CERBER
Kabut Bening Handry Tm Bagian 3
Ringkasan cerita yang lalu. Rencana Dea mengundurkan diri sebagai penyiar MetzLina FM ditentang Mas Bram. Sebagai penanggung jawab seluruh program, Mas Bram tahu pasti alasan Dea ingin mengundurkan diri. Dea merasa dibenci dan diteror oleh penggemar Lukan. Dea tak tahu, Lukan telah menelpon Mas Bram agar jangan menerima pengunduran diri Dea.
3 KELOMPOK BADUNG
K
eributan kecil terjadi di studio, suatu malam. Kali ini antara Mas Bram dan Sania. Keduanya sama - sama ngotot, bahkan menjurus bersitegang kasar.
Perang mulut terjadi di ruang kerja, agak bersebelahan dengan studio siaran. Sania, dengan poninya yang manis nunjukin keberangannya yang sudah nggak tertahan. Mas Bram selaku penanggung jawab seluruh program di MetzLine FM mulai tersinggung dengan sikap anak buahnya. Saat berlangsung perang mulut, ada Dea dan Lukan di sana. Kebetulan Dea lagi nyiapin sejumlah file songs untuk siarannya sejam mendatang. Sementara Lukan, seperti biasa, sedang genjranggenjreng gitar di kursi taman. Keduanya terperanjat dengan kejadian itu. Lukan maupun Dea. Keheranan mereka dipicu oleh satu pertanyaan besar, kenapa tiba-tiba Mas Bram melakukan “Sidak”(inspeksi mendadak) malam-malam di studio. “Demokrasi kayak apa yang kamu pingini? Di MetzLine segalanya udah cukup demokratis. Ide dan kreativitas adalah segala-galanya. Perbedaan umur, senioritas, nyaris nggak ada hitungannya. Siapa maju, kesempatan menunggu. Sekarang, kamu menuntut lebih demokratis lagi. Nggak ngerti deh, untuk siapa kamu perjuangkan semua itu.” Sebuah tembang R&B mengalun tipis di tempat siaran Reza. Tembang itu di-remix dalam berbagai
macam. Tapi peperangan masih berlanjut.
“Aku berjuang untuk Lukan.”
Dea terperanjat. Ia yang lagi memilih-milih lagu di ruang diskotek ikut mikir juga. Persoalan apa pula tentang si Lukan dekil itu. Sampe sejauh itukah Lukan menjadi tema sentral pertengkaran besar di radio ini? “Oke, oke. Apa yang bakal kamu perjuangin
untuk dia?” “la smart, populer! Kreativitasnya nggak ke-
bendung. Nggak seharusnya dong menerima perlakuan seperti ini.” “Ngerti! Ngerti!” “Kalo sekarang Mas Bram ngucilin dia terus,
apa nggak gerah tuh anak?” “Jangan sok tau deh, San. Lukan tetap prima-
dona di radio ini. Tapi untuk menggusur acara yang kini dipegang anak baru, jelas nggak mungkin. Jangan deh Lukan pengin enaknya sendiri. Kabur nggak siaran dua minggu, tiba-tiba nongol lagi. Nongol ketika segalanya berubah. Tapi nggak papa, itu posisi tawar dia. Lukan tetap andalan MetzLine FM.” Wajah Sania memercik keringat. Satu hal yang
sedang dibela Sania. Ia pengin berjuang untuk Lukan agar bisa merebut kembali duapuluh satu jam siaran dalam seminggu. Seperti dulu. Sejak kehadiran Dea, jumlah jam siaran Lukan turun drastis. Ia cuma memperoleh tujuhbelas jam siaran. Berarti sisa empat jam milik Lukan dioper untuk Dea. Dea memang dengar semua pembicaraan itu.
Dan Mas Bram tetap pada pendiriannya. Sebagai pimpinan yang membawahi seluruh kru racikan acara, ia mesti tegas berpendirian.
Anehnya Lukan tetap tenang di tempat. Nyanyi-nyanyi terus lagu baladanya John Denver dengan gitarnya. Maut bener anak ini. Mentalnya tahan uji. Nggak banyak sih cowok sekuat dia di zaman lumer sekarang ini. Justru ketika rekannya sedang berjuang nasib, malah asyik dengan imajinasinya sendiri. Dasar banget. Pake jeans belel, t-shirt merah bertuliskan “Jazz Club” dan jaket kombinasi hitam, kian mempertegas dirinya sebagai tokoh idola. Hingga kini, Lukan memang nggak saling sapa sama Dea. Mereka sering ketemu, sering papasan, bahkan harus hubungan langsung dalam satu kepentingan. Misalnya, pinjam head phone. Wajah Dea tetap pasang kecut. Nggak peduli, sekalipun Lukan berlagak genit dan sok “metroseksualis.” Malam ini sepertinya agak khusus. Mas Bram sendiri ingin nongkrongin gimana Dea beraksi di depan cockpit siaran. la pengin melihat perkembangan anak didiknya ini. Sebenernya hal biasa bagi seorang bekas penyiar pujaan sekaliber Mas Bram. Dulu, ketika pertama kali menerima Lukan, ia juga ngelakuin hal yang sama. Nggak ada salahnya sih kalo saat ini mengulang kejadian serupa. Yang bikin sewot kayaknya sikap Mas Bram yang berlebihan terhadap Dea. “Tumben ke studio malam-malam, Mas,” usik
Dea, ketika si bos akhirnya nongol di ruang diskotek. Kemudian duduk mendampingi Dea yang sibuk memilih lagu. “Pangin lihat kamu siaran manis malam ini.”
“Masih jelek, Mas. Belum selancar Lukan.”
“Udah, deh. Nggak baik ngomongin orang terus-menerus. Harus yakin, suatu kali kamu akan lebih baik daripada dia.” “Nggak mungkin. Ia menang segalanya. Dea
cuma kambing congek di MetzLine.” “Jangan begitu, dong. Mereka sama-sama teman. Masih marahan, ya?” Dea nggak langsung mengangguk. Ia pandang wajah Mas Bram agak seksama. Wajah seorang kakak yang teduh, tipis pamrih dan sangat sabar. “Masih diam-diaman?” Mas Bram memberondong pertanyaan lagi. Dea terkesiap, yang ini memang sudah kayak anak kecil. Akhirnya ia mengangguk. Menahan rasa malu dan sakit hati. “Kira-kira, berantemnya masih lama nggak?” “Ya, tergantung cuaca. Kalo pas cuacanya bagus, besok bisa langsung pelukan Teletubies. Tapi kalo cuaca buruk terus, kenapa harus menghuni Rumah Petir? Mungkin sampe mati saling melotot.” “Ih, ekstrem banget si manis ini.” “Idealisme mesti dijunjung tinggi, dong!” Mas Bram ngakak keras. Perutnya yang buncit
terguncang-guncang. Rambut Dea yang pendek diacak-acak, sembari ia sendiri bangkit ninggalin ruang diskotek. “Kalo emang nggak bisa dirujukin, ntar kubuat kalian berdua terlibat dalam satu acara.” “Mas...!” “Biar rame.” “Nggak gitu...” “Di sini Mas Bram yang kuasa.” “Aduh, kenapa jadi Hitler ‘gitu?” “Nggak ada demokrasi. Malam ini demokrasi telah mati. Ha ha ha … Hey, San…!” Yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh. “Pertengkaran kita bersambung esok hari. Siapin peluru dan amunisi, deh, supaya nggak terkapar di medan laga.” “Siap, Bos. Siap banget. Tapi Bos bilang
demokrasi udah mati? Gimana cara gue ngelawannya?” “Cuma malam ini. Esok pagi, demokrasi hidup kembali. Oke?” “Yap. Siap tempur.” “Cabut dulu, dah. Soal jam siaran, ini
punishment buat penyiar idaman yang angin-anginan. Heeeiii, Lukaaan!!!” Lukan terperanjat, nyetop nyanyinya dan langsung bergegas menghampiri Mas Bram. “Apa, Mas?” “Bangun dari mimpi dan khayalan tinggi lo. Tata masa depan lo dengan kerja yang bener. Mentang-mentang…” “Mentang-mentang apa, Bos?” Emosi Sania kembali terpancing. “Sobat kamu itu, lho. Mentang-mentang kakaknya pemegang saham di sini, terus seenaknya. Nggak bener, tau?” “Iya, Mas.” “Naa…, gitu. Anak muda, jangan deh ngambeg jadi senjata. Kayak Sania gitu, damprat langsung abis perkara.” “Sori, Bos, sori!” Gerakan Sania kayak
menyembah. “Nggak papa, bagus itu.”
“Ehm.” “Udah deh, peace…pieace aja, ya?” Lainnya pada mengangguk. Tapi Lukan dan
Dea nggak sengaja saling bertumbukan mata. Celakanya hal itu ditangkap Mas Bram secara nggak sengaja. “Lukan, Dea. Masih saling attack atau pilih
peace aja?” Keduanya nggak menyahut.
“Oke, oke. Emang kalian ini mesti dikasih acara baru untuk diasuh bersama.” “Ha ha ha…” Sania ngakak. Lukan dan Dea cemberut. * Di sekolah kasak-kusuknya mulai ramai. Memang baru beberapa hari ini anak - anak kelas dua ngerti, bahwa Dea jadi penyiar di MetzLine. Radio-FM baru paling bergengsi di Jakarta. Radio itu dari kelompoknya VMA (Voice ‘n Music of Asia). Mbul Mbul, cewek hitam manis sahabat dekat Dea, nama aslinya Prita -- tapi lantaran gembul anak-anak biasa menyebut “Mbul-Mbul,” jingkrakan ketika mendengar karibnya jadi anak top. “Nggak nyangka, karib gue jadi ngetop kayak gini. Pizza, dong!” Mbul Mbul mulai merayu. Ia juga dijuluki Ratu Pizza, lantaran sebagian hidupnya habis untuk melulu nelan pizza. “Honornya belum terima,” sahut Dea. Yang lain pada ngerubut Dea juga. Pian, Noy, Ling Ling. Nama yang terakhir ini memang terkesan aneh, tapi ‘gitu deh aslinya. Ling Ling termasuk cewek paling cerdas di kelas itu. Lantaran matanya yang sipit, kalo ketawa tinggal segaris. “Hari apa, jam berapa aja sih siarannya?” Ling Ling pun memberondong pertanyaan. “Senin, Rabu, Kamis dan Sabtu. Malam hari, antara pukul 20.00 hingga 21.00.” “Kenal Lukan, dong?” tanya Noy sok akrab. “Kok lo ngerti dia?” “Siapa nggak ngerti Lukan? Suaranya bagus,
rayuannya selangit. Maut!!” Mereka terus ngomongin Lukan, Radio
MetzLine FM dan sejumlah selebriti televisi hingga pelajaran sekolah. Dea terpaksa keluar isi kocek. Karena perlahan namun pasti, mereka menggiring Dea agar nongkrong di Piazza Rasta, sebuah kedai sok pizza yang terletak di belakang sekolah. Sudah kepalang tanggung. Dea langsung ngibul berat. Ngomongnya diserem- seremin. Ia juga cerita tentang bagaimana si Lukan berseteru dengannya. Dan bagaimana cara Dea meneror balik sang penyiar idola tersebut. “Cakep nggak sih si Lukan?” tanya Noy, kali ini sangat bersemangat. “Gimana, ya,” jawab Dea. Agak gengsi, tentu. “Alaaa, ngaku aja do’i cakep.” “Yaah, lumayanlah.”
“Pasti cakep. Hayo! Kamunya aja yang gengsi.”
Cuma Ling Ling yang nggak berambisi. Setelah rekan-rekannya pada selesai, gantian ia maju. “Ntar ini jangan keburu pulang, De. Mampir di MetzLine aja, yuk? Lukan pasti siaran. Udah, tenang
aja. Ntar Ling Ling yang ngadepin. Dea nggak usah repot-repot. Cowok belagu mesti dikerjain.” Dea seperti bangkit kembali dari kubur. Usulan Ling Ling jauh berbeda dengan yang lain. Langsung ia rangkul Ling Ling tanda setuju. Mereka terus ngomong. Sambil makan pizza, tentu aja. Dua potong pizza gede langsung nongkrong di piring Mbul Mbul. Sementara Pian, satu-satunya cowok yang selalu berpenampilan fashionable nggak mau ketinggalan. la pesan spageti tanpa daging. Mereka makan bareng sambil ngobrol panjang tentang dunia selebriti. Ketawa-ketawa, ngakak-ngakak. Yang paling
melengking pasti ketawa Ling Ling. Cewek anak pedagang mobil mewah di kawasan Kota itu saat ketawa nunjukin lekukan pipinya yang manis. Rambut agak kribo, dibiarkannya menantang langit keji sekali. Ketika Pak Darmoyo, guru Matematika lewat,
mereka “sop” sejenak. Guru galak sekaligus rendah diri ini terkenal peka terhadap lingkungan. Anak - anak menahan napas, meski geli. Itu, tatanan rambut Pak Darmoyo yang dilumer jeli. Trus dipelintir-pelintir kecil kayak remaja punk. Rambut depan terjuntai menutup jidat, yang belakang dibuat cepak. Tatkala Pak Darmoyo melintas dalam jarak yang agak jauh, ledekan anak-anak nggak kebendung. Langsung ngakak keras sambil terbatukbatuk. Siapa lagi kalo bukan Pak Darmoyo yang jadi ledekan. Dasar kelewat sensitif, guru bergaya oldies itu menoleh. Wajahnya terlihat garang. Merasa sedang diketawain, padahal memang lagi diketawain. Anak-anak mulai kecut. Guru yang satu ini
terkenal agak sadis. Bener juga, Pak Darmoyo menghampiri gerombolan Dea. Dengan wajah yang serem dan penuh dendam, ia berdiri tegak di depan Mbul Mbul. Perasaan Pian pun mulai kecut. Karena ia
termasuk satu-satunya cowok di gerombolan ini. Sadar sih, pasti bakalan kena sasaran paling depan. Tapi nggak. Pak Darmoyo lebih memilih Mbul Mbul. “Ngetawain apa kalian?!” Demikian Pak Darmayo mulai membuka omongan. “Dea, Pak,” jawab Mbul Mbul ketakutan, ia menunjuk Dea. “Ngetawain Bapak, ya?” cecar Pak Darmoyo lagi. “Ling Ling, Pak.” Mbul Mbul menunjuk Ling Ling. Yang ditunjuk ikutan kecut. Tapi bukan Ling Ling kalo nggak bisa mengelak. “Begini, Pak. Ketika Bapak lewat, kami sedang ngomongin yang lucu-lucu. Kami memang ketawa.
Lucu sih, Pak.” “Siapa tadi yang cerita lucu paling awal?” “Noy, Pak!”
“Eee, tadi kan Dea.”
“Nggak, Pak. Saya cuma cerita soal lelucon biasa, nggak porno-porna amat. Tapi Pian ceritanya paling serem. Kata dia, rambut Pak Darmoyo seperti remaja punk…” Yang lain hampir ketawa, untung tertahan. Pak Darmoyo mulai geram. Ia sadar, kini
sedang menghadapi kelompok anak - anak cerdas. Mereka sangat berani dan pintar mengelak. Yang paling kecut adalah Pian. Ia merasa nggak ngerti apa-apa soal tadi. Ia sendiri merasa nggak siap kalo Pak Darmoyo mencecar pertanyaan. “Bukan saya,” kata Pian.
“Kamu ikut Bapak ke kantor.” Anak-anak menahan tawa. Tapi berusaha menahan agar nggak meledak di depan Pak Darmoyo. Nampaknya guru Matematika ini nggak mau kompromi. Daripada nggak bisa menangkap seorang pun, lebih baik mencari kambing hitam. Korbannya adalah Pian. “Aduh, Dea. Gimana, nih?” “Udah, ikut ke kantor dulu,” kata Pak Darmoyo tetap emosional. Banyak anak lain melihat adegan seru tadi. Di
mata para siswa Pak Darmoyo dikenal sebagai pribadi yang susah ditaklukin. Kalo sudah marah, pasti memakan orang lain. Yang jadi sasaran biasanya anak anak. Makanya anak-anak nggak pengin punya urusan sama dia. Tapi yang jadi sasaran kali ini Pian. Si fashion-
able seolah diumpanin anak-anak. Kasihan juga melihat Pian terus digelandang Pak Darmoyo ke kantor guru. Wajahnya memelas, seolah memohon bantuan. Dea malah melambaikan tangan sembari ngucapin: “Daaaag, sayang....” Anak-anak mulai was-was. Mereka takut, bagaimana kalo Pak Darmoyo main tangan. Begitu Pak Darmoyo agak jauh dari tempat ini, tawa anak-anak meledak kembali. Pak Darmoyo menoleh lagi. Kali ini seperti ingin menelan siapa yang dia hadapi. Sorot matanya memancar hawa panas yang susah dihindari. Anak-anak tambah gugup. Apa lagi ketika dilihatnya Pian kian ketakutan dengan perlakuan Pak Darmoyo. “Gimana nih, De?”
“Waduh, bisa gawat, nih.”
“Kita ikutin, yuk.” “Jangan sekarang. Lepas dulu sepuluh menit, ntar kita susul ke kantor.” Anak-anak menurut saran Dea. Mereka sadar
bahwa apa yang dilakuin sangat kelewatan. Sekarang gimana caranya naklukin kemarahan Pak Darmoyo. Ling Ling yang mungil mengaku mulai sakit perut. “Kenapa, Ling?” tanya Noy. “Kekenyangan.” “Hitung, Non.” seru Dea ke pelayan. “tigapuluh ribu,” jawab Non Pizza, pemilik warung pizza-rasta itu. Anehnya nggak pake menghitung segala. “Kok nggak dihitung?” protes Mbul Mbul. “Hitung ulang dong,” Noy nimbrung. Mereka sebut menu satu per satu. Si Non menuruti perintah anak-anak. Ia hitung rupiah demi rupiah di kalkulatornya “Empatpuluh dua ribu rupiah,” jawabnya cuek. “Lho, kok malah lebih mahal?!” Si Non tersenyum cuek. “Patungan... patungan!!” ajak Dea. “Huuuu, sama juga bo’ong!” seru lainnya. Mereka ngeloyor ninggalin kedai pizza. Mulanya sih pengin langsung ke kantor sekolah. Tapi kok rasanya gimana, gitu. Jadi cuma muter-mutar di lapangan sekolah yang luas. Jam istirahat selesai. Sirine tanda masuk mengiang nggak karuan. Kontan saja mereka langsung ke kelas. Pelajaran Biologi bagian kedua telah menanti. Menyusuri tepian lapangan, dimana pohonpohon akasia saling tumbuh berjajar. Udaranya sejuk, dahannya berkibas-kibas kena angin. Masih ada sisa waktu sekitar satu setengah jam untuk pulang ke rumah. Kelompok Dea dan kawan - kawan dikenal sangat bandel. Tapi mereka bisa nunjukin prestasi paling bagus di antara kelompok yang lain. Di kelas, seperti biasa, suasana gaduh. Apa lagi ketika guru Biologi belum nongol. Saling lempar penggaris, karet penghapus dan saling ledek udah biasa. “Pian nggak nongol, De.” “Loh?” “Masih di kantor?” Kelompok Dea mulai keder. Ini nggak main - main, Pak Darmoyo pasti macam - macam. Kasihan juga si Pian. Cowok fashionable ini paling lemah otak dibanding yang lain. Pasti nangis ia di kantor. “Gimana nih, De?” sungut Mbul Mbul. Mbul Mbul merasa paling bertanggung jawab terhadap apa - apanya Pian. Soalnya, Mbul Mbul masih sandara dekatnya anak itu. Orang tua Pian nitipin segala sesuatunya di sekolah ke Mbul Mbul. Karena keluarga Pian sadar, cowok ini memang “tulalit” berat.
4 PROBLEM CONTACT Apa yang dibilang Mas Bram tempo hari nggak main - main. Ia benar-benar nekat bikin acara baru. Namanya Problem Contact. Rubrik selama sejam penuh itu sengaja ditempatin pada jam yang sangat strategis, yakni antara pukul 21.00 – 22.00. Acara itu menampung “curhat” para listener tentang problem apa saja. Mulai soal pacar, keluarga, lingkungan berteman, hingga kesulitan belajar. “Mereka bisa ngeluarin problem apa aja lewat telepon. Bisa juga lewat sms atau surat. Naa, Lukan sama Dea yang ngasih advis pemecahannya. Lukan tuh jagonya menasehati. Petuah-petuahnya sejuk banget kayak yang ngerti aja. Makanya saya trust ke dia. Tapi mesti ada pasangannya. Dea, saya pikir mampu juga.” Ucapan Mas Bram kali ini seperti mencekik leher. Lukan dan Dea paham sekali, keduanya lagi dikerjain. Tapi yang namanya Mas Bram nggak pernah punya rencana konyol. Dea nggak kaget, karena sebelum ini manajernya pernah mengancam mau bikin acara itu. Mungkin persoalannya jadi lain kalo ia akur sama Lukan. Di rapat evaluasi acara, Mas Bram ngomong banyak. Terutama peringatan terhadap bakal munculnya pesaing baru di jalur FM. Konon akan muncul radio baru milik jaringan TV Singapura. “Kita mulai ngomong soal kompetiter. Artinya, kita dituntut profesional,” jelas Mas Bram. Yang paling menarik dari kepemimpinan dia adalah kebebasan berpendapat yang nggak dibatasi. Kalo sudah begini, bisanya kru penyiar dan bagian operator saling cuap. Tentu dong dibarangi munculnya kotak roti dan Coca-Cola dingin sebagai “pelepas dahaga asli”. “Gue keberatan, Mas!” protes Lukan tanpa
basa-basi. Wajahnya nampak tegang sekali. Beberapa
jurus sesudah itu, tatapannya beralih ke Mas Bram. la juga menatap ke hampir seluruh yang hadir di rapat itu. Cuma satu yang nggak tertangkap dalam retina matanya. Muka Dea, meski manusianya ada diruangan ini. “Apa keberatan lo?” “Mungkin aku nggak bisa kompak di acara itu.” Dalam hati Mas Bram ketawa keras sekali. Memang disengaja, bagaimana supaya Lukan akur sama Dea. “Soalnya?” “Bagaimana mungkin Problem Contact tampil bagus, kalo pengasuhnya lagi ada persoalan.”
“Kita ini profesional, Luk. Jangan terlalu main perasaan.” Kali ini Mas Bram justru melirik ke Dea. Cewek
ini malah menggigit-gigit ujung kuku tangannya. Terkesan cuek dengan tawar menawar itu. “De.”
Mata Dea balik menatap Mas Bram. Ia terkejut sekali ketika sorot mata Mas Bram terlihat menegang. “Keberatan juga lo dipasang di acara itu?” tantang Mas Bram. Dea justru balik menatap mata Mas Bram lekat
- lekat. Inilah kelebihan Dea, selalu menentang arus terhadap segala persoalan. Mengucak-kucak mata dan menyibak anak rambutnya yang jatuh di dahi. “Dea profesional, Mas. Tapi harus ada tawar
menawar yang jelas. Khusus untuk Problem Contact, honor siaran Dea mesti dihargai sama dengan honor dia!” Kuping Lukan memerah mendengar ucapan itu. Apalagi telunjuk Dea mengarah langsung ke dia. Kalo saja ia bukan anak senior di MetzLine FM, andai ia bukan penyiar paling dipuja di sini, andai Dea bukan cewek kelas 3 SMA, pasti akan terjadi pertumpahan darah di ruangan ini. Lukan masih menyimpan pikiran sehat. Ia harus mengalah, sekalipun batinnya tercabik-cabik parah. “Gimana, Luk?” “Nggak masalah. Tapi kalo dia nggak bisa ngimbangin kualitas siaranku, dua kali siaran berikut salah satu harus get out. gue atau dia!” Penyiar lain mulai ngeri dengan kata-kata saling serang tadi. Sania yang jelas - jelas mendukung Lukan, sangat was-was dengan politik “adu domba” gila ini. Tapi ia tahu persis, bagaimana Mas Bram menempa anak buahnya. Si Bos nggak pernah ngejerumusin. Selama ini segala persoalan selalu happy ending. Mudah-mudahan kali ini pun begitu. “Tawar menawar yang bagus. Mulai Minggu malam, kalian mesti siapin.” Ini artinya, persaingan belum berakhir. Perang “bintang” Lukan dan Dea masih berlangsung entah sampai kapan. Masing-masing berusaha nerjemahin tawaran Mas Bram sebagai peluang. Mungkin Dea kalah jauh secara jam terbang. Tapi jangan selalu pandang remeh si tomboy ini. Ia punya kemampuan mengungkap bacaan secara jitu. Kebetulan tantenya sarjana psikologi, beberapa buku tentang Human Behavior pernah ia baca habis. Dea pun nggak main-main. Di studio, ketika siaran malam, nampak ia membawa sejumlah buku tentang psikologi remaja. Sesekali ada juga buku tentang sejarah dan teori John Lock, Schopenhauer, atau pandangan - pandangan Freudian yang bikin bergidik
bulu roma. Anak-anak pun menangkap gejala nggak sehat ini. Reza maupun Sania sering uring-uringan menanggapi rencana gila Mas Bram. Di belakang Lukan dan Dea, Mas Bram memberi isyarat ke mereka agar tetap tenang. “Ini permainan tingkat tinggi. Kita mesti bisa mencetak penyiar-penyiar yang tahan uji!” Anak-anak pun mengangguk. Baru akhirnya paham setelah mendengar penjelasan tadi. Dan mereka pun siap mengawal rencana yang berikut. Hingga sehari menjelang acara dimulai, Lukan maupun Dea masih tetap nggak saling sapa. Ini yang aneh dan bikin geli. Bahkan anak-anak mulai sangsi. Jangan- jangan acara baru itu tampil konyol di tayangan perdana. Tapi melihat ketekunan Dea mereka seperti menghadapi teka-teki yang sulit diterka. Sebagaimana biasa, Lukan tetap tampil tenang. Memetik gitar dengan lagu yang orang lain nggak mungkin paham. Lukan ngerasa bakal menguasai medan. Bagaimana cara keduanya ngerumusin acara Problem Contact? Ini kelebihan Mas Bram. Tau kalo antara keduanya nggak saling tegur, Mas Bram ngasih kertas acuan untuk pedoman siaran. Di luar sepengetahuan penyiar lain, ternyata Mas Bram bikin spot iklan besar-besaran. “Acara yang langka, keakraban yang sulit diterka. Ungkapin problema kamu di acara Problem Contact tiap Minggu malam pukul 21.00. Diasuh oleh dua idola yang selama ini sulit ketemu:Lukan dan Dea!” Spot itu minta diulang terus menjelang warta berita. Bukan MetzLine FM kalo nggak menuai tanggapan serius dari pendengar. Bunyi telepon pun berkepanjangan. Banyak yang merespon acara baru itu. Dari yang pengin tau lantaran penasaran berat, hingga yang protes keras. Sikap yang teakhir itu datang dari penggemar acara Jam Session asuhan Lukan. Mereka pernah sakit hati ketika Lukan nggak muncul dua pekan, diganti Dea yang siarannya belepotan. “Nggak salah, tuh? Masak Lukan disamain penyiar kemarin sore?” kata seorang penelepon. Dea sudah siap mental. Yang akan terjadi,
terjadi aja. Ia telah nyiapin hari H sebaik-baiknya. Mungkin masih lebih baik Lukan, tapi Dea pengin mencari siasat baru. Akan ditutupi kelemahan itu dengan teori-teori cantik yang membius perasaan. Anak-anak di studio mulai gelisah. Seolah nggak tega ngikutin apa yang bakalan terjadi terhadap ‘rujukan terperkosa” ini. Hingga Minggu malam, beberapa jam lagi acara perdana diawali, Dea tetap kukuh dengan pendiriannya. Nggak mau
bertegur sapa sama Lukan. Lukan sendiri mengimbangi sikap dingin Dea. “Kok gitu sih, Luk?” tanya Sania, masih da-
lam suasana yang nggak beda dari yang dulu. Lukan bersenandung lagu dangdut, Laksmana Raja di Laut dengan gitarnya. Lukan pun menyetop petikan gitarnya.
Mencoba menanggapi keprihatinan Sania. “Gitu gimana, sih?” tanyanya balik. Yang diserang malah gelagapan. “Sejam lagi pasti siaran bareng, tapi kenapa
kalian masih belum saling ngomong?” “Nggak ngerti! Ini kan kehendak atasan. Yang dia mau begini, mau apa lagi?” “Yang lebih senior harus bijak, dong.” “Alaa, nggak berlaku tuh. Di sini, sedang kumulai segala sesuatunya dari awal. Nggak semestinya dong dialog sama anak bawang sekeras batu. Biar dia ngerti, ‘gimana susahnya melawan orang yang punya reputasi.” Sania cuma bungkam suara. Matanya mem-
basah. Ia melihat dahan cemara terayun - ayun. Ia merasakan hati yang sedang tertegun. Ada rasa saling mengerti antara Lukan dan dirinya. Teman seprofesi yang pernah sama-sama merintis segala sesuatu dari bawah sekali. (Bersambung)