‘kamu’, sliramu ‘kamu’, dan panjenengan ‘anda’. Selanjutnya, deiksis persona kedua jamak hanya ditemukan dalam bentuk bebas yaitu kowe sakeloron ‘kalian berdua’. (3) Deiksis persona ketiga tunggal bentuk terikat yang ditemukan berupa enklitik –e ‘-nya’ dan –ipun ‘-nya’. Pada deiksis persona ketiga bentuk bebas yang ditemukan yaitu kata dheweke ‘dia’, kana ‘sana’, piyambake ‘dirinya’, piyambakipun ‘dirinya’, panjenengane ‘beliau’, dan panjenenganipun ‘beliau’. Berikut ini diambil contoh hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan deiksis persona. 1) Deiksis Persona Pertama Tunggal bentuk terikat “Dak-” a)
Konteks
: Pamungkas memuji Setyawan karena apa yang Pamungkas dengar dulu memang benar, bahwa detektif Setyawan orangnya santun.
Indikator
: Pamungkas kaget. Setyawan disawang permana…. “Hehehe… Yen ngono cocog karo kabar sing tau dakkrungu menawa Detektif Setyawan mono
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
84
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
wonge anoraga….” Terjemahan:
Sumber
Pamungkas kaget. Setyawan dilihat sempurna…. ‘Hehehe… Kalau seperti itu cocok dengan kabar yang pernah kudengar kalau Detektif Setyawan itu orangnya santun….’ : (PS/ No.14/ 6.4.2013/ H20/ Data No. 38)
b) Konteks
: Hardjono mengajak Pamungkas dan Gunaryo untuk mendatangi makam Sandipala.
Indiktor
: Hardjono manthuk…. “Nekani kubure Sandipala. Ayo dakterake mrana!” Tejemahan: Hardjono mengangguk…. ‘Mendatangi kuburannya kuantarkan ke sana!’
Sumber
Sandipala.
Ayo
: (PS/ No.22/ 1.6.2013/ H20&47/ Data No. 44)
Pada data 1) memperlihatkan penggunaan deiksis persona pertama tunggal bentuk terikat dak- ‘ku-’ yang termasuk bentuk proklitik dari kata aku ‘aku’. Penggunaan bentuk deiksis persona dak- ‘ku-‘ biasanya digunakan dengan diikuti leksem verba yang menyatakan suatu tindakan, baik yang sudah dilakukan maupun yang belum dilakukan oleh penutur. Sebagaimana terlihat pada tuturan data (1a), proklitik dak- ‘ku-‘ diikuti dengan kata krungu ‘dengar’ menjadi dakkrungu ‘kudengar’ yang apabila memperhatikan konteks kalimatnya merupakan suatu tindakan yang telah dilakukan oleh penutur, yaitu ketika penutur (Pamungkas) bercerita pada mitra tutur (Setyawan) saat penutur (Pamungkas) pernah mendengar kabar bahwa detektif Setyawan orang yang santun. Berbeda dengan data (1b) terdapat proklitik dak ‘ku-‘ diikuti dengan kata terake ‘antar’ menjadi dakterake ‘kuantar’ yang konteks kalimatnya menunjukkan suatu tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, yaitu ketika penutur (Hardjono) berniat untuk mengajak mitra tutur (Pamungkas) mengantarkan ke makam Sandipala. Bertumpu pada tuturan dan konteks tuturan, kata dak ‘ku- ‘ pada data (1a) mengacu pada nama
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
85
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
Pamungkas, sedangkan pada data (1b) kata dak- ‘ku-‘ mengacu pada tokoh Hardjono. b. Deiksis Waktu Bentuk deiksis waktu yaitu deiksis waktu saiki ‘sekarang’, wau ‘tadi’, kapungkur ‘silam’, sesuk ‘besok’, mangke ‘nanti’, dina iki ‘hari ini’, bengi iki ‘malam ini’, dalu menika ‘malam ini’, mentas wae ‘baru saja’, enjing kalawau ‘tadi pagi’, biyen kae ‘dulu’, nalika semana ‘pada saat itu’, kala semanten ‘pada saat itu’, nalika semanten ‘pada saat itu’, dan ewasemanten ‘pada saat itu’. Kategori deiksis waktu saiki ‘sekarang’, dina iki ‘hari ini’, bengi iki ‘malam ini’, dan dalu menika ‘malam ini’ mengarah pada waktu saat tuturan terjadi. Kemudian, deiksis waktu dan mangke ‘nanti’ mengarah pada hal yang akan terjadi atau mengarah pada waktu setelah tuturan terjadi. Deiksis waktu sesuk ‘besok’ digunakan dalam tuturan yang mengarah pada waktu yang akan datang (hari yang akan datang atau lusa). Deiksis waktu wau ‘tadi’, enjing kalawau ‘tadi pagi’, dan kapungkur ‘silam’ mengarah pada hal yang telah terjadi belum lama dari jarak waktu tuturan (masih dalam hitungan jam) atau pada waktu sebelum tuturan terjadi. Deiksis waktu mentas wae ‘baru saja’ mengarah pada hal yang baru saja terjadi atau pada waktu sebelum tuturan terjadi. Selanjutnya, deiksis waktu yang mengarah pada hal yang telah terjadi pada waktu lampau adalah biyen kae ‘dulu’, nalika semana ‘pada saat itu’, kala semanten ‘pada saat itu’, dan ewasemanten ‘pada saat itu’. Berikut ini diambil satu contoh hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan deiksis waktu. 1) Deiksis Waktu “Mentas Wae” Konteks
: Pamungkas mengatakan pada Ulupi bahwa baru saja terjadi pembunuhan di Taman Panglipur.
Indikator
: “Mba Ulupi, mentas wae dumadi rajapati….” Terjemahan: ‘Mba Ulupi, baru saja terjadi pembunuhan….’
Sumber
: (PS/ No.15/ 13.4.2013/ H20/ Data No. 167)
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
86
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
Pada data 1) menunjukkan penggunaan deiksis waktu mentas wae ‘baru saja’. Frasa mentas wae ‘baru saja’ digunakan dalam tuturan yang mengacu pada waktu yang baru saja terjadi (sebelum tuturan). Dengan memperhatikan situasi tuturan pada data 1), dapat diperoleh keterangan bahwa frasa mentas wae ‘baru saja’ dituturkan oleh tokoh Pamungkas (penutur) saat berkata pada tokoh Ulupi (mitra tutur) bahwa baru saja terjadi kasus pembunuhan di Taman Panglipur. Frasa mentas wae ‘baru saja’ pada tuturan data 1) tersebut mengacu pada hal yang terjadi baru saja yaitu waktu terjadinya pembunuhan. c. Deiksis Tempat Bentuk deiksis tempat yaitu deiksis tempat kene ‘sini’, kono ‘situ’, kana ‘sana’, mrene ‘ke sini’, mrana ‘ke sana’, mriki ‘ke sini’, mriku ‘ke situ’, ngriki ‘sini’, dan ngrika ‘sana’. Deiksis tempat kene ‘sini’, mriki ‘ke sini’, dan ngriki ‘sini’’ mengarah pada suatu tempat yang dekat dengan penutur. Kemudian, deiksis tempat kono ‘situ’ dan ngriku ‘situ’ mengarah pada suatu tempat yang agak jauh dari penutur. Selanjutnya, deiksis tempat kana ‘sana’, mrana ‘ke sana’ dan ngrika’sana’ mengarah pada suatu tempat yang jauh dari penutur. Berikut ini diambil satu contoh hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan deiksis tempat. 1) Deiksis Tempat “Ngriki” Konteks
:
Hirno bercerita pada Wicitra dan Setyawan bahwa korban pembunuhan di Gubeng bernama Mursidi sempat bertemu dengan Hirno di Taman Panglipur Surabaya pada saat malam pentas ketoprak.
Indikator :
Mobil loro mlebu kompleks Taman Panglipur Surabaya saka regol kulon…. “…. Sebab Mursidi niku dhek wau ndalu dugi ngriki….” Terjemahan: Dua mobil masuk kompleks Taman Panglipur Surabaya dari gerbang barat…. ‘Sebab Mursidi itu tadi malam sampai sini….’
Sumber
:
(PS/ No.17/ 27.4.2013/ H19/ Data No. 198)
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
87
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
Pada data 1) menunjukkan penggunaan deiksis tempat ngriki ‘sini’. Kata ngriki ‘sini’ termasuk bentuk variasi dari kata kene ‘sini’ pada penggunaan tuturan dalam ragam bahasa Jawa krama. Dengan memperhatikan konteks dan situasi tuturan, dapat diperoleh keterangan bahwa kata ngriki ‘sini’ pada data 1) dituturkan oleh tokoh Hirno (penutur) saat bercerita pada Wicitra dan Setyawan bahwa korban pembunuhan di Gubeng bernama Mursidi sempat bertemu dengan tokoh Hirno di Taman Panglipur Surabaya, yaitu pada saat malam pentas ketoprak. Kata ngriki ‘sini’ pada data 1) tersebut mengacu pada tempat (dekat) di mana penutur (Hirno) berada yaitu Taman Panglipur Surabaya.
2. Pengacuan dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S.Wibowo Pengacuan terdiri dari pengacuan endofora dan eksofora. Pengacuan endofora memiliki dua jenis yakni anafora dan katafora, pengacuan tersebut ditemukan dalam penggunaan deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis tempat. (1) Deiksis persona, ditemukan banyak nama tokoh yang menjadi acuan, yaitu Setyawan, Pamungkas, Wicitra, Hardjono, Murdanu, Gunaryo, Hirno, Ulupi, Praharsini, Mursidi, Aseng Santoso, Bandiyah, Sadurja, Sandipala, Mintaraga, Prayitno, John, Ninik, Pekik, dan Pak Praba. (2) Deiksis waktu, hanya ditemukan pada kata ewasemanten ’pada saat itu’ yang mengacu pada taun 1930-an ‘tahun 1930-an’ dan pada kata kala semanten ‘pada saat itu’ yang mengacu pada taun 1945 ‘tahun 1945’. (3) Deiksis tempat, ditemukan banyak tempat yang menjadi acuan, yaitu kursi larikan buri dhewe ‘kursi barisan paling belakang’, Taman Panglipur Surabaya, teras ‘teras’, kursi empuk sing adhep-adhepan karo mejane Pamungkas ‘kursi empuk yang berhadap-hadapan dengan mejanya Pamungkas’, omah cakrik lawas ‘rumah model lama’, omah ‘rumah’, pesareyan ‘makam’, kios ‘kios’, tilase diskotik ‘bekas diskotik’, akhirat ‘akhirat’, Irian Jaya, dan Polsek Tambaksari. Selanjutnya, pada pengacuan eksofora juga ditemukan dalam penggunaan deiksis waktu dan deiksis tempat. (1) Deiksis waktu, banyak ditemukan deiksis yang memiliki acuan di luar wacana yaitu saiki ‘sekarang’, wau ‘tadi’, kapungkur ‘silam’, sesuk ‘besok’,
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
88
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
mangke ‘nanti’, dina iki ‘hari ini’, bengi iki ‘malam ini’, dalu menika ‘malam ini’, mentas wae ‘baru saja’, enjing kalawau ‘tadi pagi’, biyen kae ‘dulu’, nalika semana ‘pada saat itu’,dan nalika semanten ‘pada saat itu’. (2) Deiksis tempat, ditemukan satu data deiksis yang memiliki acuan di luar wacana yaitu deiksis tempat ngrika ‘sana’. Berikut ini diambil masing-masing satu contoh hasil penelitian yang menunjukkan pengacuan endofora dan eksofora. a. Pengacuan Endofora Konteks
: Setyawan
kaget ketika namanya dipanggil-panggil oleh
Wicitra, kemudian Setyawan berkata pada Wicitra bahwa dia sudah membalas pesan dari Wicitra. Indikator : “Setyawan….” Sing diundang jenenge kaget…. “Lik Citra? Aku rak wis mangsuli es-em-es sampeyan ta….” Terjemahan: ‘Setyawan….’ Yang dipanggil namanya kaget…. ‘Lik Citra? Saya sepertinya sudah membalas sms anda kan….’ Sumber
: (PS/ No.13/ 30.3.2013/ H20/ Data No. 1)
Dapat diamati pada data a terdapat penggunaan bentuk deiksis persona pertama tunggal aku ‘aku’ yang mengacu pada nama Setyawan. Data tersebut menunjukkan adanya pengacuan endofora. Pada data a terdapat kata aku ‘aku’ yang mengacu pada tokoh Setyawan yang posisinya berada di sebelah kiri (sebelum) kata aku. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa data a merupakan pengacuan endofora jenis anafora, karena kata aku ‘aku’ mengarah pada persona yang mendahuluinya yaitu Setyawan. b. Pengacuan Eksofora Konteks
: Pamungkas menyuruh Ulupi untuk beristirahat sebelum dimintai keterangan di kantor polisi mengenai satagen milik Ulupi yang telah ditemukan.
Indikator
: “…. Saiki sampeyan kena ngaso dhisik….”
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
89
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
Terjemahan: ‘…. Sekarang kamu boleh istirahat dulu….’ Sumber
: (PS/No.15/13.4.2013/H20/ Data No. 152)
Pada data b terdapat penggunaan bentuk deiksis waktu saiki ‘sekarang’. Dengan memperhatikan konteks dan letak bentuk deiksis terhadap acuannya, maka dapat diperoleh keterangan bahwa tuturan data b terdapat penggunaan kata saiki ‘sekarang’ yang dituturkan oleh tokoh Pamungkas (penutur) saat menyuruh tokoh Ulupi (mitra tutur) untuk beristirahat sebelum dimintai keterangan di kantor polisi mengenai satagen milik Ulupi yang telah ditemukan. Pada tuturan data b terdapat kata saiki ‘sekarang’ yang memiliki acuan waktu di luar wacana yang tidak langsung ditampakkan secara eksplisit dan memerlukan pemahaman antara penutur dan mitra tutur, yaitu pada saat tuturan terjadi. Simpulan Pada penelitian deiksis dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo Panjebar Semangat edisi 23 Maret - 29 Juni 2013, peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Jenis dan bentuk deiksis yang terdapat dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo yaitu deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis tempat. 2. Pengacuan yang terdapat dalam cerita bersambung Getih Sri Panggung karya Kukuh S. Wibowo berupa pengacuan endofora dan eksofora. Pengacuan endofora memiliki dua jenis yakni anafora dan katafora, pengacuan tersebut ditemukan dalam penggunaan deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis tempat. Pada pengacuan endofora tersebut, banyak ditemukan pada
penggunaan deiksis
persona dan deiksis tempat, namun pada penggunaan deiksis waktu hanya ditemukan dua data yang memiliki pengacuan di dalam wacana (endofora). Selanjutnya, pada pengacuan eksofora ditemukan dalam penggunaan deiksis waktu dan deiksis tempat. Pada penggunaan deiksis waktu banyak ditemukan data yang memiliki acuan di luar wacana, kemudian pada penggunaan deiksis tempat hanya ditemukan satu data yang memiliki acuan di luar wacana (eksofora).
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
90
Vol. /05 / No. 01 / Agustus 2014
Daftar Pustaka Ismawati, Esti. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra. Surakarta: Yuma Pustaka Sumarlam. 2010. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Solo: Katta.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
91